ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN

advertisement
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
Ferina Nuriasih
A01301751
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Ferina Nuriasih1,Nurlaila2,M.Kep.Ns
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN
ELEKTROLIT PADA An.A DI RUANG MELATI 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN
Latar belakang. Penyakit DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Penyakit demam dengue ini dapat
menimbulkan gejala klinis yaitu mual muntah yang dapat menyebabkan terjadinya
kekurangan volume cairan. Presentasi cairan pada bayi jauh lebih banyak
dibanding dengan orang dewasa oleh karena itu bayi lebih beresiko tinggi
mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Tujuan umum penulisan. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di ruang Melati RSUD Dr Soedirman
Kebumen.
Asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang muncul yaitu defisit
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah).
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu menganjurkan
keluarga untuk memberikan banyak minum, memantau tanda gejala dehidrasi,
melakukan pengukuran vital sign, mengobservasi muntah dan BAK , pemberian
cairan IV RL 500ml (30tpm), menimbang popok dan berat badan, memonitor
asupan dan pengeluaran. Hasil evaluasi diagnosa defisit volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah) teratasi.
Analisa tindakan. Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif
untuk menangani resusitasi cairan pada penyakit DBD.
Kata kunci: elektrolit, cairan, asuhan keperawatan
iv
Nursing Studies Programe DIII
College of Health Sciences Muhammadiyah Gombong
KTI, August 2016
Ferina Nuriasih1, Nurlaila2, M.Kep,Ns
ABSTRACT
NURSING CARE OF “A” THE CHILD PATIENT WITH FLUIDS AND
ELECTROLYTE NEED AT MELATI WORD ROOM 3A3
RSUD Dr SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN
Background. DHF in Indonesia has become a public health problem since last 30
years. Dengue fever can cause clinical symptoms are nausea and vomiting that can
lead to lack of fluid volume. Presentation of fluid in the baby much more than
adults because the baby is at high risk of fluid and electrolyte balance disorders.
The general objective of writing. Describing nursing care meeting the needs of
fluid and electrolytes to An.A in Melati room RSUD Dr Soedirman Kebumen
hospital.
Nursing care. The main nursing diagnoses that arise are fluid volume deficit
associated with loss of active liquid (nausea, vomiting). Implementation of
nursing has been done among which encourage families to give a lot of drinking,
wathcing the signs of dehydration symptoms, measurements of vital signs,
observe vomiting and urinating, RL 500ml IV fluid administration (30tpm),
weighing diapers and weight, observe your intake and expenditure. The results of
diagnostic evaluation of fluid volume deficit associated with loss of active liquid
(nausea, vomiting) resolved.
Analysis of the action. Crystalloid fluid administration group (RL, RA) is very
effective for dealing with fluid resuscitation in dengue disease.
Keywords. electrolyte, fluid, nursing care
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarakatuh
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan
Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Pada An.A Diruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman
Kebumen”. Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk
melaporkan hasil Karya Tulis Ilmiah dalam rangka ujian tahap akhir jenjang
pendidikan DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong.
Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat sehat kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar
2. Bapak Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku Ketua STIKes Muhammadiyah
Gombong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan keperawatan
3. Bapak Sawiji Amani, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DII
Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah mendidik
penulis dengan baik
4. Ibu Nurlaila, S.Kep,Ns, M.Kep selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah
ini yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan kepada
penulis
5. Kedua Orang tua, Bapak Sahro dan Ibu Marilah yang telah memberikan
kasih sayang, semangat, motivasi, materil serta doa kepada penulis
sehingga membantu menyelesaikan tugas ini dengan lancar
6. Tim penguji Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan saran dan arahan
7. Ibu Rini Amborowati, S.Kep,Ns selaku pembimbing klinik selama ujian
komprehensif yang dengan sabar membimbing dan memberikan anyak
masukan kepada penulis
vi
8. Segenap dosen dan staff STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan arahan materi selama penulis
menempuh pendidikan
9. Segenap Keluarga besar Bapak Trimo Rejo dan Bapak Sahro yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis
10. Teman-teman seperjuangan kelas 3A khususnya Anggun K, Anis L,
Annisa S, Fitroh A, dan sahabat dekat penulis R.A yang telah
memberikan banyak semangat dan doa kepada penulis
11. Serta tidak lupa kepada An.A dan keluarga yang telah mau bekerjasama
dengan penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan
Semoga Alloh SWT senantiasa melipahkan rahmat serta hidayahNya kepada
kita semua, amin. Besar harapan penulis, semoga laporan Karya Tulis Ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis dan rekan-rekan pembaca semua.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarrokatuh
Gombong, 2 Agustus 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5
BAB II KONSEP DASAR
A. Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit ..................................................... 6
1. Pengertian Cairan dan Elektrolit .................................................... 6
2. Fungsi Cairan Tubuh ...................................................................... 7
3. Fisiologis Kekurangan Volume Cairan .......................................... 7
4. Tanda Gejala Kekurangan Volume Cairan .................................... 7
5. Dehidrasi ........................................................................................ 8
6. Cara Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit ....................... 10
7. Faktor Keseimbangan Cairan ......................................................... 12
B. Konsep Dasar Cairan Intravena ........................................................... 14
1. Pengertian Cairan Intravena ........................................................... 14
2. Tujuan Pemberian Cairan Intravena .............................................. 14
3. Keadaan-keadaan yang Memerlukan Cairan IV ............................ 14
4. Penatalaksanaan Pemberian Cairan IV pada DBD ........................ 15
5. Menghitung Tetesan Infus.............................................................. 17
BAB III RESUME ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ............................................................................................ 19
B. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan ............................................ 21
C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi ................................................ 22
BAB IV PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan ........................................................................... 32
1. Defisit Volume Cairan ................................................................... 32
2. Hipertermia .................................................................................... 35
3. Defisiensi pengetahuan .................................................................. 38
4. Resiko perdarahan .......................................................................... 41
B. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan............................................... 43
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 48
B. Saran ..................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Lembar Konsultasi
Lampiran 2
: Jurnal Penelitian
Lampiran 3
: Laporan Asuhan Keperawatan
Lampiran 4
: Laporan Pendahuluan
Lampiran 5
: Satuan Acara Penyuluhan
Lampiran 6
: Lembar Balik
Lampiran 7
: Lembar Leaflet
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidayati (2009) mengemukakan bahwa masalah kesehatan anak
merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini
terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat
kesehatan bangsa, sebab anak adalah generasi penerus bangsa yang
memiliki
kemampuan
untuk
dikembangkan
dalam
meneruskan
pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut maka masalah
kesehatan anak di prioritaskan didalam perencanaan atau penataan
pembangunan bangsa.
Faktor yang sering mempengaruhi anak mengalami sakit adalah
wilayah tropis, dimana wilayah tropis di Indonesia memang baik bagi
kuman untuk berkembang biak contohnya demam (Damayanti, 2008).
Penyakit ini biasanya semakin mewabah saat musim peralihan. Terjadinya
perubahan cuaca tersebut dapat mempengaruhi perubahan kondisi
kesehatan
anak.
Kondisi
anak
dari
sehat
menjadi
sakit
yang
mengakibatkan tubuh bereaksi untuk meningkatkan suhu yang disebut
dengan demam. Ada beberapa penyakit menular di Indonesia yang
disebabkan virus, salah satu diantaranya yaitu dengue (Soedarto,2009)
Menurut WHO (2008) demam berdarah dengue (DBD/Dengue
heaemoragic fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan
didaerah tropis dan subtropis, terutama didaerah perkotaan. DBD
merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi. DBD
ditemukan pertama kali pada tahun 1950 di Filipina dan Thailand. DBD
saat ini sudah dapat ditemukan disebagian besar negara di Asia. Sudah
beberapa tahun ini jumlah negara yang mengalami wabah DBD ini
meningkat empat kali lipat, dan sebagian besar kasus menyerang pada
2
anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD mecapai lebih dari 20%, namun
dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1% .
Di Indonesia, penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Pada saat ini kasus penyakit DBD
sudah dapat ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia dan 200 kota telah
melaporkan kasus kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD (DepKes RI ,
2008). Jumlah kasus penyakit DBD pada tahun 2014 tercatat penderita
DBD di 34 Propinsi di Indonesia mencapai 7.668 kasus, dan 641 orang
diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut rendah dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yaitu sebanyak 112.511 kasus, dengan sebanyak 871
orang meninggal dunia (KemenKes RI, 2015). Penyakit demam dengue ini
dapat menimbulkan tanda dan gejala klinis diantaranya seperti mual dan
muntah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan volume cairan
(Suriadi dan Yuliani, 2010)
Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa kekurangan volume cairan
akan terjadi saat air dan elektrolit yang hilang berada didalam proposi
isotonik. Kadar elektrolit didalam serum tetap dan tidak berubah, kecuali
apabila
terjadi
ketidakseimbangan
lain.
Pasien
yang
mengalami
kekurangan volume cairan ini biasanya adalah pasien yang mengalami
kehilangan cairan dan elektrolit melalui gastrointestinal, misalnya akibat
muntah, penghisap lambung, diare ataupun fistula.
Tarwoto dan Wartonah (2006) menyatakan bahwa cairan dan elektrolit
merupakan kebutuhan hidup kedua setelah udara. Tubuh dikatakan
seimbang apabila jumlah keseluruhan dari air didalam tubuh dalam
keadaan normal dan relatif konstan. jika seseorang kehilangan cairan
dalam jumlah yang cukup besar, maka akan terjadi kelainan pada fungsi
fisiologis yang cukup serius. Perlunya mempertahankan jumlah cairan
didalam tubuh secara konstan yaitu karena cairan mempunyai banyak
peran penting didalam tubuh. Cairan itu sendiri merupakan zat pelarut
utama bagi tubuh, salah satunya melarutkan zat kimia didalam tubuh.
3
Dalam hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan dan elektrolit
merupakan salah satu proses dinamik dalam tubuh, karena metabolisme
tubuh membutuhkan perubahan yang tetap berespon terhadap stressor
fisiologis dan lingkungan.
Pada bayi cairan total tubuh yaitu 80% dari berat badan, dan pada usia
3 tahun cairan total tubuh menjadi 65% dari berat badan (Mubarak,
Chayatin 2009). Pada bayi dan anak kecil memiliki kebutuhan cairan yang
lebih besar sehingga bayi dan anak lebih rentan terhadap perubahan
keseimbangan cairan serta elektrolit. Gangguan keseimbangan dan
elektrolit akan terjadi lebih sering dan lebih cepat, dan pada saat itu pasien
anak-anak kurang cepat untuk menyesuaikan diri mereka dengan
perubahan ini (Tarwoto dan Wartonah, 2006).
Presentasi cairan tubuh pada bayi jauh lebih banyak dibanding
presentasi cairan tubuh pada orang dewasa. Sebagian besar dari cairan
tubuh bayi adalah cairan ekstrasel (CES), sehingga bayi beresiko tinggi
terhadap kekurangan volume cairan karena CES lebih mudah hilang
dibanding cairan intrasel (CIS). Di samping itu, fungsi ginjal pada bayi
belum matur, sehingga dapat menyebabkan bayi dan anak-anak lebih
beresiko terhadap perubahan kadar cairan dan elektrolit (Rosdahl dan
Kowalski, 2014). Pada saat lahir fungsi ginjal bayi sebanding dengan
30%-50% dari kapasitas orang dewasa dan belum cukup matur untuk
memekatkan urin. Pada bayi semua struktur ginjal sudah ada tetapi
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin dan mengatur kondisi
cairan serta fluktuasi elektrolit belum maksimal (Wong, 2008). Dua dan
tiga tahun pertama merupakan masa periode emas bagi perkembangan
anak secara optimal, untuk mencapai proses tumbuh kembang yang
optimal pada anak, maka yang perlu diperhatikan yaitu tidak hanya aspek
nutrisi, namun kebutuhan cairan tubuhnya juga perlu diperhatikan guna
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (Setiawan, 2013)
4
Kekurangan volume cairan dan elektrolit dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume, tekanan darah, nadi
cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan
diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata
dan ubun-ubun cekung, selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering
dan penanganan kasus DHF yang terlambat akan mengakibatkan Dengue
Syok Sindrom (DSS) yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
dikarenakan penderita mengalami defisit volume cairan akibat dari
meningkatnya permeabilitas dari kapiler pembuluh darah sehingga
seseorang yang menderita DHF mengalami syok hipovolemik dan
akhirnya meninggal (Ngastiyah,2010).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis
tertarik menyusun karya tulis ilmiah “Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit Pada An.A Di Ruang Melati 3A3 RSUD
Dr Soedirman Kebumen”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan
asuhan
keperawatan
dengan
pemenuhan
kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di Ruang Melati 3A3
RSUD Dr Soedirman Kebumen.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan caiaran dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan yang muncul pada
An.A dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
5
d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada An.A dengan
masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang
Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen.
e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada An.A dengan masalah
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD
Dr Soedirman Kebumen.
f. Mendeskripsikan hasil analisa tindakan pada An.A dengan masalah
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD
Dr Soedirman Kebumen.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat untuk rumah sakit
Agar dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi guna
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien dengan
pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di RSUD Dr Soedirman.
