ARTI PENTING JERUSALEM DALAM KONFLIK ARAB - ISRAEL SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin Oleh : FATMAWATI FIRDAUS E 131 05 046 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 2011 ABSTRAKSI Fatmawati.F E 13105046, Arti Penting Jerusalem dalam Konflik Arab-Israel, di bawah bimbingan Prof.DR. J. Salusu, M,selaku konsultan I dan Prof. DR. M. Basyir Syam, selaku konsultan II pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UNHAS. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil umum dan posisi strategis Jerusalem sebagai kota suci bagi 3 agama samawi dalam konflik Arab-Israel yang telah berlangsung selama beberapa kurun waktu. Fokus penelitian adalah menjelaskan sejarah, status, dan arti penting Jerusalem. Serta memaparkan usaha dan resolusi yang dilakukan oleh PBB dalam menangani konflik Arab-Israel dalam memperebutkan kota Jerusalem. Berpijak dari upaya-upaya penyelesaian konflik yang seringkali mengalami kegagalan sehingga konsep perdamaian belum dapat diterapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini didasarkan pada tipe penelitian deskriptif analitik, yang bersifat menggambarkan secara jelas dan terperinci terhadap masalah yang diteliti, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisikondisi yang ada di lapangan terkait arti penting Jerusalem dalam konflik Arab-Israel. Penganalisaan data-data yang diperoleh lebih bercorak “analisa isi” (content analysis), dimana analisa yang dilakukan adalah mengulas isi bahan atau data yang diperoleh. Teknik pengumpulan data yang Penulis gunakan adalah studi pustaka (Library Research) dengan menggunakan jenis data sekunder yang berasal dari berbagai literatur sebagai penunjang dalam penyelesaian skripsi ini. Dalam penelitian digunakan pula analisis data kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta dan data yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jerusalem merupakan kota suci bagi 3 agama samawi. Kota warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO sejak tahun 1981. Telah dihancurkan 2 kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai 44 kali. Kota ini sangat penting karena kondisi geografisnya yang strategis sehingga menjadikan Jerusalem sangat diperhitungkan secara politik, ekonomi, dan keamanan. Sejak tahun 1967 status Jerusalem secara de facto diduduki dan dikuasai Israel, tidak jelas secara de jure. PBB mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 181 tentang pembagian wilayah Palestina, kaum Yahudi hanya diberi hak menguasai 57% Palestina. Namun tidak dipatuhi oleh Israel dengan alasan klaim teologis. Antara tahun 1967-1989, Dewan Keamanan PBB menerbitkan 131 resolusi, 43 di antaranya bersikap netral, yaitu menjadikan Jerusalem sebagai kota condominium oleh Israel dan Palestina. Di samping itu ada keputusan Mahkamah Internasional yang menyerukan penghentian pembangunan tembok pengaman Israel yang mengambil semua wilayah Palestina itu. Syukur Alhamdulillah, hip hip hurray cihuy cie cie suit suit yippieee senang riang hari yang kunantikan....akhirnya skripsi ini bisa selesai juga setelah tertunda nyaris 2 tahun cuma gara-gara malas, suka tunda-tunda ngurus berkas dan cari referensi dengan prinsip “masih ada hari esok, semua bisa diatur, gampaaaang....semua bisa diurus, ngantuk tadi malam nonton sambil fesbukan sampe jam 3, titip berkaskuww yakk, doing something useless, something wrong, something I DO really really regret, something unworthy, something I wish I never did but finally I did again and again I did I did I did I did”. Oopss iya hampir lupa, sebelumnya saya juga mau minta maaf kalo pada kata pengantar ini saya sering meng-ignore abis-abisan tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Hanya pada bagian inilah “Penulis” diberi “hak asasi penuh 100% merdeka berdaulat” menuangkan uneg-uneg. Bab I sampe Bab V kan pasti ada intervensi hehe. Let’s say Someone watched over you while you were doing your mini-thesis in anywhere you were. Waspadalah waspadalah...biar pas ujian nanti nggak dibantai, supaya revisinya nggak buuuuanyak. Menulis skripsi ini seperti mengandung anak, setiap hari saya dengan sabar merawat kandungan dan menanti-nanti kapan dia lahir di ruang ujian. Dan begitu dia lahir, rasanya lega sekali, Saya bahkan ketawa cengangas-cengenges seharian senyumsenyum sendiri sepanjang jalan dengan alasan yang presentase tingkat kejelasannya mendekati titik nadir 0%. Dengan hati kembang kempis saya pulang ke rumah. Pas nyampe depan rumah saya teriak, tentu saja nada serunya dibuat se-jaim mungkin takut dikira lagi ngigau demam tinggi belum waras betul “Ibu......sarjana ma’......!!” Pada beberapa kasus saya menemukan orang-orang yang menyebut skripSWEET karena mulai dari awal proses pengerjaan sampai Finishing touch skripsinya lancar halus mulus kayak lagi melaju balapan liar naik Ferrari dengan kecepatan cahaya di ruang vakum 300 juta km/detik, ada juga yang menyebutnya skripSH*T dengan alasan beban fisik, mental dan moral saat menyelesaikan tugas akhir ini sebelum melepas status Mahasiswa lalu kemudian -harus, mau nggak mau harus mau, suka nggak suka harus suka, memang seperti itulah fase fakta dan realita hidup yang harus dilewati sebelum menuju KE SANA- keluar dari persembunyian di balik tembok kampus dan berjuang menembus hutan belantara dunia luar a.k.a cari kerjaaaaaaaa. kerjaaaaaaaa Saya pikir tidak berlebihan rasanya jika fase cari itu kemudian saya deskripsikan seperti Teori Homo Homini Lupus-nya Thomas Hobbes, atau bisa juga kayak pesan Jendral Panglima Perang kepada para prajurit Infanterinya sebelum dikirim ke medan perang di garis terdepan benteng pertahanan Negara, “KILL OR BE KILLED!!”. Too Much?? Too Sarcastic?? Hell yeah I know, sorry.... Fiuh!! Momen menulis kata pengantar adalah bagian yang sangat sentimentil. Saya harus ingat yang dulu-dulu. Semua orang yang selalu ada, pernah ada, atau masih ada. Semua scene yang sudah gone with the wind but I’ll never get them out of my mind, all the bitter-sweet-sour memories. Nah, sekarang biar kayak “kata pengantar penulis” mumpuni, saya mau bilang makasih. Ehm........ Terima kasih kepada My Greatest one and only Allah SWT yang menganugerahkan hidup dan udara dalam paru-paru yang setiap hari saya hirup, yang selalu memberi saya kesempatan untuk terus memperbaiki diri, yang tetap mau menerima lagi ketika saya berlari terlalu jauh dari jalanNYA, yang selalu mau menyayangi saya melalui teguran-teguranNYA sejauh apapun saya meninggalkanNYA dan mendengarkanku ketika seluruh Penghuni alam semesta ini tidak peduli how complicated I’m feeling inside, yang selalu tahu apa yang saya butuhkan melebihi ekspektasi yang saya inginkan. Semua yang saya peroleh sampai detik ini mengajarkanku untuk harus selalu bersyukur. I know how blessed I’m. One thing for sure, I do believe YOU must love me the way I’m and I love the way YOU do. I trust every single thing happened in my life is for a good reason. Skripsi ini saya persembahkan kepada semua personil tetap FIRDAUS FAMILY penghuni MARKAS 3 NAKAL A.86 khususnya untuk kedua orang tua yang paling berperan dalam segala hal dalam kehidupan saya. Untuk Bapak ‘Babe’ Firdaus, S.Sos, SKM. In my life I just know there are only 2 greatest Men, Muhammad SAW and my daddy. Sampai kapan pun saya akan selalu ingat hari pertama ospek, masuk kuliah perdana saya diantar jemput, dan pas hari ujian juga ada Bapak yang antar sampai ke parkiran Fisip. I never knew that a men can be as patient as you till I know you. Terima kasih untuk dorongan, dukungan, dan kesabarannya, terima kasih untuk semuaaaaaaaaanya. Untuk Ibu ‘mamamia’ Marwati S.pd . Terima Kasih selalu ada. Saya tidak bisa membalas kasih sayang Ibu dengan semua yang saya miliki. You are such my cocaine and I’m addicted to you, I can’t stop it. Ibu memang selalu marah kalau ‘kepala batu’ ini terlalu keras tapi saya tahu permen manapun di dunia ini tidak pernah mengalahkan manis dan lembutnya Ibu. Saya cuma bisa bilang MAAF dan TERIMA KASIH. Maaf Sarjana-nya telat, maaf sudah menyusahkan, maaf belum bisa membalas semua kebaikan Bapak dan Ibu. Saya memang pemalas, tukang tidur, keras kepala, suka menunda pekerjaan, maaf dan terima kasih.... you saw me cry, smile, laught, fall, rise. You wiped my tears, you hold me when I’m down, you never leave me, you’re always there. No matter how bad I’m, my parent always accept me just the way I’m. The guardian angels I can always run to. Untuk kedua adikku yang lebih besar dari saya Sukmawati Firdaus dan Tri Fadli Firdaus. Come on, darla!! It’s your turn now to make us happy. Terima kasih sudah mau direpotkan kiri-kanan kesana-kemari mutar-mutar Makassar yang di langitnya ada 7 matahari dengan tujuan yang nyaris nggak jelas. Maaf yach sudah mau jadi target dan sasaran kejahilanku, terima kasih sudah mau mengikhlaskan sepasang telinganya jadi alat pendengar ocehanku tiap hari. Kita memang 3 NAKAL selamanya... VIVA FIRDAUS FOREVER Melalui kesempatan ini pula saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya kepada: Rektor Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.dr.Idrus A. Paturusi, Sp.B, Sp.BO, yang telah memberikan perhatian yang begitu besar bagi kemajuan pendidikan di Kampus UNHAS. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS...............atas perhatian dan usaha Beliau dalam perkembangan sistem pendidikan dan fasilitas yang ada di Fakultas ini. Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional ..................... atas usaha Beliau dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi para mahasiswa HI-UNHAS. Pembimbing I Prof. Dr. J. Salusu, MA dan Pembimbing II Prof. Dr. H. Basyir Syam, M.Ag, atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan demi terselesaikannya penyusunan dan penulisan skripsi ini. Seluruh staff pengajar jurusan Hubungan Internasional yang telah membagi ilmu dan pengalamannya selama berada di bangku kuliah. Untuk Keluarga besar H.Abdul Rasyid Tiro. Terima Kasih selalu support. We’re a big and great family as always ever after, not only in size but also in quantity and quality hehehehe (hayoooo....yang gendut jangan marah). Bersama kita pasti bisa v(^_____^)v Audi (Asmirandah gadungan kw10, the most charming future int’l relations lecture I’ve ever known, ahli “recycle” kertas & pita. Kreatif ato kurang kerjaan?? Rute Kampus-Veteran slalu rame. Makasih hadiah kejutannya). Rian (Jerapah, where are you now? My GPS can’t even find your last position, siapa pacarmu selain Naruto dan Raikkonen? We still can’t solve it yet). Meri (karaeng cacing cantik, si kecil dari KPU penggelembung suara Pilkada. Ayo lagi bobo ciang sambil nonton sinema religi di kamarnya Fikachu. makasih titipan tugasku yang semester 3 dapat A trus dirimu disuruh menghadap ke kak Ina karena nilai kosong. Mari kita patroli!!). Fika (diet dong biar sarungnya bisa longgar lagi. Makasih selalu mau menampungku tidur siang di labirin kecil itu sambil nyari bahan tugas paper sampe malam, makasih pernah kerja paper finalku, makasih sudah bilang “ih..cu’mala’mu deh, ih..rambutmu berantakan kayak singa). Iycha (bulu matamu mirip kaki laba-laba, jangan suka pasang roll rambut sambil bawa motor, fashionista “fashion in KENISTAAN hehe, saran terbaikmu adalah menyuruhku bawa kabur helm orang di parkiran Sastra sebelum menuju dosen pembimbingmu). Nova (I’d rather see you in military uniform. Batal jadi Perwira AKPOL is not a big deal, just fly to your Captain’s heart. I think u’r kinda addticted to bule-bule mata biru rambut emas padahal produk lokal masih banyak yang belum dieksplor. Patroli yuk..Meri udah nungguin tuh). Hmmm terlalu banyak kesintingan yang kita lewati bersama di Fisip yang indah pada musim tertentu. Kita belum menemukan nama yang pas untuk “gank” kita. Bacrit mungkin? Ato The Unnamed Gank? Whatever you name it, let’s say we’re Soul Sisters . everything seems so wowww when I’m with you. Dharma Wanita REGIME : Irna, Anhijo, Fubby, Ana, FebyLin, Maya, Rika, Inha, Citra, Tia, Dee, Dian jilbab, Dea, Dedew, Nunu, Finha, Murni, Ninho, Putri, Riri, Putte. Cowott-Cowott REGIME : Baim, Rusdin, Arqam, Antho, Farid, Amsal, Radhis, Alam, Awal, Tauhid, Syamsu Alam06, Sahar, Imam, Noe, Ewienk, Dayat, Faisal. Terima kasih untuk semua kelas yang menyenangkan dengan deadline paper sepanjang semester. So proud of being a part of your life. So glad to know you all. We’re all rock, guys!! What a great honor that I was your classmate in college. Semoga kita semua jadi ‘orang’ di mana pun kita berada. FRIENDS FOREVER Seluruh staff administrasi dan akademik FISIP. Bunda dan K’Rahma. Makasih banyak sudah mau direpotkan selama saya jadi mahasiswa, mulai dari urus KRS semester 1 sampe urus berkas persiapan ujian akhir. Semua yang ada di Fisip emang siiiip....... Kaka’-kaka’ dan ade’-ade’ teman-teman HIers FISIP UNHAS “think globally, act locally”, “another world is possible”. Teman-teman KKN ANTARA 2008 angkatan 79 Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone, khususnya Posko Desa Opo. Terima Kasih untuk Pak Desa, Pak Dusun, Pak Imam, Ibu Desa (makasih ya Bu selalu ngajak kami nonton bola 17an di lapangan Kecamatan), semua warga Desa Opo yang selalu siap-siaga waspada awas membantu program kerja fisik di lapangan termasuk mengacakacak isi kebun warga (pemdes oh pemdes, bungdes oh bungdes hehe), Pak Anwar sekeluarga yang mau menerima kami selama 53 hari di rumahnya (maaf Pak kami memang merepotkan, suka ribut begadang main kartu sampe pagi, maaf menggangu ritme hidup warga yang jadi ikut-ikutan begadang padahal bang Rhoma ksatria bergitar bilang begadang jangan begadang kalo ga di posko masing-masing). Makasih juga untuk Opo Crews: Yerry Hukum 03 (Jangan suka fitnah diri sendiri sebagai kordes paling cakep se-Kecamatan, striker dadakan di Timnas Opo, permainan gitarmu payah), Manaf Tekper 03 (kak gondrong...Menni’ menangis!! Iya deh kopi dan teh buatanku bikin diabetes mellitus. “Bapa’ Mama’ orang Soppeng, saya asli Makassar” nah loh kok bisa??), Haerul ‘Eyyunk’ Kosmik 05 (gara-gara mata sipit dikira Chinese, kita berdua alergi air sungai ckckck. Makasih yakk laporan akhirnya), Dewi Agro 04 (nggak nyangka kita sama-sama suka warna kuning, sumber gosip aktual sebelum tidur), Kiky Kelautan 05 (ada Ile tadi cariko hehe, makasih taburan bedak di punggungku setiap abis mandi), Chris Antro 05 (phobia balon...janganko tawwa suka marahi pacarmu tiap malam). Tandem ujian proposalku: Sadriani Pertiwi, Muh.Zubair, Atun. Tandem ujian skripsiku: Pandu. Terima Kasih ya temanssss....akhirnya kita S.IP 120183 Someone whose name is too hard to say here, someone I used to call Kakak. I still can say nothing but thank you very much for everything. Big thanks for the yellow flahdisk on my birthday & the giant teddy bear. Thank you for the supports and courages you gave. Sorry i WASN’T a nice one. Romy Saputra Pratama. Thanks for the ride di parkiran Fakultas Ilmu SANTET & Ilmu PELET. Makasih “sabbara’nya yang mannoko-noko”. Kejarlah Rupiah sampe ke ujung dunia. Entire the world knows you are such a hard worker. Just keep it up, dude!! Keep on focus!! Yes, You can........ Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini yang membutuhkan saran, kritik dari Pembaca sekalian guna memperbaiki tulisan ini, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. MAKASSAR, AGUSTUS 2011 FF DAFTAR ISI Halaman Judul.................................................................................................... i Halaman Pengesahan......................................................................................... ii Halaman Penerimaan Tim Evaluasi................................................................ iii Abstraksi.............................................................................................................. iv Kata Pengantar................................................................................................... v Daftar Isi............................................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………....... 1 B Batasan dan Rumusan Masalah………………………………..... 9 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………………….................. 10 D. Kerangka Konseptual................................................................... 11 E. Metode Penelitian.......................................................................... 23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Tentang Konflik.............................................................. 26 B. Konsep Tentang Kepentingan Nasional........................................ 35 C. Konsep Tentang Resolisi Konflik................................................. 43 BAB III GAMBARAN UMUM KONFLIK ARAB-ISRAEL DAN KOTA JERUSALEM A.Gambaran Umum Bangsa Israel-Palestina.................................... 54 B. Latar Belakang Konflik Israel-Palestina....................................... 64 C. Kota Jerusalem.............................................................................. 76 BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Sejarah, Status, dan Posisi Strategis Jerusalem dalam Konflik Arab-Israel.................................................................................... 84 B. Resolusi PBB untuk Menangani Konflik Arab-Israel dalam Memperebutkan Kota Jerusalem................................................ 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................. 132 B. Saran............................................................................................ 133 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat internasional yang merupakan satu kesatuan dari sejumlah Negara yang berdaulat dan merdeka (independent) dan sejumlah individu dan kesatuan bukan Negara yang terkait langsung pada persekutuan internasional, maka sebagai sebuah komunitas tentu saja terdapat pola interaksi yang cukup beragam di dalamnya dalam kaitannya dengan adanya kepentingan (interest) sehingga menimbulkan dinamika sebagai konsekuensi logis, berupa kerjasama dan konflik. Proses perdamaian di Timur Tengah dalam kurun beberapa dekade terakhir semakin tidak menentu dari waktu ke waktu. Rangkaian kesepakatan yang terus diupayakan oleh berbagai pihak masih menjadi pekerjaan rumah bagi tokoh-tokoh pemegang tampuk kekuasaan di kawasan yang rawan konflik tersebut. Salah satu konflik yang terus-menerus mendapat perhatian dunia internasional dalam beberapa dekade terakhir ini adalah konflik Israel–Palestina, yang meskipun telah berusaha diselesaikan melalui berbagai perundingan namun masih belum menunjukkan hasil yang memadai. Konflik Israel–Palestina sendiri berawal dari adanya Gerakan Zionisme yang didirikan oleh Theodore Herlz pada tahun 1896. Mereka pertama kali melakukan kongres di Bazlah-Swiss pada tahun 1897, yang merekomendasikan berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang terdiaspora di seluruh dunia. Pada kongres berikutnya tahun 1906, rekomendasi ini semakin dipertegas dengan dimaklumatkannya pendirian negara Israel bagi rakyat Israel di tanah Palestina1. Ada dua hal penting yang menjadi pondasi bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina, yaitu: Pertama, perjuangan Sykes-Picot 1916 antara Inggris dan Perancis yang membagi peninggalan Dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pembagian ini menegaskan bahwa Palestina sebagai wilayah internasional. Kedua, Deklarasi Balfour 1917 yang menjadikan sebuah negara Yahudi di Palestina pada Gerakan Zionisme. Mulailah berdatangan imigran ke tanah Palestina pada tahun 19182. Dari skenario orang Yahudi menggalang kekuatan dari luar (Inggris dan Perancis), maka pada tahun 1936 mulailah gerakan Zionis di tanah Palestina yang mendapat dukungan dari Pemerintah Protektorat Inggris dalam memasukkan imigran Yahudi ke Palestina. Kemudian berdampak pada terjadinya konflik antara warga Palestina dan imigran tersebut yang pada akhirnya konflik tersebut dilimpahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian masalah ini dibahas di Forum Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 25 November 1947 dan menghasilkan resolusi PBB No. 181 yang isinya membagi dua tanah Palestina untuk Arab dan Yahudi serta memberi jangka waktu kekuasaan pemerintah Protektorat Inggris di tanah Palestina sampai bulan Agustus 19493. Resolusi PBB No. 181 menegaskan pembagian tanah Palestina jadi dua bagian yaitu 57% untuk Yahudi, 42% untuk Arab. Lalu pada tanggal 14 Mei 1949 David Ben Gurion mengumumkan secara resmi berdirinya negara Israel yang diakui oleh Amerika Serikat dan 1 Abd. Rahman Mustafha, Jejak-jejak Juang Palestina dari Oslo hingga Intifadah Al-Aqsha, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2002, Hal. Xxxi 2 Ibid 3 Ibid Uni Soviet, dan akhirnya Israel jadi anggota PBB. Resolusi PBB No 181 tersebut menjadi pemicu dimulainya Perang Arab-Israel I pada tahun 1948 yang berlanjut dengan pengungsian Rakyat Palestina ke negara-negara tetangganya secara besar-besaran yang disebut ”Pengungsi 1949” yang membentuk kamp-kamp pengungsi di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir. Seiring waktu berlalu perang terus berlangsung di Timur Tengah sebagai wujud penolakan negara Arab terhadap resolusi PBB No.181, dan Timur Tengah menjadi kawasan rawan konflik yang dilanda perang besar pada tahun 1956, 1967, 1973 melibatkan ArabIsrael dan pada tahun 1982 Israel-PLO (Palestine Liberation Organization/Organisasi Pembebasan Palestina) di Lebanon. Beberapa gerakan aliansi regional muncul untuk menolak resolusi PBB No.181 antara lain Republik Persatuan Arab, Front Timur, Front Pantang Menyerah yang merupakan gabungan beberapa negara Arab. Namun pada Perang Arab-Israel tahun 1967 memaksa negara Arab kalah terhadap Israel, yang kemudian terpaksa kekalahan Arab ini harus ditebus dengan penerimaan Resolusi PBB No.242 yang lebih menguntungkan Israel. Masalah yang tidak kalah rumitnya dalam konflik Israel-Palestina adalah perihal Jerusalem yang semakin rumit. Konflik Arab-Israel kerap kali melibatkan isu Jerusalem. Akibatnya, sentimen keagamaan sering digunakan sebagian kelompok untuk menjadikan Jerusalem sebagai entry point guna memperkisruh masalah; bahwa konflik Israel–Palestina bukan semata-mata masalah politik, tetapi juga masalah agama. Perspektif seperti ini secara nyata semakin menjauhkan impian perdamaian yang ada di Jerusalem. Jerusalem memiliki keunikan tersendiri. Berbeda dengan kota-kota lain di dunia ini. Satu hal yang membedakan adalah kota ini sangat penting artinya bagi tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Dan di kota inilah lahir dua agama besar: Yahudi dan Kristen. Selama ribuan tahun, orang datang ke kota itu untuk bertemu Tuhan. Berziarah. Dalam bahasa Ibrani, istilah untuk melakukan perjalanan ke Jerusalem dan Tanah Terjanji disebut ”aliyah” atau ”pendakian”. Secara fisik, jalan menuju Jerusalem memang mendaki. Jerusalem dibangun di perbukitan Yudea. Ribuan orang yang datang berziarah ke Jerusalem percaya bahwa kota itu adalah pintu gerbang menuju surga. Semua itu bisa terlihat di Tembok Ratapan, di Gereja Makam Kristus, di Masjid Al-Aqsha, dan di Dome of the Rock atau Masjid Kubah Batu. Perayahan atau aneksasi Jerusalem Timur oleh Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967 sering dianggap sebagai pemicu konflik mutakhir. Padahal, dari sisi Israel, keinginan untuk menjadikan Jerusalem sebagai ibukota sudah muncul ketika negara Yahudi ini lahir (Ini didasarkan pada pernyataan PM pertama Israel David Ben Gurion pada tanggal 5 Desember 1949). Hanya saja, pada saat itu Jerusalem masih terbagi dua, yakni Jerusalem Barat yang dikuasai Israel dan Jerusalem Timur yang dikuasai Jordania. Meski semua lembaga pemeritahan Israel ada di Jerusalem, mereka hanya ditempatkan di bagian barat kota. Namun, semenjak dirayah melalui Perang 1967, akhirnya bagian timur Jerusalem juga dikuasai oleh Israel, dan statusnya sebagai ibukota negara dikukuhkan dalam UUD Israel tahun 1980. Sementara pihak Palestina menganggap bahwa bagian timur kota itu adalah ibukota negara Palestina bila suatu hari hal itu bisa diwujudkan. Jadi jelas, bahwa niatan Israel untuk menjadikan seluruh Jerusalem sebagai ibukota Israel selama-lamanya tidak akan pernah bisa diterima oleh Palestina, dan juga tak pernah bisa diakui secara resmi oleh masyarakat internasional. Sebagai akibat tekanan yang juga dilancarkan oleh negara-negara Arab, kedutaan-kedutaan besar yang semula ada di Jerusalem pindah ke tempat lain, sebagian besar ke Tel Aviv, meskipun di Jerusalem masih ada konsulat-konsulat Jenderal4. Menurut Kesepakatan Oslo, status final Jerusalem harus ditentukan melalui perundingan damai. Tetapi, bagaimana bisa muncul perdamaian kalau selalu muncul kebijakan dan tindakan yang tak mengakomodasi kepentingan dan hak pihak lain. Ketika Israel membangun tembok pemisah wilayah antara Israel dan Palestina, tembok tersebut tidak berdiri di atas perbatasan tahun 1967, tetapi menjorok ke wilayah Palestina, dan secara tidak sah hal itu menyebabkan sekitar 200.000 warga Palestina kehilangan hak atas tanah dan air. Israel tidak peduli dengan itu semua, karena pada dasarnya ia tidak ingin mengembalikan perbatasan ke pra-1967, tetapi ke garis baru yang ia lihat bisa menjamin keamanan nasionalnya5. Dalam situasi ini, yang disesalkan adalah Dewan Keamanan PBB tidak punya kemampuan untuk memajukan perdamaian, sehingga harapan terakhir tinggal pada ”anaknya” yang terkuat, yakni - dalam istilah Jerry Adams dari Evaluation and Development Institute -, Amerika Serikat 6 . Dalam perjalanan waktu, pernah muncul Perjanjian Oslo tahun 1993, namun ternyata tak mampu mewujudkan perdamaian. Kedua pihak sudah aktif berkonflik kembali kurang dari satu dekade setelah menandatangani perjanjian. Meski harapan harus selalu dibuka, tetapi lagi-lagi harapan itu kembali pada status sebuah kota, yang tak lain adalah Jerusalem. Selama Jerusalem Timur tidak diserahkan 4 Trias Kuncahyono, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, Hal. xxxii. 