STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus musculus) NEONATUS MUNGKY WARDANELA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK MUNGKY WARDANELA. Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan HERNOMOADI HUMINTO. Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) merupakan bakteri motil, tidak membentuk spora, dan Gram negatif fakultatif anaerob. Salah satu faktor virulen E.sakazakii adalah enterotoksin. Enterotoksin E.sakazakii memiliki sifat tahan/resistensi panas. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan pengamatan/studi histopatologi pengaruh enterotoksin baik murni maupun yang dipanaskan terhadap mencit neonatus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek enterotoksin terhadap organ serebrum, medula spinalis, hati, ginjal, usus dan limpa. Penelitian ini menggunakan mencit neonatus umur 6-8 hari sebanyak 18 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok. Kelompok I diberi enterotoksin positif (E+), kelompok II diberi enterotoksin negatif (E-), kelompok III diberi enterotoksin yang dipanaskan (Ep), sedangkan kelompok IV sebagai kontrol (K). Pemberian enterotoksin dilakukan melalui rute peroral menggunakan kateter steril khusus. Mencit neonatus dieuthanasi dan dinekropsi 3 hari pasca pemberian enterotoksin. Mencit kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ serebrum, medula spinalis, hati, ginjal, usus serta limpa. Parameter yang diamati adalah jumlah sel glia pada cerebrum dan medula spinalis, kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah sel radang dan deskuamasi epitel pada usus, jumlah folikel limfoid, megakariosit, infiltrasi PMN, deplesi dan deposisi protein peradangan pada limpa. Data numerikal hasil pengamatan dianalisa secara deskriptif dan statistika dengan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan sedangkan data skoring seperti deskuamasi epitel usus halus diolah dengan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa enterotoksin E. sakazakii menyebabkan meningitis, enteritis nekrotikan, splenitis, degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada hati dan ginjal anak mencit neonatus. Selain itu, enterotoksin yang resisten terhadap panas masih mempunyai kemampuan merusak organ mencit neonatus. . ABSTRACT MUNGKY WARDANELA. Histopathological Study of Enterobacter sakazakii Enterotoxin Effect on Neonatal Mice. Under direction of SRI ESTUNINGSIH and HERNOMOADI HUMINTO. Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) is a motile bacterium, nonsporeforming, and Gram-negative facultative anaerobe. Enterotoxin is one of E.sakazakii’s virulence factor. Enterotoxin of E.sakazakii is heat resistant. This reasearch was conducted by histopathology analysis to observed the effect of purified or heated enterotoxin on neonatal mice. The aim of this reasearch is to evaluate enterotoxin effect on cerebrum, spinal cord, liver, kidney, intestine, spleen. Eightteen neonatal mice at the age 6-8 days old were divided into 4 groups. Group I, II, and III were given positive enterotoxin (E+), negative enterotoxin (E-), heated enterotoxin (Ep), respectively and group IV as a control. Enterotoxin was applied orally used sterile catheter. The parameters were observed included numbers of glia cells in cerebrum and spinal cord, degeneration of liver and kidney, inflammation and desquamation of small and large intestine epithelium, amount of lymphoid follicle, megakaryocyte, depletion, infiltration of Polymorphonuclear cells (PMN) of spleen and deposition of inflammatory protein in the spleen. Numerical datas were analyzed statistically using ANOVA and continued with Duncan test whereas scorring data was analyzed with Kruskal-Wallis. The result showed that E.sakazakii enterotoxin caused meningitis, enteritis necrotican, hydropic degeneration and fatty degeneration on liver and kidney of neonatal mice. While, heated enterotoxin able to alterate neonatal mice organs. STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus musculus) NEONATUS MUNGKY WARDANELA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Penelitian : Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus Nama : Mungky Wardanela NRP : B04104034 Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr.Drh.Sri Estuningsih, M.Si Drh. Hernomoadi Huminto, MVS NIP. 131 878 929 NIP. 130 354 144 Mengetahui, Wakil Dekan FKH IPB Dr. Nastiti Kusumorini Nip. 131 669 942 Tanggal lulus : PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi penelitian yang berjudul “Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, November 2008 Mungky Wardanela B04104034 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1986 di Manna, Bengkulu Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Mussadik Basri, S.Sos. dan Aswari. Pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak yang diselesaikan tahun 1992 di TK Dharma Wanita Manna. Kemudian pendidikan dasar yang diselesaikan tahun 1998 di SDN 8 Manna. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan tahun 2001 di SLTPN 1 Manna dan Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 1 Manna. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus dalam Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia selama satu periode (2005-2006), anggota Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (2006-2007). Penulis juga mendapatkan Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) selama dua periode tahun 2006-2007 dan 2007-2008. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus” telah selesai. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada : 1. Keluarga Tercinta (Papa “Mussadik Basri,S.Sos” , Mama “Aswari”, Gusti Meva, Itah Putri, dan adek Ully) atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat, moril serta materiil. 2. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi dan drh. Hernomoadi Huminto MVS selaku dosen pembimbing atas segala kesabaran, bimbingan, dan waktu yang diluangkan untuk membagi ilmu dan pengalaman mengenai sistematika penulisan yang baik dan benar serta hadiah yang tak ternilai harganya si lucu dan menggemaskan ”Rassy”. 3. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku dosen penguji. 4. Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc. selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, tawa dan semangat selama perkuliahan. 5. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu penulis selama penelitian. Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, Bibi, Bu Meli, Mbak Kiki. 6. Herlin David Gandhi (Pipi) atas segala kesabaran, do’a, dan semangat yang sangat besar serta bantuan yang tak terhitung. 7. Keluarga besar di Manna (Bengkulu Selatan) dan Lampung atas do’a dan semangatnya. 8. Getri Grecilia (Bunda Gege), Dordia Anindita R. (Daito), Laorizia Firmasari Dewi (Raizo) atas kerjasama ’de Powerpuff Gals’ yang baik, tawa, sedih bersama, bantuan , semangat, dan sarannya. 9. Mbak Ochio, Kak Tri, atas bantuan, motivasi dan semangatnya. 10. Teman berbagi cerita, tawa-sedih dan inspirasi (Nina, Gege, Dini, dan Ami). Terima kasih untuk 4 tahun ini dan selamanya ”frenz 4ever”. 11. Mida ”my siz”, Lilis, Iil atas semangat, doa, dan ASRAMA, KENDAL, PEKALONGAN, serta SEMARANG yang indah. 12. Mbak Rhiska, Ayuk Au, Mbak Elpita atas semangat dan kisi-kisinya. 13. Anggota RC (uni Betty, Iyah, Gege, Mbak Yu, Yus, Puput dan Ana) atas kehangatan keluarga II yang diberikan, serta Popon, Chamutz, Sugi, Dhani, Pepet dan Rian. 14. Asteroidea ”41” TERBAIK dan TERISTIMEWA 15. Almamater tercinta FKH IPB (mensejahterakan manusia melalui kesejahteraan hewan). 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua. Terima kasih. Bogor, November 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xii PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang....................................................................................... 1 Tujuan Penelitian................................................................................... 2 Manfaat Penelitian..................................................................................2 Hipotesa Penelitian ................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ Mencit (Mus musculus) sebagai hewan coba.........................................3 Histologi organ penting .........................................................................6 Otak (cerebrum) .............................................................................. 6 Medula spinalis ...............................................................................10 Usus.................................................................................................11 Limpa .............................................................................................. 14 Hati.................................................................................................. 16 Ginjal...............................................................................................19 Enterobacter sakazakii .........................................................................22 Taksonomi....................................................................................... 22 Sifat .................................................................................................23 Faktor virulen dan patogenitas ........................................................ 24 Sumber penyebaran.........................................................................26 Respon tubuh terhadap pemberian enterotoksin .............................27 Meningitis ..................................................................................... 28 Sepsis ............................................................................................29 Enterocolitis necrotikan ................................................................30 Lesio akibat toksin pada organ hati dan ginjal .............................32 METODOLOGI ...................................................................................... Waktu dan tempat .................................................................................35 Bahan dan alat........................................................................................ 35 Metode penelitian .................................................................................. 36 Isolasi enterotoksin.................................................................................37 Pemberian enterotoksin E.sakazakii.......................................................37 Pembuatan preparat histopatologi .......................................................... 39 Parameter pengamatan histopatologi ...................................................41 Analisis data ........................................................................................42 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Perubahan histopatologis organ usus .....................................................43 Perubahan histopatologi organ otak .......................................................49 Perubahan histopatologi organ medulla Spinalis ................................... 49 Perubahan histopatologi organ limpa .....................................................54 Gambaran histopatologi organ hati ........................................................ 58 Gambaran histopatologi organ ginjal .....................................................64 Gambaran umum pengamatan histopatologis akibat pemberian Enterotoksin E.sakazakii........................................................................ 69 KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. Kesimpulan ............................................................................................73 Saran ...................................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 74 LAMPIRAN .............................................................................................. 80 DAFTAR TABEL Data biologi mencit....................................................................................... 4 Varietas luas dari sumber lingkungan dan makanan ................................... 27 Hasil perhitungan rataan jumlah sel radang pada usus ...............................44 Hasil pengamatan deskuamasi epitel usus halus ......................................... 50 Hasil pengamatan deskuamasi epitel usus besar ......................................... 50 Hasil perhitungan rataan jumlah sel glia (cerebrum dan medula spinalis).........................................................................................................50 Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit ............56 Hasil skoring rataan peringkat deplesi, infiltrasi pmn, dan deposisi protein radang........................................................................................................... 56 Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi sel dan nekrosa hati................61 Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi sel dan nekrosa ginjal ............ 65 DAFTAR GAMBAR Mencit dan anak mencit neonatus................................................................3 Gambar neuron dan jenis-jenis sel neuroglia............................................... 7 Gambar anatomi otak .................................................................................. 8 Gambar medula spinalis .............................................................................. 10 Lapisan meningen ....................................................................................... 11 Gambar histologi usus halus ........................................................................ 13 Gambar mikroskopis kolon.......................................................................... 14 Gambaran histologi limpa ............................................................................ 15 Gambaran histologi hati ...............................................................................16 Gambaran mikroskopik hati mencit............................................................. 18 Gambaran histologi ginjal ............................................................................ 20 Skematis nefron............................................................................................21 Enterobacter sakazakii.................................................................................22 Pemberian enterotoksin pada mencit neonatus ............................................38 Lokasi pemotongan anak mencit..................................................................39 Histogram perbandingan jumlah sel radang usus.........................................44 Usus halus kontrol ....................................................................................... 45 Usus halus perlakuan....................................................................................46 Usus besar perlakuan....................................................................................46 Histogram perbandingan jumlah sel glia serebrum dan medula spinalis.....51 Gambaran meningen serebrum normal .......................................................52 Gambaran meningen serebrum perlakuan....................................................53 Gambaran meningen medula spinalis perlakuan..........................................53 Gambaran folikel limfoid dan megakaryosit limpa kontrol......................... 54 Gambaran deplesi folikel limfoid dan deposisi protein radang ..................55 Gambaran nekrosa sel limfoid, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang........................................................................................................... 55 Histogram perbandingan jumlah folikel limfoid & megakaryosit ............... 56 Gambaran degenerasi hidropis sel hati ........................................................ 59 Gambaran degenerasi lemak sel hati............................................................60 Gambaran nekrosa sel hati ...........................................................................60 Histogram perbandingan rataan jumlah degenerasi dan nekrosa sel hati .... 61 Histogram perbandingan degenerasi dan nekrosa sel epitel tubuli proksimalis ginjal......................................................................................... 65 Gambaran degenerasi hidropis dan nekrosa ginjal.......................................66 Gambaran degenerasi lemak ginjal ..............................................................66 LAMPIRAN Pemberian obat pada mencit ....................................................................... 81 Pengolahan data statistik .............................................................................. 82 Gambaran metode skoring ...........................................................................98 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam dekade ini diketahui suatu emergen pathogen baru Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) yang dapat menyebabkan enterokolitis nekrotikan, meningitis dan sepsis pada bayi infan terutama dengan berat badan lahir rendah, kurang dari 28 hari, bayi dalam keadaan immunokompromis (Iversen dan Forsythe 2003). Kejadian infeksi tersebut menjadi kompleks karena telah terbukti bahwa susu formula (Powdered Infant Formula – PIF) merupakan sumber infeksi (Muytjen et al. 1988). Sampai saat ini dimanapun di dunia ini telah diketahui PIF merupakan sumber makanan pengganti ASI, sehingga menjadi suatu hal yang menakutkan bila ternyata PIF dapat menjadi sumber infeksi. Penelitian mengenai kontaminasi E.sakazakii pada PIF telah banyak dilakukan (Himelright et al. 2002) termasuk yang dipasarkan di Indonesia (Estuningsih 2006). Bertolak belakang dengan penelitian yang berkaitan dengan kontaminasi dan biologi E.sakazakii, penelitian mengenai kejadian meningitis, faktor virulen dan patogenesis infeksi berupa enterokolitis, sepsis dan meningitis akibat E.sakazakii masih belum banyak dilakukan. Sampai saat ini penelitian mengenai faktor virulen E.sakazakii baru dilakukan oleh Pagotto et al. (2003) yang meneliti mengenai kemampuan E.sakazakii memproduksi enterotoksin. Enterotoksin mempunyai kemampuan melisis sel pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO, Vero, dan Y-1. Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii diketahui ada yang bersifat resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Lebih lanjut Pagotto et al. (2003) telah menyatakan bahwa enterotoksin tersebut menimbulkan kematian pada mencit yang masih menyusu (suckling mice). Namun demikian penelitian lebih lanjut yang mempelajari bentuk kerusakan jaringan akibat efek enterotoksin belum pernah dipublikasikan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari perubahan histopatologi kelainan atau perubahan pada organ-organ penting seperti otak, medula spinalis, limpa, usus, hati dan ginjal pada tubuh mencit neonatus setelah diberi enterotoksin. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kerusakan jaringan tubuh mencit neonatus sebagai model bayi bila terinfeksi oleh E.sakazakii yang mampu menghasilkan enterotoksin. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai penyakit akibat infeksi E.sakazakii. Hipotesa Penelitian HO 1. : Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii menyebabkan meningitis, sepsis, enterokolitis nekrotikan dan kejadian degenerasi pada ginjal dan hati anak mencit neonatus. 2. Enterotoksin yang resisten terhadap panas masih mempunyai kemampuan merusak organ vital mencit neonatus. HI 1. : Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii tidak menyebabkan meningitis, sepsis, enterokolitis nekrotikan dan kejadian degenerasi pada ginjal dan hati anak mencit neonatus. 