2. Manfaat untuk institusi
Agar dapat menjadi wacana dan bahan masukan yang baru dalam
proses belajar mengajar terhadap pemberian asuhan keperawatan pada
klien dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.
3. Manfaat untuk penulis
Untuk menambah dan memperluas wawasan pengetahuan serta
pemahaman yang lebih mengenai pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit juga sebagai prasyarat kelulusan program studi DIII
Keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Potter Patricia, G. Perry Anne. (2010). Clinical Nursing Skill & Technique.
Canada:ISBN
Anonim. (2006). Ringer Asetat Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio.
Majalah Farmacia, 5(9): 34.
Aris Setiawan, dkk. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: TIM
Bulecheck G, Butcher H, Dochterman J, Wagner C. (2016). Nursing Interventions
Classification (NIC), 6th Indonesian edition. Indonesia: ISBN
Bridget AW, Nguyen M, Ha Loan, Dong TH, Tran TN, Thuy MD. (2005).
Comparison of three fluid solution for resusitation in Dengue Shock
Syndrom. N Engl J Med;353;877-89
Carolin Brunker, R., Mary, T., Kowalski. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar
VOL 10, Edisi 1. Jakarta : EGC
Chen K, Herdiman TP, Robert S. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Medicinus, 22(1): 3–7.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi revisi 3. Jakarta :
EGC
Damayanti. (2008). Psikologi Kesehatan Depok. Jakarta: EGC
Darmawan. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Tata Laksana Demam
Berdarah
Dengue.
http://www.depkes.go.id/download/Tata%20Laksana%20DBD.pdf
Hartoyo Edi. (2008). Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Sari
pediatri, vol. 10, No. 3
Citraresmi, E., Rezeki, S., H, Arwin AP Akib. (2007). Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di
Enam Rumah Sakit di Jakarta. Sari pediatri, vol. 8, No 3 (Suplemen)
Herdman, T. H. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012/2014. Jakarta : EGC
Hidayat Alimul, A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat, A. A., Musrifatul Uliyah. (2014). Buku Saku Praktikum Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Hidayati, A. A. (2009). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Indrawati E. (2012). Demam Berdarah Dengue. Warta RSUD, Th. VI, No 11, 7–
9.
Lestari K. (2007). Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Indonesia. Farmaka, 5(3): 12–29. Fokus
Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculaapius. Jakarta :
EGC
Mc Closkey et al. (2006). Nursing Intervention Classification. USA : Mosby
Mubarak, W.I., Chayatin, N. (2007). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Karyanti Mulya R., Satari Hindra I., Sjarif Damayanti R. (2005). The effect of
Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in
dengue hemorrhagic fever. Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No 3-4
M. ikhwan, S. (2013). Pentingnya Cairan dan Ion Tubuh bagi Anak : Stiviora
Tjang (Edelman Indonesia)
Ngastiyah. (2010). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Potter & perry. (2006). Fundamental of nursing : Concepts, Process and Practice,
7th Edition 4, Vol 1 . Jakarta: EGC.
Price Silvia A, M. Wilson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Soedarto. (2009). Penyakit Menular Di Indonesia. Jakarta: ISBN
Soegijanto S. (2006). Demam Berdarah Dengue, Edisi 2. Surabaya, Airlangga
University Press.
Sudoyo, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Suriadi, Yuliani. R. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: ISBN 97995115-42
Syaifudin. (2006). Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika
Tarwoto, Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba
Wong, Dona L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Edisi 6. Jakarta: EGC
Wongkar, m. F. (2015). Ketrampilan Perawatan Gawat Darurat dan Medikal
Bedah. yogyakarta: gosyen publishing.
World
Health Oraganization. (2008). Dengue and
http://www.who.int/mediacenter/factsheest/fs117/en/
Dengue
Fever.
Sari Pediatri,
Vol. 8, No.
Januari Januari
2007: 82007
- 14
Sari Pediatri,
Vol. 38,(Suplemen),
No. 3 (Suplemen),
Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue
pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumah
Sakit di Jakarta
Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib
Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta,
pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor.
Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin
terjadi overdiagnosis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksana
DBD menurut kriteria WHO 1997.
Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia
0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yang
dirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004.
Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%),
DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal
(1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi
88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakan
pada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusi
darah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dan
dijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatan
DBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkan
hanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan pada
pasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBD
berdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%.
Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalam
mengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun
2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkan
peningkatan CFR.
Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR.
Alamat korespondensi:
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan Penyakit
Tropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743.
Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUIRSCM email : [email protected]
8
I
nfeksi virus dengue memiliki karakteristik
terjadinya kejadian luar biasa (KLB) atau
epidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu
lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup
bermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998,
dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadi
di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus
59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatality
rate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwa
pasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumah
sakit sampai tak tertampung dan harus dirawat di
koridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5
Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus berat
bertambah, namun sangat mungkin pula terjadi
overdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebut
dapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis dan
laboratorium dengan menggunakan kriteria WHO
tahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLB
DBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan dari
segenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas,
dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untuk
memberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukan
diketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratoris
serta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuan
dalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBD
di masa datang.
Metoda
Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silang
dengan pengambilan data secara retrospektif dari
rekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 015 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di
RSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati,
RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita
dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLB
DBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatan
rekam medik ditelaah mengenai karakteristik
demografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obatobatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulang
menurut dokter yang merawat disesuaikan dengan
kriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dan
dilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuai
jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut.
Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi
13.0.
Hasil
Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/
DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumah
sakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyai
catatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria.
Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,4±3,8) tahun,
median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentang
usia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1).
Pasien DD dan DBD sebagian besar memiliki
status gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranya
memiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatan
tersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari);
rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3
hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) dengan
rentang lama perawatan 1 sampai 18 hari.
Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4%
pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikuti
kelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DD
dan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%)
Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB
2004
Parameter
Jumlah pasien [n(%)]
Usia (rerata ± SB, tahun)
Rasio laki-laki : perempuan
Status gizi [n (%)]
− gizi lebih
− gizi baik
− gizi kurang
− gizi buruk
Lama perawatan (rerata ± SB, hari)
DD
DBD
Total
241 (16,1)
5,6±3,7
1,29:1
1253 (83,9)
6,5±3,8
1,07:1
1494 (100)
6,4±3,8
1,11:1
64 (26,6)
119 (49,4)
54 (22,4)
4 (1,7)
3,3±1,4
363(29,0)
530 (42,3)
343(27,4)
17 (1,4)
4,4±1,9
427 (28,6)
649 (43,4)
397 (26,6)
21 (1,4)
4,2±1,86
9
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004
Manifestasi klinis dan laboratorium
Lama demam (rerata±SB, hari)
Manifestasi perdarahan [n (%)]
• Perdarahan spontan
• Uji bendung positif, (n=633)
Hepatomegali [n (%)]
Syok [n (%)]
Bukti kebocoran plasma [n (%)]
• Peningkatan Ht >20%
• Efusi pleura, (n=151)
Trombosit <100.000/µL [n (%)]
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
3,0±1,4
3,5±1,6
3,9±1,3
36 (14,9)
328 (31,2)
58/132 (43,9) 273/442 (61,8)
28 (11,6)
260 (24,7)
0 (0)
0 (0)
50 (20,7)
0/4 (0)
103 (42,7)
pasien berusia di bawah 1 tahun, masing-masing pada
DD, DBD dan DSS yaitu 10,50 dan 6 pasien.
Rerata lama demam di rumah 3,5 hari dengan
modus 4 hari. Pada fase demam, pasien DD dan DBD
memiliki keluhan/gejala penyerta. Pasien DD
menunjukkan keluhan batuk dan pilek dengan
proporsi yang lebih banyak dibandingkan pada pasien
DBD dengan/tanpa syok (p=0,000). Proporsi
muntah, nyeri perut, kejang, penurunan kesadaran,
dan hepatomegali lebih banyak pada DBD syok
dibandingkan kedua kelompok lainnya (p=0,000).
Manifestasi klinis dan laboratoris pada pasien DD/
DBD tertera pada Tabel 2.
Terdapat 497 (33,3%) pasien mengalami perdarahan spontan, terbanyak adalah petekie (19,3%)
dan epistaksis (8,9%). Hematemesis dan melena lebih
banyak dijumpai pada kelompok DBD syok, masingmasing 39,3% dan 18,4% dibandingkan DBD tanpa
syok 1,9% dan 1,3%. Diantara 997 pasien yang tidak
memiliki manifestasi perdarahan spontan, 429
(43,0%) pasien dilakukan uji bendung dengan hasil
positif pada 236 (23,7%) pasien. Pasien DBD tanpa
dan dengan syok memiliki proporsi uji bendung positif
yang lebih tinggi (61,8% dan 69,5%) dibandingkan
pasien DD (43,9%).
Saat masuk rumah sakit, sulit untuk menegakkan
diagnosis DBD berdasarkan nilai awal pemeriksaan
laboratorium. Pasien DBD syok Saat masuk rumah
sakit memiliki rerata kadar hematokrit lebih tinggi
(42,1 vol%, p=0,000) dibandingkan kelompok DD
dan DBD tanpa syok (36,8 dan 37,8). Demikian pula
rerata kadar hematokrit tertinggi selama perawatan
didapatkan pada pasien DBD syok (45,6 vol%).
Sedangkan kelompok DD memiliki rerata kadar
10
344 (32,7)
57/85 (67,1)
791 (75,3)
133 (66,3)
41/59 (69,5)
105 (52,0)
199 (98,5)
151 (74,8)
55/62 (88,7)
199 (98,5)
hematokrit tertinggi selama perawatan yang tidak
berbeda secara statistik dengan DBD tanpa syok
masing-masing 40,7 dan 41,4 vol% (p>0,05).
Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8%
pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok,
dan mencapai 20,7% pada pasien DD.
Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakit
pada kelompok DBD syok lebih rendah (88.80±79.15/
mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnya
masing-masing untuk DD (151.56±53.26/mL) dan
DBD tanpa syok (126.71±58.45/mL). Hal yang sama
juga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendah
selama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syok
mempunyai jumlah trombosit =100.000/µL, lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syok
dan DD (p=0,000).
Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue)
hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%)
kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksi
sekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yang
diperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelum
hari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasil
negatif.
Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalah
penggantian cairan tubuh yang hilang akibat
perembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis dan
jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHO
maupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasien
DD/DBD tertera dalam Tabel 3.
Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasien
DD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberian
cairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyak
diberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA)
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004
Cairan
DD
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerata±SB)
DBD tanpa syok
Jumlah cairan rehidrasi
ml/kg/hari (rerata±SB)
DBD syok
Jumlah cairan kristaloid
ml/kg/hari (rerata±SB)
Jumlah cairan koloid
ml/kg/hari (rerata±SB)
Syok teratasi
• Waktu (rerata±SB,
menit)
• Jumlah cairan
ml/kg (rerata±SB)
*RS. Cipto Mangunkusumo
•RS. Fatmawati
RSCM*
RSHK**
RSPR***
RSF•
RSK••
77,0±29,1
74,8±29,2
80,0±24,1
84,7±36,9
70,3±21,5
0
84,4±28,2
66,2±25,6
86,1±27,6
91,1±36,0
68,5±24,9
48,3±17,1
75,2±26,5
55,2±25,7
96,5±28,6
98,4±38,0
103,8±86,6
46,2±15,6
18,6±10,5
19,7±11,6
19,4±6,7
23,2±20,9
31,4±13,4
12,6±4,3
77,2±58,7
112,3±99,1
71,2±61,0
76,1±38,9
75,2±40,1
116,5±66,0
30,8±17,8
22,4±15,1
24,2±8,2
22,9±13,1
22,3±19,3
23,0±14,0
** RS. Harapan Kita
••RS. Koja
dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaEN
IB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yang
dipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. Sumber
Waras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/
2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloid
diberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBD
tanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan pada
pasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari,
terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairan
intravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairan
intravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkan
kasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yang
diberikan lebih banyak.
Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloid
yang terbanyak digunakan adalah RL diikuti dengan
RA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairan
D5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairan
kristaloid intravena selama perawatan pada pasien
DBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari,
tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok.
Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapat
koloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lama
atau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid.
Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secara
keseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggi
di RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut,
rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3
RSSW•••
*** RS. Pasar Rebo
•••RS. Sumber Waras
menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit).
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBD
derajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombosit
concentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontan
dengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/µL.
Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFP
tidak disertai perdarahan spontan.
Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42
di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranya
mengalami komplikasi syok lama atau berulang.
Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotik
dengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsi
tertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasien
yang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelum
dirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaan
antibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikan
pada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakan
antara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obat
untuk menghentikan perdarahan (transamin, adona)
pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173
(11,6) pasien.
Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalami
komplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalah
syok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasien
DBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan
11
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004
Diagnosis saat
Diagnosis sesuai kriteria WHO 1997
pulang
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total
DD
DBD tanpa syok
DBD dengan syok
Total
232
850
2
1084
9
201
0
210
0
0
200
200
241
1051
202
1494
dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasien
DBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkan
di RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan,
angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpa
syok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%.
Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasien
DD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengan
diagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4),
ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yang
didiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengan
kriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%)
DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syok
yang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengan
kriteria WHO 1997.
Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulang
sesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitungan
ulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004
di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitungan
ulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5%
(n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggi
didapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendah
tetap RSSW.
Diskusi
Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangat
tergantung dari kelengkapan data yang berhubungan
dengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik.
Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebut
tidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaat
untuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisian
catatan rekam medik) sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokter
dan perawat) yang merawat pasien.
Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988
mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7
tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5
bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur
12
terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompok
usia 1-4 tahun (34,6%). 7 Pada penelitian ini
didapatkan komposisi umur pasien yang lebih muda
dibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi pada
penelitian ini dipakai menurut persentase berat badan
aktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8
Idealnya digunakan persentase berat badan ideal
menurut tinggi badan, namun data rekam medik
sebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan data
tinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukan
penelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532
pasien DD dan DBD anak di Thailand dan mendapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizi
normal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2%
obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebut
juga menggunakan berat badan menurut usia.
Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal dari
penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalam
batasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebut
Kalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dan
gizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasi
dibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitian
yang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCM
Jakarta, tidak menemukan hubungan antara derajat
berat penyakit DBD dengan status gizi anak.10
Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengan
keluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien
(0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari
7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasien
yang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Pada
pasien dengan demam kurang dari 2 hari dengan
penelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkan
untuk rawat jalan namun harus kontrol setiap hari
sampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuk
tidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakit
memiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untuk
melakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosis
meragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini
4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkan
penyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/
komplikasi yang menyertai pasien DBD.
Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBD
syok, sehingga terapi penggantian cairan harus
dilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairan
harus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih sering
pada kasus syok. 6,12 Rerata jumlah cairan untuk
mengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Hal
ini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumah
sakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkan
terapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBD
derajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah
26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenam
rumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%.
Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama
syok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yang
dilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLB
tahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravena
yang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48
menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBD
baik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90
menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syok
pada penelitian ini karena rerata lama syok teratasi
melebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitian
merupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perlu
direkomendasikan penggunaan jalur alternatif
(intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencari
akses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalam
melakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkat
waktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakan
segera diatasi dengan tepat karena waktu yang
diperlukan untuk mengatasi syok berhubungan dengan
prognosis, makin cepat syok teratasi makin baik
prognosisnya.
Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi
komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien)
adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertai
perdarahan spontan. Fresh frozen plasma selain
digunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakan
sebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Fresh
whole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal ini
menunjukkan kecenderungan penggunaan komponen
darah dalam tata laksana DBD di Jakarta.
Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004
terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian juga
pemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78
(5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien,
obat untuk menghentikan perdarahan (transamin,
adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada
173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidak
menemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebut
pada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokter
anak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perlu
ditelaah kembali.
Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosis
klinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteria
diagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakan
dalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematian
untuk kepentingan evaluasi program dan tata laksana
penyakit. Dengan melakukan penilaian ulang
diagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, pada
kelompok DD dan DBD dengan syok hampir
seluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaan
diagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuai
kriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpa
syok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO;
jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumah
sakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitian
ini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
serologis hanya 17,3% pasien.
Selama beberapa dekade, Indonesia mengalami
penurunan CFR meskipun terdapat peningkatan
jumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFR
dengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHO
menghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs
1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosis
saat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFR
yang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004
yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasi
lebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD pada
saat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta para
pengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidak
berpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkan
rendah selama ini.
Kesimpulan
Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enam
rumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051
DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlah
cairan yang digunakan untuk mengatasi syok pada
pasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairan
resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenam
rumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yang
direkomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer13
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyak
diberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yang
jelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksana
DBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saat
pulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997
sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkan
pasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0%
sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rate
berdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%,
dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO
1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFR
menjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasien
DBD.
6.
7.
8.
9.
10.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita,
dan RSU Sumber Waras.
11.
Daftar Pustaka
12.
1.
2.
3.
4.
5.
14
Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis, and prevention. J Pediatr 1997; 131:
516-24.
Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever
as a public health, social and economic problem in the
21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3.
Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever
outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin
1998;22.
De p a r t e m e n K e s e h a t a n Re p u b l i k In d o n e s i a .
Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap
diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/
popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31
Agustus 2004.
Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah,
Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah
dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan;2004.
13.
14.
15.
16.
World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
Geneva:WHO; 1997.
Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada
demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian
luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji
serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis.
Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur
status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity related to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2005;36:378-84
Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah
dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1990.
Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis
dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam
Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor.
Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI: Current management of pediatrics problems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM; 2004. h. 63-72.
Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for
dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok:
WHO Collaborating Centre for Case Management of
Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of
Child Health; 2004. h. 1-74.
Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan
penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996.
Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV,
Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4
intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect
Dis 2001;32:204-13.
Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A.
Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue
shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45
Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam
berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan. 2000
Artikel Asli
Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada
anak
Edi Hartoyo
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD. Ulin
Banjarmasin
Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di beberapa daerah di dunia.
Setiap tahunnya WHO melaporkan 50–100 juta terinfeksi virus dengue dengan 250-500 ribu menderita
DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, 12 dari 30 propinsi di antaranya merupakan
daerah endemis DBD dengan case fatality rate 1,12%.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran klinis, laboratorium, serta mengevaluasi terapi yang telah diberikan
pada penyakit demam dengue/DBD.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, subjek adalah pasien yang di rawat di
Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis
demam dengue/DBD/sindrom syok dengue (SSD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan
uji serologi (rapid test Panbio Australia). Analisis data dengan program SPSS 13 for window.
Hasil. Dari 123 subjek gejala klinis yang mencolok adalah demam 93,5%, muntah 65,1%, nyeri perut
50,4%, ruam konvalesen 47,1%, pusing 19%, batuk 17,9%, pilek 9,8%, perdarahan gusi 6,5%, epitaksis
4,1%, dan melena 3,3%. Pada pemeriksaan fisik uji forniket positif 62,6%, hepatomegali 38,2%, efusi
pleura 37,4%, dan asites 27,6%. Hasil laboratorium menunjukkan rerata angka leukosit lebih rendah
pada SSD dibandingkan dengan DD dan DBD, dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,007), nilai
rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD dibandingkan DBD dan DD, secara statistik berbeda bermakna
(p=0,049), rerata nilai trombosit SSD lebih rendah. Kadar SGOT 76,7% dan SGPT 86% meningkat pada
SSD. Penggunaan cairan kristaloid pada demam dengue 81,1%, DBD 86,4% dan SSD 86,1% dari semua
kasus, sedangkan penggunaan cairan koloid pada SSD 56,1%.
Kesimpulan. Gejala klinis yang mencolok l demam, mual, muntah, nyeri perut, epitaksis, dan melena.
Pemeriksan fisik, yang mencolok uji forniket positif, ruam konvalesen, hepatomegali. Leukopenia,
trombositopenia serta peningkatan SGOT/SGPT lebih banyak dijumpai pada DBD dan SSD dari pada
DD. (Sari Pediatri 2008;10(3):145-150).
Kata kunci: SSD, nilai leukosit, hematokrit dan trombosit.
Alamat Korespondensi:
Dr. Edi Hartoyo., SpA. Staf SMF Kesehatan Anak FK. UNLAM-RSUD
Ulin. Jl Jendral A.Yani 43, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
145
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
I
nfeksi virus dengue endemis di beberapa daerah
tropis dan subtropis, dan lebih dari 100 negara
di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Selatan,
dan Fasifik Barat. Sekitar 2,5 juta penduduk
di daerah tersebut pernah terinfeksi virus dengue.
Menurut WHO terdapat kira-kira 50 – 100 juta
kasus infeksi virus dengue setiap tahunnya, dengan
250.000–500.000 demam berdarah dengue (DBD)
dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. 1 Di
Indonesia DBD merupakan masalah kesehatan,
karena hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai
risiko untuk terjangkit infeksi dengue. Dua belas di
antara 30 provinsi di Indonesia merupakan daerah
endemis DBD, dengan case fatality rate 1,2%.2 Virus
penyebab dan nyamuk sebagai vektor pembawa
tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas
umum. Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili
Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai 4
serotipe yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus
ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas
di seluruh Indonesia. Perjalanan penyakit dengue sulit
diramalkan, manifestasi klinis bervariasi mulai dari
asimtomatik, simtomatik (demam dengue, DBD),
DBD dapat tanpa syok atau disertai syok (SSD). Pasien
yang pada waktu masuk rumah sakit dalam keadaan
baik sewaktu-waktu dapat jatuh ke dalam keadaan
syok (SSD), oleh karena itu kecepatan menentukan
diagnosis, monitor, dan pengawasan yang ketat men­
jadi kunci keberhasilan penanganan DBD.
Angka kesakitan DBD cenderung meningkat
di Indonesia mulai 0,05 per 100.000 penduduk
pada tahun 1968 menjadi 35,19 per 100.000
penduduk pada tahun 1998. Program pencegahan
dan pemberantasan DBD dilaksanakan secara
integral mencakup survailans laboratory based study,
penyuluhan, pendidikan pengelolaan pasien bagi
dokter, paramedis, dan pemberantasan sarang nyamuk
dengan peran serta masyarakat.2,3
Metode
Penelitian diskriptif analitik dengan subjek pasien
yang dirawat di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin
an­tara Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008
dengan diagnosis (DBD/DD) berdasarkan kriteria
WHO tahun 1997 dan dikonformasi dengan serologi
IgG/IgM (dengue strip rapid tes Panbio Australia).
146
Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari ke 4 sampai
hari ke 6 (fase akut). Apabila hasil pemeriksaan
pertama negatif, diulang pada saat berobat untuk
kontrol (fase konvalesen). Infeksi primer apabila pada
fase akut IgM positif dan infeksi sekunder bila pada
fase akut IgM dan IgG positif atau hanya IgG positif.
Penentuan status gizi berdasarkan kriteria CDC
2000. Sampel dianalisis dengan SPSS 13. Untuk
nilai leukosit, hematokrit, dan trombosit dilakukan
analisis t test.
Hasil
Dalam kurun waktu Januari 2007 sampai dengan
Febuari 2008 terdapat 123 anak yang dirawat dengan
diagnosis DD/DBD/SSD berdasarkan kriteria WHO
tahun 1997 dan dilakukan uji serologi anti dengue.
Angka kejadian DBD/DD terbanyak pada umur
5–10 tahun, 52 anak (42,4%). Berdasarkan distribusi
jenis kelamin, laki-laki lebih banyak 66(54,6%)
Tabel 1. Karateristik dasar pasien demam berdarah dengue/
demam dengue.
No
Variabel
1. Umur (tahun)
<5
5 – 10
> 10 – 14
2. Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
3. Status gizi
Baik
Kurang
Buruk
4. Diagnosis
DD
DBD (derajat 1 dan 2)
SSD ( DBD derajat 3 dan 4)
5. Infeksi primer
DD
DBD
SSD
6. Infeksi sekunder
DD
DBD
SSD
Jumlah (%)
44(35,7)
52(42,4)
27(21,9)
66(54,6)
57(45,4)
82(66,6)
38(30,8)
3(2,6)
21(17,2)
59(47,9)
43(34,9)
20(95,3)
16(27,1)
6(14)
1(4,7)
43(72,9)
37(86)
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
dibandingkan dengan perempuan 57(45,4%).
