STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN

advertisement
STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN
ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus
musculus) NEONATUS
MUNGKY WARDANELA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRAK
MUNGKY WARDANELA. Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian
Enterotoksin Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus.
Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan HERNOMOADI HUMINTO.
Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) merupakan bakteri motil, tidak
membentuk spora, dan Gram negatif fakultatif anaerob. Salah satu faktor virulen
E.sakazakii adalah enterotoksin. Enterotoksin E.sakazakii memiliki sifat
tahan/resistensi panas. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan
pengamatan/studi histopatologi pengaruh enterotoksin baik murni maupun yang
dipanaskan terhadap mencit neonatus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
efek enterotoksin terhadap organ serebrum, medula spinalis, hati, ginjal, usus dan
limpa. Penelitian ini menggunakan mencit neonatus umur 6-8 hari sebanyak 18
ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok. Kelompok I diberi enterotoksin positif
(E+), kelompok II diberi enterotoksin negatif (E-), kelompok III diberi
enterotoksin yang dipanaskan (Ep), sedangkan kelompok IV sebagai kontrol (K).
Pemberian enterotoksin dilakukan melalui rute peroral menggunakan kateter steril
khusus. Mencit neonatus dieuthanasi dan dinekropsi 3 hari pasca pemberian
enterotoksin. Mencit kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF)
10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan
melihat perubahan histopatologi pada organ serebrum, medula spinalis, hati,
ginjal, usus serta limpa. Parameter yang diamati adalah jumlah sel glia pada
cerebrum dan medula spinalis, kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah
sel radang dan deskuamasi epitel pada usus, jumlah folikel limfoid, megakariosit,
infiltrasi PMN, deplesi dan deposisi protein peradangan pada limpa. Data
numerikal hasil pengamatan dianalisa secara deskriptif dan statistika dengan uji
ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan sedangkan data skoring seperti
deskuamasi epitel usus halus diolah dengan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa enterotoksin E. sakazakii menyebabkan meningitis, enteritis
nekrotikan, splenitis, degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada hati dan
ginjal anak mencit neonatus. Selain itu, enterotoksin yang resisten terhadap panas
masih mempunyai kemampuan merusak organ mencit neonatus.
.
ABSTRACT
MUNGKY WARDANELA. Histopathological Study of Enterobacter sakazakii
Enterotoxin Effect on Neonatal Mice. Under direction of SRI ESTUNINGSIH
and HERNOMOADI HUMINTO.
Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) is a motile bacterium, nonsporeforming, and Gram-negative facultative anaerobe. Enterotoxin is one of
E.sakazakii’s virulence factor. Enterotoxin of E.sakazakii is heat resistant. This
reasearch was conducted by histopathology analysis to observed the effect of
purified or heated enterotoxin on neonatal mice. The aim of this reasearch is to
evaluate enterotoxin effect on cerebrum, spinal cord, liver, kidney, intestine,
spleen. Eightteen neonatal mice at the age 6-8 days old were divided into 4
groups. Group I, II, and III were given positive enterotoxin (E+), negative
enterotoxin (E-), heated enterotoxin (Ep), respectively and group IV as a control.
Enterotoxin was applied orally used sterile catheter.
The parameters were observed included numbers of glia cells in cerebrum
and spinal cord, degeneration of liver and kidney, inflammation and
desquamation of small and large intestine epithelium, amount of lymphoid follicle,
megakaryocyte, depletion, infiltration of Polymorphonuclear cells (PMN) of
spleen and deposition of inflammatory protein in the spleen. Numerical datas
were analyzed statistically using ANOVA and continued with Duncan test whereas
scorring data was analyzed with Kruskal-Wallis. The result showed that
E.sakazakii enterotoxin caused meningitis, enteritis necrotican, hydropic
degeneration and fatty degeneration on liver and kidney of neonatal mice. While,
heated enterotoxin able to alterate neonatal mice organs.
STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN
ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus
musculus) NEONATUS
MUNGKY WARDANELA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Penelitian
: Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin
Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus)
Neonatus
Nama
: Mungky Wardanela
NRP
: B04104034
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr.Drh.Sri Estuningsih, M.Si
Drh. Hernomoadi Huminto, MVS
NIP. 131 878 929
NIP. 130 354 144
Mengetahui,
Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini
Nip. 131 669 942
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi penelitian yang berjudul “Studi
Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii Pada
Mencit (Mus musculus) Neonatus” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi.
Bogor, November 2008
Mungky Wardanela
B04104034
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1986 di Manna, Bengkulu
Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan
Mussadik Basri, S.Sos. dan Aswari.
Pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak yang
diselesaikan tahun 1992 di TK Dharma Wanita Manna. Kemudian pendidikan
dasar yang diselesaikan tahun 1998 di SDN 8 Manna. Pendidikan lanjutan tingkat
pertama diselesaikan tahun 2001 di SLTPN 1 Manna dan Pendidikan menengah
umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 1 Manna.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada
Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)
pada tahun 2004. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus dalam
Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia selama satu periode (2005-2006),
anggota Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (2006-2007).
Penulis juga mendapatkan Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) selama
dua periode tahun 2006-2007 dan 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga skripsi yang berjudul “Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian
Enterotoksin Enterobacter sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus”
telah selesai.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada :
1. Keluarga Tercinta (Papa “Mussadik Basri,S.Sos” , Mama “Aswari”, Gusti
Meva, Itah Putri, dan adek Ully) atas kasih sayang, doa dan dukungan
semangat, moril serta materiil.
2. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi dan drh. Hernomoadi Huminto MVS selaku
dosen pembimbing atas segala kesabaran, bimbingan, dan waktu yang
diluangkan untuk membagi ilmu dan pengalaman mengenai sistematika
penulisan yang baik dan benar serta hadiah yang tak ternilai harganya si
lucu dan menggemaskan ”Rassy”.
3. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku dosen penguji.
4. Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc. selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan, tawa dan semangat selama perkuliahan.
5. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan
IPB yang membantu penulis selama penelitian. Pak Kasnadi, Pak Soleh,
Pak Endang, Bibi, Bu Meli, Mbak Kiki.
6. Herlin David Gandhi (Pipi) atas segala kesabaran, do’a, dan semangat
yang sangat besar serta bantuan yang tak terhitung.
7. Keluarga besar di Manna (Bengkulu Selatan) dan Lampung atas do’a dan
semangatnya.
8. Getri Grecilia (Bunda Gege), Dordia Anindita R. (Daito), Laorizia
Firmasari Dewi (Raizo) atas kerjasama ’de Powerpuff Gals’ yang baik,
tawa, sedih bersama, bantuan , semangat, dan sarannya.
9. Mbak Ochio, Kak Tri, atas bantuan, motivasi dan semangatnya.
10. Teman berbagi cerita, tawa-sedih dan inspirasi (Nina, Gege, Dini, dan
Ami). Terima kasih untuk 4 tahun ini dan selamanya ”frenz 4ever”.
11. Mida ”my siz”, Lilis, Iil atas semangat, doa, dan ASRAMA, KENDAL,
PEKALONGAN, serta SEMARANG yang indah.
12. Mbak Rhiska, Ayuk Au, Mbak Elpita atas semangat dan kisi-kisinya.
13. Anggota RC (uni Betty, Iyah, Gege, Mbak Yu, Yus, Puput dan Ana) atas
kehangatan keluarga II yang diberikan, serta Popon, Chamutz, Sugi,
Dhani, Pepet dan Rian.
14. Asteroidea ”41” TERBAIK dan TERISTIMEWA
15. Almamater tercinta FKH IPB (mensejahterakan manusia melalui
kesejahteraan hewan).
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua. Terima kasih.
Bogor, November 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. xii
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang....................................................................................... 1
Tujuan Penelitian................................................................................... 2
Manfaat Penelitian..................................................................................2
Hipotesa Penelitian ................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................
Mencit (Mus musculus) sebagai hewan coba.........................................3
Histologi organ penting .........................................................................6
Otak (cerebrum) .............................................................................. 6
Medula spinalis ...............................................................................10
Usus.................................................................................................11
Limpa .............................................................................................. 14
Hati.................................................................................................. 16
Ginjal...............................................................................................19
Enterobacter sakazakii .........................................................................22
Taksonomi....................................................................................... 22
Sifat .................................................................................................23
Faktor virulen dan patogenitas ........................................................ 24
Sumber penyebaran.........................................................................26
Respon tubuh terhadap pemberian enterotoksin .............................27
Meningitis ..................................................................................... 28
Sepsis ............................................................................................29
Enterocolitis necrotikan ................................................................30
Lesio akibat toksin pada organ hati dan ginjal .............................32
METODOLOGI ......................................................................................
Waktu dan tempat .................................................................................35
Bahan dan alat........................................................................................ 35
Metode penelitian .................................................................................. 36
Isolasi enterotoksin.................................................................................37
Pemberian enterotoksin E.sakazakii.......................................................37
Pembuatan preparat histopatologi .......................................................... 39
Parameter pengamatan histopatologi ...................................................41
Analisis data ........................................................................................42
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
Perubahan histopatologis organ usus .....................................................43
Perubahan histopatologi organ otak .......................................................49
Perubahan histopatologi organ medulla Spinalis ................................... 49
Perubahan histopatologi organ limpa .....................................................54
Gambaran histopatologi organ hati ........................................................ 58
Gambaran histopatologi organ ginjal .....................................................64
Gambaran umum pengamatan histopatologis akibat pemberian
Enterotoksin E.sakazakii........................................................................ 69
KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................
Kesimpulan ............................................................................................73
Saran ...................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 74
LAMPIRAN .............................................................................................. 80
DAFTAR TABEL
Data biologi mencit....................................................................................... 4
Varietas luas dari sumber lingkungan dan makanan ................................... 27
Hasil perhitungan rataan jumlah sel radang pada usus ...............................44
Hasil pengamatan deskuamasi epitel usus halus ......................................... 50
Hasil pengamatan deskuamasi epitel usus besar ......................................... 50
Hasil perhitungan rataan jumlah sel glia (cerebrum dan medula
spinalis).........................................................................................................50
Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit ............56
Hasil skoring rataan peringkat deplesi, infiltrasi pmn, dan deposisi protein
radang........................................................................................................... 56
Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi sel dan nekrosa hati................61
Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi sel dan nekrosa ginjal ............ 65
DAFTAR GAMBAR
Mencit dan anak mencit neonatus................................................................3
Gambar neuron dan jenis-jenis sel neuroglia............................................... 7
Gambar anatomi otak .................................................................................. 8
Gambar medula spinalis .............................................................................. 10
Lapisan meningen ....................................................................................... 11
Gambar histologi usus halus ........................................................................ 13
Gambar mikroskopis kolon.......................................................................... 14
Gambaran histologi limpa ............................................................................ 15
Gambaran histologi hati ...............................................................................16
Gambaran mikroskopik hati mencit............................................................. 18
Gambaran histologi ginjal ............................................................................ 20
Skematis nefron............................................................................................21
Enterobacter sakazakii.................................................................................22
Pemberian enterotoksin pada mencit neonatus ............................................38
Lokasi pemotongan anak mencit..................................................................39
Histogram perbandingan jumlah sel radang usus.........................................44
Usus halus kontrol ....................................................................................... 45
Usus halus perlakuan....................................................................................46
Usus besar perlakuan....................................................................................46
Histogram perbandingan jumlah sel glia serebrum dan medula spinalis.....51
Gambaran meningen serebrum normal .......................................................52
Gambaran meningen serebrum perlakuan....................................................53
Gambaran meningen medula spinalis perlakuan..........................................53
Gambaran folikel limfoid dan megakaryosit limpa kontrol......................... 54
Gambaran deplesi folikel limfoid dan deposisi protein radang ..................55
Gambaran nekrosa sel limfoid, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein
radang........................................................................................................... 55
Histogram perbandingan jumlah folikel limfoid & megakaryosit ............... 56
Gambaran degenerasi hidropis sel hati ........................................................ 59
Gambaran degenerasi lemak sel hati............................................................60
Gambaran nekrosa sel hati ...........................................................................60
Histogram perbandingan rataan jumlah degenerasi dan nekrosa sel hati .... 61
Histogram perbandingan degenerasi dan nekrosa sel epitel tubuli
proksimalis ginjal......................................................................................... 65
Gambaran degenerasi hidropis dan nekrosa ginjal.......................................66
Gambaran degenerasi lemak ginjal ..............................................................66
LAMPIRAN
Pemberian obat pada mencit ....................................................................... 81
Pengolahan data statistik .............................................................................. 82
Gambaran metode skoring ...........................................................................98
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam dekade ini diketahui suatu emergen pathogen baru Enterobacter
sakazakii (E.sakazakii) yang dapat menyebabkan enterokolitis nekrotikan,
meningitis dan sepsis pada bayi infan terutama dengan berat badan lahir rendah,
kurang dari 28 hari, bayi dalam keadaan immunokompromis (Iversen dan
Forsythe 2003). Kejadian infeksi tersebut menjadi kompleks karena telah terbukti
bahwa susu formula (Powdered Infant Formula – PIF) merupakan sumber infeksi
(Muytjen et al. 1988). Sampai saat ini dimanapun di dunia ini telah diketahui PIF
merupakan sumber makanan pengganti ASI, sehingga menjadi suatu hal yang
menakutkan bila ternyata PIF dapat menjadi sumber infeksi. Penelitian mengenai
kontaminasi E.sakazakii pada PIF telah banyak dilakukan (Himelright et al. 2002)
termasuk yang dipasarkan di Indonesia (Estuningsih 2006).
Bertolak belakang dengan penelitian yang berkaitan dengan kontaminasi
dan biologi E.sakazakii, penelitian mengenai kejadian meningitis, faktor virulen
dan patogenesis infeksi berupa enterokolitis, sepsis dan meningitis akibat
E.sakazakii masih belum banyak dilakukan. Sampai saat ini penelitian mengenai
faktor virulen E.sakazakii baru dilakukan oleh Pagotto et al. (2003) yang meneliti
mengenai kemampuan E.sakazakii memproduksi enterotoksin.
Enterotoksin
mempunyai kemampuan melisis sel pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO,
Vero, dan Y-1. Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii diketahui ada yang
bersifat resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in
vitro. Lebih lanjut Pagotto et al. (2003) telah menyatakan bahwa enterotoksin
tersebut menimbulkan kematian pada mencit yang masih menyusu (suckling
mice).
Namun demikian penelitian lebih lanjut yang mempelajari bentuk
kerusakan jaringan akibat efek enterotoksin belum pernah dipublikasikan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari perubahan histopatologi kelainan atau
perubahan pada organ-organ penting seperti otak, medula spinalis, limpa, usus,
hati dan ginjal pada tubuh mencit neonatus setelah diberi enterotoksin.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kerusakan
jaringan tubuh mencit neonatus sebagai model bayi bila terinfeksi oleh
E.sakazakii yang mampu menghasilkan enterotoksin. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai penyakit akibat infeksi
E.sakazakii.
Hipotesa Penelitian
HO
1.
:
Enterotoksin
yang
dihasilkan
oleh
E.sakazakii
menyebabkan
meningitis, sepsis, enterokolitis nekrotikan dan kejadian degenerasi
pada ginjal dan hati anak mencit neonatus.
2.
Enterotoksin yang resisten terhadap panas masih mempunyai
kemampuan merusak organ vital mencit neonatus.
HI
1.
:
Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii tidak menyebabkan
meningitis, sepsis, enterokolitis nekrotikan dan kejadian degenerasi
pada ginjal dan hati anak mencit neonatus.
2.
Enterotoksin yang resisten terhadap panas sudah tidak memiliki
kemampuan merusak organ mencit neonatus.
TINJAUAN PUSTAKA
Mencit (Mus musculus)
Mencit telah digunakan sebagai subjek penelitian sejak abad ke-19. Dalam
beberapa dekade pengembangbiakan
dengan karakteristik spesifik telah
menyediakan variasi genetik yang sangat luas dan terkarakteristik dengan baik
secara anatomi dan fisiologi. Sebagai hasilnya, mencit menjadi hewan penelitian
yang paling banyak dipakai.
Oleh karena tingkat kesuburannya (potensial
reproduksi), masa kebuntingan yang singkat, dan jangka hidup yang pendek
membuat hewan ini dijadikan hewan model untuk pelajaran teratologi, genetik
dan gerontologi. Selain itu, karena ukurannya yang kecil dan murah harganya,
hewan ini juga digunakan untuk pelajaran toksikologi dan karsinogenisitas (Sirois
2005).
Mencit
yang paling banyak digunakan di laboratorium adalah mencit
Albino Swiss (Swiss Albino Mice) yang dibagi berdasarkan sifat genetik dan sifat
lingkungan hidupnya (Malole 1989). Sedangkan berdasarkan subspesiesnya,
mencit yang sering digunakan Mus musculus domesticus dan Mus musculus
musculus seperti tampak pada Gambar 1 (Anonimus 2006a).
Gambar 1. Mencit dan anak mencit neonatus
I. Taksonomi
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Ballenger 1999):
kingdom
filum
subfilum
kelas
subkelas
ordo
suborde
famili
subfamili
genus
spesies
: Animalia
: Chordata
: Vertebrata
: Mamalia
: Theria
: Rodensia
: Sciurognathi
: Muridae
: Murinae
: Mus
: Mus musculus
II. Data Biologi Normal (Smith & S. Mangkoewidjojo 1988)
TabeI I. Data Biologis Mencit
Data Biologis
Waktu/Jumlah
Berat dewasa
a. Jantan
b. Betina
Lama hidup
Konsumsi air
Konsumsi pakan
20-40 g
18-35 g
1-3 tahun
6,7 ml/dewasa/hari
5 g/dewasa/hari
Suhu tubuh
Denyut jantung
Frekuensi napas
Total leukosit
a. Neutrofil
b. Limfosit
c. Monosit
d. Eosinofil
e. Basofiil
Pubertas
Musim kawin
Tipe estrus
Lama estrus
Estrus postpartum
Lama bunting
Jumlah anak
Berat lahir
Mata terbuka
Masa disapih
Puting susu
Plasenta
35-39oC
310-840/menit
94-163/menit
5-12 x 103/mm3
7-37%
63-75%
0-3%
0-4%
0-1,5%
28-49 hari
tidak ada
poliestrus kontinyu
4-5 hari
14-24 jam
19-21 hari
rata-rata 6 sampai 15 anak
1,0-1,5 g
12-13 hari
21 hari
10 putting, 3 pasang di daerah dada
dan 2 pasang di daerah abdomen
diskoidal hemokorial
III. Metode Perbiakan (Smith & S.Mangkoewidjojo 1988)
Ada dua macam metode perkawinan yang biasa dipakai pada mencit, yaitu :
 Perkawinan monogami, satu jantan dan satu betina dalam satu kandang.
Anak-anak mencit dipindahkan dari kandang pada saat masa sapih (sekitar
berumur 21 hari).
Keuntungan: reproduksi betina sebagai estrus postpartum maksimal dan
data perkawinan dari jantan dan betina lengkap.
Kerugian: dibutuhkan banyak jantan.
 Perkawinan Poligami (Harem), satu jantan dikandangkan dengan 2-5
betina.
Para betina dipisahkan dari kandang ketika mulai terlihat bunting dan
dikembalikan ke kandang setelah selesai menyapih anak-anaknya.
Walaupun catatan reproduksi individu yang tersedia sesuai dengan
metode ini, tetapi reproduksi betina tidak dimaksimalkan sebagai estrus
postpartum.
Para betina
tetap dalam kandang perkawinan, dengan hasil multipel
keturunan sepersusuan dalam satu kandang yang sama (terkadang saling
berhubungan seperti sebuah koloni). Hal ini akan memaksimalkan
reproduksi tetapi mempersulit pencatatan.
IV. Sistem perkawinan
Menurut Malole (1989) berdasarkan sifat genetiknya terdapat 3 macam
mencit :
1. Random breed mice yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan
mencit yang tidak ada hubungan keturunan.
2. Inbreed mice yaitu mencit yang secara genetis homogen karena
merupakan hasil perkawinan antar saudara (brother sister matting)
sebanyak lebih dari 20 tingkat.
3. F1 hybrid yaitu hasil perkawinan antara dua galur yang inbred.
Pada umumnya, strain laboratorium dari mencit ini merupakan inbreed. Hal
ini dilakukan supaya hewan ini mudah diidentifikasi secara genetik (Anonimus
2006a dan Sirois 2005).
Histologi Organ Penting
Sistem Saraf Pusat (Otak)
Menurut Dellmann dan Eurell (1998), parenkhim jaringan saraf terdiri dari
neuron dan sel penunjang yang disebut neuroglia. Jaringan saraf dalam bentuk
sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) atau Central Nerovus System
(CNS) dan susunan saraf perifer/tepi (SST) atau Peripheral Nervous System
(PNS). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan SST terdiri dari
nervus cranialis dan spinalis yang dihubungkan dengan
saraf (nervus) dan
ganglia yang berupa syaraf motorik dan syaraf sensorik (Lu 1995).
Neuron
Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf. Selain
itu, neuron juga sebagai unit tropik karena sifatnya dalam mentransformasi dan
menyokong sesuatu yang diinervasikan.
Dengan pengecualian sel reseptor
olfaktorius, neuronnya khas dengan tidak mempunyai kemampuan mitosis.
Struktural neuron terdiri dari badan sel dan serabut saraf yang terdiri dari dendrit
dan akson (Dellmann dan Eurell 1998).
Dari segi patologi, menurut Macfarlane et al. (2000), neuron sangat sensitif
terhadap kerusakan oleh berbagai macam agen termasuk anoksia, hipoglikemia,
infeksi virus dan gangguan metabolik intraseluler (misalnya: yang berhubungan
dengan defisiensi vitamin B).
Ada dua tipe utama kerusakan neuron yang
tergantung dari kecepatan perubahannya.
Pertama, nekrosis cepat.
Hal ini
berkaitan dengan kegagalan fungsi akut, misalnya kerusakan agen berupa
hipoksia, akan menyebabkan nuklear menjadi piknosis dan sitoplasma mengkerut
dan kemudian terjadi pemutusan sel dengan memfagositosis sel debri. Kedua,
atrofik lambat. Hal ini berhubungan dengan kehilangan fungsi secara berangsurangsur.
Neuron biasanya mengecil atau dapat juga menggelembung disertai
metabolit abnormal dan pada akhirnya terjadi pemutusan sel neuron (Macfarlane
et al. 2000).
b. Neuroglia
Neuroglia terdiri atas lebih dari 90% sel yang membangun sistem saraf. Sel
neuroglia (gliosit) relatif kecil. Dengan pewarnaan biasanya, hanya nuklei dan
perikarya yang terlihat.
