28 BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Komunikasi II.1.1 Pengertian

advertisement
28
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1
Komunikasi
II.1.1 Pengertian Komunikasi
Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai proses pengoperan
lambang-lambang yang berarti dari seseorang kepada orang lain. Wilbur Schramm
mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari kata Latin communis yang
berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan
komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang
lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9).
Sedangkan Carl Hovland mengemukakan bahwa komunikasi itu adalah
suatu proses dimana seseorang memindahkan perangsang yang biasanya berupa
lambang kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain (Soenarjo, 1995:143).
Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses
hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses
yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5).
Devito menegaskan bahwa komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan,
yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan, dalam suatu konteks, yang
menimbulkan efek dan kesempatan arus balik. Oleh karena itu, kegiatan
komunikasi meliputi komponen-komponen sebagai berikut: konteks, sumber,
penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses encoding,
arus balik dan efek (Effendy, 1996:50).
Universitas Sumatera Utara
29
II.1.2 Fungsi Komunikasi
Laswell (Effendy, 1993:27) mengemukakan fungsi komunikasi sebagai
berikut:
a. Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment)
maksudnya penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi
nilai-nilai dan bagian-bagian unsur di dalamnya.
b. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation
of the components of society in making a response to the environment).
c. Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Di sini
berperan para pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun
sekolah, yang meneruskan warisan sosial kepada keturunan berikutnya.
Lebih lanjut lagi Effendy mengemukakan fungsi komunikasi sebagai
berikut:
a. Menginformasikan
b. Mendidik
c. Menghibur
d. Mempengaruhi
II.1.3 Model Penelitian Komunikasi
Effendy (1996:11) mengemukakan bahwa
proses
komunikasi
pada
hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang
(komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan,
informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa
Universitas Sumatera Utara
30
keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian,
kegairahan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.
Sementara itu, Laswell (Effendy, 1993:253) menyatakan bahwa cara
terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect
(Siapa, Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa).
Dari pertanyaan tersebut dapat didaftarkan 5 unsur proses komunikasi yakni :
1. Komunikator (pengirim pesan atau sender)
2. Pesan (message)
3. Media (saluran atau channel)
4. Komunikan (penerima pesan atau recipient)
5. Efek (efek atau effect)
Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan
penelitian yang dilaksanakan:
1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang
berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa katakata, saran, pikiran maupun pesan nonverbal (bahasa tubuh) dalam proses
konseling.
2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang
diberikan atau disampaikan oleh konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai
klien tunanetra.
3. In Which Channel (media) adalah saluran atau sarana penyampaian pesan
melalui organ pengindera.
Universitas Sumatera Utara
31
4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni
Medan Johor.
5. With What Effect (efek yang ditimbulkan) adalah terbentuknya konsep diri
pada klien tunanetra.
Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan komunikator,
teknik komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi (Effendy, 1993:55):
a) Komunikasi informatif (menginformasikan, memberitahukan)
b) Komunikasi persuasif (membujuk)
c) Komunikasi koersif (memaksa)
d) Komunikasi instruktif (memerintah)
e) Komunikasi hubungan manusiawi (hubungan insani)
II.2
Komunikasi Hubungan Manusiawi
II.2.1 Pengertian Komunikasi Hubungan Manusiawi
Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses
pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Tubbs, 1996:5). Yang
membuat komunikasi insani menjadi unik adalah kemampuannya yang istimewa
untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan
kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun
memahami orang lain.
Dalam komunikasi insani terdapat pandangan transaksional, dimana
penekanan pada derajat keterlibatan dua orang atau lebih akan menciptakan suatu
hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Selanjutnya perspektif
transaksional memberi penekanan pada dua sifat peristiwa komunikasi, yaitu
Universitas Sumatera Utara
32
serentak dan saling mempengaruhi sehingga kedua komunikator akan mengalami
perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi.
Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat
dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan
memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan
identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs,
1996:3-4).
II.2.2 Proses Komunikasi Hubungan Manusiawi
Unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah:
1. Komunikator 1 dan komunikator 2
Merupakan sumber informasi dan berfungsi untuk memberi dan menerima
pesan secara serentak dan pada saat yang bersamaan saling mempengaruhi.
Aspek penting dalam penerimaan pesan adalah memperhatikan, mendengar,
memahami dan mengingat.