Sebagian besar kasus mempunyai status gizi baik 82
(66,6%). Berdasarkan diagnosis kasus DBD derajat
1 dan 2 lebih banyak dibandingkan DD dan SSD
yaitu 59 (47,%) anak. Sebagian besar SSD adalah
infeksi sekunder 37(86%), sedangkan DD sebagian
infeksi primer 20 (95,3%). Gejala klinis tertera pada
Gambar 1.
Dari Gambar 1 gambaran klinis yang mencolok
adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%),
nyeri perut 62 (50,4%), ruam konvalesen 58 (47,1%),
mual 55 (44,7%), pusing 24 (19,5%), perdarahan gusi
8 (6,5%), epitaksis 5 (4,1%), melena 4 (3,3%) dan
SGOT
SGPT
4, 8
14.30%
11.80%
76.70%
Demam dengue
DBD
SSD
0%
11,80%
86%
Demam dengue
DBD
SSD
Gambar 2. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada pasien
demam berdarah dengue
%
Gambar 1. Presentase gejala klinis demam berdarah dengue
gejala penyerta batuk 17 (17,9%), pilek 12 (9,8%).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Rumple leed (RL)
positif 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), efusi
pleura 46 (37,4%) dan asites 34 (27,6%). Kadar
transaminase hati meningkat terutama pada SSD,
SGOT 33 (76,7%) dan SGPT 37(86,0%), seperti
tertera pada Gambar 2 .
Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit
tertera pada Gambar 4. Leukosit dan trombosit pada
pasien SSD lebih rendah dibandingkan DBD dan DD
dan perbedaan ini secara statistik bermakna.
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Terapi (Tabel 2)
Penggunaan terapi cairan kristaloid merupakan terapi
utama, pada DD 17 (81,1%), DBD 51 (86,4%) dan
SSD 37 (86,1%), sedangkan koloid paling banyak
dipakai pada SSD 24 (56,1%). Cairan koloid yang
digunakan HES 6%, komponen darah terbanyak
digunakan pada SSD yaitu fress frozen flasma (FFP) 7
(16,3%), PRC 4 (9,3%) dan komponen trombosit 7
(16,3%). Penggunaan antibiotik pada DBD 5 (8,5%),
SSD 17 (39,5%).
147
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
Tabel 2. Terapi pada pasien DD, DBD, dan SSD.
Variabel
DD
n=21
DBD
n=59
SSD
n=43
Cairan (%)
81,1
86,4
86,1
• Kristaloid
• Plas ma ekspander
8,4
56,1
• Komponen darah
- FFP
3,3
6,9
- PRC
4,8
1,6
9,3
- Trombosit
5,1
16,3
Obat inotropik (%)
11,5
Ventilator mekanik (%)
4,6
Rerata perawatan (hari)
(4±0,93) (5±0,23) (6±0,21)
Antibiotik (%)
8,5
39,5
Rerata syok teratasi (menit)
(47±0,89)
Angka kematian (%)
6,9
pada kelompok umur 5–9 tahun yaitu 46,1%.4 Tabel
1 memperlihatkan kasus terbanyak adalah DBD 59
(47,9%), diikuti oleh SSD 43 (34,9%), dan DD
21 (17,2%). Data menunjukkan bahwa kasus yang
datang atau dirujuk pada umumnya kasus DBD berat.
Chairulfatah dkk7 melaporkan bahwa dari 128 kasus
infeksi virus dengue, 19% kasus disertai dengan syok,
sedangkan Kabra dkk1 melaporkan dari 193 pasien
klinis infeksi virus dengue 59% disertai dengan syok.
Di Amerika Latin Gonzales dkk8 medapatkan 29%
kasus DBD mengalami syok. Pasien DBD dan SSD
pada umumnya adalah infeksi sekunder, sedangkan
DD umumnya infeksi primer berdasarkan hasil serologi
dengue rapid test (Panbio-Australia), tes ini mempunyai
sensitivitas 98% dan spesifisitas 87%.9,10 Gejala klinis
yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah
80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), pusing 24
Gambar 3. Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit pada pasien DD, DBD dan SSD
Pembahasan
Berdasarkan distribusi jenis kelamin dari 123 kasus, la­
ki-laki 66 (54,6%) lebih banyak dibandingkan de­ngan
pe­rempuan 57 (45,4%), atau perbandingan laki-laki
dan perempuan 1,1:1. Temuan ini tidak berbeda jauh
dari penelitian yang dilakukan di Bagian IKA RSCM
yang mendapatkan laki-laki perempuan 1,3:1 dan
penelitian Suharyono4,5 mendapatkan perbandingan
laki-laki dan perempuan 1,4:1. Kemungkinan berkait­
an dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif
menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas
yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00, pada
jam tersebut anak bermain di luar rumah.6 Insiden
tertinggi terdapat pada kelompok umur 5–10 tahun
yaitu 52 (42,4%), seperti hasil penelitian di Bagian IKA
RSCM, yang melaporkan insiden tertinggi terdapat
148
(19,5%), batuk 22 (17,9%), dan pilek 12 (9,8%).
Pada penelitian Kautner dkk,11 demam, muntah, dan
nyeri perut merupakan gejala yang mencolok. Pada
pemeriksaan fisik, di dapatkan uji forniket positif
pada 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), dan
efusi pleura 46 (37,4%). Pada penelitian uji forniket
di Thailand terhadap 108 pasien infeksi virus dengue
mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 48%,
di Vietnam terhadap 598 kasus infeksi virus dengue
mempunyai sensitivitas 42% dan spesifisitas 94%.1,12
Di Bangkok dan Kamphaeng Phet Thailand dilakukan
penelitian terhadap 318 anak umur 6 bulan- 15 tahun
infeksi virus dengue dan 72 anak terinfeksi virus lain
dengan hasil uji forniket positif pada 88% demam
dengue, 91% DBD derajat I, 95% DBD derajat II,
91 % pada SSD, dan 52% pada infeksi selain virus
dengue.1 Hepatomegali 38,2%, sama dengan penelitian
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
Daniel dkk13 bahwa pada 38% infeksi virus dengue
terdapat hepatomegali. Pada pasien SSD terjadi
peningkatan kadar SGOT pada 33 (76,3%) dan SGPT
37 (80,0%), ini sesuai dengan hasil penelitian Agus
dkk14 pa­da SSD peningkatan nilai transaminase hati
lebih tinggi di bandingkan pada DD dan DBD. Pada
penelitian Mohan dkk15 peningkatan kadar SGOT/
SGPT terjadi karena gangguan fungsi hati yang bersifat
sementara, terutama pada DBD dan SSD. Peningkatan
transaminase hati terjadi akibat kerusakaan sel hati oleh
invasi virus secara langsung atau merupakan respon
imun sel pejamu.16,17,18 Nilai rerata angka leukosit
pada hari ketiga dan keempat pada pasien SSD lebih
rendah jika dibandingkan dengan DD maupun DBD
dan ini bermakna secara statistik (p=0,007). Penelitian
Tanner dkk19 pada 364 subjek didapatkan 78% pasien
infeksi virus dengue mengalami leukopenia (<5.000/
ul), demikian juga nilai rerata hematokrit pasien DSS
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien DD dan
DBD pada hari keempat dan kelima dan secara statistik
bermakna (p=0,049). Nilai hematokrit tertinggi terjadi
hari keempat dan kelima, kemudian akan menurun.
Penelitian Gonzales dkk8 pada pasien DBD didapatkan
trombositopenia 100%, hemokonsentrasi 93,4%,
leukopenia 71,3%, dan kenaikan transaminase hati
82,8%. Nilai rerata angka trombosit pasien SSD jauh
lebih rendah dibandingkan dengan DD dan DBD
(Gambar 3). Nilai trombosit <50.000/ul berhubungan
dengan faktor prognostik.13 Pada penelitian Ayub
dkk19 trombositopenia terdapat pada 79,49% kasus
DD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi
utama, baik pada DD, DBD maupun SSD. Pada SSD,
cairan kristaloid digunakan pada 86,1% kasus, sedang
plasma ekpander 56,1%. Cairan koloid digunakan
pada resusitasi kedua pada SSD apabila dengan cairan
kristaloid tidak membaik. Penelitian Bridget dkk20
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada
resusitasi awal antar cairan kristaloid (RL) dengan
koloid (dextran 70 atau HES 6%), koloid lebih
sering menyebabkan efek samping. Pada penelitian
di Thailand, 30%-50% SSD mendapatkan cairan
koloid.21 Penggunaan komponen darah (plasma, PRC
dan trombosit) lebih sering pada SSD, 16,3% pasien
mendapatkan tranfusi trombosit oleh karena terjadi
perdarahan aktif disertai trombositopenia, 9,3%
mendapatkan tranfusi PRC, sedangkan pada DBD
5,1% mendapatkan tranfusi trombosit dan 4,8%
transfusi PRC. Penelitian di Thailand mendapatkan
penggunaan komponen darah 5%-30% pada kasus
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
DBD.21 Antibiotik masih digunakan pada SSD dengan
komplikasi sepsis, 39,5% SSD mendapatkan antibiotik
oleh karena disertai sepsis. Angka kematian pasien
SSD 6,9%, pada umumnya kematian disebabkan
oleh disseminated intravascular coagulation (DIC) atau
multiple organ difunction syndrome (MODS) akibat
syok lama. Pada penelitian di India, angka kematian
pasien SSD 9,3%, sedangkan di Philipina 2%.1 Pada
umumnya angka kematian oleh karena syok tidak
teratasi lebih dari satu jam, sehingga terjadi komplikasi
lainnya.
Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan masalah
kesehatan masyarakat, oleh karena morbiditas dan
mortalitas masih tinggi. Gejala klinis yang mencolok
demam, muntah, mual, nyeri perut, epitaksis, dan
melena. Pada pemeriksaan fisik ditemukan uji forniket
positif, ruam konvalesen, hepatomegali, efusi pleura,
asites. Sindrom syok dengue sebagian besar infeksi
sekunder, sedangkan demam dengue infeksi primer.
Gambaran laboratorium yang mencolok kenaikan
transaminase hati, leukopenia, trombositopenia, dan
hematokrit. Rerata angka leukosit dan trombosit
lebih rendah pada SSD dibandingkan dengan DD
atau DBD, sedangkan rerata hematokrit lebih tinggi
pada SSD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan
terapi utama baik pada SSD maupun DBD. Survival
rate pada DD dan DBD di Bagian Anak RSUD Ulin
Banjarmasin 100% sedangkan SSD 96%.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic
fever and Dengue shock syndrome in the context of the
integrated management of childhood illness. Geneva 2005.
Sri Rezeki S. Hadinegoro. Seminar sehari pengelolaan
infeksi virus dengue. Jakarta, 1997.
Halstead SB. Global epidemiology of dengue: health
systems in disarray. Trop Med 1993;35:137-46.
Sumarmo. Penatalaksanaan demam berdarah dengue.
Medika 1989;2:161-70.
Suharyono. Masalah penyakit demam berdarah dengue
pada Pelita VI. Cermin Dunia Kedok 1994; 92:11-3.
Saleha S, Ismid. Bionomik Aedes aegypti, vektor utama
demam berdarah dengue. Medika 1994;7:64-8.
149
Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
150
Chairulfatah A, Setiabudi D, Ridad A. Clinical
manifestation of dengue haemorrhagic fever in children
in Bandung Indonesia. Ann Soc Belg Med Trop 1995;
30:293-303.
Gonzales D, Osvaldo E, Peres J, Eric Martines, Suzan
V, Castro G dkk. Classical dengue haemorrhagic fever
resulting from two dengue infections spaced 20 years of
more apart: Havana, dengue 3 epidemic 2001-2002. Int
J Infect Dis 2005;9:280-5.
Aryanti. Manfaat tes dengue stick IgM dan IgG pada
demam berdarah dengue. Dalam Makalah lengkap
seminar: Penatalaksanaan demam berdarah dengue. Trop
Dis Centre Unair, Surabaya 2001:62-8.
Cuzzobo AJ, Rowland D, Michel JL, Devine PL.
Comparison of the Panbio dengue IgM dan IgG
immunochromatographic card test and the Panbio
dengue IgG immunochromatographic strip test. Panbio
Pty Ltd 2000;41-8.
Kutner I, Robinson MJ, Kubnle U. Dengue virus infection: epidemiologi, pathogenesis, clinical presentation,
diagnosis and prevention. J Pediatr 1997;131:516-24.
Phoung CX, Nhan NT, Wills B, Kneen R, Han NT, Mai
TT dkk. Evaluation of the World Health Organization
standart torniquet test in the diagnosis of dengue
infection in Vietnam. Trop Med and Int Health 2002;
7:125-32.
