Peta Filsafat Pendidikan Barat dan Islam Oleh: Muhammad Edy Waluyo, M.S.I. dan Supiah, M.Pd Abstrak Titik pembeda antara filsafat pendidikan Barat dan Islam sesungguhnya berada pada asumsi terhadap sakralitas sumber pengetahuan. Ketika filsafat pendidikan Barat lebih mengutamakan rasionalitas, filsafat pendidikan Islam cenderung pada religiusitas. Aliran filsafat pendidikan Barat di antaranya: futurisme, rekonstruksionisme, humanisme, progresivisme, perrenialisme, behaviorisme, dan eksistensionisme. Aliran filsafat pendidikan Islam di antaranya: konservatif (al-Muhafidz), religius-rasional (al-Diny al‘Aqlaniy) dan pragmatis (al-Dzarai’iy). Kata kunci: Filsafat pendidikan Barat dan Islam, rasionalitas, religious Abstrak The point of distinction between Western and Islamic educational philosophy is actually on the assumption of the source of knowledge. When Western educational philosophy prioritizes rationality, Islamic education philosophy tends to religiosity. The flow of Western educational philosophy includes: futurism, reconstructionism, humanism, progressivism, perennialism, behaviorism, and existentialism. The flow of Islamic education philosophy include: conservative (al-Muhafidz), religious-rational (alDiny al-'Aqlaniy) and pragmatic (al-Dzarai'iy). Keywords: Western and Islamic education philosophy, rationality, religious 1 A. Pendahuluan Filsafat adalah pemikiran rasional tentang semua isu-isu yang mempengaruhi kehidupan manusia. Keyakinan dan pendapat tertentu berdasarkan ide-ide penting seperti tujuan hidup, tujuan pendidikan, kebutuhan untuk agama, jika ada, dan nasib. Keyakinan tersebut mengontrol dan membuat pola dalam hidup dan upaya untuk memahami asumsi di mana mereka didasarkan pada pemikiran filsafat. Ketika melakukan analisis dan mempertanyakan keyakinan dan dasar dari sistem di mana mereka berakar, itulah yang akan menghasilkan filosofi pribadi anda. Ada kemungkinan bahwa anda telah melakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar. 1 Sebagai titik pembeda antara filsafat pendidikan Barat dan Islam sesungguhnya berada pada asumsi terhadap sakralitas sumber pengetahuan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh C.A. Qadir bahwa, “sumber pengetahuan adalah sakral, tujuan dan obyek pengetahuan adalah tidak lain dari realisasi sakral. Semua filsuf muslim pendidikan seperti Ibnu Miskawaih (932-1030), al-Ghazali (1059-1111), Ibnu Khaldun (1332-1406), Shah Waliullah (1703 - 1763) dan Allama Muhammad Iqbal telah menegaskan dengan satu suara bahwa air mancur kepala semua pengetahuan adalah suci dan ilahi.”2 Secara historis masalah pembelajaran dan perubahan kognitif dan dilema produktivitas dan kerangka kerja telah menjadi bagian dari epistemologi, atau teori pengetahuan. Dua tradisi utama rasionalisme dan empirisme memberikan ide-ide yang berbeda tentang bagaimana untuk menyelesaikan dilema, namun pada dasarnya sama dalam asumsi bahwa belajar adalah soal re-presentasi. Seperti dibahas di bawah, mereka juga berbagi asumsi universalisme dan individualisme 1 Samson O. Gunga, Philosophie of Education, African Virtual University, p. 5. C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, (New York: Routledge, t.t.), p. 5. 2 2 dalam mendekati fenomena mental dan perubahan kognitif. 3 Filsafat pendidikan sendiri – menurut al-Syaibany – adalah aktivitas pikiran yang teratur ydang menjadikan tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya bahwa filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumatmaklumat yang diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat, filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan.4 Dalam tradisi rasionalis, akuisisi pengetahuan ditandai dalam hal yang melekat atau inbuilt (bawaan) alasan dan ide-ide dari orangorang individu, yang meskipun dipicu oleh pengalaman, namun tidak berubah sebagai hasil dari pengalaman. Klaim yang baru pengetahuan muncul dengan deduksi sebagai akibat dari kombinasi baru adalah akun produktivitas yang diberikan oleh pendekatan ini. Pengalaman memainkan peran, tetapi tidak mengubah blok bangunan dasar pengetahuan. Contoh teori rasionalis pertumbuhan kognitif termasuk Plato akun dalam dialog Meno, pematangan teori seperti Arnold Gesell itu, teori Noam Chomsky akuisisi tata bahasa, dan Teori Fodor dari bahasa bawaan pemikiran. 5 Isu perdebatan yang mengangkat topik siapa mempengaruhi siapa dalam khazanah berfilsafat dalam peradaban manusia khususnya di ranah pendidikan menurut hemat penulis tidaklah terlalu penting. Sebagai kerja intelektual, para filusuf melakukan kontestasi kritis terhadap isu-isu pendidikan pada masanya, yang diharapkan dapat membangun peradaban yang lebih gemilang. Walaupun demikian patut diakui bahwa tradisi Barat dapat maju dan berkembang setelah berinteraksi intensif dengan kaum muslimin. Mereka belajar di 3 Christina E. Erneling, Towards Discursive Education (Philosophy, Technology and Modern Education, (New York: Cambridge University Press, 2010), p. 22. 4 Jalaludin, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media, 1997), hlm. 13. 5 Christina E. Erneling, Towards ..., p. 2. 