Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 EMANSIPASI WANITA DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM Ibnu Kasir IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak Makna emansipasi dan gender menurut pandangan Islam adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Emansipasi tidak sekedar persamaan hak dan kewajiban dengan kaum pria dalam arti sempit, tetapi juga harus ada batas-batas yang tetap harus diikuti dan disetujui oleh fitrah wanita itu sendiri. Apabila fitrah itu dilanggar, akan mengakibatkan kehancuran islam, karena wanita adalah tiang agama. Pada hakikatnya, emansipasi wanita dibenarkan dalam pandangan islam sejauh tidak melanggar batas-batasyang ditentukan. Akan tetapi, wanita masa kini harus menyiapkan dan meningkatkan kualitas keislaman agar tidak terpengaruh dengan sloganslogan barat yang akan menghancurkan pilar-pilar Islam. Kata Kunci: Emansipasi, Gender, Islam Abstract Meaning of emancipation and gender in the view of Islam is the struggle of women in order to obtain the right to choose and determine their own destiny. Emancipation is not just equal rights and obligations with men in the narrow sense, but also there should be limits that must be followed and approved by the nature of the woman herself. If nature were violated, will result in the destruction of Islam, because women are the pillar of religion. In essence, the emancipation of women is justified in view of Islam to the extent not overstep the limits specified. However, today's women need to set up and improve the quality of Islamic not to be influenced by western slogans that will destroy the pillars of Islam. Key words: emancipation, Gender, Islam Pendahuluan Wanita merupakan bagian terbesar dari masyarakat secara umum, sehingga secara umum juga menentukan keadaan suatu masyarakat. Akan tetapi, walau wanita merupakan bagian terbasar dari masyarakat secara Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 14 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 umum, terdapat suatu kecenderungan yang bersifat bias gender, yaitu menganggap suatu pekerjaan hanya baik jika dikerjakan laki-laki. Kecenderungan masyarakat akan mengutamakan kaum laki-laki inilah yang mendorong timbulnya emansipasi wanita. Perempuan berasal dari kata dasar empu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) empu artinya gelar kehormatan yg berarti "tuan" dan orang yg sangat ahli. Sedangkan menurut istilah perempuan adalah seseorang yang dihormati dan bersifat mengasihi. Pada hakikatnya, perempuan yang telah menjadi istri itu tugas utamanya adalah berbakti kepada suami, mengurus rumah tangga, menjadi guru bagi anak-anaknya supaya anaknya menjadi anak yang berbakti dan berguna bagi keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa. Sehingga, sering kita dengar istilah “dibalik lelaki hebat ada perempuan yang hebat pula”.1 Sekarang peran perempuan tidak hanya mengurus rumah tangga. Perempuan dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja di luar rumah dengan syarat tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah "emansipasi". Emansipasi adalah pandangan orang tentang persamaan hak diantara laki-laki dan perempuan. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya istilah "Kesetaraan Gender". Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu "genus", berarti tipe atau jenis. Menurut istilah Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dengan seks. Gender ditentukan oleh sosial budaya setempat dan psikologis, sedangkan seks diartikan sebagai jenis kelamin dan hal yang berhubungan dengan alat kelamin”.2 Di Indonesia, perjuangan emansipasi dirintis oleh R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus. Mereka mendirikan sekolah bagi kaum 1 Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 125 Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 101. 2 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 15 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 perempuan. Mereka tidak hanya mengajarkan budi pekerti, sastra, dan politik tapi mereka juga mengajarkan keterampilan seperti menjahit, merenda, memasak, dan menyulam. Karena jasanya itulah mereka menjadi pahlawan Nasional. Bahkan, R.A Kartini disebut sebagai simbol emansipasi wanita Indonesia dan tanggal kelahirannya ditetapkan pemerintah sebagai hari besar nasional yaitu hari Kartini. Walaupun banyak pihak yang tidak menyetujui hari Kartini sebagai hari besar dengan alasan politik etis, namun nama R.A Kartini masih harum di nusantara sampai sekarang ini”.3 Perempuan Indonesia semakin eksis di berbagai bidang, baik itu pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, militer, teknik, dan bidang lainnya. Bahkan, dalam politik adanya persyaratan yaitu sebuah partai politik harus memenuhi kuota perempuan sebanyak 30%. Banyak tokoh perempuan Indonesia yang berprestasi bahkan menjadi pemimpin di berbagai bidang. Contohnya Megawati Soekarno Putri pernah menjadi Presiden R.I, Sri Mulyani pernah menjadi Menteri Keuangan R.I dan