Peta Filsafat Pendidikan Barat dan Islam Oleh

advertisement
Peta Filsafat Pendidikan Barat dan Islam
Oleh: Muhammad Edy Waluyo, M.S.I.
dan Supiah, M.Pd
Abstrak
Titik pembeda antara filsafat pendidikan Barat dan Islam sesungguhnya
berada pada asumsi terhadap sakralitas sumber pengetahuan. Ketika
filsafat pendidikan Barat lebih mengutamakan rasionalitas, filsafat
pendidikan Islam cenderung pada religiusitas.
Aliran filsafat pendidikan Barat di antaranya: futurisme,
rekonstruksionisme, humanisme, progresivisme, perrenialisme,
behaviorisme, dan eksistensionisme. Aliran filsafat pendidikan Islam di
antaranya: konservatif (al-Muhafidz), religius-rasional (al-Diny al‘Aqlaniy) dan pragmatis (al-Dzarai’iy).
Kata kunci: Filsafat pendidikan Barat dan Islam, rasionalitas, religious
Abstrak
The point of distinction between Western and Islamic educational
philosophy is actually on the assumption of the source of knowledge.
When Western educational philosophy prioritizes rationality, Islamic
education philosophy tends to religiosity.
The flow of Western educational philosophy includes: futurism,
reconstructionism,
humanism,
progressivism,
perennialism,
behaviorism, and existentialism. The flow of Islamic education
philosophy include: conservative (al-Muhafidz), religious-rational (alDiny al-'Aqlaniy) and pragmatic (al-Dzarai'iy).
Keywords: Western and Islamic education philosophy, rationality,
religious
1
A. Pendahuluan
Filsafat adalah pemikiran rasional tentang semua isu-isu yang
mempengaruhi kehidupan manusia. Keyakinan dan pendapat tertentu
berdasarkan ide-ide penting seperti tujuan hidup, tujuan pendidikan,
kebutuhan untuk agama, jika ada, dan nasib. Keyakinan tersebut
mengontrol dan membuat pola dalam hidup dan upaya untuk
memahami asumsi di mana mereka didasarkan pada pemikiran filsafat.
Ketika melakukan analisis dan mempertanyakan keyakinan dan dasar
dari sistem di mana mereka berakar, itulah yang akan menghasilkan
filosofi
pribadi
anda.
Ada
kemungkinan
bahwa
anda
telah
melakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar. 1
Sebagai titik pembeda antara filsafat pendidikan Barat dan
Islam sesungguhnya berada pada asumsi terhadap sakralitas sumber
pengetahuan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh C.A. Qadir bahwa,
“sumber pengetahuan adalah sakral, tujuan dan obyek pengetahuan
adalah tidak lain dari realisasi sakral. Semua filsuf muslim pendidikan
seperti Ibnu Miskawaih (932-1030), al-Ghazali (1059-1111), Ibnu
Khaldun (1332-1406), Shah Waliullah (1703 - 1763) dan Allama
Muhammad Iqbal telah menegaskan dengan satu suara bahwa air
mancur kepala semua pengetahuan adalah suci dan ilahi.”2
Secara historis masalah pembelajaran dan perubahan kognitif
dan dilema produktivitas dan kerangka kerja telah menjadi bagian dari
epistemologi, atau teori pengetahuan. Dua tradisi utama rasionalisme
dan empirisme memberikan ide-ide yang berbeda tentang bagaimana
untuk menyelesaikan dilema, namun pada dasarnya sama dalam
asumsi bahwa belajar adalah soal re-presentasi. Seperti dibahas di
bawah, mereka juga berbagi asumsi universalisme dan individualisme
1
Samson O. Gunga, Philosophie of Education, African Virtual University, p. 5.
C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, (New York:
Routledge, t.t.), p. 5.
2
2
dalam mendekati fenomena mental dan perubahan kognitif. 3 Filsafat
pendidikan sendiri – menurut al-Syaibany – adalah aktivitas pikiran
yang teratur ydang menjadikan tersebut sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya bahwa
filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumatmaklumat yang diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat, filsafat
pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang
integral atau satu kesatuan.4
Dalam tradisi rasionalis, akuisisi pengetahuan ditandai dalam
hal yang melekat atau inbuilt (bawaan) alasan dan ide-ide dari orangorang individu, yang meskipun dipicu oleh pengalaman, namun tidak
berubah sebagai hasil dari pengalaman. Klaim yang baru pengetahuan
muncul dengan deduksi sebagai akibat dari kombinasi baru adalah
akun produktivitas yang diberikan oleh pendekatan ini. Pengalaman
memainkan peran, tetapi tidak mengubah blok bangunan dasar
pengetahuan. Contoh teori rasionalis pertumbuhan kognitif termasuk
Plato akun dalam dialog Meno, pematangan teori seperti Arnold Gesell
itu, teori Noam Chomsky akuisisi tata bahasa, dan Teori Fodor dari
bahasa bawaan pemikiran. 5
Isu perdebatan yang mengangkat topik siapa mempengaruhi
siapa dalam khazanah berfilsafat dalam peradaban manusia khususnya
di ranah pendidikan menurut hemat penulis tidaklah terlalu penting.
Sebagai kerja intelektual, para filusuf melakukan kontestasi kritis
terhadap isu-isu pendidikan pada masanya, yang diharapkan dapat
membangun peradaban yang lebih gemilang. Walaupun demikian patut
diakui bahwa tradisi Barat dapat maju dan berkembang setelah
berinteraksi intensif dengan kaum muslimin. Mereka belajar di
3
Christina E. Erneling, Towards Discursive Education (Philosophy, Technology
and Modern Education, (New York: Cambridge University Press, 2010), p. 22.
4
Jalaludin, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media, 1997), hlm. 13.
5
Christina E. Erneling, Towards ..., p. 2.
3
universitas-universitas Islam, di antaranya ke Cordoba dan Toledo di
Spanyol untuk belajar dan menyalin buku-buku karya ilmuwan
muslim. Di antara mereka terdapat nama-nama seperti Herman di
Pincang (1013 – 1054 M), biarawan Reichenau di Swiss yang menulis
buku Matematika dengan pengaruh kuat para ilmuwan Muslim;
Adelard of Bath (1090-1150 M) dari Inggris yang menyamar sebagi
orang Islam dan mengikuti kuliah-kuliah di Cordoba, ia menulis
Kompendium untuk Sains Ilmuwan Muslim; Gerardo de Cremona
(1114 – 1187 M) yang menyalin dan menerjemahkan sekitar 90 karyakarya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa Latin, termasuk karya-karya
al-Farabi, Jabir Ibn Hayyan dan Ibn Haytsam. Prof. Fuad Sezgin dari
Universitas Frankfurt, penulis buku Geschichte des Arabischen
Schrifttums (20 jilid), menemukan bahwa tidak sedikit karya ilmuwan
Muslim yang dibajak dengan menyalinnya dan membubuhkan nama
penyalin itu sendiri sebagai ganti nama penulis aslinya. 6
Tulisan ini, paling tidak merupakan muqaddimah untuk
melakukan pemetaan sederhana dari geneologis, aliran-aliran, tokoh
dan pemikiran tokoh-tokoh filsafat pendidikan Barat dan Timur (yang
dalam hal ini difokuskan pada dunia Islam).
