HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis Hasil perhitungan konsumsi karbohidrat, protein, lemak dan sumbangan kalori dari karbohidrat, protein dan lemak dari ransum, madu, kayu manis dan campuran antara madu dan kayu manis yang diberikan pada hewan model selama satu bulan penelitian, seperti tertera pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6. Konsumsi BETN, Lemak, dan Protein Tikus Selama Penelitian Perlakuan Bahan Kering (g) BETN (g) Lemak (g) Protein (g) K 8,90 5,83 0,31 1,36 M 9,88 7,09 0,45 1,37 CM 8,90 5,83 0,44 1,36 C1M 9,88 7,04 0,45 1,37 C2M 9,89 7,09 0,45 1,37 Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M = ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012). Tabel 7. Konsumsi Total Energi asal BETN, Lemak Kasar, dan Protein Kasar Perlakuan Energi Asal BETN Energi Asal Energi Asal Total Energi (kal) LK (kal) PK (kal) (kal/ekor/hari) K 23,90 2,82 5,44 32,16 M 29,07 4,09 5,48 38,64 CM 23,90 4,00 5,44 33,34 C1M 28,86 4,09 5,48 38,43 C2M 29,07 4,09 5,48 38,64 Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M = ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012). Hasil pada Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan jumlah karbohidrat atau total asupan kalori dari karbohidrat, protein dan lemak yang masuk ke dalam tubuh tikus. Pemberian pakan dilakukan setiap harinya dalam waktu kurang lebih satu bulan dan pemberian perlakuan dilakukan selama dua hari pengamatan. Bagi penderita penyakit diabetes mellitus tipe II jumlah asupan makanan sangatlah berpengaruh 21 terhadap status kalori yang ada di dalam tubuh. Jumlah kalori asal karbohidrat yang dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, karena pada penderita diabtes mellitus tipe II mengalami resistensi insulin, sehingga apabila jumlah glukosa banyak masuk kedalam tubuh akan mengakibatkan penumpukan glukosa darah pada darah. Pembuatan hewan model diabetes tipe II ini dengan cara penyuntikan aloksan dengan dosis 125 mg/ kg BB. Penyuntikan aloksan mengakibatkan kerusakan sel β pankreas. Kerusakan sel β pankreas ini mengakibatkan hormon insulin tidak diproduksi dengan baik. Resistensi insulin mengakibatkan asupan karbohidrat dan kalori yang masuk ke dalam tubuh tidak bisa diantarkan ke sel, sehingga glukosa menumpuk di darah. Akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat seperti yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe II. Hal ini lah yang mengakibatkan konsumsi karbohidrat yang diberikan tidak dapat di metabolisme di dalam tubuh tikus untuk menjadi ATP, sehingga glukosa yang berasal dari pakan menumpuk di dalam darah. Kebutuhan karbohidrat dari pakan bagi seekor tikus dengan berat 98,6 g – 100 g adalah 3,6 – 4,5 g (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Jumlah karbohidrat minimal yang dikonsumsi oleh masing-masing tikus selama penelitian sebesar 5,83 – 7,09 g. Jumlah karbohidrat yang masuk kedalam tubuh tikus melebihi dari batas normal yaitu 3,6 – 4,5 g. Bila dibanding dengan yang disarankan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) jumlah karbohidrat yang masuk kedalam tubuh hewan model sudah diatas batasan normal tetapi bukanlah menjadi salah satu penyebab kadar glukosa darah meningkat. Total asupan kalori yang masuk ke dalam tubuh tikus berkisar antara 32,16 – 38,64 kalori/ekor/hari yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Jumlah kalori ini belum melebihi batas normal kalori yang dibutuhkan tikus untuk pertumbuhan. Jumlah kalori yang dibutuhkan tikus untuk pertumbuhan adalah 60 kalori (NRC, 1995). Hal ini menunjukkan jumlah asupan kalori asal karbohidrat, lemak dan protein belum menjadi penyebab penyakit diabetes mellitus. 