Secara bersamaan, neuroglia menyediakan dukungan
struktural dan fungsional. Tidak seperti neuron yang matang, gliosit tetap dapat
bermitosis dan mereka dapat menjadi sebuah tumor pada sistem saraf. Gliosit
yang ditemukan di SSP adalah astrosit, oligodendrosit, sel mikroglia (makrofag)
dan sel ependima (lihat Gambar 2) (Dellmann dan Eurell 1998).
Sedikit berbeda, menurut Ganong (2002) pada SSP, terdapat tiga jenis
utama sel glia.
Mikroglia yang merupakan sel “pemakan bangkai” yang
menyerupai sel-sel makrofag jaringan. Mereka mungkin berasal dari sumsum
tulang
dan
masuk
ke
sistem
saraf
melalui
sistem
sirkulasi
darah.
Oligodendrogliosit berperan dalam pembentukan mielin. Astrosit mempunyai dua
subtipe.
Astrosit fibrosa, yang mengandung banyak filamen antara, terdapat
terutama di substansia putih.
Astrosit protoplasmik, ditemukan di substansi
kelabu dan mempunyai sitoplasma yang granular (lihat Gambar 2).
N
N
As
O
Ax
K
E
Mg
Gambar 2. Gambaran neuron dan jenis-jenis sel neuroglia. Keterangan: kapiler (k), neuron
(N), akson (Ax), oligodendrosit (O), sel ependimal (E), mikroglia (Mg) dan
astrosit (As) (Sumber: Fox 2004)
Histologi Serebrum
Otak berfungsi dalam menginisiasi pergerakan, koordinasi pergerakan,
pengaturan temperatur, pusat keterampilan, penglihatan, pendengaran, emosi dan
pusat belajar (Anonimus 2008a).
Dari segi anatomi, otak terdiri dari 1010-1011 neuron yang saling
berhubungan erat melalui dendrit dan akson. Satu neuron dapat menerima sinaps
sebanyak 103-105 dari neuron lainnya. Otak terbentuk ketika bagian frontal dari
SSP telah berlipat. Otak terdiri dari 5 bagian, yaitu : serebrum, diensefalon, otak
tengah, serebelum dan medula oblongata (lihat Gambar 3) (Anonimus 2005).
Serebrum otak terdiri dari hemisfer cerebral berpasangan yang dilintasi oleh
midline dari substansi alba yang disebut dengan corpus callosum (Eurell 2006).
Hemisfer dibagi ke dalam empat lobus yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus
occipitalis, dan lobus temporalis (Anonimus 2005).
Gambar 3. Anatomi otak manusia ( Sumber: Anonimus 2005)
Pada permukaan masing-masing hemisfer terdapat gyri dan dibatasi oleh
sulci. Permukaan yang dibungkus oleh substansi kelabu (substansi grisea) disebut
korteks cerebral. Ciri-ciri neuron dari koreks cerebral memiliki badan sel yang
berbentuk piramid, diorientasikan dengan apexnya yang diarahkan pada
permukaan.
Dendrit muncul dari apex dan tepi basal sel piramid.
Akson
berangkat dari pusat basal dan masuk ke substansi putih (Dellmann dan Eurell
1998).
Otak memiliki tiga buah ventrikel dan berisi cairan cerebrospinal atau
cerebrospinal fluid (CSF) yang berfungsi melindungi otak.
Apabila kepala
mengalami suatu benturan, maka arachnoid bergeser terhadap dura mater dan
bergerak, tetapi gerakan tersebut dengan lembut dihentikan oleh CSF dan
trabekula arachnoid. Benturan yang menimbulkan nyeri merupakan akibat dari
defisiensi CSF (Ganong 2002).
Selain itu, otak juga memiliki suatu sistem
pertahanan otak yang biasa disebut dengan Blood Brain Barrier (BBB) yang
efektif menangkal berbagai neurotoksin karena struktur BBB dengan sel-sel
endothelial kapilernya yang sangat rapat sehingga hanya sedikit atau tidak ada
pori-pori di antara sel tersebut (Lu 1995). Air, CO2, dan O2 menembus otak
dengan
mudah.
Demikian pula bentuk lemak-larut dari steroid hormon,
sedangkan ikatan protein dan secara umum semua protein dan polipeptida tidak
mudah menembus otak (Ganong 2002).
Pada bayi baru lahir jika sistem
pertahanan belum terbentuk sempurna maka zat toksik akan mudah masuk ke
dalam SSP (Delmann dan Eurell 1998). Akan tetapi, BBB tidak akan berfungsi
sempurna sampai hari ke-16 perkembangan embrio, walaupun taut erat (tight
junction) dapat diamati dari endotelium cerebral sejak permulaan vaskularisasi
(embrio berumur 10 hari) (Radovsky dan Mahler 1999).
Hubungan antara sel glia dan neuron sangat kompleks dan penting. Sering
sekali reaksi sel glia digambarkan dengan jelas ketika sistem neuron dalam
keadaan patologis (Radovsky dan Mahler 1999).
Bila dilihat dari segi reaksi
terhadap kerusakan, tiga jenis sel utama neuroglia memiliki respon yang berbedabeda. Astrosit, kurang peka terhadap kerusakan dibandingkan dengan neuron.
Apabila sel astrosit mengalami kerusakan tetapi belum sampai membunuh sel
tersebut, sel akan berlipat ganda dan membesar, serta terjadi peningkatan produksi
fibril. Kemudian, sel akan atrofi dan meninggalkan sisa berupa jalinan fiber.
Proses ini disebut gliosis. Oligodendrosit, bila neuron membengkak dan terjadi
kromatolisis maka terjadi peningkatan jumlah oligodendrosit besar dan proses ini
disebut dengan satelitosis. Selain itu, bila terjadi kerusakan jaringan maka sel
mikroglia akan memfagosit semua hasil degradasi seperti lemak dan
haemosiderin. Dengan demikian, sel mikroglia juga dapat disebut sebagai lipofag
selain gitter cells ( Macfarlane et al. 2000).
Medula spinalis
Medula spinalis yang berbentuk silinder dapat dibagi ke dalam beberapa
segmen yang dibatasi dengan kemunculan bilateralis nervus spinalis dorsal dan
ventral.
Sebuah potongan melintang Medula spinalis menunjukkan canal
centralis yang dikelilingi oleh penampilan berbentuk kupu-kupu dari substansi
abu-abu, yang di dalam putarannya dikelilingi oleh substansi putih seperti pada
Gambar 4 (Dellmann dan Eurell 1998). Ligamentum densikulata terlihat jelas di
antara pia mater dan dura mater. Pada setiap setengah bagian medula spinalis,
substansi alba dibagi ke dalam funikulus dorsalis, funikulus lateralis, dan
funikulus ventralis (Eurell dan Frappier 2006)
Gambar 4.
Medula spinalis. Keterangan: substansi abu-abu (gm), substansi putih (wm),
ligamentum densikulata (dent), dura mater (d.m.), dorsal roots (d.r.), funikulus
dorsalis (DF), funikulus lateralis (LF), dan funikulus ventralis (VF) (Sumber:
Dellmann & Eurell 1998)
Meningen
Otak dan Medula spinalis diselubungi oleh meningen yang terdiri dari
kolagen dan fiber elastis. Secara umum, tiga lapisan meningen diurutkan dari
bagian superfisial sampai ke bagian dalam : dura mater, arachnoid, dan pia mater
(Radovsky dan Mahler 1999). Dura mater terkadang disebut pachymeninx karena
strukturnya yang tebal dan kuat. Arachnoid dan pia mater secara bersamaan
disebut leptomeninges karena keduanya halus dan terhubung secara embriologik
dan fisik.
Suatu ruang subarachnoid mengandung CSF yang memisahkan
arakhnoid dari pia mater (Gambar 5) (Dellmann dan Eurell 1998). CSF dan
meningen secara bersamaan berfungsi melindungi otak (Ganong 2002).
T
DM
A
P
O
Gambar 5. Lapisan meningen. Keterangan: tengkorak (T), dura mater (DM), pia mater (P),
arachnoid (A), dan otak (Sumber: Dellmann & Eurell 1998)
Usus
Usus kecil dan usus besar dapat bertindak sebagai barrier penting atau rute
masuknya makanan atau terhirupnya dan tertelan toksikan atau zat karsinogenik.
Bila toksikan atau bahan karsinogenik mencapai usus melalui rute peroral atau
sirkulasi enterohepatik, maka biotranformasi dan aktivasi atau deaktivasi dari
bahan ini dapat terjadi. Dalam pembelajaran toksisitas dan karsinogenisitas, hal
ini penting sekali bahwa traktus usus terbuka penuh dan permukaan mukosa serta
serosa diperiksa untuk melihat kemungkinan timbulnya neoplasma atau lesio
makroskopi lainnya. Lesio makroskopi diidentifikasikan pada nekropsi, disiapkan
untuk diperiksa dengan mikroskop dengan melakukan potongan melintang pada
masing-masing daerah usus kecil dan usus besar dan langsung dimasukkan dalam
larutan fixatif (Shackelford dan Elwell 1999).
Adanya toksin yang menyerang usus akan mengakibatkan sel epitel mati.
Hal ini menyebabkan tidak adanya pengaturan integritas barrier cairan antara
lumen dan lamina propria. Sebagai konsekuensinya, cairan tubuh berpindah bebas
ke dalam lumen dan memacu terjadinya diare berair, dehidrasi yang parah serta
menyebabkan kematian (King 2007).
Usus Kecil
Usus kecil terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
Ketiga bagian merupakan penonjolan dari propria, dibungkus oleh epitel
permukaan, sampai dalam lumen usus (King 2007).
Pencernaan usus, atau pereduksian makanan menjadi bentuk yang dapat
diserap, dimulai ketika kandungan makanan dari lambung bekerja atas pengaruh
sekresi pankreas, empedu, dan sekresi usus, dan hal ini berlanjut di sepanjang
usus kecil (Dellmann dan Eurell 1998).
Mukosa usus halus dicirikan dengan vili dan plika yang meninggi di daerah
permukaan untuk menyerap nutrisi dan terdapat tubular pendek yang melekuk ke
dalam sebagai sisi pelindung stem cells, yang disebut kripta. Ujung bebas sel-sel
vilus dilengkapi mikrovili yang halus. Mikrovili ini diselimuti oleh glikokaliks,
lapisan amorf yang kaya akan gula netral dan gula amino. Mikrovili dan
glikokaliks membentuk brush border (Ganong 2002). Struktur mukosa intestin
dapat berubah akibat proses patologi seperti enteritis iskemia dan enterokolitis
nekrotikan yang ditandai dengan vili yang tumpul atau hilang (King 2007).
Epithelium kolumnar sebaris dan sel goblet menutupi jaringan konektif lamina
propria masing-masing vili (Eurell 2006). Sel goblet menghasilkan mukus untuk
melindungi sel dari perlukaan mekanis dan iritan (Dellmann dan Eurell 1998).
Pada basal vili, kelenjar usus meluas ke bagian dalam sampai lamina propria
bagian dasar (Eurell 2006). Lapisan luar membran sel mukosa mengandung
banyak enzim yang berperan dalam proses pencernaan yang diawali oleh enzim
air liur, lambung, dan pankreas. Enzim yang terdapat pada membran inti ialah
berbagai disakaridase, peptidase, dan enzim yang terlibat dalam penguraian asam
nukleat (Ganong 2002).
E
K
LP
TM
S
Gambar 6. Gambaran histologi usus halus (Sumber: Anonimus 2006). Keterangan : epitel (E),
kripta (K), lamina propria (LP), tunika muskularis (TM), dan serosa (S).
Pada lamina propria dan submukosa dapat ditemukan limfosit, sel plasma,
makrofag, eosinofil dan sel mast (Shackelford dan Elwell 1999). Otot halus
lamina muskularis berada di antara kelenjar usus (kelenjar Brunner) dan
submukosa seperti tampak pada Gambar 6 (Eurell 2006).
Enterosit pada usus halus dibentuk dari sel-sel yang tidak berdiferensiasi
yang membelah secara aktif di kriptus Lieberkuhn. Sel-sel ini bermigrasi ke ujung
vilus, mengalami apoptosis kemudian terlepas (deskuamasi epitel) secara
fisiologis proses ini terjadi . Kemudian dilepaskan ke dalam lumen usus dalam
jumlah besar (Ganong 2002).
Usus Besar
Usus besar dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu sekum, kolon dan rektum
serta canalis anal. Usus besar ditandai dengan tidak adanya vili dan peningkatan
sel goblet secara berangsur-angsur berlanjut sampai ke belakang (Dellmann dan
Eurell 1998). Oleh karena tidak ada vili, permukaan usus besar ini licin (King
2007). Secara garis besar, sekum, kolon, dan rektum sulit dibedakan berdasarkan
histologinya. Karakteristik dari ketiga segmen ini adalah tidak adanya vili, kurang
bergulung, dan kelenjar usus simpel tubular dengan banyak sel goblet (Gambar 7)
(Delmann dan Eurell 1998).
LP
SM
TMS
TML
Gambar 7. Gambaran mikroskopis kolon (Sumber: Anonimus 2006). Keterangan: lamina propria
dengan sel goblet (LP), submukosa (SM), tunika muskularis sirkuler (TMS), dan
tunika muskularis longitudinal (TML) .
Sekum, mukosanya mirip dengan kolon, tetapi lebih banyak jaringan
limfoid. Lamina propria dikelilingi kripta dan banyak nodul limfatik. Muskularis
mukosa tipis. Tidak begitu berbeda dengan kolon dan rektum, epithelium absopsi
dan sekresi berbentuk kripta tanpa vili. Lamina propria dikelilingi oleh kripta
(yaitu mengisi celah antaranya). Muskularis mukosanya juga tipis (King 2007).
Usus besar memiliki fungsi sebagai tempat/lokasi mikroba dalam mencerna
sisa makanan, absorpsi air, vitamin, elektrolit dan sekresi mukus (Delmann dan
Eurell 1998).
Limpa
Limpa merupakan organ limfatik sekunder utama yang berkaitan dengan
filtrasi darah dan menghasilkan respon imun ketika ada serangan dari antigen
melalui aliran darah. Aktivitas hematopoiesis dari limpa hewan dewasa adalah
limfopoiesis sedangkan pada fetus atau neonatus, fungsi utama limpa adalah
eritropoiesis (Press dan Landsverk 2006). Menurut Aughey dan Frye (2001),
limpa berfungsi sebagai tempat terjadinya limfopoiesis, fagositosis eritrosit tua,
mengakumulasi limfosit dan makrofag, tempat cadangan darah, dan sebagai organ
pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah (Junqueira
dan Carneiro 1982).
Limpa memiliki kapsula yang terdiri atas otot halus dan jaringan ikat elastis
(Bacha dan Bacha 2000). Trabekula tersusun atas kolagen dan jaringan ikat
elastis serta sel-sel otot halus yang merupakan perpanjangan dari kapsula (Press
dan Landsverk 2006). Parenkhim limpa terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih
(Gambar 8) (King 2007). Pulpa merah merupakan tempat penyimpanan eritrosit,
penjeratan antigen, dan tempat terjadinya eritropoiesis. Pulpa putih merupakan
bagian tempat terjadinya tanggap kebal atau respon imun (Tizard 2004).
Gambar 8. Gambaran Histologi Limpa. Keterangan: kapsula (c), trabekula (t), pulpa putih (p) dan
pulpa merah (m) (Sumber: Eurell dan Frappier 2006).
Pulpa merah merupakan bagian parenkhim limpa terbesar dan massa
berwarna merah gelap serta disuplai oleh arteri dan dialiri oleh sinus vena
(Slomianka 2006). Eritrosit, makrofag, megakaryosit, sel plasma, limfosit, dan
granulosit dapat ditemukan di pulpa merah (Ward et al 1999).
Pulpa putih
tersusun atas nodul limfatik yang tersebar pada jaringan limfatik dan disebut
periarterial lymphatic sheaths (PALS) (Press dan Landsverk 2006), folikel
limfoid dan zona marginal (Ward et al. 1999). Pulpa merah dan pulpa putih
dipisahkan oleh zona marginal (Bacha dan Bacha 2000).
Zona marginal
melakukan peranan yang penting dalam memproses antigen (Ward et al. 1999).
Antigen yang menyerang limpa akan dijerat oleh makrofag di zona marginal
dan di sinusoid pulpa merah. Kemudian sel ini akan membawa antigen ke folikel
primer di pulpa putih dan setelah beberapa hari terjadi migrasi sel B untuk
menghasilkan antibodi. Sel B akan menempati zona marginal dan pulpa merah
(Tizard 2004).
Setelah adanya rangsangan dari antigen ini maka terjadilah
perubahan folikel primer menjadi germinal center (Ward et al. 1999) dan dengan
demikian disebut dengan folikel sekunder (Tizard 2004).
Peradangan pada limpa (splenitis) dapat berbentuk seperti pembesaran,
hiperemi akut, degenerasi, nekrosa sel limfoid, dan infiltrasi sel radang (PMN).
Hemoragi pada limpa dapat terjadi akibat terpapar bahan kimia maupun radiasi
sedangkan kongesti dapat disebabkan oleh metode euthanasia atau prosedur
nekropsi.
Banyaknya eritrosit pada limpa menyebabkan kejadian hemoragi,
kongesti dan angiektasis susah dibedakan (Ward et al. 1999).
Hati
Hati merupakan kelenjar yang besar dan berlobus. Masing-masing lobus
ditutup oleh sebuah mesotelium, di bawahnya terdapat kapsula dari Glisson,
lapisan jaringan penghubung yang tipis.
Masing-masing lobus terbagi dalam
sejumlah lobulus klasik yang terdiri dari sinusoid dan gambaran dari sel
parenkhim, hepatosit, yang menjari teratur sekitar vena centralis (Bacha dan
Bacha, 2000). Lobus hati berbentuk heksagonal dan vena centralis sebagai pusat
cabangnya sedangkan portal canal terletak di luar batas lobus. Lobus portal
merupakan wilayah segitiga yang berpusat pada duktus empedu di portal canal
(Gambar 9) (King 2007).
Gambar 9. Gambaran histologi hati ( Sumber: King 2002)
Hati tersusun dalam lobulus-lobulus, yang di dalamnya mengandung darah
dari cabang-cabang vena porta mengalir melewati sel-sel hati melalui sinusoid ke
vena sentral di setiap lobulus. Terdapat celah-celah besar di sel endotel, dan
plasma berkontak erat dengan sel hati. Biasanya hanya terdapat satu lapisan
hepatosit di antara sinusoid-sinusoid, sehingga luas permukaan kontak total antara
sel hati dengan plasma sangatlah besar. Darah arteri hepatica juga masuk ke
dalam sinusoid. Vena-vena centralis bergabung membentuk vena hepatica, yang
mengalir ke dalam vena cava cranialis. Semua darah yang mengalir melewati
usus dan limpa akan diterima oleh hati melalui vena portal hepatica. Darah portal
tidak hanya membawa nutrisi tetapi juga membawa berbagai macam kontaminan
(obat-obatan, toksin dari makanan, dan bakteri) yang terserap melalui mukosa
usus atau yang diproduksi oleh limpa. Selain itu, hati juga mendapat suplai darah
dari arteri yang membawa oksigen dari arteri hepatica (King 2007).
Pada endotel sinusoid banyak melekat makrofag (sel Kupffer) yang
berproyeksi ke dalam lumen (Gambar 10) (Ganong, 2002).
Sel Kupffer
merupakan sistem retikuloendotel dengan fungsi utama menelan bakteri dan
benda asing lain dalam darah oleh sebab itu hati merupakan salah satu organ
utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Wilson dan
Lester 1995). Di samping itu, sel Kuffer juga memfagosit partikel, detoksifikasi
endotoksin, sekresi mediator inflamasi, memproses antigen, dan mengkatalis
glikoprotein serta lemak (Harada et al. 1999)
Gambar 10. Gambaran mikroskopik hati mencit (Sumber: King 2002)
Menurut Ganong (2002), hati memiliki fungsi sebagai berikut :
pembentukan dan sekresi empedu; metabolisme nutrient dan vitamin (seperti
glukosa dan gula lain, asam amino, lipid, vitamin yang larut dalam lemak, vitamin
yang larut dalam air); invasi beberapa zat (toksin, steroid, hormon); sintesis
protein plasma dan imunitas (sel Kupffer).
Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu 1995). Dua hal yang menjadi
penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah dari
vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga
memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam,
mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke
hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan
biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk
dieliminasi oleh tubuh.
Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat
sementara dan tetap.
Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi
mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini
biasa disebut dengan degenerasi (Carlton dan McGavin 1995). Terdapat beberapa
bentuk kerusakan sel hati berupa degenerasi di antaranya adalah degenerasi lemak
dan degenerasi hidropis.
Selain itu dapat terjadi juga mineralisasi, nekrosa,
pigmentasi, dan hipersekresi mukosa (Harada et al.1999).
Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa kebengkakan
sitoplasma yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Degenerasi hidropis
terjadi akibat sebagai respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas,
virus, bakteri, dan perlukaan bermediasi imun (McGavin et al. 2007).
Pengamatan histopatologi pada sel yang mengalami degenerasi hidropis akan
berpenampakan seperti bervakuol berisi cairan dan sitoplasma membengkak
(Underwood 1992).
Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari
degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu memetabolisme lemak dengan baik
sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel. Pengamatan histopatologi sel yang
mengalami degenerasi lemak ini memperlihatkan adanya vakuola yang jelas
(Macfarlane 2000). Menurut Cheville (1999), kerusakan sel yang berkelanjutan
dapat menyebabkan sel mengalami kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua
mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa. Apoptosis adalah bentuk kematian sel
terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis),
dan adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak
melibatkan sel radang.
Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang
berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat
cepat (Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk
menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville
1999).
Ginjal
Ginjal mencit memiliki tekstur yang halus, berwarna merah kecoklatan, dan
menggantung bebas pada dorsal dinding tubuh dikelilingi oleh jaringan adiposa
(Seely 1999). Pada semua spesies, arteri dan vena renalis, limfatik, saraf dan
ureter melewati lekukan tunggal atau hilus. Semua ginjal dilingkupi oleh jaringan
konektif kapsul yang tersusun atas serat kolagen utama tetapi dapat juga tersusun
atas sejumlah otot licin. Posisi ginjal yang retroperitoneal biasanya terdapat satu
permukaan dengan peritoneum (mesotelium, dan lapisan tipis jaringan konektif),
yang ditutupi oleh jaringan adiposa. Ginjal dibagi atas dua bagian yaitu korteks
(bagian luar) dan medula (bagian dalam) (Dellmann dan Eurell 1998).
