BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Hukum merupakan seperangkat norma atau kaidah, dan kaidah itu bermacam – macam, tetapi tetap sebagai satu kesatuan. Karena kaidah itu berisi perintah maupun larangan maka sudah selayaknya kaidah yang merupakan petunjuk hidup tersebut mempunyai sifat memaksa yang merupakan ciri dari kaidah hukum. Kondisi tersebut tentunya tidak disia-siakan oleh dunia kejahatan, yang juga tidak mengenal lagi batasan hukum ruang, pelaku, dan korban yang juga memanfaatkan teknologi canggih. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya kejahatan dan pelanggaran yang bermunculan yang meresahkan masyarakat mulai dari kasus pencurian dengan pemberatan, curas (pencurian dengan kekerasan), curanmor (pencurian kendaraan bermotor). Keberadaan berbagai jenis kendaraan bermotor pada saat ini merupakan salah satu sekian banyak hasil dari cepatnya pertumbuhan iptek yang memang memberikan kemanfaatan yang besar bagi kebutuhan dan kehidupan masyarakat. Namun demikian, sepertinya dengan keberadaan hukum ini tidak membuat efek jera bagi siapa saja yang mengetahui, melihat dan mendengar terhadap sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku. Beberapa ahli telah memberikan definisi tentang hukum yaitu 1 : 1 Yulies Tiena Maasriani,2004. Pengantar Hukum Indonesia.Sinar Grafika.Jakarta, hlm.6-7 8 a) Menurut Sunaryati Hartono, hukum itu tidak merupakan pribadi seseorang, akan tetapi menyangkut dan mengatur berbagai aktifitas manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya, atau dengan perkataan lain, hukum mengatur berbagai aktifitas manusia di dalam hidup masyarakat. Sehingga jelaslah bahwa segala aktifitas yang berhubungan dengan manusia satu dengan yang lain atau antara seseorang dengan orang lain merupakan suatu pengaturan terhadap semua hal yang bersifat kegiatan yang dianggap melanggar hukum tentunya haruslah dibuatkan sanksi yang jelas agar manusia bisa lebih terarah dan teratur dalam melakukan aktifitasnya. b) Menurut E. Meyers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melakukan tugasnya. Aktifitas manusia yang berada dilingkungan sosial tentunya oleh pemerintah haruslah dibuatkan suatu formula yang bisa menjadikan segala perbuatan yang melan ggar norma-norma yang ada harus dihukum dengan pertimbangan kesusilaan yang berwujud pada tingkah laku manusia sehingga segala aktifitas manusia diatur dengan berdasarkan pada hukum positif yang dilahirkan oleh penguasa negara. 9 c). Sedangkan menurut Immanual Kant, hukum adalah Keseluruhan syaratsyarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang lain , menuruti peraturan hukm tentang kemerdekaan. Hukum merupakan suatu hal yang dianggap mengatur dengan mengutumakan tujuan hukum itu sendiri, antara lain : 1. Kepastian Hukum; 2. Manfaat Hukum; dan 3. Keadilan. c) Menurut E. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam hukum indonesia ”Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.” d) Menurut A. Ridwan Halim, dalam bukunya Pengantar Tata Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab menguraikan : ” Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.” e) Menurut Yulies Tiena Masriani, Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. 10 f) Menurut Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu. Suatu masyarakat hidup dilingkungan sosial tentunya haruslah memahami dan memaknai segala yang menjadi tujuan hukum dengan dilandasi pada norma-norma yang berlaku dilingkungan sosial sehingga dapat melahirkan apa yang dikatakan kesejahteraan yang berwujud pada keberagaman pendapat guna melahirkan suatu petunjuk hidup dengan mengedepankan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran maupun kejahatan. Dimana suatu peraturan yang dilahirkan tentunya harus ditaati dan dilaksanakan guna menjadikan suatu lingkungan sosial yang saling menghargai dan menjaga segala apa yang tertuang dalam suatu aturan agar tidak ada yang namanya pelanggaran maupun kejahatan. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat di tarik simpulan terhadap hukum dimana suatu hukum adalah suatu formula atau obat penawar dalam memberikan rasa keadilan terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan itu sendiri. Dalam proses hukum tentunya haruslah mengedepankan proses penegakan hukumnya dengan melibatkan unsur yang berkepentingan yang nantinya berdampak pada proses dan rasa keadilan. Adapun penegakan hukum tersebut, yaitu dalam pengertian lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang 11 bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman2 mengemukakan tentang tiga unsur sistem hukum (Three Elements of Legal System). Ketiga unsur sistem hukum tersebut terdiri dari struktur (structure), substansi (substance), serta kultur hukum (legal culture). Menurut Friedmen bahwa the structure of a system it’s skeletal framework : it is the permanent shape, the institutional bady of the sytem, the thought, rigid bones that keep the procees flowing within bounds...”. jadi struktur adalah kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement) skema distribusi barang dan jasa (goods distributing scheme), dan peralihan sosial (social maintenance). Bagian yang menjadi perlu di perhatikan adalah idealnya suatu produk substansi hukum , yang di sebut oleh Friedmen sebagai rules of norm, yang didukung oleh kelembagaan dan aparat hukum yang handal, jujur dan tegas. Semua itu tidak akan berkembang apabila tidak di dukung oleh budaya hukum (legal culture) masyarakat itu sendiri. Dalam pengertian lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, 2 Ahmad, Ali. 2001. Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta : Ghalia Indonesia. Hal 7 12 baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi (termasuk PPNS sebagai pengemban fungsi kepolisian), penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak - pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Menurut Soerjono Soekanto3 ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum jika di tinjau dari kajian sosiologi hukum yaitu sebagai berikut: a. Faktor hukum itu sendiri. b. Faktor penegak hukum c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung d. Faktor masyarakat atau sumber daya masyarakat e. Faktor kebudayaan Kelima faktor di atas memiliki pengaruh terbesar dalam penegakan hukum akan tetapi diantara semua faktor tersebut, faktor penegak hukum 3 yang Soerjono, Soekanto. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :PT Raja Grafindo Perseda. Hal 8-9 13 menempati posisi sangat urjen karena undang-undang disusun dan penerapan dilaksanakan oleh penegak hukum. 2.2 Pengertian Barang Sitaan Dalam pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana umum maupun pidana khusus, seperti kasus pencurian khususnya pencurian kenderaan bermotor seringkali penyidik harus melakukan upaya paksa dalam bentuk penyitaan barang atau benda yang dimiliki oleh tersangka karena akan dijadikan sebagai alat bukti untuk menjerat para pelaku kejahatan pencurian guna melengkapi bukti - bukti dalam hal penyelidikan sehingga bisa dapat diajukan ke kejaksaan berdasarkan barang sitaan yang ada. Penyitaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyita atau pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Proses penegakan hukum mengesahkan adanya suatu tindakan berupa penyitaan. Oleh karenanya penyitaan merupakan tindakan hukum berupa pengambil alihan dari penguasaan untuk sementara waktu barang-barang dari tangan seseorang atau kelompok untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan.4 Olehnya beberapa pakar mendefinisikan barang sitaan tersebut, antara lain : Menurut Sunaryo dan Acen Dianawati, Penyitaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Butir 16 KUHP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya benda 4 http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/03/PengelolaanBarangSitaan.pdf.Akses 01/06/2013 14 : bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian, dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan5. Dalam KUHP, penyitaan terhadap benda tidak terwujud adalah terobosan karena dalam Undang-undang sebelumnya, penyitaan terhadap benda tidak berwujud seperti piutang dan lain-lain tidak dimungkinkan. Jika tidak ada hubungannya dengan kejahatan yang dituduhkan, barang tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya. Menurut Pasal 39 Ayat 1 benda-benda yang dapat disita sebagai berikut : 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian di duga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; 2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkannya; 3. Benda yang di pergunakan untuk menghalang-halangi penyidik delik; 4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan delik; 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan delik yang dilakukan. Menurut Madukismo, Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan peradilan6. 