3 universitas-universitas Islam, di antaranya ke Cordoba dan Toledo di Spanyol untuk belajar dan menyalin buku-buku karya ilmuwan muslim. Di antara mereka terdapat nama-nama seperti Herman di Pincang (1013 – 1054 M), biarawan Reichenau di Swiss yang menulis buku Matematika dengan pengaruh kuat para ilmuwan Muslim; Adelard of Bath (1090-1150 M) dari Inggris yang menyamar sebagi orang Islam dan mengikuti kuliah-kuliah di Cordoba, ia menulis Kompendium untuk Sains Ilmuwan Muslim; Gerardo de Cremona (1114 – 1187 M) yang menyalin dan menerjemahkan sekitar 90 karyakarya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa Latin, termasuk karya-karya al-Farabi, Jabir Ibn Hayyan dan Ibn Haytsam. Prof. Fuad Sezgin dari Universitas Frankfurt, penulis buku Geschichte des Arabischen Schrifttums (20 jilid), menemukan bahwa tidak sedikit karya ilmuwan Muslim yang dibajak dengan menyalinnya dan membubuhkan nama penyalin itu sendiri sebagai ganti nama penulis aslinya. 6 Tulisan ini, paling tidak merupakan muqaddimah untuk melakukan pemetaan sederhana dari geneologis, aliran-aliran, tokoh dan pemikiran tokoh-tokoh filsafat pendidikan Barat dan Timur (yang dalam hal ini difokuskan pada dunia Islam). B. Posisi Filsafat dalam Pendidikan Banyak orang berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah aspek yang paling penting pada pelatihan guru. Sementara yang lain mengklaim bahwa filsafat sangat jauh dari praktek di dalam kelas dan bahkan menyia-nyiakan waktu.7 Lebih jelasnya, implikasi dan 6 Kamsul Abraha, Epistemologi dan Paradigma Keterpaduan Iptek dan Islam dalam Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah dalam Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum; Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 95. 7 McGraw Jordan, 2008, Philosophy of Education, (Kerrypress: McGraw Hill), p. 1. 4 konsekwensi filsafat dalam pendidikan digambarkan sebagaimana gambar berikut ini: Gambar 1 Implikasi Filsafat dalam Pendidikan Experience Ideas Idealism Theory before practice Logical thingking Liberal education Empiricism Technicalrasional curriculum Romanticism Childcentered education Development Teleology Curriculum Development design theory Terkait dengan perkembangan pemikiran pendidikan Islam – sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdurrahman Assegaf mengemukakan bahwa periodisasinya adalah sebagai berikut: 1. Periode pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal kemunculan Islam sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw. sampai akhir masa Umayyah; 2. Periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa ‘Abbasiyah, dan 3. Periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah jatuhnya kota Baghdad oleh tentara Tartar pada 1258 M; serta 4. Periode pembaharuan yang mulai berkembang secara intentsif sejak abad ke 18-M.8 Untuk lebih jelasnya, periodisasi perkembangan pemikiran pendidikan Islam dan karakteristik pemikiran pendidikan di masanya dirangkum dalam tabel berikut: 8 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 4. 5 Tabel 1 Periodisasi Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Periode Pertumbuhan Tokoh Nabi Muhammad Saw dan khulafa’ arRasyidun: 1. Abu Bakar (632634 M). 2. ‘Umar bin alKhattab (634 – 644 M) 3. Usman bin Affan (644 – 656 M). 4. Ali bin Abi Thalib (656 – 661 M). 5. Mu’awiyah (661 Kejayaan Al-Kindi, Ibn Sina (370 – 428 H), Ibn Miskawaih (330 – 421 H), al-Khazin, alGhazali (1058 – 1111 M), Ibn Qutaibah (213 – 276 H), Ibnu Sahnun (lahir 202 H), Ibnu Masarroh (269 – 319 H). 9 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat..., hlm. 4. 6 Karakter Pendidikan Islam berpusat pada sumber al-Qur’an dan hadis secara murni. Ketika Nabi Muhammad masih hidup, praktik pendidikan Islam mengikuti tuntunan firman Allah SWT dan teladan beliau. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk sikap takwa serta penanaman nilai akhlak mulia. Belum ada konsepsi dan pemikiran yang tertulis atau disiplin ilmu secara spesifik, semuanya bertumpu pada pribadi nabi Muhammad Saw.9 Pada masa Mu’awiyah pemikiran Islam cenderung pada masalah teologis. Karya Ibn Miskawaih dalam pendidikan di antaranya Tahdzib alAkhlak. Menurutnya, syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, karena rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan Hadis. Mendidik haruslah berdasarkan psikologi. Orientasi pendidikan adalah pada anak (child centered). Tujuan pendidikan adalah pencapaian akhlak mulia dan meraih kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup. Fungsi pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia dan merupakan upaya sosialisasi individu. Metode pendidikan: 1. Alami (tabi’iy), 2. Metode sanksi yang berjenjang mulai dari ancaman, hardikan, hukuman sampai pukulan. Namun beliau mengutamakan metode nasihat atau tuntunan, sanjungan, dan pujian dari pada jalan kekerasan. 10 Al-Ghazali dengan karyakaryanya yang berkaitan dengan pendidikan di antaranya: Fatihat alKitab, Ayyuhal Walad dan Ihya ‘Ulumuddin. AlGhazali menekankan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak al-karimah dan taqarrub ilallah. Metode: latihan, pembiasaan, hadiah,pujian, permainan dan istirahat. Masalah etika guru-murid, beliau membatasi kode etik guru. Menurutnya, syarat menjadi seorang guru adalah mampu bersikap belas kasih, senantiasa memberi nasihat, melarang murid berbuat jahat, mengajar sesuai dengan daya kemampuan siswa, dan seorang guru haruslah mengamalkan ilmunya.11 Pendidikan maju karena dukungan dana pemerintah 10 11 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat ..., hlm. 7. Abd. Rachman Assegaf, Filsafat ..., hlm. 8. 