2. Enterotoksin yang resisten terhadap panas sudah tidak memiliki kemampuan merusak organ mencit neonatus. TINJAUAN PUSTAKA Mencit (Mus musculus) Mencit telah digunakan sebagai subjek penelitian sejak abad ke-19. Dalam beberapa dekade pengembangbiakan dengan karakteristik spesifik telah menyediakan variasi genetik yang sangat luas dan terkarakteristik dengan baik secara anatomi dan fisiologi. Sebagai hasilnya, mencit menjadi hewan penelitian yang paling banyak dipakai. Oleh karena tingkat kesuburannya (potensial reproduksi), masa kebuntingan yang singkat, dan jangka hidup yang pendek membuat hewan ini dijadikan hewan model untuk pelajaran teratologi, genetik dan gerontologi. Selain itu, karena ukurannya yang kecil dan murah harganya, hewan ini juga digunakan untuk pelajaran toksikologi dan karsinogenisitas (Sirois 2005). Mencit yang paling banyak digunakan di laboratorium adalah mencit Albino Swiss (Swiss Albino Mice) yang dibagi berdasarkan sifat genetik dan sifat lingkungan hidupnya (Malole 1989). Sedangkan berdasarkan subspesiesnya, mencit yang sering digunakan Mus musculus domesticus dan Mus musculus musculus seperti tampak pada Gambar 1 (Anonimus 2006a). Gambar 1. Mencit dan anak mencit neonatus I. Taksonomi Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Ballenger 1999): kingdom filum subfilum kelas subkelas ordo suborde famili subfamili genus spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Theria : Rodensia : Sciurognathi : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus II. Data Biologi Normal (Smith & S. Mangkoewidjojo 1988) TabeI I. Data Biologis Mencit Data Biologis Waktu/Jumlah Berat dewasa a. Jantan b. Betina Lama hidup Konsumsi air Konsumsi pakan 20-40 g 18-35 g 1-3 tahun 6,7 ml/dewasa/hari 5 g/dewasa/hari Suhu tubuh Denyut jantung Frekuensi napas Total leukosit a. Neutrofil b. Limfosit c. Monosit d. Eosinofil e. Basofiil Pubertas Musim kawin Tipe estrus Lama estrus Estrus postpartum Lama bunting Jumlah anak Berat lahir Mata terbuka Masa disapih Puting susu Plasenta 35-39oC 310-840/menit 94-163/menit 5-12 x 103/mm3 7-37% 63-75% 0-3% 0-4% 0-1,5% 28-49 hari tidak ada poliestrus kontinyu 4-5 hari 14-24 jam 19-21 hari rata-rata 6 sampai 15 anak 1,0-1,5 g 12-13 hari 21 hari 10 putting, 3 pasang di daerah dada dan 2 pasang di daerah abdomen diskoidal hemokorial III. Metode Perbiakan (Smith & S.Mangkoewidjojo 1988) Ada dua macam metode perkawinan yang biasa dipakai pada mencit, yaitu : Perkawinan monogami, satu jantan dan satu betina dalam satu kandang. Anak-anak mencit dipindahkan dari kandang pada saat masa sapih (sekitar berumur 21 hari). Keuntungan: reproduksi betina sebagai estrus postpartum maksimal dan data perkawinan dari jantan dan betina lengkap. Kerugian: dibutuhkan banyak jantan. Perkawinan Poligami (Harem), satu jantan dikandangkan dengan 2-5 betina. Para betina dipisahkan dari kandang ketika mulai terlihat bunting dan dikembalikan ke kandang setelah selesai menyapih anak-anaknya. Walaupun catatan reproduksi individu yang tersedia sesuai dengan metode ini, tetapi reproduksi betina tidak dimaksimalkan sebagai estrus postpartum. Para betina tetap dalam kandang perkawinan, dengan hasil multipel keturunan sepersusuan dalam satu kandang yang sama (terkadang saling berhubungan seperti sebuah koloni). Hal ini akan memaksimalkan reproduksi tetapi mempersulit pencatatan. IV. Sistem perkawinan Menurut Malole (1989) berdasarkan sifat genetiknya terdapat 3 macam mencit : 1. Random breed mice yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan mencit yang tidak ada hubungan keturunan. 2. Inbreed mice yaitu mencit yang secara genetis homogen karena merupakan hasil perkawinan antar saudara (brother sister matting) sebanyak lebih dari 20 tingkat. 3. F1 hybrid yaitu hasil perkawinan antara dua galur yang inbred. Pada umumnya, strain laboratorium dari mencit ini merupakan inbreed. Hal ini dilakukan supaya hewan ini mudah diidentifikasi secara genetik (Anonimus 2006a dan Sirois 2005). Histologi Organ Penting Sistem Saraf Pusat (Otak) Menurut Dellmann dan Eurell (1998), parenkhim jaringan saraf terdiri dari neuron dan sel penunjang yang disebut neuroglia. Jaringan saraf dalam bentuk sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) atau Central Nerovus System (CNS) dan susunan saraf perifer/tepi (SST) atau Peripheral Nervous System (PNS). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan SST terdiri dari nervus cranialis dan spinalis yang dihubungkan dengan saraf (nervus) dan ganglia yang berupa syaraf motorik dan syaraf sensorik (Lu 1995). Neuron Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf. Selain itu, neuron juga sebagai unit tropik karena sifatnya dalam mentransformasi dan menyokong sesuatu yang diinervasikan. Dengan pengecualian sel reseptor olfaktorius, neuronnya khas dengan tidak mempunyai kemampuan mitosis. Struktural neuron terdiri dari badan sel dan serabut saraf yang terdiri dari dendrit dan akson (Dellmann dan Eurell 1998). Dari segi patologi, menurut Macfarlane et al. (2000), neuron sangat sensitif terhadap kerusakan oleh berbagai macam agen termasuk anoksia, hipoglikemia, infeksi virus dan gangguan metabolik intraseluler (misalnya: yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B). Ada dua tipe utama kerusakan neuron yang tergantung dari kecepatan perubahannya. Pertama, nekrosis cepat. Hal ini berkaitan dengan kegagalan fungsi akut, misalnya kerusakan agen berupa hipoksia, akan menyebabkan nuklear menjadi piknosis dan sitoplasma mengkerut dan kemudian terjadi pemutusan sel dengan memfagositosis sel debri. Kedua, atrofik lambat. Hal ini berhubungan dengan kehilangan fungsi secara berangsurangsur. Neuron biasanya mengecil atau dapat juga menggelembung disertai metabolit abnormal dan pada akhirnya terjadi pemutusan sel neuron (Macfarlane et al. 2000). b. Neuroglia Neuroglia terdiri atas lebih dari 90% sel yang membangun sistem saraf. Sel neuroglia (gliosit) relatif kecil. Dengan pewarnaan biasanya, hanya nuklei dan perikarya yang terlihat. Secara bersamaan, neuroglia menyediakan dukungan struktural dan fungsional. Tidak seperti neuron yang matang, gliosit tetap dapat bermitosis dan mereka dapat menjadi sebuah tumor pada sistem saraf. Gliosit yang ditemukan di SSP adalah astrosit, oligodendrosit, sel mikroglia (makrofag) dan sel ependima (lihat Gambar 2) (Dellmann dan Eurell 1998). Sedikit berbeda, menurut Ganong (2002) pada SSP, terdapat tiga jenis utama sel glia. Mikroglia yang merupakan sel “pemakan bangkai” yang menyerupai sel-sel makrofag jaringan. Mereka mungkin berasal dari sumsum tulang dan masuk ke sistem saraf melalui sistem sirkulasi darah. Oligodendrogliosit berperan dalam pembentukan mielin. Astrosit mempunyai dua subtipe. Astrosit fibrosa, yang mengandung banyak filamen antara, terdapat terutama di substansia putih. Astrosit protoplasmik, ditemukan di substansi kelabu dan mempunyai sitoplasma yang granular (lihat Gambar 2). N N As O Ax K E Mg Gambar 2. Gambaran neuron dan jenis-jenis sel neuroglia. Keterangan: kapiler (k), neuron (N), akson (Ax), oligodendrosit (O), sel ependimal (E), mikroglia (Mg) dan astrosit (As) (Sumber: Fox 2004) Histologi Serebrum Otak berfungsi dalam menginisiasi pergerakan, koordinasi pergerakan, pengaturan temperatur, pusat keterampilan, penglihatan, pendengaran, emosi dan pusat belajar (Anonimus 2008a). Dari segi anatomi, otak terdiri dari 1010-1011 neuron yang saling berhubungan erat melalui dendrit dan akson. Satu neuron dapat menerima sinaps sebanyak 103-105 dari neuron lainnya. Otak terbentuk ketika bagian frontal dari SSP telah berlipat. Otak terdiri dari 5 bagian, yaitu : serebrum, diensefalon, otak tengah, serebelum dan medula oblongata (lihat Gambar 3) (Anonimus 2005). Serebrum otak terdiri dari hemisfer cerebral berpasangan yang dilintasi oleh midline dari substansi alba yang disebut dengan corpus callosum (Eurell 2006). Hemisfer dibagi ke dalam empat lobus yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus occipitalis, dan lobus temporalis (Anonimus 2005). Gambar 3. Anatomi otak manusia ( Sumber: Anonimus 2005) Pada permukaan masing-masing hemisfer terdapat gyri dan dibatasi oleh sulci. Permukaan yang dibungkus oleh substansi kelabu (substansi grisea) disebut korteks cerebral. Ciri-ciri neuron dari koreks cerebral memiliki badan sel yang berbentuk piramid, diorientasikan dengan apexnya yang diarahkan pada permukaan. Dendrit muncul dari apex dan tepi basal sel piramid. Akson berangkat dari pusat basal dan masuk ke substansi putih (Dellmann dan Eurell 1998). Otak memiliki tiga buah ventrikel dan berisi cairan cerebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) yang berfungsi melindungi otak. Apabila kepala mengalami suatu benturan, maka arachnoid bergeser terhadap dura mater dan bergerak, tetapi gerakan tersebut dengan lembut dihentikan oleh CSF dan trabekula arachnoid. Benturan yang menimbulkan nyeri merupakan akibat dari defisiensi CSF (Ganong 2002). Selain itu, otak juga memiliki suatu sistem pertahanan otak yang biasa disebut dengan Blood Brain Barrier (BBB) yang efektif menangkal berbagai neurotoksin karena struktur BBB dengan sel-sel endothelial kapilernya yang sangat rapat sehingga hanya sedikit atau tidak ada pori-pori di antara sel tersebut (Lu 1995). Air, CO2, dan O2 menembus otak dengan mudah. Demikian pula bentuk lemak-larut dari steroid hormon, sedangkan ikatan protein dan secara umum semua protein dan polipeptida tidak mudah menembus otak (Ganong 2002). Pada bayi baru lahir jika sistem pertahanan belum terbentuk sempurna maka zat toksik akan mudah masuk ke dalam SSP (Delmann dan Eurell 1998). Akan tetapi, BBB tidak akan berfungsi sempurna sampai hari ke-16 perkembangan embrio, walaupun taut erat (tight junction) dapat diamati dari endotelium cerebral sejak permulaan vaskularisasi (embrio berumur 10 hari) (Radovsky dan Mahler 1999). Hubungan antara sel glia dan neuron sangat kompleks dan penting. Sering sekali reaksi sel glia digambarkan dengan jelas ketika sistem neuron dalam keadaan patologis (Radovsky dan Mahler 1999). Bila dilihat dari segi reaksi terhadap kerusakan, tiga jenis sel utama neuroglia memiliki respon yang berbedabeda. Astrosit, kurang peka terhadap kerusakan dibandingkan dengan neuron. Apabila sel astrosit mengalami kerusakan tetapi belum sampai membunuh sel tersebut, sel akan berlipat ganda dan membesar, serta terjadi peningkatan produksi fibril. Kemudian, sel akan atrofi dan meninggalkan sisa berupa jalinan fiber. Proses ini disebut gliosis. Oligodendrosit, bila neuron membengkak dan terjadi kromatolisis maka terjadi peningkatan jumlah oligodendrosit besar dan proses ini disebut dengan satelitosis. Selain itu, bila terjadi kerusakan jaringan maka sel mikroglia akan memfagosit semua hasil degradasi seperti lemak dan haemosiderin. Dengan demikian, sel mikroglia juga dapat disebut sebagai lipofag selain gitter cells ( Macfarlane et al. 2000). Medula spinalis Medula spinalis yang berbentuk silinder dapat dibagi ke dalam beberapa segmen yang dibatasi dengan kemunculan bilateralis nervus spinalis dorsal dan ventral. Sebuah potongan melintang Medula spinalis menunjukkan canal centralis yang dikelilingi oleh penampilan berbentuk kupu-kupu dari substansi abu-abu, yang di dalam putarannya dikelilingi oleh substansi putih seperti pada Gambar 4 (Dellmann dan Eurell 1998). Ligamentum densikulata terlihat jelas di antara pia mater dan dura mater. Pada setiap setengah bagian medula spinalis, substansi alba dibagi ke dalam funikulus dorsalis, funikulus lateralis, dan funikulus ventralis (Eurell dan Frappier 2006) Gambar 4. Medula spinalis. Keterangan: substansi abu-abu (gm), substansi putih (wm), ligamentum densikulata (dent), dura mater (d.m.), dorsal roots (d.r.), funikulus dorsalis (DF), funikulus lateralis (LF), dan funikulus ventralis (VF) (Sumber: Dellmann & Eurell 1998) Meningen Otak dan Medula spinalis diselubungi oleh meningen yang terdiri dari kolagen dan fiber elastis. Secara umum, tiga lapisan meningen diurutkan dari bagian superfisial sampai ke bagian dalam : dura mater, arachnoid, dan pia mater (Radovsky dan Mahler 1999). Dura mater terkadang disebut pachymeninx karena strukturnya yang tebal dan kuat. Arachnoid dan pia mater secara bersamaan disebut leptomeninges karena keduanya halus dan terhubung secara embriologik dan fisik. Suatu ruang subarachnoid mengandung CSF yang memisahkan arakhnoid dari pia mater (Gambar 5) (Dellmann dan Eurell 1998). CSF dan meningen secara bersamaan berfungsi melindungi otak (Ganong 2002). T DM A P O Gambar 5. Lapisan meningen. Keterangan: tengkorak (T), dura mater (DM), pia mater (P), arachnoid (A), dan otak (Sumber: Dellmann & Eurell 1998) Usus Usus kecil dan usus besar dapat bertindak sebagai barrier penting atau rute masuknya makanan atau terhirupnya dan tertelan toksikan atau zat karsinogenik. Bila toksikan atau bahan karsinogenik mencapai usus melalui rute peroral atau sirkulasi enterohepatik, maka biotranformasi dan aktivasi atau deaktivasi dari bahan ini dapat terjadi. Dalam pembelajaran toksisitas dan karsinogenisitas, hal ini penting sekali bahwa traktus usus terbuka penuh dan permukaan mukosa serta serosa diperiksa untuk melihat kemungkinan timbulnya neoplasma atau lesio makroskopi lainnya. Lesio makroskopi diidentifikasikan pada nekropsi, disiapkan untuk diperiksa dengan mikroskop dengan melakukan potongan melintang pada masing-masing daerah usus kecil dan usus besar dan langsung dimasukkan dalam larutan fixatif (Shackelford dan Elwell 1999). Adanya toksin yang menyerang usus akan mengakibatkan sel epitel mati. Hal ini menyebabkan tidak adanya pengaturan integritas barrier cairan antara lumen dan lamina propria. Sebagai konsekuensinya, cairan tubuh berpindah bebas ke dalam lumen dan memacu terjadinya diare berair, dehidrasi yang parah serta menyebabkan kematian (King 2007). Usus Kecil Usus kecil terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Ketiga bagian merupakan penonjolan dari propria, dibungkus oleh epitel permukaan, sampai dalam lumen usus (King 2007). Pencernaan usus, atau pereduksian makanan menjadi bentuk yang dapat diserap, dimulai ketika kandungan makanan dari lambung bekerja atas pengaruh sekresi pankreas, empedu, dan sekresi usus, dan hal ini berlanjut di sepanjang usus kecil (Dellmann dan Eurell 1998). Mukosa usus halus dicirikan dengan vili dan plika yang meninggi di daerah permukaan untuk menyerap nutrisi dan terdapat tubular pendek yang melekuk ke dalam sebagai sisi pelindung stem cells, yang disebut kripta. Ujung bebas sel-sel vilus dilengkapi mikrovili yang halus. Mikrovili ini diselimuti oleh glikokaliks, lapisan amorf yang kaya akan gula netral dan gula amino. Mikrovili dan glikokaliks membentuk brush border (Ganong 2002). Struktur mukosa intestin dapat berubah akibat proses patologi seperti enteritis iskemia dan enterokolitis nekrotikan yang ditandai dengan vili yang tumpul atau hilang (King 2007). Epithelium kolumnar sebaris dan sel goblet menutupi jaringan konektif lamina propria masing-masing vili (Eurell 2006). Sel goblet menghasilkan mukus untuk melindungi sel dari perlukaan mekanis dan iritan (Dellmann dan Eurell 1998). Pada basal vili, kelenjar usus meluas ke bagian dalam sampai lamina propria bagian dasar (Eurell 2006). Lapisan luar membran sel mukosa mengandung banyak enzim yang berperan dalam proses pencernaan yang diawali oleh enzim air liur, lambung, dan pankreas. Enzim yang terdapat pada membran inti ialah berbagai disakaridase, peptidase, dan enzim yang terlibat dalam penguraian asam nukleat (Ganong 2002). E K LP TM S Gambar 6. Gambaran histologi usus halus (Sumber: Anonimus 2006). Keterangan : epitel (E), kripta (K), lamina propria (LP), tunika muskularis (TM), dan serosa (S). Pada lamina propria dan submukosa dapat ditemukan limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil dan sel mast (Shackelford dan Elwell 1999). Otot halus lamina muskularis berada di antara kelenjar usus (kelenjar Brunner) dan submukosa seperti tampak pada Gambar 6 (Eurell 2006). Enterosit pada usus halus dibentuk dari sel-sel yang tidak berdiferensiasi yang membelah secara aktif di kriptus Lieberkuhn. Sel-sel ini bermigrasi ke ujung vilus, mengalami apoptosis kemudian terlepas (deskuamasi epitel) secara fisiologis proses ini terjadi . Kemudian dilepaskan ke dalam lumen usus dalam jumlah besar (Ganong 2002). Usus Besar Usus besar dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu sekum, kolon dan rektum serta canalis anal. Usus besar ditandai dengan tidak adanya vili dan peningkatan sel goblet secara berangsur-angsur berlanjut sampai ke belakang (Dellmann dan Eurell 1998). Oleh karena tidak ada vili, permukaan usus besar ini licin (King 2007). Secara garis besar, sekum, kolon, dan rektum sulit dibedakan berdasarkan histologinya. Karakteristik dari ketiga segmen ini adalah tidak adanya vili, kurang bergulung, dan kelenjar usus simpel tubular dengan banyak sel goblet (Gambar 7) (Delmann dan Eurell 1998). LP SM TMS TML Gambar 7. Gambaran mikroskopis kolon (Sumber: Anonimus 2006). Keterangan: lamina propria dengan sel goblet (LP), submukosa (SM), tunika muskularis sirkuler (TMS), dan tunika muskularis longitudinal (TML) . Sekum, mukosanya mirip dengan kolon, tetapi lebih banyak jaringan limfoid. Lamina propria dikelilingi kripta dan banyak nodul limfatik. Muskularis mukosa tipis. Tidak begitu berbeda dengan kolon dan rektum, epithelium absopsi dan sekresi berbentuk kripta tanpa vili. Lamina propria dikelilingi oleh kripta (yaitu mengisi celah antaranya). Muskularis mukosanya juga tipis (King 2007). Usus besar memiliki fungsi sebagai tempat/lokasi mikroba dalam mencerna sisa makanan, absorpsi air, vitamin, elektrolit dan sekresi mukus (Delmann dan Eurell 1998). Limpa Limpa merupakan organ limfatik sekunder utama yang berkaitan dengan filtrasi darah dan menghasilkan respon imun ketika ada serangan dari antigen melalui aliran darah. Aktivitas hematopoiesis dari limpa hewan dewasa adalah limfopoiesis sedangkan pada fetus atau neonatus, fungsi utama limpa adalah eritropoiesis (Press dan Landsverk 2006). Menurut Aughey dan Frye (2001), limpa berfungsi sebagai tempat terjadinya limfopoiesis, fagositosis eritrosit tua, mengakumulasi limfosit dan makrofag, tempat cadangan darah, dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah (Junqueira dan Carneiro 1982). Limpa memiliki kapsula yang terdiri atas otot halus dan jaringan ikat elastis (Bacha dan Bacha 2000). Trabekula tersusun atas kolagen dan jaringan ikat elastis serta sel-sel otot halus yang merupakan perpanjangan dari kapsula (Press dan Landsverk 2006). Parenkhim limpa terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih (Gambar 8) (King 2007). Pulpa merah merupakan tempat penyimpanan eritrosit, penjeratan antigen, dan tempat terjadinya eritropoiesis. Pulpa putih merupakan bagian tempat terjadinya tanggap kebal atau respon imun (Tizard 2004). Gambar 8. Gambaran Histologi Limpa. Keterangan: kapsula (c), trabekula (t), pulpa putih (p) dan pulpa merah (m) (Sumber: Eurell dan Frappier 2006). Pulpa merah merupakan bagian parenkhim limpa terbesar dan massa berwarna merah gelap serta disuplai oleh arteri dan dialiri oleh sinus vena (Slomianka 2006). Eritrosit, makrofag, megakaryosit, sel plasma, limfosit, dan granulosit dapat ditemukan di pulpa merah (Ward et al 1999). Pulpa putih tersusun atas nodul limfatik yang tersebar pada jaringan limfatik dan disebut periarterial lymphatic sheaths (PALS) (Press dan Landsverk 2006), folikel limfoid dan zona marginal (Ward et al. 1999). Pulpa merah dan pulpa putih dipisahkan oleh zona marginal (Bacha dan Bacha 2000). Zona marginal melakukan peranan yang penting dalam memproses antigen (Ward et al. 1999). Antigen yang menyerang limpa akan dijerat oleh makrofag di zona marginal dan di sinusoid pulpa merah. Kemudian sel ini akan membawa antigen ke folikel primer di pulpa putih dan setelah beberapa hari terjadi migrasi sel B untuk menghasilkan antibodi. Sel B akan menempati zona marginal dan pulpa merah (Tizard 2004). Setelah adanya rangsangan dari antigen ini maka terjadilah perubahan folikel primer menjadi germinal center (Ward et al. 1999) dan dengan demikian disebut dengan folikel sekunder (Tizard 2004). Peradangan pada limpa (splenitis) dapat berbentuk seperti pembesaran, hiperemi akut, degenerasi, nekrosa sel limfoid, dan infiltrasi sel radang (PMN). Hemoragi pada limpa dapat terjadi akibat terpapar bahan kimia maupun radiasi sedangkan kongesti dapat disebabkan oleh metode euthanasia atau prosedur nekropsi. Banyaknya eritrosit pada limpa menyebabkan kejadian hemoragi, kongesti dan angiektasis susah dibedakan (Ward et al. 1999). Hati Hati merupakan kelenjar yang besar dan berlobus. Masing-masing lobus ditutup oleh sebuah mesotelium, di bawahnya terdapat kapsula dari Glisson, lapisan jaringan penghubung yang tipis. Masing-masing lobus terbagi dalam sejumlah lobulus klasik yang terdiri dari sinusoid dan gambaran dari sel parenkhim, hepatosit, yang menjari teratur sekitar vena centralis (Bacha dan Bacha, 2000). Lobus hati berbentuk heksagonal dan vena centralis sebagai pusat cabangnya sedangkan portal canal terletak di luar batas lobus. Lobus portal merupakan wilayah segitiga yang berpusat pada duktus empedu di portal canal (Gambar 9) (King 2007). Gambar 9. Gambaran histologi hati ( Sumber: King 2002) Hati tersusun dalam lobulus-lobulus, yang di dalamnya mengandung darah dari cabang-cabang vena porta mengalir melewati sel-sel hati melalui sinusoid ke vena sentral di setiap lobulus. Terdapat celah-celah besar di sel endotel, dan plasma berkontak erat dengan sel hati. Biasanya hanya terdapat satu lapisan hepatosit di antara sinusoid-sinusoid, sehingga luas permukaan kontak total antara sel hati dengan plasma sangatlah besar. Darah arteri hepatica juga masuk ke dalam sinusoid. Vena-vena centralis bergabung membentuk vena hepatica, yang mengalir ke dalam vena cava cranialis. Semua darah yang mengalir melewati usus dan limpa akan diterima oleh hati melalui vena portal hepatica. Darah portal tidak hanya membawa nutrisi tetapi juga membawa berbagai macam kontaminan (obat-obatan, toksin dari makanan, dan bakteri) yang terserap melalui mukosa usus atau yang diproduksi oleh limpa. Selain itu, hati juga mendapat suplai darah dari arteri yang membawa oksigen dari arteri hepatica (King 2007). Pada endotel sinusoid banyak melekat makrofag (sel Kupffer) yang berproyeksi ke dalam lumen (Gambar 10) (Ganong, 2002). Sel Kupffer merupakan sistem retikuloendotel dengan fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah oleh sebab itu hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Wilson dan Lester 1995). Di samping itu, sel Kuffer juga memfagosit partikel, detoksifikasi endotoksin, sekresi mediator inflamasi, memproses antigen, dan mengkatalis glikoprotein serta lemak (Harada et al. 1999) Gambar 10. Gambaran mikroskopik hati mencit (Sumber: King 2002) Menurut Ganong (2002), hati memiliki fungsi sebagai berikut : pembentukan dan sekresi empedu; metabolisme nutrient dan vitamin (seperti glukosa dan gula lain, asam amino, lipid, vitamin yang larut dalam lemak, vitamin yang larut dalam air); invasi beberapa zat (toksin, steroid, hormon); sintesis protein plasma dan imunitas (sel Kupffer). Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu 1995). Dua hal yang menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut dengan degenerasi (Carlton dan McGavin 1995). Terdapat beberapa bentuk kerusakan sel hati berupa degenerasi di antaranya adalah degenerasi lemak dan degenerasi hidropis. Selain itu dapat terjadi juga mineralisasi, nekrosa, pigmentasi, dan hipersekresi mukosa (Harada et al.1999). Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa kebengkakan sitoplasma yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Degenerasi hidropis terjadi akibat sebagai respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri, dan perlukaan bermediasi imun (McGavin et al. 2007). Pengamatan histopatologi pada sel yang mengalami degenerasi hidropis akan berpenampakan seperti bervakuol berisi cairan dan sitoplasma membengkak (Underwood 1992). Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu memetabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel. Pengamatan histopatologi sel yang mengalami degenerasi lemak ini memperlihatkan adanya vakuola yang jelas (Macfarlane 2000). Menurut Cheville (1999), kerusakan sel yang berkelanjutan dapat menyebabkan sel mengalami kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa. Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999). Ginjal Ginjal mencit memiliki tekstur yang halus, berwarna merah kecoklatan, dan menggantung bebas pada dorsal dinding tubuh dikelilingi oleh jaringan adiposa (Seely 1999). Pada semua spesies, arteri dan vena renalis, limfatik, saraf dan ureter melewati lekukan tunggal atau hilus. Semua ginjal dilingkupi oleh jaringan konektif kapsul yang tersusun atas serat kolagen utama tetapi dapat juga tersusun atas sejumlah otot licin. Posisi ginjal yang retroperitoneal biasanya terdapat satu permukaan dengan peritoneum (mesotelium, dan lapisan tipis jaringan konektif), yang ditutupi oleh jaringan adiposa. Ginjal dibagi atas dua bagian yaitu korteks (bagian luar) dan medula (bagian dalam) (Dellmann dan Eurell 1998). Pembagian tubulus renalis seperti halnya aliran filtrasi yang berasal dari darah hingga menjadi tetes-tetes urin dari parenkhim ginjal yaitu meliputi nefron yang terdiri atas korpuskel ginjal (glomerulus dan kapsula Bowman’s), tubuli proksimal dan tubuli distal, macula densa, dan jerat henle. Selain nefron adalah sistem duktus pengumpul (Gambar 11) (Dellmann dan Eurell 1998). Gambar 11 . Gambaran Histologi Ginjal (Sumber: King 2002). Keterangan: glomerulus (glom), tubuli proksimalis (p) dan tubuli distalis (d). Unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus proksimalis yang berbelok-belok dan lurus, jerat henle desendens dan ascendens, segmen yang lurus, dan tubulus distalis (Seely 1999). Secara skematis tampak seperti pada Gambar 12. Gambar 12. Skematis nefron (Sumber: King 2007) Dalam perjalanan sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan berkurang dan susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus (penyerapan kembali air dan zat terlarut dari cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi zat terlarut ke dalam cairan tubulus) untuk membentuk kemih (urine) yang akan disalurkan ke dalam pelvis renalis. Air serta elektrolit dan metabolit penting lainnya akan diserap kembali. Selain itu, susunan urine dapat berubah-ubah, dan banyak mekanisme pengaturan homeostasis yang mengurangi atau mencegah perubahan susunan cairan ekstrasel (CES) dengan cara mengubah jumlah air dan zat terlarut tertentu yang dieksresi melalui urine. Dari pelvis renalis, urine dialirkan ke dalam vesika urinaria (kandung kemih) untuk kemudian dikeluarkan melalui proses berkemih, atau miksi (Ganong, 2002). Fungsi ginjal dalam toksisitas dapat dievaluasi melalui urinalisis dan penentuan serum darah, seperti kreatinin dan nitrogen urea darah. Urin mencit memiliki berat jenis yang tinggi. Proteinuria secara normal ada pada mencit dan meningkat pada mencit jantan dewasa kelamin karena pengaruh hormon testosteron. Albumin dan prealbumin berespon terhadap proteinuria. Ginjal mencit juga mensintesa MUP (Mouse Urinary Protein), suatu protein yang hampir sama dengan alfa-2u-globulin yang ada pada tikus. Akan tetapi MUP pada mencit tidak direabsorpsi oleh ginjal dan mempunyai sifat ikatan yang berbeda. Ginjal mencit mempunyai sistem enzim tertentu dalam membantu proses metabolisme, detoksifikasi, dan biotransformasi xenobiotik (Seely, 1999). Dalam analisis toksipatologi, gangguan atau kerusakan ginjal diperiksa secara histopatologis. Toksin menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada epitel tubuli terutama di bagian proksimal. Bentuk kerusakan pada ginjal akibat dari toksin adalah adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada sel epitel tubuli proksimalis (Seely 1999). Enterobacter sakazakii Taksonomi Klasifikasi Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) menurut Hormaeche dan Edwards dalam Anonimus (2007a) sebagai berikut : kingdom : Bacteria filum : Proteobacteria kelas : Gamma Proteobacteria ordo : Enterobacteriales famili : Enterobacteriaceae genus : Enterobacter spesies : Enterobacter sakazakii Gambar 13. E. sakazakii dengan ukuran bar 1m (Sumber: Anonimus 2004b) Namun seiring dengan perkembangannya, muncul pendapat baru mengenai taksonomi E.sakazakii, yaitu E. sakazakii dimasukan ke dalam genus Cronobacter sehingga namanya berubah menjadi Cronobacter sakazakii (Iversen et al. 2007). Cronobacter sendiri merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob, oksidase negatif, berbentuk batang dan berasal dari famili Enterobacteriaceae (Anonimus 2008c). Sifat Enterobacter sakazakii Enterobacter sakazakii merupakan bakteri motil, non-spora, serta Gram negatif fakultatif anaerob. Bakteri ini telah dikenal sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning sampai tahun 1980 ketika didesain sebagai spesies baru oleh Farmer, Asbury, Hickman dan Brenner untuk menghormati bakteriolog Jepang Dalam studinya mengenai E.sakazakii dinyatakan bahwa Riichi Sakazakii. E.sakazakii melalui hibridisasi DNA-DNA memiliki korelasi 53-54% dengan spesies Enterobacter dan Citrobacter. Dari perbandingan kedua genus ini didapatkan 41% berkorelasi dengan Citrobacter freundii dan 51% dengan Enterobacter cloacae (Iversen dan Forsythe 2003). Enterobacter sakazakii dapat tumbuh pada temperature 6-470 C. Pada suhu kamar (210C), waktu yang digunakan untuk membelah menjadi dua adalah kirakira 75 menit. Sedangkan, pada suhu penyimpanan (40C) kira-kira 10 jam (Iversen dan Forsythe 2003). Pada saat pembuatan minuman susu dengan menambahkan air (rekonstitusi), suhu merupakan faktor yang penting. Menurut Meutia (2008), suhu rekonstitusi 40C dan 400C tidak dapat digunakan sebagai suhu yang mampu mengurangi perkembangan E. sakazakii. Rekonstitusi dengan air yang bersuhu 1000C menyebabkan jumlah E.sakazakii tidak terdeteksi lagi, tetapi suhu ini tidak direkomendasikan sebagai suhu rekonstitusi mengingat rusaknya komponen gizi yang terdapat dalam susu formula dan makanan bayi. Suhu 700C cukup efektif dalam menurunkan jumlah E.sakazakii sehingga dapat dijadikan sebagai suhu rekonstitusi susu formula dan makanan bayi untuk mengurangi resiko terhadap E.sakazakii. E.sakazakii dapat menyebabkan infeksi serius khususnya pada individu yang sangat muda dan orang tua. Hal ini terutama lebih sering terjadi pada neonatal dan bayi. kecenderungan ventrikulitis, Di antara neonatal dan bayi, E.sakazakii memiliki menyebabkan abses otak, meningitis atau yang pembentukan dapat kiste berlanjut dan menjadi perkembangan hydrocephalus (Lai 2001; Bar-Oz et al 2001). Kasus meningitis, septicemia, enterokolitis nekrotikan, abses otak, infark cerebral, dan kiste dermoid dari fossa posterior yang disebabkan E.sakazakii telah dilaporkan seluruh dunia (Hamilton et al. 2003). Menurut Bowen dan Braden (2006) E.sakazakii menyebabkan kematian 40-80% pada bayi yang terinfeksi dan berkaitan dengan susu bubuk formula. Dari 46 kasus infeksi E.sakazakii yang mereka analisa di antaranya 12 bayi mengalami bakteriemia, 33 mengalami meningitis dan 1 bayi yang mengalami gangguan pada traktus urinaria. Dari 33 bayi yang mengalami meningitis tersebut terdapat 14 bayi meninggal atau sekitar 42 %. Selain itu dalam jurnal yang ditulis oleh Sinave (2003) dikatakan bahwa, Enterobacter sp terutama Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes adalah patogen nosocomial yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi termasuk bakteriemia, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi traktus urinarius, endokarditis, infeksi intra-abdominal, sepsis arthritis, osteomyelitis, dan infeksi oftalmik. Faktor-faktor predesposisi seperti infeksi-infeksi tersebut adalah waktu perawatan di rumah sakit yang lama, terutama dalam ruang UGD (ICU) , kelemahan yang umum, dan imunosupresi. Faktor Virulen dan Patogenitas Bakteri yang berkoloni akan memproduksi toksin. Menurut Mange et al. (2006) bakteri yang mempunyai kemampuan untuk melakukan adhesi pada permukaan tubuh host seperti membrana mukosa, epitel lambung dan usus atau endothelial suatu jaringan, maka bakteri tersebut mampu melakukan kolonisasi dengan baik, stabil dan mampu memproduksi faktor virulensi seperti toksin. Toksin terdiri dari eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin berasal dari bakteri yang hidup dan dapat dinetralisasi oleh antitoksin, contoh eksotoksin adalah enterotoksin. Endotoksin adalah toksin yang berasal dari dinding sel bakteri, yang dilepaskan saat bakteri mati (biasanya bakteri dari Gram-negatif) (Macfarlane et al. 2000). Enterotoksin merupakan toksin protein yang dilepaskan oleh mikroorganisme di dalam usus. Enterotoksin berasal dari eksotoksin yaitu toksin yang berasal dari enzim bakteri (Underwood 1992). Enterotoksin ini sering bersifat sitotoksik dan dapat mematikan sel dengan mengubah permeabilitas sel epitelium dinding usus. (Anonim, 2008b). Selain itu, enterotoksin dapat menyebabkan diare Enterotoksin dihasilkan oleh berbagai bakteri termasuk organisme penyebab keracunan makanan seperti Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus sp., Clostridium perfringens, dan Yersinia enterocolitis (Gyles dan Thoen 1993). Clement dalam Paryati (2006) menyatakan bahwa enterotoksin bersifat tahan asam dan tahan terhadap pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin. Selain itu, enterotoksin memiliki dua golongan yaitu tidak tahan panas atau heat-labile enterotoxins (LTs) dan tahan panas atau heat-stabile enterotoxin (STs). Aktivitas enterotoksin LTs biasanya berhubungan langsung dengan efek kritis seperti diare. Hal ini terjadi karena kemampuan LTs dalam menginduksi hipersekresi dari cairan ke dalam lumen usus halus (Gyles dan Thoen 1993). Enterotoksin LTs merupakan protein oligomerik yang terdiri dari satu polipeptida A dan lima polipeptida B (Pohland et al. 1990). Rantai A menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan dengan permukaan sel. Setelah B rantai berikatan dengan permukaan reseptor, toksin masuk ke dalam sel oleh receptor-mediated endocytosis. Pembelahan molekul selanjutnya memungkinkan pecahan A mengeluarkan efek toksinnya. Beberapa eksotoksin bakteri bereaksi dengan ribosilasi adenosin difosfat (ADP). Oleh karena itu, toksin mengkatalis pembelahan endogen nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) melalui perlekatan kovalen separuh dari ADP ke substrat sel (Cheville 1999). Dasar dari aktivitas LT berupa stimulasi adenilat siklase pada sel epitel usus. Evaluasi menunjukan stimulan ini menyebabkan hipersekresi elektrolit dan air. Enterotoksin STs, toksin dengan berat molekul yang rendah yang mampu menginduksi terjadinya diare. Terdapat dua subset utama heat-stabile enterotoxin (STs) yaitu STa atau STI (ST subset pertama yang berasal dari E.coli manusia, sapi, dan babi), dan STb atau STII (ST subset kedua yang berasal dari ETEC strain babi tertentu). Sebagai contoh STa dicirikan oleh kemampuan melarutkan metanol dan mampu menginduksi akumulasi cairan dalam intestin suckling mice melalui pemberian toksin per oral maupun intraperitoneal (Gyles dan Thoen 1993). Pada mulanya, mekanisme patogenitas dan faktor virulen E.sakazakii tidak ada yang mempublikasikan sebagai contoh Nazarowec-White dan Farber (1997) menyatakan E.sakazakii mampu menghasilkan enterotoksin tetapi belum pernah dipublikasikan datanya. Namun pada tahun 2003, Pagotto et al. telah melaporkan bahwa E.sakazakii mampu menghasilkan enterotoksin. Dari 18 strain, hanya 4 strain yang mampu menghasilkan enterotoksin. Diketahui pula enterotoksin ini dapat melisiskan sel pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO, Vero, dan Y-1. Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii diketahui ada yang bersifat resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Selanjutnya, enterotoksin tersebut dinyatakan dapat menimbulkan kematian pada mencit yang masih menyusu (suckling mice) dengan dosis 108 CFU/ml per mencit yang diberikan sebanyak 0,1 ml melalui injeksi intraperitoneal (IP), dan dua strain menyebabkan kematian melalui route peroral. Sumber Penyebaran Selama beberapa tahun data yang dipublikasikan menyatakan hasil isolasi E.sakazakii yang menyebabkan meningitis atau enteritis nekrotikan pada neonatal berhubungan dengan susu formula bayi (Himelright et al 2002). Pada beberapa kasus terakhir, organisme ini telah diisolasi dari peralatan seperti alat pengaduk yang biasa digunakan pada botol dapur. Publikasi lain telah mendemonstrasikan bahwa mikroorganisme ini dapat ditemukan pada berbagai macam makanan, air, dan lingkungan termasuk rumah dan rumah sakit (Iversen dan Forsythe 2003). E.sakazakii juga dapat diisolasi di rumah sakit dari sampel klinik yang diambil dari orang dewasa. Artikel terbaru melaporkan kehadiran E.sakazakii pada air susu ibu (ASI) yang tersimpan pada bank susu (Lenati et al. 2008). Sebagai bakteri yang penyebarannya luas, E.sakazakii juga dapat ditemukan pada lingkungan pengolahan makanan bayi dan hal ini sering menjadi sumber masalah hadirnya organisme ini pada susu bubuk formula. Menurut NazarowecWhite dan Farber dalam Iversen dan Forsythe (2003) level kontaminasi E.sakazakii dalam susu bubuk formula sangat rendah atau mengkontaminasi melalui perlengkapan preparsi tidak menyebabkan efek yang merugikan (0.36 CFU/100 g) kecuali bila pertumbuhan E.sakazakii dibiarkan tidak sesuai penanganan dan penyimpanan (Anonim 2004). Penyebaran luas E. sakazakii menurut Hassel (2004) dan Friedemann (2007) yaitu: Tabel 2. Varietas Luas dari Sumber Lingkungan dan Makanan Lingkungan Peralatan rumah sakit Tanah Sumber makanan peralatan Daging mentah Gelas bir Susu bayi (susu sapi dan kedelai) Beras Tahu Air Tikus Susu bubuk Sayur-sayuran Diketahui pula bahwa E.sakazakii pernah ditemukan dalam usus lalat Minyak mentah Lalat Peralatan pembuatan makanan dan kandang Stomoxys calcitrans. Hal ini tentu sangat penting dalam penyebaran E.sakazakii (Hamilton et al. 2003). Respon Tubuh Terhadap Pemberian Enterotoksin Pada umumnya, Enterobacter sakazakii berespon 50% melalui infeksi nosokomial dan paling banyak pada bayi imunokompromis. Infeksi E.sakazakii pada bayi baru lahir dapat menyebabkan bakteriemia (sepsis), enterokolitis nekrotikan, dan meningitis. (Iversen and Forsythe, 2003). Dalam pernyataan “10 Alasan Penglabelan Informatif Mengenai Susu Bubuk Formula Bayi” oleh IBFAN salah satunya menyatakan bahwa infeksi E.sakazakii pada neonatal memiliki angka kematian 20%-50%. Objek yang rentan terinfeksi E.sakazakii di antara 31 kasus adalah bayi baru lahir, bayi infan dan anak-anak usia 3-4 tahun beresiko terinfeksi 50%, sedangkan bayi usia satu minggu dan sebulan beresiko terinfeksi 75%. Berat lahir yang rendah (2.5 kg) atau kurang juga telah diidentifikasi sebagai pasien yang beresiko terinfeksi sekitar 75% (Weir 2002). Toksin dari bakteri maupun bakteri akan melakukan penetrasi memasuki pembuluh darah dan beredar dalam tubuh menyebabkan sepsis dan meningitis (Macfarlane et al 2000). Enterokolitis juga dapat terjadi akibat pemberian toksin melalui peroral. Meningitis dan Ensefalitis Meningitis merupakan penyakit infeksi akut dan parah yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme, termasuk virus, bakteri, parasit, dan fungi. Fatality rate meningitis, terendah 2% pada bayi dan anak serta tertinggi 20-30% pada neonatal dan manusia dewasa (LIorens dan Cracken 2003). Meningitis dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu leptomeningitis-bila terjadi inflamasi di ruang subarachnoid yang meliputi arachnoid dan pia mater dan pachymeningitis-bila terjadi di daerah dura mater (Underwood 1992). Penyebab meningitis pada neonatal adalah Escerichia coli, Streptococcus beta hemoliticus, Listeria monositogenes (Japardi 2002). Menurut LIorens dan Cracken (2003), meningitis yang disebabkan oleh bakteri berupa meningitis purulen (bernanah). Pada periode neonatal, termasuk bayi prematur hingga bayi berumur 3 bulan, bakteri yang menyerang kebanyakan berasal dari Streptococcus Grup B. Meningitis mencapai puncak kejadian tinggi setelah minggu pertama kelahiran. Selain itu, E.sakazakii juga diketahui sebagai penyebab meningitis. Kejadian meningitis akibat E.sakazakii pada neonatal pun telah dilaporkan