(utruB rARlr{GAr{ TAilAilAN KATA PENGANTAR Kultur Jaringan Tanaman merupakan teknik perbanyakan vegetatif tanaman modern yang banyak diperbincangkan saat ini. Buku ini disusun untuk membantu mahasiswa diploma, sarjana maupun pascasarjana yang mempelajari pemuliaan tanaman terutama mengenai teknik-teknik perbanyakan tanaman secara in vitro. Bagi mahasiswa diploma, teknik kultur jaringan tanaman memberikan bekal keterampilan yang sangat bermanfaat apabila mereka nantinya bekerja dalam membantu peneliti di lembaga penelitian atau perusahaan swasta. Bagi mahasiswa program sarjana dan pascasarjana, teknik kultur jaringan tanaman sangat bermanfaat untuk memperlancar kegiatan penelitian pemuliaan tanaman secara in vitro. Para peneliti pada berbagai lembaga penelitian pertanian dan para praktisi, dapat pula memanfaatkan buku ini dalam rangka memperlancar kegiatan penelitian terutama yang berkaitan dengan bidang ini. Penyusunan materi dalam buku ini didasarkan pada pengalaman penulis dalam mengajar Pengantar Kultur Jaringan Tanaman dan Dasar Pemuliaan Tanaman pada program sarjana, Pemuliaan Tanaman Lanjut dan Bioteknologi Pertanian pada program pascasarjana Universitas Halu Oleo. Di samping itu, pengalaman dan keterampilan penulis dalam pelaksanaan kegiatan penelitian yang berkaitan dengan Kultur Jaringan Tanaman juga memperkaya isi dari buku ini. Buku ini disajikan dalam enam bab. Bab satu membahas tentang pendahuluan yang mencakup tentang terminologi, sejarah perkembangan kultur jaringan, dan manfaat kultur jaringan. Bab dua membahas tentang organisasi dan fasilitas laboratorium kultur jaringan tanaman. Bab tiga membahas tentang media tanam kultur jaringan tanaman. Bab empat membahas tentang teknik aseptis. Bab lima membahas tentang kultur sel bagi struktur yang telah terorganisasikan atau Kultur Jaringan Tanaman iii kultur organ, dan pada bab enam membahas tentang kultur sel bagi struktur yang belum terorganisasikan atau kultur jaringan. Akhirnya penulis buku “Kultur Jaringan Tanaman” ini, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan segala jerih payahnya telah membantu dalam penyelesaian penulisan naskah buku ini. Penulis berharap agar buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para mahasiswa, praktisi maupun peneliti di bidang kultur jaringan tanaman. Kendari, Desember 2013 Penulis Kultur Jaringan Tanaman iv Bab 1 Pendahuluan Tumbuhan di alam bebas sangat bervariasi dan kompleks dalam melangsungkan siklus hidupnya. Untuk dapat mempertahankan generasinya, tumbuhan harus memperbanyak diri (membiak), baik secara vegetatif maupun secara generatif. Pembiakan secara generatif dimulai dari penyatuan antara gamet jantan dan gamet betina dari tanaman induk melalui suatu peristiwa yang disebut penyerbukan. Melalui penyerbukan, kedua gamet tersebut akan melebur dan menghasilkan sebuah sel yang disebut zigot, selanjutnya tumbuh dan berkem-bang menjadi tumbuhan lengkap. Selain itu, sel-sel vegetatif tumbuhan seperti yang terdapat pada akar, batang, dan daun, secara alamiah juga mempunyai kemampuan yang mirip dengan zigot, yaitu dapat berkembang pada kondisi in vivo menjadi tanaman lengkap, sehingga kelangsungan generasinya tetap terjaga. Kemampuan sel-sel vegetatif selain zigot untuk berkembang menjadi tanaman utuh merupakan topik yang sangat menarik perhatian para peneliti. Topik penelitian yang sangat menarik tersebut dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik kultur (budidaya) jaringan atau kultur in vitro. 1.1. Terminologi Salah satu pembeda sel tumbuhan dengan sel hewan adalah adanya dinding sel pada sel tumbuhan. Dinding sel tumbuhan selain berfungsi memberi bentuk pada sel juga sebagai penahan (barier) mekanik yang mengisolasi sel-sel dengan lingkungan luarnya. Pada kenyataannya, sel satu dengan lainnya yang Kultur Jaringan Tanaman 1 menyusun jaringan meskipun secara fisik di-batasi oleh membran plasma dan dinding sel, tidak terisolasi dan masih dapat berhubungan lewat plasmodesmata (symplast). Implikasi dari kenyataan tersebut adalah adanya kontinuitas sitoplasmatik, atau dengan kata lain, informasi genetik yang terdapat dan berawal dari zigot tentulah tersebar ke seluruh sel-sel penyusun tubuh tumbuhan. Sel tumbuhan dengan demikian haruslah mengan-dung seluruh informasi yang diperlukan untuk tumbuh, berkembang dan berkembangbiak, sel demikian disebut totipoten (totipotent). Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti sel, jaringan, atau organ, serta menumbuhkannya secara aseptis (suci patogen) di dalam atau di atas suatu medium budidaya sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memper-banyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Prinsip kultur jaringan terdapat pada teori sel yang dikemukakan oleh dua orang ahli Biologi dari Jerman, M.J. Schleiden dan T. Schwann. Secara implisit teori tersebut menyatakan bahwa sel tumbuhan bersifat autonom dan mempunyai totipotensi. Sel bersifat autonom artinya dapat mengatur dirinya sendiri. Maksudnya adalah dapat melakukan metabolisme, tumbuh dan berkembang secara mandiri (independent), jika diisolasi dari jaringan induknya. Totipotensi diartikan sebagai kemampuan sel tumbuhan (baik sel somatik/vegetatif maupun sel gametik) untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Di samping kultur jaringan, kita juga mengenal istilah kultur in vitro tanaman. Istilah ini muncul karena sel, kelompok sel, atau organ tanaman tersebut tumbuh, berkembang dan beregenerasi secara aseptis pada medium di dalam wadah gelas atau plastik (tabung/botol) yang tembuspandang (transparrant). Istilah eksplan (explant) digunakan untuk menyebutkan bagian Kultur Jaringan Tanaman 2 kecil dari tanaman (sel, jaringan, atau organ) yang digunakan untuk memulai suatu kultur. Eksplan yang digunakan di dalam kultur jaringan harus yang masih muda (primordium), sel-selnya masih bersifat meristematis dan sudah mengalami proses diferensiasi. Sel-sel mesofil dan stomata pada daun, kambium, korteks dan lain-lain adalah bentuk-bentuk sel yang sudah mengalami diferensiasi. Pada primordia daun misalnya, sel-sel yang sudah mengalami diferensiasi tersebut hanya perlu membelah satu atau dua kali saja kemudian berhenti atau dorman (dormant), selanjutnya akan membentang. Pembelahan selselnya juga sudah diprogram untuk menghasilkan sel yang sama, misalnya sel-sel mesofil hanya akan membelah dan menghasilkan sel mesofil juga. Dengan cara mengisolasi eksplan dari tanaman induknya, sel-sel pada eksplan yang awalnya dorman, dihadapkan pada kondisi tercekam. Kondisi ini akan mengubah pola meta-bolisme, sel akan memulai siklusnya yang baru, dan tumbuh dan berkembang di dalam kultur. Respon yang terlihat pertama kali yaitu terbentuknya jaringan penutup luka, sel-selnya terus membelah, jika pembelahannya tidak terkendali akan membentuk massa sel yang tidak terorganisasikan yang disebut kalus. Pembelahan sel-sel yang tidak terkendali disebabkan karena sel-sel tumbuhan, yang secara alamiahnya bersifat autotrof, dikondisikan menjadi heterotrof dengan cara memberikan nutrisi yang cukup kompleks di dalam medium kultur. Sel-sel kalus ini berbeda dengan sel-sel eksplannya, sel-sel menjadi tidak terdiferensiasi, proses ini disebut dediferensiasi (kembali ke keadaan tidak terdiferensiasi). Pada proses dediferensiasi, sel-sel pada eksplan yang tadinya dalam keadaan quiescent atau dorman, diinduksi untuk aktif kembali melakukan pembelahan. Induksi dediferensiasi dapat dilakukan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari Kultur Jaringan Tanaman 3 kelompok auksin ke dalam medium kultur. Auksin sintetis yang umum digunakan adalah 2,4-dichlorophenoxy-acetic acid (2,4-D) dengan konsentrasi maksimum 2 mgL-1. Auksin substitusi seperti picloram (4-amino-3,5,6trichloropyridine-2-carboxylic acid) dan dicamba (3,6-dichloro-oanisic acid) sering digunakan untuk induksi dediferensiasi tanaman berkayu. Sel-sel akan terus membelah selama masih dipelihara di dalam medium induksi. Zat-zat pengatur tumbuh tersebut di atas diketahui berfungsi sebagai mutagenic agent. Sel-sel yang dipelihara terlalu lama di dalam medium induksi akan mengalami mutasi, tetapi tidak kehilangan sifat totipotensinya. Laju pertumbuhan sel, jaringan atau organ tanaman di dalam kultur akan menurun setelah periode waktu tertentu. Umumnya segera terlihat dengan adanya gejala nekrosis (necrotic) pada eksplan. Hal ini disebabkan karena menyusutnya kadar nutrisi (nutrient) medium dan terbentuknya senyawa-senyawa racun yang dilepaskan oleh eksplan di sekitar medium. Untuk itu harus dilakukan subkultur yaitu pemindahan sel atau sel-sel, jaringan, atau organ ke dalam medium baru. Tujuan dilakukannya subkultur adalah untuk mempertahankan laju pertumbuhan sel-sel yang konstan dan untuk diferensiasi kalus. Medium baru yang digunakan dapat sama atau berbeda dengan medium semula. Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya morfogenesis, yaitu proes terbentuknya organ-organ baru (de novo) yang kemudian tumbuh menjadi tanaman utuh. Tanaman kecil yang dihasilkan dengan teknik kultur jaringan disebut plantlet, pembentukan plantlet terjadi melalui dua proses yang berbeda: a. Organogenesis yaitu diferensiasi meristem unipolar, menghasilkan ujung tunas (shoot tip) yang akan menjadi tunas melalui proses callogenesis, atau ujung akar (root tip) yang akan menjadi akar melalui proses rhizogenesis. Pada proses organogenesis diperlukan dua tahap induksi, masing-masing Kultur Jaringan Tanaman 4 menggunakan medium dengan zat pengatur tumbuh yang berbeda. Tahap pertama biasanya adalah induksi pembentukan tunas, proses callogenesis diinduksi dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin ke dalam medium kultur. Tahap yang ke dua adalah induksi pembentukan akar, proses rhizogenesis ini dikerjakan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin. b. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses diferensiasi meristem bipolar yang berupa bakal tunas dan akar, dua meristem yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman utuh. Embrio yang terbentuk akan tumbuh dan berkembaug menjadi tanaman utuh. Pertumbuhan dan perkembangan embrionya berlangsung secara bertahap melalui proses yang identik dengan proses embriogenesis zigotik, yaitu terbentuknya struktur bipolar melalui tahapan: bulat (globular), jantung (heart), torpedo, dan akhirnya berkecambah menjadi plantlet. Morfogenesis in vitro dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung terjadi tanpa melalui tahapan kalus terlebih dahulu. Sel-sel diinduksi langsung menjadi embriogenik, hal ini dapat dikerjakan dengan menanam eksplan pada medium dengan kombinasi zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin dan sitokinin secara simultan. Penemuan terbaru menunjukkan bahwa perlakuan heat shock pada daun Chicorium hybrida 474, dapat menginduksi sel-sel daun menjadi embriogenik. Pada sel gametik (mikrospora) induksi menjadi embriogenik dilakukan dengan memberikan stres atau cekaman. Stres dapat diberikan secara fisik berupa cold shock atau heat shock, dapat juga secara chemical yaitu dengan mengkulturkan pada medium starvation (medium minimal yang hanya terdiri dari garam-garam makro dan mannitol) atau dengan memberikan stres osmotik. Sel-sel yang sudah terinduksi menjadi embriogenik identik dengan zigot, sehingga dapat melanjutkan Kultur Jaringan Tanaman 5 petumbuhannya menjadi embrio dan tanaman lengkap. Morfogenesis secara tidak langsung umumnya melalui tahapan kalus terlebih dahulu. Kalus yang lunak jika ditransfer ke dalam medium cair akan membentuk suspensi sel yang aktif tumbuh. Kultur sel adalah kultur dengan menggunakan sel sebagai eksplan, eksplan berasal dari sel-sel yang sudah mengalami dediferensiasi (kalus). Kalus yang digunakan sebagai eksplan pada kultur sel disebut inokulum. Kultur sel dipelihara di dalam medium cair yang diinkubasi dengan atau tanpa penggojokan. Jika proses induksi dediferensiasinya benar, maka gen-gen yang bertanggung jawab terhadap totipotensi akan berfungsi, pembelahan sel-selnya terkendali, membentuk sel-sel yang terorganisasikan (embrio). Embrio somatik terbentuk dari sel-sel somatik atau gametik dan bukan dari zigot. Embrio demikian disebut embrio adventif dan prosesnya disebut embriogenesis somatik. Embrio selanjutnya akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh melalui proses yang identik dengan proses embriogenesis zigotik. DEDIFERENSIASI EKSPLAN (Sel, jaringan, organ) Embriogenik Embriogenesis PLANTLET Kalus Organogenesis Caulogenesis Rhizogenesis Gambar 1.1. Diagram perkembangan eksplan di dalam kultur jaringan Kultur Jaringan Tanaman 6 1.2. Sejarah Perkembangan Kultur Jaringan Tanaman Membahas sejarah perkembangan kultur jaringan tidak dapat lepas dari sejarah per-kembangan pengetahuan tentang sel. Dimulai dari penemuan mikroskop oleh Zakarias Jansen pada 1590, seorang pembuat kacamata dari Belanda, yang kemudian disempurnakan oleh Anthoni van Leeuwenhoek. Penemuan dan pengembangan mikroskop memungkinkan kita melihat struktur tubuh tumbuhan secara detil, seperti yang dikemukakan oleh Robert Hooke seorang ahli matematika, dia menyamakan sel sebagai building block dari jaringan hidup. Pada tahun 1838-1839 seorang ahli botani, M.Y. Schleiden dan Theodore Schwann (ahli zoologi) lebih memusatkan perhatiannya pada kehidupan sel yang pada akhirnya melahirkan konsep totipotensi sel. Teknik kultur jaringan yang semula digunakan untuk membuktikan teori totipotensi sel selanjutnya berkembang, selain menunjang ilmu-ilmu dasar seperti embriologi, fisiologi, biokimia dan genetika, sekarang terbukti dapat diaplikasikan pada bidang agroindustri dan farmasi. Percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa sel bersifat totipoten pertama kali dilakukan oleh Gottlieb Haberlandt seorang ahli botani dari Jerman pada tahun 1898 dan dipublikasikan pada 1902. Percobaannya dilakukan dengan mengisolasi sel daun Lamium purpureum, Erythronium, Ornithogalum dan Tradescantia, sel yang dikulturkan tetap viabel selama beberapa minggu tetapi tidak pernah membelah, sehingga dapat dikatakan percobaannya belum berhasil. Kegagalan percobaan Haberlandt terutama disebabkan karena kultur dilaksanakan pada medium yang sangat sederhana dan tidak aseptis, menggunakan eksplan mesofil sel yang sudah sangat terdiferensiasi, dan tidak menggunakan zat pengatur tumbuh, pada waktu itu zat pengatur tumbuh belum diketemukan. Zat pengatur tumbuh berperan sangat penting pada proses Kultur Jaringan Tanaman 7 pembelahan sel dan diferensiasi in vivo dan in vitro. Auksin ditemukan pada 1928-1930 oleh Went dan Thiman, sedangkan sitokinin baru ditemukan pada 1955 oleh Miller dan kawankawan. Beberapa dekade setelah percobaan Haberlandt, penelitian-penelitian kultur in vitro tumbuhan lebih ditekankan pada kultur multiselular (jaringan atau organ) sebagai eksplan. Riset ini dipelopori oleh Philip Rodney White (1939), Roger Gautheret (1939), dan Piere Nobecourt (1939). White berhasil menumbuhkan potongan ujung akar tomat (Lycopersicon esculentum) pada medium cair yang mengandung garam-garam anorganik, ekstrak ragi (yeast), dan sukrosa. Pada waktu yang bersamaan Gautheret dari Perancis berhasil memacu pertumbuhan potongan jaringan kambium Salix caprea membentuk kalus dengan menambahkan zat pengatur tumbuh IAA pada medium kultur. Nobecourt berhasil mengembangkan teknik kultur kalus dengan eksplan umbi akar wortel (Daucus carota). Skoog dan Miller pada 1957 berhasil mengatur pertumbuhan akar dan tunas (organogenesis) dan kalus tembakau dengan menggunakan kombinasi auksin dan sitokinin pada medium. Pada tahun 1958, J. Reinert dan F.C. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel pada kultur suspensi sel dengan eksplan umbi akar wortel. Di dalam kultur ditemukan adanya embrio yang strukturnya mirip dengan embrio zigotik, kemudian disimpulkan bahwa embriogenesis telah terjadi secara in vitro. Pada waktu itu masih diperdebatkan apakah munculnya embrio yang kemudian jadi plantlet tersebut berasal dari sebuah sel atau kelompok sel. Dalam perkembangannya kemudian, dengan menggunakan teknik cell tracking, terbukti bahwa plantlet berasal dari sebuah sel. Implikasi dari penemuan sitokinin adalah dimungkinkannya induksi pembentukan tunas secara in vitro pada berbagai Kultur Jaringan Tanaman 8 tanaman hortikultura, sehingga dapat diaplikasikan untuk perbanyakan vegetatip (mikropropagasi). Pada kultur meristem, tanaman bebas virus dapat diperoleh dari tanaman yang sudah terinfeksi. Tanaman yang steril atau tidak dapat menghasilkan biji, dapat diperbanyak dengan mikropropagasi, teknik ini berkembang pesat antara 1960-1970. Pertumbuhan dan perkembangan sel pada kultur dengan eksplan jaringan atau organ, tidak dapat dikontrol dengan ketat, sehingga bukan merupakan obyek eksperimen yang ideal seperti yang dicita-citakan oleh Haberlandt. Obyek yang ideal haruslah sel tunggal, sel tunggal dapat diperoleh dengan berbagai cara: (1) kultur suspensi sel, dalam hal ini sel sudah mengalami dediferensiasi, (2) mikrospora, dan (3) protoplas, yaitu sel yang sudah dihilangkan dindingnya. Setelah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh J. Reinert dan F.C. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel, pada 1966 Guha dan Maheshwari berhasil memperoleh tanaman dari antera (anthers) Datura innoxia, hasil penelitianya diterbitkan di jurnal ilmiah Nature. Dari hasil pengamatannya diketahui bahwa plantlet bersifat haploid, jadi berasal dari mikrospora. Dengan perkembangan teknik kultur in vitro, pada 1972 C. Nitsch berhasil menginduksi mikrospora Datura, Nicotiana, dan Licopersicon langsung menjadi plantlet, mikrospora diisolasi dari antera kemudian langsung dikulturkan pada medium. Kemajuan paling akhir dari teknik kultur in vitro adalah ditemukannya teknik kultur protoplas. Teknik ini memungkinkan diisolasinya sel tumbuhan dalam jumlah besar langsung dari tanaman, dari kalus, atau dari kultur suspensi sel. Protoplas adalah sel tumbuhan yang sudah dihilangkan dindingnya, sehingga disebut sebagai sel telanjang. Pada 1960 E.C. Cocking berhasil untuk pertamakalinya mengisolasi protoplas dari sel-sel akar dengan menggunakan enzim selulase. Cocking juga berhasil Kultur Jaringan Tanaman 9 menunjukkan adanya regenerasi dinding sel di sekitar protoplas yang diisolasi dari jaringan loculus buah tomat. Kemajuan yang paling berarti dicapai sekitar tahun 1970-an ketika Nagata dan Takebe berhasil menunjukkan adanya pembelahan protoplas yang diisolasi dari mesofil daun tembakau. Pembelahan ini terus berlanjut sampai terbentuknya mikrokalus. Masih pada tahun yang sama Takebe, Labib dan Melchers berhasil meregenerasikan kalus dari protoplas menjadi plantlet. Tahun-tahun sesudahnya jumlah tanaman regenerasi dari protoplas terus bertambah. Rangkaian pencapaian yang mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sampai saat ini dapat dirangkum sebagai berikut: Pada tahun 1900, percobaan-percobaan awal untuk mengulturkan sel dan jaringan tanaman pada kondisi tidak aseptis. Pada era ini, formulasi permasalahan kultur sel dan jaringan oleh Haberlandt (1902), merupakan isu yang sangat dominan. Pada periode tahun 1930-1950, kultur jaringan dan kultur organ semakin berkembang yang ditandai dengan keberhasilan pelaksanaan kultur akar (organ) dan kultur jaringan secara aseptis yang menghasilkan kalus. Selain itu, penemuan auksin (suatu hormon pertumbuhan tanaman) juga merupakan keberhasilan lainnya. Pada periode tahun 1950-1960, dicirikan dengan keberhasilan kultur sel melalui fase organogenesis melalui kultur suspensi sel, dan embriogenesis somatik sebagai konsekuensi dari penemuan sitokinin, suatu hormon pertumbuhan tanaman selain auksin. Dalam periode 10 tahun berikutnya yaitu tahun 1960-1970, teknologi propagasi in vitro yang meliputi teknik mikropropagasi, menghasilkan tanaman bebas virus, dan pengawetan plasma nutfah mewarnai periode ini. Selain itu, haploidisasi secara in vitro, juga menunjukkan keberhasilan pelak-sanaannya, meliputi: (1) kultur antera (embryogenesis serbuk sari), (2) kultur mikrospora (androgenesis), (3) kultur ovule (gynogenesis), (4) hibridisasi Kultur Jaringan Tanaman 10 interspesifik, dan (5) kultur embrio. Selama periode tahun 1970-1980, prestasi lain yang cukup menakjubkan adalah keberhasilan dalam: (1) isolasi protoplas, (2) kultur protoplas, (3) tanaman regenerasi dari protoplas, (4) fusi protoplas, dan (5) hibridisasi somatik. Sejak tahun 1980 hingga sekarang, genetika sel somatik dan rekayasa genetika menjadi inti dari kemajuan kultur in vitro. Genetika sel somatik meliputi: variasi somaklon, dan teknologi pemuliaan tanaman melalui teknik mutasi secara in vitro. Sementara itu, dalam rekayasa genetika, identifikasi gen (teknologi rekombinasi DNA), isolasi gen, cloning gen, transformasi sel, ekspresi gen, dan tanaman transgenik, merupakan kegiatan-kegiatan inti yang utama dan semakin pesat. 1.3. Manfaat Teknik Kultur Jaringan Teknik kultur jaringan yang semula ditujukan untuk penelitian dasar di bidang biologi, terutama pembuktian totipotensi sel, sekarang telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang lain terutama di bidang agribisnis dan farmasi. a. Di bidang agribisnis Aplikasi yang nyata dari teknik kultur jaringan tumbuhan adalah dapat menekan biaya produksi karena dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak pada waktu yang relatif singkat, tidak memerlukan lahan yang terlalu luas, tidak tergantung pada iklim, bebas hama dan penyakit sehingga dapat diangkut kemana saja melewati batas-batas negara, tanpa melalui proses karantina. Hal yang lebih penting lagi, karena merupakan perbanyakan vegetatif, maka keturunannya akan sama dengan induknya. Survey yang dilaksanakan di negeri Belanda menunjukkan, laboratorium mikropropagasi komersial pada tahun 1988 telah Kultur Jaringan Tanaman 11 menghasilkan tanaman yang diperbanyak secara klonal sebanyak 65 juta (Pierik, 1988). Sementara itu, di Indonesia mikropropagasi klonal telah sangat membantu program Hutan Tanaman Industri, pohon yang berhasil dikembangkan dengan metode ini antara lain Jati (Tectona grandis) dengan kemampuan multiplikasi 5-6 plantlet atau dalam kurun waktu satu tahun dari satu eksplan dapat diperoleh sekitar 15 juta anakan. b. Di bidang farmakologi dan industri kimia Metabolit sekunder merupakan bahan baku obat yang berasal dari bahan alam nabati, biasanya metabolit sekunder jenis ini diperoleh dari tumbuhan dengan cara penyaringan (ekstraksi). Cara ini tidak praktis karena diperlukan lahan yang luas untuk menumbuhkan tanaman tersebut. Melalui teknik kultur in vitro, sel-sel dan jaringan tanaman dapat dimanipulasikan sedemikian rupa seperti yang dapat dilakukan pada proses fermentasi. Bedasarkan hal tersebut kultur sel dapat merupakan sumber metabolit sekunder yang memiliki nilai ekonomi tinggi di samping kultur kalus. c. Untuk mendapatkan hibrida-hibrida baru melalui silangan somatis Sel-sel tubuh tanaman jika dihilangkan dindingnya akan didapatkan protoplas. Tersedianya protoplas memungkinkan dilakukannya persilangan intergenerik dengan teknik fusi protoplas. Protoplas dari dua jenis tanaman yang berbeda dapat difusikan dengan menggunakan medan listrik atau bahan kimia pemfusi sehingga terjadi peleburan sitoplasma dan diharapkan dapat terjadi peleburan dua inti heterokaryon. Protoplas hasil fusi dapat diregenerasikan menjadi tanaman (hibrida) baru. Dengan fusi protoplas akan teratasi kesulitankesulitan yang timbul pada hibridisasi antara dua spesies, dua Kultur Jaringan Tanaman 12 genus atau bahkan pada takson yang lebih tinggi. Penghilangan dinding sel juga memungkinkan untuk mengintroduksi organel atau potongan DNA ke dalam sel untuk merubah struktur genetisnya. BIJI BAGIAN TANAMAN LAINNYA STERILISASI PERKECAMBAHAN BIBIT INDUKSI KULTUR DISPERSI SEL SUSPENSI SEL Gambar 1.2. Diagram kultur suspensi sel Kultur Jaringan Tanaman 13 d. Untuk mendapatkan tanaman haploid Tanaman haploid dapat diperoleh melalui kultur ovule, antera, atau mikrospora. Mikrospora adalah sel tunggal haploid, totipoten, dan tersedia dalam jumlah yang hampir tidak terbatas. Dengan teknik kultur mikrospora dapat dihasilkan tanamau haploid, penggandaan kromosom dapat dilakukan dengan agen pengganda kromosom, sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid ganda (double haploid) yang homozigot. Tanaman haploid dan haploid ganda mempunyai nilai yang sangat berharga bagi pemulia tanaman. Pada beberapa tanaman serealia penggandaan kromosom terjadi secara spontan, sehingga dapat langsung digunakan pada program pemuliaan tanaman. Varietas-varietas komersial telah diproduksi pada pemuliaan dengan menggunakan haploid ganda, misalnya gandum varietas Florin di Perancis (Henry dan De Buyser, 1990). Keunggulan utama dari tanaman haploid ganda tampak pada cepatnya homozigositas diperoleh, tanaman yang dihasilkan mencerminkan contoh acak dari rekombinasi gamet yang terjadi pada meiosis, dan ekspresi dari gen-gen resesif. Untuk pengembangan varietas pada kebanyakan tanaman, tahapan kritis adalah pencapaian galur murni. Tanaman homozigot yang stabil adalah galur murni. Tanaman seperti itu digunakan sebagai varietas akhir atau sebagai induk untuk memproduksi biji hibrida. Secara tradisional, para pemulia mendapatkan tanaman homozigot dengan cara self-fertilization atau back cross, suatu proses yang memerlukan banyak waktu. Dengan teknik kultur mikrospora, sel-sel gamet jantan diinduksi menjadi embriogenik, sehingga tanaman haploid ganda dapat dihasilkan dalam satu generasi saja. Efisiensi seleksi juga dapat ditingkatkan dengan produksi tanaman haploid, karena fenotipe dari tanaman tidak tertutupi oleh efek dominan. Sifat resesif dan dominan sama-sama terekspresi dan karenanya lebih mudah diseleksi. Kultur Jaringan Tanaman 14 e. Untuk penyimpanan plasma nutfah Sejumlah tanaman dapat dilestarikan dengan biji, namun beberapa tanaman berbiji yang penting mempunyai biji yang terlalu besar untuk disimpan, misalnya kelapa. Beberapa tanaman lagi mempunyai biji yang kadar airnya terlalu banyak, misalnya durian, nangka sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama. Bahkan ada tanaman yang tidak membentuk biji dan harus diperbanyak secara vegetatif, misalnya pisang. Hal-hal tersebut menjadikan cara in vitro merupakan satu-satunya harapan sebagai jalan keluar. Untuk penyimpanan dalam jangka pendek, pertumbuhan di dalam kultur jaringan dapat diperlambat dengan suhu rendah dan dengan penghambat osmosis. Sementara itu untuk penyimpanan jangka panjang sel-sel tumbuhan yang berupa kalus ditempatkan pada nitrogen cair dengan suhu antara 0 sampai - 198°C, sehingga metabolisme dan pertumbuhan terhenti sama sekali, proses ini disebut kriopreservasi (Cryopreservation). f. Penyelamatan embrio Kultur in vitro tumbuhan digunakan untuk menyelamatkan embrio yang secara normal abortif, kegagalan membentuk embrio ini disebabkan karena adanya inkompatibilitas. Pada postzygotic incompatibility, setelah terjadi pembuahan terbentuklah zigot, tetapi zigot ini tidak dapat diterima oleh endosperma sehingga embrio tidak dapat berkembang dan mengalami keguguran, misalnya terdapat pada hasil persilangan antara Solanum melongena dengan S. khasianum. Embrio dapat diselamatkan (embrio resque), dipisahkan dari tanaman induknya dan ditanam secara in vitro pada kondisi aseptik di dalam medium yang telah diketahui komposisinya. Pada beberapa jenis tanaman, embrio dan cadangan makanannya sangat tidak berkembang sehingga tidak dapat berkecambah, misalnya pada biji anggrek, hanya terdiri dari Kultur Jaringan Tanaman 15 kumpulan sel-sel yang sederhana. Untuk perkecambahan embrionya sangat tergantung pada suplai gula dari luar, di lingkungan alamiahnya disediakan oleh jamur Mycorrhiza yang hidup secara simbiotik di dalam biji anggrek. Karena infeksi oleh jamur ini tidak dapat terjadi pada semua biji yang terdapat di dalam buah anggrek, maka tidak semua biji dapat berkecambah. Dengan teknik kultur in vitro, biji anggrek dikecambahkan di atas medium secara aseptik, sehingga semua biji yang terdapat di dalam buah anggrek dapat berkecambah. g. Mendapatkan tanaman bebas virus Kultur jaringan juga dapat dipergunakan untuk menunjang penelitian penyakit tanaman terutama virus, yaitu dengan menggunakan teknik kultur meristem. Sementara itu, penggunaan praktis kultur organ dapat menunjang studi tentang infeksi Nematoda, jamur Mycorrhiza, dan mekanisme pembentukan bintil akar pada tanaman Leguminosa. Kultur Jaringan Tanaman 16 Bab 2 Organisasi dan Fasilitas Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Teknik kultur jaringan (kultur in vitro) mensyaratkan kondisi steril, baik ruang, peralatan, bahan, maupun seluruh rangkaian kerjanya. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan eksplan di dalam kultur harus selalu dalam kondisi aseptis. Untuk itu, semua tahapan pelaksanaan teknik kultur in vitro harus dilaksanakan di dalam laboratorium yang harus ditunjang oleh organisasi dan perlengkapan laboratorium yang memadai serta tata cara kerja yang teliti dari si peneliti. Laboratorium tidak harus dibangun baru, ruang-ruang di dalam laboratorium yang sudah ada dapat direnovasi untuk keperluan kultur jaringan. Namun demikian pendirian laboratorium baru merupakan langkah yang terbaik. Laboratorium sebaiknya mempunyai pembagian ruangan yang diatur sedemikian rupa sehingga tiap kegiatan terpisah satu dengan yang lainnya, tetapi masih dapat saling berhubungan dan mudah dicapai. Dalam bagian ini akan diuraikan skema umum laboratorium kultur jaringan, prinsip dan fungsi ruang, serta peralatan yang ada di dalamnya. 2.1. Laboratorium Kultur Jaringan Laboratorium yang baik untuk pekerjaan teknik kultur jaringan harus memenuhi kriteria: aman, bersih, dan memiliki organisasi dan penataan ruang yang sesuai. Lokasi dari laboratorium itu sendiri sebaiknya jauh dari sumber yang sering menimbulkan polusi. Kondisi bagian dalam laboratorium seperti lantai, dinding, meja, alat-alat yang digunakan, dan udara di Kultur Jaringan Tanaman 17 ruangan laboratorium mutlak bersih. Diusahakan agar bebas dari debu, karena debu adalah sumber kontaminan yang paling potensial. Selain itu, yang tidak menguntungkan adalah bahwa negara kita terletak di daerah beriklim tropis, debu-debu begitu banyak mendominasi ruangan udara di sekitar kita sehingga sulit untuk dihindari. Oleh karena itu sebagai upaya pembuatan laboratorium bebas debu, kita harus merancang laboratorium yang tertutup rapat tanpa ada ventilasi. Jendela-jendela dibuat permanen dari kaca (tidak bisa dibuka). Di dalam ruangan, diberi pengatur udara (Air Conditioner, AC) untuk mempertahankan suhunya konstan 25-28oC, dan sebaiknya dipasang exhauster untuk menyedot debu yang ada di dalam ruangan. Lantai laboratorium juga harus dibersihkan secara rutin dengan antiseptik, meja dan dinding juga harus dibersihkan dengan larutan antiseptik. Umumnya permukaan meja dan dinding dilapisi dengan porselin supaya kedap air dan mudah dibersihkan. Ruangan di dalam laboratorium harus dijaga tetap bersih dan bebas dari debu, hewan kecil dan serangga. Setiap orang yang akan masuk laboratorium harus melepas sepatunya dan menggantinya dengan alas kaki yang ada di dalam laboratorium serta harus mengenakan jas praktikum. Kebersihan laboratorium secara umum sangat menentukan keberhasilan kerja kultur jaringan. Sarana dasar seperti aliran listrik, air yang cukup dan gas harus dimiliki. Pelaksanaan kerja kultur jaringan tumbuhan memiliki tahapan-tahapan dan urutan kerja yang khusus. Oleh karena itu laboratorium harus diatur sedemikian rupa sehingga ada tingkatan sterilitas ruangan sesuai dengan tahapan kerja tadi, termasuk alur keluar-masuknya pekerja di dalam laboratorium tersebut. Tahapantahapan kerja di dalam laboratorium kultur jaringan dibagi dalam empat kelompok yaitu: Kultur Jaringan Tanaman 18 a. Persiapan Merupakan tahap awal kerja kultur jaringan, dimulai dari penyiapan tanaman sebagai sumber eksplan yang ditanam di green house, kemudian menyiapkan alat-alat, botol-botol kultur dan pembuatan medium (meracik, merebus dan membaginya ke dalam botol-botol sampai pada sterilisasi). b. Inokulasi Inokulasi meliputi sterilisasi, pengambilan/pengirisan bagian tanaman yang akan dijadikan sebagai eksplan, kemudian menanamnya di dalam atau di atas medium buatan yang telah disediakan. Untuk inokulasi eksplan ini diperlukan kondisi yang absolut steril. c. Pemeliharaan Setelah diinokulasi, botol kultur diletakkan di rak-rak pemeliharaan di ruang inkubator untuk diikuti pertumbuhan dan perkembangannya sampai menjadi plantlet. Untuk pemeliharaan tersebut dibutuhkan ruang yang tidak perlu steril tetapi harus bersih, dengan pengatur suhu 25-28oC, dan pencahayaan dengan lampu neon (Tube Lamp, TL), 1000-3000 lux. d. Aklimatisasi Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian/adaptasi plantlet dari kondisi heterotrof di dalam botol kultur ke kondisi autotrof yang dapat ditanam pada kondisi alamiahnya di tanah. Proses aklimatisasi dilaksanakan di dalam green house dengan memberikan perlakuan kelembaban, intensitas cahaya dan temperatur. Setelah melampaui masa aklimatisasi, tanaman dapat dibawa keluar dari green house untuk ditanam di lapangan. Masing-masing tahapan pekerjaan tersebut harus terpisah satu dengan lainnya dan dengan menggunakan peralatan tersendiri. Berdasarkan adanya urutan tahapan kerja seperti tersebut di atas, Kultur Jaringan Tanaman 19 maka dasar penataan ruang laboratorium adalah urutan kegiatan dan sterilitas ruangan. Oleh karena itu pembagian ruangan laboratorium yang baik meliputi: (1) ruang persiapan, (2) ruang transfer (inokulasi) atau ruang steril, (3) ruang kultur (inkubator dan ruang plantlet), dan (4) ruang aklimatisasi (Gambar 2.1). (1) Ruang persiapan Ruangan persiapan dipergunakan sebagai tempat untuk mempersiapkan eksplan, medium dan alat-alat. Ruang persiapan biasanya dibagi menjadi beberapa ruangan kecil yang dipergunakan untuk menyimpan medium dan alat-alat yang sudah steril, untuk menyimpan alat-alat gelas, bahan-bahan kimia dan pembuatan medium (ruang timbang), dan ruangan untuk mencuci. Persiapan eksplan yang dilakukan meliputi pencucian, dan pemotongan/pembuangan bagian-bagian tanaman yang tidak dipergunakan, serta perlakuan awal untuk mengurangi kontaminan yang ada di permukaan tanaman. Persiapan medium meliputi penimbangan bahan kimia medium, pengenceran medium, penuangan ke dalam wadah kultur dan sterilisasi. Sesuai dengan fungsinya, fasilitas yang dibutuhkan di dalam ruangan ini adalah meja tempat meletakkan alat-alat pemanas, meja untuk alat-alat timbang, meja untuk bekerja dan tempat mencuci, semua meja adalah statis dari beton dan beralas porselin. Peralatan yang diletakkan di dalam ruangan ini terdiri dari: (1) oven, (2) magnetic stirrer dengan atau tanpa pemanas, (3) alatalat gelas standar: labu takar berbagai ukuran pipet pasteur, (4) erlenmeyer berbagai ukuran, gelas piala pengaduk gelas wadah kultur: botol, tabung reaksi, cawan petri, (5) lemari alat-alat gelas, (6) alat-alat untuk mencuci, (7) rak-rak pengering, (8) alat-alat diseksi: spatula, pisau, scalpel, pinset, gunting, cutter, (9) borrer berbagai ukuran, (10) blender, (11) bidistilling water, (12) agarose dispenser, (13) kompor gas, (14) autoclave, (15) lampu bunsen dengan kaki tiga, (16) kereta (cart) untuk memindahkan alat-alat Kultur Jaringan Tanaman 20 dan media ke ruang lain, dan (17) growth chamber, untuk praperlakuan dingin pada tanaman berbunga, khususnya yang akan dipergunakan untuk kultur mikrospora. Gambar 2.1. Penataan Ruangan Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (2) Ruang timbang Ruangan ini dipergunakan untuk tempat menyimpan bahanbahan kimia medium dan mempersiapkan medium kultur. Persiapan medium kultur meliputi penimbangan bahan kimia medium, pengenceran larutan stok, membagi-bagi dalam botol kultur dan sterilisasi. Ruang timbang berhubungan langsung dengan ruang persiapan. Fasilitas yang diperlukan dalam ruangan ini adalah meja kerja dan meja untuk alat-alat timbang beralas porselin. Peralatan yang diletakkan di ruangan ini terdiri dari: (1) timbangan analitik, (2) lemari es dan freezer untuk menyimpan Kultur Jaringan Tanaman 21 larutan stok, (3) hot plate dengan magnetic stirrer, (4) bunsen dengan kaki tiga, (5) pH meter, (6) lemari bahan kimia dan alatalat (aluminum foil, kertas timbang, kertas saring, dsb.), (7) hood tempat penimbangan bahan-bahan kimia yang karsinogenik, dan (8) blender/homogenizer. (3) Ruang stok Ruang stok dipergunakan untuk menyimpan alat-alat steril dan medium yang sudah jadi (steril). Di dalam pelaksanaan teknik kultur jaringan, sebelum penanaman eksplan maupun sub-kultur dilakukan, medium kultur harus sudah disiapkan minimum tiga hari sebelum diperlukan. Medium yang sudah jadi harus disimpan di dalam ruangan yang dingin dan gelap. Fasilitas yang diperlukan di ruangan ini berupa meja kerja beralas porselin. Ruang stok harus berhubungan langsung dua arah, satu arah dengan ruang persiapan (setelah media disterilisasi di ruang persiapan, dapat langsung dibawa ke ruangan ini), dan arah yang lain dengan ruang transfer atau ruang steril, ruangan ini meskipun tidak harus steril tetapi kebersihannya harus tetap terjaga. Alat-alat yang terdapat di ruangan ini meliputi: (1) kereta dorong, (2) rak-rak untuk meletakkan medium steril, dan (3) oven untuk menyimpan alat-alat steril. (4) Ruang steril/transfer Ruang transfer merupakan ruangan dimana semua kegiatan aseptis dimulai. Kegiatan yang dilakukan meliputi: sterilisasi, isolasi bagian-bagian tanaman dan penanaman eksplan dalam medium. Kegiatan subkultur, sterilisasi medium dengan ultrafiltrasi juga dilakukan di ruangan ini. Ruangan ini mutlak steril, sehingga sedapat mungkin bebas dari debu dan hewan kecil, dinding ruangan dilapis porselin atau bahan lain yang kedap air dan mudah dibersihkan. Ruangan ini juga dilengkapi dengan tempat cuci tangan sehingga memudahkan petugas yang akan Kultur Jaringan Tanaman 22 memulai dengan pekerjaan aseptis, pengatur suhu (AC), lampu ultra violet dan lampu TL biasa. Ruang transfer harus terisolasikan sedemikian rupa tetapi masih dapat berhubungan dengan ruang stok, ruang inkubasi, dan ruang mikroskop. Pintu penghubung harus selalu dalam keadaan tertutup. Ruang transfer dilengkapi dengan alat-alat sebagai berikut: (1) laminar air flow cabinet (LAFC), peralatan utama untuk melakukan pekerjaan aseptis, (2) dissecting microscope, (3) cart yang selalu disemprot dengan alkohol 70%, (4) alat-alat diseksi: scalpel, pinset, spatula, gunting, jarum, (5) millipore filter, (6) syrink, (7) hand sprayer untuk alkohol, (8) tempat alkohol, (9) bunsen burner/lampu alkohol/bacticinerator, (10) entkas, (11) timbangan kecil, (12) electrofusion chamber, (13) vacum pump, dan (14) centrifuge, untuk proses isolasi mikrospora dan protoplas. (5) Ruang inkubasi/kultur Ruang kultur merupakan ruang besar dengan kemungkinan perluasan bila diperlukan. Kebersihannya harus diperhatikan dan sedapat mungkin dihindari terlalu banyak keluar-masuknya orangorang yang tidak berkepentingan. Ruangan ini dipergunakan untuk memelihara eksplan yang telah ditanam pada medium secara aseptis. Kultur yang telah tumbuh dan memperbanyak diri, secara terarur harus disubkultur, tergantung dari jenis eksplan dan tipe kultur. Subkultur dilakukan setiap 3-6 minggu sekali, hal ini berarti tiap bulan ada pelipatan jumlah kultur. Botol-botol kultur diatur dengan menempatkannya pada rak-rak terbuka yang bertingkat (3-4 tingkat) dengan lampu fluorescent, jarak tiap tingkat 40-50 cm. Jarak antara rak harus diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan lalulintas pemeriksa kultur. Di dalam ruang kultur, lingkungan fisik diatur sedemikian rupa sehingga mendukung pertumbuhan yang optimal. Untuk itu perlu ada pengaturan terhadap suhu dan cahaya. Unsur-unsur dari Kultur Jaringan Tanaman 23 cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas, lama penyinaran, dan intensitas cahaya. Kualitas cahaya. Cahaya putih merupakan cahaya yang baik untuk pertumbuhan kultur. Lampu fluorescent (TL) biasa digunakan sebagai sumber cahaya dalam ruang kultur. Keseimbangan spektrum lampu fluorescent sangat baik dan efisien dalam penggunaan energi bila dibandingkan dengan lampu pijar. Bentuk lampu memungkinkan penyebaran cahaya yang baik, dengan panas yang dikeluarkan relatif rendah, bila transformer dapat diletakkan di luar ruang kultur. Pada lampu pijar hampir 90% merupakan enersi panas sehingga mempengaruhi suhu ruangan. Pada ruang kultur juga dapat diberikan campuran lampu pijar dan f1uorescent secara bersamaan. Intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang baik dari lampu fluorescent adalah antara 100-400 foot candle (l000-4000 lux). Intensitas cahaya diatur dengan menempatkan sejumlah lampu dengan kekuatan tertentu pada jarak antara 40-50 cm dari tabung kultur pada luas area tertentu. Lama penyinaran. Seberapa lama cahaya harus diberikan pada eksplan sehingga berpengaruh positif terhadap pertumbuhannya, sangat tergantung dari jenis tanaman dan respon yang diinginkan. Untuk proses morfogenesis, umumnya diperlukan pencahayaan terus menerus, sebaliknya untuk induksi kalus umumnya tidak memerlukan pencahayaan. Untuk pertumbuhan plantlet, yang segera akan dilakukan aklimatisasi, umumnya memerlukan periode penyinaran selama 14-16 jam. Panjang penyinaran diatur dengan alat automatic timer switch atau timer. Suhu. Suhu di dalam ruang kultur yang baik adalah pada suhu normal yaitu antara 25-28°C. Pengaturan suhu dilakukan dengan menggunakan AC, karena ruang kultur merupakan ruang tertutup yang sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas. Beberapa perlakuan khusus kadang-kadang memerlukan suhu Kultur Jaringan Tanaman 24 rendah (18-20°C), sehingga diperlukan adanya growth chamber yang dapat diatur suhu dan pencahayaannya. Alat-alat yang diperlukan di dalam ruang kultur adalah: (1) rak-rak kultur 3-4 tingkat dengan lampu fluorescent, jarak tiap tingkat 40-50 cm, (2) timer untuk mengatur lama penyi-naran, (3) AC untuk mengontrol suhu ruangan, (4) binocular microscope dan loupe/kaca pembesar, (5) tangga aluminium untuk melihat kultur di rak yang tinggi, (6) shaker, untuk inkubasi kultur dengan medium cair. (6) Ruang mikroskop Ruangan ini dipergunakan untuk pengamatan dan analisa selama kultur berjalan, reaksi suatu kultur dalam media perlakuan sering diikuti sejak awal inisiasi. Untuk membedakan morfologi eksplan atau struktur internal pada kultur mikrospora, sel dan protoplas yang terjadi pada awal perkembangannya, diperlukan bantuan mikroskop. Untuk keperluan tersebut dipergunakan binocular microscope (stereoscope), inverted microscope, fluorescent microscope, yang dilengkapi dengan peralatan untuk fotografi. Penelitian-penelitian yang lebih canggih seperti fusi protoplas, microinjection DNA atau organel ke dalam sel atau protoplas, memerlukan mikroskop dengan mikro manipulator. Ruangan ini harus senantiasa kering/tidak lembab dan bersih, untuk pengoperasian fluorescent microscope, diperlukan ruangan yang gelap total. Meja dari beton untuk tempat meletakkan mikroskop diperlukan di dalam ruangan ini. Alat-alat yang terdapat di dalam ruangan ini adalah: (1) inverted microscope, (2) stereoscope, (3) student microscope, (4) fluorescent microscope, (5) micromanipulator, (6) alat-alat fotografi, dan (7) alat-alat untuk pengamatan sitologis, misalnya gelas preparat dan penutup, jarum, microtome dan sebagainya. Kultur Jaringan Tanaman 25 Bab 3 Media Tanam Kultur Jaringan Tanaman Salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan kerja kultur jaringan adalah pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang benar pada medium kultur. Medium yang dipergunakan pada kultur in vitro tumbuhan ada bermacammacam. Pemilihan medium tergantung pada jenis tanaman yang digunakan, selera, tujuan serta perhitungan masing-masing peneliti. Isi dan komposisi medium kultur dirancang secara khusus untuk tujuan yang berbeda. Medium MS, singkatan dari nama penemunya, Murashige dan Skoog atau LS, singkatan dari Linsmaier dan Skoog merupakan medium yang sangat banyak digunakan untuk kultur kalus dan regenerasi berbagai tanaman, medium ini mengandung garam-garam mineral dengan konsentrasi tinggi dan senyawa N dalam bentuk ammonium dan nitrat; medium B5 (Gamborg) banyak digunakan untuk kultur suspensi sel tanaman leguminosae. Nitsch dan Nitsch (NN), dan N6 (Chu) banyak digunakan untuk serealia dan tanaman lain; medium WPM (Lloyd dan McCown) untuk kultur jaringan tanaman berkayu; Vacin dan Went (VW) dan Knudson (C) banyak digunakan untuk anggrek; medium Kao dan Michayluk digunakan untuk kultur protoplas Cruciferae, Gramineae dan Leguminosae. Pada dasarnya tidak ada satu macam medium kultur yang dapat memberikan pertumbuhan optimal untuk semua sel, penggantian medium atau salah atau komponen medium seringkali diperlukan untuk merespon setiap tipe pertumbuhan dari satu macam eksplan. Studi literatur sangat diperlukan untuk mengembangkan atau memodifikasi medium kultur, modifikasi dari medium kultur yang telah ada umumnya Kultur Jaringan Tanaman 26 didasarkan pada trial and error. 3.1. Komponen Dasar Medium Kultur Jaringan Pada prinsipnya medium diberikan kepada sel-sel tanaman in vitro dengan maksud memberikan nutrisi sesuai dengan kebutuhan sel-sel tanaman tersebut secara alami sebagai tanaman utuh yang tumbuh di alam. Tumbuhan di alam bebas bersifat autotrof, memerlukan nutrisi sederhana yang terdapat di dalam tanah berupa garam-garam mineral dan air untuk meneruskan siklus hidupnya. Hal ini dapat dipahami karena sebagian terbesar tubuh tumbuhan tersusun atas unsur-unsur penyusun zat anorganik tersebut. Pada kultur in vitro tumbuhan, untuk keperluan hidupnya, sel-sel pada eksplan juga memerlukan nutrisi yang komposisinya jauh lebih komplek karena eksplan sedikit banyak telah kehilangan sifat autotrofnya. Komponen dasar medium kultur dapat bermacam-macam, secara umum medium kultur jaringan harus mengandung unsurunsur sebagai berikut: a. Garam-garam anorganik: (1) unsur makro: C, H, O, N, S, P, K, Ca, dan Mg; (2) unsur mikro: Cl, S, Mo, Zn, Cu, Fe, dan Co; b. Zat-zat organik: (1) gula, (2) Myo-Inositol, (3) vitamin, (4) asam-asam amino, dan (5) zat pengatur tumbuh; c. Substansi organik komplek: (1) air kelapa, (2) ekstrak buahbuahan, (3) ekstrak ragi (yeast), (4) pepton, (5) tripton, dan (6) hydrolisat kasein; d. Bahan pemadat: (1) agar-agar, (2) gelrite, (3) phytagel, dan (4) sea plaque agarose; e. pH, dan f. Bahan tambahan lain misalnya arang aktip. Kultur Jaringan Tanaman 27 Kebutuhan zat-zat anorganik Unsur makro. Air merupakan zat terbanyak pada tubuh tumbuhan, oleh karena itu air juga merupakan bagian terbesar di dalam medium kultur. Air selain sebagai bahan untuk membentuk material tubuh, juga sebagai medium untuk reaksi-reaksi kimia dan fisika. Air juga berguna untuk transpor dan distribusi zat-zat yang terlarut di dalamnya. Pada medium kultur jaringan digunakan air murni yang sudah mengalami demineralisasi, deionisasi dan didestilasi dengan gelas dua kali. Kebutuhan garam-garam mineral di dalam jaringan kurang lebih sama dengan tanaman lengkap. Garam-garam mineral merupakan gabungan unsur-unsur esensial makro dan mikro. Konsentrasi optimum dari tiap-tiap komponen untuk mencapai kecepatan pertumbuhan yang maksimal sangat bervariasi. Menurut Gamborg dan Shylluk (1981) biasanya berkisar 25-60 mM. Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, pada umumnya diberikan dalam bentuk persenyawaan. George dan Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan nutrisi makro yang umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; CaCl2.2H2O; MgSO4.7H2O; KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4.2H2O; Na2SO4; (NH4)2SO4; NH4Cl; K2SO4. Nitrogen (N). Nitrogen diberikan dalam bentuk persenyawaan yang bermacam-macam, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; NH4H2PO4; (NH4)2SO4; NH4Cl. Kebutuhan terbesar adalah untuk menyusun asam-asam nukleat, protein, sebagai koenzim atau persenyawaan lain yang mengandung N seperti klorofil, alkaloid, derivat purin dan pirimidin dan beberapa hormon endogen. Sumber nitrogen pada medium kultur adalah ion ammonium (NH4)+ dan nitrat (NO3)-. Jumlah ion ammonium yang digunakan berkisar antara 2-8 mM, sedangkan nitrat berkisar antara 25-40 mM. Pengambilan unsur Kultur Jaringan Tanaman 28 nitrat memerlukan pH rendah, sebaliknya pengambilan ammonium menyebabkan pembebasan H- sehingga medium menjadi asam. Medium Murashige dan Skoog (MS) menyediakan nitrogen dalam bentuk garam NH4N03, ini merupakan strategi yang baik dan mempunyai keuntungan ganda, karena selain sumber N-nya lengkap juga dalam bentuk garam efeknya terhadap penurunan pH medium berkurang (George dan Sherrington, 1984). Fosfor (P). Fosfor diberikan pada medium kultur jaringan dalam bentuk persenya-waan KH2PO4 atau K2HPO4; NH4H2PO4; NaH2PO4. Ion PO4- total yang diberikan pada medium bervariasi antara 0,5 - 20 mM.L-1. Unsur P di dalam sel diubah menjadi persenya-waan RNA dan DNA, zat-zat yang sangat penting yang bertanggung jawab atas sifat-sifat keturunan. Unsur P diperlukan sebagai aktifator enzim untuk memacu pertumbuhan pada jaringan meristematik. Kelebihan unsur P dapat menghambat pertumbuhan eksplan, karena akan terjadi persaingan penyerapan dengan unsur lain seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu). Kalium (K). Kalium diberikan pada medium dalam bentuk KNO3; KH2PO4 atau K2HPO4, KCl dan K2SO4. Ion K+ total yang diberikan pada medium bervariasi antara 1,837 - 25,180 mM.L-1. Unsur K sangat diperlukan untuk memacu pembelahan sel, sintesa karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi nitrat (Kyte, 1983). Kalium berpengaruh pada hidratasi, menambah atau mengurangi hidratasi pada misel sehingga mempengaruhi masuknya nutrien ke dalam sel. Sulfur (S). Sulfur atau belerang diberikan pada medium dalam bentuk: MgSO4.7H2O; (NH4)2SO4; K2S04; FeSO4.7H2O; MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; CuSO4.5H2O. Pemberian bele-rang berkisar antara 0,75-3,00 mM.L-1. Sulfur ada di dalam beberapa molekul protein dan enzim yang selain berguna untuk memacu perkembangan akar, juga berguna untuk ketahanan atau proteksi tubuh tumbuhan. Belerang diserap dalam bentuk SO4-, antara lain Kultur Jaringan Tanaman 29 dijadikan aneurin, biotin, persenyawaan asam amino yang ada belerangnya misalnya, cystein dan methionin. Calsium (Ca). Kalsium atau kapur diberikan pada medium dalam bentuk: Ca(NO3).4H2O; CaCl2H2O; Ca3(PO4). Pemberian ion Ca berkisar antara 1-3 mM.L-1. Pemakaian Ca-nitrat ada kelemahannya karena sangat higroskopis, sehingga di dalam wadahnya seringkali dijumpai kristalnya berair. Sebaiknya Canitrat dibuat larutan stok dan disimpan di dalam kulkas. Ca-fosfat juga ada kelernahannya yaitu tidak mudah larut. Untuk melarutkannya, sejumlah tertentu Ca-fosfat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 ml, kemudian diberi tetes HCl 0,1 N, campuran ini digojok sambil dipanasi sampai larut (tampak jernih). Kalsium diperlukan untuk pembentukan dinding primitif, sebagai Ca-pectat yaitu bagian integral dari dinding sel, penting sebagai kation selular dan kofaktor enzim. Kalsium mempengaruhi hidratasi, permeabilitas dan penyerapan nutrien. Kalsium juga empengaruhi tingginya pH, menetralissasikan racun, misalnya pada asam oksalat. Asam oksalat dengan Ca akan menjadi Ca-oksalat berbentuk kristal dan diisolasi atau dimumifikasikan di dalam sel tertentu menjadi sel-sel kristal. Magnesium (Mg). Magnesium terutama diberikan pada medium dalam bentuk MgSO4.7H2O. Magnesium diperlukan sebagai elemen utama dalam pembentukan klorofil, berperan penting sebagai aktivator enzim terutama dalam proses fosforilasi dan sintesis protein degan cara membentuk komplek enzimsubstrat. Unsur mikro. Unsur hara mikro adalah unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit. Fungsinya belum diketahui secara pasti, tetapi tidak adanya zat-zat ini dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan. Air dan bahan kimia yang tingkat kemurniannya rendah seringkali terkontaminasi oleh unsur hara mikro. Bentuk persenyawaan hara mikro yang umum digunakan pada beberapa Kultur Jaringan Tanaman 30 medium kultur menurut George dan Sherrington (1984) adalah: MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; H3BO3; KI; CuSO4.5H2O; NaMoO4.2H2O; CoCl2.6H2O; FeCl3.6H2O; Fe III citrate; FeSO4.7H2O; NaFeEDTA; Na2EDTA.2H2O; Fe(SO4)3; Fe III tartrate. Besi (Fe). Besi diperlukan dalam jumlah sedikit lebih banyak daripada unsur mikro yang lain, berikan dalam bentuk chelat. Pemberian Fe bersama-sama dengan NaEDTA dimaksudkan agar besi tetap pada jangkauan pH yang luas dalam jangka waktu yang lama hingga dapat diserap oleh jaringan tanaman. Fe berperan penting dalam sintesis klorofil, konversi energi pada fotosintesis dan respirasi dengan melakukan reduksi oksidasi, bagian dari sitokrom. Besi diberikan pada medium kultur jaringan berupa FeCl3.6H2O; Fe III trate; FeSO4.7H2O; NaFeEDTA 2H2O; Fe(SO4); Fe III tartrate. Boron (Bo). Boron diberikan pada medium kultur sebagai asam borat (boric acid, H3BO3). Berperan dalam translokasi karbohidrat, juga terlibat dalam diferensiasi seluler dan perkembangan. Ikatan boron organis memungkinkan adanya diferensiasi dan penyusunan struktur halus dari dinding sel sehingga memudahkan transport karbohidrat dan penyerapan ion ke dalam sel; sebagai aktifator dan inaktifator bagi zat pengatur tumbuh. Kalau boron kurang, zat pengatur tumbuh menjadi terlalu banyak sehingga menghambat pertumbuhan. Molybdenum (Mo). Molibdenum diberikan pada medium sebagai sodium molybdat (Na2MoO4.2H2O), berpartisipasi pada konversi nitrogen ke ammonia dan fiksasi nitrogen, ikut dalam metabolisme protein, sintesis asam askorbat, dan kofaktor enzim. Manganese (Mn). Manganese merupakan elemen esensial yang terdapat pada membran kloroplas, berperan sebagai aktivator enzim dengan bertindak sebagai perantara pada proses fosforilasi atau sebagai gugus redoks Mn2+. Bahan pembentuk klorofil dan Kultur Jaringan Tanaman 31 aktif dalam fotosintesis, metabolisme protein dan pembentukan vitamin C. Pada medium kultur diberikan dalam bentuk MnSO4. Cobalt (Co). Cobalt merupakan e1emen dari molekul vitamin B kompleks, esensial untuk fiksasi nitrogen. Pada medium kultur jaringan diberikan dalam bentuk persenyawaan Cobalt Chloride (CoCl2). Zincum (Zn). Zincum berperan sebagai aktivator enzim, penyusun khlorofil, pemacu pembentukan zat pengatur tumbuh terutama IAA. Pada medium kultur jaringan diberikan dalam bentuk zinc sulphate (ZnSO4). Cuprum (Cu). Cuprum merupakan bagian dari enzim, Cu bereaksi menjadi komponen phenolase, lactase dan askorbat oksidase. Ikut ambil bagian dalam proses fotosintesis dan reduksi nitrit. Cuprum diberikan pada medium kultur jaringan dalam bentuk Cupric sulfate (CuSO4 5H2O). Chlorine (Cl). Chlorine sebagai ion berpengaruh terhadap aktifitas enzim, memacu proses fotosintesis. Chlorine diberikan pada medium kultur jaringan berupa Calcium Chloride (CaCl2). 