BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sikap Siswa Terhadap Layanan Konseling Individu 2.1.1 Pengertian sikap Menurut Petty & Cacioppo (dalam Azwar, 2007). Secara lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku. (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti LouisThurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatubentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. 2.1. 2. Komponen sikap Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: a. Komponen kognitif Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. b. Komponen afektif Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen perilaku Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. 2.1.3. Karakteristik sikap Menurut Brigham (dalam Dayakisni dan Hudiah, 2003) ada beberapa ciri atau karakteristik dasar dari sikap, yaitu : a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku. b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam hal ini skema yang dimiliki individu menentukan bagaimana individu mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan. c. Sikap dipelajari. d. Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu. 2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. a. Pengalaman pribadi Middlebrook (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa tidak adanyapengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas. b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh Kebudayaan Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah. d. Media Massa Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. e. Pendidikan Institusi dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. f. Faktor Emosional Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu : a. Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. b. Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap. Sementara itu Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan. b. Karakter kepribadian individu c. Informasi yang selama ini diterima individu Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu. 2.2 Layanan Konseling Individu 2.2.1 Pengertian Konseling individu Konseling individu merupakan layanan konseling yang diselenggarakan oleh seorang konselor terhadap seorang klien dalam rangka pengentasan masalah pribadi klien (Prayitno, 2004).Layanan konseling individu dimaksudkan untuk bisa mendapatkan layanan langsung, tatap muka dengan konselor sekolah dalam rangka pembahasan dan pengentasan masalahnya (Mugiharso, 2004). Sedangkan menurut Willis S, (1994) layanan konseling individu yaitu bantuan yang diberikan oleh konselor kepada seorang siswa dengan tujuan berkembangnya potensi siswa, mampu mengatasi masalah sendiri, dan dapat menyesuaikan diri secara positif. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa salah satu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik untuk mendapatkan bantuan langsung secara tatap muka dengan konselor dalam rangka pembahasan dan pengentasan masalahnya. 2.2.3 Tujuan Layanan Konseling Individu Berdasarkan teori mengenai pengertian layanan konseling individu di atas, maka dapat diketahui tujuan dari layanan konseling individu. Tujuan layanan konseling individu dapat dibedakan atas tujuan umum dan khusus, yaitu: a) Tujuan umum, terentasnya masalah yang dialami klien. Dengan layanan konseling individu, beban klien menjadi ringan, kemampuan klien ditingkatkan, potensi klien dikembangkan. b) Tujuan khusus, dalam kerangka tujuan umum itu, tujuan khusus layanan konseling individu dapat dirinci dan secara langsung dikaitkan dengan fungsi konseling yang secara menyeluruh diembannya. Menurut Prayitno (2004) terdapat lima fungsi layanan konseling individu: 1) fungsi pemahaman, 2) fungsi pencegahan, 3) fungsi pengentasan, 4) fungsi pemeliharaan dan pengembangan, 5) fungsi advokasi. c) Pertama melalui layanan konseling individu klien memahami seluk beluk masalah yang dialami secara mendalam dan komperatif, serta positif dan dinamis (fungsi pemahaman). Kedua, pemahaman itu mengarah kepada dikembangkannya persepsi dan sikap serta kegiatan demi terentasnya secara spesifik masalah yang dialami klien itu (fungsi pemahaman) pemahaman dan pengentasan merupakan fokus yang sangat khas, kongkrit dan langsung ditangani dalam layanan konseling individu. Ketiga, pengembangan dan pemeliharaan potensi klien dan berbagai unsur positif yang ada pada dirinya merupakan latar belakang pemahaman dan pengentasan masalah klien dapat di capai (fungsi pemeliharaan dan pengembangan). Keempat, pemeliharaan dan pengembangan potensi dan unsur-unsur positif yang ada pada dirinya, diperkuat oleh