sejak lama oleh Muyjen et al dan Smeet et al. dalam Iversen dan Forsythe (2003). Suatu infeksi dapat mencapai otak melalui beberapa kemungkinan di antaranya implantasi langsung setelah luka terbuka kepala misal retaknya tulang tengkorak, perluasan langsung dari infeksi telinga tengah, dan lewat aliran darah (bakteriemia atau sepsis) (Macfarlane et al 2000). Pada periode neonatus, sebagian besar patogen diperoleh melalui kontak dan aspirasi usus serta sekresi traktus genital dari induk selama kelahiran. Neonatus dengan perawatan yang lama dapat juga terekspos multipel patogen nosokomial. Pada bayi dan anak-anak, meningitis biasanya berkembang setelah bakteri berkapsul melakukan kolonisasi pada nasofaring dan tersebar dalam darah (LIorens dan Cracken 2003). Sekali bakteri mampu melakukan adhesi pada permukaan mukosa manusia, maka bakteri tersebut dapat bermultiplikasi kemudian melakukan kolonisasi. Dengan perangkat tubuhnya (surface proteins) yang ada pada umumnya adalah faktor virulensi serta toksin maka bakteri ini akan melakukan penetrasi memasuki pembuluh darah dan beredar mengikuti aliran darah menyebabkan sepsis dan meningitis (Estuningsih dkk 2007). Setelah itu, organisme melakukan penetrasi pada daerah BBB yang mudah terserang, misalnya (pleksus choroid, kapiler cerebral) dan mencapai ruang subarachnoid (LIorens dan Cracken 2003). Apabila infeksi mikroorganisme atau adanya toksin mampu menembus substansi otak maka terjadilah ensefalitis. Encephalitis adalah peradangan substansi otak dengan ciri adanya infiltrasi sel-sel radang perivaskuler (perivasculer cuffing), kerusakan neuron akut sampai kematian neuron yang diikuti dengan adanya gliosis (Macfarlane et al. 2000). Pada pasien yang tidak diberi pengobatan, akan timbul suatu komplikasi berupa kerusakan nervus cranialis, dan hidrocephalus. Biasanya pada CSF akan ditemukan netrofil dan organisme penyebab (Macfarlane et al. 2000), termasuk E.sakazakii yang dapat ditemukan dalam darah maupun CSF (Bowen dan Braden 2008). Sepsis Sepsis adalah penyakit serius yang disebabkan oleh infeksi melalui aliran darah oleh bakteri penghasil toksin (Smith 2006). diakibatkan oleh toksikemia dan shock. Selain itu, sepsis juga Kejadian sepsis dapat terjadi akibat organisme virulen seperti Meningococci, dan Streptococci pyogenes atau kejadian komplikasi dari sindrom shock yang diinisiasi oleh kausa lain khususnya ketika terjadinya gangguan saluran cerna (akibat organisme Coliform). Di samping itu, sepsis juga dapat disebabkan oleh pengobatan ketika mekanisme imun terganggu (Macfarlane et al. 2000). Pada neonatal, mikroba penyebabnya adalah E.coli, Streptococcus spp., Salmonella spp., Pasteurella spp., dan Haemophillus spp (McGavin et al 2007). Kejadian sepsis dapat juga terjadi akibat lanjutan dari meningitis (Anonimus 2008b). Sepsis terjadi ketika bakeri yang berasal dari paru-paru, usus, traktus urinarius, atau vesika urinaria bayi yang terserang menghasilkan toksin yang menyebabkan sistem imun tubuh menyerang organ atau jaringan sendiri (Homeier 2005). Sepsis terjadi pada pasien semua umur dan dapat juga terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, bayi dan anak-anak, dan orang tua (Anonimus 2006b). Akan tetapi lebih sering terjadi pada bayi karena sistem imunnya belum cukup berkembang melawan infeksi besar-besaran. Selain itu, sepsis juga sering terjadi pada orang imunokompromis seperti HIV (Homeier 2005). Gejala klinis dari sepsis antara lain adalah detak jantung lebih dari 90 kali per menit, laju respirasi meningkat, jumlah sel darah putih meningkat atau menurun, serta terjadi demam atau temperatur tubuh rendah (Anonimus 2006b). Interaksi bakteri pada epitel usus melalui protease-activated receptors (PARs) pada enterosit (sel usus) akan mengakibatkan permeabilitas membran meningkat sehingga toksin dari hasil kolonisasi bakteri dapat melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan beredar mengikuti aliran darah, sehingga menyebabkan sepsis (Vergnolle 2008). Kerusakan organ akibat sepsis dari enterotoksin yaitu meningitis pada otak dan medula spinalis, splenitis, juga ditandai dengan gejala klinis pada kerusakan ginjal berupa oligouria/anuria, jaundice pada hati, dan pendarahan gastrointestinal (Griffiths 2008). Sedangkan tanda sepsis secara patologi anatomi adalah adanya peningkatan sel glia, malasia, dan edema pada neurofil otak dan medula spinalis, deplesi, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang pada limpa, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel radang pada usus, serta degenerasi dan nekrosa pada sel hati dan sel epitel tubuli proksimalis ginjal. Kejadian sepsis pada neonatal dan bayi akibat E.sakazakii pernah dilaporkan oleh Simmon et al. dalam Iversen dan Forsythe (2003) sejak tahun 1988. Enterokolitis nekrotican (NEC) Enterokolitis nekrotikan atau Necrotizing Enterocolitis (NEC) merupakan penyakit medis yang sering terjadi pada gastrointestinal neonatus (Springer 2006). NEC dicirikan dengan symptom sistemik seperti apnea, bradycardia, dan temperatur tidak stabil, sepsis shock (Towsend dan Forsythe 2008), kelemahan, dan kolaps kardiovaskular (Springer 2006). Meskipun NEC sering terjadi tetapi penyebabnya tidak diketahui (Springhouse 2003). Walaupun begitu, ada beberapa teori kausatif di antaranya adalah jaringan usus bayi prematur yang diperlemah dengan sangat sedikit oksigen atau aliran darah; ketika dimulainya waktu pemberian makanan, yang ditambah dengan tekanan dari pergerakan makanan melalui intestin memungkinkan bakteri yang tadinya normal menjadi bakteri yang merusak dinding intestin (Anonimus 2007b). Wabah NEC dapat diakibatkan oleh bakteri diantaranya Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Enterobacter cloacae (Towsend dan Forsythe 2008) dan Salmonella (van Acker et al. 2001). Kerusakan dinding usus ini dapat menyebabkan kematian jaringan. Hal ini memacu infeksi serius pada abdomen (Anonimus 2007c). Patogenesis dari NEC berhubungan dengan iskemia usus neonatal, kolonisasi mikrobial di usus dan substrat protein yang berlebihan pada lumen usus (Iversen dan Forsythe 2003). Kolonisasi bakteri pada saluran usus sebagai prasyarat perkembangan NEC, sebagai penyakit yang belum pernah dilaporkan sebelumnya pada neonatus kurang dari 7 hari. Pertahanan usus host yang belum sempurna memungkinkan terjadinya penyimpangan dari kolonisasi bakteri atau tidak mampu menetralisir toksinnya sehingga terjadi translokasi bakteri melewati dinding usus. Hal ini mungkin diakibatkan oleh neonatal yang memiliki laju sekresi asam lambung yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan dewasa, contohnya hipokloridia yang dihubungkan dengan enteritis kolonisasi bakteri di lambung (Blakey et al. dalam Towsend dan Forsythe 2008). Selain itu beberapa faktor lain yang memungkinkan translokasi bakteri pada usus lebih mudah terjadi pada neonatal telah ditulis dalam laporan singkat (Duffy dalam Towsend dan Forsythe 2008) menyatakan bahwa pertahanan usus host yang lemah memungkinkan terjadinya penurunan sekresi asam lambung, penurunan aktivitas enzim proteolitik, motilitas usus sedikit, sekresi IgA berkurang, jumlah sel-T usus yang berkurang, dan peningkatan permeabilitas mukosa usus. Bakteri yang memproduksi toksin yang berhubungan dengan NEC termasuk Clostridia (enterotoksin), dan endotoksin dari bakteri Gram negatif memiliki sitotoksisitas yang kecil tetapi dapat menyebabkan perlukaan jaringan meluas dan toksisitas sitemik melalui aktivasi inflamasi dengan kesimpulan bahwa NEC tidak terjadi akibat organisme tunggal (Towsend & Forsythe 2008). Menurut van Acker et al. (2001) enterokolitis nekrotikan pada neonatal dicirikan oleh nekrosa usus. Kejadian ini memiliki tingkat insidensi 2-5% pada bayi prematur dan 13% pada bayi dengan berat badan <1.5 kg. NEC memiliki mortality rate 10-55%. Lesio Akibat Toksin Pada Hati dan Ginjal Kerusakan sel dapat bersifat sementara atau menetap. Pada kerusakan sementara sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup. Kerusakan seperti ini disebut dengan degenerasi (Carlthon dan McGavin 1995). Kerusakan sel yang menetap mengakibatkan kematian sel. Kematian sel ini disebut dengan nekrosa (Macfarlane et al. 2000). Menurut Harada et al. (1999), degenerasi dibagi menjadi degenerasi granuler, degenerasi hyalin, dan degenerasi hidropis. Degenerasi granuler dicirikan oleh sel hepatosit yang membengkak dan biasa disebut dengan degenerasi berbutir (Harada et al. 1999) yang terjadi diawali dengan rusaknya membran sel akibat toksin, sehingga tekanan osmotik meningkat dan air banyak masuk ke dalam sel. Kerusakan ini selanjutnya menjadi degenerasi hidropis yang dicirikan dengan retikulum endoplasmik menggelembung, ruptur dan membentuk vakuola (McGavin et al. 2007), sedangkan degenerasi hyalin terjadi sebagai hasil bergesernya retikulum endoplasmik ke daerah perinuklear akibat akumulasi air di bawah membran sel. Pada degenerasi hyalin sitoplasma terlihat seperti kaca atau berlubang (Harada et al. 1999). Adapun beberapa faktor yang mengakibatkan kerusakan sel yaitu kekurangan suplai oksigen, agen fisik (trauma, terlalu dingin atau panas, radiasi), agen kimia, toksin, virus, reaksi imunologis abnormalitas, defisiensi nutrisi, abnormalitas genetik (Macfarlane et al.2000). Degenerasi hidropis merupakan keadaan sel ketika sitoplasmanya pucat dan membengkak dalam kaitannya dengan akumulasi cairan. Pada kejadian edema intraseluler yang ringan disebut pembengkakan berawan/keruh, selanjutnya meningkatkan cairan dan membengkaknya organel pada sitoplasma dan berpenampakan seperti bervakuol (Underwood 1992). Hal ini terjadi akibat kegagalan dalam pengaturan homeostasis normal dan meregulasi pemasukan dan pengeluaran air. Mekanisme respon terhadap pembengkakan sel akut (degenerasi hidropis) biasanya melibatkan kerusakan membran sel, kegagalan sel dalam memproduksi energi, gangguan enzim yang meregulasi kanal ion membran. Degenerasi hidropis terjadi sebagai respon kehilangan homeostasis sekunder sel terhadap hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri dan perlukaan bermediasi imun. Patogenesa terjadinya degenerasi hidropis berawal dari hipoksia yang menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga sodium dan air masuk ke dalam sel, potasium keluar sel. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmosis dan menyebabkan banyak air yang mengalir ke dalam sel. Kemudian sisterna rerikulum endoplasmik menggelembung, ruptur, dan membentuk vakuol. Untuk selanjutnya terjadi vakuolisasi meluas dan disebut dengan degenerasi hidropis (McGavin et al. 2007). Sel dengan mitokondria dan membran plasma yang normal apabila terpapar oleh toksin maka akan menyebabkan mitokondrianya membulat dan bermanik-manik menyebabkan granulasi sedangkan membran plasma rusak, berkurangnya ATP dan pompa Na+. Natrium masuk ke dalam sel menyebabkan air mengalir ke dalam sel pula dan pada akhirnya terbentuklah vakuola (Macfarlane et al. 2000). Selain degenerasi hidropis, kerusakan sel juga dapat berupa degenerasi lemak. Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak pada jaringan non adiposa, terutama parenkhim organ, otot kerangka, dan jantung dengan laju metabolik yang tinggi. Masalah esensialnya ialah ketidakmampuan jaringan non adiposa dalam memetabolisme sejumlah lemak yang ada. Sel hati yang telah mengalami degenerasi hidropis menyebabkan kebengkakan sitoplasma termasuk organel selnya. Oleh karena itu, lemak yang ada tidak dapat dimetabolisme oleh sel hati yang telah rusak sehingga terjadilah akumulasi lemak di dalamnya. Penyebab dari degenerasi lemak yaitu keracunan sel seperti bakteri dan bahan kimia (kloroform dan alkohol); serta gangguan klinis seperti anoksia karena anemia, gagal jantung dan penyakit respirasi, diabetes melllitus, dan malnutrisi kronis (Macfarlane et al. 2000) Toksin yang menyerang jaringan non adiposa akan menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim seluler kemudian menyebabkan jaringan/ organ (misalnya hati) tidak mampu memetabolisme lemak yang ada dan terjadilah akumulasi lemak pada sel. Akumulasi lemak akibat toksin akan terlihat di sekitar suplai darah aferen (vena portal dan arteri hepatica). Alkohol yang biasa digunakan dalam pembuatan preparat akan menyebabkan lemak larut dan dalam pengamatan mikroskopis diindikasikan oleh vakuola yang jelas (Macfarlane et al. 2000). Organ yang mengalami degenerasi lemak akan membesar, pucat dan memiliki konsistensi seperti berminyak (Underwood 1992). Apabila tidak terjadi proses persembuhan sel maka sel yang rusak akan menyebabkan kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa (Cheville 1999). Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999). METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2007 sampai dengan Juni 2008. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dua puluh ekor anak mencit (Mus musculus) umur 6-8 hari, pakan mencit yang diformulasi dan dibuat di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB dan telah diradiasi dengan kekuatan 10 KGray di BATAN Jakarta Selatan, air minum (AQUA®), enterotoksin Enterobacter sakazakii murni (+ dan -), dan enterotoksin yang dipanaskan (yang didapat dari hasil penelitian uji sitotoksik Enterobacter sakazakii isolat asal makanan dan susu bayi pada sel lestari vero), Tryptic Soy Broth (TSB), antibiotik (Amoxicilin®dan Ciprofloxacin®), anthelmentik (Albendazol®), alkohol 70% sebagai larutan pensuci hama, ether, buffer neutral formalin (BNF) 10%, NaCl fisiologis, aquades, Hematoxylin Eosin (HE), parafin cair, xilol alkohol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, alkohol absolut) untuk tahap dehidrasi dalam pembuatan preparat histopatologi, albumin dan metanol. Alat-alat yang digunakan untuk membuat isolasi enterotoksin adalah inkubator 370C, öse, bunsen, cawan petri, erlenmeyer ukuran 250 ml, vortex, autoclave, laminar air flow, pipet ukur steril 10 ml dan 5 ml, cold centrifuge, tabung sentrifus ukuran 50 ml dan 15 ml, filter (Syirifil® 0,02 μm), water bath, rak sentrifus, tabung penyimpan untuk alikuasi filtrat bakteri, freezer dan refrigator, dan shacker incubator. Alat-alat lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit, kertas label, sekam kering, botol kaca 250 ml sebagai wadah air minum, tisu gulung, kapas, timbangan digital, spoit 1ml, sonde lambung Knopfkanüle buatan Jerman, lemari pendingin, aluminium foil, stiroform sebagai alas nekropsi, cawan petri, anaerobic jar, gunting kecil, pinset, scalpel, sarung tangan lateks, masker, lup elektrik (kaca pembesar), hand tally counter, tissue cassette, pensil dan penghapus, automatic tissue processor, mikrotom, pencetak parafin, parafin console, gelas objek, penutup gelas objek, mikroskop cahaya dan alat-alat fotomikroskop. Metode Penelitian Adaptasi dan Perbiakan Mencit dalam Kandang : Mencit yang digunakan sebagai induk sebanyak sepuluh ekor mencit betina dewasa dan dua ekor mencit jantan umur 6 minggu. Mencit dimasukkan ke dalam kandang modifikasi dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, tinggi 12 cm dengan alas sekam dan tutup kandang terbuat dari kawat yang tidak melukai mencit dengan suhu ruangan. Selain itu, kandang yang digunakan harus dibersihkan dua kali seminggu untuk menjaga kesehatan mencit. Mencit betina dan jantan dikandangkan secara terpisah dan diberi label tiap kandangnya. Ventilasi ruang dialirkan udara dengan menggunakan exhaust fan. Mencit diberi makan dan minum secara ad libitum (10 gram/hari/ekor). Adaptasi dilakukan selama satu minggu. Setelah adaptasi, mencit diberi anthelmentik (satu kali dalam seminggu) berupa Albendazole® 5% sebanyak 1 ml/mencit dewasa serta 0.5 ml/mencit anakan , dan antibotik (Amoxicilin® dengan dosis 125 mg/25 kgBB diberikan selama 5 hari berturut-turut sebanyak 0.8 ml/mencit dewasa/hari serta 0.4 ml/mencit anakan/hari dan mencit diistirahatkan selama tiga hari. Kemudian Ciprofloxacin® dengan dosis 100mg/kgBB diberikan selama 5 hari berturut-turut sebanyak 1 ml/mencit dewasa/hari serta 0.5 ml/mencit anakan/hari), secara peroral dengan menggunakan sonde lambung. Pembiakan mencit dilakukan dengan metode perkawinan poligami dengan membagi dua belas ekor mencit menjadi dua kandang. Masing-masing kandang berisi lima ekor mencit betina dan satu ekor mencit jantan. Ketika mencit betina mulai terlihat bunting, mencit tersebut dipisahkan/dikeluarkan dari kelompok perkawinan dengan kandang tersendiri. Setelah mencit melahirkan, anak mencit tersebut dibiarkan tetap menyusu dengan induknya masing-masing dan dipisahkan tiap indukan dan kelompok anak dalam satu kandang sampai berumur kurang lebih satu minggu dan siap untuk diberi enterotoksin E.sakazakii serta untuk anak mencit sebagai kontrol diberi NaCl fisiologis peroral. Isolasi Enterotoksin: Enterotoksin yang dipakai dalam penelitiaan ini diperoleh dari hasil penelitian uji sitotoksik Enterobacter sakazakii isolat asal makanan dan susu bayi pada sel lestari Vero (Grecilia 2008). Metode isolasi enterotoksin dalam penelitian ini mengikuti metode yang dilakukan oleh Pagotto et al. (2003). Isolat E.sakazakii yang merupakan koleksi penelitian Estuningsih dkk (2007) disimpan dalam bentuk liofilisat, oleh karena itu isolat bakteri tersebut harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Penumbuhan isolat bakteri dilakukan dengan cara mengeluarkan botol liofilisat bakteri dari refrigator kemudian botol tersebut didiamkan pada suhu ruang selama ± 1 jam agar suhunya sesuai. Botol tersebut dibuka segelnya dan ditambahkan 1 ml TSB pada masingmasing botol, lalu dihomogenkan hingga liofilisat terlarut selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 6 jam. Sebanyak 1ml suspensi E.sakazakii dari liofilisat ini dipindahkan ke dalam larutan media TSB 200 ml dalam Erlen Meyer 250 ml dengan menggunakan mikropipet, kemudian suspensi bakteri diinkubasi lagi dalam Shaker incubator dengan suhu 37 0C dan kecepatan 48 goyangan per menit selama 24 jam (sehari semalam). Keesokan harinya hasil pertumbuhan bakteri diperiksa kemudian disentrifus dengan kecepatan 4500 rpm selama 30 menit pada suhu 4 0C untuk mendapatkan supernatan yang diduga mengandung enterotoksin E.sakazakii. Supernatan ini dipisahkan menjadi dua bagian sama rata serta diletakkan dalam tabung sentrifus. Satu bagian dipanaskan sampai mendidih selama 20 menit dan sebagian lainnya difiltrasi dengan filter 0,02 μm. Supernatan inilah yang disebut dengan enterotoksin murni (+ dan -) dan enterotoksin yang dipanaskan sebagai bahan pengujian. Pemberian Enterotoksin E.sakazakii : Anak mencit yang dibutuhkan dalam pengujian ini adalah anak mencit yang berumur 6-8 hari yang kemudian dibagi dalam empat kelompok berdasarkan jenis enterotoksin E.sakazakii, yaitu lima ekor untuk pengujian terhadap enterotoksin murni (E+), lima ekor untuk pengujian terhadap enterotoksin negatif (E-), lima ekor untuk pengujian terhadap enterotoksin yang dipanaskan (Ep), dan tiga ekor yang diberi NaCl fisiologis sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya, masing- masing mencit ditimbang terlebih dahulu kemudian dilakukan pemberian enterotoksin E.sakazakii dan pemberian NaCl fisiologis, diaplikasikan secara peroral dengan menggunakan catheter steril sebanyak 0.1 ml/ekor mencit, seperti tampak pada Gambar 14. Gambar 14. Pemberian enterotoksin pada mencit neonatus (mn) menggunakan kateter (k). Pengamatan terhadap setiap pengujian dilakukan pada tiga hari pascainfeksi. Apabila di antara anak mencit yang diujikan tersebut ada yang mati maka segera dilakukan nekropsi untuk mencegah membusuknya organ visceral anak mencit tersebut. Nekropsi dilakukan dengan cara membuka kulit serta abdomen sepanjang (longitudinal) bagian hypogastricum hingga ke daerah dagu sampai daerah thoraks dan abdomen juga terbuka. Selain itu, dilakukan pembukaan bagian kepala yaitu membuka tengkorak dengan hati-hati dari atas bagian leher belakang ke arah atas dan dari leher belakang ke arah telinga kiri dan kanan (jangan sampai bagian otak terkoyak/ rusak) sehingga BNF 10% dapat masuk ke bagian otak. Apabila dari beberapa anak mencit ternyata tidak ada yang mati hingga waktu maksimum pengamatan, maka anak mencit tersebut dieuthanasi dengan cara memasukkannya ke dalam anaerobic jar yang diberi ether. Selanjutnya, dilakukan nekropsi dengan metode yang sama. Anak mencit yang telah dinekropsi (baik dari kelompok infeksi maupun kelompok kontrol), dimasukan dalam kantong plastik transparan berisi larutan BNF 10% yang telah diberi label sesuai masing-masing kelompok secara terpisah yaitu satu kantong satu mencit dan dibiarkan selama kurang lebih satu minggu. Kantong-kantong ini kemudian digantung supaya larutan BNF 10% merata dalam merendam seluruh bagian tubuh anak mencit dan diberi kasa sebagai pemberat supaya anak mencit tenggelam dalam larutan BNF 10%. Hal ini dilakukan supaya organ-organ yang digunakan untuk pengamatan histopatologi matang dan siap untuk diproses menjadi preparat histopatologi. Pembuatan Preparat Histopatologi : Anak mencit yang telah difiksasi selama satu minggu dalam larutan BNF 10% selanjutnya dipotong menjadi bagian-bagian kecil (trimming) agar lebih fokus pada organ-organ penting yang akan diamati. Tubuh mencit dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama yang dipotong adalah kepala dengan memotong ujung rahangnya terlebih dahulu untuk membuang bagian gigi karena gigi mencit mampu menumpulkan pisau pemotong blok parafin beku. Kepala mencit dipotong longitudinal menjadi dua bagian simetris kemudian pilih setengah bagian otak. Setengah bagian ini selanjutnya dipotong lagi menjadi dua bagian yang lebih kecil dengan ketebalan kira-kira 0.5 cm lalu dimasukkan ke dalam tissue casset. 