BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolisme yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan insulin, yang ditandai dengan hiperglikemia (ADA, 2004). Menurut American Diabetes Asociation (ADA), DM dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe yakni, DM tipe 1, DM tipe 2, DM Gestasional dan DM tipe lain. Beberapa tipe yang ada, DM tipe 2 merupakan salah satu jenis yang paling banyak di temukan yaitu lebih dari 90-95% (ADA, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DiabCare pada 12 negara di Asia menunjukkan bahwa jumlah penderita DM tipe 2 dengan pengendalian glukosa darah yang buruk mencapai 68% (Nitiyanant et al, 2002). Sedangkan, beberapa penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa angka penderita diabetes melitus tipe 2 yang memiliki kadar gula darah tidak terkontrol masih tinggi, seperti di Malaysia sebesar 69,2% (Mafauzy, 2006) dan Thailand mencapai 53,5% (Nitiyanant et al, 2002). 6 negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa 57% pengendalian glukosa darah pada pendetita DM tipe 2 memiliki kategori buruk (Gagliardino et al, 2001). Indonesia merupakan negara keempat yang memiliki jumlah penderita DM terbanyak di dunia. Di Indonesia diperkirakan jumlah diabetisi mencapai 14 juta orang pada tahun 2006, dimana hanya 50% yang menyadari mengidap DM dan 1 2 diantaranya sekitar 30% yang datang berobat secara teratur (WHO, 2008). Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi DM di Indonesia sebesar 1,5%. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh DiabCare di Indonesia, diketahui bahwa 47,2% memiliki kendali yang buruk pada glukosa darah plasma puasa >130 mg/dl pada penderita DM tipe 2 (Soewondo, et al, 2010). Menurut laporan Riskesdas tahun 2013, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan prevalensi penderita DM sebesar 2,1% (Riskesdas 2013). Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2012) berdasarkan 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit tipe B diabetes melitus merupakan penyakit terbanyak nomor dua setelah hipertensi yakni sebanyak 102.399 kasus. Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi prevalensi kasus baru DM tahun 2013 sebesar 28% dan mengalami kenaikan di tahun 2014 sebesar 31,9%. Beberapa pencegahan penyakit DM telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi, namun prevalensi penderita baru DM terus meningkat. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor seperti kurangnya kepatuhan diabetisi dalam menjalani program empat pilar pengendalian DM yaitu: edukasi; terapi gizi medis; latihan jasmani dan intervensi farmakologi. Berdasarkan data awal yang didapatkan dari register DM tipe 2 di Puskesmas Kembiritan, pada bulan Januari 2013 sampai dengan bulan November 2014 jumlah penderita DM tipe 2 sebanyak 603 dengan 228 orang dengan kadar gula darah tidak terkontrol (37,8%). Bila dilihat per tahun jumlah kasus DM tipe 2 3 pada tahun 2013 dan 2014 (sampai November) cenderung terjadi peningkatan kasus yakni sebanyak 160 pada tahun 2013 dan 215 pada November 2014, dengan kendali glikemik buruk sebanyak 117 orang (42,2%) dan 111 orang (34,04%). Beberapa upaya telah dilakukan oleh Puskesmas Kembiritan dalam menjalankan program pengendalian DM untuk pasien yang datang, namun dilihat dari data kasus DM tipe 2 dengan kendali glikemik buruk dari tahun 2013 sampai 2014 justru terjadi peningkatan. DM dapat disebut juga dengan the silent killer sebab penyakit ini dapat menyerang beberapa organ tubuh dan mengakibatkan berbagai macam keluhan. DM tidak dapat disembuhkan tetapi glukosa darah dapat dikendalikan melalu 4 pilar penatalaksanaan DM seperti edukasi, diet, olah raga dan obat-obatan. Faktor yang dapat mempengaruhi pengendalian kadar gula darah yakni pengobatan DM yang bermanfaat untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran normal. Penderita DM tipe 2 dengan obesitas dapat melakukan pengontrolan kadar gula darah dengan mengatur pola makan dan berolahraga secara teratur, selain itu kepatuhan minum obat sangat mempengaruhi kadar gula darah pada penderita. Pemeriksaan awal yang dilakukan pada seseorang dengan riwayat keluarga DM dapat dilakukan pada usia kurang dari 45 tahun dan terutama yang memiliki faktor risiko seperti kadar kolesterol tinggi, hipertensi atau pun berasal dari ras yang berisiko tinggi mengidap DM tipe 2 (Maulana, 2008). Selain itu, untuk menjaga kadar gula darah agar tetap terkontrol sebaiknya penderita DM tipe 2 menjaga asupan gula, selalu rutin berolahraga, tidak merokok dan selalu menjalani pengobatan (Ahmad, 2014). 4 Pengelolaan DM yang tidak dilakukkan dengan baik, terutama pengendalian kadar gula darah dapat menimbulkan komplikasi. Beberapa penyakit yang dapat dikeluhkan akibat dari DM seperti gangguan penglihatan, katarak, penyakit jantung, gangguan ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk (gangren), infeksi paru dan sebagainya. Tidak jarang penyakit DM dapat mengakibatkan kecacatan akibat terjadi pembusukan pada organ tubuh (Depkes, 2005). Selain komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat tidak terkendalinya glukosa darah, penderita DM tipe 2 dengan glukosa darah puasa yang tidak terkendali merupakan penyebab risiko kematian akibat penyakit kardivaskuler tertinggi (Kaptoge et al, 2011; Sacks et al, 2002). Dampak yang ditimbulkan oleh DM tidak hanya pada kematian, tetapi sebagai penyakit yang diderita seumur hidup, sehingga memerlukan biaya besar untuk perawatan kesehatan penderita DM (IDF, 2011), oleh sebab itu sangat dipelukan program pengendalian DM tipe 2. DM tipe 2 dapat dihindari, ditunda kedatangannya atau dihilangkan dengan pengendalian faktor risiko (Kemenkes, 2010). Upaya yang