BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Iklan atau advertising dalam realita sosial seperti sekarang ini memiliki peran yang sangat penting dan sudah tidak mungkin dapat dihindari oleh siapapun (Dyer, 1989:1; Feng Li, 2005:1). Karena itu, iklan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi dan sosial masyarakat modern. Iklan berkembang menjadi sistem komunikasi dan menjadi ujung tombak suatu pemasaran. Bagi pengusaha atau produsen, komunikasi melalui periklanan semacam ini merupakan salah satu strategi untuk memperkenalkan atau menyampaikan kegunaan dan keunggulan produk yang dipasarkan. Dalam skala besar, pada masa ini iklan dicatat sebagai genre yang paling kontroversial karena mampu berkompetisi dan tumbuh dengan cepat di ekonomi pasar global (El Daly, 2011:2; Dyer, 1989:1; Cook, 2009:1-2). Iklan dapat dijumpai di mana pun ada ruang kosong, di pinggir jalan, pohon-pohon, toko, bus, kereta api, bandara, stasiun, televisi, internet, radio, di puncak gunung, bahkan di dalam laut pun dijumpai iklan, apalagi di majalah dan surat kabar pasti dijumpai iklan (Crystal, 1987:390; Poppa, 2011:1; Cook, 2001:1). Alessandri (dalam Drewniany (ed.), 2008:36-37) mengatakan bahwa iklan merupakan sarana untuk mengenalkan dan mempromosikan merek ‘brand identity’. Dengan begitu khalayak dapat mengenal dengan baik produk yang ditawarkan itu ‘brand image’ yang pada akhirnya identitas atau merek tersebut dapat memenangkan pendapat publik identity leads to image sesuai dengan yang diinginkan pemasang iklan. Sementara Jalal (2006:14) beranggapan iklan 1 2 adalah informasi persuasif yang disampaikan untuk maksud menjual atau membeli, baik barang (produk) maupun jasa, baik kepada khalayak umum maupun kalangan tertentu saja. Informasi persuasif melalui iklan tersebut disampaikan kepada konsumen dapat melalui berbagai media, baik elektronik (radio, internet, televisi) maupun cetak (koran, majalah, papan reklame, baliho, dan sebagainya). Media-media itulah yang dianggap sebagai perantara komunikasi antara produsen dengan konsumen distributors of speech (Rotzoll, 1996:147). Pada media elektronik, seperti televisi, iklan ditampilkan lebih menarik, baik melalui aspek visual maupun audionya yang mencakup bentuk tulisan, percakapan langsung (brand ambassador atau endorsernya), video, gambar hidup, disertai musik, jinggel, dan sebagainya. Dari situ pengiklan atau produsen mengharapkan dapat menarik perhatian sebesar-besarnya dari calon konsumen. Sementara penampilan iklan di media cetak, aspek visual, seperti bentuk-bentuk tulisan ataupun gambar-gambarlah yang mendominasi. Iklan pada media cetak tidak memperlihatkan unsur bunyi atau suara apapun, baik verbal maupun nonverbal, melainkan keduanya dikemas menjadi sebuah rangkaian yang terdiri atas unsur verbal (dalam bentuk teks) dan unsur nonverbal (dalam bentuk gambar, foto, dan semacamnya). Peristiwa komunikasi dalam periklanan terbangun dari serentetan unsur verbal dan nonverbal tersebut menyatu dan mempunyai hubungan pengertian yang lengkap dan utuh, yaitu berupa pesan-pesan penjualan. Kelengkapan dan keutuhan pengertian pesan tersebut tidak lain adalah bentuk wacana. Hal ini sesuai dengan pandangan Cook (2001:3-4) bahwa unsur verbal (teks) dan unsur 3 nonverbal (konteks) yang digunakan untuk berkomunikasi adalah wacana. Wacana yang terdiri atas teks dan konteks ini merupakan sepenggal bahasa yang menjalankan fungsinya (language in use). Teks adalah bentuk nyata atau realisasi dari semua ujaran, respon, aksi masyarakat, dan sebagainya, baik berupa lisan maupun