terentasnya masalah yang sedang dialami, serta (diharapkan) tercegah pula masalah-masalah baru yang mungkin timbul (fungsi pencegahan). Kelima, apabila masalah yang dialami klien menyangkut dilarangnya hak-hak klien sehingga klien teraniyaya dalam kelas tertentu, layanan konseling individu dapat mengenai sasaran yang bersifat advokasi (fungsi advokasi). Melalui layanan konseling individu klien memiliki kemampuan untuk membela diri sendiri menghadapi keterangan itu. 2.2.4 Komponen layanan Konseling Individu Dalam layanan konseling individu berperan dua pihak, yaitu seorang seorang konselor dan klien(Winkel,1997): a) Konselor, adalah seorang yang ahli dalam bidang konseling yang memiliki kewenangan dan mandata secara professional untuk melaksanakan kegiatan pelayanan konseling. Dalam layanan konseling individu, konselor menjadi aktor yang secara aktif mengemban proses konseling melalui dioperasionalkannya pendekatan, tehnik, dan asa-asas konseling terhadap klien. Dalam proses konseling, selain media pembicaraan verbal, konselor juga dapat menggunakan media tulisan, gambar, media elektronik, dan media pembelajaran lainnya, serta media pengembangna tingkah laku. Semua hal itu diupayakan konselor dengan cara-cara yang cermat dan tepat, terentaskannya masalah yang dialami klien. b) Klien, adalah seorang individu yang sedang mengalami masalah, atau setidak-tidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada orang lain. Klien datang dan bertemu konselor dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang datang sendiri dengan kemauan yang kuat untuk menemui konselor, ada yang datang dengan perantara orang lain, bahkan ada yang datang karena didorong atau diperintah oleh pihak lain sehingga menjadi suatu keterpaksaan. 2.2.5 Asas dalam Layanan konseling Individu Asas-asas konseling sangat memperlancar proses dan memperkuat bangunan yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan kekhasan yang paling mendasar dalam layanan konseling individu adalah hubungan interpersonal yang amat intens antara klien dan konselor. a) Etika Dasar Konseling etika konseling yang dikemukakan oleh Munro Manthei, Small dalam Prayitno (2004) yaitu kerahasiaan, kesukarelaan dan keputusan diambil oleh klien sendiri, mendasari seluruh kegiatan layanan konseling individu. 1) Kerahasiaan, dalam layanan konseling individu hubungan interpersonal yang amat intens sanggup membongkar isi pribadi yang paling dalam sekalipun, terutama pada sisi klien. Untuk ini asa kerahasiaan menjadi jaminannya. 2) Kesukarelaan dan keterbukaan, kesukarelaan penuh klien untuk menjalani proses layanan konseling individu bersama konselor menjadi buah dari jaminannya kerahasiaan pribadi klien.asas kerahasiaan dan kesukarelaan akan menghasilkan keterbukaan klien. 3) Keputusan yang diambil oleh klien sendiri, inilah asas yang secara langsung menunjang kemandirian klien. Dalam hal ini konselor tidak memberikan syarat apapun untuk diambilnya keputusan oleh klien, tidak mendesak-desak atau mengarahkan sesuatu, begitu juga tidak memberikan semancam petunjuk ataupun konfirmasi atas sesuatu yang dikehendaki klien, meskipun klien memintanya. b) Asas kekinian dan kegiatan kekinian diterapkan sejak awal konselor bertemu klien. Dengan nuansa kekinian segenap proses layanan dikembangkan, dan atas dasar kekinian pulalah keinginan klien layanan konseling dijalankan. c) Asas kenormatifan dan keahlian, segenap asek tehnik dan isi layanan konseling individu adalah normatif, tidak ada satupun yang boleh terlepas dari kaidah-kaidah norma yang berlaku, baik norma agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan. Klien dan konselor terikat sepenuhnyaoleh nilai-nilai dan norma yang berlaku. 2.2.6 Sikap Siswa terhadap layanan Konseling Individu Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku. Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti LouisThurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatubentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objekadalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: a. Komponen kognitif b. Komponen afektif c. Komponen perilaku Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. a. Pengalaman pribadi b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting c. Pengaruh Kebudayaan d. Media Massa e. Pendidikan Institusi dan Agama f. Faktor Emosional Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu. Berdasarkan dari beberapa teori yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti berpendapat bahwa ciri-ciri siswa yang berminat memanfaatkan layanan konseling individu adalah: a) siswa memilki