BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang meletakkan hukum sebagai kekuatan tertinggi
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan jaminan bagi seluruh warga
negaranya untuk mendapatkan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang
berpedoman pada kebenaran dan keadilan. Jaminan kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum tersebut tentunya membutuhkan upaya konkret agar terselenggara
dengan seksama sebagai bentuk pertanggungjawaban negara bagi kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia.
Hukum merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh semua orang dalam
mengisi kehidupannya terutama pada sistem perekonomian yang memasuki era
globalisasi. Kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk produk hukum yang jelas dan
mempunyai kepastian hukum serta tindakan penegakan hukum yang tegas dari aparat
penegak hukum.1 Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum
dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau
perbuatan hukum yang dibuat dihadapan pejabat tertentu. Notaris merupakan jabatan
tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang
perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) didalam menjalankan profesinya
harus profesional karena notaris mewakili negara dalam menjalankan tugas dan fungsi
1
A.A. Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris
di Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, hal 11.
1
sosialnya di dalam pembuatan akta sebagai alat bukti yang berupa akta autentik. Adanya
lembaga notariat disebabkan karena kebutuhan masyarakat yang terus meningkat baik
pada jaman dulu maupun jaman sekarang.
Semakin berkembangnya jaman maka semakin berkembang pula hubungan
hukum keperdataan yang terjadi pada masyarakat, kesadaran masyarakat terhadap
jaminan kepastian hukum semakin tinggi sehingga untuk mendapat jaminan kepastian
hukum terhadap hubungan keperdataan yang mereka buat diperlukannya akta autentik.
Untuk dapat memiliki suatu akta autentik tersebut harus dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Sementara itu yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang dalam
membuat akta autentik di bidang perbuatan hukum keperdataan adalah notaris yang
tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 117 pada tanggal 6 Oktober 2004 (selanjutnya disebut UUJN) dan Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 pada tanggal 15 Januari 2014 (selanjutnya
disebut UUJN Perubahan), yang menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
Wewenang atau sering disebut dengan istilah kewenangan merupakan suatu
tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan mengatur mengenai jabatan yang bersangkutan,
maka setiap dari wewenang itu ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang notaris dibatasi oleh
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan notaris.
Berdasarkan UUJN dan UUJN Perubahan, notaris sebagai pejabat umum
memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut adalah wewenang
yang baru diberikan kepada pejabat dalam hal ini notaris berdasarkan UUJN itu sendiri.
Wewenang yang diperoleh notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari
Departemen Hukum dan HAM.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 1 UUJN dan notaris juga mempunyai
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN. Kedudukan notaris
sebagai pejabat umum dalam kewenangan yang dimiliki oleh notaris sendiri dalam hal
membuat akta autentik dan kewenangan lainnya tidak dapat diberikan kepada pejabatpejabat lainnya, selama kewenangan-kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangankewenangan pejabat lain maka kewenangan tersebut hanya dapat dimiliki oleh Notaris. 2
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa suatu akta autentik
adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya. Namun dengan keluarnya UUJN Perubahan telah menunjuk Notaris sebagai
pejabat umum, mengatur bentuk akta notaris dan kewenangan notaris.
2
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama,Bandung, (selanjutnya
disebut Habib Adjie I), hal 40.
Akta sendiri merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk suatu pembuktian. Untuk dapat digolongkan dalam pengertian
akta maka surat harus di tanda tangani, keharusan untuk di tandatanganinya surat itu
untuk dapat disebut sebagai akta berasal dari Pasal 1869 KUHPerdata. Berdasarkan
ketiga Pasal tersebut diatas maka notaris merupakan pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta autentik.
Surat yang bertanda tangan dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan untuk
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, disebut akta yang dalam
KUHPerdata dibedakan menjadi dua jenis akta yaitu, akta autentik dan akta dibawah
tangan (Pasal 1868, 1869, 1874 KUHPerdata). Akta autentik merupakan alat bukti kuat,
lengkap dan sempurna bagi para pihak yang bersangkutan. Para pihak juga terikat
dengan isi dari akta autentik tersebut karena isinya sesuai dengan kesepakatan para
pihak dan ikut menandatanganinya, sehingga mereka juga turut bertanggungjawab
terhadap isi akta tersebut. Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dapat dicermati dalam
Pasal 1875 KUHPerdata menentukan bahwa:
Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan
kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti
lengkap seperti suatu akta autentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli
warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871
berlaku terhadap tulisan itu.
Pada hakikatnya akta autentik memuat kebenaran formal yang sesuai dengan
apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris, sehingga dalam menuangkan
kedalam akta notaris mempunyai kewajiban untuk memasukan kedalam akta apa yang
sungguh-sungguh dan telah dimengerti serta sesuai dengan kehendak para pihak.
Dengan membacakan secara jelas isi akta notaris serta memberikan informasi-informasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak dalam
penandatanganan akta. Berdasarkan hal itu maka para pihak memiliki hak untuk
menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi dari akta notaris
yang akan ditandatanganinya. Penandatanganan suatu dokumen secara umum mepunyai
tujuan sebagai berikut :
a. Tanda tangan sebagai bukti (evidence) : yaitu suatu tanda tangan mengidentifikasikan
penandatangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Pada saat penandatanganan
membubuhkan tanda tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan
mempunyai hubungan (attribute) dengan penandatangan.
b. Tanda tangan sebagai ceremony : yaitu penandatanganan suatu dokumen akan berakibat
sipenandatangan mengetahui bahwa ia telah melakukan perbuatan hukum, sehingga
akan mengeliminasi adanya inconciderate engagement.
c. Tanda tangan sebagai persetujuan (approval) : yaitu tanda tangan melambangkan
adanya persetujuan atau otorisasi terhadap suatu tulisan. Jadi suatu tulisan yang telah
ditanda tangani dan dibenarkan kebenarannya mempunyai kekuatan pembuktian yang
sama seperti akta autentik.