2. Pesan
Ada empat jenis pesan yang mungkin terjadi:
a. Pesan verbal disengaja
b. Pesan verbal tak disengaja
c. Pesan non verbal disengaja
d. Pesan non verbal tak disengaja
Universitas Sumatera Utara
33
3. Saluran
Saluran adalah media yang menyampaikan rangsangan komunikasi. Saluran
komunikasi tatap muka organ pengindera yang biasanya digunakan adalah:
indera pendengaran, penglihatan dan perabaan.
4. Gangguan (interference)
Gangguan adalah segala sesuatu yang mengubah informasi yang disampaikan
kepada penerima pesan dan mengalihkannya dari penerimaan tersebut.
Gangguan ada dua jenis yaitu:
a) Gangguan teknis: faktor yang menyebabkan si penerima merasakan perubahan
dalam informasi atau rangsangan yang tiba.
b) Gangguan semantik: apabila penerima memberi arti yang berlainana atas
sinyal yang disampaikan oleh pengirim.
5. Umpan balik
Luft menyatakan umpan balik (feed back) sebagai balasan atas perilaku yang
diperbuat. Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan
berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri sendiri.
6. Waktu
Merupakan siklus komunikasi antara pemberi dan penerima pesan yang
berlangsung terus sejalan dengan berlalunya waktu, dimana proses itu
mengakibatkan hubungan sebagai hasil dari setiap interaksi.
Universitas Sumatera Utara
34
Berikut proses siklus komunikasi hubungan manusiawi sesuai dengan
unsur-unsurnya menurut Tubbs (1996:6):
Bagan 1
Proses Siklus Komunikasi Hubungan Manusiawi
SALURAN
PESAN
GANGGUAN
KOMUNIKATOR 1
sebagai pengirim/penerima
pesan
KOMUNIKATOR 2
sebagai pengirim/penerima
pesan
GANGGUAN
PESAN
SALURAN
Universitas Sumatera Utara
35
II.2.3 Efektivitas Komunikasi Hubungan Manusiawi
Menurut Tubbs (1996:11-12) dalam bukunya Human Communication
Konteks-konteks
Komunikasi,
ada
empat
karakteristik
untuk
menilai
efektivitas/kualitas komunikasi hubungan manusiawi atau hubungan antara dua
orang, yakni:
1. Informasi tentang orang lain lebih bersifat psikologis daripada bersifat kultural
dan sosiologis.
2. Aturan-aturan dalam hubungan ini lebih banyak dikembangkan oleh kedua
orang yang terlibat di dalamnya daripada diatur oleh tradisi.
3. Peranan dalam hubungan antarpesona pada pokoknya lebih ditentukan oleh
karakter pribadi daripada oleh situasi.
4. Lebih menekankan pilihan perseorangan daripada pilihan kelompok..
Pilihan perseorangan dan informasi psikologis yaitu pengetahuan mengenai
sikap dan kepercayaan pribadi, perilaku-perilaku yang khas, dan sebagainya.
Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kualitas hubungan
antara dua orang itu adalah:
a. Penyingkapan diri (self disclosure)
Adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Penyingkapan diri
merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontetikan memasuki hubungan
sosial seseorang dan berkaitan dengan kesehatan mental dan dengan
pengembangan konsep diri.
b. Kepercayaan dan keberbalasan.
c. Keakraban.
d. Kebersamaan.
Universitas Sumatera Utara
36
e. Kesalingbergantungan yang berkaitan dengan rasa percaya, komitmen dan
perhatian/kepedulian.
f. Afiliasi yang berkaitan dengan sikap bersahabat, suka berkumpul/bersama
dengan orang lain serta ramah.
Ciri-ciri perilaku berafiliasi tinggi adalah:
-
memberi nasehat
-
mengkoordinasikan
-
mengarahkan
-
memulai
-
memimpin
II.3
Tunanetra
II.3.1 Pengertian Tunanetra
Dalam masyarakat umumnya, istilah tunanetra sering dikaitkan dengan
pengertian “buta”. Bila ditinjau dari segi etimologi bahasa, kata tuna berarti rusak,
sedangkan kata buta berarti tidak dapat melihat karena rusak matanya. Jika kata
tunanetra berarti rusaknya penglihatan, maka pada hakekatnya pengertian
tunanetra bukanlah semata-mata pada hilangnya penglihatan, akan tetapi masih
mempunyai sisa penglihatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah tunanetra
lebih tepat menggambarkan keadaan seseorang yang hanya mengalami
kekurangan
menunjukkan
penglihatan,
keadaan
sedangkan
seseorang
pengertian
yang
rusak
buta
digunakan
penglihatannya
untuk
sehingga
mengakibatkan tidak dapat melihat. Jadi, tunanetra berarti kerusakan mata atau
Universitas Sumatera Utara
37
kerusakan penglihatan dan mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan
yaitu buta dan kurang lihat.
