1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan dari

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan dari pembangunan nasional di Indonesia adalah untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur secara merata baik secara materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila. Kata pembangunan nasional sendiri memiliki
pengertian yaitu usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan
tantangan perkembangan global.1 Dengan begitu tujuan diselenggarakan
pembangunan nasional Indonesia selaras dengan tujuan nasional Indonesia
yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh
tumpah
darah
Indonesia,
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan nasional Indonesia, khususnya tujuan yang
berkaitan dengan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
secara adil dan merata tentu dibutuhkan partisipasi dari berbagai pihak.
Partisipasi sektor perbankan memiliki peran sangat vital, antara lain sebagai
pengatur urat nadi perekonomian nasional.2 Dalam pelaksanaan fungsinya bank
1
Lihat Bab I Pendahuluan Alinea ketiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
2
William A. Lovett, 1997, Banking and Financial Institution Law, Westpublishing Co., USA, hlm.
1.
2
melaksanakan fungsi intermediasi yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk
menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara.3
Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam melakukan fungsi
intermediasi adalah dengan pemberian kredit. Kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.4
Bank selaku lembaga yang melaksanakan fungsi intermediasi yaitu
memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat tentu tidak lepas dari adanya
permasalahan kredit. Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh
yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara karena kredit
yang diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada nasabah dapat
menunjang
terlaksananya
pembangunan
sehingga
bermanfaat
bagi
kesejahteraan masyarakat.
Pemberian kredit oleh pihak bank tidak terlepas dari adanya suatu bentuk
perjanjian. Perjanjian ini sebagai dasar mengikat antara pihak kreditur / bank
dengan pihak Debitur / peminjam karena dalam perjanjian tentu memuat
berbagai persyaratan-persyaratan, hak dan kewajiban, serta hal-hal lain yang
3
Erna Priliasari, Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Terhadap Nasabah Bank, http:/
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/86-mediasi-perbankan-sebagai-wujudperlindungan-terhadap-nasabah-bank.html , diakses pada tanggal 1 September 2016
4
Lihat Pasal 1 angka 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan dari Undang-undang Republik indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3
dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan. Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian mengenai
kontrak atau perjanjian yang meliputi perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Adanya suatu perjanjian tentu tidak lepas dari terpenuhinya syarat-syarat
sah adanya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian tercantum dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Agar suatu
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut harus dipenuhi.
Lazimnya dalam perjanjian, hak dan kewajiban antar para pihak haruslah
seimbang dan tidak timpang, namun dalam kenyataannya para pihak tidak
selalu memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Hal ini dikarenakan para
pihak di dalam perjanjian tidak selalu memiliki posisi tawar (bargaining power)
yang sama secara sosial maupun ekonomi. Pihak yang memiliki posisi tawar
yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang
lebih lemah. Ketidakseimbangan kedudukan antara kedua belah pihak pada
akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang dapat dianggap tidak terlalu
“menguntungkan” bagi salah satu pihak.
Dalam praktek suatu perjanjian yang dianggap hanya “menguntungkan”
salah satu pihak dilakukan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula
baku pada setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak
4
yang kedudukannya lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat
“baku” karena, baik perjanjian baku maupun klausula tersebut, tidak dapat dan
tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.5 Istilah
perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu “standard
contract”. Dalam Bahasa Indonesia perjanjian baku dapat dikatakan sebagai
“kontrak standar”. Perjanjian baku juga memiliki nama lain yang dikenal
dengan istilah “take it or leave it contract” yang mempunyai maksud yaitu salah
satu pihak hanya mempunyai dua pilihan yang meliputi menerima keseluruhan
dari isi kontrak atau menolaknya. Tidak ada istilah tawar-menawar atau
negosiasi antara kedua belah pihak yang berkepentingan tersebut.
Menurut Munir Fuady Perjanjian baku memiliki pengertian yaitu
“suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak
dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak
(boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu
pihak. Ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya
mengisikan data-data informative tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan
untuk menegosiasikan atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat
oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat
berat sebelah.”6
Dalam praktek dunia usaha banyak perjanjian baku digunakan untuk lalu
lintas perdagangan, salah satunya meliputi Perjanjian Kredit. Perjanjian Kredit
dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dan lazim diadakan demi
efektivitas dan efisiensi waktu. Selain itu pihak lawannya ( wederpartij) yang
5
Gunawan Widjaja, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 53.
6
Salim H.S., 2007, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, Hlm. 148.
