BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama (Soekanto, 1999:66), baik antara orang dengan orang, orang dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Dalam konteks pembelajaran pendidikan jasmani (penjas), siswa dengan guru dan dengan sesama siswa lainnya saling memberikan pengaruh. Pengaruh itu berupa perubahan perilaku yang mencakup aspek psikomotor, kognitif, dan afektif. Pada tingkatan sekolah dasar, guru memberikan pengaruh terbesar dibandingkan dengan orang lain atau pihak lain yang berada di lingkungan sekolah. Aktivitas saling mempengaruhi berawal dari interaksi di antara mereka. Misalnya, ketika guru memberikan instruksi organisasi kepada siswa untuk membentuk kelompok bermain, dengan segera siswa melakukannya dan secara langsung terjadi hubungan di antara siswa yang berada dalam satu kelompok. Aktivitas yang dilakukan siswa dan guru sudah menuju ke arah proses sosial yang terjadi di masyarakat umum, walaupun terjadi di lingkungan yang lebih kecil. Sesungguhnya itulah awal dari proses pembinaan aspek sosial siswa dalam menghadapi interaksi sosial di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor seperti: imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati (Soekanto, 1999:69). 1 Imitasi terkait 2 dengan proses meniru atau mencontoh suatu perilaku yang dianggap baik dan disukai secara umum. Sugesti berhubungan dengan proses penerimaan suatu pandangan sampai menjadi suatu keyakinan. Identifikasi merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak yang lain. Sedangkan simpati berkenaan dengan suatu proses dari seseorang yang tertarik pada pihak lain. Secara langsung atau pun tidak langsung, disadari atau tidak disadari oleh siswa, kegiatan belajar mengajar penjas telah melibatkan ke empat faktor tersebut. Contohnya pada saat siswa melakukan tugas gerak. Siswa meniru setiap bentuk gerakan yang dicontohkan dan diinstruksikan oleh guru atau rekannya sendiri. Aktivitas itu sudah mengarah kepada proses imitasi atau meniru dan mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Seperti halnya sugesti, ungkapan guru penjas sebelum melaksanakan tugas gerak terkadang menjadi kepercayaan yang sangat kuat bagi siswa. Misalnya, agar hasil lompatannya jauh sebelum melakukan lompat jauh harus diawali dengan mengambil nafas dalam-dalam. Ungkapan guru dijadikan sugesti di setiap kali siswa memperoleh kesempatan melakukan lompat jauh. Contoh-contoh peristiwa tersebut hanya akan terjadi apabila interaksi sosial berlangsung secara mendalam dan dalam tempo yang relatif lama sebagai awal dimulainya proses sosial. Bentuk proses sosial yang timbul akibat interaksi sosial adalah: (1) proses asosiatif terdiri dari kerjasama, akomodasi, asimilasi, dan (2) proses disosiatif terdiri dari persaingan dan kontravensi/konflik (Soekanto, 1999:77-78; Susanto, 1987:53). Bentuk-bentuk proses sosial akan tampak nyata dalam aktivitas cabang olahraga permainan yang dipertandingkan secara beregu, tidak dibedakan atas 3 kelompok usia meski pada proses disosiatif tingkat persaingan dan konflik akan lebih menonjol pada olahraga yang dilakukan orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan perkembangan proses sosial yang telah dilalui oleh keduanya. Proses sosial pada anak besar sering disebut sebagai usia berkelompok atau disebut juga awal melakukan hubungan sosial yang sesungguhnya di luar ikatan lingkungan keluarga. Kisaran usia anak besar sekitar 6 sampai 10 atau 12 tahun (Sugiyanto dan Sudjarwo, 1991:101). Anak-anak membuat kelompok atau geng dengan alasan dua atau tiga teman tidaklah cukup bagi mereka. Anak ingin bersama dengan kelompoknya, sebab hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolahraga atau melakukan aktivitas lainnya untuk mendapatkan kegembiraan. Geng anak laki-laki biasanya lebih sering terlibat dalam perilaku sosial buruk dibandingkan dengan kelompok anak perempuan (Kusmaedi, Husdarta, Hidayat, 2004:64). Perilaku sosial buruk anak laki-laki akan dianggap wajar apabila dipandang dari karakter psikososial anak laki-laki pada tahap perkembangan sosialnya, misalnya kondisi emosionalnya yang tidak stabil, membenci kegagalan atau berbuat kesalahan, dan pemujaan terhadap idola sangat kuat (Sugiyanto dan Sudjarwo, 1991:126-127). Selanjutnya Sugiyanto dan Sudjarwo mengatakan bahwa karakter tersebut biasanya ditunjukkan dengan perilaku destruktif seperti selalu berkata kasar (meniru perilaku idolanya), tindakan dengan emosi meledak-ledak (kurangnya pertimbangan), terkadang melakukan perbuatan nekad karena adanya dukungan dari kelompoknya untuk 4 menentang tindakan yang dilakukan orang tua atau orang yang lebih dewasa. Berbagai tindakan yang bersifat menentang tanpa alasan yang jelas, merusak hak milik orang lain, ketaatan yang kuat atau berlebihan terhadap peraturan kelompok dibandingkan dengan aturan keluarga merupakan sebagian