5 Sunaryo & Ajen, Dianawati, 2010. Tanya Jawab Seputar Hukum Acara Pidana, Visi Media. Jakarta. Hlm. 33 6 Kaveling ,Madukismo, 2011. Kitab Lengkap KUHPER, KUHAPER, KUHP, KUHAP, KUHD. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. Hlm.644 15 Penyitaan tentunya haruslah sesuai dengan apa yang sudah dijelaskan berdasarkan undang-undang sehingga akan terjadi suatu kesadaran hukum bagi pelaku pencurian itu sendiri. Sehingga menurut Laden, Marpaung, Barang bukti yang dalam amar putusan memuat bahwa barang tersebut dikembalikan kepada orang tertentu, dikembalikan pada kesempatan pertama dengan membuat Berita Acara Pengambilan Benda Sitaan7. Demikian juga terhadap barang sitaan yang berdasarkan amar putusan, dimusnahkan maka diterbitkan Surat Perintah Pemusnahan Barang Rampasan yang selanjutnya jaksa yang mengemban surat perintah tersebut membuat Berita Acara Pemusnahan Barang Rampasan. Barang sitaan yang dirampas untuk Negara maka jaksa menguasakan barang tersebut kepada Kantor lelang Negara yang dalam waktu 3 (tiga) bulan, sudah melaksanakan pelelangan. Jika pelelangan belum juga terlaksana maka dapat diperpanjang untuk waktu 1 (satu) bulan lagi (Pasal 273 ayat (3) KUHAP). 2.3. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Tindak Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaranpelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 7 Laden, Marpaung, 2010. Proses penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm.220 16 Dari definisi tersebut diatas tadi dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa Hukum Pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung normanorma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggarn dan kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Lebih lanjut mengenali tindak pidana didalam undang-undang Negara kesatuan Republik Indonesia awalnya menggunakan istilah Straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasansecara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit dalam bahasa belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat di hukum, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat di hukum8. Sehingga pendapat para pakar mengenai pengertian dari perkataan straafbaarfeit dimana menurut Simons 9. “ Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan oleh undang – undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di hukum ”. 8 9 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi. Semarang. Sinar Grafika. Hlm.5 Ibid. Evi Hartanti. hlm.5 17 Dengan alasan dari simon mengapa straafbaarfeit harus di rumuskan seperti diatas karena : a) untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan dengan undang – undang itu dimana pelangggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. b) Agar suatu tindakan seperti itu dapat di hukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang – undang. c) Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang – undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrchtmatige handeling. Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang – undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan satu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain. Sedangkan pendapat pakar lain seperti E. Utrecht, Menerjemahkan straafbarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau melalaikan nalaten negatif, maupun akibatnya ( keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu ). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa 18 hukum ( rechtsfeit ) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum10. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur – unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab. Ada juga pakar lain mengungkapkan seperti menurut Pompe11.Perkataan straafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu : “ pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum ”. Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif, yakni semata – semata dengan menggunakan pendapat karena itu, yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorang pun dapat dihukum kecuali tindakannya benar – benar melanggar hukum. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuaan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, 10 11 Ibid. Evi Hartanti. hlm.5 Ibid. Evi Hartanti. hlm.6 19 meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan mempunyai kesalahan atau bersalah. Di sini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan”. Culpa di sini dalam arti luas, meliputi kesengajaan. Adapula menurut Moeljatno, “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum” larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut”12. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana pasal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, seorang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: (1) Perbuatan (manusia); (2) Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); (3) Bersifat melawan hukum (syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP; A. Unsur-Unsur Tindak Pidana a. 12 Unsur Subjektif Ibid. Evi Hartanti. Hlm. 7 20 1) Kesengajaan atau kelalaian; 2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain; 4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP; 5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP; b. Unsur Objectif 1) Sifat melawan hukum; 2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP; 3) Kualitas, yang hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat; B. Jenis Tindak Pidana Jenis tindak pidana atas pelanggaran dan kejahatan. Pembagian tindak pidana ini memebawa akibat hukum materil, yaitu sebagai berikut: a. Undang-undang tidak membuat perbedaan antara opzet dan culpa dalam suatu pelanggaran; b. Percobaan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum; c. Keikutsertaan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum; 21 d. Pelanggaran yang dilakukan pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris dapat dihukum apabila pelanggaran itu terjadi sepengetahuan mereka; e. Dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya pengaduan yang merupakan syarat bagi penuntutan; C. Tempat dan Waktu Tindak Pidana Tidak mudah untuk menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh hakikat tindak pidana merupakan tindakan manusia, di mana pada waktu melakukan tindakanya seringkali manusia menggunakan alat yang dapat menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain di mana orang tersebut telah menggunakan alat-alat itu. Dapat pula terjadi bahwa tindakan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain daripada waktu dan tempat di mana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi, temous delicti adalah waktu di mana telah terjadi sauatu tindak pidana sedangkan locus delicti adalah tempat tindak pidana berlangsung. Menurut van Bemmelen, Yang dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya perbuatan secara materil. Yang dianggap sebagai locus delicti adalah: a. tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya; b. tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja; c. tempat di mana langsung dari suatu tindakan itu telah timbul; 22 d. tempat di mana akibat konstitusi itu telah timbul13; Tindak Pidana pencurian yang dilakukan oleh seseorang atau lebih merupakan suatu perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan terutama menyangkut persoalan pencurian yang sekarang sangat sebagai meresahkan masyarakat. Menurut Andi Hamzah, Sebelum mengetahui apa itu pencurian, maka sebaiknya mengetahui asal kata pencurian yang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “curi” yang mengalami imbuhan “pe” dan berakhiran “an” sehingga kata “pencurian mengandung arti proses, perbuatan cara mencuri dilaksanakan14. Dalam kamus Hukum juga disebutkan bahwa mencuri ialah perbuatan yang mengambil hak milik orang lain dengan jalan tidak sah. Pencurian adalah pelanggaran terhadap harta milik dan merupakan delik formil (formeel delict), yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang, dan merupakan norma yang dibentuk larangan atau verbod, seperti pada Pasal 362 Kitab Undang-undang Pidana yang mencantumkan larangan untuk mencuri15. Demikian juga disebutkan pencurian adalah perbuatan yang telah memenuhi perumusan Pasal 362 KUHP yaitu mengambil sesuatu barang baik berwujud maupun tidak berwujud yang sama sekali atau sebahagian termasuk kepunyaan orang lain, yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak yang sanksinya telah ditetapkan yaitu hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya atau Rp. 900. 13 Ibid. Evi Hartanti. hlm.8 Andi Hamzah, 2009. Delik-delik Tertentu. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm.100. 