tulis. Wijana (2009:72) mengatakan bahwa teks adalah semua bentuk ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, dan sebagainya. Dalam suatu tindak komunikasi, ujaran yang sedang dipakai mengandung suatu muatan makna yang didukung oleh berbagai komponen sehingga membentuk teks. Teks dalam hal ini adalah ujaran yang dapat berupa sebuah kata, sebuah frasa, atau sebuah klausa saja. Jadi, bentuk realisasi komunikasi tersebut dalam bentuk lisan, seperti percakapan, ritual keagamaan, transaksi belanja, dan sebagainya, sedangkan dalam bentuk tulis, seperti teks pidato, poster, iklan di media cetak, dan sebagainya. Istilah teks di sini akan kita gunakan sebagai terminologi teknis untuk mengacu bentuk komunikasi verbal. Sementara itu, konteks adalah semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan ataupun tulisan, musik, gambar, citra dan sebagainya. Konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur Wijana (1996:11). Konteks juga berupa semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa verbal, seperti siapa partisipannya, di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Di sinilah konteks sangat berperan sebagai pembentuk teks. Teks sendiri tanpa konteks tidak sepenuhnya dapat menampilkan makna dan pesan. 4 Jadi, di sini teks tidak dipahami sebagai mekanisme internal linguistik saja melainkan teks dipahami dalam konteks keseluruhan. Bagaimana masyarakat menggunakan bahasa (teks) dalam kehidupan lingkungannya, dalam situasi dan konteks yang bagaimana sehigga antara bahasa (teks) dan konteksnya menyatu dan padu. Di situlah, makna unsur verbal menyatu dengan makna unsur nonverbal dalam satu rangkaian konteks dan situasi sebagaimana yang dikatakan Firth melalui Syamsuddin (1992:2) bahwa bahasa hanya akan bermakna jika menyertakan konteks ‘language as only meaningful in its context of situation’. Dalam teks yang tercetak, setiap kalimat adalah suatu pernyataan yang bisa dicari relevansinya dengan kenyataan yang diacu dan diusut arah logikanya secara berulang-ulang guna menguji koherensinya. Teks dalam iklan merupakan bentuk praktik sosial sebagaimana dikatakan Gee (2005:8) language has meaning only in and through social practice, yaitu bahasa (teks) itu baru bermakna pada saat digunakan di dalam sosial masyarakat. Bagaimana teks bahasa (linguistic forms) itu bekerja di dalam praktik sosiokultural. Akan tetapi, tidak bias dipungkiri, seringkali teks yang dipergunakan dalam iklan di media cetak, sulit dipahami oleh pembaca yang awam, apalagi jika memang bukan budayanya sendiri atau kultur yang berbeda. Dengan demikian perlu penjelasana lebih lanjut. Hal tersebut dapat diperhatikan seperti peringatan kepada masyarakat (layanan masyarakat) di bawah. 1. ""التدخني لفرتة طويلة يؤثر على العالقة الزوجية [at-tadkhīn li fithratin thawīlah yu’atstsiru `alā al-alāqah az-zaujiyyah] ‘Merokok dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan gangguan 5 hubungan suami istri’ Gambar 1.1 Peringatan pada Bungkus Rokok di Mesir Frasa adjectival العالقة الزوجية ‘hubungan suami istri’ dalam kalimat di atas adalah penanda, gambar ‘rokok bengkok’ pada bungkus rokok itu juga penanda, tetapi kata dan gambar tersebut secara sendiri-sendiri tidak memiliki makna yang spesifik. Namun, ketika kedua penanda tersebut dikaitkan satu sama lain, bagi pengguna bahasa tertentu, penanda-penanda tersebut, tentunya memiliki ‘konsep makna’ atau pemahaman sendiri yang sudah diketahui dan kemudian disepakati bersama di antara masyarakat penggunanya. Mereka akhirnya pasti paham dengan penanda-penanda itu setelah dirangkai