bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan
2.1.1.
Definisi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan
Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan adalah penilaian
individu mengenai pihak yang mengalami pemerkosaan atau pihak yang
menjadi korban, yang mempengaruhi respon kurang baik dari individu
tersebut terhadap korban pemerkosaan. Ward (1988) menjelaskan bahwa
sikap negatif terhadap korban terbentuk oleh dimensi berikut:
•
Blame atau mempersalahkan atau menyatakan/memandang salah.Yang
dimaksud dengan mempersalahkan dalam hal ini adalah anggapan
mengenai pihak mana yang bersalah dalam terjadinya pemerkosaan.
•
Denigration, yaitu pencemaran reputasi atau penilaian negatif yang
menjatuhkan diri seseorang. Denigration pada korban pemerkosaan
berarti nilai diri korban pemerkosaan dipandang lebih rendah atau
berkurang.
•
Credibility atau kredibilitas korban, yaitu kualitas atau kapabilitas diri
yang menunjukkan bahwa dirinya dapat dipercaya. Kredibilitas korban
pemerkosaan berarti korban memiliki kualitas yang membuat perkataan
mereka dapat dipercaya dan tidak mengada-ada.
•
Responsibility atau tanggung jawab mengenai terjadinya pemerkosaan.
Tanggung jawab korban maksudnya adalah ada atau tidaknya tindakan
yang dilakukan korban yang mungkin dapat menjadi penyebab terjadinya
pemerkosaan, atau yang membuat korban dianggap bertanggung jawab
dalam pemerkosaan yang terjadi.
•
Deservingness atau kelayakan/kepantasan bagi korban untuk mengalami
pemerkosaan. Kelayakan maksudnya adalah hal-hal yang membuat
korban dianggap pantas menjadi korban pemerkosaan.
•
Trivialization atau pengecilan/meremehkan terjadinya atau dampak
pemerkosaan. Maksudnya adalah bahwa peristiwa pemerkosaan yang
7
8
dialami oleh korban dianggap sepele atau tidak terlalu berdampak buruk
karena suatu hal.
Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan sikap
negatif terhadap korban pemerkosaan, dijelaskan bahwa terdapat cukup
banyak keadaan dimana korban pemerkosaan menerima respon sosial yang
negatif, termasuk dinilai bersalah atau bertanggung jawab atas apa yang
menimpa mereka (Audrey, Amanda, & Antoinette, 2011). Sikap terhadap
suatu hal dapat berupa sikap positif dan negatif (Hogg & Vaughan, 2008),
namun bentuk sikap yang negatif terhadap korban pemerkosaan merupakan
isu yang cukup bermasalah karena dapat mengakibatkan stress yang lebih
tinggi, penyesuaian yang lebih buruk, dan reviktimasi seksual pada korban.
2.1.2.
Faktor yang mempengaruhi sikap negatif terhadap korban
pemerkosaan
Ward (1995) menyebutkan beberapa hal yang dapat mempengaruhi atribusi
dalam terjadinya pemerkosaan, yaitu:
1.
Karakter korban dan pelaku. Karakter tertentu yang dimiliki korban
dan pelaku dapat menimbulkan ekspektasi mengenai hal yang
seharusnya dilakukan dalam terjadinya pemerkosaan. Ketiadaan atau
tidak dilakukannya hal tersebut dapat berpengaruh pada atribusi
tanggung jawab dalam pemerkosaan. Misalnya, korban yang dikenal
atau dianggap sebagai orang baik-baik, akan diharapkan untuk
memberikan perlawanan apabila diperkosa, dan karena ada
perlawanan tersebut maka pelaku akan dianggap bersalah. Namun
apabila tidak terdapat bukti-bukti atau tanda perlawanan, hal tersebut
dapat menimbulkan anggapan bahwa pemerkosaan terjadi karena
kesalahan korban tersebut dengan tidak memberikan perlawanan.
2.
Situasi terjadinya pemerkosaan. Tempat, waktu, dan lingkungan
terjadinya pemerkosaan dapat mempengaruhi sikap terhadap korban.
Sebagai contoh, pemerkosaan yang terjadi di bar atau klub malam
9
lebih mungkin mengakibatkan korban disalahkan, dibandingkan
dengan pemerkosaan yang terjadi di jalan.
3.