3.2. Kebutuhan zat-zat organik Zat-zat organik adalah persenyawaan yang mengandung karbon, ditambahkan pada medium kultur jaringan berupa gula, myo-inositol, vitamin, asam-asam amino dan zat pengatur tumbuh. Zat-zat organik tersebut biasanya tidak diberikan pada tanaman karena tanaman dapat mensintesis sendiri, tetapi pada kultur in vitro, karena eksplan yang digunakan umumnya berukuran sangat kecil dan tidak mampu mensintesis sendiri semua zat-zat organik tersebut, maka zat-zat organik harus ditambahkan pada medium. Gula. Tumbuhan di alam bebas mencukupi kebutuhan gula dengan mengasimilasi CO2 pada roses fotosintesa, dengan pertolongan klorofil dan sinar matahari, dijadikan glukosa, kemudian dijadikan pati, selulose dan persenyawaan-persenyawaan Kultur Jaringan Tanaman 32 lain. Pada kultur in vitro, sel dan jaringan tumbuhan belum sempurna dalam melakukan asimilasi fotoautotrof, sehingga di perlukan gula sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai sumber energi bagi sel dan jaringan, gula juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial di dalam medium. Gula pada umumnya diberikan pada medium kultur berupa sukrosa atau komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa. Sukrosa pada medium kultur ditambahkan sebanyak 30 g.L-l. Glukosa atau D-glukosa biasanya ditambahkan dengan konsentrasi 20- 30 g.L-1, tergantung dari jenis eksplan. Sukrosa ternyata lebih berpengaruh dalam perkembangan kalus, sedangkan pengaruhnya terhadap organogenesis belum dapat dipastikan (George dan Sherrington, 1984). Pada kultur mikrospora beberapa spesies tanaman digunakan maltosa. Maltosa dihidrolisis lebih lambat dibandingkan dengan sukrosa, ini memberi pengaruh yang lebih baik pada mikrospora yaitu dapat memacu embriogenesis (Indrianto et al., 1999). Myo-Inositol. Myo-Inositol ditambahkan pada medium untuk membantu diferensiasi dan pertumbuhan jaringan. MyoInositol ikut serta dalam beberapa reaksi metabolik penting yang berhubungan dengan. pembelahan sel. Myo-Inositol merupakan perantara pada perubahan glukosa menjadi asam galakturonat, juga sebagai prazat untuk pektin dan penyusun dinding sel. Vitamin. Vitamin ditambahkan pada medium untuk mempercepat pertumbuhan, diferensiasi kalus. Vitamin berfungsi sebagai kofaktor atau bagian dari molekul kofaktor dari reaksireaksi enzimatis penting, vitamin juga bertungsi protektif. Seperti halnya zat pengatur tumbuh, vitamin juga mempengaruhi (menstimulasi) inisiasi, pertumbuhan dan perkembang-an akar. George dan Sherrington (1984) memasukkan beberapa macam vitamin yang umum digunakan pada berbagai medium dasar, antara lain: Thiamin-HCl, Nicotinic acid, Pyridoxin-HCl, Ca-DKultur Jaringan Tanaman 33 panthothenate, Folic acid, Choline chloride, dan Riboflavin, yang sesemuanya merupakan anggota dari vitamin B kompleks. Ascorbic acid dan adenin juga sering ditambahkan pada medium. Vitamin labil terhadap pemanasan, dianjurkan untuk selalu menggunakan filter steril jika akan ditambahkan pada medium. Thiamin merupakan vitamin yang esensial terdapat pada hampir semua medium kultur jaringan tumbuhan yang cenderung mempercepat pembelahan sel pada meristem akar tetapi tidak berpengaruh terhadap pemanjangan sel. Thiamin merupakan bagian prostetik yang terdapat di dalam sel, berperan sebagai koenzim dalam reaksi yang menghasilkan enersi dari karbohidrat dan memindahkan enersi. Thiamin diberikan dalam jumlah yang bervariasi dari kira-kira 0,1 sampai 30 mg.L-1 (Doods dan Roberts, 1983). Nicotinic acid (niacin) penting dalam reaksi-reaksi enzimatis di samping peranannya sebagai prekursor dari beberapa alkaloid. Ascorbic acid sering ditambahkan pada medium, terutama untuk mencegah terjadinya pencoklatan (browning) pada permukaan irisan jaringan yang disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi senyawa polyphenol menjadi quinon yang berwarna coklat sehingga vitamin di sini berfungsi sebagai antioksidan. Asam-asam amino. Asam amino merupakan sumber N organik, penyusun protein dan asam nukleat, lebih cepat diserap oleh sel dan jaringan tanaman dari pada N anorganik di dalam medium kultur jaringan. Adapun asam amino yang umum ditambahkan pada medium adalah: Glutamine, Glycine, L-Cyteine, L-Arginine, L-Aspartic acid, dan L-Methionine. Zat pengatur tumbuh. Selain nutrisi, zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan, perkembangan dan diferensiasi. Zat pengatur tumbuh aktif pada konsentrasi rendah dan diproduksi di dalam tubuh tanaman itu sendiri (endogen). Untuk keperluan kultur jaringan, telah dibuat zat pengatur tumbuh sintetik. Tanpa zat pengatur tumbuh, Kultur Jaringan Tanaman 34 pertumbuhan eksplan akan terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Zat pengatur tumbuh dikelompokkan ke dalam beberapa grup: Auksin, Sitokinin, Gibberellin, Abscisic acid, dan Ethylene. Auksin. Indole-3-acetic acid (IAA) merupakan auksin alamiah yang terdapat pada sebagian besar tumbuhan. Disintesis dari tryptophane terutama di primordia daun, daun muda dan pada kecambah. IAA di transport dari sel ke sel dengan arah basipetal (dari pucuk ke akar). IAA berperan dalam mempengaruhi pemanjangan sel; pembelahan sel; diferensiasi jaringan vaskuler; inisiasi pembentukan akar; mempengaruhi dominasi apikal; zona absisi pada daun dan buah; pembungaan; pemasakan buah, dan lain-lain. IAA mudah larut dalam alkohol. Penggunaan IAA pada medium kultur kerap kali kurang menguntungkan karena mudah rusak oleh cahaya, oksidasi enzimatik dan pemanasan pada saat proses sterilisasi dengan autoclave. Penggunaan auksin sintetik lebih menguntungkan karena lebih stabil. Auksin sintetik yang umum digunakan pada medium adalah: 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D); l-naphthaleneacetic acid (NAA) dan indole-3-butyric acid (IBA). Beberapa persenyawaan seperti dicamba (3,6-dichloroO-anisic acid) dan picloram (4-amino-3,5,6-trichloro-2pyridinecarboxilic acid) pada konsentrasi tinggi merupakan herbisida, digunakan sebagai auksin substitusi. Kultur in vitro tumbuhan yang pada mulanya memerlukan auksin eksogen untuk pertumbuhannya, secara gradual atau bahkan secara tiba-tiba dapat hilang dan tidak memerlukan auksin lagi, hal yang demikian disebut sebagai habituasi terhadap auksin. Penggunaan auksin secara tunggal pada umumnya sudah cukup mampu untuk menginduksi pembentukan dan pertumbuhan kalus, tetapi untuk beberapa tanaman yang rekalsitran akan lebih membantu jika menggunakan lebih dari satu jenis auksin secara simultan. Kultur Jaringan Tanaman 35 Pada kultur jaringan tanaman monokotil, terutama rumputrumputan dan palma, juga pada kultur in vitro umbi akar wortel, memerlukan auksin sintetik seperti 2,4-D dengan dosis yang cukup tinggi. Penghilangan atau pengurangan kadar auksin pada sub kultur berikutnya dapat memacu produksi embrio somatik atau organ adventiv. Pertumbuhan kultur juga dapat dipacu dengan penambahan substansi yang dapat mengatur tingkatan IAA endogen misalnya, dopamine dapat menghambat aktifitas IAA oksidase sehingga tidak terjadi oksidasi terhadap IAA. Akibatnya, pertumbuhan jaringan dan organ pada kultur in vitro menjadi lebih baik. Penghambat sintesis auksin seperti 5-hydroxy-nitrobenzyl bromide (HNB) dan 7-azaindole memacu embriogenesis somatik pada kultur kalus citrus yang telah mengalami habituasi. Sitokinin. Sitokinin adalah derivat dari adenin, kinetin (6furfuryl-aminopurin) dan zeatin adalah sitokinin alami yang umum digunakan secara meluas pada medium kultur. Sitokinin disintesis melalui modifikasi biokimia dari adenin, terjadi pada ujung akar dan biji yang tumbuh. Kebalikan dari auksin, sitokinin ditransport melalui xylem dari akar ke pucuk. Sitokinin hanya aktif jika ada auksin, pemberian sitokinin bersama auksin pada medium kultur dapat memacu pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin mempengaruhi transport auksin, pertumbuhan kuncup lateral (mematahkan dominasi apikal), perkembangan daun, menghambat proses penuaan daun dan mempengaruhi perkembangan kloroplas. Sitokinin sintetik seperti N-6-benzyl-aminopurine (BAP) lebih sering digunakan pada medium kultur jaringan. Phenylurea, substansi aktif yang terdapat pada air kelapa mempunyai efek yang sama dengan zeatin, penggunaannya memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi. Thidiazuron (N-enyl-N1,2,3-thiazol-5-ylurea), yang secara komersial digunakan sebagai defoliant, karena kemampuannya untuk menstimulasi produksi ethylene, dapat digunakan untuk memacu pembentukan dan Kultur Jaringan Tanaman 36 proliferasi tunas in vitro. Substansi lain yang mempunyai aktifitas seperti sitokinin adalah endosperma cair pada kecambah jagung. Diferensiasi selular dan morfogenesis in vitro terutama dikendalikan oleh interaksi antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang diberikan pada medium kultur. Manipulasi rasio auksin: sitokinin dapat mempengaruhi organogenesis, pada perbandingan auksin sitokinin yang tinggi memacu pembentukan akar, perbandingan yang sebaliknya akan memacu pembentukan tunas. Jika perbandingan auksin sitokinin seimbang hanya terbentuk kalus. Gambar 3. 1. Efek auksin + sitokinin (George dan Sherrington, 1984) Ada beberapa perkecualian: a. Proliferasi tunas aksiler pada beberapa spesies tanaman dapat dipacu dengan auksin bersama sitokinin. b. Induksi kalus pada beberapa monokotil dapat dipacu pada medium yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi tinggi tanpa sitokinin. c. Morfogenesis in vitro pada monokotil dipacu pada medium Kultur Jaringan Tanaman 37 dengan auksin konsentrasi rendah atau tanpa auksin. Gibberelin (GA). Pada 1926 Kurasawa mendapatkan kecambah padi yang tumbuh abnormal karena terinfeksi oleh sejenis jamur Gibberella fujikuroy. Substansi yang menyebabkan pertumbuhan seedling padi menjadi sangat cepat (abnormal) tadi diketahui sebagai gibberelic acid (GA3). GA merupakan zat pengatur tumbuh yang dalam bentuk larutan pada suhu tinggi mudah kehilangan sifatnya sebagai zat pengatur tumbuh. GA merupakan keluarga persenyawaan yang didasarkan pada struktur entgibberellane. Ada 34 GA yang telah diidentifikasi secara kimia, beberapa diantaranya ditemukan pada embrio dimana dapat memicu produksi alfa amilase yang dapat mengubah cadangan makanan pada biji menjadi gula sehingga dapat digunakan oleh embrio untuk pertumbuhannya. GA disintesis dari asam mevalonat pada jaringan muda dari tunas dan biji yang sedang berkecambah, ditransport di dalam xylem dan phloem. GA berpengaruh pada pertumbuhan batang, pembesaran dan pembelahan sel, induksi perkecambahan biji, produksi enzim selama perkecambahan, dan pembentukan bunga. Seperti halnya auksin, GA juga dapat memacu pembentukan akar. George dan Sherrington (1984) mengatakan bahwa pemacuan pembentukan akar dapat terjadi karena GA dapat menyebabkan peningkatan jumlah auksin endogen pada medium kultur yang biasa digunakan adalah GA3. Kultur Jaringan Tanaman 38 Tabel 3.1. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan pada kultur jaringan Zat Pengatur Tumbuh Singkatan Berat Molekul Absisic acid Indole-3-acetic acid Naphthalene ecetic acid 2,4-Dichlorophenoxy acetic acid Indole-3-butyric acid 6-Purfurylaminopurine 6-Benzylaminopurine N6-(∆2-isopentenyl)-adenine Trans-6-(4-hydroxy-3-methylbut2-enyl) aminopurine Gibberellic acid ABA IAA NAA 2,4-D IBA Kinetin BA 2iP Zeatin 264,3 175,2 186,2 221,04 203,2 215,2 225,2 203,3 219,2 GA3 346,4 Abscisic acid (ABA). Abscisic acid adalah persenyawaan tunggal dengan berat molekul 264,31 larut dalam NaHCO3 cair, kloroform, aceton dan ether. ABA disintesis dari asam mevalonat pada daun-daun tua terutama sebagai respon terhadap stres air (kekeringan). ABA ditransport dari daun melalui phloem, ABA dapat bergerak ke akar di dalam phloem dan kemudian kembali ke pucuk melalui xylem. ABA berperan pada penutupan stomata, transport fotosintat ke arah biji-biji yang sedang tumbuh. Pada kultur in vitro tumbuhan, ABA digunakan untuk menginduksi embriogenesis mikrospora, ABA juga dapat menghambat proses perkecambahan yang terlalu dini pada embrio somatik . Ethylene. Ethylene adalah zat pengatur tumbuh yang berbentuk gas, disintesis dari methionine di dalam berbagai jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap stres. Pada umum-nya, gas ethylene disintesis pada jaringan-jaringan yang mengalami senescence atau yang mengalami penuaan. Ethylene bergerak Kultur Jaringan Tanaman 39 secara difusi dari tempat sintesisnya. Peranannya adalah dalam membebaskan dormansi, diferensiasi dan pertumbuhan tunas, pembentukan akar adventiv, pemasakan buah, induksi pembungaan, dan lain-lain. Ethylene jarang diper-gunakan pada kultur in vitro. Penggunaan ethylene inhibitor seperti silver nitrate atau sulfat (ZnSO4), cobalt atau nickel chloride (CoC12, NiCl2), dan asam salisilat pada medium kultur dapat meningkatkan regenerasi pucuk dan produksi embrio somatik, tetapi hasilnya sering kali kontradiktif. Ethylene dapat mempercepat perusakan sitokinin dan menstimulasi perakaran pada kultur in vitro. Substansi organik komplek Substansi organik komplek biasanya belum dikenal benar isi komposisinya, termasuk di dalamnya pepton, tripton, hydrolisat casein, yeast ekstract, malt ekstract, dan bermacam-macam tanaman seperti, air kelapa, endosperma jagung, ekstrak: pisang, tomat, kentang, jeruk, nenas dll. Substansi organik komplek ini jika digunakan terlalu tinggi dapat merugikan pertumbuhan sel. Disarankan untuk melakukan pengujian dahulu dengan interval 1-5 gL-1, untuk menetapkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan. Jumlah air kelapa yang biasanya ditambahkan pada medium adalah 2-15 % v/v. Substansi organik kompleks ini kelemahannya tidak konsisten kadarnya dan tidak diketahui dengan pasti komposisinya. Keasaman (pH) medium Keasaman atau pH merupakan simbol dari derajat keasaman atau kebasaan dari larutan yang ditunjukkan dengan konsentrasi ion hidrogen. pH tertentu diperlukan untuk pertumbuhan jaringan tanaman agar tidak mengganggu fungsi membran sel dan sitoplasma. pH yang diperlukan pada medium kultur biasanya berkisar antara 4,6-5,8. Pengaturan pH medium dilakukan dengan menggunakan sodium hydroxyde (1N NaOH), Kultur Jaringan Tanaman 40 digunakan untuk menaikkan pH medium (menjadi lebih alkalin, basa) dan hydrochloric acid (1N HCl), untuk menurunkan menjadi lebih asam. pH medium harus dipertahankan konstan selama kultur berlangsung karena akan mempengaruhi ketersediaan hara yang dapat diserap oleh sel dan jaringan tanaman untuk pertumbuhannya. Ada suatu persenyawaan komplek yang mampu membuat pH suatu medium tetap pada jangkauan tertentu, misalnya besi yang berikatan dengan chelat, dan KH2PO4 juga dapat berfungsi sebagai buffer. pH juga penting pada proses embriogenesis somatik pada kultur umbi akar wortel, stadium preglobular embrio dapat dipertahankan dan ditingkatkan jumlahnya pada medium dengan pH di bawah 4,5. Jika pH dinaikkan, embrio somatik melanjutkan pertumbuhannya melalui tahapan-tahapan yang normal seperti pada embrio zigotik, yaitu globular, jantung, torpedo dan kotiledon (atau identik dengan sistem yang berlaku pada monokotil). Bahan Pemadat (Gelling Agent) Gelling agent digunakan untuk untuk memadatkan medium, bahan pemadat yang sering digunakan pada medium adalah agar (7-10 g.L-1), bahan pemadat lain (jarang digunakan) adalah gelrite, gelrite lebih bening dari agar-agar. Pemakaian gelrite juga lebih sedikit untuk mencapai kepadatan yang sama dengan agar, yaitu 2 gL-1. Agarose juga sering digunakan untuk kultur protoplas dan mikrospora. Penggunaan bahan pemadat ini mengandung banyak kelemahan: a. hanya sebagian eksplan yang kontak dengan medium b. terjadi gradient nutrisi yang tidak sama c. mobilitas hara menjadi kurang baik, dan d. terjadi akumulasi zat-zat toksik yang dikeluarkan oleh eksplan. Kultur Jaringan Tanaman 41 3.3. Beberapa Macam Medium Dasar Ada beberapa macam medium dasar, pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama penemunya. Beberapa di antaranya adalah: a. medium Murashige dan Skoog, MS (1962), medium yang paling populer digunakan untuk hampir semua macam tanaman, terutama tanaman herbaceous. Medium ini paling banyak digunakan untuk kultur kalus dan tunas, mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi, dan senyawa N dalam bentuk ammonium dan nitrat; b. medium Gamborg, B5 (1968), digunakan untuk kultur suspensi sel kedelai, alfalfa dan leguminosa lain; c. medium White, W63 (1963), merupakan medium dasar dengan konsentrasi garam-garam mineral yang rendah, digunakan untuk kultur akar; d. medium Vacint dan Went, VW (1949), digunakan untuk kultur embrio anggrek; e. medium Nitsch dan Nitsch, NN (1969), digunakan untuk kultur mikrospora dan kultur sel pada tembakau; f. medium Chu, N6 (1978), digunakan untuk kultur jaringan serealia terutama padi; g. medium Lloyd dan McCown, WPM (1980), untuk tanaman berkayu, dan h. medium Kao dan Michayluk (1975), digunakan untuk kultur protoplas Cruciferae, Gramineae dan Leguminosae (George dan Sherrington, 1984). Pembuatan Medium Murashige dan Skoog Untuk membuat medium kultur jaringan, kita harus menimbang setiap komponen bahan kimia yang tertera pada resep. Langkah ini menjadi kurang praktis, memerlukan banyak waktu dan mengurangi ketepatan. Selain itu timbangan yang digunakan Kultur Jaringan Tanaman 42 untuk menimbang sejumlah kecil bahan kimia kadang-kadang tidak tersedia. Jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan membuat larutan stok, setiap larutan stok dapat dipergunakan untuk 40, 50 dan bahkan 100 liter medium. Larutan stok dibuat menjadi beberapa kelompok: stok besi (iron), stok micronutrient, vitamin dan stok hormon. Untuk macronutrient tidak dibuat stok, jadi harus ditimbang satu per satu, tetapi jika diperlukan dapat dibuat larutan stok secara tunggal, tidak dikelompokkan menjadi satu. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan larutan stok adalah kepekatannya. Larutan yang dibuat terlalu pekat akan mengalami pengendapan sejalan dengan lama waktu penyimpanan, jika hal ini terjadi stok harus dilarutkan dengan pemanasan terlebih dahulu sebelum digunakan. Larutan stok harus disimpan dalam lemari es (kulkas). Larutan stok kadang-kadang terkontaminasi, ditumbuhi mikroorganisme, stok yang terkontaminasi tidak dapat dipergunakan lagi. Jadi kebersihan harus dijaga dan jangan membuat larutan stok terlalu banyak. Bahan dan Alat a. Tabel formula dan bahan-bahan kimia untuk medium MS b. Akuades c. Aluminum foil, kertas timbang, tissue, kertas label, timbangan analitik d. Gelas piala 600 ml, 50 m1 e. Labu takar 100 ml, gelas ukur 100 m1 f. Erlenmeyer 1000 ml, 100 ml, 50 ml, atau botol kultur g. Pipet, pengaduk h. Magnetic stirrer dengan hot plate i. pH meter j. Autoclave, millipore filter, pompa vakum Kultur Jaringan Tanaman 43 Pembuatan Larutan Stok untuk Medium MS a. Stok besi (IRON), dalam 200 m1 (40 ka1i konsentrasi) Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: • Ditimbang 1.492 mg Na2EDTA dan 1.112 mg Fe2SO4.7H2O, kedua bahan tersebut dilarutkan dalam kira-kira 75 ml akuades secara terpisah. Larutan Na2EDTA dipanaskan sampai hampir mendidih, kemudian masukkan larutan Fe2SO4.7H2O sedikit demi sedikit sambil diaduk (dengan magnetic stirrer). Kedua 1arutan akan tercampur, bening dan berwama kuning emas, jika larutan keruh, tambahkan beberapa tetes HCl 1 N lalu dipanaskan. Biarkan dingin pada suhu kamar, tambahkan akuades sampai volume menjadi 200 ml. Masukkan dalam botol khusus berwama gelap, beri label: IRON MS 40X, 5 ml.l-1 • Simpan dalam kulkas, untuk membuat 1 liter medium MS, diperlukan 5 ml larutan stok besi. b. Stok Hara Mikro (Micronutrient): da1am 100 ml (100 ka1i konsentrasi) Hara mikro diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Oleh karena itu stok hara mikro dibuat dalam satu wadah sebagai stok campuran. • Ditimbang bahan-bahan kimia hara mikro dengan timbangan analitik, masing-masing: MnSO4.H2O 2.230 mg ZnSO4.4H2O 860 mg H3BO3 620 mg KI 83 mg CuSO4.5H2O 2,5 mg NaMoO4.2H2O 25 mg CoC12.6H2O 2,5 mg • Masukkan satu per satu bahan kimia di atas dalam gelas piala 200 ml yang berisi akuades kurang lebih 80 ml. Setiap kali memasukkan bahan kimia harus segera dilarutkan (diaduk), kemudian masukkan bahan kimia berikutnya. Jangan Kultur Jaringan Tanaman 44 memasukkan semua bahan kimia, kemudian dilarutkan, akan terjadi presipitasi (pengendapan). Untuk melarutkan bisa dibantu dengan magnetic stirrer. • Tambahkan akuades sampai volume menjadi 100 ml. • Masukkan dalam botol khusus, tutup yang rapat, beri label: MIKRO MS lOOX, 1 ml.l-1 • Simpan di dalam kulkas, untuk membuat medium MS 1 liter, diperlukan 1 ml stok mikro. c. Stok Vitamin: dalam 200 ml (50 kali konsentrasi) Vitamin dapat dibuat dalam satu wadah sebagai stok campuran. Prosedur kerjanya adalah • Timbang bahan-bahan di bawah ini : Glycine 100 mg; Nicotinic acid 25 mg Pyridoxine-HCl 25 mg; Thiamine-HCl 5 mg • Larutkan satu per satu dalam gelas piala 600 ml yang berisi akuades steril kira-kira sebanyak 150 m1. • Tambahkan akuades steril sampai volume mencapai 200 ml • Masukan dalam botol khusus, tutup yang rapat, beri label: VITAMIN MS. 50 X 4 ml.l-1 • Simpan di dalam kulkas, untuk membuat 1 liter medium MS, diperlukan 4 ml stok vitamin. d. Stok Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam jumlah yang sangat terbatas. Kelarutan dari masing-masing zat pengatur tumbuh juga berbeda-beda. Biasanya stok zat pengatur tumbuh dibuat dengan kepekatan 100-500 mg l-1. e. Stok Kinetin: 500 mg.l-1 (500 ppm) • Timbang kinetin 50 mg, masukan dalam gelas piala 100 ml berisi akuades kira-kira 70 ml Kultur Jaringan Tanaman 45 • Sambil diaduk, teteskan sedikit larutan HCl 1 N dan dipanaskan sebentar sampai larutan menjadi jernih • Setelah dingin, masukkan ke dalam labu takar 100 ml; tambahkan akuades sampai volume menjadi 100 ml. • Pindahkan dalam erlenmeyer 100 ml atau wadah lain yang bersih, tutup rapat, beri label: KINETIN 500 ppm • Simpan di dalam kulkas. f. Stok IAA; NAA; 2,4-D; IBA: 500 mg.l-1 (500 ppm) • Timbang bahan sebanyak 50 mg, tuangkan masing-masing bahan dalam gelas piala 100 ml yang berisi akuades kira-kira 70 ml. • Sambil diaduk teteskan sedikit demi sedikit larutan KOH 1 N dengan hati-hati sampai larut benar (jernih). • Pindahkan ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan akuades sampai volume menjadi 100 ml. • Pindahkan ke dalam wadah stok, tutup yang rapat, beri label: IAA 500 ppm 2,4-D 500 ppm NAA 500 ppm IBA 500 ppm • Simpan di dalam lemari es. g. Myo-Inositol dan Sukrosa Karena jumlahnya cukup banyak, tidak dibuat stok, keduanya harus ditimbang setiap kali membuat medium. Pembuatan Medium MS Padat Sebanyak 1 Liter • Siapkan erlenmeyer 1000 ml yang berisi 500 ml akuades • Timbang setiap komponen bahan kimia makronutrien (sesuai dengan tabel), larutkan satu per satu, untuk mempercepat kelarutan dapat dibantu dengan magnetic stirrer. • Masukan 5 ml larutan stok IRON • Masukan 1 ml larutan stok MICRONUTRIENT • Masukan 4 ml larutan stok VITAMINE Kultur Jaringan Tanaman 46 • Masukan zat pengatur tumbuh (sesuai kebutuhan) • Timbang 100 mg Myo-Inositol, masukan ke dalam erlenmeyer dan larutkan • Timbang 30 g sukrosa, masukan ke dalam erlenmeyer dan larutkan. • Tambahkan akuades sampai volume mencapai 1000 ml • Ukur pH menjadi 5,6-5,8 menggunakan HCl 1 N atau KOH 1 N. • Timbang 8 g agar (pemadat), masukan ke dalam erlenmeyer, panaskan (sambil diaduk) sampai (pemadat) larut. • Dalam (pemadat) keadaan masih cair, bagilah medium ke dalam botol kultur kira-kira 40 ml botol-1. • Tutup rapat dengan aluminium foil dan beri label sesuai dengan perlakuan; • Masukkan ke dalam autoclave dan sterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 15 psi; • Setelah tekanan turun hinga nol (0), medium yang sudah steril segera dikeluarkan dari autoclave, jangan menunggu sampai dingin di dalam autolave, dan • Medium yang sudah steril disimpan di dalam ruang penyimpanan. Kultur Jaringan Tanaman 47 Tabel 3.2. Formula medium Murashige dan Skoog (1962) Nama Bahan Stok Konsentrasi 1 liter Medium HARA MAKRO NH4NO3 KNO3 CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O KH2PO4 BESI mg.200 ml-1 (40x) Na2EDTA 1.492 FeSO4.7H2O 1.112 HARA MIKRO mg.100 ml-1 (100x) MnSO4H2O 2.230 ZnSO4.4H2O 860 H3BO3 620 KI 83 NaMoO4.2H2O 25 CuSO4.5H2O 2,5 CoCl2.6H2O 2,5 VITAMIN mg.200 ml-1 (50x) Glycine 100 Nicotinic acid 25 Pyridoxine-HCl 25 Thiamine-HCl 5 ZAT PENGATUR TUMBUH BA NAA 2,4-D Myo-Inositol Sukrosa Agar pH Kultur Jaringan Tanaman mg.L-1 1.650 1.900 440 370 170 ambil 5 ml stok 37,3 27,8 ambil 1 ml stok 22,3 8,6 6,2 0,83 0,25 0,025 0,025 ambil 4 ml stok 2 0,5 0,5 0,1 1 – 5 μM 1 – 5 μM 1 – 10 μM 100 mg 30.000 mg 8.000 – 10.000 mg 5,6 – 6,3 48 Bab 4 Teknik Aseptis Teknik kultur jaringan mensyaratkan kondisi aseptis, bebas dari bakteri, jamur, yeast; jasad renik lain pada setiap tahapan kegiatannya. Hambatan utama keberhasilan pelaksanaan kultur jaringan adalah adanya kontaminasi yang dapat timbul baik selama prosedur tersebut dikerjakan maupun selama kultur dipelihara di dalam ruang inkubator. Kontaminasi oleh mikroorganisme menjadi problem yang sangat serius, karena mikrobia kontaminan akan segera mengkonsumsi zat hara yang ada pada medium kultur. Mikroorganisme ini meskipun berukuran sangat kecil, tetapi jumlahnya sangat banyak dan aktivitas metabolismenya sangat tinggi, jika pertumbuhannya tidak dapat dicegah maka dalam waktu yang relatif singkat segera mendominasi kultur. Sel dan jaringan tanaman akan mati, matinya eksplan dapat disebabkan karena dibebaskannya senyawa-senyawa toksik sebagai hasil metabolisme dari mikrobia kontaminan, dapat juga karena eksplannya "dimakan" oleh mikrobia kontaminan tersebut. Kontaminasi dapat timbul pada setiap tahapan dari pelaksanaan kultur jaringan. Prosedur kerja aseptis yang harus dikerjakan untuk menanggulangi kontaminasi adalah: (1) sterilisasi ruang kerja, (2) sterilisasi medium dan alat-alat, dan (3) sterilisasi eksplan. 