7 Kemunduran Al-Mutawakkil (847 – 861 H) Pembaruan Rif’at Badawi alThahtawi, Syed Jamaludin alAfghani, Muhammad Abduh Sementara di Indonesia: KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dan iklim ilmiah. Lembaga pendidikan Islam yang monumental terbentuk pada masa khalifah Harun al-Rasyid (170 – 193 H atau 786-809 M), Bait al-Hikmah. Di dalam lembaga ini diajarkan ilmuilmu agama Islam, juga ilmu-ilmu hikmah, yaitu ilmu alam, kima, falak. Munculnya fanatisme asy’ariyah. Aliran Mu’tazilah disingkirkan sehingga efeknya tidak menguntungkan pengembangan kreativitas intelektualitas Islam. Rif’at melakukan pembaharuan di bidang ekonomi, politik, teknologi dan posisi perempuan. Al-Afghani melalui gerakan pan-Islamisme atau ide persatuan Islam. Abduh menempuh jalur pendidikan sebagai sarana pembaruan. Ahmad Dahlan: Dakwah, sosial dan pendidikan sabagai respon kolonialisme Belanda. KH. Hasyim Asy’ari dengan pesantren Tebuireng sebagai counter institutions bagi sekolahsekolah bentukan Belanda.12 Filsafat pendidikan penting karena menjelaskan bagaimana munculnya teori-teori pendidikan. Dengan mempelajari filsafat pendidikan, kita dapat melihat mengapa dan bagaimana teori-teori 12 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat ..., hlm. 18. 8 pendidikan melengkapi atau bahkan berlawanan satu sama lain. Sebuah pemahaman tentang filsafat sangat berguna untuk membimbing dan mengkritisi pengembangan teori pendidikan. Pengetahuan filsafat dapat menyediakan sebuah pembenaran terhadap metodologi-metodologi mengajar, menampakkan dan menantang asumsi-asumsi tentang dunia mengajar dan menyediakan sebuah bahasa untuk debat pendidikan. 13 Filsafat pendidikan adalah filsafat diterapkan pada pendidikan sebagai area spesifik usaha manusia. Ini melibatkan membawa kepada refleksi kritis yang mencirikan filsafat pendidikan secara umum. Filsafat pendidikan tidak berada dalam ruang hampa, tetapi dalam konteks sosial dan historis tertentu.14 Pendidikan Islam, tidak lepas dari visi yang hendak dicapai dalam prosesnya, sementara berbicara mengenai arah pendidikan berarti berbicara tentang filsafat pendidikan, yaitu filsafat pendidikan Islam. Knigh, sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, menyebutkan urgensi dari mempelajari filsafat pendidikan, yaitu: Pertama, membantu para pendidik untuk mengetahui persoalanpersoalan mendasar dalam pendidikan. Kedua, sebagai bahan evaluasi terhadap persoalan-persoalan mendasar tersebut. Ketiga, membekali kepada para pendidik untuk berfikir secara klarifikatif tentang tujuan hidup dan pendidikan. Keempat, memberikan arahan tentang tujuan pendidikan dikaitkan dengan tuntuan zaman.15 Adapun tata kerja filsafat dalam ranah pendidikan digambarkan sebagaimana bagan berikut: Bagan 1 13 McGraw Jordan, 2008, Philosophy ..., p. 1. Annick M. Brennen, Course Work Philosophy of Education, (Northern Carribean University, 1999), p. 5. 15 Muhajir, Filsafat Pendidikan Islam Syi’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 12. Lihat juga, Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: alRuzz Media, 2006), hlm. 49 - 50. 14 9 Tata Kerja Filsafat dalam Ranah Pendidikan16 C. Fungsi Filsafat Pendidikan Suharto menyatakan bahwa pendidikan memiliki empat fungsi, yaitu fungsi spekulatif, normatif, kritis, dan teoritis. Fungsi spekulatif menekankan bahwa filsafat pendidikan berusaha memahami berbagai persoalan pendidikan, merumuskannya dan mencarikan hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan. Fungsi normatif fislafat pendidikan adalah sebagai penentu arah dan pedoman pendidikan. Fungsi normatif tersebut meliputi tujuan pendidikan apa yang akan ditentukan, manusia model apa yang ingin kritis dicetak dan norma-norma atau nilai-nilai apa yang hendak dibina. Filsafat pendidikan melakukan fungsi kritis artinya memberi dasar bagi pengertian kritis-rasional dalam mempertimbangkan dan menafsirkan data-data ilmiah pendidikan. Filsafat pendidikan juga berfungsi teoretis, karena senantiasa memberikan ide, konsepsi, analisis, dan 16 Samson A. Gunga, Philosophie ..., p. 7. 10 berbagai teori bagi upaya pelaksanaan pendidikan. Filsafat pendidikan menentukan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek pendidikan. 17 Theodore Bremeld membagi fungsi-fungsi filsafat pendidikan berdasarkan teori-teori sebagi berikut: 1. Progresivisme Teori progresivisme dibangun berdasarkan pada konsep pendidikan yang pada hakekatnya progresif. Pendidikan bukan hanya menyampaikan pengetahuan, melainkan yang lebih penting adalah melatih kemampuan berfikir rasional. Berfikir adalah penerapan cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisis, pertimbangan, dan memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia. Tujuan pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terusmenerus, yaitu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali seuai dengan tuntutan lingkungan. 18 2. Esensialisme Teori esensialisme dibangun berdasarkan pada konsep pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yaitu yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu. Proses pendidikan merupakan perantara atau pembawa nilai-nilai budaya yang dibawa masuk kke jiwa anak didik.19 3. Perenialisme Teori perenialisme dibangun pada konsep agar pendidikan kembali pada jiwa pencerahan yang menguasai abad pertengahan. Jiwa pencerahan abad pertengahan yang rasional telah menuntun 17 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 46. 18 Theodore Bremeld, 1999, Philosophies of Education in Culture Perspektive. 4th edition. New York: The Oryden Press, p. 91. 19 Theodore Bremeld, 1999, Philosophies ..., p. 204. 11 manusia hingga dapat mengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional untuk men emukan evidensi-evidensi diri sendiri. 