Perbedaan jenis kelamin. Perempuan biasanya memiliki persepsi yang
lebih baik terhadap korban pemerkosaan, dan hal ini mempengaruhi
cara pandang mereka terhadap pemerkosaan.
2.2.
Peran Gender
2.2.1.
Definisi Peran Gender
Istilah gender mengacu pada karakteristik individu sebagai laki-laki
atau perempuan (Santrock, 2010). Gender merupakan konsep yang
berbeda dengan peran gender. Peran gender adalah suatu budaya yang
dipelajari mengenai sifat dan prilaku yang tepat bagi suatu jenis kelamin
(Oskamp & Schultz, 1993), atau serangkaian ekspektasi mengenai
bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir dan berperilaku
(Oskamp & Schultz, 1993; Santrock, 2010).
Stereotip peran gender memiliki setidaknya empat aspek, yaitu
trait kepribadian, peran perilaku, karakter fisik, dan kemampuan kognitif
yang diharapkan dari laki-laki dan perempuan (Beall & Sternberg, 1993).
Tema yang cukup sering muncul berkaitan dengan peran gender adalah
bahwa perempuan cenderung memiliki trait ekspresif, seperti emosional
atau lebih menggunakan perasaan dalam tindakannya, dan laki-laki
cenderung memiliki trait instrumental, seperti kompetitif dan berorientasi
pada tujuan.
2.2.2.
Klasifikasi Peran Gender
Sandra Bem (1977) mengembangkan alat ukur yang dapat
digunakan untuk mengetahui kecenderungan peran gender seseorang.
Bem mengklasifikasikan peran gender yang mungkin dimiliki oleh
individu menjadi empat, yaitu:
•
Maskulin
Maskulin adalah istilah untuk hal yang memiliki sifat kelaki-lakian,
atau sifat yang lebih umum terdapat pada laki-laki daripada
10
perempuan. Contohnya adalah berpikiran logis, tegas, dan
sebagainya.
•
Feminin
Feminin adalah istilah untuk hal yang memiliki sifat keperempuanan,
atau sifat yang lebih umum ada pada perempuan daripada laki-laki.
Contohnya seperti perasa, penyayang, dan sebagainya.
•
Androgini
Androgini adalah keberadaan karakter maskulin dan feminin sama
besar atau sama kuat dalam diri satu individu.
•
Undifferentiated
Undifferentiated adalah keberadaan karakter maskulin dan feminin
yang sama-sama rendah sehingga tidak dapat dilakukan klasifikasi.
2.2.3.
Faktor yang Mempengaruhi Maskulinitas dan Femininitas.
Secara umum, hal-hal yang mempengaruhi maskulinitas dan femininitas
individu adalah:
•
Pembentukan oleh individu. Hal ini terjadi melalui proses
pengamatan dan imitasi yang dilakukan sejak kecil, dan terus
berkembang seiring dengan pertumbuhan individu.
•
Pengaruh dari lingkungan. Adanya penilaian dari lingkungan sekitar
individu mengenai peran gender yang tepat bagi jenis kelamin
tertentu dapat membentuk peran gender individu.
2.3.
Empati.
2.3.1.
Definisi Empati
Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan
respon emosional yang serupa atau mirip dengan perasaan orang tersebut
(Santrock, 2010), atau dengan kata lain menempatkan diri di posisi
emosional orang lain. Empati didefinisikan dalam dua cara (Hoffman,
2000). Yang pertama adalah empati kognitif, yaitu bahwa empati
merupakan kesadaran kognitif akan keadaan internal orang lain, dalam
hal ini pikiran, perasaan, persepsi, dan intensi. Yang kedua adalah empati
11
afektif, yaitu bahwa empati merupakan respon afektif yang mewakili
kondisi orang lain.
Davis (1980) mendefinisikan empati sebagai suatu reaksi individu
terhadap pengalaman orang lain yang diobservasi. Davis
mengembangkan alat ukur untuk mengukur empat dimensi empati
seseorang. Keempat dimensi tersebut yaitu:
•
Perspective taking.
Merupakan kecenderungan untuk mengadopsi sudut pandang
psikologis seseorang, atau kecenderungan untuk melihat dari sudut
pandang orang lain.
•
Fantasy.
Merupakan penilaian individu terhadap keadaan tokoh fiksi, atau
kecenderungan untuk dapat secara imajinatif memposisikan diri
dalam emosi atau aksi tokoh fiktif dalam buku, film, atau suatu
penampilan atau drama.
