LAPORAN AKHIR Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur Studi Kasus Industri Kimia, Tekstil dan Produk Tekstil, dan Elektronik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Tahun 2016 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1 KATA PENGANTAR Perkembangan impor Indonesia selama lima tahun terakhir (2010-2014 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir sebesar USD 191,69 miliar. Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar 74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%. Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkattidak diiringi oleh peningkatan pertumbuhan industri manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015. Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur 11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan importasi. Hal tersebut membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan berdaya saing di pasar ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/ penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor, produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015). Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar dan liberal terhadap produk jadi. Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya mengidentifikasi peran kebijakan impor bahan baku/ penolong dalam mendukung kesinambungan ketersediaan bahan baku/ penolong bagi kebutuhan industry manufaktur di Indonesia. Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufakturini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini. Jakarta, September 2016 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan i ABSTRAK Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur Kajian ini bertujuan untuk : a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik; dan b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik. Kajian ini menggunakan metode berupa survei dan Focus Group Discussion (FGD) serta regresi. Peran kebijakan impor terhadap kinerja masing-masing industri sangat bervariasi. Pada industri kimia, kebijakan tarif bea masuk berpengaruh signifikan pada kinerja Industri, sementara kebijakan non tarif tidak signifikan. Sedangkan pada industri tekstil, kebijakan tarif dan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri. Sementara itu, pada industri elektronik, kebijakan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri, sementara kebijakan tarif tidak signifikan. Secara umum, pemerintah diharapkan memberi dukungan positif pada peningkatan kinerja industri kimia, TPT dan elektronik mengingat ketiga industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Disisi makro, untuk mendorong kinerja industri kimia, TPT dan elektronik, maka pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan output sektoral (PDB sektoral). Kata kunci : kebijakan impor, bahan baku/penolong, industri manufaktur Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii ABSTRACT Import Policy Contribution to Support the Manufacturing Industry This study aims to: a. Identifying the policy of import tariff and non tariff governing raw / intermediate goods for the Chemical, Textile and Electronics industry; and b. Analyzing the effect of policy tariff and non tariff import of raw / intermediate goods on the performance of Chemical, Textile and Electronics industry. This study uses methods such as surveys, Focus Group Discussion (FGD), and regression. The contribution of Import policy on the performance of the industry is vary widely, where on the chemical industry, policy tariffs have a significant effect on the industry's performance. Meanwhile, non-tariff policy does not have a significant impact. In the textile industry, tariff and non tariff policies have a significant effect on the performance of the industry. In the electronics industry, non-tariff policies have a significant effect on the performance of the industry, while the tariff policy does not have a significant impact. In general, the government is expected to give positive support to the improvement of the performance of the chemical industry, textile and electronics. That is because the three industries is able to absorb a large enough labor. On the macro side, to encourage the performance of the chemical industry, textile and electronics, the government is expected to boost sector output (GDP sectoral) Keywords: import policy, raw/ intermediate goods, the manufacturing industry Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... i ABSTRAK ...................................................................................................ii ABSTRACT ................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ........................................................................................vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii BAB I.......................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 4 1.3. Tujuan ........................................................................................... 5 1.4. Output ........................................................................................... 5 1.5. Dampak/Manfaat .......................................................................... 5 1.6. Ruang Lingkup .............................................................................. 5 1.7. Sistematika Laporan ..................................................................... 6 BAB II ......................................................................................................... 8 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .............................. 8 2.1. Teori Perdagangan Internasional .................................................. 8 2.2. Konsep Impor ............................................................................. 15 2.3. Hambatan Perdagangan Internasional ....................................... 17 2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity ........................ 26 2.5. Kajian Sebelumnya ..................................................................... 29 2.6. Kerangka Pemikiran ................................................................... 35 BAB III ...................................................................................................... 37 METODOLOGI PENGKAJIAN ................................................................. 37 3.1. Metode Analisis .......................................................................... 37 3.2. Model Ekonometrik ..................................................................... 38 3.3. Metode Estimasi ......................................................................... 41 3.4. Ruang Lingkup Analisis .............................................................. 43 3.5. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 46 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv BAB IV ..................................................................................................... 47 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 47 4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong ............................ 47 4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional ...... 47 4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri Kimia, TPT dan, Elektronika .............................................................. 50 4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .......................... 54 4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ................................................ 54 4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ................................................ 55 4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .... 63 4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .............................................................................................. 64 4.4.1. Analisa Deskriptif.................................................................. 64 4.4.2. Hasil Regresi ........................................................................ 75 4.5. Hasil Temuan Lapang ................................................................. 88 BAB V ...................................................................................................... 92 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................. 92 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 92 5.2. Rekomendasi Kebijakan ............................................................. 92 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 94 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015 04 Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014 48 Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun 49 Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun 50 Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk Tabel 4.5. 56 Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk Tabel 4.6. 57 Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia, TPT, dan Elektronik 61 Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia 64 Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT 68 Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik 72 Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia 76 Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia 77 Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub sektor industri Kimia (2000-2013) 78 Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TP 80 Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT 81 Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub sektor industri TPT (2000-2013) 82 Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik 84 Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik 85 Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub sektor Elektronik TPT (2000-2013) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86 vi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari 09 Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil Gambar 2.3. 19 Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan Keseimbangan Parsial Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 3.1. Gambar 4.1. 23 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap kesejahteraan 24 Kerangka Pikir Kajian 36 Alur Kerja Pemodelan Nilai bahan baku impor yang digunakan pada Industri Kimia, TPT, dan Elektronik Gambar 4.2. 51 Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada industri Kimia, TPT, dan Elektronik Gambar 4.3. 51 Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada beberapa jenis industri Kimia Gambar 4.4. 52 Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada beberapa jenis industri TPT Gambar 4.5. 53 Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada beberapa jenis industri Elektronik Gambar 4.6. 54 Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan Elektronik Gambar 4.7. 55 Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk Gambar 4.8. 57 Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia menurut KBLI 5 digit Gambar 4.9. 59 Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT menurut KBLI 5 digit Gambar 4.10. 60 Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik menurut KBLI 5 digit Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60 vii Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia, TPT,dan Elektronik Gambar 4.12. 63 Perkembangan PDB Industri Kimia , 2000-2013 (Rp. Miliar) Gambar 64 Perkembangan Nilai tukar , 2000-2013 4.13. 65 Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013 Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada 66 Industri Kimia, 2000-2013 Gambar 4.16. 66 Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga kerja per tahun pada Industri Kimia, 2000-2013 Gambar 4.17. 67 Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013 (harga Berlaku, Rp. Miliar) 68 Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013 69 Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada 70 Industri TPT, 2000-2013 Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan baku industri TPT, 2000-2010 Gambar 70 Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 2000-2013 4.21. 71 Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik 2000-2013 (harga berlaku, Rp. Milliar) Gambar 4.23. 72 Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri Elektronik, 2000-2013 73 Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan non tarif Sektor Elektronik 74 Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor pada industri Elektronik, 2000-2010 Gambar 4.26. Gambar 4.27. 74 Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri Elektronik, 2000-2013 75 Rata-Rata Produktivitas Sektor Kimia 78 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT 82 Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik 86 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama lima tahun terakhir (2010-2014) impor Indonesia cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir sebesar USD 191,69 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015). Pasca mengalami nilai impor tertinggi pada tahun 2012, impor Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2013. Impor Indonesia dari awal tahun sampai dengan bulan Oktober 2015 menurun sebesar 20,44% dari periode Januari-Oktober 2014 hingga nilai impornya mencapai USD 119,10 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015). Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar 74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%. Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia pada periode Januari-Oktober 2015 senilai USD 89,83 miliar atau sebesar 76,44% dari impor Indonesia. Sementara itu, impor Barang Modal Indonesia pada periode yang sama mencapai USD 20,46 miliar (16,45%) dan Barang Konsumsi yang diimpor sebesar USD 10,50 miliar (7,11%). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan Bahan Baku/Penolong. Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkat, di sisi yang lain tidak dibarengi oleh peningkatan pertumbuhan industri manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, porsi industri manufaktur Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1 terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015. Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur 11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan kegiatan impor yang membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan barang-barang yang berdaya saing di pasar ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/ penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor, produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015). Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar dan liberal terhadap produk jadi. Mengacu pada hal tersebut, kebijakan impor yang berkembang saat ini mempunyai peran terhadap fenomena dinamika kinerja industri manufaktur yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Premis ini menjadi penting untuk dilihat kembali mengingat mayoritas industri manufaktur di Indonesia menggunakan input bahan baku/ penolong berasal dari impor. Dugaan diatas dilandasi oleh studi Amiti dan Konings (2007) dan Ing dan Putra (2015), dengan menggunakan studi kasus perusahaan di Indonesia, yang menunjukkan produktivitas industri meningkat seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif terhadap bahan baku penolong. Dengan metode yang sedikit berbeda, beberapa studi yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2 dapat mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue, 2008; Halpern, Koren dan Szeidl, 2011; Bas dan Strauss-Khan, 2011). Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan kinerja industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan perdagangan (Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik dan Topalova, 2010; Khandelwal dan Topolova, 2011). Namun demikian, faktor terkait kebjakan non tarif belum dipelajari dalam studi – studi tersebut di atas. Terkait dengan paket kebijakan pemerintah yang bergulir saat ini, tentunya kajian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai salah satu kontribusi perubahan kebijakan impor tarif maupun non tarif yang akan mendorong kinerja industri manufaktur yang selanjutnya akan mendorong kinerja ekspor non migas dan tentunya berpengaruh dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan berbagai perkembangan di atas, maka dinilai perlu untuk melakukan kajian tentang kinerja industri dan perdagangan beberapa produk. Adapun kriteria pemilihan produk yang akan dijadikan obyek kajian antara industri/perdagangan lain adalah relatif sumbangannya besar; terhadap industrinya sedang berkembang/bertumbuh; industrinya padat karya/menyerap banyak tenaga kerja; import contentnya masih relatif tinggi; menghasilkan nilai tambah yang cukup berkembang/bertumbuh. tinggi serta Berdasarkan ekspornya kriteria tersebut, sedang maka beberapa industri yang terpilih adalah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Industri Kimia dan Industri Elektronika. Selama tahun 2010 jumlah industri TPT di dalam negeri yang meliputi industri Pakaian Jadi, Serat dan Benang serta Kain mencapai 441 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1,0 juta orang. Industri ini menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 70,6 triliun. Sementera itu nilai ekspor TPT pada tahun 2015 (Januari-Nopember) mencapai US$ 11,2 milyar. Untuk industri kimia yang antara lain Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3 meliputi Industri Kimia Dasar, Industri Kimia Organik, dan Industri Pupuk, saat ini terdapat sebanyak 333 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 47,2 ribu orang. Nilai ekspor produk kimia sepanjang tahun 2015 (Januari-Nopember) sebesar US$ 2,4 milyar dimana untuk Kimia Anorganik mengalami peningkatan 18,9% dibanding periode yang sama tahun 2014, sedangkan industri Kimia Organik menurun 32,3%. Sementara itu, untuk industri elektronika pada tahun 2010 terdapat 605 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 248,9 ribu dan menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 51,3 triliun. Adapun nilai ekspor yang terdiri dari Produk Konsumsi, Elektronik Bisnis/Industri, Komponen dan Bagian serta Alat Cetak Elektronik pada tahun 2015 (Januari-Nopember) mencapai US$ 7,6 milyar. Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015 Unit Tenaga Nilai Tambah Bruto Nilai Ekspor 2015 (Jan-Nop) (Ribuan Rp) (US$ Ribu) Usaha Kerja TPT 4.549 1.006.728 70.629.832.179 11.186.312,1 KIMIA 333 47.245 34.400.842.427 1.988.157,2 ELEKTRONIKA 605 248.933 51.348.493.047 7.623.651.9 Sumber : Kemenperin, dan BPS 1 Jenis Industri 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a. Apa saja kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik? b. Bagaimana peran kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik? Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4 1.3. Tujuan Tujuan kajian ini secara rinci adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik 1.4. Output Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan output sebagai berikut: a. Identifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik b. Analisis peran kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik 1.5. Dampak/Manfaat Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam penyusunan kebijakan impor bahan baku/penolong, dalam rangka mendukung ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dan kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik. 1.6. Ruang Lingkup Kajian ini hanya akan mengkaji 3 (tiga) industri manufaktur yaitu industri kimia, tekstil dan elektronika (KLBI 5 digit) berdasarkan kriteria sebagai berikut: a. Nilai dan trend nilai impor bahan baku/ penolong yang tinggi b. Rasio bahan baku/ penolong impor terhadap total penggunaan bahan baku tinggi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5 c. Industri manufaktur yang menjadi prioritas dalam pengembangan industri berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2019 d. Memiliki kebijakan impor berupa tarif dan/atau non tarif e. Memiliki kebijakan impor yang belum termasuk ke dalam Paket Deregulasi Bidang Perdagangan f. Memiliki tarif bea masuk di atas 0% 1.7. Sistematika Laporan Laporan ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan isi masing-masing bab sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Kajian 1.4 Output Kajian 1.5 Dampak/ Manfaat Kajian 1.6 Ruang Lingkup Kajian 1.7 Sistematika Laporan BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Teori Perdagangan Internasional 2.2 Konsep Impor 2.3 Hambatan Perdagangan Internasional 2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif 2.3.2 Hambatan Perdagangan Non Tarif 2.4 Kajian Sebelumnya 2.4.1 Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/ Penolong 2.4.2 Kajian tentang Peran Kebijakan Impor terhadap Total Faktor Produktivitas (TFP) 2.5 Kerangka Pemikiran BAB III METODE PENGKAJIAN 3.1 Metode Analisis Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6 3.1.1. Model Ekonometrik Peran Kebijakan Impor terhadap Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong dan Kinerja Industri Manufaktur 3.1.2. Pengukuran Produktivitas Industri Manufaktur 3.2 Jenis dan Sumber Data BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong 4.2 Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik 4.3 Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik 4.4 Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik 4.5 Hasil Temuan Lapang BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi dagang barang dan jasa antara subjek ekonomi satu negara dengan subjek ekonomi negara lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri ataupun perusahaan negara. Perdagangan internasional sendiri terjadi akibat adanya perbedaan potensi sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia dan kemajuan teknologi antar negara (Halwani & Hendra, 2005). Beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara (Salvatore, 1997). Perbedaan ini terjadi karena 1) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan 2) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terusmenerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola perdagangan internasional. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8 Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional Sumber : Salvatore (1997) Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut: a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri. b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri. c. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 9 dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri. d. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern Secara historis, teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep perdagangan internasional atau aktivitas ekspor dan impor antar wilayah/negara dimulai dari teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif. Teori keunggulan absolut yang diperkenalkan oleh Adam Smith dinyatakan bahwa perdagangan didasarkan kepada keunggulan absolut (absolute advantage), yaitu jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dan memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkan dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Menurut Adam Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling efisien. Output yang diproduksi pun akan meningkat. Teori perdagangan komparatif yang diperkenalkan David Ricardo tahun 1817 menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10 dibanding (atau memiliki kerugian absolut) dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antar negara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadi pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara. Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage (Salvatore, 1997). John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006). Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11 bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja. Teori perdagangan lainnya adalah konsep proporsi faktor produksi atau dikenalkan dengan Teori Heckscher-Ohlin. Intisari dari teorema Hecksher-Ohlin (H-O) adalah sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Intisari dari teori Hecksher-Ohlin adalah mengupas dan memprediksikan pola perdagangan, dan teori penyamaan harga faktor (factor-price equalization theorem) yang mengupas dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan internasional (ekspor-impor) terhadap harga faktor produksi di negara yang terlibat. Teorema penyamaan harga faktor (teorema Heckscher-OhlinSamuelson) sebagai berikut: Perdagangan internasional akan mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut, di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Perdagangan internasional dapat berfungsi sebagai pengganti atau substitusi bagi mobilitas faktor internasional. Ada tiga asumsi penting dalam memprediksi penyamaan harga-harga faktor yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada. Ketiga asumsi itu adalah 1) kedua negara memproduksi selalu kedua jenis barang sekaligus; 2) adanya kesamaan dalam teknologi; dan 3) hubungan perdagangan benar-benar menyamakan harga-harga barang di kedua negara. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12 Perdagangan antar negara cenderung meningkatkan harga faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di suatu negara dan dalam waktu yang bersamaan akan menurunkan harga faktor produksi yang relatif langka dan mahal. Seluruh faktor produksi tenaga kerja dan modal diasumsikan telah terdayaguna secara penuh (full employment) sebelum maupun sesudah perdagangan,maka pendapatan rill tenaga kerja dan suku bunga rill bagi para pemilik modal akan bergerak ke arah yang dituju oleh pergerakan harga-harga faktor produksi itu sendiri. Teori Hecksher-Ohlin memberikan konklusi bahwa perdagangan cenderung memperbesar tingkat pendapatan atau tingkat upah para pekerja dan menurunkan suku bunga rill modal di negara yang kaya tenaga kerja dan yang mengalami kelangkaan modal. Perdagangan (ekspor dan impor) akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang melakukannya. Namun demikian, dalam perkembangannya teori HeckscherOhlin (Teori H-O) mengalami pertentangan. Alasan utamanya adalah adanya ketidaksesuaian antara teori Heckscher-Ohlin-Samuelson dengan kondisi nyata, yaitu: asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori tersebut terlampau restriktif dan cenderung menyederhanakan kenyataan-kenyataan yang ada. Sebagai contoh, tingkat teknologi setiap negara tidak sama, sedangkan biaya-biaya dan hambatan perdagangan diabaikan yang dalam prakteknya merupakan ganjalan utama bagi berlangsungnya perdagangan internasional sehingga proses penyamaan harga-harga relatif komoditi tidak pernah berjalan sempurna. Keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O) yang dimilikinya juga karena adanya produksi atau bantuan fasilitas dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya. Keunggulan ini sifatnya lebih dinamis dengan perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan SDM yang sangat Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13 cepat. Hal ini mendorong suatu konsep baru mengenai perdagangan internasional, yaitu teori keunggulan kompetitif. Menurut Porter (1990), keunggulan persaingan suatu negara tidak berkorelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara untuk dimanfaatkan menjadi daya saing dalam perdagangan. Banyak negara di dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya sangat besar secara proporsional dengan luar negeri tetapi terbelakang dalam daya saing internasional. Begitu juga tingkat upah yang relatif murah daripada negara lainnya, begitu pula berkorelasi erat dengan rendahnya motivasi bekerja keras dan berprestasi. Porter menyebutkan bahwa peranan pemerintah sangat mendukung selain faktor produksi. Porter mengungkapkan ada empat atribut utama yang menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai sukses internasional, keempat atribut itu adalah kondisi faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri pendukung, dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri. Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri yang tinggi, industri hulu atau hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh 1/2 atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang sukses. Di samping keempat atribut di atas, peran pemerintah juga merupakan variabel yang cukup signifikan Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14 menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pendorong semua negara di dunia untuk melakukan perdagangan luar negeri. Menurut Sukirno (2004), dari faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah: 1) memperoleh barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri; 2) mengimpor teknologi yang lebih modern dari negara lain; 3) memperluas pasar produk-produk dalam negeri; dan 4) memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Di sisi lain, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan tantangan dan kendala yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tantangan dan kendala tersebut, antara lain eksploitasi terhadap negara-negara berkembang, ambruknya industri lokal, keamanan barang menjadi rendah, ancaman ketahanan pangan, dan keamanan konsumen dan sebagainya. Untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, negara-negara di dunia berupaya untuk menciptakan hambatan perdagangan terutama hambatan untuk impor. 2.2. Konsep Impor Secara harfiah, impor adalah barang dan jasa yang diproduksi di luar negeri dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2006). Impor terjadi jika ada kelebihan permintaan internasional. Dengan adanya kegiatan impor, negara produsen yang produksinya melimpah dan melebihi permintaan domestik dapat melakukan memenuhi permintaan impor di suatu negara sehingga sehingga produksinya tetap berlangsung. Saat ini impor dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku di negara pengimpor. Pada dasarnya, impor yang akan dilakukan oleh suatu negara bergantung pada banyak faktor. Pertama, barang-barang yang diperlukan di dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh pemilik faktorPuska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15 faktor produksi di dalam negeri atau terbatas sedangkan permintaan domestik tinggi. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut dikarenakan dua hal, yakni 1) kapasitas produksi terbatas (titik optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau 2) pemakaian kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua, permintaan impor sangat ditentukan faktor-faktor harga atau keseimbangan harga, baik yang terdapat di dalam negeri maupun keseimbangan harga internasional. Impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi biaya yang dikeluarkan untuk impor (Rhee, 2012). Keempat, nilai impor tergantung dari nilai tingkat pendapatan nasional negara tersebut. Makin tinggi pendapatan nasional, semakin rendah menghasilkan barang-barang tersebut, maka impor pun semakin tinggi sehingga pada akhirnya pendapatan nasional menjadi terkikis. Selain keempat faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi impor suatu negara yakni nilai tukar riil, situasi politik, harga relative, dan variabel struktural lainnya (Wang & Lee, 2012). Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara lain dengan tujuan untuk menjaga dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16 2.3. Hambatan Perdagangan Internasional Perbedaan komparatif dan kompetitif antar negara dan pengamanan kepentingan nasional mendasari penerapan kebijakan perdagangan internasional. Hampir seluruh negara di dunia memiliki hambatan perdagangan untuk mengendalikan impor. Hambatan perdagangan tersebut merupakan intervensi pemerintah dalam mengurangi kebebasan perdagangan internasional. Pada umumnya hambatan perdagangan internasional dibedakan menjadi 2 (dua), yakni: 2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam (Salvatore,1997): a. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain. b. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor. Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. b. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor. c. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan tarif spesifik. Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17 ekonominya terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan umum. Ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan. Walaupun setiap produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah. Gambar 2.2 dampak menggambarkan bagaimana dampak- keseimbangan umum yang dihasilkan dari pemberlakuan tarif di sebuah negara kecil seperti Indonesia. Negara kecil dimaksudkan sebagai negara yang tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar dunia. Pada Px/Py = 1 di pasar dunia, negara 2 akan berproduksi di titik B dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100 persen terhadap komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X; separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari pengenaan tarif ad valorem 100 persen terhadap komoditi X Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18 yang diimpor. Karena kita berasumsi bahwa pemerintah negara 2 menggunakan kebijakan tarif tersebut dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke kurva indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan. Y 140 120 B 85 F E 60 55 - III G H’ H 40 - II A PF = 2 0 I I I I I 40 65 80 95 100 PW = 1 X Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil Sumber: Nicholson (1994) Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas. Hal ini dibuktikan dengan bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19 terletak pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada sebelumnya. Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab: (a) Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia. (b) Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a) maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan kesejahteraan (the loss in welfare) terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Hal ini merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum dari kerugian akibat produksi (production distortion loss) yang telah dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang tidak efisien juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat konsumsi (consumption distortion loss). Volume perdagangan mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor samasama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas. Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 20 Pada analisis dampak pemberlakuan tarif berdasarkan analisis keseimbangan parsial, mengacu pada Oktaviani et al. (2014). Pada Gambar 2.3. Dx adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran komoditi X yang merupakan produk pangan di Negara 2 yang merupakan negara kecil. Jika Negara 2 tidak mengadakan hubungan perdagangan internasional maka keseimbangan di titik E yang merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Pada titik tersebut Negara 2 mengkonsumsi produkpanganX sebanyak 30 unit dengan harga Px = 3 dolar per unit. Jika kemudian Negara 2 melakukan hubungan perdagangan internasional, maka Negara 2 akan menikmati produkpangan X dengan harga yang jauh lebih murah, yakni Px 1 dolar per unit sehingga konsumsinya pun akan meningkat menjadi sebesar 70X (AB). Dari konsumsi sebesar itu, 10X diantaranya merupakan produksi domestik, sedangkan 60X (CB) diimpor. Garis putus-putus Sf melambangkan kurva penawaran produk panganX dari luar negeri yang elastia sempurna untuk Negara 2. Artinya, pasarpasar internasional mampu memasok produk pangan X sebanyak apa pun ke Negara 2 berdasarkan harga dunia yang berlaku. Jika kemudian Negara 2 memberlakukan tarif ad valorem sebesar 100 persen terhadap produk pangan X yang diimpor, maka Px atau harga yang harus ditanggung konsumen di Negara 2 meningkat menjadi 2 dolar per unit, sementara harga bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibat naiknya harga X di negara 2 maka penduduk di Negara 2 akan menurunkan konsumsinya menjadi 50X (GH), dengan komposisi 20X (GJ) merupakan hasil produksi domestik, sedangkan 30X (JH) merupakan produk pangan impor dari negara lain. Garis putusputus Sf + T Gaambar 2.2 merupakan kurva penawaran produk Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21 pangan X dariluar negeri yang baru (setelah memperhitungkan dampak tarif) untuk Negara 2. Analisis dampak kebijakan perdagangan berupa tarif dapat dilihat dari dampak terhadap konsumsi, produksi, perdagangan, dan dampak terhadap penerimaan pemerintah. Dampak pemberlakuan tarif tarif terhadap konsumsi (consumption effect of the tariff) yakni berkurangnya konsumsi domestik akibat pemberlakuan tarif ad valorem yang mencapai 20X (BN). Sementara dampak pengenaan tarif terhadap produksi (production effect of the tariff) yakni peningkatan produk domestik karena adanya tarif yakni sebesar 10X (CM). Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan (trade effect of the tariff) yakni turunnya impor sama dengan 30X (BN + CM). Sedangkan dampak pengenaan tarif terhadap penerimaan pemerintah (revenue effect of the tariff) yakni berupa pemasukan bagi pemerintah sebesar 30 dolar atau 1 dolar dari 30 unit komoditi X yang diimpor (MJHN). Elastisitas demand dan supply memengaruhi dampak kebijakan. Semakin elastis Dx dan semakin mendatar bentuknya, maka kenaikan harga produk pangan akibat pemberlakuan tarif akan menimbulkan dampak konsumsi (consumption effect) yang semakin besar. Semakin elastis Sx maka semakin besar dampak produksi (production effect) yang akan ditimbulkan oleh kenaikan harga komoditi sehubungan dengan pemberlakuan tarif. Semakin elastis Dx dan Sx, akan semakin besar dampak perdagangan (trade effect) yang dimunculkan oleh kenaikan harga komoditi akibat pemberlakuan tarif tersebut sehingga semakin besar pula pengurangan impor yang terjadi. Hal ini pada gilirannya akan memperkecil dampak pendapatan (revenue effect) bagi pemerintah negara. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22 Px ($) 5 - 4 - Sx E 3 G 2 J H M N SF + T A 1 C B SF - DX I I I I I I I I 10 20 30 40 50 60 70 80 X Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan Keseimbangan Parsial Sumber: Oktaviani et al. (2014) 2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif Salah satu bentuk hambatan perdagangan internasional non-tarif adalah kuota impor. Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik. Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor. Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah sebagai barang perdagangan penting serta di bawah suatu pengawasan badan internasional. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23 Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran yang defisit. Pemberlakuan hambatan non-tarif akan meningkatkan harga produk sehingga pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997). Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan- kebijakan perdagangan akan mempengaruhi kesejahteraan (welfare). Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 2.3. Harga S P A B C D P D Kuantita QS0 QS1 QD1 QD0 Gambar 2.4 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap kesejahteraan Sumber: Wall (1999) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24 Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw?. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi P M?. Sehingga negara tersebut akan produksi sebesar Q S1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight Loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota sehingga dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C. Berbagai macam restriksi atau hambatan non-tarif itu telah menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya, ini merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Penggunaan hambatan perdagangan ini pada intinya bertentangan dengan semangat pasar bebas (liberalisasi) yang diusung WTO. Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus bisa melakukan pengelolaan hambatan impor agar dapat menjaga Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25 kepentingan nasionalnya, terutama yang terkait dengan kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan dan moral bangsa. 2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity Produktivitas dapat diartikan sebagai rasio dari output per unit input dalam suatu unit waktu. Produktivitas meningkat bila rasio output per unit input semakin besar dalam periode tertentu. Teknologi dan manajemen produksi yang lebih baik menjadi faktor yang signifikan dalam peningkatan produktivitas. Meningkatkan produktivitas dipandang sebagai satu-satunya cara dalam memperbaiki standar kehidupan dalam jangka panjang. Peningkatan produktivitas pertumbuhan ekonomi, merupakan determinan dalam yang ditunjang oleh semakin luasnya lapangan kerja yang tersedia menjadi kunci sukses menuju kemakmuran. Kemakmuran secara umum diukur dengan menghitung tingkat produk domestik bruto (GDP) per orang, total output dalam perekonomian relatif pada jumlah populasi suatu wilayah. Untuk mengukur kinerja industri secara khusus, umumnya digunakan Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan indikator umum yang digunakan untuk mengukur produktivitas, yaitu mencakup perbedaan teknologi, organisasi, restrukturisasi, managerial skill, dll. TFP dapat menjadi alat yang penting dalam menganalisis sumber pertumbuhan ekonomi, perbedaan perkapita antar negara, dsb. TFP menjelaskan mengapa dua perusahaan dapat menghasilkan output yang berbeda dengan input yang sama. Secara konsep, TFP didefinisikan sebagai porsi dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan dalam produksi. Metode yang digunakan untuk mengukur TFP telah banyak dikembangkan. Banyak pula perdebatan diantara para ahli tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur TFP, mulai dari yang sederhana sampai tingkat tinggi dengan menggunakan metodePuska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26 metode ekonometrik. Pada tahun 1957, Solow mendekomposisikan pertumbuhan output menjadi pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi dalam artikelnya yang berjudul “Technical Change and Aggregat Production Function”, dan mengajukan metode nilai residual Solow, yang kemudian digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan teknologi dan sumber pertumbuhan output. Terdapat dua cara untuk menghitung TFP yaitu melalui metode non parametrik dan metode parametrik. Metode nonparametrik tidak diperlukan bentuk fungsi spesifik atau asumsi-asumsi statistik tertentu dalam mengukur TFP. Prinsip dasarnya, TFP diperoleh dengan cara merasiokan antara output dengan input, sehingga dihasilkan nilai produktivitas. Metode parametrik mengestimasi TFP melalui fungsi produksi, sehingga kita harus menggunakan fungsi-fungsi produksi tertentu seperti fungsi produksi Cobb-Douglas (C-D), Transcendental Logaritmic (Translog), Constant Elasticity Subtitution (CES), dll. Fungsi produksi yang masih berbentuk fungsi matematis (deterministic) tersebut diubah dulu kedalam fungsi produksi yang berbentuk fungsi statistik (stochastic), yang artinya mengandung error. Ilustrasinya, kira-kira seperti ini. Misalnya, kita menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas (CD) dengan 2 input yaitu modal (K) dan tenaga kerja (L), sedangkan A adalah indeks teknologi konstan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27 Prinsip dasar pengukuran TFP dengan menggunakan metode parametrik adalah dengan memanfaatkan nilai error dalam model regresi. Error dalam model regresi dapat mewakili pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar atau yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel penjelas yang digunakan dalam model. TFP menjelaskan porsi dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan dalam produksi, maka pengukuran TFP identik dengan pengukuran error. Nilai error tersebut pada aplikasinya tidak bisa diobservasi secara langsung karena nilai-nilai parameter fungsi produksi tidak diketahui. Untuk mengestimasi nilai-nilai parameter tersebut dengan menggunakan berbagai metode estimasi seperti Ordinary Least Squares (OLS), Generalized Least Squares (GLS), Maximum Likelihood Estimators (MLE), Bayesian Estimators, dll. Pada akhirnya kita akan memperoleh nilai residual sebagai pendekatan untuk error. Nilai residual inilah yang akan digunakan untuk mengestimasi Total Factor Productivity (TFP). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28 2.5. Kajian Sebelumnya 2.5.1. Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong Berbagai studi terdahulu telah membahas tentang permintaan impor secara disagregat dan berdasarkan pengelompokkan golongan ekonomi barang (Broad Economic Category, BEC). Studi Houthakker dan Magee (1969), yang menganalisis elastisitas permintaan impor dan ekspor terhadap Produk Nasional Bruto (Gross National Product (GNP)) atau pendapatan riil dan harga, baik secara agregat maupun disagregat di Amerika Serikat, menemukan bahwa nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan impor di Amerika Serikat sama dengan negara maju lainnya sedangkan elastisitas harga terhadap total impor dan total ekspor secara relatif rendah dan lebih besar untuk beberapa kelompok komoditi di Amerika Serikat. Serupa dengan model Houthakker dan Magee (1969) dan Price dan Thornblade (1972), Kreinin (1973) mengestimasi model permintaan impor Amerika Serikat secara disagregat berdasarkan kelompok komoditi dan negara pemasok disagregat dan menyimpulkan dipengaruhi bahwa oleh permintaan elastisitas harga impor relatif (perbandingan harga barang impor terhadap indeks harga perdagangan besar) dan elastisitas pendapatan. Khan (1975) juga mengestimasi struktur dan perilaku impor di Venezuela yang dihubungkan dengan harga relatif barang impor terhadap harga domestik dan pendapatan domestik riil. Secara konsisten, Ali dan Chani (2013) juga menemukan bahwa variabel pendapatan lebih elastis pada kelompok komoditi barang manufaktur dibandingkan dengan kelompok komoditi lainnya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang secara konsisten membahas estimasi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan elastisitas harga dan 29 pendapatan, Sarmad dan Mahmood (1987) dan Sarmad (1989) menambahkan tarif impor dalam penyesuaian harga relatif, beberapa variabel aktivitas lainnya (seperti pengeluaran konsumsi riil, nilai tambah riil sektor industri manufaktur) dan elastisitas hubungan harga relatif dengan variabel aktivitas lainnya terhadap permintaan impor secara disagregat untuk Pakistan. Penelitiannya menemukan bahwa elastisitas harga relatif yang disesuaikan dengan tarif bea masuk di Pakistan adalah rendah dan berbeda dengan besaran elastisitas di negara-negara maju. Deyak, Sawyer, dan Sprinkle (1989) menambahkan variabel stabilitas struktural terhadap fungsi permintaan impor disagregat Amerika Serikat berdasarkan kelas ekonomi – pangan mentah, barang mentah, produk makanan olahan, produk semi-manufaktur dan produk jadi manufaktur dan menemukan bahwa instabilitas struktural terjadi pada tiga kelompok ekonomi – produk jadi manufaktur, produk makanan olahan, dan barang mentah. Penelitianpenelitian sejenis tentang permintaan impor disagregat dan berdasarkan kategori golongan barang telah meluas ke berbagai cakupan negara seperti Cyprus (Pattichis, 1999), Korea Selatan (Mah, 2000) Malaysia (Cheong, 2002); Fiji (Narayan dan Narayan, 2005); Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (Fukumoto, 2012), Uganda (Samuel, 2015); dan sebagainya. Dalam pendekatan permintaan impor secara disagregat, kebijakan impor baik berupa tarif impor maupun non tarif lebih jarang diulas dibandingkan dengan pendekatan permintaan impor agregat. Santos-Paulino (2002) dan Santos-Paulino dan Thirlwall (2004) menganalisis dampak penurunan tarif dan hambatan non tarif terhadap impor dari 22 negara berkembang dan menemukan bahwa tarif impor akan menurunkan pertumbuhan impor, tetapi dampaknya beragam bergantung Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30 pada region dan jenis rezim kebijakan perdagangan yang ada ada pada suatu negara. Penurunan distorsi kebijakan perdagangan juga memiliki dampak yang kuat dan positif terhadap peningkatan impor. Kemudian, elastisitas pendapatan dan harga akan meningkat sebagai hasil dari reformasi kebijakan perdagangan. Penurunan tarif input akan mendorong importir untuk meningkatkan volume impor bahan baku/penolong dan barang modal, memperluas produk dan negara pemasok, mengakses ke negara yang lebih maju, dan mengimpor bahan baku/penolong yang lebih mahal (Ge, Lai, & Zhu, 2011). Di Indonesia, beberapa penelitian telah menitikberatkan pembahasan pada permintaan impor secara disagregat dan berdasarkan kategori ekonomi barang, khususnya untuk bahan baku/ penolong. Studi Waluyo (2004), yang mengestimasi permintaan bahan baku di sektor industri di Indonesia selama periode 1981-2000, menyimpulkan bahwa investasi luar negeri, investasi domestik, dan cadangan devisa luar negeri berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan bahan baku di sektor industri sedangkan nilai tukar rupiah terhadap USD dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong. Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan impor bahan baku sektor industri Indonesia (Waluyo, 2004). Hasil kajian tersebut diperkuat oleh studi Azis (2009) yang menyimpulkan bahwa investasi pemerintah dan investasi swasta berpengaruh terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong dan Suswati (2012) yang berpendapat bahwa suku bunga riil bepengaruh negatif dan signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap impor bahan baku dan penolong. Inflasi juga dapat berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap impor Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31 bahan baku dan penolong secara langsung sedangkan secara tidak langsung inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap total impor dan bahan baku dan penolong (Suswati, 2012). Puslitbang Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan (2007) dan Arianti (2014) menganalisis mengenai ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor dari sisi output, nilai tambah, dan pendapatan dan berpendapat bahwa ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor masih cukup besar karena elastisitas bahan baku impor lebih tinggi dibandingkan bahan baku domestik untuk beberapa sektor seperti alas kaki; kimia, elektronik serta kendaraan bermotor dan komponen kendaraan bermotor. Kelangkaan input suplai, masalah ketenagakerjaan dan sumber daya manusia serta teknologi pengolahan juga diduga ikut mempengaruhi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Selain itu persoalan infrastruktur, utilitas (listrik, gas dan air) serta masalah permodalan (bank dan non bank) juga diduga ikut menjadi faktor pendukung kurang bersaingnya input domestik dibandingkan input impor. Puska Daglu (2013) juga telah menganalisis substitusi impor pada industri pengolahan (manufaktur) tertentu yang memiliki tingkat impor dan substitusi impor yang besar dalam industri pengolahan dan perubahan yang terjadi pada impor sebagai bahan baku penolong. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan sebanyak 73 industri yang memiliki rasio ketergantungan impor bahan baku/penolong yang sangat tinggi dan 110 industri memiliki rasio impor bahan baku/penolong yang tinggi. Perilaku industri yang tingkat impornya tinggi tidak hanya mengalami substitusi impor tetapi juga tidak mengalami substitusi impor. Demikian pula, untuk industri yang mengalami substitusi impor tidak hanya indutsri dengan tingkat impor tinggi tetapi juga pada industri dengan tingkat impor rendah. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32 2.5.2. Kajian Peranan Kebijakan Impor terhadap Total Faktor Produktivitas (TFP) Kinerja suatu industri manufaktur lazimnya diukur melalui tingkat produktivitas industri atau total faktor produktivitas (TFP). Berbagai studi terlebih dahulu telah membahas mengenai TFP sektor industri manufaktur dan mentautkannya dengan kebijakan tarif impor barang jadi (output). Trefler (2004) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor industri Kanada dan Amerika Serikat dapat meningkat secara tajam akibat adanya dampak persaingan impor yang disebabkan pemotongan tarif yang tinggi. Pavcnik (2002) menunjukkan bahwa industri yang bersaing dengan impor di Chili menikmati peningkatan produktivitas yang lebih tinggi yang disebabkan oleh liberalisasi perdagangan. Beberapa penelitian lainnya yang mempelajari tarif barang jadi dan produktivitas termasuk Topalova (2004), Head dan Ries (1999), Krishna dan Mitra (1998), Gatson dan Trefler (1997), Tybout dan Westbrook (1995), Harrison (1994), Levinsohn (1993), dan Tybout, de Melo dan Corbo (1991). Beberapa studi sebelumnya yang menganalisis penurunan tarif bahan baku/penolong atau barang input. Corden (1971) berpendapat bahwa penurunan tarif bahan baku/penolong akan meningkatkan proteksi efektif, menurunkan persaingan impor dan sebagai hasilnya akan menurunkan produktivitas. Berlawanan dengan itu, Ethier (1982), Markusen (1989) dan Grossman dan Helpman (1991) justru memperlihatkan bahwa perusahaan dapat merasakan peningkatan produktivitas dengan adanya penurunan tarif impor barang input karena dapat mengakses berbagai macam bahan baku/penolong dan kemungkinan mendapatkan input dengan kualitas yang lebih tinggi. Studi Schor (2004) di Brazil Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33 menunjukkan bahwa tarif impor barang input menurunkan tarif impor terhadap barang jadi dalam jumlah yang sangat kecil. Amiti dan Konings (2007), dengan menggunakan studi kasus perusahaan di Indonesia, yang menunjukkan produktivitas industri di Indonesia akan meningkat sebesar 12% seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif sebesar 10% terhadap barang input (bahan baku/penolong) sedangkan penurunan tarif bea masuk pada barang jadi dapat meningkatkan produktivitas seiring dengan peningkatan persaingan, dimana bahan baku/ penolong yang lebih murah dapat meningkatkan produktivitas melalui pembelajaran, keberagaman, dan kualitas. dampak Ing dan Putra (2015) mengestimasi penurunan tarif barang input terhadap peningkatan nilai tambah melalui keanekaragaman produk dan kualitas dengan menggunakan data pada tingkat perusahaan dan produk dari tahun 2000-2010. Studi tersebut menunjukkan bahwa penurunan 1% dalam tarif barang input akan meningkatkan nilai tambah sebesar 0,2%, sementara penurunan 1% dalam tarif barang input justru dapat meningkatkan keanekaragaman produk dan kualitas masingmasing sebesar 3,5% dan 1,5%. Perusahaan yang melakukan ekspor dan perusahaan asing akan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan dan rata-rata perusahaan, namun hanya perusahaan yang melakukan ekspor yang memiliki kecenderungan untuk meningkatkan keanekaragaman dan kualitas produk. Dengan metode yang sedikit berbeda, beberapa studi yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor dapat mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue, 2008; Bas dan Strauss-Khan, 2011; Topalova & Khandelwal, 2011; Ge, Lai dan Zhu, 2011; Halpern, Koren & Szeidl, 2015). Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 34 kinerja industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan perdagangan (Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik dan Topalova, 2008). 2.6. Kerangka Pemikiran Berikut ini adalah pola pikir kajian ini hingga nantinya dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan impor dalam rangka mendukung ketersediaan impor bahan baku/ penolong dan kinerja industri manufaktur. ï‚· Kerangka berfikir kajian ini pada dasarnya dapat dipisahkan menjadi dua bagian yang saling terkait. Pertama, terkait dengan bagaimana kebijakan impor dapat mempengaruhi permintaan terhadap bahan baku/penolong yang berasal dari impor. Ketersediaan bahan baku/penolong sangat krusial dalam proses produksi industri manufaktur. Bahan baku/penolong dapat diperoleh dari produsen dalam negeri maupun impor dari produsen luar negeri. ï‚· Bagi industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik, bahan baku/penolong yang berasal dari impor masih cukup penting. Oleh karena itu ketersediaan bahan baku impor/penolong dalam mendukung proses produksi di tiga industri manufaktur tersebut akan mempengaruhi jumlah output industri tersebut. Kebijakan impor berupa tariff dan non-tariff akan mempengaruhi permintaan terhadap Impor bahan baku bagi industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik. ï‚· Kedua, berkaitan dengan bagaimana impor dapat mempengaruhi kinerja di industri manufaktur. Jumlah output yang dihasilkan dari proses produksi di tiga industri yang menjadi fokus kajian bukan menjadi satu-satunya hal yang diharapkan, melainkan peningkatan produktivitas yang menunjukkan adanya peningkatan efisiensi di dalam industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik. Peningkatan produktivitas akan berimplikasi pada penurunan biaya Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 35 per unit yang tentunya akan meningkatkan daya saing industri manufaktur Indonesia.. Gambar 2.5 Kerangka Pikir Kajian Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 36 BAB III METODOLOGI PENGKAJIAN 3.1. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini berupa analisis kuantitatif dan kualitatif. Metode analisis kuantitatif melalui model ekonometrik digunakan untuk menganalisis besaran peran kebijakan impor terhadap permintaan impor bahan baku/penolong industri manufaktur dan kinerja industri manufaktur. Metode kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif analitik yang dipakai dalam pengkajian ini untuk mendapatkan pemetaan kebijakan impor bahan baku/ penolong dan analisis yang mendalam mengenai peran dan pengimplementasian kebijakan impor terhadap ketersediaan pasokan bahan baku/ penolong dan kinerja industri manufaktur. Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai pengaruh dari kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap kinerja industri kimia, tekstil, dan elektronik akan digunakan model persamaan simultan. Alasan penggunaan model simultan adalah berdasarkan kerangka kajian di Gambar 3.1. terlihat bahwa kebijakan impor bahan baku/penolong tidak langsung mempengaruhi proses produksi di industri manufaktur. Estimasi Persamaan Impor (Persamaan 3.1) (2SLS) Estimasi Permintaan Impor (log Mit) (2SLS) Persamaan output (Persamaan 3.2) Residual Kinerja Industri Kebijakan Impor (TFP) TFP ( �it ) (Mpolicy) Gambar 3.1. Alur Kerja Pemodelan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 37 3.2. Model Ekonometrik Untuk menganalisis peran kebijakan impor baik tarif maupun non tarif terhadap permintaan impor bahan baku/penolong industri manufaktur digunakan modifikasi model yang telah ada sebelumnya dari Sarmad dan Mahmood (1987). Sarmad dan Mahmood menggunakan model sederhana permintaan terhadap impor (simple import demand model) sebagai dasar pembentukan persamaan impor. Secara tradisional, permintaan terhadap suatu barang impor merupakan model yang menjadi kerangka utama dalam sebagian besar studi tentang permintaan impor yang diturunkan dari teori permintaan konsumen. Model permintaan impor sederhana (Khan, 1974) menghubungkan antara jumlah riil barang impor yang diinginkan suatu negara dengan tingkat pendapatan riil negara tersebut dan rasio harga relative antara harga barang impor tersebut dengan harga barang tersebut di domestic (diasumsikan terdapat tingkat substitusi antara barang impor dengan barang domestic). Model permintaan impor sederhana tersebut kemudian diubahsuai oleh Sarmad dan Mahmood dengan memasukkan kebijakan tarif, sehingga menjadi persamaan berikut: (3.1) Dimana M menunjukkan jumlah barang yang diimpor, t menunjukkan tarif dan RP menunjukkan harga relatif antara barang impor dengan barang domestik. Sedangkan Y merupakan variabel pendapatan nasional (PDB) sebagai proksi aktivitas domestik. Dengan mengikuti alur persamaan yang digunakan oleh Aliyu (2007), persamaan Sarmad dan Mahmood tersebut kemudian dimodifikasi dengan menggunakan variable nilai tukar riil (RER) sebagai proksi dari harga relative (RP). Selain menganalisis peran dari kebijakan tariff, penelitian ini juga akan menggunakan kebijakan non Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 38 tariff sebagai salah satu bentuk kebijakan impor yang mempengaruhi impor bahan baku/penolong. Sedangkan untuk mengestimasi peran dari bahan baku impor dalam pembentukan output industri digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut: Y = f(LKM) (3.2) Dimana output (Y) industri i pada tahun t merupakan fungsi dari tenaga kerja (L), capital (K), dan bahan baku (M). Dengan menggunakan spesifikasi log-linear (dinotasikan dengan variabel dalam bentuk huruf kecil) maka persamaan tersebut akan menjadi: (3.3) Dengan uraian latar belakang pemodelan tersebut maka dalam penelitian ini akan digunakan dua buah persamaan struktural yang menunjukkan permintaan impor bahan baku/penolong dan yang menunjukkan produksi/output industri manufaktur. Model simultan di atas menggunakan persamaan struktural sebagai berikut: (3.4) (3.5) dimana: logMit = nilai impor bahan baku industri i pada periode t Mpolicyit = kebijakan impor (tarif dan non-tarif) bahan baku industri i pada periode t logYt = Produk Domestik Bruto pada periode t Qit = nilai produksi industri i pada periode t Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 39 RERt = nilai tukar riil (Rp/USD) pada periode t log Kit = capital (K) log Lit = tenaga kerja (L) log Mit = impor bahan baku eit = error ��t = residual (Total Factor Productivity, TFP) o 1 2 3 0 1 2 3 = parameter persamaan Variabel Operasional Variabel Impor adalah nilai impor bahan baku untuk masing-masing subsektor 5 digit KBLI yang tergolong ke dalam kelompok industri kimia, industri TPT dan industri elektronik. Variabel Kebijakan Impor yang digunakan pada persamaan 3.4 adalah sebagai berikut: a. Tarif Bea Masuk MFN (Most Favourable Nations) Variabel Tarif Bea Masuk MFN (Most Favourable Nations) adalah rata-rata persentase tarif bea masuk yang dikenakan atas bahan baku impor yang masuk ke Indonesia dari negara lain, kecuali negara yang memiliki perjanjian khusus mengenai tarif bea masuk dengan Indonesia. b. Non-Tarif NTM (non-tariff measures) Variabel non-tarif adalah jumlah peraturan non tarif yang dikenakan pada impor bahan baku di masing-masing subsektor industri. Kebijakan NTM umumnya masih berupa aturan-aturan sederhana mengenai lisensi impor. Kebijakan impor ini dimaksudkan sebagai hambatan masuk yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, memberikan kepastian hukum bagi investor, memberikan perlindungan bagi konsumen, dan meningkatkan efisiensi administrasi kepabeanan. Variabel PDB pada dasarnya merupakan variabel yang menunjukkan kapasitas permintaan impor bahan baku dari industri dalam negeri. Semakin berkembang industri dalam negeri maka semakin tinggi pula Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 40 permintaan terhadap bahan baku impor. Untuk lebih menggambarkan potensi perkembangan industri dalam negeri maka variable PDB tidak menggunakan PDB total yang menunjukkan pendapatan nasional, melainkan digunakan PDB sektoral berupa total nilai tambah di industri terkait. Pada industri kimia variabel PDB yang digunakan pada persamaan 3.4 adalah nilai PDB sektoral untuk industri pupuk, kimia dan barang dari karet. Sementara itu untuk industri tekstil dan produk tekstil menggunakan nilai PDB untuk industri tekstil, barang kulit dan alas kaki. Industri elektronik menggunakan PDB industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Sedangkan variabel Nilai tukar yang digunakan untuk ketiga kelompok industri adalah nilai tukar dalam Rupiah per US Dollar. 3.3. Metode Estimasi Persamaan 3.4 adalah persamaan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan pengaruh kebijakan impor bahan baku terhadap permintaan impor bahan baku. Persamaan 3.5 adalah persamaan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan peran bahan baku impor terhadap kinerja industri. Dari hasil persamaan kedua ini, nantinya dapat diidentifikasi besarnya tingkat produktivitas yang terjadi di industri kimia, tekstil (TPT), dan elektronik. Persamaan 3.4 dan 3.5 adalah persamaan simultan. Estimasi parameter model dilakukan dengan metode 2SLS atau 3SLS (two/three stage Least square). Namun demikian, secara teknis, perlu dilakukan pengecekan kondisi perlu (necessary condition) dan kondisi cukup (sufficient condition) untuk mengetahui apakah kedua persamaan diatas dapat diestimasi dan menghasilkan nilai parameter yang unik. Jika kedua syarat di atas salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka estimasi 2SLS/3SLS tidak dapat dilakukan (Gujarati, 2004) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 41 a. Kondisi Perlu Persamaan simultan dikatakan memenuhi kondisi perlu jika: (K-k) > (m-1) (3.6) Dimana : m = jumlah variabel endogen pada persamaan K = jumlah predetermined variabel pada model k = jumlah predetermined variabel pada persamaan Jika (K-k) = (m-1) dikatakan persamaan simultan teridentifikasi tepat (just identified), jika (K-k) > (m-1) dikatakan teridentifikasi lebih (overidentified) dan jika (K-k) < (m-1) tidak teridentifikasi (underindentified). b. Kondisi Cukup Terpenuhinya kondisi perlu tidak menjamin persamaan dapat teridentifikasi. Kita membutuhkan kondisi cukup untuk setiap persamaan. Persamaan dikatakan teridentifikasi memenuhi kondisi cukup jika memiliki rank matriks berukuran (M-1). M adalah jumlah variable endogen pada model. Berdasarkan kondisi perlu dan kondisi cukup maka persamaan simultan dapat teridentifikasi jika memenuhi kriteria berikut: ï‚· Jika (K-k) > (m-1) dan terdapat rank matriks berukuran (M-1) maka persamaan teridentifikasi lebih ï‚· Jika (K-k) = (m-1) dan terdapat rank matriks berukuran (M-1) maka persamaan teridentifikasi tepat. c. Hasil identifikasi Hasil Identifikasi menunjukkan persamaan 3.4 dan persamaan 3.5 teridentifikasi lebih. Artinya kedua persamaan memenuhi kondisi perlu dan kondisi cukup persamaan simultan. Estimasi persamaan 3.4 dan 3.5 dengan metode 2SLS/3SLS dapat menghasilkan parameter yang diinginkan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 42 Dalam gambar tersebut, kebijakan impor akan mempengaruhi terlebih dahulu permintaan terhadap impor (M), yang kemudian bahan baku yang berasal dari impor tersebut nantinya akan digunakan untuk proses produksi yang menentukan besarnya output industri. 3.4. Ruang Lingkup Analisis Terdapat tiga kelompok industri yang dianalisis yaitu industri kimia, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dan industri elektronik selama periode 2000 – 2010. Industri yang dianalis terdiri dari 34 jenis industri kimia, 34 jenis industri TPT dan 5 jenis industri elektronik. Rincian cakupan industri yang tergolong ke dalam 5 digit KBLI Industiri Besar dan Menengah (IBS) di masing-masing tiga kelompok industri tersebut adalah berikut ini. ï‚· Industri Kimia meliputi: 1 Industri kimia dasar anorganik klor dan alkall 2 Industri kimia dasar anorganik gas industri 3 Industri kimia dasar anorganik pigment 4 Industri kimia dasar anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain 5 Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian 6 Industri kimia dasar organik bahan baku zat warna dan pigmen, zat warna dan pigmen 7 Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi dan batu bara 8 Industri kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus 9 Industri kimia dasar organik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain 10 Industri pupuk alam/non sintentis hara makro primer 11 Industri pupuk buatan tunggal hara makro primer Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 43 12 Industri pupuk buatan majemuk hara makro primer 13 Industri pupuk lengkap 14 Industri damar buatan (resin sintetis) dan bahan baku plastik 15 Industri karet buatan 16 Industri bahan baku pemberantas hama (bahan aktif) 17 Industri pemberantas hama (formulasi) 18 Industri zat pengatur tumbuh 19 Industri bahan amelioran (pembenah tanah) 20 Industri bahan farmasi 21 Industri famarsi 22 Industri simplisia (bahan jamu) 23 Industri jamu 24 Industri sabun dan bahan pembersih keperluan rumah tangga termasuk pasta gigi 25 Industri kosmetik 26 Industri perekat / lem 27 Industri bahan peledak 28 Industri tinta 29 Industri minyak atsiri 30 Industri korek api 31 Industri bahan kimia dan barang kimia lainnya 32 Industri serat / benang filamen buatan 33 Industri serat stapel buatan 34 Industri serat stapel buatan ï‚· Industri TPT meliputi: 1 Industri Persiapan Serat Tekstil 2 Industri Pemintalan Benang 3 Industri Pemintalan Benang Jahit 4 Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) 5 Industri Kain Tenun Ikat Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 44 6 Industri Penyempurnaan Benang 7 Industri Penyempurnaan Kain 8 Industri Pencetakan Kain 9 Industri Batik 10 Industri Barang Jadi Tekstil Kecuali Untuk Pakaian Jadi 11 Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Kesehatan 12 Industri Tekstil Jadi untuk Keperluan Kosmetika 13 Industri Karung Goni 14 Industri Bagor dan Karung Lainnya 15 Industri Permadani (Babut) 16 Industri tali temali 17 Industri Barang-barang dari Tali 18 Industri yang Menghasilkan Kain Pita (Narrow Fabric) 19 Industri yang Menghasilkan Kain Keperluan Industri 20 Industri Bordir / Sulaman 21 Industri Non Woven 22 Industri Kain Ban 23 Industri Tekstil yang tidak di Klasifikasikan di tempat Lain 24 Industri Kain Rajut 25 Industri Pakaian Jadi Rajut 26 Industri Rajut Kaos Kaki 27 Industri Barang Jadi Rajutan 28 Industri Kapuk 29 Industri Pakaian Jadi dari Tekstil 30 Industri Pakaian Jadi Lainnya dari Tekstil 31 Industri Pakaian Jadi (Garmen) dari Kulit 32 Industri Pakaian Jadi Lainnya dari Kulit 33 Industri Bulu Tiruan 34 Industri Pakaian Jadi / Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 45 ï‚· Industri Elektronik meliputi: 1 Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik 2 Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik lainnya 3 Industri alat transmisi komunikasi 4 Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya 5 Industri pengukur, pengatur dan pengujian elektronik 3.5. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder dan primer. Data sekunder yang berupa publikasi resmi, dokumen, dan sebagainya akan diambil melalui studi kepustakaan dari Badan Pusat Statistik Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, UNCOMTRADE, dan lainnya. Data primer adalah informasi dan keterangan yang diperoleh dari para pemangku kepentingan terkait (stakeholders) baik pelaku usaha, importir, produsen, akademisi, praktisi, maupun instansi terkait yang dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam (in-depth interview) melalui kegiatan survei lapangan, teknik Focus Group Discussion (FGD), dan diskusi terbatas terkait dengan peran kebijakan impor bahan baku/penolong dalam rangka mendukung industri manufaktur. Survei terhadap pemangku kepentingan terkait akan dilaksanakan di 7 (tujuh) daerah, yakni Bandung, Medan, Makassar, Banten, Batam, dan Palembang sedangkan FGD akan diselenggarakan di Surabaya dengan dasar pertimbangan beberapa daerah tersebut adalah pelabuhan utama dan pusat kawasan industri utama di Indonesia. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 46 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong 4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka impor memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam rangka pengembangan sector industri. Walaupun perkembangan impor berfluktuasi, namun impor tetap mengalami pertumbuhan. Fluktuasi impor tidak terlepas dari berbagai peristiwa resesi ekonomi, crisis ekonomi, serta beberapa kebijakan di bidang impor. Impor dalam hal ini terdiri atas impor barang konsumsi, vahan baku dan barang-barang penolong serta barang modal yang pada umumnya berasal dari negara maju, di samping karena negara-negara berkembang masih kekurangan modal, juga untuk mempercepat proses alih teknologi dari negara maju sehingga negara-negara berkembang akan mampu memacu pertumbuhan ekonominya Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan pembangunan. Pengembangan kapasitas produksi dalam negeri memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksi di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyekproyek prasarana yang di perlukan untuk mendukung kapasitas produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan impor. Impor Indonesia terdiridari 3 golongan barang, yaitu : 1. Impor barang konsumsi 2. Impor bahan baku dan barang penolong 3. Impor barang modal Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47 Perkembangan ketiga golongan barang impor Indonesia menurut penggunaannya yang paling besar adalah impor untuk bahan baku dan barang penolong, kemudian diikuti oleh barang modal dan barang konsumsi. Tingginya impor bahan baku dan barang penolong menunjukkan perkembangan industri yang membutuhkan bahan baku untuk diproses menjadi bahan jadi. Meningkatnya impor bahan baku dan barang modal ke Indonesia salah satunya disebabkan oleh adanya realisasi investasi asing di Indonesia. Sedangkan kenaikan impor konsumsi tiap tahunnya berkaitan dengan adanya perbaikan taraf hidup masyarakat akibat naiknya pendapatan dan adanya pergeseran polakon sumsi masyarakat. Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014 UR A IA N TOTAL IMPOR 2004 2005 2006 2007 2008 Nilai : USD Juta 2009 2010 2011 2012 2013 2014 46 524.5 57 700.9 61 065.5 74 473.4 129 197.3 96 829.2 135 663.3 177 435.6 191 689.5 186 628.7 178 178.8 Barang Konsumsi 1 Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah Tangga 2 Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah Tangga 3 Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 4 Mobil Penumpang 5 Alat Angkutan Bukan Untuk Industri 6 Barang Konsumsi Tahan Lama 7 Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama 8 Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama 9 Barang Yang Tidak Diklasifikasikan Bahan Baku/Penolong 1 Makanan dan Minuman (Belum diolah) Untuk Industri 2 Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Industri 3 Bahan Baku (Belum Diolah) Untuk Industri 4 Bahan Baku (Olahan) Untuk Industri 5 Bahan Bakar dan Pelumas (Belum Diolah) 6 Bahan Bakar Motor 7 Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 8 Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal 9 Suku Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan Barang Modal 1 Barang Modal Kecuali Alat Angkutan 2 Mobil Penumpang 3 Alat Angkutan Untuk Industri 3 579.4 361.8 885.5 757.0 290.1 44.4 337.7 352.4 480.8 69.6 4 434.3 381.2 1 102.4 1 294.9 292.7 44.9 371.2 388.1 540.7 18.2 4 553.6 557.3 1 222.6 836.4 226.4 86.4 396.5 582.9 626.9 18.4 6 487.4 748.2 1 959.8 1 197.8 390.9 93.6 478.9 673.6 809.0 135.6 36 406.6 44 958.0 47 368.4 56 543.7 1 444.1 1 314.6 1 343.1 2 074.2 593.2 846.4 942.5 1 543.4 2 201.4 2 030.9 2 414.1 2 806.2 15 465.9 17 492.1 18 152.2 21 798.8 5 847.0 6 810.7 7 866.9 9 067.8 1 455.9 2 814.9 3 243.1 3 847.5 3 828.4 6 679.7 7 061.1 7 828.9 2 910.8 3 747.8 3 611.7 4 652.3 2 659.8 3 220.9 2 733.5 2 924.7 6 538.5 5 416.7 290.1 831.7 8 308.6 6 490.8 292.7 1 525.1 9 143.5 11 442.3 6 209.5 8 407.3 226.4 390.9 2 707.6 2 644.1 8 303.7 797.4 1 903.1 1 617.2 574.8 153.0 822.1 1 134.7 1 229.2 72.3 6 752.6 955.6 1 367.3 591.2 451.2 228.3 818.3 941.1 1 189.4 210.3 9 991.6 1 166.9 2 439.6 970.3 918.1 254.3 1 075.0 1 367.7 1 541.5 258.2 13 392.9 1 847.8 3 626.1 1 625.5 1 029.0 286.7 1 288.3 1 774.2 1 699.0 216.5 13 408.6 1 541.4 2 836.9 1 435.3 1 515.3 350.3 1 584.7 1 953.9 1 926.5 264.4 13 138.9 1 385.6 2 443.0 1 350.9 1 192.4 386.1 1 599.5 2 164.0 2 165.1 452.2 99 492.7 69 638.1 3 244.4 2 640.9 1 271.6 1 582.0 4 721.6 2 901.3 40 312.9 29 248.8 10 086.6 7 387.3 6 019.4 5 135.1 12 806.5 5 750.9 14 542.5 11 000.0 6 487.1 3 991.9 98 755.1 130 934.3 140 126.0 141 957.9 136 208.6 3 074.8 4 186.7 4 101.0 4 354.4 4 935.4 2 165.8 3 330.2 3 349.3 3 685.2 3 247.0 4 539.3 6 813.2 5 639.7 6 299.3 6 001.7 41 714.3 53 409.6 59 437.0 58 353.6 57 171.7 8 553.5 11 173.5 10 853.3 13 673.1 13 369.3 8 464.6 11 962.4 14 061.7 14 839.2 15 006.1 9 270.0 15 771.2 15 835.5 14 977.2 13 733.4 14 815.6 16 937.8 18 126.1 16 803.3 15 679.3 6 157.0 7 349.7 8 722.3 8 972.6 7 064.6 21 400.9 20 438.5 16 249.9 13 311.8 574.8 451.2 4 576.2 6 675.5 26 916.6 18 777.0 918.1 7 221.6 33 108.4 23 660.1 1 029.0 8 419.3 38 154.8 26 659.3 1 515.3 9 980.2 31 531.9 26 128.2 1 192.4 4 211.3 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu, Kemendag Permintaan impor Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun hampir di semua kawasan perdagangan. Secara rata-rata ada delapan negara importir yang memiliki kontribusi impor yang besar ke Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Korea Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12 667.2 1 542.3 2 755.1 1 222.9 783.7 267.0 1 418.3 1 993.8 2 150.6 533.6 48 29 303.0 25 661.9 783.7 2 857.4 Selatan, Australia, Cina, dan Taiwan. Dalam 10 tahun terakhir, perkembangan impor Indonesia menurut negara asal di kawasan ASEAN memiliki volume yang tertinggi dibandingkan dengan negaranegara dikawasan lain. Hal ini disebabkan karena pada 10 tahun terakhir, negara-negara ASEAN mulai menerapkan ACFTA (Asia Cina Free Trade Area) yang mengakibatkan meningkatnya volume impor dari wilayah ASEAN dan Cina secara signifikan. Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 Nilai : USD Juta No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 HS 10 2304000000 5201000000 2902430000 7207121000 2901210000 3902102000 3104200000 1005909000 7403110000 7204490000 3901109010 2713200000 4703210000 2905310000 3902309010 4702000000 3901200000 7601200000 7304290010 6006220000 URAIAN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 17,667.31 19,522.99 20,566.35 24,605.03 45,034.53 32,150.05 46,253.61 60,222.76 65,076.70 64,652.83 63,173.38 TOTAL Oil-cake&other solid residues,in pellet form, from the extract of soyabea 532.00 474.17 493.33 702.13 1,040.66 1,019.55 1,162.00 1,321.04 1,828.49 1,926.98 2,194.93 Cotton, not carded/combed. 679.91 576.00 619.89 800.10 1,190.70 765.36 1,148.39 1,785.83 1,333.14 1,346.31 1,400.81 P-xylene 597.29 606.53 769.97 770.59 858.53 596.41 808.57 973.72 959.50 1,089.64 1,172.04 Slabs of iron/non alloy, cont.< 0,25% of carbon, other than square 512.81 561.10 659.28 753.28 1,425.95 609.99 1,104.03 1,147.83 1,238.95 1,179.69 1,050.02 Ethylene 412.69 323.86 332.92 314.59 543.97 518.51 632.62 792.68 879.74 850.41 906.43 Polypropylene in granule form 137.77 131.68 149.42 174.38 353.09 315.31 498.99 962.12 783.50 861.10 904.55 Potassium chloride 173.73 199.80 213.35 340.78 1,252.01 340.58 719.16 1,443.83 1,240.58 963.26 890.82 Maize (corn), other than seeds 170.71 27.07 276.12 147.51 76.46 69.92 363.16 1,002.24 493.36 909.30 800.11 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 30.64 49.86 107.78 53.67 477.96 220.21 537.44 639.97 735.49 668.86 773.08 Other ferrous waste and scrap : 144.45 157.61 161.16 233.67 656.25 328.99 487.42 751.23 712.48 864.51 743.98 Polymers of ethylene, in granule form 129.70 151.87 167.78 184.84 251.96 201.12 311.00 417.85 472.00 579.41 656.78 Petroleum bitumen 20.91 19.05 68.25 111.90 190.95 203.14 277.24 307.42 537.14 614.29 550.20 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,conifer 167.76 140.88 180.15 218.30 257.43 252.29 345.18 382.79 354.73 470.21 528.91 Ethylene glycol (ethanediol) 240.28 285.07 257.09 255.55 386.16 214.04 380.60 492.75 457.24 471.95 517.47 Propylene copolymers in granule form 107.19 106.20 130.54 158.08 214.17 179.33 251.01 388.75 400.20 457.45 492.96 Chemical wood pulp, dissolving grades. 181.67 176.74 141.32 123.35 365.22 160.48 402.79 530.64 422.18 490.19 476.63 Polyethylene having a specific gravity 0.94 or more 72.09 86.05 91.65 83.28 174.08 103.83 213.61 313.94 368.51 438.13 454.60 Aluminium alloys 142.48 171.42 200.21 262.11 378.78 191.80 358.71 465.45 448.95 392.87 439.28 Unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75, 17.22 174.88 139.18 205.60 413.35 433.12 335.36 437.17 Oth dyed knit/crochtd fbrcs of cotton oth than of heading 60.01-60.04. 6.60 116.06 158.29 270.14 402.17 376.65 361.48 391.85 SUB TOTAL 4,454.11 4,244.97 5,020.22 5,711.95 10,385.26 6,588.36 10,477.67 14,935.61 14,475.96 15,271.39 15,782.62 LAINNYA 13,213.21 15,278.03 15,546.13 18,893.08 34,649.27 25,561.69 35,775.94 45,287.15 50,600.74 49,381.43 47,390.75 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 49 Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 No. HS 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 2304000000 5201000000 3809910000 7204490000 7228700000 3901109010 2902430000 7318151100 7901110000 5503200000 4703210000 7308909000 2901210000 7208390000 4707100010 3902102000 2818200000 7210301000 2905310000 7304290010 Volume : Ribu Ton 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 TOTAL 21,001.90 22,707.55 23,666.74 26,065.45 33,451.15 27,571.76 35,061.14 41,188.48 50,329.54 48,510.46 49,892.03 Oil-cake&other solid residues,in pellet form, from the extract of soyabea 1,730.02 1,852.70 2,116.06 2,323.10 2,273.29 2,324.28 2,868.88 2,938.56 3,479.61 3,509.82 3,828.67 Cotton, not carded/combed. 1,012.29 947.21 1,039.30 1,382.17 1,948.58 562.11 1,763.29 3,119.33 2,476.70 2,251.39 2,893.84 Oth finish agent,dye carriers to accele kind used in the textile or like indu 0.95 2.80 3.50 0.05 34.42 85.14 693.41 1,191.02 1,694.61 874.76 2,148.30 Other ferrous waste and scrap : 1,192.36 1,245.32 1,576.92 1,394.15 1,680.87 1,398.86 1,957.14 1,702.34 2,125.90 2,307.14 1,984.01 Angles, shapes and sections of other alloy steel 71.42 288.62 363.13 428.72 735.60 283.53 967.32 1,122.26 1,255.88 772.59 1,119.65 Polymers of ethylene, in granule form 103.85 86.47 220.08 335.36 400.65 479.20 530.58 520.29 813.77 943.79 944.51 P-xylene 778.16 666.44 704.75 688.18 706.17 653.54 777.53 623.77 643.41 723.50 935.99 Screw metal with/without nuts/washers with an external diameter <=16 m 738.29 776.53 625.05 743.76 803.03 697.48 822.92 949.90 872.32 891.97 913.83 Zinc not alloyed containing by weight 99.99% or more of zinc 106.82 172.15 279.41 242.22 438.63 338.39 268.45 503.39 820.35 728.49 864.45 Synthetic staple fibres of polyesters 19.70 22.81 20.94 87.48 118.94 90.78 170.62 293.86 570.16 521.06 734.83 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,conifer 293.12 263.41 307.50 296.81 348.08 460.98 443.42 448.38 494.98 656.39 688.26 Other structures and parts of structures of iron or steel 172.27 161.12 273.63 259.23 462.07 271.36 251.11 504.90 715.19 380.46 683.73 Ethylene 475.04 336.98 294.47 260.96 443.77 663.71 589.53 674.59 716.58 628.28 636.89 Flat-rolled iron/nas, HRC, width >600 mm, thick< 3 mm 520.04 370.26 208.82 317.74 427.15 272.42 315.04 520.79 745.99 673.96 616.89 Unbleached kraft paper or paperboard for paper making purposes 12.73 18.09 12.82 41.41 51.42 18.52 63.17 81.90 299.85 541.56 605.67 Polypropylene in granule form 166.45 129.42 123.87 138.96 218.72 297.48 377.02 607.18 545.96 574.96 586.21 Aluminium oxide, other than artificial corundum 396.47 470.92 452.07 418.58 441.80 484.17 456.16 441.33 518.47 516.19 569.96 Flat-rolled of iron/nas,carbon < 0.6% plated or coated with lead, thick <1 29.01 46.59 31.03 63.67 68.43 76.97 192.22 275.95 261.87 341.46 557.36 Ethylene glycol (ethanediol) 261.91 252.08 199.22 137.97 351.80 204.20 380.62 451.55 432.23 517.36 523.43 Unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75, 488.83 465.29 280.13 309.08 355.34 520.14 301.63 294.79 986.05 717.58 502.61 SUB TOTAL 8,569.73 8,575.21 9,132.67 9,869.58 12,308.76 10,183.27 14,190.06 17,266.10 20,469.87 19,072.71 22,339.10 LAINNYA 12,432.17 14,132.34 14,534.07 16,195.87 21,142.39 17,388.49 20,871.08 23,922.39 29,859.67 29,437.74 27,552.94 URAIAN Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag 4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri Kimia, TPT dan, Elektronika Selama tahun 2000-2013, impor bahan baku untuk industri Kimia yang mengalami peningkatan paling signfikan, yakni mencapai 16,8% per tahun, dari senilai Rp. 15,0 trilliun menjadi Rp. 70,1 trilliun. Adapun penggunaan impor bahan baku untuk industri Kimia tertinggi selama 2000-2013 adalah di tahun 2011 yang mencapai Rp. 102,0 trilliun. Pada periode yang sama, impor bahan baku untuk industri TPT naik rata-rata 8,1% per tahun dari Rp. 17,1 trilliun di tahun 2000 menjadi Rp. 39,9 trilliun di tahun 2013. Sedangkan impor bahan baku untuk industri elektronik justru mengalami penurunan rata-rata 0,9% per tahun selama 2000-2013. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 50 Gambar 4.1. Nilai bahan baku impor yang digunakan pada Industri Kimia, TPT, dan Elektronik Nilai Bahan Baku Impor 120.0 Trilliun Rupiah 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 - 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Industri Kimia 15.0 23.9 21.5 19.0 16.7 19.7 30.1 34.7 75.8 98.7 93.9 102.0 73.6 70.1 Industri TPT 17.1 18.3 17.9 21.4 24.9 32.1 29.6 28.1 27.8 29.0 51.1 52.4 39.1 39.9 Industri Elektronik 19.6 7.2 8.3 11.7 25.5 8.6 11.7 13.4 12.1 13.1 7.9 10.7 8.2 16.0 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Meskipun nilai impor bahan baku untuk industri elektronik mengalami penurunan, namun kontribusi bahan baku impor dibanding total bahan baku yang digunakan industri tersebut mencatat angka tertinggi dibanding industri yang lain. Pada tahun 2013, kontribusi bahan baku impor untuk industri elektronik mencapai 58,0% dari total bahan baku yang digunakan. Sementara kontribusi bahan baku impor untuk industri Kimia dan TPT masing-masing sebesar 35,1% dan 36,2%. Gambar 4.2. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada industri Kimia, TPT, dan Elektronik (%) Kontribusi Bahan Baku Impor 80.0 75.0 70.0 65.0 60.0 55.0 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Industri Kimia 51.0 50.0 45.1 45.6 37.5 37.0 42.9 45.9 58.9 61.7 53.7 52.4 43.0 35.1 Industri TPT 35.2 37.4 35.8 39.1 40.5 43.8 40.8 36.9 38.3 36.2 46.3 52.9 37.3 36.2 Industri Elektronik 75.8 48.4 61.3 60.7 48.2 70.5 43.5 53.4 53.7 43.8 35.1 62.2 75.0 58.0 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 51 Dilihat lebih detail (Gambar 4.3), jenis industri kimia yang menggunakan bahan baku impor lebih besar dibanding bahan baku lokal diantaranya adalah industri bahan peledak, industri farmasi, industri tinta, industri kimia dasar anorganik khlor dan alkali, dan Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi dan batu bara. Kelima industri tersebut menggunakan bahan baku asal impor lebih dari 60% dari total bahan baku yang digunakan. Gambar 4.3. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada beberapa jenis industri Kimia Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Kimia 2000 - 2013 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Average2 24292 0.64 0.77 0.75 0.74 0.59 0.77 0.76 0.26 0.88 0.87 0.87 0.85 0.76 0.73 0.73 24232 0.71 0.65 0.53 0.54 0.57 0.53 0.64 0.65 0.94 0.92 0.85 0.83 0.49 0.53 0.67 24293 1.00 0.74 0.76 0.74 0.82 0.69 0.62 0.60 0.58 0.66 0.64 0.45 0.38 0.61 0.66 24111 0.50 0.73 0.61 0.72 0.70 0.63 0.35 0.78 0.72 0.62 0.62 0.84 0.55 0.64 0.64 24117 0.53 0.96 0.96 0.87 0.35 0.38 0.48 0.62 0.73 0.79 0.83 0.57 0.77 0.17 0.64 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Sementara itu, 5 jenis industri TPT yang menggunakan bahan baku impor cukup tinggi antara lain Industri barang dari tali, Industri barang jadi tekstil untuk keperluan kesehatan, Industri karpet dan permadani, Industri pakaian jadi dari tekstil, dan Industri pakaian jadi (garmen) dari kulit. Kelima industri tersebut menggunakan bahan baku asal impor sekitar 50% dari total bahan baku yang digunakan. Namun demikian, penggunaan bahan baku asal impor untuk industri pakaian jadi (garmen) dari kulit turun signifikan sejak tahun 2010. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 52 Gambar 4.4. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada beberapa jenis industri TPT Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Tekstil 2000 - 2013 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 - 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 17232 0.39 0.40 0.33 0.34 0.40 0.41 0.77 0.66 0.67 0.65 0.60 0.76 0.63 0.51 18103 0.81 0.78 0.77 0.60 0.47 0.75 0.82 0.97 0.31 0.71 0.20 0.09 0.00 0.01 17212 0.55 0.46 0.34 0.53 0.55 0.49 0.09 0.04 0.50 0.61 0.85 0.83 0.49 0.53 17220 0.42 0.47 0.51 0.40 0.32 0.55 0.44 0.43 0.29 0.64 0.59 0.56 0.39 0.65 18101 0.46 0.40 0.45 0.47 0.49 0.45 0.47 0.46 0.45 0.46 0.46 0.48 0.48 0.50 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Bahan baku impor yang digunakan untuk industri Kimia (Gambar 4.5) cukup tinggi. Beberapa industri yang menggunakan bahan baku impor berkisar 40-80% dari total bahan baku yang digunakan antara lain Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik lainnya; Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya; serta Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik. Proporsi penggunaan bahan baku impor oleh Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya sangat berfluktuatif dan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2011. Sementara itu, proposi penggunaan bahan baku impor untuk Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik justru mengalami peningkatan sejak tahun 2011 dan mencapai angka tertinggi pada tahun 2012 yang mencapai 81% dari total bahan baku yang digunakan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 53 Gambar 4.5. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada beberapa jenis industri Elektronik Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Elektronik 2000 - 2013 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Average3 32100 0.84 0.86 0.91 0.68 0.58 0.88 0.43 0.71 0.76 0.73 0.51 0.66 0.73 0.68 0.71 32200 0.96 0.54 0.88 0.97 0.60 0.67 0.69 0.97 0.95 0.09 0.61 0.03 0.03 0.24 0.59 32300 0.62 0.36 0.45 0.49 0.43 0.50 0.37 0.39 0.31 0.31 0.24 0.59 0.81 0.51 0.46 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag 4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik 4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik Rata-rata tariff bea masuk untuk produk TPT merupakan yang tertinggi dibanding produk lainnya. Pada tahun 2006, rata-rata tarif bea masuk impor produk Kimia, TPT, dan Elektronik masing-masing sebesar 4,68%, 9,48%, dan 3,73%. Tariff untuk impor TPT tetap hingga pada tahun 2015 naik menjadi 12,59%. Adapun rata-rata tarif bea masuk untuk impor produk kimia mengalami penurunan di tahun 2012 menjadi 4,52% dari sebelumnya 4,68%, meskipun kembali naik di tahun 2015 menjadi 5,02%. Hal serupa juga terjadi untuk besaran tariff bea masuk produk lektronik. Pada tahun 2011, rata-rata tariff bea masuk produk Elektronik turun dari 3,73% menjadi 3,45%, namun kembali naik di tahun 2015 menjadi 4,02%. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 54 Gambar 4.6. Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan Elektronik 14.00% TPT, 12.59% 12.00% 10.00% 9.84% 8.00% 6.00% 4.68% 4.52% Kimia, 5.02% 3.45% Elektronik, 4.02% 4.00% 3.73% 2.00% 0.00% 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Sumber: Kemenkeu (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag 4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik Jumlah NTM yang diberlakukan oleh Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan dari World Bank, jumlah NTM yang berlaku di Indonesia mencapai 36.609, yang berarti 1 post tarif bisa memiliki NTM lebih dari 1 jenis. Produk yang paling banyak menerapkan NTM adalah TPT, Produk Sayuran, Makanan Olahan, dan Produk Kimia. Jumlah NTM untuk TPT mencapi 8.145 dengan jumlah post tariff sebanyak 1.167 (100% dari total post tarif TPT). Adapun jumlah NTM untuk Produk Kimia sebesar 4.144 dengan jumlah post tariff yang menerapkan NTM 762 post tariff (64,5% dari total post tariff produk Kimia). Sementara itu, produk Elektronik merupakan produk yang paling sedikit menerapkan NTM dibanding TPT dan Produk Kimia, yakni 3.380 yang berlaku pada 875 post tariff (41,2% dari total post tarif Produk Elektronik). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 55 Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk Product Groups Animal and animal products Vegetables products Animals or vegetables fats Prepared foodstuffs Mineral product Chemical products Plastics and rubber Hides and Skin Wood & wood products Wood pulps products Textile & textile products Footwear & Headgear Article of stone, plaster, cement. Asbetos Pearls, precious or semi precious stones, metals Based metals & articles therof Machinery & Mechanical appliances Transportation equipment Instruments-measuring musical Musical instrument, parts and accessories ARMS AND AMMUNITION; PARTS AND ACCE Miscellaneous Works of Art No. of NTMs % of NTMs 2417 5287 384 4298 755 4144 560 180 934 1243 8145 281 206 223 1762 3380 1214 549 12 42 589 4 36609 6.60 14.44 1.05 11.74 2.06 11.32 1.53 0.49 2.55 3.40 22.25 0.77 0.56 0.61 4.81 9.23 3.32 1.50 0.03 0.11 1.61 0.01 100.00 No.Tariff lines 573 480 164 453 206 1182 491 102 160 283 1167 75 224 89 984 2123 633 309 20 27 255 13 10013 No.tariff % Of Tariff lines Line subject subject to to NTMs NTMs 290 50.61 480 100.00 72 43.90 452 99.78 179 86.89 762 64.47 136 27.70 90 88.24 155 96.88 229 80.92 1167 100.00 40 53.33 81 36.16 51 57.30 426 43.29 875 41.22 470 74.25 111 35.92 5 25.00 18 66.67 114 44.71 3 23.08 6206 61.98 Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Jenis NTM yang paling banyak berlaku untuk produk Kimia adalah import NTMs (11,8% dari total NTM yang berlaku) dan TBT (16,9%). Untuk TPT, jenis NTM yang berlaku didominasi oleh TBT (25,3%) dan Import NTMs (20,3%). Sedangkan untuk produk Elektronik, NTM yang berlaku didominasi oleh TBT (15,4%) dan Import NTMs (11,5%). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 56 Tabel 4.5. Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk Product Groups SPS (A) % Animal and animal products Vegetables products Animals or vegetables fats Prepared foodstuffs Mineral product Chemical products Plastics and rubber Hides and Skin Wood & wood products Wood pulps products Textile & textile products Footwear & Headgear Article of stone, plaster, cement. Asbetos Pearls, precious or semi precious stones, metals Based metals & articles therof Machinery & Mechanical appliances Transportation equipment Instruments-measuring musical Musical instrument, parts and accessories ARMS AND AMMUNITION; PARTS AND ACCE Miscellaneous Works of Art Share (%) 1593 20.50 3935 50.64 84 1.08 1037 13.35 8 0.10 153 1.97 46 0.59 64 0.82 159 2.05 34 0.44 198 2.55 32 0.41 16 0.21 0 35 0.45 302 3.89 23 0.30 19 0.24 4 0.05 0 27 0.35 1 0.01 7770 100 21.22 TBT (B) 387 190 213 2517 166 2772 369 9 0 96 4161 146 121 63 1101 2525 811 485 3 17 269 0 16421 44.855 % Others 2.36 1.16 1.30 15.33 1.01 16.88 2.25 0.05 0.58 25.34 0.89 0.74 0.38 6.70 15.38 4.94 2.95 0.02 0.10 1.64 100 158 371 5 646 67 540 107 14 2 8 1580 85 31 27 412 549 380 25 5 8 95 0 5115 13.972 % Import NTMs 3.09 7.25 0.10 12.63 1.31 10.56 2.09 0.27 0.04 0.16 30.89 1.66 0.61 0.53 8.05 10.73 7.43 0.49 0.10 0.16 1.86 100 2138 4496 302 4200 241 3465 522 87 161 138 5939 263 168 90 1548 3376 1214 529 12 25 391 1 29306 80.05 (%) Export (%) Export Import NTMs NTMs NTMs 7.30 279 3.82 15.34 791 10.83 1.03 82 1.12 14.33 98 1.34 0.82 514 7.04 11.82 679 9.30 1.78 38 0.52 0.30 93 1.27 0.55 773 10.58 0.47 1105 15.13 20.27 2206 30.21 0.90 18 0.25 0.57 38 0.52 0.31 133 1.82 5.28 214 2.93 11.52 4 0.05 4.14 0 1.81 20 0.27 0.04 0 0.09 17 0.23 1.33 198 2.71 0.00 3 0.04 100 7303 100 19.95 Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa post tarif di Indonesia berlaku lebih dari 1 NTM. Sebagian besar post tarif yang masuk ke dalam kelompok produk Kimia, berlaku 3 NTM sekaligus dalam 1 post tarif. Begitu pula untuk TPT dan Produk Elektronik. Bahkan, semua post tarif dalam kelompok TPT berlaku minimal 2 NTM pada setiap post tarifnya. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 57 Gambar 4.7. Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1ntm 2ntm 3 or more Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Pengaturan NTM terhadap impor Kimia sudah dimulai pada tahun 2003 dan terus bertambah sampai tahun 2014. Tidak semua sub sektor pada industri Kimia dikenakan NTM. Adapaun sub sektor yang paling banyak dikenakan NTM adalah KBLI 24114, yakni Industri Kimia Dasar Anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain; Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi dan batu bara; dan Industri kimia dasar organik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 58 Gambar 4.8. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia menurut KBLI 5 digit 35 24114 30 24117 25 24119 24211 20 24116 24231 15 24111 10 24131 24232 5 24118 0 24115 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Berbeda dengan industri Kimia, NTM untuk industri TPT mulai berlaku pada tahun 2009. Pada Rata-rata subsektor di industri TPT dikenakan 3 NTM. Subsektor yang sudah dikenakan NTM sejak tahun 2009 adalah Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya); Industri Kain Tenun Ikat; Industri Penyempurnaan Kain; Industri Pencetakan Kain; dan Industri yang Menghasilkan Kain Pita (Narrow Fabric). Adapun sub sektor yang paling banyak dikenakan NTM adalah Industri Persiapan Serat Tekstil; Industri Kain Rajut; dan Industri Pakaian Jadi dari Tekstil. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 59 Gambar 4.9. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT menurut KBLI 5 digit 16 17111 14 17301 12 18101 10 17211 8 17215 6 17302 17304 4 18102 2 17114 0 17115 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Seperti halnya industri TPT, NTM untuk industri Elektronik berlaku sejak tahun 2009. NTM yang berlaku pada industri Elektronik naik signifikan pada tahun 2012. Sub sektor industri Elektronik yang paling banyak dikenakan NTM terbanyak adalah Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik dan Industri alat transmisi komunikasi. Gambar 4.10. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik menurut KBLI 5 digit 12 10 8 30003 6 32200 32100 4 32300 2 0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60 Pemerintah Indonesia menyadari banyaknya NTM yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan daya saing dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, maka pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi, dimana Kementerian Perdagangan telah memangkas sebesar 28,9% perizinan terkait proses ekspor impor. Regulasi yang saat ini masih berlaku untuk proses importasi produk Kimia, TPT, dan Produk Elektronik sebagaimana diuraikan pada Tabel di bawah ini. Tabel 4.6. Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia, TPT, dan Elektronik Produk Kimia Regulasi Pengaturan 75/M- • Hanya boleh melalui Pelabuhan tertentu DAG/PER/10/2014 tentang • Impor boleh bagi ImportirProdusen dan Importir-Terdaftar Pengadaan, DistribusI, dan • Mensyaratkan Persetujuan Impor Pengawasan bahan (PI) Berbahaya Permendag No. tentang • Wajib registrasi • Wajib mengikuti prosedur Pengelolaan Bahan notifikasi • Wajib menggunakan sarana Berbahaya dan Beracun pengangkutan yang laik operasi • Kemasan wajib diberi simbol dan label dan dilengkapi Lembar Data Keselamatan Bahan • Impor boleh bagi ImportirPermendag No. 36/MProdusen dan Importir-Terdaftar DAG/PER/7/2013 tentang • Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI) Ketentuan Impor Bahan Baku PP 74/2001 Plastik Peraturan Kepala Badan POM • Surat Keterangan Impor • Memenuhi persyaratan label, surat Nomor 13 Tahun 2015 rekomendasi, dan sertfikat lain yang dipersyaratkan Peraturan Kepala Badan POM Nomor 12 Tahun 2015 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 61 Produk Regulasi Pengaturan Menteri • Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu Perdagangan Nomor 87/M• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor DAG/PER/10/2015 tentang • API-U dan/atau API-P (untuk Ketentuan Impor Produk barang modal/bahan baku) Tertentu Elektronik Peraturan 82/M- • Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu DAG/PER/12/2012 jo. • Mensyaratkan Importir Terdaftar (IT) Permendag No. 38/M• Mensyaratkan Persetujuan Impor DAG/PER/8/2013 jo. (PI) Verifikasi Permendag No. 48/M- • Mensyaratkan penelusuran teknis impor DAG/PER/8/2014 tentang termasuk pemeriksaan kesesuaian IMEI dan sertifikasi Ketentuan Impor Telepon • Mensyaratkan standard tertentu Seluler, Komputer Genggam dan pelabelan (Handheld), dan Komputer Permendag No. Tablet TPT sebagai bahan Peraturan Men. Perdagangan • Impor baku/penolong No. 85/M-DAG/PER/10/2015 • Mensyaratkan API-P tentang Ketentuan Impor • Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI) Tekstil dan Produk Tekstil • Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor • Impor tidak boleh melebihi kapasitas industri Peraturan Menteri • Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu Perdagangan Nomor 87/M• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor DAG/PER/10/2015 tentang • API-U dan/atau API-P (untuk Ketentuan Impor Tertentu barang modal/bahan baku) Peraturan Menteri • API-U dan/atau API-P • Mensyaratkan Persetujuan Impor Perdagangan Nomor 86/M(PI) Verifikasi DAG/PER/10/2015 tentang • Mensyaratkan penelusuran teknis impor Ketentuan Impor Tekstil & • Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 62 Produk Regulasi Pengaturan Produk Tekstil Batik dan Motif Batik Sumber: Kemendag (2016) 4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik Nilai bahan baku impor untuk industri Kimia merupakan yang terbesar dibanding industri TPT dan Elektronik. Namun demikian, hal tersebut sepadan dengan nilai output yang dihasilkan, dimana output industri Kimia juga yang terbesar dibanding industri TPT dan Elektronik. Pada tahun 2013, nilai output industri Kimia mencapai Rp. 273,4 trilliun, sementara output industri TPT dan Elektronik masingmasing sebesar Rp. 140,1 trilliun dan Rp, 34,9 trilliun. Selama 2000-2013, nilai output industri Kimia dan TPT naik ratarata 14,0% dan 6,4% per tahun. Sementara nilai output industri Elektroni turun rata-rata 2,2% per tahun. Nilai output industri Kimia dan TPT mencapai yang tertinggi pada tahun 2011 dengan nilai masingmasing Rp. 355,2 trilliun dan Rp. 280,2 trilliun. Namun, output keduanya mengalami penurunan di tahun 2012. Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia, TPT,dan Elektronik 400.0 350.0 Rp Trilliun 300.0 250.0 200.0 150.0 100.0 50.0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Industri Kimia 61.4 86.4 90.5 90.3 92.8 110.1 147.6 173.1 266.2 314.7 314.0 355.2 217.1 273.4 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Industri TPT 91.7 86.9 96.3 Industri Elektronik 43.3 26.2 32.3 105.2 115.3 129.8 148.7 158.8 146.5 168.6 246.1 280.2 133.8 140.1 40.0 77.4 30.6 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47.5 46.9 41.7 56.5 40.8 36.5 12.8 63 34.9 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag 4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik 4.4.1. Analisa Deskriptif Sebelum membahas hasil regresi dari persamaan simultan 3.1 dan 3.2 yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka akan diuraikan terlebih dahulu pola/tren beberapa data yang digunakan di dalam model persamaan simultan tersebut. A. Industri Kimia Rata-rata Impor bahan baku untuk Industri Kimia sebesar USD 1,87 miliar dan mencapai nilai maksimal USD 74,6 miliar. Tarif bea masuk yang berlaku untuk bahan baku industri Kimia rata-rata sebesar 0,05%. Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia Variable Obs Mean Std. Dev. 6.33e+09 Min Max Impor 359 1.87e+09 1506 7.46e+10 nominalER 366 9.375.139 6.318.558 8.389.088 10452.04 pdbsektora~b 366 119568.2 64882.09 tarif 147 .047534 .0201282 nontarif1 366 4.934.426 8.662.694 1.00e-07 y 365 6.72e+09 1.44e+10 tk 365 6739.83 8.728.852 k 355 2.08e+09 1.83e+10 42919.3 230236.1 0 .1 27 5219090 1.57e+11 141 55093 10000 3.39e+11 Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Selama periode analisa (2000-2013), nilai tambah sektoral di kelompok industri kimia menunjukkan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan perkembangan yang 64 meningkat secara stabil. selama periode tersbeut, PDB industri Kimia naik hampir 5 kali lipat. Gambar 4.12. Perkembangan PDB Industri Kimia1, 2000-2013 (Rp. Miliar) 250000 200000 150000 100000 50000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Sedangkan perkembangan nilai tukar selama periode 2000-2013 menunjukkan nilai yang berfluktuasi namun tidak terjadi perubahan yang sangat drastis. Rata-rata nilai berada di sekitar Rp.8300-an per USD hingga Rp.10000-an per USD, dengan nilai tertinggi mencapai Rp 10452 per USD di akhir tahun analisa. Gambar 4.13. Perkembangan Nilai tukar2, 2000-2013 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 PDB sektoral yang digunakan dalam persamaan untuk industri kimia adalah PDB harga berlaku karena memberikan hasil yang lebih baik. 2 Nilai tukar yang digunakan untuk semua kelompok industri adalah nilai tukar nominal karena memberikan hasil yang lebih baik dibanding nilai tukar riil. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 65 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Rata-rata tarif MFN yang dikenakan pada bahan baku bagi industri kimia selama tahun 2000-2013 cenderung sangat bervariasi antar subsektor 5 digit KBLI yang tergabung dalam kelompok industri kimia. Dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa rata-rata tarif untuk industri kimia berada pada kisaran 4%, sedangkan jika kita lihat pada subsektornya terlihat bahwa terdapat subsektor yang memiliki tarif hingga 9%, meskipun juga terdapat subsektor yang sangat rendah. Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 24111 24112 24113 24114 24115 24116 24117 25595 24119 24121 24122 24123 24129 24131 24132 24211 24212 24213 24220 24231 24232 24233 24234 24241 24242 24291 24292 24293 24294 24295 24299 24301 24302 24939 0 Jenis Industri Sumber: Kemenkeu (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Begitu pula untuk kebijakan non tarif, secara rata-rata per tahun menunjukkan nilai yang sangat bervariasi antar subsektor. Untuk subsektor yang cukup banyak menerapkan kebijakan non-tarif, kebijakan tarifnya sudah relatif tidak terlalu tinggi, seperti industri 24117 dengan rata-rata kebijakan NTM sebanyak 12, sedangkan tarifnya tinggal berkisar 3%. Sedangkan industri 24299 dengan tarif MFN hingga 8%, hanya menerapkan sekitar rata-rata 2 NTM. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 66 Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada Industri Kimia, 2000-2013 14 12 10 8 6 4 2 24111 24112 24113 24114 24115 24116 24117 25595 24119 24121 24122 24123 24129 24131 24132 24211 24212 24213 24220 24231 24232 24233 24234 24241 24242 24291 24292 24293 24294 24295 24299 24301 24302 24939 0 Sumber: UNCTAD (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Jika dibandingkan antar subsektor, terlihat bahwa rata-rata nilai output, bahan baku impor, capital dan tenaga kerja juga memiliki nilai yang bervariasi dengan beberapa subsektor relatif sangat tinggi seperti industri 24232, 24131, dan 24122. Umumnya nilai output jauh lebih tinggi dari nilai input yang digunakan, yang secara sederhana menunjukkan tingkat produktivitas yang cukup baik, kecuali industri 24122 dimana nilai capital justru lebih tinggi dari nilai output. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 67 Gambar 4.16. Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga kerja per tahun pada Industri Kimia, 2000-2013 45000000000 40000000000 35000000000 30000000000 25000000000 20000000000 15000000000 10000000000 5000000000 0 Jenis Industri Kimia Y Impor K L Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag B. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Rata-rata nilai impor bahan baku industri TPT mencapai USD 1,3 miliar dengan nilai maksimum USD 26,0 miliar. Adapun rata-rata tarif bea masuk yang berlaku sebesar 9,76%. Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT Variable Obervasi Mean Std. Dev. Min Max Impor 328,000 1.30e+09 2.79e+09 1983434,000 2.60e+10 nominalER 350,000 9374.89 6289767,000 8389088,000 10452.04 pdbsektora~b 350,000 8.51e+07 5.48e+07 1.72e+08 tarif 350,000 9760571,000 3753835,000 25,000 150,000 nontarif1 350,000 2208571,000 273352,000 1.00e-07 14,000 y 346,000 5.86e+09 1.04e+10 484077.3 6.85e+10 tk 346,000 41387.48 93650.97 2907853,000 556821.5 k 0,000 45422,000 Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 68 Selama periode analisa (2000-2013), nilai tambah sektoral di kelompok industri TPT menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, dari sebesar Rp. 45,4 trilliun di tahun 2000 menjadi Rp. 172,4 triliun di tahun 2013. Gambar 4.17. Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013 (harga Berlaku, Rp. Miliar) 200,000 180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Untuk nilai rata-rata tarif MFN di kelompok industri TPT variasi nilai tidak sebesar di industri kimia, dimana cukup banyak subsektor yang memiliki nilai tarif diatas 10%. Tarif bea masuk tertinggi berlaku bagi impor sub sektor Industri Tekstil Jadi, untuk Keperluan Kosmetika; Industri Karung Goni; dan Industri Rajut Kaos Kaki. Ketiga sub sektor tersbeut memiliki rata-rata tarif bea masuk di atas 14% selama 2000-2013. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 69 Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013 0.1600000 0.1400000 0.1200000 0.1000000 0.0800000 0.0600000 0.0400000 0.0200000 17111 17112 17113 17114 17115 17121 17122 17123 17124 17211 17212 17213 17214 17215 17220 17231 17232 17291 17292 17293 17294 17295 17299 17301 17302 17303 17304 17400 18101 18102 18103 18104 18201 18202 0.0000000 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Untuk penerapan kebijakan non tarif, hanya industri 17111 (Industri Persiapan Serat Tekstil) yang memiliki cukup banyak bentuk NTM, yaitu rata-rata sebesar 14 NTM. Sedangkan industri yang lain hanya sekitar rata-rata 3-4 kebijakan NTM. Selain itu, beberapa sub sektor dalam industri TPT tidak dikenakan kebijakan NTM, antara lain sub sektor Industri Pemintalan Benang; Industri Pemintalan Benang Jahit; Industri Batik; Industri Permadani (Babut); dan Industri Pakaian Jadi / Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris. Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada Industri TPT, 2000-2013 16.000 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 17111 17112 17113 17114 17115 17121 17122 17123 17124 17211 17212 17213 17214 17215 17220 17231 17232 17291 17292 17293 17294 17295 17299 17301 17302 17303 17304 17400 18101 18102 18103 18104 18201 18202 0.000 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 70 Untuk nilai output, capital, tenaga kerja, dan impor bahan baku antar subsektor di kelompok industri TPT sangat bervariasi. Industri 18101 (Industri Pakaian Jadi dari Tekstil) memiliki nilai yang paling besar, kemudian diikuti industri 17114 (Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)). Kecuali industri 17302 (Industri Pakaian Jadi Rajut), nilai output relatif jauh lebih tinggi dibanding nilai input, sehingga menunjukkan tingkat produktivitas yang cukup baik. Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan baku industri TPT, 2000-2010 60000000000 50000000000 40000000000 30000000000 20000000000 10000000000 0 Y Impor K Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Yang cukup menarik adalah, rata-rata penggunaan tenaga kerja di industri TPT tidak sebesar yang diperkirakan sebagai industri yang bersifat labor intensive, karena hanya industri 18101 (Industri Pakaian Jadi dari Tekstil) dan 17114 Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)) yang cukup banyak menggunakan tenaga kerja. Gambar 4.21. Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 20002013 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 71 500000 400000 300000 200000 100000 0 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag C. Industri Elektronik Selama 2000-2013, rata-rata nilai impor bahan baku industri Elektronik sebesar USD 3,0 miliar dan mencapai nilai maksimal USD 15,6 milliar. Sementara itu, tarif bea masuk yang berlaku untuk industri Elektronik cukup rendah, yakni rata-rata 3,2%. Sedangkan NTM yang berlaku bagi industri Elektronik rata-rata 10 NTM per tahun. Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik Variable Obs Mean Std. Min Max Dev. impor 57 3.05e+09 3.56e+09 806129.8 1.56e+10 nominalER 70 9374.89 6326124 10452.04 pdbsektora~b 70 863253.6 606515.7 68617 1997954 tarif 70 .0320686 .0317714 .0022 .1088 nontarif1 70 4471429 3911045 10 y 64 8.86e+09 1.07e+10 1.27e+07 4.59e+10 tk 64 25335.92 31560.76 1397702 113550.2 k 56 1.54e+09 3.93e+09 5166754 2.37e+10 8389088 1.00e-07 Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag Untuk perkembangan data PDB sektoral terlihat bahwa selama periode analisa, mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 72 2000, nilai PDB untuk sektor Elektronik sebesar Rp. 68,6 trilliun. Pada tahun 2013, nilai PDB tersebut naik signifikan mencapai Rp. 529,8 trilliun. Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik 2000-2013 (harga berlaku, Rp. Milliar) 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Di industri elektronik secara rata-rata tarif MFN paling tinggi dikenakan di subsektor 32300 (Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya) sebesar 6% lebih, sedangkan terendah ada di industri 30016 (Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik) sebesar 0,2%. Gambar 4.23. Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri Elektronik, 2000-2013 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 73 0.0700000 0.0600000 0.0500000 0.0400000 0.0300000 0.0200000 0.0100000 0.0000000 30016 32100 32200 32300 33123 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Sedangkan kebijakan non-tarif bagi industri Elektronik mulai berlaku tahun 2009 dan terus meningkat sejak tahun 2012. NTM terbanyak berlaku bagi sub sektor 32300 (Industri Televisi dan/Atau Perakitan Televisi) dan 32200 (Industri alat transmisi komunikasi). Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan Non Tarif Sektor Elektronik 30 25 20 15 10 5 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 30003 32100 32200 32300 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Untuk rata-rata nilai output dan bahan baku impor selama periode analisa, terlihat bahwa hanya industri 32100 dan 32300 yang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 74 memiliki nilai cukup besar dan terpaut sangat jauh dengan tiga subsektor yang lain. Dan nilai capital terbesar juga hanya dimiliki oleh industri 32100. Subsektor industri elektronik lainnya ternyata hanya menggunakan nilai capital yang relatif cukup kecil. Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor pada industri Elektronik, 2000-2010 25000000000 20000000000 15000000000 10000000000 5000000000 0 30016 32100 32200 Y Input_Impor 32300 33123 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag Gambar 4.26. Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri Elektronik, 2000-2013 6000000000 5000000000 4000000000 3000000000 2000000000 1000000000 0 30016 32100 32200 32300 33123 Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag 4.4.2. Hasil Regresi A. Industri Kimia Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 75 Hasil regresi model persamaan simultan untuk persamaan impor bahan baku menunjukkan bahwa pengaruh Tarif MFN sangat kuat dan signifikan terhadap rata-rata permintaan bahan baku impor. Kenaikan 1 persen tarif masuk bahan baku impor akan menurunkan permintaan bahan baku impor sebesar 30,78 persen. Sedangkan kebijakan non-tarif NTM tidak memiliki pengaruh terhadap permintaan impor bahan baku di industri kimia, meskipun memiliki arah yang sesuai. Tidak berpengaruhnya kebijakan non-tarif diduga akibat hanya beberapa subsektor saja yang menerapkan kebijakan NTM, dan dimana nilainya berbanding terbalik dengan kebijakan tarif, dimana ketika subsektor memiliki nilai tarif yang cukup tinggi, penerapan NTM masih terbatas. Dan kebijakan NTM yang diterapkan relatif masih berada pada kebijakan lisensi impor otomatis yang tidak sulit untuk dipenuhi importir. Nilai Tambah sektoral (PDB sektoral) di industri kimia juga berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan impor bahan baku. Kenaikan 1 persen PDB maka impor bahan baku meningkat sebesar 1,057 persen. Pengaruh nilai tukar nominal terhadap permintaan bahan baku impor juga bersifat sangat elastis. Kenaikan nilai tukar nominal (depresiasi) nilai tukar sebesar 1 persen menyebabkan bahan baku impor menjadi mahal, akibatnya permintaan bahan baku impor turun 5,53 persen. Hasil regresi model output menunjukkan bahwa input produksi yaitu bahan baku, modal dan tenaga kerja berpengaruh positif signifikan pada output industri kimia. Pengaruh bahan baku impor dan jumlah tenaga kerja memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan pengaruh modal pada output industri kimia. Kenaikan impor bahan baku dan jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan rata-rata output industri kimia masing-masing sebesar 0,6 persen. Sementara itu kenaikan 1 persen kapital akan meningkatkan output sebesar 0,1 persen. Secara keseluruhan, kebijakan Tarif MFN berpengaruh terhadap kinerja industri kimia yang diukur lewat nilai output, dimana penurunan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 76 tarif MFN sebesar 1 persen akan meningkatkan output industri kimia sebesar 18,87 persen. Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia3 Model Impor PDB sektoral 1,057* Nilai Tukar -5,529* Tarif -30,786*** NTM -0,030 Konstanta 58,744** Model Output Impor bahan baku 0,613** Kapital 0,100*** Tenaga Kerja 0,6** Konstanta 3,068 Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri Kimia Dengan menggunakan metode growth accounting, maka dari persamaan fungsi produksi dapat dihitung tingkat produktifitas (TFP) yang ada di sektor industri kimia. Hasil perhitungan produktivitas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia Tahun 3 Rata-rata TFP 2000 11,37893267 2001 10,41930397 Hasil regeresi dengan menggunakan metode 3SLS Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 77 2002 9,024731805 2003 10,38608798 2004 9,738001939 2005 9,007564583 2006 11,42075293 2007 11,07098692 2008 9,156571683 2009 7,908891189 2010 14,63250488 2011 14,84519406 2012 12,93546817 2013 13,06921632 Sumber: hasil pengolahan Berdasarkan table produktivitas tersebut terlihat bahwa selama periode tahun 2000 hingga tahun 2013, di dalam sektor industri kimia, produktivitas bergerak naik turun dimana pada tahun 2010-2011 sempat mengalami tingkat produktivitas tertinggi, namun menurun kembali pada tahun berikutnya. Fluktuasi dari tingkat produktivitas di industri kimia dapat lebih jelas dilihat pada grafik berikut ini. Gambar 4.27. Rata-Rata Produktivitas Sektor Kimia Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 78 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata TFP sektor Kimia (e= lny-lny_hat) Sumber: hasil pengolahan Jika dilihat berdasarkan subsektor di dalam industri kimia, maka terdapat variasi yang cukup besar dari nilai produktivitas antara satu subsektor dengan subsektor lainnya. Terdapat beberapa subsektor yang memiliki nilai produktivitas relatif sangat tinggi seperti subsektor 24121 (subsektor dengan TFP tertinggi), 24234, 24233 dan 24295. Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub sektor industri Kimia (2000-2013) Kode Rata-rata Tarif Rata-rata Non-tarif 24111 0,05 24112 0,05 7,22 24113 0,05 12,94 24114 0,05 12,45 8,94 24115 0,05 2,40 14,88 24116 0,04 8,82 11,55 24117 0,04 12,45 8,28 25595 0,04 6,39 24119 0,04 8,78 24121 0,03 16,56 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4,73 TFP 12,26 79 Kode Rata-rata Tarif 24122 0,00 24123 0,02 Rata-rata Non-tarif 2,40 TFP 10,20 14,08 24129 13,76 24131 0,06 7,40 24132 0,05 14,66 24211 0,03 11,20 24212 11,92 24213 9,53 24220 8,97 24231 0,02 11,11 12,97 24232 0,04 3,71 -1,35 24233 15,34 24234 15,82 24241 0,07 10,00 24242 0,09 11,70 24291 0,05 24292 0,07 15,01 24293 0,08 13,76 24294 0,05 24295 0,05 24299 0,09 24301 24302 2,40 2,40 10,48 14,27 15,19 2,40 10,70 12,32 0,05 24939 8,85 1,33 Sumber: hasil pengolahan B. Industri TPT Faktor utama penyebab kenaikan impor bahan baku adalah kenaikan nilai PDB sektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki dan penurunan Tarif MFN impor bahan baku. Kenaikan 1 persen PDB Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 80 sektoral akan meningkatkan rata-rata impor bahan baku sebesar 1,37 persen. Sedangkan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap impor bahan baku. Pengaruh kebijakan Tarif MFN dan Non Tarif NTM relatif kecil terhadap impor bahan baku. Kenaikan 1 persen tarif akan menurunkan rata-rata impor bahan baku sebesar 0,015 persen. Sedangkan hubungan antara kebijakan Non Tarif NTM dengan impor bahan baku bernilai positif sebesar 0,051. Ketika kebijakan NTM meningkat sebesar 1 persen justru meningkatkan impor bahan baku sebesar 0,051 persen. Perbedaan hasil regresi dengan hipotesis ini diduga terjadi karena aturan-aturan yang ditetapkan masih bersifat lisensi impor sederhana yang relatif mudah dipenuhi oleh pelaku usaha. Dari model output diperoleh kesimpulan bahwa peran bahan baku impor dan tenaga kerja sangat signifikan pada produksi industri tekstil dan produk tekstil. Ketergantungan terhadap bahan baku impor jelas terlihat pada hasil regresi dimana setiap kenaikan 1 persen nilai impor bahan baku maka output produksi naik rata-rata 0,617 persen. Nilai ini bahkan lebih besar dari pengaruh tenaga kerja terhadap pembentukan output. Dimana kenaikan 1 persen jumlah tenaga kerja menyebabkan rata-rata kenaikan output sebesar 0,44 persen. Pengaruh modal kapital tidak signifikan pada kenaikan output industri TPT. Hal ini diduga karena nilai kapital tidak terlalu besar seperti yang terlihat dari analisa deskriptif sebelumnya. Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TPT4 4 Hasil regresi dengan menggunakan metode 3SLS Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 81 Model Impor PDB sektoral 0,137*** Nilai Tukar 0,808 Tarif -0,015*** NTM 0,051*** Konstanta 10,895 Model Output Impor bahan baku 0,617*** Kapital -0,027 Tenaga Kerja 0,448*** Konstanta 5,768*** ***p < 0,01, **p < 0,05, * p < 0,1 Dari model simultan diatas dapat terlihat bahwa kebijakan Tarif berpengaruh terhadap kinerja industri TPT yang diukur melalui output. Penurunan Tarif MFN sebesar 1 persen akan meningkatkan output industri TPT sebesar 0,009 persen. Pengaruh ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pengaruh kebijakan tarif di industri kimia sebelumnya. Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri TPT Dibandingkan sektor industri kimia, produktivitas sektor industri TPT relative masih sangat rendah, dengan kecenderungan yang menurun. Hanya sempat mengalami produktivitas tertinggi di tahun 2003, bahkan di beberapa tahun mengalami produktivitas yang negative. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan input sangat tidak efisien, bahkan nilai input yang digunakan secara keseluruhan lebih tinggi daripada nilai output yang dihasilkan. Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 82 Tahun Rata-Rata TFP 2000 0,28 2001 0,81 2002 0,19 2003 1,02 2004 0,54 2005 0,49 2006 -0,05 2007 0,58 2008 0,24 2009 0,36 2010 -0,54 2011 0,77 2012 -1,18 2013 -1,08 Sumber: hasil pengolahan Untuk lebih jelasnya, tren perkembangan rata-rata produktivitas sektor industri TPT dapat dilihat pada grafik berikut ini. Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT 1.50 1.00 0.50 0.00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 -0.50 -1.00 -1.50 TFP (ln)= error=(lny-lnyhat) Sumber : hasil pengolahan Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 83 Jika dianalisis berdasarkan subsektor di dalam industri TPT terlihat bahwa masih terdapat beberapa subsektor yang memiliki tingkat produktivitas diatas rata-rata industri TPT, seperti subsektor 17400 (tertinggi), 17213, dan 17299. Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub sektor industri TPT (2000-2013) Kode Tarif Non-tarif TFP 17111 0,056 3,929 0,414 17112 0,053 9,714 -0,201 17113 0,050 9,714 -0,179 17114 0,084 9,714 -0,018 17115 0,122 9,714 1,172 17121 0,088 9,714 0,092 17122 0,091 9,714 0,289 17123 0,128 9,714 1,338 17124 0,135 9,714 0,801 17211 0,123 9,714 -0,444 17212 0,135 9,714 -0,336 17213 0,150 9,714 3,897 17214 0,150 9,714 -1,493 17215 0,123 9,714 1,876 17220 0,127 9,714 -0,546 17231 0,089 9,714 0,226 17232 0,066 9,714 -0,658 17291 0,077 9,714 -0,448 17292 0,075 9,714 -0,252 17293 0,075 9,714 1,065 17294 0,089 9,714 0,698 17295 0,100 9,714 -3,501 17299 0,071 9,714 2,201 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 84 Kode Tarif Non-tarif TFP 17301 0,085 9,714 0,848 17302 0,130 9,714 -0,628 17303 0,144 9,714 0,679 17304 0,139 9,714 1,771 17400 0,072 9,714 4,321 18101 0,093 9,714 -0,781 18102 0,137 9,714 -0,562 18103 0,113 9,714 -0,355 18104 0,100 9,714 -0,670 18201 0,100 9,714 -4,705 18202 0,100 9,714 -0,057 Sumber : hasil pengolahan C. Industri Elektronik Impor bahan baku pada industri elektronik, secara signifikan, dipengaruhi oleh PDB industri alat angkutan, mesin dan peralatannya dan kebijakan non tarif. Setiap kenaikan 1 persen PDB sektoral maka rata-rata bahan baku impor naik sebesar 1,76 persen. Sedangkan variabel nilai tukar tidak memiliki dampak terhadap impor bahan baku di industri elektronik. Untuk kebijakan Tarif MFN juga tidak berpengaruh terhadap impor bahan baku. Hal ini diduga karena secara rata-rata tarif untuk industri elektronik sudah relatif lebih rendah dimana rata-rata tarif MFN untuk industri elektronik sebesar 4% (lebih rendah dibanding industri kimia dan TPT). Sedangkan kebijakan non tarif NTM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap impor bahan baku. Setiap kenaikan 1 persen non tarif NTM akan menurunkan impor bahan baku sebesar 0,23 persen. Produksi industri elektronik masih tergantung pada impor bahan baku. Hal tersebut terlihat dari pengaruh positif impor bahan baku terhadap produksi. Kenaikan 1 persen nilai bahan baku impor menyebabkan kenaikan pada output rata-rata sebesar 0,45 persen. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 85 Pengaruh ini lebih besar daripada pengaruh variable tenaga kerja terhadap pembentukan output industri elektronik. Kenaikan 1 persen jumlah tenaga kerja akan meningkatkan output produksi sebesar 0,41 persen. Namun peran modal kapital tidak signifikan dalam pembentukan output industri elektronik. Hal ini diduga karena industri elektronik di Indonesia relatif masih banyak menggunakan tenaga kerja dan tidak terlalu membutuhkan kapital yang tinggi. Secara global, kebijakan Non Tarif NTM berpengaruh terhadap kinerja industri elektronik, dimana penurunan NTM sebesar 1 persen akan meningkatkan output industri elektronik sebesar 1,02 persen. Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik5 Model Impor PDB Sektoral 1.768379*** Nilai Tukar 0.0600984 Tarif -2.27414 NTM -0.2301457** Konstanta -24.30396*** Model Output Impor bahan baku 0,4517361*** Kapital 0,0255617 Tenaga Kerja 0,4109378*** Konstanta 8.479084*** ***p < 0,01, **p < 0,05, * p < 0,1 Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri Elektronik Produktivitas sektor industri elektronik memiliki perkembangan yang hamper sama dengan sektor industri TPT dimana produktivitas sektor 5 Hasil regresi untuk industri elektronik menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86 industri elektronik relative masih rendah, namun dengan kecenderungan fluktuatif. Hanya pada tahun 2010 sempat mengalami tingkat produktivitas TFP tertinggi. Sementara pada awal periode analisa, industri elektronik bahkan mengalami tingkat produktivitas yang negatif. Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik Tahun Rata-rata TFP 2000 0,46 2001 -0,39 2002 -2,05 2003 -2,05 2004 -1,83 2005 0,05 2006 0,05 2007 1,87 2008 0,40 2009 0,68 2010 2,02 2011 0,50 2012 -0,52 2013 -0,10 Sumber: hasil pengolahan Perkembangan tingkat produktivitas sektor industri elektronik yang fluktuatif tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini. Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 87 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 -0.50 -1.00 -1.50 -2.00 -2.50 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 TFP (ln)= error=(lny-lnyhat) Sumber : hasil pengolahan Subsektor yang memiliki tingkat produktivitas tinggi di dalam sektor industri elektronik adalah subsektor 30003 dan subsektor yang paling rendah produktivitasnya adalah subsektor 33123 (lihat table berikut ini). Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub sektor Elektronik TPT (2000-2013) Kode Tarif1 Non tarif1 TFP 30003 0,002 2,571 2,789 32100 0,014 7,071 -0,146 32200 0,023 7,071 0,242 32300 0,066 7,071 0,231 33123 0,055 7,071 -4,178 Sumber : hasil pengolahan 4.5. Hasil Temuan Lapang Guna melengkapi analisis pengolahan data regresi, Tim Kajian melakukan survei ke beberapa kota (Makassar, Medan, Bandung dan Surabaya) dan melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 88 (FGD). Dalam kunjungan lapangan tersebut, Tim Kajian mengunjungi para pemangku kepentingan terkait, di antaranya perusahaanperusahaan yang melakukan importasi bahan baku/ penolong untuk digunakan sebagai input dalam proses produksinya, produsen sejenis, asosiasi, dinas terkait Dengan menggunakan kuesioner, Tim Kajian melakukan in depth interview menanyakan beberapa pertanyaan tertutup dan terbuka. Hasil temuan lapangan, diskusi terbatas, dan Focus Group Discussion (FGD) dalam Lampiran 1 menunjukkan bahwa adanya keberagaman dalam persepsi responden mengenai pengaruh kebijakan impor terhadap kendala kegiatan importasi. Keseluruhan responden yang berasal dari industri Kimia menyatakan bahwa kebijakan impor tidak menghambat kegiatan importasi. Berbeda halnya dengan sebagian besar dari responden pada industri TPT (66,67%) dan Elektronika (80,00%) yang memiliki pandangan bahwa kebijakan impor memiliki andil dalam menghambat kegiatan importasi. Berkaitan dengan ketersediaan pasokan bahan baku, sekitar 66,67% dari responden di industri Kimia berpendapat bahwa pengimplementasian kebijakan impor tidak berdampak terhadap ketersediaan pasokan bahan baku/penolong mengingat adanya bahan baku/penolong yang diproduksi oleh industri dalam negeri (Lampiran 1). Responden pada industri TPT dan Elektronika justru memiliki persepsi bahwa kebijakan impor berdampak terhadap ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dengan pertimbangan bahwa sebagian besar bahan baku/penolong yang digunakan oleh industri TPT dan Elektronika kurang memadai jumlah produksinya, tidak dapat diproduksi atau tidak tersedia jenis/spesifikasinya di dalam negeri (Lampiran 1). Sebanyak 80% dari responden yang bergerak di industri TPT berpandangan bahwa kebijakan impor memiliki peranan terhadap produksi dan produktivitas industrinya. Pandangan yang sama tentang Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 89 peranan tersebut hanya dirasakan oleh 33,33% dari responden yang bergerak di industri Kimia. Hasil temuan lapangan, diskusi terbatas, dan FGD yang telah dilakukan, kenaikan kebijakan tarif bea masuk MFN tidak berpengaruh terhadap penurunan impor bahan baku/penolong pada industri TPT karena sebagian besar berasal dari impor bahan baku/penolong berasal dari negara Republik Rakyat Tiongkok yang telah memiliki tarif bea masuk preferensi sebesar 0%. Namun tidak begitu halnya dengan industri yang bergerak di Kimia dan Elektronika, tarif bea masuk memiliki pengaruh terhadap impor bahan baku/penolongnya karena sebagian berasal dari negara-negara mitra FTA. Ketidakharmonisan tarif bea masuk MFN atas impor bahan baku/penolong dengan barang setengah jadi dan barang jadi untuk industri Kimia, TPT, dan Elektronika menjadi permasalahan utama bagi para pelaku usaha dalam menjamin kelancaran proses produksi (Lampiran 1). Berdasarkan masukan dan tanggapan dari beberapa responden, kebijakan non tarif yang diimplementasikan saat ini dinilai berpengaruh terhadap pasokan bahan baku/penolong asal impor dan kinerja industri Elektronika. Untuk industri TPT, pengimplementasian kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil melalui Permendag No. 85 Tahun 2015 dinilai merugikan sektor hulu (serat dan benang) dan sektor antara penghasil kain grey dan finish karena beberapa importir memperdagangkan barang yang diimpornya dan volume impor melebihi kapasitas riil akibat dihapuskannya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Lampiran 1). Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 90 Persepsi mengenai Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Hambatan Kegiatan Impor Berpengaruh Tidak Berpengaruh 100.00% 80.00% 66.67% 33.33% 20.00% Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika Persepsi Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Ketersediaan Pasokan Bahan Baku/Penolong Berpengaruh Tidak Berpengaruh 100.00% 80.00% 66.67% 33.33% 20.00% Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika Persepsi mengenai Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Produksi dan Produktivitas Berpengaruh Tidak Berpengaruh 100.00% 80.00% 66.67% 33.33% 20.00% Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika Gambar 4.30. Hasil Temuan Lapang dan FGD Sumber : hasil pengolahan data primer. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 91 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penurunan tarif bea masuk MFN bahan baku dan penolong pada industri Kimia dan TPT akan meningkatkan impor bahan baku dan penolong serta output pada kedua industri. Sementara itu, penurunan tarif bea masuk MFN untuk industri elektronika tidak mempengaruhi impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut. 2. Peningkatan hambatan non tarif untuk bahan baku dan penolong pada industri Kimia ternyata tidak mempengaruhi impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut. Pada industri TPT, peningkatan hambatan non tarif bahan baku dan penolong justru akan meningkatkan impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut. Sementara itu pada industri Elektronika, peningkatan hambatan non tarif bahan baku dan penolong akan menurunkan impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut. 5.2. Rekomendasi Kebijakan Mengacu pada hasil kajian, beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong kinerja industri manufaktur di Indonesia, di antaranya: 1. Menurunkan tarif bea masuk MFN atas impor bahan baku/penolong industri Kimia yang dapat diusulkan dalam Tahap III Peninjauan Tarif Bea Masuk MFN 2. Meningkatkan peranan kebijakan non tarif atas impor bahan baku/penolong industri TPT dengan pembenahan tata niaga impor TPT melalui revisi Permendag No. 85/M-DAG/PER/10/2015 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan dengan 92 perizinan impor TPT hanya diberikan kepada produsen sebagai bahan baku produksi untuk produk yang belum diproduksi di dalam negeri dan pelarangan importir dalam memperdagangkan dan/atau memindahtangankan impor TPT serta penerapan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor (VPTI). 3. Menurunkan jumlah kebijakan non tarif yang dikenakan pada produk bahan baku/penolong industri Elektronika Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 93 DAFTAR PUSTAKA Ali, A. & Chani, M.I. (2013). Disaggregated Import Demand Function: A Case Study of Pakistan. International Journal of Economics and Empirical Research, 1 (1), 1-14. Amiti, M. and J. Konings, (2007), ‘Trade Liberalization, Intermediate Inputs, and Productivity: Evidence from Indonesia’, American Economic Review, 97(5), pp.1611–38. Arianti, R.K. (2014). Ketergantungan Beberapa Sektor Industri Terhadap Bahan Baku Impor. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 18-44. Jakarta: BPPKP, Kementerian Perdagangan. Badan Pusat Statistik Indonesia. (2015, Desember). Kinerja Impor Indonesia 2010-2014. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik Indonesia. Cheong, T.T. (2002). Disaggregated Import Demand and Expenditure Components in Malaysia: An Empirical Analysis. Malaysian Journal of Economic Studies, XXXIX (1& 2). Deyak, T.A., Sawyer, W.C. & Sprinkle, R.L. (1989, May). An Empirical Examination of the Structural Stability of Disaggregated U.S. Import Demand. The Review of Economics and Statistics, 71(2), 337-241. Fukumoto, M. (2012, June). Estimation of China’s Disaggregate Import Demand Functions. China Economic Review, 23 (2), 434-444. doi:10.1016/j.chieco.2012.03.002 Ge, Y., Lai, H., & Zhu, S. C. (2011, May). Intermediates Import and Gains from Trade Liberalization. Goldberg, P.K., A.K. Khandelwel, N. Pavnick, and P. Topalova (2008), ‘Imported Intermediate Inputs and Domestic Product Growth: Evidence from India’, NBER Working Paper No. 14416, Cambridge, MA: NBER. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 94 Halpern, L., Koren, M., & Szeidl, A. (2015, December). Imported Inputs and Productivity. American Economic Review, 105 (12), 3660-3703. doi:10.1257/aer.20150443 Halwani, & Hendra, R. (2005). Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. (R. F. Sikumbank, Ed.) Bogor, Jawa Barat, Indonesia: Ghalia Indonesia. Houthakker, H.S. & Magee, S.P. (1969, May). Income and Price Elasticities in World Trade. The Review of Economics and Statistics, 51(2), 111-125. doi: 10.2307/1926720 Ing, Lili Yan & Putra, C.T. (2015, August). Imported Inputs in Indonesia’s Product Development. ERIA Discussion Paper Series ERIA-DP-2015-55. Khan, M.S. (1975, May). The Structure and Behavior of Imports of Venezuela. The Review of Economics and Statistics, 57 (2), 221224. DOI: 10.2307/1924004 Kreinin, M. E. (1973, July). Disaggregated Import Demand Functions: Further Results. Southern Economic Journal, 40(1), 19-25. doi:10.2307/1056289 Krugman, P.R. & Obstfeld, M. (2003). International Economics: Theory and Policy. Pearson Education Internasional. Mah, J.S. (2000). An Empirical Examination of the Disaggregated Import Demand of Korea – the Case of Information Technology Products. Journal of Asian Economics, 11, 237-244. Masngudi. (2006). Handout Ekonomi Internasional Lanjutan. Jakarta: Universitas Borobudur. Narayan, S. and Narayan, P.K. (2005). An Empirical Analysis of Fiji’s Import Demand Function. Journal of Economic Studies, 32 (2), 158-168. http://dx.doi.org/10.1108/01443580510600931 Pattichis, C.A. (1999). Price and Income Elasticities of Disaggregated Import Demand: Results from UECMs and an Application. Applied Economics, 31, 1061-1071. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 95 Price, J.E. & Thornblade, J.B. (1972, July). U.S. Import Demand Functions Disaggregated by Country and Commodity. Southern Economic Journal, 39 (1), 46-57. doi: 10.2307/1056224 Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations: with a new introduction. Free Press. Puslitbang Perdagangan Luar Negeri. (2007). Kajian Ketergantungan Industri Nasional terhadap Impor Bahan Baku. Jakarta: Badan Litbang Perdagangan Departemen Perdagangan. Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. (2013). Analisis Substitusi Impor Produk Manufaktur. Jakarta: BPPKP, Kementerian Perdagangan. Rhee, C. (2012). Principles of International Trade (Import-Export): The First Step Toward Globalization (Vol. 5). Bloomington: AuthorHouse. Salvatore, D. (1997). Ekonomi Internasional (Vol. 5). (H. Munandar, Trans.) Jakarta: Erlangga. Santos-Paulino, A.U. (2002, June). The Effects of Trade Liberalization on Imports in Selected Developing Countries. World Development, 30 (6), 959-974. Elsevier. doi:10.1016/S0305-750X(02)00014-1 Sarmad, K. and Mahmood, R. (1987). Disaggregated Import Demand Functions for Pakistan. The Pakistan Development Review Vol. XXVI(1). 71-80. http://www.pide.org.pk/pdf/PDR/1987/Volume1/7180.pdf Sarmad, K. (1989, October). The Determinants of Import Demand in Pakistan. World Development, 17 (10), 1619-1625. doi:10.1016/0305-750X(89)90032-6 Schor, Adriana. 2004. "Heterogeneous Productivity Response to Tariff Reduction: Evidence from Brazilian Manufacturing Firms.Journal of Development Economics, 75(2): 373-96. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 96 Sukirno, S. (2004). Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suswati, E. (2012). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Impor di Indonesia Periode 1992-2009. Makassar: Universitas Hassanudin. Topalova, P., & Khandelwal, A. (2011, August). Trade Liberalization and Firm Productivity: The Case of India. The Review of Economics and Statistics, 93(3), 995-1009. doi:10.1162/REST_a_00095 Waluyo, Y. R. (2004). Analisis Impor Bahan Baku Indonesia Pada Sektor Perindustrian Berdasar Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Universitas Diponegoro, Program Pascasarjana. Semarang: Universitas Diponegoro. Wang, Yi-Hsien & Lee, Jun-De. (2012). Estimating the Import Demand Function for China. Economic Modelling, 29(6), 2591-2596, November 2012. Widayanto, S. (2011). Fasilitasi dan Aturan Perdagangan: Prosedur Notifikasi WTO Untuk Transparansi Kebijakan Impor Terkait Bidang Perdagangan: Kewajiban Pokok Indonesia Sebagai Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal . Jakarta: Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 97 Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Temuan Lapangan No. Kebijakan Impor Bahan Baku/Penolong Makassar Medan 1. Jenis Perijinan Impor API API API, IP API 2. Sumber informais kebijakan impor Website Kemendag Website Kemendag Asosiasi, website instansi terkait Website Kemendag 3. Pengaruh kebijakan impor terhadap kegiatan produksi Tidak berpengaruh karena memanfaatkan kawasan berikat Tidak ada kebijakan yang menghambat Memberikan pengaruh terhadap produksi 4. Kinerja industri manufaktur pasca diterbitkannya kebijakan impor Meningkat Meningkat Meningkat Stagnan 5. Pengaruh kebijakan impor terhadap pasokan bahan baku Tidak ada kebijakan yang menghambat Tidak terdapat permasalahan dalam importasi Tidak ada kebijakan yang menghambat Ada pengaruh terhadap pasokan bahan baku/ penolong 6. Sumber bahan baku Sebagian besar dalam negeri Sebagian kecil bahan baku diperoleh dari dalam negeri Sebagian besar diimpor Sebagian besar diimpor 7. Ketersediaan pasokan bahan baku dalam negeri Proses pengadaan bahan baku asal impor dirasakan lebih sulit mengingat harus dilakukan kontrak terlebih dahulu Sebagian kecil bahan baku diperoleh dari dalam negeri Tidak memenuhi spesifikasi yang diinginkan 8. Penyebab pasokan bahan baku baku dalam negeri tidak memadai Pasokan dari dalam negeri kurang memadai dan tidak memenuhi spesifikasi Belum ada komponen di dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan Sedikitnya ketersediaan bahan baku local, dan tidak memenuhi spesifikasi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan Bandung Surabaya 98 No. Kebijakan Impor Bahan Baku/Penolong Makassar Medan Bandung Surabaya 9. Harapan terhadap kebijakan impor dalam rangka industri manufaktur Adanya harmonisasi pelaksanaan kebijakan impor dilapangan antara instansi pemerintah pelaksana kebijakan 10. Landasan kuat kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur Landasan kebijakan cukup kuat Landasan kebijakan cukup kuat Landasan kebijakan cukup kuat 11. Kejelasan pengaturan kebijakan Pengaturan kebijakan impor cukup jelas Pengaturan kebijakan impor cukup jelas Pengaturan kebijakan impor agak jelas 12. Sosialisasi kebijakan impor Sudah dilakukan sosialisasi Sudah dilakukan sosialisasi 13. Alasan untuk melakukan impor bahan baku/penolong Ketersediaan bahan baku local tidak mencukupi Belum tersedia di dalam negeri 14. Pendapat mengenai kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong Tidak terdapat permasalahan dalam importasi, semua sudah sesuai dengan aturan yang ada a. Kebijakan impor masih kondusif dan tidak menghambat. b. Proses customs harus lebih cepat 15. Pendapat mengenai kebijakan tarif bea masuk atas impor bahan Kebijakan impor yang berlaku saat ini mendukung industri manufaktur Kurang mendukung karena bahan baku yang tidak ada di Indonesia dipersulit Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan Seharusnya beberapa produk tidak perlu diatur impornya karena tidak tersedia di lokal, hanya menambah biaya 99 No. Kebijakan Impor Bahan Baku/Penolong Makassar Medan Bandung Surabaya 16. Persepsi terhadap kebijakan impor berupa hambatan non tarif (seperti API, VPTI, SNI dsb) kebijakan impor yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan sudah cukup baik Perpanjangan API yang harus menggunakan sertifikat API asli, sedangkan dalam importasi juga diperlukan Tidak ada permasalahan terkaitan kebijakan impor bahan baku/penolong Kebijakan impor yang ada saat ini tidak berpengaruh 17. Jenis kebijakan impor yang menghambat Hambatan terkait dengan pelaksanaan impor yang terkait dengan Bea dan Cukai Tidak ada hambatan impor yang disebabkan oleh kebijakan impor yang berlaku a. Proses penerbitan API di Dinas Provinsi justru lebih lama; b. Tarif inspeksi surveyor dirasa cukup mahal Kebijakan SNI 18. Pengaruh deregulasi dan debirokratisasi perdagangan terhadap importasi dan kinerja produksi Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan Tidak berpengaruh karena faktor kebijakan tersebut sangat kecil manfaatnya 100 Lampiran 2. Kuesioner Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Mendukung Industri Manufaktur PENGANTAR : Dalam rangka mendapatkan gambaran nyata mengenai kondisi penerapan kebijakan impor bahan baku/penolong, Kementerian Perdagangan melalui Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan melakukan survey untuk melihat efektifitas kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur. Kebijakan impor yang dimaksud adalah kebijakan impor tarif dan non tarif. Tujuan dari survey ini adalah untuk mengetahui kondisi dan berbagai permasalahan secara terinci, baik dari segi peraturan maupun implementasinya, sehingga dapat dijadikan bahan kebijakan pemerintah dalam memperbaiki kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur. Oleh karena itu, kami mengharapkan bantuan dari para pelaku usaha untuk memberikan keterangan dan informasi dengan sebenar-benarnya. Atas bantuan dan kerjasamanya, Kami mengucapkan banyak terima kasih. SIFAT : RAHASIA Semua keterangan dan informasi yang diberikan akan DIJAMIN KERAHASIAANNYA; dan tidak memberikan akibat apapun kepada pelaku usaha. PETUNJUK PENGISIAN Pilihlah salah satu jawaban yang sesuai dengan kondisi yang dinyatakan dalam pilihan jawaban; sesuai dengan situasi dan yang dialami dalam melakukan berbagai aktivitas yang terkait dengan kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur. Contoh Pengisian : DATA POKOK RESPONDEN Nama Lengkap : Bagian / Jabatan : Jenis Kelamin : Umur Pendidikan Terakhir : : Alamat : No. Telp / HP : Laki – Laki / Perempuan Tahun SLTA/D1D3/S1/S2/S3 DATA POKOK PERUSAHAAN Nama Perusahaan : Alamat : Telp Tahun / Fax Berdiri : Jenis produk yang diimpor : ....................................... .......................................... .......................................... Jenis perijinan impor : .......................................... .......................................... 1) Apakah Saudara mengetahui Sistem Manajemen Mutu ? a. Ya b. Tidak Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan .......................................... 101 a. Tidak Ada b. Ada Pengaruh c. Cukup Pengaruh d. Sangat Pengaruh BAGIAN 1 : PERTANYAAN TERTUTUP 1) Apakah Saudara mengetahui kebijakan kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan? a. Tidak Tahu c. Agak Tahu b. Kurang Tahu d. Sangat Tahu 2) Jika Ya, dari manakah Saudara mengetahui kebijakan kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur? a. Website c. Sosialisasi Kemdag Kemdag b. Media massa d. Lainnya, …………….. 3) Apakah kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur merupakan hambatan bagi kegiatan importasi yang Saudara lakukan? a. Ya b. Tidak 4) Apakah terdapat permasalahan yang dihadapi pasca impor dalam mendukung industri manufaktur? a. Ada b. Tidak c. Jika Ada, sebutkan:....... 5) Bagaimana kinerja industri di perusahaan Saudara pasca diterbitkannya kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur? a. Tidak c. Cukup Meningkat Meningkat b. Stagnan d. Meningkat Signifikan 6) Apakah terdapat pengaruh kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur terhadap pasokan bahan baku/penolong bagi kebutuhan industri perusahaan Saudara? Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan terdapat sumber bahan 7) Apakah baku/penolong yang berasal dari produksi dalam negeri? a. Ada b. Tidak 8) Apakah pasokan bahan baku/penolong dari dalam negeri cukup memadai? a. Tidak c. Agak Memadai Memadai b. Kurang d. Sangat Memadai Memamdai 9) Jika tidak, apakah penyebab pasokan bahan baku/penolong dari dalam negeri tidak memadai? a. Harga Tidak c. Spesifikasi Kompetitif Tidak Memenuhi Syarat b. Kualitas d. Pasokan Tidak Kurang Kontinu e. Lainnya …………… 10) Apakah kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur telah memenuhi harapan Saudara? a. Tidak c. Agak Memenuhi Memenuhi b. Kurang d. Sangat Memenuhi Memenuhi 11) Menurut Saudara, kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur telah memiliki landasan atau ketentuan hukum yang kuat. a. Tidak Setuju c. Agak Setuju b. Kurang Setuju d. Sangat Setuju 102 12) Bagaimana pendapat Saudara tentang kejelasan pengaturan kebijakan? a. Tidak Jelas c. Agak Jelas b. Kurang Jelas d. Sangat Jelas …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… 13) Menurut Saudara, kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan terkait kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur telah berjalan baik. a. Tidak Setuju c. Agak Setuju b. Kurang Setuju d. Sangat Setuju BAGIAN 2 : SARAN DAN MASUKAN 1). Menurut Saudara apakah kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur telah efektif dalam peningkatan output produksi, dan mohon jelaskan. …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… 2). Adakah kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur telah berjalan efektif sesuai tujuan? …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… SARAN – SARAN DAN MASUKAN …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… Diisi di Tempat Tanggal Nama Responden Nama & Stempel Perusahaan Terima kasih atas kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner ini ” SEMOGA MEMBERI MANFAAT DALAM PERBAIKAN KEBIJAKAN IMPOR DALAM MENDUKUNG INDUSTRI MANUFAKTUR” 3). Saat ini pemerintah sedang melakukan evaluasi atas kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur. Apakah saran Saudara terkait dengan evaluasi peraturan tersebut? …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… …………………………………………………………… 4). Apa saran Saudara dalam rangka meningkatkan penguatan pasar dalam negeri dan efektifitas pengawasan peredaran barang impor? Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan : : : : 103 Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 104 Pengarah: Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Penanggung Jawab: Drs. Nurozy, M.Si. Kepala Bidang Impor Tim Penyusun: Sefiani Rayadiani, S.E., M.Sc. I Made Dodi Narindra, M.SM. Yudi Fadilah, S.E.,M.E. Umar Fakhrudin, S.Si., M.S.E. Titis Kusuma Lestari, S.Si. Narasumber Pendamping Kajian: Dr. Andi Fahmi Lubis, S.E., M.E. Dr. Sartika Djamaluddin, S.E., M.Si.