B. Posisi Filsafat dalam Pendidikan
Banyak orang berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah
aspek yang paling penting pada pelatihan guru. Sementara yang lain
mengklaim bahwa filsafat sangat jauh dari praktek di dalam kelas dan
bahkan menyia-nyiakan waktu.7 Lebih jelasnya, implikasi dan
6
Kamsul Abraha, Epistemologi dan Paradigma Keterpaduan Iptek dan Islam
dalam Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah dalam Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama
dan Umum; Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Suka
Press, 2003), hlm. 95.
7
McGraw Jordan, 2008, Philosophy of Education, (Kerrypress: McGraw Hill), p.
1.
4
konsekwensi filsafat dalam pendidikan digambarkan sebagaimana
gambar berikut ini:
Gambar 1
Implikasi Filsafat dalam Pendidikan
Experience
Ideas
Idealism
 Theory before practice
 Logical thingking
 Liberal education
Empiricism
Technicalrasional
curriculum
Romanticism
Childcentered
education
Development
Teleology
Curriculum Development
design
theory
Terkait dengan perkembangan pemikiran pendidikan Islam –
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdurrahman Assegaf mengemukakan bahwa periodisasinya adalah sebagai berikut: 1.
Periode pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal kemunculan Islam
sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw. sampai akhir masa Umayyah; 2.
Periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa ‘Abbasiyah, dan
3. Periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah jatuhnya kota
Baghdad oleh tentara Tartar pada 1258 M; serta 4. Periode
pembaharuan yang mulai berkembang secara intentsif sejak abad ke
18-M.8
Untuk lebih jelasnya, periodisasi perkembangan pemikiran
pendidikan Islam dan karakteristik pemikiran pendidikan di masanya
dirangkum dalam tabel berikut:
8
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 4.
5
Tabel 1
Periodisasi Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam
Periode
Pertumbuhan
Tokoh
Nabi
Muhammad
Saw dan khulafa’ arRasyidun:
1. Abu Bakar (632634 M).
2. ‘Umar bin alKhattab (634 –
644 M)
3. Usman bin Affan
(644 – 656 M).
4. Ali
bin
Abi
Thalib (656 – 661
M).
5. Mu’awiyah (661
Kejayaan
Al-Kindi, Ibn Sina
(370 – 428 H), Ibn
Miskawaih (330 –
421 H), al-Khazin, alGhazali (1058 – 1111
M), Ibn Qutaibah
(213 – 276 H), Ibnu
Sahnun (lahir 202 H),
Ibnu Masarroh (269 –
319 H).
9
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat..., hlm. 4.
6
Karakter
Pendidikan Islam berpusat
pada sumber al-Qur’an dan
hadis secara murni. Ketika
Nabi Muhammad masih
hidup, praktik pendidikan
Islam mengikuti tuntunan
firman Allah SWT dan
teladan beliau. Tujuan
pendidikan Islam adalah
membentuk sikap takwa
serta penanaman nilai
akhlak mulia.
Belum ada konsepsi dan
pemikiran yang tertulis atau
disiplin
ilmu
secara
spesifik,
semuanya
bertumpu pada pribadi nabi
Muhammad Saw.9
Pada masa Mu’awiyah
pemikiran Islam cenderung
pada masalah teologis.
Karya Ibn Miskawaih
dalam
pendidikan
di
antaranya
Tahdzib
alAkhlak.
Menurutnya,
syariat agama merupakan
faktor
penentu
bagi
lurusnya karakter manusia,
karena rujukan utamanya
adalah
al-Qur’an
dan
Hadis. Mendidik haruslah
berdasarkan
psikologi.
Orientasi
pendidikan
adalah pada anak (child
centered). Tujuan pendidikan adalah pencapaian
akhlak mulia dan meraih
kebaikan, kebahagiaan, dan
kesempurnaan
hidup.
Fungsi pendidikan adalah
menanamkan akhlak mulia,
memanusiakan
manusia
dan merupakan upaya
sosialisasi
individu.
Metode pendidikan: 1.
Alami (tabi’iy), 2. Metode
sanksi yang berjenjang
mulai
dari
ancaman,
hardikan, hukuman sampai
pukulan. Namun beliau
mengutamakan
metode
nasihat
atau tuntunan,
sanjungan, dan pujian dari
pada jalan kekerasan. 10
Al-Ghazali dengan karyakaryanya yang berkaitan
dengan
pendidikan
di
antaranya:
Fatihat
alKitab, Ayyuhal Walad dan
Ihya ‘Ulumuddin.
AlGhazali
menekankan
bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah pembentukan
akhlak al-karimah dan
taqarrub ilallah. Metode:
latihan,
pembiasaan,
hadiah,pujian, permainan
dan istirahat. Masalah etika
guru-murid, beliau membatasi kode etik guru.
Menurutnya, syarat menjadi seorang guru adalah
mampu bersikap belas
kasih, senantiasa memberi
nasihat, melarang murid
berbuat jahat, mengajar
sesuai
dengan
daya
kemampuan siswa, dan
seorang guru haruslah
mengamalkan ilmunya.11
Pendidikan maju karena
dukungan dana pemerintah
10
11
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat ..., hlm. 7.
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat ..., hlm. 8.
7
Kemunduran
Al-Mutawakkil (847
– 861 H)
Pembaruan
Rif’at Badawi alThahtawi,
Syed
Jamaludin
alAfghani, Muhammad
Abduh
Sementara di Indonesia: KH. Ahmad
Dahlan dan KH.
Hasyim Asy’ari
dan iklim ilmiah.
Lembaga pendidikan Islam
yang monumental terbentuk pada masa khalifah
Harun al-Rasyid (170 – 193
H atau 786-809 M), Bait
al-Hikmah.
Di
dalam
lembaga ini diajarkan ilmuilmu agama Islam, juga
ilmu-ilmu hikmah, yaitu
ilmu alam, kima, falak.
Munculnya
fanatisme
asy’ariyah. Aliran Mu’tazilah disingkirkan sehingga
efeknya tidak menguntungkan pengembangan kreativitas intelektualitas Islam.
