1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan dari pembangunan nasional di Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara merata baik secara materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila. Kata pembangunan nasional sendiri memiliki pengertian yaitu usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan tantangan perkembangan global.1 Dengan begitu tujuan diselenggarakan pembangunan nasional Indonesia selaras dengan tujuan nasional Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional Indonesia, khususnya tujuan yang berkaitan dengan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata tentu dibutuhkan partisipasi dari berbagai pihak. Partisipasi sektor perbankan memiliki peran sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional.2 Dalam pelaksanaan fungsinya bank 1 Lihat Bab I Pendahuluan Alinea ketiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 2 William A. Lovett, 1997, Banking and Financial Institution Law, Westpublishing Co., USA, hlm. 1. 2 melaksanakan fungsi intermediasi yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara.3 Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam melakukan fungsi intermediasi adalah dengan pemberian kredit. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.4 Bank selaku lembaga yang melaksanakan fungsi intermediasi yaitu memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat tentu tidak lepas dari adanya permasalahan kredit. Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara karena kredit yang diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada nasabah dapat menunjang terlaksananya pembangunan sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pemberian kredit oleh pihak bank tidak terlepas dari adanya suatu bentuk perjanjian. Perjanjian ini sebagai dasar mengikat antara pihak kreditur / bank dengan pihak Debitur / peminjam karena dalam perjanjian tentu memuat berbagai persyaratan-persyaratan, hak dan kewajiban, serta hal-hal lain yang 3 Erna Priliasari, Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Perlindungan Terhadap Nasabah Bank, http:/ http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/86-mediasi-perbankan-sebagai-wujudperlindungan-terhadap-nasabah-bank.html , diakses pada tanggal 1 September 2016 4 Lihat Pasal 1 angka 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan dari Undang-undang Republik indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 3 dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan. Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian mengenai kontrak atau perjanjian yang meliputi perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Adanya suatu perjanjian tentu tidak lepas dari terpenuhinya syarat-syarat sah adanya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Agar suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut harus dipenuhi. Lazimnya dalam perjanjian, hak dan kewajiban antar para pihak haruslah seimbang dan tidak timpang, namun dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Hal ini dikarenakan para pihak di dalam perjanjian tidak selalu memiliki posisi tawar (bargaining power) yang sama secara sosial maupun ekonomi. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. Ketidakseimbangan kedudukan antara kedua belah pihak pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang dapat dianggap tidak terlalu “menguntungkan” bagi salah satu pihak. Dalam praktek suatu perjanjian yang dianggap hanya “menguntungkan” salah satu pihak dilakukan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak 4 yang kedudukannya lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian baku maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.5 Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu “standard contract”. Dalam Bahasa Indonesia perjanjian baku dapat dikatakan sebagai “kontrak standar”. Perjanjian baku juga memiliki nama lain yang dikenal dengan istilah “take it or leave it contract” yang mempunyai maksud yaitu salah satu pihak hanya mempunyai dua pilihan yang meliputi menerima keseluruhan dari isi kontrak atau menolaknya. Tidak ada istilah tawar-menawar atau negosiasi antara kedua belah pihak yang berkepentingan tersebut. Menurut Munir Fuady Perjanjian baku memiliki pengertian yaitu “suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak. Ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informative tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasikan atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.”6 Dalam praktek dunia usaha banyak perjanjian baku digunakan untuk lalu lintas perdagangan, salah satunya meliputi Perjanjian Kredit. Perjanjian Kredit dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dan lazim diadakan demi efektivitas dan efisiensi waktu. Selain itu pihak lawannya ( wederpartij) yang 5 Gunawan Widjaja, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 53. 