21 HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis
Hasil perhitungan konsumsi karbohidrat, protein, lemak dan sumbangan
kalori dari karbohidrat, protein dan lemak dari ransum, madu, kayu manis dan
campuran antara madu dan kayu manis yang diberikan pada hewan model selama
satu bulan penelitian, seperti tertera pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Konsumsi BETN, Lemak, dan Protein Tikus Selama Penelitian
Perlakuan
Bahan Kering (g)
BETN (g)
Lemak (g)
Protein (g)
K
8,90
5,83
0,31
1,36
M
9,88
7,09
0,45
1,37
CM
8,90
5,83
0,44
1,36
C1M
9,88
7,04
0,45
1,37
C2M
9,89
7,09
0,45
1,37
Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol +
kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M =
ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012).
Tabel 7. Konsumsi Total Energi asal BETN, Lemak Kasar, dan Protein Kasar
Perlakuan
Energi Asal BETN
Energi Asal
Energi Asal
Total Energi
(kal)
LK (kal)
PK (kal)
(kal/ekor/hari)
K
23,90
2,82
5,44
32,16
M
29,07
4,09
5,48
38,64
CM
23,90
4,00
5,44
33,34
C1M
28,86
4,09
5,48
38,43
C2M
29,07
4,09
5,48
38,64
Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol +
kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M =
ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012).
Hasil pada Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan jumlah karbohidrat atau total
asupan kalori dari karbohidrat, protein dan lemak yang masuk ke dalam tubuh tikus.
Pemberian pakan dilakukan setiap harinya dalam waktu kurang lebih satu bulan dan
pemberian perlakuan dilakukan selama dua hari pengamatan. Bagi penderita
penyakit diabetes mellitus tipe II jumlah asupan makanan sangatlah berpengaruh
21
terhadap status kalori yang ada di dalam tubuh. Jumlah kalori asal karbohidrat yang
dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, karena pada
penderita diabtes mellitus tipe II mengalami resistensi insulin, sehingga apabila
jumlah glukosa banyak masuk kedalam tubuh akan mengakibatkan penumpukan
glukosa darah pada darah.
Pembuatan hewan model diabetes tipe II ini dengan cara penyuntikan aloksan
dengan dosis 125 mg/ kg BB. Penyuntikan aloksan mengakibatkan kerusakan sel β
pankreas. Kerusakan sel β pankreas ini mengakibatkan hormon insulin tidak
diproduksi dengan baik. Resistensi insulin mengakibatkan asupan karbohidrat dan
kalori yang masuk ke dalam tubuh tidak bisa diantarkan ke sel, sehingga glukosa
menumpuk di darah. Akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat seperti yang
terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe II. Hal ini lah yang mengakibatkan
konsumsi karbohidrat yang diberikan tidak dapat di metabolisme di dalam tubuh
tikus untuk menjadi ATP, sehingga glukosa yang berasal dari pakan menumpuk di
dalam darah.
Kebutuhan karbohidrat dari pakan bagi seekor tikus dengan berat 98,6 g –
100 g adalah 3,6 – 4,5 g (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Jumlah karbohidrat
minimal yang dikonsumsi oleh masing-masing tikus selama penelitian sebesar 5,83 –
7,09 g. Jumlah karbohidrat yang masuk kedalam tubuh tikus melebihi dari batas
normal yaitu 3,6 – 4,5 g. Bila dibanding dengan yang disarankan Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) jumlah karbohidrat yang masuk kedalam tubuh hewan
model sudah diatas batasan normal tetapi bukanlah menjadi salah satu penyebab
kadar glukosa darah meningkat.
Total asupan kalori yang masuk ke dalam tubuh tikus berkisar antara 32,16 –
38,64 kalori/ekor/hari yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Jumlah
kalori ini belum melebihi batas normal kalori yang dibutuhkan tikus untuk
pertumbuhan. Jumlah kalori yang dibutuhkan tikus untuk pertumbuhan adalah 60
kalori (NRC, 1995). Hal ini menunjukkan jumlah asupan kalori asal karbohidrat,
lemak dan protein belum menjadi penyebab penyakit diabetes mellitus.