ciri-ciri dari terjadinya delinkuensi anak yang mengganggu proses sosialisasinya (Sugiyanto dan Sudjarwo, 1991:127; Kusmaedi, dkk, 2004:65,66). Delinkuensi anak-anak berawal dari ketidakmampuan anak beradaptasi dengan lingkungan sosial karena dampak negatif dari interaksi sosial yang tidak mampu dicegahnya. Fenomena seperti itu bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang hendak dicapai melalui penjas, yang justru memiliki fungsi dan tujuan menumbuhkembangkan seluruh aspek (psikomotor, kognitif dan afektif) yang dimiliki anak didik. Fungsi dan tujuan penjas itu khususnya dalam membantu anak mengembangkan kemampuan sosial dan pengendalian emosional sebagai bagian dari aspek afektif. Menurut Hoedaya (2009:23), “…, komponen afektif bisa diubah melalui pengalaman pembelajaran pendidikan jasmani yang menyenangkan.” Sedangkan cara dalam membantu proses sosialisasi yang menjadi bagian aspek afektif anak-anak adalah melalui keanggotaan kelompok seperti dikemukakan Kusmaedi, dkk (2004:64-65) yaitu dengan belajar bersaing dengan orang lain, belajar bekerja sama, belajar bermain dan olahraga. Aktivitas bermain dan berolahraga bagi anak menjadi media pendidikan jasmani dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran yang menyeluruh, oleh karena fungsi dan tujuan pendidikan jasmani adalah menumbuhkembangkan seluruh potensi yang ada pada peserta didik melalui aktivitas jasmani, termasuk 5 juga dalam hal mengembangkan kemampuan sosial anak. Alfermann (1999:374) menyatakan bahwa “Physical education is a natural practice ground for social interaction and an opportunity for observing social processes. These are seen within groups as well as between groups”. Alferman menegaskan bahwa pendidikan jasmani merupakan dasar latihan yang alamiah bagi interaksi sosial dan kesempatan untuk mengamati proses-proses sosial yang terjadi, baik di dalam kelompok maupun antar kelompok. Sejalan dengan pendapat Alferman, Lutan (2001:35) juga mengemukakan bahwa pendidikan jasmani memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi dalam aktivitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang. Lebih lanjut Lutan mengemukakan bahwa manfaat dari segi sosial akan banyak diperoleh melalui program pendidikan jasmani, sebab melalui aktivitas jasmani atau olahraga seseorang memperoleh kesempatan untuk bergaul, berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Sikap dan perilaku yang sesuai norma atau nilai dan direstui dalam kehidupan sosial dapat dibina dengan aktivitas jasmani, khususnya aktivitas jasmani yang dilakukan secara berkelompok sebagai sarana terjadi dan terjalinnya interaksi sosial di antara para pelakunya. Aktivitas jasmani yang dilakukan dapat berupa hasil rekayasa lingkungan pembelajaran penjas, misalnya guru menciptakan suasana pertandingan bola voli dengan menekankan tugas dan peran siswa secara tegas sebagai pemain, pelatih, wasit, hakim garis, atau pendukung setiap regu. Kemampuan interaksi sosial siswa akan meningkat apabila proses pembelajaran penjas dilaksanakan dengan metode dan pendekatan mengajar, 6 sebagai salah satu model pengembangan proses sosial yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Melalui metode dan pendekatan mengajar penjas yang terus berkembang, guru berupaya untuk bekerja secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran penjas. Upaya itu dilaksanakan dengan tidak melupakan karakteristik peserta didik yang diidentifikasi melalui minat dan kebutuhan anak. Melalui identifikasi terhadap karakter siswa telah muncul beberapa cara mengajar penjas. Mosston dan Ashworth (1994:128) mengemukakan dua bentuk cara mengajar penjas yaitu direct teaching styles (gaya mengajar langsung) dan indirect teaching styles (gaya mengajar tidak langsung). Pendapat Ainshworth & Fox (1989) yang dikutip Suherman (1998:130) menyebut direct teaching sebagai traditional approach (pendekatan tradisional) dan indirect teaching sebagai cognitive approach (pendekatan kognitif). Metode mengajar penjas terus berkembang dan kemudian melahirkan metode yang masih berlandaskan kepada metode sebelumnya yang terdiri dari dua bagian yaitu Traditional Teaching Method atau metode tradisional dan Creative Movement Teaching Method (Theodorakou & Zervas, 2003:95). Metode mengajar tradisional dan creative movement yang dikembangkan diyakini mampu mengembangkan aspek fisik dan kognitif serta aspek psikissosial seperti self esteem (Theodorakou & Zervas, 2003:91), dan melalui bermain dalam program penjas yang mampu berkontribusi dalam membangun self confidence (Gruber, 1986; Bunker, 1991; dalam Theodorakou & Zervas, 2003:93). Hasil-hasil penelitian tersebut semakin memberikan gambaran bahwa 7 metode dan pendekatan mengajar penjas telah memberikan pengaruh positif dalam proses mengembangkan beberapa aspek sosial seorang anak seperti selfesteem. Meski masih