22 Kadar Glukosa Darah Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus model pada saat keadaan normal dan setelah diinduksi aloksan dengan dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam, tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Kadar Gukosa Darah Hewan Model pada Kondisi Normal dan setelah Diinduksi Aloksan Kelompok hewan Kadar glukosa darah normal Kadar glukosa darah model (mg/dl) diinduksi aloksan (mg/dl) K 72,00 ± 1,00 360,67 ± 220,30 M 102,00 ± 44,03 479,33 ± 209,00 CM 103,67 ± 15,31 520,30 ± 106,02 C1M 108,33 ± 53,26 265,33 ± 12,86 C2M 99,33 ± 30,46 365,00 ± 184,58 Rata-rata 92,27 ± 26,89 398,13 ± 169,10 Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M = ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012). Kadar glukosa darah hewan model dalam keadaan normal setelah dipuasakan selama 16 jam menunjukkan kadar glukosa yang normal yaitu dengan rata-rata 92,27 ± 26,89 mg/dl. Hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian sebelumnya (Taguchi, 1985) yang mengatakan bahwa kadar glukosa normal pada tikus jantan dengan galur Spraque dawley 105,20 ± 14,2 mg/dl. Hewan yang masih dalam keadaan sehat atau normal ini diberikan ransum standar sebanyak 10 g/ekor/hari. Kadar glukosa yang normal ini terjadi karena proses metabolisme glukosa dalam tubuh berlangsung dengan baik. Hewan model dalam keadaan normal atau belum mengalami kerusakaan sel β pankreas yang memiliki hormon insulin sehingga masih dapat berperan aktif dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam tubuh. Metabolisme karbohidrat dalam tubuh tidak terlepas dari peranan hormon insulin. Masuknya glukosa ke dalam darah pada hewan normal akan mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat dan menyebabkan tersekresinya hormon insulin dari sel β pankreas. Hormon insulin akan bekerja mengantarkan glukosa yang masuk ke 23 semua sel yang membutuhkan, sehingga keadaan glukosa dalam darah tetap normal dan mengakibatkan hewan model tetap dalam keadaan sehat. Metabolisme hewan model akan berubah ketika mengalami gangguan pada sel β pankreas. Kadar glukosa darah akan meningkat jika tidak ada hormon insulin yang disekresikan oleh sel β pankreas. Sel β pankreas yang mengalami kerusakan akibat penyuntikan aloksan akan dapat disembuhkan kembali, namun ada yang mengalami kerusakan total sehingga pankreas tidak dapat menghasilkan hormon insulin. Hal ini disebabkan oleh cara dan dosis penyuntikan aloksan yang kurang tepat. Kadar glukosa darah hewan model ini mengalami peningkatan setelah dilakukan penyuntikan dengan aloksan. Kadar glukosa darah dari semua perlakuan meningkat menjadi lebih dari 105 mg/dl dalam keadaan puasa. Kadar glukosa darah pada hewan model setelah diinduksi aloksan mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu rata-rata 398,13 mg/dl atau aloksan dapat meningkatkan kadar glukosa darah hewan model sekitar 432,60 % dibandingkan dengan kadar glukosa darah tikus pada keadaan normal sebelum diinduksi aloksan. Hal ini menunjukkan bahwa efek penginduksian aloksan dengan dosis 125 mg/kgBB berhasil mengakibatkan hewan model menderita diabetes mellitus. Penelitian sebelumnya yang menggunakan hewan model juga mengalami peningkatan kadar glukosa darah pada tikus dengan cara penginduksian aloksan melalui subkutan (Studiawan dan Santoso, 2010). Penyuntikan aloksan mengakibatkan kerusakan sel β pankreas secara total sehingga produksi insulin semakin sedikit, dan berakibat pada peningkatan kadar glukosa darah yang permanen. Yuriska (2012), mengatakan aloksan juga berpotensi merusak substansi esensial di dalam sel β pankreas sehingga menyebabkan berkurangnya granula-granula reseptor insulin. Kerusakan sel β pankreas setelah