John D. Kershaw berpendapat bahwa kebutaan ialah “a blind person is
one who can not see” (seorang buta ialah orang yang tidak dapat melihat dengan
jelas). Menurut Departemen Sosial, tunanetra (penyandang cacat netra) adalah
seseorang yang tidak dapat menghitung jari tangan pada jarak satu meter di
depannya, dengan menggunakan indera mata.
Sedangkan menurut WHO, kebutaan adalah suatu keadaan dimana tajam
penglihatan-penglihatan, setelah koreksi optimal, kurang dari kemampuan
menghitung jari pada jarak sampai dengan 3 meter. Sebagai penjelasan dapat
diterangkan, bahwa pada orang normal kemampuan menghitung jari adalah
sampai dengan jarak 60 meter. Dengan demikian, tajam penglihatan setelah
koreksi optimal kurang dari 3/60 atau 5% dari tajam penglihatan normal, sudah
termasuk dalam kategori kebutaan.
Selanjutnya, Departemen Sosial membedakan tunanetra menjadi dua
golongan, yaitu buta total dan buta sebagian (low vision) yaitu ketunanetraan yang
masih memiliki sisa penglihatan.
Kurang lihat (partially sighted/low vision) menunjukkan keadaan mata
yang masih berfungsi akan tetapi kurang baik atau secara umum seseorang
dikatakan kurang lihat apabila setidak-tidaknya masih dapat melihat jari-jari
tangannya. Mereka yang kurang lihat masih dapat diajarkan dengan metode visual
namun tetap memerlukan bantuan atau teknik khusus yang tidak terdapat
disekolah-sekolah biasa. Dengan demikian, anak kurang lihat masih dapat
menggunakan sisa penglihatannya sebagai medium utama dalam belajar dengan
Universitas Sumatera Utara
38
menggunakan metode visual dan dengan bantuan alat-alat khusus (Ramidjo,
1998:2).
II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan
Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali
penglihatan yang diderita oleh anak tunanetra dapat menimbulkan berbagai
masalah
terutama
keterbatasan-keterbatasan
penglihatannya.
Keterbatasan
tersebut antara lain karena anak tunanetra mempunyai tanggapan yang sangat
kurang, bila dibandingkan dengan anak awas. Karena keterbatasannya dalam
memperoleh rangsangan visual itu, mereka merasa dunia mereka kecil dan sempit.
Hal ini menimbulkan masalah-masalah yang kemudian menumbuhkan dampak
psikologis dan tingkah laku yang negatif pada anak tunanetra.
Ramidjo (1998:4-5) dalam tulisannya yang berjudul “Ortopedagogik
Ketunanetraan” mendaftarkan 3 dampak psikologis ketunanetraan yang menjadi
karakteristik ketunanetraan sebagai berikut :
1. Perasaan curiga terhadap orang lain.
Perasaan curiga disebabkan karena keterbatasan rangsangan visual yang
mengakibatkan
anak
tunanetra
lingkungannya,
sehingga
kurang
kemampuan
mampu
berorientasi
mobilitasnya
terganggu.
dengan
Dari
pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari,
mereka sering menemukan hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan kesal,
marah, kecewa, tetapi ia tidak tahu kepada siapa perasaan tidak senang itu
dapat ditumpahkan.
Universitas Sumatera Utara
39
Perasaan-perasaan kecewa tersebut mendorong mereka untuk selalu berhatihati terhadap situasi maupun kondisi setempat. Sikap hati-hati yang terlalu
berlebihan akan berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk
mengurangi perasaan-perasaan kecewa yang disebabkan oleh keterbatasan
rangsangan visual, maka dikembangkan potensi yang masih ada misalnya
dengan mempertajam indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman
dan indera pengecapan.