ada perbedaan mengenai kebermaknaan metode mengajar penjas seperti pada direct teaching atau traditional method (Hoffman, 1971; dalam Tinning, 1987:83) dan indirect teaching, namun sudah ada arahan untuk mengoptimalkan hasil dari penerapan metode agar sesuai dengan fungsi dan tujuan penjas yang bersifat menyeluruh. Seperti yang dikemukakan Tinning (1987:83), pada umumnya metode tradisional secara khusus dipergunakan untuk mengajarkan keterampilan fisik (physical skill). Yanuarkiram (1997:15) mengemukakan bahwa di dalam proses pembelajaran yang selama ini berorientasi pada penguasaan keterampilan atau teknik berbagai cabang olahraga, terutama dalam peristiwa pembelajaran penjas di sekolah dasar, perlu ada perubahan melalui proses pembelajaran yang bermuatan pembentukan sikap dan watak, nilainilai interaksi sosial, dan problem solving. Belum sesuainya antara harapan dan kenyataan dalam pelaksanaan pembelajaran penjas lebih disebabkan karena faktor guru. Mengacu pada penelitian Husdarta (2000:46), belum efektifnya pembelajaran penjas di SD disebabkan guru penjas pada umumnya belum memahami dan belum mampu menerapkan strategi dalam menerapkan gaya mengajar yang lebih variatif. Artinya bukan hanya mengerti dan mampu melaksanakan gaya mengajar sebagai bagian dari metode mengajar, tetapi bagaimana menyiasati agar terjadi kesesuaian 8 antara metode, materi, tujuan, dan evaluasi sebagai rangkaian utuh dan menyeluruh dari proses pembelajaran. Proses pendekatan mengajar atau proses menerapkan metode mengajar pun harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Anak-anak pada usia sekolah dasar masih didominasi oleh keinginan bermain, sehingga pendekatan untuk menerapkan metode mengajar hendaknya lebih ditekankan pada aktivitas bermain. Lutan, Ibrahim, Suherman, dan Saputra (2002:16) mengemukakan, “Dari perspektif sejarah, aktivitas pendidikan jasmani seperti dalam bentuk kegiatan bermain merupakan alat utama pendidikan. Para pendidik dan filosof percaya bahwa kegiatan itu sangat efektif untuk menumbuhkembangkan keseluruhan potensi peserta didik”. Dari pernyataan itu ada tugas mulia sekaligus pekerjaan berat yang diemban guru penjas. Selain harus memahami bermain dengan segala maknanya, guru harus mampu dan meyakini bahwa kewajibannya adalah menumbuhkembangkan aspek psikomotor, kognitif, dan afektif siswa melalui aktivitas bermain. Esensi bermain harus dipahami oleh guru penjas karena pada kenyataannya bermain lebih disenangi dalam waktu yang relatif lama, mempengaruhi kepribadian dan kehidupan manusia (Sukintaka, 1992:1). Pendapat Hurlock (1987) yang dikutip Sukintaka (1992:33) menyatakan bahwa dengan bermain bersama anak lain, anak-anak belajar menetapkan hubungan sosial, menemukan dan menyelesaikan masalah sampai hubungan ini meningkat. Melalui aktivitas bermain inilah bentuk-bentuk permainan yang dilakukan oleh anak semakin beragam. Bentuk permainan merupakan hasil kesepakatan atau 9 keputusan bersama di antara para pelaku yang sedang bermain dengan cara menentukan aturan-aturan bermain yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan masing-masing kepentingan para pelakunya, terutama adalah ciri atau karakter pelaku permainan. Dari ciri sosial siswa SD kelas IV sampai kelas VI seperti pada ciri kelompok anak-anak besar, bentuk penyajian pembelajaran sebaiknya dalam bentuk bermain beregu, dengan gaya mengajar komando dan tugas (bagian dari metode mengajar tradisional) serta lomba yang bersifat kompetitif (Sukintaka, 1992:44). Bentuk penyajian lomba atau kompetisi dalam proses pembelajaran penjas, diharapkan akan membuat siswa termotivasi untuk mengeluarkan kemampuan gerak semaksimal mungkin. Intensitas gerak yang cukup tinggi memungkinkan interaksi sosial diantara siswa dalam satu kelompok akan tinggi pula. Hal ini bisa ditunjukkan dengan kuatnya pemberian dorongan dan saling mendukung dalam kerja sama untuk memenangkan perlombaan. Sebelum memulai lomba, guru harus dengan tegas menginstruksikan kepada seluruh siswa berkenaan dengan tugas-tugas yang akan dilakukan, sehingga permainan dalam bentuk perlombaan akan berjalan lancar sebagai tahapan pengembangan bermain dalam proses pembelajaran. Werner (1979:4) mengemukakan bahwa tahapan bermain bagi anak usia 7–12 tahun adalah dengan tahapan kompetitif melalui kelompok kecil atau tim dengan proses testing, contesting, analysis, synthesis, evaluation melalui pendekatan mengajar problem solving dan guided discovery (bagian dari metode mengajar creative movement), serta gaya mengajar komando. Tahap testing 10 adalah anak mencoba-coba aktivitas permainan. Setelah yakin terhadap aktivitas permainan yang dipilihnya, anak menginjak tahap contesting yaitu memainkan bentuk permainan yang dipilih. Tahap analysis yaitu anak mulai mampu menguraikan bentuk permainan ke dalam beberapa aspek, misalnya strategi yang harus