Rif’at melakukan pembaharuan
di
bidang
ekonomi, politik, teknologi
dan posisi perempuan.
Al-Afghani
melalui
gerakan
pan-Islamisme
atau ide persatuan Islam.
Abduh menempuh jalur
pendidikan sebagai sarana
pembaruan.
Ahmad Dahlan: Dakwah,
sosial
dan pendidikan
sabagai respon kolonialisme Belanda.
KH.
Hasyim
Asy’ari
dengan pesantren Tebuireng
sebagai
counter
institutions bagi sekolahsekolah
bentukan
Belanda.12
Filsafat pendidikan penting karena menjelaskan bagaimana
munculnya teori-teori pendidikan. Dengan mempelajari filsafat
pendidikan, kita dapat melihat mengapa dan bagaimana teori-teori
12
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat ..., hlm. 18.
8
pendidikan melengkapi atau bahkan berlawanan satu sama lain. Sebuah
pemahaman tentang filsafat sangat berguna untuk membimbing dan
mengkritisi pengembangan teori pendidikan. Pengetahuan filsafat dapat
menyediakan sebuah pembenaran terhadap metodologi-metodologi
mengajar, menampakkan dan menantang asumsi-asumsi tentang dunia
mengajar dan menyediakan sebuah bahasa untuk debat pendidikan. 13
Filsafat pendidikan adalah filsafat diterapkan pada pendidikan
sebagai area spesifik usaha manusia. Ini melibatkan membawa kepada
refleksi kritis yang mencirikan filsafat pendidikan secara umum.
Filsafat pendidikan tidak berada dalam ruang hampa, tetapi dalam
konteks sosial dan historis tertentu.14 Pendidikan Islam, tidak lepas dari
visi yang hendak dicapai dalam prosesnya, sementara berbicara
mengenai arah pendidikan berarti berbicara tentang filsafat pendidikan,
yaitu filsafat pendidikan Islam. Knigh, sebagaimana dikutip oleh Toto
Suharto, menyebutkan urgensi dari mempelajari filsafat pendidikan,
yaitu: Pertama, membantu para pendidik untuk mengetahui persoalanpersoalan mendasar dalam pendidikan. Kedua, sebagai bahan evaluasi
terhadap persoalan-persoalan mendasar tersebut. Ketiga, membekali
kepada para pendidik untuk berfikir secara klarifikatif tentang tujuan
hidup dan pendidikan. Keempat, memberikan arahan tentang tujuan
pendidikan dikaitkan dengan tuntuan zaman.15
Adapun
tata
kerja
filsafat
dalam
ranah
pendidikan
digambarkan sebagaimana bagan berikut:
Bagan 1
13
McGraw Jordan, 2008, Philosophy ..., p. 1.
Annick M. Brennen, Course Work Philosophy of Education, (Northern
Carribean University, 1999), p. 5.
15
Muhajir, Filsafat Pendidikan Islam Syi’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), hlm. 12. Lihat juga, Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: alRuzz Media, 2006), hlm. 49 - 50.
14
9
Tata Kerja Filsafat dalam Ranah Pendidikan16
C. Fungsi Filsafat Pendidikan
Suharto menyatakan bahwa pendidikan memiliki empat fungsi,
yaitu fungsi spekulatif, normatif, kritis, dan teoritis. Fungsi spekulatif
menekankan bahwa filsafat pendidikan berusaha memahami berbagai
persoalan pendidikan, merumuskannya dan mencarikan hubungannya
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan. Fungsi normatif
fislafat pendidikan adalah sebagai penentu arah dan pedoman
pendidikan. Fungsi normatif tersebut meliputi tujuan pendidikan apa
yang akan ditentukan, manusia model apa yang ingin kritis dicetak dan
norma-norma atau nilai-nilai apa yang hendak dibina. Filsafat
pendidikan melakukan fungsi kritis artinya memberi dasar bagi
pengertian kritis-rasional dalam mempertimbangkan dan menafsirkan
data-data ilmiah pendidikan. Filsafat pendidikan juga berfungsi
teoretis, karena senantiasa memberikan ide, konsepsi, analisis, dan
16
Samson A. Gunga, Philosophie ..., p. 7.
10
berbagai teori bagi upaya pelaksanaan pendidikan. Filsafat pendidikan
menentukan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek pendidikan. 17
Theodore Bremeld membagi fungsi-fungsi filsafat pendidikan
berdasarkan teori-teori sebagi berikut:
1. Progresivisme
Teori progresivisme dibangun berdasarkan pada konsep pendidikan
yang pada hakekatnya progresif. Pendidikan bukan hanya
menyampaikan pengetahuan, melainkan yang lebih penting adalah
melatih kemampuan berfikir rasional. Berfikir adalah penerapan
cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisis, pertimbangan, dan
memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia. Tujuan
pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terusmenerus, yaitu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali
seuai dengan tuntutan lingkungan. 18
2. Esensialisme
Teori esensialisme dibangun berdasarkan pada konsep pendidikan
yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yaitu yang hakiki
kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai yang dijadikan dasar
adalah nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu. Proses pendidikan
merupakan perantara atau pembawa nilai-nilai budaya yang dibawa
masuk kke jiwa anak didik.19
3. Perenialisme
Teori perenialisme dibangun pada konsep agar pendidikan kembali
pada jiwa pencerahan yang menguasai abad pertengahan. Jiwa
pencerahan abad pertengahan yang rasional telah menuntun
17
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011),
hlm. 46.
18
Theodore Bremeld, 1999, Philosophies of Education in Culture Perspektive.
4th edition. New York: The Oryden Press, p. 91.
19
Theodore Bremeld, 1999, Philosophies ..., p. 204.
11
manusia hingga dapat mengerti adanya tata kehidupan yang telah
ditentukan secara rasional untuk men emukan evidensi-evidensi
diri sendiri. 20
4. Rekonstruksianisme
Teori rekonstruksianisme dibangun atas konsep dasar agar anak
didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif
menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan
masyarakat modern sebagai akibat pengaruh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Penyesuaian seperti ini akan membuat anak didik tetap
berada dalam suasana aman dan bebas.21
Dalam konteks filsafat pendidikan Islam secara makro, maka
filsafat berperan sebagai:
1. Membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam
membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan.
2. Memberi dasar penilaian pendidikan secara menyeluruh.
3. Memberi dasar bagi pengkajian pendidikan secara umum dan
khusus.
4. Memberi sandaran intelektual, bimbingan bagi pelaksanaan
pendidikan untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam
bidang pendidikan sebagai jawaban dan setiap permasalahan yang
timbul dalam bidang pendidikan.
20
21
Theodore Bremeld, 1999, Philosophies ..., p. 228.
