TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi pakan rendah dan siap dipotong pada usia yang relatif muda. Pada umumnya broiler ini siap panen pada usia 28-45 hari dengan berat badan 1,2 – 1,9 kg/ekor (Priyatno, 2000). Taksonomi broiler adalah sebagai berikut, Kingdom : Animalia, Filum : Chordata, Kelas : Aves, Subkelas : Neornithes, Ordo : Galliformis, Genus : Gallus, Spesies : Gallus domestica (Hanifah, 2010). Kebutuhan Nutrisi Broiler Untuk keperluan hidup dan produksi, ayam membutuhkan sejumlah unsur nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan berkualitas, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Rasyaf,1997). Broiler dapat menyesuaikan konsumsi ransumnya untuk memperoleh cukup energi guna pertumbuhan maksimum. Penyesuaian tersebut berkisar antara 2800 – 3400 kkal energi metabolisme per kg ransum (Anggorodi, 1985). Jumlah ransum yang diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan dan tujuan produksi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara. Ayam membutuhkan sejumlah unsur nutrisi untuk keperluan hidup dan produksi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan berkualitas ( Kartadisastra, 1995). 4 Kebutuhan nutrisi broiler pada fase yang berbeda tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan nutrisi broiler No 1 2 3 4 5 6 Fase Starter Min 19,0 Min 2900 Maks 7,4 Maks 6,0 0,90 – 1,20 Min 0,40 Protein (%) Energi Metabolisme (kkal) Lemak (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Finisher Min 18,0 Min 2900 Maks 8,0 Maks 6,0 0,90 – 1,20 Min 0,40 Sumber: SNI (2006) Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut; Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis amoinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar badan 5-5, 5 kali lebih pendek dari panjang standard, 6-7 kali lebih pendek dari panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010). Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir Jenis Nutrisi Kandungan Gross Energi (K.cal/g) 3,4902a Kadar air (%) 4,71b Protein kasar (%) 59,09b Lemak kasar (%) 6,25b Bahan kering (%) 92,82b Abu (%) 21,85b Kalsium (%) 5,86b Posfor (%) 0,026b Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014) b Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014). Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala, isi perut. Limbah ikan gabus pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi dan dapat meningkatkan produksi dan nilai gizi telur dan daging (Stevie et al., 2009). Tepung Ikan Keberadaan nutrient dan kontrol kualitas tepung ikan sangat rendah, itu dibuktikan variansi nutrient sangat tinggi dimasyarakat yaitu protein kasar 3050%, cemaran mikroorganisme yang sangat tinggi dan cara pengolahan tidak ada ektrasi lemak, kadar lemak mencapai 9-12%. Kadar lemak tinggi disisi lain dapat membantu penyusunan ransum didaerah tropik, namun ada kerugian yaitu cepat tengik atau mudah mengalami oksidasi asam lemak (Sobri, 2008). Sebagian besar dari pakan untuk industri pakan ternak umumnya adalah bahan-bahan mudah terakridasi terutama yang banyak mengandung lemak misalnya tepung ikan yang belum diekstraksi kandungan lemak, hal ini mudah tengik dan mudah ditumbuhi jamur (Sobri, 2008). Tabel 3. Komposisi nutrisi tepung ikan Nutrisi Gross Energi (K.cal/g) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Abu (%) Kandungan 2,2130a 45,7b 6,49b 3c 5,20b Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014), b Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014) dan cSNI (1997). Bahwa bahan baku pakan yang dapat mengurangi penggunaan tepung ikan dalam pakan harus memiliki kriteria utama antara lain kandungan protein yang tinggi sekitar 30-60%, ketersediaan ikan yang akan dijadikan tepung ikan melimpah dan harga tepung ikan alternatif murah dibandingkan tepung ikan impor (Afrianto, 2005). Performans Broiler Konsumsi Ransum Menurut Wahyu (1985) bahwa konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi yang ada dalam ransum tersebut. Secara biologis ayam mengkonsumsi ransum untuk proses hidupnya. Kebutuhan energi untuk fungsi – fungsi tubuh dan memperlancar reaksi – reaksi sintesis asam amino dari tubuh. Hal ini menunjukan bahwa ternak ayam dalam mengkonsumsi ransumnya diperlukan untuk kebutuhan ternak tersebut. Lebih lanjut dinyatakan oleh Tillman et al (1989) bahwa memberikan ransum pada ayam dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan penggemukan. Bahan yang berserat kasar tinggi dan zat anti nutrisi merupakan komponen