dipakai, jenis gerak dominan yang dilakukan. Tahap synthesis adalah tahap memadukan berbagai aspek yang diperlukan dalam bentuk permainan yang dilakukan oleh anak. Tahap evaluation adalah menilai berbagai aspek yang ada dalam bentuk permainan, misalnya menilai kemampuan dan kelemahan dirinya dan lawan bermain, kerja sama tim yang telah dilakukan. Kelima proses pada tahapan kompetitif (testing, contesting, analysis, synthesis, evaluation) merupakan aktivitas bersama anak (siswa) dan guru sebagai upaya menentukan kesesuaian bentuk permainan, pelaksanaan permainan dan tujuan yang dicapai sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam penyajian berikutnya, sehingga berbagai manfaat pendekatan mengajar akan diperoleh. Dalam menerapkan gaya mengajar yang termasuk ke dalam metode mengajar tradisional dan metode mengajar creative movement melalui pendekatan kompetitif dan bermain yang dijadikan model pengembangan proses sosial akan diperoleh manfaat untuk perkembangan sosial anak. Saputra (2001:6), berkompetitif akan memberikan manfaat terutama dalam upaya membentuk karakter dan mempersiapkan para siswa untuk menghadapi masyarakat di luar sekolah atau bersosialisasi dengan masyarakat umum. Manfaat yang diperoleh melalui bermain untuk perkembangan sosial adalah siswa belajar berbagi hak milik, mempertahankan hubungan yang sudah terbina, dan mencari cara 11 memecahkan masalah yang dihadapi teman bermainnya. Bermain menurut penelitian Barnet (1991) dan para peneliti lainnya dalam Olympic Aid The 5 Rings Program (ttn:16), secara signifikan memberikan dampak kepada meningkatnya kemampuan memecahkan masalah dan aktif dalam kehidupan sosial. Manfaat yang diperoleh dari berkompetisi dan bermain akan menjadi bekal bagi anak didik untuk mampu beradaptasi secara efektif dan efisien dengan lingkungannya, sehingga pada akhirnya akan banyak keuntungan yang diperoleh melalui interaksi sosial bagi proses perkembangan sosial anak selanjutnya. Jika itu bisa dicapai maka hal tersebut telah mengarah pada pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan jasmani yang sejalan dengan proses sosial yang terjadi di masyarakat pada umumnya. Pembinaan proses sosial siswa pada hakikatnya adalah menumbuhkembangkan peserta didik menjadi makhluk sosial yang bermanfaat bagi lingkungannya di mana pun ia berada. Sehubungan dengan hal ini, Hoedaya (2009:3) mengemukakan bahwa melalui sosialisasi, khususnya keterlibatan anak pada aktivitas olahraga, maka sifat, perilaku, serta aspek kepribadian diharapkan akan tumbuh dan berkembang dengan baik, akan tumbuh sifat bersaing yang dilandasi sportivitas tinggi, menghargai lawan bermain, menghargai usaha sendiri, percaya diri, dan kemampuan mengendalikan emosi. Karakter penjas adalah kegiatan jasmani yang menimbulkan rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan bersosialisasinya atau 12 keterampilan sosialnya berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang (Lutan, 2001:34). Karakter penjas dapat tercapai bila program pengajaran penjas yang teratur dapat dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan program pembelajaran penjas yang teratur akan memberikan pengaruh pada perkembangan hidup siswa yang akan semakin tumbuh sempurna, bukan hanya pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya saja, melainkan juga keadaan emosi, mental, dan hubungan sosialnya menjadi lebih baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui masyarakat (Ichsan, 1983:54; Lutan, 2001:35). B. Rumusan Masalah Penelitian Isu proses belajar mengajar penjas menurut Suherman dan Mahendra (2001:28) diantaranya adalah “Guru kurang mengembangkan domain afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang dapat mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama, dan kesenangan siswa terhadap pendidikan jasmani.” Isu seperti ini harus menjadi perhatian penting bagi para pelaksana pembelajaran untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Problematika di lapangan adalah guru penjas di sekolah dasar lebih menekankan pada proses mengembangkan keterampilan motorik, bahkan lebih ekstrim lagi adalah skill yang bersifat kecabangan (Husdarta, 2000) yang sebenarnya belum memungkinkan bagi siswa, misalnya menggunakan sarana dan prasarana bagi orang dewasa, di samping belum sesuai dengan tujuan kurikulum penjas SD. Meski ada guru yang menerapkan variasi metode mengajar tetapi 13 pendekatan mengajar yang dilakukan belum sesuai dengan karakteristik siswa. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan guru belum mampu menyesuaikan materi (bahan ajar) dan tujuan dengan minat, kebutuhan dan karakteristik siswa berdasarkan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Terdapat pula aktivitas guru penjas SD selama pembelajaran penjas yang mendominasi melalui gaya mengajar komando (bersifat teacher centered), yang diarahkan pada aktivitas yang bersifat kompetitif dengan penekanan pada hasil akhir (menang atau kalah). Ini terungkap dari pengalaman penulis mengajar di PGSD Penjas S-1 Sumedang (tahun 2004-2005) yang mahasiswanya adalah para guru penjas dari wilayah Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung. Para guru penjas mengakui bahwa penyajian bahan ajar penjas yang dilakukannya selalu didominasi oleh gaya mengajar komando yang diarahkan agar siswa menguasai suatu keterampilan motorik. Padahal sebenarnya ada metode dan pendekatan mengajar yang memungkinkan siswa mengembangkan aspek sosialnya, misalnya metode yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengambil keputusan seperti metode guided discovery dan problem solving. Penekanan pada satu jenis metode yang bersifat teacher centered saja berakibat anak kurang memiliki kesempatan mengembangkan proses sosial (proses asosiatif dan proses disosiatif). Padahal mengembangkan aspek sosial sejak anak-anak (usia dini) merupakan fondasi bagi terbentuknya social skill di masa berikutnya (Lutan, dkk., 2002). Seperti dikemukakan pula oleh Kamtomo (1974:6), ketika anak bermain dalam suatu permainan olahraga maka sesungguhnya mereka adalah manusia dengan segala aspek-aspeknya sebagai makhluk individu dan makhluk 14 sosial. Sebagai individu, anak terdiri dari jiwa dan raga. Sebagai makhluk sosial, anak sedang belajar menerapkan status dan peranannya seperti halnya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Ketika menjadi pemain maka berperanlah sebagai pemain, ketika menjadi wasit maka jadilah sebagai wasit bukan menjadi pemain. Artinya melalui aktivitas olahraga anak diajarkan untuk mengerti berbagai status dan peranannya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perkembangan sosial yang terjadi pada siswa SD yang sesuai dengan harapan guru dan masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya. Melalui pembelajaran penjas yang disajikan dengan berbagai metode mengajar dan pendekatan mengajar diharapkan aspek sosial pada diri siswa dapat ditumbuhkembangkan. Metode mengajar yang dimaksud adalah metode tradisional dan metode creative movement. Sedangkan pendekatan mengajar yang umum diterapkan dalam kegiatan pembelajaran penjas di SD yaitu pendekatan bermain dan pendekatan kompetitif (berlomba). Kedua metode mengajar dan pendekatan mengajar ini diharapkan dapat menjadi model pembelajaran dalam mengembangkan proses sosial siswa SD, khususnya proses asosiatif (kerja sama, akomodasi, asimilasi) dan mencoba mengurangi dampak negatif dari proses disosiatif (persaingan, kontravensi, konflik). Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh metode mengajar dan pendekatan mengajar terhadap proses asosiatif siswa SD ? 15 2. Bagaimana pengaruh metode mengajar dan pendekatan mengajar terhadap proses disosiatif siswa SD ? 3. Metode mengajar melalui pendekatan mengajar manakah yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan proses asosiatif siswa SD? 4. Metode mengajar melalui pendekatan mengajar manakah yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan proses disosiatif siswa SD? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini diharapkan menghasilkan temuan baru berupa model pembelajaran yang didalamnya berisi metode mengajar tradisional dan metode creative movement yang dilaksanakan melalui pendekatan bermain dan pendekatan kompetitif dalam mengembangkan proses sosial siswa SD, serta memberikan bukti kebermaknaan pendidikan jasmani yang mampu menumbuhkembangkan seluruh aspek yang dimiliki siswa, khususnya aspek sosial. Artinya, pembelajaran penjas tidak hanya berdampak pada pengembangan jasmani siswa saja melainkan dapat pula mengembangkan aspek-aspek sosial dan emosional. 2. Tujuan Khusus Tujuan yang lebih khusus dari penelitian ini adalah untuk menggali informasi mengenai berbagai aspek yang terkait dengan pengaruh metode mengajar tradisional dan metode creative movement melalui pendekatan bermain 16 dan kompetitif dalam mengembangkan proses sosial siswa SD. Penjabaran tujuan khusus tersebut ialah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui dampak penerapan metode mengajar dan pendekatan mengajar terhadap proses asosiatif siswa SD. b. Untuk mengetahui dampak penerapan metode mengajar dan pendekatan mengajar terhadap proses disosiatif siswa SD. c. Untuk menemukan metode mengajar yang diterapkan melalui pendekatan mengajar yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan proses asosiatif siswa SD. d. Untuk menemukan metode mengajar yang diterapkan melalui pendekatan mengajar yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan proses disosiatif siswa SD. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi yang bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis, bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan pembinaan dan pengembangan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. 