1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 1 juta orang mendapatkan Penyakit Menular Seksual (PMS) setiap hari. Setiap tahun sekitar 500 juta orang menjadi sakit dengan salah satu dari 4 PMS yaitu klamidia, gonore, sifilis dan trikomoniasis. WHO dan UNAIDS memperkirakan bahwa lebih dari 35,3 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan 90% dari mereka berada di negara berkembang (UNAIDS, 2013). Mayoritas PMS hadir tanpa gejala. Beberapa PMS dapat meningkatkan risiko penularan human immunodeficiency virus (HIV) tiga kali lipat atau lebih WHO (2013). IMS memiliki dampak besar pada kesehatan seksual dan reproduksi di seluruh dunia (WHO, 2014). Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah satu di antara faktorfaktor penting yang meningkatkan penularan HIV. Apabila tidak ada kebijakan yang tepat dalam memerangi PMS, maka mengurangi penularan HIV akan menjadi sulit. Strategi utama untuk mengontrol PMS adalah melalui meningkatkan Program Pencegahan (SDKI, 2012). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981 (UNAIDS, 2009). Kasus HIV tertinggi ditemukan di Afrika Sub Sahara dengan perkiraan 21,6% sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Diperkirakan 2 juta dari mereka adalah anak-anak yang usianya kurang dari 15 tahun. Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS (Anonimid.Wikipedia.org, 2012). Negara dengan tingkat infeksi tertinggi adalah India, Thailand, Myanmar dan Indonesia (UNICEF Indonesia, 2012). Epidemi AIDS di indonesia adalah salah satu yang bertumbuh paling cepat di antara negara-negara di Asia (UNAIDS, 2007). Banyak dari orang dengan HIV/AIDS terinfeksi pada akhir umur belasan atau awal 20-an (KPAN and 2001). Dalam penelitian Holmes et al. (2003) di Sub Sahara menyebutkan kasus AIDS tertinggi terdapat pada kelompok usia muda (15-29 tahun) yaitu 50,5%. Kontak seksual dini membawa risiko tinggi infeksi HIV. Banyak survei mengungkapkan bahwa 2 sebagian besar responden menyatakan bahwa pengalaman seksual pertama mereka dimulai pada usia yang sangat muda (KPAN, 2007). Central Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa kejadian HIV terdapat pada remaja usia 13-24 tahun meningkat 22% dari tahun 2010 (CDC, 2012). UNICEF menyebutkan 71.000 remaja berusia antara 10 dan 19 tahun meninggal dunia karena virus HIV pada tahun 2005. Jumlah itu meningkat menjadi 110.000 jiwa pada tahun 2012 (UNICEF Indonesia, 2012). Masalah yang berkaitan dengan perilaku reproduksi remaja seperti bertambahnya kasus Penyakit Menular Seksual (PMS) terutama HIV/AIDS (Pratiwi and Basuki, 2010). Dari faktor usia, usia muda antara 20-29 tahun merupakan kelompok yang tertinggi sebanyak 46,4%, disusul kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 31,5% dan usia 40-49 tahun sebesar 9,8% (KPAN, 2011). Umumnya infeksi di Asia Tenggara disebarkan melalui hubungan seksual heteroseksual yang tidak aman. Pemakaian jarum suntik tidak steril pada pencandu narkoba suntik menambah cepatnya penyebaran infeksi HIV (UNICEF Indonesia, 2012). Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa 75% penderita AIDS di Indonesia terinfeksi HIV di saat mereka masih berusia remaja (Depkes RI, 2007). Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah (UNAIDS, 2009). Di Indonesia ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas, daerah tersebut menjangkau delapan provinsi yaitu: Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jakarta, Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Riau pos, 2013). Sedangkan untuk jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), Jawa Timur (6.900), DKI Jakarta (6.299), Jawa Barat (4.131), Bali (3.344), Jawa Tengah (2.990), Kalimantan Barat (1.699), Sulawesi Selatan (1.467), Banten (885), dan Riau (859) (Kemenkes RI, 2013). Total ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) di Riau mencapai 1.892 orang, dan 1.030 diantaranya masih