perhatian terhadap layanan konseling individu, b) adanya ketertarikan pada layanan konseling individu, c) siswa memiliki keyakinan akan tujuan mengikuti kegiatan layanan konseling individu, d) siswa mengambil keputusan untuk memanfatkan layanan konseling individu, e) adanya kecenderungan untuk datang ke ruang BK dengan suka rela. 2.3 Persepsi Siswa Tentang Kemampuan Empati Konselor 2.3.1 Pengertian Persepsi Menurut Wikipedia bahasa Indonesia menyatakan bahwa persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterprestasikan kesan-kesan sensorik mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Menurut Robert A Baron dan Donn Byrne (2003)persepsi juga tidak lepas dari kehidupan sosialsehingga dikenal sebagai persepsi social, persepsi social merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterprestasi dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatny, kualitasnya, ataupun keadaan lain yang ada dalam dirinya orang lain sebagai obyek persepsi. Sears dkk dalam Sugiyono (2005) menyatakan persepsi adalah bagaimana seseorang membuat kesan pertama, prasangka apa yang memepengaruhi mereka dan jenis informasi apa yang kita pakai untuk sampai terhadap kesan tersebut dan bagaimana akuratnya pesan tersebut. Menurut Rahmat (2005) persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Ditinjau dari sudut pandang psikologi, persepsi dapat diartikan sebagai proses penilaian terhadap obyek tertentu, yang mana proses penilaian tersebut selalu didahului oleh proses penginderaan. Sehingga persepsi dapat didefinisikan sebagai proses penilaian terhadap obyek tertentu yang didahului oleh proses penginderaan. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan diatas diatas, persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterprestasikan suatu informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang diprsepsi). Merupakan suatu proses yang memungkinkan individu untuk menilai, memandang, dan mengartikan suatu stimulus dengan melibatkan seluruh apa yang ada di dalam diri individu secara aktif. Persepsi sebagai proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami suatu informasi tentang lingkungannya. Baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kata kunci untuk memahami persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2002). 2.3.2 Aspek-aspek pesepsi Menurut Mar’at (dalam Rudyanto, 2006 ) persepsi dipengaruhi oleh empat aspek yang menonjol dalam diri individu yang bersangkutan yaitu: a) Pengetahuan. b) Cakrawala. c) Proses Belajar. d) Pengalaman. 2.3.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi persepsi Rakhmat (dalam Pertiwi, 2007) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, sebagai berikut. a) Faktor-faktor yang bersifat fungsional diantaranya kebutuhan, pengalaman, motivasi, perhatian, emosi, dan suasana hati b) Faktor yang bersifat structural diantaranya intensitas rangsangan, ukuran rangsangan, perubahan rangsangan, dan pertentangan dari rangsangan. c) Faktor cultural atau kebudayaan yaitu norma-norma yang dianut oleh individu. Berdasarkan pemaparan faktor-faktor yang mempengaruhi diatas dapat dikatakan bahwa persepsi itu banyak dipengaruhi oleh beberapa hal yang telah disebutkan diatas. Sebab diyakini bahwa persepsi seseorang sangat berpengaruh dari prilakunya. 2.3.4 Proses Terjadinya Persepsi Mar’at (dalam Rudiyanto, 2006) mengemukakan bahwa proses persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh empat faktor yaitu pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Manusia mengamati obyek psikologis dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dari pribadinya. Sedangkan obyek psikologis ini dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu. Fakor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek psikologik mengenai apa yang dilihatnya. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap obyek tersebut. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang) terhadap obyek. Pada tahap selanjutnya, berperan komponen konasi yang membutuhkan kesediaan atau kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap obyek. Atas dasar tindakan ini maka situasi yang semula kurang atau tidak seimbang menjadi seimbang kembali. Keseimbangan pada situasi ini berarti bahwa antara obyek yang dilihat sesuai dengan penghayatannya, di mana unsur nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional. Jika situasi ini tidak tercapai, maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatis, acuh tak acuh atau menentang sampai ekstrim memberontak. Keseimbangan ini dapat kembali jika persepsi dapat diubah melalui komponen