5
pada umumnya mempunyai kedudukan yang lebih lemah dalam posisi tawarmenawar karena didorong oleh kebutuhan ekonomi dan keadaan sosial,
terkadang terpaksa untuk menerima apa yang disodorkan kepadanya.
Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur perihal Perjanjian Kredit akan
tetapi, Perjanjian Kredit tetap tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 yang menyatakan
bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Perjanjian Kredit berlaku karena
terdapat asas-asas perjanjian dimana salah satunya merupakan asas kebebasan
berkontrak maka para pihak bebas untuk menentukan isi dari Perjanjian Kredit
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum,
kesusilaan, dan kepatutan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan tidak memberikan batasan
pengertian tentang Perjanjian Kredit. Istilah Perjanjian Kredit terdapat dalam
Instruksi Presiden yang ditunjukkan kepada masyarakat Bank. Diinstruksikan
bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank wajib
menggunakan “Akad Perjanjian Kredit” (Pedoman Kebijaksanaan di bidang
Perkreditan (Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/10) tanggal 13 Oktober
1996 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pem.
6
Tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.
2/643/UPK/Pemb.7
Selain itu Undang-Undang Perbankan hanya memberikan definisi mengenai
pihak Debitur yang dinyatakan dalam pengertian Nasabah Debitur adalah
nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan
nasabah yang bersangkutan.8
Dalam perjanjian antara bank dengan nasabah atau yang lazim disebut
dengan Perjanjian Kredit bank diperlukan suatu penerapan asas-asas perjanjian.
Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sun servanda),
asas itikad baik, dan asas kepribadian.9 Pada Perjanjian Kredit yang merupakan
perjanjian baku di mana isi atau klausul-klausul Perjanjian Kredit bank tersebut
telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak
terikat kepada suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Pihak bank telah menentukan
terlebih dahulu ketentuan dan syarat-syarat Perjanjian Kredit dan telah
dibakukan, kemudian calon Nasabah Debitur tinggal menyetujuinya dan
memberikan tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi Perjanjian
Kredit tersebut. Calon Nasabah Debitur tidak diberikan kesempatan untuk
7
Mariam D. Badrulzaman, 1982, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, hlm. 19.
Lihat Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
9
Damang, “Asas-asas Perjanjian”, http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asasperjanjian.html,
diakses pada tanggal 2 September 2016
8
7
melakukan negosiasi dengan pihak bank mengenai isi Perjanjian Kredit
tersebut.
Disinilah keberadaan asas kebebasan berkontrak memiliki andil yang besar
dalam suatu Perjanjian Kredit bank. Asas kebebasan berkontrak yang tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa “suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai
Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.”. Dalam hal ini suatu
perjanjian dengan mana para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian dan
kehendak para pihak telah diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan
dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum perjanjian.
Meski begitu bentuk Perjanjian Kredit yang demikian, pada hakikatnya
kehendak yang sebenarnya belum terwujud dalam Perjanjian Kredit. Kehendak
Nasabah Debitur dalam Perjanjian Kredit hanya diberikan secara formal,
disebabkan adanya ketergantungan akan kebutuhan kredit. Di sinilah letak
kedudukannya Nasabah Debitur yang tidak mempunyai posisi tawar-menawar
atau negosiasi dan hanya mempunyai pilihan untuk menerima persyaratan
perjanjian yang disodorkan kepadanya tersebut.
Dengan adanya ketidakseimbangan kedudukan antara pihak bank dengan
Nasabah Debitur dibutuhkan asas itikad baik sebagai sarana penyeimbang
kedudukan tersebut. Asas itikad baik disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Meskipun itikad baik menjadi
asas yang paling penting dalam hukum kontrak dan diterima dalam berbagai
8
sistem hukum, tetapi hingga kini doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu
yang kontroversial. Dalam kenyataannya sangat sulit menemukan pengertian
yang jelas tentang itikad baik tersebut.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ruang lingkup asas itikad
baik masih diletakkan dalam pelaksanaan perjanjian saja. Namun sesungguhnya
itikad baik seharusnya tidak hanya ada sejak pelaksanaan perjanjian saja,
namun sejak kontrak tersebut disusun dan dibuat oleh kedua belah pihak.
Dengan begitu itikad baik sebenarnya telah ada sejak saat proses penyusunan
kontrak hingga kontrak dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang dalam hal ini
pihak bank dengan Nasabah Debitur.