tergolong HIV selebihnya 859 adalah penderita AIDS (Riaupos, 2013). Kabupaten Rokan Hulu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau dengan jumlah infeksi HIV sebanyak 193 kasus, dan kasus AIDS sebanyak 131 kasus pada tahun 2012, lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2011 3 (118 kasus). Jumlah kematian karena AIDS sebanyak 53 kasus, lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2011 yang berjumlah 41 kasus. Jumlah kasus PMS yang ditemukan dan diobati di layanan PMS sebanyak 4.195 kasus atau 38,9% dari target tahun 2012 (Dinkes, 2012). Meningkatnya jumlah remaja penderita HIV dan AIDS dimungkinkan karena keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan yang berdampak pada rendahnya pengetahuan tentang PMS dan HIV/AIDS yang benar. Oleh karena itu sasaran program penanggulangan HIV dan AIDS seharusnya sudah dimulai pada usia tersebut, misalnya melakukan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak sekolah atau pada anak luar sekolah (Dinkes RIAU, 2011). Dalam studi di tahun 2011 lainnya, hanya 22% siswa Sekolah Menengah Atas kelas 2 memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang penularan HIV, dan 64% masih memiliki miskonsepsi tentang HIV. Sebesar 55,7% penduduk usia diatas 15 tahun memiliki pengetahuan rendah (Sudikno and Simanungkaloit, 2010), Meskipun tingkat kesadaran terhadap HIV/AIDS diantara remaja umumnya tinggi, tingkat hubungan seks berisiko tinggi dan penggunaan jarum suntik napza bergantian juga tinggi. Tingkat konsistensi penggunaan kondom rendah, rata-rata di bawah 6%. Hasil survei Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 menunjukkan remaja yang terpapar informasi PIK-Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) mencapai 28% (BKKBN, 2012a). Jika tidak dilakukan intervensi yang intensif, diperkirakan pada tahun 2020 total kumulatif infeksi baru HIV dapat mencapai 1,7 juta orang (KPAN and 2001). Untuk itu diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk menghadapi masalah perilaku sesual remaja yang berisiko ini (Abdul et al., 2008). Penelitian terhadap 88 remaja yang dilakukan di Surakarta menyatakan bahwa 55,7% remaja berpengetahuan baik, 42% berpengetahuan sedang dan 2,3% memiliki pengetahuan rendah. Sebanyak 55,7% remaja memiliki perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS dan 44,3% berperilaku tidak berisiko (Sosodoro et al., 2009). Persentase remaja yang mampu menjawab dengan benar pengetahuan HIV dan AIDS hanya sebesar 0,3% (Sudikno, 2010). Studi internasional dan juga penelitian di Indonesia telah menunjukkan bahwa 4 diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah akan menghasilkan kehidupan perilaku seksual yang lebih bertanggung jawab dan perilaku seks yang aman (Utomo et al., 2012b). Tujuan MDGs (Millennium Development Goals) termasuk sasaran “untuk mencapai akses universal bagi kesehatan reproduksi di tahun 2015, target baru ini membuat tugas yang tidak terelakkan bagi pemerintah dan sistem kesehatan (Utomo et al., 2012a). Departemen Kesehatan RI telah memperkenalkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang diadopsi dari WHO sejak tahun 2003 untuk mengatasi permasalahan remaja (Fadhlina, 2012). Beberapa instansi pemerintah Indonesia telah mengembangkan berbagai bentuk pendidikan.kesehatan reproduksi yang meliputi topik kesehatan reproduksi, seksual, PMS serta HIV dan AIDS, Pendidikan sebaya telah dikembangkan oleh BKKBN melalui Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIKāKRR) (Utomo et al., 2012b). UNAIDS menyatakan, pendidikan tentang HIV/AIDS yang paling efektif dilakukan melalui pendidikan seks dan kesehatan di sekolah atau melalui pendidikan teman sebaya (UNAIDS, 2006). B. Rumusan Masalah Kecamatan Tandun Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau merupakan kecamatan yang sedang berkembang terutama dibidang teknologi dan arus informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh remaja selain itu sekolah SMKN Tandun yang ada di kecamatan Tandun berada dekat dengan lokasi prostitusi dan akses untuk pencarian informasi mengenai kesehatan reproduksi yang masih kurang memadai. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang sudah dibina oleh Puskesmas setempat dan dinas kesehatan dalam pengembangan PIK-R sejak tahun 2010 dan sudah memiliki kader PIK-R yaitu siswa dan siswi yang dipilih oleh pihak sekolah. Kader PIK-R diberikan pembinaan tentang kesehatan reproduksi mencakup tentang organ dan fungsi reproduksi, Penyakit Menular Seksual (PMS), bahaya seks pranikah dan yang lainnya. Kegiatan PIK-R masih terbatas pada penyuluhan dan pembinaan kader PIK-R. Selama tahun 2011 5 tercatat sudah 3 kali dilakukan penyuluhan oleh pihak Puskesmas tentang kespro remaja, gigi dan narkoba, PMS serta HIV AIDS namun belum menampakkan hasil yang optimal ini terlihat dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari. dari 10 orang siswa, 4 diantaranya memiliki pengetahuan sedang tentang Penyakit Menular Seksual termasuk HIV/AIDS dan 6 orang siswa memiliki pengetahuan rendah serta, 10 orang siswa memiliki sikap positif terhada HIV/AIDS. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perumusan masalah penelitian adalah “Bagaimana hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS dengan Pemanfaatan PIK-R di SMKN Kecamatan Tandun Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau Tahun 2014”. C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan Penyakiti Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS dengan pemanfaatan program PIK-R oleh remaja SMKN Tandun Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau Tahun 2014. Tujuan Khusus 1. Diketahuinya pengetahuan dan sikap pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS pada remaja SMKN Tandun Kabupaten Rokan Hulu. 2. Diketahuinya perilaku pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS pada remaja SMKN Tandun Kabupaten Rokan Hulu. 3. Diketahuinya faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan program PIK-R D. Keaslian Penelitian 1. Sudikno (2010) melakukan penelitian dengan judul “Pengetahuan HIV dan AIDS Pada Remaja di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010) Teenagers' Knowledge on HIV and AIDS in Indonesia (Basic Health Research Analyses 2010”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan 6 HIV dan AIDS pada remaja di Indonesia. Dengan Jenis penelitian deskriptif dan desain Cross sectional. Populasi penelitian adalah semua individu sampel Riskesdas 2010 pada remaja yang berumur 15-19 tahun. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah semua remaja yang berumur 15-19 tahun, termasuk dalam sampel Riskesdas 2010 yang belum menikah dan menandatangani inform consent. Data yang digunakan Riskesdas 2010 dengan rincian kuesioner RKDIO.RT dan RKDIO.IND. Data yang dikumpulkan meliputi pengenalan tempat dan keterangan anggota rumah tangga (wilayah, umur, jenis kelamin, status kawin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi), pengetahuan HIV dan AIDS dan perilaku seksual. Pengetahuan HIV dan AIDS merupakan nilai komposit dari pertanyaan pada RKDIO.IND. Blok C02 sampai dengan C03. Pengetahuan HIV dan AIDS dikatakan baik jika di atas atau sama dengan median, dan kurang jika di bawah nilai median. analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Hasil yang didapatkan persentase pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori baik pada remaja di perkotaan sebesar 54% dan di perdesaan sebesar 46,6%. Kesimpulan Pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori baik pada remaja dengan pendidikan di atas SMP sebesar 58,6% lebih tinggi dibandingkan remaja dengan pendidikan di bawah SMP (48,3%). Perbedaan penelitian menggunakan data sekunder Riskesdas 2010 sementara penelitian yang akan dilakukan menggunakan data primer. 