2 3 4 5 1 Gambar 15. Lokasi pemotongan anak mencit yang akan ditrimming Potongan kedua dilakukan tepat di belakang tangan (organ jantung, timus, dan paru-paru), potongan ketiga dilakukan di bagian epigastrikum (mencakup organ hati), potongan keempat (lambung dan limpa) dilakukan di bagian mesogastrikum dan potongan kelima (organ usus dan ginjal) dilakukan di bagian hipogastrikum, sebelum kaki belakang. Organ-organ seperti otak, lambung, limpa, usus dan ginjal dimasukkan ke dalam satu tissue cassette karena konsistensi organ sama. Dengan demikian, satu mencit memerlukan dua buah tissue cassette yang masing-masing tissue cassette diberi tanda dengan menggunakan pensil “A atau B”. Selanjutnya tissue cassette direndam di dalam wadah tertutup berisi BNF 10% selama satu sampai dua hari. Tahapan berikutnya dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat secara berturut-turut (70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, absolut II), xilol I, xilol II, dan parafin I dan parafin II dalam automatic tissue processor selama 18 jam dengan tiap bahan direndam selama dua jam secara otomatis dalam tissue processor. Jaringan dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair. Letak jaringan diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh, lalu dibiarkan sampai parafin mengeras. Jaringan diusahakan berada di tengah supaya mendapatkan hasil yang bagus saat pemotongan bentuk sediaan. Blok parafin dipotong setebal 5 m dengan menggunakan mikrotom. Dengan menggunakan pinset hasil potongan yang berbentuk pita panjang dan tipis ini kemudian diletakkan di atas permukaan air hangat 450C. Hal ini bertujuan agar lipatan pada potongan dapat diluruskan kembali. Kemudian dengan sangat hati-hati, angkat potongan ke gelas objek yang telah diberi albumin perekat. Sediaan ini kemudian dikering udara dan diinkubasi pada suhu 600C selama 24 jam agar parafin lunak dan jaringan melekat kuat di gelas objek. Sediaan dimasukkan ke dalam xylol dua kali selama 2 menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% dengan waktu masing-masing dua menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang sudah kering diberi pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan Lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna Eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama satu menit, dan xylol II selama dua menit. Sediaan dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekat permount melekat dengan penutup dan dibiarkan kering. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya. Parameter Pengamatan Histopatologi : Pengamatan histopatologi dilakukan di bawah mikroskop cahaya dan khusus hati dan ginjal menggunakan microphotography apparatus. Kedua mikroskop ini menggunakan pembesaran lensa okuler 10x dan lensa objektif 40x (400x) untuk melihat respon jaringan tubuh. Luas lapang pandang adalah 13x15,5μm2. Pengamatan pada usus halus dan usus besar dilakukan dengan dua data yaitu data kuantitatif, dengan menghitung jumlah sel radang pada usus sebagai respon peradangan akibat pemberian enterotoksin E. sakazakii. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang untuk usus halus dan lima lapang pandang untuk usus besar pada setiap mencit neonatus sedangkan data kualitatif diperoleh melalui skoring deskuamasi epitel pada usus halus dan usus besar. Adapun kriteria skoring deskuamasi epitel (nilai skoring pada Lampiran 3) dalam pembesaran 200x yang digunakan, yaitu: 0 : normal, tidak terjadi deskuamasi epitel 1 : ringan, deskuamasi epitel terjadi 33% dari lapang pandang 2 : sedang, deskuamasi epitel terjadi sampai 66,67 % lapang pandang 3 : berat, deskuamasi epitel sampai 99 % lapang pandang. Pengamatan pada otak dan medula spinalis dilakukan dengan menghitung jumlah sel mikroglia setiap mencit neonatus melalui pengamatan pada 10 lapang pandang untuk serebrum dan 5 lapang pandang untuk medula spinalis. Pengamatan pada limpa terdiri dari dua data yaitu data kuantitatif dengan menghitung jumlah folikel limfoid dan jumlah megakaryosit pada sepuluh lapang pandang. Data kualitatif dilakukan skoring tingkat deplesi folikel limfoid, infiltrasi PMN, dan protein radang pada 10 lapang pandang di setiap mencit neonatus. Adapun kriteria skoring yang digunakan, sebagai berikut: Deplesi (pada Lampiran 3) 0 : tidak terjadi deplesi, normal, sel kompak 1 : deplesi ringan, sampai 33.33 % lapang pandang 2 : deplesi sedang, sampai 66.67 % lapang pandang 3 : deplesi berat, sampai 99% lapang pandang. Infiltrasi sel radang (pada Lampiran 3) 0 : jumlah sel radang normal 1 : jumlah sel radang sedikit 2 : jumlah sel radang sedang 3 : jumlah sel radang banyak. Protein radang (pada Lampiran 3) 0 : tidak ada protein radang, normal 1 : protein radang sedikit, sampai 33.33 % lapang pandang 2 : protein radang sedang, sampai 66.67 % lapang pandang 3 : protein radang banyak, sampai 99% lapang pandang Parameter pengamatan pada organ hati dan ginjal ialah degenerasi hidropis dan degenerasi lemak akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii. Pengamatan dilakukan dengan menghitung sel yang mengalami degenerasi sebanyak sepuluh lapang pandang. Analisis Data Data histopatologi yang didapatkan sebagai data kuantitatif dianalisis secara statistik dengan menghitung perubahan organ yang terjadi seperti jumlah sel radang usus, jumlah sel glia pada serebrum dan medula spinalis, jumlah folikel limfoid, megakaryosit dan jumlah degenerasi sel tubuli ginjal dan hati melalui uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Nilai kuantitatif ditunjukan dalam bentuk Mean ± Standard Deviation sedangkan data kualitatif berupa skor seperti deskuamasi epitel usus, PMN, deplesi dan deposisi protein radang dianalisis memakai uji Kruskal-Walllis. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologis Organ Usus Usus kecil dan usus besar dapat bertindak sebagai barrier penting atau rute masuknya makanan atau terhirupnya dan tertelan toksikan atau zat karsinogenik. Bila toksikan atau bahan karsinogenik mencapai usus melalui rute peroral atau sirkulasi enterohepatik, maka biotranformasi dan aktivasi atau deaktivasi dari bahan ini dapat terjadi (Schakelford dan Elwell 1999). Pemberian enterotoksin dapat mengakibatkan sel epitel usus mati sehingga memacu terjadinya peradangan. Struktur mukosa intestin dapat berubah akibat proses patologi seperti enteritis iskemia dan enterokolitis nekrotikan yang ditandai dengan vili yang tumpul atau hilang (King 2007). Oleh karena itu, yang menjadi parameter perubahan histopatologi pada usus akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii adalah infiltrasi sel radang dengan menghitung sel radang dan penentuan skoring deskuamasi epitel . Infiltrasi Sel Radang Pemberian enterotoksin E. sakazakii pada mencit neonatus menyebabkan vili usus lebih pendek dan patah (deskuamasi epitel), dan edema pada lamina propria. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), inflamasi akut di usus akan menyebabkan terjadinya udema di lamina propia. Vili usus yang mengalami deskuamasi epitel dan udema lamina propria menjadi rapuh atau hancur. Deskuamasi epitel usus ini akan menjadi kemotaktik faktor hadirnya sel radang. Pada inflamasi akut, terjadi infiltrasi leukosit dalam jumlah yang sedikit dan didominasi oleh neutrofil. Adapun hasil pengamatan yang telah dianalisa dengan ANOVA dan uji Duncan seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil Perhitungan Rataan Jumlah Sel Radang Pada Usus Kelompok Rataan jumlah sel radang Usus halus 9.0±4.5a 35.4±12.3b 31.6±8.0b 27.2±1.2b Kontrol (K) Enterotoksin + (E+) Enterotoksin – (E-) Enterotoksin panas (EP) Usus besar 8.2 ±6.95a 24.9±21.6ab 33.7±3.2b 25.4±5.9ab Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Perbandingan jumlah sel radang pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan enterotoksin positif, negatif dan enterotoksin panas, dapat dilihat dari histogram batang berikut (Gambar 16). rataan jumlah sel 40 35 Rataan Jumlah Sel Radang usus halus 30 Rataan Jumlah Sel Radang usus besar 25 20 Kelompok: K : Kontrol E+ : Enterotoksin + E- : Enterotoksin – Ep : Enterotoksin panas 15 10 5 0 K E+ E- EP kelompok Gambar 16. Histogram perbandingan jumlah sel radang pada kelompok kontrol dan perlakuan Dari tabel dan histogram di atas, didapatkan hasil penghitungan jumlah sel radang di lamina propria usus halus pada semua kelompok perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05). Dilihat dari jumlah sel radang, kelompok perlakuan E+ lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan E-, Ep dan kelompok K. Dari hasil pengamatan ini dapat dilihat bahwa enterotoksin yang mengalami pemanasan terlebih dahulu masih memiliki kemampuan dalam merangsang hadirnya sel radang artinya enterotoksin E.sakazakii memiliki sifat tahan panas dan mungkin memiliki sifat destruktif sehingga mampu menyebabkan infiltrasi sel radang. Pada usus besar, E- mampu menghadirkan sel radang yang secara statistik berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam suspensi enterotoksin negatif masih terdapat bahan yang bukan enterotoksin sebagai faktor patogen lain yang mungkin terbawa pada saat preparasi enterotoksin seperti elastase, glikopeptida, endotoksin, kolagenase dan protease (Pagotto et al. 2008). Selain itu, kemungkinan reseptor untuk bahanbahan yang terkandung dalam enterotoksin negatif tersebut terletak pada usus besar. Sedangkan, kelompok perlakuan enterotoksin positif dan enterotoksin yang dipanaskan juga memiliki perbedaan dengan kontrol tetapi tidak signifikan. Pada usus halus terlihat adanya lesio peradangan akibat pemberian E+, Edan Ep dengan melihat adanya kecenderungan peningkatan jumlah sel radang, vili usus yang pendek, adanya deskuamasi epitel, edema di lamina propria, dan kongesti pembuluh darah. Pada usus besar, hanya terjadi peningkatan jumlah sel radang. Oleh karena itu, kemungkinan pada usus besar terjadi lesio peradangan yang lebih ringan dibandingkan dengan usus halus. Gambar 17. Usus halus kontrol yang mengalami deskuamasi epitel (DE), edema (E), dan infiltrasi sel radang (SR) yang terjadi secara fisiologi. Keterangan: lumen (L), epitel (E), lamina propria (LP), dan tunika muskularis (TM). Pewarnaan HE. Gambar 18. Usus halus perlakuan E(+) yang mengalami edema, deskuamasi epitel (DE) dan terdapat infiltrasi sel el radang (SR) pada lamina propria. Gambar 19. Usus besar perlakuan E(+) dengan epitel yang utuh (E) dan terdapat infiltrasi sel radang (SR) di lamina propria (LP). Keterangan: tunika muskularis (TM). Meskipun pada kelompok kontrol terlihat adaya infiltrasi sel radang namun hal ini tidak termasuk ke dalam keadaan patologis (Gambar 17) karena dalam keadaan normal, pada lamina propria dapat ditemukan sejumlah sel limfosit, sel plasma, netrofil dan sel mast (Shackelford and Elwell 1999). Pada kelompok perlakuan (Gambar 18), adanya infiltrasi sel radang merupakan respon tanggap kebal terhadap zat toksik yang masuk ke dalam tubuh dan merupakan reaksi patofisiologis untuk melawan segala bentuk agen yang merugikan. Kehadiran sel radang ini menunjukan bahwa enterotoksin E.sakazakii mampu menyebabkan terjadinya suatu peradangan pada usus yang merangsang sumsum tulang melepaskan sel radang (netrofil, limfosit dan makrofag). Menurut Ganong (2002) invasi bakteri ke dalam tubuh akan mencetuskan respon peradangan. Interaksi produk bakteri (toksin) dengan faktor-faktor plasma dan sel menghasilkan zat kemotaksis yang menarik netrofil ke daerah peradangan. Cheville (1999) menyatakan bahwa inflamasi akut menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas endotelium pembuluh darah. Hal ini akibat dari efek kompleks dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya, yang secara langsung menstimulan pengaktifan endotelium dan leukosit. Netrofil dan monosit menjadi aktif dan segera mengekspos spektrum baru reseptor dan melakukan adhesi pada molekul permukaannya. Perlekatan ini pertama terjadi peralihan kemudian menyebabkan leukosit menggelinding di sekitar permukaan endotelium. Leukosit mulai menempel kuat pada endotelium dan kemudian dengan cepat keluar melalui celahdinding vaskular. Selanjutnya, monosit memfagosit dan mengimobilisasi agen penyebab. Deskuamasi Epitel Enterotoksin E.sakazakii selain menyebabkan peradangan pada usus, dapat pula menimbulkan respon lain seperti yang terjadi pada epitel usus berupa deskuamasi epitel atau terlepasnya epitel usus dari vili usus baik pada usus halus maupun usus besar (King 2007). Hal ini dapat dilihat dari tabel pengamatan deskuamasi epitel pada masing-masing kelompok di bawah ini (tabel 4 dan 5). Hasil jumlah epitel yang mengalami deskuamasi dianalisa dengan metode Kruskal-Wallis. Tabel 4. Hasil Pengamatan Deskuamasi Epitel Usus Halus Perlakuan N K E+ EEP Total 3 5 5 5 18 Mean X2hit Rank 5.0 12.4 8.4 3.994 10.4 Db 3 X2tabel 7.815 Asymp. Sig Ket 0.262 (terima H0) tidak ada perlakuan yang berbeda nyata Tabel 5 Hasil Pengamatan Deskuamasi Epitel Usus Besar Perlakuan N K E+ EEP Total 3 5 5 5 18 Mean Rank 11.3 9.6 8.0 9.8 X2hit 1.815 db 3 X2tabel 7.815 Asymp. Sig Ket 0.612 (terima H0) tidak ada perlakuan yang berbeda nyata Dari tabel 4 dan 5, dapat dilihat tidak ada perlakuan dari tiap kelompok yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (X2hit < X2tabel ) baik usus halus maupun usus besar. Akan tetapi pada usus halus, meskipun dari analisis statistik dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis tidak ada kelompok perlakuan yang berbeda nyata dengan kontrol, tetapi terlihat adanya kecendrungan perbedaan skor epitel usus halus yang mengalami deskuamasi. Sedangkan pada usus besar, terjadi penurunan skor epitel usus yang mengalami deskuamasi. Hal ini terjadi, diperkirakan karena usus halus merupakan organ yang pertama kontak dengan enterotoksin dan mungkin reseptor terbanyak berada pada usus halus. Oleh karena enterotoksin yang digunakan tidak diukur kadarnya atau kandungannya maka diperkirakan deskuamasi epitel usus yang terjadi akibat dari konsentrasi enterotoksin yang diberikan per oral mungkin terlalu rendah serta jumlah suspensi toksin sedikit sehingga respon terhadap adanya enterotoksin pada usus halus masih dapat dilawan oleh sistem imun tubuh. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Lu (1995) yaitu mekanisme yang paling memungkinkan mengenai cara toksikan mempengaruhi organ tertentu pada dasarnya adalah lebih pekanya organ, atau lebih tingginya kadar bahan kimia atau metabolitnya di organ sasaran. Kadar yang lebih tinggi itu dapat meningkat pada berbagai keadaan (Lu 1995). Selain itu, karena usus besar berfungsi dalam mengabsorpsi cairan dan elektrolit maka enterotoksin tidak diserap oleh usus besar akibatnya lesio yang terjadi pada usus besar lebih ringan dibandingkan dengan usus halus. Pada kelompok kontrol, deskuamasi epitel usus besar tampak lebih tinggi. Hal ini diperkirakan karena pengamatan bersamaan dengan proses fisiologis pelepasan dan pergantian epitel usus tersebut. Secara fisiologis epitel yang lama akan terlepas akibat apoptosis dan nekrosa kemudian epitel tersebut akan diganti yang baru dengan jalan deskuamasi (Ganong 2002). Pada usus besar, kadar E(+), E(-), dan Ep yang diberikan tidak menyebabkan sel epitel usus hancur/ lisis meskipun tetap melukai dinding usus yang terbukti dengan hadirnya sel radang. Struktur enterotoksin LTs memiliki satu polipeptida A dan lima polipeptida B (Pohland et al. 1990). Mekanisme enterotoksin dalam merusak organ target dengan cara rantai A menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan dengan permukaan sel. Setelah rantai B berikatan dengan permukaan reseptor (adhesi), toksin masuk ke dalam sel melalui receptor-mediated endocytosis. Pembelahan molekul selanjutnya memungkinkan pecahan rantai A mengeluarkan efek toksinnya. Selanjutnya sel akan lisis akibat adanya eksotoksin yang terlokalisasi dan beragregat pada membran untuk membentuk protein kompleks (Cheville 1999). Mekanisme ini menyebabkan respon terhadap organ sasaran dan salah satunya ialah deskuamasi epitel usus. Deskuamasi epitel ini didahului dengan terlepasnya ikatan antar sel epitel penutup usus akibat pemberian enterotoksin yang bersifat sitolitik yang menyebabkan terbukanya tight junctions sel sehingga terjadinya deskuamasi epitel tersebut. Kondisi ini terjadi pada uji in vitro dengan ditunjukkan adanya sitolisis yang menyebabkan terlepasnya epitel sel lestari Vero dari permukaan media kultur pada uji sitotoksik enterotoksin E.sakazakii (Grecilia 2008). Selain deskuamasi terjadi juga pemedekan pada vili usus dan terjadi edema pada lamina propria. Dengan demikian, dari hasil yang didapatkan menunjukan bahwa pemberian enterotoksin secara per oral baik enterotoksin murni, enterotoksin negatif, dan enterotoksin yang dipanaskan mampu menyebabkan perubahan terhadap usus halus yaitu enteritis dan deskuamasi epitel sedangkan pada usus besar hanya menyebabkan enteritis ringan. Perubahan Histopatologis Organ Otak dan Medula Spinalis Mikroglia merupakan sel yang berasal dari mesodermal yang bermigrasi ke susunan saraf pusat (SSP) ketika tervaskularisasi secara embriologik. Pada otak yang mengalami kerusakan (misalnya meningitis), mikroglia dapat berubah menjadi makrofag dengan keberadaan antigen dan memiliki kemampuan memfagosit (Delmann dan Eurell 1998) dan ketika sitoplasmanya menjadi bengkak oleh material fagositosis, mikroglia disebut sebagai sel Gitter, atau foam cell (Radovsky dan Mahler 1999). Oleh karena itu, dari pengamatan perubahan histopatologis organ otak dan medula spinalis yang menjadi parameternya adalah kejadian gliosis pada substansi grisea/abu-abu dengan membandingkan sel glia pada otak dan medula spinalis mencit kontrol dan perlakuan. Pemberian enterotoksin pada organ otak dan medula spinalis mengakibatkan munculnya lesio seperti edema neurofil, kongesti pada submeningen, kerusakan neuron, terjadi pula perivaskular cuffing dan peningkatan sel glia (gliosis). Adapaun hasil pengamatan histopatologis pada otak ditemukan perbedaan jumlah mikroglia pada berbagai perlakuan dan kontrol. Hasil perhitungan jumlah sel glia (mikroglia) dianalisa dengan ANOVA dan uji Duncan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil perhitungan rataan jumlah sel glia pada serebrum dan medula spinalis mencit neonatus yang diberi enterotoksin per oral. Kelompok Kontrol (K) Enterotoksin + (E+) Enterotoksin – (E-) Enterotoksin panas (EP) Rataan jumlah sel glia Serebrum Medula spinalis 34.6±7.5a 41.9±6.16a 50.7±10.9b 59.4±5.01b b 51.6±8.0 51.3±15.4ab 29.5±4.8a 47.5±4.19ab Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Perbandingan rataan jumlah sel glia pada serebrum dan medula spinalis kelompok kontrol, kelompok perlakuan enterotoksin positif (E+), enterotoksin negatif (E-), dan enterotoksin dipanaskan (EP) juga disajikan dalam histogram berikut (Gambar 20). rataan jumlah sel 60 50 Rataan Jumlah Sel Glia Cerebrum 40 Rataan Jumlah Sel Glia Medula spinalis 30 Kelompok: K : Kontrol E+ : Enterotoksin + E- : Enterotoksin – Ep : Enterotoksin panas 20 10 0 K E+ E- EP kelompok Gambar 20. Histogram perbandingan jumlah sel glia serebrum dan medula spinalis Dari tabel dan gambar di atas, dapat dilihat bahwa jumlah sel mikroglia di serebrum pada kelompok perlakuan pemberian enterotoksin positif dan negatif berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0,05). Sedangkan, pada kelompok perlakuan pemberian enterotoksin panas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol (p>0,05). Pada medula spinalis, data jumlah sel mikroglia menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada semua kelompok perlakuan baik kelompok perlakuan enterotoksin positif, negatif, maupun enterotoksin yang telah dipanaskan. Perbedaan jumlah ini akibat aktivitas dari mikroglia dalam memfagositosis dan berproliferasi sebagai respon terhadap berbagai kerusakan otak (Radovsky dan Mahler 1999). Pada kelompok perlakuan yang berupa pemberian enterotoksin positif dan negatif baik pada serebrum maupun medula spinalis terjadi penambahan sel mikroglia sebagai respon terhadap lesio di serebrum. Peningkatan jumlah mikroglia ini menunjukan adanya respon inflamasi serebrum akibat pemberian enterotoksin yang menyebabkan teraktifasinya mikroglia dan bermigrasi ke daerah inflamasi untuk memfagosit neuron yang rusak. Respon peradangan akibat pemberian enterotoksin negatif ini mengindikasikan adanya faktor virulen lain selain enterotoksin yang terbawa seperti elastase, glikopeptida, endotoksin, kolagenase, dan protease. Beberapa faktor ini dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas BBB, sehingga bahan patogen tersebut mampu mencapai otak dan mengakibatkan meningitis. Sedangkan pada kelompok perlakuan pemberian enterotoksin yang telah mengalami pemanasan terlebih dahulu, jumlah sel mikroglia di serebrum lebih sedikit dibandingkan pada kelompok pemberian enterotoksin positif dan negatif. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya sifat toksik enterotoksin yang dipanaskan terhadap sel di serebrum. Beberapa publikasi menyatakan bahwa enterotoksin tidak tahan panas pada temperatur di atas 600C selama 10 menit (enterotoksin labile toxin). Namun ada juga beberapa pendapat yang menyatakan bahwa E.sakazakii sangat toleran terhadap panas (stabile toxin). Sebagai contohnya pada medula spinalis, sifat toksik dari enterotoksin yang dipanaskan tetap ada, terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah sel mikroglia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ketidakseragaman hasil yang terjadi dapat disebabkan oleh respon peradangan pada masing-masing mencit neonatus berbeda. Misalnya, mencit neonatus yang diinfeksikan enterotoksin E.sakazakii (baik yang positif maupun negatif) merupakan mencit yang mengalami imunosupresi dan berat badan yang rendah akan mengalami lesio yang lebih parah dibandingkan mencit neonatus dengan berat badan yang sedang dan tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa medula spinalis lebih peka terhadap toksin yang dipanaskan. Gambar 21. Meningen serebrum yang normal pada mencit kontrol. Keterangan : meningen normal (m) dan sel glia (g). Pewarnaan HE. Gambar 22. Meningen serebrum perlakuan E (+) yang mengalami meningitis (Mt), edema neurofil (Ed), perivaskuler cuffing (PC), malacia (MC), neuron yang mati (N) yang sedang difagosit oleh sel glia dan peningkatan sel glia (G). Pewarnaan: HE Gambar 23. Meningen medulla spinalis perlakuan E(-) yang mengalami edema neurofil (ED) serta peningkatan sel glia (g). Pewarnaan HE. Lesio pada otak dan medula spinalis akibat pemberian enterotoksin ini dapat mengarah pada meningitis tetapi lesio yang terjadi tidak menunjukkan kerusakan yang hebat seperti yang terjadi pada bayi neonatus. Hal ini diakibatkan oleh pemberian enterotoksin pada mencit neonatus dilakukan secara per oral sehingga menyebabkan adanya kemungkinan toksin terdegradasi oleh enzim-enzim pencernaan dan bahan bioaktif lain di saluran cerna misalnya P-450 dan NADPH sitokrom P-450 reduktase (Lu 1995). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh konsentrasi toksin yang terlalu rendah dan jumlah suspensi toksin yang sedikit (0,1 ml). Kemungkinan lesio hebat pada serebrum dan medula spinalis akan timbul ketika pemberian suspensi toksin yang dilakukan beberapa kali dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Perubahan Histopatologis Organ Limpa Limpa merupakan organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk melalui darah (Junqueira dan Carneiro 1982). Infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah ini dapat mengarah terhadap terjadinya sepsis (Smith 2006). Adanya rangsangan dari antigen atau partikel asing ini akan menginduksi terjadinya perubahan folikel primer menjadi germinal center (Ward et al. 1999) dan berlanjut menjadi folikel sekunder (Tizard 2004). Lesio pada limpa akibat pemberian enterotoksin terjadinya degenerasi dan nekrosa pada sel limfoid, infiltrasi sel radang, deposisi protein radang, peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit. Parameter pengamatan kuantitatif perubahan histopatologis organ limpa yaitu jumlah folikel limfoid dan megakaryosit (Gambar 24). Gambar 24. Limpa kontrol dengan folikel limfoid yang kompak. Keterangan : folikel limfoid (FL), dan megakaryosit (Mg). Pewarnaan HE. Pengamatan kualitatif berupa deplesi folikel limfoid, deposisi protein radang, dan infiltrasi PMN, diamati sebagai tanda peradangan limpa yang mewakili kondisi sepsis (Tabel 8, Gambar 25 dan 26). Gambar 25. Limpa perlakuan E(-) yang mengalami deplesi folikel limfoid (DP), dan terdapat deposisi protein radang (PR). Keterangan: megakaryosit (MK). Pewarnaan: HE. Gambar 26. Sel limfoid limpa yang mengalami nekrosa dengan inti piknosis (P), karyorexis/pecah(R) dan inti menghilang/karyolisis (L), serta terjadi infiltrasi netrofil (PMN), dan deposisi protein radang (PR). Pewarnaan: HE. Adapun hasil perhitungan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit dapat dilihat pada Tabel 7. Selain itu data kualitatif seperti infiltrasi PMN, deplesi dan deposisi protein radang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 7. Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada limpa mencit neonatus yang diberi enterotoksin per oral. Kelompok Rataan Jumlah Folikel Limfoid Megakaryosit a 24.0±10.4a 5.3±4.7 28.4±8.1a 9.6±9.3a Kontrol (K) Enterotoksin positif (E+) Enterotoksin negatif (E-) 7.4±2.5a 30.8±8.7a Enterotoksin panas (EP) 8.0±5.0a 33.5±5.3a *) Superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Perbandingan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada kontrol dan setiap perlakuan pemberian enterotoksin positif (E+), enterotoksin negatif (E-) dan enterotoksin yang dipanaskan (EP) juga dapat disajikan dalam histogram berikut (Gambar 27). 35 Rataan Jumlah Folikel Limfoid rataan jumlah sel 30 Rataan Jumlah Megakaryosit 25 20 Kelompok: K : Kontrol E+ : Enterotoksin + E- : Enterotoksin – Ep : Enterotoksin panas 15 10 5 0 K E+ E- Ep kelompok Gambar 27. Histogram perbandingan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada limpa mencit neonatus Tabel 8. Hasil skoring rataan peringkat deplesi folikel limfoid, infiltrasi PMN, dan deposisi protein radang pada limpa mencit neonatus setelah diberi enterotoksin E.sakazakii per oral Kelompok Infiltrasi PMN Deplesi folikel limfoid Deposisi protein radang Kontrol (K) Enterotoksin positif (E+) 10.5 5,8 7.50 6.70 4,00 6.60 Enterotoksin negatif (E-) Enterotoksin panas (EP) 8.38 10.5 10.00 10.00 13.38 9.38 Dari Tabel 7 dan histogram di atas, diperoleh gambaran bahwa perubahan histopatologis pada limpa mencit neonatus berupa peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada setiap kelompok perlakuan baik enterotoksin positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Walaupun demikian, tetap terjadi peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada setiap perlakuan. Dari Tabel 8, berdasarkan pengolahan data non-parametrik metode Kruskal Wallis (nilai skoring pada Lampiran 3) diperoleh hasil pada pengamatan deposisi sel radang dengan p-value 0,029 < taraf nyata 0,05. Dalam statistik non- parametrik nilai p-value yang lebih kecil dari taraf nyata berarti menolak hipotesa dengan maksud menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata antara K dengan Ep (p<0,05) Sedangkan pada kelompok perlakuan lain tidak ditemukannya perbedaan yang nyata dengan K baik dari segi pengamatan deplesi maupun infiltrasi PMN (p-value > taraf nyata). Hal ini mengindikasikan bahwa Ep masih memiliki kemampuan dalam merangsang terjadinya suatu peradangan pada limpa. Peningkatan jumlah folikel limfoid pada limpa merupakan respon tanggap kebal terhadap adanya antigen yang masuk ke limpa melalui darah (sepsis) dan peningkatan megakaryosit menunjukan hematopoietik akibat suatu perdarahan. terjadinya peningkatan aktivitas Folikel limfoid berfungsi sebagai penghasil antibodi, untuk itu apabila terdapat antigen maka makrofag yang berada di daerah zona pembatas dan di daerah sinusoid pulpa merah akan membawa antigen tersebut ke folikel primer kemudian sel B bermigrasi ke daerah tersebut untuk menghasilkan antibodi (Tizard 2004). Megakariosit merupakan indikasi meningkatnya hematopoietik atau proses pembentukan sel darah (Bacha dan Bacha 2000). Trombosit memegang peran penting dalam homeostasis untuk mencegah hilangnya darah akibat pendarahan (hemoragi) dengan membentuk sumbat trombosit. Peningkatan jumlah megakaryosit dimaksudkan untuk menghasilkan lebih banyak lagi trombosit guna menutupi dinding pembuluh darah yang rusak akibat antigen (Guyton 1997). Hemoragi pada limpa dapat terjadi akibat terpapar bahan kimia dan radiasi (Ward et al. 1999). Folikel limfoid merupakan kumpulan dari sel limfoid. Enterotoksin yang menyerang sel limfoid menyebabkan sitolisis sehingga inti dari sel limfoid akan pecah (fragmen) (Gambar 26). Mekanisme ini disebut dengan deplesi folikel limfoid. Deplesi folikel limfoid akan memicu hadirnya sel radang terutama netrofil (Gambar 26) sebagai respon inflamasi akut. Menurut Cheville (1999), inflamasi akut akan menyebabkan permeabilitas endotel pembuluh darah meningkat sebagai efek dari mediator inflamasi kemudian leukosit dan endotel akan teraktivasi sehingga terjadi aliran protein plasma dan eksudat leukosit dari lumen pembuluh darah ke jaringan interstitial (deposisi protein radang) (Gambar 25 dan Gambar 26). Hasil perubahan histopatologis pada limpa mencit neonatus akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii ini sama dengan hasil penelitian pendahuluan akibat infeksi E.sakazakii per oral dengan berbagai tingkatan dosis infeksi (Rotinsulu 2008). Menurut Rotinsulu (2008), tidak adanya peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit antara mencit kontrol dan mencit perlakuan yang berbeda nyata (P>0,05), menunjukkan bahwa peradangan dan perdarahan yang terjadi pada mencit perlakuan tidak terlalu hebat. Perubahan Histopatologis Organ Hati Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu 1995). Dua hal yang menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Kerusakan pada hati dapat bersifat sementara (degenerasi) dan menetap hingga mencapai kematian sel (nekrosa) (Carlton dan McGavin 1995). Oleh karena itu, hati menjadi organ yang penting untuk diamati histopatologinya akibat pemberian enterotoksin. Hasil pengamatan histopatologi jaringan hati ditemukan perubahan baik dalam parenkim maupun interstisium. Hal ini terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk pada kelompok kontrol. Pada interstisium terjadi perubahan berupa kongesti yang disertai dengan perluasan sinusoid. Perubahan ini tidak menjadi parameter dalam pemeriksaan histopatologi hati diakibatkan kedua perubahan ini didapatkan akibat dari pengaruh dari ether sebagai larutan anastesi. Sedangkan pada parenkhim hati dapat dilihat adanya perubahan berupa degenerasi hidropis (Gambar 28), degenerasi lemak (Gambar 29) dan nekrosa sel hati (Gambar 30). Gambar 28. Hati kelompok perlakuan E(-) yang mengalami degenerasi hidropis (DH) dengan vakuola keruh berisi cairan. Pewarnaan: HE. Gambar 29. Hati kelompok perlakuan E(+) yang mengalami degenerasi lemak (DL) dengan vakuola yang besar dan jelas. Pewarnaan: HE. Gambar 30. Nekrosa sel hati perlakuan E (+) dengan inti piknosis (P), karyorexis (R) dan karyolisis (L). Pewarnaan: HE. Hasil perhitungan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi lemak parenkhim hati di sekitar vena sentralis pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9. Tabel 9. Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada sel hati mencit neonatus Kontrol (K) Rataan jumlah sel yang mengalami lesion Degenerasi Degenerasi Nekrosa Hidropis Lemak 38.5±19. 17a 14.3±0.74a 38.6±4.38b Enterotoksin + (E+) 57.8±25.70a Kelompok a Enterotoksin – (E-) 45.4±6.62 Enterotoksin panas 38.4±9.36a (EP) 15.2±3.93a 40.6±3.96b 18.0±2.73a 35.8±4.75b 16.3±0.60a 27.9±1.75a Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Perbandingan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan enterotoksin positif (E+), enterotoksin negatif (E-), dan enterotoksin dipanaskan (EP) juga disajikan dalam histogram berikut (Gambar 31). rataan jumlah se 60 Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Degenerasi Hidropis 50 Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Degenerasi Lemak 40 30 Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Nekrosa 20 10 0 K E+ E- EP Kelompok: K : Kontrol E+ : Enterotoksin + E- : Enterotoksin – Ep : Enterotoksin panas kelompok Gambar 31. Histogram perbandingan rataan jumlah degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa pada sel hati mencit neonatus. Dari tabel dan gambar di atas, diperoleh gambaran bahwa perbandingan lesio berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak di sekitar vena sentralis hati pada setiap kelompok perlakuan tidak menunjukan hasil yang berbeda nyata (p>0,05). Namun dari segi jumlah, masih dapat dilihat perbedaan jumlah sel degenerasi hidropis kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol meskipun tidak signifikan. Sebagai contoh enterotoksin positif merupakan kelompok perlakuan yang mengalami degenerasi hidropis tertinggi dibandingkan dengan enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan. Degenerasi lemak pada sel hati tertinggi terjadi pada kelompok yang diberi enterotoksin E (-), kemudian berturut-turut Ep dan E(+), serta kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suspensi E(-) yang diberikan terdapat bahan lain (elastase, glikopeptida, endotoksin, kolagenase, dan protease) yang memiliki kemampuan patogen menyebabkan kerusakan sel hati. Selain itu peningkatan degenerasi lemak pada hati akibat disebabkan oleh sebagian besar toksikan atau bahan patogen dalam E(-) memasuki tubuh melalui sistem gastrointestin. Bahan patogen yang terkandung dalam E(-) ini tidak diserap oleh usus besar kemudian langsung dibawa ke vena porta untuk selanjutnya memasuki sinusoid menuju vena sentralis sehingga kemungkinan bahan patogen yang ada di vena sentralis menyebabkan kerusakan pada sel hati di sekitar vena sentralis sebagai lesio hasil metabolisme bahan patogen di sel hati . Hal ini sesuai dengan pernyataan Macfarlane et al. (2000) bahwa suplai darah hati diperoleh dari saluran pencernaan. Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus halus, masuk ke hati melalui vena porta, kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis. Kejadian kematian sel terjadi pada semua kelompok baik dari kelompok kontrol maupun dari kelompok perlakuan. Meskipun nekrosa sel hati juga terjadi pada kelompok kontrol namun tidak termasuk dalam kejadian patologi karena dalam keadaan normal nekrosa juga dapat terjadi (Cheville 1999). Pada kelompok perlakuan nekrosa yang terjadi merupakan lanjutan dari kejadian degenerasi. Hal ini menunjukan bahwa dalam memetabolisme toksin tidak hanya dilakukan satu kali tetapi berulang-ulang sehingga dapat mengakibatkan sel hati mengalami nekrosa atau kematian sel setelah degenerasi terjadi namun pada kelompok perlakuan EP mengalami penurunan jumlah nekrosa sel hati dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05). Kemungkinan hal ini disebabkan sifat sitolisis EP berkurang terhadap pemanasan. Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel yang dicirikan dengan pembengkakan sitoplasma (Harada et al. 1999). Kebengkakan sitoplasma ini merupakan manifestasi akumulasi cairan yang berlebihan akibat kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan meregulasi keluar-masuknya air (McGavin et al. 2007). Mekanisme degenerasi hidropis di mulai dari kerusakan membran plasma yang kemudian menyebabkan membran bocor (Cheville 1999). Selanjutnya produksi ATP menurun. Akibat berkurangnya energi menyebabkan sodium dan air masuk ke dalam sel dan potasium keluar sel. Kemudian diikuti dengan peningkatan tekanan osmosis yang menyebabkan banyak air mengalir ke dalam sel. Hal ini berlanjut pada menggelembungnya retikulum endoplasmik, ruptur, dan membentuk vakuol (McGavin et al. 2007). Degenerasi lemak merupakan respon sel hepatosit terhadap toksikan yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia kronis yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak. Mekanisme yang mendasari terjadinya penimbunan lipid dalam hati yang paling umum adalah rusaknya pelepasan trigliserida hati ke plasma. Oleh karena trigliserida hati hanya disekresi bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein (membentuk VLDL), maka terdapat beberapa mekanisme penimbunan lipid di hati yaitu: penghambatan sintesis satuan protein dari lipoprotein, penekanan konjugasi trigliserida dengan lipoprotein, hilangnya kalium dari hepatosit yang mengakibatkan gangguan pada transfer VLDL melalui membran sel, rusaknya oksidasi lipid oleh mitokondria, dan penghambatan sintesis fosfolipid, bagian penting dari VLDL (Lu 1995). Akumulasi lemak akibat toksin akan terlihat di sekitar suplai darah aferen (vena portal dan arteri hepatica) (Macfarlane et al. 2000). Apabila proses degenerasi sel berjalan terus-menerus maka akan mencapai kerusakan yang permanen dan sel akan mengalami kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa (Cheville 1999). Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999). Pemberian enterotoksin positif dan enterotoksin negatif mampu memicu peningkatan jumlah sel hati yang mengalami degenerasi hidropis sedangkan enterotoksin yang dipanaskan tidak memicu peningkatan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis. Pada semua kelompok perlakuan pemberian enterotoksin baik enterotoksin positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan mampu memicu kerusakan sel hati berupa degenerasi lemak. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah sel yang mengalami degenerasi degenerasi lemak akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii walaupun dengan analisis statistik belum berbeda nyata dengan kontrol. Kejadian degenerasi yang berkelanjutan akan mencapai kerusakan yang permanen dan sel akan mengalami kematian sel (nekrosa). Perubahan Histopatologis Organ Ginjal Hasil pengamatan histopatologi ginjal mencit neonatus memperlihatkan adanya perubahan pada tubuli proksimal ginjal. menunjukan adanya degenerasi hidropis. Perubahan pada tubulus Pada bagian intestitium ditemukan adanya kongesti yang disebabkan oleh pembiusan yang menggunakan ether. Ether merupakan anastetik yang sangat kuat, dan dapat menekan kontraktilitas otot jantung, menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit dan pembuluh darah organ-organ (Ganiswarna 1995). Oleh karena terjadinya kongesti pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan merupakan kejadian fisiologis maka, yang menjadi parameter pengamatan histopatologi ginjal adalah degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa. Hasil perhitungan terjadinya degenerasi hidropis tubuli proksimal ginjal pada kelompok kontrol dan perlakuan dapat dilihat dalam tabel 10. Tabel 10. Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa sel epitel tubuli proksimal ginjal Kelompok Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Degenerasi Degenerasi Nekrosa Hidropis Lemak 45.3±11.3a 33.6±4.47a 23.9±3.5a b a 84.0±5.7 40.0±10.2 32.4±2.7b a a 59.9±11.7 34.0±1.97 29.8±1.0b a a 59.4±14.0 35.2±5.78 23.3±5.5a Kontrol (K) Enterotoksin + (E+) Enterotoksin – (E-) Enterotoksin panas (EP) Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Perbandingan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis tubuli ginjal pada kelompok K, perlakuan E(+), E(-) dan EP dapat dilihat dari histogram batang (Gambar 32). Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Degenerasi Hidropis 90 rataan jumlah se 80 70 Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Degenerasi Lemak 60 50 Rataan jumlah sel yang mengalami lesio Nekrosa 40 30 20 10 0 K E+ E- EP Kelompok: K : Kontrol E+ : Enterotoksin + E- : Enterotoksin – Ep : Enterotoksin panas kelompok Gambar 32. Perbandingan jumlah sel degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa sel epitel tubuli ginjal Dari hasil pengamatan tabel dan histogram di atas dapat dilihat bahwa kejadian degenerasi hidropis hanya dari kelompok perlakuan E(+) berbeda nyata dengan kelompok K (p<0,05). Sedangkan, kelompok perlakuan E(-) dan EP tidak berbeda nyata. Dari segi jumlah, kelompok perlakuan E(+) juga mengalami degenerasi hidropis tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan E(-) dan EP. Hasil pengamatan ini membuktikan bahwa hanya dari kelompok enterotoksin E(+) yang memiliki sifat toksik yang tinggi terhadap sel di tubuli ginjal. Meskipun kelompok perlakuan E(-) dan EP tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p>0,05), bukan berarti degenerasi hidropis yang terjadi sama dengan kelompok K. Hal ini dapat dilihat dari jumlah degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat juga dikatakan E(-) dan EP masih memiliki sifat toksik terhadap sel di tubuli ginjal namun dalam kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan E(+). Gambar 33. Sel epitel tubuli ginjal yang mengalami degenerasi hidropis (DH) dan nekrosa dengan inti piknosis (P). Pewarnaan: HE Gambar 34. Sel epitel tubuli ginjal perlakuan E (+) yang mengalami degenerasi lemak. Menurut Seely (1999), ginjal adalah organ utama yang memiliki sisi sensitif terhadap toksikositas karena peranannya unik terhadap filtrasi, metabolisme, dan eksresi xenobiotik. Dalam keadaan normal, glomerulus akan memfiltrasi molekul-molekul protein yang berukuran besar sehingga tidak dapat dilalui. Akan tetapi, pada keadaan disfungsi gromerulus akibat bahan toksik, bahan-bahan asing akan lolos dengan mudah dan masuk ke tubuli dalam jumlah tidak normal. Hal ini akan menginduksi terjadinya kerusakan pada tubuli dalam bentuk degenerasi tubular/ nekrosis. Degenerasi hidropis merupakan keadaan sel ketika sitoplasmanya pucat dan membengkak dalam kaitannya dengan akumulasi cairan. Pada kejadian edema intraseluler yang ringan disebut pembengkakan berawan/ keruh, selanjutnya meningkatkan cairan dan membengkaknya organel pada sitoplasma dan berpenampakan seperti bervakuol (Underwood 1992). Hal ini terjadi akibat kegagalan dalam pengaturan normal homeostasis dan meregulasi pemasukan dan pengeluaran air. Mekanisme respon terhadap pembengkakan sel akut (degenerasi hidropis) biasanya melibatkan kerusakan membran sel, kegagalan sel dalam memproduksi energi, perlukaan enzim yang meregulasi kanal ion membran. Degenerasi hidropis terjadi sebagai respon kehilangan homeostasis sekunder sel terhadap hipoksia, toksik, radikal bebas, virus, bakteri dan perlukaan bermediasi imun. Hipoksia menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga sodium dan air masuk ke dalam sel, potasium keluar sel. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmosis dan menyebabkan banyak air yang mengalir ke dalam sel. Kemudian sisterna rerikulum endoplasmik menggelembung, ruptur, dan membentuk vakuol. Untuk selanjutnya terjadi vakuolisasi meluas dan disebut dengan degenerasi hidropis (McGavin et al. 2007). Pada hasil pengamatan jumlah sel tubuli yang mengalami degenerasi lemak diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata baik dari kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol (p>0.05). Dari segi jumlah, dapat dilihat pula bahwa hanya sedikit selisih jumlah sel tubuli yang mengalami degenerasi lemak dari setiap kelompok perlakuan. Selain degenerasi hidropis, kerusakan sel juga dapat berupa degenerasi lemak (Gambar 34). Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak pada jaringan non adiposa, terutama parenkhim organ, otot kerangka, dan jantung dengan laju metabolik yang tinggi. Masalah esensialnya ialah ketidakmampuan jaringan non adiposa dalam memetabolisme sejumlah lemak yang ada, sehingga terjadilah akumulasi lemak di dalamnya. Penyebab dari degenerasi lemak yaitu keracunan sel seperti bakteri dan bahan kimia (kloroform dan alkohol); serta gangguan klinis seperti anoksia karena anemia, gagal jantung dan penyakit respirasi, diabetes melllitus, dan malnutrisi kronis (Macfarlane et al. 2000) Toksin yang menyerang jaringan non adiposa akan menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim seluler kemudian menyebabkan jaringan/ organ (misalnya hati) tidak mampu memetabolisme lemak yang ada dan terjadilah akumulasi lemak pada sel. Alkohol yang biasa digunakan dalam pembuatan preparat akan menyebabkan lemak larut maka dalam pengamatan mikroskopis diindikasikan oleh vakuola yang jelas (Macfarlane et al. 2000). Organ yang mengalami degenerasi lemak akan membesar, pucat dan memiliki konsistensi seperti berminyak (Underwood 1992). Pada semua kelompok perlakuan pemberian enterotoksin E.sakazakii menyebabkan peningkatan jumlah sel degenerasi lemak namun secara statistik tidak berbeda nyata (p>0,05) sama halnya dengan kerusakan sel hati berupa degenerasi hidropis juga mengalami peningkatan jumlah namun yang berbeda nyata hanya dari kelompok pemberian enterotoksin positif (Gambar 33). Degenerasi sel yang berkelanjutan menyebabkan terjadinya kematian sel (nekrosa). Kejadian nekrosa terjadi pada semua kelompok perlakuan. Kelompok E(+) dan E(-) menunjukkan perbedaan yang nyata dengan K (p<0,05), sedangkan EP tidak berbeda nyata dengan K (P<0,05). Hal ini diduga sifat sitolitik EP berkurang akibat pemanasan sehingga nekrosa sel tubuli yang timbul akibat kontak dengan EP tidak begitu hebat. Nekrosa yang terjadi merupakan kelanjutan dari proses degenerasi. Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) seperti pada Gambar 33 (Cheville 1999). Gambaran Umum Pengamatan Histopatologis Akibat Pemberian Enterotoksin E.sakazakii Dari pemberian enterotoksin E.sakazakii baik enterotoksin positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan pada mencit neonatus normal dapat dilihat adanya perubahan histopatologi pada usus halus, usus besar, hati, ginjal serta otak dan medula spinalis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pagotto et al. (2003) bahwa enterotoksin E.sakazakii diketahui ada yang bersifat resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Lebih lanjut, diketahui pula enterotoksin tersebut dapat menimbulkan kematian pada mencit yang masih menyusu (suckling mice). Laporan mengenai kejadian meningitis, sepsis serta enterokolitis nekrotikan akibat infeksi E.sakazakii telah banyak dilaporkan di seluruh dunia. Pemberian enterotoksin E.sakazakii melalui rute per oral terlebih dahulu akan melalui lambung. Enterotoksin yang masuk ke dalam lambung tidak mampu dinetralisir akibat dari rendahnya laju sekresi asam lambung pada neonatus (Barkey et al. dalam Townsend dan Forsythe 2008). Oleh karena itu, enterotoksin E.sakazakii yang diberikan per oral mampu melewati usus dan menyebabkan kerusakan pada usus berupa deskuamasi epitel meskipun secara perhitungan statistik non parametrik tidak berbeda nyata (p>0,05). Selain itu, terjadi pula peradangan usus ringan yang diindikasikan oleh infiltrasi sel radang dengan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05). Enterotoksin memiliki struktur polipeptida A dan polipeptida B. Mekanisme enterotoksin dalam merusak organ target dengan cara rantai A menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan dengan permukaan sel. Setelah rantai B berikatan dengan permukaan reseptor (adhesi), toksin masuk ke dalam sel melalui receptor-mediated endocytosis (Cheville 1999). Pembelahan molekul selanjutnya memungkinkan pecahan A mengeluarkan efek toksinnya. Selanjutnya sel akan lisis akibat adanya eksotoksin yang terlokalisasi dan beragregat pada membran untuk membentuk protein kompleks (Cheville 1999). Mekanisme ini menyebabkan respon terhadap organ sasaran dan salah satunya ialah deskuamasi epitel usus. Kerusakan ini mampu menyebabkan adanya respon inflamasi pada usus dengan hadirnya / infiltrasi sel radang pada lamina propria. Pemberian enterotoksin E.sakazakii pada otak dan medula spinalis mencit neonatus menunjukan adanya peningkatan jumlah sel glia yang berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05) pada kelompok perlakuan. Peningkatan sel ini terjadi pada kelompok pemberian enterotoksin positif dan enterotoksin negatif pada otak sedangkan pada medula spinalis terjadi semua kelompok perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan jumlah sel glia sebagai respon terjadinya lesio pada otak dan medula spinalis akibat pemberian enterotoksin dapat mengarah pada meningitis tetapi lesio yang timbul tidak menunjukkan kerusakan yang hebat seperti pada bayi neonatus. Lesio yang terjadi akibat adanya antigen bermolekul rendah seperti toksin yang mampu melakukan penetrasi pada daerah BBB. Oleh karena usus besar berfungsi dalam mengabsorpsi cairan dan elektrolit, maka enterotoksin tidak diabsorpsi oleh usus besar lalu terbawa ke hati melalui sirkulasi vena porta. Hati merupakan organ tubuh yang paling sering menjadi organ target toksikan (Lu 1995). enterotoksin E.sakazakii, Pada penelitian ini akibat pemberian secara statistik didapatkan hasil bahwa sel hati mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi lemak tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05) namun dari segi jumlah tetap terjadi peningkatan sel yang mengalami degenerasi akibat perlakuan pemberian enterotoksin. Hal ini mengindikasikan bahwa hati melakukan detoksifikasi atau netralisasi sebagian enterotoksin E.sakazakii. Selain itu, pada semua kelompok perlakuan terjadi nekrosa sel hati namun hanya kelompok EP yang mengalami penurunan jumlah sel nekrosa. Ginjal berfungsi sebagai organ yang memfiltrasi toksikan oleh sebab itu ginjal dapat mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi lemak akibat adhesi toksikan terhadap sel tubuli. Hal ini disebabkan oleh enterotoksin yang menyerang sel akan menurunkan produksi ATP sehingga terjadi gangguan tekanan osmosis yang kemudian menyebabkan air banyak mengalir ke dalam sel dan lama-kelamaan terjadi kebengkakan sel. Perubahan inilah yang menyebabkan terjadinya degenerasi hidropis baik pada hati maupun ginjal (McGavin et al. 2007). Selain itu, enterotoksin juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim untuk memetabolisme lemak akan berakibat pada akumulasi lemak. Perubahan semacam ini disebut dengan degenerasi lemak (Macfarlane et al. 2000). Pada penelitian pemberian enterotoksin E.sakazakii baik enterotoksin positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan didapatkan hasil dengan olah data statistik ANOVA tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Walaupun demikian, dari segi jumlah dapat dilihat terjadinya peningkatan sel akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapatnya sebagian komponen enterotoksin dan bahan patogen lain yang terbawa selama proses pembuatan enterotoksin (enterotoksin negatif) yang tidak ternetralisir oleh hati sehingga masih dapat merusak ginjal. Degenerasi sel yang terjadi pada tubuli ginjal akibat toksin yang besifat sitolitik. Apabila tidak terjadi proses persembuhan sel maka sel yang rusak akan mati. Proses kematian sel terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa (Cheville 1999). Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999). Pemberian enterotoksin E.sakazakii pada organ limpa mencit neonatus menunjukan tidak adanya peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit antara mencit kontrol dan mencit perlakuan yang berbeda nyata (P>0,05), menunjukkan bahwa peradangan dan perdarahan yang terjadi pada mencit perlakuan tidak terlalu hebat. Dari hasil percobaan pemberian E(-) rute per oral dapat menyebabkan peningkatan sel radang pada usus besar, degenerasi lemak pada hati, dan peningkatan sel glia pada otak. Hal ini mengindikasikan enterotoksin negatif yang diberikan mungkin mengandung bahan patogen seperti elastase, glikopeptida, endotoksin, kolagenase, dan protease sehingga masih mampu menyebabkan kerusakan pada sel. Selain itu, enterotoksin yang dipanaskan memiliki sifat tahan panas dan diduga memiliki sifat destruktif sehingga mampu menyebabkan infiltrasi sel radang pada pada usus halus, usus besar, otak, dan medula spinalis. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Enterotoksin E.sakazakii menyebabkan terjadinya enteritis, meningoencephalitis, degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada hati dan ginjal, serta splenitis. 2. Enterotoksin E.sakazakii tergolong heat stabile yang masih memiliki potensi menyebabkan peradangan pada serebrum, medula spinalis dan usus. 3. Diperkirakan terdapat komponen lain dalam sekresi metabolit E.sakazakii selain enterotoksin yang dapat menyebabkan peradangan pada serebrum, medula spinalis dan usus serta terjadinya degenerasi hidropik dan degenerasi lemak pada hati dan ginjal. Saran 1. Perlu dilakukan penghitungan kadar enterotoksin E.sakazakii. 2. Membandingkan pengaruh enterotoksin dengan eksotoksin. 3. Perlu diadakan pengujian mengenai bahan patogen lain dalam sekresi metabolit E.sakazakii selain enterotoksin yang mampu memicu terjadinya perubahan patologis organ serebrum dan medula spinalis, usus, hati, ginjal serta limpa. 4. Menggunakan mencit neonatus immunosupresi sebagai model respon dari bayi-bayi imunodefisiensi. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2004a. Background Information on Enterobacter sakazakii (E. sakazakii). International Association of Infant Food Manufacturer. http://www.if.net/issues/E.sakazakiiazakii_background.htm. [29 Maret 2005]. Anonimus. 2004b. Enterobacter sakazakii. http: //www.magma.ca. [29 Agustus 2007]. Anonimus. 2005. Synapses, Reseptor Cells, and Brain. http: www.butler.cc.tut.fi/~html. [ 19 Juli 2008]. Anonimus. 2006a. House Mouse. http: www.en.wikipedia.org/wiki/Mus_musculus#/Characteristics.[2 Maret 2008] Anonimus. 2006b. A Guide to Severe Sepsis. http://www.sccm.org/education/index.asp. [29 Mei 2008]. Anonimus. 2007a .Enterobacter. http://en.wikipedia.org/wiki/Scientific_classification[29 Agustus 2007.] Anonimus. 2007b. What is Necrotizing Enterocolitis? http://www.kidshealth.org. [19 Januari 2006]. Anonimus. 2007c. Necrotizing Enterocolitis. http: www.uvahealth/peds_hrnewborn. [19 Januari 2006]. Anonimus. 2007d. Spleen Histology. http://pagead2.googlesyndication.com/[14 September 2008]. Anonimus. 2008a. Anatomy of The Brain. http://www.ohsu.edu.cfm. [ 19 Juli 2008]. Anonimus. 2008b. Enterotoxin. http://en.wikipedia.org/wiki/Enterotoxin[17 Juli 2008]. Anonimus. 2008c. Cronobacter. http://en.wikipedia.org/wiki/Gram-negative[20 Juli 2008]. Aughey E and Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. London: Iowa State University Press. P: 258. Bacha WJ Jr and Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. 2nd Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. P: 27-28, 70-71, 120-121. Ballenger, L. 1999. "Mus musculus" (On-line), Animal Diversity Web. http://animaldiversity/Mus_musculus.html. [3 April 2007]. Bar-Oz B, Preminger A, Peleg O, Block C, and Arad I. 2001. Enterobacter sakazakii Infection in the Newborn. Acta Paediatr 90: 356-358. Bowen AB, and Braden CR. 2006. Invasive Enterobacter sakazakii Disease in Infants. http://www.ncbi..htm. [31 Juli 2007]. Bowen AB and Braden CR. 2008. Enterobacter sakazakii Disease and Epidemiology, In: Farber JM and Forsythe SJ. 2008. Enterobacter sakazakii. Washington, DC: ASM Press. P: 101-125. Carlthon WW and McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. St. Louis. Mosby-Year Book. Inc. P: 229-446. Cheville, NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology.2nd ed. USA: Iowa State University Press. P: 16. Dellmann, H.D. and Eurell J.A. 1998. Veterinary Histology. USA : Lippincott Williams & Wilkins. P: 91-225. Erickson, M.C. and Kornacki, J.L. 2002. Enterobacter sakazakii: An Emerging Food Pathogen. http://www.ugacfs.org/ [29 Maret 2008]. Estuningsih S et al. 2006. Enterobacteriaceae in Dehydrated Powdered Infant Formula Manufactured in Indonesia and Malaysia. J Food Prot 69(12):3013-7. Estuningsih S, Hernomoadi H dan IWT Wibawan. 2007. Potensi Kejadian Meningitis Pada Neonatal Akibat Infeksi E.sakazakii Yang Diisolasi Dari Makanan dan Susu Formula. Laporan Penelitian IPB Th.II Hibah XIV Dirdikti. Depdiknas. Eurell J.A. and Frappier B.L. 2006. Nervous System. Version : 1.0. Australia : Blackwell Publishing. P: 194-221. Fox SI. 2004. Human Physiology. 8th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. P: 154-155. Friedemann, M. 2007. Enterobacter sakazakii in Food and Beverages (Other Than Infant formula and Milk Powder). International Journal of Food Microbiology 116: 1-10. Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hml 116-185. Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 20. Jakarta: EGC. P: 496-497. Grecilia G. 2008. Uji Sitotoksin Enterobacter sakazakii Isolat Asal Makanan dan Susu Bayi Pada Sel Lestari Vero [Skripsi]. Bogor: Sarjana Kedokteran Hewan IPB. Griffiths J. 2008. Focus on Definition of Sepsis. http://frca.co.uk/ [5 September 2008]. Guyton AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. P: 579-578. Gyles CL and Thoen CO. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. 2nd ed. USA : Iowa State University Press. P: 114-164 Hamilton JV , Lehane MJ, Braig HR 2003. Isolation of Enterobacter sakazakii from Midgut of Stomoxys calcitrans. Emerging Innfectious Diseases Vol 9, No. 10. P:1355-1356. Harada et al. 1999. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. USA: Cache River Press. P: 119136. Hasell Sally. 2004. Enterobacter sakazakii in Powder Infant Formula.,FAO/WHO Regional Conferenc on Food Safety for Asia and the Pasific. Malaysia. Himelright I, 2002. Enterobacter sakazakii Infections Associated with the Use of Powdered Infant Formula—Tennessee, 2001. http://www.fda.gov/ [23 Mei 2007]. Homeier BP. 2005. Sepsis. http://www.kidshealth.org/htm. [29 Mei 2008]. Iversen C and Forsythe S. 2003. Risk Profile of Enterobacter sakazakii , An Emergent Pathogen Associated with Infant Milk Formula. Food Microbiology. Trends in Food Science & Technology 14; 443-454 Iversen C, Lehner A, Mullane N, dkk (2007). "The taxonomy of Enterobacter sakazakii: proposal of a new genus Cronobacter gen. nov. and descriptions of Cronobacter sakazakii comb. nov. Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii, comb. nov., Cronobacter sakazakii subsp. malonaticus subsp. nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter Muytjenii sp. nov., Cronobacter dublinensis sp. nov. and Cronobacter genomospecies 1". BMC Evol Biol 7: 64. Japardi I. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library. http://library.usu.ac.id/[12 april 2007]. Junqueira, LC and Carneiro J. 1989. Histologi Dasar. Edisi ke-3. Terjemahan Adji Dharma. Jakarta: EGC. P: 182 – 186. King D. 2002. Lobule of Pig Liver. http://www.siumed.edu/[14 September 2008]. King D. 2007. Histology Study Guide of the Gastrointestinal System, Kidney and Urinary Tract. http://www.siumed.edu/ [20 Juli 2008]. Lai KK. 2001. Enterobacter sakazakii Infections among Neonatus, Infants, Childrens, and Adults. Case reports and a review of the literature. Medicine Baltimore 80: 113-122. Lenati RF, O’Connor DL, Hébert KC, Farber JM, and Pagotto FJ. 2008. Growth and Survival of Enterobacter sakazakii In Human Breast Milk With and Without Fortifiers As Compared To Powdered Infant Formula. International Journal of Food Microbiology 122 (2008) 171–179. LIorens XS and Mc Cracken Jr. GH. 2003. Bacterial Meningitis in Child. The Lancet 361:2139-2148. Lu FC. 1995. Toksikologi dasar. Edisi 2. Jakarta: UI-Press. P: 20-268. Macfarlane P.S., Reid R., Callander. R. 2000. Pathology Illustrated. 5th ed. China : Churchill Livingstone. P: 64-570. Malole MBM, Pranomo CSU. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan di Labolatorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor : IPB FKH. P: 28-45. Mange JP, Stephan R, Borel N, Wild P, Kim KS, Pospischil A, and Lehner A. 2006. Adhesive Properties of Enterobacter sakazakii to Human Epithelial and Brain Microvascular Endothelial Cells. BMC Microbiology 6: 58. McGavin M. Donald and Zachary, James F. 2007. Pathologic Basic of Veterinary Disease. China: Mosby, Inc. P:12-17. Meutia YR. 2008. Enterobacter sakazakii Isolat Asal Susu Formula dan Makanan Bayi; Karakterisasi Gen 16s RNA dan Perlakuan Bakteri Pasca Rekonstruksi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institu Pertanian Bogor. Muytjen HL, W.H. Roelofs, dan G.H.J. Jaspar. 1988. Quality of Powdered Substituted for Breast Milk with Regard to Members of the Family Enterobacteriaceae. Journal of Clinical Microbiology 26: 743-746. Nazarowec-White M. and Farber JM (1997). Enterobacter sakazakii : a review. International Journal of Food Microbiology. P : 103-113. Pagotto F.J, M. Nazarowec-White, M. S. Bidawid, J.M. Farber. 2003. Enterobacter sakazakii: Infectivity and Enterotoxin Production in Vitro and in Vivo. J. Food Protect. 66, 370-375. Pagotto F, Farber JM, and Lenati R. 2008. Pathogenicity of Enterobacter sakazakii. In: Farber JM and Forsythe SJ. 2008. Enterobacter sakazakii. Washington, DC: ASM Press. P: 127-144. Paryati SPY. 2006. Keracunan Makanan Oleh Bakteri BACTERIAL FOOD POISONING. Akademi Medis Veteriner Puragabaya, Bandung. http://www.Jvetunud.com/archives [16 Agustus2008]. Pohland AE, Dowell Jr. VR, dan Richard JL. 1990. Microbial Toxins in Foods and Feeds Cellular and Molecular Modes Of Action. New York: Plenum Press. P:91-97. Press CM and Landsverk T. 2006. Immune System. In: Eurell JA and Frappier. 2006. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. 6th ed. Australia: Blackwell Publishing. P: 147-153. Radovsky and Mahler. 1999. Nervous System. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. USA: Cache River Press. P: 449-456. Rotinsulu DA. 2008. Studi Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus [Skripsi]. Bogor : Sarjana Kedokteran Hewan IPB. Seely, J.C. Kidney. In : Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. P: 226. Shackelford and Elwell. 1999. Small and Large Intestine, and Mesentery. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. P: 81-115. Sinave C.P. 2003. Enterobacter Infections. http: //www.emedicine.com/ [23 Mei 2007]. Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine. USA :Mosby, Inc. P:89-91. Slomianka L. 2006. Blue Histology-Lymphoid Tissue II. http://www.lymph2.htm#Spleen[14 September 2008]. Smith DS. 2006. Sepsis. http://www. medlineplus.gov/htm. [29 Mei 2008]. Smith HA, Jones TC, and Hunt RD. 1974. Veterinary Pathology. Ed ke-4. Philadelphia: Lea and Febiger. P: 125-1181. Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Jakarta: UI.Press. P: 10-12. Springer SC. 2006. Necrotizing Enterocolitis. http://www.emedicine.com/[22 Januari 2007] Springhouse. 2003. Necrotizing Enterocolitis (Handbook of Diseases). http://www.wrong diagnosis.book-diseases-12b.htm. [12 April 2007]. Stevenson R.L. 2006. Nervous Tissue. http : //www.lab.anhb.uwa.edu.au/[ 19 Juli 2008]. Tizard IR. 2004. Veterinary Immunology An Introduction. 7th Ed. China: Saunders. P: 88-91. Towsend S and Forsythe SJ. 2008. The Neonatal Intestine Microbial Flora, Immunity, and Infections. In: Enterobacter sakazakii. Editor: Farber JM and Forsythe SJ. 2008. Washington, DC: ASM Press. P: 61-100. Underwood JCE. 1992. General and Systemic Pathology. New York. Churchill Livingstone. P:23-765. van Acker J., F. de Smet, G. Muyldermans, A. Bougatef, A. Naessens and S. Lauwers. 2001. Outbreak of Necrotizing Enterocolitis Associated with Enterobacter sakazakii in Powder Milk Formula. J. Clin Microbiol. 39, 293297. Vergnolle N. 2008. Modulation of visceral pain and inflammation by proteaseactivated receptors. http://www.nature.com/[5 September 2008]. Wilson LM and LB Lester. 1995. Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas. Dalam: SA. Price and LM. Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Terjemahan: Peter Anugerah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. P: 426-427, 429-430. Ward JM et al. 1999. Thymus, Spleen, Lymph Node. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. P: 339-353 Weir Erica. 2002. Powdered Infant Formula and Fatal Infection with Enterobacter sakazakii. Canadian Medical Association or its licensors. P: 116. LAMPIRAN LAMPIRAN 1. PEMBERIAN OBAT PADA MENCIT AMOXICILIN® Dosis anak :125 mg/25 kgBB 1x pakai = 25 mg/kgBB 3 x sehari = 75 mg/kgBB BB 1 ekor mencit ± 25 gram. 25 mg/1000 mg x 75 mg =1,875 mg/hari = 2 mg/hari Larutan Amoxicilin® yang tersedia mengandung 125 mg/5 ml= 25 mg/ml. Diperlukan 2 mg/125 mg x 5 ml = 0,08 ml / ekor mencit. Diencerkan menjadi 10 kali. Sehingga pemberian: Dewasa : 0.8 ml/mencit/ hari (selama 5 hari berturut-turut). Anak : 0.4 ml/mencit/ hari (selama 5 hari berturut-turut). Misalkan: 10 ml larutan Amoxicilin® + 90 ml aquadest. CIPROFLOXACIN® Tablet Ciprofloxacin® 500 mg. Dosis : 500 mg/ 50 kg BB 10 mg/kg BB Namun berdasarkan penelitian tikus aspirin tidak mempan, sehingga dinaikkan menjadi 100 mg/kgBB. BB 1 ekor mencit ± 25 grm. Dibutuhkan 25/1000 x 100 mg =2,5 mg/mencit. Sehingga 1 tablet (500 mg) dapat digunakan untuk 200 mencit. Yang ingin diberikan kepada mencit dalam bentuk larutan 1 ml/mencit yang mengandung 2,5 mg ciprofloxacin®. Maka; 1 tablet dilarutkan dalam 200 ml aquadest. Dosis untuk setiap mecit: Dewasa : 1 ml/mencit/ hari (selama 3-5 hari berturut-turut). Anak : 0.5 ml/mencit/ hari (selama 3-5 hari berturut-turut). ALBENDAZOLE® Konsentrasi larutan yang tersedia : 10 mg/ml Dosis untuk setiap ekor mencit : 10 mg/ml Berat badan (rataan) mencit : 30 g/ekor Albendazole® yang dibutuhkan untuk setiap ekor mencit: 0,00033 mg/ekor ~0,0004 mg/ekor Larutan Albendazole® baru Larutan Albendazole® yang tersedia (10 mg/ml) : 0,5 ml Pelarut (Aquadest) : 99,5 ml+ 100 ml Kandungan larutan baru = 5,0 mg/100 ml = 0,05 mg/ml Pemberian untuk setiap ekor mencit (dewasa) . = 0,025 mg/ml LAMPIRAN 2. PENGOLAHAN DATA STATISTIK 1. Uji Anova dan Duncan N ota k ms Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 22.7129 46.4871 Minimum Maximu m K 4 34.6000 7.47039 3.73519 26.00 41.10 E+ 4 50.7250 10.92684 5.46342 33.3380 68.1120 40.80 66.20 E- 4 51.6000 8.03285 4.01642 38.8179 64.3821 44.30 58.80 Ep 4 16 4 29.5000 41.6063 41.9000 4.89830 12.39857 6.16333 2.44915 3.09964 3.08167 21.7057 34.9995 32.0928 37.2943 48.2130 51.7072 35.70 66.20 47.60 E+ 4 59.4500 5.01032 2.50516 51.4775 67.4225 23.90 23.90 35.80 54.00 E- 4 51.3500 15.43276 7.71638 26.7930 75.9070 28.80 62.00 Ep 4 16 47.5000 50.0500 4.19047 10.35490 2.09523 2.58873 40.8320 44.5323 54.1680 55.5677 43.20 28.80 53.20 65.20 Total K Total Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic df1 df2 Sig. otak 1.081 3 12 .394 ms 2.828 3 12 .083 ANOVA Sum of Squares otak ms Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total df 1514.702 3 504.901 791.168 12 65.931 2305.869 15 651.900 3 217.300 956.460 12 79.705 1608.360 15 otak Duncan kelompok N Mean Square Subset for alpha = .05 1 2 29.5000 Ep 4 K 4 E+ 4 50.7250 E- 4 51.6000 34.6000 F Sig. 7.658 .004 2.726 .091 65.20 Sig. .392 .881 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. ms Duncan kelompok Subset for alpha = .05 N 1 2 K 4 41.9000 Ep 4 47.5000 47.5000 E- 4 51.3500 51.3500 E+ 4 Sig. 59.4500 .179 .096 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. Descriptives usus besar N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Minimum Maximum Upper Bound kontrol 3 8.2000 6.95414 4.01497 -9.0750 25.4750 .80 14.60 E+ 3 24.9333 21.59660 12.46881 -28.7156 78.5823 .00 37.80 E- 3 33.6667 3.23316 1.86667 25.6350 41.6983 31.80 37.40 EP 3 25.4000 5.89237 3.40196 10.7625 40.0375 21.80 32.20 12 23.0500 13.97013 4.03283 14.1738 31.9262 .00 37.80 Total Test of Homogeneity of Variances usus besar Levene Statistic df1 7.156 df2 3 Sig. 8 .012 ANOVA usus besar Sum of Squares df Mean Square Between Groups 1026.917 3 342.306 Within Groups 1119.893 8 139.987 Total 2146.810 11 usus besar Duncan Subset for alpha = .05 VAR00001 N 1 2 kontrol 3 8.2000 E+ 3 24.9333 24.9333 EP 3 25.4000 25.4000 E- 3 Sig. 33.6667 .126 .411 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. F 2.445 Sig. .139 Ginjal dan Usus Halus Descriptives N ginjal Mean K 3 45.3667 E+ 3 E- 3 Ep Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 17.2165 73.5168 Minimum Maximu m 32.30 52.50 11.33196 6.54251 84.0333 5.78475 3.33983 69.6632 98.4034 79.10 90.40 59.8667 11.78742 6.80547 30.5851 89.1482 46.30 67.60 3 59.4333 14.08699 8.13313 24.4393 94.4274 44.00 71.60 12 62.1750 17.36764 5.01360 51.1401 73.2099 32.30 90.40 K 3 9.0000 4.55741 2.63122 -2.3212 20.3212 4.60 13.70 E+ 3 35.4333 12.28916 7.09515 4.9054 65.9613 21.30 43.60 E- 3 31.6000 8.07279 4.66083 11.5461 51.6539 23.20 39.30 Ep 3 27.2000 1.24900 .72111 24.0973 30.3027 25.80 28.20 12 25.8083 12.46438 3.59816 17.8888 33.7278 4.60 43.60 Total Usus halus Total Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic df1 df2 Sig. ginjal 1.088 3 8 .408 usus 3.759 3 8 .060 ANOVA Sum of Squares ginjal usus df Mean Square Between Groups Within Groups Total 2319.456 3 773.152 998.527 8 124.816 3317.982 11 Between Groups 1231.923 3 410.641 F Sig. 6.194 .018 6.886 .013 Within Groups Total 477.047 8 1708.969 11 59.631 Ginjal (degenerasi hidropis) Duncan kelompok Subset for alpha = .05 N 1 K 3 45.3667 Ep 3 59.4333 E3 59.8667 E+ 3 Sig. .166 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. 2 84.0333 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. usus halus Duncan kelompok Subset for alpha = .05 N 1 K Ep EE+ Sig. 3 3 3 3 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. 2 9.0000 1.000 27.2000 31.6000 35.4333 .246 N lemak hidropis Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum K 3 38,5333 19,17298 11,06953 -9,0950 86,1617 17,90 55,80 E+ 5 57,8000 25,70165 11,49413 25,8872 89,7128 23,60 80,70 E- 5 45,3600 6,61914 2,96017 37,1413 53,5787 40,80 56,80 Ep 5 38,4400 9,36045 4,18612 26,8175 50,0625 26,60 50,30 18 45,7556 17,24124 4,06380 37,1817 54,3294 17,90 80,70 Tota l K 3 14,3333 ,73711 ,42557 12,5022 16,1644 13,50 14,90 E+ 5 15,2000 3,93700 1,76068 10,3116 20,0884 11,50 21,90 E- 5 18,0200 2,73258 1,22205 14,6271 21,4129 14,90 22,00 Ep 5 16,3000 ,60415 ,27019 15,5498 17,0502 15,30 16,80 18 16,1444 2,72704 ,64277 14,7883 17,5006 11,50 22,00 Tota l hati Descriptives Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic df1 df2 Sig. lemak 7,749 3 14 ,003 hidropis 2,132 3 14 ,142 ANOVA Sum of Squares Lemak Hidropis Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total df Mean Square 1150,194 3 383,398 3903,231 14 278,802 5053,424 17 32,010 3 10,670 94,415 14 6,744 126,424 17 F Sig. 1,375 ,291 1,582 ,238 lemak Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan Ep N 5 1 38,4400 K 3 38,5333 E- 5 45,3600 E+ 5 57,8000 Sig. ,139 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. hidropis Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan K N 1 3 14,3333 E+ 5 15,2000 Ep 5 16,3000 E- 5 18,0200 Sig. ,075 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Descriptives ginjal dl 95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum K 3 33,5667 4,47698 2,58478 22,4452 44,6881 29,40 38,30 E+ 5 40,0000 10,20466 4,56366 27,3292 52,6708 28,70 52,80 E- 5 34,0000 1,97104 ,88148 31,5526 36,4474 30,50 35,20 Ep 5 35,2333 5,78653 2,58781 28,0484 42,4183 25,70 41,20 18 35,9370 6,53827 1,54109 32,6856 39,1884 25,70 52,80 Total Test of Homogeneity of Variances ginjal Levene Statistic df1 3,930 df2 3 Sig. 14 ,032 ANOVA ginjal (degenerasi lemak) Sum of Squares df Mean Square F Between Groups 120,631 3 40,210 Within Groups 606,102 14 43,293 Total 726,733 17 Sig. ,929 ,453 ginjal Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan K N 3 1 33,5667 E- 5 34,0000 Ep 5 35,2333 E+ 5 40,0000 Sig. ,207 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Limpa Folikel limfoid (1) & Megakaryosit (2) Descriptives N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound jumlah 1 K Maximum Upper Bound 3 5,3333 4,72582 2,72845 -6,4062 17,0729 ,00 9,00 E+ 5 9,6000 9,34345 4,17852 -2,0014 21,2014 3,00 25,00 E- 5 7,4000 2,50998 1,12250 4,2834 10,5166 5,00 10,00 EP 4 8,0000 5,03322 2,51661 -,0090 16,0090 3,00 15,00 17 7,8235 5,75799 1,39652 4,8630 10,7840 ,00 25,00 3 24,0000 10,39230 6,00000 -1,8159 49,8159 18,00 36,00 5 28,4000 8,14248 3,64143 18,2898 38,5102 17,00 38,00 Total jumlah 2 Minimum K E+ E- 5 30,8000 8,67179 3,87814 20,0325 41,5675 20,00 44,00 EP 4 33,5000 5,32291 2,66145 25,0301 41,9699 28,00 39,00 17 29,5294 8,04765 1,95184 25,3917 33,6671 17,00 44,00 Total ANOVA Sum of Squares jumlah1 jumlah2 Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total df Mean Square 35,404 3 11,801 495,067 13 38,082 530,471 16 169,235 3 56,412 867,000 13 66,692 1036,235 16 F Sig. ,310 ,818 ,846 ,493 Jumlah folikel limfoid Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan K N 1 3 5,3333 E- 5 7,4000 EP 4 8,0000 E+ 5 9,6000 Sig. ,378 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,068. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Jumlah megakariosit Duncan Subset for alpha = .05 perlakuan K N 1 3 24,0000 E+ 5 28,4000 E- 5 30,8000 EP 4 33,5000 Sig. ,148 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,068. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Descriptive Statistics LPUH N 18 Mean .30278 Std. Deviation .256579 Minimum .000 Maximum .820 LPUB 18 .01472 .037040 .000 .125 Kruskal Wallis Usus Halus Perlakuan N K 3 5.0 E+ 5 12.4 E- 5 8.4 EP 5 10.4 Total χ2hit db χ2tabel Asymp. Sig Ket 3.994 3 7.815 0.262 (terima H0) tidak ada perlakuan yang berbeda nyata Mean Rank 18 Mean rank=data ranking rata2kan Usus Besar Perlakuan N Mean Rank K 3 11.3 E+ E- 5 5 9.6 8.0 EP 5 9.8 Total χ2hit db χ2tabel Asymp. Sig Ket 1.815 3 7.815 0.612 (terima H0) tidak ada perlakuan yang berbeda nyata 18 Dari hasil uji Kruskal Wallis dapat disimpulkan bahwa tidak ada perlakuan yang berbeda nyata, maka tidak perlu dilakukan uji lanjut. Hipotesis H0: tidak ada perlakuan yang berbeda nyata H1: minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata Tolak H0 jika χ2hit > χ2tabel Terima H0 jika χ2hit < χ2tabel Kruskal-Wallis Test: respon_PR versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on respon perlakuan N Median Ave Rank Z E- 4 1.000000000 13.4 2.36 E+ 5 0.000000000 6.6 -1.08 EP 4 0.750000000 9.4 0.42 kontrol 3 0.000000000 4.0 -1.82 Overall 16 8.5 H = 7.81 DF = 3 P = 0.050 H = 9.03 DF = 3 P = 0.029 (adjusted for ties) * NOTE * One or more small samples Kruskal-Wallis Test Ranks respon_PR perlakuan 1 2 3 4 Total N Test Statisticsa,b Chi-Square df Asymp. Sig. respon_PR 9.027 3 .029 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan 3 5 4 4 16 Mean Rank 4.00 6.60 13.38 9.38 χ2hit > χ2tabel atau karena p-value (0,029) < taraf nyata 5 % (0,05) maka TOLAK H0 artinya: ada perbedaan respon PR antara perlakuan. Pada output minitab, nilai Z untuk EP nilainya paling kecil. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rataan peringkat untuk EP berbeda dengan rataan peringkat perlakuan yang lainnya. Artinya respon PR untuk EP berbeda nyata dengan respon PR untuk kontrol Kruskal-Wallis Test: respon_PMN versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on respon_PMN perlakuan N Median Ave Rank Z E- 4 1.000 10.0 0.73 E+ 5 1.000 6.7 -1.02 EP 4 1.000 10.0 0.73 kontrol 3 1.000 7.5 -0.40 Overall 16 8.5 H = 1.64 DF = 3 P = 0.650 H = 3.54 DF = 3 P = 0.315 (adjusted for ties) * NOTE * One or more small samples Kruskal-Wallis Test Ranks respon_PMN perlakuan 1 2 3 4 Total N 3 5 4 4 16 Mean Rank 7.50 6.70 10.00 10.00 Test Statisticsa,b Chi-Square df Asymp. Sig. respon_PMN 3.543 3 .315 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan Karena χ2hit < χ2tabel atau karena p-value (0,315) > taraf nyata 5 % maka TERIMA H0 artinya tidak ada perbedaan respon PMN untuk setiap perlakuan. Kruskal-Wallis Test: respon_deplesi versus perlakuan Kruskal-Wallis Test on respon_deplesi perlakuan N Median Ave Rank Z E- 4 1.0000 8.4 -0.06 E+ 5 0.5000 5.8 -1.53 EP 4 1.0000 10.5 0.97 kontrol 3 1.0000 10.5 0.81 Overall 16 8.5 H = 2.85 DF = 3 P = 0.416 H = 4.96 DF = 3 P = 0.175 (adjusted for ties) NOTE * One or more small samples Kruskal-Wallis Test Ranks respon_deplesi perlakuan 1 2 3 4 Total Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig. N Mean Rank 10.50 5.80 8.38 10.50 3 5 4 4 16 a,b respon_ deplesi 4.963 3 .175 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan χ2hit < χ2tabel atau karena p-value (0,175) > taraf nyata 5 % maka TERIMA HO artinya tidak ada perbedaan respon deplesi untuk setiap perlakuan. Oneway Descriptives NEKROSA HATI N K E+ EEP Total Std. Deviation Mean Std. Error 3 38,5667 4,38216 5 40,6400 3,96018 5 35,7800 4,75994 5 27,9400 1,75300 18 35,4167 6,18540 2,530 04 1,771 04 2,128 71 ,7839 6 1,457 91 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum 27,6808 49,4526 35,60 43,60 35,7228 45,5572 33,80 44,00 29,8698 41,6902 29,70 42,40 25,7634 30,1166 25,70 30,60 32,3407 38,4926 25,70 44,00 ANOVA HATI Sum of Squares df Mean Square Between Groups 446,346 3 148,782 Within Groups 204,059 14 14,576 Total 650,405 17 Post Hoc Tests Homogeneous Subsets HATI Maximu m F 10,208 Sig. ,001 Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan EP N a 5 B 27,9400 E- 5 35,7800 K 3 38,5667 E+ 5 40,6400 Sig. 1,000 ,098 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Descriptives NEKROSA GINJAL N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimu m Maximu m K 3 23,9667 3,52326 2,03415 15,2144 32,7189 19,90 26,10 E+ 5 32,3600 2,76912 1,23839 28,9217 35,7983 27,80 35,00 5 29,8400 1,00896 ,45122 28,5872 31,0928 28,40 30,90 EP 5 23,3133 5,53226 2,47410 16,4441 30,1825 17,30 29,67 Total 18 27,7481 5,15327 1,21464 25,1855 30,3108 17,30 35,00 E- ANOVA GINJAL Sum of Squares 269,462 3 Mean Square 89,821 Within Groups 181,994 14 13,000 Total 451,456 17 Between Groups df F 6,909 Sig. ,004 Post Hoc Tests Homogeneous Subsets GINJAL Duncan Subset for alpha = .05 Perlakuan EP 5 a 23,3133 K 3 23,9667 E- 5 E+ 5 Sig. N B 29,8400 32,3600 ,795 ,324 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. LAMPIRAN 3. GAMBAR METODE SKORING Deskuamasi Epitel Deskuamasi epitel skoring 0 Deskuamasi epitel skor 2 Deskuamasi epitel skoring 1 Deskuamasi epitel skor 3 Deplesi folikel limfoid di Limpa Deplesi folikel limfoid (FL) skor 0 Deplesi folikel limfoid (DP) skor 1 Deplesi folikel limfoid skor 2 Keterangan: Hasil pengamatan deplesi folikel limfoid limpa pada semua kelompok perlakuan tidak ada yang menunjukan deplesi folikel limfoid skor 3. Hasil pengamatan infiltrasi PMN di limpa tidak ada yang menunjukan skor 3. Deposisi protein radang di limpa Deposisi protein radang skor 0 Deposisi protein radang skor 2 Deposisi protein radang skor 1 Deposisi protein radang skor 3 Infiltrasi sel radang di limpa Infiltrasi PMN skor 1 Infiltrasi PMN skor 2