Pembagian tubulus renalis seperti halnya aliran filtrasi yang berasal dari
darah hingga menjadi tetes-tetes urin dari parenkhim ginjal yaitu meliputi nefron
yang terdiri atas korpuskel ginjal (glomerulus dan kapsula Bowman’s), tubuli
proksimal dan tubuli distal, macula densa, dan jerat henle. Selain nefron adalah
sistem duktus pengumpul (Gambar 11) (Dellmann dan Eurell 1998).
Gambar 11 . Gambaran Histologi Ginjal (Sumber: King 2002). Keterangan: glomerulus (glom),
tubuli proksimalis (p) dan tubuli distalis (d).
Unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus,
tubulus proksimalis yang berbelok-belok dan lurus, jerat henle desendens dan
ascendens, segmen yang lurus, dan tubulus distalis (Seely 1999). Secara skematis
tampak seperti pada Gambar 12.
Gambar 12. Skematis nefron (Sumber: King 2007)
Dalam perjalanan sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan
berkurang dan susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus (penyerapan
kembali air dan zat terlarut dari cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi
zat terlarut ke dalam cairan tubulus) untuk membentuk kemih (urine) yang akan
disalurkan ke dalam pelvis renalis. Air serta elektrolit dan metabolit penting
lainnya akan diserap kembali. Selain itu, susunan urine dapat berubah-ubah, dan
banyak mekanisme pengaturan homeostasis yang mengurangi atau mencegah
perubahan susunan cairan ekstrasel (CES) dengan cara mengubah jumlah air dan
zat terlarut tertentu yang dieksresi melalui urine. Dari pelvis renalis, urine
dialirkan ke dalam vesika urinaria (kandung kemih) untuk kemudian dikeluarkan
melalui proses berkemih, atau miksi (Ganong, 2002).
Fungsi ginjal dalam toksisitas dapat dievaluasi melalui urinalisis dan
penentuan serum darah, seperti kreatinin dan nitrogen urea darah. Urin mencit
memiliki berat jenis yang tinggi. Proteinuria secara normal ada pada mencit dan
meningkat pada mencit jantan dewasa kelamin karena pengaruh hormon
testosteron. Albumin dan prealbumin berespon terhadap proteinuria. Ginjal mencit
juga mensintesa MUP (Mouse Urinary Protein), suatu protein yang hampir sama
dengan alfa-2u-globulin yang ada pada tikus. Akan tetapi MUP pada mencit tidak
direabsorpsi oleh ginjal dan mempunyai sifat ikatan yang berbeda. Ginjal mencit
mempunyai sistem enzim tertentu dalam membantu proses metabolisme,
detoksifikasi, dan biotransformasi xenobiotik (Seely, 1999).
Dalam analisis toksipatologi, gangguan atau kerusakan ginjal diperiksa
secara histopatologis. Toksin menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada epitel
tubuli terutama di bagian proksimal. Bentuk kerusakan pada ginjal akibat dari
toksin adalah adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada sel
epitel tubuli proksimalis (Seely 1999).
Enterobacter sakazakii
Taksonomi
Klasifikasi Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) menurut Hormaeche dan
Edwards dalam Anonimus (2007a) sebagai berikut :
kingdom
: Bacteria
filum : Proteobacteria
kelas
: Gamma Proteobacteria
ordo
: Enterobacteriales
famili : Enterobacteriaceae
genus : Enterobacter
spesies : Enterobacter sakazakii
Gambar 13. E. sakazakii dengan ukuran bar 1m (Sumber: Anonimus 2004b)
Namun seiring dengan perkembangannya, muncul pendapat baru mengenai
taksonomi E.sakazakii, yaitu E. sakazakii dimasukan ke dalam genus Cronobacter
sehingga namanya berubah menjadi Cronobacter sakazakii (Iversen et al. 2007).
Cronobacter sendiri merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob, oksidase
negatif, berbentuk batang dan berasal dari famili Enterobacteriaceae (Anonimus
2008c).
Sifat Enterobacter sakazakii
Enterobacter sakazakii merupakan bakteri motil, non-spora, serta Gram
negatif fakultatif anaerob. Bakteri ini telah dikenal sebagai Enterobacter cloacae
berpigmen kuning sampai tahun 1980 ketika didesain sebagai spesies baru oleh
Farmer, Asbury, Hickman dan Brenner untuk menghormati bakteriolog Jepang
Dalam studinya mengenai E.sakazakii dinyatakan bahwa
Riichi Sakazakii.
E.sakazakii melalui hibridisasi DNA-DNA memiliki korelasi 53-54% dengan
spesies Enterobacter dan Citrobacter.
Dari perbandingan kedua genus ini
didapatkan 41% berkorelasi dengan Citrobacter freundii dan 51% dengan
Enterobacter cloacae (Iversen dan Forsythe 2003).
Enterobacter sakazakii dapat tumbuh pada temperature 6-470 C. Pada suhu
kamar (210C), waktu yang digunakan untuk membelah menjadi dua adalah kirakira 75 menit.
Sedangkan, pada suhu penyimpanan (40C) kira-kira 10 jam
(Iversen dan Forsythe 2003).
Pada saat pembuatan minuman susu dengan
menambahkan air (rekonstitusi), suhu merupakan faktor yang penting. Menurut
Meutia (2008), suhu rekonstitusi 40C dan 400C tidak dapat digunakan sebagai
suhu yang mampu mengurangi perkembangan E. sakazakii. Rekonstitusi dengan
air yang bersuhu 1000C menyebabkan jumlah E.sakazakii tidak terdeteksi lagi,
tetapi suhu ini tidak direkomendasikan sebagai suhu rekonstitusi mengingat
rusaknya komponen gizi yang terdapat dalam susu formula dan makanan bayi.
Suhu 700C cukup efektif dalam menurunkan jumlah E.sakazakii sehingga dapat
dijadikan sebagai suhu rekonstitusi susu formula dan makanan bayi untuk
mengurangi resiko terhadap E.sakazakii.
E.sakazakii dapat menyebabkan infeksi serius khususnya pada individu
yang sangat muda dan orang tua. Hal ini terutama lebih sering terjadi pada
neonatal dan bayi.
kecenderungan
ventrikulitis,
Di antara neonatal dan bayi, E.sakazakii memiliki
menyebabkan
abses
otak,
meningitis
atau
yang
pembentukan
dapat
kiste
berlanjut
dan
menjadi
perkembangan
hydrocephalus (Lai 2001; Bar-Oz et al 2001). Kasus meningitis, septicemia,
enterokolitis nekrotikan, abses otak, infark cerebral, dan kiste dermoid dari fossa
posterior yang disebabkan E.sakazakii telah dilaporkan seluruh dunia (Hamilton et
al. 2003).
Menurut Bowen dan Braden (2006) E.sakazakii menyebabkan
kematian 40-80% pada bayi yang terinfeksi dan berkaitan dengan susu bubuk
formula. Dari 46 kasus infeksi E.sakazakii yang mereka analisa di antaranya 12
bayi mengalami bakteriemia, 33 mengalami meningitis dan 1 bayi yang
mengalami gangguan pada traktus urinaria. Dari 33 bayi yang mengalami
meningitis tersebut terdapat 14 bayi meninggal atau sekitar 42 %.
Selain itu dalam jurnal yang ditulis oleh Sinave (2003) dikatakan bahwa,
Enterobacter sp terutama Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes
adalah patogen nosocomial yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi
termasuk bakteriemia, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan
jaringan lunak, infeksi traktus urinarius, endokarditis, infeksi intra-abdominal,
sepsis arthritis, osteomyelitis, dan infeksi oftalmik. Faktor-faktor predesposisi
seperti infeksi-infeksi tersebut adalah waktu perawatan di rumah sakit yang lama,
terutama dalam ruang UGD (ICU) , kelemahan yang umum, dan imunosupresi.
Faktor Virulen dan Patogenitas
Bakteri yang berkoloni akan memproduksi toksin. Menurut Mange et al.
(2006) bakteri yang mempunyai kemampuan untuk melakukan adhesi pada
permukaan tubuh host seperti membrana mukosa, epitel lambung dan usus atau
endothelial suatu jaringan, maka bakteri tersebut mampu melakukan kolonisasi
dengan baik, stabil dan mampu memproduksi faktor virulensi seperti toksin.
Toksin terdiri dari eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin berasal dari bakteri
yang hidup dan dapat dinetralisasi oleh antitoksin, contoh eksotoksin adalah
enterotoksin. Endotoksin adalah toksin yang berasal dari dinding sel bakteri, yang
dilepaskan saat bakteri mati (biasanya bakteri dari Gram-negatif) (Macfarlane et
al. 2000).
Enterotoksin
merupakan
toksin
protein
yang
dilepaskan
oleh
mikroorganisme di dalam usus. Enterotoksin berasal dari eksotoksin yaitu toksin
yang berasal dari enzim bakteri (Underwood 1992).
Enterotoksin ini sering
bersifat sitotoksik dan dapat mematikan sel dengan mengubah permeabilitas sel
epitelium dinding usus.
(Anonim, 2008b).
Selain itu, enterotoksin dapat menyebabkan diare
Enterotoksin dihasilkan oleh berbagai bakteri termasuk
organisme penyebab keracunan makanan seperti Escherichia coli, Salmonella,
Staphylococcus sp., Clostridium perfringens, dan Yersinia enterocolitis (Gyles
dan Thoen 1993).
Clement dalam Paryati (2006) menyatakan bahwa enterotoksin bersifat
tahan asam dan tahan terhadap pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan
pepsin. Selain itu, enterotoksin memiliki dua golongan yaitu tidak tahan panas
atau heat-labile enterotoxins (LTs) dan tahan panas atau heat-stabile enterotoxin
(STs). Aktivitas enterotoksin LTs biasanya berhubungan langsung dengan efek
kritis seperti diare. Hal ini terjadi karena kemampuan LTs dalam menginduksi
hipersekresi dari cairan ke dalam lumen usus halus (Gyles dan Thoen 1993).
Enterotoksin LTs merupakan protein oligomerik yang terdiri dari satu
polipeptida A dan lima polipeptida B (Pohland et al. 1990).
Rantai A
menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan dengan permukaan sel.
Setelah B rantai berikatan dengan permukaan reseptor, toksin masuk ke dalam sel
oleh
receptor-mediated
endocytosis.
Pembelahan
molekul
selanjutnya
memungkinkan pecahan A mengeluarkan efek toksinnya. Beberapa eksotoksin
bakteri bereaksi dengan ribosilasi adenosin difosfat (ADP). Oleh karena itu,
toksin mengkatalis pembelahan endogen nikotinamid adenin dinukleotida (NAD)
melalui perlekatan kovalen separuh dari ADP ke substrat sel (Cheville 1999).
Dasar dari aktivitas LT berupa stimulasi adenilat siklase pada sel epitel usus.
Evaluasi menunjukan stimulan ini menyebabkan hipersekresi elektrolit dan air.
Enterotoksin STs, toksin dengan berat molekul yang rendah yang mampu
menginduksi terjadinya diare. Terdapat dua subset utama heat-stabile enterotoxin
(STs) yaitu STa atau STI (ST subset pertama yang berasal dari E.coli manusia,
sapi, dan babi), dan STb atau STII (ST subset kedua yang berasal dari ETEC
strain babi tertentu). Sebagai contoh STa dicirikan oleh kemampuan melarutkan
metanol dan mampu menginduksi akumulasi cairan dalam intestin suckling mice
melalui pemberian toksin per oral maupun intraperitoneal (Gyles dan Thoen
1993).
Pada mulanya, mekanisme patogenitas dan faktor virulen E.sakazakii tidak
ada yang mempublikasikan sebagai contoh Nazarowec-White dan Farber (1997)
menyatakan E.sakazakii mampu menghasilkan enterotoksin tetapi belum pernah
dipublikasikan datanya. Namun pada tahun 2003, Pagotto et al. telah melaporkan
bahwa E.sakazakii mampu menghasilkan enterotoksin. Dari 18 strain, hanya 4
strain yang mampu menghasilkan enterotoksin. Diketahui pula enterotoksin ini
dapat melisiskan sel pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO, Vero, dan Y-1.
Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii diketahui ada yang bersifat resisten
terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Selanjutnya,
enterotoksin tersebut dinyatakan dapat menimbulkan kematian pada mencit yang
masih menyusu (suckling mice) dengan
dosis 108 CFU/ml per mencit yang
diberikan sebanyak 0,1 ml melalui injeksi intraperitoneal (IP), dan dua strain
menyebabkan kematian melalui route peroral.
Sumber Penyebaran
Selama beberapa tahun data yang dipublikasikan menyatakan hasil isolasi
E.sakazakii yang menyebabkan meningitis atau enteritis nekrotikan pada neonatal
berhubungan dengan susu formula bayi (Himelright et al 2002). Pada beberapa
kasus terakhir, organisme ini telah diisolasi dari peralatan seperti alat pengaduk
yang biasa digunakan pada botol dapur. Publikasi lain telah mendemonstrasikan
bahwa mikroorganisme ini dapat ditemukan pada berbagai macam makanan, air,
dan lingkungan termasuk rumah dan rumah sakit (Iversen dan Forsythe 2003).
E.sakazakii juga dapat diisolasi di rumah sakit dari sampel klinik yang diambil
dari orang dewasa. Artikel terbaru melaporkan kehadiran E.sakazakii pada air
susu ibu (ASI) yang tersimpan pada bank susu (Lenati et al. 2008).
Sebagai bakteri yang penyebarannya luas, E.sakazakii juga dapat ditemukan
pada lingkungan pengolahan makanan bayi dan hal ini sering menjadi sumber
masalah hadirnya organisme ini pada susu bubuk formula. Menurut NazarowecWhite dan Farber dalam Iversen dan Forsythe (2003) level kontaminasi
E.sakazakii dalam susu bubuk formula sangat rendah atau mengkontaminasi
melalui perlengkapan preparsi tidak menyebabkan efek yang merugikan (0.36
CFU/100 g) kecuali bila pertumbuhan E.sakazakii dibiarkan tidak sesuai
penanganan dan penyimpanan (Anonim 2004).
Penyebaran luas E. sakazakii menurut Hassel (2004) dan Friedemann (2007)
yaitu:
Tabel 2. Varietas Luas dari Sumber Lingkungan dan Makanan
Lingkungan
Peralatan rumah sakit
Tanah
Sumber
makanan
peralatan
Daging mentah
Gelas bir
Susu bayi (susu sapi dan
kedelai)
Beras
Tahu
Air
Tikus
Susu bubuk
Sayur-sayuran
Diketahui pula bahwa E.sakazakii
pernah ditemukan dalam usus lalat
Minyak mentah
Lalat
Peralatan pembuatan makanan
dan
kandang Stomoxys calcitrans. Hal ini tentu sangat penting dalam penyebaran
E.sakazakii (Hamilton et al. 2003).
Respon Tubuh Terhadap Pemberian Enterotoksin
Pada umumnya, Enterobacter sakazakii
berespon 50% melalui infeksi
nosokomial dan paling banyak pada bayi imunokompromis. Infeksi E.sakazakii
pada bayi baru lahir dapat menyebabkan bakteriemia (sepsis), enterokolitis
nekrotikan, dan meningitis. (Iversen and Forsythe, 2003). Dalam pernyataan “10
Alasan Penglabelan Informatif Mengenai Susu Bubuk Formula Bayi” oleh IBFAN
salah satunya menyatakan bahwa infeksi E.sakazakii pada neonatal memiliki
angka kematian 20%-50%. Objek yang rentan terinfeksi E.sakazakii di antara 31
kasus adalah bayi baru lahir, bayi infan dan anak-anak usia 3-4 tahun beresiko
terinfeksi 50%, sedangkan bayi usia satu minggu dan sebulan beresiko terinfeksi
75%. Berat lahir yang rendah (2.5 kg) atau kurang juga telah diidentifikasi
sebagai pasien yang beresiko terinfeksi sekitar 75% (Weir 2002).
Toksin dari bakteri maupun bakteri akan melakukan penetrasi memasuki
pembuluh darah dan beredar dalam tubuh menyebabkan sepsis dan meningitis
(Macfarlane et al 2000). Enterokolitis juga dapat terjadi akibat pemberian toksin
melalui peroral.
Meningitis dan Ensefalitis
Meningitis merupakan penyakit infeksi akut dan parah yang disebabkan oleh
beberapa mikroorganisme, termasuk virus, bakteri, parasit, dan fungi. Fatality
rate meningitis, terendah 2% pada bayi dan anak serta tertinggi 20-30% pada
neonatal dan manusia dewasa (LIorens dan Cracken 2003). Meningitis dapat
dibagi ke dalam dua bentuk yaitu leptomeningitis-bila terjadi inflamasi di ruang
subarachnoid yang meliputi arachnoid dan pia mater dan pachymeningitis-bila
terjadi di daerah dura mater (Underwood 1992).
Penyebab meningitis pada neonatal adalah Escerichia coli, Streptococcus
beta hemoliticus, Listeria monositogenes (Japardi 2002). Menurut LIorens dan
Cracken (2003), meningitis yang disebabkan oleh bakteri berupa meningitis
purulen (bernanah). Pada periode neonatal, termasuk bayi prematur hingga bayi
berumur 3 bulan, bakteri yang menyerang kebanyakan berasal dari Streptococcus
Grup B. Meningitis mencapai puncak kejadian tinggi setelah minggu pertama
kelahiran. Selain itu, E.sakazakii juga diketahui sebagai penyebab meningitis.
Kejadian meningitis akibat E.sakazakii pada neonatal pun telah dilaporkan sejak
lama oleh Muyjen et al dan Smeet et al. dalam Iversen dan Forsythe (2003).
Suatu infeksi dapat mencapai otak melalui beberapa kemungkinan di
antaranya implantasi langsung setelah luka terbuka kepala misal retaknya tulang
tengkorak, perluasan langsung dari infeksi telinga tengah, dan lewat aliran darah
(bakteriemia atau sepsis) (Macfarlane et al 2000).
Pada periode neonatus, sebagian besar patogen diperoleh melalui kontak dan
aspirasi usus serta sekresi traktus genital dari induk selama kelahiran. Neonatus
dengan perawatan yang lama dapat juga terekspos multipel patogen nosokomial.
Pada bayi dan anak-anak, meningitis biasanya berkembang setelah bakteri
berkapsul melakukan kolonisasi pada nasofaring dan tersebar dalam darah
(LIorens dan Cracken 2003).
Sekali bakteri mampu melakukan adhesi pada permukaan mukosa manusia,
maka bakteri tersebut dapat bermultiplikasi kemudian melakukan kolonisasi.
Dengan perangkat tubuhnya (surface proteins) yang ada pada umumnya adalah
faktor virulensi serta toksin maka bakteri ini akan melakukan penetrasi memasuki
pembuluh darah dan beredar mengikuti aliran darah menyebabkan sepsis dan
meningitis (Estuningsih dkk 2007). Setelah itu, organisme melakukan penetrasi
pada daerah BBB yang mudah terserang, misalnya (pleksus choroid, kapiler
cerebral) dan mencapai ruang subarachnoid (LIorens dan Cracken 2003). Apabila
infeksi mikroorganisme atau adanya toksin mampu menembus substansi otak
maka terjadilah ensefalitis. Encephalitis adalah peradangan substansi otak dengan
ciri adanya infiltrasi sel-sel radang perivaskuler (perivasculer cuffing), kerusakan
neuron akut sampai kematian neuron yang diikuti dengan adanya gliosis
(Macfarlane et al. 2000).
Pada pasien yang tidak diberi pengobatan, akan timbul suatu komplikasi
berupa kerusakan nervus cranialis, dan hidrocephalus. Biasanya pada CSF akan
ditemukan netrofil dan organisme penyebab (Macfarlane et al. 2000), termasuk
E.sakazakii yang dapat ditemukan dalam darah maupun CSF (Bowen dan Braden
2008).
Sepsis
Sepsis adalah penyakit serius yang disebabkan oleh infeksi melalui aliran
darah oleh bakteri penghasil toksin (Smith 2006).
diakibatkan oleh toksikemia dan shock.
Selain itu, sepsis juga
Kejadian sepsis dapat terjadi akibat
organisme virulen seperti Meningococci, dan Streptococci pyogenes atau kejadian
komplikasi dari sindrom shock yang diinisiasi oleh kausa lain khususnya ketika
terjadinya gangguan saluran cerna (akibat organisme Coliform). Di samping itu,
sepsis juga dapat disebabkan oleh pengobatan ketika mekanisme imun terganggu
(Macfarlane et al. 2000). Pada neonatal, mikroba penyebabnya adalah E.coli,
Streptococcus spp., Salmonella spp., Pasteurella spp., dan Haemophillus spp
(McGavin et al 2007). Kejadian sepsis dapat juga terjadi akibat lanjutan dari
meningitis (Anonimus 2008b).
Sepsis terjadi ketika bakeri yang berasal dari paru-paru, usus, traktus
urinarius, atau vesika urinaria bayi yang terserang menghasilkan toksin yang
menyebabkan sistem imun tubuh menyerang organ atau jaringan sendiri (Homeier
2005). Sepsis terjadi pada pasien semua umur dan dapat juga terjadi pada pasien
yang dirawat di rumah sakit, bayi dan anak-anak, dan orang tua (Anonimus
2006b). Akan tetapi lebih sering terjadi pada bayi karena sistem imunnya belum
cukup berkembang melawan infeksi besar-besaran. Selain itu, sepsis juga sering
terjadi pada orang imunokompromis seperti HIV (Homeier 2005).
Gejala klinis dari sepsis antara lain adalah detak jantung lebih dari 90 kali
per menit, laju respirasi meningkat, jumlah sel darah putih meningkat atau
menurun, serta terjadi demam atau temperatur tubuh rendah (Anonimus 2006b).
Interaksi bakteri pada epitel usus melalui protease-activated receptors
(PARs) pada enterosit (sel usus) akan mengakibatkan permeabilitas membran
meningkat sehingga toksin dari hasil kolonisasi bakteri dapat melakukan penetrasi
ke dalam pembuluh darah dan beredar mengikuti aliran darah, sehingga
menyebabkan sepsis (Vergnolle 2008).