22
Kadar Glukosa Darah
Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus model pada saat keadaan normal
dan setelah diinduksi aloksan dengan dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam,
tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Kadar Gukosa Darah Hewan Model pada Kondisi Normal dan setelah
Diinduksi Aloksan
Kelompok hewan
Kadar glukosa darah normal
Kadar glukosa darah
model
(mg/dl)
diinduksi aloksan (mg/dl)
K
72,00 ± 1,00
360,67 ± 220,30
M
102,00 ± 44,03
479,33 ± 209,00
CM
103,67 ± 15,31
520,30 ± 106,02
C1M
108,33 ± 53,26
265,33 ± 12,86
C2M
99,33 ± 30,46
365,00 ± 184,58
Rata-rata
92,27 ± 26,89
398,13 ± 169,10
Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol +
kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M =
ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012).
Kadar glukosa darah hewan model dalam keadaan normal setelah dipuasakan
selama 16 jam menunjukkan kadar glukosa yang normal yaitu dengan rata-rata 92,27
± 26,89 mg/dl. Hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian sebelumnya (Taguchi,
1985) yang mengatakan bahwa kadar glukosa normal pada tikus jantan dengan galur
Spraque dawley 105,20 ± 14,2 mg/dl. Hewan yang masih dalam keadaan sehat atau
normal ini diberikan ransum standar sebanyak 10 g/ekor/hari. Kadar glukosa yang
normal ini terjadi karena proses metabolisme glukosa dalam tubuh berlangsung
dengan baik. Hewan model dalam keadaan normal atau belum mengalami
kerusakaan sel β pankreas yang memiliki hormon insulin sehingga masih dapat
berperan aktif dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam
tubuh. Metabolisme karbohidrat dalam tubuh tidak terlepas dari peranan hormon
insulin. Masuknya glukosa ke dalam darah pada hewan normal akan mengakibatkan
kadar glukosa darah meningkat dan menyebabkan tersekresinya hormon insulin dari
sel β pankreas. Hormon insulin akan bekerja mengantarkan glukosa yang masuk ke
23
semua sel yang membutuhkan, sehingga keadaan glukosa dalam darah tetap normal
dan mengakibatkan hewan model tetap dalam keadaan sehat.
Metabolisme hewan model akan berubah ketika mengalami gangguan pada
sel β pankreas. Kadar glukosa darah akan meningkat jika tidak ada hormon insulin
yang disekresikan oleh sel β pankreas. Sel β pankreas yang mengalami kerusakan
akibat penyuntikan aloksan akan dapat disembuhkan kembali, namun ada yang
mengalami kerusakan total sehingga pankreas tidak dapat menghasilkan hormon
insulin. Hal ini disebabkan oleh cara dan dosis penyuntikan aloksan yang kurang
tepat. Kadar glukosa darah hewan model ini mengalami peningkatan setelah
dilakukan penyuntikan dengan aloksan. Kadar glukosa darah dari semua perlakuan
meningkat menjadi lebih dari 105 mg/dl dalam keadaan puasa.
Kadar glukosa darah pada hewan model setelah diinduksi aloksan mengalami
peningkatan yang sangat tinggi yaitu rata-rata 398,13 mg/dl atau aloksan dapat
meningkatkan kadar glukosa darah hewan model sekitar 432,60 % dibandingkan
dengan kadar glukosa darah tikus pada keadaan normal sebelum diinduksi aloksan.
Hal ini menunjukkan bahwa efek penginduksian aloksan dengan dosis 125 mg/kgBB
berhasil mengakibatkan hewan model menderita diabetes mellitus. Penelitian
sebelumnya yang menggunakan hewan model juga mengalami peningkatan kadar
glukosa darah pada tikus dengan cara penginduksian aloksan melalui subkutan
(Studiawan dan Santoso, 2010).
Penyuntikan aloksan mengakibatkan kerusakan sel β pankreas secara total
sehingga produksi insulin semakin sedikit, dan berakibat pada peningkatan kadar
glukosa darah yang permanen. Yuriska (2012), mengatakan aloksan juga berpotensi
merusak substansi esensial di dalam sel β pankreas sehingga menyebabkan
berkurangnya granula-granula reseptor insulin. Kerusakan sel β pankreas setelah
diinduksi oleh aloksan sama kondisinya dengan penderita diabetes mellitus tipe II.
Pemilihan penggunaan aloksan dalam membuat hewan model diabetes
mellitus tipe II dilatar belakangi oleh aloksan yang mudah didapatkan, harganya
murah dan cepat mengakibatkan resistensi insulin. Selain aloksan terdapat juga
senyawa aktif yang dapat menyebabkan diabetes mellitus yaitu streptozotosin.