15 Jct Simorangkir,dkk. 2000. Kamus Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm.96 14 23 Adapun Menurut Hukum Islam bahasa pencurian yaitu mengambil harta orang lain yang bernilai secara diam-diam dari tempatnya yang tersimpan”. Sedangkan menurut syara’, pencurian adalah mengambil harta orang lain yang oleh mukallaf secara sembunyi-sembunyi dengan nisab 10 dirham yang dicetak, disimpan pada tempat penyimpanan yang biasa digunakan atau dijaga oleh seorang penjaga dan tidak ada syubhat. Adapun maksud dari pengertian tersebut adalah sebagai berikut; 1. Kalimat diambil oleh orang mukallaf yaitu orang dewasa yang waras, jika seandainya yang mengambil harta mencapai satu nisab tapi dilakukan oleh anak dibawah umur atau orang gila, maka tidak berhak diberikan hukuman potong tangan. 2. Secara sembunyi-sembunyi, sekalipun yang mengambil harta orang lain adalah orang dewasa dan waras tapi dilakukan secara terang-terangan, maka tidak disebut dengan pencurian. 3. Nisab (jumlah) 10 dirham yang dicetak. Barangsiapa yang mencuri sebatang perak yang tidak dicetak menjadi uang yang beratnya 10 dirham yang dicetak, maka ia tidak dianggap seorang pencuri menurut syara’, karena tidak dikenakan potong tangan. 4. Disimpan di suatu tempat .Maksudnya, barang yang dicuri itu diambil dari tempat yang disiapkan untuk menyimpan barang-barang tersebut yang biasa disebut dengan hitzan. Seprti; rumah-rumah, flat-flat atau hotel-hotel, laci-laci dan lain sebagainya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang berharga dengan aman. 24 5. Disimpan dengan penjagaan seorang penjaga. Maksudnya, barang yang diambil itu dijaga oleh penjaga.Dalam hal ini barang tersebut diletakkan disuatu tempat yang tidak biasanya disiapkan untuk penyimpanan barang, tetapi ditentukan penjaganya, misalnya satpam dan sebagainya dengan maksud agar barang tersebut tidak dicuri atau hilang.Sebagai contoh, orang-orang yang hendak membangun rumah atau bangunan yang meletakkan besi-besi, semen, balok-balok dan sebagainya di tempat-tempat umum dan menunjuk seseorang untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Jika seandainya seseorang mengambil sesuatu dari barang-barang tersebut walaupun dalam kelalaian penjaganya dan barang yang diambil itu mencapai satu nisab (10 dirham), maka ia dianggap pencuridan akan dijatuhkan hukuman potong tangan. 6. Tidak ada syubhat. Maksudnya, tidak dipotong tangan orang yang mengambil harta yang disimpan ditempat penyimpanannya, kecuali apabila harta yang diambilnya itu luput dari syubhat.Misalnya, seorang suami mengambil harta istrinya di tempat penyimpanannya maka suami tersebut tidak dihukum potong tangan karena pencampuran keduanya dalam mu’asyarah zaujiyyah merupakan suatu syubhat yang dapat mengugurkan hukuman. Sedangkan hukuman menjadi gugur karena adanya syubhat, demikian pula tidak dipotong tangannya orang yang mencuri harta kerabatnya.Dan tidak dihukum potong tangan karena syubhat memungkinkan harta yang dicuri adalah harta rampasan.16 16 http://buharimuslim.blogspot.com/2010/10/hukum-pencurian-dalam-islam.html.Di akses :28/05/2013 25 2.4. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur secara juridis pasal-pasal yang menyangkut kejahatan atau tindak pidana pencurian sebagaimana yang terurai dalam Pasal 362 KUHP : “Barang siapa mengambil dengan sengaja barang yang sama sekali atau sebahagian termasuk kepunyaan orang lain dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-. Dari perumusan tersebut di atas, jika diuraikan dari sudut unsur-unsurnya, agar dapat disebut melakukan tindak pidana pencurian adalah : 1. Unsur subjek adalah barang siapa. Dimana yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan terpaksa atau sengaja untuk melakukan hal tersebut, maka akan dikenakan sanksi berdasarkan atas apa yang telah diperbuatnya. 2. Unsur kesalahan adalah sengaja, yang tersirat pada kata “mengambil” dan kemudian dipertegas lagi oleh kata-kata “dengan maksud untuk memilikinya”. 3. Unsur bersifat melawan hukum yang ditentukan pada Pasal 362 KUHP dan dua macam yaitu bersifat melawan hukum materil dan bersifat melawan hukum formil. Unsur bersifat melawan hukum materil dalam pasal tersebut adalah tindakan mengambil sesuatu barang, sedangkan 26 mengenai pemilikan ditentukan sebagai bersifat melawan hukum formil. Tindakan mengambil sesuatu barang harus dapat dibuktikan bersifat melawan hukum, sedangkan mengenai pemilikan barang tersebut wajib dibuktikan bersifat melawan hukum, baik di dalam surat dakwaan maupun dalam putusan hakim. 