Dalam perkembangannya, beberapa sistem hukum, seperti sistem hukum
Belanda membedakan itikad baik ke dalam dua jenis, yakni itikad baik yang
bersifat subyektif (subjective goede trouw) dan itikad baik yang bersifat
obyektif (objective goede trouw).10 Menurut Wirjono Prodjodikoro dan
Subekti, itikad baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan
sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 11
1. itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau
perjanjian, dan
2. itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang timbul dari hubungan hukum tersebut.
10
Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 185
11
Riduan Syahrini, 2000, Seluk Beluk dan Azaz-azaz Hukum Perdata, Alumni Bandung, Hlm. 260
9
Itikad baik yang bermakna “kejujuran” merupakan itikad baik yang bersifat
subyektif, karena itikad baik tersebut terletak pada sikap batin seseorang pada
saat diadakan suatu perbuatan hukum, sedangkan Itikad baik obyektif yang
lebih dikenal dengan istilah “redelijkheid en billijkheid” merupakan sesuatu
yang erat kaitannya dengan standar kepatutan yang berupa apa yang dirasakan
patut dalam masyarakat.
Itikad baik subjektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Hal tersebut ditemukan
dalam istilah pemegang yang beritikad baik atau pembeli barang yang beritikad
baik dan sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk.
Seorang pembeli yang beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang
dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang
yang dijualnya itu. Ia samasekali tidak mengetahui bahwa ia membeli barang
dari orang yang bukan pemiliknya oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ia
adalah pembeli yang jujur. Dalam hal ini, itikad baik merupakan elemen
subyektif yang berkaitan dengan sikap batin dan kejiwaan, yakni apakah yang
bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau
tidak dengan itikad baik.12
Itikad baik obyektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), dikaitkan pada pelaksanaan kontrak yang mengacu pada itikad
baik obyektif. Standar yang digunakan dalam itikad baik obyektif adalah
12
Ridwan Khairandy, 2003, Op.Cit, hlm. 194
10
standar yang obyektif yang mengacu kepada suatu norma yang obyektif.
Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma obyektif
yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan itikad
baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma
hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan
obyektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak
sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum
tentang itikad baik tersebut.13
Seiring berkembangnya waktu, baik itikad baik obyektif maupun itikad baik
subyektif senantiasa harus melandasi setiap perbuatan hukum yang dilakukan.
Dengan demikian itikad baik yang dapat diartikan sebagai “kejujuran” dan
“kepatutan” tersebut harus melandasi setiap kontrak atau perjanjian yang dibuat
oleh pihak bank dengan Nasabah Debitur baik pada tahap pra perancangan
kontrak yaitu penyusunan dan pembuatan kontrak hingga pelaksanaan kontrak.
Itikad baik diperlukan agar tercipta keselarasan antara kedudukan pihak bank
dengan
pihak
Debitur.
Keberhasilan
pelaksanaan
Perjanjian
Kredit
mempengaruhi berbagai sendi-sendi kehidupan karena telah diketahui dimuka
bahwa kredit yang diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada
nasabah dapat menunjang terlaksananya pembangunan sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Perbankan juga menyatakan
bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam
13
Ibid., hlm. 195.
11
atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.14 Oleh karena itu penerapan asas itikad baik dalam setiap
perjanjian merupakan hal yang essensial.
Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso sebagai lembaga keuangan
perbankan melakukan tugas, yaitu sebagai lembaga penyimpan dana dan
penyalur dana kepada masyarakat selaku bagian sistem moneter. Dalam
menjalankan kegiatannya, Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso juga
menyalurkan kredit kepada masyarakat. Penyaluran kredit tersebut, dilakukan
dengan memberikan kredit kepada Debitur yang membutuhkannya. Pemberian
kredit yang dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia sesuai dengan Pasal 1 ayat
(11) Undang-Undang Perbankan yaitu didahului dengan adanya persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Dalam hal ini, Bank Rakyat Indonesia
menyebut persetujuan atau kesepakatan tersebut dengan nama Perjanjian
Kredit, dimana di dalamnya terdapat surat pengakuan hutang dan syarat-syarat
umum perjanjian pinjaman dan kredit.