6 Salim H.S., 2007, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Hlm. 148. 5 pada umumnya mempunyai kedudukan yang lebih lemah dalam posisi tawarmenawar karena didorong oleh kebutuhan ekonomi dan keadaan sosial, terkadang terpaksa untuk menerima apa yang disodorkan kepadanya. Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur perihal Perjanjian Kredit akan tetapi, Perjanjian Kredit tetap tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 yang menyatakan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Perjanjian Kredit berlaku karena terdapat asas-asas perjanjian dimana salah satunya merupakan asas kebebasan berkontrak maka para pihak bebas untuk menentukan isi dari Perjanjian Kredit sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan tidak memberikan batasan pengertian tentang Perjanjian Kredit. Istilah Perjanjian Kredit terdapat dalam Instruksi Presiden yang ditunjukkan kepada masyarakat Bank. Diinstruksikan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank wajib menggunakan “Akad Perjanjian Kredit” (Pedoman Kebijaksanaan di bidang Perkreditan (Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/10) tanggal 13 Oktober 1996 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pem. 6 Tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/643/UPK/Pemb.7 Selain itu Undang-Undang Perbankan hanya memberikan definisi mengenai pihak Debitur yang dinyatakan dalam pengertian Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.8 Dalam perjanjian antara bank dengan nasabah atau yang lazim disebut dengan Perjanjian Kredit bank diperlukan suatu penerapan asas-asas perjanjian. Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sun servanda), asas itikad baik, dan asas kepribadian.9 Pada Perjanjian Kredit yang merupakan perjanjian baku di mana isi atau klausul-klausul Perjanjian Kredit bank tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Pihak bank telah menentukan terlebih dahulu ketentuan dan syarat-syarat Perjanjian Kredit dan telah dibakukan, kemudian calon Nasabah Debitur tinggal menyetujuinya dan memberikan tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi Perjanjian Kredit tersebut. Calon Nasabah Debitur tidak diberikan kesempatan untuk 7 Mariam D. Badrulzaman, 1982, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, hlm. 19. Lihat Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 9 Damang, “Asas-asas Perjanjian”, http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asasperjanjian.html, diakses pada tanggal 2 September 2016 8 7 melakukan negosiasi dengan pihak bank mengenai isi Perjanjian Kredit tersebut. Disinilah keberadaan asas kebebasan berkontrak memiliki andil yang besar dalam suatu Perjanjian Kredit bank. Asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.”. Dalam hal ini suatu perjanjian dengan mana para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian dan kehendak para pihak telah diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum perjanjian. Meski begitu bentuk Perjanjian Kredit yang demikian, pada hakikatnya kehendak yang sebenarnya belum terwujud dalam Perjanjian Kredit. Kehendak Nasabah Debitur dalam Perjanjian Kredit hanya diberikan secara formal, disebabkan adanya ketergantungan akan kebutuhan kredit. Di sinilah letak kedudukannya Nasabah Debitur yang tidak mempunyai posisi tawar-menawar atau negosiasi dan hanya mempunyai pilihan untuk menerima persyaratan perjanjian yang disodorkan kepadanya tersebut. Dengan adanya ketidakseimbangan kedudukan antara pihak bank dengan Nasabah Debitur dibutuhkan asas itikad baik sebagai sarana penyeimbang kedudukan tersebut. Asas itikad baik disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Meskipun itikad baik menjadi asas yang paling penting dalam hukum kontrak dan diterima dalam berbagai 8 sistem hukum, tetapi hingga kini doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Dalam kenyataannya sangat sulit menemukan pengertian yang jelas tentang itikad baik tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ruang lingkup asas itikad baik masih diletakkan dalam pelaksanaan perjanjian saja. Namun sesungguhnya itikad baik seharusnya tidak hanya ada sejak pelaksanaan perjanjian saja, namun sejak kontrak tersebut disusun dan dibuat oleh kedua belah pihak. Dengan begitu itikad baik sebenarnya telah ada sejak saat proses penyusunan kontrak