2. Cartagena et al. (2006) melakukan penelitian dengan judul “Effectiveness of an HIV prevention program for secondary school students in Mongolia”. Penelitian mengevaluasi efektivitas program pencegahan HIV di sekolah menengah di Mongolia dengan membandingkan pengetahuan, sikap dan selfefficacy dan praktek seks aman pada siswa dengan metode pendidik sebaya tanpa intervensi. Dilakukan pada 720 siswa yang dipilih secara acak dari 8 sekolah dengan program tersebut dibandingkan dengan 647 siswa tanpa program pencegahan HIV di sekolah. Setelah intervensi terjadi perbedaan yang signifikan secara statistik pada siswa dengan pendidik sebaya lebih cenderung memiliki sikap lebih besar dari self-efficacy dalam hal pencegahan 7 HIV dan lebih cenderung melakukan hubungan seks aman dibandingkan siswa pada sekolan tanpa program self efficacy. Perbedaan penelitian ini dilakukan dengan program intervensi sementara penelitian yang akan dilakukan dengan cara survey. 3. Akhdanelly (2007) melakuan penelitian dengan judul “Efektifitas metode diskusi kasus dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS di Kota Bukittinggi”. Tujuan mengembangkan metode diskusi kasus untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentan PMS dan HIV/AIDS dengan metode penelitian Quasi experimental dengan rancangan non randomized pre test post test control group design sampel terdisi dari 100 orang siswa. Hasil nya ditemukan pada kedua kelompok baik yang diskusi kasus dan non diskusi kasus meningkat pengetahuan terhadap PMS dan HIV/AIDS. Perbedaan penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental sedangkan penelitian yang akan dilakukan dengan metode cross sectional. 4. Cáceres et al. (1994) melakukan penelitian dengan judul “Evaluating a school-based intervention for STD/AIDS prevention in Peru”. Tujuan membuat konsep-konsep baru sekuensial tentang pendidikan seks bagi remaja sesuai yang diperlukan untuk meningkatkan kecakapan remaja dalam Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS dengan program yang lebih pendek.metode penelitian kuasi eksperiment dan hasilnya menunjukkan 1.213 siswa berpartisipasi baik dalam intervensi atau kelompok kontrol. Perubahan yang signifikan dalam pengetahuan tentang penyakit menular seksual dan seksualitas termasuk AIDS, penerimaan kontrasepsi, kejantanan, dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS ditemukan pada kelompok intervensi, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Self-efficacy dan niat perilaku yang berorientasi pada pencegahan secara signifikan lebih baik pada kelompok intervensi. Perbedaan penelitian ini dilakukan dengan rancangan cross sectional. 5. BKKBN (2002) melakukan evaluasi terhadap pengembangan model Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) melalui 8 Pendidik Sebaya (PS) dan Konselor Sebaya (KS). Pada dasarnya model PIK KRR dengan pendekatan PS dan KS dinilai berhasil kendala hanya pada sumber dana dan kurangnya perhatian pemerintah serta hambatan birokrasi PS dan KS di sekolah. Tujuan penelitian tersebut adalah evaluasi serta bersifat kualitatif. Berbedaan dengan penelitian ini bersifat kuantitatif dan non evaluasi. E. Manfaat Penelitian 1. Dapat memberikan masukan yang penting bagi guru dan profesional di bidang kesehatan reproduksi, dalam membuat rencana promosi, media komunikasi dan model PIK-R untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif siswa SMKN terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS. 2. Sebagai bahan evaluasi khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hulu dalam upaya pengembangan program kesehatan reproduksi remaja dan kepada instansi atau lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah yang aktivitasnya berhubungan dengan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS. 3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya serta dapat menambah wawasan ilmu yang berkaitan.