•
Empathic concern.
Merupakan penilaian akan empati emosional atau rasa prihatin
terhadap orang lain yang sedang dalam kesulitan atau masalah.
•
Personal distress.
Merupakan kecemasan atau ketidaknyamanan diri dalam situasi
interpersonal, atau dalam memberikan reaksi terhadap permasalahan
atau kesulitan orang lain.
2.3.2.
Faktor yang mempengaruhi empati.
Kecenderungan berempati berbeda-beda pada setiap individu. Davis
(1996) menjelaskan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh hal berikut:
1. Kecenderungan/predisposisi yang diwariskan.
Faktor keturunan atau genetik dapat menjadi salah satu hal yang
mempengaruhi kemampuan berempati dalam diri seseorang.
2. Pengaruh lingkungan.
12
Lingkungan di sekitar individu mempengaruhi kecenderungan
empati individu, terutama lingkungan selama masa anakanak.Sebagai pihak yang paling banyak berinteraksi dengan individu
pada masa awal pertumbuhan, keluarga memiliki peran yang cukup
besar dalam terbentuknya empati.Kualitas hubungan antar anggota
keluarga, pola asuh, dan kecenderungan empati orangtua adalah
beberapa hal yang dapat mempengaruhi kecenderungan empati
individu.
2.4.
Kerangka berpikir
Orang-orang dapat membentuk suatu sikap terhadap pemerkosaan, baik
terhadap pelaku maupun korban. Dalam penelitian ini, sikap negatif terhadap
korban akan lebih diperhatikan karena sikap negatif terhadap korban dapat
berdampak negatif. Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan terdiri oleh
dimensi blame, denigration, credibility, responsibility, deservingness, dan
trivialization, yang dapat dipengaruhi beberapa hal, seperti karakter pelaku dan
korban, situasi, dan jenis kelamin (Ward, 1995). Penelitian Ward (1992)
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan untuk memiliki sikap
yang negatif terhadap korban pemerkosaan dibandingkan dengan perempuan.
Dengan kata lain, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan kecenderungan
sikap yang negatif yang tinggi sedangkan jenis kelamin perempuan berhubungan
dengan kecenderungan sikap negatif yang rendah.
Jenis kelamin memiliki keterkaitan dengan peran gender, dimana
umumnya orang dengan jenis kelamin laki-laki akan cenderung memiliki
karakter maskulin dan perempuan cenderung memiliki karakter feminin,
meskipun terkadang terdapat pengecualian. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa
individu dengan karakter maskulin memiliki kecenderungan sikap yang negatif
yang tinggi terhadap korban pemerkosaan, sementara individu dengan karakter
feminin memiliki kecenderungan sikap negatif yang rendah. Hal tersebut
didukung oleh hasil penelitian Vasquez (2013). Berdasarkan hal-hal tersebut,
dapat diasumsikan bahwa individu dengan karakter maskulin yang tinggi akan
memperoleh nilai blame, denigration, credibility, responsibility, deservingness,
13
dan trivialization yang tinggi. Sebaliknya, individu dengan karakter feminin
yang tinggi akan memperoleh nilai blame, denigration, credibility,
responsibility, deservingness, dan trivialization yang rendah.
Peran gender seseorang memiliki hubungan dengan kemampuan
berempati mereka. Individu dengan karakter maskulin yang lebih tinggi,
kecenderungan berempatinya relatif rendah, sementara individu dengan karakter
feminin kecenderungan empatinya relatif tinggi (Barnabas, 2012). Tingkat
empati rendah dengan karakter feminin rendah akan berhubungan dengan sikap
yang lebih negatif, sementara tingkat empati tinggi dengan karakter feminin
tinggi akan berhubungan dengan sikap yang lebih positif terhadap korban
pemerkosaan. Begitu juga dengan karakter maskulin. Rendahnya tingkat empati
individu dengan karakter maskulin yang rendah akan berhubungan dengan sikap
yang lebih negatif terhadap korban pemerkosaan. Sebaliknya, apabila tingkat
empati individu tinggi diiringi dengan karakter maskulin yang tinggi maka sikap
mereka terhadap korban pemerkosaan akan menjadi lebih positif.
Maskulinitas
Peran
Gender
Femininitas
Sikap Negatif
Terhadap Korban
Pemerkosaan
Empati
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
14
Download