Eksistensi notaris di kalangan pejabat umum (openbaar ambtenaar) adalah,
untuk mengakomodir segala hal yang berkaitan dengan hukum keperdataan. Khususnya
kebutuhan masyarakat akan pembuktian dengan dilandasi UUJN
juncto UUJN
Perubahan. Kewenangan notaris sebagaimana dimaksud UUJN dan UUJN Perubahan
dengan profesinya sebagai pembuat akta autentik disertai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat yang begitu pesat dan dinamis telah meningkatkan intensitas dan
kompleksitas hubungan hukum yang tentunya memerlukan kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal inilah yang menjadi
landasan filosofis dari terbentuknya UUJN dan UUJN Perubahan melalui produk yang
dikeluarkan oleh notaris yaitu akta autentik, guna menjamin kepastian hukum dan
perlindungan hukum setiap pengguna jasa notaris.
Notaris merupakan instansi yang dengan akta-aktanya tersebut menimbulkan
alat-alat pembuktian tertulis dengan mempunyai sifat autentik. Keautentikan suatu akta
sangat ditentukan oleh terpenuhinya unsur-unsur yang ada dalam Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa, “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu di buatnya”. Selain itu, agar suatu
akta notariil dapat dikatakan sebagai suatu akta autentik maka harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yaitu:
1. Dibuat oleh pejabat umum yang berwenang;
2. Dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang; dan
3. Dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
tersebut.
Keharusan adanya tanda tangan lain bertujuan untuk membedakan akta yang
satu dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Fungsi tanda
tangan adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang
dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibubuhkan pada aktaakta tersebut. Oleh karena itu nama dan tanda tangan sangat dibutuhkan pada akta-akta
tersebut. Menurut Abdul Ghofur Anshori, Pejabat umum dalam hal ini notaris harus
sedapat mungkin menjalankan tugas jabatannya dengan baik yaitu :
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar sesuai dengan
ketentuan umum. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan
permintaan para pihak yang berkepentingan.
2. Berdampak positif, artinya akta notaris itu mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna. 3
Mekanisme penandatanganan akta notariil tidak hanya terbatas pada persoalan
bahwa akta tersebut harus ditandatangani namun, penandatanganan akta tersebut juga
harus dihadapan notaris sebagaimana telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m
UUJN Perubahan bahwa, “membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit (2) dua orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan
akta wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris” sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN dan UUJN
Perubahan.
3
Abdul Ghofur Anshori, 2010, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif
Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 90.
Membacakan akta sampai pada penandatanganan akta merupakan suatu satu
kesatuan dari peresmian akta di mana sebelum akta tersebut ditanda tangani terlebih
dahulu akta tersebut dibacakan di depan para pihak yang bersangkutan guna
menyampaikan kebenaran isi akta dengan keinginan para pihak kemudian akta tersebut
ditandatangani tentunya di hadapan para pihak dan dua (2) orang saksi. Kemudian hal
tersebut diatas ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 44 UUJN yang menentukan
bahwa :
1. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditanda tangani oleh setiap penghadap,
saksi dan notaris kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangannya dengan menyebutkan alasannya;
2. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta;
3. Akta sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (3) ditanda tangani oleh penghadap,
notaris, saksi dan penerjemah;
4. Pembacaan, penerjemah atau penjelasan dan penandatanganan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dan pada Pasal 43 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) dinyatakan
secara tegas pada akhir akta.
Hal diatas merupakan salah satu kewajiban dari seorang notaris sebagaimana
tertuang dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN dimana jika notaris tidak memenuhi
kewajibannya tersebut, maka konsekuensi yang di implementasikan oleh UUJN adalah
terdegradasinya akta tersebut menjadi akta di bawah tangan atau akta tersebut akan
kehilangan otentisitasnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN. Hal
tersebut akan berdampak pada perlindungan dan kepastian hukum yang merugikan para
pihak itu sendiri, dimana akta autentik tersebut tidak lagi menjadi alat bukti yang
sempurna melainkan hanya sebagai alat bukti akta di bawah tangan.
Penegasan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN telah memberikan penekanan
terhadap proses peresmian akta dari pembacaan sampai pada penandatanganan akta,
yang harus dilakukan di hadapan notaris.
Dalam kenyataannya disinyalir dengan
mengingat bahwa dalam hal ini jika seorang notaris memiliki kerjasama dengan
beberapa bank, perusahaan, para pengusaha, pengembang, para pejabat dan faktorfaktor eksternal lainnya, maka akan terjadi dan terbentuklah akta di luar kantor notaris.
Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka keseluhuran serta
martabat jabatan notaris harus tetap dijaga, baik ketika menjalankan tugas jabatan
maupun perilaku kehidupan notaris sebagai manusia yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi martabat jabatan notaris.4 Perkembangan di dalam dunia
usaha sangat mendorong kebutuhan masyarakat luas dalam hukum keperdataan
terutama pada kebutuhan pembuktian tertulis. Para penghadap dalam hal ini, datang
kepada notaris dan ke kantor notaris bertujuan untuk menuangkan pikiran, kehendak
dan tujuannya dan oleh notaris dapat menuangkan ke dalam sebuah akta autentik yang
nantinya dapat digunakan sebagai alat pembuktian yang sempurna.
Salah satu peranan notaris dalam menjalankan kewenangan jabatannya yaitu
untuk membuat Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham. Isi dari seluruh
berita acara dalam Rapat Umum Pemegang Saham adalah merupakan laporan dan
pernyataan dari Notaris terhadap segala sesuatu yang disaksikan dan didengarnya secara
langsung dalam Rapat Umum Pemegang Saham, yang diadakan pada hari, tanggal,
waktu, dan tempat yang telah disebutkan dalam Akta Berita Acara Rapat Umum
Pemegang Saham. Menurut Pasal 77 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40
Tahun 2007 (selanjutnya disebut UUPT), yang diundangkan dalam Lembaran Negara
4
Ibid, hal. 41.
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756. Mengatur mengenai rapat umum pemegang saham (RUPS)
melalui media elektronik, namun tidak diatur secara jelas mengenai penandatanganan
elektronik yang sah sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE),
yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 UU ITE menyatakan bahwa :
“Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.” Sehingga dapat
diketahui bahwa segala perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan media
elektronik dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik.
Namun, Pasal 11 angka 1 UU ITE mengatur secara jelas dan tegas syarat
mengenai penandatanganan elektronik yang sah. Sebelumnya akan diuraikan secara
lengkap isi dari Pasal 77 UUPT sebagai berikut :
(1)Selain Penyelenggara RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga
dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara
langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
(2)Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam
anggaran dasar Perseroan.