Daniel H, Lybrati, Khin SA, Myint, Clinton K, Robert
V dkk. A comparative study of leptospirosis and dengue
in Thai children. Plos Negl Trop Dis 2007;1:111-7.
Agus D, Sekarwana N, Setiabudi S. Hubungan kadar aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
(ALT) serum dengan spektrum klinis infeksi virus dengue
pada anak. Sari Ped 2008; 9:359-62.
Mohan B, Parwati AK, Anand VK. Hepatic dysfunction in chil­hood dengue infection. J Trop Med
2000;46:40-3.
Gubler DJ. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Clin
Microbiol Rev 1998;11:480-96.
Petdachai W. Hepatic dysfunction in children with
dengue shock syndrome. Dengue Bull 2005;29:1-8.
Kalayanarooj S, Osotkrapan S, Nimmannitya S.
Abnormal elevation of hepatic transaminase in dengue
haemorrhagic fever patients. Studies/collaborative on
dengue infection/dengue haemorrhagic fever at Queen
Sirikit National Institute of Child Health (Children,s
Hospital). Bangkok: WHO Collaborating Centre for
Case Management;1991.
Ayub M, Khazarnidal M, Lubbad EH, Shahid S, Alyafi
AY, Al-Ukayli S. Characteristic of dengue fever in large
public hospital, Jeddah, Saudi Arabia. J Ayub Med Coll
Abbottabd 2006;18:9-12.
Bridget AW, Nguyen M , Ha Loan, Dong TH, Tran
TN, Thuy MD. Comparison of three fluid solution for
resusitation in Dengue shock syndrome. N Engl J Med
2005;353:877-89.
Kalayanarooj S, Chaimongkol Y, Nimmannitya
S. Volume of intravenous fluid, blood and blood
components used in Dengue haemorrhagic fever
patients. Study collaborative on dengue infections
an Queen Sirikit National Institute of Child Health
Hospital Bangkok. WHO collaborative centre for case
management 1991:199-202.
Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008
Paediatrica Indonesiana
VOLUME 45
March - April • 2005
NUMBER 3-4
Original Article
The effect of Ringer’s acetate versus
Ringer’s lactate on aminotransferase changes in
dengue hemorrhagic fever
Mulya Rahma Karyanti, MD; Hindra Irawan Satari, MD;
Damayanti Rusli Sjarif, MD, PhD
ABSTRACT
Dengue hemorrhagic fever (DHF) infection causes
hepatocelullar impairment. In management of DHF, World Health
Organization (WHO) recommends the crystalloids Ringer’s acetate
(RA) or Ringer’s lactate (RL), which are similar in composition to
plasma. Acetate in RA is not metabolized in the liver, hence not
burdening the liver, whereas lactate in RL is metabolized mostly in
the liver, thus placing a burden on the liver.
Objective To compare aminotransferase changes as markers of
hepatocellular impairment subsequent to the use of RA and RL in
the management of DHF with and without shock.
Methods This study was a double-blind randomized controlled
trial on DHF patients aged 1-18 years in Cipto Mangunkusumo
Hospital who had not received prior treatment with crystalloids or
colloids. Subjects were randomly assigned to receive either RA or
RL intravenously. Aminotransferase levels were examined on the
first, second and third weeks from the onset of fever.
Results Ninety-two patients who fulfilled inclusion criteria were
enrolled in this study, consisting of those without and with shock.
Mean transaminase levels of patients without shock in the RA and
RL groups did not differ significantly. Mean transaminase levels of
patients with shock in the RA group were lower than those in the
RL group, but this difference was not significant statistically. Mean
alteration of transaminase levels in patients with and without shock
were not significantly different.
Conclusion In DHF without shock, there is no significant difference between aminotransferase level changes of patients receiving RA and RL solutions. In DHF with shock, aminotransferase
levels of patients receiving RA tend to be lower than those receiving RL, but this difference is insignificant [Paediatr Indones
2005;45:81-86].
Background
Keywords: hepatocellular impairment, dengue
haemorrhagic fever, Ringer’s acetate, Ringer’s lactate, aminotransferase
D
engue hemorrhagic fever (DHF), is an acute,
self-limited illness characterized by fever,
bleeding, and sometimes shock. 1-3 In a
patient with DHF, capillary permeability increases;
even more so in dengue shock syndrome (DSS). The
capillary permeability of a healthy child is higher than
that of a healthy adult, rendering children more
vulnerable to shock.4
The liver is one of the target organs of dengue infection and the clinical manifestations of hepatocelullar impairment are shown by increased aminotransferase levels.
In the dengue-infected liver, pathological findings show
centrilobular necrosis, fatty changes, Kuppfer cell hyperplasia, and acidophilic and monocytic infiltration from the
portal tract. Aminotransferase levels usually increase,
reaching maximum levels 9 days after the onset of fever,
and decrease gradually to normal levels by the 14th day.5
The principle of DHF management is supportive treatment by replacing the volume of plasma
lost through increased capillary permeability and
bleeding.6 Massive bleeding may occur if hemostatic
impairment such as vasculopathy, thrombocytope-
From the Department of Child Health, Medical School, University of
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Reprint requests to: Mulya Rahma Karyanti, MD, Department of
Child Health, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta, Indonesia. Tel. 62-21-3147342; Fax. 62-21-3148931; Email:
[email protected].
Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 81
Paediatrica Indonesiana
nia and coagulopathy persist. 7,8 Specific fluid
therapy is needed for children with DHF because
the water composition and requirement in children
differ from adults.9,10 WHO has recommended crystalloid solutions such as Ringer’s lactate (RL),
Ringer’s acetate (RA), and normal saline for the
management of DHF. RA and RL are similar in composition to the intravascular plasma.11,12 RA has a
potential advantage over RL, since acetate can be
metabolized in almost all muscles and does not burden the liver, while most lactate must be metabolized by the liver. RA, as an alternative to RL, should
be considered in DHF patients with severe liver
impairment, in whom the liver’s ability to eliminate lactate is decreased.13 Until the present time,
RL is widely used in the Department of Child
Health, Cipto Mangunkusumo Hospital, while no
study comparing the use of RA and RL in DHF
patients has been done. This study aims to compare aminotransferase changes subsequent to the
use of RA and RL in the management of DHF patients with and without shock.
Methods
This study was a double-blind randomized controlled trial
conducted on DHF patients in the Department of Child
Health, Cipto Mangunkusumo Hospital, during a dengue
epidemic from May 2003 until March 2004. The diagnostic
criteria of DHF were based on WHO’s Technical Guide
for Diagnosis, Treatment, Prevention and C ontrol of
DHF.7 Severity of the disease was graded according to the
1997 WHO criteria,7 in which grade I DHF was defined
as fever accompanied by non-specific constitutional
symptoms, with a positive tourniquet test as the only
hemorrhagic manifestation; grade II as spontaneous
bleeding in addition to grade I manifestations; grade III as
circulatory failure manifested by rapid and weak pulse,
narrowing of pulse pressure or hypertension, with the
presence of cold, clammy skin and restlessness; and grade
IV as profound shock with undetectable blood pressure.
Subjects consisted of patients aged 1-18 years who
were diagnosed with DHF based on the above criteria
and had not received prior treatment with crystalloid
or colloid solutions, whose parents gave informed consent. Patients were excluded from this study when they
had a history of liver disease and/or a family history of
chronic liver disease, myocarditis, or rhabdomyolysis,
had recurrent or prolonged shock, did not have completed transaminase examinations, or died. The study
was approved by the Committee of Medical Research
Ethics, Medical School, University of Indonesia.
Sample size for this study was determined by
using 95% confidence interval and power of 80%.
Statistical significance was set at P<0.05. Based on
this calculation, 92 subjects were required, consisting of 46 subjects with shock (DHF/DSS grade III
and IV) and 46 without (DHF grade II). Subjects
were randomly allocated to receive infusions of either RA or RL such, that there were an equal number of subjects in the RA with shock, RL with shock,
RA without shock, and RL without shock groups,
respectively. Fluid management was given according to the 1997 WHO standard procedure.
Subjects were examined for complete blood
count and aminotransferase levels. Complete blood
count was performed every 6 hours for 48 hours since
the patient’s admission. Aminotransferase levels,
comprising aspartate transaminase (AST) and alanine transaminase (ALT) levels were examined from
blood samples taken on the first week (S1), second
week (S2), and third week (S3) from the onset of
fever. The level considered normal was <40 U/l for
AST and <40 U/l ALT. The increase in aminotransferase levels was considered mild if <100 U/l, moderate if 101-200 U/l, and severe if >201 U/l.
The collected data were processed using SPSS
10.5 for Windows. Statistical analyses were performed
using the chi-square test, the Kolmogorov-Smirnov
test, and the Mann-Whitney test, where appropriate.
Results
Between May 2003 and March 2004, 201 DHF patients
were admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital. One
hundred and twelve cases were included in this study
and followed. In the process, 20 patients dropped out
(12 had incomplete data, 6 died from prolonged shock,
encephalopathy, respiratory failure, and massive
gastrointestinal bleeding, and 2 had extreme
transaminase levels). Finally, only 92 DHF patients who
fulfilled the inclusion criteria could be further examined
and analyzed. These consisted of 46 subjects with shock
and 46 without. Among the subjects with shock, 23
82 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005
Mulya Rahma Karyanti et al: Effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in DHF
subjects each belonged to the RL and RA groups. A
similar subject distribution occurred among subjects
without shock. The final subject allocation can be seen
in Figure 1. The distribution of subjects according to
sex and age group are shown in Table 1. Sex distribution
was similar between patients with and without shock.
Most patients were aged between 5 to 14 years. More
children aged <5 years experienced shock compared to
those of older age. With adequate fluid management, all
subjects recovered completely.
Comparison between the mean AST and ALT
levels of the RA and RL groups is provided in Table 2.
In subjects without shock, the highest transaminase levels were recorded at S2 in both the RA and
RL groups. Analysis of the mean AST levels of the
RA and RL groups at S1, S2, and S3 did not yield
statistically significant difference. Similar analysis of
the mean ALT levels of the same groups did not reveal significant difference (Table 2).
In subjects with shock, transaminase levels in the
RA and RL groups had a comparable starting point. At
S2 and S3, transaminase levels in the RA group were
lower than RL group, but this difference was not statistically significant. The difference between mean transaminase levels of the RA and RL groups at S1, S2 and
S3 was not statisticaly significant, either (Table 2).
This study also compared the mean alteration of
transaminase levels in the RA and RL groups (Table 3).
Statistically significant difference was not found
between the RA and RL groups in patients both with
201 DHF cases
112 cases meeting inclusion criteria
57 without shock
28 RA
55 with shock
29 RL
4 incomplete data
1 died
28 RA
27 RL
1 incomplete data
3 died
6 incomplete data
1 incomplete data
2 died
18 drop-out cases
1 extreme cases
23 RA
23 RL
1 extreme cases
2 outlier cases
23 RA
23 RL
92 analyzed cases
FIGURE 1. AMINOTRANSFERASE CHANGES IN DHF PATIENTS RECIEVING RINGER’S ACETATE VERSUS RINGER’S LACTATE RECEIVING.
TABLE 1. DISTRIBUTION
OF SUBJECTS ACCORDING TO SEX AND AGE GROUP
Without shock
RA
Sex
Male
Female
Age
1-4 years
5-9 years
10-14 years
15-18 years
With shock
RL
RA
RL
n=23
%
n=23
%
n=23
%
n=23
%
10
13
(43.5)
(56.5)
11
12
(47.8)
(52.2)
11
12
(47.8)
(52.2)
7
16
(30.4)
(69.6)
3
7
12
1
(13.0)
(30.4)
(52.2)
(4.3)
4
11
8
(17.4)
(47.8)
(34.8)
7
9
7
(30.4)
(39.1)
(30.4)
6
11
6
(26.1)
(47.8)
(26.1)
Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 83
Paediatrica Indonesiana
and without shock, although in subjects without shock
mean transaminase alterations were highest from S2
to S3 in both the RA and RL groups (Table 3). In
sum, it was shown that AST and ALT levels increased
on the second week after fever onset both in patients
with and without shock. After the second week and
into the third week, transaminase levels decreased.