5 Ibid 6 Ibid kepada pihak Muslim yang menganggap kota ini sangat penting bagi mereka, karena alasan agama, maka perdamaian abadi pasti sulit diwujudkan. Dalam sejarah politik Israel, mantan PM Ehud Barak-lah yang diketahui pernah menawarkan untuk merundingkan kontrol atas Jerusalem Timur, sementara pemimpin Israel lain, juga rakyat Israel umumnya, tidak pernah ingin melakukan hal itu. Kalau Barak kemudian tergusur dari pemerintahan dan digantikan oleh Ariel Sharon, sebagian alasannya adalah karena ia membuat tawaran untuk merundingkan Jerusalem Timur7. Persepsi kedua belah pihak tidak mampu dipertemukan. Pihak Palestina masih merasa bahwa kondisi kunci yang mereka anggap paling esensial bagi perdamaian abadi, tidak diberikan. Di pihak lain, warga Israel ikut marah, karena mereka diberi tahu bahwa sebagian besar kondisi kunci bagi perdamaian sudah ditawarkan kepada Palestina, tetapi Arafat masih menolak untuk berunding. Dari berbagai pengalaman yang ada tampak bahwa saling tidak percaya antara kedua pihak selalu tinggi. Boleh jadi konflik selama setengah abad telah membuat hal tersebut menumpuk secara akumulatif. Masing-masing berpandangan, bahwa sikap pihak lain tidak tulus. Ini jelas menimbulkan frustrasi, tidak saja bagi kedua belah pihak yang bermusuhan, tetapi juga bagi kalangan internasional yang ingin melihat perdamaian berdiri kokoh di Timur Tengah. Alasan bagi didambakannya perdamaian abadi di kawasan ini adalah bahwa bagaimana pun juga Timur Tengah terus berpotensi jadi pemicu konflik lebih luas bila konflik Israel-Palestina tidak dapat segera dituntaskan. Namun, di pihak lain kita juga melihat, berdasarkan tuntutan masing-masing pihak, baik menyangkut Jerusalem, pengembalian 7 Ibid pengungsi, dan lainnya, kita melihat betapa sulitnya bisa menemukan perdamaian bagi kedua belah pihak. Bahkan ketika kalangan moderat bisa menggolkan prakarsa damai, lalu kesepakatan dicapai, tak lama kemudian ekstremis segera beraksi untuk melawannya, tak jarang dengan cara-cara kekerasan. Dari pemaparan di atas terlihat jelas bahwa Jerusalem yang merupakan simbol atas banyak hal tak ayal lagi berada di jantung konflik, yang penyelesaiannya sangat rumit. Dari masalah Jerusalem ini pula kita bisa melihat, seberapa jauh ia menjadi bagian yang membuat perdamaian menyeluruh Timur Tengah lebih sulit atau lebih mudah diwujudkan. Sejauh ini, kesan yang muncul adalah Israel ingin menerapkan prinsip the winner takes all, karena yang muncul justru Israel ingin terus meluaskan wilayah ke wilayah Palestina. Berdasarkan beberapa uraian fakta di atas, maka dalam penelitian ini, Penulis mengambil judul: “Arti Penting Jerusalem dalam konflik Arab - Israel” B. Batasan dan Rumusan Masalah Mengkaji masalah Timur Tengah memiliki cakupan yang sangat luas maka permasalahan dikhususkan pada arti penting Jerusalem dalam Konflik Arab-Israel. Yang selanjutnya dalam skripsi ini Arab yang dimaksud adalah Palestina. Konflik dan sengketa antara Israel dan Palestina hingga kini masih terus berlanjut. Bahkan keadaan semakin rumit dengan dibangunnya tembok pemisah yang didirikan oleh Israel secara illegal dan telah melanggar batas-batas wilayah Palestina. Israel masih dengan ciri khas kolonialisme bertindak di luar dugaan dengan membangun tembok tersebut dan dengan kekuatan lobinya menjadikan masalah ini hanya sebagai masalah politik yang sangat jauh dari konsekuensi hukum dan berada jauh di luar jangkauan lembaga hukum internasional. Untuk memberikan pemahaman yang jelas melalui penjabaran yang lebih sistematis dan terarah dari penulisan skripsi ini agar tidak terlalu luas, maka perlu adanya penegasan tentang masalah dan penjelasan mengenai beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan dalam kajian ini. Dalam hal ini Penulis memberikan batasan seputar arti penting Jerusalem dalam perebutan wilayah Israel–Palestina dan peranan PBB sebagai lembaga internasional dalam menyelesaikan konflik tersebut. Berdasarkan pada batasan yang telah diberikan dan untuk menghindari kesimpangsiuran, maka Penulis akan mengemukakan masalah-masalah pokok yang dapat dijadikan batas dan dirumuskan ke dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana sejarah, status, dan posisi strategis Jerusalem dalam konflik yang melibatkan Arab – Israel? 2. Apa saja usaha dan resolusi yang dilakukan oleh PBB untuk menangani konflik antara Arab dan Israel dalam memperebutkan kota Jerusalem? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui dan menjelaskan sejarah, status, dan arti penting Jerusalem dalam konflik Arab – Israel. b. Untuk mengetahui dan menjelaskan usaha dan resolusi yang dalam menangani konflik Arab – Israel yang dilakukan oleh PBB memperebutkan kota Jerusalem. 2. Kegunaan Penelitian a. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan pembuat keputusan dalam upaya mewujudkan stabilitas dan para keamanan regional maupun global. b. Dapat dijadikan sebagai referensi dalam mengkaji aspek-aspek politik di Timur Tengah dan juga menjadi masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi studi Kawasan Timur Tengah Ilmu Hubungan Internasional. c. Sebagai wadah pengembangan wawasan keilmuan pengetahuan yang serba terbatas pada objek penelitian ini. Juga sebagai bahan informasi faktual yang bersifat empiris, yang pada dan penerapan diharapkan gilirannya dapat bermanfaat bagi penelitian serupa. D. Kerangka Konseptual Dalam melakukan sebuah penelitian ilmiah dibutuhkan seperangkat teori dan konsep sebagai alat analisis untuk membahas masalah-masalah yang akan diteliti, serta sebagai bahan acuan dan pijakan dasar dalam penelitian. Dan tentunya teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan memiliki kaitan dan relevansi terhadap permasalahan yang akan diteliti. Untuk memahami lebih jauh tentang upaya penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun dan masih juga tak menandakan ke arah perdamaian, maka konsep “konflik” harus dipahami secara jelas. Konflik sebagaimana yang dikemukakan oleh Dahlan Nasution: “Konflik merupakan persaingan, apakah lugas, semu atau masih sesuatu yang bersifat potensi, adalah suatu hal yang normal dalam hubungan antar negara bermula dari perkembangan sistem Negara kebangsaan”8. 8 Dahlan Nasution, Politik Internasional: Konsep dan Teori, Jakarta, CV. Remaja Karya, 1991, Hal. 53 yang Sedangkan menurut Holsti: “Konflik merupakan akibat pertentangan antara tuntutan yang dimiliki Negara A dengan Negara B lainnya”9. Holsti sendiri mengkaji konflik berdasarkan 4 komponen, yaitu10 : 1) pihak bertikai (parties), 2) bidang sengketa (issue field), 3) sikap (tension), dan 4) tindakan (action). Untuk penyelesaian konflik, maka hal yang pertama-tama harus dilakukan adalah dengan menanggulangi penyebabnya atau akar permasalahan yang memicu timbul dan berkembangnya konflik itu. Hal seperti ini yang dilakukan oleh T. May Rudi : “Jangankan untuk konflik internal yang pada hakikatnya berlangsung di antara orang-orang atau pihak yang sebangsa dan se-tanah air, untuk konflik internasional pun sebaiknya konflik itu diselesaikan dengan menanggulangi penyebabnya atau akar permasalahan yang memicu timbul dan berkembangnya 11 konflik itu” . Terjadinya konflik antara dua Negara atau lebih, dianggap tak terlepas dari motivasi pemenuhan kepentingan nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Coulumbus dan Wolfe dalam menjelaskan alasan keterlibatan Negara dalam Hubungan Internasional, yaitu mencapai kepentingan nasional : “Konsep kepentingan nasional tetap sangat penting bagi setiap usaha untuk menerangkan, menjelaskan, atau membuat preskripsi mengenai perilaku internasional mengenai perilaku internasional. Para penstudi dan praktisi Hubungan Internasional dengan suara bulat sepakat bahwa justifikasi utama tindakan Negara adalah kepentingan nasional12. 9 K. J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, Bandung, Bina Cipta, 1992, Hal.67. 10 Ibid, hal 170 – 174 (jilid 1) 11 T. May Rudi, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional pasca Perang Dingin, Jakarta, PT Refika Aditama, 2002, Hal. 347. 12 Theodore Coulumbus dan James H. Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung, Penerbit Abardin, 1990, Hal. 107. Suatu negara dalam melakukan interaksi dengan negara lain pasti memiliki tujuan dan sasaran. Faktor keselamatan dan keamanan nasional adalah vital bagi suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Dalam rangka pencapaian tujuan nasional tersebut, suatu negara memerlukan suatu strategi atau rencana yang dibentuk oleh para decision-maker dalam menghadapi negara lain yang disebut dengan kebijakan luar negeri (foreign policy) dalam perspektif kepentingan nasionalnya. Menurut Rosseau, kebijakan luar negeri adalah : “Semua sikap dan aktivitas yang melalui itu masyarakat yang terorganisasi berusaha untuk menguasai dan mengambil keuntungan dari lingkungan nasional”13. Dan menurut Holsti, kebijakan luar negeri adalah : “Sebagai tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut serta berbagai kondisi internal yang menopang formulasi tindakan tersebut”14. Dalam sistem internasional, pola interaksi yang terjalin di antara negara-negara melalui praktik-praktik diplomasi pada umumnya juga dilandasi oleh adanya kepentingankepentingan tertentu yang ingin dicapai oleh setiap negara. Masing-masing negara dalam sistem internasional berkewajiban memberikan tanggapannya atas situasi dan berbagai tujuan nasional yang diinginkan sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Dalam dunia internasional, tujuan yang ingin dicapai dikenal dengan kepentingan nasional. Berikut beberapa definisi mengenai konsep kepentingan nasional. Menurut Paul Seabury yang dikutip oleh K.J Holsti : “Kepentingan nasional pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan luar negeri dengan menggunakan pengaruh di luar negeri dan dengan mengubah atau mendukung sikap negara lain”15. 13 Rudy May, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung : Refika Aditama, 2002, hal. 27. 14 Ibid, hal. 30. 15 K. J. Holsti, Politik Internasional : Kerangka untuk Analisa, Jakarta : Erlangga, 1988, hal. 31. Sedangkan menurut pendapat Hans J Morgenthau : “Kepentingan nasional sebagai penggunaan kekuasaan secara bijaksana untuk menjaga berbagai kepentingan yang dianggap vital bagi kelestarian negara-bangsa. Itu berarti “mengejar kekuasaan”, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan “pengendalian” suatu negara atau negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksan maupun kerjasama”16. Jika teori ini dikaitkan dengan kebijakan luar negeri Israel, maka dapat dilihat bahwa sejak dulu Israel bersikap intimidatif terhadap negara-negara yang dapat menghalangi tujuan dan kepentingan nasionalnya, seperti terhadap Palestina, Irak, maupun negara-negara lain di Timur Tengah. Sedangkan terhadap Amerika Serikat, Israel berupaya menjalin hubungan yang baik utamanya dengan orang-orang yang berperan di gedung putih selaku pengambil keputusan, yang semuanya itu dilakukan guna melancarkan strategi Israel di Timur Tengah. Terjadinya hubungan antar negara baik itu bersifat damai maupun konflik didasari atas kelebihan atau kekurangan sumber daya nasional atau kekuatan nasional sebuah negara. Dengan kata lain keberhasilan suatu negara mencapai kepentingan nasionalnya tidak terlepas dari kekuatan nasional yang dimilikinya. Konflik umumnya disebabkan oleh pertentangan dalam pencapaian tujuan tertentu seperti perluasan atau mempertahankan wilayah territorial, keamanan, semangat, kemudahan jalur menuju daerah pemasaran, prestise, persetujuan, revolusi dunia, penggulingan pemerintahan Negara yang tidak bersahabat, mengubah prosedur dalam organisasi PBB, dan lain-lain. Dalam usaha mempertahankan atau mencapai tujuan tersebut, tuntutan, tindakan, atau keduanya akan berlangsung dan bertentangan dengan kepentingan serta tujuan Negara lainnya17. Konflik mencakup tindakan diplomatik, propaganda, perdagangan, atau ancaman dan sanksi militer yang dilakukan salah satu Negara terhadap Negara lainnya. Krisis merupakan erupsi mendadak yang merupakan peristiwa tidak diharapkan yang tidak disebabkan oleh 16 17 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin & Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hal.21. Dr. Shahak, Israel : Jewish History, Jewish Religion, London : Pluto Press, 1994. konflik yang berlangsung sebelumnya. Berdasarkan definisi konflik tersebut, pada dasarnya berbagai situasi yang diklasifikasikan sebagai konflik bisa dihilangkan18. Resolusi konflik dapat diartikan sebagai penyelesaian konflik (Conflict Resolution) adalah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Penyelesaian konflik didasarkan atas adanya perubahan pandangan dari salah satu atau semua pihak yang terrlibat konflik sehingga tidak ada lagi pertentangan antara mereka. Sulitnya menyelesaikan konflik diperlukan secara mutlak untuk mencegah : Pertama, semakin mendalamnya konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang berkonflik. Kedua, semakin meluasnya konflik yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik 19 . Prasyarat di atas menjadi penting karena bila penyelesaian konflik tidak kunjung dapat dicapai dan diselesaikan, maka biasanya konflik yang terjadi dapat berkembang semakin mendalam dan meluas sehingga akan berdampak lebih luas lagi. Penyelesaian konflik mutlak diperlukan dalam hal ini, karena bila tidak ditemukan cara penyelesaian konflik secara efektif, konflik dapat menyebabkan ancaman disintegrasi baik sosial maupun politik. Mengenai cara penyelesaian konflik atau krisis ini dibedakan antara “hasil” atau “penyelesaian” masalah dengan prosedur perundingan diplomatik resmi. “Hasil” atau “penyelesaian” berarti setiap bentuk akhir akibat dari konflik, tidak mempermasalahkan bagaimana akibat akhir itu diperoleh. Sedangkan “prosedur” ialah barisan berbagai bentuk kompromi. Kompromi merupakan salah satu dari enam kemungkinan “hasil” atau “penyelesaian” konflik. Lima kemungkinan lainnya ialah penolakan atau menghindarkan kembali tuntutan atau tindakan,penaklukan dengan kekerasan, penangkalan yang efektif atau 18 19 Peter Beyer, Religion and Globalization, London : Phoenix, 2004. Maswadi Rauf, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000, hal. 8-9 “tunduk”, penyelesaian melalui pihak ketiga (award) dan penyelesaian sengketa secara damai20. Salah satu akibat dari konflik atau krisis internasional adalah berbagai bentuk kompromi yang disepakati oleh pihak yang bersengketa. Kesepakatan itu mencakup penarikan kembali sasaran yang telah ditetapkan, kedudukan yang telah diperoleh, tuntutan yang telah dikemukakan, maupun tindakan yang telah dilakukan. Penarikan prakarsa tersebut harus dilakukan secara sistematis di antara yang bersengketa. Setiap penyelesaian konflik atau krisis internasional yang menuntut pengorbanan dari posisi yang telah diraih oleh yang bersengketa disebut kompromi, meskipun sebenarnya salah satu pihak memperoleh kedudukan yang lebih baik dalam perundingan yang diselenggarakan untuk memperoleh bentuk kompromi yang dikehendaki. Masalah utama dalam mempersiapkan penyelesaian masalah untuk mencapai kompromi ialah bagaimana meyakinkan pihak yang bersengketa untuk menyadari resiko agar tetap mempertahankan atau melanjutkan konflik di antara mereka jauh lebih besar dibandingkan resiko untuk melakukan penurunan tuntutan atau menarik mundur posisi militer dan hubungan diplomatik21. Akibat yang agak sulit dari penyelesaian konflik atau krisis internasional berdasarkan kompromi ialah penyelesaian melalui pihak ketiga (award). Dalam situasi seperti ini pihak lawan sepakat menerima penyelesaian yang dilakukan melalui prosedur tanpa perundingan (non bargaining). Award merupakan keputusan mengikat yang dipengaruhi oleh pihak ketiga 20 Bernard Lewis, The Crisis of Islam, London : Phoenix, 2004. 21 Bernard Lewis, Islam and The West New York, London : Oxford University Press, 1993. yang bersikap netral atau kriteria tertentu, yang diberi kepercayaan untuk menentukan bentuk penyelesaian22. Menurut Maswadi Rauf, ada dua pendekatan dalam penyelesaian konflik, yaitu pendekatan persuasif (Persuasive) dan pendekatan kekerasan atau koersif (Coersif). Pendekatan persuasif dapat dilakukan dengan mengambil jalur perundingan dan musyawarah untuk mencari titik temu antara pihak yang berkonflik. Dalam hal ini, pihak yang melakukan konflik dapat melakukan perundingan antara kedua belah pihak saja, namun sangat jarang terjadi dalam penyelesaian konflik politik. Penyelesaian konflik dalam perundingan membutuhkan pihak ketiga sebagai mediator atau juru damai. Dalam penyelesaian konflik dengan musyawarah atau perundingan adalah dengan adanya perubahan-perubahan dari salah satu pihak yang terlibat sehingga perbedaan antara pihak yang berkonflik dapat diminimalisir atau dihilangkan. Pendekatan persuasif atau koersif memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan penyelesaian secara persuasif menurut Maswadi Rauf, yaitu : Dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, sehingga sangat kecil sekali kemungkinan konflik berlanjut antara pihak yang berkonflik di masa yang akan datang. Pendekatan persuasif dalam penyelesaian konflik lebih bersifat manusiawi karena lebih sesuai dengan sifat-sifat manusia. Pendekatan persuasif merupakan keterampilan dalam menyelesaikan konflik yang menjadi tuntutan demokrasi. 22 William G.Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1993 Pendekatan persuasif juga memiliki kelemahan, karena pendekatan ini memerlukan tenaga dan waktu yang lama untuk mencapai hasil. Disamping itu, juga dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam bermusyawarah karena akan menyebabkan pembicaraan yang meluas. Sementara itu, pendekatan secara koersif dengan menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Dalam pendekatan koersif, kekerasan fisik menjadi suatu pilihan yang penting dengan penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh pihak lain. Tentunya pendekatan ini berdampak secara fisik pula terhadap masyarakat, karena akan menimbulkan rasa takut di pihak yang akan dikenai yang berpengaruh secara mental terhadap tingkah lakunya 23 . Penyelesaian konflik yang terjadi dengan terciptanya titik semu karena pihak yang lemah yang menerima ancaman kekerasan fisik dengan menggunakan kekerasan fisik pula terpaksa menerima pendapat dari pihak yang lebih kuat. Kelemahan dalam pendekatan ini adalah : Akan menghasilkan penyelesaian konflik dengan kualitas yang rendah karena konflik yang terjadi sebenarnya belum selesai secara tuntas. Penyelesaian secara koersif akan memunculkan potensi bagi munculnya kembali konflik yang lebih hebat di masa-masa yang akan datang. Cara yang kurang manusiawi dengan menggunakan kekerasan fisik dan penghilangan nyawa sebagai tindakan yang dianggap legal dalam menyelesaikan konflik. 23 Ibid, hal. 12 Maswadi Rauf juga mengatakan bahwa pendekatan ini memiliki beberapa kelebihan. Pendekatan secara koersif dianggap sebagai pendekatan yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan konflik24. Oleh karena itu, terlepas dari kelemahan dari pendekatan persuasif, namun pendekatan persuasif dapat disebut sebagai pendekatan penyelesaian konflik dengan cara ideal dibandingkan penyelesaian konflik secara koersif, Pendekatan persuasif juga dapat disebut sebagai penyelesaian konflik yang dapat menghasilkan conflict resolution yang lebih tinggi kualitasnya dibandingkan pendekatan koersif. Sementara itu, Geertz menyatakan bahwa dalam menyelesaikan konflik politik sangat berkaitan dengan ikatan primordial yang telah berkembang menjadi ikatan politik. Konflik politik di negara-negara baru menghasilkan gangguan terhadap stabilitas politik. Gangguan terhadap stabilitas dianggap sangat penting dan sangat serius akibat adanya konflik politik yang berlangsung sangat lama, tanpa adanya penyelesaian secara politik pula. Menurut Geertz, perlunya dipergunakan pendekatan koersif, dengan kekerasan jika konflik politik sulit diselesaikan secara damai. Cara-cara damai menurut Geertz sangatlah sulit dilakukan akibat telah menguatnya ikatan primordial yang menyebabkan menguatkan kesetiaan politik sehingga sulitnya ditempuh kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik. Pilihan terakhir dalam penyelesaian konflik dengan perang saudara yang berakhir dengan kekalahan salah satu pihak. Konflik politik dapat diselesaikan dengan kekerasan meskipun akhirnya mengorbankan jiwa dan harta benda. Konflik politik dengan penyelesaian seperti ini akan terjadi setelah salah satu pihak menyerah atau kalah. 24 Ibid, hal. 13 Menurut Maswadi Rauf terdapat tiga cara dalam melakukan resolusi konflik, pertama melalui pemilu, Kedua, Musyawarah atau kompromi, dan ketiga, adalah Pemungutan suara atau voting sebagai pencapaian resolusi. Menurut Dennis Sandole, terdapat tiga pilar pemetaan secara komprehensif dari konflik dan resolusi konflik 25 , Pertama elemen-elemen konflik. Konflik menurut Sandole dibagi menjadi tiga yaitu konflik laten, manifest tanpa kekerasan, dan manifest dengan konflik kekerasan. Untuk mengidentifikasikan elemen konflik terdiri dari pihak atau kelompok yang bertikai, Apa yang menjadi masalahnya, apa tujuan-tujuannya, Apa artinya, Konflik berdarah atau tidak, kekerasan atau tidak, apa orientasi dari penanganan konflik, Dan apa kondisi/lingkungan dari konflik itu. Kedua, pilar penyebab konflik dan kondisinya. Sandole mengatakan terdapat 4 level yang berbeda, antara lain: perorangan, sosial masyarakat, internasional, dan global. Pendekatan resolusi dilakukan dengan mencari tahu faktor yang mendorong terjadinya konflik serta mengembangkan suatu “skenario” yang mendorong terciptanya dampak skenario kasus yang terburuk dan skenario yang terbaik. Ketiga, pilar intervensi konflik oleh pihak ketiga. Sandole menjelaskan perlu adanya intervensi konflik oleh pihak ketiga dengan tujuan dari pihak ketiga adalah mencegah konflik kekerasan, manajemen konflik kekerasan, penyelesaian konflik kekerasan, resolusi konflik kekerasan, dan tranformasi konflik kekerasan. Dalam hal ini menurut Sandole, maksud-maksud pihak ketiga untuk mencapai tujuannya yaitu konfrontasi atau kolaborasi, “damai negatif” atau “damai positif” dan maksud ketiga adalah melacak sendiri atau melacak bersama-sama. dalam tahap pilar ketiga ini, 25 Paper dalam Peace Education di Indonesia, Asia Institute of Management Conference Center, Manila, Philippines, August 26-30, 2003. materi ini juga bisa di download melalui internet dengan alamat www.gmu.edu/academic/ps/sandole . (diakses pada tanggal 16 0ktober 2010). dengan membuat strategi untuk mengatasi skenario-skenario dengan menyelesaikan masalah yang terburuk dan mendukung penyelesaian skenario yang terbaik. E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini Penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif analitik, yang bersifat menggambarkan secara jelas dan terperinci terhadap masalah yang diteliti, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisikondisi yang ada di lapangan terkait arti penting Jerusalem dalam konflik Arab– Israel. Penganalisaan data-data yang diperoleh lebih bercorak ”analisa isi” (content analysis), dimana analisa yang dilakukan adalah mengulas isi bahan atau data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data di atas. Juga konsultasi dengan para konsultan atau dosen pembimbing. 2. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi pustaka (Library Research) dengan cara mengumpulkan berbagai materi yang berkaitan dengan judul penelitian ini dari berbagai sumber yang berupa buku-buku, dokumendokumen, surat kabar, jurnal ilmiah, majalah, dan situs internet yang memiliki kaitan erat dengan pokok permasalahan yang diselesaikan. Adapun tempat-tempat yang menyediakan berbagai sumber di atas, yaitu : 1. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar ; 2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin di Makassar ; 3. Perpustakaan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) Fisip Universitas Hasanuddin di Makassar ; 4. Perpustakaan Wilayah di Makassar. 3. Jenis Data Data yang ada merupakan data sekunder karena diperoleh melalui studi kepustakaaan (Library Research), baik berupa buku, jurnal, dokumen, majalah, dan makalah, serta data-data yang berasal dari internet. 4. Teknik Analisis Data Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dalam menganalisis data yang ada dengan maksud untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai arti penting Jerusalem dalam konflik Arab–Israel. Berdasarkan hasil analisis data ini, maka Penulis selanjutnya dapat memberikan saran-saran terkait konflik yang terjadi antara Israel dan negaranegara Arab, dalam hal ini Palestina, utamanya mengenai status kota Jerusalem. 5. Metode Penulisan Metode penulisan yang Penulis gunakan dalam hal ini adalah metode penulisan deduktif, yakni sebelum melakukan analisa terhadap masalah utama, maka pertama-tama Penulis terlebih dahulu menjelaskan hal-hal yang bersifat umum, kemudian mengambil kesimpulan secara khusus. Adapun masalah yang bersifat umum adalah penggambaran persoalan Israel–Palestina dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik sepanjang sejarah untuk mewujudkan kemerdekaan negara Palestina. Kemudian mengaitkan dengan halhal yang bersifat khusus, utamanya mengenai status dan arti Penting kota Jerusalem dalam konflik Israel-Palestina. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Tentang Konflik Manusia tidak akan pernah dapat dipisahkan dari konflik. Perkembangan konflik seolah-olah berkembang bersama-sama dengan manusia itu sendiri. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain. Interaksi yang tercipta ini tidak selamanya bersifat positif, ada kalanya benturan terjadi baik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok. Hal yang melatarbelakangi timbulnya konflik yang paling umum terjadi yaitu kepentingan. Dalam lingkup yang lebih besar, misalnya pada level negara juga terdapat kepentingan yang disebut dengan kepentingan nasional sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh suatu Negara. Tujuan itu sendiri adalah “Gambaran dari keadaan masa depan dan kondisi yang ingin diwujudkan melalui pembuatan kebijakan luar negeri” 26 . Tujuan itu dapat dikategorikan ke dalam27: Tujuan jangka pendek atau nilai inti, dimana eksistensi pemerintah dan bangsa harus dilindungi, diperluas sepanjang waktu, dan memerlukan pengorbanan yang maksimal. 26 K.J. Holsti, Politik Internasional : Kerangka Untuk Analisa (Edisi keempat jilid 2), Jakarta : Erlangga, 1988, hal. 137. 27 Ibid, hal. 141 - 147. Tujuan menengah, biasanya memaksakan tuntutan pada negara lain guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan perbaikan ekonomi, meningkatkan prestise negara, mencakup perluasan diri atau imperialisme. Tujuan jangka panjang, yang merupakan rencana, impian, harapan dan pandangan waktu yang tidak pasti. Kepentingan nasional merupakan tujuan dari interaksi negara dalam hubungan internasionalnya. Dalam pencapaiannya, terjadi interaksi dengan negara lain yang juga memiliki kepentingan nasionalnya sendiri. Hasil dari interaksi ini dapat menghasilkan dua pola interaksi. Yang pertama yaitu kerjasama, hal ini terjadi jika benturan kepentingan yang konstruktif. Akan tetapi, tidak jarang, yang terjadi lebih bersifat destruktif, hal inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik antar negara. Bentuk konflik menurut Holsti : “Konflik yang cenderung mengarah kepada kekerasan yang terorganisir sebagai akibat dari posisi yang saling bertentangan, sikap saling bermusuhan dan tindakan militer atau diplomatik dari beberapa kelompok tertentu atas suatu masalah. Penyebabnya adalah perbedaan pendirian antar kelompok. Termasuk posisi yang mereka ingin capai. Tingkah laku konflik dalam bentuk sikap maupun tindakan akan terjadi apabila kelompok A menempati posisi yang bertentangan dengan kelompok B lainnya”28. Dalam konteks internasional, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melihat timbulnya kekerasan yang terorganisir atau unsur-unsur timbulnya konflik, yaitu29 : Pihak bertikai (parties). Biasanya dalam konflik internasional (tetapi tidak mutlak) adalah pemerintah negara-bangsa ; Bidang sengketa (issue fields), bisa berbentuk : konflik wilayah terbatas, konflik oposisi pemerintah, konflik pemerintah, konflik, kehormatan nasional, konflik imperialisme regional, konflik pembebasan, dll ; 28 Ibid, hal. 17 29 Ibid, hal. 170-174 Sikap (tension), yang berbentuk seperti : ketidakpercayaan, kecurigaan, eskalasi issu, perasaan mendesak, merasa alternatif tindakan tidak banyak terbuka bagi mereka sendiri daripada bagi musuh, merasa krisis, persepsi ancaman lebih menonjol ; Tindakan (action), yang diambil bisa mulai dari protes, penolakan atau penyangkalan tuduhan, menarik duta besar, melakukan ancaman, pemboikotan, embargo ekonomi (terbatas atau total), propaganda (di dalam dan di luar negeri), pemutusan hubungan diplomatik, melakukan gangguan atau penutupan perjalanan dan komunikasi antara para warga negara yang bermusuhan, tindakan militer tanpa kekerasan seperti halnya latihan militer, pembatalan cuti, mobilisasi (sebagian atau penuh), pemblokadean formal, sampai pada perang. Menurut Holsti, konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina dikategorikan sebagai “konflik wilayah terbatas”, yaitu dimana terdapat pandangan yang tidak cocok dengan acuan pada pemilikan suatu bagian khusus wilayah atau pada hak-hak yang dinikmati oleh suatu negara di atau dekat wilayah negara lain. Usaha untuk memperoleh perbatasan yang lebih aman, seperti penaklukan Israel atas Dataran Tinggi Golan dan Semenanjung Sinai pada 1967, cukup lazim. Isu kedaulatan atas minoritas etnis sering berhubungan dengan klaim suatu negara untuk mengendalikan wilayah yang dikuasai oleh pihak lain, dan arena itu, juga dikategorikan dalam konflik wilayah terbatas30. Menurut Miall, Konsep konflik secara umum dijelaskan sebagai berikut : “Konflik adalah pengejaran tujuan saling bertentangan dari kelompok-kelompok yang berbeda. Ini menunjukan rentangan waktu yang lebih luas dan kelas perjuangan yang lebih besar dibandingkan dengan konflik bersenjata, entah itu diikuti oleh sarana perdamaian ataupun dengan menggunakan kekuatan”31. Menurut Sholihan, terdapat perbedaan antara konflik dengan kekerasan : “Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang bertentangan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, kata-kata dan sikap, struktur atau sistem yang mengakibatkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan dan atau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya. Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak dapat 30 31 Ibid, hal. 174. Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer : Menyelesaikan, mencegah, mengelola dan mengubah konflik bersumber politik, agama dan ras, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 28-29. dielakkan, dan seringkali bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika orang mengejar sasaran yang bertentangan”32. Lebih lanjut Sholihan menjelaskan bahwa suatu konflik yang ditekan akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Konflik sendiri dapat dipandang sebagai masalah dan dapat pula dipandang sebagai solusi. Konflik dapat menjadi kekerasan apabila33 : Terdapat saluran yang tidak tepat untuk melakukan dialog dan ketidaksepakatan; Suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan yang ada tidak dapat didengar atau dibahas; Terjadi ketidakstabilan, ketidakadilan, dan ketakutan dalam komunitas dan masyarakat yang luas. Mengenai penyelesaian konflik, Holsti berpandangan bahwa konflik dapat diselesaikan melalui berbagai cara. Ada 6 cara yang dapat ditempuh guna menyelesaikan konflik, yaitu34 : 1. Melakukan penarikan tuntutan. Penyelesaiannya adalah salah satu atau kedua belah pihak menahan diri untuk tidak melakukan tindakan fisik atau mendesak perundingan memenuhi tuntutan, atau menghentikan tindakan yang pada dasarnya akan menyebabkan tindakan balasan yang bermusuhan. Intinya adalah salah satu pihak mengakhiri klaim atau tuntutan dan pihak lain menerima ; 2. Penaklukan. Akhir penaklukan dengan kekerasan tetap mencakup berbagai persetujuan dan perundingan di antara negara-negara yang bermusuhan ; 3. Tunduk atau membentuk deterrence (penangkalan). Kriteria yang dipakai untuk membedakan kepatuhan atau penangkalan dari penaklukan ialah ada atau tidaknya implementasi ancaman untuk memakai kekerasan ; 32 M. Mukhsin Jamil, dkk, Mengelola Konflik : Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, Semarang : WMC (Walisongo Mediasi Centre), 2007, hal. 6. 33 34 Ibid, hal.10. Holsti, dalam T. May Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global, Bandung : Refika Aditama, 2003, hal.77-78. 4. Kompromi. Yaitu penyelesaian konflik atau krisis internasional yang menuntut pengorbanan dari posisi yang telah diraih oleh pihak yang bersengketa. Masalah utama dalam mencapai kompromi adalah bagaimana meyakinkan pihak yang bersengketa untuk menyadari bahwa resiko untuk tetap mempertahankan atau melanjutkan konflik diantara mereka jauh lebih besar dibanding resiko untuk melakukan penurunan tuntutan atau menarik mundur posisi militer atau diplomatik ; 5. Penyelesaian melalui pihak ketiga. Akibat yang agak rumit dari penyelesaian konflik atau krisis internasional berdasarkan kompromi ialah melalui pihak ketiga. Bentuk penyelesaian seperti ini mencakup penyerahan persetujuan dan itikad untuk menyelesaikan masalah berdasarkan berbagai kriteria keadilan ; 6. Penyelesaian secara damai. Penyelesaian melalui cara damai (perundingan, konsiliasi, dll) sehingga masing-masing pihak yang bersengketa secara perlahan dapat menerima posisi yang baru. Dalam penyelesaian konflik, tidak jarang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Peran dan tugas mediator sangat rumit, dan prakarsa serta strategi perundingan yang diterima oleh mediator bervariasi dari kasus ke kasus. Menurut Young, peran dan fungsi yang mungkin dimainkan oleh mediator dalam membantu penyelesaian konflik, yaitu35 : I. Tindakan yang diambil untuk membantu memulai atau meneruskan pembicaraan bilateral, atau membantu melaksanakan persetujuan yang telah dicapai. Di sini, pihak ketiga tidak menjadi terlibat dalam perundingan pokok. Jasa baik. Mengacu pada prosedur yang merupakan sarana bagi pihak ketiga untuk bertindak sebagai saluran komunikasi di antara para lawan, dengan menyampaikan pesan di antara mereka. 35 Oran Young dalam K.J. Holsti, Politik Internasional ; Kerangka Untuk Analisis (Edisi keempat jilid 2), Jakarta : Erlangga, 1988, hal. 192-194. Sumber data. Peran ini meliputi pemberian informasi yang relevan kepada para pihak yang bertikai mengenai karakter yang tidak menyimpang. Interposisi. Tindakan ini diilustrasikan oleh pengiriman Pasukan Cepat PBB ke Timur Tengah setelah perang Arab-Israel 1973, dirancang untuk menempatkan kekuatan militer di antara para pihak yang telah menggunakan kekerasan dan untuk mengawasi penarikan kekuatan musuh dari kawasan yang diperebutkan. Pengawasan. Jasa ini datang setelah para pihak yang terlibat merundingkan perjanjian gencatan senjata pendahuluan. II. Perundingan melalui pihak ketiga selama negoisasi antara dua pihak yang berselisih atau lebih. Persuasi. Melibatkan upaya untuk terus mengusahakan negoisasi dan untuk membujuk para lawan untuk melangkah maju. Enunsiasi. Tugas ini meliputi penjelasan isu di sekitar konflik. Mediator menjelaskan pengertian mereka mengenai isu yang terlibat, dan mengemukakan prinsip dasar, prosedur, dan mekanisme yang mungkin digunakan dalam perundingan resmi. Elaborasi dan inisiasi. Di sini, para mediator menjadi terlibat aktif dalam perundingan dengan membantu merumuskan kepentingan bersama dan saling melengkapi, dan mengajukan, atas prakarsa mereka sendiri usul-usul substantif untuk menyelesaikan konflik. Partisipasi. Kadang-kadang para mediator sebenarnya menjadi salah satu pihak utama dalam perundingan. Perdamaian menjadi kajian spesifik yang mencoba menanggulangi permasalahan kekerasan. Menurut Susan, ada tiga konsep perdamaian, yaitu36: 1. Perdamaian Positif (Positive Peace) 36 Novri Susan, Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 119-123. Perdamaian tidak hanya berkaitan dengan usaha mereduksi kekerasan langsung, tetapi juga pada pengembangan-pengembangan vertikal sosial yang bertanggung jawab terhadap hubungan hierarkis di antara masyarakat. Berdasarkan pada pemahaman dasar dari kondisi-kondisi sosial, cara menghapus kekerasan struktural melampaui tiadanya kekerasan langsung. 2. Perdamaian Negatif (Negative Peace) Berfokus pada tidak adanya kekerasan langsung seperti perang. Pencegahan dan eliminasi penggunaan kekerasan membutuhkan pemecahan perbedaan melalui negoisasi atau mediasi daripada kekerasan fisik.. Konsep Perdamaian Negatif ini berpandangan bahwa perdamaian ditemukan kapanpun ketika tidak ada perang atau bentuk-bentuk kekerasan langsung yang terorganisir. 3. Perdamaian menyeluruh Merupakan kombinasi dari perdamaian positif dan perdamaian negatif. Pandangan dari perdamaian menyeluruh adalah usaha mengontrol dan mengelola kehidupan secara kontinu dengan mereduksi seluruhnya bentuk-bentuk yang sederhana. Sedangkan menurut Steans dan Pettiford, perdamaian dalam perspektif berbeda memiliki definisi atau konsep yang berbeda pula. Menurut kaum Realis, perdamaian dipandang secara negatif. Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa perdamaian merupakan kondisi yang ditandai dengan ketiadaan perang. Para penganut paham ini memusatkan perhatian pada kondisikondisi yang diperlukan untuk mencegah peperangan37. Sedangkan para penganut paham Liberal memiliki pandangan yang berbeda, kaum Liberal telah mengembangkan teori perdamaian tersendiri, yang menyatakan bahwa perdamaian hanya bisa terjamin jika sumber-sumber konflik juga terselesaikan. Kaum Liberal juga berpandangan bahwa guna terciptanya perdamaian perlu ada usaha untuk mengukuhkan institusi-institusi internasional yang dapat mengatasi masalah anarki dan memfasilitasi kerjasama38. B. Konsep Tentang Kepentingan Nasional Dalam sistem internasional, pola interaksi yang terjadi di antara negara-negara pada umumnya dilandasi oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin dicapai oleh tiap-tiap negara. Masing-masing negara tersebut dalam sistem internasional berkewajiban memberikan tanggapannya atas fenomena-fenomena internasional yang terjadi sesuai dengan tujuan nasionalnya dan juga selalu diselaraskan dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Kepentingan nasional merupakan tujuan umum yang diperjuangkan oleh setiap negara dalam interaksinya dengan aktor-aktor lain. Masing-masing negara melalui politik luar negerinya senantiasa berperilaku dan bertindak dengan tujuan melindungi ataupun menjalankan kepentingan nasionalnya. 37 Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009, hal. 69. 38 Ibid, hal. 117. Menurut Plano dan Olton, dalam kepentingan nasional terdapat unsur-unsur pembentuknya, yaitu : “Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Kepentingan nasional suatu negara secara khas merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara yang paling vital, seperti pertahanan keamanan, militer, dan kesejahteraan ekonomi”39 Melihat penjelasan di atas, kepentingan nasional memiliki unsur-unsur pembentuk yang beragam. Unsur-unsur tersebut bersifat vital dan berkaitan erat dengan eksistensi suatu negara dalam lingkungan internasional. Pertahanan dikatakan sebagai unsur vital dikarenakan eksistensi suatu negara sangat ditentukan oleh faktor tersebut, dan tidak dapat dipisahkan dari kekuatan militer sebagai salah satu instrument utamanya. Pertahanan keamanan juga merupakan sarana suatu negara dalam mencapai tujuan nasionalnya dalam lingkungan internasional yang bersifat anarkis. Konsep kepentingan nasional merupakan konsep yang sangat penting dalam menganalisis, menerangkan, menjelaskan, meramalkan, atau membuat preskripsi mengenai tindak tanduk dan perilaku internasional dari aktor-aktor dalam dunia internasional. Para peneliti dan praktisi hubungan internasional dengan suara bulat sepakat bahwa justifikasi utama tindakan negara yaitu kepentingan nasional40. Kepentingan nasional yang kemudian mendasari tiap-tiap negara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politiknya, baik yang berupa politik domestik maupun kebijakan luar negerinya. Bahkan tidak jarang dikatakan bahwa kepentingan nasional merupakan penentu utama dalam mempelajari tindak tanduk suatu negara dalam interaksinya dengan negara-negara lain. Kepentingan nasional merupakan identifikasi dari kebutuhan-kebutuhan domestiksuatu negara, baik menyangkut ekonomi, politik, pertahanan keamanan, bahkan ke tataran sosial budaya. Dalam upaya memenuhi kepentingan nasional, tidak jarang terjadi benturan kepentingan antara aktor satu dengan aktor yang lain, yang sekiranya dapat mengancam atau setidaknya dapat mengurangi pemenuhan kepentingan nasionalnya. Di sinilah peran negara dalam menjaga pemenuhan kepentingan nasionalnya. Menurut Morgenthau : “Syarat minimum suatu negara adalah kemampuan untuk melindungi identitas fisik, politik dan kulturnya dari gangguan negara lain. Jika diterjemahkan ke dalam tujuan yang lebih spesifik, melindungi identitas fisik sama dengan memelihara integritas wilayah suatu negara. Melindungi identitas fisik sama dengan melindungi eksistensi rejim politik ekonomi seperti demokrasi yang kompetitif, komunis sosialis, otoriter dan totaliter. Melindungi identitas kultural sama dengan melindungi etnis, agama, bahasa dan norma-norma sejarah agama”41. 39 Jack C plano dan Roy Olton dalam DR. Anak Agung Banyu Prawira dan Yanyan Mochammad Yan, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 35. 40 Thedore A Columbis dan James Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power, Bandung : Putra Abardin, 1998, hal. 107. 41 Morgenthau dalam Theodore A Columbis dan James Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power, Bandung : Putra Abardin, 1998, hal. 115. Morgenthau menggunakan konsep “kepentingan nasional” dengan beragam cara untuk menghindari pengertian-pengertian yang membingungkan, di antaranya ; Kepentingan primer (primary interest) yaitu termasuk proteksi terhadap kepentingan bangsa secara fisik, politik, dan identitas budaya serta pertahanan melawan gangguan luar. Kepentingan ini tidak bisa dikompromikan atau diperdagangkan. Kepentingan sekunder (secondary interest) sifatnya keluar, namun memliki kontribusi ke dalam, misalnya proteksi warga negara yang ada di luar negeri dan mempertahankan kekebalan sebaik-baiknya untuk diplomat negara. Kepentingan tetap (permanent interest) sifatnya relatif tetap selama periode jangka panjang, berubah-ubah sesuai waktu tapi perlahan-lahan. Misalnya, Inggris selama berabad-abad berkepentingan dalam pembebasan navigasi kelautan dan garis pantai. Kepentingan tak tetap (variable interest) yaitu opini publik, kepentingan seksional, politik partisan, arah politik dan moral suatu bangsa yang harus dihormati. Kepentingan umum (general interest) dimana suatu bangsa boleh menggunakannya dengan sikap positif pada luasnya wilayah geografis atau pada beberapa bidang tertentu (ekonomi, hukum internasional, dll). Misalnya Inggris dalam mempertahankan keseimbangan kekuatan di benua Eropa. Kepentingan khusus (specific interest) biasanya dekat dengan definisi waktu atau tempat dan seringkali berkembang secara logis dari kepentingan umum. Ada juga 3 kepentingan internasional (international interest), yaitu42 : 1. Kepentingan identik (identical interest) antara beberapa negara dengan jelas termasuk dalam kepentingan nasional yang mana negara-negara tersebut memegang persamaannya. 42 Thomas W. Robinson, A National Interest Analysis of Uni Soviet Relations, International Studies Quarterly, XI June 1967, hal. 183-185. Misalnya Inggris dan AS berkepentingan dalam memastikan benua Eropa tidak didominasi oleh kekuatan tunggal. 2. Kepentingan saling melengkapi (complementary interest) antara negara-negara yang tidak sama setidaknya dapat membentuk dasar perjanjian pada masalah-masalah khusus. Misalnya Inggris memiliki kepentingan mempertahankan kemerdekaan Portugal dari Spanyol untuk mengontrol kawasan Laut Atlantik, sedangkan Portugal berkepentingasn dalam hegemoni maritim Inggris untuk pertahanan melawan Spanyol. 3. Kepentingan yang bertentangan (conflicting interest). Walaupun saat ini semakin banyak kepentingan ini muncul, tetapi dimasa mendatang bisa saja berubah melalui diplomasi, peristiwa tertentu atau melalui waktu menjadi kepentingan komplementer ataupun sebaliknya menjadi kepentingan yang bertentangan. Dari pengertian beragam kepentingan diatas menurut Morgenthau bahwa kepentingan nasional merupakan suatu konsep yang harus diartikan sebagai power (kekuasaan). Oleh karena itu dia berulangkali menunjukkan kepentingan nasional berdasarkan definisi power, artinya bahwa posisi power yang harus dimiliki negara merupakan pertimbangan utama yang memberikan bentuk kepada kepentingan nasional. Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah bahwa suatu situasi atau tujuan nasional harus dievaluasi dan diukur dengan menggunakan tolak ukur posisi power negara, sehingga negara tersebut bisa mengembangkan dan memelihara kontrol terhadap negara lain. Hubungan power dan kontrol tersebut bisa dicapai melalui pemaksaan dan kooperatif43. Mendefinisikan kepentingan nasional memerlukan berbagai kriteria penting, baik berdasarkan kriteria filosofi-operasional, ideologis, hukum dan moral, pragmatis, kemajuan profesi, partisan, kepentingan birokrasi, etnik/rasial, klas dan status maupun kriteria ketergantungan luar negeri44. Bagaimanapun kriteria-kriteria tersebut sudah ditetapkan sebagai suatu landasan umum bagi suatu negara, namun pembentukan dan pelaksanaan suatu kepentingan nasional pada akhirnya akan bergantung pada para decision-maker, mulai dari proses pembuatan sampai kepada pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang telah terkandung di dalamnya. 43 Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Bandung : Putra Abardin, hal. 114. 44 Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe, Loc Cit, hal. 120-123. Meski para decision-maker harus berhubungan dengan berbagai variable di dalam hubungan internasional, tetapi konsep kepentingan nasional biasanya tetap dan merupakan faktor yang paling konstan serta berfungsi sebagai tonggak petunjuk arah dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Sedangkan menurut Rudy terdapat kesamaan umum dari kepentingan nasional negaranegara modern. Jadi, kepentingan nasional yaitu : “Sekumpulan tujuan yang selalu ingin dicapai sehubungan dengan yang dicita-citakan, dalam hal ini kepentingan nasional. Yang relatif tetap dan sama di antara semua negara atau bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyat dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan45. Suatu negara dalam pencapaian kepentingan nasionalnya berkaitan dengan langkah atau kebijakan yang diambilnya dalam pencapaian kepentingan nasionalnya harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkup domestik maupun lingkup regional dan global. Kepentingan nasional bukanlah suatu teori yang terinci, akan tetapi lebih dipergunakan pada waktu-waktu pemilihan apa saja dalam bentuk simbol atau slogan. Kepentingan nasional dijabarkan kepada rakyat sebagai doktrin dan dapat berubah sesuai waktu, situasi dan kondisi. Yusuf mendefinisikan kepentingan nasional sebagai berikut : ”Kepentingan nasional termasuk dalam visum dan diperjuangkan oleh suatu bangsa atau negara untuk diperjuangkan dalam rangka ketertiban internasional. Konsep ini adalah buatan manusia dan dipatuhi oleh masyarakat, karena disangkutkan pada situasi sosial dan mencerminkan adanya nilai-nilai, ide-ide, kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya46. Dalam hubungan internasional, tiap negara dalam interaksinya satu sama lain bertujuan memenuhi kepentingan nasionalnya. Dalam upaya mewujudkannya, suatu negara memerlukan politik luar negeri yang tersusun dengan seksama. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Plano dan Olton mengenai politik luar negeri, bahwa : “Politik luar negeri merupakan strategi rencana tindakan oleh para pembuat kebijakan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasionalnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional”47. Dari definisi tersebut, Plano dan Olton menekankan pada bagaimana strategi dan rencana tindakan suatu negara yang dapat dikembangkan oleh para pembuat keputusan dari suatu negara yang diwujudkan atau direfleksikan melalui pelaksanaan politik luar negeri. 45 T. May Rudy, Studi Strategi dalam Transformasi Sistem Internasional pasca Perang Dingin, Bandung : PT. Refika Aditama, 2002, hal. 16 46 Sufri Yusuf, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri : Sebuah Analisis Teoritis dan Uraian Tentang Pelaksanaannya, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989, hal. 177. 47 Wawan Juanda, Kamus Hubungan Internasional, Jakarta ; Putra Abardin, 1999. C. Konsep Tentang Resolusi Konflik Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng. Pendekatan transformasi penyelesaian konflik melalui forum dialog lebih membuka kesempatan mendengar penjelasan masing-masing pihak yang berkonflik. Dengan begitu suatu konflik dapat diidentifikasi, apakah terjadi karena tujuan-tujuan yang tidak sama dan saling bertentangan. Tidak di setiap konflik ada kekerasan. Konflik meruncing dan meluas sehingga terjadi kekerasan adalah karena propaganda. Bahkan propaganda yang meluas cenderung menjadi perdebatan, akibatnya saling menyalahkan dan mengungkap pembenaran48. Konflik yang dibiarkan menjadi ajang perdebatan akan menjadi skala besar yang semakin sulit diselesaikan. Jika semakin di blow-up oleh media akan menjadi konsumsi terhadap pembentukan opini publik, baik publik dalam negeri maupun luar negeri. Akibatnya muncul campur tangan yang meluas. Terlebih lagi jika konflik tersebut berdampak kekerasan terhadap kemanusiaan. Dalam banyak hal, di tengah masyarakat memang banyak ketidaksamaan, tetapi belum tentu menimbulkan konflik. Konflik hanya muncul jika antar pihak ada tujuan yang dipertentangkan. Sering pula pihak lain menempatkan kepentingan dalam konflik untuk mencari keuntungan. Maka konflik akan berkepanjangan dan semakin sulit serta tidak mudah untuk diselesaikan. Di sini diperkenalkan teori transformasi penyelesaian konflik menggunakan Rumus Segitiga (A,B dan C). A sama dengan atitute (sikap), B sama dengan behavior (prilaku) dan C sama dengan contradiction (pertentangan). Isi dari 3 hal ini diidentifikasi yang menjadi faktor-faktor dominan penyebab terjadinya konflik. Berdasarkan identifikasi, faktor mana yang dominan berpengaruh, sehingga dapat ditawarkan berbagai alternatif solusi penyelesaian konflik. Lalu tingkat pelaku konflik pun diidentifikasi. Utamanya jika dalam konflik yang menggunakan kekerasan. Dalam hal ini ada 3 fase yang berpengaruh di setiap konflik. Yaitu: Pertama, fase sebelum kekerasan terjadi. Kedua, fase ketika kekerasan terjadi. Ketiga, fase 48 Nugroho, Teori Penyelesaian Konflik dalam (http://Nugrohotech.wordpress.com/2008-05-09/Teori Penyelesaian-Konflik/), diakses pada tanggal 16 Oktober 2010. sesudah kekerasan terjadi. Artinya ada aktor-aktor pada level tertentu yang terlibat, yaitu: aktor pertama, aktor menengah dan aktor akar rumput atau masyarakat. 