2. Perasaan mudah tersinggung.
Perasaan ini pada anak tunanetra karena disebabkan oleh keterbatasannya
rangsangan visual yang diterimanya serta peranan indera lain yang kurang
baik. Hal tersebut didapat dari pengalaman sehari-hari misalnya, mendengar
orang berbicara kepadanya dengan tekanan suara tertentu, singgungan fisik
yang tidak disengaja oleh temannya dan sebagainya. Hal tersebut menjadi
salah satu penyebab perasaan mudah tersinggung. Untuk mengatasi hal ini
diusahakan melalui pendidikan agama, olah raga dan kesenian yang bertujuan
untuk membuat anak tunanetra merasa bahagia dalam hidupnya dan tidak
selalu menyesali nasibnya karena kecacatannya.
3. Ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain.
Sikap ketergantungan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia
belum sepenuhnya dapat mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan kasih
sayang yang berlebihan dari orang tua atau saudaranya dengan cara
memberikan pertolongan-pertolongan yang berlebihan kepada anak tunanetra,
sehingga ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun untuk menolong dirinya
Universitas Sumatera Utara
40
sendiri seperti mandi, makan dan minum, berpakaian, memakai sepatu dan
sebagainya.
II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra
Adapun dampak ketunanetraan/keterbatasan dasar anak tunanetra adalah:
1. Perkembangan Bahasa.
Sebagian besar ahli percaya bahwa kekurangan penglihatan tidak merubah
kemampuan seseorang untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hanya
sebagian kecil aspek komunikasi ditemukan adanya perbedaan, misalnya
dalam hal “gesture” (mimik muka). Karena indera pendengaran lebih banyak
digunakan daripada penglihatan dalam mempelajari bahasa, maka tidaklah
mengherankan jika hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra
relatif tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Anak tunanetra
masih dapat mendengar bahasa dan bahkan mungkin lebih termotivasi untuk
menggunakannya, karena ini merupakan cara utama yang dapat mereka
lakukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan.
2. Kemampuan Intelektual.
Hasil penelitian para ahli menunjukkan Intelegensia Quatient (IQ) anak
tunanetra tidak secara mencolok lebih rendah daripada anak awas setelah
diukur dengan menggunakan tes intelegensi verbal yang standar. Bagi anak
buta total, kemampuan anak diukur dalam menggunakan indera perabaan
(suatu kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dalam membaca braille).
Universitas Sumatera Utara
41
3. Kemampuan Konseptual.
Perkembangan kemampuan konseptual atau kognitif anak tunanetra tertinggal
di belakang anak-anak awas. Anak tunanetra juga cenderung lebih miskin
dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemikiran abstrak.
Kekurangan tersebut bukan disebabkan karena sifat-sifat pembawaannya,
tetapi karena kurangnya mendapatkan pengalaman-pengalaman pendidikan
yang memadai.
4. Penyesuaian Sosial.
Akibat dari hilangnya atau terbatasnya daya penglihatan menyebabkan anak
tunanetra menjadi pasif dan hilang keinginannya untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi proses belajar anak. Salah satu kesulitan anak
tunanetra dalam menguasai keterampilan sosial tertentu misalnya bagaimana
menampilkan ekspresi muka yang tepat (Ramidjo, 1998:7-9).
II.4
Konseling Individual
II.4.1 Pengertian Konseling Individual
Konseling adalah suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain,
dimana seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami
masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian dirinya.
Sedangkan Glen E. Smith mendefinisikan konseling yakni suatu proses dimana
konselor membantu konseli (klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan
fakta-fakta yang berhubungan dengan pemilihan perencanaan dan penyesuaian
diri sesuai dengan kebutuhan individu (Willis, 2004:17).
Universitas Sumatera Utara
42
Sementara itu, John McLeod (2003:16) menyatakan bahwa konseling
adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang yang bermasalah
mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu di
antara mereka.
Shertzer dan Stone dalam bukunya “Fundamental of Counseling”
(Lubis, 2006:11) mengemukakan konseling ialah berhubungan dengan usaha
untuk mempengaruhi perubahan sebahagian besar tingkah laku klien secara
sukarela (klien ingin untuk mengubah perilakunya yang bermasalah dan
mendapatkan bantuan dari konselor).
Milton E. Hahn mengartikan bahwa konseling adalah suatu proses yang
terjadi dalam hubungan seorang dengan seorang yaitu individu yang mengalami
masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah
memperoleh pelatihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu
memecahkan kesulitannya (Willis, 2004:18).
Selanjutnya, Burks dan Stefflre (1979) mengatakan bahwa konseling
mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien.
Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang
melibatkan lebih dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong klien untuk
memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk
membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui
pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan
melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (McLeod,
2003:5).