Theodore Bremeld, 1999, Philosophies ..., p. 296.
12
5. Memberikan pendalaman pemikiran tentang pendidikan dalam
hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial,
ekonomi, politik dan berbagai aspek kehidupan lainnya. 22
D. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan dan Penerapannya
Peta aliran-aliran filsafat pendidikan dan nilai pendidikannya
dapat disimak pada tabel berikut ini:
Tabel 2
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Barat
dan Nilai-nilai Pendidikannya23
Aliran Filsafat
Futurisme
Rekonstruksionisme
Nilai
Futurisme berfokus pada reformasi sosial dan
politik. Futuris menyerukan pendidik untuk
menghasilkan gambar alternatif berturutturut masa depan dengan: menciptakan
awereness dari ketidakadilan, kontradiksi,
dan masalah dalam tatanan dunia saat ini dan
berfikir cara positif untuk menangani
mereka; menggunakan mata pelajaran
kurikuler seperti ekonomi, psikologi,
sosiologi dan ilmu politik untuk menciptakan
kesadaran.
Aplikasi Reconstructionism pendidikan
adalah dua kali lipat: 1. Identifikasi area
masalah utama yang memicu kontroversi,
konflik dan inkonsistensi dalam bidang studi
seperti ekonomi, sosiologi, ilmu politik,
psikologi, dan antropologi; 2. Penggunaan
metodologi, seperti memainkan peran,
simulasi dan model yurisprudensi untuk
menciptakan kesadaran akan masalah dan
keterbukaan terhadap solusi.
22
Jalaludin dan Usman Said, Falsafat Pendidikan Islam, (Jakaarta: Rajawali,
1994), hlm. 18.
23
Annick M. Brennen, Course ... p. 6 – 8.
13
Humanisme
Progresivisme
Perenialisme
Behaviorisme
Humanisme telah membuat tiga kontribusi
terhadap pendidikan, yaitu: 1. Kelas terbuka,
2. Sekolah gratis, 3. Sekolah tanpa kegagalan
1. Proses pendidikan menemukan asal-usul
dan tujuan pada anak. 2. Murid aktif daripada
pasif. 3. Peran guru adalah bahwa dari
penasihat, panduan, sesama traveler, bukan
seorang direktur otoriter dan kelas. 4.
Sekolah
adalah
mikrokosmos
dari
masyarakat yang lebih luas. Belajar harus
diintegrasikan. 5. Kegiatan Kelas harus fokus
pada pemecahan masalah, bukan pada
metode buatan dari mata pelajaran. 6.
Suasana sosial sekolah harus kooperatif dan
demokratis
Perrenialits
telah
diberikan
kepada
pendidikan enam prinsip dasar di mana
mereka beroperasi. 1 Manusia adalah hewan
rasional sehingga individu mengembangkan
pikiran mereka, mereka dapat menggunakan
alasan untuk mengontrol selera, nafsu, dan
tindakan. 2. Pengetahuan adalah univerally
konsisten, oleh karena itu ada materi dasar
tertentu yang harus diajarkan kepada semua
orang. 3. Subyek bukan anak, harus berdiri di
tengah-tengah usaha pendidikan. 4. Karyakarya besar dari masa lalu adalah repositori
pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah
teruji oleh waktu dan relevan di zaman kita.
5. Sifat manusia adalah konsisten, sehingga
pendidikan harus sama untuk semua orang. 6.
Pengalaman
pendidikan
merupakan
persiapan untuk hidup, bukan situasi
kehidupan nyata.
Para
penganut
paham
behaviorisme
menyumbangkan empat prinsip dasar
pendidikan:
1. Manusia adalah hewan tingkat tinggi
yang belajar sama seperti hewan-hewan
yang lain. Para ilmuwan dapat
memperhalus teknik mengajar sepanjang
eksperimen dengan hewan-hewan.
2. Pendidikan adalah sebuah proses keahlian
teknik lingkungan. Orang diprogram
untuk melakukan pada beberapa cara
tertentu dengan lingkungan mereka.
14
Esensialisme
Eksistensialisme
Lingkungan dapat saja dimodifikasi
dengan
memanipulasi
penguatan
lingkungan.
3. Peran guru adalah untuk menciptakan
lingkungan pembelajaran yang efektif
yang akan menyediakan penguatan
positif.
4. Efisiensi, ekonomi, ketelitian dan
objektivitas adalah nilai central yang
perlu diperhatikan.
Penganut Esensialisme menyumbangkan tiga
prinsip besar untuk pendidikan:
1. Tugas
sekolah
adalah
mengajar
pengetahuan dasar. Mata pelajaran dasar
mesti dipelajari pada sekolah dasar dan
sekolah menengah untuk mengeliminir
“kebutaan” pengetahuan pada tingkat
perguruan tinggi.
2. Belajar adalah kerja keras dan menuntut
kedisiplinan. Menghafal, latihan dan
pemecahan masalah merupakan upaya
membantu perkembangan belajar.
3. Guru merupakan fokus dari aktivitas
kelas. Dia yang menentukan apa yang
harusnya
dipelajari
siswa
dan
bertanggung jawab untuk menyajikan
mata pelajaran dalam sebuah rangkaian
logis dan memupuk kedisiplinan siswa
untuk menciptakan suasana belajar yang
kondusif.
Penganut Eksistensialisme memfokuskan diri
untuk menolong anak merealisasikan dirinya
secara lebih utuh berdasarkan proposisi
berikut ini:
1. Saya adalah agen terpilih – tidak dapat
menghindar untuk memilih jalan saya
sepanjang hidup.
2. Saya adalah agen yang bebas – bebas
untuk menentukan tujuan-tujuan hidup
sendiri.
3. Saya adalah seorang agen yang bertanggung jawab – bertanggung jawab
secara personal pada pilihan bebas saya
sebagaimana yang mereka tampakkan
pada
bagaimana
seharusnya
saya
menjalani hidup.
15
E. Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan dan Pemikirannya
Tabel 3
Filosof dan Pemikiran Filsafat Pendidikannya24
Filosof
Pemikiran Filsafat Pendidikannya
Socrates
Diajarkan peserta didik dengan mengajukan pertanyaan
469 – 369 (metode Sokrates atau dialektika). Dia sering bersikeras
SM
bahwa ia benar-benar tahu apa-apa, tapi keterampilan
pertanyaannya me-mungkinkan orang lain untuk belajar
dengan pemahaman sendiri.
Plato
... Ilmu-ilmu eksakta - aritmatika, pesawat dan geometri
428 – 348
solid, astronomi, dan harmonik - pertama akan
SM
dipelajari selama sepuluh tahun untuk membiasakan
pikiran dengan hubungan yang hanya bisa ditangkap
Idealism
oleh pikiran. Lima tahun kemudian akan diberikan
kepada penelitian masih lebih parah dari 'Dialektika'.