diinduksi oleh aloksan sama kondisinya dengan penderita diabetes mellitus tipe II. Pemilihan penggunaan aloksan dalam membuat hewan model diabetes mellitus tipe II dilatar belakangi oleh aloksan yang mudah didapatkan, harganya murah dan cepat mengakibatkan resistensi insulin. Selain aloksan terdapat juga senyawa aktif yang dapat menyebabkan diabetes mellitus yaitu streptozotosin. Streptozotosin dapat digunakan untuk menghasilkan hewan model mengidap diabetes mellitus tipe I dan diabetes mellitus tipe II, tetapi penggunaan streptozotosin ini lebih 24 suulit didapatkkan, hargannya yang lebih l mahall, dan pengggunaanya berbeda deengan alloksan. Perbbedaan pennggunaan aloksan den ngan streptoozotosin lebbih terlihat pada w waktu yang relatif lebihh lama. Penggunaan streptozotos s sin ini dilakkukan padaa saat heewan modeel atau tikuss berumur 2 hari setellah kelahiraan, dan padda umur deelapan saampai sepulluh minggu tikus tersebbut mengalaami gangguuan respon tterhadap glu ukosa daan sensitivittas sel β terhhadap glukoosa (Nugroh ho, 2006). Hasil pengukurann kadar gluukosa darah dilakukan sebanyak s em mpat kali seetelah peemberian perlakuan yaaitu pada menit m ke 30, menit kee 60, 24 jaam dan 26 jam, deengan tujuaan ingin melihat m kineetika glukosa terhadapp waktu. G Gambaran antara a w waktu pengam mbilan dataa dengan pem mberian perrlakuan terllihat seperti Gambar 4. Kadar gluukosa mg/dl 500 400 K 300 M 200 CM C1M 100 C2M 0 30 menit 60 m menit 24 jjam 26 jam Waktu peengambilan data G Gambar 4. Gambaran G Kaadar Glukosa Darah Paada Waktu yang y Berbeda Setelah Peemberian Peerlakuan Keeterangan : K = ransum konntrol + air biassa; M = ransum kontrol + madu; m CM = raansum kontrol + r kontro ol + kayu mannis 0,004 g + madu 1 ml; C2M C = kayyu manis 0,0004 g; C1M = ransum rannsum kontrol + kayu manis 0,008 g + maadu 1ml; (Hasiil perhitungann, 2012). Berdaasarkan hassil uji statisstik, waktu u yang ditettapkan dalaam pengam mbilan daata tidak berrpengaruh terhadap t pennurunan kadar glukosaa darah tikuss percobaan n (P > 0,,05). Pengaambilan wakktu yang singkat ini sejalan s denngan penelittian sebelum mnya (A Adnyana ett al.,2004) yang mengggunakan buah b menggkudu sebaggai antidiab betes. K Kadar glukoosa darah mulai m dari menit ke 30 3 sampai 26 jam setelah pemb berian peerlakuan tiddak menunjuukkan adanyya penurunaan pada sem mua perlakuuan. Pengrussakan seel β pankreaas oleh pembberian aloksan menunjukkan keruusakan perm manen. 25 Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini diduga bahwa pemberian kayu manis 0,004 g dan madu 1 ml dengan waktu yang singkat yaitu 30 menit, 60 menit, 24 jam dan 26 jam tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam penurunan kadar glukosa darah pada tikus penderita diabetes mellitus tipe II. Obat herbal adalah jenis obat yang tidak dapat dilihat khasiat atau hasilnya dalam waktu yang singkat. Penelitian sebelumnya dengan menggunakan bahan herbal lainnya dalam menurunkan kadar gula darah dilakukan selama 3 bulan dengan alasan karena respon obat herbal tidak sama dengan respon dari obat kimia yang dapat dilihat hasilnya secara singkat (Gunawan, 2011). Pengaruh pemberian perlakuan yaitu madu, kayu manis dan interaksi antara kayu manis dengan madu pada tikus yang mengalami diabetes mellitus tipe II. Kadar glukosa darah setelah pemberian perlakuan terlihat pada Tabel 10. 