hingga kontrak dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang dalam hal ini pihak bank dengan Nasabah Debitur. Dalam perkembangannya, beberapa sistem hukum, seperti sistem hukum Belanda membedakan itikad baik ke dalam dua jenis, yakni itikad baik yang bersifat subyektif (subjective goede trouw) dan itikad baik yang bersifat obyektif (objective goede trouw).10 Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 11 1. itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan 2. itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut. 10 Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 185 11 Riduan Syahrini, 2000, Seluk Beluk dan Azaz-azaz Hukum Perdata, Alumni Bandung, Hlm. 260 9 Itikad baik yang bermakna “kejujuran” merupakan itikad baik yang bersifat subyektif, karena itikad baik tersebut terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum, sedangkan Itikad baik obyektif yang lebih dikenal dengan istilah “redelijkheid en billijkheid” merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan standar kepatutan yang berupa apa yang dirasakan patut dalam masyarakat. Itikad baik subjektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Hal tersebut ditemukan dalam istilah pemegang yang beritikad baik atau pembeli barang yang beritikad baik dan sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk. Seorang pembeli yang beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Ia samasekali tidak mengetahui bahwa ia membeli barang dari orang yang bukan pemiliknya oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ia adalah pembeli yang jujur. Dalam hal ini, itikad baik merupakan elemen subyektif yang berkaitan dengan sikap batin dan kejiwaan, yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan itikad baik.12 Itikad baik obyektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dikaitkan pada pelaksanaan kontrak yang mengacu pada itikad baik obyektif. Standar yang digunakan dalam itikad baik obyektif adalah 12 Ridwan Khairandy, 2003, Op.Cit, hlm. 194 10 standar yang obyektif yang mengacu kepada suatu norma yang obyektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma obyektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan itikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan obyektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut.13 Seiring berkembangnya waktu, baik itikad baik obyektif maupun itikad baik subyektif senantiasa harus melandasi setiap perbuatan hukum yang dilakukan. Dengan demikian itikad baik yang dapat diartikan sebagai “kejujuran” dan “kepatutan” tersebut harus melandasi setiap kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan Nasabah Debitur baik pada tahap pra perancangan kontrak yaitu penyusunan dan pembuatan kontrak hingga pelaksanaan kontrak. Itikad baik diperlukan agar tercipta keselarasan antara kedudukan pihak bank dengan pihak Debitur. Keberhasilan pelaksanaan Perjanjian Kredit mempengaruhi berbagai sendi-sendi kehidupan karena telah diketahui dimuka bahwa kredit yang diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada nasabah dapat menunjang terlaksananya pembangunan sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Perbankan juga menyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam 13 Ibid., hlm. 195. 11 atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.14 Oleh karena itu penerapan asas itikad baik dalam setiap perjanjian merupakan hal yang essensial. Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso sebagai lembaga keuangan perbankan melakukan tugas, yaitu sebagai lembaga penyimpan dana dan penyalur dana kepada masyarakat selaku bagian sistem moneter. Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso juga menyalurkan kredit kepada masyarakat. Penyaluran kredit tersebut, dilakukan dengan memberikan kredit kepada Debitur yang membutuhkannya. Pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia sesuai dengan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Perbankan yaitu didahului dengan adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam hal ini, Bank Rakyat Indonesia menyebut persetujuan atau kesepakatan tersebut dengan nama Perjanjian Kredit, dimana di dalamnya terdapat surat pengakuan hutang dan syarat-syarat umum perjanjian pinjaman dan kredit. Perjanjian Kredit yang dibuat oleh Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso dengan Nasabah Debiturnya tentu tidak lepas dari permasalahan-permasalahan kredit yang salah satunya menyangkut pelanggaran atas norma kepatutan dan 14 Lihat Pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 12 kejujuran. Seperti pada