1. Empat Tahap Resolusi Konflik Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap : Tahap pertama, masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua, memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses-proses reintegrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga, tujuannya lebih mengarah ke nuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan ”problem-solving approach”. Tahap terakhir, memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial dan budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Tahap I : Mencari De-eskalasi Konflik Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik. Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman49 tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat. Pendapat ini juga didukung William I. Zartman. Ripe for Resolution: Conflict and Intervention in Africa’, New York : Oxford University Press, 1985. 49 oleh Bloomfied, Nupen dan Haris50. Namun, pendapat ini ditolak oleh Burton51 yang menyatakan bahwa : “problem-solving conflict resolution seeks to make possible more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would make this ripening unnecessary”. Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang dapat menurunkan eskalasi konflik52. De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melakukan intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB53. Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan suatu tugas berat yang mendapat perhatian besar dari beberapa agen internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”. Tahap II : Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka Tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik54. Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations55. Prinsip ini – yang merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90an– mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa melakukan operasi 50 David Bloomfield, Charles Nupen, dan Peter Haris, Proses-proses Negosiasi dalam Haris, Peter dan Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator, Jakarta : International IDEA, 2000. 51 John Burton, Conflict : Resolution and Provention, London : MacMillan Press, 1990, hal. 88 - 90. 52 Louis Kriesberg, Constructive Conflict: Form Escalation to Resolution, New York : Rowman & Littlefield, Publ, 1998. 53 Cherster A. Crocker. The Varieties of Intervention : Conditions for Success dalam Crocker, Chester A (et.al) (eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict, Washington D.C : USIP Press, 1996. 54 Mary B. Anderson, Humanitarian NGOs in Conflict Intervention dalam Crocker, Chester A (et.al) (eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict, Washington, D.C.: USIP Press, 1996. 55 Gil Loescher dan Alan Dowty, Refugee Flows as Grounds for International Action, International Security, Vol.2, No.1 Summer 1996. penyelamatan selain pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk-bentuk aksi kemanusian minimalis yang hanya menangani masalah defisiensi komoditas pokok (commodity-based humanitarianism) dianggap tidak lagi memadai. Intervensi kemanusiaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang (entry) diadakannya negosiasi antar elit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor konflik. Tahap III : Problem-solving Approach Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi56. Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Bagi Burton, sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total environment)57. Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya, Rothman yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving58, yaitu : Masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. Kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. 56 Viviene Jabri. Discourse on violence: Conflict analysis reconsidered, Manchester : Manchester University Press, 1996, hal. 149. 57 58 John Burton, Conflict: Resolution and Provention, London : MacMillan Press, 1990, hal. 202. J Rothman, From Confrontation to Cooperation : Resolving Ethnic and Regional Conflict, Newbury Park, CA: Sage, 1992, hal. 202. Problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik. Tahap IV : Peace-building Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik 59 . Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses, yaitu: pemilihan bentuk struktur negara; pelimpahan kedaulatan negara; pembentukan sistem trias-politica; pembentukan sistem pemilihan umum; pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik; pembentukan sistem peradilan. Tahap kedua dari proses peace-building adalah tahap rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut . 59 Ben Reily, Katup-katup Demokratis bagi Pengelolaan Konflik dalam Haris, Peter dan Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar : Sejumlah Pilihan Negosiator, Jakarta : International IDEA, 2000, hal. 135 - 283. Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihakpihak yang bertikai60. Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system) 61. Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund62 didefinisikan sebagai : ”Preventive diplomacy, or conflict prevention, consist of governmental or nongovernmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed forces, or related forms of coercion such as repression as the means to settle Interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means can not peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change”. Kegiatan Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi 60 Hugh Miall, (et.al.), Resolusi Damai Konflik Kontemporer : Menyelesaikan, Mencegah, Melola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2000, hal. 302 – 344. 61 62 Andi Widjajanto, Kelemahan Internal Aksi Kemanusiaan PBB, Kompas, Selasa, 19 September (2000a). Michael S. Lund, Early Warning and Preventive Diplomacy dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos : Sources of and Responses to International Conflict , Washington, D.C: USIP Press, 1996, hal. 384 -385 konflik 63 . Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs)64, mediator internasional65, atau institusi keagamaan66. Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan di satu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas. 63 Andi Widjajanto, Etika Perang dan Resolusi Konflik, Global : Jurnal Politik Internasional, Vol.1, No.6 (September 2000b). 64 Pamela Aall, Non-governmental Organizations and Peacemaking, dalam Crocker, Chester A (et.al) (eds.). Managing Global Chaos : Sources of and Responses to International Conflict’, Washington, D.C. : USIP Press, 1996. 65 William I. Zartman, dan Saadia Touval, International Mediation in the Post-Cold War Era dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict’ Washington, D.C.: USIP Press, 1996. 66 Cynthia Sampson, Religion and Peacebuilding dalam Zartman, William I. dan Rasmussen, J,L.. Peacemaking in International Conflict : Methods and Techniques, Washington, D.C. : USIP, 1997. BAB III GAMBARAN UMUM KONFLIK ARAB–ISRAEL DAN KOTA JERUSALEM A. Gambaran umum Bangsa Israel – Palestina Untuk mempermudah dan lebih memahami sengketa dan konflik Israel – Palestina, maka sekiranya perlu adanya gambaran bagaimana akar permasalahan sengketa dan konflik tersebut melalui eksplorasi sejarah dan perkembangannya hingga saat ini. Agar deskripsi sejarahnya lebih jelas dan teratur, maka akan dibagi ke dalam kurun waktu yang berbeda, karena akar dari permasalahan yang berkepanjangan ini adalah pendudukan bangsa Yahudi di tanah Palestina yang dianggap sebagai “The Promised Land” serta dianggapnya tanah Palestina sebagai tanah leluhur mereka. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejarah wilayah tersebut maka penjelasannya dengan pengklasifikasian sebagai berikut : a. Penduduk Masa 3000 SM beberapa bangsa dari kabilah-kabilah Arab berhijrah dari Semenanjung Arab ke kawasan utara, disebabkan tekanan musim kemarau yang panjang dan iklim yang panas dari padang pasir. Menurut pendapat Charles Foster Kent, orang-orang Phoenicia adalah kaum yang lebih awal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang pindah ke sana. Mereka menganggap pesisir Laut Tengah itu sebagai tempat yang sesuai untuk menetap, lalu mereka pun bermukim di tempat itu. Kawasan yang sebelumnya mereka jadikan tempat tinggal merupakan suatu daerah yang sempit di tepi pantai, dibatasi oleh lautan dari sebelah barat dan dari sebelah timur dikelilingi oleh deretan kaki bukit batu yang terjal. Dari sini mereka menjelajahi daerah menuju laut dan berlayar untuk membuat perhubungan dengan beberapa Negara yang lain dengan jalan berniaga. Mereka terkenal dengan barang-barang dagangan dari satu negeri ke negeri yang lain. Karena begitu banyaknya pengalaman yang mereka miliki akibat berbagai macam kejadian yang telah mereka alami dan kemudian belajar dari pengalaman tersebut, maka semakin dikenallah kaum ini sebagai bangsa yang berpengetahuan, dan membawa cara-cara kehidupan modern di antara Negara-negara dalam kurun waktu itu. Di bagian selatan dari bangsa Phoenicia, bermukim pula beberapa kabilah Arab yang lain, diantaranya yang terkenal adalah Kabilah Kan’an yang hidup sekitar tahun 2500 SM. Kabilah Kan’an menetap di kawasan sebelah Barat pesisir Sungai Jordan hingga pesisir Laut Tengah. Dengan demikian maka kawasan ini dinamakan dengan nama kabilah itu, yaitu Bumi Kan’an. Nama ini sering kali disebut dalam kitab Taurat. Di tahun 1200 SM, beberapa rombongan kabilah Pulau Creta mendatangi kawasan pantai yang menjulur ke arah laut tengah. Kabilah-kabilah ini dinamakan kabilah Palestina. Mereka tinggal di suatu daerah yang terletak di suatu daerah yang terletak di antara Jafa dan Ghazzah (Gaza), kabilah-kabilah orang Kan’an pun bertetangga dengan orang-orang kabilah yang baru dari Pulau Creta itu. Hasil percampuran dari kedua kabilah itu maka munculah satu generasi baru yang berketurunan darah Arab dengan nama bangsa Palestina. Di sebelah tenggara Sungai Jordan, telah menetap pula beberapa kabilah Arani (Aramean) yang datang dari lembah Sungai Euphrates, disebabkan kepadatan penduduk di kawasan dataran antara Sungai Tigris dan Sungai Euphrates dengan orang-orang yang mendatangi dari semenanjung tanah Arab dalam jangka waktu yang tak begitu lama. Kabilah ini terkenal dalam kitab-kitab suci dengan orang-orang Syiria dan beribukota di Damsyik (Damascus). Mata pencaharian dari kabilah ini adalah bertani, tetapi kemudian mereka megubahnya dengan kegiatan perdagangan. Ini disebabkan wilayah dari tempat yang mereka duduki tersebut termasuk dalam kawasan yang kering dan tandus. Bahasa, agama serta unsur kebudayaan Arani adalah sama dengan bahasa, agama dan unsur-unsur kebudayaan orangorang Kan’an. Di sebelah timur Sungai Jordan mengarah ke sebelah selatan Laut Mati, terletak tiga kerajaan, yaitu Amon, Moab, dan Edom. Penduduknya juga datang berpindah dari daratan di pinggir Sungai Euphrates, seperti Kabilah Arani. Pertalian yang lebih mendalam telah mengikat tiga kerajaan ini, dimana satu dan lainnya dari segi persamaan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari menyamai dialog bahasa yang digunakan kabilah Kan’an. Kerajaan Moab lebih menerima perubahan-perubahan kehidupan dari kehidupan Badui ke kehidupan yang lebih modern. Oleh karena itu, kerajaan ini lebih berpengetahuan daripada dua kerajaan tetangganya. Kesuburan bumi dari kerajaan ini telah telah menolong banyak rakyatnya untuk merubah cara-cara hidup Badui ke cara hidup perniagaan. Sehingga mereka dapat hidup menetap tidak lagi hidup nomaden seperti pada kehidupan badui. Adapun Kerajaan Edom yang terletak di sepanjang Teluk Aqabah, sebagian besar rakyatnya bekerja menggembala ternak di kawasan-kawsan dataran yang terletak di bawah kekuasaannya, sebab Kerajaan Edom yang paling makmur di antara ketiga kerajaan bertetangga tersebut. Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Amon, ada yang tinggal menetap dan ada pula yang yang berpindah-pindah tempat. Dari beragam suku bangsa tersebut maka bangsa asli Palestina, menurut data sejarah selama 40 abad yang lalu, menyebutkan bahwa keturunan mereka adalah campuran keturunan orang-orang Yunani, Romawi, Mongolia, dan Turki. Namun setelah adanya penelitian yang lebih lanjut maka bangsa Palestina adalah keturunan orang-orang Philistin dan Kan’an. Selanjutnya berbicara mengenai penduduk Israel maka akan disebutkan sebuah data statistik yang menjumlah penduduknya sekitar 4,5 juta jiwa. Mayoritas dari jumlah tersebut merupakan jumlah orang Yahudi dengan angka statistik 3,7 juta jiwa. Selebihnya adalah orang keturunan Arab dan sejumlah kecil minoritas lainnya. Penyebaran penduduknya tidak merata karena sebagian besar menempati Distrik utara sebelah utara Haifa dan Distrik selatan sebelah selatan Jerusalem. Komposisi penduduk Yahudi sangat beranekaragam. Dengan memperhatikan tanah asalnya, orang Yahudi dapat dibedakan ke dalam 8 kelompok : 1. Kelompok yang heterogen (± 24.000 jiwa) mendiami tanah Palestina sebelum imigrasi zaman modern tahun 1882. 2. Sebanyak 150.000 orang Yahudi yang memasuki tanah Palestina antara tahun 1882 dan 1831. 3. Lebih dari 300.000 orang Yahudi dari Eropa Tengah yang diduduki Jerman) (Jerman dan Negara-negara melarikan diri dari tanah air mereka pada tahun 1930-an dan tahun1940-an. 4. Orang-orang dengan jumlah 60.000 yang memasuki Negara itu secara legal atau illegal dalam periode 1945-1948 yang sebagian besar pelarian yang berhasil lolos dari pengejaran kaum Nazi. 5. Ratusan ribu orang Yahudi sesudah tahun 1948 mengalir memasuki Negara itu yang pada mulanya berasal dari kamp-kamp konsentrasi, dan juga dari Irak, Yaman, dan Afrika Utara. 6. Orang Sabra, yakni orang-orang Yahudi yang dilahirkan di Israel (pada akhir tahun 1976 : 52%). 7. Orang-orang imigran dari Eropa Timur sesudah tahun 1957. 8. Kaum Zionis dari Negara-negara Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Afrika Selatan dan Australia. Bahasa yang digunakan oleh penduduk Israel adalah bahasa Ibrani (modern) dan bahasa Arab. Bahasa Ibrani modern (di luar Israel biasa disebut bahasa Ivrit) digunakan oleh sekitar 84% penduduk golongan Yahudi. Sedangkan sejumlah imigran masih tetap menggunakan bahasa dari tanah asal mereka. b . Teritorial Dalam peta, kawasan ini seakan-akan selembar pita halus yang berakhir di kawasan selatan berbentuk segitiga, kepalanya menuju ke selatan, ekornya ke utara, kepalanya bertemu dengan ujung Teluk Aqabah dan ekornya memanjang dari Laut Mati hingga Laut Tengah (Mediterranean Sea). Kawasan ini tidaklah begitu kaya dengan hasil-hasil tambang. Hasil kekayaan alamnya terbatas pada jenis logam yang terpendam di dasar Laut Mati, terutama pada logam Potasium Choreta, Sodium Chlorate. Adapun hasil pertaniannya adalah jeruk limau (orange), di sepanjang pesisir pantai, biji-bijian di daerah Ibnu Amir dan Lembah Yordan, Zaitun di kawasan pegunungan Manaqala Naqab. Luas kawasan Naqab kira-kira separuh dari kawasan daerah itu seluruhnya67. Dengan ini jelas terlihat bahwa kawasan ini tidak bergantung pada luas wilayahnya dan juga kekayaan hasilnya, melainkan karena kedudukannya yang strategis di antara benua Eropa , Asia dan Afrika. Walaupun wilayah itu sendiri tidak begitu luas, tetapi bersambungan dengan Laut Mati dan Laut Merah, dan kedua jalan ini bersambungan pula dengan Lautan Atlantik dan Lautan Hindia. Kaitannya dengan dunia Arab pun karena merupakan satusatunya kawasan yang sangat erat hubungannya dengan sebagian besar Negara-negara yang 67 Ahmad Shalaby, ’Perbandingan Agama Yahudi’, Bandung : Bina Ilmu, 1990, hal.4 terletak di kawasan Arab. Dan bersambung dengan Lebanon, Syria, Jordania, Saudi Arabia dan seterusnya dengan Mesir. Keistimewaan ini tidak didapati oleh Negara-negara lain yang letaknya berhampiran dengan kawasan ini, di samping itu merupakan benteng atau suatu bulatan yang menghubungkan antara Negara-negara Arab yang terletak di kawasan benua Afrika. Dan dari sinilah keistimewaan kawasan ini, yang bias dianggap mempunyai arti strategis, hubungan yang erat dengan Negara-negara tetangganya yang mempunyai kepentingan yang sama, dan tidak terbatas. Palestina termasuk bagian wilayah Usmaniyah (Ottoman) Turki. Dinasti ini telah menguasai seluruh wilayah wilayah Asia Barat sejak tahun 1516. Penduduk di sana menyebut daerahnya dengan nama Filistin atau Ar Ard Muqoddasa (tanah suci), sebutan yang terakhirlah untuk mencerminkan bahwa daerah itu sangat diagungkan oleh penganut agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Pada masa Usmaniyah, Palestina dibagi menjadi 3 Sangak (provinsi) yaitu Jerusalem, Nablus, dan Acre. Tahun 1870-an ketiga wilayah itu mempunyai wakil yang dipilih untuk Parlemen Usmaniyah yang tidak berumur panjang. Penguasa Usmaniyah memnggunakan sistem Millet yang memberikan otonomi luas kepada penganut Kristen dan Yahudi. Mereka dijamin kehidupan sosial, keagamaan, budaya, dan masalah sosial lainnya. Maka pada waktu itu terlihat masyarakat yang damai, toleransi kehidupan umat beragama sangat tinggi, dan timbul kerjasama untuk menyelesaikan masalah bersama. Kekuasaan Turki di Palestina berakhir pada Perang Dunia I saat Turki kalah perang. Lain halnya dengan Israel yang berada di Asia Barat Daya, berbatasan dengan Lebanon (utara), Syriah dan Jordania (timur), Mesir (selatan), dan Laut Tengah (barat). Luas 20.700 km2. Jika Israel ditelusuri dari barat ke timur, akan Nampak 3 macam pemandangan, dataran pantai, pegunungan dan lelukan Ghor. Dataran pantai itu hanya terputus oleh Gunung Karmel dan dataran Syaron di sebelah selatan, serta Lembah Zevulum (Zebulon) di sebelah utara Gunung Karmel. Dengan ketinggian 700-1000 m, daerah pegunungan dapat dibagi atas pegunungan Negev, pegunungan Yudea, pegunungan Samaria dan pegunungan Galilea. Tiga Pegunungan yang terakhir terdiri dari batu kapur dan menampakan ciri-ciri berbatu karst (banyak lubang, air, gua, dan sebagainya), sedangkan di pegunungan Negev hanya lapisan bawah tanah yang terdiri dari batu granit. Puncak-puncak tertinggi adalah Gunung Har Meron (1208 m) dekat Zefad dan Gunung Har Ramon (1305 m) di barat daya pegunungan Negev68. Daerah pegunungan itu terputus di sebelah tenggara Haifa oleh dataran Yizreel yang menghubungkan Lembah Yordan dan Laut Tengah, Lekukan Ghor (perpanjangan dari petakan yang berawal di Segitiga Afar mencakup Lembah Yordan di bagian utara terletak di Danau Yam Kineret, 209 meter di bawah permukaan laut). Satu-satunya sungai besar adalah Sungai Yordan, yang sebagian bertepatan dengan garis perbatasan Jordania. Sungai-sungai lainnya pendek dan bermuara di Laut Tengah. Wilayah Palestina yang ada sekarang adalah sudah didiami sejak zaman purbakala. Dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah dari zaman batu dahulu kala (500-14.000 SM) sebagaimana yang diidentifikasi oleh zaman batu pertengahan (14.000-8.000 SM) bahwa ada suatu bentuk kehidupan berperadaban An-Nathufiah. Yaitu kehidupan ketika bangsa Kan’an datang dari Jazirah Arab (2.500 SM) dalam jumlah besar sehingga menjadikan mereka sebagai penduduk utama di sana, lalu mereka mendiami wilayah tersebut dengan membangun wilayah peradaban berupa kota-kota dan desa-desa, kemudian seiring waktu kaum Kan’an ini pun berasimilasi dengan kaum pendatang dengan baik yang kemudian melahirkan keturunan bangsa Palestina yang sekarang, faktor asimilasi ini berlangsung sangat baik karena adanya faktor kesamaan agama (Islam) dan bahasa, wilayah ini juga merupakan tempat lahirnya para nabi dari agama samawi yaitu Islam, Yahudi, dan 68 Ensiklopedia Indonesia, Seri Geografi Asia, Deplu, 2000, hal. 104 Kristen. Antara lain Nabi Ibrahim as (Abraham) hidup di Palestina sekitar 1900 SM dan kemudian wafat di Madinah69. Pada sekitar tahun 1004 SM, wilayah Palestina ini setelah dikuasai oleh Raja Thalut digantikan oleh Nabi Daud as (David) yang kemudian mampu melebarkan kekuasaannya hingga tahun 963 SM, lalu digantikan oleh anaknya Nabi Sulaiman as (Solomon) dari tahun 963-923 SM, dibawah kekuasaan kerajaan Sulaiman inilah Palestina mencapai puncak kejayaannya yang berlangsung selama 80 tahun. Setelah wafatnya Nabi Sulaiman as, terpecahlah kerajaan menjadi 2 negeri, yaitu Israel di utara Palestina (923-721 SM) dan Yehuda (923-586 SM) namun kerajaan Israel kemudian hancur dan ditaklukkan oleh Bangsa Armenia, sedangkan Yehuda ibukota Al-Quds masih bertahan hingga tahun 586 SM saat Raja Nebukadnezar dari Babilonia menghancurkan Al-Quds dan meratakan Haykal Sulaiman, serta membantai 40.000 bangsa Yahudi. Berakhirlah kekuasaan Bani Israel (Yehuda) selama 4 abad dengan kepemimpinan yang lemah dan terpecah-pecah, sementara anak bangsa Palestina keturunan Kan’an masih tetap mendiami wilayahnya dan tidak meninggalkan negeri itu, inilah yang menjadi cikal-bakal anak bangsa Palestina saat ini70. Di bawah kekuasaan kerajaan Persia maka orang Yahudi yang dahulu diijinkan kembali membaur dengan bangsa Palestina ke tanah mereka dan bahkan diberi otonomi atas wilayah kota Al-Quds selama 539-332 SM. Setelah pergantian penguasa, sejak 332-63 SM wilayah itu dibawah kekuasaan Helenisme Yunani. Otonomi ini tetap ada hingga terjadi penaklukan Romawi atas Palestina pada tahun 6 SM yang kemudian menyebabkan 69 Muhsin Muhammad Saleh, Palestina : Sejarah, Perkembangan , dan Konspirasi, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002, hal. 17-20. 70 Ibid, hal. 22 pemberontakan besar yang dilakukan kaum Yahudi yang kemudian berakibat pelarangan orang Yahudi memasuki Kota Al-Quds selama 200 tahun kemudian, sehingga jumlah populasi kaum Yahudi pun sangat jarang di sepanjang 18 abad berikutnya, sedangkan penduduk pribumi keturunan Kan’an dan hasil asimilasi dengan kabilah-kabilah Arab tetap langgeng dan berkelangsungan hidup setelah kehengkangan bangsa Yahudi hingga saat ini71. Negara Byzantium (Romawi) menguasai bagian timur imperium Romawi sejak tahun 394 M, termasuk wilayah Palestina. Kemudian untuk beberapa saat jatuh ke tangan Perancis dan kemudian pada tahun 636 M, ditaklukkan oleh ekspansi Islam yang kemudian memantapkan Palestina sebagai wilayah berkarakter Islam termasuk bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, wilayah Palestina pun hidup dalam peradaban Islam dan bertahan selama 200 tahun yang merupakan pemerintahan terlama dalam pemerintahan Islam hingga tahun tahun 191772. B. Latar Belakang Konflik Israel – Palestina Selama 800 tahun bangsa Yahudi secara praktis kehilangan kontak dengan wilayah Palestina. Kebanyakan keturunan bangsa Yahudi yang terdiaspora dari zaman lampau itu berdomisili di Negara-negara Eropa Timur dan juga Rusia, nanti setelah terjadinya pergolakan di Rusia yang mengakibatkan posisi kaum Yahudi tidak aman lagi pasca terbunuhnya Kaisar Rusia Alexander II pada tahun 1881 karena dianggap pelaku pembunuhnya adalah kaum Yahudi. Maka terjadilah eksodus besar-besaran menuju Eropa Barat, Amerika Utara dan Amerika Selatan. Pada saat inilah dimanfaatkan oleh pergerakan 71 Ibid, hal. 23 72 Ibid, hal. 24 Zionis untuk mengkampanyekan pendirian entitas Yahudi yang aman dan independen di Palestina sebagai solusi pengumpulan seluruh bangsa Yahudi dan gerakan inipun mendapatkan dukungan dan solider dari Negara-negara tempat para eksodus Yahudi ini tinggal untuk menghindari beban serta atas dasar agama. Ditunjang oleh lemahnya Negara Usmaniyah yang membawahi Palestina saat itu sehingga memberi peluang akan kelangsungan proyek zionis ini, apalagi proyek ini mendapat banyak dukungan dari negaranegara Barat73. Proyek zionisme ini dimulai dengan gerakan pendirian gerakan zionisme oleh Theodore Herzl pada tahun 1896, yang kemudian memulai kongres pertama di Bassle-Swiss tahun 1897 yang merekomendasikan didirikannya “negeri tirai” atau negara zionis di tanah Palestina. Hal ini mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat dan sekutunya karena berbagai kepentingan di wilayah Timur Tengah yang dianggap sebagai pusat dunia tersebut. Itulah cikal bakal dari entitas negara Yahudi di tanah Palestina74. a. Perkembangan Proyek Zionis Palestina hidup di bawah konspirasi penjajahan Inggris yang sangat hebat, proyek- proyek zionis amat didukung, dan ruang gerak bangsa Palestina dipersempit dan memecah belah rakyat Palestina, sedangkan bagi kaum Yahudi mendapatkan fasilitas yang mutlak termasuk anjuran Inggris kepada seluruh kaum Yahudi di seluruh dunia untuk berimigrasi ke Palestina sehinga jumlah Yahudi bertambah dari 55.000 (8% dari populasi) pada tahun 1918 73 74 Ibid, hal. 31 – 33 Mustafha Abd.Rahman, Jejak-jejak Juang Palestina dari Oslo hingga Intifadah Al-Aqsa, Jakarta : Penerbit buku Kompas, 2002, hal. Xxxi menjadi 650.000 (31% dari populasi) tahun 194875. Namun jumlah tersebut hanya merupakan 6,7% dari seluruh Palestina pada tahun 1948. Di bidang militer, Inggris menggalakkan pembentukan milisi serta latihan militer bagi warga Yahudi serta mempersenjatai mereka sehingga jumlah pasukan bersenjata Israel pada pecahnya Perang 1948 adalah 70.000 tentara, jumlah ini merupakan tiga kali lipat tentara Arab yang ikut ambil bagian dalam kancah Perang 1948. Pada saat yang sama rakyat Palestina diperlakukan sebaliknya, pembangunan lembaga-lembaga infrastruktur dilarang, dilucuti persenjataannya sedangkan di sisi lain bangsa Yahudi semakin berjaya dengan pendirian perwakilan Yahudi yang mengurusi masalah Yahudi di Palestina pada tahun 1929, serta pendirian berbagai lembaga ekonomi, sosial dan pendidikan yang besar untuk membangun infrastuktur bagi Negara Yahudi di masa depan antara lain Universitas Ibrani di kota Al-Quds (Jerusalem) pada tahun 192576 b. Pergerakan Nasional Palestina Pergerakan nasional Palestina lahir dengan tuntutan yang terkonsentrasi pada 5 tuntutan defenitif sebagai berikut : 1. Penghapusan Perjanjian Balfour yang penuh dengan ketidakadilan terhadap hak-hak bangsa Palestina. 