Universitas Sumatera Utara
43
Berdasarkan
definisi-definisi
yang
dikemukakan
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa konseling individual merupakan salah satu teknik dalam
pelayanan bimbingan dimana proses pemberitahuan bantuan itu berlangsung
melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara
konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh
pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya serta mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai
kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.
II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual
Dalam Willis (2004:63-64), client-centered therapy sering juga disebut
suatu metode yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien,
agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal-self (diri klien) dengan actual self
(diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).
Ciri-ciri konseling individual ini adalah:
1. Ditujukan kepada klien yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai
kepribadian klien yang terpadu.
2. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling), bukan segi
intelektualnya.
3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosialpsikologis masa kini dan bukan pengalaman masa lalu.
4. Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikan antara ideal-self dengan
actual-self.
Universitas Sumatera Utara
44
5. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh klien, sedangkan konselor
adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi
berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya. Tujuan
konseling adalah pengembangan kemampuan klien untuk mengatasi
masalahnya, memiliki kemampuan untuk mencintai dan bekerja keras,
melakukan sesuatu dengan rasa tanggung jawab dan percaya diri.
II.4.3 Tujuan Konseling Individual
Terapi terpusat pada klien yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers pada
tahun 1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri
sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.
Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah
artinya sesuai antara gambaran diri yang ideal (ideal-self) dengan kenyataan diri
yang sebenarnya (actual-self).
Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan
sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang
lain. Sebelum menentukan pilihan, tentu individu harus memahami dirinya sendiri
(kekuatan dan kelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia
terima.
Untuk mencapai tujuan itu diperlukan beberapa syarat yakni:
1. Kemampuan dan keterampilan teknik konselor.
2. Kesiapan klien untuk menerima bimbingan.
3. Taraf intelegensi klien yang memadai.
Universitas Sumatera Utara
45
Secara umum dikatakan bahwa tujuan konseling harus mencapai :
a) Effective daily living, artinya setelah selesai proses konseling, klien harus
dapat menjalani kehidupan sehari-harinya secara efektif dan berdaya guna
untuk diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Tuhannya;
b) Relationship with other, artinya klien mampu menjalin hubungan yang
harmonis dengan orang lain di keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, dan
sebagainya.
II.4.4 Proses Konseling Individual
Berikut ini adalah tahap-tahap konseling terapi terpusat pada klien,
yakni:
1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila klien datang atas
suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang
sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien memilih apakah ia akan
terus minta bantuan atau membatalkannya.
2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk itu
konselor menyadarkan klien.
3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya.
Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima klien sebagaimana
adanya.
4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.
5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan
dirinya.
Universitas Sumatera Utara
46
6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil
(perencanaan).
7. Klien merealisasikan pilihannya itu.
II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual
Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor
ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan
dan perbuatan konselor. Karena itu dalam pelaksanaan teknik konseling
diutamakan sifat-sifat konselor berikut:
1. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan
segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.
2. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan
perbuatan, dan konsisten.
3. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat memahami secara
empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu.
4. Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi
konselor selalu objektif.
Adapun penggunaan teknik-teknik itu seperti:
(1) pertanyaan
(2) dorongan
(3) interpretasi
(4) sugesti
Universitas Sumatera Utara
47
II.4.6 Karakteristik Hubungan Konseling Individual
Benjamin mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara
seorang profesional dengan klien dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai
waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan serta mempunyai minat,
pengetahuan, dan keterampilan (Willis, 2004:36).
Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut :
1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian
pula bagi konselor.
Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate).
2. Bersifat afek.
Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungankecenderungan, yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya
keterbukaan
diri
(disclosure)
klien,
keterpikatan,
keasyikan
diri
(self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.
3. Integrasi pribadi.
Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien.
4. Persetujuan bersama.
Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak.
5. Kebutuhan.
Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya.
6. Struktur.
Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan
konselor dan klien.
Universitas Sumatera Utara
48
7. Kerjasama.
Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor.
Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.
8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.
Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional
konselor.
9. Perubahan.
Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif dimana si
klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik
untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan
pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan ekternal terjadi di dalam sikap
dan tindakan serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis,
2004:41-44).
Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dalam hubungan konseling
yakni:
a) Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu
demikian hangat bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa
bersahabat, tidak formal, serta membangkitkan semangat dan rasa humor.
b) Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan klien,
dan memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.
c) Keterlibatan klien, yaitu terlihat klien sungguh-sungguh mengikuti proses
konseling dengan jujur mengemukakan persoalannya, perasaannya, dan
keinginannya. Selanjutnya dia bersemangat mengemukakan ide, alternatif dan
upaya-upaya.
Universitas Sumatera Utara
49
Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana
konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan
memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Rasa kebersamaan yang
diciptakan konselor akan membuat jarak antara dia dengan klien menjadi dekat.
Keterlibatan klien dalam proses konseling ditentukan oleh faktor
keterbukaan dirinya di hadapan konselor. Jika klien diliputi keengganan dan
resistensi, maka dia tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya.
II.5
Konsep Diri
II.5.1 Pengertian Konsep Diri
Menurut Dayakisni (2003:65), konsep diri adalah keyakinan yang
dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat). Sedangkan Rakhmat (1989:112)
menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.
Pearson et.al. (Tubbs,1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah
kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi
mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang
pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri
tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita.
Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.
Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap,
mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari
yang bukan aku.
Universitas Sumatera Utara
50
II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory)
Teori Rogers atau teori diri adalah teori yang berpusat pada pribadi, yang
ditemukan oleh Carl Ransom Rogers. Teori ini pada dasarnya memberikan
tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan,
nilai-nilainya dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall,
1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi
untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.
Setiap
manusia
memiliki
kebutuhan
dasar
akan
kehangatan,
penghargaan, pengagungan dan cinta dari irang lain. Kebutuhan ini disebut need
for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi seutuhnya
adalah pribadi yang mengalami penghargaaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia
dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu, sehingga ia
tidak bersifat defensif, namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh
kepercayaan.
Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya
(self concept) dan pengalaman di satu sisi dan interpretasinya tentang stimulus
lingkungan pada sisi yang lain. Inilah tingkatan kongruensi antara faktor-faktor
tersebut yang mempengaruhi perluasan aktualisasi diri yang terjadi.
Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan lama persepsi diri dan
persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan
hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang, sehingga
mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya. Termasuk
bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, sehingga menjadi individu
yang lebih otonom, spontan dan percaya diri (Graham, 2005:92-93).
Universitas Sumatera Utara
51
Selanjutnya teori ini banyak digunakan dalam hubungan konseling yang
berpusat pada klien terapi (client-centered therapy). Ciri utama konseptualisasi
dari proses terapeutik ini adalah bahwa apabila para klien mempersepsikan bahwa
para ahli terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif
tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka
acuan internal (internal frame of reference) mereka, maka proses perubahan mulai
bergerak. Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang
yang berfungsi sepenuhnya (Hall, 1993:127-128).
Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya
(fully human being):
1. Keterbukaan pada pengalaman.
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua
pengalaman dengan fleksibel, sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan
demikian, ia akan mengalami banyak emosi baik yang positif maupun yang
negatif. Seseorang akan cenderung mencek pengalaman-pengalaman masa
lalu yang dilambangkan dengan dunia sebagaimana adanya. Uji terhadap
kenyataan ini memberikan orang pengetahuan yang dapat diandalkan tentang
dunia, sehingga orang dapat bertingkah laku secara realistis.
2. Tidak adanya sikap defensif.
Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap
pengalamannya dan bersikap realistis, sehingga ia selalu menemukan sesuatu
yang baru dan selalu berubah serta cenderung menyesuaikan diri sebagai
respon atas pengalaman selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
52
3. Kesadaran yang cermat.
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap
pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa
yang dirasakannya benar (timbul seketika dan intuitif), sehingga ia dapat
mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.
4. Penghargaan diri tanpa syarat.
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan terhadap diri sendiri
akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri-ciri
beringkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh dan berkembang
sebagai respon atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di
sekitarnya.
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya
paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang
bebas memiliki suatu perasaan yang berkuasa secara pribadi mengenai
kehidupan dan percaya masa depan bergantung pada dirinya sendiri, tidak ada
peristiwa di masa lampau, sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan
dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin
dilakukannya.
5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.
Perubahan tingkah laku (self concept) akan mendorong seseorang berinteraksi
atau menjalin hubungan dengan orang lain sebagai dasar pemenuhan akan
kebutuhan atas pengakuan orang lain (Hall, 1993:128).