sedemikian rupa, maka muncul makna atau pesan yang dapat dipahami dan sangat logis. Contoh di atas adalah teks peringatan yang tertera pada bagian depan dan belakang kotak bungkus rokok Cleopatra, produksi Mesir. Peringatan 6 semacam itu tidak hanya tertera pada rokok produksi Mesir saja, tetapi juga terdapat pada rokok-rokok produk luar (Mesir), seperti Marlboro dan lainnya yang dipasarkan di Mesir. Teks di atas memang merupakan ketentuan Departemen Kesehatan yang harus dicantumkan oleh produsen pada bungkus rokoknya. Peringatan tersebut ditujukan kepada para perokok di Mesir bahwa merokok dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan yang serius, yaitu hubungan suami-istri. Teks (verbal) ‘gangguan hubungan suami istri’ tersebut merupakan hasil dari terlalu banyak merokok. Ilustrasi (nonverbal) berupa sebatang rokok filter, sebagian besar sudah terbakar yang dapat dibedakan dari abu yang masih menempel pada sisa rokok dan sisa yang belum terbakar, berbentuk melengkung atau membengkok merupakan konteks. Antara teks (verbal) dan konteks (nonverbal) di atas secara bersama-sama menghasilkan makna dan pesan. Makna yang diperoleh adalah rokok yang terus terbakar akan habis tinggal abu. Abu rokok adalah bagian dari rokok, yaitu residu. Residu atau sampah rokok tidak ada gunanya, tidak memiliki kekuatan yang bisa menegakkan rokok itu lagi. Begitu pula jika seorang suami terlalu banyak banyak merokok akan ada bagian dari (milik) suami itu yang tidak berfungsi, tidak bisa tegak dan bengkok seperti rokok alias impoten. Oleh karena itu, jika ini terjadi, maka pasti hubungan antara suami dan istri itu akan terganggu. Hal ini berbeda sekali dengan peringatan yang tertera pada bungkus rokok di Indonesia yang berbunyi ‘Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin’ (teks verbal) tanpa ilustrasi (dulu). Namun, sekarang rokok di Indonesia sudah disertai 7 gambar, seperti luka kanker yang menganga dan mengerikan, jantung yang luka menghitam, dan sebagainya. Dari dua bentuk teks peringatan pada rokok di atas tampak adanya perbedaan budaya dan perilaku masyarakat di dua negara ini. Pemerintah Mesir menyikapi masalah akibat merokok yang ditekankan adalah impotensi. Di Mesir penjabaran kata impotensi justru lebih ditonjolkan dan menjadi perhatian, bahkan divisualisasikan dengan gambar rokok yang sudah terbakar dan tidak lurus lagi (bengkok). Ikon ‘rokok bengkok’ (konteks/nonverbal) pada bungkus rokok itu ada hubungannya dengan frase adjectival (teks/verbal) ‘hubungan suami isteri’. Hubungan teks dan konteks tersebut adalah ‘laki-laki yang terlalu banyak merokok dalam jangka waktu lama akan menyebabkan ‘alat vitalnya’ menjadi lemah lunglai. Akibatnya bengkok seperti gambar ‘rokok’ tersebut dan tidak mampu tegak ‘karena sudah terbakar oleh rokok’. Jika lunglai semacam itu, tidak akan mampu lagi ‘berhubungan intim’ dengan istrinya. Artinya, terlalu banyak merokok bisa menimbulkan efek yang sangat serius dan fatal, yaitu disereksi atau impotensi. Ini sebuah pertanda buruk bagi laki-laki. Jika seorang laki-laki lunglai tidak berdaya dengan pasangannya di atas ranjang merupakan masalah yang serius dalam budaya Mesir. Laki-laki yang tidak perkasa di atas ranjang adalah aib, tabu, dan harus dihindari. Impotensi bisa akan mengganggu keharmonisan hubungan dengan suami-istri. Akibatnya, rumah tangga akan mengalami ketidakharmonisan, kegoncangan, dan seterusnya. Dengan demikian, tuturan atau teks dan konteks tersebut memiliki daya perlokusi yang menunjukkan kesejajaran fungsi tutur dan prilaku sosial yang 8 diharapkan, yaitu ‘himbauan (keras), larangan, dan juga perintah’ kepada para perokok: “hati-hatilah dengan rokok, hindari rokok, jangan terlalu banyak merokok, rokok dapat mengganggu kesehatan, kalau tidak mau ‘alat vital’ Anda ‘lemah dan lunglai tak berdaya’ seperti bengkoknya rokok pada gambar tersebut, dan seterusnya. Dari itu, peneliti merasakan bahwa wacana persuasif nonpersonal melalui IKOMCEMES sangat menarik dalam menyampaikan berbagai macam pesan karena seluruh unsur verbal maupun nonverbal tampak erat keterkaitannya. Apalagi pesan-pesan yang dikonstruksikan di dalam IKOMCEMES tersebut dari nilai-nilai dan konteks budaya yang berkembang di masyarakat Mesir. Unsur-unsur pembentuk wacana tersebut dikemas oleh copywriter maupun visualiser dan yang terkait dengan bahasa yang indah dan ilustrasi yang sangat menarik dan dengan metode persuasi yang tepat. Ilustrasi sebagai isyarat nonverbal digunakan untuk menggambarkan (pesan) apa yang telah dikatakan secara verbal (Littlejohn, 2014:162). Dalam iklan, kata Crystal (1987:396) yang penting adalah kekuatan bahasa. Bahasa yang ditunjukkan dalam iklan harus mampu menimbulkan efek kekaguman, positif, tidak memihak, dan menekankan keunikan suatu produk. Akan tetapi, komuniksi dalam iklan yang efektif tidak hanya ditentukan dengan kata-kata (verbal), melainkan dengan gambar atau visual yang menarik. Pada hakekatya pesan iklan lebih cepat diterima calon konsumen jika disajikan dalam bentuk visual (nonverbal). Pengaruh visualisasi akan membuat calon konsumen mampu berimajinasi dan meningat-ingat produk yang sedang ditawarkan. Dengan visualisasi yang menarik tersebut secara tidak langsung 9 mampu memaksa pembaca atau siapa pun yang melihatnya untuk sejenak merenungkan maknanya. Oleh karena itu, kata-kata dan gambar dipilih agar iklan tampak unik dan memikat calon konsumen dan akhirnya mereka mau membeli dan menggunakan produk yang ditawarkan. Dengan demikian iklan dapat membentuk dan menghasilkan prilaku, janji-janji, keyakinan, illusi terhadap barang-barang yang diiklankan, dan rasa penasaran jika tidak membeli produk yang diiklankan (Pajnik, 2002:279). Bagi pengusaha dan produsen, iklan memang menjadi pilihan menarik dalam kegiatan komunikasi pemasaran. Iklan merupakan ujung tombak untuk mendukung pemasaran dan kesuksesan bisnisnya. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnisnya tanpa menggunakan jasa periklanan (Wijana, 1991:1). Untuk itu, diperlukan sebuah kreatifitas seni untuk menjual ‘commercial arts’ (Nixon, 2003:91), yaitu melalui iklan. Kreatifitas dalam iklan dapat diperhatikan dari penampilan iklan yang kini semakin beragam dan menarik perhatian. Penampilan iklan yang demikian tentu melibatkan banyak expertist atau ahli, seperti penulis, pelukis, seniman, sutradara film, bahkan para artis yang menjadi Grand Ambasador atau Endorser produk modern yang diiklankan. Oleh karena itu, di negara-negara maju, iklan yang memenuhi halaman-halaman surat kabar ataupun majalah merupakan bentuk seni yang resmi atau official art (Dyer 1989:1). Namun, di lain pihak, Ogilvy dan Mather, biro iklan terkemuka di Amerika (dalam Kasali, 1995:80), menampik pendapat Dyer ini. Dia mengemukakan bahwa iklan bukanlah hiburan atau seni, melainkan sebuah media informasi yang berorientasi lebih pada keuntungan daripada sekedar 10 nilai kreatif. Akan tetapi, kemudian pendapat Ogilvy ini juga disanggah oleh Lowe (1996:88) yang justru mendukung Dyer bahwa kemampuan menciptakan naskah iklan yang bagus dan menarik merupakan seni atau deviasi seni. Sementara Indarto (dalam Santoso, 2006:18), sebagai