2. Penghentian imigrasi Yahudi. 3. Penghentian penjualan tanah kepada Yahudi. 4. Pendirian pemerintahan nasional Palestina dengan dipilih oleh parlemen Tasy’ri’i) yang menjadi penjelmaan keinginan 75 Muhsin Muhamad, Op Cit, hal.48 76 Ibid, hal. 49 hakiki masyarakat. (Majelis 5. Masuk dalam negoisasi dengan Inggris untuk membuat kesempatan yang akhirnya dapat memerdekakan Palestina. c. Revolusi Palestina Al-Qubro 1936 - 1939 Revolusi ini merupakan revolusi terbesar sepanjang sejarah Palestina modern dan kontemporer yang meledak tanggal 15 April 1936 yang dilakukan oleh pejuang Al-Qassam yang membunuh 2 orang Yahudi, peristiwa inilah yang memicu amarah resiprokal antara Arab dan Yahudi, yang berimbas pada terjadinya pemogokan massa terlama sepanjang sejarah Palestina (6 bulan). Tidak hanya itu, revolusi ini juga mengakibatkan tewasnya penguasa Inggris yang kemudian revolusi ini memuncak pada musim panas 1938, pada saat itu para aktivis menguasai pedesaan Palestina dan perkampungannya serta berhasil juga menduduki perkotaan dalam masa tertentu. Namun karena kuatnya eksistensi pihak Yahudi-Zionis serta hegemoninya yang akhirnya revolusi ini kemudian berhasil dipadamkan pada musim panas 1939. d. Perkembangan Politis 1939 – 1947 Sepanjang tahun 1939-1945 terjadi Perang Dunia II, yang merupakan masa yang sangat sulit bagi Palestina yang kekuatan pucuk pimpinannya dihancurkan. Kemenangan Inggris dan sekutunya dalam Perang Dunia II telah menempatkan bangsa Palestina pada posisi yang sangat sulit. Di sisi lain Yahudi berhasil mengeksploitasi Perang Dunia II secara baik, dengan berusaha untuk mempropagandakan dan menggembar-gemborkan apa yang terjadi di Jerman dan Eropa Timur secara berlebihan dengan maksud menarik simpati dan dukungan dengan satu penegasan bahwa tidak ada alternatif pemecahan mereka kecuali dengan mendirikan Negara nasional bagi Yahudi di Palestina. e. Perang 1948 dan reperkusinya Perang pecah usai keluarnya resolusi pembagian wilayah Palestina. Inggris keluar dari Palestina pada tanggal 15 Mei 1948, kurun waktu 6 bulan sebelum itu, rakyat Palestina sangat menderita dalam perang 1948 dikarenakan Negara-negara Arab menolak mengirimkan pasukannya. Setelah keluarnya Inggris dari wilayah tersebut bangsa Palestina kemudian membentuk pasukan “AlJihad al-Muqaddas” dibawah pimpinan Abdul Qadir al-Husaini serta pembentukan “Pasukan Penyelamat” oleh Liga Arab yang terdiri dari sukarelawan Arab. Ikut sertanya pasukan Arab merupakan kisah menyedihkan lainnya, pasalnya jumlah pasukan tidak lebih besar dari jumlah keseluruhan sekitar 24.000 pasukan melawan lebih dari 70.000 tentara Yahudi. Pasukan Arab selain lemah dalam persenjataan dan perlengkapan perang lainnya, mereka juga lemah koordinasi, buta peta wilayah, persenjataan kuno dan rusak . Kesemua itu merupakan faktor kekalahan perang 1948. Yahudi mendeklarasikan negara Israel pada sore hari tangal 14 Mei 1948 setelah perang usai yang telah mengalahkan pasukan militer Arab dan menguasai sekitar 78% wilayah Palestina. Adapun bangsa Palestina mendeklarasikan pemerintahan rakyat Palestina dalam konferensi di Gaza, Oktober 1948. Namun pemerintahan Arab tidak punya tentara di atas wilayah Palestina yang dapat memungkinkan mereka untuk mengendalikan kekuasaan. Bahkan pimpinan Palestina ssat itu Al-Hajj Amin diusir dari kota Gaza. Perang 1948 telah menghancurkan kehidupan sosial ekonomi bangsa Palestina yang kemudian terusir dari tanah mereka sendiri setelah mendiami wilayah tersebut selama 4.500 tahun. Hasil perang ini juga telah menelantarkan 2/3 (800.000 dari 1.237.000 jiwa) jumlah bangsa Palestina ke negeri lain sebagai pengungsi, sementara itu Israel mampu mendirikan negara yang sudah dikosongkan, lalu 30.000 warga Palestina diusir dari pemukiman mereka, sebanyak 478 desa dari 585 desa yang ada telah dihancurkan, operasi 0embantaian rakyat sipil sebanyak 34 kali dan melahirkan pembantaian yang paling terkenal “Holocaust Dir Yassin” yang terhitung membunuh 254 jiwa. f. Persoalan Palestina 1949 – 1967 Implikasi dari kekalahan perang pada tahun 1948 telah membuat luka yang cukup dalam bagi bangsa Palestina, hidup dalam sistem yang variatif dengan perbedaan derajat kebebasan, hak-hak sipil dan kapabilitas mengorganisasi diri dalam lembaga-lembaga politik dan jihad sebagai upaya untuk membebaskan negeri, namun bangsa Palestina yang dikenal dengan kedinamisan dan dialektika positif yang tinggi dengan situasi berupaya untuk dapat beradaptasi dengan kondisi serba sulitnya, antara lain bisa dilihat dalam kurun waktu tak berapa lama Palestina sudah mencapai prestasi bangsa Arab yang paling terpelajar dibanding dengan yang lainnya karena proses pengajaran yang merupakan suatu media kompensasi dan senjata ampuh untuk menyongsong masa depan Palestina yang nampaknya masih samarsamar. g. Arab dan Palestina Bagi negara-negara Arab kurun waktu ini merupkan periode kemerosotan nasionalisme dari sebagian besar negara-negara Arab dan Islam dan berubah menjadi negara “merdeka”. Pemerintahan Arab secara aktif mengarah pada pemantapan kondisi riil dan bukan mengubahnya, mereka berjalan menuju “penyelesaian” “pemerdekaan” dengan alasan subjektif dan objektif. (settlements) dan bukan Kondisi ini yang membuat bangsa Palestina merasakan kondisi tak berdaya yang sesungguhnya. Pada sisi lain entitas Zionis terus terkonsolidasi, semakin kuat dan mapan. Karena itu lahirlah resistensi Palestina yang secara umum karena sebab-sebab taktis perodikal, dan bukan dalam perancanaan Palestina yang berjalan di atas 2 kebijaksanaan : 1. Jaminan keamanan pemerintahan dan kelangsungannya, dan tidak membuatnya harus menghadapi bahaya balas dendam Zionis. Dengan kata lain tidak menyibak skala kelemahan pemerintah di medan perlawanan, pada giliran berikutnya memantapkan aksi kamikaze Palestina. Juga memposisikannya berada di bawah kekuasaan bila itu memungkinkan dan melarang untuk menggunakan perbatasan dalam aksi-aksi bersenjata. Hal ini merupakan politik yang diterapkan oleh seluruh negara hingga abad ke-20. 2. Toleransi berkala yang taktis yang akan terhadap keberadaan resistensi bersenjata di wilayahnya sebagai upaya untuk memetik keuntungan simpati politis rakyat, atau menghindari ketidakstabilan dalam negeri dan meredam kemarahan publik77. h. Aksi Nasional Palestina Dalam periode ini aksi-aksi publik Palestina memiliki karakter khusus, antara lain : Upaya mengontrol pembenturan, adaptasi dengan realitas baru dan konsentrasi pada pengajaran serta cara-cara untuk mandiri. Afiliasi pada berbagai organisasi dan partai-partai yang berkarakter komunisme, kekirian (partai komunis, Partai Pembebasan). 77 Ibid, hal.78 nasionalistik, nasional Arab), dan Islamis (Ikhwanul Muslimin, Periode awal pembentukan identitas nasional Palestina yang muncul secara lebih massive karena dibayangi oleh belum dapat ekspansi nasional kiri (berdirinya gerakan Fatah dan MTP). Imigrasi warga Palestina ke Tepi Barat dari Sungai Jordan dalam mencari penghidupan, ke negara-negara Teluk Arab dan khususnya Saudi Arabia dan Kuwait. Kemerosotan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Al- Hajj Amin Husaini secara bertahap78. i. Lahirnya Gerakan Fatah Awal Lahirnya gerakan Fatah (Harakat at Tahrir al-Wathani al-Filisthini) pada tahun 1957 terinspirasi dari keberhasilan Revolusi Aljazair. Cikal-bakal dari Gerakan Fatah ini adalah bagian dari IM (Ikhwanul Muslimin) di wilayah Jalur Gaza, lalu kemudian berproses yang kemudian berkebang sapai pada pembentukan divisi militer “Al-Ashifah” yang melakukan operasi militernya pada awal tahun 1965 yang hingga perang 1967 telah berhasil melakukan operasi sebanyak 200 kali79. j. Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO) PLO resmi dideklarasikan pada tanggal 28 Mei 1964 yang juga bertepatan dengan konferensi pertama Majelis Nasional Palestina, yang dihadiri oleh 422 representasi Palestina yang secara resmi dilegalisasi dengan piagam nasional Palestina yang menegaskan perjuangan bersenjata untuk memerdekakan Palestina dan tidak mundur sejengkal pun dari tanahnya, pembentukan pasukan pembebasan Palestina serta melakukan upaya-upaya 78 Ibid, hal. 78 79 Ibid, hal. 84 mobilisasi dan informasi. Sebagai ketua terpilihlah As-Syaqiri. PLO oleh masyarakat Palestina dianggap sebagai entitas Palestina dan identitas nasional80 k. Perang Arab-Israel dan reperkusinya Perang Arab-Israel meledak pada tanggal 5 Juni 1967 yang hanya 6 hari berlangsung telah membawa malapetaka bagi Arab, Israel berhasil menjajah wilayah Palestina yang masih tersisa (Tepi Barat 5878 km2 dan Gaza 363 km2), Gurun Sinai milik Mesir (61.198 km2), Dataran Tinggi Golan milik Syriah (1.150 km2). Persenjataan Angkatan Udara Mesir, Syriah, dan Jordan hancur, 10.000 tentara Mesir tewas, 6.094 tentara Jordan, 1.000 tentara Syriah dan ribuan orang yang cedera. Dampak lain dari kekalahan negara Arab kali ini telah mengakibatkan terusirnya 330.000 warga Palestina dari tanah kelahirannya, melemahnya kepercayaan terhadap negara-negara Arab. Di sisi lain mendorong bangkitnya pergerakan nasional Palestina untuk terus bertahan dan melanjutkan perjuangan yang semakin panjang81. l. Kelahiran Identitas Palestina Pemerintah Arab terpaksa membuka pintu operasi Kamikaze Palestina untuk menghindari berbagai gelombang amarah missal dan kondisi kefrustrasian yang timbul pasca perng 1967, yang kemudian memungkinkan bangsa Palestina membangun basis-basis yang kuat untuk aksi perlawanan intifadah atau aksi gerilya yang dilakukan oleh faksi-faksi garis keras yang berada di bawah bendera PLO yang dipimpin oleh Yasser Arafat sejak 196982. Dengan gaya berperang gerilya inilah yang mulai menjadi ciri khas nasional Palestina sebagai 80 Ibid, hal. 86 81 Ibid, hal. 87-88 82 Ibid, hal. 89 alternatif perjuangan. Identitas nasional Palestina juga sudah mulai cerah ketika PLO sebagai wakil dari bangsa Palestina diakui eksistensinya oleh PBB pada tanggal 10 Desember 196983. m. Negara Arab dan Persoalan Palestina Pada tahun 1947, PBB memutuskan untuk membagi daerah mandat PBB Britania Raya, Palestina. Tetapi hal itu ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah lainnya dan banyak negara-negara Muslim. Kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah Tanah Jerusalem yang dianggap suci tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga oleh umat Muslim dan Nasrani akan dijadikan kota internasional. Israel diproklamasikan pada tanggal 14 Mei 1948 dan sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara dari negara Lebanon, Syriah, Jordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Tapi Israel bisa memenangkan peperangan ini dan merebut ± 70% dari luas total wilayah daerah mandat PBB Britania Raya, Palestina. Perang ini menghasilkan banyak kaum pengungsi Palestina yang mengungsi dari daerah Israel. Tapi dari sisi lain tidak kurang pula kaum Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab. Itulah rentetan sejarah panjang tentang sejarah Palestina serta berbagai elemenelemen yang berada di dalamnya serta dikaitkan dengan dilema konfliknya dengan Israel yang secara rinci awal terjadinya hingga saat ini telah mencapai 60 tahun, dan itu merupakan kurun waktu yang sangat lama bahkan segelintir orang yang menyebutnya “konflik abadi” seiring konflik-konflik lain yang terjadi di kawasan Timur Tengah yang memang rawan konflik. 83 Ibid, hal. 90 C. Kota Jerusalem Kota yang sangat bersejarah Jerusalem adalah sebuah warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1981. Kota ini memiliki penduduk sebesar 724.000 jiwa dan luas 123 km2. Sepanjang sejarahnya, Jerusalem telah dihancurkan dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai/dikuasai ulang 44 kali84. Hingga kini masih terjadi perdebatan pendapat tentang asal-muasal nama Jerusalem yang berada pada ketinggian 2.200 kaki dari permukaan laut, terletak sekitar 28 mil di sebelah timur Laut Tengah dan 12 mil di sebelah barat Laut Mati 85 . Temuan arkeologis menunjukkan pada tahun 3000 SM tempat itu sudah ditinggali. Kota itu diyakini pertama kali dibangun dan didirikan oleh orang-orang Kanaan. Selama periode Kanaan itu, Jerusalem bernama Urušalim. Mulai sekitar tahun 1600 sampai 1300 SM, kota tersebut berada di bawah kekuasaan raja Mesir dan diperintah oleh para penguasa Kanaan yang tunduk pada Firaun. Ada sebuah cerita bahwa orang-orang Kanaan itu adalah keturunan Shem dan Eber, anak Nabi Nuh. Mereka inilah yang mula pertama mendirikan Jerusalem yang kemudian dijadikan ibukota Kerajaan Israel setelah direbut oleh Raja Daud. Manetho, sejarawan Mesir, menyatakan bahwa Jerusalem didirikan oleh orang-orang Hyksos setelah mereka diusir dari Mesir pada tahun 1479 SM. Yang lain menyebutkan, Jerusalem dibangun oleh orang-orang Jebusit pada tahun 2500 SM. Steward Perowne dalam Cities of the World: Jerusalem and Bethlehem menulis bahwa bukti tentang keberadaan Naifu, JERUSALEM : Sumber Pluralisme Agama, dalam (http://Naifu.WordPress.com/2010-0614/JERUSALEM-Sumber-Pluralisme-Agama/), diakses pada tanggal 16 Oktober 2010. 84 85 Manuel H.Wauran, Dari Kairo ke Yerusalem, Bandung : Indonesia Publishing House, 1995, hal. 195. Jerusalem termuat dalam tablet atau lembaran-lembaran tanah liat bertahun 1300 SM dari Tel-el-Amarna, Mesir. Dalam tablet tersebut ditulis bahwa gubernur kota itu (Tel-el-Amarna) menulis surat kepada tuannya, Firaun Amen-Hotep IV (Ikhnatun), yang memerintah pada tahun 1379 sampai 1362 SM. Firaun Amenhotep IV atau sering ditulis Amenhotep, Amenophis, Neferkheperu-Re, atau Naphurureya dikenal sebagai Firaun yang melakukan pembaruan agama Mesir di zamannya. Ia mengganti semua dewa tradisional dengan Aton, yakni Dewa Matahari. Karena itu, ia disebut juga sebagai Firaun Ikhanatun atau Akhenaton yang berarti ”baik bersama Matahari”. Ia memiliki seorang istri yang begitu terkenal, Nofretete atau Nefertiti86. Dalam surat yang ditulis oleh gubernur kepada Amenhotep IV itu disebutkan bahwa ”negara sedang diserbu dan minta bantuan kepada Firaun”. Penulis surat itu menyebut nama kota itu Urušalim yang berarti Kota Perdamaian. Tetapi berdasarkan temuan arkeologis,, dinding kota yang masih berdiri diperkirakan dibangun 500 tahun sebelum surat dari lempengan tanah liat itu dibuat. Ada pemahaman lain tentang kata Jerusalem yang dalam bahasa Ibrani ditulis Yerushalayim atau Yerushalaim yang artinya adalah Warisan Salem atau Warisan Perdamaian. Yang diartikan sebagai warisan adalah kata yerusha, sedangkan kata salem secara harfiah berarti keseluruhan atau dalam harmoni atau shalom yang berarti damai; dalam bahasa Arab disebut Al Quds yang artinya kudus, sementara dalam bahasa Arab resmi di Israel disebut Urshalim al Quds. John D. Gasrr, dalam kertas kerjanya yang berjudul Jerusalem – World Capital for the Messianic Age, menulis, nama Yerushalayim barangkali berarti orang, rumah, atau tempat tinggal yang damai. Sementara itu, kata salem selain diartikan ”keseluruhan” atau ”dalam 86 Trias Kuncahyono, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hal. 136. harmoni”, juga ”damai”. Berbagai sumber mengungkapkan, kota ini pertama kali diberi nama Orshalem atau Orsaleem yang berarti Kota Perdamaian. Kemudian pada masa lain disebut Yuroshalime lalu berubah menjadi Orshamam. Pada masa yang lain disebut Herusulima, lalu pernah diberi nama Kota Yabous lalu Kota Daud. Di waktu lain disebut Al Quds atau Beit Al Maqdes. Sejarah juga menceritakan bahwa pada suatu masa kota itu diberi nama Zahrat al Mada’een atau Bunga Segala Kota. Kitab Kejadian atau Genesis, yakni kitab pertama dari lima Kitab Taurat Musa atau kitab pertama dari Kitab Suci Perjanjian Lama, sudah menyebut nama kota itu. Dalam Genesis 14:18, kota itu bernama Salem (damai) dan disebut Jebus, kota kaum Jebusit yang dikalahkan Yosua. Sumber lain, yaitu Surat-surat Amarna (Amarna Letters). Menyebut Urušalim dalam bahasa Akadia, sebuah bahasa yang sama asalnya dengan bahasa Ibrani, sebagai Ir Shalem. Dalam kitab Genesis Rabba atau yang dalam bahasa Ibrani disebut Bereshith Rabba, yakni sebuah teks suci religius tentang Yudaisme Klasik, disebutkan bahwa Abraham tiba di Shalem setelah menyelamatkan Lot, keponakannya. Setibanya di Shalem, ia minta kepada raja dan Imam Agung Melkisedek untuk memberkatinya. Melkisedek pun melakukan permintaan Abraham itu atas nama Yang Maha Agung. Hal itu menunjukkan bahwa Melkisedek, sama seperti Abraham, adalah seorang monoteis. Kata yeru yang berasal dari kata yir’eh –nama yang diberikan Abraham kepada Gunung Moria setelah ia melepaskan putranya yang semula akan dijadikan korban bakaran; dalam kitab Genesis dijelaskan bahwa kata itu berarti ”Tuhan akan menampakkan diri di sini”– diletakkan di depan kata shalem. Dengan demikian, secara keseluruhan yeru dan shalem berarti ”Tuhan akan menampakkan diri di kota yang damai”. Dore Gold dalam The Fight for Jerusalem yang mengutip – bagian dari literatur para pemimpin agama di masa awal yang kemudian dikompilasi setelah penghancuran Kenizah Kedua– menjelaskan, Jerusalem sudah memiliki nama yakni Shalem. Pemberi nama kota itu, Shalem, adalah Shem, putra Nuh. Jadi dengan demikian berarti bahwa Jerusalem bukan hanya bersangkut-paut dengan tradisi Abraham, tetapi juga dengan seluruh putra Nuh – dengan kata lain, dengan seluruh umat manusia. Karena itu, ada dugaan bahwa Tuhan memilih nama Jerusalem (Yerushalaim) sebagai sebuah kombinasi dari Yir’eh dan Shalem87. Jerusalem juga disebut sebagai Kota Daud. Menurut sejarah, kota yang dahulunya bernama Urušalim itu direbut Raja Daud sekitar tahun 1500 SM. Di kota itulah kemudian Sulaiman atau Sulaeman, atau Solomon, putra Daud, mendirikan Kenizah Allah. Inilah Kenizah pertama. Ada 70 nama bagi Jerusalem. Jerusalem juga disebut Yerushalayim (dalam alkitab bahasa Ibrani), Y∂rûšal∂m (bahasa Aram), Ierousalēm atau Iρεουσαλήμ (dalam Alkitab bahasa Yunani), ŪrỈšlem (bahasa Syriac), Hierusalem (Latin) atau Hierosolyma atau Hirousalēm (Yunani), Ieropolis (bahasa Latin klasik), Ūršalīm atau Ūršalaym (bahasa Arab), Erousalem (bahasa Armenia), Yərûsāláim (Ibrani Tiberia), Yerushalaim (Ibrani standar), Jorsala (bahasa Skandinavia kuno), Iyerusalem atau Alkitab, Salem (bahasa Latin), Sālīm (bahasa Arab), Sālēm (Ibrani Tiberia), dan Šalem (Ibrani standar).Jerusalem juga disebut Kota Daud atau Ir Daud. Ir adalah kata dalam bahasa Ibrani atau juga sering disebut uru atau ur yang artinya kota. Dari sinilah juga muncul nama Uru-Shalim yang yang kemudian berubah menjadi Yerushalem. Muncul dugaan bahwa Hirousalēm dan Hierosolyma (Yunani) serta Hierusalem (Latin) diambil dari sebuah kata dalam bahasa Yunani, yakni hieros, yang berarti suci. Ada juga yang menghubungkan nama Jerusalem dengan nama seorang dewa, yakni Salim. Orang-orang Mesir menyebut Shalim dengan nama Sharamana dan orang-orang Phoenicia/ Phoenisia menyebut Shalim dengan Salaman. Ada yang memperkirakan bahwa 87 Dore Gold, The Fight for Jerusalem, Radical Islam, The West, and The Future of The Holy Land, Washington : Regnery Publishing, 2007. Salaman (Σαλαμαν) inilah kemudian muncul kata salomon atau Solomon yang di Indonesia dikenal dengan nama Sulaeman, manusia cinta damai88. Sering pula Jerusalem disebut Adonai-jireh yang berarti Tuhan melihat, dalam terjemahan Injil bahasa Latin ditulis Dominius videt. Nama itu diberikan oleh Abraham setelah Tuhan memberikan seekor domba untuk menggantikan anaknya sebagai korban bakaran. Ada yang berpendapat bahwa kombinasi kata yir’eh dan shalem itu merupakan asalusul nama Jerusalem. Selain disebut sebagai Kota Perdamaian, Jerusalem juga disebut sebagai Neveh Tzedek atau Oasis Keadilan, Ir Ha-Kodesh atau Kota Tempat Suci, Ir HaKodeshah atau Kota Suci yang dalam bahasa Arab disebut sebagai Al Quds atau Al Quds aš Šarīf atau Tempat Tersuci. Dalam bahasa Turki disebut sebagai Kudüs. Kota itu diberi nama Aelia Capitolina atau lengkapnya Colonia Aelia Capitolina oleh Kaisar Romawi Hedrian pada tahun 131. Nama itu diberikan setelah tentara Romawi berhasil merebut, menduduki, dan menghancurkan Jerusalem serta mengusir semua orang Yahudi. Kata aelia diambil dari kata aelius, yakni nama keluarga Hedrian, sementara capitolina berarti bahwa kota baru itu dipersembahkan bagi Jupiter Capitolinus. Jupiter adalah salah satu dewa pagan dari trinitas Romawi, yakni Jupiter, Juno, dan Minerva. Jadi, kota baru itu, yakni Aelia Capitolina, dibangun untuk dipersembahkan kepada Hedrian dan Dewa Jupiter. Kota Aelia Capitolina adalah kota baru yang didirikan persis di atas Jerusalem yang diruntuhkan pada tahun 70 oleh Legiun Romawi pimpinan Titus. Atas perintah Hedrian, Kuil Jupiter dibangun persis di atas Bukit Kuil dan berhala-berhala Romawi dibangun di seluruh kota. Wilayah kota baru itu dikelilingi tembok sebagai benteng dan orang asing dari berbagai 88 Trias Kuncahyono, Op Cit ,hal. 138. bangsa dibawa ke kota itu, sedangkan orang Yahudi dilarang masuk dan tinggal di Aelia Capitolina. Tembok kota yang sekarang masih ada pada umumnya memiliki tata letak yang sama dengan tembok di zaman Romawi dulu. Jerusalem juga sering disebut sebagai Kota Yehuda. Nabi Yesaya menyebut Jerusalem sebagai Ariel (Yes. 29:1) yang berarti Singa Tuhan. Sering pula Yesaya menyebut Jerusalem sebagai Putri Zion, Putri Jerusalem, Anak Dara Zion. Jerusalem oleh Yesaya juga disebut sebagai Kota Kebajikan, sementara oleh pemazmur diberi nama Kota Tuhan atau Kota Tuhan kita atau Rumah Yahwe atau Raja Agung. Ketika di zaman pembuangan –bangsa Israel dibuang ke Babilonia – Jerusalem oleh orang-orang yang ada di pembuangan disebut sebagai kota, ini untuk membedakan dengan Tanah. Setiap nama membawa sejarah dan cerita tersendiri. Penggantian nama Jerusalem tersebut menegaskan bahwa sejak semula kota itu menjadi ajang perebutan, menjadi sumber konflik, merupakan kota yang istimewa, strategis, sekaligus kota yang memberikan banyak inspirasi. Sejak zaman kuno, Jerusalem merupakan kota yang sangat strategis dan penting bagi kerajaan di sekitarnya sehingga mereka berlomba-lomba mendominasi wilayah itu. Menguasai wilayah itu adalah penting untuk menjamin kebebasan jalur perdagangan ke Asia, Eropa, dan Afrika. Karena alasan inilah Jerusalem, meskipun disebut sebagai tempat tinggal atau wilayah yang damai, telah menjadi panggung begitu banyak pertumpahan darah dan kekerasan dari dahulu kala hingga kini. Penggantian nama itu menjadi salah satu buktinya. BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Sejarah, Status, dan Posisi Strategis Jerusalem dalam Konflik Arab – Israel Kota yang saat ini kita kenal sebagai Jerusalem dulunya dikenal karena track recordnya sebagai wilayah yang banyak terjadi peperangan di dalamnya dan memiliki sejarah panjang berkaitan dengan berbagai periode/era kepemimpinan yang mendudukinya. Jerusalem yang berdiri kokoh di pegunungan Yudea adalah kota suci bagi tiga agama monoteistik: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Menariknya, sepanjang sejarah kota itu bahkan sampai sekarang, selalu berada di pusaran konflik geopolitik, yang sekarang dimanifestasikan oleh Yahudi dan Palestina yang memperebutkan dominasi atas kota tersebut. Baik orangorang Yahudi, Kristen, maupun Islam sama-sama mengklaim sebagai yang berhak atas Jerusalem. Orang-orang Yahudi mendasarkan klaimnya kembali ke peristiwa yang terjadi pada abad 11 SM ketika Raja Daud mengalahkan dan merebut kota itu; bagi umat Kristiani kesucian kota itu diperoleh dari kehidupan serta karya Yesus dan penyaliban, wafat serta kebangkitan-Nya di Jerusalem; sementara bagi umat Muslim, Jerusalem menjadi penting karena di kota itu Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Ia melakukan perjalanan malam dari Mekkah dan kemudian Mi’raj ke Sidrat Al-Muntaha dari kota itu. Kesucian Jerusalem telah menjadi daya tarik bagi ketiga agama monoteistik untuk mengarahkan kekuatannya ke kota itu sejak zaman dulu. a. Sejarah Para penduduk pertama kota ini (dulu namanya Ur-salem), yaitu kaum Yebus, tinggal di bukit di sebelah selatan Bait Suci; tempat itu bernama Ofel. Pada tahun 1000 SM, kota mereka ditaklukkan oleh Raja Daud. Di Bukit Muria yang dibelinya dari kaum Yebus, Daud mendirikan sebuah mezbah bagi Allah, lalu memindahkan Tabut Perjanjian ke sana. Solomon atau Sulaeman, anak Daud, juga memilih Bukit Moria sebagai tempat Bait Suci I yang didirikannya pada tahun 950 SM. Sesudah mangkatnya Solomon, kerajaan kesatuan yang berhasil didirikan oleh Daud akhirnya terpecah. Suku-suku