Dialektika adalah seni percakapan, pertanyaan dan
jawaban; dan menurut Plato, keterampilan dialektis
adalah kemampuan untuk mengajukan dan menjawab
pertanyaan tentang esensi dari hal. Dialektis
menggantikan hipotesis dengan pengetahuan aman,
dan tujuannya adalah untuk tanah semua ilmu
pengetahuan, semua pengetahuan, pada beberapa
'pertama prinsip tanpa hipotesis'.
Ia melihat pendidikan sebagai kunci untuk
menciptakan dan mempertahankan Republik nya. Dia
menganjurkan metode ekstrim: memindahkan anakanak dari perawatan ibu mereka dan membesarkan
mereka sebagai bangsal negara, dengan hati-hati
yang diambil untuk membedakan anak-anak sesuai
dengan berbagai kasta, tertinggi menerima
pendidikan yang paling, sehingga mereka dapat
bertindak sebagai wali dari kota dan perawatan untuk
yang kurang mampu. Pendidikan akan holistik,
termasuk fakta-fakta, keterampilan, disiplin fisik, dan
musik kaku disensor dan seni. Untuk Plato, individu
yang terbaik dilayani dengan menjadi subordinasi
masyarakat yang adil.
24
Jean Marrapodi, Educational Philosophies and Change, (Capella University,
September 2003), p. 1 - 2.
16
Aristoteles
384 – 322
SM
Realisme
Thomas
Aquinas
1227 – 1274
Theisme
Aristoteles percaya pada pengamatan langsung dari alam,
dan ilmu pengetahuan ia mengajarkan teori yang harus
mengikuti fakta. Ia menganggap filsafat sebagai cerdas
dari jelas, tak berubah pertama prinsip-prinsip yang
menjadi dasar dari semua pengetahuan. Logika adalah
untuk Aristoteles yang alat yang diperlukan dari setiap
pertanyaan, dan silogisme adalah urutan bahwa semua
pemikiran logis berikut. Dia memperkenalkan konsep
kategori ke dalam logika dan mengajarkan bahwa realitas
bisa diklasifikasikan menurut beberapa kategorisubstansi (kategori utama), kualitas, kuantitas, relasi,
penentuan dalam ruang dan waktu, tindakan, gairah atau
pasif, posisi, dan kondisi. Aristoteles juga mengajarkan
bahwa pengetahuan tentang suatu hal, di luar klasifikasi
dan deskripsi, membutuhkan penjelasan kausalitas, atau
mengapa. Ia mengemukakan empat penyebab atau
prinsip-prinsip Penjelasan: penyebab material (substansi
yang karya itu dibuat); formal menyebabkan (desain);
penyebab efisien (pembuat atau pembangun); dan
penyebab akhir (yang tujuan atau fungsi). Dalam
pemikiran modern penyebab efisien umumnya dianggap
sebagai penjelasan sentral dari suatu hal, tapi untuk
Aristoteles penyebab akhir memiliki keutamaan.
Dia menggabungkan ide-ide Yunani ke dalam agama
Kristen dengan menunjukkan pemikiran Aristoteles
menjadi sejalan dengan doktrin gereja. Dalam karyanya
sistem, akal dan iman (wahyu) berupa dua terpisah
namun harmonis alam yang melengkapi kebenaran
daripada menentang satu sama lain.
John Locke Locke
percaya
bahwa
saat
lahir,
pikiran
1630 – 1704 manusia adalah semacam batu tulis kosong
pengalaman
menulis.
Dalam
Buku
II
Liberalisme yang
Locke
mengklaim
bahwa
ide-ide
adalah
bahan
pengetahuan
dan
semua
ide
berasal
dari
pengalaman.
Istilah
'ide,'
Locke
mengatakan "... singkatan dari apapun adalah
Obyek
pemahaman,
ketika
seorang
pria
berpikir. "(Essay I, 1, 8, p. 47) Pengalaman
adalah dua jenis, sensasi dan refleksi. Salah
satunya - sensasi - memberitahu kita tentang
hal-hal
dan
proses
di
dunia
luar.
Yang
lainnya - refleksi - memberitahu kita tentang
operasi pikiran kita sendiri. Refleksi adalah
semacam
perasaan
internal
yang
membuat
17
kita sadar akan proses mental kita terlibat
masuk Beberapa ide-ide yang kita dapatkan
hanya
dari
sensasi,
beberapa
hanya
dari
refleksi dan beberapa dari keduanya.
Kita tidak bisa menciptakan ide-ide sederhana, kita
hanya bisa mendapatkannya dari pengalaman. Dalam hal
ini, pikiran adalah pasif. Setelah pikiran memiliki toko
ide sederhana, dapat menggabungkan mereka ke dalam
ide-ide yang kompleks dari berbagai jenis. Dalam hal ini
pikiran aktif. Dengan demikian, Locke berlangganan ke
versi aksioma empiris bahwa tidak ada dalam kecerdasan
yang sebelumnya tidak di indra - di mana indra diperluas
untuk mencakup refleksi.
Uzgalis, William, "John Locke", The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Edisi Musim Panas 2003),
Edward N. Zalta (ed.) URL = http://plato.stanford.
edu/archives/sum2003/entries/locke/.
Jean Jacques
Rousseau
1712 – 1778
Naturalism
e
Rousseau menyatakan bahwa ada satu proses
perkembangan umum untuk semua manusia. Ini adalah
intrinsik, proses alami, yang manifestasi perilaku primer
adalah rasa ingin tahu. Seperti Rousseau menulis dalam
Emilenya, semua anak sempurna dirancang organisme,
siap untuk belajar dari lingkungan mereka sehingga
dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang saleh. Tapi,
karena memfitnah tersebut pengaruh masyarakat korup,
mereka sering gagal melakukannya. Rousseau
menganjurkan metode pendidikan yang terdiri dari
menghilangkan anak dari masyarakat (misalnya, ke
negara rumah) dan bergantian penyejuk dia melalui
perubahan lingkungan dan pengaturan perangkap dan
teka-teki baginya untuk memecahkan atau mengatasi.
Rousseau tidak biasa bahwa ia mengakui dan membahas
potensi masalah legimation untuk mengajar.
Edmund
Burke
1729 – 1797
Conservatis
me
Johann
Heinrich
Pestalozzi
1746 - 1827
Pendidikan adalah lembaga untuk mengirimkan warisan
budaya untuk kaum muda dan melestarikannya melalui
generasi. Ada kekuatan dalam tradisi budaya, dan
mereka mewakili kebijaksanaan umat manusia.