20 4. Rekonstruksianisme Teori rekonstruksianisme dibangun atas konsep dasar agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat modern sebagai akibat pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyesuaian seperti ini akan membuat anak didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas.21 Dalam konteks filsafat pendidikan Islam secara makro, maka filsafat berperan sebagai: 1. Membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan. 2. Memberi dasar penilaian pendidikan secara menyeluruh. 3. Memberi dasar bagi pengkajian pendidikan secara umum dan khusus. 4. Memberi sandaran intelektual, bimbingan bagi pelaksanaan pendidikan untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam bidang pendidikan sebagai jawaban dan setiap permasalahan yang timbul dalam bidang pendidikan. 20 21 Theodore Bremeld, 1999, Philosophies ..., p. 228. Theodore Bremeld, 1999, Philosophies ..., p. 296. 12 5. Memberikan pendalaman pemikiran tentang pendidikan dalam hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan berbagai aspek kehidupan lainnya. 22 D. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan dan Penerapannya Peta aliran-aliran filsafat pendidikan dan nilai pendidikannya dapat disimak pada tabel berikut ini: Tabel 2 Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Barat dan Nilai-nilai Pendidikannya23 Aliran Filsafat Futurisme Rekonstruksionisme Nilai Futurisme berfokus pada reformasi sosial dan politik. Futuris menyerukan pendidik untuk menghasilkan gambar alternatif berturutturut masa depan dengan: menciptakan awereness dari ketidakadilan, kontradiksi, dan masalah dalam tatanan dunia saat ini dan berfikir cara positif untuk menangani mereka; menggunakan mata pelajaran kurikuler seperti ekonomi, psikologi, sosiologi dan ilmu politik untuk menciptakan kesadaran. Aplikasi Reconstructionism pendidikan adalah dua kali lipat: 1. Identifikasi area masalah utama yang memicu kontroversi, konflik dan inkonsistensi dalam bidang studi seperti ekonomi, sosiologi, ilmu politik, psikologi, dan antropologi; 2. Penggunaan metodologi, seperti memainkan peran, simulasi dan model yurisprudensi untuk menciptakan kesadaran akan masalah dan keterbukaan terhadap solusi. 22 Jalaludin dan Usman Said, Falsafat Pendidikan Islam, (Jakaarta: Rajawali, 1994), hlm. 18. 23 Annick M. Brennen, Course ... p. 6 – 8. 13 Humanisme Progresivisme Perenialisme Behaviorisme Humanisme telah membuat tiga kontribusi terhadap pendidikan, yaitu: 1. Kelas terbuka, 2. Sekolah gratis, 3. Sekolah tanpa kegagalan 1. Proses pendidikan menemukan asal-usul dan tujuan pada anak. 2. Murid aktif daripada pasif. 3. Peran guru adalah bahwa dari penasihat, panduan, sesama traveler, bukan seorang direktur otoriter dan kelas. 4. Sekolah adalah mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas. Belajar harus diintegrasikan. 5. Kegiatan Kelas harus fokus pada pemecahan masalah, bukan pada metode buatan dari mata pelajaran. 6. Suasana sosial sekolah harus kooperatif dan demokratis Perrenialits telah diberikan kepada pendidikan enam prinsip dasar di mana mereka beroperasi. 1 Manusia adalah hewan rasional sehingga individu mengembangkan pikiran mereka, mereka dapat menggunakan alasan untuk mengontrol selera, nafsu, dan tindakan. 2. Pengetahuan adalah univerally konsisten, oleh karena itu ada materi dasar tertentu yang harus diajarkan kepada semua orang. 3. Subyek bukan anak, harus berdiri di tengah-tengah usaha pendidikan. 4. Karyakarya besar dari masa lalu adalah repositori pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu dan relevan di zaman kita. 5. Sifat manusia adalah konsisten, sehingga pendidikan harus sama untuk semua orang. 6. Pengalaman pendidikan merupakan persiapan untuk hidup, bukan situasi kehidupan nyata. Para penganut paham behaviorisme menyumbangkan empat prinsip dasar pendidikan: 1. Manusia adalah hewan tingkat tinggi yang belajar sama seperti hewan-hewan yang lain. Para ilmuwan dapat memperhalus teknik mengajar sepanjang eksperimen dengan hewan-hewan. 2. Pendidikan adalah sebuah proses keahlian teknik lingkungan. Orang diprogram untuk melakukan pada beberapa cara tertentu dengan lingkungan mereka. 14 Esensialisme Eksistensialisme Lingkungan dapat saja dimodifikasi dengan memanipulasi penguatan lingkungan. 3. Peran guru adalah untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif yang akan menyediakan penguatan positif. 4. Efisiensi, ekonomi, ketelitian dan objektivitas adalah nilai central yang perlu diperhatikan. Penganut Esensialisme menyumbangkan tiga prinsip besar untuk pendidikan: 1. Tugas sekolah adalah mengajar pengetahuan dasar. Mata pelajaran dasar mesti dipelajari pada sekolah dasar dan sekolah menengah untuk mengeliminir “kebutaan” pengetahuan pada tingkat perguruan tinggi. 2. Belajar adalah kerja keras dan menuntut kedisiplinan. Menghafal, latihan dan pemecahan masalah merupakan upaya membantu perkembangan belajar. 3. Guru merupakan fokus dari aktivitas kelas. Dia yang menentukan apa yang harusnya dipelajari siswa dan bertanggung jawab untuk menyajikan mata pelajaran dalam sebuah rangkaian logis dan memupuk kedisiplinan siswa untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif. Penganut Eksistensialisme memfokuskan diri untuk menolong anak merealisasikan dirinya secara lebih utuh berdasarkan proposisi berikut ini: 1. Saya adalah agen terpilih – tidak dapat menghindar untuk memilih jalan saya sepanjang hidup. 2. Saya adalah agen yang bebas – bebas untuk menentukan tujuan-tujuan hidup sendiri. 3. Saya adalah seorang agen yang bertanggung jawab – bertanggung jawab secara personal pada pilihan bebas saya sebagaimana yang mereka tampakkan pada bagaimana seharusnya saya menjalani hidup. 