kasus Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur SY dengan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta, yang mana perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang keseluruhannya tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur SY dan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta tentu dibentuk melalui serangkaian tahapan penyusunan kontrak yang mana dalam setiap tahapnya, rawan untuk timbulnya pelanggaran atas asas itikad baik. Kenyataannya, para ahli berbeda pandangannya tentang tahap-tahap dalam perancangan kontrak.15 Pada penulisan hukum ini, penulis mengacu pada tahapan yang dikemukakan oleh H. Salim, HS yang mana terbagi menjadi tiga tahapan yaitu pra perancangan Kontrak, perancangan kontrak, serta pasca perancangan kontrak. Pra perancangan kontrak merupakan tahap sebelum kontrak dirancang atau disusun, sedangkan perancangan kontrak merupakan tahap dimana kontrak disusun oleh kedua belah pihak yang meliputi pembuatan draft kontrak, saling menukar draft kontrak, revisi kontrak, penyelesaian akhir, serta penutup. Tahap terakhir yang merupakan pasca perancangan merupakan tahap pelaksanaan serta alternatif penyelesaian sengketa. Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur SY dan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta dibuat untuk menentukan isi kontrak 15 Salim H.S., dkk, 2014, Perancangan Kontrak Memorandum of Understanding (MoU), Cet. Ke VI, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 83 13 yang menjadi landasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak Nasabah Debitur SY sebagai pihak debitur diantaranya meliputi menerima sejumlah pinjaman kredit sesuai dengan kesepakatan dan memperoleh pembinaan dari Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Sementara itu hak Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso diantaranya adalah memperoleh pengembalian dana yang dipinjam oleh Nasabah Debitur SY. Selain menerima hak, kedua belah pihak mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pokok Nasabah Debitut SY adalah berupa mengembalikan dana yang dipinjamnya dari Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso, sedangkan kewajiban Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso meliputi melakukan pemeriksaan dan pembinaan atas usaha Nasabah Debiturnya. Kontrak yang telah dibuat antara kedua belah pihak juga menganut asas pacta sunt servanda, dalam perkembangannya sekarang ini asas pacta sunt servanda dilandasi asas itikad baik. Kontrak antara Nasabah Debitur SY dan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso adalah dengan maksud bahwa dalam setiap kontrak yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh para pihak harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa semua kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik. Namun seiring berjalannya waktu salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya sebagaimana telah disepakati bersama. Maka dari itu, dengan tidak dilaksanakannya kewajiban dalam kontrak, hal tersebut tentu 14 melanggar norma kepatutan dan merugikan salah satu pihak. Secara patut sesungguhnya para pihak dituntut untuk dapat memenuhi segala kewajibannya yang tercantum dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak. Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya yang tercantum dalam kontrak, yang mana hal tersebut melanggar norma kepatutan yang hidup dalam masyarakat, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak yang menyebabkan kerugian. Namun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur secara tegas perihal konsekuensi hukum manakala seseorang melanggar asas itikad baik. Konsekuensi hukum dan upaya penyelesaian dalam hal terjadi pelanggaran atas asas itikad baik kemudian dikembalikan lagi kepada kekuatan mengikatnya perjanjian itu sendiri. Sehingga setiap upaya penyelesaian pada pelanggaran atas asas itikad baik dalam setiap perjanjian mempunyai penyelesaian yang beragam dan tidak secara tegas dan ketat ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Berdasarkan rangkaian uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan penerapan asas itikad baik pada Perjanjian Kredit ke dalam tulisannya yang berjudul Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Kredit antara Nasabah SY dengan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta (Studi Kasus), dan berharap bila suatu hari penulisan ini dapat diambil manfaatnya bagi siapa pun yang membutuhkannya. 15 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah asas itikad baik telah diterapkan dalam setiap tahap kontraktual pada Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta ? 