Alih-alih berurusan dengan kata-kata, ia berpendapat,
anak-anak harus belajar melalui kegiatan dan melalui
hal-hal. Mereka harus bebas untuk mengejar kepentingan
mereka sendiri dan menarik mereka sendiri kesimpulan
(Darling 1994: 18).
"Saya berharap untuk merebut pendidikan dari urutan
18
usang dari loyo hacks mengajar tua serta dari orde baruketinggalan jaman yang murah, trik mengajar buatan,
dan menyerahkannya ke kekuatan abadi alam itu
sendiri, dengan cahaya yang Allah telah nyalakan dan
tetap hidup dalam hati ayah dan ibu, untuk kepentingan
orang tua yang menginginkan anak-anak mereka
tumbuh dikasihi oleh Allah dan manusia. "
(Pestalozzi dikutip dalam Silber 1965: 134)
Dia menempatkan penekanan khusus pada spontanitas
dan aktivitas individu. Anak-anak tidak boleh diberikan
jawaban yang siap pakai tetapi harus sampai pada
jawaban sendiri. Untuk melakukan hal ini mereka sendiri
kekuatan melihat, menilai dan penalaran harus dibudidayakan, aktivitas diri mereka mendorong Tujuannya
adalah untuk mendidik seluruh anak - pendidikan
intelektual hanya bagian dari rencana yang lebih luas.
Dia tampak untuk menye-imbangkan, atau tetap dalam
kesetimbangan, tiga elemen - tangan, jantung dan kepala.
Pestalozzi percaya bahwa pikiran dimulai dengan sensasi
dan pengajaran yang harus menggunakan indra.
Memegang bahwa anak-anak harus mempelajari bendabenda di lingkungan alami mereka, Pestalozzi
mengembangkan apa yang disebut "objek pelajaran"
yang melibatkan latihan dalam bentuk pembelajaran,
nomor, dan bahasa. Murid ditentukan dan ditelusuri
bentuk obyek, menghitung benda, dan nama mereka.
Siswa berkembang dari pelajaran ini untuk latihan dalam
menggambar,
menulis,
menambah,
mengurangi,
mengalikan, membagi, dan membaca.
Http://www.infed.org/thinkers/et-pest.htm
Robert
Owen
1771 – 1849
Utopianism
Dengan realisasi anak yang bekerja di pabrik, Owen
berkampanye untuk "moral yang baru dunia "masyarakat
yang didasarkan pada masyarakat kerjasama dan saling
kesetaraan. Generalisasi harus dibuat jelas kepada siswa.
Siswa harus memahami apa yang mereka baca. Dia
percaya pendidikan harus menciptakan perubahan sosial.
Johann
Friedrich
Herbart
1776 – 1841
Sistem Herbart tentang filsafat berasal dari analisis
pengalaman. Sistem termasuk logika, metafisika, dan
estetika sebagai koordinat elemen. Dia menolak semua
konsep kemampuan mental yang terpisah, bukan
mendalilkan bahwa semua fenomena mental hasil dari
interaksi ide dasar. Herbart percaya bahwa metode
19
pendidikan dan sistem harus didasarkan pada psikologi
dan etika: psikologi untuk memberikan yang diperlukan
pengetahuan tentang pikiran dan etika yang akan
digunakan sebagai dasar untuk menentukan tujuan sosial
pendidikan. Belajar berikut dari membangun urutan ideide penting untuk individual.
Freidrich
Froebel
1782 – 1852
Filosofi Froebel terhadap pendidikan didasarkan pada
Idealisme. Dia percaya dalam memperkenalkan
bermain sebagai sarana untuk melibatkan anak-anak
dalam diri-kegiatan untuk tujuan eksternalisasi
mereka sifat batin dan cara meniru dan mencoba
berbagai peran orang dewasa. Dia percaya bahwa
setiap manusia memiliki esensi spiritual dan bahwa
setiap orang memiliki nilai spiritual dan martabat.
("Mekanisme spiritual) Seperti Idealis, ia juga
percaya bahwa setiap anak memiliki dalamdia semua
ia menjadi saat lahir, dan bahwa lingkungan
pendidikan yang tepat adalah untuk mendorong anak
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Modelnya beristirahat pada empat ide dasar:
kebebasan berekspresi diri, kreativitas, partisipasi
sosial, dan motorik ekspresi.
Ia membagi belajar menjadi hadiah dan pekerjaan.
Sebuah hadiah adalah sebuah objek yang diberikan
kepada seorang anak untuk bermain dengan - seperti bola
- yang membantu anak untuk memahami konsep bentuk,
dimensi, ukuran, dan hubungan mereka. The pekerjaan
adalah barang-barang seperti cat dan tanah liat yang
anak-anak bisa digunakan untuk membuat apa yang
mereka inginkan. Melalui pekerjaan, anak externalized
konsep yang ada dalam pikiran mereka.
Karl Marx
1818 – 1883
Marxisme
Marx berbicara sering eksploitasi satu kelas dengan yang
lain. Dia juga membahas ekonomi perbedaan antara
kelas. Pendidikan melanggeng-kan ketidakadilan antara
kelas dan berlanjut dengan status quo. Perubahan politik
terjadi ketika pemberontakan kelas dieksploitasi terhadap
kelas kontrol. Dia merekomendasikan agar pemerintah
mengambil alih peran kelas penguasa untuk menciptakan
ekuitas antara kelas. Dia percaya pendidikan bisa
mengubah masyarakat ..
John Dewey Dewey, dalam My pedagogik Creed menulis
1859 – 1952 "Saya percaya bahwa:
Pragmatisme  semua hasil pendidikan dengan partisipasi individu
20
dalam sosial kesadaran perlombaan.
 satu-satunya pendidikan yang benar datang melalui
stimulasi kekuatan anak oleh tuntutan situasi sosial di
mana dia menemukan dirinya.
 proses pendidikan ini memiliki dua sisi - satu
psikologis dan sosiologis satu; dan bahwa baik dapat
tunduk kepada yang lain atau diabaikan tanpa hasil
kejahatan berikut. Dari dua sisi tersebut, psikologis
dasar. Naluri anak sendiri dan kekuasaan memberikan
materi dan memberikan titik awal untuk semua
pendidikan.
 sisi psikologis dan sosial yang organik dan pendidikan
terkait yang tidak dapat dianggap sebagai kompromi
antara dua, atau superimposisi satu atas yang lain.
 guru tidak di sekolah untuk memaksakan ide-ide
tertentu atau untuk membentuk kebiasaan tertentu
dalam anak, tetapi ada sebagai anggota masyarakat
untuk memilih pengaruh yang akan mempengaruhi
anak dan untuk membantu dia dalam benar
menanggapi pengaruh ini.
 guru terlibat, tidak hanya dalam pelatihan individu,
tetapi dalam formasi dari kehidupan sosial yang tepat.