15 E. Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan dan Pemikirannya Tabel 3 Filosof dan Pemikiran Filsafat Pendidikannya24 Filosof Pemikiran Filsafat Pendidikannya Socrates Diajarkan peserta didik dengan mengajukan pertanyaan 469 – 369 (metode Sokrates atau dialektika). Dia sering bersikeras SM bahwa ia benar-benar tahu apa-apa, tapi keterampilan pertanyaannya me-mungkinkan orang lain untuk belajar dengan pemahaman sendiri. Plato ... Ilmu-ilmu eksakta - aritmatika, pesawat dan geometri 428 – 348 solid, astronomi, dan harmonik - pertama akan SM dipelajari selama sepuluh tahun untuk membiasakan pikiran dengan hubungan yang hanya bisa ditangkap Idealism oleh pikiran. Lima tahun kemudian akan diberikan kepada penelitian masih lebih parah dari 'Dialektika'. Dialektika adalah seni percakapan, pertanyaan dan jawaban; dan menurut Plato, keterampilan dialektis adalah kemampuan untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan tentang esensi dari hal. Dialektis menggantikan hipotesis dengan pengetahuan aman, dan tujuannya adalah untuk tanah semua ilmu pengetahuan, semua pengetahuan, pada beberapa 'pertama prinsip tanpa hipotesis'. Ia melihat pendidikan sebagai kunci untuk menciptakan dan mempertahankan Republik nya. Dia menganjurkan metode ekstrim: memindahkan anakanak dari perawatan ibu mereka dan membesarkan mereka sebagai bangsal negara, dengan hati-hati yang diambil untuk membedakan anak-anak sesuai dengan berbagai kasta, tertinggi menerima pendidikan yang paling, sehingga mereka dapat bertindak sebagai wali dari kota dan perawatan untuk yang kurang mampu. Pendidikan akan holistik, termasuk fakta-fakta, keterampilan, disiplin fisik, dan musik kaku disensor dan seni. Untuk Plato, individu yang terbaik dilayani dengan menjadi subordinasi masyarakat yang adil. 24 Jean Marrapodi, Educational Philosophies and Change, (Capella University, September 2003), p. 1 - 2. 16 Aristoteles 384 – 322 SM Realisme Thomas Aquinas 1227 – 1274 Theisme Aristoteles percaya pada pengamatan langsung dari alam, dan ilmu pengetahuan ia mengajarkan teori yang harus mengikuti fakta. Ia menganggap filsafat sebagai cerdas dari jelas, tak berubah pertama prinsip-prinsip yang menjadi dasar dari semua pengetahuan. Logika adalah untuk Aristoteles yang alat yang diperlukan dari setiap pertanyaan, dan silogisme adalah urutan bahwa semua pemikiran logis berikut. Dia memperkenalkan konsep kategori ke dalam logika dan mengajarkan bahwa realitas bisa diklasifikasikan menurut beberapa kategorisubstansi (kategori utama), kualitas, kuantitas, relasi, penentuan dalam ruang dan waktu, tindakan, gairah atau pasif, posisi, dan kondisi. Aristoteles juga mengajarkan bahwa pengetahuan tentang suatu hal, di luar klasifikasi dan deskripsi, membutuhkan penjelasan kausalitas, atau mengapa. Ia mengemukakan empat penyebab atau prinsip-prinsip Penjelasan: penyebab material (substansi yang karya itu dibuat); formal menyebabkan (desain); penyebab efisien (pembuat atau pembangun); dan penyebab akhir (yang tujuan atau fungsi). Dalam pemikiran modern penyebab efisien umumnya dianggap sebagai penjelasan sentral dari suatu hal, tapi untuk Aristoteles penyebab akhir memiliki keutamaan. Dia menggabungkan ide-ide Yunani ke dalam agama Kristen dengan menunjukkan pemikiran Aristoteles menjadi sejalan dengan doktrin gereja. Dalam karyanya sistem, akal dan iman (wahyu) berupa dua terpisah namun harmonis alam yang melengkapi kebenaran daripada menentang satu sama lain. John Locke Locke percaya bahwa saat lahir, pikiran 1630 – 1704 manusia adalah semacam batu tulis kosong pengalaman menulis. Dalam Buku II Liberalisme yang Locke mengklaim bahwa ide-ide adalah bahan pengetahuan dan semua ide berasal dari pengalaman. Istilah 'ide,' Locke mengatakan "... singkatan dari apapun adalah Obyek pemahaman, ketika seorang pria berpikir. "(Essay I, 1, 8, p. 47) Pengalaman adalah dua jenis, sensasi dan refleksi. Salah satunya - sensasi - memberitahu kita tentang hal-hal dan proses di dunia luar. Yang lainnya - refleksi - memberitahu kita tentang operasi pikiran kita sendiri. Refleksi adalah semacam perasaan internal yang membuat 17 kita sadar akan proses mental kita terlibat masuk Beberapa ide-ide yang kita dapatkan hanya dari sensasi, beberapa hanya dari refleksi dan beberapa dari keduanya. Kita tidak bisa menciptakan ide-ide sederhana, kita hanya bisa mendapatkannya dari pengalaman. Dalam hal ini, pikiran adalah pasif. Setelah pikiran memiliki toko ide sederhana, dapat menggabungkan mereka ke dalam ide-ide yang kompleks dari berbagai jenis. Dalam hal ini pikiran aktif. Dengan demikian, Locke berlangganan ke versi aksioma empiris bahwa tidak ada dalam kecerdasan yang sebelumnya tidak di indra - di mana indra diperluas untuk mencakup refleksi. Uzgalis, William, "John Locke", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Edisi Musim Panas 2003), Edward N. Zalta (ed.) URL = http://plato.stanford. edu/archives/sum2003/entries/locke/. Jean Jacques Rousseau 1712 – 1778 Naturalism e Rousseau menyatakan bahwa ada satu proses perkembangan umum untuk semua manusia. Ini adalah intrinsik, proses alami, yang manifestasi perilaku primer adalah rasa ingin tahu. Seperti Rousseau menulis dalam Emilenya, semua anak sempurna dirancang organisme, siap untuk belajar dari lingkungan mereka sehingga dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang saleh. Tapi, karena memfitnah tersebut pengaruh masyarakat korup, mereka sering gagal melakukannya. Rousseau menganjurkan metode pendidikan yang terdiri dari