Streptozotosin dapat digunakan untuk menghasilkan hewan model mengidap diabetes
mellitus tipe I dan diabetes mellitus tipe II, tetapi penggunaan streptozotosin ini lebih
24
suulit didapatkkan, hargannya yang lebih
l
mahall, dan pengggunaanya berbeda deengan
alloksan. Perbbedaan pennggunaan aloksan den
ngan streptoozotosin lebbih terlihat pada
w
waktu
yang relatif lebihh lama. Penggunaan streptozotos
s
sin ini dilakkukan padaa saat
heewan modeel atau tikuss berumur 2 hari setellah kelahiraan, dan padda umur deelapan
saampai sepulluh minggu tikus tersebbut mengalaami gangguuan respon tterhadap glu
ukosa
daan sensitivittas sel β terhhadap glukoosa (Nugroh
ho, 2006).
Hasil pengukurann kadar gluukosa darah dilakukan sebanyak
s
em
mpat kali seetelah
peemberian perlakuan yaaitu pada menit
m
ke 30, menit kee 60, 24 jaam dan 26 jam,
deengan tujuaan ingin melihat
m
kineetika glukosa terhadapp waktu. G
Gambaran antara
a
w
waktu
pengam
mbilan dataa dengan pem
mberian perrlakuan terllihat seperti Gambar 4.
Kadar gluukosa
mg/dl
500
400
K
300
M
200
CM
C1M
100
C2M
0
30 menit
60 m
menit
24 jjam
26 jam
Waktu peengambilan data
G
Gambar
4. Gambaran
G
Kaadar Glukosa Darah Paada Waktu yang
y
Berbeda Setelah
Peemberian Peerlakuan
Keeterangan : K = ransum konntrol + air biassa; M = ransum kontrol + madu;
m
CM = raansum kontrol +
r
kontro
ol + kayu mannis 0,004 g + madu 1 ml; C2M
C
=
kayyu manis 0,0004 g; C1M = ransum
rannsum kontrol + kayu manis 0,008 g + maadu 1ml; (Hasiil perhitungann, 2012).
Berdaasarkan hassil uji statisstik, waktu
u yang ditettapkan dalaam pengam
mbilan
daata tidak berrpengaruh terhadap
t
pennurunan kadar glukosaa darah tikuss percobaan
n (P >
0,,05). Pengaambilan wakktu yang singkat ini sejalan
s
denngan penelittian sebelum
mnya
(A
Adnyana ett al.,2004) yang mengggunakan buah
b
menggkudu sebaggai antidiab
betes.
K
Kadar
glukoosa darah mulai
m
dari menit ke 30
3 sampai 26 jam setelah pemb
berian
peerlakuan tiddak menunjuukkan adanyya penurunaan pada sem
mua perlakuuan. Pengrussakan
seel β pankreaas oleh pembberian aloksan menunjukkan keruusakan perm
manen.
25
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini diduga bahwa pemberian kayu
manis 0,004 g dan madu 1 ml dengan waktu yang singkat yaitu 30 menit, 60 menit,
24 jam dan 26 jam tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam penurunan
kadar glukosa darah pada tikus penderita diabetes mellitus tipe II. Obat herbal adalah
jenis obat yang tidak dapat dilihat khasiat atau hasilnya dalam waktu yang singkat.
Penelitian sebelumnya dengan menggunakan bahan herbal lainnya dalam
menurunkan kadar gula darah dilakukan selama 3 bulan dengan alasan karena respon
obat herbal tidak sama dengan respon dari obat kimia yang dapat dilihat hasilnya
secara singkat (Gunawan, 2011).
Pengaruh pemberian perlakuan yaitu madu, kayu manis dan interaksi antara
kayu manis dengan madu pada tikus yang mengalami diabetes mellitus tipe II. Kadar
glukosa darah setelah pemberian perlakuan terlihat pada Tabel 10.