kognisi. Terjadinya keseimbangan ini akan melalui perubahan sikap di mana tiap komponen mengolah masalahnya secara baik. Proses terbentuknya persepsi, terdapat tiga sikap aspek yang menonjol dalam diri individu yang bersangkutan yaitu: a) Aspek kognisi, yaitu menyangkut pengharapan, cara mendapatkan pengetahuan atau cara berfikir dan pengalaman masa lalu. Dari cara individu tersebut memandang sesuatu berdasarkan pengalaman dari yang pernah didengar atau dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. b) Aspek konasi, yaitu yang menyangkut sikap, perilaku, aktivitas, dan motif. Individu dalam mempersepsikan sesuatu bisa melalui aspek konasi yaitu pandangan individu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan motif perilaku individu dalam kehidupan sehari hari. c) Aspek afeksi, yaitu yang menyangkut emosi dari individu. Individu dalam mempersepsikan sesuatu bisa melalui aspek afeksi yang berlandaskan pada individu tersebut, hal ini dapat muncul karena adanya pendidikan moral dan etika yang didapat sejak kecil. Berdasarkan pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya persepsi terdapat tiga aspek sikap yang menonjol dalam individu antara lain adalah komponen kognitif yang merupakan unsure pokok dalam mengadakan penalaran yang diawali dengan adanya pengetahuan baik dan buruk yang akan menghasilkan persepsi. Selain itu juga ada komponen afektif yang menyangkut masalah emosional dan pengalaman seseorang terhadap objek persepsi. Dan yang ketiga adalah komponen konatif atau komponen perilaku yang ditunjukkan dengan prilaku seseorang. 2.4 Empati 2.4.1 Pengertian Empati Pada tahun 1920-an B Tichener, seorang ahli psikologi amerika menggunakan istilah empathy Sebagai arti teknis asli dari kata empati. Menurut teori Tichener empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain , yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang (Goleman, 1999). Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (Goleman, 1999). Empati jarang diungkapkan dengan katakata, emosi jauh lebih sering diungkapkan dengan isyarat. Goleman (1999) menyatakan bahwa kunci untuk memahami perasaan orang lain atau empati adalah mampu membaca pesan nonverbal seperti nada bicara, gerak-gerik, eksprsi wajah, dan sebagainya. Sesungguhnya, bila kata-kata seseorang tidak cocok dengan nada bicara, gerak-gerik, atau saluran non verbal lainnya. Kebenaran emosional terletak pada bagaimana ia mengatakan sesuatu bukannya pada apa yang dikatakan. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan. Winkel (1991) mengartikan “empathy atau empathic understanding” yaitu konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, tanpa terbawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri. Rogers menyebut empati yaitu memahami orang lain dari sudut kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan orang yang melakukan empati harus orang yang “kuat”, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak boleh larut didalamnya nilai-nilai orang lain (dalam Lesmana, J.M, 2006). Chaplin (1999) mengartikan empati sebagai”relisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan pribadi lain”. Dalam bukunya Rakhmat (2005) mengemukakan bahwa empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita, sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia menanggapi orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi. Dari beberapa teori yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengertian empati adalah ikut merasakan apa yang dialami orang lain, serta mendalami pikiran dan menghayati perasaan orang lain. Akan tetapi kita tidak boleh ikut larut dalam perasaan orang lain itu sendiri. Setiap individu memiliki kemampuan untuk bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kemampuan ini adalah salah satu ketrampilan dalam diri individu. Kaitan dalam penelitian ini adalah ketrampilan yang berasal dari bakat, melainkan suatu kecakapan yang diperoleh melalui latihan-latihan ketrampilan yang sangat dibutuhkan dalam melaksanankan layanan bimbingan dan konseling, salah satunya adalah emapti. Jadi, empati adalah salah satu ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang konselor untuk bisa ikut merasakan apa yang dialami oleh kliennya akan tetapi tidak boleh ikut larut dalam perasaan kliennya tersebut. 2.4.2 Unsur-unsur Empati Rakhmat (2005) membagi unsur-unsur dalam empati menjadi empat, yaitu: a) Terjadinya proses persepsi dengan orang lain. b) Terjadinya proses komunikasi dengan orang lain baik verbal maupun nonverbal. c) Mengerti atau memahami kebutuhan orang lain. d) Tidak ikut lebur dalam pengalaman emosi orang lain. Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut diatas, maka diambil pengertian bahwa empati yaitu kemampuan seorang konselor melihat realita dengan memahami perasaan dan kebutuhan orang lain dan menunjukkannya dalam gerakan cara berkomunikasi tanpa ikut lebur dalam pengalaman emosional orang lain. Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan unsurunsur empati, berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri-ciri yang dapat menggambarkan kemampuan empati siswa sehingga potensi yang ada dalam diri siswa dapat berkembang dengan baik. 2.4.3 Dampak Negatif Kurangnya Empati Konselor Memampuan empati terhadap orang lain sangatlah penting. Terlebih bagi seorang konselor yang latar belakangnya adalah memberikan pelayanan terhadap kliennya dalam hal ini adalah siswa. Apabila seorang konselor belum memiliki kemampuan empati yang cukup baik, maka akan berpengaruh terhadap siswa itu sendiri dalam mengembangkan potensinya. Empati konselor yang kurang berkembang dengan baik dapat berdampak negatif, diantranya: a) Merasa kurang dapat memahami dan merespon klien sesuai dengan self-experience klien karena mereka tidak dapat memasuki peasaan orang lain. b) Konselor kurang mampu membangun hubungan terapeutik karena tanpa adanya empati maka tidak akan terjadi proses pengaruh identifikasi dari konselor kepada klien. c) Konselor kurang dapat membantu klien dalam menyelesaikan masalah secara optimal karena mereka tidak mau mendengarkan masalah yang diceritakan, acuh tak acuh dan tidak memberikan tanggapan secara positif terhadap hal yang sedang dibicarakan. d) Konselor akan dijauhi oleh pengguna jasa atau klien karena mereka tidak memberikan layanan yang professional atau empatinya tidak berkembang. Berdasarkan beberapa diskripsi diatas mengenai dampak negatif kurangnya empati konselor, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa seorang konselor harus benar-benar memahami betapa pentingnya kemampuan empati konselor guna terciptanya hubungan terapeutik yang baik antara konselor dengan klien atau siswa sehingga potensi yang ada dalam diri siswa dapat berkembang dengan baik. 2.4.4 Peran dan Fungsi Empati bagi Konselor Berdasarkan pengertian empati, dapat diketahui betapa pentingnya empati dalam setiap hubungan manusia. Empati selalu menjadi syarat dalam setiap “profesi layanan bantuan atau helping service profession”. Seorang konselor sudah seharusnya memiliki ketrampilan dalam berempati. Pengurus besar ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) (2005) menjadikan empati sebagai indikator dengan subkompetensi K.2.1. menampilkan kebutuhan pribadi konselor. K.2.2 Memiliki kesadaran dan komitmen etika professional dalam Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI). Dengan dimasukkannya empati sebagai keutuhan pribadi konselor dalam SKKI, hal tersebut menunjukkan bahwa empati merupakan kompetensi yang harus dikuasai oleh konselor. Empati sangat penting sekali keberadaanya dalam hal mendidik anak. Salah satu hasil percobaan Stren (goleman, 2002) menunjukkan bahwa tiadanya keselarasan (attunement: penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orang tua dan anak akan menimbulkan kerugian emosional yang sangat besar bagi si anak. Apabila orang tua terus menerus gagal memperlihatkan empati apapun dalam bentuk emosi tertentu pada anak; kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan membelai, anak akan mulai menghindar untuk mengungkapkan, dan barangkali bahkan untuk merasakan emosi-emosi yang sama. Winkel (1997) menyatakan bahwa guru pembimbing seharusnya mempunyai sejumlah kualitas kepribadian, yaitu mengenal diri sendiri, memahami orang lain, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Empati merupakan bagian dari kualitas memahami orang lain. Keterbukaan hati dan pikiran memungkinkan menjadi peka (sensitivity) terhadap perasaan dan pikiran yang diungkapkan oleh orang lain, baik dengan kata-kata maupun ungkapan nonverbal, dan ikut menghayati tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Berdasarkan diskriptif diatas, maka secara umum peneliti dapat menyimpulkan bahwa fungsi dari empati adalah untuk memperoleh informasi dan aliansi teaurupik. Secara lebih khusus fungsi empati adalah untuk memahami beberapa aspek pengalaman seseorang. Dengan melakukan empati konselor diharapkan mampu memahami klien dan merespon terhadap sikap klien dengan self experience klien. Kondisi seperti itu akan membangun hubungan terapeutik, dimana didasari atau tidak akan terjadi proses pengaruh, identifikasi dari konselor kepada klien (Jumarin, 2002). 