26 Tabel 9. Kadar Glukosa Darah Hewan Model Setelah Pemberian Perlakuan Jenis perlakuan Kadar gula darah tikus putih (mg/dl) Kadar glukosa 30 menit 60 menit 24 jam 26 jam Rata-rata diinduksi aloksan K 360,67 ± 220,30 360,67 ± 220,30 360,67 ± 220,30 360,67 ± 220,30 360,67 ± 220,30 360,67 ± 220,30d M 479,33 ± 209,00 264,33 ± 188,88 252,66 ± 180,28 289,33 ± 242,46 251,00 ± 171,03 264,33 ± 169,29c CM 520,30 ± 106,02 314,00 ± 170,27 421,00 ± 60,83 311,83 ± 157,03 399,67 ± 250,36 353,67±160,82b C1M 265,33 ± 12,86 433,50 ± 27,57 331,00 ± 204,27 297,00 ± 158,37 409,00 ± 268,23 361,64 ± 176,26b C2M 365,00 ± 184,58 476,67 ± 58,59 460,67 ± 73,92 492 ± 53,84 485,33 ± 44,64 458,92 ± 57,96a Rata-rata 398,13 ± 169,10 309,43 ± 173,09 313,87 ± 172,78 275,07 ± 163,45 329,00 ± 209,58 306,79 ± 177,13 Keterangan : K = ransum kontrol + air biasa; M = ransum kontrol + madu; CM = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g; C1M = ransum kontrol + kayu manis 0,004 g + madu 1 ml; C2M = ransum kontrol + kayu manis 0,008 g + madu 1ml; (Hasil perhitungan, 2012). 27 Hasil pengamatan dari 30 menit sampai dengan 26 jam setelah pemberian perlakuan terlihat perbedaan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi aloksan yaitu menunjukkan adanya penurunan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi aloksan. Secara statistik perlakuan yang diberikan berpengaruh menurunkan kadar glukosa darah (P < 0,05). Kadar glukosa darah pada perlakuan kontrol dengan konsumsi BETN sebanyak 5,83 g setelah diinduksi aloksan yaitu 360,67 ± 220,30 mg/dl. Pada perlakuan kontrol hewan model hanya diberikan air minum saja sebanyak 1 ml dan pengukuran kadar glukosa darah hanya dilakukan pada 30 menit pertama. Pengukuran kadar glukosa darah pada hewan kontrol dilakukan satu kali karena asumsi datanya sama. Perlakuan madu (1ml/ ekor) dengan konsumsi BETN sebanyak 7,09 g memberikan respon yang lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan perlakuan kayu manis dengan dosis bertingkat. Pemberian madu memberikan penurunan kadar glukosa darah sampai 264,33 ± 169,29 mg/dl atau sekitar 33,61 % dibandingkan sesaat setelah diinduksi aloksan, namun masih tinggi bila dibandingkan kadar glukosa normal. Madu yang diberikan dengan tujuan sebagai sumber karbohidrat yaitu dari kandungan fruktosanya dengan mudah dapat diserap sel tubuh tikus yang menderita Diabetes mellitus tipe II, terlihat pada hasil perlakuan yang hanya diberikan madu mengalami penurunan kadar glukosa darah walaupun tidak mencapai normal. Pengamatan pemberian madu yang dijadikan sebagai sumber karbohidrat yaitu dari kandungan fruktosanya bagi hewan model terlihat sedikit lebih segar walaupun dalam keadaan diabetes dibandingkan dengan yang lain dan pada hewan jenis perlakuan ini yang lebih lama bertahan hidup. Hewan model pada jenis perlakuan madu ini masih memiliki glikogen yang disimpan didalam sel hati yang bisa digunakan apabila tidak tersedia lagi glukosa yang dihantarkan oleh hormon insulin ke sel dan ke jaringan adiposa. Perbedaan pengaruh yang diberikan oleh perlakuan madu ini juga dapat disebabkan karena pemberian fruktosa dapat meningkatkan C-peptida yang dapat mempengaruhi resistensi insulin. Mekanisme pemberian fruktosa menyebabkan keseimbangan energi positif yang dapat berdampak pada peningkatan berat badan. Penimbunan 28 dalam adiposit mengakibatkan konsentrasi asam lemak non-esterified meningkat dan akibatnya dapat menurunkan sensifitas insulin melalui peningkatan kandungan lipida intramyocelluler dalam sel otot tempat reseptor insulin berada (Ermawati, 2007). Pada perlakuan kayu manis (CM) dengan konsusmi BETN sebanyak 5,83 g menunjukkan kadar glukosa darah yang mengalami penurunan sekitar 11,17 % bila dibandingkan kadar glukosa darah setelah diinduksi aloksan. Senyawa aktif di kayu manis berupa cinnamtannin B1 dengan dosis 0,004 g/ekor masih belum mampu menurunkan kadar glukosa darah. Disamping itu tingkat kerusakan sel β pankreas yang lanjut mengakibatkan insulin tidak dapat diproduksi. Kayu manis