In addition, the study indicated that AST levels tend
to be higher than ALT levels in all groups.
identified as a cause of death in DHF patients infected
by dengue virus types 1, 2 and 3. In Indonesia, the virus
type most frequently found in DHF patients is type 3,
which is associated with severe and fatal cases.17-20
Lin et al has proven in vitro that dengue virus
can infect diverse liver cells with differing replication efficiency, causing cytopathic effects (CPEs)
of diverse severity. Among the CPEs, the increased
AST levels was correlated with the clinical results
from 24 DHF patients, who showed increased AST
levels at the onset of fever.22
Complete liver function test should include examinations of albumin, prothrombin time, bilirubin,
transaminase, and gamma-glutamyl transpeptidase.
AST and ALT are very sensitive indicators to evaluate
liver impairment.23-28 This was the rationale for the
use of transaminase levels to evaluate hepatocellullar
impairment in this study.
In the beginning of this study, blood samples for
transaminase examinations were planned to be taken
Discussion
Liver involvement in dengue infection has been
reported to be mild and manifested by the rise of liver
enzyme levels.5 However, reports have been made of
fulminant hepatitis with high mortality in patients with
dengue infection.14 Innis et al17 reviewed the clinical
course and liver histopathology of 19 fatal cases of
dengue infection. In his study, acute liver failure was
TABLE 2. COMPARISON
Mean
transaminase
levels (U/l)
AST
S1
S2
S3
ALT
S1
S2
S3
BETWEEN MEAN TRANSAMINASE LEVELS OF
RA
(mean+SD)
Without shock
RL
(mean+SD)
RA
AND
P
RA
(mean+SD)
RL
GROUPS
With shock
RL
(mean+SD)
P
97.91 + 148.36
100.43+122.03
31.17 + 17.94
50.61 + 23.37
68.04 + 59.78
30.61 + 15.11
0.531*
0.119*
0.454*
102.70 + 86.34
80.35 + 55.35
38.04 + 26.62
113.70 + 92.91
211.78 +352.20
89.00 + 135.52
0.373*
0.350*
0.198*
48.39 + 73.09
60.13 + 96.51
26.52 + 29.87
23.48 + 12.58
32.48 + 23.51
20.91 + 13.24
0.226*
0.531*
0.461*
41.26 + 41.63
41.74 + 29.08
23.78 + 18.35
47.61 + 50.66
104.48 +149.07
52.70 + 75.84
0.482*
0.150*
0.066*
*) Mann-Whitney test
S1= first week from fever onset; S2=second week from fever onset; S3=third week from fever onset
TABLE 3. COMPARISON
Mean
transaminase
level alteration
(U/l)
AST
S1 to S2
S2 to S3
S1 to S3
ALT
S1 to S2
S2 to S3
S1 to S3
OF MEAN ALTERATION OF TRANSAMINASE LEVELS IN
RA
(mean±SD)
Without shock
RL
(mean±SD)
P
RA
(mean±SD)
RA
AND
RL
GROUPS
With shock
RL
(mean±SD)
P
2.52 + 142.91
69.26 + 119.16
66.73 + 136.51
17.43 + 60.48
37.43 + 60.06
20.00 + 21.85
0.809*
0.097*
0.435*
2.34 + 62.92
42.30 + 44.98
64.65 + 81.88
22.34 + 62.92
42.30 + 44.98
64.65 + 81.88
0.328*
0.684*
0.475*
11.73 + 95.33
33.60 + 91.33
21.86 + 48.82
9.00 + 24.67
11.56 + 26.06
2.56 + 14.49
0.605*
0.750*
0.286*
0.47 + 24.87
17.95 + 26.64
17.47 + 37.65
0.47 + 24.87
17.95 + 26.64
17.47 + 37.65
0.605*
0.904*
0.302*
*) Mann-Whitney test
S1= first week from fever onset; S2=second week from fever onset; S3=third week from fever onset
84 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005
Mulya Rahma Karyanti et al: Effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in DHF
on the first day of admission, on the 9th and 14th day
since the onset of fever. However, patient incompliance
made it difficult to obtain the blood samples on time. To
cope with this obstacle, the blood samples were taken
within the first, second and third weeks. Other studies
also encountered difficulties in obtaining blood samples
at a specific time. Mohan et al27 took blood samples on
the first, second, third, and fourth weeks. Nguyen et al26
undertook a similar study with the first blood samples
taken in the first week and second blood samples between the 8th and 11th day since the first symptoms.
Kuo et al24 took the first blood sample on the first week
and the next samples between the 8th and 21st day. Lin
et al22 also took the first blood sample in the first week
and the second between the 10th and 14th day.
Most studies have focused on comparing RA and
RL solutions by measuring lactate levels and observing acid-base disturbances in patients with shock, liver
insufficiency, burns, diabetic ketoacidosis, and posthepatectomy patients. Presently, studies comparing
transaminase levels after the use of RA and RL in
DHF patients have not been found.
Initially, the AST levels were higher than ALT leves
both in patients with and without shock (Table 2). These
results are supported by the outcome of other studies
and the speculation that myocytes or monocytes may
contribute to the higher AST increase.22,25,29,30 This
phenomenon differs from that in hepatitis virus-infected
patients, in which the ALT level is higher than the AST
level. AST is more specific and sensitive to detect hepatocellular impairment because its concentration is highest in the liver. In contrast, AST is produced by the liver,
heart and skeletal muscles, kidney, pancreas, and monocytes.32,33 In the early phase of DHF infection, a systemic impairment occurs which also affects myocytes and
monocytes. According to Lin et al, liver cells infected by
the dengue virus are another source of AST production.
Moreover, the half-life of ALT (32-43 hours) is longer
than that of AST (12,5-22 hours), which explains why
AST declined more rapidly to normal levels (10 to 14
days after fever onset) than did ALT.22
In this study, marked disturbance of liver function indicating hepatocellular involvement was observed in all cases (Table 2). AST and ALT levels
increased during the first week and reached its peak
during the second week, then decreased to normal
levels in the third week. This result is supported by
that of Mohan,27 who found similar results.
The mean AST and ALT levels in the RA and
RL groups without shock were highest on the second
week and decreased in the third week, but this difference was not significant statistically. The mean AST
and ALT levels in patients with shock was lower in the
RA group than in the RL group, with again no significantly statistical difference. This suggests that RA does
not burden the liver.
In conclusion, in DHF without shock, there is
no significant difference between aminotransferase
level changes of patients receiving RA dan RL solutions. In DHF with shock, aminotransferase levels
of patients receiving RA tend to be lower than those
receiving RL, but this difference is insignificant.
From our findings, we infer that either RA or
RL can be used in the management of DHF patients
without shock. Further study is needed in patients
with shock, since the mean transaminase levels were
lower in the RA group compared to RL group clinically, even though the differences were not significant statistically.
References
1. Harun SR. Telaah endotoksemia pada perjalanan
penyakit demam berdarah dengue, perhatian khusus
pada syok, produksi TNF-a, Interleukin-6, dan sebagai
faktor prediktor demam berdarah dengue berat [dissertation]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1996. p. 12-14.
2. Soedarmo SP. Demam berdarah dengue. Medika
1995;10:798-808.
3. Soedarmo SP. Masalah demam berdarah dengue di
Indonesia. In: Harun SR, Satari HI, editors. Demam
berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi
pelatih dokter spesialis anak dan dokter spesialis
penyakit dalam dalam tatalaksana kasus demam
berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
1999. p. 1-5.
4. Bethell DB, Gamble J, Pham PL, Nguyen MD, Tran TH,
Ha TH, et al. Noninvasive measurement of microvascular leakage in patients with dengue haemorrhagic fever.
Clin Infect Dis 2001; 32:243-53.
5. Wahid SF, Sanusi S, Zawawi MM, Ali RA. A comparison of the pattern of liver involvement in dengue hemorrhagic fever with classic dengue fever. Southeast
Asian J Trop Med Public Health 2000;31:259-63.
6. Harun SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T.
Tatalaksana demam dengue/demam berdarah dengue
Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 85
Paediatrica Indonesiana
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
pada anak. In: Harun SR, Satari HI, editors. Demam
berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi pelatih
dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit
dalam dalam tatalaksana kasus demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 82137.
Kurane I, Ennis FA. Cytokines in dengue virus infections: role of cytokines in the pathogenesis of dengue
haemorrhagic fever. Semin Virology 1994;5:443-8.
Harun SR. Imunopatogenesis demam berdarah dengue. In: Akib AA, Tumbelaka AR, Matondang CS,
editors. Naskah lengkap PKB IKA XLIV: Pendekatan
imunologi berbagai penyakit alergi dan infeksi. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 41-57.
World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention, and control. 2nd
ed. Geneva: WHO; 1997. p. 1-33.
World Health Organization. Guidelines for treatment
of dengue fever/dengue haemorrhagic fever in small
hospitals. 1st ed. New Delhi: WHO Regional Office
for South-East Asia; 1999. p. 16-8.
Latief A. Pemilihan cairan resusitasi pada anak:
kontroversi antara koloid dan kristaloid. In: Chair I,
Purwanto SH, Pudjiadi A, editors. Naskah lengkap PKB
IKA XXX: Pendekatan farmakologik pada pediatri gawat
darurat. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1993. p. 37-50.
Sunatrio S. Resusitasi cairan. 1st ed. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI, 2000. p. 1-120.
Sunatrio S. Larutan Ringer asetat dalam praktek klinis.
Presented at Simposium Alternatif Baru dalam Terapi
Resusitasi Cairan; 1999 Aug 14; Jakarta, Indonesia.
Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I,
Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. In: Sastroasmoro S,
Ismael S, editors. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
2nd edition. Jakarta: Sagung Seto; 2002. p. 259-86.
Suvatte V, Vajaradul C, Laohapand. Liver failure and
hepatic encephalopathy in dengue hemorrhagic fever/
dengue shock syndrome: correlation study with acetaminophen usage. Southeast Asian J Trop Med Public
Health 1990;21:694-5.
Innis BL. Acute liver failure is one important cause of
fatal dengue infection. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 1990;21:695-6.
Soedarmo SP. Patofisiologi dan patogenesis. In:
Sumarmo, editor. Demam berdarah dengue pada anak.
2nd ed. Jakarta: FKUI; 1988. p. 27-33.
Harun SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana
demam dengue/ demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta:
Ditjen P2MPLP Departemen Kesehatan RI; 1999. p. 1-6.
19. Juffrie M, Haasnoot K, Thijs LG. Dengue virus infection and dengue hemorrhagic shock. Crit Care and
Shock 2000;3:139-45.
20. Chameides L, Hazinski MR. Recognition of respiratoy
failure and shock. In: Aehlert B, editor. Pediatric Advanced Life Support. St Louis: Mosby; 1997. p. 1– 10.
21. Lin YL, Liu CC, Lei HY, Yeh TM, Lin YS, Chen RM, et
al. Infection of five human liver cell lines by dengue-2
virus. J Med Virol 2000; 60:425-31.
22. Krishnamurti C, Kalayanarooj S, Cutting MA, Peat RA,
Rothwell SW, Reid TJ, et al. Mechanisms of hemorrhage in dengue without circulatory collapse. Am J Trop
Med Hyg 2001;65:840-7.
23. Huerre MR, Lan NT, Marianneau P, Hue NB, Khun
H, Hung NT, et al. Liver histopathology and biological
correlates in five cases of fatal dengue fever in Vietnamese children. Virchows Arch 2001;438:107-15.
24. Kuo CH, Tai DI, Chang-Chien CS, Lan CK, Chiou
SS, Liaw YF. Liver biochemical tests and dengue fever.
Am J Trop Med Hyg 1992;47:265-70.
25. Nguyen TL, Nguyen TH, Tieu NT. The impact of dengue haemorrhagic fever on liver function. Res Virol
1997;148:273-7.
26. Mohan B, Patwari AK, Anand VK. Hepatic dysfunction in childhood dengue infection. J Trop Pediatr
2000;46:40-3.
27. Johnston DE. Special considerations in interpreting liver
function tests. Am Fam Physician 1999;59:2223-30.
28. Wang LY, Chang WY, Lu SN, Chen TP. Sequential
changes of serum transaminase and abdominal
sonography in patients with suspected dengue fever [abstract]. Gaoxiong Yi Xue Ke Xue Za Zhi 1990;6:483-9.
29. Nguyen TH, Lei HY, Nguyen TL, Lin YS, Huang KJ,
Le BL, et al. Dengue hemorrhagic fever in infants: a
study of clinical and cytokine profiles. J Infect Dis
2004;189:221-32.
30. Pancharoen C, Rungsarannont A, Thisyakorn U. Hepatic
dysfunction in dengue patients with various severity [abstract]. J Med Assoc Thai 2002;85 (Suppl): 298-301.