1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi dan memperkaya referensi bagi para peneliti dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan penerapan metode mengajar tradisional dan creative movement melalui pendekatan bermain dan kompetitif sebagai salah satu alternatif untuk mengembangkan proses sosial siswa 17 sekolah dasar. Khususnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian atau rujukan di bidang strategi belajar mengajar pendidikan jasmani terkait dengan penerapan metode dan pendekatan mengajar penjas oleh lembagalembaga yang berkepentingan dalam mengembangkan keilmuan di bidang pendidikan jasmani seperti FPOK, lembaga terkait lainnya, para guru penjas, termasuk para peneliti dalam bidang kajian yang sama. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi metode mengajar yang lebih sesuai diantara metode mengajar tradisional dan metode mengajar creative movement melalui pendekatan bermain dan pendekatan kompetitif. Selanjutnya, metode mengajar tersebut dapat digunakan sebagai model pembelajaran proses sosial oleh para guru penjas dalam upaya menumbuhkembangkan aspek-aspek sosial siswa SD melalui penerapan metode dan pendekatan mengajar dalam program pendidikan jasmani. Akhirnya seluruh potensi sosial siswa diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan kurikulum. E. Pembatasan Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penerapan dua metode mengajar dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani yaitu metode mengajar tradisional dan metode mengajar creative movement yang dikemukakan Kalliopi Theodorakou dan Yannis Zervas (2003). Kedua metode mengajar diterapkan melalui pendekatan bermain dan kompetitif dengan bahan ajar yang disesuaikan dengan 18 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2003) yang didominasi oleh kegiatan belajar siswa yang bersifat berkelompok. Kedua metode dan kedua pendekatan ini diharapkan dapat dijadikan model pembelajaran penjas untuk mengembangankan proses sosial siswa SD. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan sampel penelitian siswa laki-laki dan perempuan (64 orang siswa) kelas IV, V, dan kelas VI sekolah dasar di Kabupaten Sumedang. Penelitian diarahkan untuk mengetahui perubahan proses sosial siswa SD melalui indikator perubahan proses asosiatif dan proses disosiatif yang diketahui dari proses pengumpulan dan analisis data pre-tes dan pasca-tes dengan angket yang sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. F. Asumsi dan Hipotesis Penelitian Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama karena adanya aktivitas-aktivitas sosial yang terjadi sebagai akibat interaksi sosial. Bentuk proses sosial yang timbul akibat interaksi sosial yaitu (1) proses asosiatif: kerjasama, akomodasi, asimilasi, (2) proses disosiatif: persaingan (competition), kontravensi/konflik. Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati, semua ini terjadi apabila ada kontak sosial dan ada komunikasi (Soekanto, 1999:69). Hal yang sama terjadi dalam konteks pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Bagi siswa sekolah dasar (khususnya kelompok anak besar berusia 7-12 tahun), 19 peningkatan proses sosial melalui keanggotaan kelompok adalah dengan belajar bermain dan berolahraga (Kusmaedi, dkk., 2004:65). Bermain dan berolahraga merupakan aktivitas dominan pendidikan jasmani. Berkenaan dengan pendidikan jasmani, Alfermann (1999:374) mengemukakan “Physical education is a natural practice ground for social interaction and an opportunity for observing social processes.” Maksudnya adalah pendidikan jasmani merupakan wadah latihan alamiah untuk interaksi sosial dan kesempatan dalam mengamati proses-proses sosial. Menurut faham realisme, program kejuaraan olahraga akan mengembangkan perilaku sosial manakala kemenangan bukan tujuan utama (Cholik dan Lutan, 1996/1997:10). Melalui aktivitas jasmani akan diperoleh banyak manfaat bagi segi sosial, misalnya dalam mengembangkan rasa percaya diri, penilaian positif terhadap kemampuan diri, dan konsep diri yang positif pada anak didik (Lutan, 2001:34, 95). Bermain dalam aktivitas penjas diyakini mampu menumbuhkembangkan seluruh potensi anak didik termasuk di dalamnya kemampuan sosial (Lutan, dkk., 2002:43). Pendapat Hurlock (1987; dalam Sukintaka, 1992:33) menyatakan bahwa dengan bermain bersama anak lain, anak-anak belajar bagaimana menetapkan hubungan sosial, dan bagaimana menemukan serta menyelesaikan masalah sehingga hubungan sosial menjadi lebih meningkat seperti halnya pada proses akomodasi dan asimilasi. Kemampuan sosial seperti itu merupakan salah satu indikator dari proses sosial yang asosiatif. 