"diadaptasi dari School Journal vol. 54 (Januari 1897),
hlm. 77-80
William
Kilpatrick mengajarkan metode proyek, di mana
Kilpatrick
kepentingan anak harus berada di pusat proyek. Belajar
1871 – 1965 tujuan menjadi motivasi. Ia dipengaruhi oleh John
Progresivisme Dewey.
William
Bagley
1874 – 1946
Essensialisme
Adolph
Hitler
1889 – 1945
Totalitarianisme
Pendidikan progresif enfeebles pendidikan, standar
santai yang dibuat di bawah standar pendidikan.
Esensialisme Bagley adalah teriakan untuk kembali ke
kurikulum penting. Menyadari kebutuhan untuk kembali
ke dasar-dasarnya pada 1930-an.
Hitler percaya bahwa pemerintah harus melibatkan
dirinya dalam semua aspek masyarakat, termasuk
kehidupan sehari-hari warganya. Sebuah pemerintahan
totaliter berusaha untuk mengontrol tidak hanya semua
masalah ekonomi dan politik, tapi sikap, nilai, dan
keyakinan penduduknya, menghapus perbedaan antara
negara dan masyarakat. Pendidikan, dari TK sampai
universitas, adalah tol untuk mengindoktrinasi kaum
muda. Anak laki-laki (berusia 10-18 tahun) dikirim ke
Hitler Youth, anak perempuan (berusia 10-18 tahun)
kepada Hitler Maidens. Buku pelajaran sekolah yang
ditulis ulang sepanjang garis Nazi (misalnya studi ras
21
ditekankan). Profesor University diharuskan memakai
swastika dan mengambil sumpah kesetiaan kepada
Hitler.
George S. Counts mengatakan bahwa sekolah-sekolah didorong
Counts
oleh kekuatan-kekuatan yang mengubah sisa tanggung
1889 – 1974 jawab sosial supaya sekolah mengarahkan pada
Social
perubahan. Sekolah tidak bisa direformasi tanpa usaha,
Reconstructi perjuangan dan pengorbanan. Counts percaya bahwa
on
pendidikan harus berusaha untuk mempromosikan
pemahaman yang mendalam dan paling menyeluruh di
dunia. Dia juga percaya bahwa fakta-fakta harus tidak
ditekan atau terganggu. Salah satu kutipan nya
mengatakan, "Semua pendidikan berisi besar unsur
pemaksaan, kasus yang tidak bisa dihindari dan
keberadaan dan evolusi masyarakat, pendidik memiliki
kewajiban profesional utama."
http://www.selu.edu/Academics/Faculty/nadams/educ69
2/Counts.html
Robert M.
Hutchins
1899 – 1977
Perenialism
e
Rencana Chicago Hutchins 'untuk sarjana mendorong
pendidikan liberal pada usia sebelumnya dan diukur
prestasi dengan pemeriksaan yang komprehensif, bukan
oleh kelas waktu disajikan. Dia memperkenalkan studi
tentang Buku Besar. Pada saat yang sama, Hutchins
berpendapat tentang tujuan pendidikan tinggi,
menyesalkan penekanan yang tidak semestinya pada
nonakademis kegiatan (Chicago ditinggalkan sepak bola
antar tahun 1939) dan mengkritik kecenderungan arah
spesialisasi dan vocationalism. Dia mengkritik overspesialisasi; berusaha untuk menyeimbangkan kurikulum
perguruan tinggi; dan untuk menjaga tradisi intelektual
Barat "seni kebebasan” bukan hanya diperlukan; mereka
yang tidak dapat dihindari. Tidak ada yang bisa
memutuskan sendiri apakah dia akan menjadi manusia.
Satu-satunya pertanyaan terbuka untuk dia adalah apakah
ia akan menjadi bodoh, berkembang satu, atau orang
yang telah berusaha untuk mencapai titik tertinggi ia
mampu mencapai. Pertanyaannya, singkatnya, adalah
apakah ia akan menjadi artis liberal yang buruk atau
yang baik. Para seniman liberal belajar membaca,
menulis, berbicara, mendengarkan, memahami, dan
berpikir. Dia belajar untuk rasa, ukuran, dan
memanipulasi materi, kuantitas, dan gerak untuk
memprediksi, memproduksi dan pertukaran. Kita hidup
dalam tradisi, apakah kita tahu atau tidak, jadi kita semua
seniman liberal, apakah kita tahu atau tidak. Kita semua
22
berlatih seni liberal, baik atau buruk, sepanjang waktu
setiap hari. Seperti kita harus memahami tradisi serta kita
bisa dalam rangka untuk memahami diri kita sendiri, jadi
kita harus seniman liberal sebaik yang kami bisa untuk
menjadi seperti sepenuhnya manusia seperti yang kita
bisa. "Robert Hutchins dari Tradisi Barat
Arthur
Bestor
1908 – 1994
Essensialis
me
Tren ke arah anti-intelektualisme adalah penyebab
penurunan standar Amerika pendidikan. Pendidikan AS
gagal untuk memenuhi kriteria kecerdasan disiplin.
Pendidikan seharusnya "suara pelatihan dalam cara-cara
dasar pemikiran diwakili oleh sejarah, ilmu pengetahuan,
matematika, sastra, bahasa, seni dan disiplin ilmu lainnya
berkembang dalam kursus dari pencarian manusia lama
mondar-mandir pengetahuan yang dapat digunakan,
pemahaman budaya, dan intelektual kekuasaan. "Bestor,
Pemulihan Belajar
Secara epistemologis, khazanah filsafat pemikiran Islam –
yang kemudian dikenal dengan tiga kluster ulumuddin – sebagaimana
yang diungkapkan oleh ‘Abid al-Jabiri sebagai berikut:
1. Epistemologi Bayani
Episteme
bayani
adalah
metode
berfikir
yang
mengedepankan pada otoritas (sulthah) teks, sehingga pemikiran
apa
pun
tidak
boleh
terlepas
dari
peran
teks
untuk
menginterpretasikannya. Pertumbuhan akal retoris (al-‘aql albayani) ini bermula dari budaya Arab itu endiri, di mana dalam
sejarah dan budaya Arab bahasa merupakan representasi dari status
sosial seseorang. Lebih-lebih ketika bahasa Arab digunakan
sebagai bahasa al-Qur’an (wahyu). Secara leksikal-etimologis, term
al-bayan mengandung beragam arti: a. Kesinambungan (al-
23
washlu); b. Keterpisahan (al-fashlu); c. Jelas dan terang (al-zuhur
wa al-wudhuh); d. Kemampuan membuat terang dan jelas. 25
2. Epistemologi ‘Irfani
Episteme ‘Irfani mendasarkan pengetahuan pada kasyf
atau tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Oleh karena
sumber dari episteme ini pada kasyf, maka pengetahuan diperoleh
berdasarkan analisis ruhani, di mana Tuhan langsunglah yang akan
melimpahkan pengetahuan tersebut pada orang yang hatinya suci.