Kerusakan organ akibat sepsis dari
enterotoksin yaitu meningitis pada otak dan medula spinalis, splenitis, juga
ditandai dengan gejala klinis pada kerusakan ginjal berupa oligouria/anuria,
jaundice pada hati, dan pendarahan gastrointestinal (Griffiths 2008). Sedangkan
tanda sepsis secara patologi anatomi adalah adanya peningkatan sel glia, malasia,
dan edema pada neurofil otak dan medula spinalis, deplesi, infiltrasi sel radang,
dan deposisi protein radang pada limpa, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel radang
pada usus, serta degenerasi dan nekrosa pada sel hati dan sel epitel tubuli
proksimalis ginjal.
Kejadian sepsis pada neonatal dan bayi akibat E.sakazakii pernah dilaporkan
oleh Simmon et al. dalam Iversen dan Forsythe (2003) sejak tahun 1988.
Enterokolitis nekrotican (NEC)
Enterokolitis nekrotikan atau Necrotizing Enterocolitis (NEC) merupakan
penyakit medis yang sering terjadi pada gastrointestinal neonatus (Springer 2006).
NEC dicirikan dengan symptom sistemik seperti apnea, bradycardia, dan
temperatur tidak stabil, sepsis shock (Towsend dan Forsythe 2008), kelemahan,
dan kolaps kardiovaskular (Springer 2006).
Meskipun NEC sering terjadi tetapi penyebabnya tidak diketahui
(Springhouse 2003). Walaupun begitu, ada beberapa teori kausatif di antaranya
adalah jaringan usus bayi prematur yang diperlemah dengan sangat sedikit
oksigen atau aliran darah; ketika dimulainya waktu pemberian makanan, yang
ditambah
dengan
tekanan
dari
pergerakan
makanan
melalui
intestin
memungkinkan bakteri yang tadinya normal menjadi bakteri yang merusak
dinding intestin (Anonimus 2007b). Wabah NEC dapat diakibatkan oleh bakteri
diantaranya Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Enterobacter cloacae
(Towsend dan Forsythe 2008) dan Salmonella (van Acker et al. 2001).
Kerusakan dinding usus ini dapat menyebabkan kematian jaringan.
Hal ini
memacu infeksi serius pada abdomen (Anonimus 2007c).
Patogenesis dari NEC berhubungan dengan iskemia usus neonatal,
kolonisasi mikrobial di usus dan substrat protein yang berlebihan pada lumen usus
(Iversen dan Forsythe 2003).
Kolonisasi bakteri pada saluran usus sebagai
prasyarat perkembangan NEC, sebagai penyakit yang belum pernah dilaporkan
sebelumnya pada neonatus kurang dari 7 hari. Pertahanan usus host yang belum
sempurna memungkinkan terjadinya penyimpangan dari kolonisasi bakteri atau
tidak mampu menetralisir toksinnya sehingga terjadi translokasi bakteri melewati
dinding usus. Hal ini mungkin diakibatkan oleh neonatal yang memiliki laju
sekresi asam lambung yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan dewasa,
contohnya hipokloridia yang dihubungkan dengan enteritis kolonisasi bakteri di
lambung (Blakey et al. dalam Towsend dan Forsythe 2008). Selain itu beberapa
faktor lain yang memungkinkan translokasi bakteri pada usus lebih mudah terjadi
pada neonatal telah ditulis dalam laporan singkat (Duffy dalam Towsend dan
Forsythe 2008) menyatakan bahwa pertahanan usus host yang lemah
memungkinkan terjadinya penurunan sekresi asam lambung, penurunan aktivitas
enzim proteolitik, motilitas usus sedikit, sekresi IgA berkurang, jumlah sel-T usus
yang berkurang, dan peningkatan permeabilitas mukosa usus.
Bakteri yang memproduksi toksin yang berhubungan dengan NEC termasuk
Clostridia (enterotoksin), dan endotoksin dari bakteri Gram negatif memiliki
sitotoksisitas yang kecil tetapi dapat menyebabkan perlukaan jaringan meluas dan
toksisitas sitemik melalui aktivasi inflamasi dengan kesimpulan bahwa NEC tidak
terjadi akibat organisme tunggal (Towsend & Forsythe 2008).
Menurut van Acker et al. (2001) enterokolitis nekrotikan pada neonatal
dicirikan oleh nekrosa usus. Kejadian ini memiliki tingkat insidensi 2-5% pada
bayi prematur dan 13% pada bayi dengan berat badan <1.5 kg. NEC memiliki
mortality rate 10-55%.
Lesio Akibat Toksin Pada Hati dan Ginjal
Kerusakan sel dapat bersifat sementara atau menetap. Pada kerusakan
sementara sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan
hidup. Kerusakan seperti ini disebut dengan degenerasi (Carlthon dan McGavin
1995). Kerusakan sel yang menetap mengakibatkan kematian sel. Kematian sel
ini disebut dengan nekrosa (Macfarlane et al. 2000). Menurut Harada et al.
(1999), degenerasi dibagi menjadi degenerasi granuler, degenerasi hyalin, dan
degenerasi hidropis. Degenerasi granuler dicirikan oleh sel hepatosit yang
membengkak dan biasa disebut dengan degenerasi berbutir (Harada et al. 1999)
yang terjadi diawali dengan rusaknya membran sel akibat toksin, sehingga
tekanan osmotik meningkat dan air banyak masuk ke dalam sel. Kerusakan ini
selanjutnya menjadi degenerasi hidropis yang dicirikan dengan retikulum
endoplasmik menggelembung, ruptur dan membentuk vakuola (McGavin et al.
2007), sedangkan degenerasi hyalin terjadi sebagai hasil bergesernya retikulum
endoplasmik ke daerah perinuklear akibat akumulasi air di bawah membran sel.
Pada degenerasi hyalin sitoplasma terlihat seperti kaca atau berlubang (Harada et
al. 1999).
Adapun beberapa faktor yang mengakibatkan kerusakan sel yaitu
kekurangan suplai oksigen, agen fisik (trauma, terlalu dingin atau panas, radiasi),
agen kimia, toksin, virus, reaksi imunologis abnormalitas, defisiensi nutrisi,
abnormalitas genetik (Macfarlane et al.2000).
Degenerasi hidropis merupakan keadaan sel ketika sitoplasmanya pucat
dan membengkak dalam kaitannya dengan akumulasi cairan.
Pada kejadian
edema intraseluler yang ringan disebut pembengkakan berawan/keruh, selanjutnya
meningkatkan cairan dan membengkaknya organel pada sitoplasma dan
berpenampakan seperti bervakuol (Underwood 1992).
Hal ini terjadi akibat
kegagalan dalam pengaturan homeostasis normal dan meregulasi pemasukan dan
pengeluaran air. Mekanisme respon terhadap pembengkakan sel akut (degenerasi
hidropis) biasanya melibatkan kerusakan membran sel, kegagalan sel dalam
memproduksi energi, gangguan enzim yang meregulasi kanal ion membran.
Degenerasi hidropis terjadi sebagai respon kehilangan homeostasis sekunder sel
terhadap hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri dan perlukaan bermediasi
imun. Patogenesa terjadinya degenerasi hidropis berawal dari hipoksia yang
menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga sodium dan air masuk ke dalam
sel, potasium keluar sel. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmosis dan
menyebabkan banyak air yang mengalir ke dalam sel.
Kemudian sisterna
rerikulum endoplasmik menggelembung, ruptur, dan membentuk vakuol. Untuk
selanjutnya terjadi vakuolisasi meluas dan disebut dengan degenerasi hidropis
(McGavin et al. 2007).
Sel dengan mitokondria dan membran plasma yang normal apabila
terpapar oleh toksin maka akan menyebabkan mitokondrianya membulat dan
bermanik-manik menyebabkan granulasi sedangkan membran plasma rusak,
berkurangnya ATP dan pompa Na+. Natrium masuk ke dalam sel menyebabkan
air mengalir ke dalam sel pula dan
pada akhirnya terbentuklah vakuola
(Macfarlane et al. 2000).
Selain degenerasi hidropis, kerusakan sel juga dapat berupa degenerasi
lemak.
Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak pada jaringan non
adiposa, terutama parenkhim organ, otot kerangka, dan jantung dengan laju
metabolik yang tinggi. Masalah esensialnya ialah ketidakmampuan jaringan non
adiposa dalam memetabolisme sejumlah lemak yang ada. Sel hati yang telah
mengalami degenerasi hidropis menyebabkan kebengkakan sitoplasma termasuk
organel selnya. Oleh karena itu, lemak yang ada tidak dapat dimetabolisme oleh
sel hati yang telah rusak sehingga terjadilah akumulasi lemak di dalamnya.
Penyebab dari degenerasi lemak yaitu keracunan sel seperti bakteri dan bahan
kimia (kloroform dan alkohol); serta gangguan klinis seperti anoksia karena
anemia, gagal jantung dan penyakit respirasi, diabetes melllitus, dan malnutrisi
kronis (Macfarlane et al. 2000)
Toksin yang menyerang jaringan non adiposa akan menyebabkan
berkurangnya aktivitas enzim seluler kemudian menyebabkan jaringan/ organ
(misalnya hati) tidak mampu memetabolisme lemak yang ada dan terjadilah
akumulasi lemak pada sel. Akumulasi lemak akibat toksin akan terlihat di sekitar
suplai darah aferen (vena portal dan arteri hepatica). Alkohol yang biasa
digunakan dalam pembuatan preparat akan menyebabkan lemak larut dan dalam
pengamatan mikroskopis diindikasikan oleh vakuola yang jelas (Macfarlane et al.
2000). Organ yang mengalami degenerasi lemak akan membesar, pucat dan
memiliki konsistensi seperti berminyak (Underwood 1992). Apabila tidak terjadi
proses persembuhan sel maka sel yang rusak akan menyebabkan kematian.
Proses kematian sel terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa
(Cheville 1999). Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian
apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan
apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel
radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan
deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane
2000).
Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal
(piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2007 sampai dengan Juni 2008.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dua puluh ekor anak
mencit (Mus musculus) umur 6-8 hari, pakan mencit yang diformulasi dan dibuat
di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB
dan telah diradiasi dengan kekuatan 10 KGray di BATAN Jakarta Selatan, air
minum (AQUA®), enterotoksin Enterobacter sakazakii murni (+ dan -), dan
enterotoksin yang dipanaskan (yang didapat dari hasil penelitian uji sitotoksik
Enterobacter sakazakii isolat asal makanan dan susu bayi pada sel lestari vero),
Tryptic
Soy
Broth
(TSB),
antibiotik
(Amoxicilin®dan
Ciprofloxacin®),
anthelmentik (Albendazol®), alkohol 70% sebagai larutan pensuci hama, ether,
buffer neutral formalin (BNF) 10%, NaCl fisiologis, aquades, Hematoxylin Eosin
(HE), parafin cair, xilol alkohol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, alkohol
absolut) untuk tahap dehidrasi dalam pembuatan preparat histopatologi, albumin
dan metanol.
Alat-alat yang digunakan untuk membuat isolasi enterotoksin adalah
inkubator 370C, öse, bunsen, cawan petri, erlenmeyer ukuran 250 ml, vortex,
autoclave, laminar air flow, pipet ukur steril 10 ml dan 5 ml, cold centrifuge,
tabung sentrifus ukuran 50 ml dan 15 ml, filter (Syirifil® 0,02 μm), water bath,
rak sentrifus, tabung penyimpan untuk alikuasi filtrat bakteri, freezer dan
refrigator, dan shacker incubator. Alat-alat lain yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kandang mencit, kertas label, sekam kering, botol kaca 250 ml sebagai
wadah air minum, tisu gulung, kapas, timbangan digital, spoit 1ml, sonde
lambung Knopfkanüle buatan Jerman, lemari pendingin, aluminium foil, stiroform
sebagai alas nekropsi, cawan petri, anaerobic jar, gunting kecil, pinset, scalpel,
sarung tangan lateks, masker, lup elektrik (kaca pembesar), hand tally counter,
tissue cassette, pensil dan penghapus, automatic tissue processor, mikrotom,
pencetak parafin, parafin console, gelas objek, penutup gelas objek, mikroskop
cahaya dan alat-alat fotomikroskop.
Metode Penelitian

Adaptasi dan Perbiakan Mencit dalam Kandang :
Mencit yang digunakan sebagai induk sebanyak sepuluh ekor mencit betina
dewasa dan dua ekor mencit jantan umur 6 minggu. Mencit dimasukkan ke dalam
kandang modifikasi dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, tinggi 12 cm
dengan alas sekam dan tutup kandang terbuat dari kawat yang tidak melukai
mencit dengan suhu ruangan.
Selain itu, kandang yang digunakan harus
dibersihkan dua kali seminggu untuk menjaga kesehatan mencit. Mencit betina
dan jantan dikandangkan secara terpisah dan diberi label tiap kandangnya.
Ventilasi ruang dialirkan udara dengan menggunakan exhaust fan. Mencit diberi
makan dan minum secara ad libitum (10 gram/hari/ekor). Adaptasi dilakukan
selama satu minggu. Setelah adaptasi, mencit diberi anthelmentik (satu kali dalam
seminggu) berupa Albendazole® 5% sebanyak 1 ml/mencit dewasa serta 0.5
ml/mencit anakan , dan antibotik (Amoxicilin® dengan dosis 125 mg/25 kgBB
diberikan selama 5 hari berturut-turut sebanyak 0.8 ml/mencit dewasa/hari serta
0.4 ml/mencit anakan/hari dan mencit diistirahatkan selama tiga hari. Kemudian
Ciprofloxacin® dengan dosis 100mg/kgBB diberikan selama 5 hari berturut-turut
sebanyak 1 ml/mencit dewasa/hari serta 0.5 ml/mencit anakan/hari), secara peroral
dengan menggunakan sonde lambung.
Pembiakan mencit dilakukan dengan metode perkawinan poligami dengan
membagi dua belas ekor mencit menjadi dua kandang. Masing-masing kandang
berisi lima ekor mencit betina dan satu ekor mencit jantan. Ketika mencit betina
mulai terlihat bunting, mencit tersebut dipisahkan/dikeluarkan dari kelompok
perkawinan dengan kandang tersendiri. Setelah mencit melahirkan, anak mencit
tersebut dibiarkan tetap menyusu dengan induknya masing-masing dan dipisahkan
tiap indukan dan kelompok anak dalam satu kandang sampai berumur kurang
lebih satu minggu dan siap untuk diberi enterotoksin E.sakazakii serta untuk anak
mencit sebagai kontrol diberi NaCl fisiologis peroral.

Isolasi Enterotoksin:
Enterotoksin yang dipakai dalam penelitiaan ini diperoleh dari hasil
penelitian uji sitotoksik Enterobacter sakazakii isolat asal makanan dan susu bayi
pada sel lestari Vero (Grecilia 2008).
Metode isolasi enterotoksin dalam penelitian ini mengikuti metode yang
dilakukan oleh Pagotto et al. (2003). Isolat E.sakazakii yang merupakan koleksi
penelitian Estuningsih dkk (2007) disimpan dalam bentuk liofilisat, oleh karena
itu isolat bakteri tersebut harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Penumbuhan isolat
bakteri dilakukan dengan cara mengeluarkan botol liofilisat bakteri dari refrigator
kemudian botol tersebut didiamkan pada suhu ruang selama ± 1 jam agar suhunya
sesuai. Botol tersebut dibuka segelnya dan ditambahkan 1 ml TSB pada masingmasing botol, lalu dihomogenkan hingga liofilisat terlarut selanjutnya diinkubasi
pada suhu 37 0C selama 6 jam. Sebanyak 1ml suspensi E.sakazakii dari liofilisat
ini dipindahkan ke dalam larutan media TSB 200 ml dalam Erlen Meyer 250 ml
dengan menggunakan mikropipet, kemudian suspensi bakteri diinkubasi lagi
dalam Shaker incubator dengan suhu 37 0C dan kecepatan 48 goyangan per menit
selama 24 jam (sehari semalam). Keesokan harinya hasil pertumbuhan bakteri
diperiksa kemudian disentrifus dengan kecepatan 4500 rpm selama 30 menit pada
suhu 4 0C untuk mendapatkan supernatan yang diduga mengandung enterotoksin
E.sakazakii.
Supernatan ini dipisahkan menjadi dua bagian sama rata serta
diletakkan dalam tabung sentrifus.
Satu bagian dipanaskan sampai mendidih
selama 20 menit dan sebagian lainnya difiltrasi dengan filter 0,02 μm. Supernatan
inilah yang disebut dengan enterotoksin murni (+ dan -) dan enterotoksin yang
dipanaskan sebagai bahan pengujian.

Pemberian Enterotoksin E.sakazakii :
Anak mencit yang dibutuhkan dalam pengujian ini adalah anak mencit yang
berumur 6-8 hari yang kemudian dibagi dalam empat kelompok berdasarkan jenis
enterotoksin E.sakazakii, yaitu lima ekor untuk pengujian terhadap enterotoksin
murni (E+), lima ekor untuk pengujian terhadap enterotoksin negatif (E-), lima
ekor untuk pengujian terhadap enterotoksin yang dipanaskan (Ep), dan tiga ekor
yang diberi NaCl fisiologis sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya, masing-
masing mencit ditimbang terlebih dahulu kemudian dilakukan pemberian
enterotoksin E.sakazakii dan pemberian NaCl fisiologis, diaplikasikan secara
peroral dengan menggunakan catheter steril sebanyak 0.1 ml/ekor mencit, seperti
tampak pada Gambar 14.
Gambar 14. Pemberian enterotoksin pada mencit neonatus (mn) menggunakan kateter (k).
Pengamatan terhadap setiap pengujian dilakukan pada tiga hari pascainfeksi.
Apabila di antara anak mencit yang diujikan tersebut ada yang mati maka segera
dilakukan nekropsi untuk mencegah membusuknya organ visceral anak mencit
tersebut.
Nekropsi dilakukan dengan cara membuka kulit serta abdomen
sepanjang (longitudinal) bagian hypogastricum hingga ke daerah dagu sampai
daerah thoraks dan abdomen juga terbuka. Selain itu, dilakukan pembukaan
bagian kepala yaitu membuka tengkorak dengan hati-hati dari atas bagian leher
belakang ke arah atas dan dari leher belakang ke arah telinga kiri dan kanan
(jangan sampai bagian otak terkoyak/ rusak) sehingga BNF 10% dapat masuk ke
bagian otak.
Apabila dari beberapa anak mencit ternyata tidak ada yang mati hingga
waktu maksimum pengamatan, maka anak mencit tersebut dieuthanasi dengan
cara memasukkannya ke dalam anaerobic jar yang diberi ether. Selanjutnya,
dilakukan nekropsi dengan metode yang sama.
Anak mencit yang telah dinekropsi (baik dari kelompok infeksi maupun
kelompok kontrol), dimasukan dalam kantong plastik transparan berisi larutan
BNF 10% yang telah diberi label sesuai masing-masing kelompok secara terpisah
yaitu satu kantong satu mencit dan dibiarkan selama kurang lebih satu minggu.
Kantong-kantong ini kemudian digantung supaya larutan BNF 10% merata dalam
merendam seluruh bagian tubuh anak mencit dan diberi kasa sebagai pemberat
supaya anak mencit tenggelam dalam larutan BNF 10%. Hal ini dilakukan supaya
organ-organ yang digunakan untuk pengamatan histopatologi matang dan siap
untuk diproses menjadi preparat histopatologi.

Pembuatan Preparat Histopatologi :
Anak mencit yang telah difiksasi selama satu minggu dalam larutan BNF
10% selanjutnya dipotong menjadi bagian-bagian kecil (trimming) agar lebih
fokus pada organ-organ penting yang akan diamati. Tubuh mencit dibagi menjadi
lima bagian. Bagian pertama yang dipotong adalah kepala dengan memotong
ujung rahangnya terlebih dahulu untuk membuang bagian gigi karena gigi mencit
mampu menumpulkan pisau pemotong blok parafin beku.
Kepala mencit
dipotong longitudinal menjadi dua bagian simetris kemudian pilih setengah bagian
otak. Setengah bagian ini selanjutnya dipotong lagi menjadi dua bagian yang
lebih kecil dengan ketebalan kira-kira 0.5 cm lalu dimasukkan ke dalam tissue
casset.
2
3
4
5
1
Gambar 15. Lokasi pemotongan anak mencit yang akan ditrimming
Potongan kedua dilakukan tepat di belakang tangan (organ jantung, timus,
dan paru-paru), potongan ketiga dilakukan di bagian epigastrikum (mencakup
organ hati), potongan keempat (lambung dan limpa) dilakukan di bagian
mesogastrikum dan potongan kelima (organ usus dan ginjal) dilakukan di bagian
hipogastrikum, sebelum kaki belakang.
Organ-organ seperti otak, lambung, limpa, usus dan ginjal dimasukkan ke
dalam satu tissue cassette karena konsistensi organ sama. Dengan demikian,
satu mencit memerlukan dua buah tissue cassette yang masing-masing tissue
cassette diberi tanda dengan menggunakan pensil “A atau B”.
Selanjutnya tissue cassette direndam di dalam wadah tertutup berisi BNF
10% selama satu sampai dua hari.
Tahapan berikutnya dilakukan dehidrasi
menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat secara berturut-turut (70%, 80%,
90%, alkohol absolut I, absolut II), xilol I, xilol II, dan parafin I dan parafin II
dalam automatic tissue processor selama 18 jam dengan tiap bahan direndam
selama dua jam secara otomatis dalam tissue processor.
Jaringan dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair.
Letak
jaringan diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah mulai membeku,
parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh, lalu dibiarkan sampai
parafin mengeras.
Jaringan diusahakan berada di tengah supaya mendapatkan hasil yang bagus
saat pemotongan bentuk sediaan. Blok parafin dipotong setebal 5 m dengan
menggunakan mikrotom.
Dengan menggunakan pinset hasil potongan yang
berbentuk pita panjang dan tipis ini kemudian diletakkan di atas permukaan air
hangat 450C. Hal ini bertujuan agar lipatan pada potongan dapat diluruskan
kembali. Kemudian dengan sangat hati-hati, angkat potongan ke gelas objek yang
telah diberi albumin perekat. Sediaan ini kemudian dikering udara dan diinkubasi
pada suhu 600C selama 24 jam agar parafin lunak dan jaringan melekat kuat di
gelas objek.
Sediaan dimasukkan ke dalam xylol dua kali selama 2 menit. Kemudian
sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% dengan
waktu masing-masing dua menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir
dan dikeringkan.