26
Tabel 9. Kadar Glukosa Darah Hewan Model Setelah Pemberian Perlakuan
Jenis
perlakuan
Kadar gula darah tikus putih (mg/dl)
Kadar glukosa
30 menit
60 menit
24 jam
26 jam
Rata-rata
diinduksi aloksan
K
360,67 ± 220,30
360,67 ± 220,30
360,67 ± 220,30
360,67 ± 220,30
360,67 ± 220,30
360,67 ± 220,30d
M
479,33 ± 209,00
264,33 ± 188,88
252,66 ± 180,28
289,33 ± 242,46
251,00 ± 171,03
264,33 ± 169,29c
CM
520,30 ± 106,02
314,00 ± 170,27
421,00 ± 60,83
311,83 ± 157,03
399,67 ± 250,36
353,67±160,82b
C1M
265,33 ± 12,86
433,50 ± 27,57
331,00 ± 204,27
297,00 ± 158,37
409,00 ± 268,23
361,64 ± 176,26b
C2M
365,00 ± 184,58
476,67 ± 58,59
460,67 ± 73,92
492 ± 53,84
485,33 ± 44,64
458,92 ± 57,96a
Rata-rata
398,13 ± 169,10
309,43 ± 173,09
313,87 ± 172,78
275,07 ± 163,45
329,00 ± 209,58
306,79 ± 177,13
Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004
g + madu 1 ml; C2M = ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012).
27
Hasil pengamatan dari 30 menit sampai dengan 26 jam setelah pemberian
perlakuan terlihat perbedaan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan kadar
glukosa darah setelah diinduksi aloksan yaitu menunjukkan adanya penurunan kadar
glukosa darah bila dibandingkan dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi
aloksan. Secara statistik perlakuan yang diberikan berpengaruh menurunkan kadar
glukosa darah (P < 0,05).
Kadar glukosa darah pada perlakuan kontrol dengan konsumsi BETN
sebanyak 5,83 g setelah diinduksi aloksan yaitu 360,67 ± 220,30 mg/dl. Pada
perlakuan kontrol hewan model hanya diberikan air minum saja sebanyak 1 ml dan
pengukuran kadar glukosa darah hanya dilakukan pada 30 menit pertama.
Pengukuran kadar glukosa darah pada hewan kontrol dilakukan satu kali karena
asumsi datanya sama.
Perlakuan madu (1ml/ ekor) dengan konsumsi BETN sebanyak 7,09 g
memberikan respon yang lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah bila
dibandingkan dengan perlakuan kayu manis dengan dosis bertingkat. Pemberian
madu memberikan penurunan kadar glukosa darah sampai 264,33 ± 169,29 mg/dl
atau sekitar 33,61 % dibandingkan sesaat setelah diinduksi aloksan, namun masih
tinggi bila dibandingkan kadar glukosa normal. Madu yang diberikan dengan tujuan
sebagai sumber karbohidrat yaitu dari kandungan fruktosanya dengan mudah dapat
diserap sel tubuh tikus yang menderita Diabetes mellitus tipe II, terlihat pada hasil
perlakuan yang hanya diberikan madu mengalami penurunan kadar glukosa darah
walaupun tidak mencapai normal. Pengamatan pemberian madu yang dijadikan
sebagai sumber karbohidrat yaitu dari kandungan fruktosanya bagi hewan model
terlihat sedikit lebih segar walaupun dalam keadaan diabetes dibandingkan dengan
yang lain dan pada hewan jenis perlakuan ini yang lebih lama bertahan hidup.
Hewan model pada jenis perlakuan madu ini masih memiliki glikogen yang
disimpan didalam sel hati yang bisa digunakan apabila tidak tersedia lagi glukosa
yang dihantarkan oleh hormon insulin ke sel dan ke jaringan adiposa. Perbedaan
pengaruh yang diberikan oleh perlakuan madu ini juga dapat disebabkan karena
pemberian fruktosa dapat meningkatkan C-peptida yang dapat mempengaruhi
resistensi insulin. Mekanisme pemberian fruktosa menyebabkan keseimbangan
energi positif yang dapat berdampak pada peningkatan berat badan. Penimbunan
28
dalam adiposit mengakibatkan konsentrasi asam lemak non-esterified meningkat dan
akibatnya dapat menurunkan sensifitas insulin melalui peningkatan kandungan lipida
intramyocelluler dalam sel otot tempat reseptor insulin berada (Ermawati, 2007).