(3)Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan
peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)Setiap penyelenggara RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan
risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.
Terjadi konflik norma antara ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 ayat (1)
UUPT dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN Perubahan
yang menyatakan bahwa : “Dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib, membacakan
akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau
4 (empat) rang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.” Berdasarkan
kedua Pasal diatas terjadi konflik norma karena UUPT mengijinkan RUPS dilakukan
melalui media telekonferensi sehingga para pihak tidak harus hadir dihadapan notaris
dan menandatangani akta secara langsung dihadapan notaris, namun UUJN
mensyaratkan bahwa notaris wajib untuk membacakan akta dihadapan penghadap dan
akta ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.
Proses pembuatan akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
yang diselenggarakan melalui media telekonferensi, dengan lahirnya kata sepakat dalam
rapat umum pemegang saham (RUPS) dinyatakan sebagai pernyataan kehendak yang
disetujui (overeenstemende willsverklaring) antara para pihak. Apa yang dikehendaki
oleh para pihak yang satu dan pihak yang lainnya meskipun tidak sejurus namun
bertimbal balik, kedua kehendak dari para pihak itu bertemu dalam satu sama lain.
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya
kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok
dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sebelum tercapainya kata sepakat, para kedua
belah pihak terlebih dahulu akan melakukan pembicaraan dan penawaran-penawaran
yang berkaitan dengan objek perjanjian. Dalam pembicaran dan penawaran yang
dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan
menyampaikan hal-hal yang dikehendaki oleh pihak tersebut dan dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperbolehkan oleh hukum untuk disepakati oleh para
pihak sehingga dapat membentuk suatu perjanjian.
Dalam Risalah RUPS (minutes of general meeting) berdasarkan Pasal 90 ayat
(1), apabila risalah RUPS tidak dibuat dengan “akta notaris” maka “wajib”
ditandatangani oleh Ketua rapat, dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham
yang ditunujk oleh peserta RUPS. Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1), maksud
penandatanganan oleh Ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham
yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS, bertujuan untuk menjamin kepastian dan
kebenaran isi risalah RUPS.5
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 90 ayat (2) risalah RUPS yang dibuat
dengan akta notaris, tidak disyaratkan harus ditandatangani Ketua rapat dan 1 (satu)
orang pemegang saham. Tanpa ditandatangani, risalah RUPS yang dibuat dengan akta
notaris, isi yang terdapat didalamnya dianggap pasti kebenarannya. Hal itu sesuai
dengan fungsi yuridis akta notaris sebagai “akta autentik”.6 Sesuai ketentuan Pasal 1870
KUHPerdata, bahwa suatu akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna (volleding) tentang apa yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindend)
kepada para pihak yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka.7
5
Yahya M. Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan ketiga, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 340
6
Ibid, hal. 341
7
Sastrawidjaja, Man S., Mantili Rai, 2008, Perseroan Terbatas Menurut Tiga
Undang-Undang , Jilid 1, PT. Alumni, Bandung, hal. 37.
Proses RUPS seringkali tidak dilakukan dengan pertemuan langsung secara
fisik maupun dengan kontak pembicaraan langsung. Namun dilakukan dengan cara
telekonferensi melalui media elektronik, dimana sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan teknologi khususnya dalam bidang telekomunikasi, informasi dan
komputer semakin lama semakin banyak yang menggunakan alat teknologi digital
dalam berinteraksi antar sesama. Berdasarkan hal tersebut maka semakin kuat terjadi
desakan terhadap hukum khususnya hukum pembuktian, untuk mengatur sejauh mana
kekuatan dalam pembuktian dari suatu dokumen elektronik.
Suatu penandatanganan elektronik dengan menggunakan alat digital yang
dewasa ini sangat banyak digunakan dalam praktek sehari-hari, dan untuk menghadapi
kenyataan perkembangan masyarakat yang seperti ini, pembuat undang-undang secara
eksplisit dalam penjelasan umum UU ITE juncto Pasal 6 UU ITE Tahun 2008 yang
menyebutkan bahwa :
dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik kedudukannya
disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas. Penjelasan Pasal 6 UU ITE
Tahun 2008 :
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di
atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat
dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem
elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan
sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang
mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.8
Aturan mengenai tanda tangan elektronik ini lebih lanjut dijelaskan dan
ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE yang menyebutkan bahwa, Tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik
hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan
persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Teknologi Informasi yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya
beroperasi secara maya (virtual), juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang harus
diatur oleh hukum. Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi
yang mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan teknologi informasi.
Undang-undang tersebut, antara lain memuat substansi tentang tanda tangan elektronik
(electronic signature) atau digital signature.9 Tanda tangan yang dimaksud disini
adalah, bukan tanda tangan yang dibubuhkan oleh seseorang dengan tangannya sendiri
diatas dokumen-dokumen yang lazimnya dilakukan diatas dokumen kertas.
8
Ibid.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum HAM RI, 2009,
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi dan
Komunikasi, Jakarta, hal. 43.
9
Pada dasarnya, suatu tanda tangan elektronik berikut sistem sertifikasi
elektroniknya, diselenggarakan memperjelas identitas subyek hukum dan melindungi
keamanan serta otentisitas informasi elektronik yang dikomunikasikan melalui sistem
elektronik.10 Fungsi dari tanda tangan elektronik atau digital signature ini sama juga
dengan fungsi sidik jari seseorang yang bertujuan untuk dapat dijadikan sebagai alat
bukti kuat secara hukum dikemudian hari.11
Bentuk dari tindakan hukum pada umumnya adalah bebas, terkecuali
ditentukan lain oleh undang-undang yang mengharuskan adanya bentuk-bentuk tertentu
berupa akta dibawah tangan atau akta autentik. Akta yang berfungsi sebagai alat bukti,
setidaknya material yang dipakai untuk menerangkan tulisan tersebut haruslah
memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya :12
1. Ketahanan akan Jenis Material yang dipergunakan : Hal ini berkaitan dengan, kewajiban
bagi notaris untuk membuat minuta akta dan menyimpan minuta akta yang dibuatnya
tersebut (Pasal 35 jo. Pasal 36 Peraturan Jabatan Notaris S. 1860 Nomor 3 sekarang
Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris). Tulisan pada kertas thermis yang dipergunakan untuk mesin
faximile tidak dapat disimpan untuk masa kurang lebih satu tahun. Pasal 28 ayat (3)
Notariswet (S.1999 no. 190) di Netderland telah mensyaratkan jenis kertas tertentu
10
Edmon Makarim, 2013, Notaris & Transaksi Elektronik Kajian Hukum
tentang Cybernotary atau Electronik Notary, Edisi Kedua, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 6.