Sediaan yang sudah kering diberi pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama
8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan Lithium
karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai
dengan pewarna Eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna Eosin
yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian
sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol
absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama satu
menit, dan xylol II selama dua menit.
Sediaan dikeringkan terlebih dahulu
sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan penutup
dan disimpan beberapa menit hingga zat perekat permount melekat dengan
penutup dan dibiarkan kering. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya.

Parameter Pengamatan Histopatologi :
Pengamatan histopatologi dilakukan di bawah mikroskop cahaya dan khusus
hati dan ginjal menggunakan microphotography apparatus. Kedua mikroskop ini
menggunakan pembesaran lensa okuler 10x dan lensa objektif 40x (400x) untuk
melihat respon jaringan tubuh. Luas lapang pandang adalah 13x15,5μm2.
Pengamatan pada usus halus dan usus besar dilakukan dengan dua data yaitu
data kuantitatif, dengan menghitung jumlah sel radang pada usus sebagai respon
peradangan akibat pemberian enterotoksin E. sakazakii. Pengamatan dilakukan
pada lima lapang pandang untuk usus halus dan lima lapang pandang untuk usus
besar pada setiap mencit neonatus sedangkan data kualitatif diperoleh melalui
skoring deskuamasi epitel pada usus halus dan usus besar.
Adapun kriteria
skoring deskuamasi epitel (nilai skoring pada Lampiran 3) dalam pembesaran
200x yang digunakan, yaitu:
0
: normal, tidak terjadi deskuamasi epitel
1
: ringan, deskuamasi epitel terjadi 33% dari lapang pandang
2
: sedang, deskuamasi epitel terjadi sampai 66,67 % lapang pandang
3
: berat, deskuamasi epitel sampai 99 % lapang pandang.
Pengamatan pada otak dan medula spinalis dilakukan dengan menghitung
jumlah sel mikroglia setiap mencit neonatus melalui pengamatan pada 10 lapang
pandang untuk serebrum dan 5 lapang pandang untuk medula spinalis.
Pengamatan pada limpa terdiri dari dua data yaitu data kuantitatif dengan
menghitung jumlah folikel limfoid dan jumlah megakaryosit pada sepuluh lapang
pandang. Data kualitatif dilakukan skoring tingkat deplesi folikel limfoid,
infiltrasi PMN, dan protein radang pada 10 lapang pandang di setiap mencit
neonatus. Adapun kriteria skoring yang digunakan, sebagai berikut:
Deplesi (pada Lampiran 3)
0
: tidak terjadi deplesi, normal, sel kompak
1
: deplesi ringan, sampai 33.33 % lapang pandang
2
: deplesi sedang, sampai 66.67 % lapang pandang
3
: deplesi berat, sampai 99% lapang pandang.
Infiltrasi sel radang (pada Lampiran 3)
0
: jumlah sel radang normal
1
: jumlah sel radang sedikit
2
: jumlah sel radang sedang
3
: jumlah sel radang banyak.
Protein radang (pada Lampiran 3)
0
: tidak ada protein radang, normal
1
: protein radang sedikit, sampai 33.33 % lapang pandang
2
: protein radang sedang, sampai 66.67 % lapang pandang
3
: protein radang banyak, sampai 99% lapang pandang
Parameter pengamatan pada organ hati dan ginjal ialah degenerasi hidropis
dan degenerasi lemak akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii. Pengamatan
dilakukan dengan menghitung sel yang mengalami degenerasi sebanyak sepuluh
lapang pandang.
Analisis Data
Data histopatologi yang didapatkan sebagai data kuantitatif dianalisis secara
statistik dengan menghitung perubahan organ yang terjadi seperti jumlah sel
radang usus, jumlah sel glia pada serebrum dan medula spinalis, jumlah folikel
limfoid, megakaryosit dan jumlah degenerasi sel tubuli ginjal dan hati melalui uji
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Nilai kuantitatif ditunjukan dalam
bentuk Mean ± Standard Deviation sedangkan data kualitatif berupa skor seperti
deskuamasi epitel usus, PMN, deplesi dan deposisi protein radang dianalisis
memakai uji Kruskal-Walllis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Histopatologis Organ Usus
Usus kecil dan usus besar dapat bertindak sebagai barrier penting atau rute
masuknya makanan atau terhirupnya dan tertelan toksikan atau zat karsinogenik.
Bila toksikan atau bahan karsinogenik mencapai usus melalui rute peroral atau
sirkulasi enterohepatik, maka biotranformasi dan aktivasi atau deaktivasi dari
bahan ini dapat terjadi (Schakelford dan Elwell 1999). Pemberian enterotoksin
dapat mengakibatkan sel epitel usus mati sehingga memacu terjadinya
peradangan. Struktur mukosa intestin dapat berubah akibat proses patologi seperti
enteritis iskemia dan enterokolitis nekrotikan yang ditandai dengan vili yang
tumpul atau hilang (King 2007).
Oleh karena itu, yang menjadi parameter
perubahan histopatologi pada usus akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii
adalah infiltrasi sel radang dengan menghitung sel radang dan penentuan skoring
deskuamasi epitel .
Infiltrasi Sel Radang
Pemberian enterotoksin E. sakazakii pada mencit neonatus menyebabkan
vili usus lebih pendek dan patah (deskuamasi epitel), dan edema pada lamina
propria. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), inflamasi akut di usus akan
menyebabkan terjadinya udema di lamina propia. Vili usus yang mengalami
deskuamasi epitel dan udema lamina propria menjadi rapuh atau hancur.
Deskuamasi epitel usus ini akan menjadi kemotaktik faktor hadirnya sel radang.
Pada inflamasi akut, terjadi infiltrasi leukosit dalam jumlah yang sedikit dan
didominasi oleh neutrofil.
Adapun hasil pengamatan yang telah dianalisa dengan ANOVA dan uji
Duncan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Perhitungan Rataan Jumlah Sel Radang Pada Usus
Kelompok
Rataan jumlah sel radang
Usus halus
9.0±4.5a
35.4±12.3b
31.6±8.0b
27.2±1.2b
Kontrol (K)
Enterotoksin + (E+)
Enterotoksin – (E-)
Enterotoksin panas (EP)
Usus besar
8.2 ±6.95a
24.9±21.6ab
33.7±3.2b
25.4±5.9ab
Keterangan:
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).
Perbandingan jumlah sel radang pada kelompok kontrol, kelompok
perlakuan enterotoksin positif, negatif dan enterotoksin panas, dapat dilihat dari
histogram batang berikut (Gambar 16).
rataan jumlah sel
40
35
Rataan Jumlah Sel Radang usus
halus
30
Rataan Jumlah Sel Radang usus
besar
25
20
Kelompok:
K : Kontrol
E+ : Enterotoksin +
E- : Enterotoksin –
Ep : Enterotoksin panas
15
10
5
0
K
E+
E-
EP
kelompok
Gambar 16. Histogram perbandingan jumlah sel radang pada kelompok kontrol dan perlakuan
Dari tabel dan histogram di atas, didapatkan hasil penghitungan jumlah sel
radang di lamina propria usus halus pada semua kelompok perlakuan berbeda
nyata dengan kontrol (p<0,05).
Dilihat dari jumlah sel radang, kelompok
perlakuan E+ lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan E-, Ep dan
kelompok K. Dari hasil pengamatan ini dapat dilihat bahwa enterotoksin yang
mengalami pemanasan terlebih dahulu masih memiliki kemampuan dalam
merangsang hadirnya sel radang artinya enterotoksin E.sakazakii memiliki sifat
tahan panas dan mungkin memiliki sifat destruktif sehingga mampu menyebabkan
infiltrasi sel radang.
Pada usus besar, E- mampu menghadirkan sel radang yang secara statistik
berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0,05).
Hal ini mengindikasikan
bahwa di dalam suspensi enterotoksin negatif masih terdapat bahan yang bukan
enterotoksin sebagai faktor patogen lain yang mungkin terbawa pada saat
preparasi enterotoksin seperti elastase, glikopeptida, endotoksin, kolagenase dan
protease (Pagotto et al. 2008). Selain itu, kemungkinan reseptor untuk bahanbahan yang terkandung dalam enterotoksin negatif tersebut terletak pada usus
besar. Sedangkan, kelompok perlakuan enterotoksin positif dan enterotoksin yang
dipanaskan juga memiliki perbedaan dengan kontrol tetapi tidak signifikan.
Pada usus halus terlihat adanya lesio peradangan akibat pemberian E+, Edan Ep dengan melihat adanya kecenderungan peningkatan jumlah sel radang, vili
usus yang pendek, adanya deskuamasi epitel, edema di lamina propria, dan
kongesti pembuluh darah. Pada usus besar, hanya terjadi peningkatan jumlah sel
radang. Oleh karena itu, kemungkinan pada usus besar terjadi lesio peradangan
yang lebih ringan dibandingkan dengan usus halus.
Gambar 17. Usus halus kontrol yang mengalami deskuamasi epitel (DE), edema (E), dan infiltrasi
sel radang (SR) yang terjadi secara fisiologi. Keterangan: lumen (L), epitel (E),
lamina propria (LP), dan tunika muskularis (TM). Pewarnaan HE.
Gambar 18. Usus halus perlakuan E(+) yang mengalami edema, deskuamasi epitel (DE) dan
terdapat infiltrasi sel el radang (SR) pada lamina propria.
Gambar 19. Usus besar perlakuan E(+) dengan epitel yang utuh (E) dan terdapat infiltrasi sel
radang (SR) di lamina propria (LP). Keterangan: tunika muskularis (TM).
Meskipun pada kelompok kontrol terlihat adaya infiltrasi sel radang namun
hal ini tidak termasuk ke dalam keadaan patologis (Gambar 17) karena dalam
keadaan normal, pada lamina propria dapat ditemukan sejumlah sel limfosit, sel
plasma, netrofil dan sel mast (Shackelford and Elwell 1999). Pada kelompok
perlakuan (Gambar 18), adanya infiltrasi sel radang merupakan respon tanggap
kebal terhadap zat toksik yang masuk ke dalam tubuh dan merupakan reaksi
patofisiologis untuk melawan segala bentuk agen yang merugikan. Kehadiran sel
radang ini menunjukan bahwa enterotoksin E.sakazakii mampu menyebabkan
terjadinya suatu peradangan pada usus yang merangsang sumsum tulang
melepaskan sel radang (netrofil, limfosit dan makrofag). Menurut Ganong (2002)
invasi bakteri ke dalam tubuh akan mencetuskan respon peradangan. Interaksi
produk bakteri (toksin) dengan faktor-faktor plasma dan sel menghasilkan zat
kemotaksis yang menarik netrofil ke daerah peradangan.
Cheville (1999)
menyatakan bahwa inflamasi akut menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas endotelium pembuluh darah. Hal ini akibat dari efek kompleks dari
sitokin dan mediator inflamasi lainnya, yang secara langsung menstimulan
pengaktifan endotelium dan leukosit. Netrofil dan monosit menjadi aktif dan
segera mengekspos spektrum baru reseptor dan melakukan adhesi pada molekul
permukaannya. Perlekatan ini pertama terjadi peralihan kemudian menyebabkan
leukosit menggelinding di sekitar permukaan endotelium. Leukosit mulai
menempel kuat pada endotelium dan kemudian dengan cepat keluar melalui
celahdinding vaskular. Selanjutnya, monosit memfagosit dan mengimobilisasi
agen penyebab.
Deskuamasi Epitel
Enterotoksin E.sakazakii selain menyebabkan peradangan pada usus, dapat
pula menimbulkan respon lain seperti yang terjadi pada epitel usus berupa
deskuamasi epitel atau terlepasnya epitel usus dari vili usus baik pada usus halus
maupun usus besar (King 2007). Hal ini dapat dilihat dari tabel pengamatan
deskuamasi epitel pada masing-masing kelompok di bawah ini (tabel 4 dan 5).
Hasil jumlah epitel yang mengalami deskuamasi dianalisa dengan metode
Kruskal-Wallis.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Deskuamasi Epitel Usus Halus
Perlakuan
N
K
E+
EEP
Total
3
5
5
5
18
Mean
X2hit
Rank
5.0
12.4
8.4 3.994
10.4
Db
3
X2tabel
7.815
Asymp.
Sig
Ket
0.262
(terima H0)
tidak ada
perlakuan yang
berbeda nyata
Tabel 5 Hasil Pengamatan Deskuamasi Epitel Usus Besar
Perlakuan
N
K
E+
EEP
Total
3
5
5
5
18
Mean
Rank
11.3
9.6
8.0
9.8
X2hit
1.815
db
3
X2tabel
7.815
Asymp.
Sig
Ket
0.612
(terima H0)
tidak ada
perlakuan yang
berbeda nyata
Dari tabel 4 dan 5, dapat dilihat tidak ada perlakuan dari tiap kelompok yang
berbeda nyata dengan kelompok kontrol (X2hit < X2tabel ) baik usus halus maupun
usus besar. Akan tetapi pada usus halus, meskipun dari analisis statistik dengan
menggunakan metode Kruskal-Wallis tidak ada kelompok perlakuan yang
berbeda nyata dengan kontrol, tetapi terlihat adanya kecendrungan perbedaan skor
epitel usus halus yang mengalami deskuamasi. Sedangkan pada usus besar,
terjadi penurunan skor epitel usus yang mengalami deskuamasi. Hal ini terjadi,
diperkirakan karena usus halus merupakan organ yang pertama kontak dengan
enterotoksin dan mungkin reseptor terbanyak berada pada usus halus.
Oleh
karena enterotoksin yang digunakan tidak diukur kadarnya atau kandungannya
maka diperkirakan deskuamasi epitel usus yang terjadi akibat dari konsentrasi
enterotoksin yang diberikan
per oral mungkin terlalu rendah serta jumlah
suspensi toksin sedikit sehingga respon terhadap adanya enterotoksin pada usus
halus masih dapat dilawan oleh sistem imun tubuh. Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat Lu (1995) yaitu mekanisme yang paling memungkinkan mengenai cara
toksikan mempengaruhi organ tertentu pada dasarnya adalah lebih pekanya organ,
atau lebih tingginya kadar bahan kimia atau metabolitnya di organ sasaran. Kadar
yang lebih tinggi itu dapat meningkat pada berbagai keadaan (Lu 1995). Selain
itu, karena usus besar berfungsi dalam mengabsorpsi cairan dan elektrolit maka
enterotoksin tidak diserap oleh usus besar akibatnya lesio yang terjadi pada usus
besar lebih ringan dibandingkan dengan usus halus.
Pada kelompok kontrol, deskuamasi epitel usus besar tampak lebih tinggi.
Hal ini diperkirakan karena pengamatan bersamaan dengan proses fisiologis
pelepasan dan pergantian epitel usus tersebut. Secara fisiologis epitel yang lama
akan terlepas akibat apoptosis dan nekrosa kemudian epitel tersebut akan diganti
yang baru dengan jalan deskuamasi (Ganong 2002).
Pada usus besar, kadar E(+), E(-), dan Ep yang diberikan tidak
menyebabkan sel epitel usus hancur/ lisis meskipun tetap melukai dinding usus
yang terbukti dengan hadirnya sel radang.
Struktur enterotoksin LTs memiliki satu polipeptida A dan lima polipeptida
B (Pohland et al. 1990). Mekanisme enterotoksin dalam merusak organ target
dengan cara rantai A menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan dengan
permukaan sel. Setelah rantai B berikatan dengan permukaan reseptor (adhesi),
toksin masuk ke dalam sel melalui receptor-mediated endocytosis. Pembelahan
molekul selanjutnya memungkinkan pecahan rantai A mengeluarkan efek
toksinnya. Selanjutnya sel akan lisis akibat adanya eksotoksin yang terlokalisasi
dan beragregat pada membran untuk membentuk protein kompleks (Cheville
1999). Mekanisme ini menyebabkan respon terhadap organ sasaran dan salah
satunya ialah deskuamasi epitel usus. Deskuamasi epitel ini didahului dengan
terlepasnya ikatan antar sel epitel penutup usus akibat pemberian enterotoksin
yang bersifat sitolitik yang menyebabkan terbukanya tight junctions sel sehingga
terjadinya deskuamasi epitel tersebut. Kondisi ini terjadi pada uji in vitro dengan
ditunjukkan adanya sitolisis yang menyebabkan terlepasnya epitel sel lestari Vero
dari permukaan media kultur pada uji sitotoksik enterotoksin E.sakazakii (Grecilia
2008). Selain deskuamasi terjadi juga pemedekan pada vili usus dan terjadi edema
pada lamina propria.
Dengan demikian, dari hasil yang didapatkan menunjukan bahwa pemberian
enterotoksin secara per oral baik enterotoksin murni, enterotoksin negatif, dan
enterotoksin yang dipanaskan mampu menyebabkan perubahan terhadap usus
halus yaitu enteritis dan deskuamasi epitel sedangkan pada usus besar hanya
menyebabkan enteritis ringan.
Perubahan Histopatologis Organ Otak dan Medula Spinalis
Mikroglia merupakan sel yang berasal dari mesodermal yang bermigrasi ke
susunan saraf pusat (SSP) ketika tervaskularisasi secara embriologik. Pada otak
yang mengalami kerusakan (misalnya meningitis), mikroglia dapat berubah
menjadi makrofag dengan keberadaan antigen dan memiliki kemampuan
memfagosit (Delmann dan Eurell 1998) dan ketika sitoplasmanya menjadi
bengkak oleh material fagositosis, mikroglia disebut sebagai sel Gitter, atau foam
cell (Radovsky dan Mahler 1999). Oleh karena itu, dari pengamatan perubahan
histopatologis organ otak dan medula spinalis yang menjadi parameternya adalah
kejadian gliosis pada substansi grisea/abu-abu dengan membandingkan sel glia
pada otak dan medula spinalis mencit kontrol dan perlakuan.
Pemberian enterotoksin pada organ otak dan medula spinalis mengakibatkan
munculnya lesio seperti edema neurofil, kongesti pada submeningen, kerusakan
neuron, terjadi pula perivaskular cuffing dan peningkatan sel glia (gliosis).
Adapaun hasil pengamatan histopatologis pada otak ditemukan perbedaan jumlah
mikroglia pada berbagai perlakuan dan kontrol. Hasil perhitungan jumlah sel glia
(mikroglia) dianalisa dengan ANOVA dan uji Duncan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil perhitungan rataan jumlah sel glia pada serebrum dan medula
spinalis mencit neonatus yang diberi enterotoksin per oral.
Kelompok
Kontrol (K)
Enterotoksin + (E+)
Enterotoksin – (E-)
Enterotoksin panas (EP)
Rataan jumlah sel glia
Serebrum
Medula spinalis
34.6±7.5a
41.9±6.16a
50.7±10.9b
59.4±5.01b
b
51.6±8.0
51.3±15.4ab
29.5±4.8a
47.5±4.19ab
Keterangan:
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Perbandingan rataan jumlah sel glia pada serebrum dan medula spinalis
kelompok kontrol, kelompok perlakuan enterotoksin positif (E+), enterotoksin
negatif (E-), dan enterotoksin dipanaskan (EP) juga disajikan dalam histogram
berikut (Gambar 20).
rataan jumlah sel
60
50
Rataan Jumlah Sel Glia
Cerebrum
40
Rataan Jumlah Sel Glia
Medula spinalis
30
Kelompok:
K : Kontrol
E+ : Enterotoksin +
E- : Enterotoksin –
Ep : Enterotoksin panas
20
10
0
K
E+
E-
EP
kelompok
Gambar 20. Histogram perbandingan jumlah sel glia serebrum dan medula spinalis
Dari tabel dan gambar di atas, dapat dilihat bahwa jumlah sel mikroglia di
serebrum pada kelompok perlakuan pemberian enterotoksin positif dan negatif
berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0,05). Sedangkan, pada kelompok
perlakuan pemberian enterotoksin panas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
dengan kelompok kontrol (p>0,05).
Pada medula spinalis, data jumlah sel
mikroglia menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada semua kelompok
perlakuan baik kelompok perlakuan enterotoksin positif, negatif, maupun
enterotoksin yang telah dipanaskan.
Perbedaan jumlah ini akibat aktivitas dari mikroglia dalam memfagositosis
dan berproliferasi sebagai respon terhadap berbagai kerusakan otak (Radovsky
dan Mahler 1999).
Pada kelompok perlakuan yang berupa pemberian
enterotoksin positif dan negatif baik pada serebrum maupun medula spinalis
terjadi penambahan sel mikroglia sebagai respon terhadap lesio di serebrum.
Peningkatan jumlah mikroglia ini menunjukan adanya respon inflamasi serebrum
akibat pemberian enterotoksin yang menyebabkan teraktifasinya mikroglia dan
bermigrasi ke daerah inflamasi untuk memfagosit neuron yang rusak. Respon
peradangan akibat pemberian enterotoksin negatif ini mengindikasikan adanya
faktor virulen lain selain enterotoksin yang terbawa seperti elastase, glikopeptida,
endotoksin, kolagenase, dan protease. Beberapa faktor ini dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas BBB, sehingga bahan patogen tersebut mampu
mencapai otak dan mengakibatkan meningitis. Sedangkan pada kelompok
perlakuan pemberian enterotoksin yang telah mengalami pemanasan terlebih
dahulu, jumlah sel mikroglia di serebrum lebih sedikit dibandingkan pada
kelompok pemberian enterotoksin positif dan negatif. Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya sifat toksik enterotoksin yang dipanaskan terhadap sel di serebrum.
Beberapa publikasi menyatakan bahwa enterotoksin tidak tahan panas pada
temperatur di atas 600C selama 10 menit (enterotoksin labile toxin). Namun ada
juga beberapa pendapat yang menyatakan bahwa E.sakazakii sangat toleran
terhadap panas (stabile toxin). Sebagai contohnya pada medula spinalis, sifat
toksik dari enterotoksin yang dipanaskan tetap ada, terbukti dengan terjadinya
peningkatan jumlah sel mikroglia dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Ketidakseragaman hasil yang terjadi dapat disebabkan oleh respon peradangan
pada masing-masing mencit neonatus berbeda. Misalnya, mencit neonatus yang
diinfeksikan enterotoksin E.sakazakii (baik yang positif maupun negatif)
merupakan mencit yang mengalami imunosupresi dan berat badan yang rendah
akan mengalami lesio yang lebih parah dibandingkan mencit neonatus dengan
berat badan yang sedang dan tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa medula
spinalis lebih peka terhadap toksin yang dipanaskan.