dilakukan dalam pengendalian kadar gula darah untuk mencegah atau menghambat terjadinya komplikasi perlu dilakukan. Salah satu indikator pengendalian DM yang baik dengan menggunakan kadar gula darah puasa (PERKENI, 2011). Beberapa faktor yang turut memepengaruhi pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe 2 telah diteliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan salah satunya seperti umur, durasi penyakit dan obat-obatan, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad et al (2014), menyatakan bahwa usia yang 5 lebih tua dengan durasi yang lebih singkat dan menerima monoterapi menunjukkan kontrol glikemik yang lebih baik. Menurut Chua dan Chan (2011) penderita DM tipe 2 yang tingkat kepatuhan minum obatnya rendah memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Faktor asupan juga dapat berperan dalam pengendalian kadar gula darah seperti karbohidrat, protein asupan lemak, serat dan indeks glikemi dalam pengendalian kadar gula darah (Imawati 2008). Aktivitas fisik juga dapat mempengaruhi kadar gula darah, sejalan dengan penelitian yang dilakukan Astuti (2013) menyatakan bahwa sebagian besar responden yang memiliki aktivitas sedang cenderung memiliki kendali kadar glukosa darah yang buruk. Menurut Ahmad (2014) menyatakan bahwa merokok merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan kadar gula darah tidak terkendali. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan hasil yang berbeda-beda. Menurut kajian penulis hal tersebut lebih banyak disebabkan perbedaan metode yang digunakan, karakteristik sampel yang berbeda dan daerah serta fasilitas kesehatan yang berbeda. Melihat tingginya kejadian kadar gula darah tidak terkontrol pada studi penelitian yang dilakukan beberapa negara, menunjukkan bahwa pengendalian yang buruk pada penderita DM tipe 2 seperti pada 6 negara Amerika Latin mencapai 57% dan 12 negara di Asia yang mencapai 68%, maka dibutuhkan beberapa pencegahan untuk mengendalikan kadar gula darah seperti 4 pilar penatalaksanaan DM. Pencegahan hendaknya dilakukan dengan cermat untuk mencegah atau mengendalikan terjadinya komplikasi. Pengendalian kadar gula darah yang tidak terkontrol dapat disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, 6 ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan insulin, yang ditandai dengan hyperglikemia. Berdasarkan data awal yang didapatkan dari register DM tipe 2 di Puskesmas Kembiritan, pada bulan Januari 2013 sampai dengan bulan November 2014 jumlah penderita DM tipe 2 masing-masing sebanyak 160 orang dan 215 orang, dengan kendali glikemik buruk sebanyak 117 orang (42,2%) dan 111 orang (34,04%). Cenderung terjadi peningkatan kasus dari tahun 2013 hingga tahun 2014. Banyaknya faktor yang berhubungan dengan pengendalian kadar gula darah pada penderita DM tentunnya membuat tindakan pengelolaan penyakit hendaklah dilakukan dengan cermat, untuk dapat mencegah atau mengendalikan terjadinya komplikasi. Mengingat DM merupakan penyakit yang diderita seumur hidup. Selain itu, dari beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada tiap penelitian yang dilakukan, peneliti tertarik melihat beberapa faktor yang dapat pempengaruhi kendali glikemik seperti durasi penyakit, kepatuhan minum obat, kepatuhan diet, satus gizi, jarak fasilitas kesehatan, aktivitas fisik, pengetahuan dan merokok di Puskesmas Kembiritan, sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan upaya untuk pengendalian kadar gula darah. 1.2 Rumusan Masalah Puskesmas kembiritan merupakan puskesmas yang memiliki jumlah pasien lebih banyak dibandingkan dengan puskesmas lain yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan diantaranya memiliki kendali glikemik buruk cukup tinggi. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini 7 adalah apakah faktor risiko kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskemas Kembiritan Kabupaten Banyuwangi. 1.3 Pertanyaan Penelitian Apakah durasi penyakit, kepatuhan minum obat, kepatuhan diet, status gizi, aktivitas fisik, jarak fasilitas kesehatan, pengetahuan dan paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui faktor risiko kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kembiritan Kabupaten Banyuwangi. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui adanya hubungan antara durasi penyakit dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 2. Mengetahui adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 3. Mengetahui adanya hubungan antara kepatuhan diet dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 4. Mengetahui adanya hubungan antara status gizi dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 5. Mengetahui adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 8 6. Mengetahui adanya hubungan antara jarak fasilitas kesehatan dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 7. Mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 8. Mengetahui adanya hubungan antara paparan asap rokok dengan kendali glikemik buruk darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pengetahuan tentang faktor risiko tidak terkendalinya gula darah dan menjadi acuan bagi calon peneliti selanjutnya, terutama yang berhubungan dengan diabetes melitus dan pengendalian gula darah. 1.5.2 Manfaat Praktis 1. Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi penentu kebijakan, dinas kesehatan, puskesmas dan rumah sakit dalam mengembangkan program pengendalian gula darah. 2. Penelitian ini akan memberikan implikasi terhadap proses monitoring dan evaluasi program diabetes melitus. 3. Penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi layanan pengendalian gula darah untuk meningkatkan program yang berkaitan dengan pengendalian gula darah.