11
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum HAM RI, Op.Cit,
hal. 49.
12
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Cetakan ke II, Citra Aditya Bakti, Bandung. (selanjutnya disebut Herlien
Budiono I) hal. 217
untuk pembuatan akta yang digunakan oleh para notaris di sana. Oleh karena itu, kertas
dianggap memenuhi syarat material untuk daya tahan penyimpan arsip.
2. Ketahanan terhadap Pemalsuan : Perubahan yang dilakukan terhadap tulisan diatas
kertas dapat diketahui dengan kasatmata atau dengan menggunakan cara yang
sederhana. Ini berarti bahwa para pihak akan terjamin apabila perbuatan hukum diantara
mereka telah dilakukan dengan akta yang menggunakan jenis kartu tertentu.
3. Orisinalitas : Untuk minuta akta hanya ada satu akta “aslinya”, kecuali untuk akta yang
dibuat in originally dibuat dalam beberapa rangkap yang semuanya “asli”.
4. Publisitas : Untuk hal-hal tertentu pihak ketiga yang berkepentingan dapat dengan
mudah melihat akta asli atau minta salinan daripadanya.
5. Dapat Segera atau Mudah Dilihat (Waarneembaarheid) : Data yang terdapat pada kertas
dapat dengan segera dilihat tanpa diperlukan tindakan lainnya untuk dapat melihatnya.
6. Mudah Dipindahkan : Kertas dan sejenisnya dapat dengan mudah dipindahkan.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi global telah membawa revolusi
besar bagi perkembangan hukum nasional, khususnya dalam hukum pembuktian.
Diundangkannya undang-undang Informasi Transaksi Elektronik, keautentikan hak dan
kewajiban dalam sebuah dokumen elektronik dapat dilakukan dengan tanda tangan
elektronik (digital signature). Sebagai alat bukti suatu peristiwa hukum, tanda tangan
memiliki setidaknya dua fungsi yaitu :
(1) sebagai identitas diri penandatangan
(2) sebagai tanda persetujuan hak dan kewajiban yang tercantum di dalamnya.
Seperti tanda tangan manuskrip, tanda tangan elektronik juga harus meliputi kedua
fungsi tersebut.
Menurut UU ITE ini, tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri
atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Tanda tangan
elektronik sebagai informasi elektronik merupakan satu atau sekumpulan data-data
elektronik, yang tidak terbatas dengan tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya. Agar dapat mencapai tujuannya sebagai alat verifikasi dan
autentikasi, tanda tangan elektronik harus terikat pada informasi elektronik lainnya yang
merupakan substansi dari dokumen elektronik itu sendiri. Sahnya suatu tanda tangan
elektronik sebagai sebuah informasi dan dokumen elektronik harus dapat memenuhi
syarat minimum baik subyek maupun obyeknya.
Syarat subyektif yang dimaksud meliputi, kualitas diri penandatangan. Datadata pembuatan tanda tangan elektronik hanya terkait pada si penandatangan. Dalam
proses penandatanganan, data-data tersebut hanya berada dalam kuasa penandatangan.
Hal ini membutuhkan sistem proteksi yang baik sehingga pihak lain tidak dapat
menggunakannya untuk perbuatan yang bersifat melawan hukum. Tanda tangan
elektronik membutuhkan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi
keamanannya maupun dari informasi elektronik yang terkait dengannya. Sistem
keamanan ini diperlukan kedepannya agar dapat diketahuinya perubahan tanda tangan
elektronik maupun informasi elektronik setelah terjadinya penandatanganan. Sistem ini
juga diperlukan untuk mengidentifikasi penandatangan agar dapat menentukan hak dan
kewajiban subyektif, dan untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah memberikan
persetujuan terhadap informasi elektronik tersebut.
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) UU ITE dipastikan bahwa,
informasi dan/atau dokumen elektronik berikut dengan hasil cetaknya adalah
merupakan alat bukti yang sah. Oleh karena itu kekuatan pembuktian terhadap dokumen
elektronik dapat dipersamakan dengan akta autentik, jika dilihat dari Pasal 1 angka 12
UU ITE tentang definisi dari Tanda Tangan Elektronik, bahwa suatu informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang telah ditanda tangani, dilekatkan,
teraosiasi atau terkait dengan informasi elektronik tersebut telah diverifikasi dan
diautentifikasi.
Tanda tangan elektronik dapat memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah maka selain telah terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang dalam Pasal 11 UU ITE, maka masih ada syarat yang wajib ditempuh
oleh pengguna tanda tangan elektronik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2)
UU ITE yang menyebutkan mengenai pengamanan tanda tangan elektronik sekurangkurangnya meliputi :
a. sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;
b. penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan
secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh
penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya
harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh penanda tangan dianggap
mempercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda
Tangan Elektronik jika :
1. Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuat Tanda Tangan Elektronik telah
dibobol; atau
2. Keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti,
kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik,
Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang
terkait dengan sertifikat elektronik tersebut.
Secara umum, penandatanganan suatu dokumen elektronik bertujuan untuk memenuhi
keempat unsur di bawah ini yaitu :
1. Bukti, dalam hal ini sebuah tanda tangan mengontetikasikan suatu dokumen dengan
mengidentifikasikan penandatangan dengan dokumen yang ditanda tangani.
2. Formalitas, dalam hal ini penandatanganan suatu dokumen „memaksa‟ pihak yang
menandatangani untuk mengakui pentingnya dokumen tersebut.
3. Persetujuan dalam hal ini, pada beberapa kondisi yang disebutkan dalam hukum, sebuah
tanda tangan menyatakan persetujuan pihak yang menandatangani terhadap isi dari
dokumen yang ditanda tangani.