31. Martin P, Friedman LS. Assessment of liver function
and diagnostic studies. In: Friedman LS, Keeffe EB,
editors. Handbook of liver disease. 1st ed. London:
Churchill Livingstone; 1998. p. 1-4.
32. Maller ES. Laboratory assessment of liver function and
injury in children. In: Suchy FJ, editor. Liver disease in
children. 1st ed. Missouri: Mosby; 1994. p. 269-80.
33. Ganong WF. Keseimbangan energi, metabolisme dan
nutrisi. In: Ganong WF, editor. Fisiologi kedokteran.
10th ed. Jakarta: ECG Penerbit Buku Kedokteran;
1988. p. 236-270.
86 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005
LAPORAN PENDAHULUAN
TROMBOSITOPENIA
A. Pengertian
Trombositopenia adalah
suatu
kekurangan
trombosit,
yang
merupakan bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah
trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.000 -450000/ul, ratarata berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit di dalam
sirkulasidarah mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu
untuk mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal di
produksi 150.000 - 450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah
trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal
meskipun biasanya gangguan
mencapai
baru
timbul jika jumlah
trombosit
kurang dari 10.000/mL.(Sudoyo,,2006). Trombositopenia
adalah suatu manifestasi tersering dari sindrom imunodefisiensi didapat
( Robbins,2007 ). Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit
dalam sirkulasi kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko
perdarahan hebat,bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan
spontan kecil. ( Corwin, 2005 ). Trombositopenia adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh kekurangan trombosit. Kadar trombosis di
dalam plasma darah kurang dari 200 ribu/mm3. Trombosit adalah salah
satu protein dalam pembekuan darah (Price & Wilson,2005). Idiopatik
trombositopenia purpura ( ITP )adalah penyakit yang menyerang
segala golongan usia. Penyebabnya belum diketahui pasti. Infeksi virus
kadang mendahului penyakit ini. Masa hidup trombosit menjadi lebih
pendek ( Brunner & Suddart,2009 ). Purpur Trombositopenia idiopatik
merupakan suatu penyakit autoimun, paling
sering
terjadi
sebagai
kelainan yang tamaknya tersendiri walaupun terkadang merupakan
manifestasi pertama SLE (Sistemik lupus eritematosus ) ( Robbins,2007).
B. Penyebab
Menurut Robbins (2007 ) penyebab terjadinya trombositopenia adalah :
1. Penurunan Produksi Trombosit
Dapat disebabkan oleh berbagai bentuk kegagalan atau cedera
sumsum tulang,
yang mencangkup anemia aplastik ideopatik,
kegagalan sumsum tulang akibat obat, dan kegagalan sumsum
tulang oleh tumor. Trombositopenia juga merupakan bahaya yang
dapat
terjadi
setelah transplantasi sumsum tulang. Pemulihan
trombosit berlangsung jauh lebih lambat darpada pemulihan turunan
sel lainnya. Pada semua keadaan diatas, Trombositopenia disebabkan
oleh penurunan megakariosis sumsum tulang.
2. Penurunan Usia Trombosit
Percepatan
destruksi
tromsosit
sering
bersifat
imunologis,
terjadi akibat pembentukan antibody antitrombosit atau adsorpsi
trombosit
oleh komplek imun yang terbentuk didalam sirkulasi.
Destruksi trombosit yang diperantarai oleh antibody mungkin
berkaitan dengan penyakit autoimun, seperti
SlE,
atau
timbul
sebagai kelainan tersendiri ( ITP ). Sebagai trombositopenia akibat
obat juga imunologis. Penyebab non imunologik pada destruksi
terlebih trombosit secara berlebihan trombosit yaitu pemakaian
trombosit secara berlebihan yang terjadi pada DIC, katup jantung
prostetik
dan
suatu
penyakit
yang
jarang
disebut
purpura
trombositopenik trombolitik.
3. Sekuestrasi
Limpa sering tertekan pada berbagai sistemik.limpa yang
membesar menyebabkan pembersihan dalam jumlah besar satu
atau lebih elemen terbentuk di dalam, sehingga terjadi anemia,
leukopenia atau trombositopenia. Keadaan ini disebut hipersplenisme.
4. Pengenceran akibat tranfusi trombosit.
Terapi trenfusi trombosit telah membuat kemajuan dan kebanyakan
pasien defisiensi
trombosit atau disfungsi memperoleh manfaat
dari terapi tersebut. Pasien dengan masalah yang berkaitan dengan
meningkatnya konsumsi trombosit, tranfusi trombosit tampaknya
hanya
sedikit
atau tidak ada manfaatnya. Pada pasien dengan
trombositopenia imun,tidak ada manfaatnya tidak efektif dan bahkan
akan memperburuk keadaan.
C. Tanda dan Gejala
1. Peradangan kulit biasa merupakan pertanda awal dari jumlah
trombosit yang kurang.
2. Peteki atau bintik bintik merah sering kali muncul pada area
tungkai bawah.
3. Memar bisa timbul hanya karena cidera ringan.
4. Perdarahan spontan dari gusi dan hidung.
5. Kadang darah juga di temukan pada tinja atau air kemih
6. Pada penderita wanita darah menstruasi bisa sangat banyak.
7. Perdarahan sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan
dapat berakibat fatal
D. Patofisiologi
Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagi
cara yang mengakibatkan semakin lamanya pendarahan. Obat-obat seperti
aspirin, indometasin, fenilbutazon menghambat agresgasi dan reaksi
pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan pendarahn yang
memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin
tunggal dapat berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari. Protein
plasma,
myeloma
seperti
yang
multiple
di temukan
pada
menyelubungi trombosit,
makroglobulinemia
mengganggu
dn
adhesi
trombosit, reaksi bekuan, dan polimerasi fibrin.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan
biopsy sumsum
tulang,
dijumpai
pada
segala
kondisi
yang
mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini
meliputi
anemia
sumsum
tulang
aplastik, mieleofibrosis
dengan
(pengganti
jaringan fibrosa),
leukimia
unsur-unsur
akut,
dan
karisinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum tulang
normal.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
penyakit yang
trombositopenia
mendasarinya.
Apabila
biasanya
terjadi
adalah
gangguan
mengobati
produksi
trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikan angka trombosit
dan menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan intrakranial.
Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang
ditranfusikan juga akan hancur dan tidak akan menaikan angka trombosit.
G. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan
sumber informasi.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake
yang kurang, anoreksia
H. Batasan Karakteristik
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis
Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan
frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat,
diaforesis,
maskerwajah
prilaku
distraksi,
mengekspresikan
perilaku,
( mata kurang bercahaya, tampak kacau, meringis),
sikap melindungi area nyeri, fokus menyempit misal gangguan
persepsi nyeri,hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan
orang
dan
linhgkungan
),
indikasi nyeri yang dapat diamati,
melaporkan nyeri secara verbal, fokus pada diri sendiri.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Respon tekanan darah abnormal terhapad aktivitas, respon
frekuensi jantung abnormal, perubahan EkG, ketidaknyamanan
setelah aktivitas, dispnea setelah beraktivitas, merasakan merasa
letih, merasa lemah.
3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia
Faktor resiko : Aneurisme, sirkumsisi, defisiensi pengetahuan,
koagulan
intravaskuler
gastrointersinal,
diseminata,
gangguan
fungsi
riwayat
hati,
jatuh,
koagulan
gangguan
inheren,
komplikasi pascapartum, komplikasi terkait kehamilan, trauma, efek
samping terkait terapi
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan
sumber informasi
Memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti
instruksi, perilaku tidak sesuai.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake
yang kurang, anoreksia
Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal, dilaporkan
adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily
Allowance), membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot
yang digunakan untuk menelan/mengunyah, luka inflamasi pada
rongga mulut, mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah
makanan,
dilaporkan
atau fakta adanya kekurangan makanan,
dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa, perasaan ketidakmampuan
untuk mengunyah makanan, miskonsepsi, kehilangan BB dengan
makanan cukup, eengganan untuk makan, kram pada abdomen,
tonus otot jelek, nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi,
kurang berminat terhadap makanan, pembuluh darah kapiler mulai
rapuh, diare dan atau steatorrhea, kehilangan rambut yang cukup
banyak (rontok)
I. Fokus Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis
Kaji nyeri secara komprehensif, monitor ttv, ajarkan teknik non
farmakologi nafas dalam, berikan lingkungan yang nyaman untuk
mengurangi nyeri, anjurkan istirahat cukup, kolaborasi dengan dokter
pemberian terapi analgetik untuk mengurangi nyeri
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
NOC : Energy conservation Self Care : ADLs
NIC : Energy Management
Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas,
dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan,
kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan, monitor nutrisi dan
sumber energi yang adekuat, monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan, monitor respon kardivaskuler
terhadap aktivitas, monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
pasien.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan
sumber informasi
NIC : Teaching : disease Process
Diskusikan
perubahan
Berikan
penilaian
tentang
tingkat
pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik Jelaskan
patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. Gambarkan
tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara
yang tepat Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat, sediakan
informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat,
hindari harapan yang kosong, sediakan bagi
keluarga informasi
tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat, gaya hidup yang
mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan
datang dan atau proses pengontrolan penyakit, diskusikan pilihan
terapi atau penanganan, dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan
second opinion dengan cara yang tepat atau
diindikasikan, eksplorasi
dengan
cara
kemungkinan
sumber
atau
dukungan
yang tepat, rujuk pasien pada grup atau agensi di
komunitas lokal dengan cara yang tepat, instruksikan pasien mengenai
tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan
dengan cara yang tepat.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
NIC : Nutrition Management
Kaji adanya alergi makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan
jumlah
kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan pasien,
anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe, anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan vitamin C, berikan substansi gula, yakinkan
diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi, berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan
dengan
ahli gizi), ajarkan pasien bagaimana membuat catatan
makanan harian, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi, kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.
NIC : Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal, monitor adanya penurunan berat
badan, monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan, monitor
interaksi anak atau orangtua selama makan, monitor lingkungan
selama makan, jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam
makan, monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi, monitor turgor
kulit, monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah, monitor
mual dan muntah, monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar
Ht,
monitor
makanan
kesukaan,
monitor
pertumbuhan
dan
perkembangan, monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan
konjungtiva, monitor kalori dan intake nuntrisi, catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
DAFTAR PUSTAKA
Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume
1. Jakarta : EGC
Price, S.A., Lorraine, M. W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC
Robbins, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC
Saryabudi, Raharjuningsih, D. (2007). Hemostatis dan Trombosis. Edisi 3. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI
Tailor, C. M. (2010). Diagnosis dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC
SATUAN ACARA PENYULUHAN
TROMBOSITOPENIA DI RUANG MELATI
DI RS Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
DISUSUN OLEH
FITHROH ANGGRAINI
A01301755
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH GOMBONG
2016
SAP TROMBOSITOPENIA
Topik
: Trombositopenia
Sasaran
: Orang tua klien dan klien
Tempat
: Ruang Melati
Hari
: 31 mei 2016
Waktu
: 30 menit
A. TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti penyuluhan, diharapkan orang tua dan keluarga mampu
memahami tentang penyakit trombositopenia dan mampu memberi perawatan.
B. TUJUAN KHUSUS
Setelah diberikan penyuluhan mengenai Trombositopenia, orangtua dapat
:
1. Menjelaskan Pengertian Trombositopenia
2. Menjelaskan Penyebab Trombositopenia
3. Menjelaskan Tanda dan gejala Trombositopenia
4. Menjelaskan Akibat dari Trombositopenia
5. Menjelaskan Cara merawat klien dengan Trombositopenia
C. SASARAN
Orang tua dan keluarga
D. MATERI (TERLAMPIR)
1. Pengertian Trombositopenia
2. Penyebab Trombositopenia
3. Tanda dan Gejala Trombositopenia
4. Akibat dari Trombositopenia
5. Cara merawat klien dengan Trombositopenia
E. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
F. MEDIA
1. Leaflet
2. Lembar Balik
G. KEGIATAN PENYULUHAN
No
1.
Waktu
5 menit
Kegiatan Penyuluh
Kegiatan peserta
Pembukaan :
1. Mengucapkan salam pembuka
1. Menjawab salam
2. Memperkenalkan diri
2. Mendengarkan
3. Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan
3. Mendengarkan
penyuluhan
4. Menanyakan kepada klien sejauh mana
pemahaman tentang materi yang akan
4. Menjawab
pertanyaan penyuluh
disampaikan
2.