Pada perlakuan kayu manis (CM) dengan konsusmi BETN sebanyak 5,83 g
menunjukkan kadar glukosa darah yang mengalami penurunan sekitar 11,17 % bila
dibandingkan kadar glukosa darah setelah diinduksi aloksan. Senyawa aktif di kayu
manis berupa cinnamtannin B1 dengan dosis 0,004 g/ekor masih belum mampu
menurunkan kadar glukosa darah. Disamping itu tingkat kerusakan sel β pankreas
yang lanjut mengakibatkan insulin tidak dapat diproduksi. Kayu manis mengandung
zat aktif yang disebut cinnamtannin B1 bertindak secara langsung pada reseptor
insulin subunit dengan mengaktifkan PI3-kinase yang akan merangsang translokasi
pengangkut glukosa 4 (Taher,2005).
Tikus yang diberi perlakuan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor
(C1M) dengan konsumsi BETN sebanyak 7,04 g mengalami penurunan kadar
glukosa darah sekitar 9,16 % dibandingkan dengan kadar glukosa darah sesaat
setelah diinduksi aloksan. Perlakuan kayu manis 0,008 g/ekor dan madu 1 ml/ekor
(C2M) dengan konsumsi BETN sebanyak 9,89 memberikan respon yang berbeda
yaitu menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah sekitar 13,24 % dibandingkan
dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi aloksan. Perlakuan kayu manis (CM)
dengan dosis 0,004 g/ekor dan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C1M)
lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan
perlakuan kayu manis 0,008 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C2M). Konsumsi BETN
yang sebanyak 9,89 g mengandung banyak glukosa sehingga mengakibatkan kadar
glukosa semakin meningkat di dalam darah, sehingga dengan dosis kayu manis 0,008
g tidak dapat lagi di metabolismekan di dalam tubuh tikus yang sudah mengalami
kerusakan sel β pankreas, sehingga kadar glukosa darah meningkat bila dibangkan
dengan kadar glukosa setelah diinduksi aloksan. Dosis kayu manis yang diberikan
sebanyak 0,004 g dengan bobot badan 100 g mengacu dari penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Azima et al. (2004). Hasil yang didapatkan sangatlah berbeda
dengan penelitian sebelumnya (Azima et al.,2004) terlihat jelas pada hasil glukosa
darah hewan model setelah diberikan perlakuan tidak memberikan penurunan kadar
29
glukosa darah sampai pada batas normal yaitu dibawah 105,20 ± 14,2 mg/dl
(Taguchi, 1985).
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi pada perlakuan kayu manis 0,004
g/ekor (CM) dan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor
(C1M) tidak
bermakna secara statisktik karena hasil kadar glukosa darah yang didapatkan
memiliki standar deviasi yang tinggi. Standar deviasi yang tinggi ini antara lain
diakibatkan respon yang diberikan dari setiap hewan model yang bervariasi terhadap
kadar glukosa darah. Kadar glukosa yang berbeda-beda ini juga disebabkan karena
penyamarataan waktu pada ke 45 ekor tikus selama percobaan. Seharusnya waktu
harus diatur supaya setiap hewan bisa mendapatkan waktu yang sama selama
pengamatan. Terjadinya penurunan kadar glukosa darah pada perlakuan kayu manis
0,004 g/ekor (CM) dan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C1M) dalam
jumlah yang sedikit dan peningkatan kadar glukosa darah pada perlakuan kayu manis
0,008 g/ekor dan madu 1ml/ekor (C2M) ini diduga akibat cinnamtannin B1 yang
terdapat dalam kayu manis sebenarnya mempunyai dosis optimal dalam menggertak
kerja hormon insulin. Dugaan lain yaitu adanya pengaruh dari penyuntikan aloksan
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada sel β pankreas. Kerusakan yang
permanen ini mengakibatkan zat aktif yang terdapat dalam kayu manis yaitu
cinnamtannin B1 tidak mampu untuk memperbaiki kerusakan sel β pankreas.
Selain pengaruh dari penyuntikan aloksan, kenaikan kadar glukosa darah dari
hewan model ini juga dapat diakibatkan karena faktor stress. Hewan model
mengalami stress ketika dilakukan pengambilan darah pada bagian ekor secara
berulang kali. Kondisi stres ini dapat menyebabkan hiperglikemia sesaat. Dilaporkan
juga bahwa obat-obatan yang bersifat sitotoksik terhadap sel β pankreas dan penyakit
pada pankreas dapat memicu terjadinya diabetes melltius atau kadar glukosa darah
meningkat (Handayani, 2005).
30
Download