menghilangkan anak dari masyarakat (misalnya, ke negara rumah) dan bergantian penyejuk dia melalui perubahan lingkungan dan pengaturan perangkap dan teka-teki baginya untuk memecahkan atau mengatasi. Rousseau tidak biasa bahwa ia mengakui dan membahas potensi masalah legimation untuk mengajar. Edmund Burke 1729 – 1797 Conservatis me Johann Heinrich Pestalozzi 1746 - 1827 Pendidikan adalah lembaga untuk mengirimkan warisan budaya untuk kaum muda dan melestarikannya melalui generasi. Ada kekuatan dalam tradisi budaya, dan mereka mewakili kebijaksanaan umat manusia. Alih-alih berurusan dengan kata-kata, ia berpendapat, anak-anak harus belajar melalui kegiatan dan melalui hal-hal. Mereka harus bebas untuk mengejar kepentingan mereka sendiri dan menarik mereka sendiri kesimpulan (Darling 1994: 18). "Saya berharap untuk merebut pendidikan dari urutan 18 usang dari loyo hacks mengajar tua serta dari orde baruketinggalan jaman yang murah, trik mengajar buatan, dan menyerahkannya ke kekuatan abadi alam itu sendiri, dengan cahaya yang Allah telah nyalakan dan tetap hidup dalam hati ayah dan ibu, untuk kepentingan orang tua yang menginginkan anak-anak mereka tumbuh dikasihi oleh Allah dan manusia. " (Pestalozzi dikutip dalam Silber 1965: 134) Dia menempatkan penekanan khusus pada spontanitas dan aktivitas individu. Anak-anak tidak boleh diberikan jawaban yang siap pakai tetapi harus sampai pada jawaban sendiri. Untuk melakukan hal ini mereka sendiri kekuatan melihat, menilai dan penalaran harus dibudidayakan, aktivitas diri mereka mendorong Tujuannya adalah untuk mendidik seluruh anak - pendidikan intelektual hanya bagian dari rencana yang lebih luas. Dia tampak untuk menye-imbangkan, atau tetap dalam kesetimbangan, tiga elemen - tangan, jantung dan kepala. Pestalozzi percaya bahwa pikiran dimulai dengan sensasi dan pengajaran yang harus menggunakan indra. Memegang bahwa anak-anak harus mempelajari bendabenda di lingkungan alami mereka, Pestalozzi mengembangkan apa yang disebut "objek pelajaran" yang melibatkan latihan dalam bentuk pembelajaran, nomor, dan bahasa. Murid ditentukan dan ditelusuri bentuk obyek, menghitung benda, dan nama mereka. Siswa berkembang dari pelajaran ini untuk latihan dalam menggambar, menulis, menambah, mengurangi, mengalikan, membagi, dan membaca. Http://www.infed.org/thinkers/et-pest.htm Robert Owen 1771 – 1849 Utopianism Dengan realisasi anak yang bekerja di pabrik, Owen berkampanye untuk "moral yang baru dunia "masyarakat yang didasarkan pada masyarakat kerjasama dan saling kesetaraan. Generalisasi harus dibuat jelas kepada siswa. Siswa harus memahami apa yang mereka baca. Dia percaya pendidikan harus menciptakan perubahan sosial. Johann Friedrich Herbart 1776 – 1841 Sistem Herbart tentang filsafat berasal dari analisis pengalaman. Sistem termasuk logika, metafisika, dan estetika sebagai koordinat elemen. Dia menolak semua konsep kemampuan mental yang terpisah, bukan mendalilkan bahwa semua fenomena mental hasil dari interaksi ide dasar. Herbart percaya bahwa metode 19 pendidikan dan sistem harus didasarkan pada psikologi dan etika: psikologi untuk memberikan yang diperlukan pengetahuan tentang pikiran dan etika yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan tujuan sosial pendidikan. Belajar berikut dari membangun urutan ideide penting untuk individual. Freidrich Froebel 1782 – 1852 Filosofi Froebel terhadap pendidikan didasarkan pada Idealisme. Dia percaya dalam memperkenalkan bermain sebagai sarana untuk melibatkan anak-anak dalam diri-kegiatan untuk tujuan eksternalisasi mereka sifat batin dan cara meniru dan mencoba berbagai peran orang dewasa. Dia percaya bahwa setiap manusia memiliki esensi spiritual dan bahwa setiap orang memiliki nilai spiritual dan martabat. ("Mekanisme spiritual) Seperti Idealis, ia juga percaya bahwa setiap anak memiliki dalamdia semua ia menjadi saat lahir, dan bahwa lingkungan pendidikan yang tepat adalah untuk mendorong anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Modelnya beristirahat pada empat ide dasar: kebebasan berekspresi diri, kreativitas, partisipasi sosial, dan motorik ekspresi. Ia membagi belajar menjadi hadiah dan pekerjaan. Sebuah hadiah adalah sebuah objek yang diberikan kepada seorang anak untuk bermain dengan - seperti bola - yang membantu anak untuk memahami konsep bentuk, dimensi, ukuran, dan hubungan mereka. The pekerjaan adalah barang-barang seperti cat dan tanah liat yang anak-anak bisa digunakan untuk membuat apa yang mereka inginkan. Melalui pekerjaan, anak externalized konsep yang ada dalam pikiran mereka. Karl Marx 1818 – 1883 Marxisme Marx berbicara sering eksploitasi satu kelas dengan yang lain. Dia juga membahas ekonomi perbedaan antara kelas. Pendidikan melanggeng-kan ketidakadilan antara kelas dan berlanjut dengan status quo. Perubahan politik terjadi ketika pemberontakan kelas dieksploitasi terhadap kelas kontrol. Dia merekomendasikan agar pemerintah mengambil alih peran kelas penguasa untuk menciptakan ekuitas antara kelas. Dia percaya pendidikan bisa mengubah masyarakat .. John Dewey Dewey, dalam My pedagogik Creed menulis 1859 – 1952 "Saya percaya bahwa: Pragmatisme semua hasil pendidikan dengan partisipasi individu 20 dalam sosial kesadaran perlombaan. satu-satunya pendidikan yang benar datang melalui stimulasi kekuatan anak oleh tuntutan situasi sosial di mana dia menemukan dirinya. proses pendidikan ini memiliki dua sisi - satu psikologis dan sosiologis satu; dan bahwa baik dapat tunduk kepada yang lain atau diabaikan tanpa hasil kejahatan