sekarang menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Karen Agustiawan sebagai Direktur Utama Pertamina, Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten, Agnes Monica sebagai seorang artis yang dinobatkan menjadi tiga besar perempuan paling berpengaruh di Indonesia, dan tokoh perempuan lainnya. Namun, diantara tokoh perempuan yang penulis sebutkan tadi, penulis mengagumi sosok Ibu Karen Agustiawan. Alasannya, selain beliau bekerja di bidang energi dan sumber daya alam khususnya perminyakan yang sama dengan bidang akademik penulis. Ibu Karen juga sukses di lingkungan keluarganya. Ibu Karen yang merupakan istri dari seorang profesor berhasil mendidik anakanaknya sampai ke jenjang magister. Beliau juga selalu menjalin komunikasi dengan suami dan anak-anaknya. Dibalik banyaknya kesuksesan perempuan Indonesia, masih ditemui kasus kekerasan dan pelecahan pada perempuan misalnya kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi perempuan, dan prostitusi. Melihat kondisi 3 Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), hlm. 155. Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 16 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 tersebut, anggota DPR RI sedang merumuskan RUU Kesetaraan Gender. Tujuan RUU Kesetaraan Gender itu adalah untuk mengakomodasi hak dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, RUU Kesetaraan Gender itu menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Pihak yang kontra terhadap pengesahan RUU Kesetaraan Gender berasal dari kalangan ilmuwan Islam. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran dan Hadits memandang suami dalam ikatan perkawinan adalah sebagai pemimpin keluarga, sekarang digugat dan dipaksa untuk berubah, mengikuti konsep keluarga dalam “tradisi Barat modern” yang meletakkan suami dan istri dalam posisi setara dalam segala hal”.4 Karena Al-Qur'an juga tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia. Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. AtTaubah ayat 71 yang berbunyi : Muhammad Zainuddin – Ismail Maisaroh, Posisi Wanita Dalam Sistem Politik, (Jakarta : Bina Aksara, 2005), hlm. 145 4 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 17 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S At-Taubah : 71)”.5 Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT. Sehingga dari permasalahan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa, peran perempuan tidak berarti menghilangkan peranan laki- laki, namun perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam membangun masyarat, bangsa dan negara. Bahkan, perempuan hendaknya mampu memposisikan diri pada sektor-sektor tertentu yang kurang diperhatikan oleh pria, sehingga perennya sangat diharapkan dan dihargai oleh semua pihak. 5 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta : Kementerian Agama RI, 2006), hlm. 235 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 18 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Pengertian Emansipasi dan Gender Wanita Emansipasi wanita adalah sebuah pergerakan kolektif yang bertujuan untuk mendefinisikan, membangun, dan mempertahankan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial yang setara bagi wanita. Sebagai tambahan, feminism juga mencari dan menegakkan kesempatan wanita dalam pendidikan dan pekerjaan yang setara”.6 Teori feminis, yang muncul akibat pergerakan dari kaum feminis (kaum yang mendukung kesetaraan gender atau emansipasi wanita), bertujuan untuk memahami karakteristik ketidaksamaan gender dengan memeriksa peran-peran sosial wanita dan pengalaman hidup wanita. Teoriteori ini telah berkembang diberbagai disiplin ilmu guna merespon terhadap isu-isu seperti tatanan sosial yang berhubungan dengan gender. Kampanye-kampanye yang dilakukan aktivis feminis seperti kampanye dalam hukum, perdata dan pemilihan- juga akan mempromosikan tentang kesamaan gender tentang kebebasan berotonomi dan kebebasan menggunakan tubuh bagi wanita. Kampanye-kampanye feminis sangat mempengaruhi masyarakat, terutama di belahan bumi bagian barat, yaitu dengan berhasilnya kampanye Women’s Suffrage (kampanye yang mempromosikan hak wanita untuk bekerja dan memilih dalam pemilihan), netralitas gender di Inggris, gaji dan honor yang setara, dan kebebbasan menggunakan tubuh bagi wanita (didalamnya termasuk kebebasan menggunakan kontrasepsi dan melakukan aborsi), dan juga hak untuk memasuki kontrak kerja dan memiliki properti sendiri”.7 Berdasarkan pandangan di atas, dapat ditegaskan bahwa, emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam 6 Ahmad Sarwat, Lc. MA, Masalah Keseharian Fiqih Wanita, (Surabaya : Penerbit Al-Ikhlas, 2007), hlm. 235 7 Ahmad Barmawi, Kajian Dasar Islam, (Jakarta : Penerbit Pustaka Karya, cetakan ke-3. 2009), hlm. 76. Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 19 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 pembahasan masalah seperti itu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia emansipasi ialah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dl berbagai aspek kehidupan masyarakat. Emansipasi wanita ialah proses pelesapan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Dan bicara emansipasi wanita, maka pasti membicarakan Kartini, seorang wanita priyayi Jawa yang memiliki pemikiran maju di masanya yang kemudian diangkat namanya menjadi penggerak emansipasi wanita Indonesia, berkat surat-surat korespondennya pada sahabat Belandanya yang kemudian diangkat menjadi sebuah buku berjudul Habis Terang Terbitlah Terang’. Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar wanita mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggitingginya. Agar wanita juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar wanita tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria. Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa wanita menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan wanita memliki kelebihannya masing- masing. Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kikta dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminine adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai naskah untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminine atau maskulim, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 20 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminine atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran gender kita”.8 Begitu lahir, kita mulai mempelajari peran gender kita. Dalam satu studi laboratory mengenai gender, kaum ibu diundang untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai anak perempuan atau lakilaki. Tidak hanya gender dari bayi itu yang menimbulkan bermacam-macam tanggapan dari kaum perempuan, tetapi perilaku serupa dari seorang bayi ditanggapi secara berbeda, tergantung kepada bagaimana ia didandani. Ketika si bayi didandani sebagai laki-laki, kaum perempuan tersebut menanggapi inisiatif si bayi dengan aksi fisik dan permainan. Tetapi ketika bayi yang sama tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama, kaum perempuan itu menenangkan dan menghiburnya. Dengan kata lain, sejak usia enam bulan anak-anak telah direspon menurut stereotype gender”.9 Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang konstruksi secara sosial maupun cultural. Sejarah Emansipasi Wanita Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan (Zaman Renaisans) di Eropa yang dipelopori oleh Lady mary 8 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia dan TAZZAFA, 2005), hlm. 45 9 M. Ali Imron, Hak-hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm. 56 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 21 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Worley Montagu dan Marquis de Condorce (Hale, 1994). Setelah Revolusi Amerika pada 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785, perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota diselatan Belanda. Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill The Subjection of Women pada tahun 1896. Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama (Hadiwijono, 1983). Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum feminis merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum maskulin dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan politik khususnya –terutama dalam masyarakat yang bersifat patriaki-. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan seluruh dunia”.10 Di Indonesia sendiri emansipasi wanita yang sangat terkenal adalah yang dilakukan Raden Adjeng Kartini. Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang dari kalangan priyayi, atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, yang merupakan seorang guru agama. Kartini banyak membaca 10 Muhammad Ali Al-Bahy, Emansi Wanita Dalam Pandangan Islam, (Bandung : Liberty, 2001), hlm. 55 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 22 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 surat kabar Semarang de Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, dan ia juga menerima lestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda de Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonom dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Diantara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht karya Louis Coperus”.11 Oleh orangutanya, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat kegigihannya, didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Pengertian Emansipasi Menurut Pandangan Islam Jauh sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajat wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemuliaan wanita. Dari ayat di atas kita bisa melihat betapa Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki. Semua sama di hadapan Allah SWT, dan yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahNya meneropong dan kebelakang. menjauhi Pada segala awal-awal laranganNya. berdirinya Mari Islam kita telah 11 Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta : The Asia Foundation, 2009), hlm. 155 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 23 