4. Efisiensi dalam hal ini, sebuah tanda tangan pada dokumen tertulis sering menyatakan
klarifikasi pada suatu transaksi dan menghindari akibat-akibat yang tersirat di luar apa
yang telah dituliskan.
Untuk dapat mencapai semua tujuan dari penandatanganan suatu dokumen seperti
tersebut diatas, maka sebuah tanda tangan harus mempunyai atribut-atribut berikut ini :
1. Autentifikasi penandatanganan adalah, sebuah tanda tangan seharusnya dapat
mengidentifikasikan siapa yang menandatangani dokumen tersebut dan sulit untuk
dapat ditiru oleh orang lain. (ketahanan terhadap pemalsuan).13
13
Herlien Boediono I, Op.Cit, hal. 218.
2. Autentifikasi Dokumen adalah, sebuah tanda tangan seharusnya mengidentifikasikan
apa yang ditandatangani, membuatnya agar tidak mungkin dipalsukan ataupun diubah
(baik dokumen yang ditandatangani maupun tandatangannya) tanpa diketahui.
Autentifikasi penandatanganan dan dokumen adalah alat untuk menghindari
pemalsuan dan merupakan suatu penerapan konsep nonrepudiation dalam bidang
keamanan
informasi.
Nonrepudiation
adalah
jaminan
dari
keaslian
ataupun
penyampaian dokumen asal untuk menghindari penyangkalan dari penandatanganan
dokumen (bahwa dia tidak menandatangani dokumen tersebut), serta penyangkalan dari
pengirim dokumen (bahwa ia tidak mengirimkan dokumen tersebut).
Tanda
Tangan
Elektronik
berikut
sistem
sertifikasi
elektroniknya,
diselenggarakan untuk memperjelas identitas subyek hukum dan melindungi keamanan
serta otentisitas informasi elektronik yang dikomunikasikan melalui sistem elektronik.
Sementara itu, notaris sebagai pejabat umum berdasarkan UUJN mempunyai fungsi dan
peran yang penting dalam legalitas transaksi di Indonesia, bahkan notaris juga dipahami
menjadi pihak ketiga terpercaya (trusted-third-party/TTP).14
Dengan diundangkannya UUJN Perubahan, memberikan kemudahan bagi
notaris dalam menjalankan jabatannya untuk membuat akta autentik. Hal ini
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUJN Perubahan yang
menyatakan bahwa : “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.” Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN Perubahan menyatakan bahwa :
14
Edmon Makarim, Op.Cit, hal. 6
“Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara
elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf dan hipotek pesawat terbang.”
Dengan ditetapkannya UUJN Perubahan ini masyarakat akan lebih mudah dalam
melakukan transaksi atau membuat suatu perjanjian. Cukup dengan dokumen
elektronik, para pihak dapat menyelesaikan transaksi bisnisnya. cyber notary ini
tentunya juga memudahkan dalam hal RUPS harus dilakukan melalui media
teleconfrence.
Berdasarkan uraian diatas maka, penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan
dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, sehingga RUPS dapat dilakukan
pemegang saham melalui media telekonferensi, video confrence atau media elektronik
lainnya. Untuk melihat originalitas suatu penandatanganan, pada dasarnya tanda tangan
yang dalam hal ini merupakan tanda tangan elektronik adalah berfungsi sama
sebagaimana layaknya suatu tanda tangan di atas kertas.
Hal-hal tersebut diatas menarik keinginan penulis untuk mengkaji dalam
bentuk Tesis sebagaimana dimaksud dalam proposal ini dengan judul “KEKUATAN
HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS
MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI”.
Terkait dengan permasalahan mengenai kekuatan hukum akta notaris tentang
penandatanganan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas (PT)
melalui media telekonferensi telah dibahas juga dalam beberapa penelitian. Demikian
penelitian yang sebagaimana penulis sebutkan diatas belum pernah dilakukan
sebelumnya oleh peneliti yang lain. Hasil dari penelusuran penelitian yang terkait
dengan penandatanganan elektronik adalah sebagai berikut :
1. Tesis milik Grace Wahyuni, S.H (NIM : 0706176656), mahasiswa Universitas
Indonesia, Tahun 2010 dengan Judul : “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik RUPS
Telekonferensi Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang PT dan UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Rumusan Masalah dalam Tesis ini :
1. Apakah pembuatan Akta RUPS yang akan dilaksanakan secara telekonferensi adalah
sah ?
2. Apakah Risalah RUPS yang diselenggarakan secara telekonferensi tersebut dapat
merukan alat bukti otentik ?
Secara umum penelitian pada tesis ini membahas mengenai mekanisme pelaksanaan
RUPS melalui video konferensi, keabsahan RUPS melalui video konferensi dan peranan
notaris dalam RUPS melalui video konferensi. Dengan diakuinya media video
konferensi sebagai sarana pendukung pelaksanaan RUPS menimbulkan akibat hukum
mulai dari pelaksanaan RUPS melalui video konferensi itu sendiri hingga masalah
keabsahan RUPS dan Notulen RUPS melalui media video konferensi. Apabila RUPS
tersebut dilakukan melalui media video konferensi maka hasil keputusan rapatnya juga
bersifat elektronik dimana dokumen yang merupakan notulen rapat adalah dokumen
elektronik. Penggunaan media elektronik seperti teknologi telekonferensi untuk
melaksanakan RUPS memang lebih efisien juga efektif. Akan tetapi timbul
permasalahan baru dalam hal pengesahan hasil RUPS yang harus dibuat dalam bentuk
akta autentik. Hal ini terkait dengan syarat akta notaris yang harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
2. Tesis milik I Made Putra Manawa, S.H. (NIM : 1192461015) disusun pada tahun 2013,
mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Udayana, yang berjudul Tanggungjawab
Notaris
Dalam
Lembaga
Sertifikasi
Tanda
Tangan
Elektronik
Terhadap
Ketidaksesuaian Verifikasi Data Diri Pemilik Tanda Tangan Elektronik. Rumusan
Masalah dalam Tesis ini adalah :
1. Bagaimana tanggung jawab notaris sebagai Registration Authority dalam lembaga
sertifikasi tanda tangan elektronik terhadap ketidaksesuaian data diri pemilik tanda
tangan elektronik ?