4. Unsur tindakannya adalah melakukan perbuatan mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. 5. Unsur waktu, tempat dan keadaan adalah ditentukan oleh hukum pidana formil (hukum acara pidana). Unsur subjek dalam perumusan tindak pidana adalah terletak pada kata “barang siapa” dan memang pada prinsipnya dalam hukum pidana umum (KUHP) yang menjadi subjek hukum pidana atau biasa juga disebut pelaku atau pembuat (dader), hanya orang atau manusi (natuurlijke persoon). Pada tindak pidana pencurian seperti yang diatur pada Pasal 362 KUHP secara umum subjek hukumnya adalah seseorang atau sekelompok orang. Unsur kedua dari tindak pidana adalah kesalahan (schuld). Kesalahan dibagi dua bagian, yaitu sengaja (dolus) dan lalai (culpa). Sengaja mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat dalam diri pelaku terhadap suatu tindakan, dibandingkan dengan kelalaian. Dan untuk membuktikan adanya sifat kesengajaan dalam tindakan sipelaku bukanlah hal yang mudah. 27 Sengaja disini adalah “menghendaki atau menginsafi”. Dan kesengajaan yang digunakan dalam KUHP adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu (misalnya pencurian) dan orang itu menghendaki tindakannya tersebut, artinya ada hubungan kejiwaan yang erat antara sipelaku dengan tindakannya. Pada Pasal 362 KUHP unsur kesalahan yang berbentuk sengaja seperti yang tersirat pada kata-kata “mengambil sesuatu barang dengan maksud untuk memiliki” menunjukkan bahwa pelaku mempunyai kehendak dan tujuan untuk melakukan sesuatu itu (memiliki) Mempunyai kehendak berarti ada kesengajaan. Dan kata-kata “dengan maksud” pada pasal ini tidak berarti kehendak dan tujuan yang ada pada diri pelaku sudah terlaksana atau terpenuhi sepenuhnya. Mengenai perumusan unsur “bersifat melawan hukum”, pada sistem hukum pidana Indonesia adalah mengikuti pada ajaran bersifat melawan hukum material, yakni semua delik harus senantiasa dianggap mempunyai unsur bersifat melawan hukum, walaupun tidak dengan tegas dirumuskan. Dan bersifat melawan hukumnya tindakan itu harus selalu dapat dibuktikan apabila dipersoalkan dipersidangan, serta harus ternyata dalam surat dakwaan sampai pada putusan hakim. Sementara dari sudut ajaran bersifat melawan hukum yang formil, apabila unsur melawan hukum tidak dirumuskan dalam perundang-undangan, maka tidak ada keharusan untuk membuktikannya. Unsur tindakan yang dilarang dalam Pasal 362 KUHP adalah tindakan mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. Hal ini menunjukkan 28 bahwa tindakan yang dilarang tersebut (pencurian) adalah delik formil, yang berarti delik dianggap sempurna (voltooid) jika tindakannya sudah memenuhi rumusan delik tanpa mempersoalkan akibatnya.17 2.5 Pengertian Kendaraan Bermotor Kenderaan bemotor merupakan bagian dari harta kekayaan yang benilai mewah, maka tidak dapat di pungkiri setiap orang ingin memilikinya, baik itu dengan cara membeli, mengangsur atau kredit, mencuri, merampas, menadah dan sebagainya. Memiliki kenderaan bermotor dengan cara mencuri memang tidak perlu mengeluarkan biaya / uang, dan lebih mudah, cepat memperolehnya serta mempunyai resiko yang kecil untuk diketahui oleh pihak yang berwajib, oleh karena biasanya oleh sipelaku identitas pemilik kenderaan bermotor tersebut secepatnya dirubah. Pada umumnya kendaraan Bermotor merupakan suatu alat transportasi guna menunjang aktifitas yang akan dilaksanakan sehingga mempengaruhi tercapainya apa yang ingin dikehendaki sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1, kendaraan adalah Suatu sarana angkut dijalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 8, Kendaraan Bermotor 17 Ibid.Andi Hamzah.hlm.100 29 adalah Setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 10, bahwa kendaraan Bermotor Umum adalah Setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Kendaraan dan Pengemudi menyatakan bahwa yang dimaksud kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu, selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Kendaraan bermotor dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu: a. sepeda motor; b. mobil penumpang; c. mobil bus; d. mobil barang; e. kendaraan khusus. Berdasarkan pendapat diatas penulis menyimpulkan bahwa kendaraan bermotor adalah merupakan suatu alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut, mengantar orang atau seseorang dari tempat yang satu ketempat yang lain berdasarkan tujuan dari orang yang di angkut dengan di gerakkan oleh suatu mesin. 30