di utara memisahkan diri dari raja Selatan, yang berpusat di Jerusalem. Mereka mendirikan kerajaan sendiri yang disebut Kerajaan Israel (di sebelah utara) dan Kerajaan Yehuda yang lebih kecil (di sebelah selatan). Pada tahun 722 SM, Kerajaan Israel yang di utara ditaklukkan oleh penguasa Assyiria dan dijadikan salah satu propinsinya. Dan dengan dasar agama, mereka dimusnahkan. Kerajaan Yehuda bertahan sampai tahun 589 SM, ketika Nebukadnezar, raja Babilonia, merebut Yerusalem, merampas kota itu, menghancurkan Bait Suci serta membawa ribuan orang Yahudi ke pembuangan. Pembuangan itu berlangsung selama 50 tahun saja. Raja Persia, Cyrus Agung, yang mengalahkan Babilonia pada tahun 538 SM mengizinkan orang-orang Yahudi kembali ke negerinya untuk membangun kembali Bait Suci serta tembok-tembok Yerusalem. Para buangan itu dipimpin oleh Zerubabel, Nehemia dan Ezra. Mereka berhasil membangun kembali Bait Suci pada tahun 516 SM, sedangkan tembok kota Yerusalem – pada tahun 446 SM. Para penguasa Persia yang menjajah mereka pada waktu itu ternyata cukup toleran. Setelah itu, Tanah Palestina jatuh ke tangan penguasa Macedonia, Alexander III (Alexander Agung) sekitar tahun 332 SM. Dari pertemuan dua peradaban barat dan timur inilah lahir akar peradaban baru yang disebut Hellenisme. Sayangnya, beberapa penguasa Yunani itu memaksakan budayanya dan berusaha sekuat tenaga agar agama Yahudi hilang dari permukaan bumi. Pemberontakan melawan mereka timbul setelah Raja Antiokhus Epifanes IV menyatakan dirinya dewa dan menyuruh orang-orang Yahudi menyembahnya. Pemberontakan yang dikenal sebagai Revolusi Para Makabe itu menghasilkan semacam independensi bangsa Yahudi. Para penguasa Yunani diusir dari Yerusalem pada tahun 164 SM, sedangkan kuasa mereka beralih ke tangan tokoh-tokoh Yahudi dari dinasti Hasmonides. Tetapi kemerdekaan bangsa Yahudi berakhir setelah Jenderal Pompeius mengepung dan menaklukkan Yerusalem pada tahun 63 SM. Raja Herodes Agung I diangkat menjadi raja Yahudi pada tahun 37 SM. Pada akhir pemerintahannya lahirlah Yesus. Walaupun dibenci oleh rakyatnya, Herodes sangat berjasa sebagai bapak pembangunan. Salah satu karyanya yang megah ialah perluasan Bait Suci. Menurut cerita, pembangunan ini membutuhkan waktu sembilan tahun. Bangunannya berukuran dua kali lebih besar dibandingkan dengan bangunan semula dan dikellilingi empat tembok. Tembok bagian barat merupakan tempok terpanjang, yakni 485 meter, dan mencakup wilayah doa orang-orang Yahudi yang dikenal sebagai Kotel atau Tembok Barat, yang kemudian disebut juga sebagai Tembok Ratapan. Pada tahun 70 SM, akibat berbagai pemberontakan Yahudi, tentara Roma menghancurkan Yerusalem, termasuk Bait Suci. Ini kali kedua mereka kehilangan tempat ibadah mereka. Pemberontakan selanjutnya dipimpin pada tahun 132-135 M oleh BarKokhba. Namun akibat pemberontakan itu Kaisar Hadrianus membumiratakan Yerusalem dan melarang orang-orang Yahudi tinggal di kota itu untuk selama-lamanya. Di atas reruntuhan kota Yerusalem didirikan kota baru yang sepenuhnya kafir dan diberi nama Aelia Capitolina. Pemerintahan Romawi tidak hanya mengubah nama Jerusalem menjadi Aelia Capitolina, tetapi juga menumpas bangsa Yahudi di Palestina, terutama setelah jatuhnya Benteng Masada yang terletak di sebelah tenggara Laut Mati. Periode 135-324 ditulis oleh banyak sumber sebagai masa kedamaian Jerusalem, sesuai dengan namanya, Kota Damai. Jerusalem dibangun kembali. Nama Aelia Capitolina dipertahankan hampir 200 tahun sampai kemudian agama Kristen diakui sebagai agama resmi oleh Kekaisaran Romawi yang berpusat di Konstantinopel –sekarang sebuah kota di Turki-di bawah pimpinan Kaisar Konstantinus pada awal abad ke-4 Masehi. Kaisar inilah yang memutuskan memindahkan pusat kekaisaran Romawi dari Roma ke Byzantium yang kemudian diubah menjadi Konstantinopel dan sekarang bernama Istanbul. Sejak saat itulah Jerusalem berada di bawah kekuasaan Konstantinopel. Sejak itu Tanah Suci diberi nama Palestina (dari kata Filistin yang sulit dilafalkan oleh orang Roma). Ketika Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, Palestina menjadi Kristen juga dan Jerusalem menjadi Tanah Suci Kristen. Saat itulah terjadi transformasi Palestina menjadi Tanah Suci Kristen. Kuil-kuil pagan yang didirikan kaum Romawi, saat mereka merebut dan meruntuhkan Bait Suci pada sekitar abad 70 M, diruntuhkan dan para peziarah mulai bergelombang mendatangi tempat-tempat suci. Ada sebuah cerita, Helena, ibunda Konstantinus mengunjungi Jerusalem pada tahun 326 dan sangat prihatin melihat kondisi bekas makam Yesus Kristus. Ia kemudian, dengan dukungan politik dan keuangan dari Konstantinus, memerintahkan dibangunnya Gereja Makam Suci di Jerusalem, Gereja Isa Almasih di Bethlehem, dan Gereja Bisharah atau Gereja Kenaikan Isa Almasih di Nazareth. Pada tahun 614, Palestina, yang sejak abad IV berada di bawah kuasa Byzantium, diserang oleh tentara Persia di bawah pimpinan Khosroes II. Tentara itu menghancurkan hampir semua tempat suci Kristen dan membunuh banyak orang Kristen. Keadaan Jerusalem pulih kembali setelah Byzantium, pada tahun 629 SM, merebut kembali Tanah Suci dari tangan Persia. Namun begitu mulai dibangun kembali, Tanah Suci diserang lagi, kali ini oleh. Khalifah Umar bin al-Khattab yang berhasil memasuki Jerusalem secara damai setelah menandatangani perjanjian dengan Patriarck Elya Al-Quds (Jerusalem) Sophronius pada tahun 637. Beberapa tahun sebelumnya, Patriarck Sophronius telah mengatakan bahwa ia tidak akan menandatangani perjanjian dengan siapa pun kecuali dengan Khalifah Umar sendiri. Karena alasan itu, Umar secara pribadi datang sendiri ke Jerusalem. Saksi-saksi dari perjanjian ini adalah Khalid bin Al-Wahid, ’Amr bin Al-’As, Abdul Rahman bin Awf, dan Muawiyah bin Abu Sofyan. Ditulis dan diedarkan tahun ke-15 (setelah Hijrah). Perjanjian itu yang kemudian disebut sebagai Perjanjian Umar, yang berbunyi : ”Atas nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Baik.Inilah Hamba Allah, Umar bin Al-Khattab, Amir orang-orang beriman, yang menawarkan keamanan kepada orangorang Illyaa’ (Jerusalem) dengan menganugerahkan kepada mereka ”Amaan” (perlindungan) bagi budak-budak mereka, uang mereka, gereja- gereja mereka, anak-anak mereka, dan juru tulis mereka...... Gereja-gereja mereka tidak diambilalih, maupun tidak dinistakan atau dianggap remeh, baik salib-salib mereka, dan mereka tidak dipaksa untuk pindah agama, maupun tidak seorang pun dari mereka dilukai. Tidak seorang pun Yahudi tinggal bersama mereka di Illaa’ dan orang-orang Illyaa’ diharuskan membayar Jizya (pajak untuk mendapat hak memilih), seperti orangorang di kota. Mereka juga diharuskan untuk mengusir orang-orang Roma dari bumi (Illyaa’); dan barangsiapa di antara orang-orang Illyaa’ yang ingin pergi dengan membawa uang mereka bersama dengan orang-orang Roma, dengan meninggalkan barang-barang dagangan mereka dan anak-anak mereka selamat sampai mereka tiba ke tempat tujuan mereka” Para penduduk kota Yerusalem menyerah sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati sebelumnya. Umar adalah penguasa yang toleran dan para penggantinya berusaha mempertahankan sikap itu, sehingga Tanah Suci mulai lagi diziarahi umat Kristen dari berbagai penjuru dunia. Tempat-tempat Suci yang hancur atau rusak, dibangun kembali . Yang menikmati kebebasan beragama bukan hanya umat Kristiani tetapi juga orang-orang Yahudi. Mereka diperbolehkan membangun membangun sinagoga di berbagai tempat bahkan di bawah Temple Mount. Berdasarkan temuan penggalian ditemukan situs sinagoga di pojok barat-daya Temple Mount yang bertarik masa kekhalifahan Umar. Babak selanjutnya Jerusalem ada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyad (661-750) yang berpusat di Damascus. Penguasa pertama dari Dinasti Umayyad adalah Mu’awiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Jerusalem pada tahun 660. Dipilihnya Jerusalem sebagai tempat Ia memproklamirkan dirinya sebagai khalifah adalah bagian dari usaha untuk menjadikan Jerusalem sebagai pusat kekuasaan politik dan spiritual. Usaha itu dilanjutkan oleh para penerusnya. Mu’awiyah yang berkuasa selama 20 tahun (680) memindahkan pusat kekhalifahan dari Madinah ke Damascus, yang merupakan ibu kota negara Islam yang pertama. Catatan paling cemerlang Dinasti Umayyad di Jerusalem adalah di zaman khalifah keempat, Abdul Al-Malik (685-705). Di masa kekhalifahannya, atas perintahnya, didirikanlah Dome of the Rock di Temple Mount. Putra khalifah Abdul Al-Malik, Al-Walid (705-715) adalah yang memprakarsai pembangunan Masjid Al-Aqsha yang terletak di ujung selatang Temple Mount. Meski demikian, Jerusalem tidak pernah menjadi ibu kota kekhalifahan. Kekalahan Dinasti Umayyad oleh Abbasiah (750-1258) berdampak pada perhatian terhadap Jerusalem. Ketika di zaman Dinasti Umayyad, para khalifahnya masih sering mengunjungi Jerusalem bahkan mendirikan istana di kota itu. Tetapi setelah pusat kekuasaan bergeser dari Damascus ke Baghdad, ibu kota Dinasti Abbasiah, perhatian terhadap Jerusalem berkurang.. Bahkan khalifah terbesar dari Dinasti Abbasiah, Harun AlRashid (786-809) kurang perhatian pada Jerusalem. Putranya, Al-Ma’mun (813-833), juga menahan diri untuk mengunjungi Jerusalem. Al-Mansur (754-775), khalifah kedua dari Dinasti Abbasiah, pernah mengunjungi Jerusalem ketika dalam perjalanan pulang setelah menunaikan ibadah haji di Mekkah. Ketika itu, Masjid Al-Aqsha tinggal reruntuhan karena gempa yang mengguncang wilayah itu 10 tahun sebelumnya. Ketika Ia diminta oleh umat Muslim di Jerusalem agar membangun kembali masjid agung itu, Ia menjawab tidak memiliki uang. Ia malah menyarankan agar mereka mencairkan emas yang digunakan untuk melapisi Dome of the Rock dan digunakan kembali untuk membiayai pembangunan kembali Masjid Al-Aqsha. Penggantinyalah yang kemudian memerintahkan untuk membangun kembali Masjid Al-Aqsha. Dari tangan Dinasti Abbasiah, Jerusalem jatuh ke tangan kekuasaan Dinasti Fatimiyah, yang wilayah kekuasaannya mencakup wilayah Mesir dan Suriah, pada awal abad ke-11, penguasa Dinasti Fatimiyah waktu itu, yakni Khalifah AlHakim bin Amr Allah, memerintahkan untuk menghancurkan semua sinagoga dan Gereja Makam Kristus (1010). Kebijakan itu kemudian direvisi oleh para penerusnya. Kehidupan keagamaan yang penuh toleransi kembali hidup dan berkembang. Babak paling kelam dan merupakan tragedi bagi kota Jerusalem adalah ketika Perang Salib yang pertama kali dikobarkan oleh Paus Urbanus II saat berlangsung Konsili Clermont, 25 November 1095. Karen Armstrong dan Carole Hillenbrand menguraikan dengan sangat rinci mengenai perang itu lewat sudut pandang masing-masing. Hillenbrand membagi perang dalam lima babak. Perang Salib I (1096-1102); Perang Salib II (11471149); Perang Salib III (1189-1192); Perang Salib IV (1202-1204); dan Perang Salib V (1217-1229), sedangkan Karen Armstrong menambahkan satu babak lagi, yakni 1227-1291. Pada tanggal 18 Mei 1291, Dinasti Mamluk di bawah kepemimpinan Al-Asyraf Shalâhuddîn Khalîl merebut Acre. Jerusalem menjadi ibu kota Kerajaan Jerusalem, sebuah negara feodal, dan Raja Jerusalem sebagai kepalanya. Yang boleh hidup di kota itu hanyalah orang Kristen, sementara orang-orang Yahudi dan Muslim dilarang masuk kota. Tetapi, Kerajaan Jerusalem tidak berumur lama. Pada tahun 1187, Saladin menyerang dan merebut Jerusalem. Sejak itu, kehidupan yang penuh toleransi antaragama kembali berkembang.. Semua pemeluk agama apa pun boleh menunaikan ibadah mereka. Seperti Khalifah Umar bin Al-Khattab, Saladin mengizinkan orang-orang Yahudi untuk kembali ke Jerusalem. Sejumlah orang kemudian menghidupkan kembali komunitas Yahudi. Banyak imigran Yahudi berdatangan, seperti dari Afrika Utara, juga dari Perancis dan Inggris. Setelah Perang Salib III, orang-orang Kristen Latin (Katolik Roma) diizinkan pula untuk berziarah ke Jerusalem. Saladin membuat kesepakatan dengan Richard ”The Lion Heart” pada tahun 1192, yang pada intinya mengizinkan kembali para peziarah Barat untuk mengunjungi Jerusalem. Pada tahun 1219, tembok kota kembali dirobohkan atas perintah Sultan dari Damascus asal Dinasti Abbasiah, yakni Sultan Al-Malik Al-Mu’azzam Syarafuddin. Ia beranggapan apabila tembok tidak dirobohkan, maka pasukan Salib akan dengan mudah merebut kembali Jerusalem dan akan dijadikan markas mereka lagi. Hal itu akan membahayakan negara-negara Islam di sekitarnya. Ketika itu, Jerusalem kembali dipandang sebagai kota yang sangat penting dalam pertarungan antara Barat dan dunia Islam. Al-Mu’azzam juga bermusuhan dengan penguasa Mesir saat itu, Dinasti Ayyubiyah, yakni Sultan Al-Malik Al-Kâmil I Nashiruddin. Untuk menghadapi Al-Mu’azzam, Al- Kâmil menandatangani perjanjian kerja sama pada tahun 1229 dengan Kaisar Romawi Frederick II. Menurut perjanjian itu, 10 tahun kemudian, Jerusalem diserahkan kepada Frederick II. Pada tahun 1239, Frederick II mulai membangun tembok kota lagi, tetapi tembok kota dihancurkan kembali oleh Da’ud, seorang emir dari Kerak, sebuah kota yang sekarang masuk wilayah Jordania. Perjanjian itu menyatakan: ”Sultan menyerahkan Jerusalem kepada Kaisar atau wakilnya. Kaisar atas keinginannya mempertimbangkan akan memperkuat (dengan membangun benteng) kota itu dan hal-hal lainnya. Masjid Al-Aqsha, yang oleh Kristen dikenal sebagai Kuil Solomon dan Dome of the Rock atau Masjid Umar, yang dikenal sebagai Temple of the Lord, dan semua wilayah Haram Al-Sharif, yakni wilayah Temple Mount, akan tetap di bawah otoritas Muslim, yang akan menunaikan ibadah sesuai dengan hukum mereka, termasuk seruan adzan untuk sembahyang. Kunci- kunci gerbang Haram Al-Sharif juga akan tetap dikuasai umat Muslim. Orang Kristen yang ingin pergi ke Haram untuk berdoa akan diizinkan untuk melakukannya” Sekitar tahun 1243, Jerusalem jatuh lagi ke tangan Kekuasaan Kristen dan tembok kota yang runtuh kembali diperbaiki. Kekuasaan Kristen kali ini tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Karena pada tahun 1244, untuk pertama kalinya, kekuasaan dari Asia Tengah, orang-orang Tartar, menyerbu kota itu di bawah kepemimpinan Kharezmian Tatar dan mendudukinya. Tetapi pada tahun 1247, mereka berhasil dipukul keluar dari Jerusalem oleh pasukan Ayyubiyah dari Mesir. Penguasa Mesir saat itu adalah Sultan Al-Malik AlShâlih Najmuddîn Ayyûb. Pada tahun 1260 bangsa Tartar kembali menyerbu Jerusalem di bawah kepemimpinan Hulaku Khan. Cucu Jenghis Khan ini pula yang menaklukkan Baghdad pada tahun 1258. Selama masa pemerintahan Dinasti Mamluk (1250-1516), Jerusalem makin terpuruk; tidak menjadi ibu kota dinasti, kondisi perekonomian dan kebudayannya semakin merosot. Tembok kota dirobohkan sejak tahun 1219 dan tidak dibangun lagi selama lebih dari tiga abad. Hal itu mempermudah perampok masuk kota. Kondisi kota itu pun semakin kacau sehingga di akhir masa pemerintahan Dinasti Mamluk, penduduk kota itu tinggal sekitar 4.000 jiwa. Mulai dari tahun 1516, Yerusalem berada di bawah kuasa Dinasti Ottoman atau Utsmaniyah yang beragama Islam. Wangsa itu sesungguhnya meliputi sukusuku Turki nomadik, dan pendirinya ialah Osman. Kondisi Jerusalem mulai membaik setelah Sulaiman Agung (1520-1566) membangun tembok-tembok kota pada tahun 1537-1541. Pembangunan tembok-tembok kota itu sebagian masih menggunakan fondasi lama yang digunakan pada zaman sebelumnya.Kini lokasi tembok-tembok kota tersebut dikenal dengan nama Kota Lama. Pemerintahan Sulaiman dan beberapa Sultan Dinasti Ottoman setelahnya dikenal sebagai zaman ”kedamaian beragama”. Dalam tahap awalnya, dinasti ini mendukung pembangunan Jerusalem, tetapi di kemudian hari para penguasanya sama sekali tidak peduli akan Palestina. Keadaan Jerusalem semakin memprihatinkan. Pada pertengahan abad 19 jumlah penduduknya mencapai 11 ribu orang saja. Tetapi pada abad itu juga pengaruh Kristen di Jerusalem semakin terasa. Sejak tahun 1881 cukup banyak perantau Yahudi mulai kembali ke Tanah Suci. Pemerintah Inggris pun mengakui kurangnya minat kaum Muslim terhadap Jerusalem pada masa Perang Dunia I. Dalam perundingan-perundingan dengan Sharif Husain dari Mekkah pada tahun 1915-1916 berkenaan dengan perlawanannya terhadap Ottoman, London memutuskan untuk tidak memasukkan Jerusalem dalam wilayah yang harus diserahkan kepada Arab. Akhirnya, pada tanggal 9 Desember 1917, Inggris menduduki Jerusalem di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby. Pada tahun yang sama, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour memberikan isyarat kepada seorang Zionis kaya dan berpengaruh Lord Rothschild, bahwa Pemerintah Inggris mendukung terbentuknya sebuah homeland bagi Yahudi di Palestina. Dari sinilah kemudian persoalan bermula dan berlangsung hingga sekarang. Inggris menguasai Jerusalem tahun 1917-1948. Setelah Perang Dunia II, Jerusalem menjadi ibukota Protektorat Palestina di bawah kuasa Inggris. Pada tahun 1947, PBB memerintahkan Jerusalem dijadikan zona Internasional, tetapi keputusan itu tidak pernah diwujudkan. Pada tahun 1948-1949, selama perang Israel-Arab, Jerusalem hancur, dan sesudahnya dijadikan dua bagian : Israel dan Jordania. Jordania mendapat Kota Lama dan hampir semua tempat suci, termasuk Dome of the Rock, Masjid Al-Aqhsa serta Gereja Makam Suci. Di tengah kota Jerusalem didirikan tembok pemisah yang memisahkan para penduduk kota itu selama 19 tahun. Pada tanggal 5 Juni 1967, sesudah artileri Jordania menembaki bagian Jerusalem yang dihuni oleh orang-orang Yahudi, pecahlah perang baru. Dalam 48 jam orang-orang Yahudi mencaplok Kota Lama Jerusalem, menghancurkan tembok pemisah, lalu mulai membangun semua objek yang sempat dihancurkan oleh Jordania di wilayah Kota Lama. Sejak itu orang-orang Yahudi boleh kembali ke Tembok Ratapan setelah 2 ribu tahun terusir dari Tanah Suci. b. Status Kota Jerusalem Banyak orang mengatakan bahwa penyelesaian konflik Palestina-Israel tergantung pada penyelesaian status Jerusalem. Sebenarnya, keunikan Jerusalem tidak berasal dari warisan sejarah panjangnya, melainkan dari arti spiritualnya. Tiga agama besar di dunia, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, walau ketiganya berbeda dalam konsep fundamental tentang Tuhan dalam iman dan ritual ibadahnya, disatukan oleh kecintaan mereka terhadap Jerusalem. Bagi orang Yahudi, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia. Bagi umat Kristen, Jerusalem adalah kota suci yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Sementara bagi umat Muslum, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malamnya dari Mekkah ke Jerusalem, Isra Mi’raj ke Sidrat AlMuntaha. Meskipun perbedaan di antara ketiganya jelas, ketiga agama tersebut dipersatukan oleh ”klaim bahwa mereka adalah keturunan Ibrahim (Abraham)”. Ketiga agama besar itu menghormati satu tempat yang sama di Jerusalem, yaitu Temple Mount, yang dihubungkan dengan satu peristiwa penting dalam kehidupan Ibrahim, yaitu keputusannya untuk mengorbankan putranya, sampai kemudian Tuhan memberikan pilihan lain sebagai ganti untuk dikorbankan. Di sini, umat Yahudi dan Kristen berpendapat sama, berbeda dengan umat Islam. Dalam Kitab Suci Yahudi dan juga Kristen, yang dikorbankan adalah Ishak. Sedangkan dalam Alqur’an yang dimaksud dengan putra Ibrahim adalah Ismail. Oleh karena itu, Temple Mount merupakan tempat yang penting bagi ketiga agama samawi itu dan hal itu telah berlangsung berabad-abad. Masing-masing pihak mengklaim Ibrahim sebagai milik mereka. Orang-orang Yahudi mengklaim sebagai keturunan dari Ishak, putra Ibrahim, dan orang-orang Arab adalah keturunan dari putranya yang lain, Ismail. Temple Mount yang juga sering disebut Haram Al-Sharif memiliki luas seperenam wilayah Kota Lama yang luasnya 1 km2 dan terletak di wilayah Jerusalem Lama. Di atas Temple Mount terdapat Dome of the Rock atau Qubbat As-Sakhrah atau sering disebut Al-Haram Al-Qudsi Al-Sharif, tempat yang paling suci, dan Masjid Al-Aqsha. Dimensi agama telah memberi bobot lebih kepada kota itu, sekaligus menambah rumit konflik dan identitas yang kontradiktif sehingga kota itu menjadi fokus kepentingan dunia. Karena itu, posisi Jerusalem pun rumit. Tiga agama monoteistik sama-sama mengklaim berhak atas tempat-tempat suci yang ada di kota itu dengan alasan masing-masing. Kesucian Jerusalem menyulitkan setiap usaha untuk menyelesaikan masalah kota itu dan sering kali digunakan atau dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan non-agama. Usaha untuk mengetahui status Jerusalem dimulai dari sejarah agama Yahudi, Kristen, dan Islam dengan kota itu. Hal itu hanya menyangkut keingintahuan historis dan agama. Jerusalem adalah ”kota suci bagi tiga agama monoteistik”. Pernyataan seperti itu yang kerap ditegaskan oleh pihak-pihak yang ingin menjadikan status kota sebagai subyek perundingan. Aspek-aspek legal yang berhubungan dengan Jerussalem sangat rumit dan berakar dalam faktor-faktor politik, agama, dan sejarah. Karena itu, saat pertimbanganpertimbangan emosional lebih mendominasi masalah ini, sulit untuk membicarakan aspekaspek hukum dari masalah Jerusalem. Orang Yahudi selalu memaknai Jerusalem dalam dua aspek sekaligus, yakni agama dan politik. Dengan kata lain, Jerusalem memiliki arti penting baik dari segi agama maupun politik. Hal itu yang terus dipertahankan hingga sekarang dan menjadi dasar klaim dan tuntutan mereka. Bagi Yudaisme, Jerusalem adalah kombinasi pusat politik dan agama orang-orang Yahudi. Konsekuensinya adalah ingatan akan Jerusalem dan elemen-elemen sejarahnya yang utama seperti Istana Daud dan Bait Suci. Di zaman modern ini, mereka memasukkan Jerusalem ke dalam definisi Zionisme dengan mengacu pada Kitab 2 Samuel 5:7, Klaim teologis lainnya atas Jerusalem misalnya, didasarkan pada teks-teks Perjanjian Lama dalam Kitab Kejadian 12:7, 15:18-21 dan Kitab Yosua. Kitab ini menceritakan tentang kisah Ibrahim dan sejumlah janji Tuhan kepada Ibrahim. Ibrahim kemudian diperintahkan pergi ke tanah Palestina dan Tuhan meyakinkan bahwa negara itu akan menjadi milik keturunannya. Tanah Palestina itulah yang disebut sebagai “Tanah yang Dijanjikan” (The Promised Land) atau Israel Raya (Eretz Israel). Dengan menyodorkan kisah-kisah tersebut, orang-orang Yahudi mau menegaskan bahwa sejak ribuan tahun lalu mereka sudah berhubungan dengan Jerusalem. Karena itu, bagi mereka Temple Mount dan Tembok Barat merupakan tempat tersuci. Kini jelas pentingnya arti Jerusalem secara spiritual bagi kaum Yahudi. Mereka mempertegas arti penting Jerusalem secara spiritual itu dengan menekankan pentingnya Jerusalem dari segi politik. Mereka bertahan menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota negara meskipun ditentang dunia. Umat Kristen mengkultuskan Jerusalem tidak hanya karena peranannya seperti yang dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama, tetapi lebih-lebih karena peranannya yang begitu penting di masa kehidupan Yesus, seperti yang dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Baru, Injil. Dalam tradisi Kristen, Jerusalem adalah Mater Omnium Ecclesiam, Bunda Semua Gereja. Di kota inilah Gereja Perdana lahir. Dan dari sana pula gereja dan komunitas Kristen menyebar ke seluruh dunia. Bagi mereka, Kota Jerusalem dianggap 'suci' dan penting karena di sanalah Yesus wafat dan dibangkitkan kembali hingga munculnya Iman Kristen. Walaupun dalam Injil telah menerangkan tentang hak historis Jerusalem oleh Yahudi pada kitab kejadian 15;18 namun karena sejarah iman mereka pun berasal dari Jerusalem dengan pergerakan Yesus Kristus dalam membawa iman Nasrani, mereka merasa memiliki hak yang sama dalam menjaga dan mensucikan simbol keagamaan mereka yang berada di Jerusalem. Bagi umat Kristiani, Jerusalem adalah altar tempat Yesus dikorbankan, tempat Yesus menyerahkan hidup-Nya di kayu salib. Yesus dimakamkan di Gereja Makam Kristus. Gereja ini (yang tidak terletak di Temple Mount, tetapi tetap dalam Kota Lama) diyakini didirikan di atas Bukit Golgotta dan di dalamnya terdapat makam Kristus. Dengan demikian, arti penting umat Jerusalem bagi umat Kristen memiliki dua dimensi fundamental yang tak terpisahkan; pertama, Jerusalem adalah sebuah Kota Suci dengan tempat-tempat sucinya yang sangat berarti bagi umat Kristen karena hubungannya dengan pemenuhan sejarah keselamatan di dalam dan dengan perantaraan Yesus Kristus. Kedua, Jerusalem adalah sebuah kota dengan komunitas Kristen yang telah hidup di sana secara berkesinambungan sejak kelahirannya. Kota Jerusalem sangat suci bagi umat Muslim. Jerusalem merupakan salah satu dari tiga kota suci dalam agama Islam, selain Mekkah dan Medina. Kesucian Jerusalem, menurut agama Islam, ada dalam realitas religius sejarahnya. Jerusalem merupakan ”kiblat” pertama bagi umat Muslim, sebelum akhirnya 16 bulan setelah Hijrah, Nabi Muhammad SAW, seperti tertulis dalam Surat Al-Baqarah, memerintahkan untuk berkiblat ke Masjidil Haram, Ka’bah. Karena status religius dan teologi, Jerusalem merupakan tempat yang sangat penting dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri. Hal itu berkaitan dengan perjalanan malam yang penuh mukjizat yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Dari kota inilah diyakini Nabi Muhammad SAW naik ke surga dan menerima petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana umat Muslim bersembahyang. Kitab Suci Al-Quran dalam Surat Al-Isrâ’ menyatakan Nabi melakukan perjalanan malam dari Masjid Suci ke Masjid Terjauh (Jerusalem / Al-Masjid Al-Aqsha). Sebagai akibat dari itu, Jerusalem bagi umat Muslim adalah uwla al qiblatayn wa thalith al haramayn : kiblat pertama untuk berdoa dan kota suci