praktisi iklan, berusaha menggabungkan pendapat-pendapat di atas dan menyatakan bahwa umumnya iklan yang bagus adalah iklan yang menarik, memiliki daya pikat atau persuasi yang tinggi, menghibur, bahkan lucu, dan sekaligus dapat menjual. Dari semakin menariknya penampilan iklan itulah, maka ada pandangan umum bahwa bonafiditas suatu perusahaan dapat dinilai atau diperhitungkan dari berapa jumlah dana yang dialokasikan oleh perusahaan untuk iklan atau promosinya (Lee, 2011:5). Sebagai contoh, di Amerika Serikat (tahun 1997) pembelanjaan iklannya mencapai 13.5 miliar dolar; perusahaan otomotif mencapai 6.5 miliar dolar; produk eceran sebesar 3.4 miliar dolar; restoran sebesar 1.9 miliar dolar, dan makanan sebesar 1.7 miliar dolar. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama Accounting Firm Pricewaterhouse Coopers (dalam Jaiz, 2011: 14) menyebutkan bahwa tahun 2004 biaya belanja iklan di Amerika Serikat sudah mencapai 212 miliar dolar, dan di seluruh dunia mencapai 414 miliar dolar. Sementara 2010 pembelanjaan iklan di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai labih dari setengah triliun dolar. Sebuah angka yang fantastis dan luar biasa, betapa besar anggaran iklan yang harus dibelanjakan oleh perusahan. Kemewahan iklan, jika dilihat dari beaya yang dikeluarkan, inilah yang sering membuat pemirsa terpesona, memandangi iklan dengan rasa kagum bahkan sejenak menghipnotis orang 11 untuk tidak menggunakan rasionya (Agustrijanto, 2006:3) dan bertanya-tanya berapa biayanya membuat iklan semacam itu. Dengan melihat dan memperhatikan iklan yang demikian itu pemirsa menjadi teringat (mnemonic) terus di benaknya (Jaiz, 2011:31) bahwa iklan ‘itu’ adalah iklan produk A atau B ‘brand image’. Misalnya, ungkapan ‘Orang Pintar Minum Tolak Angin’ pasti orang akan ingat kapan pun di mana pun jika terkena masuk angin akan mencari Tolak Angin yang diproduksi oleh Sido Muncul. 1.2 Ruang Lingkup Masalah dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini difokuskan pada analisis wacana terhadap unsur verbal dan nonverbal pada iklan komersial di media cetak Mesir (IKOMCEMES). Iklan di media cetak yang dimaksud adalah iklan-iklan pada surat kabar dan majalah yang terbit di Mesir. Dua media ini dipilih karena media komunikasi ini umum digunakan oleh produsen untuk beriklan dan menjual produknya, di samping jangkauan distribusinya yang luas serta tidak mengenal ruang dan waktu. Penelitian ini dimaksudkan untuk memerikan pentingnya unsur-unsur yang membangun wacana dalam IKOMCEMES, mengapa pengiklan atau copywriter dan visualiser memilih dan menggunakan unsur verbal (teks) serta unsur nonverbal, seperti penyertaan ilustrasi, gambar, atau bentuk-bentuk nonverbal lainnya yang terkait dengan konteks sosial budaya dalam sebuah iklan komersial di media cetak Mesir tersebut. Selain itu, bagaimana relasi antara kedua unsur tersebut sehingga memiliki makna pesan yang utuh dan lengkap sebagaimana yang diinginkan pengiklan atau advertiser. 12 Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalah-masalah yang muncul sebagai berikut. a. Bagaimanakah penggunaan unsur verbal dan nonverbal dalam membentuk wacana dan kepaduannya dalam IKOMCEMES? b. Bagaimana struktur dan tipe-tipe wacana IKOMCEMES? c. Bagaimana hasil penelitian IKOMCEMES dalam kaitannya dengan makna atau pesan (message) yang terkandung di dalamnya untuk disampaikan kepada pembaca? 