Universitas Sumatera Utara
53
II.6 Hubungan
Komunikasi
Layanan
Konseling
Individual
dengan
Pembentukan Konsep Diri
Sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian-uraian di atas, bahwa
komunikasi layanan konseling individual adalah salah satu bentuk komunikasi
yang paling efektif dalam mengubah sikap, pendapat serta perilaku seseorang. Hal
ini dikarenakan di dalam konseling individual menggunakan komunikasi
hubungan manusiawi/insani yang memiliki proses siklus komunikasi antara
pemberi dan penerima pesan yang berlangsung terus menrus sejalan dengan
berlalunya waktu, dimana proses itu menciptakan hubungan sebagai hasil dari
setiap interaksi. Dalam penelitian ini pemberi pesan adalah konselor dan penerima
pesan adalah klien tunanetra.
Komunikasi layanan konseling individual yang bersifat dialogis (berupa
percakapan) ini terdapat pandangan transaksional, dimana penekanan pada derajat
keterlibatan/keikutsertaan antara konselor dan klien akan menciptakan suatu
hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Aspek penting dalam
penerimaan pesan di antara keduanya adalah memperhatikan mendengar,
memahami dan mengingat.
Jadi dalam hal ini konselor harus dapat secara akurat memahami secara
empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu, sehingga klien dapat
mengemukakan perasaannya atau permasalahannya sebagaimana adanya.
Komunikasi layanan konseling individual memiliki umpan balik yang
berlangsung dan seketika, sebagaimana Luft (Tubbs, 1996:28) menyatakan umpan
balik (feed back) adalah balasan atas perilaku yang diperbuat. Dengan adanya
umpan balik ini, maka si konselor dapat mengetahui tanggapan si klien seketika
Universitas Sumatera Utara
54
itu juga pada saat komunikasi berlangsung. Konselor mengetahui dengan pasti
apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak,
konselor akan memberikan kesempatan kepada si klien untuk bertanya dan
memberikan tanggapan/respon seluas-luasnya sehingga maksud si konselor dapat
tercapai dan tujuan konseling pun tercapai juga.
Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan
sebagai sumber informasi penting mengenai diri si klien yang selanjutnya akan
membentuk identitas diri atau konsep dirinya.
Komunikasi layanan konseling individual sebenarnya suatu proses sosial
dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Usaha untuk
saling
mempengaruhi
tersebut
dilakukan
dengan
memanfaatkan
atau
menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari komunikan yang
dipengaruhi.
Dalam hal ini, agar komunikasi layanan komunikasi konseling individual
tersebut dapat mencapai hasil yang baik, maka si konselor harus mengenal latar
belakang psikologis dan sosiologis kliennya. Pada prakteknya, konselor harus
mampu menyesuaikan pesan dengan memperhatikan aspek psikologis dan
sosiologis seperti sikap, watak atau kebiasaan si klien, sehinggga pesan tersebut
dapat diterima.
Identitas diri atau pandangan tentang diri pribadi merupakan sesuatu yang
menyangkut totalitas diri seseorang yang mencakup aspek biologis, psikologis dan
sosiologis yang tampak dalam perilaku, sikap, perkataan dan perbuatan-perbuatan
individu tersebut yang tidak identik satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
55
Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) mengatakan bahwa konsep diri adalah
kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi
mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang
pernah dicapai, yang sedang dicapai, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri
tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita.
Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘pembentukan’ berarti hal
atau cara membentuk. Pembentukan konsep diri berarti hal atau cara membentuk
konsep diri. Konsep diri dibentuk oleh adanya suatu interaksi dan komunikasi
yang efektif. Komunikasi yang dilaksanakan dapat berupa komunikasi verbal
(lisan) maupun non verbal (perilaku non verbal/bahasa tubuh).
Komunikasi layanan konseling individual merupakan bentuk komunikasi
yang paling efektif dalam upaya membentuk konsep diri klien, hal ini disebabkan
komunikasi konseling lebih memperhatikan kedekatan/ketelibatan/hubungan yang
bermakna antara konselor dan klien. Dalam kedekatan tersebut, konselor banyak
memanfaatkan penggunaan latar belakang psikologis dan sosiologis si klien,
dengan demikian pembentukan konsep diri lebih efektif.
Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi layanan konseling individual
berperan dalam mengefektifkan proses pembentukan konsep diri si klien. Nilainilai sosial yang disosialisasikan dalam upaya membentuk konsep diri akan lebih
mengena apabila disosialisasikan melalui komunikasi layanan konseling
individual.
Universitas Sumatera Utara
Download