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 banyak wanita-wanita yang berjaya, mereka adalah Aisyah binti Abu Bakar(wafat 58 H), Hafsah bintiUmar (wafat 45 H), Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H), Khadijah bintiKhuwailid (wafat 3 SH), Maimunah binti Harits (wafat 50 H/670 M), Ummu Salamah (wafat 57H/676 M), Zainab binti Jahsy (wafat 20 H), Fatimah binti Muhammad (wafat 11 H), Ummi Kultsum binti Muhammad (wafat 9 H/639 M), Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) dan lain sebagainya”.12 Merekalah yang telah memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk keberlangsungan emansipasi wanita, bukan saja hak yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang wanita, istri,anak atau sahabat mereka ukir dengan begitu mulianya. Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya. Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan. Sedangkan dalam islam kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya dalam surat AlBaqarah ayat 286 yang berbunyi : M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2006), hlm. 235 12 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 24 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Artinya: ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir (Q.S Al-Baqarah : 286)".13 Berdasarkan ayat diu atas memberikan penegasan bahwa, Islam juga telah mengabadikan nama wanita yang dalam bahasa Arab An-nisa kedalam salah satu surat dalam Al-quran, dan islam juga tidak melarang wanita untuk berperang atau berjihad di jalan Allah SWT melawan orang-orang kafir. Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang emansipasi wanita itu sendiri, persamaan hak untuk dilindungi oleh hukum, mendapatkan gaji yang setara dengan laki laki jika berada di kedudukan atau kemampuan yang sama, dan lain sebagainya adalah segelintir contoh dibolehkannya persamaan hak dengan kaum pria. Makna emansipasi wanita yang benar, adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan Islam wanita yang baik adalah wanita yang seoptimal mungkin menurut konsep Al-Quran dan 13 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 18 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 25 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 assunnah. Ialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya sebagai : Seorang hamba Allah ( At-Taubah 71 ) Seorang istri ( An-Nisa 34) Seorang ibu ( Al-Baqoroh 233 ) Warga masyarakat (Al-furqan 33) Da’iyah ( Ali Imran104 -110). Hak-hak Perempuan Menurut Pandangan Islam Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan. Secara umum surah An-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan: Artinya : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S An-Nisa : 32)”.14 Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam. 14 Ibid, hlm. 235 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 26 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Taubah ayat 71 yang berbunyi : Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S At-Taubah : 71)”.15 Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar. Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan”.16 15 16 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahanya, hlm. 235 Al-Baihaqi, Perempuan dan Menghadapi Suatu Peradaban, (Jakarta : Bina Aksara, 1999), hlm. 135 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 27 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya. Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah firman Allah dalam surat Asy-Sy’ari ayat 38 yang berbunyi : Artinya :”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (Q.S Asy-Syu’ara : 38)”.17 Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidangbidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali. 17 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahanya, hlm. 335 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 28 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya). Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri. Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena “kata mereka” kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu. Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami. Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad SAW sendiri, yakni Aisyah r.a memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 29 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a”.18 Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun. Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut". Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila AlGhaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan 18 Nur Djaman, Fiqih Munakahat, (Semarang : Penerbit Dina Utama Semarang, 2008, cet. III), hlm. 45 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 30 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli”.19 Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim. Hak dan Kewajiban Belajar Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar : Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah). Para perempuan di zaman 19 Ridha Bak Najjad, Hak dan Kewajiban Isteri dalam Islam, (Jakarta : Lentera Basrimata, 2005), hlm. 125 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 31 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw. Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 195 yang bgerbunyi : Artinya:“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungaisungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”.20 20 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahanya, hlm. 456 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 32 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya. Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing. Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah)”.21 Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplindisiplin ilmu yang berkembang dewasa ini. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan- 21 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Ke-luarga Islam Kontemporer, Jakarta: Ken-cana, 2007), hlm. 125 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 33 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan”.22 Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan. Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain sebagaimana ditegaskan dalam surat An-Nisa ayat 32 yang berbunyi : Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S An-Nisa : 32)”.23 Berdasarkan ketentuan aytat di atas bahwa, Allah SWT memberikan segala kerunia dan rahmat kepada ummatnya secara adil dan merata tidak diskriminasi maupun perbedaan antara laki-laki dan perempuan keduanya mempunyai haknya masing-masing. Oleh karerna Indonesia Negara yang 22 23 Ibid, hlm. 125 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahanya, hlm. 256 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 34 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 berdasarkan hukum semua aturan-aturan sebagai rambu-rambu harus di taati, melalui berbagai macam Undang-undang. Pada prionsipnya penulis mendukung RUU Kesetaraan Gender tersebut yang tujuannya untuk menghilangkan kasus kekerasan dan pelecahan pada perempuan. Namun, penulis mengamati bahwa makna kesetaraan gender ini perlu diluruskan kembali. Mungkin RUU Kesetaraan Gender tersebut dapat diganti namanya dengan RUU Emansipasi atau RUU Perlindungan Perempuan. Perempuan dan laki-laki itu tidak akan bisa setara. Mereka memiliki posisi dan perannya masing-masing. Makna emansipasi sebenarnya bukanlah persamaan hak dengan kaum laki-laki melainkan perjuangan kaum perempuan demi memperoleh hak memilih, mendapatkan keadilan, dan menentukan nasib sendiri. Penutup Dari beberapa permasalahan yang penulis kemukakan di atas, maka pada pembahasan akhir ini dapat penulis tarik beberapa kesimpulan antara lain adalah: 1. Makna emansipasi dan gender wanita menurut pandangan Islam adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Emansipasi tidak sekedar persamaan hak dan kewajiban dengan kaum pria dalam arti sempit, tetapi juga harus ada batas-batas yang tetap harus diikuti dan disetujui oleh fitrah wanita itu sendiri. Apabila fitarh itu dilanggar, akan mengakibatkan kehancuran islam, karena wanita adalah tiang agama. 2. Pada hakikatnya, emansipasi wanita dibenarkan dalam pandangan islam sejauh tidak melanggar batas-batas- yang ditentukan. Akan tetapi, wanita masa kini harus menyiapkan dan meningkatkan kualitas keislaman agar tidak terpengaruh dengan slogan-slogan barat yang akan menghancurkan pilar-pilar Islam. Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 35 Ibnu Kasir, Emansipasi Wanita… ISSN : 2528-6943 e-ISSN : 2528-6943 Referensi Ahmad Barmawi, Kajian Dasar Islam, Jakarta : Penerbit Pustaka Karya, cetakan ke-3. 2009 Ahmad Sarwat, Masalah Keseharian Fiqih Wanita, Surabaya : Penerbit AlIkhlas, 2007 Al-Baihaqi, Perempuan dan Menghadapi Suatu Peradaban, (Jakarta : Bina Aksara, 1999 Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar, 2003 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta : Penerbit Academia dan TAZZAFA, 2005 Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta : Penerbit PT. Lentera Basritama, 2000 M. Ali Imron, Hak-hak Wanita Dalam Islam, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta cetakan ke-II, 2008 M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2006 Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Muhammad Ali Al-Bahy, Emansi Wanita Dalam Pandangan Islam, Bandung : Liberty, 2001 Muhammad Zainuddin – Ismail Maisaroh, Posisi Wanita Dalam Sistem Politik, Jakarta : Bina Aksara, 2005 Nur Djaman, Fiqih Munakahat, (Semarang : Penerbit Dina Utama Semarang, cet. III, 2008 Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Jakarta : The Asia Foundation, 2009 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Ke-luarga Islam Kontemporer, Jakarta: Ken-cana, 2007 Tim Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Jakarta : Penerbit Kementerian Agama RI, 2006 Harakat an-Nisa: Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. I, No. 1, Agustus 2016 | 36