2. Bagaimanakah upaya penyelesaian dalam hal terjadi pelanggaran atas asas itikad baik pada Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta ? C. Tujuan Penelitian Penulisan Hukum ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan asas itikad baik dalam setiap tahapan kontraktual pada Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta; b. Untuk mengkaji dan menganalisis upaya penyelesaian dalam hal terjadi pelanggaran atas asas itikad baik pada Perjanjian Kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data serta informasi yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum 16 sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. b. Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah kepada pihak-pihak terkait pada khususnya, dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara akademis maupun secara praktis. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum di dalam bidang Hukum Perdata, khususnya bagi mahasiswa agar kritis terhadap masalah hukum sekaligus dapat menemukan solusi hukum terkait dengan pelaksanaan asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit pada bank. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini khususnya bagi pihak-pihak yang terkait berupa penelitian, pembangunan, Hukum di Indonesia dan masyarakat adalah sebagai berikut: a. Manfaat bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan penulis dalam bidang keperdataan, khususnya terkait dengan pelaksanaan asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit bank. b. Manfaat bagi pembangunan Hukum di Indonesia 17 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya terkait dengan pelaksanaan asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit pada bank. c. Manfaat bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat dalam hal pelaksanaan asas itikad baik dalam perjanjian, khususnya Perjanjian Kredit pada bank. E. Keasliaan Penelitian Penulisan hukum ini adalah karya asli dari penulis dan sepengetahuan penulis, penulisan hukum tentang Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Kredit antara Nasabah dengan Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta belum pernah dilakukan oleh penulis sebelumnya. Namun terdapat beberapa penulisan hukum yang mirip dengan yang dilakukan penulis. Penulisan hukum sebelumnya dan perbedaannya dengan penulisan hukum yang dilakukan penulis ialah: 1. Merupakan Skripsi yang ditulis oleh July Suryono, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 yang rinciannya adalah sebagai berikut: 16 a. Judul Penulisan Hukum 16 July Suryono, 2013, Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Alat Multimedia antara Mahasiswa dan Pengelola Persewaan di Masjid Madliyah di Yogyakarta (Penulisan Hukum), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Depok. 18 Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Alat Multimedia antara Mahasiswa dan Pengelola Persewaan di Masjid Mardliyah di Yogyakarta. b. Rumusan Masalah 1) Apakah asas itikad baik telah diterapkan dalam perjanjian sewamenyewa antara pengurus “Masjid Mardliyah” dengan konsumen? 2) Bagaimanakah upaya penyelesaian dalam hal terjadi wanprestasi pada perjanjian sewa menyewa antara pengurus “Masjid Mardliyah dengan konsumen? c. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang penulis kemukakan sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1) Penerapan Asas Itikad baik dalam setiap tahap kontraktual pada perjanjian Sewa Menyewa antara pengurus “Masjid Mardliyah” dengan Konsumen telah diterapkan oleh para pihak yang tercermin dari pemberian kemudahan bagi calon penyewa yang melakukan pemesanan melalui SMS, calon penyewa yang akan menyewa menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa dan nomor telepon asli, pemberian kepercayaan kepada calon penyewa yang tidak memenuhi persyaratan untuk menyewa, tidak langsung dimintakan ganti rugi apabila penyewa menimbulkan kerusakan pada alat yang disewa, kejujuran penyewa dalam menghitung durasi pemakaian, 19 serta penyewa akan memberitahukan segala kesalahannya yang menimbulkan kerusakan pada alat yang disewanya. 