4.1. Sterilisasi Ruang Kerja, Medium, Alat -alat dan Eksplan Sebagaimana telah diuraikan pada bahasan Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan, kegiatan aseptis dimulai di dalam ruang steril dan ruang inkubasi/kultur, kegiatan utama yang dilakukan meliputi sterilisasi dan penanaman eksplan di atas atau Kultur Jaringan Tanaman 49 di dalam medium kultur. Laboratorium sederhana setidaknya mempunyai dua ruangan tersebut, yang kebersihannya senantiasa harus diperhatikan. Ruang kerja yang kotor, akibat terlalu banyak orang yang lalu lalang di dalamnya, dapat mengundang timbulnya kontaminasi. Ruang kultur yang tidak terpelihara dapat mengundang serangga-serangga kecil untuk masuk ke dalam botolbotol yang berisi medium kultur. Serangga-serangga kecil ini menimbulkan permasalahan tersendiri karena spora, jamur, dan bakteri biasanya ikut terbawa masuk ke dalam botol kultur. Ruang kerja harus mudah dibersihkan dan dilengkapi dengan AC sehingga senantiasa kering dan sejuk. Kegiatan sterilisasi medium dan alat-alat dikerjakan di ruang persiapan. Kebersihan dan organisasi laboratorium yang efisien, ditunjang dengan peralatan yang memadai, dapat menciptakan kondisi aseptis yang terkendali. a. Sterilisasi ruang kerja Ruang kerja yang digunakan untuk pekerjaan aseptis adalah ruang steril. Ruangan ini harus senantiasa bersih, dinding dan lantai dibersihkan setiap pagi dengan zat anti kuman/desinfektan. Udara di dalam ruangan disterilisasi dengan lampu Ultra Violet (UV) yang kekuatannya disesuaikan dengan besarnya ruangan yang dipakai. Lampu ini hanya dinyalakan jika ruangan tidak dipakai dan harus dimatikan ketika digunakan untuk bekerja. Radiasi UV tidak berbahaya bagi manusia karena tidak mengion, namun demikian harus diwaspadai karena dapat mengubah DNA dengan pembentukan dimer antara dua basa timin pada satu rantai DNA. Penetrasi sinar UV utamanya pada bagian superfisial dari jaringan sehingga dapat melukai kulit dan retina mata. Sinar UV dapat menghasilkan ozon sehingga peneliti yang akan bekerja harus menunggu 15-30 menit setelah UV dimatikan, maksudnya supaya ozon tidak terhirup. Kultur Jaringan Tanaman 50 Peneliti yang akan bekerja di dalam ruangan ini harus memakai jas laboratorium, masker dan tutup kepala, juga harus mencuci tangan dengan sabun antiseptik, kalau perlu menggunakan sarung tangan dari karet. Di dalam ruangan ini terdapat alat-alat yang dapat menciptakan kondisi aseptis yang terkendali, antara lain Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) dan sterile box (entkas). Laminar air flow cabinet. Alat ini sangat baik dan efisien, namun harganya relatif mahal untuk menciptakan atmosfir yang steril untuk pekerjaan-pekerjaan aseptis. Prinsip kerja alat ini yaitu dengan hembusan udara yang sudah disaring (Gambar 4.1). Gambar 4.1. Laminar air flow cabinet (LAFC). Udara yang dihisap oleh blower dihembuskan melalui HEPA (high efficiency particulate air) filter dengan porositas 0,22 μm, spora-spora jamur dan bakteri akan tertahan, sehingga udara yang berhembus keluar sudah suci hama, LAFC kadang-kadang Kultur Jaringan Tanaman 51 dilengkapi dengan UV. Sebelum mulai bekerja, permukaan meja kerja LAFC disemprot dan dilap dengan kain yang telah dibasahi alkohol 70% atau spiritus, semua alat-alat dimasukkan ke dalam ruang kerja. Alat-alat dan medium harus sudah steril baik permukaan maupun bagian dalamnya, untuk botol kultur yang berisi medium, permukaannya disemprot atau dilap dengan alkohol 70%. Untuk LAFC yang dilengkapi dengan UV, sebelum bekerja lampu UV dinyalakan selama 30-60 menit untuk mematikan kontaminan pada permukaan ruang kerja. Di dalam LAFC juga sering dilengkapi dengan instalasi gas yang diperlukan untuk sterilisasi alat-alat dengan pembakaran, tetapi ini dapat diganti dengan lampu spiritus atau bactisinerator. Sterile box (entkas). Alat lain untuk dapat menciptakan ruang kerja yang steril dengan harga yang relatif murah adalah sterile box (entkas). Alat ini berwujud seperti kotak yang terbuat dari bahan kaca (Gambar 4.2.), plywood, papan kayu atau yang lebih sederhana misal-nya dari kardus yang di dalamnya dilapisi aluminum foil. Steril box atau entkas dapat dibuat dengan ukuran sesuai dengan yang dikehendaki. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah tangan kita dapat menjangkau setiap dinding entkas karena akan memudahkan untuk membersihkannya. Kultur Jaringan Tanaman 52 Gambar 4.2. Skema Sterile box (entkas) yang terbuat dari bahan kaca. Kultur Jaringan Tanaman 53 Sebelum mulai bekerja, dinding entkas dibersihkan lebih dahulu dengan menggunakan kain yang sudah dibasahi alkohol 70%. Ruang kerja di dalam entkas disterilisasi dengan formalin tablet yang ditaruh di dalam cawan porselin kecil dan diletakkan di sudut-sudut ruangan entkas, setiap cawan berisi satu tablet. Uap formalin ini dapat mensterilkan udara yang terdapat di dalam entkas. Alat-alat dan botol kultur yang berisi medium disemprot permukaannya satu per satu dengan alkohol 70% kemudian dimasukkan ke dalam entkas, dibiarkan 30 menit baru mulai bekerja. Pada entkas juga dapat ditambahkan lampu UV, entkas ini seluruh dinding luarnya harus ditutup dengan aluminum foil, hal ini diperlukan untuk menghindari mata dan kulit dari bahaya radiasi UV. b. Sterilisasi medium dan alat-alat Media yang mengandung bahan-bahan yang tahan panas, sterilisasinya dilakukan dengan pemanasan basah, menggunakan alat yang namanya autoclave, bekerjanya dengan tekanan uap. Standar teknis untuk sterilisasi ini adalah pada temperatur 121oC, tekanan antara 15-17 psi dengan waktu antara 15-40 menit, bergantung dari banyaknya media yang disterilisasi. Untuk 15 ml media dalam tabung reaksi atau botol kecil berukuran 75 ml, sterilisasi dilakukan dengan tekanan 15 psi selama 20 menit. Volume yang lebih besar membutuhkan tekanan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama. Autoclave yang digunakan ada bermacam-macam, mulai dari yang paling sederhana sampai yang dapat diprogram (programmable). Autoclave sederhana pemanasan airnya menggunakan kompor gas, sedangkan pengaturan suhu tekanan dan waktunya dilakukan secara manual. Pada waktu mengoperasikan autoclave ini, jangan tergesa-gesa menutup klep pembuang sebelum udara yang ada di dalam autoclave diganti Kultur Jaringan Tanaman 54 seluruhnya oleh uap air yang mendidih sehingga akan tercapai temperatur 121°C (langkah ini tidak dikerjakan untuk autoclave yang programmable). Setelah waktu sterilisasi selesai (15-20 menit), klep-klep pembuang dibuka pelan-pelan, tekanan uap di dalam autoclave pelan-pelan akan sama dengan tekanan atmosfir, pembukaan klep pembuang yang tergesa-gesa akan mengakibatkan medium yang ada di dalam botol kultur mendidih dan meluap. Alat lain yang mempunyai prinsip kerja mirip dengan autoclave adalah (pressure cooker), alat yang biasa digunakan untuk memasak di dapur ini kapasitasnya sangat terbatas, sehingga tidak dianjurkan untuk pekerjaan pada skala laboratorium karena tidak efisien. Autoclave yang paling modern adalah yang programmable, dapat diatur waktu, suhu dan tekanannya secara automatis sehingga dapat dijalankan sambil mengerjakan pekerjaan yang lain. Tabel 4.1. Lama waktu minimal untuk sterilisasi media Volume Setiap Wadah (ml) Waktu Minimal Sterilisasi pada Suhu 121oC (Menit) 25 – 50 75 250 – 500 1.000 1.500 2.000 15 20 25 30 35 40 Sumber: Indrianto, 2003. Sterilisasi medium kultur dengan menggunakan autoclave mempunyai banyak kelemahan, antara lain:  sukrosa akan terurai menjadi fruktosa dan glukosa;  penggunaan temperatur yang tinggi pada autoclave dapat mengakibatkan terbentuknya caramel gula yang berwarna Kultur Jaringan Tanaman 55 coklat, merupakan racun di dalam medium kultur;  sejalan dengan lamanya waktu sterilisasi, pH medium dapat mengalami perubahan, terjadi pengendapan garam-garam dan depolimerisasi agar. Beberapa komponen medium ada yang tidak stabil kalau kena panas yang tinggi, misalnya GA3, Ca-panthothenate dan Thiamin-HCl harus disterilisasi dengan ultrafiltrasi (Millipore filter) pada suhu ruangan (25oC). Dengan memakai ultrafiltrasi larutan yang berisi bahan-bahan yang termolabil, dimasukkan ke dalam medium kultur yang telah steril. Langkah ini dikerjakan di dalam ruang steril (LAFC) ketika medium agar telah agak dingin tetapi belum memadat. Ada beberapa macam millipore filter yaitu yang terbuat dari polyethylene film sekali pakai (disposable), dan ada millipore filter yang dilengkapi dengan holder, filter holder ini dapat disterilisasi dengan autoclave (autoclavable). Porositas dari filternya juga bermacam-macam, mulai dari 0,22 hingga 0,45 μm. Untuk larutan termolabil dalam jumlah sedikit (5-50 ml) dengan mudah dapat disterilisasi dengan Millipore filter yang dipasang pada ujung syrink (alat suntik). Dalam jumlah besar (50-5000 liter) sterilisasi dengan ultrafiltrasi ini harus dibantu dengan pompa vakum. Alat-alat yang digunakan di dalam ruang steril antara lain: scalpel, pinset bermacam-macam ukuran, petridish, cork borrer, pipet, alat-alat gelas (botol kultur dsb.), gunting, kertas saring. Alat-alat tersebut, sebelum disterilisasi, dibersihkan terlebih dahulu kemudian dibungkus rapi dengan kertas coklat. Alat-alat yang akan disterilisasi dengan autoclave tidak boleh dibungkus dengan aluminum foil sebab uap air tidak dapat masuk ke dalam bungkusan. Untuk botol kultur, sebelumnya harus dicuci kemudian ditutup dengan aluminum foil atau bahan lain yang terbuat dari karet, kain atau plastik yang tahan panas. Botol kultur dengan penutup yang berulir, tidak boleh ditutup terlalu rapat ketika Kultur Jaringan Tanaman 56 disterilisasi, ini diperlukan agar tidak terjadi perbedaan tekanan dengan ruangan di dalam autoclave, perbedaan tekanan akan mengakibatkan pecahnya botol kultur. c. Sterilisasi eksplan Eksplan (explant) adalah bagian kecil dari tanaman baik itu sel, jaringan, ataupun organ yang digunakan untuk memulai suatu kultur. Eksplan yang digunakan di dalam kultur jaringan harus yang masih muda (primordium), sel-selnya masih bersifat meristematik. Sel-sel yang bersifat meristematik dicirikan dengan sifatnya yang selalu membelah, selnya berukuran kecil tetapi inti selnya relatif besar, penuh plasma, vacuola kecil-kecil, dinding sel tipis terdiri dari dinding primitif yang berupa selulosa mikrofibril. Bagian tanaman yang bersifat meristematik antara lain terdapat pada ujung (kuncup) batang atau akar, dikenal dengan nama meristem apikal, pada batang disebut shoot apical meristem sedangkan meristem yang terdapat pada kuncup di ketiak daun disebut meristem aksiler atau bud primordium (Gambar 4.3). Gambar 4.3. Tanam dikotil dengan kuncup apikal dan aksilar dimana di dalamnya terdapat sel-sel yang meristematik (Dermen and Stewart, 1973). Kultur Jaringan Tanaman 57 Bagian tanaman yang bersifat meristematik seringkali terdapat dalam keadaan terbuka sehingga kotoran dan berbagai kontaminan seringkali menempel pada bagian permukaannya. Kontaminan ini dapat berupa bakteri, jamur dan spora-sporanya, serangga dan telur-telurnya, protozoa, dan sebagainya. Keadaan ini terutama dijumpai pada tanaman donor yang tumbuh di lapangan. Kultur jaringan mensyaratkan kondisi aseptis yang terkendali, jika kontaminan ini tidak dihilangkan maka medium yang mengandung banyak nutrisi akan dengan cepat dipenuhi oleh mikrobia kontaminan tersebut. Untuk mengurangi adanya kontaminan pada permukaan eksplan, tanaman donor sebaiknya ditanam di dalam rumah kaca. Pada beberapa jenis tanaman seperti ketimun dan umbi akar wortel, seringkali dijumpai adanya kontaminan internal yang terdapat di dalam jaringan tanaman. Kontaminan internal ini sangat sulit untuk diatasi, karena sterilisasi permukaan tidak akan efektif. Eksplan yang digunakan ukurannya sangat bervariasi dari yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop (mikroskopis) misalnya mikrospora, shoot apical meristem, embrio dan sebagainya, sampai yang berukuran 1 cm atau lebih: misalnya, ruas batang, daun, hipokotil, biji, rhizom dan sebagainya. Bagianbagian tanaman tersebut seringkali masih tertutup oleh jaringan/ sarung-sarung daun, misalnya pada daun tebu, hal ini akan memudahkan prosedur sterilisasi karena secara alamiah bagian daun yang ada di dalamnya masih suci hama. Eksplan yang berukuran terlalu besar akan membawa resiko kontaminasi yang lebih besar, namun jika digunakan eksplan yang terlalu kecil pertumbuhan dan respon yang diharapkan juga tidak sebaik jika menggunakan eksplan yang berukuran besar. Dilemma ini menyebabkan tidak adanya metoda sterilisasi eksplan yang baku untuk semua tanaman. Hal penting yang harus diperhatikan pada sterilisasi eksplan adalah bahwa eksplan dan mikrobia kontaminan Kultur Jaringan Tanaman 58 keduanya adalah jasad hidup, kontaminasi harus dihilangkan tanpa mematikan eksplan. Bahan pensteril yang umum digunakan untuk sterilisasi eksplan adalah calcium hypochlorite, sodium hypochlorite, sublimat/mercuric chloride (HgCl), alkohol, dan sebagainya. Konsentrasi dan lama waktu sterilisasi sangat bervariasi bergantung dari jenis eksplan dan tempat tumbuhnya. Eksplan yang ditumbuhkan dalam rumah kaca relatif lebih bersih, sedangkan yang berasal dari lapangan pada umumnya lebih kotor, lebih terkontaminasi sejak dari awalnya sehingga prosedur sterilisasi harus dibuat lebih keras dengan meningkatkan konsentrasi bahan pensteril atau dengan memperpanjang waktu sterilisasi. Semua bahan-bahan pensteril adalah toksik terhadap eksplan, sehingga perlu dilakukan pencucian yang berulang-ulang agar semua bahan pensteril yang menempel dapat tercuci. Untuk meningkatkan penetrasi bahan pensteril, seringkali ditambahkan 1 atau 2 tetes agensia pembasah (Triton-X, Tween 20 atau Tween 80) yang fungsinya menambah tegangan pada permukaan eksplan. Penggunaan pompa vakum juga dapat meningkatkan penetrasi bahan pensteril pada permukaan jaringan sehingga dapat meningkatkan efisiensi sterilisasi. Prasterilisasi dengan mencuci eksplan menggunakan sabun/detergent dan dibiarkan beberapa saat di bawah pancuran air yang mengalir selama 15-30 menit juga diperlukan untuk memecah koloni kontaminan agar lebih peka terhadap bahan pensteri1. Bahan yang sudah bersih dikecilkan ukurannya kemudian dibawa ke dalam ruang steril untuk disterilisasi lebih lanjut. Untuk sterilisasi eksplan kadang-kadang digunakan dua atau lebih bahan pensteril, misalnya direndam di dalam larutan sodium hypochlorite kemudian dicuci dengan air steril dilanjutkan dengan perendaman di dalam larutan sublimate dan pembilasan Kultur Jaringan Tanaman 59 dengan air steril. Tabel 4.2. Efektifitas beberapa bahan pensteril (Yeoman dan McLeod (1977) dalam Bhojwani dan Razdan, 1983) Agen Pensteril Konsentrasi Calcium hypochlorite Sodium hypochlorite Hydrogen peroxide Bromine water Silver nitrate Mercuric chloride Antibiotics 9 – 10 % 2% 10 – 12 % 1–2% 1% 0,1 – 1 % 4 – 50 mgL-1 Lama (menit) 5 – 30 5 – 30 5 – 15 2 – 10 5 – 30 2 – 10 30 – 60 Efektifitas Sangat bagus Sangat bagus Bagus Sangat bagus Bagus Memuaskan Cukup bagus Untuk eksplan yang berdaging (umbi kentang, wortel), eksplan yang tertutup sarung daun (pucuk tebu), dan biji muda yang masih terdapat di dalam buah (anggrek) dapat disterilisasi dengan merendam di dalam alkohol beberapa saat, kemudian dilewatkan di atas nyala api dan dibiarkan sampai nyala api padam, cukup efektif untuk membawa kultur bebas dari kontaminasi. Kultur Jaringan Tanaman 60 Bab 5 Kultur Sel yang Terorganisasikan atau Kultur Organ Definisi organ adalah bahagian-bahagian tertentu dari tanaman yang tersusun dari gabungan beberapa jaringan tanaman. Biasanya organ-organ tanaman mempunyai fungsi spesifik dan berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Beberapa contoh organ yang dapat dikemukakan adalah: -ujung akar, -pucuk aksilar, -daun, -bunga, -buah muda, dan sebagainya. Meskipun kultur organ juga menggunakan medium tumbuh buatan seperti pada kultur jaringan, namun perbedaan keduanya terletak pada keutuhan jaringan yang digunakan dalam medium inisiasi. Artinya, pada kultur organ ini bahagian tanaman yang digunakan umumnya adalah dalam ukuran seutuhnya. Contoh dari ilustrasi ini seperti kultur ujung akar, kultur embrio biji yang dipisahkan dari biji utuhnya, kultur malai pada padi atau jagung, atau kultur antera (kepala sari). Adapun tujuan kultur organ adalah sama seperti pada kultur jaringan. Perbedaan spesifik yang dimiliki oleh kultur organ ini adalah pada persilangan antara tanaman yang berkerabat jauh kadang-kadang mengalami hambatan untuk menghasilkan biji hingga fase matang fisiologi. Dalam kondisi seperti ini hasil persilangan tersebut, embrio perlu diselamatkan (embryo rescue) dengan teknik yang tepat, dan teknik yang tepat itu adalah melalui kultur organ bakal biji yang telah dibuahi tetapi gagal untuk mengalami pertumbuhan selanjutnya. Kultur organ ini disebut kultur penyelamatan embrio atau "embryo rescue in vitro culture". Dari segi pemuliaan tanaman kultur embrio yang diselamatkan ini sangat besar peranannya karena studi mengenai Kultur Jaringan Tanaman 61 aspek genetika dari hibridisasi antar kerabat jauh (genera hingga antar famili), dapat dipelajari melalui keberhasilan kultur ini. Dari aspek variabilitas tanaman karena pengaruh lingkungan tumbuh buatan ini mempunyai peluang yang relatif sama dengan pada kultur jaringan. Oleh karena itu fungsi kultur organ dalam pemuliaan tanaman adalah sama dengan fungsi kultur jaringan. Hanning (1904) melakukan kultur embrio belum matang biji Crucifer; Kote dan Robbins pada akar legum dan serealia meskipun tidak berhasil, dan White (1934) melakukan kultur akar tanaman tomat. Tujuan: (1) untuk menghasilkan tanaman baru bebas penyakit, (2) untuk perbanyakan masal, (3) untuk produksi bahan (metabolit) sekunder. Macam kultur organ meliputi: (1) kultur akar, (2) kultur pucuk, (3) kultur meristem, dan (4) kultur embrio. Dalam uraian berikut ini, hanya kultur pucuk, kultur meristem, dan kultur embrio yang akan dikemukakan, sedangkan kultur akar tidak diuraikan karena teknik ini tidak diaplikasikan secara luas untuk berbagai tanaman budidaya. 5.1. Kultur Ujung Pucuk Istilah kultur pucuk (shoot culture) atau kadang-kadang disebut kultur ujung pucuk (shoot tip culture) mengacu pada kultur yang menggunakan eksplan yang memiliki meristem pucuk secara lengkap. Tujuannya adalah untuk perbanyakan pucuk melalui pembentukan berkali-kali pucuk cabang ketiak. Teknik ini menghasilkan pucuk baru yang bisa digunakan sebagai eksplan yang bisa berproliferasi secara berulang-ulang. Pucuk yang tidak teratur atau kumpulan pucuk diakarkan untuk membentuk plantlet kemudian dapat ditanam secara in vivo. Teknik ini digunakan secara luas dalam perbanyakan mikro. Kultur Jaringan Tanaman 62 a. Ukuran eksplan Secara konvensional, kultur pucuk dimulai dengan mengkulturkan potongan pucuk batang utama atau pucuk cabang yang berukuran 20 mm, dipisahkan dari pucuk yang sangat aktif tumbuh atau dari buku tunas dorman. Eksplan dalam ukuran yang lebih panjang juga kadang-kadang digunakan dengan keuntungan: (1) memiliki sebagian besar pucuk atau bagian cabang yang memiliki satu atau beberapa mata tunas, dan (2) kadang-kadang pucuk dari kultur pucuk lainnya juga digunakan. Bila buku pucuk batang utama dan pucuk cabang digunakan sebagai eksplan, istilah kultur ujung pucuk digunakan secara luas pada jenis kultur ini. Menggunakan eksplan dalam ukuran besar mempunyai keuntungan jika dibandingkan dengan penggunaan eksplan ukuran yang lebih kecil dalam menginisiasi pucuk, yaitu: (1) mempunyai kemampuan yang sangat baik pada kondisi in vitro, (2) lebih cepat memulai pertumbuhan, dan (3) mengandung lebih banyak buku tunas cabang. Akan tetapi, semakin besar ukuran eksplan, semakin sulit menghindari kontaminasi mikroorganisme, sehingga secara praktis penggunaan eksplan yang lebih besar dapat dilakukan asalkan memperbaiki kondisi teknik aseptik. Kultur pucuk juga sering digunakan secara langsung dari pucuk yang diperoleh dari kultur ujung meristem. Eradikasi virus dilakukan pada saat perbanyakan pucuk. Kadang-kadang juga digunakan ujung pucuk yang telah dipisah-pisahkan atau dimaserasi. Kultur ujung atau meristem digunakan untuk mengeliminasi bakteri, yang dilakukan dengan mengkulturkan eksplan yang sangat kecil dan plantlet tunggal dapat dihasilkan dari setiap eksplan. Istilah ini paling sering tidak digunakan. Kultur Jaringan Tanaman 63 b. Pengaturan proliferasi pucuk Pertumbuhan dan proliferasi pucuk aksiler (tunas cabang) pada kultur pucuk biasanya dirangsang dengan mengintegrasikan penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) sitokinin di dalam medium kultur. Seringkali perlakuan ZPT efektif mengurangi bahkan meniadakan dominansi meristem apikal sehingga pucuk aksiler dapat dihasilkan dalam jumlah banyak. Pucuk seperti ini digunakan sebagai eksplan bagi perbanyakan tanaman. c. Meniadakan ujung pucuk Pada tanaman tertentu, menghilangkan ujung pucuk merupakan alternatif dalam memberi peran ZPT untuk mengurangi dominansi meristem apikal. Pembuangan ujung pucuk sangat efektif pada beberapa jenis Ros (Bressan et al., 1982) dan beberapa kultuivar Apel (Yae et al., 1987). Pemangkasan ujung pucuk atau “tipping” biasanya dilakukan ketika bahan tanaman akan disubkulturkan, seperti pembuangan buku apikal pada subkultur pertama meningkatkan jumlah cabang pada kultur pucuk Pistacia (Barghchi, 1986). Macam pemangkasan pucuk yang efektif terjadi bila pucuk digunakan sebagai pemangkasan mikro. Standardi (1982) dan Shen dan Mullins (1984) mendapatkan proliferasi pucuk terbaik varietas Kiwi dan Pear melalui menanam kumpulan pucuk bagian bawah yang tertinggal pada fase ini, ke medium baru untu proliferasi selanjutnya. Hanya beberapa tanaman yang tidak memerlukan sitokinin maupun efektif meniadakan dominansi apikal. Geneve et al. (1990) melaporkan bahwa calon pucuk Gymnocladus dioicus menghasilkan 1-5 pucuk, akan tetapi hanya satu yang tumbuh hingga ketinggian yang memadai. Apabila pucuk ini dihilangkan, pucuk lainnya akan tumbuh. Kultur Jaringan Tanaman 64 Gambar 5.1. Kultur ujung pucuk (George et al., 2008). d. Menanam eksplan secara horisontal Pada tanaman Pear, membuang ujung pucuk menyebabkan pertumbuhan pucuk aksiler dalam pengendalian, akan tetapi jumlah pucuk yang terbentuk menjadi berkurang. Cara fisik yang paling efektif untuk memeriksa dominansi apikal dicapai dengan memangkas ujung dan atau menempatkan eksplan secara horizontal di atas medium (Lane, 1979; MacKay dan Kitto, 1988). Perlakuan akan efektif dengan banyak tanaman berkayu lainnya: penem-patan potongan pucuk secara horizontal yang mengandung 2-3 buku menghasilkan pucuk aksiler yang lebih banyak pada kultur Acer rubrum, Amelanchier spicata, Betula nigra, Forsythia intermedia and Malus domestica, dibandingkan dengan eksplan yang ditanam secara vertikal (McClelland dan Smith, 1990). Hasil yang paling baik pernah dilaporkan pada tanaman Lilac Kultur Jaringan Tanaman 65 (Hildebrandt dan Harney, 1983) dan beberapa kultivar Apel (Yae et al., 1987). e.Pertumbuhan pucuk Sayangnya, tidak semua pucuk yang terbentuk selama kultur berasal dari buku aksiler. Seringkali, pucuk adventif juga terbentuk baik secara langsung dari pucuk yang dikulturkan atau secara tidak langsung dari kalus pada bagian dasar massa pucuk yang disubkulturkan. Sebagai contoh: Nasir dan Miles (1981) mendapatkan bahwa subkultur batang bawah tanaman apel, beberapa pucuk baru terbentuk pada bagian dasar kumpulan pucuk, keduanya adalah pucuk adventif dan aksiler dihasilkan pada kultur Hosta (Papachatzi et al., 1981); dan proliferasi pucuk dari beberapa macam ujung pucuk tanaman kentang berasal dari kalus organogenik (Roca et al., 1978). Asal muasal yang paling pasti terjadinya pucuk hanya dapat ditentukan melalui uji anatomi yang lebih teliti. Hussey (1983) menamakan bahwa kedua pucuk adventif dan aksiler adalah ‘mixed cultures’. Pucuk adventif, utamanya yang terbentuk secara langsung dari kalus biasanya tidak diinginkan. Pucuk yang berasal dari tunas aksiler biasanya identik secara genetik dengan tetuanya, sedangkan kemungkinan bahwa pucuk tersebut berasal dari kalus akan berbeda pada satu atau beberapa sifat. Secara genetik, tanaman yang menyimpang akan diperoleh pada frekuensi yang tinggi dari kalus yang baru diinisiasi, akan tetapi bisa terjadi jumlah yang signifikan jika masa pucuk yang menyatu pada bagian bawah kalus di angkat ke atas untuk mendapatkan eksplan bagi subkultur. Penggunaan protokol yang kaku, hanya menggunakan pucuk aksiler, dapat menimbulkan masalah bagi beberapa tanaman lain dimana jumlah pucuk yang terbentuk relatif sedikit atau lambat. Kultur Jaringan Tanaman 66 Beberapa peneliti berhasil menggunakan batasan yang lebih luwes dan dengan pro-porsi pucuk adventif yang dapat diterima (sebagai contoh: Kalanchoe blossfeldiana - Schwaiger dan Horn, 1988). Konsekuensinya derajad variasi di antara anakan: bisa dan tidak diterima oleh konsumen. Pembentukan kalus dan selanjutnya berkembang menjadi pucuk adventif bisa selalu dikendalikan melalui modifikasi ZPT di dalam medium kultur. Pemecahan ujung meristem atau kulturnya pada cara tertentu dapat menyebabkan terbentuknya pucuk adventiv yang dapat digunakan dalam perbanyakan tanaman. f. Metode Eksplan utama Pada kebanyakan tanaman herbaceous, eksplan dari ujung pucuk dapat diperoleh dari buku ketiak dan utama tanaman utuh, dan terdiri dari meristem batang utama dengan bentuk yang agak bulat mengandung beberapa calon daun. Pada beberapa helai primordia daun cabang yang telah berkembang sempurna terdapat meristem buku aksiler. Pada beberapa spesies seperti Eucalyptus, akan menguntungkan untuk memulai kultur pucuk dengan potongan batang tanaman donor yang memiliki satu atau beberapa buku (buku batang). Pucuk akan tumbuh dari buku, berikan perlakuan setelahnya sebagaimana yang dipraktekkan pada kultur ujung pucuk. Penggunaan eksplan dari buku tidak mengacaukan dengan kultur buku dimana suatu metode perbanyakan pucuk digunakan berbeda dengan kultur pucuk. Ujung pucuk tanaman berkayu atau tanaman tahunan lainnya akan sulit dihindarkan dari kontaminasi. Oleh karena itu, Standardi dan Katalano (1985) memilih kultur pucuk tanaman Actinidia chinensis dari ujung meristem yang sangat mudah disterilisasi. Ujung pucuk tanaman tahunan berkayu lebih baik dari pada tanaman herba untuk menghindari substansi fenolik yang Kultur Jaringan Tanaman 67 tidak diinginkan saat dikulturkan di dalam medium tumbuh. Buku yang dikulturkan dari bagian dewasa tanaman semak atau tanaman berkayu dapat juga ditumbuhkan secara in vitro dan faktor-faktor musim dapat menyebabkan dormansi alamiah sejumlah buku dari beragam sumber sehingga kultur hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu selama setahun. Eksplan ujung pucuk atau buku cabang biasanya lebih baik untuk diinduksi untuk tumbuh yang diperoleh dari pucuk muda sebagaimana pada bibit atau tanaman muda. Pucuk muda yang kadang-kadang tumbuh pada buku bagian batang atau yang terbentuk akibat pemangkasan batang tanaman perdu atau berkayu merupakan sumber alternatif. Akan tetapi, melalui pengembangan teknik yang baik memungkinkan untuk memperbanyak tanaman hias berkayu tertentu, tanaman kehutanan, dan pohon buah-buahan, menggunakan eksplan dari pucuk tanaman dewasa. De Fossard et al. (1977) dapat menginisiasi Eucalyptus ficifolia dengan kultur ujung pucuk dari pohon yang berumur 36 tahun. Akan tetapi mendapatkan eksplan dari tanaman kehutanan akan menjadi sulit untuk menghindarkan dari kontaminasi tanpa menutup atau melindungi bagian pucuk tersebut untuk beberapa waktu sebelum di pisahkan dari induknya (fase 0). Eksplan Sekunder Fase II subkultur yang diinisiasi dari pucuk aksiler dipisahkan dari kumpulan pucuk utama. Penggunaan eksplan sekunder dari pucuk utama (kumpulan) akan mempunyai pengaruh pada penampilan subkultur selanjutnya. Proliferasi pucuk yang sangat tinggi kadang-kadang diperoleh dari eksplan buku atau melalui pemisahan massa dasar pucuk. Ujung pucuk merupakan eksplan sekunder terbaik bagi tanaman Rosa ‘Fraser McClay’, akan tetapi eksplan dari buku tanaman Cherry (‘F12/1’) menghasilkan pucuk dua kali lebih banyak, dan massa bagian bawah tiga kali lebih banyak dari pada ujung pucuk (Hutchinson, Kultur Jaringan Tanaman 68 1985). Pada tanaman Sitka spruce, kultur apeks yang telah disubkulturkan sebelumnya mampu memproliferasikan sejumlah buku pada frekuensi yang tinggi dibanding dengan yang diperoleh dari buku aksiler (John dan Murray, 1981). Sumber eksplan dapat juga memberi pengaruh yang sangat kuat bagi pertumbuhan selanjutnya ketika telah ditanam di lapangan. Hal tersebut sebagaimana diilustrasikan oleh Marks dan Meyers (1994) pada tanaman Daphne odorata. Untuk memperkecil resiko perubahan genetik pada hasil kultur, eksplan untuk subkultur dan pucuk yang akan dikulturkan pada fase III, seharusnya dipilih dari pucuk baru yang berasal dari buku aksiler. Disarankan untuk menentukan dosis kandungan ZPT di dalam medium sehingga pucuk adventif tidak terbentuk, meskipun jumlah pucuk yang terbentuk menjadi berkurang. Pada beberapa contoh, kalus yang diperoleh dari dasar atau bagian bawah eksplan dapat diorganisasikan sehingga mampu menghasilkan tanaman yang stabil secara genetik. Kultur fase II yang cirinya tanpa akar, pucuk perlu disisipkan dan diperlakukan seperti miniatur penyetekan, dan ketika telah berakar akan menjadi tanaman yang dikehendaki. Alternatifnya adalah merangsang pemanjangan kumpulan pucuk dan tumbuhnya pucuk pada kondisi ex vitro. Media dan Zat Pengatur Tumbuh Hal yang perlu diperhatikan dalam kultur pucuk bagi kebanyakan tanaman budidaya adalah kebutuhan sitokinin konsentrasi tinggi pada fase II untuk merangsang pertumbuhan pucuk aksiler yang banyak. ZPT sitokinin biasanya sangat efektif dalam meniadakan dominansi pucuk apikal. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan memangkas pucuk aksilar, atau menempatkan eksplan dalam posisi horizontal. Perlakuan dengan sitokinin tidak hanya merangsang pembentukan kumpulan pucuk Kultur Jaringan Tanaman 69 (pucuk aksiler dan atau pucuk adventif), akan tetapi juga (bila penggunaan komponen yang tidak tepat atau pada konsentrasi yang terlalu tinggi) menyebabkan terbentuknya pucuk yang terlalu pendek untuk diakarkan dan ditransfer. Karena sifat sitokinin seperti itu, atau karena ketidaktepatan cara kultur yang diaplikasikan, beberapa tanaman tidak mampu menghasilkan kumpulan pucuk pada fase II dan eksplan tetap pada status dominansi apikal. Sebagai contoh, kultur pucuk tanaman Gymnocladus dioicus, meskipun pembentukan beberapa pucuk aksiler dengan kehadiran BA dan sitokinin, suatu pucuk akan mendominasi pucuk lainnya (Geneve et al., 1990). Akan tetapi banyak jenis tanaman lainnya sangat cocok dengan kultur buku. g. Pemanjangan Panjang pucuk aksiler yang dihasilkan dari kultur pucuk agak beragam menurut jenis tanaman yang dikulturkan. Spesies yang mengalami sistem pemanjangan pucuk secara in vivo akan menghasilkan pucuk aksiler yang mudah dipisahkan seperti dalam penyambungan mikro, dan secara individu dapat diakarkan. Pucuk dominan apikal yang belum bercabang juga dapat diperlakukan dengan cara yang sama. Pada kondisi ekstrim dimana tanaman mempunyai pertumbuhan “rosette” yang cenderung menghasilkan kumpulan pucuk dalam kultur. Bila diperbanyak secara mikro, akan sulit untuk memisahkan individu pucuk untuk digunakan sebagai eksplan sekunder. Secara praktis hanya bisa dilakukan untuk memisahkan kumpulan pucuk menjadi pucuk-pucuk tunggal dan ditanam kembali pucuk-pucuk tersebut. Kumpulan pucuk seperti ini dapat diinduksi untuk membentuk akar ketika tanaman berbentuk perdu diperlukan (sebagaimana banyak spesies yang dijual dalam pot dengan daun yang menarik). Selain itu perlu mengkhususkan pemanjangan pucuk sebelum diakarkan (fase IIIa). Kultur pucuk yang diperlakukan seperti ini yang membentuk Kultur Jaringan Tanaman 70 pucuk aksiler dikurangi, dan merangsang tumbuhnya pucuk. Individu pucuk lebih mudah dikulturkan dan dapat diakarkan melalui penyambungan mikro. h. Pengakaran dan penanaman Pada fase II, zat pengatur tumbuh sitokinin ditambahkan ke dalam medium kultur pucuk untuk merangsang tumbuhnya pucuk aksiler yang biasanya menghambat pertumbuhan akan. Pucukpucuk tunggal atau kumpulan pucuk harus segera dipindahkan pada medium lain untuk pengakaran sebelum dipindahkan ke lingkungan in vivo sebagai tanaman muda. Strategi alternatif bagi beberapa tanaman lainnya adalah mengakarkan tanaman secara ex vitro. Perlakuan yang diaplikasikan bisa bervariasi menurut tipe pertumbuhannya, sifat proliferasi pucuk tanaman yang dihasilkan selama kultur pada fase II, dan ukuran tanaman yang diinginkan petani. i. Aplikasi terbaru Kultur pucuk secara konvensional menjadi metode paling penting dalam mikropropagasi tanaman meskipun kultur buku juga semakin penting. Teknik ini sangat luas dilakukan oleh banyak laboratorium kultur jaringan komersial bagi perbanyakan kebanyakan tanaman hias dab tanaman berkayu jenis herba. Akan tetapi diperlukan sejumlah manipulasi untuk menghasilkan plantlet agar tidak lebih mahal jika dibandingkan dengan metode lainnya. Keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai adalah dengan mengotomatiskan beberapa fase dalam proses ini ketika teknik ini digunakan untuk memperbanyak secara masal dan dalam penggunaan robot bagi pemisahan dan penanaman. Kultur Jaringan Tanaman 71 5.2. Kultur Meristem a. Proliferasi pucuk dari ujung meristem Barlass dan Skene (1978; 1980a,b; 1982a,b) menunjukkan bahwa pucuk dapat terbentuk secara adventif ketika ujung pucuk tanaman grapevine atau jeruk dipotong-potong beberapa bagian sebelum dikulturkan. Tideman dan Hawker (1982) juga berhasil menggunakan potongan tanaman Asclepias rotundifolia tetapi tidak berhasil pada tanaman Euphorbia peplus. Biasanya, struktur seperti daun pertama-tama muncul dari satu potongan, kemudian membesar dan membentuk pucuk dari bagian bawah yang membengkak. Pucuk aksiler sering terbentuk dari pucuk adventif yang pertama terbentuk. Kultur pucuk dipindahkan ke dalam medium cair sambil digojog akan membentuk priliferasi massa pucuk. Meskipun memungkinkan untuk terjadinya proliferasi yang sangat tinggi, pucuk daun biasanya akan menjadi hyperhydric. Akan tetapi, beberapa spesies paling tidak pucuknya meng-alami reduksi ukuran menjadi lebih kecil dari pada pucuk yang baru berproliferasi (dengan menambahkan ZPT yang menghambat, Ziv et al., 1994) yang kemudian memadai untuk perbanyakan dalam massa yang sangat banyak. Beberapa teknik kultur lainnya yang sama yang terdiri dari meristem pucuk pada dasar kalus kadangkadang dapat terbentuk eksplan ujung pucuk atau dari dasar kultur pucuk. Kultur Jaringan Tanaman 72 Gambar 5.2. Kultur buku tunggal dan ganda (George et al., 2008) 5.3. Kultur Buku Tunggal dan Ganda (Penyetekan In Vitro) Kultur buku tunggal adalah teknik kultur in vito lainnya yang dapat digunakan untuk perbanyakan beberapa spesies tanaman yang berasal dari buku-buku aksiler. Seperti pada kultur pucuk, eksplan utama bagi kultur buku tunggal adalah ujung pucuk, suatu buku lateral atau potongan pucuk yang masih memiliki satu atau beberapa buku (atau memiliki satu atau beberapa buku). Bila potongan pucuk yang digunakan, akan menguntungkan dalam menginisiasi kultur dengan eksplan yang panjang (sampai 20 mm), tanpa diperlukan uji virus dan ujung meristem yang kecil bisa digunakan. Pucuk tanpa cabang ditumbuhkan pada fase I hingga mencapai panjang 5-10 cm dan telah memiliki beberapa buku yang jelas dapat dipisahkan. Suatu lingkungan yang dapat merangsang pertumbuhan memanjang pucuk akan lebih menguntungkan. Pada fase II, selain menginduksi pertumbuhan pucuk aksiler dengan ZPT (sebagaimana pada kultur pucuk), satu dari dua metode manipulatif bisa digunakan untuk Kultur Jaringan Tanaman 73 memecahkan masalah dominansi apikal sehingga merangsang pecahnya buku lateral. • Suatu pucuk lengkap dapat ditanam di atas medium pada posisi baring. Metode ini digunakan pertama kali oleh Wang (1977) untuk perbanyakan tanaman kentang, dan dia menye-butnya sebagai “penyetekan in vitro”; • Setiap pucuk dapat dipotong sepanjang satu atau beberapa potongan buku yang disub-kulturkan. Biasanya, daun-daun dipotong/dibuang sehingga setiap eksplan fase II memiliki batang dengan satu atau beberapa buku lateral, dan • Masing-masing pendekatan dapat digunakan untuk perbanyakan pada fase II. Sayangnya, penyetekan in vitro sering kali menghasilkan beberapa pucuk aksiler dengan ukuran yang sama, dan dominansi apikal biasanya menyebabkan pertumbuhan pucuk yang sangat cepat dibandingkan dengan lainnya. El Hasan dan Debergh (1987) menemukan bahwa, meskipun pada tanaman kentang, kultur pucuk lebih baik. Kultur buku merupakan teknik kultur yang lebih sederhana bagi propagasi in vitro, yang hanya memerlukan pertumbuhan pucuk. Sementara itu, metode menumbuhkan akar sama dengan yang diaplikasikan pada penyetekan mikro yang diperoleh dari kultur pucuk, kecuali bahwa tidak diperlukan pemanjangan pucuk sebelumnya. Ingat bahwa kultur buku berbeda dengan kultur pucuk yang dimulai dari buku bibit atau tanaman dewasa. a. Media dan zat pengatur tumbuh Media untuk kultur buku tunas secara intrinsik sama dengan yang berlaku pada kultur pucuk. Seperti pada kultur pucuk, pertumbuhan optimum dapat tergantung pada pemilihan medium terutama yang berhubungan dengan spesies yang akan diperbanyak, akan tetapi hasil yang sesuai biasanya dapat Kultur Jaringan Tanaman 74 diperoleh dari formulasi yang telah diketahui dengan baik. Sering kali tidak diperlukan untuk menambahkan ZPT ke dalam medium. Sebagai contoh, pucuk beberapa tanaman (seperti Chrysanthemum morifolium), mengalami peman-jangan dengan sangat baiknya tanpa penambahan ZPT. Bila diperlukan ZPT pada fase I dan II biasanya akan meliputi auksin dan sitokinin pada dosis yang sesuai untuk mendukung aktivitas pertumbuhan pucuk yang baik, akan tetapi tidak terjadi proliferasi jaringan atau pertumbuhan buku lateral. Kadang-kadang, asam giberelik menguntungkan jika ditambahkan ke dalam medium untuk memperpanjang pucuk sehingga akan memudahkan pemisahan buku tunggal. b. Aplikasi terbaru Kultur buku sangat berguna bagi spesies yang menghasilkan pucuk panjang di dalam kultur (seperti kentang dan Alstroemeria), khususnya jika sulit mematahan buku lateral dengan ketersediaan sitokinin. Saat ini teknik kultur buku menjadi sangat terkenal dalam perbanyakan secara komersil. Alasan utamanya adalah karena teknik sangat menjamin stabilitas klon. Namun demikian, meskipun jumlah tanaman yang dihasilkan biasanya lebih rendah dari kultur pucuk, tidak terdapat asosiasi antara perkembangan kalus dengan pemben-tukan pucuk adventif sehingga subkultur fase II akan membawa resiko yang paling kecil mengenai irregularitas genetik terinduksi. Berdasarkan alasan tersebut, kultur buku sangat direkomendasikan bagi banyak peneliti sebagai metode perbanyakan mikro paling tidak untuk menghindari induksi variasi somaklon. 5.4. Kultur Biji Bagi Pembentukan Pucuk Ganda Selama tahun 1980-an telah ditemukan bahwa memungkinkan untuk menginisiasi pucuk ganda secara langsung dari biji. Biji disucihamakan kemudian dikulturkan ke dalam Kultur Jaringan Tanaman 75 medium dasar yang mengandung sitokinin. Ketika benih berkecambah, kumpulan tumbuh pucuk aksiler atau pucuk adventif (pucuk ganda), dapat dipisahkan dan secara bertahap disubkulturkan di dalam medium yang sama. Multiplikasi pucuk yang banyak akan memungkinkan. Sebagai contoh, Hisajima (1982a) memperkirakan bahwa secara teoritis, 10 juta pucuk Almond dapat dihasilkan dari satu biji selama satu tahun. Nampaknya, pucuk ganda dapat diinisiasi dari biji beragam spesies utamanya dari kelompok dikotil. Teknik ini juga efektif bagi spesies tanaman herba dan berkayu seperti: kedelai (Cheng et al., 1980; Hisajima, 1981; Hisajima dan Church, 1981), bit gula (Powling dan Hussey, 1981), Almond (Hisajima, 1981; 1982a,b,c), Walnut (Rodriguez, 1982), Pumpkin dan melon (Hisajima, 1981), Cucumber dan Pumpkin (Hisajima, 1981; 1982c), Pea, kacang tanah, kacang hijau, Radish, jagung dan padi (Hisajima, 1982c). Teknik ini tidak saja respon jika menggunakan biji unggul atau untuk mencapai informasi awal mengenai respon spesies tanaman pada kondisi in vitro. 5.5. Kultur Embrio a. Proliferasi embrio Embrio asesori pada embrio zigotis Kadang-kadang embrio somatis baru terbentuk secara langsung pada embrio zigotis yang dikulturkan secara in vitro. Embrio adventif seperti ini telah dilaporkan pada: Cuscuta reflexa (Maheshwari dan Baldev, 1961); barley (Norstog, 1970); Ilex aquifolium (Hu dan Sussex, 1972; Hu, 1977; Hu et al., 1978); Thuja orientalis (Konar dan Oberoi, 1965); Trifolium repens (Maheswaran dan Williams, 1985); Zamia integrifolia (Norstog, 1965b; Norstog dan Rhamstine, 1967); Theobroma cacao (Pence et al., 1980a,b); Linum usitatissimum (Pretova dan Williams, Kultur Jaringan Tanaman 76 1986); Vitis vinifera (Stamp dan Meredith (1988). Apabila embriogenesis langsung terjadi pada awal pembentukan jaringan embrionis, embrio baru yang terbentuk kadang-kadang dinamakan sebagai embrio sekunder langsung atau embrio asesori. Embrio asesori pada embrio somatis Induksi embriogenesis somatis secara in vitro dimulai melalui proses berulang yang sangat cepat, tanpa suatu pengendalian yang hanya terjadi secara alamiah selama pembentukan embrio zigotis. Hasilnya sering berkembangan embrio tambahan yang kecil pada embrio somatis yang terbentuk secara langsung pada eksplan, atau secara tidak langsung pada kultur kalus atau kultur suspensi sel. Embrio asesori dapat terbentuk sepanjang semua sudut embrio mula-mula, atau tumbuh dengan baik pada sisi tertentu seperti pada daerah hipokotil atau pada skutelum embrioid tanaman monokotil. Pada tanaman Walnut, embrio asesori berkembang dari sel tunggal epidermis embrio somatis (McGranahan et al., 1988). Kadang-kadang istilah poliembrioni digunakan untuk menjelaskan pembentukan asesori, atau embrio sekunder (Radojevic, 1988). Prosesnya juga dinamakan sebagai embriogenesis berulang (Tulecke dan McGranahan, 1985) atau embriogenesis somatis rekaren (Lupotto, 1986). Embrio tambahan seperti ini mampu berkembang bersama semua jenis embriogenesis in vitro. Sebagai contoh, pembentukan embrio somatis telah tercatat pada: • Kultur antera pada tanaman Atropa belladonna (Rashid dan Street, 1973); Brassica napus (Thomas et al., 1976); Carica papaya (Tsay dan Su, 1985); Citrus aurantifolia (Chaturvedi dan Sharma, 1985); Datura innoxia (Geier dan Kohlenbach, 1973); Vitis hybrids (Rajasekaran dan Mullins, 1979); Kultur Jaringan Tanaman 77 • Kultur suspensi sel pada tanaman: Daucus carota (Ammirato dan Steward, 1971; McWilliam et al., 1974); Ranunculus scleratus (Konar dan Nataraja, 1965b; Konar et al., 1972a), dan • Kultur kalus pada tanaman: Aesculus hippocastanum (Radojevic, 1988); alfalfa (bila individu embrioid dipindahkan ke dalam medium baru, Saunders and Bingham, 1972); Carrot (Petrù, 1970); Citrus (Button dan Kochba, 1977); Parsley (Vasil dan Hildebrandt, 1966b); Pennisetum purpureum (Wang dan Vasil, 1982); Ranunculus sceleratus (Konar dan Nataraja, 1965a,b), dan Theobroma cacao (Li et al., 1998). Protocorm terbentuk secara langsung pada eksplan yang ditanam dari ujung pucuk atau potongan daun tanaman anggrek, kadang-kadang menghasilkan protocorm anak adventif lainnya selama kultur dimana penampilannya mirip dengan pembentukan embrio somatis. Embrio somatis yang terbentuk pernah dilaporkan pada kalus tanaman kelapa sawit dalam bentuk tubuh seperti protocorm, yang dihasilkan secara berulang-ulang ketika subkultur dilanjutkan (Paranjothy dan Rohani, 1982). b. Penggunaan praktis untuk perbanyakan tanaman Dari aspek kuantitatif, embriogenesis tidak langsung merupakan metode yang efisien bagi propagasi mikro, hal yang sama adalah benar bahwa embriogenesis secara langsung bila tidak bersama dengan proliferasi jaringan embriogenik. Meskipun tanaman dapat diregenerasikan dari embrio secara langsung melalui inisiasi secara in vitro, dan akan menyebabkan ketidaklayakan dan keterbatasan jumlah tanaman yang dihasilkan melalui program pemuliaan, jumlah embrio utama setiap eksplan yang digunakan biasanya akan kurang memenuhi bagi perbanyakan secara massal pada skala besar. Untuk meningkatkan jumlah embrio somatik yang terbentuk secara langsung pada embrio zigotis muda tanaman bunga matahari, Freyssinet dan Kultur Jaringan Tanaman 78 Freyssinet (1988) membagi sama menjadi empat bagian embrio zigotis yang berukuran besar. Embrio tambahan biasanya tidak diharapkan, seringkali menyatu dengan embrio lain menjadi kembar dan berukuran besar atau sebagai kelompok besar embrio sehingga menghasilkan pertumbuhan bibit yang tidak normal yang memiliki banyak pucuk. Kehadiran embrio asesori juga akan mengganggu pertumbuhan embrio somatik utama. Pertumbuhannya menjadi tidak sinkron dan tidak menghasilkan pertumbuhan bibit yang normal kecuali embrio adventif tersebut dibuang. Akan tetapi disarankan bahwa embrio asesori dapat digunakan untuk propagasi mikro bagi beberapa spesies tertentu. Mungkin metode propagasi mikro ini yang akan dikembangkan di masa datang. Contoh-contoh keberhasilan penggunaan metode ini seperti pada tanaman: Helianthus annuus (Plissier et al.. 1990), Juglans regia (McGranahan et al.1988b), dan Medicago sativa (Lupotto 1986). Embriogenesis sebagaimana telah saya uraikan sebelumnya mempunyai potensi yang sangat besar bagi perbanyakan massal tanaman, akan tetapi semua teknik adventif masih memiliki masalah yang berasosiasi dengan rendahnya stabilitas klon. Oleh karena itu, aplikasi secara komersial teknik ini masih terbatas karena embrio terbentuk secara langsung dari jaringan tetua atau dari eksplan yang digunakan. Kultur Jaringan Tanaman 79 Gambar 5.3. Kultur ovule dan embrio (George et al., 2008). Kultur Jaringan Tanaman 80 Bab 6 Kultur Sel yang Belum Terorganisasikan atau Kultur Jaringan Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan ini bahwa yang dimaksud dengan jaringan adalah kumpulan sel-sel yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk suatu kesatuan hubungan dalam salah satu bagian dari tubuh tanaman, maka jaringan dalam kultur in vitro merupakan bahagian potensial dari tubuh tanaman yang dapat dikembangkan untuk memperoleh tanaman baru. Tanaman baru dan lengkap yang dimaksudkan disini adalah tanaman lengkap yang memiliki informasi genetik lengkap seperti pada sel asalnya. Bentuk-bentuk jaringan sebagai sumber kultur dapat diperoleh dari jaringan daun, batang, dan akar tanaman. Jaringanjaringan ini tentunya jaringan yang mengandung sel-sel yang aktif membelah, kemudian dipisahkan dari bahagian lainnya (diisolasi) dalam ukuran tertentu. Ukuran jaringan yang digunakan biasanya terdiri dari hanya beberapa micrometer hingga beberapa milimeter. Potongan jaringan yang digunakan dalam kultur in vitro disebut eksplan (explant). Eksplan calon kultur di atas kemudian ditanam dalam medium buatan yang aseptik untuk beberapa waktu lamanya hingga menghasilkan kalus. Kalus yang terbentuk, kemudian dipisahkan dari eksplan sebegai inokulum untuk dikulturkan pada medium yang berbeda dengan yang digunakan untuk inisiasi kalus. Biasanya, kalus yang ditanam tadi hanya akan menumbuhkan salah satu macam organ tanaman, mungkin akar atau mungkin pucuk. Oleh karena itu untuk melengkapi organ yang terbentuk dari kalus Kultur Jaringan Tanaman 81 tadi perlu dipindahkan lagi pada medium baru lainnya hingga terbentuk tanaman lengkap. Komposisi medium terdiri dari hara makro, hara mikro, vitamin, dan hormon tumbuh tanaman. Berapa besar kebutuhan unsur-unsur di atas tergantung dari jenis tanaman dan bahkan bahagian tanaman dimana jaringan tersebut diisolasi. Saat ini telah banyak jenis medium yang diciptakan oleh para ahli, mulai yang masih bersifat umum (medium dasar) maupun yang bersifat khusus (modifikasi dari medium dasar) dengan menambahkan beberapa unsur spesifik. Unsur spesifik ini bisa dalam bentuk organik seperti ekstrak atau hasil sampingan tanaman (air kelapa) dan sebagainya, bisa juga dalam bentuk anorganik. Dalam kaitan dengan pemuliaan tanaman, maka dari hasil kultur in vitro ini diharapkan diperoleh mutan-mutan yang bermanfaat untuk bahan seleksi selanjutnya. Munculnya mutanmutan ini dapat disebabkan oleh lingkungannya selama kultur berlangsung, atau mungkin juga mutan itu telah ada pada jaringan sebelum diisolasi dan dikulturkan. Oleh karena itu seleksi sebagai salah satu kekuatan dalam pemuliaan tanaman dapat diterapkan, baik seleksi dalam bentuk pengidentifikasian dan pengisolasian mutan maupun dalam bentuk pengujian sifat atau sifat-sifat tertentu melalui manipulasi medium inisiasi kalus dan medium organogenesis. Sebagai tahap terakhir dari kegiatan kultur jaringan adalah penumbuhan tanaman secara autotroph. Petumbuhan tanaman secara autotroph diartikan sebagai tanaman yang mampu menggunakan CO2 sebagai sumber utama karbon dan mengasimilasikannya dalam fotosintesis. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan eksplan menjadi kalus kemudian menjadi tanaman lengkap dalam medium tumbuh buatan yang aseptik adalah mengikuti pola pertumbuhan secara heterotroph. Artinya, tanaman yang tumbuh memerlukan satu atau beberapa senyawa Kultur Jaringan Tanaman 82 karbon organik yang disuplai dari sintesis sebelumnya. Perpindahan dari pola heterotroph ke autotroph ini perlu beberapa penyesuaian, baik terhadap lingkungan perakaran di dalam tanah maupun lingkungan pertumbuhan di atas tanah. Fase ini dikenal dengan fase aklimatisasi atau fase adaptasi. Fase adaptasi ini sangat penting karena pertumbuhan tanaman selanjutnya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan melewati batas-batas kritis perpindahan dari heterotroph ke autotroph. Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah penting yang menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro. Kalus merupakan massa sel yang tidak terorganisasikan, pada mulanya sebagai respon terhadap pelukaan (wounding). Pembe1ahan selnya menjadi tidak terkendali, sel-selnya mengalami proliferasi yaitu membelah terus rnenerus dengan sangat cepat. Hal ini dimungkinkan karena sel-sel tumbuhan yang secara alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan menjadi heterotrof oleh adanya nutrisi yang cukup komplek dan zat pengatur tumbuh di dalam medium kultur. Selain dari luka bekas irisan, kalus juga dapat berasal dari pembelahan sel-sel kambium yang terus membelah dan berproliferasi. Proliferasi sel-sel akan terjadi lebih baik jika eksplan yang digunakan berasal dari jaringan yang masih muda. Sel-sel kalus secara fisiologis dan biokimia sangat berbeda dengan sel-sel eksplannya yang sudah terdiferensiasi. Sel-sel pada kalus bersifat meristematik dan merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi. Dediferensiasi merupakan reversi dari selsel hidup yang telah terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi, atau dengan kata lain menjadi meristematik kembali. Dediferensiasi merupakan langkah awal bagi perbanyakan vegetatip dengan teknik kultur in vitro karena merupakan dasar terjadinya primordia tunas dan akar. Kalus dapat diperbanyak secara tidak terbatas dengan cara memindahkan sebagian tecil kalus ke dalam medium baru (sub Kultur Jaringan Tanaman 83 kultur). Kalus dengan sel-selnya yang bersifat meris-tematik, dapat didispersikan di dalam medium cair sehingga dapat diperoleh kultur suspensi sel. 6.1. Kultur Kalus Teknik kultur jaringan dimulai dengan mengisolasi bagianbagian tanaman (sel, jaringan, organ), kemudian menumbuhkannya secara aseptis di atas atau di dalam suatu medium budidaya sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri, dalam 1-2 bulan, tergantung dari jenis tumbuhannya, akan terbentuk kalus. Kalus biasanya terjadi pada eksplan di tempat irisan, karena jaringan kalus ini merupakan jaringan yang bertujuan menutup luka. Pembelahan sel-sel pada kalus dipacu oleh hormon endogen dan eksogen auksin dan sitokinin yang ditambahkan pada medium kultur. Kalus juga dapat timbul karena adanya infeksi dari mikroorganisme tertentu seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan serangga dan nematoda. Kalus yang diakibatkan oleh infeksi Agrobacterium disebut tumor (crown gall). Pembentukan kalus tergantung dari jenis tumbuhan, asal eksplan, umur fisiologi dari tanaman donor dan komposisi medium kultur. Pada kenyataannya sulit untuk memperoleh kalus dari hasil kultur jaringan yang eksplannya diambil dari sembarang bagian jaringan tumbuhan. Kultur kalus bertujuan untuk mendapatkan kalus dari eksplan yang ditumbuhkan di atas medium kultur secara terus menerus. Kalus telah berhasil diinduksi dari bermacam-macam eksplan. Hal yang perlu mendapat perhatian pada pemilihan eksplan adalah, harus mengandung sel-sel yang aktif membelah. Semua bagian tanaman yang masih muda (kecambah) sangat responsif untuk induksi kalus. Bagian-bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon, koleoptil, umbi akar wortel Kultur Jaringan Tanaman 84 yang mengandung kambium dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi menghasilkan kalus. Eksplan terbaik untuk induksi kalus adalah jaringan dari bagian-bagian semai (seedling) yang dikecambahkan secara in vitro. Jaringan yang mengandung parenkim tidak hijau, seperti parenkim empulur, mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan dengan sel-sel daun yang mengandung kloroplas. Ukuran eksplan juga penting untuk diperhatikan, idealnya ukuran eksplan yang dikehendaki adalah yang kecil tetapi tetap mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membelah, hal ini dimaksudkan agar diperoleh sel-sel yang relatif homogen. Inisiasi pembentukan kalus dimulai dari hasil pembelahan sel yang terus menerus pada jaringan induk yang tidak perlu harus berhubungan langsung dengan medium kultur, pertumbuhan yang tercepat terjadi di daerah perifer. Hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut ketersediaan hara dan oksigen lebih baik. Pertumbuhan kalus merupakan hasil interaksi yang sangat komplek antara eksplan, komposisi medium dan kondisi lingkungan selama periode inkubasi. Sel-sel memperlihatkan peningkatan aktivitas sitoplasmik yang ditandai dengan meningkatnya respirasi, dan jaringan kembali ke keadaan meristematik (dediferensiasi). Selama pertumbuhannya, kalus dapat mengalami 1ignifikasi yang cukup kuat hingga menyebabkan kalus bertekstur keras dan kompak, ada juga yang friabel dan lunak sehingga mudah terpecah-pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kalus dapat berwarna kekuningan, putih, hijau atau terpigmentasi oleh antosianin. Pigmentasi dapat seragam pada keseluruhan kalus atau sebagian daerah tidak terpigmentasi. Sel-sel pembentuk antosianin dan non-antosianin telah berhasil diisolasi dari kalus wortel. Induksi kalus dan pertumbuhan kalus yang terus berlangsung (dengan melakukan subkultur), memerlukan gula dan garam-garam mineral pada medium. Selain itu, juga memerlukan Kultur Jaringan Tanaman 85 zat pengatur tumbuh: (1) auksin (pada kebanyakan monokotil), (2) sitokinin (misalnya, pada gymnospermae), (3) auksin dan sitokinin (pada kebanyakan dikotil dan beberapa spesies monokotil), dan (4) tidak memerlukan zat pengatur tumbuh (misalnya tumor, jaringan yang mengalami habituasi penuh). Zat pengatur tumbuh yang umum dan efektif digunakan untuk induksi kalus (dediferensiasi) adalah 2,4-D, dicamba, atau picloram. Kalus dari eksplan yang berasal dari satu macam tipe sel akan mengandung sel-sel yang seragam pula, misalnya sel-sel parenkim floem dari wortel. Eksplan batang, akar dan daun sel-sel penyusunnya sangat heterogen, kalus yang terbentuk dari eksplan tersebut sel-selnya juga sangat heterogen dan terdiri dari bermacam-macam tipe sel. Misalnya, sel-sel meristematik (di tengah), sel-sel yang parenchymatous, sel-sel yang mengandung vakuola, sel-sel raksasa, sel-sel seperti tracheid dsb, heterogenitas ini mencerminkan asal dari eksplannya. Sel-sel yang heterogen dari jaringan kompleks menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifat khusus. Medium seleksi dapat didasarkan pada berbagai unsur hara atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium. Selain dari eksplannya, sel-sel yang heterogen pada kalus juga dapat disebabkan karena masa kultur yang terlalu lama melalui serangkaian subkultur yang berulang-ulang. Masa kultur yang terlalu lama menyebabkan adanya per-ubahan terhadap kebutuhan zat pengatur tumbuh eksogen. Ketidaktergantungan sel-sel untuk terus membelah tanpa adanya zat pengatur tumbuh eksogen disebut habituasi. Sel-sel dapat mengalami habituasi terhadap auksin maupun sitokinin. Masa kultur yang terlalu lama juga dapat menyebabkan adanya heterogenitas karyologis, yang dicerminkan dengan adanya perubahan dari siklus sel dan ketidakteraturan pembelahan mitosis Kultur Jaringan Tanaman 86 selama masa kultur. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat berupa: (1) poliploidi meningkat secara progresif sejalan dengan lamanya kultur kalus, zat pengatur tumbuh 2,4-D dapat meningkatkan frekuensi poliploidi, (2) aneuploidi yang kerapkali berkaitan dengan fragmentasi inti dan abnormalitas dari mitotic spindle, (3) perubahan struk-tural pada kromosom, misalnya disentrik, fragmen akrosentrik, ring kromosom, (4) transpo-sisi urutan DNA, (5) amplifikasi gen, jumlah gen untuk sifat tertentu per genom haploid bertambah, dan (6) delesi, yaitu hilangnya suatu gen. Adanya perubahan-perubahan karyologis ini menyulitkan aplikasi kultur kalus untuk mikropropagasi dan produksi metabolit sekunder, tetapi dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan in vitro karena dapat menambah keragaman genetik. Setelah periode waktu tertentu, biasanya 2 minggu sampai 3 bulan, pertumbuhan kalus akan menurun, kalus akan menunjukkan gejala-gejala penuaan seperti nekrosis atau menjadi coklat dan akhirnya mengering. Hal tersebut sebagai akibat dari beberapa faktor berikut: (1) kandungan nutrisi media menyusut, (2) penguapan (evaporasi) yang mengakibatkan agar-agar semakin mengeras sehingga menghambat difusi nutrien dan meningkatnya konsentasi dari beberapa komponen medium, (3) sel-sel pada kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang menghambat karena terakumulasinya sejumlah senyawa toksik pada medium di sekitar eksplan, dan (4) sel-sel yang terdapat di tengah-tengah massa sel mengalami kekurangan oksigen. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, kalus harus disubkultur pada medium baru, tergantung dari tujuannya medium baru yang digunakan untuk subkultur dapat sama atau berbeda dengan medium semula. Secara umum dapat dikatakan, tujuan dilakukannya subkultur adalah untuk menjaga kehidupan dengan mempertahankan laju pertumbuhan sel tetap konstan sehingga Kultur Jaringan Tanaman 87 dapat diperoleh kalus dengan sel-sel yang homogen, untuk memperbanyak kalus dan untuk diferensiasi kalus. Untuk tujuan diferensiasi, biasanya digunakan medium yang mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh dari auksin dan sitokinin yang berbeda. Pembentukan organ umumnya membutuhkan zat pengatur tumbuh yang lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kalus. Hal yang perlu diperhatikan pada subkultur adalah massa sel yang akan dipindah harus cukup banyak. Hal ini dapat dilakukan dengan membiarkan kalus tumbuh hingga mencapai diameter 2-3 cm sebelum dipisahkan dari eksplan dan membaginya menjadi 4-8 inokula untuk disubkulturkan pada medium baru. Bila kalus menunjukkan rupa yang heterogen, yang harus dipilih sebagai inokulum adalah kalus yang menunjukkan pertum-buhan tercepat, biasanya yang berwarna agak pucat dan lunak. Doods dan Roberts (1982) menganjurkan inokulum yang mempunyai diameter 5-10 mm dengan berat sekitar 20-100 mg. Subkultur yang berhasil biasanya dilakukan setiap 28 hari, namun waktu yang tepat tergantung pada kecepatan pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus diukur dengan menghitung berat basah dan berat kering kalus pada periode waktu tertentu. Laju pertumbuhan kalus, seperti halnya pada kebanyakan organisme sel tunggal, membentuk kurva sigmoid (Gambar 6.1). Kultur Jaringan Tanaman 88 Gambar 6.1. Kurva pertumbuhan kalus (Dodds dan Roberts, 1982) Proses diferensiasi in situ adalah reversible, hal ini ditunjukkan pada kultur in vitro. Eksplan yang berupa sel, jaringan dan organ tanaman pada hakekatnya telah mengalami proses diferensiasi. Dengan menanam bagian-bagian tanaman tersebut di atas medium kultur secara aseptis, terjadilah proses dediferensiasi, yaitu terbentuknya sel-sel parenkimatis yang tidak terdiferensiasi (kalus). Se1-sel tanaman menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk meregenerasikan dirinya menjadi tanaman utuh dari sel-sel yang tidak terdiferensiasi tersebut, prosesnya disebut rediferensiasi. Keadaan menjadi berdiferensiasi kembali untuk membentuk akar, tunas dan embrioid yang kemudian membentuk plantlet. Kultur Jaringan Tanaman 89 Pembentukan struktur yang terorganisasikan pada kalus dimulai dengan pembentukan kelompok-kelompok sel yang rapat (meristemoid) dari sel-sel meristematik yang dicirikan dengan ukuran kecil, penuh plasma dan inti menyolok. Meristemoid diharapkan mampu membentuk primordia tunas maupun akar. Prosedur untuk mempelajari teknik dasar induksi kalus dicontohkan pada umbi akar wortel, tahapannya adalah sebagai berikut. Bahan dan alat: a. Umbi akar wortel yang segar dan sehat; b. Medium MS padat dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D 1 mg.L-1, lihat cara pembuatan medium pada uraian sebelumnya; c. Petridish steril dengan kertas saring; d. Alkohol 70%; e. Akuades steril; f. Detergent; g. Clorox, Sunclin; h. Sikat gigi; i. Skalpel, pisau, pinset; j. Erlenmeyer 250 ml, beker glass 250 ml; k. Sprayer; Cara kerja: a. Persiapan eksplan Umbi akar wortel dicuci bersih dengan cara disikat permukaannya dengan menggunakan sikat gigi dan detergent. Umbi kemudian dipotong melintang pada bagian tengah setebal kira-kira 1 cm. Masukkan segera 5-8 potong umbi ke dalam beker glass, kemudian segera dibawa ke dalam Laminar air flow cabinet. Kultur Jaringan Tanaman 90 b. Sterilisasi eksplan  Bersihkan permukaan meja kerja dengan menyemprotkan alkohol 70% dan melapnya dengan kertas tissue. Sterilisasi eksplan dilakukan dengan Clorox 10%. Masukkan potonganpotongan umbi ke dalam beker glass steril, tuangkan 100 ml clorox ke dalam beker glass yang berisi potongan eksplan, biarkan kira-kira 10 menit, sesekali beker glass digoyanggoyang.  Dengan pipet steril, pindahkan potongan-potongan eksplan dari larutan clorox ke dalam beker glass kosong yang steril. Bilaslah eksplan dengan akuades steril dua kali masing-masing selama 10 menit. c. Pemotongan eksplan  Pindahkan potongan umbi ke dalam petridish yang berisi kertas saring steril, dengan menggunakan skalpel yang tajam, potongan umbi ditipiskan ukurannya menjadi setebal kira-kira 0,5 cm.  Buatlah potongan umbi menjadi kubus dengan ukuran kira-kira 0,5 x 0,5 cm. d. Penanaman dan inkubasi • Dengan pinset steril, masukkan 3 potong eksplan untuk tiap botol kultur yang berisi medium MS + 2,4-D 1 mg.L-1. • Botol kultur yang telah berisi eksplan segera ditutup, beri label yang menunjukkan: jenis tanaman, medium yang digunakan dan tanggal penanaman. • Bawa segera ke ruang inkubator, inkubasi dilakukan pada suhu 25°C di tempat terang. Kultur Jaringan Tanaman 91 e. Pengamatan • Amati awal terbentuknya kalus, dari bagian mana kalus terbentuk • Lakukan subkultur pada minggu ke-3 • Amati tekstur, struktur dan warna kalus. • Ukurlah berat basah dan berat kering kalus Gambar 6.2. Gambar skematis induksi kalus umbi akar wortel 6.2. Kultur Suspensi Sel Kalus mengandung sel-sel yang lebih homogen dibandingkan dengan sel-sel yang terdapat pada eksplan. Namun demikian, sel-sel pada kalus tidaklah seragam, kalus yang mengandung sel-sel yang tidak homogen mempunyai sel dengan Kultur Jaringan Tanaman 92 perkembangan yang berbeda-beda (asynchronous). Hal ini disebabkan karena kalus dikulturkan pada medium padat, sehingga hanya bagian dasar dari kalus saja yang kontak dengan medium kultur, akses terhadap nutrien menjadi berbeda. Sinkronisasi dapat dilakukan dengan mengkulturkan kalus yang friabel ke dalam medium cair yang diinkubasi dengan penggojokan, setelah dua atau tiga minggu akan terbentuk suspensi sel yang tumbuh aktif. Kultur suspensi sel merupakan suatu sistem yang ideal untuk mempelajari metabolisme sel, pengaruh berbagai persenyawaan pada sel dan mempelajari diferensiasi sel. Dari segi praktis, kultur suspensi sel dapat digunakan sebagai sumber protoplas untuk difusikan atau manipulasi genetik, untuk membuat single cell clone, untuk produksi embrio somatik, sel-sel pada kultur suspensi sel juga dapat diperlakukan sebagai pabrik untuk memproduksi metabolit sekunder. Kalus yang friabel dan lunak jika ditransfer ke dalam medium cair dan diinkubasi dengan penggojokan, setelah dua atau tiga minggu, sel-sel akan terpisah dari kalus dan mulai membelah, terdispersi di dalam medium cair membentuk suspensi se1 yang aktif tumbuh. Populasi sel-sel di dalam kultur suspensi sel terdiri dari sel-sel tunggal yang bentuknya bermacam-macam, agregatagregat (kumpulan) sel yang seragam ukurannya, bagian eksplan (inokulum) yang tersisa dan sel-sel mati, yang kesemuanya terdispersi di dalam medium cair. Medium cair yang digunakan komposisinya sama dengan medium untuk induksi kalus, hanya pada kultur suspensi sel tidak menggunakan agar. Keuntungan dari digunakannya medium cair yang diinkubasikan dengan penggojokan pada kultur suspensi sel adalah: a. tidak terjadi gradien terhadap nutrisi dan gas b. semua permukaan sel dapat kontak dengan medium c. aerasi yang lebih baik d. tidak terjadi akumulasi senyawa-senyawa toksik Kultur Jaringan Tanaman 93 Kesemuanya membuat pertumbuhan sel pada kultur suspensi sel menjadi sangat cepat. Derajat dispersi sel-sel di dalam medium cair sangat dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh. Penggunaan auksin dengan konsentrasi tinggi (sampai 10 mM) bersama dengan sitokinin dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,1-5 mM) dapat meningkatkan dispersi sel. Inisiasi dari kultur suspensi sel memerlukan kalus sebagai inokulum yang jumlahnya relatif cukup banyak, yaitu sekitar 2-3 gram untuk 100 ml medium. Kalus sebanyak itu dapat menghasilkan suspensi sel dengan densitas awal sekitar 0,5-2,5 x 105 per ml medium. Kultur suspensi sel akan tumbuh dengan sangat cepat, untuk itu harus dilakukan sub-kultur dengan cara mengendapkan sel-sel pada dasar botol kultur, kemudian dengan hati-hati medium yang ada di atasnya dituang. Endapan sel-sel kemudian dibagi menjadi dua bagian, masing-masing digunakan sebagai inokulum dengan memasukkan ke dalam medium baru yang komposisi dan volumenya sama dengan medium lama. Biasanya subkultur dilakukan secara teratur setiap satu atau dua minggu sekali, yaitu ketika sel berada pada awal fase stationary. Dasar yang digunakan untuk subkultur ini adalah untuk mempertahankan kultur tetap pada fase pertumbuhan logaritmik. Ada sejumlah metoda yang digunakan untuk mengukur laju pertumbuhan sel pada kultur suspensi sel, yaitu dengan menghitung: a. jumlah sel termampat (Packed Cell Volume, PCV) b. jumlah sel c. berat basah dan berat kering d. total protein Selain itu, viabilitas sel ditentukan dengan pengecatan FDA, Evan's blue, tetrazolium salt, dan sebagainya. Viabilitas sel menentukan kemampuan sel-sel untuk membelah. Pada semua metoda pengukuran tersebut di atas, cuplikan dari kultur dilakukan Kultur Jaringan Tanaman 94 pada interval waktu tertentu. Hasil pengukuran yang diplotkan dengan waktu sampling tersebut akan menghasilkan kurva pertumbuhan yang khas, berbentuk sigmoid, yang dicirikan dengan 5 fase pertumbuhan. Pada saat inokulasi, sel-sel pada medium kultur berada dalam tahap persiapan untuk membelah, sel-sel berada pada lag phase. Sel-sel kemudian mengalami fase pertumbuhan eksponensial (exponential growth phase) yang pendek, ditandai dengan laju pembelahan yang maksimal. Kemudian diikuti dengan fase pertumbuhan linier (linear growth phase), pembelahan sel melambat tetapi laju ekspansi/ pembentangan sel meningkat. Pembelahan dan pembentangan sel menurun selama fase deklarasi progresif (progressive deceleration phase). Akhirnya sel-sel masuk ke fase tetap (stationary phase). Selama fase stationary jumlah sel pada kultur kurang lebih konstan karena sel-sel tidak membelah lagi. Siklus ini dapat diulang bilamana pada awal fase stationary sel-selnya disubkultur pada medium segar. Pada setiap metode pengukuran pertumbuhan, kultur suspensi sel mempunyai kurve pertumbuhan yang berbeda. Pada suatu kultur suspensi sel mungkin saja didapatkan lag phase yang sangat pendek, setelah mencapai fase stationary kemudian menurun sangat drastis, ini menunjukkan adanya sejumlah sel yang mengalami lisis. Pada kultur yang lain setelah fase stationary, kurva naik lagi, ini disebabkan karena sel-selnya membesar. Metode sederhana untuk mengukur laju pertumbuhan pada kultur suspensi sel dikem-bangkan oleh Dr. Christianson dari Michigan State University. Dasar teknik ini adalah pengukuran volume sel yang terendapkan pada periode waktu tertentu. Sebagai contoh: 50 ml suspensi sel dimasukkan ke dalam gelas ukur atau tabung sentrifugasi yang berskala, sel-sel dibiarkan mengendap sampai tidak ada penambahan volume sel-sel yang mengendap. Waktu pengendapan sel untuk setiap kali pengukuran harus sama, Kultur Jaringan Tanaman 95 misalnya V30 artinya volume pengendapan sel-sel selama 30 menit. Waktu yang diperlukan untuk mengendapkan sel-sel ini berbedabeda, tergantung dari tipe kultur suspensinya. Metode ini sangat menguntungkan karena kecepatannya dan tidak ada sampel yang terbuang. Hal yang perlu diperhatikan pada proses pemeliharaan kultur suspensi sel adalah menyeleksi tipe-tipe sel yang tumbuh dan membelah pada medium cair. Laju pertumbuhan sel yang sangat cepat dapat diseleksi dengan sering melakukan subkultur dengan hanya menggunakan sel-sel tunggal atau agregat-agregat kecil sebagai inokulum. Untuk memisahkan sel-sel dari agregatagregat besar dan kecil dapat dilakukan dengan menyaring suspensi sel menggunakan nilon filter atau stainless steel filter sebelum disubkultur. Penyaringan ini biasanya hanya dilakukan pada subkultur yang pertama, subkultur yang ke dua dan seterusnya tidak perlu dilakukan penyaringan, teknik penyaringan ini merupakan salah satu usaha sinkroninasi kultur suspensi sel. Kultur sel yang sinkron adalah jika sebagian terbesar dari populasi sel melewati setiap fase dari siklus sel (G1, S, G2 dan M) secara serentak. Untuk mempelajari pembelahan sel dan metabolisme sel pada kultur suspensi sel, sebaiknya digunakan kultur suspensi sel yang sinkron, yang memperlihatkan amplifikasi dari setiap kejadian dari siklus sel dibandingkan dengan kultur yang tidak sinkron. Pada umumnya kultur suspensi sel itu tidak sinkron, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi. Ada dua metoda yang dapat digunakan untuk sinkronisasi pada kultur suspensi sel: (1) pelaparan (starvation). Metode ini dikerjakan pertama, dengan menahan sel-sel pada G1 atau G2 dari siklus sel dengan mengkulturkan sel-sel pada medium starvasi hormon dan nutrien. Proses pelaparan ini akan mengakibatkan sel-sel berada pada fase pertumbuhan yang stasioner. Setelah periode starvasi dilewati, sel-sel kemudian disubkultur dengan Kultur Jaringan Tanaman 96 medium yang mengandung nutrien penuh dan hormon, sel-sel yang berada pada fase stationary akan membelah bersamasama. Kultur suspensi sel Ace pseudoplatanus yang ditumbuhkan dengan medium starvasi nitrogen berada pada fase stationary: dapat membelah lebih lanjut setelah disubkultur pada medium segar yang diperkaya. Sel-sel yang berada pada fase stationary tertahan pada fase G1 dari siklus sel, yang kemungkinan disebabkan karena ketiadaan ion nitrat pada medium starvasi. Pada kultur sel A. pseudoplatanus dengan skala besar, derajat sinkronitas dapat dipertahankan lebih dari lima siklus hidup sel, seperti yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah sel pada setiap tahapan sitokinesis yang berurutan. Hal serupa juga terjadi pada kultur sel Vinca rosea yang dikulturkan pada medium starvasi phosphate selama 4 hari kemudian ditransfer ke dalam medium yang mengandung phosphate; (2) penghambatan (inhibition). Penghambat sintesis DNA seperti 5-aminouracil, FUdR, hydroxyurea, thymidine dan aphidicolin, sering digunakan untuk sinkronisasi kultur sel. Sel-sel yang diperlakukan dengan bahan-bahan kimia tersebut hanya akan melanjutkan siklus selnya sampai pada fase G1 dan semua sel akan terkumpul pada batas G1/S. Penghilangan inhibitor akan menyebabkan pembelahan sel-sel terjadi secara sinkron. Dengan metoda ini pembelahan sel yang sejalan dibatasi hanya sebanyak satu siklus sel. Kultur suspensi sel memungkinkan dilakukannya seleksi sel dan membuat klon dari sebuah sel dengan teknik cell plating. Sel disuspensikan di dalam medium cair dengan kerapatan dua kali lipat dari kerapatan akhir yang dibutuhkan untuk cell plating. Suspensi sel kemudian dicampur dengan medium yang mengandung agar-agar yang masih mencair (35°C) dengan perbandingan 1 : 1. Kultur Jaringan Tanaman 97 Gambar 6.3. Diagram cara pembuatan cell plating (George et al., 2008) Suspensi sel yang sudah bercampur medium yang mengandung agar, kemudian segera dituang ke dalam petridish. Petridish di segel dengan parafilm dan diinkubasi 25°C dalam kondisi gelap, koloni sel akan tumbuh dari sebutir sel pada permukaan medium agar. Untuk penghitungan efisiensi plating digunakan formula: Jumlah koloni pada akhir kultur Plating efficiency (PE) = --------------------------------------- x 100 Jumlah awal sel/plate Kultur suspensi sel dapat diinisiasi dari kalus. Tahapan pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 6.4. Pembuatan kultur suspensi sel dan sel plating dilaksanakan dengan prosedur: 1. Kalus wortel yang dibuat seperti yang dijelaskan pada bahasan Kultur Jaringan Tanaman 98 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. sebelumnya Siapkan medium cair MS dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D 1 mg.L-l di dalam Erlenmeyer 100 ml. Tiap Erlenmeyer berisi 50 ml medium cair Siapkan medium MS padat dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D mg.L-l di dalam petridish . Pilihlah kalus yang lunak dan berwarna putih cerah, timbang secara aseptis sebanyak (1-1,5) gram, masukkan kalus ke dalam Erlenmeyer yang berisi medium MS cair, tutup yang rapat dan beri label. Letakkan Erlenmeyer yang sudah berisi kalus pada penggojok (shaker), atur kecepatan 120 rpm, inkubasi dilakukan pada suhu 25oC pada kondisi gelap. Setelah 2-3 minggu akan terbentuk suspensi sel, lakukan subkultur di dalam Laminar Air Flow Cabinet, dengan menyaring suspensi sel menggunakan nilon filter porositas 80 μm, bagilah filtratnya menjadi dua bagian, biarkan selama 3050 menit, supaya sel-sel meng-endap, buanglah medium lama dengan cara menuang, tambahkan medium baru sebanyak 100 ml, kembalikan salah satu Erlenmeyer yang berisi sel-sel dengan medium baru di atas shaker. Pindahkan sisa filtrat ke dalam tabung sentrifugasi, endapkan dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit, buanglah supernatant. Resuspensikan pellet dengan 1 ml medium cair baru, taburkan di atas petridish yang telah berisi medium MS padat, ratakan dengan menggoyang petridish pelan-pelan, tutuplah petridish dan segel dengan parafilm, beri label dan tempatkan kultur di dalam inkubator 25oC pada kondisi gelap. Kultur Jaringan Tanaman 99 Gambar 6.4. Prosedur kultur suspensi sel (George and Sherrington, 1984) Kultur Jaringan Tanaman 100 6.3. Kultur Antera Pada perkembangan normal gametofit tanaman berbunga, mikrospora telah diprogram untuk berdiferensiasi menjadi serbuk sari dan menghasilkan 2 sel sperma. Di bawah kondisi yang khusus perkembangan gametofit ini dapat dihambat dan dibelokkan ke arah perkembangan sporofitik untuk menghasilkan tanaman haploid melalui jalur embriogenesis. Jalur perkembangan alternatif ini, yang menghasilkan embrio dan plantlet dengan jumlah kromosom haploid, disebut androgenesis atau embriogenesis mikrospora. Mekanisme yang ikut berperan dalam pembelokan program gametofitik ke arah perkembangan sporofitik telah menarik perhatian banyak peneliti. Embriogenesis mikrospora dapat dilakukan dengan membuat kultur antera atau dengan cara mengisolasi mikrospora dari antera dan mengkulturkannya secara in vitro. a. Embriogenesis Mikrospora Sejarah penelitian pada transformasi dari mikrospora menjadi embrioid dimulai dengan suatu penemuan yang tidak disengaja oleh Guha dan Maheshwari (1964). Peneliti ini mendapatkan bahwa jika antera dari Datura innoxia pada stadium mikrospora dikulturkan pada medium yang mengandung garamgaram mineral, casein hydrolysat, IAA dan kinetin dan diberi suplemen air kelapa, ekstrak anggur atau ekstrak plum. Setelah dikulturkan selama kira-kira enam sampai tujuh minggu struktur seperti embrio (ELS, embrio-like structure) akan muncul dari bagian antera. Pengamatan lebih lanjut membuktikan bahwa embrio tersebut berasal dari mikrospora, oleh karena itu bersifat haploid. Salah satu masalah pada kultur antera dalam menginduksi perkembangan mikrospora yang embriogenik adalah mikrospora Kultur Jaringan Tanaman 101 berada di dalam locule yang tertutup oleh dinding antera selama periode yang kritis ketika pembelahan awal pada jalur embriogenik terjadi. Hal ini menyulitkan analisis pengaruh dinding antera dan tapetum pada pembelahan embriogenik mikrospora dibandingkan dengan efek yang lebih jelas dari komponen medium kultur. Dinding antera jelas berperan sebagai penghalang aliran nutrisi dari medium kultur ke mikrospora. Dinding antera juga mengeluarkan substansi-substansi (yang belum diketahui dengan jelas) yang bersifat memacu maupun menghambat mikrospora embriogenesis (Heberle-Bors, 1989). Kultur mikrospora dapat digunakan sebagai alternatif untuk memproduksi tanaman haploid ganda jika kultur antera gagal dikerjakan. Pada Brassica napus tanaman haploid ganda tidak bisa diproduksi dengan kultur antera, jadi harus dikerjakan dengan kultur mikrospora (Takahata dan Keller, 1991). Untuk analisis perkembangan sporofitik pada mikrospora, dengan tidak adanya pengaruh dari jaringan somatik antera, kultur mikrospora mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kultur antera. Secara umum kelebihan kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur antera adalah: 1) ketergantungan pada pengaruh genotipe dapat ditiadakan; 2) kompetisi di antara mikrospora yang disebabkan karena keterbatasan ruang dan nutrisi di dalam antera (locule) dapat ditiadakan, semua mikrospora mendapat akses yang sama terhadap nutrien yang tersedia; 3) semua kemungkinan kontaminasi oleh jaringan somatik, sel-sel diploid dari antera, dapat ditiadakan, oleh karena itu semua faktor in vitro dapat langsung mempengaruhi mikro-spora; 4) perkembangan mikrospora dapat diamati secara langsung, ini penting untuk menge-tahui proses induksi dari mikrospora yang embriogenik sampai permulaan dari pembelahan sel dan perkembangan embrio selanjutnya; Kultur Jaringan Tanaman 102 5) mikrospora dapat dikulturkan sebagai organisme sel tunggal, oleh karena itu dapat diaplikasikan dengan teknik mikrobiologi; 6) karena kultur mikrospora merupakan sistim sel tunggal, seleksi pada tingkat sel lebih mudah dikerjakan selanjutnya memberikan prospek baru pada manipulasi genetik (misalnya, mutagenesis, transformasi); 7) teknik kultur mikrospora memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri dibandingkan kultur antera pada transformasi DNA dun seleksi in vitro dari transforman, dan 8) mikrospora dapat berkembang langsung menjadi embrio dan plantlet, oleh karena itu mikro-spora embriogenesis menjadi model yang bagus sekali untuk memahami proses fisiologi dan biokimia pada androgenesis. Jalur pembelokan sporofitik Asal embrioid pada mikrospora embriogenesis telah diuraikan pada berbagai varietas tanaman dengan menggunakan mikroskop elektron dan cahaya. Tiga jalur utama androgeneik dari mikrospora embriogenesis telah diuraikan oleh Sunderland et al. (1979), pembelahan embriogenik pertama dapat simetris atau asimetris. Mikrospora yang membelah secara asimmetris, disebut sebagai “A pathway” menghasilkan struktur yang tampak seperti tipe serbuk sari pada umumnya, terdiri dari sel generatif yang lebih kecil di dalam sel vegetatif yang lebih besar. Pada tanaman seperti Nicotiana tabaccum, Datura, Zea mays dan gandum sel vegetatif membelah menghasilkan prekursor embriogenik sedangkan sel generatif mengalami degenerasi. Variasi dari “A pathway” atau A1 ini terdapat pada Hyocyamus niger, sel generatif, ketika masih melekat pada dinding mikrospora sebelah dalam (intine), membelah secara berulang-ulang dan menghasilkan proembrio. Kultur Jaringan Tanaman 103 Hal ini menunjukkan bahwa sel generatif juga mampu membelah secara independen untuk menghasilkan embrioid atau sel induk kalus. Fusi antara inti sel generatif dengan inti sel vegetatif, menghasilkan prekursor embrio non-haploid, disebut “C pathway” atau A2. Mikrospora yang membelah simetris disebut “B pathway”, menghasilkan suatu struktur dengan dua sel atau inti (nuclei) yang sepadan. Meskipun kedua inti/sel yang dihasilkan tampak sangat mirip dan sepadan, pengamatan secara sitologis dan fisiologis menunjukkan bahwa mikrospora multiselular dihasilkan oleh pembelahan inti sel yang tampak mirip dengan inti sel vegetatif dari hasil pembelahan asimetris pada mikrospora. Gambar 6.5. Jalur pembelokan sporofitik (Reinold, 1997). Kultur Jaringan Tanaman 104 Albinisme Albinisme (defisiensi klorofil) adalah fenomena yang umum dijumpai di antara plantlet yang dihasilkan pada kultur antera dan mikrospora, terutama pada tanaman serealia. Albinisme merupakan salah satu faktor penghambat utama penggunaan teknik kultur mikrospora pada program pemuliaan tanaman serealia. Beberapa faktor yang mempengaruhi derajad albinisme antara lain genotipe dan kondisi fisiologis antera dari tanaman donor, stadium perkembangan mikrospora, cold pretreatment dan temperatur selama inkubasi dari kultur. Penelitian pada barley menunjukkan bahwa plantlet yang berasal dari kultur antera bervariasi dapat hijau, putih, atau kuning. Perkembangan kloroplas dihambat pada berbagai stadia. Kloroplas pada sel-sel mesofil dari plantlet yang berwarna hijau berkembang secara normal sedangkan pada mesofil sel dari tanaman yang berwama kuning, kloroplas mempunyai tylakoid yang kurang berkembang. Plastida pada plantlet albino mempunyai sedikit struktur internal. Pengamatan secara biokimiawi menunjukkan bahwa plantlet albino pada padi kehilangan produk utama gen plastid seperti 23S dan 16S rRNA (Sun et al., 1979). Berbagai usaha telah dilakukan untuk meneliti plantlet albino produk dari kultur antera dan mikrospora pada tingkatan molekuler. Sebagian terbesar penelitian difokuskan pada struktur dari plastida genom. Hasil studi menunjukkan adanya bentuk-bentuk delesi yang ekstensif dari plastida genom pada plantlet albino dari serbuk sari gandum dan barley (Day dan Ellis, 1984). Hal serupa juga dilaporkan terjadi pada padi, plantlet albino yang berasal dari kultur mikrospora mengandung delesi pada skala yang sangat besar dari plastida genom sirkuler (Harada et al., 1991). Permasalahan mendasar apakah delesi merupakan hasil dari Kultur Jaringan Tanaman 105 perkembangan mikro-spora in vivo atau kalus atau embrio yang berkembang secara in vitro belum dapat dipecahkan, penelitian mengenai hal ini telah dan sedang dilakukan oleh grup riset yang dipimpin oleh Heberle-Bors di Vienna Biocenter-Austria. Tingkatan ploidi plantlet yang berasal dari kultur mikrospora Plantlet yang berasal dari mikrospora tidak selalu mempunyai jumlah kromosom haploid. Diploid, triploid dan tetraploid sering kali dijumpai dengan frekuensi yang sangat bervariasi. Variasi genetik yang ada di antara tanaman regenerasi yang berasal dari sel-sel gamet yang dikulturkan secara in vitro dikenal sebagai variasi gametoklon, gametoclonal variation (Morrison dan Evans, 1988). Pada Datura innoxia, proporsi dari plantlet non-haploid yang berasal dari kultur antera sangat bervariasi, tergantung dari umur antera pada saat dikulturkan. Tanaman haploid terutama diperoleh dari antera yang mengandung mikrospora pada stadium awal (early stage), produksi tanaman haploid menjadi berkurang seiring dengan peningkatan jumlah plantlet non-haploid dengan tingkatan ploidi yang lebih tinggi pada antera yang mengandung mikrospora pada stadium akhir (later stage). Frekuensi plantlet non-haploid pada kultur antera dan mikrospora sangat bervariasi pada jenis tanaman yang berbeda. Pada kultur antera gandum dari beberapa genotipe, plantlet yang haploid ganda bervariasi antara 20-51% (Indrianto et al., 1999). Sementara itu, pada barley plantlet yang spontan haploid ganda mencapai 87% dan pada padi mencapai 72%. Pada jagung frekuensi plantlet yang spontan haploid ganda sangat rendah. Nitsch et al. (1986) pada penelitiannya masing-masing mendapatkan hanya 6,3% dan 4,5% saja yang spontan haploid ganda di antara populasi plantlet pada kultur antera jagung. Buktibukti dari analisis sitologi dan ultrastruktur menunjukkan bahwa timbulnya embrioid dan plantlet non-haploid adalah dari fusi inti Kultur Jaringan Tanaman 106 se1 (Indrianto, et al., 1999). Fusi dapat terjadi antara dua inti sel yang secara morfologis serupa atau antara inti generatif dan vegetatif setelah mikrospora menyelesaikan pembelahan mitosis yang pertama. Fusi antara inti sel generatif dan vegetatif telah diamati pada kultur mikrospora barley, wheat dan tembakau. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah ploidi pada plantlet terjadi pada awal dari kultur. Kemungkinan lain timbulnya plantlet non-haploid adalah endomitosis. Hal ini diperlihatkan dengan morfologi dan kenampakan dari kromosom pada waktu mikrospora membelah. Duplikasi kromosom terjadi secara normal, tetapi pergerakan kromosom terhambat karena kegagalan dalam mensintesis dan menyusun kembali aparatus mitosis, akibatnya jumlah kromosom menjadi dua kali lipat. Plantlet non-haploid juga dapat terjadi karena adanya endoreduplikasi. Endoreduplikasi melibatkan satu atau beberapa kali sintesis DNA tanpa pembelahan kromosom dan sel dan menyebabkan terjadinya poliploidi. Namun demikian bukti langsung mengenai kejadian-kejadian tersebut di atas belum dapat dikonfirmasikan dan kontrol dari endocycle pada tanaman belum diketahui dengan jelas. Agensia pengganda kromosom yang umum dipergunakan adalah colchicine. Colchicine mengganggu mitosis dengan mengikat pada tubulin protein subunit dari mikrotubul. Oleh karena itu menghambat pembentukan mikrotubul migrasi polar dari kromosom sebagai hasilnya adalah jumlah kromosom menjadi dua kali lipat di dalam sel. Pada umumnya perlakuan colchicine dilakukan dengan mencelupkan seluruh tanaman selama beberapa jam di dalam larutan encer colchicine. Perlakuan colchicine pada tanaman agak rumit dan tingkat mortalitasnya tinggi karena efek toksik dari agensia tersebut. Pada kultur antera gandum colchicine ditambahkan langsung pada medium kultur pada konsentrasi sekitar 0,2 g.L-l. Setelah 24 jam, Kultur Jaringan Tanaman 107 antera kemudian ditransfer pada medium bebas colchicine, hasilnya frekuensi tanaman yang fertil mencapai 70%. Penggandaan kromosom dengan colchicine pada mikrospora sebelum mitosis yang pertama tampaknya lebih effisien dibandingkan dengan teknik konvensional yang biasa digunakan. Di bandingkan dengan colchicine, beberapa herbisida antimikrotubul mengikat secara lebih spesifik pada tubulin tanaman. Empat herbisida antimikrotubul yaitu amiprophosmethyle, pronamide, oryzalin dan trifluralin telah dievaluasi melalui studi yang mendalam tentang kemampuannya untuk menginduksi penggandaan kromosom pada kalus haploid dari antera jagung, tetapi hanya amiprosphosmethyl dan pronamide yang secara efektif mampu menginduksi penggandaan kromosom. Herbisida ini mempunyai efek yang mirip dengan colchicine tetapi hanya memerlukan konsentrasi yang sangat kecil. Sebagai alternatif selain perlakuan konvensional dengan colchicine, gas nitrous oxide (NO2), juga telah dicobakan. Plantlet dari antera gandum diinkubasi di dalam lingkungan dengan gas NO2. Metoda ini telah terbukti sama efisiennya dengan colchicine tetapi tidak toksik. Aplikasi embriogenesis mikrospora Aplikasi embriogenesis mikrospora telah tercatat pada lebih dari 170 spesies Angiospermae yang tersebar pada 68 genera dan 28 famili. Asal embyo adalah dari sel tunggal haploid, ini berarti embrio yang muncul adalah haploid. Penggandaan kromosom yang terjadi secara spontan atau dengan agensia pengganda menyebabkan tanaman menjadi homozigot. Embrio haploid dan haploid ganda yang dihasilkan dalam jumlah besar, mempunyai nilai yang sangat berharga bagi pemulia tanaman. Pada beberapa tanaman serealia, penggandaan kromosom terjadi secara spontan, sehingga dapat langsung digunakan pada program pemuliaan tanaman. Kultur Jaringan Tanaman 108 Varietas-varietas komersil telah diproduksi pada pemuliaan dengan menggunakan tanaman haploid ganda, misalnya gandum varietas "Florin" di Perancis (Henry dan De Buyser, 1990). Keunggulan utama dari tanaman haploid ganda tampak pada cepatnya homozigositas diperoleh yang menunjukkan sampel acak dari rekombinasi gamet secara meiosis dan ekspresi dari gen-gen resesif. Untuk pengembangan varietas pada kebanyakan tanaman, tahapan kritis adalah pembentukan galur murni. Tanaman homozigot yang stabil adalah galur murni, tanaman seperti itu digunakan sebagai varietas akhir atau sebagai induk untuk memproduksi biji hibrida. Secara tradisional, para pemulia mendapat tanaman homozigot dengan cara "self-fertilization" atau "back cross", proses yang memerlukan banyak waktu (Morrison dan Evans, 1988). Effisiensi seleksi juga dapat ditingkatkan dengan produksi tanaman haploid, karena fenotipe dari tanaman tidak tertutupi oleh efek dominan, sifat resesif dan dominan sama-sama terekspresi dan karenanya lebih mudah diseleksi. Untuk penelitian dasar, embriogenesis mikrospora memungkinkan studi mekanisme biologis pada tingkatan seluler dan molekuler berkaitan dengan induksi embriogenesis atau totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan dari setiap sel tanaman untuk berkembang menjadi tanaman lengkap. Faktor kunci yang umum untuk induksi embriogenesis mikrospora adalah stres. Tanpa stres, mikrospora berkembang menjadi serbuk sari normal yang masak. Mikrospora yang diberi perlakuan stres akan berkembang menjadi embrio (Heberle-Bors, 1999). Kultur mikrospora memungkinkan suplai sel-sel embriogenik dan embrio dalam jumlah yang tak terbatas, oleh karena itu memungkinkan dilakukannya penelitian mengenai proses-proses perkembangan yang relevan dengan embriogenesis zigotik. Hal yang tidak Kultur Jaringan Tanaman 109 mungkin atau secara teknis sangat sulit untuk mendapatkan cukup bahan dari embrio zigotik, karena sulitnya mengambil embrio zigotik di dalam nucelus yang terbenam cukup dalam di dalam jaringan induknya. Mikrospora adalah sel tunggal haploid, totipoten dan tersedia dalam jumlah yang hampir tak terbatas, sehingga merupakan target ideal untuk percobaan-percobaan manipulasi genetik seperti transformasi. Ada dua metode yang berbeda untuk transfonnasi via mikrospora. Pertama, male germ line transformation (MAGELITR) adalah dengan memanfaatkan kemampuanya untuk berkembang menjadi serbuk sari yang normal pada kultur in vitro (Heberle-Bors, 1991; Touraev et al., 1997). Mikrospora diisolasi dan DNA ditransfer, mikrospora yang sudah ditransfer dengan DNA dimasakkan secara in vitro dan serbuk sari masak yang dihasilkan digunakan untuk polinasi in vivo. Metoda ini mempunyai banyak keunggulan: tidak perlu dilakukan kultur sel yang berkepanjangan karena biji transgenik langsung diperoleh dari tanaman. Karena tanaman langsung dihasilkan dari biji, vigor dan fertilitasnya dapat dijamin dibandingkan tanaman transgenik yang dihasilkan melalui regenerasi in vitro. Resiko terjadinya variasi dan transformasi chimeric juga dapat diminimalkan. Teknik ini dapat diaplikasikan pada semua tanaman jika pemasakan in vitro mikrospora sudah berhasil dicapai. Metode yang ke dua, transformasi pada mikrospora yang embriogenik selanjutnya, setelah mengalami diploidisasi. Tanaman transgenik homozigot dapat diperoleh dalam satu tahap saja, oleh karena itu dapat menghemat waktu pada program pemuliaan (Steger et al., 1995). Ada beberapa strategi yang dirancang untuk mentransfer gen ke dalam mikrospora atau serbuk sari. Transformasi dengan menginkubasi serbuk sari di dalam larutan DNA dan co-cultivasi dengan suspensi Agrobacterium (Hess, 1987), mikroinjeksi Kultur Jaringan Tanaman 110 (Neuhaus et al., 1987) dan elektroporasi (Saunders et al., 1991) merupakan teknik yang menjanjikan untuk transformasi serbuk sari. Partikel bombardment terbukti merupakan metoda paling handal untuk mengirimkan DNA ke dalam mikrospora (Steger et al., 1992). c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Embriogenesis Mikrospora Para peneliti telah membuktikan bahwa embriogenesis dan regenerasi tanaman dapat diperoleh dari kultur mikrospora. Induksi pembelahan sporofitik pada mikrospora bukanlah sebagai akibat dari isolasi organ dan penggunaan zat pengatur tumbuh semata, tetapi memerlukan praperlakuan khusus pada tanaman donor, kuncup bunga, antera atau mikrospora. Diketahui bahwa praperlakuan stres berfungsi sebagai pemicu untuk induksi perkembangan sporofitik dan menghambat perkembangan gametofit pada serbuk sari. Stres secara fisiologis dapat menginduksi pembentukan/produksi suatu set protein yang sama sekali baru, protein ini berperan penting pada metabolisme sel. Pada tembakau, karbohidrat dan nitrogen starvation yang diperlakukan pada mikrospora biselular dapat menginduksi pembentukan mikrospora yang embriogenik. Setelah dipindah pada medium sederhana yang mengandung sukrosa dan nitrogen, membelah secara berulang-ulang dan menghasilkan embrio. Heat shock treatment kurang efektif pada stadium mikrospora biselular, embriogenesis dapat diinduksi pada stadium yang lebih awal yaitu uniseluler. Kombinasi starvation dan heat shock stress dapat menginduksi embriogenesis pada hampir semua mikrospora yang hidup pada tembakau dan gandum. Mikrospora yang diisolasi pada stadium yang sama bila dikulturkan pada kondisi tanpa stres akan berkembang menjadi serbuk sari yang fertil. Pada Brassica napus, heat shock treatment pada 32°C selama 8 jam mampu menginduksi Kultur Jaringan Tanaman 111 embriogenesis sampai 40% dari mikrospora yang diisolasi dan dikulturkan pada medium sederhana tanpa zat pengatur tumbuh. Pada suhu 18°C, mikrospora melanjutkan perkembangan normal gametofitiknya dan menghasilkan serbuk sari yang masak. Faktor-faktor ekstra dan intraseluler sangat berpengaruh pada induksi mikrospora embriogenesis. Beberapa parameter penting yang harus dipertimbangkan untuk mengoptimasi efisiensi induksi adalah: kondisi fisiologis tanaman donor, stadium perkembangan mikrospora, metoda isolasi, stress pretreatment, dan medium kultur. Tanaman donor Kualitas tanaman donor sangat berpengaruh pada kultur mikrospora. Kemampuan mikrospora untuk membelah secara sporofitik dan menghasilkan regenerasi tanaman sangatlah bervariasi di dalam suatu varietas, disebabkan karena faktor lingkungan tempat tanaman donor tumbuh. Faktor lingkungan yang mempengaruhi vigor tanaman donor termasuk fotoperiodisitas, intensitas sinar, temperatur dan nutrisi. Telah diketahui bahwa mikrospora yang kompeten untuk membelah secara sporofitik, secara alami sebenarnya telah ada di dalam antera, mikrospora tersebut berbeda ukuran dan sifat pengecatannya, kultur dari antera selanjutnya memberikan lingkungan yang dapat memacu ekspresi mikrospora yang secara alami kompeten untuk membelah secara sporofitik tersebut menjadi embrio. Adanya variasi mikrospora yang berbeda dari populasi serbuk sari yang normal disebut dimorphism microspore. Kondisi yang memungkinkan pembentukan mikrospora dimorphism pada tanaman dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan tanaman donor. Dengan kata lain, tanaman donor dapat diberi perlakuan stres untuk menginduksi embrio-genesis. Pada tembakau fotoperiodik dan temperatur berperan dalam evolusi dari serbuk sari yang kompeten pada embriogenesis. Tanaman yang Kultur Jaringan Tanaman 112 ditumbuhkan pada hari pendek (8 jam periode terang) pada temperatur rendah (l8°C) menghasilkan daun-daun yang jumlahnya lebih sedikit dengan ukuran yang lebih kecil sampai periode berbunga, anteranya lebih kecil dan mengandung banyak serbuk sari yang mempunyai potensi embriogenik yang sangat besar (p-grain). Embrioid akan dihasilkan dalam jumlah sangat besar jika antera atau mikrospora yang ada di dalamnya diisolasi dan dikulturkan. Faktor lingkungan lain (edafik) yang dapat meningkatkan frekuensi embriogenik p-grain adalah nitrogen starvation. Growth substances yang diketahui dapat mengurangi fertilitas jantan, seperti auxin dan antigibberellin jika di semprotkan pada tananan dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau dan kentang. Pada gandum, penyemprotan dengan ethylene releasing agent ethrel juga meningkatkan frekuensi mikrospora yang embriogenik. Pada padi, penyemprotan ethrel meningkatkan pembentukan, tanaman haploid pada kultur antera. Gametocide juga telah digunakan untuk meningkatkan pembentukan tanaman haploid pada kultur antera. Gametocide ini sebelumnya dikembangkan untuk menghambat perkembangan gametofit jantan yaitu untuk menghambat self-pollination pada produksi biji hibrida. Jika gametocide ini disemprotkan pada gandum dapat meningkatkan produksi tanaman haploid pada kultur antera. Stadium perkembangan mikrospora Stadium perkembangan mikrospora di dalam antera pada saat dikulturkan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menginduksi pembelahan sporofitik. Stadium ini bervariasi pada setiap jenis tanaman, biasanya di antara haploid mitosis yang pertama (late unicelular atau early bicellular) diketahui merupakan stadium yang sangat kritis untuk induksi androgenesis. Sunderland dan Wick (1971) menunjukkan bahwa pada tembakau, Kultur Jaringan Tanaman 113 antera dapat dikulturkan pada stadium perkembangan apa saja mulai dari tetrad sampai late bisellular microspore, tetapi jumlah embrioid terbanyak diperoleh jika digunakan antera yang mengandung mikrospora yang telah menyelesaikan mitosis yang pertama. Pada Brassica napus atau rapeseed, stadium late unicellular atau early bicellular adalah yang paling kompeten untuk pembentukan tanaman, sedangkan pada barley stadium midlate sampai late unicellular adalah yang optimal. Pada gandum dan padi stadium late unicelular sampai premitosis adalah yang optimal untuk percobaan-percobaan kultur mikrospora. Gambar 6.6. Fase-fase perkembangan bunga pada tanaman tembakau yang khas untuk menentukan tahap perkembangan mikrospora yang sesuai bagi pelaksanaan kultur antera atau kultur mikrospora (Touraev et al., 1977). Dengan kemajuan teknologi kultur mikrospora, batasan stadium perkembangan mikrospora menjadi kurang penting. Percobaan-percobaan yang dilakukan Touraev et al. (1977) menunjukkan bahwa pada kultur mikrospora tembakau yang populasinya terdiri dari mikrospora yang stadiumnya sangat heterogen, mulai dari mikrospora yang unicellular sampai early Kultur Jaringan Tanaman 114 bicellular dapat diinduksi menjadi embriogenik. Binarova et al., (1997) menunjukkan bahwa pada Brassica napus stadium late bicellular mikrospora juga dapat diinduksi menjadi embriogenik. Membahas stadium perkembangan mikrospora tidak dapat lepas dari siklus hidup sel. Dediferensiasi sel tanaman dapat didefinisikan sebagai reinisiasi dari pembelahan sel. Perkembangan normal mikrospora dicirikan dengan peristiwaperistiwa siklus se1 yang dikendalikan secara ketat. Setelah pembelahan asimetris yang pertama dari mikrospora, sel generatif dengan cepat mengalami replikasi DNA dan tertahan pada fase G2 dari siklus sel. Sementara itu sel vegetatif tertahan pada fase G1 dari siklus sel (Zarsky et al., 1992). Tergantung dari jenis tanaman, sel generatif membelah lagi, baik selama perkembangan mikrospora (pada kebanyakan rumput-rumputan) atau setelah berkecambah di dalam buluh kecambah (pada tembakau). Kemampuan mikrospora atau mikrospora bicellular untuk masuk siklus sel yang baru selama stress pretreatment atau setelah dibebaskan dari stres merupakan salah satu aspek yang sangat penting di dalam mikrospora embriogenesis. Mikrospora pada tembakau yang diisolasi pada fase G1 mengalami replikasi DNA selama induksi stress (starvation dan heat shock) treatment, kemudian berhenti dan tertahan pada fase G2. Hanya setelah dibebaskan dari stres (dipindah ke medium yang diperkaya pada temperatur kamar), siklus sel dapat dilanjutkan, yaitu mitosis. Mikrospora yang diisolasi pada fase G2 mengalami mitois selama stress pretreatment. Sel generatif langsung masuk siklus sel baru kemudian berhenti dan tertahan pada fase G2, sedangkan sel vegetatif tidak masuk replikasi DNA (Touraev et al., 1997). Penelitian yang dilakukan Zarsky et al. (1992) pada mikrospora tembakau yang bicellular menunjukkan, sel vegetatif mengalami replikasi DNA selama stress pretreatment (nitrogen/ carbohydrate starvation) dan tertahan lagi pada fase G2. Sel Kultur Jaringan Tanaman 115 generatif tidak terpengaruh oleh stress pretreatment dan tetap tertahan pada fase G2 setelah dipindah ke medium yang diperkaya, atau dengan kata lain sel generatif tidak memberikan kontribusi pada pembentukan embrio pada tembakau. Stress pretreatment Agar program genetik pada mikrospora dapat diubah dari perkembangan gametofitik ke arah perkembangan sporofitik, diperlukan suatu sinyal. Sinyal ini dapat diberikan dengan berbagai cara melalui stres pada mikrospora. Berbagai stress pretreatment terbukti telah berhasil menginduksi mikrospora menjadi embriogenik dengan frekuensi yang cukup tinggi, antara lain: cold shock pada jagung, gandum, barley, padi dan masih banyak spesies yang lain; heat shock pada Brassica, gandum dan tembakau; carbohydrate dan nitrogen starvation pada tembakau, gandum, padi dan barley, dan colchicine pretreatment pada Brassica. Beberapa stres yang lain seperti ethanol dan irradiasi sinar gamma pada Brassica, -stres air, kondisi aerobik, dan atmosfer jenuh air pada tembakau, tidak dapat diaplikasikan secara meluas. Stress pretreatment ini dapat diaplikasikan pada tanaman donor, kuncup bunga atau spike, antera atau secara langsung pada mikrospora yang sudah diisolasi. Peranan dari trauma fisik atau termal atau kemis dalam memicu androgenesis masih menjadi spekulasi dan belum diketahui secara pasti. Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan peranan cytoskeleton pada pengaturan posisi inti sel yang mendahului terjadinya pembelahan mitosis yang pertama, dan keterlibatannya pada embriogenesis mikrospora. Zhao et al. (1996) menguji pengaruh colchicine pada antera dan embriogenesis mikrospora pada Brassica napus. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa agensia anti mikrotubul ini dapat meningkatkan frekuensi induksi embriogenesis pada kultur antera Kultur Jaringan Tanaman 116 dan mikrospora dengan meningkatkan jumlah sel-sel yang membelah simetris. Mereka menyimpulkan bahwa colchicine bekerja dengan cara menghambat penyusunan mikrotubul, mikrospora yang diperlakukan dengan colchicine, sebelum pembelahan mitosis yang pertama, akan menekan penyusunan mikrotubul yang diperlukan untuk menempatkan inti sel pada posisinya diperiferi untuk membelah secara asimetris. Penelitian yang terbaru dari Zhao (1996) menunjukkan bahwa colchicine sendiri dapat memicu embriogenesis mikrospora pada Brassica napus yang dikulturkan pada temperatur noninduktif (mikrospora pada Brassica dapat diinduksi menjadi embriogenik, dengan meng-kulturkan pada temperatur 33°C) menunjukkan bahwa stimulus heat shock mungkin beraksi pada tingkatan cytoskeleton yang menyebabkan mikrospora masuk ke jalur embriogenik. Cordewener et al. (994) menyatakan bahwa sintesis tubulin isoform tidak berubah selama induksi embriogenik dibandingkan dengan kondisi non-embriogenik pada mikrospora Brassica napus. Penelitian ini mendukung dugaan bahwa stimulus shock lingkungan untuk embriogenesis berperan secara langsung dengan adanya komponen dari cytoskeleton pada stadium awal embriogenesis. Juga dengan menggunakan kultur mirospora Brassica napus, penelitian yang dilakukan Simmond (1994) menunjukkan bahwa bersamaan dengan pergerakan inti sel pada posisi di tengah dari mikrospora, perubahan struktur pertama yang menunjukkan reprogram-ming seluler untuk masuk ke jalur sporofitik adalah adanya preprophase band (PPB) dari mikrotubul. Selama ontogeni perkembangan mikrospora yang normal, PPB tidak berpartisipasi pada pembelahan mitosis yang pertama dari mikrospora Brassica. Penelitian ini menegaskan bahwa cytoskeleton berperan penting pada stadium awal embriogenesis pada mikrospora Brassica. Pada sel somatik, pembentukan phragmosome merupakan Kultur Jaringan Tanaman 117 fenomena yang tampak pertama kali bila sel-sel dikulturkan pada kondisi yang memungkinkan sel-sel mengalami reinisiasi untuk membelah. Phragmosome merupakan suatu lapisan sitoplasma padat yang menyelimuti inti sel yang bergerak pada posisi di tengah-tengah sel dan dipertahankan pada posisi tersebut dengan mikrotubul yang memancar secara radial dari inti sel. Pembentukan phragmosome diikuti dengan pembelahan sel dengan arah yang ditentukan oleh PPB yang terletak pada sisi dengan phragmosome menyentuh dinding sel. Medium kultur Medium untuk kultur antera dan mikrospora bukan merupakan fakror yang kritis pada induksi embriogenesis. Mikrospora dari beberapa spesies tanaman dapat diinduksi menjadi embriogenik dengan mengkulturkan pada medium sederhana yang hanya terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, besi, vitamin, myo-inositol dan gula. Penelitian rutin yang dilakukan di beberapa laboratorium bahkan menggunakan medium yang sama untuk kultur mikrospora tembakau dan padi-padian. Namun demikian komposisi medium masih dipandang penting, berbagai usaha telah dilakukan untuk mengoptimasi komposisi medium untuk kultur antera dan mikrospora. Telah diketahui bahwa komposisi nitrogen pada medium kultur berperan sangat penting pada androgenesis. Peningkatan jumlah plantlet pada kultur antera barley diperoleh dengan mengurangi konsentrasi ammonium nitrat pada medium dan menggunakan glutamin sebagai sumber nitrogen non-toxic. Penelitian yang sangat intensif mengenai kebutuhan nitrogen menunjukkan bahwa inisiasi pembelahan, proliferasi lebih lanjut, dan regenerasi menjadi plantlet pada kultur mikrospora barley merupakan peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri yang mungkin dapat dimanipulasi dengan nitrogen. Kultur Jaringan Tanaman 118 Sumber karbohidrat yang berbeda juga telah dicoba, sukrosa tidak umum digunakan untuk antera kultur barley, kentang dan gandum, sebagai gantinya digunakan maltosa. Perbedaan metabolisme sukrosa dan maltasa pada kultur mikrospora barley menjadi alasan utama keunggulan dari maltosa dibandingkan dengan sukrosa. Telah diketahui bahwa maltosa dimetabolisasikan lebih lamban. Sukrosa yang dimetabolisasikan lebih cepat, menyebabkan terakumulasinya sejumlah ethanol yang berakibat toksik di dalam mikrospora. Tekanan osmotik pada media juga diketahui merupakan parameter yang penting. Pada tekanan osmotik yang tinggi, peningkatan jumlah plantlet hijau bersamaan dengan penurunan jumlah plantlet albino telah diamati pada kultur mikrospora barley. Penambahan Fikoll pada medium kultur juga diketahui dapat meningkatkan persentase plantlet hijau pada kultur antera gandum. Penggunaan Polyethyleneglycol (PEG)-400, yang tidak dapat dimetabolisasikan, sebagai osmotikum pada medium kultur juga diketahui dapat menginduksi peningkatan jumlah embrio pada kultur mikrospora Brassica napus. Diketahui bahwa zat pengatur tumbuh bukan merupakan komponen yang esensil pada medium untuk menginduksi embriogenesis. Pada kultur mikrospora beberapa jenis tanaman, misalnya barley, jagung, gandum dan tembakau, digunakan medium tanpa hormon. Condi-tioning pada medium kultur dengan ovary terbukti sangat bermanfaat untuk kultur mikrospora. Manfaat penggunaan ovary-conditioned medium pada kultur mikrospora telah dilaporkan pada barley dan gandum. Pada kultur mikrospora gandum, co-culture dengan ovary dari barley atau gandum menyebabkan lingkungan menjadi cocok untuk pembentukan embrio dan regenerasi plantlet yang fertil. Koehler dan Wenzel, (1985) menyatakan bahwa pada gandum, coKultur Jaringan Tanaman 119 culture dengan ovary mengakibatkan medium menjadi terkondisi dengan substansi-substansi yang dipro-duksi oleh ovary, misalnya auxin-like hormon yang memacu embriogenesis. Kombinasi zat pengatur tumbuh dengan bahan-bahan tambahan seperti air kelapa, ekstrak yeast, atau ekstrak kentang diketahui dapat memacu induksi pembentukan embrio dan plantlet dari mikrospora. 