2.4.5 Ciri-ciri yang Menggambarkan kemampuan Empati Berdasarkan uraian tentang empati diatas, maka peneliti menerangkan ciri-ciri yang menggambarkan kemampuan empati konselor dari berbagai tokoh yang sudah dipelajari sebelumnya. Ciri-ciri yang menggambarkan kemampuan empati konselor tersebut yaitu: a) Mampu untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (Goleman, 1999). b) Mampu membaca pesan non verbal klien (Goleman, 1999). c) Mampu memdalami pikiran dan menghayati perasaan klien (Winkel, 1991). d) Mampu memiliki sikap melihat realita dan sudut pandang orang lain tanpa dirinya lebur di dalamnya (Rogers, dalam Lesmana,J.M, 2006). e) Pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan orang lain (Chaplin, 1999). Berdasarlan ciri-ciri di atas, maka peneliti akan menjadikanya sebagai indikator dalam penyusunan skala persepsi siswa tentang kemamuan empati konselor. 2.4.6 Persepsi Siswa Tentang Kemampuan Empati Konselor Robert A Baron dan Donn Byrne (2003)persepsi juga tidak lepas dari kehidupan social sehingga dikenal sebagai persepsi social, persepsi social merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterprestasi dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, baik mengenai sifatnya, kualitasnya, ataupun keadaan lain yang ada dalam dirinya orang lain sebagai obyek persepsi. Tichener empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain , yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang (Goleman, 1999). Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (Goleman, 1999). Empati jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering diungkapkan dengan isyarat. Goleman (1999) menyatakan bahwa kunci untuk memahami perasaan orang lain atau empati adalah mampu membaca pesan nonverbal seperti nada bicara, gerak-gerik, eksprsi wajah, dan sebagainya. Persepsi siswa tentang kemampuan empati pada konselor berkaitan dengan pengertian persepsi dan kemampuan empati pada konselor, maka persepsi siswa terhadap kemampuan empati pada konselor dapat diartikan sebagai pemberian makna atau tanggapan siswa terhadap kemampuan empati konselor. Sehingga persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor positif, maka minat siswa untuk memanfaatkan layanan konseling individu akan semakin tinggi, namun apabila persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor negatif, maka minat siswa untuk mengikuti layanan konseling individu rendah. Dari beberapa teori yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti berpendapat bahwa persepsi siswa tentang kemamuan empati konselor dapat dilihat dari ciri-ciri yang menggambarkan kemampuan empati guru pembimbing meliputi: (1) mampu untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, (2) mampu memdalami pikiran dan menghayati perasaan klien, (3) mampu membaca pesan non verbal klien; (4) mampu memiliki sikap melihat realita dan sudut pandang orang lain tanpa dirinya lebur di dalamnya; (5) pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan orang lain. 2.5 Hubungan Persepsi Siswa tentang Kemampuan Empati Konselor dengan Sikap Siswa terhadap Layanan Konseling Individu Penelitian oleh Bagus Takwin(2008) yang meneliti pentingnya empati dalam pendidikan, menemukan kuatnya empati pada seorang pengajar merupakan indikator dari kesadaran diri, identitas diri yang sehat, penghargaan diri yang terkelola dengan baik, dan kecintaan terhadap diri sendiri dalam arti positif. Di sisi lain, empati juga menunjukkan juga adanya kematangan kognitif dan afektif dalam memahami orang lain, kemampuan menghargai dan mencintai orang lain, serta kesiapan untuk hidup bersama dan saling mengembangkan dengan orang lain. Empati merupakan “tembok karang” moralitas seorang pengajar, bahwa ia mengajar, mengabdikan dirinya untuk mengembangkan murid-muridnya bukan untuk memanfaatkan dan mengambil untung dari mereka. Berdasarkan penelitian yang berjudul hubungan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan minat siswa terhadap layanan konseling individu pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 7 Semarang oleh Riana Fitria (2010). Hasil dari penelitian tersebut adalah persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor termasuk dalam kategori yang cukup baik, dan minat siswa terhadap layanan konseling individu dalam kategori tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil perhitungan korelasi product moment yang menghasilkan r hitung =0,575 karena r hitung > dari r tabel pada N=49 sebesar0,281, maka korelasi ini signifikan. 2.6 Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan sikap siswa terhadap layanan konseling individu.