kimia yang besar pengaruhnya terhadap pencernaan. Murtidjo (1990) menyatakan bahwa bila ayam diberi ransum dengan kadar protein rendah dan energi tinggi maka ayam akan mengkonsumsi ransum dalam jumlah yang sedikit. Sebaliknya bila ransum yang dikonsumsi ransum dalam jumlah yang sedikit. Sebaliknya bila ransum yang dikonsumsi mengandung protein tinggi dan energi rendah, maka ayam akan mengkonsumsi ransum yang lebih banyak. Namun biasanya ransum yang memiliki protein tinggi juga akan memiliki energi tinggi. Untuk kondisi lingkungan yang terlalu dingin yang suhunya lebih rendah dari suhu tubuh maka ayam broiler akan mengkonsumsi ransum lebih banyak untuk menjaga panas tubuhnya. Sebaliknya bila suhu lingkungan terlalu tinggi maka broiler mengurangi jumlah ransum yang dikonsumsi tapi banyak minum (Murtidjo, 1997). Pertumbuhan broiler yang cepat ada kalanya didukung oleh konsumsi ransum yang lebih banyak pula. Masalah konsumsi ransum memang harus disadari bahwa broiler ini senang makan. Bila ransum yang diberikan tidak terbatas atau ad libitum, broiler akan makan sepuasnya hingga kenyang. Setiap bibit ayam sudah ditentukan konversi ransum, sampai batas tertentu hingga kemampuan prima ayam akan muncul (Rasyaf, 1997). Pertambahan Bobot Badan Wahyu (1985) mengemukakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolisme, kandungan protein dan suhu lingkungan. Pertumbuhan murni menurut Anggorodi (1990) adalah pertambahan dalam bentuk dan bobot jaringan – jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak). Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan pada umunya terjadi perlahan – lahan lagi dan akhirnya berhenti sama sekali. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Kecepatan pertumbuhan ayam berbeda – beda dan mempunyai waktu tertentu dalam menaikkan bobot badan, sehingga perlu diketahui pada umur berapa pertambahan bobot badan ayam menurun (Tillman et al, 1989). Menurut Murtidjo (1992) bahwa pedoman konsumsi dan pertumbuhan broiler dapat dilihat pada konsumsi ransum dan pertumbuhan broiler. Siregar dan Sabrani (1970) menyatkan bahwa serat kasar yang berlebihan dapat mengurangi efisiensi penggunaan nutrien lain, sebaliknya apabila serat kasar ransum terlalu rendah, mengakibatkan ransum tidak dapat dicerna dengan baik. Wahyu (1992) yang menyatakan bahwa serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama ekskreta. Kartadisastra (1995), menyatakan bahwa bobot badan ayam (tergantung strainnya) akan menentukan jumlah konsumsi ransumnya.semakin besar bobot badan ayam, semakin banyak jumlah konsumsi ransumnya. Disamping strain, jenis dan tipe ayam juga menentukan. Konversi Ransum Konversi ransum merupakan pembagian antara konsumsi ransum pada minggu itu dengan pertambahan bobot badan yang dicapai pada minggu itu pula. Bila rasio itu kecil berarti pertambahan bobot badan ternak memuaskan atau ayamnya makan tidak banyak. Konversi inilah yang sebaiknya digunakan sebagai pegangan produksi, karena sekaligus melibatkan bobot badan dan konsumsi ransum (Rasyaf, 1990). Semakin baik mutu ransum semakin kecil pula angka konversi ransumnya, baik tidaknya mutu ransum ditentukan oleh seimbangnya zat – zat gizi pada ransum itu dengan yang diperlukan oleh tubuh ayam. Ransum yang kekurangan salah satu unsur gizi akan mengakibatkan ayam memakan ransumnya secara berlebihan untuk mencukupi kekurangan yang dibutuhkan untuk hidupnya. Akibatnya ayam kelebihan energi di dalam tubuhnya, dan akan disimpan dalam bentuk lemak (Sarwono, 1996). Menurut Rasyaf (1996), faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah: a. Kesehatan ternak. Jika ternaknya lebih sehat maka jumlah ransum yang dikonsumsi untuk dirubah menjadi daging akan lebih banyak. b. Mutu ransum. Semakin baik mutu ransum, makasemakin kecil angka konversinya. Mutu ransum ditentukan oleh rusak tidaknya bahan ransum yang digunakan untuk ransum sehingga menentukan keseimbangan ransum. c. Tata cara pemberian ransum. Ransum tidak saja diletakkan ditempat pakan akan tetapi lebih penting adalah menjaga bagaimana agar ransum itu masuk ke dalam perut ternak dengan selamat dan tercerna sempurna sehingga menghasilkan daging dengan mutu yang baik. Murtidjo (1992) menyatakan bahwa pedoman konversi ransum broiler umur 1-6 minggu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pedoman konversi ransum broiler strain Abror Acress-CP 707 umur 1-6 minggu. Umur (minggu) Konversi ransum 1 0,926 2 1,410 3 1,535 4 1,705 5 1,855 6 2,060 Sumber: Murtidjo (1992)