20 Pendekatan bermain sebagai cara menerapkan metode mengajar creative movement semakin memberikan kebebasan kepada siswa untuk menjalin interaksi atau hubungan sosial dengan sesamanya. Peristiwa ini mungkin terjadi karena interaksi sosial diantara siswa relatif lebih sering dan mendalam. Ini disebabkan karena metode mengajar creative movement dilaksanakan melalui gaya mengajar problem solving, eksplorasi, eksperimen, dan discovery seperti dikemukakan oleh Theodorokou & Zervas (2003:95) “The creative movement teaching method implements learning through improvisation, experimentation, problem-solving, exploration and discovery.” Metode ini mengarahkan siswa sebagai pembuat keputusan dominan dalam proses pembelajaran penjas. Siswa mendapatkan kebebasan untuk menentukan apa yang harus dilakukannya setelah menerima pengarahan dalam bentuk instruksi informasi tugas gerak dari guru. Misalnya guru menugaskan siswa untuk mencari cara menendang bola yang mampu mengenai sasaran. Siswa akan berusaha menemukan cara menendang yang dianggapnya paling sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Berbeda dengan metode tradisional yang diterapkan dengan gaya mengajar tugas dan komando seperti dikemukakan pula oleh Theodorokou & Zervas (2003:95) “… the traditional teaching method implements learning through demonstration and command. The teacher makes the decisions and the students follow.” Pelaksanaan metode tradisional biasanya selalu diawali demonstrasi atau peragaan yang dilakukan oleh guru dengan menempatkan guru sebagai pembuat dan penentu keputusan dominan dalam proses pembelajaran penjas. Guru menentukan semua hal tentang apa yang harus dilakukan siswa sehingga 21 kebebasan dan kesempatan siswa berinteraksi dengan siswa yang lainnya menjadi terbatas. Semua siswa memusatkan perhatian pada semua hal yang diperintahkan guru. Apalagi bila pendekatan kompetitif menjadi pilihan melaksanakan metode mengajar tradisional. Ruang gerak siswa semakin dibatasi, kebebasan menggali kemampuan diri semakin terbatas. Pendekatan kompetitif mengharuskan siswa bersaing secara tajam untuk mencapai kemenangan yang memungkinkan pula terjadinya kontravensi di antara anak yang bersaing. Pendekatan ini bermanfaat untuk membentuk karakter dan mempersiapkan siswa untuk menghadapi masyarakat di luar lingkungan sekolah (Saputra, 2001:7). Biasanya aktivitas berkompetitif diarahkan melalui metode mengajar tradisional seperti dengan gaya mengajar komando, dan metode mengajar creative movement dengan gaya mengajar problem solving dan guided discovery (Werner, 1979:4) dan tugas. Berbeda dengan bermain yang lebih bersifat sukarela karena dorongan langsung dari dalam diri anak (Soemitro, 1992:1). Aktivitas ini lebih sesuai dilakukan dengan metode mengajar creative movement karena pembuat keputusan dominan dimiliki siswa, meski sesekali dengan gaya mengajar komando. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Metode mengajar creative movement dengan pendekatan bermain akan memberikan pengaruh yang paling besar dalam mengembangkan proses asosiatif dibandingkan dengan metode mengajar dengan pendekatan mengajar yang lainnya. 22 2. Metode mengajar tradisional dengan pendekatan kompetitif akan memberikan pengaruh paling besar dalam meningkatkan proses disosiatif dibandingkan metode mengajar dengan pendekatan mengajar yang lainnya. G. Definisi Operasional 1. Model pembelajaran menurut Lutan (1988:398) adalah penyederhanaan dan penjabaran dalam bentuk sebuah model dari proses pengajaran yang kompleks yang meliputi elemen-elemen yang melukiskan arus timbal balik antara stimulus dan respons antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. 2. Mengenai konsep dasar metode mengajar tradisional dan metode mengajar creative movement Theodorakou & Zervas (2003:95) mengemukakan : The creative movement teaching method implements learning through improvisation, experimentation, problem-solving, exploration and discovery. The student makes the decision and produces movement within certain parameters set by the teacher. On the other hand, the traditional teaching method implements learning through demonstration and command. The teacher makes the decisions and the students follow. Mengacu kepada pendapat Theodorakau & Zervas, dapat disimpulkan bahwa metode mengajar creative movement lebih menyerupai indirect teaching yaitu dominasi berada pada siswa sebagai pembuat keputusan dalam pembelajaran penjas dengan menggunakan gaya mengajar problem solving dan guided discovery. Guru penjas sebagai pemberi intruksi informasi materi pembelajaran, hanya membimbing dan mengarahkan dengan dominasi perlakuan terhadap siswa sangat kecil. Sementara pada metode tradisional guru dominan sebagai pembuat 23 keputusan, segala sesuatu ditentukan oleh guru berkenaan dengan materi, tugas gerak, apa yang harus siswa lakukan selama pembelajaran, dan siswa tinggal mengikutinya. Evaluasi ditentukan guru ketika memberikan status pada siswa. Penerapan metode tradisional adalah dengan menggunakan gaya mengajar komando dan gaya mengajar tugas. 