Gambar 21. Meningen serebrum yang normal pada mencit kontrol. Keterangan : meningen normal
(m) dan sel glia (g). Pewarnaan HE.
Gambar 22.
Meningen serebrum perlakuan E (+) yang mengalami meningitis (Mt), edema
neurofil (Ed), perivaskuler cuffing (PC), malacia (MC), neuron yang mati (N) yang
sedang difagosit oleh sel glia dan peningkatan sel glia (G). Pewarnaan: HE
Gambar 23. Meningen medulla spinalis perlakuan E(-) yang mengalami edema neurofil (ED)
serta peningkatan sel glia (g). Pewarnaan HE.
Lesio pada otak dan medula spinalis akibat pemberian enterotoksin ini dapat
mengarah pada meningitis tetapi lesio yang terjadi tidak menunjukkan kerusakan
yang hebat seperti yang terjadi pada bayi neonatus. Hal ini diakibatkan oleh
pemberian enterotoksin pada mencit neonatus dilakukan secara per oral sehingga
menyebabkan adanya kemungkinan toksin terdegradasi oleh enzim-enzim
pencernaan dan bahan bioaktif lain di saluran cerna misalnya P-450 dan NADPH
sitokrom P-450 reduktase (Lu 1995).
Selain itu, dapat juga disebabkan oleh
konsentrasi toksin yang terlalu rendah dan jumlah suspensi toksin yang sedikit
(0,1 ml). Kemungkinan lesio hebat pada serebrum dan medula spinalis akan
timbul ketika pemberian suspensi toksin yang dilakukan beberapa kali dengan
konsentrasi yang lebih tinggi.
Perubahan Histopatologis Organ Limpa
Limpa merupakan organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang
masuk melalui darah (Junqueira dan Carneiro 1982). Infeksi partikel asing yang
masuk ke dalam darah ini dapat mengarah terhadap terjadinya sepsis (Smith
2006). Adanya rangsangan dari antigen atau partikel asing ini akan menginduksi
terjadinya perubahan folikel primer menjadi germinal center (Ward et al. 1999)
dan berlanjut menjadi folikel sekunder (Tizard 2004). Lesio pada limpa akibat
pemberian enterotoksin terjadinya degenerasi dan nekrosa pada sel limfoid,
infiltrasi sel radang, deposisi protein radang, peningkatan jumlah folikel limfoid
dan megakaryosit. Parameter pengamatan kuantitatif perubahan histopatologis
organ limpa yaitu jumlah folikel limfoid dan megakaryosit (Gambar 24).
Gambar 24. Limpa kontrol dengan folikel limfoid yang kompak. Keterangan : folikel limfoid
(FL), dan megakaryosit (Mg). Pewarnaan HE.
Pengamatan kualitatif berupa deplesi folikel limfoid, deposisi protein
radang, dan infiltrasi PMN, diamati sebagai tanda peradangan limpa yang
mewakili kondisi sepsis (Tabel 8, Gambar 25 dan 26).
Gambar 25. Limpa perlakuan E(-) yang mengalami deplesi folikel limfoid (DP), dan terdapat
deposisi protein radang (PR). Keterangan: megakaryosit (MK). Pewarnaan: HE.
Gambar 26. Sel limfoid limpa yang mengalami nekrosa dengan inti piknosis (P),
karyorexis/pecah(R) dan inti menghilang/karyolisis (L), serta terjadi infiltrasi
netrofil (PMN), dan deposisi protein radang (PR). Pewarnaan: HE.
Adapun hasil perhitungan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit dapat
dilihat pada Tabel 7. Selain itu data kualitatif seperti infiltrasi PMN, deplesi dan
deposisi protein radang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada
limpa mencit neonatus yang diberi enterotoksin per oral.
Kelompok
Rataan Jumlah
Folikel Limfoid
Megakaryosit
a
24.0±10.4a
5.3±4.7
28.4±8.1a
9.6±9.3a
Kontrol (K)
Enterotoksin positif (E+)
Enterotoksin negatif (E-)
7.4±2.5a
30.8±8.7a
Enterotoksin panas (EP)
8.0±5.0a
33.5±5.3a
*) Superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
Perbandingan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada kontrol dan
setiap perlakuan pemberian enterotoksin positif (E+), enterotoksin negatif (E-)
dan enterotoksin yang dipanaskan (EP) juga dapat disajikan dalam histogram
berikut (Gambar 27).
35
Rataan Jumlah Folikel Limfoid
rataan jumlah sel
30
Rataan Jumlah Megakaryosit
25
20
Kelompok:
K : Kontrol
E+ : Enterotoksin +
E- : Enterotoksin –
Ep : Enterotoksin panas
15
10
5
0
K
E+
E-
Ep
kelompok
Gambar 27. Histogram perbandingan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada limpa mencit
neonatus
Tabel 8. Hasil skoring rataan peringkat deplesi folikel limfoid, infiltrasi PMN,
dan deposisi protein radang pada limpa mencit neonatus setelah diberi
enterotoksin E.sakazakii per oral
Kelompok
Infiltrasi PMN
Deplesi
folikel limfoid
Deposisi protein
radang
Kontrol (K)
Enterotoksin positif (E+)
10.5
5,8
7.50
6.70
4,00
6.60
Enterotoksin negatif (E-)
Enterotoksin panas (EP)
8.38
10.5
10.00
10.00
13.38
9.38
Dari Tabel 7 dan histogram di atas, diperoleh gambaran bahwa perubahan
histopatologis pada limpa mencit neonatus berupa peningkatan jumlah folikel
limfoid dan megakaryosit pada setiap kelompok perlakuan baik enterotoksin
positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Walaupun demikian, tetap
terjadi peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit pada setiap
perlakuan.
Dari Tabel 8, berdasarkan pengolahan data non-parametrik metode Kruskal Wallis (nilai skoring pada Lampiran 3) diperoleh hasil pada pengamatan deposisi
sel radang dengan p-value 0,029 < taraf nyata 0,05.
Dalam statistik non-
parametrik nilai p-value yang lebih kecil dari taraf nyata berarti menolak hipotesa
dengan maksud menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata antara K dengan
Ep (p<0,05) Sedangkan pada kelompok perlakuan lain tidak ditemukannya
perbedaan yang nyata dengan K baik dari segi pengamatan deplesi maupun
infiltrasi PMN (p-value > taraf nyata). Hal ini mengindikasikan bahwa Ep masih
memiliki kemampuan dalam merangsang terjadinya suatu peradangan pada limpa.
Peningkatan jumlah folikel limfoid pada limpa merupakan respon tanggap
kebal terhadap adanya antigen yang masuk ke limpa melalui darah (sepsis) dan
peningkatan
megakaryosit
menunjukan
hematopoietik akibat suatu perdarahan.
terjadinya
peningkatan
aktivitas
Folikel limfoid berfungsi sebagai
penghasil antibodi, untuk itu apabila terdapat antigen maka makrofag yang berada
di daerah zona pembatas dan di daerah sinusoid pulpa merah akan membawa
antigen tersebut ke folikel primer kemudian sel B bermigrasi ke daerah tersebut
untuk menghasilkan antibodi (Tizard 2004). Megakariosit merupakan indikasi
meningkatnya hematopoietik atau proses pembentukan sel darah (Bacha dan
Bacha 2000).
Trombosit memegang peran penting dalam homeostasis untuk
mencegah hilangnya darah akibat pendarahan (hemoragi) dengan membentuk
sumbat trombosit. Peningkatan jumlah megakaryosit dimaksudkan untuk
menghasilkan lebih banyak lagi trombosit guna menutupi dinding pembuluh darah
yang rusak akibat antigen (Guyton 1997). Hemoragi pada limpa dapat terjadi
akibat terpapar bahan kimia dan radiasi (Ward et al. 1999).
Folikel limfoid merupakan kumpulan dari sel limfoid. Enterotoksin yang
menyerang sel limfoid menyebabkan sitolisis sehingga inti dari sel limfoid akan
pecah (fragmen) (Gambar 26). Mekanisme ini disebut dengan deplesi folikel
limfoid. Deplesi folikel limfoid akan memicu hadirnya sel radang terutama
netrofil (Gambar 26) sebagai respon inflamasi akut. Menurut Cheville (1999),
inflamasi akut akan menyebabkan permeabilitas endotel pembuluh darah
meningkat sebagai efek dari mediator inflamasi kemudian leukosit dan endotel
akan teraktivasi sehingga terjadi aliran protein plasma dan eksudat leukosit dari
lumen pembuluh darah ke jaringan interstitial (deposisi protein radang) (Gambar
25 dan Gambar 26).
Hasil perubahan histopatologis pada limpa mencit neonatus
akibat
pemberian enterotoksin E.sakazakii ini sama dengan hasil penelitian pendahuluan
akibat infeksi E.sakazakii per oral dengan berbagai tingkatan dosis infeksi
(Rotinsulu 2008). Menurut Rotinsulu (2008), tidak adanya peningkatan jumlah
folikel limfoid dan megakaryosit antara mencit kontrol dan mencit perlakuan yang
berbeda nyata (P>0,05), menunjukkan bahwa peradangan dan perdarahan yang
terjadi pada mencit perlakuan tidak terlalu hebat.
Perubahan Histopatologis Organ Hati
Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu 1995).
Dua hal yang
menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah
dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga
memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam,
mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke
hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan
biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk
dieliminasi oleh tubuh. Kerusakan pada hati dapat bersifat sementara (degenerasi)
dan menetap hingga mencapai kematian sel (nekrosa) (Carlton dan McGavin
1995). Oleh karena itu, hati menjadi organ yang penting untuk diamati
histopatologinya akibat pemberian enterotoksin.
Hasil pengamatan histopatologi jaringan hati ditemukan perubahan baik
dalam parenkim maupun interstisium.
Hal ini terjadi pada semua kelompok
perlakuan termasuk pada kelompok kontrol. Pada interstisium terjadi perubahan
berupa kongesti yang disertai dengan perluasan sinusoid.
Perubahan ini tidak
menjadi parameter dalam pemeriksaan histopatologi hati diakibatkan kedua
perubahan ini didapatkan akibat dari pengaruh dari ether sebagai larutan anastesi.
Sedangkan pada parenkhim hati dapat dilihat adanya perubahan berupa degenerasi
hidropis (Gambar 28), degenerasi lemak (Gambar 29) dan nekrosa sel hati
(Gambar 30).
Gambar 28. Hati kelompok perlakuan E(-) yang mengalami degenerasi hidropis (DH) dengan
vakuola keruh berisi cairan. Pewarnaan: HE.
Gambar 29. Hati kelompok perlakuan E(+) yang mengalami degenerasi lemak (DL) dengan
vakuola yang besar dan jelas. Pewarnaan: HE.
Gambar 30. Nekrosa sel hati perlakuan E (+) dengan inti piknosis (P), karyorexis (R) dan
karyolisis (L). Pewarnaan: HE.
Hasil perhitungan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis dan
degenerasi lemak parenkhim hati di sekitar vena sentralis pada kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi hidropis, degenerasi lemak
dan nekrosa pada sel hati mencit neonatus
Kontrol (K)
Rataan jumlah sel yang mengalami lesion
Degenerasi
Degenerasi
Nekrosa
Hidropis
Lemak
38.5±19. 17a
14.3±0.74a
38.6±4.38b
Enterotoksin + (E+)
57.8±25.70a
Kelompok
a
Enterotoksin – (E-) 45.4±6.62
Enterotoksin panas
38.4±9.36a
(EP)
15.2±3.93a
40.6±3.96b
18.0±2.73a
35.8±4.75b
16.3±0.60a
27.9±1.75a
Keterangan:
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Perbandingan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis dan
degenerasi lemak pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan enterotoksin
positif (E+), enterotoksin negatif (E-), dan enterotoksin dipanaskan (EP) juga
disajikan dalam histogram berikut (Gambar 31).
rataan jumlah se
60
Rataan jumlah sel yang
mengalami lesio Degenerasi
Hidropis
50
Rataan jumlah sel yang
mengalami lesio Degenerasi
Lemak
40
30
Rataan jumlah sel yang
mengalami lesio Nekrosa
20
10
0
K
E+
E-
EP
Kelompok:
K : Kontrol
E+ : Enterotoksin +
E- : Enterotoksin –
Ep : Enterotoksin panas
kelompok
Gambar 31. Histogram perbandingan rataan jumlah degenerasi hidropis, degenerasi
lemak, dan nekrosa pada sel hati mencit neonatus.
Dari tabel dan gambar di atas, diperoleh gambaran bahwa perbandingan
lesio berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak di sekitar vena sentralis
hati pada setiap kelompok perlakuan tidak menunjukan hasil yang berbeda nyata
(p>0,05). Namun dari segi jumlah, masih dapat dilihat perbedaan jumlah sel
degenerasi hidropis kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol meskipun
tidak signifikan.
Sebagai contoh enterotoksin positif merupakan kelompok
perlakuan yang mengalami degenerasi hidropis tertinggi dibandingkan dengan
enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan. Degenerasi lemak pada
sel hati tertinggi terjadi pada kelompok yang diberi enterotoksin E (-), kemudian
berturut-turut Ep dan E(+), serta kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
suspensi E(-) yang diberikan terdapat bahan lain (elastase, glikopeptida,
endotoksin, kolagenase, dan protease) yang memiliki kemampuan patogen
menyebabkan kerusakan sel hati.
Selain itu peningkatan degenerasi lemak pada hati akibat disebabkan oleh
sebagian besar toksikan atau bahan patogen dalam E(-) memasuki tubuh melalui
sistem gastrointestin. Bahan patogen yang terkandung dalam E(-) ini tidak diserap
oleh usus besar kemudian langsung dibawa ke vena porta untuk selanjutnya
memasuki sinusoid menuju vena sentralis sehingga kemungkinan bahan patogen
yang ada di vena sentralis menyebabkan kerusakan pada sel hati di sekitar vena
sentralis sebagai lesio hasil metabolisme bahan patogen di sel hati . Hal ini sesuai
dengan pernyataan Macfarlane et al. (2000) bahwa suplai darah hati diperoleh dari
saluran pencernaan. Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus halus,
masuk ke hati melalui vena porta, kemudian melewati sinusoid menuju vena
sentralis.
Kejadian kematian sel terjadi pada semua kelompok baik dari kelompok
kontrol maupun dari kelompok perlakuan. Meskipun nekrosa sel hati juga terjadi
pada kelompok kontrol namun tidak termasuk dalam kejadian patologi karena
dalam keadaan normal nekrosa juga dapat terjadi (Cheville 1999).
Pada
kelompok perlakuan nekrosa yang terjadi merupakan lanjutan dari kejadian
degenerasi. Hal ini menunjukan bahwa dalam memetabolisme toksin tidak hanya
dilakukan satu kali tetapi berulang-ulang sehingga dapat mengakibatkan sel hati
mengalami nekrosa atau kematian sel setelah degenerasi terjadi namun pada
kelompok perlakuan EP mengalami penurunan jumlah nekrosa sel hati dan
berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05). Kemungkinan hal ini disebabkan sifat
sitolisis EP berkurang terhadap pemanasan.
Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel yang dicirikan dengan
pembengkakan sitoplasma (Harada et al. 1999). Kebengkakan sitoplasma ini
merupakan manifestasi akumulasi cairan yang berlebihan akibat kegagalan sel
dalam mempertahankan homeostasis dan meregulasi keluar-masuknya air
(McGavin et al. 2007). Mekanisme degenerasi hidropis di mulai dari kerusakan
membran plasma yang kemudian menyebabkan membran bocor (Cheville 1999).
Selanjutnya produksi ATP menurun. Akibat berkurangnya energi menyebabkan
sodium dan air masuk ke dalam sel dan potasium keluar sel. Kemudian diikuti
dengan peningkatan tekanan osmosis yang menyebabkan banyak air mengalir ke
dalam sel. Hal ini berlanjut pada menggelembungnya retikulum endoplasmik,
ruptur, dan membentuk vakuol (McGavin et al. 2007).
Degenerasi lemak merupakan respon sel hepatosit terhadap toksikan yang
merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia kronis yang menghambat kerja
enzim pada metabolisme lemak.
Mekanisme yang mendasari terjadinya
penimbunan lipid dalam hati yang paling umum adalah rusaknya pelepasan
trigliserida hati ke plasma. Oleh karena trigliserida hati hanya disekresi bila
dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein (membentuk VLDL), maka terdapat
beberapa mekanisme penimbunan lipid di hati yaitu: penghambatan sintesis satuan
protein dari lipoprotein, penekanan konjugasi trigliserida dengan lipoprotein,
hilangnya kalium dari hepatosit yang mengakibatkan gangguan pada transfer
VLDL melalui membran sel, rusaknya oksidasi lipid oleh mitokondria, dan
penghambatan sintesis fosfolipid, bagian penting dari VLDL (Lu 1995).
Akumulasi lemak akibat toksin akan terlihat di sekitar suplai darah aferen (vena
portal dan arteri hepatica) (Macfarlane et al. 2000).
Apabila proses degenerasi sel berjalan terus-menerus maka akan mencapai
kerusakan yang permanen dan sel akan mengalami kematian. Proses kematian sel
terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa (Cheville 1999).
Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat
adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel
mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang.
Nekrosa
merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem
energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000).
Pada
kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah
(karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999).
Pemberian enterotoksin positif dan enterotoksin negatif mampu memicu
peningkatan jumlah sel hati yang mengalami degenerasi hidropis sedangkan
enterotoksin yang dipanaskan tidak memicu peningkatan jumlah sel yang
mengalami degenerasi hidropis.
Pada semua kelompok perlakuan pemberian
enterotoksin baik enterotoksin positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang
dipanaskan mampu memicu kerusakan sel hati berupa degenerasi lemak. Hal ini
dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah sel yang mengalami degenerasi
degenerasi lemak akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii walaupun dengan
analisis statistik belum berbeda nyata dengan kontrol. Kejadian degenerasi yang
berkelanjutan akan mencapai kerusakan yang permanen dan sel akan mengalami
kematian sel (nekrosa).
Perubahan Histopatologis Organ Ginjal
Hasil pengamatan histopatologi ginjal mencit neonatus memperlihatkan
adanya perubahan pada tubuli proksimal ginjal.
menunjukan adanya degenerasi hidropis.
Perubahan pada tubulus
Pada bagian intestitium ditemukan
adanya kongesti yang disebabkan oleh pembiusan yang menggunakan ether.
Ether merupakan anastetik yang sangat kuat, dan dapat menekan kontraktilitas
otot jantung, menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit dan pembuluh darah
organ-organ (Ganiswarna 1995). Oleh karena terjadinya kongesti pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan merupakan kejadian fisiologis maka, yang
menjadi parameter pengamatan histopatologi ginjal adalah degenerasi hidropis,
degenerasi lemak dan nekrosa.
Hasil perhitungan terjadinya degenerasi hidropis tubuli proksimal ginjal
pada kelompok kontrol dan perlakuan dapat dilihat dalam tabel 10.
Tabel 10. Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi hidropis, degenerasi lemak,
dan nekrosa sel epitel tubuli proksimal ginjal
Kelompok
Rataan jumlah sel yang mengalami lesio
Degenerasi Degenerasi
Nekrosa
Hidropis
Lemak
45.3±11.3a 33.6±4.47a
23.9±3.5a
b
a
84.0±5.7
40.0±10.2
32.4±2.7b
a
a
59.9±11.7 34.0±1.97
29.8±1.0b
a
a
59.4±14.0 35.2±5.78
23.3±5.5a
Kontrol (K)
Enterotoksin + (E+)
Enterotoksin – (E-)
Enterotoksin panas (EP)
Keterangan:
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Perbandingan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis tubuli ginjal
pada kelompok K, perlakuan E(+), E(-) dan EP dapat dilihat dari histogram batang
(Gambar 32).
Rataan jumlah sel yang
mengalami lesio Degenerasi
Hidropis
90
rataan jumlah se
80
70
Rataan jumlah sel yang
mengalami lesio Degenerasi
Lemak
60
50
Rataan jumlah sel yang
mengalami lesio Nekrosa
40
30
20
10
0
K
E+
E-
EP
Kelompok:
K : Kontrol
E+ : Enterotoksin +
E- : Enterotoksin –
Ep : Enterotoksin panas
kelompok
Gambar 32. Perbandingan jumlah sel degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa sel
epitel tubuli ginjal
Dari hasil pengamatan tabel dan histogram di atas dapat dilihat bahwa
kejadian degenerasi hidropis hanya dari kelompok perlakuan E(+) berbeda nyata
dengan kelompok K (p<0,05). Sedangkan, kelompok perlakuan E(-) dan EP tidak
berbeda nyata.
Dari segi jumlah, kelompok perlakuan E(+) juga mengalami
degenerasi hidropis tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan E(-) dan
EP. Hasil pengamatan ini membuktikan bahwa hanya dari kelompok enterotoksin
E(+) yang memiliki sifat toksik yang tinggi terhadap sel di tubuli ginjal.
Meskipun kelompok perlakuan E(-) dan EP tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol (p>0,05), bukan berarti degenerasi hidropis yang terjadi sama dengan
kelompok K. Hal ini dapat dilihat dari jumlah degenerasi hidropis pada kelompok
perlakuan enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat juga dikatakan
E(-) dan EP masih memiliki sifat toksik terhadap sel di tubuli ginjal namun dalam
kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan E(+).
Gambar 33. Sel epitel tubuli ginjal yang mengalami degenerasi hidropis (DH) dan nekrosa dengan
inti piknosis (P). Pewarnaan: HE
Gambar 34. Sel epitel tubuli ginjal perlakuan E (+) yang mengalami degenerasi lemak.
Menurut Seely (1999), ginjal adalah organ utama yang memiliki sisi sensitif
terhadap toksikositas karena peranannya unik terhadap filtrasi, metabolisme, dan
eksresi xenobiotik.
Dalam keadaan normal, glomerulus akan memfiltrasi
molekul-molekul protein yang berukuran besar sehingga tidak dapat dilalui. Akan
tetapi, pada keadaan disfungsi gromerulus akibat bahan toksik, bahan-bahan asing
akan lolos dengan mudah dan masuk ke tubuli dalam jumlah tidak normal. Hal ini
akan menginduksi terjadinya kerusakan pada tubuli dalam bentuk degenerasi
tubular/ nekrosis.