2. Bagaimana akibat hukum dari tanda tangan elektronik yang mengalami ketidaksesuaian
data diri pemilik ?
Secara umum pada penelitian ini membahas mengenai tanggungjawab notaris sebagai
registration authority dalam lembaga sertifikasi tanda tangan elektronik terhadap
ketidaksesuaian data diri pemilik tanda tangan elektronik dan akibat hukum dari tanda
tangan elektronik tersebut yang mengalami ketidaksesuaian data diri pemiliknya.
Dimana ketidaksesuaian data diri pemilik tanda tangan elektronik dalam sertifikat tanda
tangan elektronik akan mengakibatkan tanda tangan elektronik tersebut tidak memiliki
kaitan antara data diri penandatangan dengan tanda tangan elektronik yang dimiliknya.
Tanda tangan elektronik tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak dapat
memenuhi ketentuan yang ditentukan dalam undang-undang. Oleh karena itu notaris
dalam hal ini bertindak sebagai RA dalam lembaga sertifikasi tanda tangan elektronik
bertanggungjawab secara perdata dan pidana, apabila pihak yang merasa dirugikan
dapat membuktikan ada prosedur yang tidak sesuai dengan UUJN dan/atau Kode Etik
Notaris karena notaris mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagai anggota dari perkumpulan notaris.
3. Tesis milik I Putu Suwantara, S.H., (NIM. 1192461040), disusun pada tahun 2013,
mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Udayana, yang berjudul Eksistensi dan
Pengaturan Hukum Tanda Tangan Elektronik Dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat
Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas. Rumusan Masalah dalam Tesis ini adalah
:
1. Apakah penggunaan tanda tangan elektronik dapat diakui secara hukum (sah) dalam
akta pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas ?
2. Bagaimana pengaturan hukum serta peran Notaris dalam pembuatan akta pernyataan
keputusan rapat umum pemegang saham dengan menggunakan sistem elektronik ?
Secara umum dalam penelitian ini membahas mengenai informasi elektronik dan
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang hukum yang
sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Alat bukti menurut hukum acara yang dibuat dalam bentuk
informasi elektronik/ dokumen elektronik,merupakan alat bukti yang sah menurut
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga seluruh transaksi
elektronik dengan tanda tangan elektronik yang ada didalam akta pernyataan keputusan
rapat umum pemegang saham perseroan terbatas dapat dianggap sebagai akta, bahkan
kekuatan pembuktiannya sama dengan akta autentik. Pada penelitian ini mengangkat
permasalahan penggunaan tanda tangan elektronik dapat diakui secara hukum (sah)
dalam akta pernyataan keputusan rapat Perseroan Terbatas (PT), dan pengaturan hukum
serta peran notaris dalam pembuatan akta pernyataan keputusan rapat umum pemegang
saham dengan menggunakan sistem elektronik.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa penelitian penulis
yang berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris Tentang Penandatanganan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas melalui Media Telekonferensi memiliki
orisinalitas. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini penulis membahas mengenai apa
yang menjadi dasar hukum notaris untuk menandatangani Akta RUPS Perseroan
Terbatas yang ditandatangani oleh anggota RUPS melalui media telekonferensi dan
kekuatan pembuktian akta notaris tentang RUPS Perseroan Terbatas
yang
ditandatangani melalui media telekonferensi. Jadi perbedaan dengan penelitian lainnya
adalah dalam pokok pembahasan kekuatan hukum akta notaris tentang tanda tangan
elektronik yang dilakukan melalui media telekonferensi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian
latar
belakang
diatas,
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan-permasalahan yang selanjutnya akan dibahas lebih mendalam. Adapun
rumusan permasalahan-permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kekuatan hukum terhadap penandatanganan akta notaris dalam RUPS yang
menggunakan tanda tangan secara elektronik melalui media telekonferensi?
2. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta RUPS yang ditandatangani
secara elektronik melalui media telekonferensi ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dikualifikasikan atas
tujuan yang bersifat umum dan bersifat khusus, yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk, mengembangkan khazanah
pemikiran hukum tentang batasan keautentikan suatu informasi berikut nilai kekuatan
pembuktian hukumnya secara elektronik dan agar penulis dan pembaca dapat
mengetahui dan memahami tentang kekuatan hukum terhadap penandatanganan akta
notaris dengan menggunakan tanda tangan elektronik melalui media telekonferensi
menurut UU Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur mengenai Informasi dan Transaksi
Elektronik. Selain itu untuk dapat mengetahui dan memahami tentang tanggungjawab
notaris terhadap profesi dan jabatan notaris yang melakukan penandatanganan akta
dengan tanda tangan elektronik melalui media telekonferensi.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk dapat mendeskripsikan dan melakukan analisa lebih lanjut mengenai bagaimana
kekuatan hukum terhadap penandatanganan akta notaris dalam Rapat Umum Pemegang
Saham yang menggunakan tanda tangan secara elektronik melalui media telekonferensi
2. Untuk dapat lebih memahami dan melakukan analisa lebih lanjut tentang
pertanggungjawaban notaris terhadap akta Rapat Umum Pemegang Saham yang
ditandatangani secara elektronik melalui media telekonferensi.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam bidang kenotariatan.
Manfaat yang dapat diperoleh adalah:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulis berharap bahwa hasil dari penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran pada bidang hukum khususnya pada bidang
Kenotariatan. Hal ini terkait tentang kekuatan akta terhadap penandatanganan yang
dilakukan dengan cara transaksi elektronik melalui media telekonferensi pada rapat
umum pemegang saham.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi notaris, akademisi, dan tentunya bagi diri sendiri. Adapun
manfaat-manfaat tersebut antara lain:
1. Bagi para akademisi,
hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk
melakukan penelitian lebih lanjut terhadap penandatanganan akta yang dilakukan
dengan cara penandatanganan elektronik dalam RUPS yang dilakukan melalui media
telekonferensi, agar kedudukan dan aturan hukumnya teregulasi, sehingga menjadi lebih
jelas dan tegas.