Perjanjian Kredit yang dibuat oleh Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso
dengan Nasabah Debiturnya tentu tidak lepas dari permasalahan-permasalahan
kredit yang salah satunya menyangkut pelanggaran atas norma kepatutan dan
14
Lihat Pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
12
kejujuran. Seperti pada kasus Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur SY
dengan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta, yang mana
perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang
sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang keseluruhannya tercantum dalam
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur SY dan Pihak Bank Rakyat
Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta tentu dibentuk melalui serangkaian
tahapan penyusunan kontrak yang mana dalam setiap tahapnya, rawan untuk
timbulnya pelanggaran atas asas itikad baik. Kenyataannya, para ahli berbeda
pandangannya tentang tahap-tahap dalam perancangan kontrak.15 Pada
penulisan hukum ini, penulis mengacu pada tahapan yang dikemukakan oleh H.
Salim, HS yang mana terbagi menjadi tiga tahapan yaitu pra perancangan
Kontrak, perancangan kontrak, serta pasca perancangan kontrak. Pra
perancangan kontrak merupakan tahap sebelum kontrak dirancang atau disusun,
sedangkan perancangan kontrak merupakan tahap dimana kontrak disusun oleh
kedua belah pihak yang meliputi pembuatan draft kontrak, saling menukar draft
kontrak, revisi kontrak, penyelesaian akhir, serta penutup. Tahap terakhir yang
merupakan pasca perancangan merupakan tahap pelaksanaan serta alternatif
penyelesaian sengketa.
Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur SY dan Pihak Bank Rakyat
Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta dibuat untuk menentukan isi kontrak
15
Salim H.S., dkk, 2014, Perancangan Kontrak Memorandum of Understanding (MoU), Cet. Ke
VI, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 83
13
yang menjadi landasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Hak Nasabah Debitur SY sebagai pihak debitur diantaranya meliputi
menerima sejumlah pinjaman kredit sesuai dengan kesepakatan dan
memperoleh pembinaan dari Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso
Yogyakarta. Sementara itu hak Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso
diantaranya adalah memperoleh pengembalian dana yang dipinjam oleh
Nasabah Debitur SY. Selain menerima hak, kedua belah pihak mempunyai
kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pokok Nasabah Debitut SY adalah
berupa mengembalikan dana yang dipinjamnya dari Pihak Bank Rakyat
Indonesia Cabang Katamso, sedangkan kewajiban Pihak Bank Rakyat
Indonesia Cabang Katamso meliputi melakukan pemeriksaan dan pembinaan
atas usaha Nasabah Debiturnya.
Kontrak yang telah dibuat antara kedua belah pihak juga menganut asas
pacta sunt servanda, dalam perkembangannya sekarang ini asas pacta sunt
servanda dilandasi asas itikad baik. Kontrak antara Nasabah Debitur SY dan
Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso adalah dengan maksud bahwa
dalam setiap kontrak yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh para pihak
harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana yang dituangkan dalam
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
menyatakan bahwa semua kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Namun seiring berjalannya waktu salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya sebagaimana telah disepakati bersama. Maka dari itu,
dengan tidak dilaksanakannya kewajiban dalam kontrak, hal tersebut tentu
14
melanggar norma kepatutan dan merugikan salah satu pihak. Secara patut
sesungguhnya para pihak dituntut untuk dapat memenuhi segala kewajibannya
yang tercantum dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya yang
tercantum dalam kontrak, yang mana hal tersebut melanggar norma kepatutan
yang hidup dalam masyarakat, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum
bagi pihak yang menyebabkan kerugian. Namun Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur secara tegas perihal konsekuensi hukum
manakala seseorang melanggar asas itikad baik. Konsekuensi hukum dan upaya
penyelesaian dalam hal terjadi pelanggaran atas asas itikad baik kemudian
dikembalikan lagi kepada kekuatan mengikatnya perjanjian itu sendiri.
Sehingga setiap upaya penyelesaian pada pelanggaran atas asas itikad baik
dalam setiap perjanjian mempunyai penyelesaian yang beragam dan tidak
secara tegas dan ketat ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).
Berdasarkan rangkaian uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat permasalahan penerapan asas itikad baik pada Perjanjian Kredit ke
dalam tulisannya yang berjudul Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Asas
Itikad Baik dalam Perjanjian Kredit antara Nasabah SY dengan Pihak
Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta (Studi Kasus), dan
berharap bila suatu hari penulisan ini dapat diambil manfaatnya bagi siapa pun
yang membutuhkannya.
15
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah asas itikad baik telah diterapkan dalam setiap tahap kontraktual
pada Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat
Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta ?