2) Upaya penyelesaian atas wanprestasi yang dilakukan oleh pengelola persewaan yaitu berupa menyewakan barang dalam kondisi cacat, maka dalam hal tersebut diselesaikan dengan cara melakukan penggantian barang sewa dengan barang yang serupa, sedangkan upaya penyelesaian atas wanprestasi yang dilakukan oleh penyewa yang berupa kerusakan kecil pada barang yang dikarenakan kesalahan penyewa maka pihak pengelola persewaan memberikan kebebasan kepada yang bersangkutan untuk tidak memberikan pertanggung jawaban dalam bentuk apapun. Namun apabila kerusakan tersebut cukup besar, pihak pengelola persewaan melakukan upaya penyelesaian lebih lanjut dengan jalan musyawarah untuk menentukan besar ganti rugi yang harus dibayar penyewa. Selanjutnya, dalam hal terjadi wanprestasi yang berupa tidak dibayarkannya uang sewa, maka dalam hal ini pemberi sewa tidak melakukan upaya penyelesaian untuk menuntut pembayaran dari penyewa demi menjaga hubungan baik khususnya dengan konsumen yang baru pertama kali menyewa. d. Perbedaan dengan Penelitian Penulis Perbedaan dengan penelitian penulis adalah penelitian di atas memiliki lokasi penelitian yang dilakukan pada Masjid Mardliyah D.I.Yogyakarta, sedangkan penelitian penulis dilakukan pada Bank 20 Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Selanjutnya, obyek penelitian di atas adalah perjanjian sewa menyewa yang berupa sarana alat multimedia berupa proyektor, sedangkan obyek penelitian penulis adalah perjanjian kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Dengan adanya perbedaan pada lokasi dan obyek penelitian tersebut maka akan mengakibatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ini akan berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. 2. Merupakan Skripsi yang ditulis oleh Sindy Septiani, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2016 yang rinciannya adalah sebagai berikut:17 a. Judul Penulisan Hukum Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Repeater antara PT PLN Area Pelayanan dan Jaringan dengan Pemilik. b. Rumusan Masalah 1) Bagaimana penerapan asas itikad baik pada perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan pemilik? 2) Bagaimana upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi pada perjanjian sewa menyewa repeater antara PT PLN 17 Sindy Septiani, 2016, Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa Repeater antara PT PLN Area Pelayanan dan Jaringan dengan Pemilik (Skripsi) , Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 21 (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dengan pemilik? c. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang penulis kemukakan sebelumnya, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1) Penerapan asas itikad baik pada setiap tahap kontraktual telah dilakukan oleh kedua belah pihak yang dapat dilihat dari telah dilaksanakannya kewajiban untuk menjelaskan dan memberitahukan pada saat proses pengadaan jasa sewa sarana komunukasi repeater, PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta memberikan kesempatan kepada CV Harapan untuk memeriksa dan mempelajari isi dari perjanjian sewa menyewa repeater sebelum melakukan penandatanganan, Pihak pemilik persewaan merahasiakan password untuk jalur komunikasi yang digunakan pada radio komunikasi milik pihak penyewa, pihak pemilik persewaan tetap melakukan perlindungan, perawata, dan perbaikan terhadap repeater, meskipun tidak dilakukan pengawasan secara langsung oleh pihak penyewa serta membuat laporan mingguan secara jujur, serta pemilik persewaan selalu memberikan toleransi terhadap keterlambatan pembayaran sewa. 2) Upaya penyelesaian terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi pada perjanjian sewa menyewa repeater yang terjadi karena adanya 22 force majeur yang berupa padamnya listrik di kedua lokasi pemasangan repeater, kemacetan menuju lokasi pemasangan repeater, terbakarnya repeater akibat terkena petir dan hujan lebat maka penyelesaiannya dilakukan dengan mengenakan denda/sanksi sebagai ganti rugi sesuai dengan SLA terlampir dalam perjanjian, sedangkan wanprestasi yang berupa keterlambatan pembayaran dari pihak penyewa diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat dan mengedepankan itikad baik dari pihak penyewa supaya hubungan baik antara kedua belah pihak tetap terjaga. d. Perbedaan dengan Penelitian Penulis Perbedaan dengan penelitian penulis adalah penelitian di atas memiliki lokasi penelitian yang dilakukan pada PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Yogyakarta dan di CV Harapan, sedangkan penelitian penulis dilakukan pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Selanjutnya obyek penelitian di atas adalah perjanjian sewa menyewa yang berupa sarana komunikasi berbentuk repeater, sedangkan obyek penelitian penulis adalah perjanjian kredit antara Nasabah Debitur dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Katamso Yogyakarta. Dengan adanya perbedaan pada lokasi dan obyek penelitian tersebut maka akan mengakibatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ini akan berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.