Menurut Suhrawardi pengetahuan ruhani dapat diperoleh dengan
tiga tahapan, yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan. 26
3. Epistemologi Burhani
‘Abid al-Jabiri mengungkapkan bahwa pengetahuan
tidak mendasarkan diri pada teks, tidak juga pada pengalaman.
Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang
dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama bisa
diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sumber
pengetahuan burhani
adalah rasio, bukan teks atau intuisi. 27 Sementara espisteme burhani
menurut al-Jabiri pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (384322 SM) dengan sebutan yang terkenal dengan metode analitik
(tahlili). Burhani (demonstratif) secara sederhana dapat diartikan
sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran
proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (istintaji) dengan
M. ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Islami, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al‘Arabi, 1993), hlm. 16 – 18.
26
A. Khudlori Sholeh dalam M. ‘Abid al-Jabiri: Model Epistemology Islam:
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 241.
27
Muhajir, Filsafat ..., hlm. 16.
25
24
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang
telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi).28
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama
filsafat pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh
utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan
tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis,
dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.29
Tabel 4
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam
Aliran
Konservatif
Muhafidz)
Tokoh
(al- al-Ghazali, Nasiruddin
al-Thusi,
Ibnu
Jama’ah,
Sahnun,
Ibnu Hajar al-Haitami,
dan al-Qabisi
Religius-Rasional Ikhwan al-Shafa, al(al-Diniy
al- Farabi, Ibnu Sina, dan
‘Aqlaniy)
Ibnu Miskawaih
28
Pemikiran Filsafat
Pendidikan
Cenderung bersikap murni
keagamaan. Aliran ini
memaknai ilmu dengan
pengertian sempit. Menurut
al-Thusi, ilmu yang utama
hanyalah ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang,
yang jelas akan membawa
manfaat di akhirat kelak. 30
Menurut Ikhwan al-Shafa,
yang dimaksud dengan
ilmu adalah gambaran
tentang
sesuatu
yang
diketahui pada benak (jiwa)
orang yang mengetahui.
Proses pengajaran adalah
usaha
transformatif
terhadap kesiapan ajar agar
benar-benar menjadi riil,
atau dengan kata lain,
upaya
transformatif
A. Khudlori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 219.
29
Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha.
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 52.
30
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan
Praktis. (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 90.
25
terhadap jiwa pelajar yang
semula
berilmu
(mengetahui)
secara
potensial, agar menjadi
berilmu
(mengetahui)
secara riil-aktual. Dengan
demikian,
inti
proses
pendidikan adalah pada kiat
transformasi
potensipotensi
manusia
agar
menjadi
kemampuan
“psikomotorik”. 31
Ikhwan berpendapat bahwa
akal
sempurna
mengemanasikan
keutamaankeutamaan pada jiwa dan
dengan
emanasi
ini
eternalitas akal menjadi
penyebab keberadaan jiwa.
Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian
jiwa dan supremasi akal
menjadi penyebab kesempurnaan
jiwa.32
Menurut Ikhwan, jiwa
berada pada posisi tengah
antara dunia fisik-materiil
dan dunia akal. Hal inilah
yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh
laju
“linier-progresif”
melalui tiga cara, yaitu: 1)
Dengan jalan indera, jiwa
dapat mengetahui sesuatu
yang lebih rendah dari
substansi
dirinya;
2)
Dengan jalan
burhan
(penalaran-pembuktian
logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih
tinggi darinya; dan 3)
Dengan
perenungan
31
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002), hlm. 78.
32
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga ..., hlm. 86.
26
Pragmatis
Dzarai’iy)
rasional,
jiwa
dapat
mengetahui
substansi
dirinya. 33
ilmu pengetahuan dan
pembelajaran adalah tabi’i
(pembawaan)
manusia
karena adanya kesanggupan
ber-fikir.34
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
berdasarkan
tujuan
fungsionalnya, yaitu: 1)
Ilmu-ilmu yang bernilai
instrinsik. Misal: ilmu-ilmu
keagamaan, Ontologi dan
Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu
yang bernilai ekstrinsikinstrumental bagi ilmu
instrinsik. Misal: kebahasaAraban
bagi
ilmu syar’iy, dan
logika
bagi ilmu filsafat.35
(al- Ibnu Khaldun
E. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Aliran
filsafat
pendidikan
Barat
di
antaranya:
futurisme,
rekonstruksionisme, humanisme, progresivisme, perrenialisme,
behaviorisme, dan eksistensionisme.
2. Aliran filsafat pendidikan Islam di antaranya: konservatif (alMuhafidz), religius-rasional (al-Diny al-‘Aqlaniy) dan pragmatis
(al-Dzarai’iy).
33
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga ..., hlm. 87.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris.
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), hlm. 125.
35
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga ..., hlm. 105.
34
27
DAFTAR PUSTAKA
A. Khudlori Sholeh dalam M. ‘Abid al-Jabiri: Model Epistemology Islam:
Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.
A. Khudlori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris.
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008.
Annick M. Brennen, Course Work Philosophy of Education, Northern
Carribean University, 1999.
Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan
Islam:
Perspektif
Sosiologis-Filosofis, karya
Muhammad Jawwad Ridha. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002.
C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, New York:
Routledge, t.t.
Christina E. Erneling, Towards Discursive Education (Philosophy,
Technology and Modern Education, New York: Cambridge
University Press, 2010.
Jalaludin dan Usman Said, Falsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali,
1994.
Jalaludin, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media, 1997.
Jean Marrapodi, Educational Philosophies and Change,
University, September 2003.
Capella
Kamsul Abraha, Epistemologi dan Paradigma Keterpaduan Iptek dan
Islam dalam Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah dalam
Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum; Upaya
Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Suka
Press, 2003.
28
M. ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Islami, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi, 1993.
McGraw Jordan, 2008, Philosophy of Education, Kerrypress: McGraw
Hill.
Muhajir, Filsafat Pendidikan Islam Syi’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis
dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis. Terj. Mahmud Arif. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002.
Samson O. Gunga, Philosophie of Education, African Virtual University.
Theodore Bremeld, 1999,
Philosophies of Education in Culture
Perspektive. 4th edition. New York: The Oryden Press.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: ar-Ruzz Media,
2011.
29
Download