ketiga. Setelah Perang 1967, status Jerusalem yang secara de facto diduduki dan dikuasai Israel tidak jelas secara de jure. Israel bahkan melakukan ”yudaisasi” atas Jerusalem, yakni dengan menerapkan hukumnya atas wilayah Jerusalem Timur dan menyatakan bahwa Jerusalem secara ”menyeluruh dan bersatu” merupakan ”ibu kota abadi” Israel. Hal itu diputuskan oleh Knesset (Parlemen Israel) pada tanggal 18 Juni 1967. Israel selalu menyatakan bahwa posisi legal Internasional mereka atas Jerusalem berasal dari Mandat Palestina atau yang aslinya disebut ”The British Mandate For Palestina” (Palestine Mandate, 24 Juli 1922), yang mana Liga Bangsa-Bangsa —menjadi sumber utama legitimasi internasional PBB— mengakui ”hubungan historis bangsa Yahudi dengan Palestina”. Mandat tersebut tidak memperlakukan Jerusalem secara terpisah dari wilayah Palestina lainnya. Mandat ini diputuskan dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan pasca Perang Dunia I oleh Dewan Tertinggi Sekutu di San Remo, Italia, pada tanggal 19 - 26 April 1920. Keputusan itu disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tanggal 24 Juli 1922 dan mulai diberlakukan pada bulan September 1923. Mengenai istilah national home bagi bangsa Yahudi tertulis dalam pasal 2 dan juga dalam pembukan tentang ketentuan Mandat Palestina. Dalam pasal 2 itu juga disebutkan Inggris juga berkewajiban untuk ”melindungi hak-hak sipil dan agama bagi semua penduduk Palestina, terlepas dari agama dan ras mereka.” Bagian ini sangat penting namun jarang sekali disebutkan oleh Israel. Yang ditekankan oleh Israel adalah tentang ketentuan national home saja. Tetapi, ”hak” Israel yang mendasarkan pada Mandat Palestina yang diputuskan di San Remo, dan juga Perjanjian Sevres, serta Deklarasi Balfour, dipatahkan oleh Inggris lewat ”Churchill White Paper” atau ”White Paper of 1922”. Dalam ”Churchill White Paper” ini, Inggris menyatakan tidak mendukung sebuah nation yang terpisah yang disebut sebagai Jewish Nation Home. Yang didukung Inggris adalah pembentukan komunitas Yahudi di wilayah Palestina. Selain itu, dalam salah satu alineanya, ”Churchill White Paper” juga menyangkal ”pembentukan sebuah Palestina Yahudi seluruhnya” dan menyatakan bahwa Pemerintah Inggris tidak berkeinginan melihat Palestina menjadi ”Yahudi-nya Inggris”. Sementara itu Palestina juga menyatakan Jerusalem atau Al-Quds akan menjadi ibukota Negara Palestina Merdeka di masa mendatang, atas dasar klaim pada agama, sejarah, dan jumlah penduduk di kota itu. Saling klaim terus terjadi. Status Jerusalem itu sangat berkaitan dengan dengan masa depan Timur Tengah. Setiap kali digelar perundingan antara Israel dan Palestina menyangkut status Jerusalem selalu tidak mudah dicapai kesepakatan. Hal itu berlangsung berkali-kali karena tak satu pun pihak yang bersedia menyerah, masing-masing mengklaim memiliki hak atas wilayah kota itu, masing-masing menyatakan memiliki tempat-tempat suci di sana. Secara demografis dan geografis, Jerusalem memang sudah terbagi. Ada wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan ada pula wilayah yang dihuni orang-orang Palestina. Selain itu, sulit pula membagi Jerusalem karena tiga agama besar memiliki tempat-tempat suci di kota itu. Dan yang lebih penting lagi, simbol-simbol penting dari ketiga agama itu letaknya berdekatan satu sama lain. Berbagai gagasan dan usulan penyelesaian sengketa Jerusalem itu telah dirumuskan. Pada tahun 1947 dibentuk ”United Nations Special Committee on Palestine” (UNSCOP). Komite ini beranggotakan 11 orang yang mendapat tugas untuk mencari penyelesaian masalah Palestina. Tetapi mereka tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai penyelesaian masalah Palestina. Mereka merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara: satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Komite juga merekomendasikan bahwa Jerusalem menjadi kota internasional. Pernah pula Vatikan melontarkan ide untuk memberikan status sebagai kota internasional. Gagasan ini mendapat dukungan masyarakat internasional. Gagasan lain yang pernah muncul adalah dengan menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota bersama kedua negara: Israel dan Palestina. Pikiran seperti itu dikemukakan oleh John Whitbeek dalam tulisannya di mingguan Al-Ahram. Dalam artikelnya berjudul Sharing Jerusalem, John Whitbeek berpendapat, dalam konteks solusi dua negara, Jerusalem dapat menjadi wilayah tak terbagi untuk kedua negara, merupakan ibukota kedua negara dan dikelola oleh dewan distrik setempat. Dalam terminologi hukum internasional, Jerusalem akan menjadi sebuah condominium (daerah yang dikuasai bersama) oleh Israel dan Palestina89. Condominium memang jarang, tetapi pernah ada preseden. Misalnya Kota Chandigarh yang merupakan ibu kota bersama (tidak dibagi) antara dua negara bagian India yang bertetangga, yakni Punjab dan Haryana, di India bagian utara. Tetapi secara administratif, Chandigarh tidak di bawah yurisdiksi baik Punjab maupun Haryana, melainkan langsung di bawah pemerintah pusat dan karena itu diklasifikasikan sebagai union territory. Gubernur Chandigarh disebut Administrator Chandigarh. Selama setengah abad (1899-1955), sebelum merdeka pada tahun 1956, Sudan adalah condominium dari Inggris dan Mesir, yang secara resmi bernama Anglo-Egyptian Sudan (Sudan Inggris-Mesir). Selama 74 tahun (1906-1980), Vanuatu, yang terletak di Laut Pasifik Selatan, di bawah kedaulatan bersama Inggris dan Perancis. Kedua negara itu mengklaim secara resmi sebagai yang berkuasa atas negara pulau itu. Wilayah itu disebut ”New Hebrides Condominium”. Contoh lainnya adalah Andorra. Selama lebih dari 700 tahun, sampai revisi konstitusi 1993, Andorra ada di bawah kedaulatan tak terbagi dua Negara, yakni Perancis dan Spanyol, antara Presiden Perancis dan Uskup Urgell, Spanyol. 89 Ibid, hal. 272 Gagasan seperti itu memang tidak mudah dilaksanakan. Misalnya, AS tidak mendukung gagasan seperti itu. Keputusan Kongres AS pada tahun 1995, yang memberikan mandat pada pemerintah AS untuk memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem, merupakan cerminan dari sikapnya yang selalu mendukung Israel. Meskipun mandat dari Kongres itu tidak dilaksanakan karena dampaknya akan sangat membahayakan proses perdamaian. Oleh karena itu, usaha untuk mencari penyelesaian masalah Jerusalem terus dilakukan. Perundingan damai antara Israel dan Palestina di Oslo (September 1993) yang melahirkan Deklarasi Prinsip-Prinsip atau yang dikenal dengan Kesepakatan Oslo sebenarnya mencerminkan adanya perubahan fundamental dalam kebijakan atas Jerusalem. Israel berkeinginan untuk merundingkan isu Jerusalem. Perdana Menteri Yitzhak Rabin ketika itu menyetujui kesepakatan sementara bagi dibentuknya pemerintahan sendiri bagi Palestina yang dikenal sebagai Otoritas Palestina untuk masa lima tahun di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Jerusalem secara jelas tidak dimasukkan dalam yurisdiksi Palestina, tetapi Pemerintah Israel secara eksplisit menyetujui bahwa isu Jerusalem akan didiskusikan dalam perundingan status final antara pihak-pihak yang berkepentingan; termasuk isu-isu lainnya, seperti perbatasan final, rencana keamanan, pengungsi, dan permukiman Israel. Menurut Palestina, Israel tidak pernah mau menerima bahwa status final Jerusalem ditulis dalam agenda perundingan — Jerusalem benar-benar tidak pernah muncul di meja perundingan. Namun pihak Israel sendiri tetap kukuh pada sikapnya bahwa Israel berdaulat atas seluruh Jerusalem. Menurut Rabin, jika harus menyerahkan Jerusalem demi terciptanya perdamaian, lebih baik tidak perlu ada perdamaian. Ia menegaskan bahwa Jerusalem akan tetap berada di bawah kedaulatan Israel. Tentu saja sikap Rabin tersebut menjadi penghalang bagi penyelesaian masalah Jerusalem dan pada gilirannya menjadi penghalang usaha pencarian perdamaian di kawasan Timur Tengah. Tujuh tahun setelah pelaksanaan Kesepakatan Oslo 1993, Ehud Barak menjadi perdana menteri Israel pertama yang mempertimbangkan untuk membagi kembali Jerusalem sebagai jawaban terhadap proposal yang diajukan AS dalam Pertemuan Puncak Camp David. Pertemuan dilaksanakan pada 11-24 Juli 2000 yang dihadiri oleh Presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Ehud Barak, dan Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat. Pertemuan itu dimaksudkan untuk merundingkan penyelesaian final konflik Israel-Palestina berdasarkan pada Kesepakatan Oslo 1993. Jerusalem menjadi isu utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Camp David 2000. Palestina memandang Jerusalem Timur sebagai bagian wilayah pendudukan yang direbut Israel pada Perang Enam Hari 1967. Oleh karena itu, Palestina menuntut penarikan secara total pasukan Israel dari wilayah pendudukan ke garis perbatasan 4 Juni 1967, sebelum perang pecah. Sementara itu bagi Israel, Jerusalem Timur adalah bagian dari wilayahnya yang tidak terpisahkan sejak direbut dalam Perang 1967. Pembahasan mengenai Jerusalem itu bermula dari proposal yang ditujukan AS pada tanggal 23 Juli 2000 kepada Israel dan Palestina, berdasarkan pada proposal yang diajukan Israel. Hal-hal penting yang disodorkan AS itu adalah: 1) Palestina berdaulat penuh atas Wilayah Muslim dan Kristen di Kota lama; 2) Israel berdaulat atas Wilayah Yahudi dan Armenia di Kota Lama; 3) Wilayah Temple Mount akan tetap di bawah kedaulatan Israel dengan sebuah konsep ”custodianship” bagi orang-orang Palestina yang secara resmi akan diberikan kepada mereka oleh Dewan Keamanan PBB dan Maroko. Adapun proposal AS yang kedua ini menyangkut masalah Temple Mount. Palestina dapat memahami proposal kedua ini. Mereka mengartikan proposal kedua itu sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah Temple Mount dengan membagi kedaulatan atas Temple Mount secara ”vertikal dan horizontal.” Artinya, menurut mereka, Palestina akan menguasai segala sesuatu yang ada di atas tanah, sementara Israel berdaulat atas segala sesuatu yang ada di bawah tanah; 4) Wilayah-wilayah pinggiran Jerusalem yang dihuni orang-orang Palestina, seperti Shuafat dan Beit Henina di Jerusalem Timur akan berada di bawah kedaulatan Palestina, sementara wilayah di sekitar Kota Lama seperti Sheikh Jarah, wilayah Jalan Salah ad-Din, Silwan, dan Ras Al-Amund hanya akan di bawah penguasaan Palestina secara fungsional dalam kerangka kedaulatan Israel. Orang-orang Palestina memahami hal ini sebagai pemerintahan sendiri (self-rule) lokal atas wilayah-wilayah tersebut. Usulan itulah yang kemudian ditanggapi berbeda oleh Israel (PM Ehud Barak) dan Palestina (Yasser Arafat) secara berbeda. Dalam perundingan itu, Barak setuju untuk menyerahkan kedaulatan sebagian besar daerah pinggiran Jerusalem Timur kepada Palestina serta menyerahkan kedaulatan atas Wilayah Muslim dan Kristen di Kota Lama dan ”pemeliharaan” atas tempat tersuci Yudaisme, Temple Mount, kepada Palestina. Baru pertama kali ini wilayah-wilayah di Kota Lama, Jerusalem, yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967 dibagi lagi. Belum pernah ada seorang pun perdana menteri Israel yang melakukan hal itu, tetapi Barak melakukannya dalam Perundingan Camp David 2000. Tentu saja hal ini mendapat tentangan keras di Israel. Akan tetapi Arafat menolak usulan itu. Dengan demikian, Perundingan Camp David gagal total. Pertemuan puncak berakhir tanpa berhasil menyepakati masalah-masalah utama yang selama ini menjadi ganjalan bagi penyelesaian konflik Timur Tengah: masalah pengungsi, perbatasan, dan Jerusalem. Saat perundingan Camp David, tidak ada penyelesaian final komprehensif yang diajukan. Para perunding AS dan Israel mengajukan gagasan yang perlu dibahas, yakni menyangkut perbatasan, Jerusalem, dan transfer tanah untuk perdamaian. Arafat menolak ussulan itu, tetapi tidak mengajukan usulan lain. Dalam perundingan itu Arafat dengan tegas menyatakan bahwa orang Yahudi tidak memiliki tempat suci di Temple Mount, yang ada hanyalah obelisk. Menurut Arafat, Kuil Solomon tidak ada di Jerusalem, tetapi di Nablus (Tepi Barat). Tidak pernah ditemukan sebuah batu pun yang membuktikan bahwa Kuil Solomon ada di sana karena, secara historis, Bait Suci itu sama sekali tidak di Palestina90. Inilah yang kemudian disebut sebagai doktrin ”Temple Mount.” Para pakar peninggalan bersejarah Yahudi mengakui bahwa mereka tidak menemukan sesuatu pun yang memiliki hubungan baik dengan kuil mitos mereka atau sejarah kuno Israel. Namun Israel terus menggali di sana. Sebab mereka ingin mengelabui dunia bahwa mereka memiliki sejarah dan peradaban dengan cara manipulasi Taurat dan mitos mereka tentang Kuil Solomon. Israel selalu berusaha meruntuhkan Masjidil Aqsa dengan melakukan berbagai penggalian di bawah dan sekitarnya. Salah satunya adalah penggalian berkedok arkeologi di dekat Gerbang Dung, salah satu pintu masuk menuju kota tua Jerusalem yang mengarah ke kompleks Masjid Al Aqsa. Israel mengatakan bahwa penggalian itu berjarak 70 meter di luar kompleks dan telah mengundang semua pihak untuk menyaksikannya. Tapi fakta sebenarnya di lapangan adalah buldoser-buldoser Israel berniat meratakan gundukan tinggi dekat Gerbang Dung. Ini sangat mengancam pondasi Masjidil Aqsa karena di sana terdapat ruangan bawah tanah yang terhubung dengan masjid tersebut. Mengenai status Jerusalem sampai saat ini sangat tergantung kepada siapa pertanyaan tersebut ditujukan. Jika pertanyaannya ditujukan kepada orang-orang Israel, pasti jawabannya adalah ”Jerusalem milik bangsa Israel”. Sebaliknya, jika pertanyaannya diajukan kepada orang-orang Palestina dan juga bangsa Arab, jawabannya pun pasti ”Jerusalem milik bangsa Palestina”. Apabila setiap kali perundingan proses perdamaian Timur Tengah memasuki jalan 90 Muchlisin, Israel Tak Bisa Buktikan Sejarah Jerusalem Sebagai Miliknya, dalam (http://Muchlisin.Blogspot.com/2010/04/20/Israel-tak-bisa-buktikan-sejarah-Jerusalem-sebagai-miliknya.html), diakses pada tanggal 16 Oktober 2010. buntu, hal itu akan membawa semua pihak memasuki tahapan frustasi dan berdampak serius terhadap stabilitas kawasan. Masyarakat dunia berharap segera tercapai penyelesaian yang meng-cover semua pihak, baik Israel dan Palestina di satu pihak maupun Yahudi, Kristen, dan Muslim di pihak lain. c. Posisi Strategis Jerusalem Sejak merdeka pada tanggal 14 Mei 1948, Jerusalem menjadi isu sangat krusial antara Israel dan Palestina. Sekalipun PBB telah mencoba membagi-bagi wilayah ini, tapi Israel tetap menunjukkan sikap arogansinya. Dalam perang enam hari 1967, Jerusalem, Jalur Gaza, Sinai dan Dataran Tinggi Golan berhasil dikuasai Israel. Israel cenderung mempertahankan wilayah tersebut, termasuk Jerusalem sebagai occupied territories karena mempunyai arti penting secara politis, ekonomis dan keamanan. Penguasaan kota Jerusalem banyak didominasi oleh kekuatan negara-negara Islam semenjak zaman kekhalifahan Islam. Kota ini menjadi sangat penting karena keadaan geografisnya yang sangat strategis, dikelilingi oleh negara negara Arab seperti Jordania, Lebanon, Syria, Arab Saudi dan Irak serta menjadi pusat lintasan utama antara Benua Asia dan Afrika melalui Terusan Suez yang menghubungkan dengan negara Mesir menjadikan kota Jerusalem untuk diperhitungkan. Sejarah membuktikan bahwa pada abad perunggu perkembangan kota justru terjadi di sekitar pesisir pantai, lembah Yizreel yang subur dan Negev, dimana orang-orang Mesir membangun pusat-pusat perdagangan. Kana’an (nama lain Jerusalem) adalah sebuah negeri yang kaya potensi; penduduknya banyak mengekspor anggur, minyak, madu, aspal dan biji- bijian. Kanaan juga memiliki nilai strategis, karena menghubungkan Asia dan Afrika dan menjadi jembatan antara Mesir, Syria, Phunisia, dan Mesopotamia. Jerusalem menjadi obyek perebutan dari Israel dan negara-negara Arab oleh karena Jerusalem mempunyai beberapa sisi strategis jika Jerusalem jatuh kedalam salah satu pihak. Merujuk pada kerangka berpikir Mackinder mengenai ”heartland”, dapat dianalogikan bahwa heartland disini adalah Jerusalem (Meskipun dalam teori Mackinder ”heartland” merupakan salah satu bagian dari Eropa timur). Jerusalem memiliki posisi strategis karena Jerusalem merupakan pintu gerbang antara Eropa dan Timur Tengah. Meskipun secara geografis Jerusalem termasuk dalam kawasan Timur Tengah, tetapi dengan kondisi geografis yang mengkondisikan Jerusalem berada diantara dua “spesies” kultur yang jauh berbeda antara kultur Eropa dan Arab, maka secara kultural, Jerusalem memiliki kekayaan kultural yang besar. Selain itu, kondisi Jerusalem yang terletak dekat dengan Teluk Mediterania, secara historis dan kontemporer, Jerusalem memiliki asupan perdagangan yang cukup besar pula. Secara klasik (jaman medieaval) dari perspektif Eropa, dalam menguasai Jazirah Arabia, maka sebagai pintu masuk harus menguasai Jerusalem terlebih dahulu. Sedangkan dari perspektif negara-negara Timur Tengah, untuk menguasai Eropa, maka harus melalui Jerusalem terlebih dahulu. Selain faktor geopolitik, permasalahan ideologi agama yang ada di Jerusalem juga mempengaruhi negara-negara dalam memperebutkan Jerusalem (Karena Jerusalem merupakan pusat perpaduan okupasi dari 3 agama besar). Tidak mengherankan jika penguasa-penguasa jaman dahulu hingga sekarang memperebutkan Jerusalem demi alasan politis. B. Resolusi PBB untuk menangani konflik Arab–Israel dalam kota Jerusalem memperebutkan Berbagai proposal diserahkan untuk menentukan masa depan Palestina di bawah Mandataris Inggris yang dibayangi oleh Zionis dan reaksi revolusioner Palestina. Rencana yang paling utama adalah resolusi pembagian yang menyarankan bahwa Palestina harus dibagi dua menjadi negara Palestina dan Yahudi yang berpihak mengklaim akan hak-hak historis, politis, dan legal. Dan itu sungguh tidak memungkinkan bahwa dua bangsa untuk hidup bersama. Maka dari itu wilayah ini harus dibagi di antara mereka. Proposal ini pertama kali diperbincangkan oleh Komite Bill, 1 tahun setelah Revolusi Palestina yang terjadi di tahun 1936. Kemudian komite mengajukan rekomendasirekomendasinya pada tahun 1937. Proposal ini diadopsi oleh Zionis yang berhasil untuk membangun negara Yahudi di Palestina. Akhirnya setelah PD II, zionisme berhasil mendeklarasikan negara Yahudi dan pemerintah Inggris mengadukan persoalan ini ke PBB pada tahun 1947. Zionisme menerima rujukan perosalan ini ke PBB yang sudah dikuasai oleh AS yang menjadi sekutu Zionisme terdekat setelah Inggris pasca PD II. Pada tahun 1947 dibentuk ”United Nation Special Committee on Palestina” (UNSCOP), Beranggotakan 11 orang yang bertugas untuk mencari penyelesaian masalah Palestina. Tetapi mereka tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai penyelesaian masalah Palestina. Mereka merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara: Arab dan Yahudi. Komite juga merekomendasikan bahwa Jerusalem menjadi kota internasional. Laporan komite itu diserahkan kepada Majelis Umum PBB pada tanggal 29 November 1947. Dan laporan itulah yang kemudian diadopsi menjadi Resolusi PBB Nomor 181 (II) yang diterbitkan tahun 1947 mendukung Vatikan yang menyatakan Jerusalem harus dipertahankan sebagai kota internasional. Melalui pemungutan suara, 33 suara setuju, 13 suara menolak, dan 10 abstain. AS dan Uni Soviet mendukung resolusi tersebut sementara Inggris yang waktu itu masih memegang mandat PBB atas Palestina memilih abstain disebabkan tekanan dari negara-negara Arab dan hanya menjanjikan untuk menarik tentaranya dari Palestina pada bulan Agustus 1948. Resolusi Nomor 181 (II) itu kemudian dikenal sebagai ”Palestine Partition Plan” (Rencana Pembagian Palestina). Rencana yang diajukan dalam resolusi itu : 1. Pembentukan dua negara, Negara Arab dan Negara Yahudi; 2. Jaminan perlindungan terhadap minoritas; 3. Ketentuan untuk imigrasi dan kewarganegaraan individual; 4. Internasionalisasi Jerusalem, menciptakan corpus separatum wilayah yang terpisah, rezim khusus) bagi wilayah Jerusalem; 5. Integrasi supranasional melalui ”Uni Ekonomi Palestina”. Yang paling penting dari resolusi itu adalah penetapan Jerusalem sebagai corpus separatum. Ini adalah istilah hukum yang berarti ”entitas” (perjanjian) yang terpisah. Saat menerbitkan resolusi ini, PBB mneyatakan bahwa PBB memiliki sebuah perjanjian yang terkait dengan Jerusalem, yaitu Resolusi 181 (II) dan Piagam PBB. Israel sebagai negara terikat dengan Piagam PBB. Di mata PBB, Jerusalem dilihat sebagai sebuah entitas (badan) dan dunia seperti lainnya. Penetapan Jerusalem sebagai corpus separatum itu terjadi 6 bulan sebelum deklarasi kemerdekaan Negara Israel (15 Mei 1948). Penetapan Jerusalem sebagai corpus separatum terjadi sebelum Negara Israel ada. Artinya, atas dasar ini, Jerusalem tidak bisa dijadikan sebagai bagian dari Israel. Tujuan PBB adalah menetapkan ”rezim internasional” bagi Jerusalem dengan menciptakan Dewan Perwalian yang beranggotakan lima negara. Kelima neagara anggota Dewan Perwalian itu sama dengan lima anggota tetap Dewan Keamanan. Pada tanggal 4 April 1950, Dewan Perwalian mengesahkan ”Statute of City of Jerusalem” (Undang-Undang Kota Jerusalem). Dalam Undang-Undang yang terdiri atas 43 pasal itu, status Jerusalem, dalam pembukaannya, secara tegas disebut sebagai corpus separatum, di bawah Rezim Internasional Khusus dan diurus oleh PBB. Pernyataan dalam pembukaan itu ditegaskan lagi dalam Pasal 1: ”Undang-Undang yang baru sekarang ini menegaskan Rezim Internasional Khusus bagi Kota Jerusalem dan mengangkatnya sebagai corpus separatum di bawah pemerintahan PBB”. Akan tetapi, resolusi ini lebih merupakan sebuah ”rekomendasi” daripada sebuah instrumen yang secara resmi mengikat secara internasional. Karena tidak secara internasional mengikat, resolusi ini dapat dengan mudah pula dilanggar. Resolusi Majelis Umum PBB berbeda sifatnya dengan keputusan Dewan Keamanan PBB. Resolusi Majelis Umum PBB hanya mengikat ke dalam, bersifat sebagai saran, dan tidak mengikat keluar. Dan ketika terjadi perang — yang oleh Israel disebut sebagai Perang Kemerdekaan Israel (1948), tetapi oleh negara-negara Arab disebut sebagai Perang Pendudukan — hal-hal yang dinyatakan dalam resolusi itu seperti tidak berlaku lagi. Pada bulan Mei 1948, pasukan Arab masuk ke Jerusalem sehingga wilayah yang disebut corpus separatum itu tidak berlaku lagi. Legiun Arab Transjordania bergerak masuk Jerusalem dari utara, sementara pasukan artileri menggempur Jerusalem dari arah selatan atau dari Bukit Perancis (French Hill) dengan sasaran utamanya adalah Wilayah Yahudi (Jewish Quarter) di Kota Lama, yang berhasil ditundukkan pada tanggal 28 Mei 1948. Sementara itu, pasukan Mesir dan negaranegara Arab lainnya menyerang Jerusalem dari arah selatan. Setelah perang usai pada tanggal 3 Desember 1949, di Knesset (Parlemen Israel), PM David Ben-Gurion menyatakan tidak lagi menghormati Resolusi PBB 29 November 1947. Setelah PBB gagal melaksanakan resolusinya sendiri dan menganggap resolusi 29 November yang berkaitan dengan Jerusalem dibatalkan dan tidak berlaku (tidak ada). Sementara itu, Jordania tidak dalam posisi untuk menegaskan kedaulatannya atas Jerusalem karena serangan militer pada tahun 1948 atas Palestina yang dilancarkan oleh Legiun Arab dianggap ilegal dan melanggar Piagam PBB. Hanya Inggris dan Pakistan yang mengakui pengambilan Tepi Barat oleh Jordania serta beberapa negara Arab. Karena itu, Israel memiliki posisi yang kuat untuk menetapkan Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada tahun 1950. Posisi Israel itu diperkuat lagi setelah Perang Enam Hari (1967). Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur. Hal ini menunjukkan ketidaknetralan PBB. Aksi militer Jordania pada tahun 1948 ke Palestina disebut oleh PBB sebagai agresi. Tetapi, PBB pada tanggal 14 Juni 1967 menolak usulan Uni Soviet untuk mengkategorikan aksi militer Israel ke Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur sebagai agresi, atau menolak menyebut Israel sebagai agresor. Setelah Perang 1967, status Jerusalem yang secara de facto diduduki dan dikuasai Israel tidak jelas secara de jure. Israel bahkan melakukan ”yudaisasi” atas Jerusalem, yakni dengan menerapkan hukumnya atas wilayah Jerusalem Timur dan menyatakan Jerusalem secara ”menyeluruh dan bersatu” merupakan ”ibu kota abadi” Israel. Hal itu diputuskan oleh Knesset pada tanggal 18 Juni 1967. Tindakan itu oleh Majelis Umum PBB dinyatakan tidak sah. Pernyataan tersebut dituangkan dalam Resolusi Nomor 2253. Resolusi yang dirancang oleh Pakistan itu diterbitkan pada tanggal 4 Juli 1967. Pada intinya, resolusi itu menganggap semua yang dilakukan Israel di Jerusalem Timur adalah ilegal dan karena itu harus dihentikan. Resolusi tersebut didukung 99 anggota, 20 abstain, dan 3 abstain. Akan tetapi semua itu tidak dianggap oleh Israel. Mereka tetap menyatakan Jerusalem adalah ibu kotanya. Dan setelah melalui perdebatan panjang selama beberapa bulan, Dewan Keamanan PBB pada tahun 1967 menerbitkan Resolusi 242. Resolusi itu menyerukan: penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah pendudukan, yang dalam Perang 1967; direbut penghentian semua klaim oleh negara-negara yang menghormati serta mengakui kedaulatan dan integritas teritorial berperang dan serta kemerdekaan politik dari setiap negara di wilayah itu. Sekali lagi, PBB tidak bersikap tegas menyangkut masalah Jerusalem. Dalam resolusi yang diterbitkan pada bulan November 1967 itu, Dewan Keamanan PBB malahan tidak menyebut Jerusalem sama sekali dan tidak menuntut dengan tegas penarikan seluruh pasukan Israel ke garis sebelum Perang 1967. Dalam resolusi itu hanya disebut penarikan dari ”wilayah-wilayah” ke ”batas-batas yang diakui dan aman”. Dengan demikian, resolusi yang menggunakan bahasa yang ”lemah” tersebut tidak menghasilkan perubahanperubahan. Dalam suratnya tertanggal 6 Maret 1980 kepada New York Times, Arthur Goldberg yang pada tahun 1967 menjadi Duta Besar AS untuk PBB menjelaskan, ”Resolusi 242 tidak menunjuk (menyebut) Jerusalem dan hal itu dilakukan secara sengaja.” Goldberg juga menjelaskan bahwa ia tidak pernah menggambarkan Jerusalem sebagai ”wilayah pendudukan” karena ia percaya bahwa status Jerusalem akan dapat dibicarakan. Menurut pendapatnya, garis gencatan senjata yang membagi Kota Suci sudah tidak berlaku lagi. Pesan yang ingin disampaikan dari pernyataan tersebut adalah bahwa ”Jerusalem tidak dapat dibagi lagi. Jelas ini pandangan Goldberg yang sangat mendukung Israel. Gagasan masa depan Israel dapat dirundingkan oleh pihak-pihak yang berseteru secara eksplisit termuat dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 338 yang diterbitkan pada tanggal 22 Oktober 1973. Inggris dan AS menegaskan bahwa Resolusi 242 tidak menyerukan penarikan Israel secara menyeluruh. Inggris menolak permintaan Uni Soviet untuk menambahkan kata ”semua” di depan kata ”wilayah-wilayah”. Yang dimaksudkan Uni Soviet adalah Israel menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah, tetapi usulan Uni Soviet itu tidak didukung oleh Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian, jelaslah Inggris dibalik semua itu. Inggris pula yang memberikan andil bagi rumitnya situasi saat ini karena Inggris yang pertama kali mendukung Deklarasi Balfour (2 November 1917). Lewat surat yang dikirim Menteri Luar Negeri Arthur Balfour kepada Baron Rothschild, Inggris mendukung klaim Israel atas Palestina dan Jerusalem. Dewan Keamanan juga tidak menyebut Jerusalem secara terpisah. Jerusalem diperlakukan sebagai bagian integral dari Wilayah Pendudukan. Fokus perhatian kini beralih kepada Dewan Keamanan. Seluruh konsekuensi resolusi Dewan Keamanan PBB akan menekankan prinsip-prinsip tersebut di atas. Resolusi Majelis Umum Nomor 181 (II) dan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 menjadi dasar dan kerangka setiap usaha penyelesaian masalah Jerusalem. Tetapi, Israel tidak pernah berusaha tunduk pada resolusiresolusi tersebut dan melanjutkan kebijakannya untuk melakukan ”yudaisasi” Jerusalem. Jerusalem juga tidak disebut dalam Perjanjian Camp David 17 September 1978, atas permintaan PM Israel Menachem Begin. Selain itu, Begin juga tidak menyetujui permintaan Presiden Mesir Anwar Sadat, yakni agar bendera sebuah negara Arabberkibar di tempattempat suci kaum Muslim di Jerusalem. Dalam perjanjian itu, Israel dan Mesir bersepakat untuk tidak membahas masalah Jerusalem. Dalam surat-menyurat di antara mereka, Begin dan Sadat serta Presiden AS Jimmy Carter, terungkap bahwa mereka menegaskan menghormati kebijakan masing-masing pihak atas Jerusalem. Ketiganya menyadari bahwa Jerusalem adalah isu sensitif. Setelah perjanjian Camp David, pemerintahan Begin mendukung undang-undang baru tentang Jerusalem yang diloloskan Knesset pada 30 Juli 1980. Undang-undang itu menegaskan kesatuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pemerintah Israel menyatakan, tidak ada status hukum lain kecuali seperti yang sudah ditetapkan oleh Knesset. Tentu saja ini sebuah klaim sepihak. Keputusan Israel itu mengundang kecaman dari dunia internasional. Keputusan Knesset itu telah mendorong Dewan Keamanan PBB pada tanggal 26 Agustus 1980 menerbitkan resolusi baru, yakni Resolusi Nomor 478. Resolusi tersebut didukung ecara penuh oleh seluruh anggota Dewan Keamanan, 14 anggota, Kecuali AS yang abstain. Dewan Keamanan menjatuhkan langkah-langkah hukuman terhadap Israel sebagai tidak sah dan dibatalkan serta tidak berlaku. Bagian dari resolusi itu juga menyerukan semua anggota PBB tidak mengakui langkah-langkah yang diambil Israel atas Jerusalem. Dewan Keamanan juga mennyerukan agar para anggota menarik semua misi diplomatiknya yang ada di Jerusalem. Tidak hanya Dewan Keamanan yang bereaksi terhadap kebijakan baru Israel terhadap Israel. Majelis Umum juga mengeluarkan Resolusi Nomor 35/169E. Hanya Israel sendiri yang menentang resolusi itu. Pada tanggal 10 Desember 1981, Majelis Umum kembali menerbitkan Resolusi Nomor 36/120E. Resolusi itu menyatakan bahwa Majelis Umum PBB ”sekali menetapkan bahwa semua langkah legislatif dan administratif serta tindakan yang diambil oleh Israel, Kekuatan Pendudukan, yang mengubah atau bermaksud mengubah sifat dan status kota Jerusalem, dan terutama yang disebut ”hukum dasar” Jerusalem dan proklamasi Jerusalem, sebagai ibu kota Israel dibatalkan dan tidak berlaku”. Begitu banyak resolusi yang diterbitkan, baik oleh Majelis Umum PBB maupun Dewan Keamanan PBB, tetapi Israel tetap saja membuat kebijakan sepihaknya. Israel bertindak tanpa memperhatikan seruan bahkan keberatan dunia dan masyarakat internasional. Antara tahun 1967-1989, Dewan Keamanan PBB menerbitkan 131 resolusi. Apabila dikategorikan, dari 131 resolusi itu, 43 di antaranya dapat dikatakan bersikap netral dan 88 lainnya mengkritik dan menentang tindakan Israel di Jerusalem. Hampir setengahnya dari 88 resolusi menggunakan kata condemned (mengutuk), censured (mengecam), dan deplore (menyesalkan) dalam menyikapi tindakan Israel. Sementara itu, Majelis Umum PBB dalam kurun waktu yang sama menerbitkan 429 resolusi dengan 321 resolusi di antaranya mengecam tindakan Israel. Tetapi kecaman tersebut tidak mengikat sama sekali sehingga tidak dipedulikan Israel. 1 Resolusi Majelis Umum PBB Resolusi diterbitkan pada tanggal 4 Juli 1967: Menyusul keputusan Israel mengenai aneksasi Israel atas wilayah-wilayah Arab Jerusalem, Pakistan mengajukan rancangan resolusi yang disetujui dengan suara bulat oleh 99 negara anggota dan 20 abstain. Berikut ini teks lengkapnya: Majelis Umum, Dengan Keprihatinan yang mendalam terkait dengan situasi Jerusalem sebagai hasil dari serangkaian langkah yang diambil oleh umum Israel di untuk mengubah status kota. Memandang bahwa langkah-langkah itu tidak sah. Menyerukan kepada Israel untuk menghentikan semua langkah yang sudah diambil dan dengan segera menghentikan setiap status Jerusalem. tindakan yang akan mengubah Meminta Sekretariat Jenderal untuk melaporkan kepada Majelis Dewan Keamanan mengenai situasi dan penerapan Umum dan resolusi ini tidak lebih dari satu minggu setelah resolusi diterbitkan. Resolusi diterbitkan pada tanggal 14 Juli 1967: Majelis Umum, Setelah menerima laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal, menarik kembali resolusinya 2253, yang diterbitkan 4 Juli 1967. Memberikan catatan dengan penyesalan dan keprihatinan yang sangat mendalam atas tidak dipenuhinya resolusi 2253 oleh Israel. Menyesalkan kegagalan Israel melaksanakan resolusi Majelis Umum nomor 2253. Menegaskan kembali seruannya kepada Israel, seperti yang tertuang dalam resolusi, yakni agar menghentikan semua langkah yang sudah diambil dan dengan segera menghentikan setiap tindakan yang akan mengubah status Jerusalem. Meminta Sekretaris Jenderal untuk melaporkan kepada Dewan Keamanan dan Majelis Umum mengenai situasi dan pelaksanaan resolusi yang terakhir. 2. Resolusi Dewan Keamanan PBB Resolusi Nomor 162, diterbitkan pada tanggal 11 April 1961 Dewan Keamanan, Meminta para anggota Komisi Gencatan Senjata untuk bekerja sama sehingga menjamin bahwa Kesepakatan Gencatan Senjata antara Israel dan Jordania akan ditaati. Resolusi Nomor 242, diterbitkan pada tanggal 22 November 1967 Dewan Keamanan, Menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi yang semakin memburuk di Timur Tengah. Menekankan penolakan terhadap pencaplokan wilayah dengan cara perang dan mendorong perlunya usaha perdamaian yang adil dan langgeng di mana setiap negara dapat hidup dengan aman. Menekankan lebih lanjut bahwa semua negara anggota yang Piagam PBB berkomitmen untuk bertindak sesuai mengakui dengan Pasal 2 Piagam tersebut. Menegaskan bahwa pelaksanaan pokok-pokok Piagam PBB perdamaian yang adil dan langgeng di Timur membutuhkan Tengah, yang mencakup penerapan asas- asas berikut ini: i. Penarikan pasukan bersenjata Israel dari wilayah yang diduduki dalam konflik akhir-akhir ini. ii. Diakhirinya semua klaim atau keadaan perang; dihormati dan diakuinya kekuasaan, integritas wilayah dan politik setiap negara di Timur Tengah, hak mereka untuk hidup aman di wilayah perbatasan yang diakui, yang bebas dari ancaman maupun pengerahan kekuatan. Menegaskan lebih lanjut perlunya: i. I Menjamin kebebasan berlayar melalui jalur nternasional di wilayah Timur Tengah; ii. Memiliki pemukiman yang adil, dalam masalah pengungsi; iii. Menjamin perbatasan wilayah yang tidak diganggu gugat dan adanya kemerdekaan politik bagi setiap Timur Tengah, melalui penerapan zona demiliterisasi; negara di Meminta Sekretaris Jenderal PBB menunjuk Wakil Khusus di Timur Tengah untuk melakukan kontak terus-menerus dengan negara-negara di wilayah sehingga dapat membantu mempromosikan kesepakatan dan penyelesaian yang damai dan dapat diterima semua pihak, sesuai ketentuan dan asas-asas resolusi yang telah ada tersebut, usaha-usaha dengan sebelumnya. Meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk melaporkan pada Dewan Keamanan tentang kemajuan yang dicapai oleh Wakil Khusus tersebut sesegera mungkin. Resolusi Nomor 250, diterbitkan pada tanggal 27 April 1968 Dewan Keamanan, Setelah mendengar pernyataan dari para Wakil Jordania dan Israel. Setelah mempertimbangkan catatan Sekretaris Jenderal, terutama catatannya kepada Wakil Tetap Israel di PBB. Mempertimbangkan bahwa dengan mengadakan parade militer di Jerusalem akan meningkatkan ketegangan di wilayah itudan berakibat merugikan terhadap penyelesaian masalah-masalah di wilayah tersebut secara damai. Menyerukan kepada Israel agar menahan diri untuk tidak melakukan parade militer di Jerusalem yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1968. Meminta Sekretaris Jenderal untuk melaporkan kepada Dewan Keamanan mengenai pelaksanaan resolusi ini. Resolusi Nomor 252, diterbitkan pada tanggal 21 Mei 1968 Dewan Keamanan, Menarik kembali Resolusi Majelis Umum Nomor 2253 yang pada tanggal 4 Juli 1967 dan Resolusi Nomor 2254 yang diterbitkan diterbitkan pada tanggal 14 Juli 1967. Setelah mempertimbangkan surat yang dikirim Wakil Tetap Jordania mengenai situasi Jerusalem, dan laporan Sekretaris Jenderal. Setelah mendengar pernyataan yang dibuat di hadapan majelis. Memperhatikan bahwa sejak diadopsi resolusi-resolusi yang disebutkan di atas, Israel telah mengambil langkah lebih jauh dan bertindak bertentangan dengan resolusi-resolusi itu. Mengingat perlunya bekerja untuk menciptakan perdamaian yang adil dan abadi. Menegaskan lagi bahwa penambahan wilayah lewat penaklukan militer tidak dapat diterima. Menyesalkan kegagalan Israel memenuhi resolusi-resolusi Majelis Umum seperti disebut di atas. Mempertimbangkan bahwa seluruh langkah legislatif dan administratif dan tindakan yang diambil Israel, termasuk pencaplokan tanah dan propertiproperti yang ada di sana, yang cenderung mengubah status legal Jerusalem tidak sah dan tidak dapat mengubah status itu. Meminta pada Sekretaris Jenderal untuk melaporkan kepada Dewan Keamanan mengenai pelaksanaan resolusi-resolusi yang ada. Resolusi Nomor 267, diterbitkan pada tanggal 4 Juli 1969. Dewan Keamanan, Menarik kembali Resolusi 252 yang diterbitkan pada tanggal 21 Mei 1968 dan resolusi sebelumnya yang dikeluarkan Majelis Umum yakni Resolusi 2253 dan 2254 yang diterbitkan pada tanggal 4 dan 14 Juli 1967, secara berturut-turut, mengenai langkahlangkah dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Israel yang berakibat terhadap status Jerusalem. Menegaskan kembali prinsip yang telah ditetapkan yakni bahwa pengambilalihan wilayah secara militer tidak dapat diterima. Menegaskan kembali resolusi nomor 252 (1968). Menyesalkan kegagalan Israel untuk memperlihatkan penghormatannya terhadap resolusi-resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan yang sudah disebut di atas. Mencela dengan keras semua langkah yang telah diambil untuk mengubah status kota Jerusalem. Menegaskan bahwa semua langkah legislatif dan administratif dan tindakan yang diambil oleh Israel yang bertujuan mengubah status Jerusalem, termasuk pencaplokan tanah dan properti-propertinya, adalah tidak sah dan tidak dapat mengubah status. Dengan mendesak sekali lagi menyerukan pada Israel agar dengan segera menghentikan semua langkah yang telah diambil yang dengan tindakan itu dimaksudkan untuk mengubah status kota Jerusalem, dan di masa depan menahan diri supaya jangan melakukan semua tindakan yang berakibat mengubah status kota Jerusalem. Meminta pada Israel agar tidak menunda-nunda waktu lagi memberitahukan kepada Dewan Keamanan berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dari resolusi. Memutuskan bahwa jika ada tanggapan negatif atau tidak ada tanggapan dari Israel, maka Dewan Keamanan tanpa mengulur-ulur waktu akan berkumpul kembali (bersidang) untuk mempertimbangkan bahwa langkah lebih lanjut akan diambil dalam masalah ini. Meminta Sekretaris Jenderal untuk melaporkan kepada Dewan Keamanan mengenai pelaksanaan resolusi yang ada. Nomor 271, diterbitkan pada tanggal 15 September 1969 Dewan Keamanan, Prihatin terhadap kerusakan yang demikian parah Masjid Suci AlAqsha di Jerusalem, di wilayah pendudukan militer Israel, karena secara sengaja pada tanggal 21 Agustus 1969, dibakar. Sadar akan konsekuensi hilangnya kebudayaan umat manusia. Setelah mendengar pernyataan-pernyataan yang disampaikan di hadapan sidang yang mencerminkan perasaan sakit hati masyarakat internasional karena pelanggaran terhadap suatu hal yang dianggap keramat, suci, di salah satu tempat ibadah yang sangat dimuliakan umat manusia. Menarik kembali secara berturut-turut Resolusi Nomor 252, yang diterbitkan pada tanggal 21 Mei 1968, dan 267 (1967) yang diterbitkan pada tanggal 3 Juli 1969 dan resolusi-resolusi sebelumnya yang dikeluarkan oleh Majelis Umum yakni Resolusi Nomor 2253 dan 2254 yang diterbitkan pada tanggal 4 dan 14 Juli 1967, terkait dengan langkahlangkah dan tindakan-tindakan Israel yang berakibat terhadap status kota Jerusalem. Menegaskan kembali sikap yang telah ditetapkan bahwa pengambilalihan wilayah lewat cara-cara militer tidak dapat diterima. Menegaskan kembali resolusi yakni Nomor 252 (1968) dan 267 (1969). Mengakui bahwa setiap tindakan perusakan atau pencemaran Tempattempat Suci, bangunan-bangunan keagamaan dan situs-situs di Jerusalem atau setiap desakan akan, atau kerja sama secara diam-diam untuk melakukan tindakan tertentu mungkin secara sungguh-sungguh membhayakan perdamaian dan keamanan internasional. Memutuskan bahwa tindakan yang keterlaluan yakni penajisan dan pencemaran Masjid Al-Aqsha menegaskan perlunya diambil langkah segera untuk menghentikan Israel melanggar resolusi-resolusi tersebut di atas dan menghentikan dengan segala cara semua langkah dan tindakan yang dilakukan oleh Israel dengan tujuan untuk mengubah status kota Jerusalem. Menyerukan kepada Israel agar secara teliti melihat lagi ketentuanketentuan, konvensi-konvensi umum, dan Hukum Internasional yang mengatur pendudukan militer dan menahan diri supaya jangan menghalangi pelaksanaan fungsi-fungsi Majelis Muslim Tertinggi Jerusalem yang telah ditetapkan, termasuk kerja sama, yang mungkin diinginkan oleh Majelis, dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan dengan komunitas Muslim berkaitan dengan rencananya untuk memelihara dan memperbaiki tempat-tempat suci Islam di Jerusalem. Mengecam kegagalan Jerusalem melaksanakan resolusi-resolusi yang sudah disebut di atas dan menyerukan Israel agar segera melaksanakan ketentuan-ketentuan dari resolusi-resolusi itu. Menegaskan ketetapan di alinea 7 dari Resolusi 767 (1969), sekiranya ada tanggapan negatif atau tidak ada tanggapan, Dewan Keamanan tidak perlu menunda-nunda waktu agar menggelar sidang untuk mempertimbangkan langkah lebih lanjut apa yang semestinya diambil terkait dengan masalah ini. Meminta Sekretaris Jenderal untuk melaksanakan dengan teliti resolusiresolusi yang sudah ada dan melaporkan kepada Dewan Keamanan pada waktu sesegera mungkin. Resolusi 476 diterbitkan pada tanggal 21 Agustus 1980 Dewan Keamanan menerbitkan Resolusi 476 (1980) yang didukung oleh 14 suara dan tidak ada satu pun yang menentang, sementara 1 abstain (Amerika Serikat). Dewan Keamanan menegaskan kembali bahwa semua langkah yang mengubah karakter geografik, dan sejarah dan status Jerusalem dibatalkan dan tidak berlaku serta harus disahkan secara hukum. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Jerusalem dalam bahasa Ibrani adalah Yerushalayim, dalam bahasa Arab disebut Al-Quds atau Urshalim-Al-Quds merupakan kota suci bagi 3 agama Samawi. Adanya anggapan suci bagi umat Kristen di Jerusalem karena di sanalah Yesus wafat dan dibangkitkan kembali, adanya Tembok Ratapan, Via Dolorosa (jalan penderitaan), Bukit Golgotta (tempat Yesus wafat). Bagi umat Yahudi, adanya kerajaan Yahudi dan Kuil Solomon. Bagi umat Muslim, di Jerusalem ada Masjid Al-Aqsha tempat terjadinya peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhamad SAW. 2. Jerusalem adalah sebuah warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1981. Telah dihancurkan 2 kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai 44 kali. Penguasaannya didominasi oleh kekuatan negara-negara Islam sejak zaman kekhalifahan Islam. Kota ini sangat penting karena kondisi geografisnya yang sangat strategis, berada di antara Jordania, Lebanon, Syria, Arab Saudi, dan Irak. Serta menjadi pusat lintasan utama antara Benua Asia dan Afrika melalui Terusan Suez yang menghubungkannya dengan Mesir menjadikan kota Jerusalem sangat diperhitungkan secara politis, ekonomi, dan keamanan. 3. Setelah Perang 1967 status Jerusalem secara de facto diduduki dan dikuasai Israel tidak jelas secara de jure. PBB mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.181 tentang pembagian wilayah Palestina, kaum Yahudi hanya diberi hak menguasai 57% Palestina. Kebijakan ini tidak dipatuhi Israel dengan alasan bahwa dalam Bible sudah jelas tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka luasnya dari Sungai Nil hingga Sungai Eufrat (Kej.15:18). Antara tahun 1967-1989, Dewan Keamanan PBB menerbitkan 131 resolusi, 43 diantaranya bersikap netral, yaitu menjadikan Jerusalem sebagai kota condominium (daerah yang dikuasai bersama) oleh Israel dan Palestina. Resolusi DK PBB No.242 dan 338 yang menyerukan Israel harus meninggalkan tanah jajahannya seusai Perang 1967, atau Resolusi No.446, 460, 471 yang memutuskan Israel harus membekukan permukiman dan membongkarnya. Di samping itu ada keputusan Mahkamah Internasional yang menyerukan penghentian pembangunan tembok pengaman Israel yang mencamplok semua wilayah Palestina itu. B. Saran 1. Setelah melihat fakta dan data sejarah kota Jerusalem serta resolusi-resolusi yang telah dibuat PBB, seharusnya Jerusalem menjadi sebuah kota internasional atau situs warisan dunia (world heritage), simbol untuk pluralitas keagamaan. 2. Walaupun seandainya Jerusalem jatuh secara mutlak seluruhnya ke tangan Israel, seharusnya Israel tidak boleh mengusir umat lain yang telah tinggal di sana. Karena hanya pada saat kekuasaan Romawi Nasrani saja orang Yahudi dilarang masuk Kota Suci. Setelah kekuasaan diambil alih oleh kepemimpinan Islam, seluruh umat beragama dapat hidup damai di Jerusalem termasuk umat Yahudi. 3. Dibutuhkan aksi nyata masyarakat internasional dalam penyelesaian konflik antara Israel Palestina secara utuh. Bukan sekedar keputusan politik di Washington, Sharm el-Sheikh, Camp David, Oslo, atau tempat perundingan mana pun, tetapi akan lebih nyata jika ditujukan langsung ke akar konflik. Ini bisa berwujud penempatan Pasukan Multinasional di Jerusalem. Peace Keeping Force (Pasukan Penjaga Perdamaian) ditempatkan di Jerusalem untuk menghindari pelanggaran, mereduksi eskalasi konflik dan meminimalisasi saling serang kedua pihak seperti di perbatasan Israel-Lebanon. Selain itu dibutuhkan pula peace building force agar kedua pihak dipandu untuk membuat perdamaian secara permanen. DAFTAR PUSTAKA A. Buku : Beyer, Peter. Religion and Globaization. London, Phoenix. 2004. Burton, John. Conflict: Resolution and Provention, London, MacMillan Press, Couloumbis, Theodore.A dan James H.Wolfe. Pengantar Hubungan Keadilan dan Power, terj. Marcedes Marbun, Bandung, CV 1998 1990. Internasional Putra Abardin, Crocker, Chester A. Managing Global Chaos : Sources of and Responses to International Conflict, Washington, D.C., USIP Press, 1996. Dr. Shahak, Israel. Jewish History, Jewish Religion. London, Pluto Press, 1994. Ensiklopedia Indonesia, Seri Geografi Asia, Deplu, 2000 Gold, Dore. The Fight for Jerusalem, Radical Islam, The West, and The Future of The Land, Washington, Regnery Publishing, 2007. Holy Haris, Peter dan Reilly, Ben. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Negosiator, Jakarta, International IDEA, 2000. Pilihan Holsti, K.J. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jakarta, Erlangga, 1988. H.Wauran, Manuel. Dari Kairo ke Yerusalem, Bandung, Indonesia Publishing 1995. House, Jabri, Viviene. Discourse on violence: Conflict analysis reconsidered, Manchester University Press, 1996. Manchester, Jamil, M. Mukhsin dkk. Mengelola Konflik : Teori, Strategi dan Implementasi Konflik, Semarang, Walisongo Media Centre, 2007. Resolusi Juanda, Wawan. Kamus Hubungan Internasional, Jakarta, Putra Abardin, 1999. Kriesberg, Louis. Constructive Conflict: Form Escalation to Resolution, New Rowman and Littlefield, Publ., 1998. York, Kuncahyono, Trias. ‘Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir’, Penerbit Buku Kompas, 2008. Jakarta Lewis, Bernard. Islam and The West, New York, Oxford University Press, 1993. Lewis, Bernard. The Crisis of Islam. London, Phoenix, 2004. Loescher, Gil dan Dowty, Alan. Refugee Flows as Grounds for International International Security, Vol.2, No.1, Summer 1996. Action Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin Ilmu dan Metodologi, Jakarta, LP3S, 1990. Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse. Resolusi Damai Konflik Kontemporer : Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Agama dan Ras, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Morgenthau, Hans J. Politik Antar Bangsa, buku kesatu, rev oleh Thompson Kenneth W, Jakarta, Yayasan Obor, 1991. Muhammad Saleh, Muhsin. Palestina : Sejarah, Perkembangan, dan Konspirasi, Jakarta, Gema Insani Pers, 2002 Mustafha, Abd. Rahman. Jejak-jejak Juang Palestina dari Oslo hingga Intifadah Al-Aqsha’, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2002. Nasrun, Mappa. Indonesia Relations With the South Pasific Countries : Prospect and Problems, Makassar, Unhas, 1990. Nasution, Dahlan. Politik Internasional: Konsep dan Teori, Jakarta, CV. Remaja Karya, 1991. Perwita, Anak Agung Banyu dan Nyanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005 Plano, Jack C dan Roy Olton. Kamus Hubungan Internasional, terj. Wawan Juanda, Putra Abardin, 1999. Rothman, J. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict, Newbury Park, CA, Sage, 1992. Rudy, T.May. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Bandung, PT. Refika Aditama, 2003. Global, Rudy, T.May. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung, PT. Refika Aditama, 2002. Shalaby, Ahmad. Perbandingan Agama Yahudi, Bandung, Bina Ilmu, 1990. Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009. Susan, Novri. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta, 2009. Kencana, William G. Carr. Yahudi Menggenggam Dunia, Jakarta, Pustaka Al – Kautsar 1993. Yusuf, Sufri. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri : Sebuah Analisis Teoritis dan Uraian Tentang Pelaksananaannya, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989. Zartman, William I. dan Rasmussen, J,L.. Peacemaking in International Conflict: Methods and Techniques, Washington, D.C., USIP, 1997. Zatman, William I.. Ripe for Resolution: Conflict and Intervention in Africa, New York : Oxford University Press, 1985. B. Artikel/Jurnal/Makalah : Sandole, Dennis. Peace Education di Indonesia, Asia Institute of Management Conference Center, Manila, Philippines, August 26-30, 2003. Materi ini juga bisa di download melalui internet dengan alamat www.gmu.edu/academic/ps/sandole . W. Robinson, Thomas. A National Interest Analysis of Uni Soviet Relations, International Studies Quarterly XI, Juni 1967. Widjajanto, Andi. Etika Perang dan Resolusi Konflik, Global : Jurnal Politik Internasional, Vol.1, No.6 (September 2000 bagian.b) Widjajanto, Andi. Kelemahan Internal Aksi Kemanusiaan PBB, Kompas, (19 2000 bagian.a) September, C. Internet : Muchlisin, ”Israel Tak Bisa Buktikan Sejarah Jerusalem Sebagai Miliknya”,dalam (http://Muchlisin.Blogspot.com/2010/04/20/Israel-tak-bisabuktikansejarah-Jerusalemsebagai-miliknya.html), diakses pada tanggal 16 Oktober 2010. Nugroho, “Teori Penyelesaian Konflik”, dalam (http://Nugrohotech.wordpress.com/2008-05-09/Teori-Penyelesaian-Konflik/), diakses pada tanggal 16 Oktober 2010. Naifu, ” JERUSALEM : Sumber Pluralisme Agama”, dalam (http://Naifu.WordPress.com/2010-06-14/JERUSALEM-Sumber-PluralismeAgama/), diakses pada tanggal 16 Oktober 2010. Sandole, Dennis. Peace Education di Indonesia, Asia Institute of Management Conference Center, Manila, Philippines, August 26-30, 2003. (www.gmu.edu/academic/ps/sandole), diakses pada tanggal 16 0ktober 2010.