2. Bagaimanakah upaya penyelesaian dalam hal terjadi pelanggaran atas asas
itikad baik pada Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak
Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan Hukum ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan asas itikad baik dalam
setiap tahapan kontraktual pada Perjanjian Kredit antara Nasabah
Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso
Yogyakarta;
b. Untuk mengkaji dan menganalisis upaya penyelesaian dalam hal
terjadi pelanggaran atas asas itikad baik pada Perjanjian Kredit antara
Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang
Katamso Yogyakarta.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data serta informasi yang berhubungan dengan
objek yang akan diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum
16
sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar kesarjanaan dalam
bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
b. Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah kepada pihak-pihak terkait pada
khususnya, dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara akademis maupun secara
praktis. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan hukum di dalam bidang Hukum Perdata, khususnya bagi
mahasiswa agar kritis terhadap masalah hukum sekaligus dapat menemukan
solusi hukum terkait dengan pelaksanaan asas itikad baik dalam Perjanjian
Kredit pada bank.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini khususnya bagi pihak-pihak yang
terkait berupa penelitian, pembangunan, Hukum di Indonesia dan
masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Manfaat bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
penulis dalam bidang keperdataan, khususnya terkait dengan
pelaksanaan asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit bank.
b. Manfaat bagi pembangunan Hukum di Indonesia
17
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya,
khususnya terkait dengan pelaksanaan asas itikad baik dalam
Perjanjian Kredit pada bank.
c. Manfaat bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan
pengetahuan kepada masyarakat dalam hal pelaksanaan asas itikad
baik dalam perjanjian, khususnya Perjanjian Kredit pada bank.
E. Keasliaan Penelitian
Penulisan hukum ini adalah karya asli dari penulis dan sepengetahuan
penulis, penulisan hukum tentang Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Asas
Itikad Baik dalam Perjanjian Kredit antara Nasabah dengan Pihak Bank Rakyat
Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta belum pernah dilakukan oleh penulis
sebelumnya. Namun terdapat beberapa penulisan hukum yang mirip dengan
yang dilakukan penulis. Penulisan hukum sebelumnya dan perbedaannya
dengan penulisan hukum yang dilakukan penulis ialah:
1. Merupakan Skripsi yang ditulis oleh July Suryono, Mahasiswa Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun
2013 yang rinciannya adalah sebagai berikut: 16
a. Judul Penulisan Hukum
16
July Suryono, 2013, Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Alat
Multimedia antara Mahasiswa dan Pengelola Persewaan di Masjid Madliyah di Yogyakarta
(Penulisan Hukum), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Depok.
18
Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Alat
Multimedia antara Mahasiswa dan Pengelola Persewaan di Masjid
Mardliyah di Yogyakarta.
b. Rumusan Masalah
1) Apakah asas itikad baik telah diterapkan dalam perjanjian sewamenyewa antara pengurus “Masjid Mardliyah” dengan konsumen?
2) Bagaimanakah upaya penyelesaian dalam hal terjadi wanprestasi
pada perjanjian sewa menyewa antara pengurus “Masjid Mardliyah
dengan konsumen?
c. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang penulis
kemukakan sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan sebagai
berikut:
1) Penerapan Asas Itikad baik dalam setiap tahap kontraktual pada
perjanjian Sewa Menyewa antara pengurus “Masjid Mardliyah”
dengan Konsumen telah diterapkan oleh para pihak yang tercermin
dari pemberian kemudahan bagi calon penyewa yang melakukan
pemesanan melalui SMS, calon penyewa yang akan menyewa
menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa dan nomor telepon asli,
pemberian kepercayaan kepada calon penyewa yang tidak
memenuhi persyaratan untuk menyewa, tidak langsung dimintakan
ganti rugi apabila penyewa menimbulkan kerusakan pada alat yang
disewa, kejujuran penyewa dalam menghitung durasi pemakaian,
19
serta penyewa akan memberitahukan segala kesalahannya yang
menimbulkan kerusakan pada alat yang disewanya.
2) Upaya penyelesaian atas wanprestasi yang dilakukan oleh
pengelola persewaan yaitu berupa menyewakan barang dalam
kondisi cacat, maka dalam hal tersebut diselesaikan dengan cara
melakukan penggantian barang sewa dengan barang yang serupa,
sedangkan upaya penyelesaian atas wanprestasi yang dilakukan
oleh penyewa yang berupa kerusakan kecil pada barang yang
dikarenakan kesalahan penyewa maka pihak pengelola persewaan
memberikan kebebasan kepada yang bersangkutan untuk tidak
memberikan pertanggung jawaban dalam bentuk apapun. Namun
apabila kerusakan tersebut cukup besar, pihak pengelola persewaan
melakukan upaya penyelesaian lebih lanjut dengan jalan
musyawarah untuk menentukan besar ganti rugi yang harus dibayar
penyewa. Selanjutnya, dalam hal terjadi wanprestasi yang berupa
tidak dibayarkannya uang sewa, maka dalam hal ini pemberi sewa
tidak melakukan upaya penyelesaian untuk menuntut pembayaran
dari penyewa demi menjaga hubungan baik khususnya dengan
konsumen yang baru pertama kali menyewa.