berikut. Dari dua sisi tersebut, psikologis dasar. Naluri anak sendiri dan kekuasaan memberikan materi dan memberikan titik awal untuk semua pendidikan. sisi psikologis dan sosial yang organik dan pendidikan terkait yang tidak dapat dianggap sebagai kompromi antara dua, atau superimposisi satu atas yang lain. guru tidak di sekolah untuk memaksakan ide-ide tertentu atau untuk membentuk kebiasaan tertentu dalam anak, tetapi ada sebagai anggota masyarakat untuk memilih pengaruh yang akan mempengaruhi anak dan untuk membantu dia dalam benar menanggapi pengaruh ini. guru terlibat, tidak hanya dalam pelatihan individu, tetapi dalam formasi dari kehidupan sosial yang tepat. "diadaptasi dari School Journal vol. 54 (Januari 1897), hlm. 77-80 William Kilpatrick mengajarkan metode proyek, di mana Kilpatrick kepentingan anak harus berada di pusat proyek. Belajar 1871 – 1965 tujuan menjadi motivasi. Ia dipengaruhi oleh John Progresivisme Dewey. William Bagley 1874 – 1946 Essensialisme Adolph Hitler 1889 – 1945 Totalitarianisme Pendidikan progresif enfeebles pendidikan, standar santai yang dibuat di bawah standar pendidikan. Esensialisme Bagley adalah teriakan untuk kembali ke kurikulum penting. Menyadari kebutuhan untuk kembali ke dasar-dasarnya pada 1930-an. Hitler percaya bahwa pemerintah harus melibatkan dirinya dalam semua aspek masyarakat, termasuk kehidupan sehari-hari warganya. Sebuah pemerintahan totaliter berusaha untuk mengontrol tidak hanya semua masalah ekonomi dan politik, tapi sikap, nilai, dan keyakinan penduduknya, menghapus perbedaan antara negara dan masyarakat. Pendidikan, dari TK sampai universitas, adalah tol untuk mengindoktrinasi kaum muda. Anak laki-laki (berusia 10-18 tahun) dikirim ke Hitler Youth, anak perempuan (berusia 10-18 tahun) kepada Hitler Maidens. Buku pelajaran sekolah yang ditulis ulang sepanjang garis Nazi (misalnya studi ras 21 ditekankan). Profesor University diharuskan memakai swastika dan mengambil sumpah kesetiaan kepada Hitler. George S. Counts mengatakan bahwa sekolah-sekolah didorong Counts oleh kekuatan-kekuatan yang mengubah sisa tanggung 1889 – 1974 jawab sosial supaya sekolah mengarahkan pada Social perubahan. Sekolah tidak bisa direformasi tanpa usaha, Reconstructi perjuangan dan pengorbanan. Counts percaya bahwa on pendidikan harus berusaha untuk mempromosikan pemahaman yang mendalam dan paling menyeluruh di dunia. Dia juga percaya bahwa fakta-fakta harus tidak ditekan atau terganggu. Salah satu kutipan nya mengatakan, "Semua pendidikan berisi besar unsur pemaksaan, kasus yang tidak bisa dihindari dan keberadaan dan evolusi masyarakat, pendidik memiliki kewajiban profesional utama." http://www.selu.edu/Academics/Faculty/nadams/educ69 2/Counts.html Robert M. Hutchins 1899 – 1977 Perenialism e Rencana Chicago Hutchins 'untuk sarjana mendorong pendidikan liberal pada usia sebelumnya dan diukur prestasi dengan pemeriksaan yang komprehensif, bukan oleh kelas waktu disajikan. Dia memperkenalkan studi tentang Buku Besar. Pada saat yang sama, Hutchins berpendapat tentang tujuan pendidikan tinggi, menyesalkan penekanan yang tidak semestinya pada nonakademis kegiatan (Chicago ditinggalkan sepak bola antar tahun 1939) dan mengkritik kecenderungan arah spesialisasi dan vocationalism. Dia mengkritik overspesialisasi; berusaha untuk menyeimbangkan kurikulum perguruan tinggi; dan untuk menjaga tradisi intelektual Barat "seni kebebasan” bukan hanya diperlukan; mereka yang tidak dapat dihindari. Tidak ada yang bisa memutuskan sendiri apakah dia akan menjadi manusia. Satu-satunya pertanyaan terbuka untuk dia adalah apakah ia akan menjadi bodoh, berkembang satu, atau orang yang telah berusaha untuk mencapai titik tertinggi ia mampu mencapai. Pertanyaannya, singkatnya, adalah apakah ia akan menjadi artis liberal yang buruk atau yang baik. Para seniman liberal belajar membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, memahami, dan berpikir. Dia belajar untuk rasa, ukuran, dan memanipulasi materi, kuantitas, dan gerak untuk memprediksi, memproduksi dan pertukaran. Kita hidup dalam tradisi, apakah kita tahu atau tidak, jadi kita semua seniman liberal, apakah kita tahu atau tidak. Kita semua 22 berlatih seni liberal, baik atau buruk, sepanjang waktu setiap hari. Seperti kita harus memahami tradisi serta kita bisa dalam rangka untuk memahami diri kita sendiri, jadi kita harus seniman liberal sebaik yang kami bisa untuk menjadi seperti sepenuhnya manusia seperti yang kita bisa. "Robert Hutchins dari Tradisi Barat Arthur Bestor 1908 – 1994 Essensialis me Tren ke arah anti-intelektualisme adalah penyebab penurunan standar Amerika pendidikan. Pendidikan AS gagal untuk memenuhi kriteria kecerdasan disiplin. Pendidikan seharusnya "suara pelatihan dalam cara-cara dasar pemikiran diwakili oleh sejarah, ilmu pengetahuan, matematika, sastra, bahasa, seni dan disiplin ilmu lainnya berkembang dalam kursus dari pencarian manusia lama mondar-mandir pengetahuan yang dapat digunakan, pemahaman budaya, dan intelektual kekuasaan. "Bestor, Pemulihan Belajar Secara epistemologis, khazanah filsafat pemikiran Islam – yang kemudian dikenal dengan tiga kluster ulumuddin – sebagaimana yang diungkapkan oleh ‘Abid al-Jabiri sebagai berikut: 1. Epistemologi Bayani Episteme bayani adalah metode berfikir yang mengedepankan pada otoritas (sulthah) teks, sehingga pemikiran apa pun tidak boleh terlepas dari peran teks untuk menginterpretasikannya. Pertumbuhan akal retoris (al-‘aql albayani) ini bermula dari budaya Arab itu endiri, di mana dalam sejarah dan budaya Arab bahasa merupakan representasi dari status sosial seseorang. Lebih-lebih ketika bahasa Arab digunakan sebagai bahasa al-Qur’an (wahyu). Secara leksikal-etimologis, term al-bayan mengandung beragam arti: a. Kesinambungan (al- 23 washlu); b. Keterpisahan (al-fashlu); c. Jelas dan terang (al-zuhur wa al-wudhuh); d. Kemampuan membuat terang dan jelas. 