2. Bagi notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan
terhadap kepastian hukum dari akta notaris yang penandatanganannya dilakukan dengan
cara penandatanganan elektronik melalui media telekoferensi. Selain itu beberapa
permasalahan hukum yang terkait dengan penyelengaraan kerja notaris secara
konvensional selama ini juga akan terselesaikan dengan baik. Tidak hanya dalam sistem
pemberkasan yang semakin baik karena electronic filing melainkan juga sistem
pencatatan dan standar penyelenggaraan jasa yang semakin efisien dan lingkup peluang
transaksi yang semakin global. Notaris juga akan dipermudah dengan fasilitas sistem
elektronik yang menunjang bukti-bukti dari dipenuhinya syarat-syarat suatu
keautentikan baik terhadap syarat subyektif maupun syarat obyektif.
3. Bagi diri sendiri, diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan dan wawasan yang erat kaitannya dengan perkembangan ilmu
kenotariatan, dan juga sebagai persyaratan untuk dapat menyelesaikan studi pada
pendidikan strata 2 (dua) Magister Kenotariatan.
1.5. Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum
atau khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain yang selanjutnya
dipergunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam penelitian.15
15
Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, 2013, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, hal. 53.
Teori merupakan suatu proses yang menghasilkan keseluruhan pernyataan yang
memiliki keterkaitan dengan suatu objek. Ahli teori yaitu Jan Gijssels dan Mark van
Hoccke mengemukakan bahwa Teori adalah segala yang mencakup pernyataanpernyataan, pandangan pandangan dan pengertian pengertian yang memiliki keterkaitan
secara logikal dengan suatu bidang kenyataan yang kemudian dirumuskan seemikian
rupa sehingga menjadi suatu hal yang mungkin untuk digunakan dalam menjabarkan
hipotesis hipotesis sebuah sistem pernyataan pernyataan (klaim-klaim), pandangan
pandangan dan pengertian pengertian yang saling berkaitan secara logika berkenaan
dengan suatu bidang kenyataan, yang dapat diuji.16 Dalam menganalisa permasalahan
dalam penelitian tesis ini, teori yang digunakan adalah :
1.5.1. Teori Negara Hukum
Teori Negara Hukum dicetuskan oleh filsuf besar Yunani Kuno, Plato
mengemukakan bahwa ada dua bentuk pemerintahan yang dapat dijalankan dalam suatu
negara. Dimana salah satunya adalah pemerintahan dalam suatu Negara yang dibentuk
melalui jalan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka terkait dengan permasalahan yang
penulis ambil maka, dalam hal ini sangat diperlukan peraturan perundang-undangan
yang tegas dan jelas mengatur agar tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, sehingga negara dapat menjamin keadilan bagi warga negaranya.
Secara lebih riil, Plato merumuskan teorinya tentang Negara Hukum : (i)
hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi
16
H. Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 9.
ketidakadilan, (ii) aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak
muncul kekacauan hukum, (iii) Setiap undang-undang harus didahului preambule
tentang motif dan tujuan undang-undang tersebut, Manfaatnya adalah agar rakyat dapat
mengetahui dan memahami kegunaan mentaati hukum itu, dan insaf tidak baik menaati
(iv) tugas hukum adalah membimbing melalui Undang-undang, (v) orang yang
melanggar undang-undang harus dihukum.17 Oleh karena itu teori Plato pun seolah
memberi himbauan kepada yang mempelajari hukum agar faktor manusia (aparat
hukum) menjadi bagian integral dalam studi hukum. Eksplanasi teoretis yang dihasilkan
dari kajian terhadap faktor aparat itu, tidak hanya bermanfaat secara praktis dalam
rangka penegakkan hukum, tetapi juga memberi bobot ilmiah pada kajian hukum.18
1.5.2. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Negara. Asas Kepastian Hukum atau disebut juga dengan
asas pacta sun servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat dari suatu
perjanjian. Suatu negara hukum yang memiliki kedudukan tertinggi dalam pelaksanaan
pemerintahan dalam hukum. Menurut Gustav Radbruch, hukum memiliki tujuan yang
berorientasi pada 3 hal yaitu:
1. Kepastian Hukum
2. Keadilan
17
Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y. Hage,2010, Teori
Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan III, Genta
Publishing, Yogyakarta, hal 41-42.
18
Ibid, hal. 43.
3. Daya Guna atau Kemanfaatan19
Dalam kaitannya dengan permasalahan ini maka dalam prakteknya seorang notaris
dalam melakukan tugas-tugasnya adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian
hukum adalah melegalkan kepastian hak dan kewajiban, untuk dapat menjaga setiap
kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya, harus selalu
perpegang kepada peraturan perundang-undangan.
1.5.3 Teori Kewenangan
Teori adalah suatu dasar untuk menyederhanakan pemahaman akan suatu hal
yang merupakan rangkaian dari berbagai penjelasan yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang bersifat umum.20Philipus M. Hadjon menyatakan
bahwa wewenang (bevoeigdheid) diartikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht).
Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.21Jadi teori
kewenangan berkaitan dengan kekuasaan hukum dan kemampuan untuk bertindak yang
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan akibat
hukum. Kewenangan berdasarkan undang-undang dapat diperoleh melalui:22
1. Atribusi, adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Hal ini didasarkan pada
kewenangan Jabatan Notaris yang langsung diberikan oleh undang-undang yang dalam
19
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,
Salatiga, hal. 33.
20
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134.
21
Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, No. 5 & 6 tahun XII,
September-Desember, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1.
22
Lutfi Effendi dan Sri Kustina, 2000, Hukum Administrasi (Administrasi
Recht), Biro Konsultan dan Bantuan Hukum, Malang, hal. 109.
hal ini adalah UUJN dan UUJN Perubahan yang secara khusus mengatur mengenai
jabatan notaris.
2. Mandat adalah wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari
pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah.
3. Delegasi adalah kewenangan yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan yang lainnya, dan segala tanggungjawab yang mengikuti
kewenangan tersebut berdasarkan atas peraturan perundang-undangan. 23
1.5.4 Teori Pembuktian
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang
mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang
yuridis
maupun
ilmiah,
maka
membuktikan
pada
hakekatnya
berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan berarti memberikan dasar-dasar yang cukup guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo
membuktikan mempunyai beberapa pengertian :
a. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah Membuktikan berarti memberikan kepastian
mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensionil Membuktikan berarti memberikan kepastian
yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
-
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
-
kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee).