mengandung zat aktif yang disebut cinnamtannin B1 bertindak secara langsung pada reseptor insulin subunit dengan mengaktifkan PI3-kinase yang akan merangsang translokasi pengangkut glukosa 4 (Taher,2005). Tikus yang diberi perlakuan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C1M) dengan konsumsi BETN sebanyak 7,04 g mengalami penurunan kadar glukosa darah sekitar 9,16 % dibandingkan dengan kadar glukosa darah sesaat setelah diinduksi aloksan. Perlakuan kayu manis 0,008 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C2M) dengan konsumsi BETN sebanyak 9,89 memberikan respon yang berbeda yaitu menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah sekitar 13,24 % dibandingkan dengan kadar glukosa darah setelah diinduksi aloksan. Perlakuan kayu manis (CM) dengan dosis 0,004 g/ekor dan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C1M) lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah bila dibandingkan dengan perlakuan kayu manis 0,008 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C2M). Konsumsi BETN yang sebanyak 9,89 g mengandung banyak glukosa sehingga mengakibatkan kadar glukosa semakin meningkat di dalam darah, sehingga dengan dosis kayu manis 0,008 g tidak dapat lagi di metabolismekan di dalam tubuh tikus yang sudah mengalami kerusakan sel β pankreas, sehingga kadar glukosa darah meningkat bila dibangkan dengan kadar glukosa setelah diinduksi aloksan. Dosis kayu manis yang diberikan sebanyak 0,004 g dengan bobot badan 100 g mengacu dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azima et al. (2004). Hasil yang didapatkan sangatlah berbeda dengan penelitian sebelumnya (Azima et al.,2004) terlihat jelas pada hasil glukosa darah hewan model setelah diberikan perlakuan tidak memberikan penurunan kadar 29 glukosa darah sampai pada batas normal yaitu dibawah 105,20 ± 14,2 mg/dl (Taguchi, 1985). Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi pada perlakuan kayu manis 0,004 g/ekor (CM) dan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C1M) tidak bermakna secara statisktik karena hasil kadar glukosa darah yang didapatkan memiliki standar deviasi yang tinggi. Standar deviasi yang tinggi ini antara lain diakibatkan respon yang diberikan dari setiap hewan model yang bervariasi terhadap kadar glukosa darah. Kadar glukosa yang berbeda-beda ini juga disebabkan karena penyamarataan waktu pada ke 45 ekor tikus selama percobaan. Seharusnya waktu harus diatur supaya setiap hewan bisa mendapatkan waktu yang sama selama pengamatan. Terjadinya penurunan kadar glukosa darah pada perlakuan kayu manis 0,004 g/ekor (CM) dan kayu manis 0,004 g/ekor dan madu 1 ml/ekor (C1M) dalam jumlah yang sedikit dan peningkatan kadar glukosa darah pada perlakuan kayu manis 0,008 g/ekor dan madu 1ml/ekor (C2M) ini diduga akibat cinnamtannin B1 yang terdapat dalam kayu manis sebenarnya mempunyai dosis optimal dalam menggertak kerja hormon insulin. Dugaan lain yaitu adanya pengaruh dari penyuntikan aloksan yang mengakibatkan kerusakan permanen pada sel β pankreas. Kerusakan yang permanen ini mengakibatkan zat aktif yang terdapat dalam kayu manis yaitu cinnamtannin B1 tidak mampu untuk memperbaiki kerusakan sel β pankreas. Selain pengaruh dari penyuntikan aloksan, kenaikan kadar glukosa darah dari hewan model ini juga dapat diakibatkan karena faktor stress. Hewan model mengalami stress ketika dilakukan pengambilan darah pada bagian ekor secara berulang kali. Kondisi stres ini dapat menyebabkan hiperglikemia sesaat. Dilaporkan juga bahwa obat-obatan yang bersifat sitotoksik terhadap sel β pankreas dan penyakit pada pankreas dapat memicu terjadinya diabetes melltius atau kadar glukosa darah meningkat (Handayani, 2005). 30