d. Perbedaan dengan Penelitian Penulis
Perbedaan dengan penelitian penulis adalah penelitian di atas memiliki
lokasi
penelitian
yang
dilakukan
pada
Masjid
Mardliyah
D.I.Yogyakarta, sedangkan penelitian penulis dilakukan pada Bank
20
Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Selanjutnya, obyek
penelitian di atas adalah perjanjian sewa menyewa yang berupa sarana
alat multimedia berupa proyektor, sedangkan obyek penelitian penulis
adalah perjanjian kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank
Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Dengan adanya
perbedaan pada lokasi dan obyek penelitian tersebut maka akan
mengakibatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ini akan
berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.
2. Merupakan Skripsi yang ditulis oleh Sindy Septiani, Mahasiswa Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun
2016 yang rinciannya adalah sebagai berikut:17
a. Judul Penulisan Hukum
Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Repeater
antara PT PLN Area Pelayanan dan Jaringan dengan Pemilik.
b. Rumusan Masalah
1) Bagaimana penerapan asas itikad baik pada perjanjian sewa
menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan
Jaringan Yogyakarta dengan pemilik?
2) Bagaimana upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan
prestasi pada perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN
17
Sindy Septiani, 2016, Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Repeater
antara PT PLN Area Pelayanan dan Jaringan dengan Pemilik (Skripsi) , Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
21
(Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan
pemilik?
c. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang penulis
kemukakan sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan sebagai
berikut:
1) Penerapan asas itikad baik pada setiap tahap kontraktual telah
dilakukan oleh kedua belah pihak yang dapat dilihat dari telah
dilaksanakannya
kewajiban
untuk
menjelaskan
dan
memberitahukan pada saat proses pengadaan jasa sewa sarana
komunukasi repeater, PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan
Jaringan Yogyakarta memberikan kesempatan kepada CV Harapan
untuk memeriksa dan mempelajari isi dari perjanjian sewa
menyewa repeater sebelum melakukan penandatanganan, Pihak
pemilik persewaan merahasiakan password untuk jalur komunikasi
yang digunakan pada radio komunikasi milik pihak penyewa,
pihak pemilik persewaan tetap melakukan perlindungan, perawata,
dan perbaikan terhadap repeater, meskipun tidak dilakukan
pengawasan secara langsung oleh pihak penyewa serta membuat
laporan mingguan secara jujur, serta pemilik persewaan selalu
memberikan toleransi terhadap keterlambatan pembayaran sewa.
2) Upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi
pada perjanjian sewa menyewa repeater yang terjadi karena adanya
22
force majeur yang berupa padamnya listrik di kedua lokasi
pemasangan repeater, kemacetan menuju lokasi pemasangan
repeater, terbakarnya repeater akibat terkena petir dan hujan lebat
maka
penyelesaiannya
dilakukan
dengan
mengenakan
denda/sanksi sebagai ganti rugi sesuai dengan SLA terlampir
dalam
perjanjian,
sedangkan
wanprestasi
yang
berupa
keterlambatan pembayaran dari pihak penyewa diselesaikan
dengan cara musyawarah mufakat dan mengedepankan itikad baik
dari pihak penyewa supaya hubungan baik antara kedua belah
pihak tetap terjaga.
d. Perbedaan dengan Penelitian Penulis
Perbedaan dengan penelitian penulis adalah penelitian di atas memiliki
lokasi penelitian yang dilakukan pada PT PLN (Persero) Area
Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dan di CV Harapan, sedangkan
penelitian penulis dilakukan pada Bank Rakyat Indonesia Cabang
Katamso Yogyakarta. Selanjutnya obyek penelitian di atas adalah
perjanjian sewa menyewa yang berupa sarana komunikasi berbentuk
repeater, sedangkan obyek penelitian penulis adalah perjanjian kredit
antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang
Katamso Yogyakarta. Dengan adanya perbedaan pada lokasi dan
obyek penelitian tersebut maka akan mengakibatkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh penulis ini akan berbeda dengan penelitian yang
telah ada sebelumnya.
Download