25 2. Epistemologi ‘Irfani Episteme ‘Irfani mendasarkan pengetahuan pada kasyf atau tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Oleh karena sumber dari episteme ini pada kasyf, maka pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis ruhani, di mana Tuhan langsunglah yang akan melimpahkan pengetahuan tersebut pada orang yang hatinya suci. Menurut Suhrawardi pengetahuan ruhani dapat diperoleh dengan tiga tahapan, yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan. 26 3. Epistemologi Burhani ‘Abid al-Jabiri mengungkapkan bahwa pengetahuan tidak mendasarkan diri pada teks, tidak juga pada pengalaman. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agama bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. 27 Sementara espisteme burhani menurut al-Jabiri pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (384322 SM) dengan sebutan yang terkenal dengan metode analitik (tahlili). Burhani (demonstratif) secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (istintaji) dengan M. ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Islami, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al‘Arabi, 1993), hlm. 16 – 18. 26 A. Khudlori Sholeh dalam M. ‘Abid al-Jabiri: Model Epistemology Islam: Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 241. 27 Muhajir, Filsafat ..., hlm. 16. 25 24 mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi).28 Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.29 Tabel 4 Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam Aliran Konservatif Muhafidz) Tokoh (al- al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi Religius-Rasional Ikhwan al-Shafa, al(al-Diniy al- Farabi, Ibnu Sina, dan ‘Aqlaniy) Ibnu Miskawaih 28 Pemikiran Filsafat Pendidikan Cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak. 30 Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif A. Khudlori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 219. 29 Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 52. 30 Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 90. 25 terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensipotensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”. 31 Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaankeutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.32 Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; 2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan 31 Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 78. 32 Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga ..., hlm. 86. 26 Pragmatis Dzarai’iy) rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya. 33 ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan ber-fikir.34 Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu: 1) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsikinstrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasaAraban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.35 (al- Ibnu Khaldun E. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Aliran filsafat pendidikan Barat di antaranya: futurisme, rekonstruksionisme, humanisme, progresivisme, perrenialisme, behaviorisme, dan eksistensionisme. 2. Aliran filsafat pendidikan Islam di antaranya: konservatif (alMuhafidz), religius-rasional (al-Diny al-‘Aqlaniy) dan pragmatis (al-Dzarai’iy). 33 Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga ..., hlm. 87. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), hlm. 125. 35 Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga ..., hlm. 105. 34 27 DAFTAR PUSTAKA A. Khudlori Sholeh dalam M. ‘Abid al-Jabiri: Model Epistemology Islam: Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003. A. Khudlori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008. Annick M. Brennen, Course Work Philosophy of Education, Northern Carribean University, 1999. Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, New York: Routledge, t.t. Christina E. Erneling, Towards Discursive Education (Philosophy, Technology and Modern Education, New York: Cambridge University Press, 2010. Jalaludin dan Usman Said, Falsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali, 1994. Jalaludin, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media, 1997. Jean Marrapodi, Educational Philosophies and Change, University, September 2003. Capella Kamsul Abraha, Epistemologi dan Paradigma Keterpaduan Iptek dan Islam dalam Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah dalam Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum; Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Suka Press, 2003. 28 M. ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Islami, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993. McGraw Jordan, 2008, Philosophy of Education, Kerrypress: McGraw Hill. Muhajir, Filsafat Pendidikan Islam Syi’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis. Terj. Mahmud Arif. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. Samson O. Gunga, Philosophie of Education, African Virtual University. Theodore Bremeld, 1999, Philosophies of Education in Culture Perspektive. 4th edition. New York: The Oryden Press. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011. 29