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian tentang iklan komersial pada media cetak ataupun elektronik sudah banyak dilakukan sebelumnya, baik penelitian untuk skripsi, tesis, maupun disertasi, khususnya iklan berbahasa Indonesia dan yang lainnya. Sementara iklan komersial berbahasa Arab, penelitian yang dilakukan sebelumnya masih terbatas pada pembicaraan tentang unsur verbal dalam iklan komersial dan sama sekali belum menyinggung unsur nonverbal (yang juga menjadi bagian penting dalam iklan), baik pada iklan media cetak maupun elektronik. Pentingnya kedua unsur itu hadir dalam satu iklan media cetak yang kemudian menjadi alasan mengapa penulis memilih tema ini. Sejauh pengamatan penulis penelitian tentang iklan komersial berbahasa Arab di media cetak Mesir, belum pernah diteliti secara komprehensif. Artinya, penelitian-penelitian wacana iklan komersial berbahasa Arab yang ada baru menganalisis aspek kebahasaan (unsur verbal) saja. Sementara aspek luar 13 bahasa (unsur nonverbal) sejauh yang terjangkau pengamatan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian wacana iklan komersial di media cetak Mesir (IKOMCEMES) ini layak untuk penulis jadikan objek penelitian karena penelitian yang dilakukan melibatkan semua unsur pembentuk wacana iklan, baik unsur verbal maupunn unsur nonverbalnya. Hal ini menurut penulis sejalan dengan pendapat para ahli bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan pembentuk pesan atau makna yang lengkap sebagaimana yang diinginkan pengiklan. 1.4 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang dikemukakan tersebut, maka penelitian ini memiliki tujuan teoretis maupun tujuan praktis. Tujuan teoretisnya ditemukannya empat tipe struktur (susunan) elemen iklan komersial media cetak Mesir, yaitu struktur lima elemen, empat elemen, tiga elemen, dan dua elemen beserta variasi-variasi susunannya. Misalnya, struktur dua elemen pada IKOMCEMES ditemukan beberapa variasi, tidak hanya headline dan signature line, tetapi juga headline dan illustration; headline yang menyatu dengan signature line, dan illustration. Dua elemen tersebut masing-masing adalah elemen verbal dan nonverbal. Di samping itu, unsur verbal pada elemen headline merupakan elemen yang dianggap mampu menarik perhatian pembaca atau calon konsumen, akan tetapi, di dalam IKOMCEMES yang mampu menarik perhatian pembaca atau calon konsumen tidak hanya terdapat pada elemen headline, tatapi juga terdapat pada elemen ilustrasi (nonverbal). Dengan adanya kemajuan dan 14 kreativitas dalam periklanan ini harapannya konsumen mau mengikuti arahan, bujukan pengiklan, dan akhirnya mau membeli dan menggunakan produk yang mereka tawarkan. Adapun tujuan praktisnya adalah: a. mengungkap dan menjelaskan unsur-unsur pembentuk wacana di dalam wacana IKOMCEMES dan memerikan koherensi antarunsurnya, b. menjelaskan tipe-tipe dan struktur elemen yang digunakan dalam wacana IKOMCEMES, c. menjelaskan implikasi antarunsur pembentuk wacana IKOMCEMES tersebut sesuai dengan konteksnya sehingga dapat dipahami makna dan pesan IKOMCEMES. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian wacana IKOMCEMES ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum sebagai berikut. a. memahami apa unsur-unsur wacana IKOMCEMES dan bagaimana tipe-tipe struktur elemen IKOMCEMES, baik unsur kebahasaan (verbal) maupun unsur luar kebahasaannya (nonverbal), b. mempermudah konsumen memahami makna dan pesan iklan sehingga dapat merespon bentuk-bentuk iklan yang ditawarkan, c. temuan hasil penelitian tentang tipe-tipe atau pola struktur elemen IKOMCEMES yang menarik dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh copywriter dan desainer grafis iklan visual dan usaha periklanan di Indonesia. 15