Degenerasi hidropis merupakan keadaan sel ketika sitoplasmanya pucat dan
membengkak dalam kaitannya dengan akumulasi cairan. Pada kejadian edema
intraseluler yang ringan disebut pembengkakan berawan/ keruh, selanjutnya
meningkatkan cairan dan membengkaknya organel pada sitoplasma dan
berpenampakan seperti bervakuol (Underwood 1992).
Hal ini terjadi akibat
kegagalan dalam pengaturan normal homeostasis dan meregulasi pemasukan dan
pengeluaran air. Mekanisme respon terhadap pembengkakan sel akut (degenerasi
hidropis) biasanya melibatkan kerusakan membran sel, kegagalan sel dalam
memproduksi energi, perlukaan enzim yang meregulasi kanal ion membran.
Degenerasi hidropis terjadi sebagai respon kehilangan homeostasis sekunder sel
terhadap hipoksia, toksik, radikal bebas, virus, bakteri dan perlukaan bermediasi
imun. Hipoksia menyebabkan penurunan produksi ATP sehingga sodium dan air
masuk ke dalam sel, potasium keluar sel. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tekanan osmosis dan menyebabkan banyak air yang mengalir ke dalam sel.
Kemudian sisterna rerikulum endoplasmik menggelembung, ruptur, dan
membentuk vakuol. Untuk selanjutnya terjadi vakuolisasi meluas dan disebut
dengan degenerasi hidropis (McGavin et al. 2007).
Pada hasil pengamatan jumlah sel tubuli yang mengalami degenerasi lemak
diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata baik dari kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol (p>0.05). Dari segi jumlah, dapat dilihat pula bahwa hanya
sedikit selisih jumlah sel tubuli yang mengalami degenerasi lemak dari setiap
kelompok perlakuan.
Selain degenerasi hidropis, kerusakan sel juga dapat berupa degenerasi
lemak (Gambar 34).
Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak pada
jaringan non adiposa, terutama parenkhim organ, otot kerangka, dan jantung
dengan laju metabolik yang tinggi. Masalah esensialnya ialah ketidakmampuan
jaringan non adiposa dalam memetabolisme sejumlah lemak yang ada, sehingga
terjadilah akumulasi lemak di dalamnya. Penyebab dari degenerasi lemak yaitu
keracunan sel seperti bakteri dan bahan kimia (kloroform dan alkohol); serta
gangguan klinis seperti anoksia karena anemia, gagal jantung dan penyakit
respirasi, diabetes melllitus, dan malnutrisi kronis (Macfarlane et al. 2000)
Toksin yang menyerang jaringan non adiposa akan menyebabkan
berkurangnya aktivitas enzim seluler kemudian menyebabkan jaringan/ organ
(misalnya hati) tidak mampu memetabolisme lemak yang ada dan terjadilah
akumulasi lemak pada sel. Alkohol yang biasa digunakan dalam pembuatan
preparat akan menyebabkan lemak larut maka dalam pengamatan mikroskopis
diindikasikan oleh vakuola yang jelas (Macfarlane et al. 2000). Organ yang
mengalami degenerasi lemak akan membesar, pucat dan memiliki konsistensi
seperti berminyak (Underwood 1992).
Pada semua kelompok perlakuan
pemberian enterotoksin E.sakazakii menyebabkan peningkatan jumlah sel
degenerasi lemak namun secara statistik tidak berbeda nyata (p>0,05) sama halnya
dengan kerusakan sel hati berupa degenerasi hidropis juga mengalami
peningkatan jumlah namun yang berbeda nyata hanya dari kelompok pemberian
enterotoksin positif (Gambar 33).
Degenerasi sel yang berkelanjutan menyebabkan terjadinya kematian sel
(nekrosa). Kejadian nekrosa terjadi pada semua kelompok perlakuan. Kelompok
E(+) dan E(-) menunjukkan perbedaan yang nyata dengan K (p<0,05), sedangkan
EP tidak berbeda nyata dengan K (P<0,05). Hal ini diduga sifat sitolitik EP
berkurang akibat pemanasan sehingga nekrosa sel tubuli yang timbul akibat
kontak dengan EP tidak begitu hebat.
Nekrosa yang terjadi merupakan kelanjutan dari proses degenerasi. Pada
kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah
(karyorexis) dan menghilang (karyolisis) seperti pada Gambar 33 (Cheville 1999).
Gambaran
Umum
Pengamatan
Histopatologis
Akibat
Pemberian
Enterotoksin E.sakazakii
Dari pemberian enterotoksin E.sakazakii baik enterotoksin positif,
enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan pada mencit neonatus
normal dapat dilihat adanya perubahan histopatologi pada usus halus, usus besar,
hati, ginjal serta otak dan medula spinalis. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Pagotto et al. (2003) bahwa enterotoksin E.sakazakii diketahui ada yang bersifat
resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Lebih
lanjut, diketahui pula enterotoksin tersebut dapat menimbulkan kematian pada
mencit yang masih menyusu (suckling mice). Laporan mengenai kejadian
meningitis, sepsis serta enterokolitis nekrotikan akibat infeksi E.sakazakii telah
banyak dilaporkan di seluruh dunia.
Pemberian enterotoksin E.sakazakii melalui rute per oral terlebih dahulu
akan melalui lambung. Enterotoksin yang masuk ke dalam lambung tidak mampu
dinetralisir akibat dari rendahnya laju sekresi asam lambung pada neonatus
(Barkey et al. dalam Townsend dan Forsythe 2008). Oleh karena itu, enterotoksin
E.sakazakii yang diberikan per oral mampu melewati usus dan menyebabkan
kerusakan pada usus berupa deskuamasi epitel meskipun secara perhitungan
statistik non parametrik tidak berbeda nyata (p>0,05). Selain itu, terjadi pula
peradangan usus ringan yang diindikasikan oleh infiltrasi sel radang dengan hasil
yang berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05). Enterotoksin memiliki struktur
polipeptida A dan polipeptida B. Mekanisme enterotoksin dalam merusak organ
target dengan cara rantai A menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan
dengan permukaan sel. Setelah rantai B berikatan dengan permukaan reseptor
(adhesi), toksin masuk ke dalam sel melalui receptor-mediated endocytosis
(Cheville 1999). Pembelahan molekul selanjutnya memungkinkan pecahan A
mengeluarkan efek toksinnya. Selanjutnya sel akan lisis akibat adanya eksotoksin
yang terlokalisasi dan beragregat pada membran untuk membentuk protein
kompleks (Cheville 1999). Mekanisme ini menyebabkan respon terhadap organ
sasaran dan salah satunya ialah deskuamasi epitel usus. Kerusakan ini mampu
menyebabkan adanya respon inflamasi pada usus dengan hadirnya / infiltrasi sel
radang pada lamina propria.
Pemberian enterotoksin E.sakazakii pada otak dan medula spinalis mencit
neonatus menunjukan adanya peningkatan jumlah sel glia yang berbeda nyata
dengan kontrol (p<0,05) pada kelompok perlakuan. Peningkatan sel ini terjadi
pada kelompok pemberian enterotoksin positif dan enterotoksin negatif pada otak
sedangkan pada medula spinalis terjadi semua kelompok perlakuan. Hasil
penelitian ini menunjukkan peningkatan jumlah sel glia sebagai respon terjadinya
lesio pada otak dan medula spinalis akibat pemberian enterotoksin dapat
mengarah pada meningitis tetapi lesio yang timbul tidak menunjukkan kerusakan
yang hebat seperti pada bayi neonatus. Lesio yang terjadi akibat adanya antigen
bermolekul rendah seperti toksin yang mampu melakukan penetrasi pada daerah
BBB.
Oleh karena usus besar berfungsi dalam mengabsorpsi cairan dan elektrolit,
maka enterotoksin tidak diabsorpsi oleh usus besar lalu terbawa ke hati melalui
sirkulasi vena porta. Hati merupakan organ tubuh yang paling sering menjadi
organ target toksikan (Lu 1995).
enterotoksin E.sakazakii,
Pada penelitian ini akibat pemberian
secara statistik didapatkan hasil bahwa sel hati
mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi lemak tetapi tidak berbeda nyata
dengan kontrol (p>0,05) namun dari segi jumlah tetap terjadi peningkatan sel
yang mengalami degenerasi akibat perlakuan pemberian enterotoksin. Hal ini
mengindikasikan bahwa hati melakukan detoksifikasi atau netralisasi sebagian
enterotoksin E.sakazakii. Selain itu, pada semua kelompok perlakuan terjadi
nekrosa sel hati namun hanya kelompok EP yang mengalami penurunan jumlah
sel nekrosa.
Ginjal berfungsi sebagai organ yang memfiltrasi toksikan oleh sebab itu
ginjal dapat mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi lemak akibat adhesi
toksikan terhadap sel tubuli.
Hal ini disebabkan oleh enterotoksin yang
menyerang sel akan menurunkan produksi ATP sehingga terjadi gangguan
tekanan osmosis yang kemudian menyebabkan air banyak mengalir ke dalam sel
dan lama-kelamaan terjadi kebengkakan sel. Perubahan inilah yang menyebabkan
terjadinya degenerasi hidropis baik pada hati maupun ginjal (McGavin et al.
2007). Selain itu, enterotoksin juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas
enzim untuk memetabolisme lemak akan berakibat pada akumulasi lemak.
Perubahan semacam ini disebut dengan degenerasi lemak (Macfarlane et al.
2000).
Pada penelitian pemberian enterotoksin E.sakazakii baik enterotoksin
positif, enterotoksin negatif dan enterotoksin yang dipanaskan didapatkan hasil
dengan olah data statistik ANOVA tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05).
Walaupun demikian, dari segi jumlah dapat dilihat terjadinya peningkatan sel
akibat pemberian enterotoksin E.sakazakii.
Hal ini mengindikasikan bahwa
terdapatnya sebagian komponen enterotoksin dan bahan patogen lain
yang
terbawa selama proses pembuatan enterotoksin (enterotoksin negatif) yang tidak
ternetralisir oleh hati sehingga masih dapat merusak ginjal. Degenerasi sel yang
terjadi pada tubuli ginjal akibat toksin yang besifat sitolitik. Apabila tidak terjadi
proses persembuhan sel maka sel yang rusak akan mati. Proses kematian sel
terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa (Cheville 1999).
Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat
adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel
mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang.
Nekrosa
merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem
energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000).
Pada
kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah
(karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999).
Pemberian enterotoksin E.sakazakii pada organ limpa mencit neonatus
menunjukan tidak adanya peningkatan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit
antara mencit kontrol dan mencit perlakuan yang berbeda nyata (P>0,05),
menunjukkan bahwa peradangan dan perdarahan yang terjadi pada mencit
perlakuan tidak terlalu hebat.
Dari hasil percobaan pemberian E(-) rute per oral dapat menyebabkan
peningkatan sel radang pada usus besar, degenerasi lemak pada hati, dan
peningkatan sel glia pada otak. Hal ini mengindikasikan enterotoksin negatif
yang diberikan
mungkin
mengandung
bahan
patogen
seperti elastase,
glikopeptida, endotoksin, kolagenase, dan protease sehingga masih mampu
menyebabkan kerusakan pada sel.
Selain itu, enterotoksin yang dipanaskan
memiliki sifat tahan panas dan diduga memiliki sifat destruktif sehingga mampu
menyebabkan infiltrasi sel radang pada pada usus halus, usus besar, otak, dan
medula spinalis.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Enterotoksin
E.sakazakii
menyebabkan
terjadinya
enteritis,
meningoencephalitis, degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa
pada hati dan ginjal, serta splenitis.
2. Enterotoksin E.sakazakii tergolong heat stabile yang masih memiliki
potensi menyebabkan peradangan pada serebrum, medula spinalis dan
usus.
3. Diperkirakan
terdapat komponen
lain
dalam
sekresi
metabolit
E.sakazakii selain enterotoksin yang dapat menyebabkan peradangan
pada serebrum, medula spinalis dan usus serta terjadinya degenerasi
hidropik dan degenerasi lemak pada hati dan ginjal.
Saran
1.
Perlu dilakukan penghitungan kadar enterotoksin E.sakazakii.
2.
Membandingkan pengaruh enterotoksin dengan eksotoksin.
3.
Perlu diadakan pengujian mengenai bahan patogen lain dalam sekresi
metabolit E.sakazakii selain enterotoksin yang mampu memicu
terjadinya perubahan patologis organ serebrum dan medula spinalis,
usus, hati, ginjal serta limpa.
4.
Menggunakan mencit neonatus immunosupresi sebagai model respon
dari bayi-bayi imunodefisiensi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2004a. Background Information on Enterobacter sakazakii (E.
sakazakii). International Association of Infant Food Manufacturer.
http://www.if.net/issues/E.sakazakiiazakii_background.htm.
[29
Maret
2005].
Anonimus. 2004b. Enterobacter sakazakii. http: //www.magma.ca. [29 Agustus
2007].
Anonimus. 2005. Synapses, Reseptor Cells, and Brain. http:
www.butler.cc.tut.fi/~html. [ 19 Juli 2008].
Anonimus. 2006a. House Mouse. http:
www.en.wikipedia.org/wiki/Mus_musculus#/Characteristics.[2 Maret 2008]
Anonimus. 2006b. A Guide to Severe Sepsis.
http://www.sccm.org/education/index.asp. [29 Mei 2008].
Anonimus. 2007a .Enterobacter.
http://en.wikipedia.org/wiki/Scientific_classification[29 Agustus 2007.]
Anonimus. 2007b. What is Necrotizing Enterocolitis? http://www.kidshealth.org.
[19 Januari 2006].
Anonimus. 2007c. Necrotizing Enterocolitis. http:
www.uvahealth/peds_hrnewborn. [19 Januari 2006].
Anonimus. 2007d. Spleen Histology. http://pagead2.googlesyndication.com/[14
September 2008].
Anonimus. 2008a. Anatomy of The Brain. http://www.ohsu.edu.cfm. [ 19 Juli
2008].
Anonimus. 2008b. Enterotoxin. http://en.wikipedia.org/wiki/Enterotoxin[17 Juli
2008].
Anonimus. 2008c. Cronobacter. http://en.wikipedia.org/wiki/Gram-negative[20
Juli 2008].
Aughey E and Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. London: Iowa State University Press. P: 258.
Bacha WJ Jr and Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. 2nd Ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. P: 27-28, 70-71, 120-121.
Ballenger, L. 1999. "Mus musculus" (On-line), Animal Diversity Web.
http://animaldiversity/Mus_musculus.html. [3 April 2007].
Bar-Oz B, Preminger A, Peleg O, Block C, and Arad I. 2001. Enterobacter
sakazakii Infection in the Newborn. Acta Paediatr 90: 356-358.
Bowen AB, and Braden CR. 2006. Invasive Enterobacter sakazakii Disease in
Infants. http://www.ncbi..htm. [31 Juli 2007].
Bowen AB and Braden CR. 2008. Enterobacter sakazakii Disease and
Epidemiology, In: Farber JM and Forsythe SJ. 2008. Enterobacter
sakazakii. Washington, DC: ASM Press. P: 101-125.
Carlthon WW and McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary
Pathology. St. Louis. Mosby-Year Book. Inc. P: 229-446.
Cheville, NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology.2nd ed. USA: Iowa State
University Press. P: 16.
Dellmann, H.D. and Eurell J.A. 1998. Veterinary Histology. USA : Lippincott
Williams & Wilkins. P: 91-225.
Erickson, M.C. and Kornacki, J.L. 2002. Enterobacter sakazakii: An Emerging
Food Pathogen. http://www.ugacfs.org/ [29 Maret 2008].
Estuningsih S et al. 2006. Enterobacteriaceae in Dehydrated Powdered Infant
Formula Manufactured in Indonesia and Malaysia. J Food Prot
69(12):3013-7.
Estuningsih S, Hernomoadi H dan IWT Wibawan. 2007. Potensi Kejadian
Meningitis Pada Neonatal Akibat Infeksi E.sakazakii Yang Diisolasi Dari
Makanan dan Susu Formula. Laporan Penelitian IPB Th.II Hibah XIV
Dirdikti. Depdiknas.
Eurell J.A. and Frappier B.L. 2006. Nervous System. Version : 1.0. Australia :
Blackwell Publishing. P: 194-221.
Fox SI. 2004. Human Physiology. 8th Ed. New York: McGraw-Hill Companies.
P: 154-155.
Friedemann, M. 2007. Enterobacter sakazakii in Food and Beverages (Other Than
Infant formula and Milk Powder). International Journal of Food
Microbiology 116: 1-10.
Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hml 116-185.
Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 20. Jakarta: EGC. P:
496-497.
Grecilia G. 2008. Uji Sitotoksin Enterobacter sakazakii Isolat Asal Makanan dan
Susu Bayi Pada Sel Lestari Vero [Skripsi]. Bogor: Sarjana Kedokteran
Hewan IPB.
Griffiths J. 2008. Focus on Definition of Sepsis. http://frca.co.uk/ [5 September
2008].
Guyton AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. P:
579-578.
Gyles CL and Thoen CO. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals.
2nd ed. USA : Iowa State University Press. P: 114-164
Hamilton JV , Lehane MJ, Braig HR 2003. Isolation of Enterobacter sakazakii
from Midgut of Stomoxys calcitrans. Emerging Innfectious Diseases Vol 9,
No. 10. P:1355-1356.
Harada et al. 1999. Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. 1999. Pathology of
The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. USA: Cache River Press. P: 119136.
Hasell Sally. 2004. Enterobacter sakazakii
in Powder Infant
Formula.,FAO/WHO Regional Conferenc on Food Safety for Asia and the
Pasific. Malaysia.
Himelright I, 2002. Enterobacter sakazakii Infections Associated with the Use of
Powdered Infant Formula—Tennessee, 2001. http://www.fda.gov/ [23 Mei
2007].
Homeier BP. 2005. Sepsis. http://www.kidshealth.org/htm. [29 Mei 2008].
Iversen C and Forsythe S. 2003. Risk Profile of Enterobacter sakazakii , An
Emergent Pathogen Associated with Infant Milk Formula. Food
Microbiology. Trends in Food Science & Technology 14; 443-454
Iversen C, Lehner A, Mullane N, dkk (2007). "The taxonomy of Enterobacter
sakazakii: proposal of a new genus Cronobacter gen. nov. and descriptions
of Cronobacter sakazakii comb. nov. Cronobacter sakazakii subsp.
sakazakii, comb. nov., Cronobacter sakazakii subsp. malonaticus subsp.
nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter Muytjenii sp. nov.,
Cronobacter dublinensis sp. nov. and Cronobacter genomospecies 1". BMC
Evol Biol 7: 64.
Japardi I. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library.
http://library.usu.ac.id/[12 april 2007].
Junqueira, LC and Carneiro J. 1989. Histologi Dasar. Edisi ke-3. Terjemahan
Adji Dharma. Jakarta: EGC. P: 182 – 186.
King D. 2002. Lobule of Pig Liver. http://www.siumed.edu/[14 September 2008].
King D. 2007. Histology Study Guide of the Gastrointestinal System, Kidney and
Urinary Tract. http://www.siumed.edu/ [20 Juli 2008].
Lai KK. 2001. Enterobacter sakazakii Infections among Neonatus, Infants,
Childrens, and Adults. Case reports and a review of the literature. Medicine
Baltimore 80: 113-122.
Lenati RF, O’Connor DL, Hébert KC, Farber JM, and Pagotto FJ. 2008. Growth
and Survival of Enterobacter sakazakii In Human Breast Milk With and
Without Fortifiers As Compared To Powdered Infant Formula. International
Journal of Food Microbiology 122 (2008) 171–179.
LIorens XS and Mc Cracken Jr. GH. 2003. Bacterial Meningitis in Child. The
Lancet 361:2139-2148.
Lu FC. 1995. Toksikologi dasar. Edisi 2. Jakarta: UI-Press. P: 20-268.
Macfarlane P.S., Reid R., Callander. R. 2000. Pathology Illustrated. 5th ed. China :
Churchill Livingstone. P: 64-570.
Malole MBM, Pranomo CSU. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan di
Labolatorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor : IPB FKH.
P: 28-45.
Mange JP, Stephan R, Borel N, Wild P, Kim KS, Pospischil A, and Lehner A.
2006. Adhesive Properties of Enterobacter sakazakii to Human Epithelial
and Brain Microvascular Endothelial Cells. BMC Microbiology 6: 58.
McGavin M. Donald and Zachary, James F. 2007. Pathologic Basic of Veterinary
Disease. China: Mosby, Inc. P:12-17.
Meutia YR. 2008. Enterobacter sakazakii Isolat Asal Susu Formula dan
Makanan Bayi; Karakterisasi Gen 16s RNA dan Perlakuan Bakteri Pasca
Rekonstruksi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institu Pertanian Bogor.
Muytjen HL, W.H. Roelofs, dan G.H.J. Jaspar. 1988. Quality of Powdered
Substituted for Breast Milk with Regard to Members of the Family
Enterobacteriaceae. Journal of Clinical Microbiology 26: 743-746.
Nazarowec-White M. and Farber JM (1997). Enterobacter sakazakii : a review.
International Journal of Food Microbiology. P : 103-113.
Pagotto F.J, M. Nazarowec-White, M. S. Bidawid, J.M. Farber. 2003.
Enterobacter sakazakii: Infectivity and Enterotoxin Production in Vitro and
in Vivo. J. Food Protect. 66, 370-375.
Pagotto F, Farber JM, and Lenati R. 2008. Pathogenicity of Enterobacter
sakazakii. In: Farber JM and Forsythe SJ. 2008. Enterobacter sakazakii.
Washington, DC: ASM Press. P: 127-144.
Paryati SPY. 2006. Keracunan Makanan Oleh Bakteri BACTERIAL FOOD
POISONING.
Akademi Medis Veteriner Puragabaya, Bandung.
http://www.Jvetunud.com/archives [16 Agustus2008].
Pohland AE, Dowell Jr. VR, dan Richard JL. 1990. Microbial Toxins in Foods
and Feeds Cellular and Molecular Modes Of Action. New York: Plenum
Press. P:91-97.
Press CM and Landsverk T. 2006. Immune System. In: Eurell JA and Frappier.
2006. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. 6th ed. Australia:
Blackwell Publishing. P: 147-153.
Radovsky and Mahler. 1999. Nervous System. In: Maronpot RR. 1999.
Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. USA: Cache River
Press. P: 449-456.
Rotinsulu DA. 2008. Studi Histopatologi Pengaruh Infeksi Enterobacter
sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus [Skripsi]. Bogor : Sarjana
Kedokteran Hewan IPB.