6.4. Kultur Protoplas Salah satu karakteristik sel tumbuhan adalah terdapatnya dinding sel yang tebal dan kaku mengelilingi dan melindungi membran plasma serta bagian dalam dari sel. Sebagai pendukung mekanik dari jaringan tanaman, dinding sel sangat komplek dan sangat tinggi diferensiasinya. Pada sel-sel tertentu dinding sel primer, sekunder dan tertier terkumpul secara berlapis-lapis selama pertumbuhan. Protoplas adalah sel hidup yang telah dihilangkan dinding selnya sehingga sebagai satu satunya pembatas antara faktor lingkungan luar dengan bagian dalam dari sel hidup hanya berupa membran plasma saja. Protoplas sudah berhasil diisolasi dari banyak spesies tumbuhan, ketiadaan dinding sel sebagai barier mekanik memungkinkan dilakukannya peleburan protoplas yang diperoleh dari sel-sel somatik dari jenis tanaman yang berbeda. Sebagai hasil dari hibridisasi somatik, dimungkinkan terjadinya kombinasi genetik baru. Protoplas pada dasarnya adalah sel hidup dikurangi dinding selnya atau sering disebut sebagai sel telanjang dan sebagai satusatunya pembatas adalah membran plasma. Sel yang sudah kehilangan dinding selnya akan menghadapi perubahan tekanan osmotik yang sangat drastis dan berbeda dengan lingkungannya semula. Tekanan osmotik yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat merusakkan viabilitas protoplas, namun pada lingkungan Kultur Jaringan Tanaman 120 dengan tekanan osmotik yang cocok dapat memelihara kestabilan protoplas lebih lama. Dinding sel yang harus dihilangkan pada isolasi protoplas terdiri dari suatu senyawa yang komplek. Struktur utamanya berupa selulosa dan hemiselulosa dengan substansi pektat sebagai bahan pengikat antar sel tanaman. Penghilangan dinding sel dapat dilakukan secara mekanik atau enzimatik, sedangkan eksplan yang dapat digunakan untuk isolasi protoplas adalah semua bagian tanaman yang masih muda. Isolasi Protoplas Karakteristik sel tumbuhan adalah adanya dinding sel yang tebal dan kaku mengelilingi dan melindungi membran plasma serta bagian dalam dari sel hidup. Apabila sel telah kehilangan dinding selnya, maka satu-satunya pembatas antara lingkungan luar dengan bagian dalam dari sel yang hidup adalah membran plasma atau plasmalemma. Membran plasma adalah suatu selaput yang terdiri dari protein, lemak dan oligosakharida. Oligosakharida yang mengikat lemak disebut glikolipid, dan yang mengikat protein disebut glikoprotein. Glikolipid dan glikoprotein membentuk suatu lapisan yang disebut glikokalik. Sebagai pendukung mekanik dari jaringan tanaman, dinding sel sangat komplek dan sangat tinggi diferensiasinya. Proses pembentukan dinding sel dimulai pada saat sel membelah, terjadi dinding yang pertama yaitu dinding primitif yang tersusun atas pektin atau protopektin, disebut lamella tengah. Kemudian diikuti dengan penebalan primer yaitu pelapisan selulosa mikrofibril (secara aposisi). Penebalan sekunder juga dikerjakan dengan cara aposisi tetapi zatnya adalah lignin. Penebalan dinding sel dapat terjadi dengan cara: penebalan primer secara aposisi dengan zat selulose, kemudian penebalan sekunder dengan lignin disisipkan di antara serabut selulose (intussuscepsi), dan penebalan tersier secara aposisi lagi dengan zat lignin. Kultur Jaringan Tanaman 121 Permasalahan yang dijumpai pada isolasi protoplas adalah sebagai berikut. Penghilangan dinding sel, dinding sel yang harus dihilangkan pada isolasi protoplas umumnya terdiri dari suatu senyawa yang komplek. Penghilangan dinding sel harus diikuti dengan terbebasnya protoplas dalam jumlah yang cukup banyak. Protoplas yang sudah tidak berdinding akan menghadapi perubahan tekanan osmosa yang sangat drastis dan berbeda dengan lingkungannya semula, sehingga di dalam medium untuk isolasi maupun budidaya harus ditambahkan zat anti blasting untuk mencegah pecahnya protoplas. Biasanya digunakan sorbitol atau mannitol (0,5-0,7 M). Protoplas sebagai sel telanjang harus tetap mampu mengadakan reproduksi, dan pada waktunya harus dapat membentuk dinding selnya kembali apabila dibudidayakan pada medium yang sesuai. Untuk mendapatkan protoplas yang maksimal, diperlukan bahan tanam atau eksplan yang cocok. Protoplas dapat diisolasi dengan cara mekanik atau ensimatik. Cara mekanik dikerjakan dengan memotong eksplan di dalam larutan plasmolitikum. Protoplas akan mengkerut, sehingga dapat ditekan keluar dari dinding sel. Deplasmolisis selanjutnya akan menyebabkan terlepasnya protoplas dari sel-sel. Kelemahan penggunaan teknik ini adalah relatif sukar, jumlah protoplas yang dihasilkan tidak banyak, keefektifannya dibatasi hanya pada sel-sel yang dapat diplasmolisa seperti jaringan penyimpan dan tidak dapat digunakan pada jaringan meristem karena dinding selnya masih sangat erat berhubungan dengan protoplas. Kelebihannya dapat meniadakan efek dari aktifitas ensim yang kadang-kadang merusak atau mengganggu metabolisme yang sangat komplek di dalam protoplas. Sejak ditemukan o1eh Cocking pada tahun 1960, isolasi protoplas secara enzimatik hampir selalu digunakan untuk setiap Kultur Jaringan Tanaman 122 jenis tanaman sampai sekarang. Dengan teknik tersebut dapat dihasilkan populasi protoplas dengan jumlah kerapatan yang tinggi (2,5 x l06 protoplas gram-1 jaringan daun). Larutan enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas komposisinya bermacammacam. Untuk melisiskan dinding sel dengan baik dapat dilakukan dengan meng-gunakan kombinasi dua macarn enzim yaitu Cellulase dan Pectinase secara simultan. Pektinase akan melonggarkan ikatan antara sel yang satu dengan sel yang lain atau melepaskan sel, sedangkan Cellulase akan menghancurkan dinding selulosa sehingga sel menjadi telanjang. Tabel 6.1. Enzim yang umum digunakan untuk isolasi protoplas Cellulase Pectinase Hamicellulase Cellulase Onozuka R-10 Cellulysin Driselase Meicelase Pectinase Pectyolase Y-23 MaceraseMacerocym R-10 Pectinol Rhozyme HP150 Hamiselulase Enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas harus dilarutkan di dalam larutan plasmolitikum. Untuk memperoleh protoplas yang masih berkemampuan hidup dianjurkan untuk menggunakan konsentrasi enzim minimal. Konsentrasi dapat bervariasi antara 0,25-5%, tergantung pada beberapa faktor yaitu macam enzim, sumber protoplas, temperatur dan lamanya inkubasi. Beberapa peneliti telah menggunakan kombinasi ensim; Larkin (1976) menggunakan Cellulase Onozuka P1500 3% dan Macerozym 0,25% untuk mengisolasi protoplas daun Nicotiana Kultur Jaringan Tanaman 123 dan perhiasan bunga Petunia. Hahne et a1. (1982) menggunakan larutan enzim yang terdiri dari Cellulase (Roem, Darmstadt) 1%, Pectinase (PATE, Hoeschst) 0,1%, Macerozyme Rl0 0,1% dan mannitol 0,4 M pada pH 5,8. Ensim Cellulase yang sering digunakan ialah Driselase, Sellulisin dan Cellulase Onozuka R-10. Sedangkan enzim lain yang sering digunakan bersama Cellulase ialah Hemisellulase (Rhozyme HP 150) dan Pectinase (Macerase, Macerozyme, Pectiol AC, Pectolyase Y-23, Pectinase, Pectic Acid asetic Transferase). Enzim-enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas merupakan produk dari beberapa jenis mikroorganisme (terutama sejenis jamur). Enzim-enzirn tersebut umumnya diperdagangkan dengan tingkat kemurnian yang berbeda-beda, hal ini menunjukkan masih adanya komponenkomponen lain di dalamnya misalnya, sellulase mungkin di dalamnya juga terdapat hemisellulase. Ketersediaan enzim yang tidak murni sebenarnya juga menguntungkan karena dapat menghidrolisis komponen dinding sel yang bukan merupakan substrat dari enzim utama. Enzim Cellulase Onozuka R-10 misalnya, diketahui mengandung hemisellulase, enzim ini memang paling sering digunakan untuk isolasi protoplas dari berbagai jenis tanaman. Sterilisasi enzim dilakukan dengan menggunakan filter yang porositasnya 0,22-0,24 μm, karena enzim bersifat termolabil. Filter diletakkan pada ujung alat injeksi, larutan enzim dilewatkan pada filter tersebut, sehingga larutan yang keluar adalah larutan enzim steril. Sel yang sudah kehilangan dinding selnya akan menghadapi perubahan tekanan osmosa yang sangat drastis dan berbeda dengan lingkungannya semula. Tekanan osmotik yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat merusakkan viabilitas protoplas, namun di dalam lingkungan dengan tekanan osmotik yang cocok dapat memelihara kestabilan protoplas lebih lama. Oleh karena itu protoplas membutuhkan proteksi osmotik di dalam Kultur Jaringan Tanaman 124 medium sampai dinding sel terbentuk, osmotikum dibutuhkan mulai dari isolasi sampai kultur. Di dalam medium kultur biasanya digunakan osmotikum Mannitol atau Sorbitol (0,5-0,7 M), osmotikum lain yang juga sering digunakan adalah glukosa dan sukrosa. Protoplas yang sudah dikulturkan secara perlahan mulai meregenerasikan dinding selnya, sintesis dinding sel baru umumnya berlangsung beberapa jam setelah protoplas dikulturkan dan akan terus berlangsung selama 2-3 minggu. Pada saat ini, tekanan osmotik medium perlahan-lahan harus diubah (diturunkan) dengan jalan meneteskan medium tanpa mannitol atau sorbitol. Bila tekanan osmotik medium tidak diubah, tekanan osmotik yang tinggi dapat menghambat pembelahan sel. Strategi yang digunakan untuk mengurangi osmotikum secara gradual adalah dengan mencampur osmotikum mannitol dan sukrosa di dalam medium kultur. Sukrosa akan dengan cepat dimetabolisasikan oleh protoplas sehingga dapat mengurangi osmolaritas dari medium kultur. Sebagai eksplan yang digunakan untuk isolasi protoplas sebaiknya dipakai jaringan atau organ yang sel-selnya masih muda. Sel-sel yang masih muda atau meristem diperkirakan dinding selnya baru sampai penebalan primer dari zat pektin dan selulosa, sehingga relatif lebih mudah untuk dihancurkan. Eksplan yang demikian berasal dari jaringan parenkim primer, daun atau organ tanaman yang lain, kalus dari hasil budidaya jaringan dan kultur suspensi sel. Mesofil daun adalah yang paling banyak digunakan, sel-sel mesofil daun mem-punyai keistimewaan, yaitu mengandung kloroplas atau plastida sehingga mudah diidentifikasi, letak sel yang baru dengan sel yang lain relatif renggang (Gambar 6.1) sehingga memudahkan penetrasi larutan enzim. Kultur Jaringan Tanaman 125 Gambar 6.7. Struktur anatomi daun, jaringan mesofil terdiri dari palisade parenkim dan spon parenkhim (George et al., 2008). Protoplas yang berasal dari mesofil daun akan berwarna hijau, sedangkan yang berasal dari kalus atau kultur suspensi sel hasil budidaya jaringan akan berwarna putih jernih. Hal ini sangat penting untuk pemilihan pasangan fusi. Inkubasi eksplan dalam larutan enzim biasanya bervariasi antara 2-24 jam tergantung dari konsentrasi larutan enzim, macam bahan dan jenis tanaman yang digunakan. Untuk bahan daun biasanya di inkubasi semalam atau 12-18 jam dalam larutan enzim, diletakkan di atas penggojok berkecepatan rendah, kondisi gelap, pada suhu 28°C. Kultur Jaringan Tanaman 126 Gambar 6.8. Prosedur isolasi protoplas secara enzimatik dengan eksplan daun (George and Sherrington, 1984). Setelah waktu inkubasi selesai, suspensi protoplas harus dipisahkan dari larutan enzim. Masih terdapatnya sisa-sisa larutan enzim dapat menghambat pembentukan sel kembali. Oleh karena itu harus dilakukan prosedur pemurnian protoplas atau purifikasi. Purifikasi dilakukan dengan penyaringan, centrifugasi dan pencucian. Untuk mendapatkan protoplas intak dapat diberi perlakuan gradient sukrosa. Sukrosa dengan berat molekul tertentu akan dapat mengendapkan debris yang berupa sisa-sisa jaringan epidermal, jaringan pengangkut. Protoplas yang rusak dan agregat sel, sedangkan protoplas yang viabel akan tetap mengapung dipermukaan larutan. Kultur Jaringan Tanaman 127 Metode lain yang hampir sama dengan prinsip di atas adalah dengan menggunakan larutan ficoll (polisukrosa). Hasil protoplas intak yang diperoleh dapat bermacam-macam tergantung dari sumber eksplannya. bila dilihat dengan mikroskop akan tampak berbetuk bulat. Pada umumnya ditemukan adanya vacuolated protoplast, protoplas dengan kloroplas yang tersebar di sekitar membran plasma bagian dalam, protoplas dengan kloroplas menggerombol dekat membran plasma secara monopolar, protoplas yang mengandung zat warna antosianin dan protoplas yang tidak berwarna. Protoplas lengkap yang diperoleh setelah prosedur purifikasi dapat dibudidayakan atau diinduksi ke arah fusi untuk itu protoplas-protoplas harus berada dalam kondisi yang cukup densitas maupun viabilitasnya. Biasanya dalam kisaran jumlah tertentu untuk masing-masing tanaman. Apabila kurang atau lebih dari kisaran tertentu protoplas akan sukar tumbuh dan berkembang. Protoplas tembakau optimum pada kerapatan sekitar 105 protoplas ml-1 atau 1-5 x l06 protoplas g-1 jaringan daun. Protoplas Petunia optimum pada konsentrasi sekitar 2,5 x 106 protoplas ml-1. Konsentrasi protoplas dapat dideterminasi dengan menggunakan Haemositometer modifikasi Fuchs-Rosenthal dengan kedalaman 0,2 mm atau dengan manipulasi yang sama seperti penghitungan populasi mikroorganisme dalam mikrobiologi. Viabilitas protoplas dapat diuji dengan pengecatan menggunakan cat Fluorescein, yaitu FDA (Fluoresceindiacetat), Calcofluor White (untuk regenerasi dinding sel) atau pewarnaan ganda FDA dengan PI (Propidium Iodide). Dua cat fluorescein yang disebut pertama, hanya dapat mewarnai protoplas yang viabel, karena cat hanya dapat terkumpul pada plasmalemma protoplas yang masih hidup, dapat dideteksi dengan mikroskop fluoresensi. PI dapat mewarnai sel-sel mati, dengan pewarnaan ganda protoplas yang hidup maupun yang mati dapat dideteksi. Kultur Jaringan Tanaman 128 Dodds dan Roberts (1983) menggunakan Evan's Blue 0,1% untuk menguji viabilitas protoplas. Protoplas yang viabel akan mampu menolak masuknya zat warna biologis tersebut. Impermeabilitas sel untuk cat ini dapat digunakan sebagai indikator viabilitas protoplas Protoplas sudah berhasil diisolasi dari banyak spesies tumbuhan, ketiadaan dinding sel sebagai barier mekanik memungkinkan protoplas dipergunakan untuk berbagai keperluan: (1) dilakukannya peleburan protoplas yang diperoleh dari sel-sel somatik dari jenis tanaman yang berbeda, sebagai hasil dari hibridisasi somatik, dimungkinkan terjadinya kombinasi genetik baru; (2) studi introduksi DNA asing, organel, partikel bakteri atau virus, dan (3) mendapatkan tanaman dengan sifat yang lebih baik melalui variasi somaklon. Kultur protoplas dapat dilaksanakan derigan berbagai cara misalnya dengan meneteskan suspensi protoplas pada dasar petridish, atau dengan cara meneteskan pada dasar petridish kemudian membaliknya (hanging drop culture). Protoplas juga dapat dikulturkan dengan meneteskan suspensi protoplas di atas medium padat sehingga membentuk lapisan tipis, atau dengan meresuspensikan pada medium agar yang masih cair kemudian dituangkan pada petridish sehingga membentuk lapisan tipis protoplas yang terjerat di dalam matrik agar, cara ini mirip dengan plating sel pada kultur suspensi sel. Medium yang digunakan untuk kultur protoplas dapat menggunakan medium MS atau B5, di dalam medium kultur harus mengandung osmotikum sorbitol atau mannitol yang diperlukan sampai dinding sel terbentuk. Perkembangan protoplas dapat diamati secara langsung di bawah mikroskop inverted, dalam waktu 2-3 minggu protoplas Kultur Jaringan Tanaman 129 yang viabel telah dapat meregenerasikan dinding selnya secara penuh. Pada saat ini, tekanan osmotik medium perlahan-lahan diubah dengan meneteskan medium tanpa mannitol atau sorbitol. Bila tekanan osmotik medium tidak diubah dapat menghambat pembelahan sel. Indikator terbaik untuk melihat perkembangan protoplas adalah dengan pengecatan Calcofluor White (CW), cat ini spesifik mengikat 1-3 glucan pada dinding sel. Protoplas yang dicat dengan CW dapat divisualisasikan dengan mikroskop fluorescent. Tatalaksana isolasi dan kultur protoplas dikerjakan sebagai berikut: Persiapan larutan-larutan: I. Larutan Enzim (LM) 1,2 % w/v Cellulase Onozuka R-10; 0,4 % w/v Macerozyme R10; 13 % w/v Mannitol; dilarutkan dalarn larutan CPW pH 5,8 Sterilisasi dengan millipore filter. II. Larutan Pencuci (LP) 13 % w/v Mannitol; dilarutkan dalam larutan CPW pH 5,8; Sterilisasi dengan autoclave. III. Larutan Sukrosa (LS) 0,6 M sucrose; dilarutkan dalam larutan CPW Sterilisasi dengan autoclave. IV. Larutan CPW 27,2 mg.L-1 ; KNO3 KH2PO4 -1 CaCl2.2H2O 1.480 mg.L ; MgSO4.7H2O -1 KJ 0,16 mg.L ; CuSO4.5H2O pH 5,8; Sterilisasi dengan autoclave. pH 5,8; 101 mg.L-1 246 mg.L-1 0,025 mg.L-1 Stok KJ : 0,6 mg.L-1 dibuat l00x = 200/2 x 0,16 = 16 mg/20ml Untuk membuat 1 liter medium CPW dibutuhkan 2 ml stok KJ Stok CuSO4.5H2O = 0.025 mg.L-1 dibuat 1000x = 500/0,5 x 0,025 = 25 mg/500 ml Kultur Jaringan Tanaman 130 Untuk membuat 1 liter medium CPW dibutuhkan 0,5 ml Stok CuSO4.5H2O V. Medium Kultur (MSP) Medium dasar MS dengan sukrosa 20 g.L-1 dan mannitol 50g.L-1, 2,4-D 1 mg.L-1, dipadatkan dengan 0.6 % Sea Plaque Agarose. Medium MSP cair tanpa agarose. Sterilisasi dengan autoclave. Tata Laksana I. Alat-alat yang dibutuhkan: 1. Centrifuge dengan tabung centrifugasi steril 2. Skalpel, pinset steril 3. Nylon filter 60 µm, corong steril 4. Petridish steril 5. Aquadest steril 6. Objek glas cekung 7. Pipet Pasteur 8. Erlenmeyer 50 ml 9. Millipore filter + alat suntik (syrink) 10. Aluminum foil, parafilm 11. Rak tabung reaksi 12. Mikroskop 13. Kertas tissue 14. Laminar Air Flow Cabinet 15. Autoclave 16. Timbangan analitik 17. Mikroskop 18. Haemocytometer 19. Shaker Kultur Jaringan Tanaman 131 II. Larutan yang dipersiapkan: 1. Larutan Enzim (LM) 50 ml 2. Larutan Pencuci (LP) l00 ml 3. Larutan Sukrosa (LS) 50 ml 4. Medium MSP padat dan cair, masing-masing l00 ml. III. Eksplan Digunakan eksplan daun dari tanaman anggrek bulan atau plantlet tembakau in vitro, atau tanaman lain hasil kultur jaringan in vitro yang tidak terkontaminasi (steril). IV. Cara kerja 1. Penghilangan dinding sel Ambil 5 helai daun anggrek masing-masing dengan panjang ±3 cm, dengan menggunakan scalpel tajam daun diiris-iris ±1 mm, irisan segera dimasukkan dalam Erlenmeyer 50 ml yang berisi larutan enzim sebanyak 25 ml, letakkan di atas shaker (penggojok) 20 rpm dalam gelap selama 24 jam. Perlakuan lain bisa juga tanpa penggojokan dengan variasi waktu yang berbedabeda dan diinkubasikan dengan pencahayaan 1000 lux. 2. Pencuciun protoplas Erlenmeyer yang berisi suspensi protoplas digoyang pelanpelan supaya protoplas terlepas dari ikatan jaringan dan suspensi menjadi homogen, kemudian disaring dengan nilon filter, protoplas yang sudah disaring ditampung dalam tabung sentrifugasi. Suspensi protoplas kemudian disentrifugasi 500 rpm selama 10 menit, protoplas akan mengendap. Dengan menggunakan pipet Pasteur, supernatant (larutan bagian atas) dibuang. Masukkan larutan pencuci secara perlahan, caranya dengan menggunakan pipet, larutan pencuci diteteskan melalui dinding tabung, resuspensikan dengan hati-hati sampai homogen. Suspensi Kultur Jaringan Tanaman 132 protoplas kemudian disentrifugasi 500 rpm selama 5 menit, protoplas akan mengendap, dengan pipet Pasteur supernatant dibuang. Masukan 1 ml larutan pencuci, resuspensikan dengan hati-hati sampai suspensi protoplas homogen. 3. Pemurnian protoplas Dengan menggunakan pipet Pasteur, masukkan 3 ml larutan sukrosa dengan cara memasukkan ujung pipet sampai ke dasar tabung, kemudian dengan hati-hati larutan sukrosa di-keluarkan. Suspensi protoplas akan mengapung di atas permukaan. Lakukan sentrifugasi 500 rpm selama 10 menit, protoplas akan terpisah dari debris. Protoplas murni ada di lapisan atas sedangkan debris ada di dasar tabung. Dengan menggunakan pipet, ambillah suspensi protoplas murni yang ada di permukaan, masukkan ke dalam tabung sentrifugasi baru, tambahkan 1 ml medium MSP cair, hitung kerapatan protoplas dengan haemocytometer, atur supaya kerapatan protoplas 1 x 105 protoplas.ml-1 dengan menambahkan medium kultur. 4. Kultur protoplas Ambil protoplas dengan pipet mikro 100 μL teteskan 3-4 tetes ke dalam petridish berdiameter 3 cm, simpan di dalam petridish berdiameter 5 cm yang berisi potongan kertas saring basah kemudian disegel dengan parafilm, simpan di dalam inkubator pada kondisi gelap dengan suhu 25oC. Amati perkembangan protoplas setelah 2-3 hari dengan mikroskop inverted. Kultur Jaringan Tanaman 133 DAFTAR PUSTAKA Binarova, P., Hause, G., Cenklova, V., Cordewener, I.H.G., dan Van Lookern Campagne, M. M., 1997. A short severe heat shock is required to induce embriogenesis in late bicellular pollen of Brassica napus. Sex. Plant Reprod., 10: 200208. Biondi, S. dan T.A., Thorpe, 1981. Requirements for a tissue culture facility. Dalam: Plant Tissue Culture methods and Applications in Agriculture, Thorpe, T.A. (ed), Academic Press San Fransisco. pp: 1-20. Bhojwani, S.S., dan M.K. Razdan, 1983. Plant tissue culture. Theory and Practice. Elsevier Science publ. Co. Amsterdam. Constabel, F., 1984. Isolation and culture of plant protoplasts. Dalam: Plant Tissue Culture Methods. Gamborg, O.L. dan L.R. Wetter, (eds). National Research Council of Canada. Prairie Regional Lab. Saskatoon Saschatchewan, pp: 11-21. Cordewener, I.H.G., Busink, R., Trass, J.A., Custer, J.B.M., Dons, H.I.M., dan Van Lookern Campagne, M.M., 1994. Induction of microspore embriogenesis in Brassica napus is accompanied by specific changes in protein synthesis. Planta, 195: 50-56. Day, A. dan T.H.N. Ellis, 1984. Chloroplast DNA deletions associated with wheat plants regenerated from pollen possible basis for maternal inheritance of chloroplast. Cell, 39: 359-368. Dodds, H.I. dan L.W. Roberts, 1983. Experiments in plant tissue culture. Cambridge Univ. Press. Cambridge. Kultur Jaringan Tanaman 134 Gamborg, O. dan L.P. Shylluk, 1981. Nutrition media and characteristic of plant cell and tissue culture. Dalam: Plant Tissue Culture Methods and Applications in Agriculture, Thorpe, T.A. (ed). Academic Press San Fransisco, Pp: 2144. George, F.E. dan P.D. Sherrington, 1984. Plant propagation by tissue culture. Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegetics Ltd. Eversly, Basingstoke, Hants. England. George, E.F., Hall, M.A. and De Klerk G-J., 2008. Plant Propagation by Tissue Culture. 3rd Edition. Springer, The Netherlands. Guha, S.S. dan C. Maheshwari, 1966. In vitro production of embrios from anthers in datura. Nature, 204: 497. Hahne, G., Herth, H. dan F. Hoffmann, 1983. Wall formation and cell division fluorescence labelled plant protoplast. Protoplasma, 115: 217-221. Harada, T., Sato, T., Asahaka, D. dan I. Matsukawa, 1991. Large scale deletions of rice plastid DNA in anther culture. Theor. Appl. Genet., 81: 157-161. Heberle-Bors, E., 1999. Stres treatments for turning immature pollen grains into plants. NRC's PBI Bull. January 1999, p. 9-10. Heberle-Bors, E., 1991. Germ line transformation in higher plants. IAPTC Newsletter, 64: 1-10. Henry, Y. dan J. De Buyser, 1990. Wheat anther culture: Agronomic performance of doubled haploid lines and the release of variety "Florin". Dalam: Biotechnology in Agriculture and Forestry: Wheat, Bajaj, Y.P.S (ed). Kultur Jaringan Tanaman 135 Springer Verlag, pp: 185-352. Hess, D., 1987. Pollen grains based techniques in genetic manipulation. Int. Rev. Cytol., 107: 169-198. Heyn, R.F., 1974. Protoplast and DNA studies toward the genetic modification of plant cells. Leiden State Univ. Indrianto, A., Heberle-Bors, E. dan A. Touraev, 1999. Assessment of various streses and carbo-hydrates for their effect on the induction of embriogenesis in isolated wheat microspore. Plant Sci., 143: 71-79. Kite, L., 1983. Plants from test tubes. An introduction to micropropagation. Timber Press, Portland, Oregon. Koehler, F. dan G. Wenzel, 1985. Regeneration of isolated barley microspores in conditioned media and trial to characterize the responsible factors. J. plant Physiol., 111: 181-191. Larkin, P.J., 1976. Purification and viability determination of plant protoplast. Planta, 118: 118-216. Morrison, R.A. dan D.A. Evans, 1988. Haploid plants from tissue culture: New plant varieties in a shortened time frame. Biotechnology, 6: 684-690. Nitsch, C., Andersen, S., Godard, M., Neuffer, M.G. dan W.F. Sheridan, 1986. Production of haploid plants of Zea mays and Pennisetum through androgenesis. Dalam: Crops I (Biotechnology in Agriculture 2), Bajaj, Y.P.S. (ed). Springer-Verlag, pp 168-180. Neuhaus, G., Spangenberg, G., Mittelsten-Scheid, O. dan H.G. Schweiger, 1987. Transgenic rape seed plants obtained by the micro injection of DNA into microspore-derived embrios. Theor. Appl. Genet., 75: 30-36. Kultur Jaringan Tanaman 136 Pierik, R.L.M., 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus Nijhoff Publ. Dordrecht, Boston, Lancaster. Saunders, J.A., Matthews, B.F. dan S.L. Van West, 1991. Pollen grains electro transformation for gene transfer in plants. Dalam: Guide to electrophoration and electrofusion. Chang, D. C., Chassy, B.M., Saunders, J.A. dan A.E. Sower, (eds). Academic press, pp: 227-247. Simmonds, D.H., 1994. Mechanism of induction of microspore embriogenesis in Brassica napus. Significance of the preprophase band of microtubules in the first sporophytic division. Dalam: Biomechanics of active movement and division of cells (NATO ASl series), Akkas, N. (ed). Springer-Verlag, Berlin, pp: 569-574. Stoeger, E., Benito-Moreno, R.M., Ylstra, B., Vicente, O. dan E., Heberle-Bors, 1992. Compa-rison of different techniques for gene transfer into mature and immature tobacco Pollen grains. Transgenic Res., 1: 71-78. Stoeger, E., Fink, C., Pfosser, L.M. dan E. Heberle-Bors, 1995. Plant transformation by particle bombardment of embriogenic pollen grains. Plant Cell Rep., 14: 273-278. Sun, C.S., Wu, S.C., Wang, C.C. dan C.C. Chu, 1979. The deficiency of soluble proteins and plastids ribosomal RNA in the albino pollen grains plastid of rice. Theor. Appl. Genet., 55: 193-197. Sunderland, N., 1978. Strategies on the improvement of yields in anther culture. Dalam: Proc. Symp. Plant Tissue Culture. Science Press, Peking, pp: 65-86. Sunderland, N. dan F. Wick, 1971. Embrioid formation in pollen grain of Nicotiana tabaccum. J. Exp. Bot., 22: 213-226. Kultur Jaringan Tanaman 137 Takahata, Y. dan W.A. Keller, 1991. High frequency embriogenesis and plant regeneration in isolated microspore culture of Brassica oleracea L. Plant Sci., 74: 235-242. Taniguchi, T., Sate, T., Maeda, K. dan E. Maeda, 1990. Microscopic observations of fusion process of rice and lecttuce protoplast. Dalam: The Impact of Biotechnology in Agriculture. Sangwan, R.S. dan B.S. Sangwan (eds). Kluwer Academic Publ. Netherland. Touraev, A., Indrianto, A., Wratscho, I., Vicente, O. dan E., Heberle-Bors, 1996. Efficient microspore embriogenesis in wheat (Triticum aestivum. L) induced by starvation at high temperature. Sex Plant Repr., 9: 209-215. Touraev, A., Stoeger, E., Voronin, V. dan E. Heberle-Bors, 1997. Plant male germ line transfor-mation. The Plant Journal, 12(4): 949-956. Zarsky, V., Garrido, D., Rihova, L., Tupy, J., Vicente, O. dan E. HeberleBors, 1992. Derepres-sion of the cell cycle by starvation is involved in the induction of tobacco pollen grains embriogenesis. Sex Plant Repr., 5: 189-194. Zhao, J-P., Simmond, D.H. dan W. Newcomb, 1996. Induction of embriogenesis with colchicine instead of heat in microspores of Brassica napus L. cv. Topas. Planta, 198: 433-439. Kultur Jaringan Tanaman 138 INDEKS 2,4-dichlorophenoxy-acetic acid, 4 A aklimatisasi, 19, 20, 24, 83 androgenesis, 10, 101, 103, 113, 116, 118, 136 aneuploidi, 87 auksin, 4, 5, 8, 10, 35, 36, 37, 38, 75, 84, 86, 88, 94 autoclave, 20, 35, 47, 54, 55, 56, 130, 131 autotroph, 82 B binocular microscope, 25 bud primordium, 57 C centrifuge, 23 colchicine, 107, 108, 116, 117, 138 crown gall, 84 D dediferensiasi, 3, 4, 6, 9, 83, 85, 86, 89 desinfektan, 50 dimorphism microspore, 112 dissecting microscope, 23 double haploid, 14 E electrofusion chamber, 23 embrio asesori, 77, 79 Kultur Jaringan Tanaman embriogenesis somatik, 6, 10, 36, 41 Embriogenesis somatik, 5 embriogenik, 5, 14, 78, 101, 102, 103, 109, 110, 111, 113, 114, 116, 117, 118 embryo rescue, 61 explant, 2, 57, 81 F fluorescent, 23, 24, 25, 130 fusi protoplas, 11, 12, 25 G gametocide, 113 gametoclonal variation, 106 gibberelic acid (GA3), 38 green house, 19 gynogenesis, 10 H habituasi, 35, 36, 86 heterotrof, 3, 19, 83 heterotroph, 82 hibridisasi interspesifik, 11 hibridisasi somatik, 11, 120, 129 I incompatibility, 15 Indole-3-acetic acid, 35, 39 indole-3-butyric acid, 35 inkubator, 19, 20, 49, 91, 99, 133 139 inokulum, 6, 81, 88, 93, 94, 96 inverted microscope, 25 J jaringan meristematik, 29 K kalus, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, 15, 24, 26, 33, 35, 36, 37, 42, 66, 67, 69, 72, 75, 77, 78, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 98, 99, 104, 105, 108, 125, 126 kriopreservasi, 15 kultur embrio, 11, 42, 61, 62 kultur in vitro, 1, 2, 8, 9, 11, 12, 16, 17, 26, 27, 32, 33, 36, 39, 40, 81, 82, 83, 89, 110 kultur jaringan, 2, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 15, 17, 18, 19, 22, 26, 27, 28, 34, 36, 39, 42, 49, 57, 61, 62, 71, 82, 84, 132, 144 kultur mikrospora, 10, 14, 21, 25, 33, 42, 102, 103, 105, 106, 107, 111, 112, 114, 118, 119 kultur organ, 10, 16, 61, 62 kultur ovule, 10, 14 kultur protoplas, 9, 11, 26, 41, 42, 129, 130 kultur pucuk, 62, 63, 64, 67, 69, 70, 72, 73, 74, 75 Kultur Jaringan Tanaman kultur suspensi sel, 8, 9, 10, 13, 26, 42, 77, 84, 93, 94, 95, 96, 98, 100, 125, 126, 129 L laminar air flow cabinet, 23 larutan stok, 21, 30, 43, 44, 46 l-naphthaleneacetic acid, 35 M magnetic stirrer, 20, 22, 44, 45, 46 medium Gamborg, 42 medium kultur, 3, 4, 5, 8, 21, 22, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 42, 49, 50, 55, 56, 64, 67, 71, 83, 84, 85, 89, 93, 95, 102, 107, 112, 118, 119, 125, 129, 133 medium Murashige dan Skoog, 42, 48 medium Vacint dan Went, 42 medium White, W63, 42 meristem aksiler, 57 meristem apikal, 57, 64 metabolit sekunder, 12, 87, 93 microinjection DNA, 25 morfogenesis, 4, 24, 36, 37 mutagenic agent, 4 N N-6-benzyl-aminopurine, 36 140 O Organogenesis, 4 P parenchymatous, 86 phragmosome, 117 plantlet, 4, 5, 8, 9, 10, 12, 19, 20, 24, 62, 63, 71, 89, 101, 103, 105, 106, 107, 118, 119, 132 plantlet albino, 105, 119 poliembrioni, 77 poliploidi, 87, 107 proliferasi jaringan, 75, 78 protocorm, 78 R rediferensiasi, 89 rekayasa genetika, 11 T tekanan osmotik, 33, 119, 120, 124, 125, 130 teknik aseptik, 63 totipotensi, 2, 6, 7, 8, 9, 11, 109 transformasi sel, 11 V vacum pump, 23 variasi somaklon, 11, 75, 129 Z zat pengatur tumbuh, 3, 4, 5, 7, 8, 27, 31, 32, 33, 34, 38, 39, 45, 47, 64, 71, 74, 83, 86, 87, 88, 90, 94, 99, 111, 112, 119, 120 S self-fertilization, 14, 109 shoot apical meristem, 57, 58 sitokinin, 5, 8, 10, 36, 37, 40, 64, 69, 71, 75, 76, 84, 86, 88, 94 sodium hypochlorite, 59 sterilisasi, 19, 20, 21, 22, 35, 47, 49, 50, 52, 54, 55, 56, 58, 59 sterilisasi eksplan, 49, 58, 59 stress pretreatment, 112, 115, 116 subkultur, 4, 22, 64, 66, 68, 69, 75, 78, 85, 86, 87, 88, 92, 94, 96, 99 Kultur Jaringan Tanaman 141 rsBN 978-602 -17 t7 6-4-6