23
Philipus M. Hadjon, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130.
c. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Didalam ilmu hukum tidak
dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap
orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. 24
Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara
atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti
yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Pembuktian secara yuridis tidak lain
adalah pembuktian historis yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara
konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada
hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa
tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pasal 1867
K.U.H.Perdata menyatakan bahwa “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.” Pasal 1868
KUH Perdata menyatakan “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
1.5.5 Teori Tanggungjawab
Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban
yaitu liability dan responsibility. Liability is condition of being responsible for a
possible or actual loss, penalty, evil, expense or burden, condition which creates a duty
24
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogjakarta, hal. 102
to performact immediately or in the future25 diterjemahkan menjadi istilah hukum yang
menunjuk hampir semua karakter atau tanggungjawab yang mungkin meliputi semua
karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi
juga kewajiban bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam
pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban
hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,
sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.26
Menurut pendapat Hans Kelsen, suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban
hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara
hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam
kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang
membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Menurut teori tradisional terdapat dua
macam pertanggungjawaban yang dibedakan yaitu pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility).27
25
Henry Campbell Black, 2014, Black‟s Law Dictionary, 10th edition,
Thomson West Publishing.Co, Boston, hal. 914
26
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 335-337
27
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 56
Menurut Kranenburg dan Vegtig mengenai persoalan pertanggungjawaban
pejabat ada dua teori yang melandasi, yaitu Teori Fautes Personalles dan Teori Fautes
de Servuces yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Teori Fautes de Personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga
dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian.
Menurut teori ini, beban tanggungjawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori Fautes de Servuces yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak
ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini
tanggungjawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul
itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat
atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada
tanggungjawab yang harus ditanggung.28
Dalam kaitannya dengan tesis ini teori tanggungjawab dipergunakan untuk menganalisa
permasalahan kedua tentang tanggungjawab dari seorang notaris, tentunya notaris
sebagai seorang pejabat umum memiliki tanggungjawab atas jabatan yang diembannya
tersebut. Dalam hal ini, terkait dengan tanggungjawab dari seorang notaris terhadap
RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi sehingga penandatanganan aktanya
juga dilakukan lewat media elektronik. Apabila dikemudian hari para pihak mengalami
kerugian akibat dilakukannya penandatanganan melalui media elektronik, dalam hal ini,
menurut teori fautes de personalles maka notaris bertanggungjawab secara pribadi
karena jabatannya telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian.
Tanggungjawab notaris dalam hal RUPS yang dilaksanakan melalui media
telekonferensi, tanggung jawab notaris apabila notaris hadir langsung dalam RUPS
Telekonferensi tersebut yaitu bertanggung jawab secara formil dan materiil atas
kebenaran dari akta berita acara RUPS. Apabila notaris tidak turut hadir secara langsung
28
Ridwan H.R., Op.Cit, hal. 365
dalam RUPS telekonferensi maka dalam pembuatan Akta Pengesahan Rapat Umum
Pemegang Saham berdasarkan risalah RUPS melalui telekonferensi maka notaris hanya
bertanggungjawab atas isi dari keterangan para penghadap yang hadir dalam RUPS
yang dituangkan dalam akta notaris tersebut. Tanggung jawab notaris disini hanya atas
kebenaran tanggal, waktu dan tempat dimana akta tersebut dibuat dan ditandatangani.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu
dengan mengkaji bahan-bahan dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahanbahan lain dari berbagai literatur yang terkait dengan permasalahan. 29 Penelitian ini
beranjak dari konflik norma antara ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN Perubahan.
Berdasarkan kedua Pasal diatas terjadi konflik norma karena UUPT mengijinkan RUPS
dilakukan melalui media telekonferensi sehingga para pihak tidak harus hadir dihadapan
notaris dan menandatangani akta secara langsung dihadapan notaris, namun UUJN
mensyaratkan bahwa notaris wajib untuk membacakan akta dihadapan penghadap dan
akta ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. Notaris
mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam legalitas transaksi di Indonesia,
bahkan notaris juga dipahami menjadi pihak ketiga terpercaya (trusted-thirdparty/TTP). Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 dipastikan bahwa,
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif :
Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
informasi dan/atau dokumen elektronik berikut dengan hasil cetaknya adalah
merupakan alat bukti yang sah. Ditegaskan kembali pada Pasal 53 ayat (1) dan (2)
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
1.6.2. Jenis Pendekatan
Dalam penulisan ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah dan dapat
dipertahankan secara ilmiah maka, masalah yang ada dalam penelitian ini akan dibahas
menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum
yang sedang ditangani30 dan pendapat-pendapat para ahli hukum.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber penelitian hukum dibedakan atas sumber-sumber penelitian yang
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Di dalam penelitian ini penulis
menggunakan bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
yaitu UUJN jo. UUJN Perubahan yang terkait dengan permasalahan kabur norma dalam
Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (3) huruf f UUJN jo. UUJN Perubahan. Selain
peraturan perundang-undangan penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan.
Sumber bahan hukum pada penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang terdiri dari
30
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan I, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 95.
literatur-literatur, buku-buku, makalah, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas, dan bahan hukum tertier yang terdiri dari kamus dan ensiklopedi.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum primer sesuai dengan judul dalam
penulisan tesis ini yang digunakan yaitu, teknik studi dokumen melalui kepustakaan
yang dipergunakan dengan cara menganalisa bahan hukum yang bersumber dari bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, tulisan dan
pendapat para ahli hukum, dan bahan hukum tersier
yang berupa kamus dan
ensiklopedi.
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Pengolahan bahan hukum merupakan kegiatan yang dilakukan dalam
penelitian ini dengan cara merapikan dan menganalisa bahan hukum yang telah
dikumpulkan tersebut, dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode ini
merupakan penggambaran dengan rangkaian kata-kata atau kalimat yang dipisahpisahkan menurut katagori untuk memperoleh kesimpulan. Dalam metode analisis
deskriptif, setelah bahan hukum dianalisis kemudian disusun kembali secara sistematis
agar dapat mempermudah pemahaman dan interpretasi bahan hukum, sehingga
mendapatkan kesimpulan tentang permasalahan hukum dalam penelitian ini.
Download