Seely, J.C. Kidney. In : Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference
and Atlas. 1st ed. Cache River Press. P: 226.
Shackelford and Elwell. 1999. Small and Large Intestine, and Mesentery. In:
Maronpot RR. 1999. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed.
Cache River Press. P: 81-115.
Sinave C.P. 2003. Enterobacter Infections. http: //www.emedicine.com/ [23 Mei
2007].
Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine. USA :Mosby, Inc. P:89-91.
Slomianka L. 2006. Blue Histology-Lymphoid Tissue II.
http://www.lymph2.htm#Spleen[14 September 2008].
Smith DS. 2006. Sepsis. http://www. medlineplus.gov/htm. [29 Mei 2008].
Smith HA, Jones TC, and Hunt RD. 1974. Veterinary Pathology. Ed ke-4.
Philadelphia: Lea and Febiger. P: 125-1181.
Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan dan Penggunaan Hewan
Coba di Daerah Tropis. Jakarta: UI.Press. P: 10-12.
Springer SC. 2006. Necrotizing Enterocolitis. http://www.emedicine.com/[22
Januari 2007]
Springhouse.
2003.
Necrotizing Enterocolitis (Handbook of Diseases).
http://www.wrong diagnosis.book-diseases-12b.htm. [12 April 2007].
Stevenson R.L. 2006. Nervous Tissue. http : //www.lab.anhb.uwa.edu.au/[ 19 Juli
2008].
Tizard IR. 2004. Veterinary Immunology An Introduction. 7th Ed. China:
Saunders. P: 88-91.
Towsend S and Forsythe SJ. 2008. The Neonatal Intestine Microbial Flora,
Immunity, and Infections. In: Enterobacter sakazakii. Editor: Farber JM and
Forsythe SJ. 2008. Washington, DC: ASM Press. P: 61-100.
Underwood JCE. 1992. General and Systemic Pathology. New York. Churchill
Livingstone. P:23-765.
van Acker J., F. de Smet, G. Muyldermans, A. Bougatef, A. Naessens and S.
Lauwers. 2001. Outbreak of Necrotizing Enterocolitis Associated with
Enterobacter sakazakii in Powder Milk Formula. J. Clin Microbiol. 39, 293297.
Vergnolle N. 2008. Modulation of visceral pain and inflammation by proteaseactivated receptors. http://www.nature.com/[5 September 2008].
Wilson LM and LB Lester. 1995. Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas. Dalam:
SA. Price and LM. Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Terjemahan: Peter Anugerah. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. P: 426-427, 429-430.
Ward JM et al. 1999. Thymus, Spleen, Lymph Node. In: Maronpot RR. 1999.
Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. P:
339-353
Weir Erica. 2002.
Powdered Infant Formula and Fatal Infection with
Enterobacter sakazakii. Canadian Medical Association or its licensors. P:
116.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. PEMBERIAN OBAT PADA MENCIT
AMOXICILIN®
Dosis anak
:125 mg/25 kgBB 1x pakai
= 25 mg/kgBB
3 x sehari
= 75 mg/kgBB
BB 1 ekor mencit ± 25 gram.
25 mg/1000 mg x 75 mg
=1,875 mg/hari
= 2 mg/hari
Larutan Amoxicilin® yang tersedia mengandung 125 mg/5 ml= 25 mg/ml.
Diperlukan 2 mg/125 mg x 5 ml
= 0,08 ml / ekor mencit.
Diencerkan menjadi 10 kali.
Sehingga pemberian:
Dewasa
: 0.8 ml/mencit/ hari (selama 5 hari berturut-turut).
Anak
: 0.4 ml/mencit/ hari (selama 5 hari berturut-turut).
Misalkan:
10 ml larutan Amoxicilin® + 90 ml aquadest.
CIPROFLOXACIN®
Tablet Ciprofloxacin® 500 mg.
Dosis : 500 mg/ 50 kg BB
10 mg/kg BB
Namun berdasarkan penelitian tikus aspirin tidak mempan, sehingga dinaikkan
menjadi 100 mg/kgBB.
BB 1 ekor mencit ± 25 grm.
Dibutuhkan 25/1000 x 100 mg =2,5 mg/mencit.
Sehingga 1 tablet (500 mg) dapat digunakan untuk 200 mencit.
Yang ingin diberikan kepada mencit dalam bentuk larutan 1 ml/mencit yang
mengandung 2,5 mg ciprofloxacin®.
Maka;
1 tablet dilarutkan dalam 200 ml aquadest.
Dosis untuk setiap mecit:
Dewasa
: 1 ml/mencit/ hari (selama 3-5 hari berturut-turut).
Anak
: 0.5 ml/mencit/ hari (selama 3-5 hari berturut-turut).
ALBENDAZOLE®
Konsentrasi larutan yang tersedia : 10 mg/ml
Dosis untuk setiap ekor mencit
: 10 mg/ml
Berat badan (rataan) mencit
: 30 g/ekor
Albendazole® yang dibutuhkan untuk setiap ekor mencit: 0,00033 mg/ekor
~0,0004 mg/ekor
Larutan Albendazole® baru
Larutan Albendazole® yang tersedia (10 mg/ml) : 0,5 ml
Pelarut (Aquadest)
: 99,5 ml+
100 ml
Kandungan larutan baru
= 5,0 mg/100 ml
= 0,05 mg/ml
Pemberian untuk setiap ekor mencit (dewasa)
.
= 0,025 mg/ml
LAMPIRAN 2. PENGOLAHAN DATA STATISTIK
1. Uji Anova dan Duncan
N
ota
k
ms
Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Lower
Bound
Upper Bound
22.7129
46.4871
Minimum
Maximu
m
K
4
34.6000
7.47039
3.73519
26.00
41.10
E+
4
50.7250
10.92684
5.46342
33.3380
68.1120
40.80
66.20
E-
4
51.6000
8.03285
4.01642
38.8179
64.3821
44.30
58.80
Ep
4
16
4
29.5000
41.6063
41.9000
4.89830
12.39857
6.16333
2.44915
3.09964
3.08167
21.7057
34.9995
32.0928
37.2943
48.2130
51.7072
35.70
66.20
47.60
E+
4
59.4500
5.01032
2.50516
51.4775
67.4225
23.90
23.90
35.80
54.00
E-
4
51.3500
15.43276
7.71638
26.7930
75.9070
28.80
62.00
Ep
4
16
47.5000
50.0500
4.19047
10.35490
2.09523
2.58873
40.8320
44.5323
54.1680
55.5677
43.20
28.80
53.20
65.20
Total
K
Total
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic
df1
df2
Sig.
otak
1.081
3
12
.394
ms
2.828
3
12
.083
ANOVA
Sum of
Squares
otak
ms
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
df
1514.702
3
504.901
791.168
12
65.931
2305.869
15
651.900
3
217.300
956.460
12
79.705
1608.360
15
otak
Duncan
kelompok
N
Mean Square
Subset for alpha = .05
1
2
29.5000
Ep
4
K
4
E+
4
50.7250
E-
4
51.6000
34.6000
F
Sig.
7.658
.004
2.726
.091
65.20
Sig.
.392
.881
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
ms
Duncan
kelompok
Subset for alpha = .05
N
1
2
K
4
41.9000
Ep
4
47.5000
47.5000
E-
4
51.3500
51.3500
E+
4
Sig.
59.4500
.179
.096
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Descriptives
usus besar
N
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Lower
Bound
Minimum
Maximum
Upper Bound
kontrol
3
8.2000
6.95414
4.01497
-9.0750
25.4750
.80
14.60
E+
3
24.9333
21.59660
12.46881
-28.7156
78.5823
.00
37.80
E-
3
33.6667
3.23316
1.86667
25.6350
41.6983
31.80
37.40
EP
3
25.4000
5.89237
3.40196
10.7625
40.0375
21.80
32.20
12
23.0500
13.97013
4.03283
14.1738
31.9262
.00
37.80
Total
Test of Homogeneity of Variances
usus besar
Levene
Statistic
df1
7.156
df2
3
Sig.
8
.012
ANOVA
usus besar
Sum of
Squares
df
Mean Square
Between Groups
1026.917
3
342.306
Within Groups
1119.893
8
139.987
Total
2146.810
11
usus besar
Duncan
Subset for alpha = .05
VAR00001
N
1
2
kontrol
3
8.2000
E+
3
24.9333
24.9333
EP
3
25.4000
25.4000
E-
3
Sig.
33.6667
.126
.411
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F
2.445
Sig.
.139
Ginjal dan Usus Halus
Descriptives
N
ginjal
Mean
K
3
45.3667
E+
3
E-
3
Ep
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Lower
Upper Bound
Bound
17.2165
73.5168
Minimum
Maximu
m
32.30
52.50
11.33196
6.54251
84.0333
5.78475
3.33983
69.6632
98.4034
79.10
90.40
59.8667
11.78742
6.80547
30.5851
89.1482
46.30
67.60
3
59.4333
14.08699
8.13313
24.4393
94.4274
44.00
71.60
12
62.1750
17.36764
5.01360
51.1401
73.2099
32.30
90.40
K
3
9.0000
4.55741
2.63122
-2.3212
20.3212
4.60
13.70
E+
3
35.4333
12.28916
7.09515
4.9054
65.9613
21.30
43.60
E-
3
31.6000
8.07279
4.66083
11.5461
51.6539
23.20
39.30
Ep
3
27.2000
1.24900
.72111
24.0973
30.3027
25.80
28.20
12
25.8083
12.46438
3.59816
17.8888
33.7278
4.60
43.60
Total
Usus
halus
Total
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic
df1
df2
Sig.
ginjal
1.088
3
8
.408
usus
3.759
3
8
.060
ANOVA
Sum of
Squares
ginjal
usus
df
Mean Square
Between
Groups
Within
Groups
Total
2319.456
3
773.152
998.527
8
124.816
3317.982
11
Between
Groups
1231.923
3
410.641
F
Sig.
6.194
.018
6.886
.013
Within
Groups
Total
477.047
8
1708.969
11
59.631
Ginjal (degenerasi hidropis)
Duncan
kelompok
Subset for alpha = .05
N
1
K
3
45.3667
Ep
3
59.4333
E3
59.8667
E+
3
Sig.
.166
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2
84.0333
1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
usus halus
Duncan
kelompok
Subset for alpha = .05
N
1
K
Ep
EE+
Sig.
3
3
3
3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
2
9.0000
1.000
27.2000
31.6000
35.4333
.246
N
lemak
hidropis
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Lower
Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
K
3
38,5333
19,17298
11,06953
-9,0950
86,1617
17,90
55,80
E+
5
57,8000
25,70165
11,49413
25,8872
89,7128
23,60
80,70
E-
5
45,3600
6,61914
2,96017
37,1413
53,5787
40,80
56,80
Ep
5
38,4400
9,36045
4,18612
26,8175
50,0625
26,60
50,30
18
45,7556
17,24124
4,06380
37,1817
54,3294
17,90
80,70
Tota
l
K
3
14,3333
,73711
,42557
12,5022
16,1644
13,50
14,90
E+
5
15,2000
3,93700
1,76068
10,3116
20,0884
11,50
21,90
E-
5
18,0200
2,73258
1,22205
14,6271
21,4129
14,90
22,00
Ep
5
16,3000
,60415
,27019
15,5498
17,0502
15,30
16,80
18
16,1444
2,72704
,64277
14,7883
17,5006
11,50
22,00
Tota
l
hati
Descriptives
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic
df1
df2
Sig.
lemak
7,749
3
14
,003
hidropis
2,132
3
14
,142
ANOVA
Sum of
Squares
Lemak
Hidropis
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
df
Mean Square
1150,194
3
383,398
3903,231
14
278,802
5053,424
17
32,010
3
10,670
94,415
14
6,744
126,424
17
F
Sig.
1,375
,291
1,582
,238
lemak
Duncan
Subset for
alpha =
.05
perlakuan
Ep
N
5
1
38,4400
K
3
38,5333
E-
5
45,3600
E+
5
57,8000
Sig.
,139
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
hidropis
Duncan
Subset for
alpha =
.05
perlakuan
K
N
1
3
14,3333
E+
5
15,2000
Ep
5
16,3000
E-
5
18,0200
Sig.
,075
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
Descriptives
ginjal dl
95% Confidence Interval for
Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
K
3
33,5667
4,47698
2,58478
22,4452
44,6881
29,40
38,30
E+
5
40,0000
10,20466
4,56366
27,3292
52,6708
28,70
52,80
E-
5
34,0000
1,97104
,88148
31,5526
36,4474
30,50
35,20
Ep
5
35,2333
5,78653
2,58781
28,0484
42,4183
25,70
41,20
18
35,9370
6,53827
1,54109
32,6856
39,1884
25,70
52,80
Total
Test of Homogeneity of Variances
ginjal
Levene
Statistic
df1
3,930
df2
3
Sig.
14
,032
ANOVA
ginjal (degenerasi lemak)
Sum of
Squares
df
Mean Square
F
Between Groups
120,631
3
40,210
Within Groups
606,102
14
43,293
Total
726,733
17
Sig.
,929
,453
ginjal
Duncan
Subset for
alpha =
.05
perlakuan
K
N
3
1
33,5667
E-
5
34,0000
Ep
5
35,2333
E+
5
40,0000
Sig.
,207
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
Limpa Folikel limfoid (1) & Megakaryosit (2)
Descriptives
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound
jumlah
1
K
Maximum
Upper Bound
3
5,3333
4,72582
2,72845
-6,4062
17,0729
,00
9,00
E+
5
9,6000
9,34345
4,17852
-2,0014
21,2014
3,00
25,00
E-
5
7,4000
2,50998
1,12250
4,2834
10,5166
5,00
10,00
EP
4
8,0000
5,03322
2,51661
-,0090
16,0090
3,00
15,00
17
7,8235
5,75799
1,39652
4,8630
10,7840
,00
25,00
3
24,0000
10,39230
6,00000
-1,8159
49,8159
18,00
36,00
5
28,4000
8,14248
3,64143
18,2898
38,5102
17,00
38,00
Total
jumlah
2
Minimum
K
E+
E-
5
30,8000
8,67179
3,87814
20,0325
41,5675
20,00
44,00
EP
4
33,5000
5,32291
2,66145
25,0301
41,9699
28,00
39,00
17
29,5294
8,04765
1,95184
25,3917
33,6671
17,00
44,00
Total
ANOVA
Sum of
Squares
jumlah1
jumlah2
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
df
Mean Square
35,404
3
11,801
495,067
13
38,082
530,471
16
169,235
3
56,412
867,000
13
66,692
1036,235
16
F
Sig.
,310
,818
,846
,493
Jumlah folikel limfoid
Duncan
Subset for
alpha =
.05
perlakuan
K
N
1
3
5,3333
E-
5
7,4000
EP
4
8,0000
E+
5
9,6000
Sig.
,378
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,068.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
Jumlah megakariosit
Duncan
Subset for
alpha =
.05
perlakuan
K
N
1
3
24,0000
E+
5
28,4000
E-
5
30,8000
EP
4
33,5000
Sig.
,148
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,068.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
Descriptive Statistics
LPUH
N
18
Mean
.30278
Std. Deviation
.256579
Minimum
.000
Maximum
.820
LPUB
18
.01472
.037040
.000
.125
Kruskal Wallis
Usus
Halus
Perlakuan
N
K
3
5.0
E+
5
12.4
E-
5
8.4
EP
5
10.4
Total
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
3.994
3
7.815
0.262
(terima H0)
tidak ada perlakuan
yang berbeda nyata
Mean Rank
18
Mean rank=data
ranking
rata2kan
Usus Besar
Perlakuan
N
Mean Rank
K
3
11.3
E+
E-
5
5
9.6
8.0
EP
5
9.8
Total
χ2hit
db
χ2tabel
Asymp. Sig
Ket
1.815
3
7.815
0.612
(terima H0)
tidak ada perlakuan
yang berbeda nyata
18
Dari hasil uji Kruskal Wallis dapat disimpulkan bahwa tidak ada perlakuan yang
berbeda nyata, maka tidak perlu dilakukan uji lanjut.
Hipotesis
H0: tidak ada perlakuan yang berbeda nyata
H1: minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda nyata
Tolak H0 jika χ2hit > χ2tabel
Terima H0 jika χ2hit < χ2tabel
Kruskal-Wallis Test: respon_PR versus perlakuan
Kruskal-Wallis Test on respon
perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
E-
4
1.000000000
13.4
2.36
E+
5
0.000000000
6.6
-1.08
EP
4
0.750000000
9.4
0.42
kontrol
3
0.000000000
4.0
-1.82
Overall
16
8.5
H = 7.81
DF = 3
P = 0.050
H = 9.03
DF = 3
P = 0.029
(adjusted for ties)
* NOTE * One or more small samples
Kruskal-Wallis Test
Ranks
respon_PR
perlakuan
1
2
3
4
Total
N
Test Statisticsa,b
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
respon_PR
9.027
3
.029
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
3
5
4
4
16
Mean Rank
4.00
6.60
13.38
9.38
χ2hit > χ2tabel atau karena p-value (0,029) < taraf nyata 5 % (0,05) maka TOLAK H0
artinya: ada perbedaan respon PR antara perlakuan. Pada output minitab, nilai Z
untuk EP nilainya paling kecil. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rataan
peringkat untuk EP berbeda dengan rataan peringkat perlakuan yang lainnya.
Artinya respon PR untuk EP berbeda nyata dengan respon PR untuk kontrol
Kruskal-Wallis Test: respon_PMN versus perlakuan
Kruskal-Wallis Test on respon_PMN
perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
E-
4
1.000
10.0
0.73
E+
5
1.000
6.7
-1.02
EP
4
1.000
10.0
0.73
kontrol
3
1.000
7.5
-0.40
Overall
16
8.5
H = 1.64
DF = 3
P = 0.650
H = 3.54
DF = 3
P = 0.315
(adjusted for ties)
* NOTE * One or more small samples
Kruskal-Wallis Test
Ranks
respon_PMN
perlakuan
1
2
3
4
Total
N
3
5
4
4
16
Mean Rank
7.50
6.70
10.00
10.00
Test Statisticsa,b
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
respon_PMN
3.543
3
.315
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Karena χ2hit < χ2tabel atau karena p-value (0,315) > taraf nyata 5 % maka TERIMA
H0 artinya tidak ada perbedaan respon PMN untuk setiap perlakuan.
Kruskal-Wallis Test: respon_deplesi versus perlakuan
Kruskal-Wallis Test on respon_deplesi
perlakuan
N
Median
Ave Rank
Z
E-
4
1.0000
8.4
-0.06
E+
5
0.5000
5.8
-1.53
EP
4
1.0000
10.5
0.97
kontrol
3
1.0000
10.5
0.81
Overall
16
8.5
H = 2.85
DF = 3
P = 0.416
H = 4.96
DF = 3
P = 0.175

(adjusted for ties)
NOTE * One or more small samples
Kruskal-Wallis Test
Ranks
respon_deplesi
perlakuan
1
2
3
4
Total
Test Statistics
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
N
Mean Rank
10.50
5.80
8.38
10.50
3
5
4
4
16
a,b
respon_
deplesi
4.963
3
.175
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
χ2hit < χ2tabel atau karena p-value (0,175) > taraf nyata 5 % maka TERIMA HO
artinya tidak ada perbedaan respon deplesi untuk setiap perlakuan.
Oneway
Descriptives
NEKROSA HATI
N
K
E+
EEP
Total
Std.
Deviation
Mean
Std.
Error
3
38,5667
4,38216
5
40,6400
3,96018
5
35,7800
4,75994
5
27,9400
1,75300
18
35,4167
6,18540
2,530
04
1,771
04
2,128
71
,7839
6
1,457
91
95% Confidence Interval
for Mean
Lower
Bound
Upper Bound
Minimum
27,6808
49,4526
35,60
43,60
35,7228
45,5572
33,80
44,00
29,8698
41,6902
29,70
42,40
25,7634
30,1166
25,70
30,60
32,3407
38,4926
25,70
44,00
ANOVA
HATI
Sum of
Squares
df
Mean Square
Between Groups
446,346
3
148,782
Within Groups
204,059
14
14,576
Total
650,405
17
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
HATI
Maximu
m
F
10,208
Sig.
,001
Duncan
Subset for alpha = .05
Perlakuan
EP
N
a
5
B
27,9400
E-
5
35,7800
K
3
38,5667
E+
5
40,6400
Sig.
1,000
,098
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
Descriptives
NEKROSA GINJAL
N
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence Interval for
Mean
Lower
Bound
Upper Bound
Minimu
m
Maximu
m
K
3
23,9667
3,52326
2,03415
15,2144
32,7189
19,90
26,10
E+
5
32,3600
2,76912
1,23839
28,9217
35,7983
27,80
35,00
5
29,8400
1,00896
,45122
28,5872
31,0928
28,40
30,90
EP
5
23,3133
5,53226
2,47410
16,4441
30,1825
17,30
29,67
Total
18
27,7481
5,15327
1,21464
25,1855
30,3108
17,30
35,00
E-
ANOVA
GINJAL
Sum of
Squares
269,462
3
Mean Square
89,821
Within Groups
181,994
14
13,000
Total
451,456
17
Between Groups
df
F
6,909
Sig.
,004
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
GINJAL
Duncan
Subset for alpha = .05
Perlakuan
EP
5
a
23,3133
K
3
23,9667
E-
5
E+
5
Sig.
N
B
29,8400
32,3600
,795
,324
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,286.
b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels
are not guaranteed.
LAMPIRAN 3. GAMBAR METODE SKORING
Deskuamasi Epitel
Deskuamasi epitel skoring 0
Deskuamasi epitel skor 2
Deskuamasi epitel skoring 1
Deskuamasi epitel skor 3
Deplesi folikel limfoid di Limpa
Deplesi folikel limfoid (FL) skor 0
Deplesi folikel limfoid
(DP) skor 1
Deplesi folikel limfoid skor 2
Keterangan: Hasil pengamatan deplesi folikel limfoid limpa pada semua
kelompok perlakuan tidak ada yang menunjukan deplesi folikel
limfoid skor 3.
Hasil pengamatan infiltrasi PMN di limpa tidak ada yang
menunjukan skor 3.
Deposisi protein radang di limpa
Deposisi protein radang skor 0
Deposisi protein radang skor 2
Deposisi protein radang skor 1
Deposisi protein radang skor 3
Infiltrasi sel radang di limpa
Infiltrasi PMN skor 1
Infiltrasi PMN skor 2
Download