3. Proses sosial Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama yang di dalamnya terkandung suatu gejala perubahan, gejala penyesuaian dan gejala pembentukan (Soesanto, 1985:53; Soekanto, 1999:66). Dalam penelitian ini, proses sosial terdiri dari proses asosiatif dan proses disosiatif dengan pengertian masing-masing sebagai berikut: a. Proses asosiatif Proses asosiatif adalah proses yang menuju kepada suatu kerja sama melalui keserasian pandangan dan tindakan yang mengarah kepada kesatuan tindakan (Huky, 1982; Taneko, 1993; dan Soekanto, 1999). Artinya, proses yang mempersatukan di antara dua orang atau lebih (di antara kelompok). Proses asosiatif terdiri dari : 1) Kerjasama yaitu bekerja secara bersama-sama karena mempunyai kepentingan yang sama . Di dalam penelitian ini kerjasama tercermin dari aktivitas siswa yang dilakukan secara berkelompok untuk menyelesaikan tugas gerak yang diinstruksikan guru. 2) Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan (Soekanto, 24 1999:82). Di dalam penelitian ini usaha-usaha yang dimaksud diantaranya siswa menjadi penengah dalam menyelesaikan pertentangan di antara dua orang temannya. 3) Asimilasi adalah usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok manusia juga meliputi usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Di dalam penelitian ini, asimilasi ditunjukkan oleh perilaku siswa, diantaranya yaitu memberikan kesempatan kepada teman untuk menggunakan alat guna melaksanakan tugas gerak, menghargai kemampuan orang lain. b. Proses disosiatif Disebut juga sebagai oppositional processes atau proses oposisi yakni proses sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu (Soekanto, 1999:97). Pola-pola oposisi dinamakan struggle for existence. Proses disosiatif terdiri dari : 1) Persaingan (competition) yaitu suatu proses sosial, ketika individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidangbidang kehidupan yang sedang trend dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Salah satu bentuk persaingan di dalam konteks penelitian ini adalah persaingan di antara siswa untuk menjadi pemain inti dalam suatu pertandingan olahraga. 25 2) Kontravensi (contravention) yaitu suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian dengan bentukbentuknya seperti: penolakan, perbuatan kekerasan dan mengacau rencana fihak lawan; menyangkal pernyataan orang lain; penghasutan; perbuatan khianat; menggangu atau membingungkan fihak lawan. Contoh kontravensi yang terjadi dalam proses pembelajaran penjas adalah siswa mengganggu konsentrasi rekannya saat melakukan tugas gerak dengan cara mengejek, menghalang-halangi pergerakan, dan bertindak kasar dengan merebut alat yang sedang dipergunakan. 4. Pendekatan bermain dan pendekatan kompetitif. a. Pendekatan bermain Beberapa pendidik mengatakan bahwa bermain adalah belajar menyesuaikan diri dengan keadaan. Seperti dikutip Soemitro (1992:2), Smith mengemukakan bahwa bermain adalah dorongan langsung dari dalam diri setiap individu, yang bagi anak-anak merupakan pekerjaan, sedang bagi orang dewasa lebih dirasakan sebagai kegemaran. Bermain adalah aktivitas yang dilakukan dengan rasa senang, menimbulkan kesadaran agar bermain dengan baik perlu berlatih, mengetahui kemampuan teman, patuh pada peraturan, dan mengetahui kemampuan dirinya sendiri. Dalam penelitian ini kategori bermain termasuk ke dalam tipe bermain aktif. Tipe bermain aktif meliputi gerakan fisik dan ikut sertanya dalam bermacam-macam kegiatan seperti kejar-kejaran, kucingkucingan, senam, dan sebagainya 26 b. Pendekatan kompetitif Kompetitif merupakan kata sifat dari kompetisi yang identik dengan persaingan yang biasanya diwujudkan oleh individu yang tengah bersaing selalu berupaya untuk menjadi yang terbaik dari individu yang lainnya (Saputra, 2001:6). Saputra mengemukakan bahwa makna kompetisi secara umum diartikan sebagai sebuah proses dalam menentukan pemenang dan yang kalah dengan mengidentifikasikan siapa saja yang lebih baik daripada yang lainnya dalam suatu perlombaan atau permainan. Akhir dari perlombaan diperoleh ranking berupa urutan kedudukan secara hierarkis. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa aktivitas dengan pendekatan kompetitif ditunjukkan dengan tingkat persaingan yang lebih tajam, terkadang segala upaya dilakukan untuk memenangkan sebuah permainan. Dalam penelitian ini, aktivitas pembelajaran penjas dengan pendekatan kompetitif adalah aktivitas bersaing (berlomba dan bertanding) untuk menentukan pemenang dan pecundang, misalnya lomba lari, pertandingan voli mini, dan bentuk permainan yang akhirnya melahirkan pemenang dan pecundang. Sedangkan aktivitas penjas melalui pendekatan bermain yaitu aktivitas yang tidak sampai mempertajam persaingan dan tidak sampai kepada penentuan pemenang dan yang kalah.