15 menit
Pelaksanaan :
1. Menjelaskanpengertian
Trombositopenia
2. Menjelaskan Penyebab
Trombositopenia
3. Menjelaskan Tanda dan gejala
1. Memperhatikan
2. Memperhatikan
Memperhatikan
Memperhatikan
4. Memperhatikan
Trombositopenia
4. Menjelaskan Akibat dari
5.
Trombositopenia
5. Menjelaskan Cara merawat klien
dengan Trombositopenia
3.
10 menit
Penutup :
1. Menggali pengetahuan peserta tentang materi 1. Menjelaskan tentang
yang telah disampaikan.
materi
Trombositopenia
yang telah
2. Menyimpulkan hasil kegiatan penyuluhan
3. Mengucapkan salam penutup
disampaikan.
2. Mendengarkan
3. Menjawab salam
H. KRITERIA EVALUASI
1. Evaluasi Proses
a. Kegiatan penyuluhan dihadiri oleh klien dan orang tua
b. Media yang digunakan adalah leaflet dan Lembar balik
c. Waktu penyuluhan selama 30 menit.
d. Penyelenggaraan penyuluhan diadakan di ruang melati
e. Penyaji diharapkan menguasai materi dengan baik.
f. Pengorganisasian penyuluhan dipersiapkan beberapa hari sebelum
penyuluhan.
g. Klien dan orang tua hadir mengikuti penyuluhan dan tidak
meninggalkan tempat penyuluhan sebelum kegiatan penyuluhan
selesai dilakukan.
h. Diharapkan klien dan orang tua antusias mengikuti proses penyuluhan
sampai kegiatan penyuluhan selesai.
2. Evaluasi Hasil
Setelah dilakukan penyuluhan tentang Trombositopenia diharapkan
klien mampu :
a. Mengetahui Pengertian Trombositopenia
b. Mengetahui Penyebab Trombositopenia
c. Mengetahui Tanda dan Gejala Trombositopenia
d. Mengetahui Penanganan Trombositopenia
e. Mengetahui Pencegahan Trombositopenia
Lampiran Materi
A. Pengertian
Trombositopenia
adalah
suatu
kekurangan
trombosit,
yang
merupakan bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah
trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.000 -450000/ul, rata-rata
berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit di dalam sirkulasidarah
mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu
mempertahankan
jumlah trombosit
supaya
tetap
normal
untuk
di produksi
150.000 - 450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah trombosit kurang
dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya
gangguan
baru
timbul jika jumlah
trombosit
10.000/mL.(Sudoyo,,2006). Trombositopenia
tersering
dari
mencapai
adalah
suatu
kurang dari
manifestasi
sindrom imunodefisiensi didapat ( Robbins,2007 ).
Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi
kelainan
ini
berkaitan
dengan
peningkatan
resiko
perdarahan
hebat,bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. (
Corwin, 2005 ). Trombositopenia adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh kekurangan trombosit. Kadar trombosis di dalam plasma darah
kurang
dari 200 ribu/mm3. Trombosit adalah salah satu protein dalam
pembekuan darah (Price & Wilson,2005). Idiopatik trombositopenia purpura
( ITP )adalah penyakit yang menyerang segala golongan usia. Penyebabnya
belum diketahui pasti. Infeksi virus kadang mendahului penyakit ini. Masa
hidup trombosit menjadi lebih pendek ( Brunner & Suddart,2009 ). Purpur
Trombositopenia idiopatik merupakan suatu penyakit autoimun, paling sering
terjadi sebagai kelainan yang tamaknya tersendiri walaupun terkadang
merupakan manifestasi pertama SLE (Sistemik lupus eritematosus ) (
Robbins,2007).
B. Penyebab
Menurut Robbins (2007 ) penyebab terjadinya trombositopenia adalah :
1. Penurunan Produksi Trombosit
Dapat disebabkan oleh berbagai bentuk kegagalan atau cedera
sumsum tulang,
yang
mencangkup
anemia
aplastik
ideopatik,
kegagalan sumsum tulang akibat obat, dan kegagalan sumsum tulang
oleh tumor. Trombositopenia juga merupakan bahaya yang dapat
terjadi
setelah transplantasi sumsum tulang. Pemulihan trombosit
berlangsung jauh lebih lambat darpada pemulihan turunan sel lainnya.
Pada semua keadaan diatas, Trombositopenia
disebabkan
oleh
penurunan megakariosis sumsum tulang.
2. Penurunan Usia Trombosit
Percepatan destruksi tromsosit sering bersifat imunologis, terjadi
akibat pembentukan antibody antitrombosit atau adsorpsi trombosit
oleh komplek imun yang terbentuk didalam sirkulasi. Destruksi trombosit
yang diperantarai oleh antibody mungkin berkaitan dengan penyakit
autoimun, seperti SlE, atau timbul sebagai kelainan tersendiri ( ITP
). Sebagai trombositopenia akibat obat juga imunologis. Penyebab
non imunologik pada destruksi terlebih trombosit secara berlebihan
trombosit yaitu pemakaian trombosit secara berlebihan yang terjadi
pada DIC, katup jantung prostetik dan suatu penyakit yang jarang
disebut purpura trombositopenik trombolitik.
3. Sekuestrasi
Limpa
sering
tertekan
pada
berbagai
sistemik.limpa
yang
membesar menyebabkan pembersihan dalam jumlah besar satu atau
lebih elemen terbentuk di dalam, sehingga terjadi anemia, leukopenia
atau trombositopenia. Keadaan ini disebut hipersplenisme.
4. Pengenceran akibat tranfusi trombosit.
Terapi trenfusi trombosit telah membuat kemajuan dan kebanyakan
pasien defisiensi trombosit atau disfungsi memperoleh manfaat dari
terapi tersebut.
Pasien
meningkatnya konsumsi
hanya
sedikit
dengan
masalah
trombosit,
yang
tranfusi
berkaitan
trombosit
dengan
tampaknya
atau tidak ada manfaatnya. Pada pasien dengan
trombositopenia imun,tidak ada manfaatnya tidak efektif dan bahkan akan
memperburuk keadaan.
C. Tanda dan Gejala
1. Peradangan
kulit
biasa
merupakan
pertanda
awal
dari
jumlah
trombosit yang kurang.
2. Peteki atau bintik bintik merah sering kali muncul pada area tungkai
bawah.
3. Memar bisa timbul hanya karena cidera ringan.
4. Perdarahan spontan dari gusi dan hidung.
5. Kadang darah juga di temukan pada tinja atau air kemih
6. Pada penderita wanita darah menstruasi bisa sangat banyak.
7. Perdarahan sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan
dapat berakibat fatal
D. Patofisiologi
Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagi cara
yang mengakibatkan semakin lamanya pendarahan. Obat-obat seperti aspirin,
indometasin, fenilbutazon menghambat agresgasi dan reaksi pelepasan
trombosit, dengan demikian menyebabkan pendarahn yang memanjang
walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin tunggal dapat
berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari. Protein plasma, seperti yang
di temukan pada makroglobulinemia dn myeloma multiple menyelubungi
trombosit, mengganggu adhesi trombosit, reaksi bekuan, dan polimerasi
fibrin.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsy
sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau
menghambat
fungsi
sumsum
tulang.
Kondisi
ini
meliputi
anemia
aplastik, mieleofibrosis (pengganti unsur-unsur sumsum tulang dengan
jaringan fibrosa), leukimia akut, dan karisinoma metastatik lain yang
mengganti unsur-unsur sumsum tulang normal.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati penyakit
yang mendasarinya. Apabila terjadi gangguan produksi trombosit, maka
tranfusi trombosit dapat menaikan angka trombosit dan menghentikan
perdarahan
atau
mencegah
perdarahan
intrakranial.
Apabila
terjadi
penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang ditranfusikan juga
akan hancur dan tidak akan menaikan angka trombosit.
G. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan
sumber informasi.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake
yang kurang, anoreksia
H. Batasan Karakteristik
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis
Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan
frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat,
diaforesis, prilaku distraksi, mengekspresikan perilaku, maskerwajah (
mata kurang bercahaya, tampak kacau, meringis), sikap melindungi area
nyeri, fokus menyempit misal gangguan persepsi nyeri,hambatan proses
berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan linhgkungan ),
indikasi nyeri yang dapat diamati, melaporkan nyeri secara verbal, fokus
pada diri sendiri.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Respon
tekanan
darah
abnormal
terhapad
aktivitas,
respon
frekuensi jantung abnormal, perubahan EkG, ketidaknyamanan setelah
aktivitas, dispnea setelah beraktivitas, merasakan merasa letih, merasa
lemah.
3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia
Faktor resiko : Aneurisme, sirkumsisi, defisiensi pengetahuan,
koagulan
intravaskuler
diseminata,
riwayat
jatuh,
gangguan
gastrointersinal, gangguan fungsi hati, koagulan inheren, komplikasi
pascapartum, komplikasi terkait kehamilan, trauma, efek samping terkait
terapi
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber
informasi
Memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti
instruksi, perilaku tidak sesuai.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
kurang, anoreksia
Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal, dilaporkan adanya
intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance),
membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot yang digunakan
untuk menelan/mengunyah, luka inflamasi pada rongga mulut, mudah
merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan, dilaporkan atau
fakta adanya kekurangan makanan, dilaporkan adanya perubahan sensasi
rasa,
perasaan
ketidakmampuan
untuk
mengunyah
makanan,
miskonsepsi, kehilangan BB dengan makanan cukup, eengganan
untuk makan, kram pada abdomen, tonus otot jelek, nyeri abdominal
dengan atau tanpa patologi, kurang berminat terhadap makanan, pembuluh
darah kapiler mulai rapuh, diare dan atau steatorrhea, kehilangan rambut
yang cukup banyak (rontok)
I. Fokus Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis
Kaji nyeri secara komprehensif, monitor ttv, ajarkan teknik non
farmakologi nafas dalam, berikan lingkungan yang nyaman untuk
mengurangi nyeri, anjurkan istirahat cukup, kolaborasi dengan dokter
pemberian terapi analgetik untuk mengurangi nyeri
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
NOC : Energy conservation Self Care : ADLs
NIC : Energy Management
Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas,
dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan, kaji
adanya factor yang menyebabkan kelelahan, monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat, monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan, monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas,
monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan
sumber informasi
NIC : Teaching : disease Process
Diskusikan perubahan Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan
pasien tentang proses penyakit yang spesifik Jelaskan patofisiologi dari
penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi, dengan cara yang tepat. Gambarkan tanda dan gejala yang
biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat Gambarkan proses
penyakit, dengan cara yang tepat Identifikasi kemungkinan penyebab,
dengan cara yang tepat, sediakan
informasi
pada
pasien
tentang
kondisi, dengan cara yang tepat, hindari harapan yang kosong, sediakan
bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang
tepat, gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di
masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit, diskusikan
pilihan terapi atau penanganan, dukung pasien untuk mengeksplorasi
atau
mendapatkan
second opinion dengan cara yang tepat atau
diindikasikan, eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan dengan
cara yang tepat, rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal
dengan cara yang tepat, instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan dengan cara yang
tepat.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
NIC : Nutrition Management
Kaji adanya alergi makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien, anjurkan
pasien
untuk
meningkatkan
intake
Fe,
anjurkan
pasien
untuk
meningkatkan protein dan vitamin C, berikan substansi gula, yakinkan
diet
yang
dimakan
mengandung
tinggi
serat
untuk mencegah
konstipasi, berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan
dengan ahli gizi), ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan
harian, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan informasi
tentang kebutuhan nutrisi, kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan
nutrisi yang dibutuhkan.
NIC : Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal, monitor adanya penurunan berat
badan, monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan, monitor
interaksi anak atau orangtua selama makan, monitor lingkungan selama
makan, jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan,
monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi, monitor turgor kulit,
monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah, monitor mual dan
muntah, monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht, monitor
makanan kesukaan, monitor pertumbuhan dan perkembangan, monitor
pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva, monitor kalori
dan intake nuntrisi, catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
DAFTAR PUSTAKA
Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1.
Jakarta : EGC
Price, S.A., Lorraine, M. W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC
Robbins, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC
Saryabudi, Raharjuningsih, D. (2007). Hemostatis dan Trombosis. Edisi 3. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
Tailor, C. M. (2010). Diagnosis dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC
TROMBOSITOPENIA
DI SUSUN OLEH
FERINA NURIASIH
A01301751
PRODI DIII KEPERAWATAN
STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG
2016
PENGERTIAN
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah
trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam
sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung
sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah
trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi
perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan
baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang
dari 10.000/mL.
PENYEBAB
1. Berkurangnya
produksi
atau
meningkatnya
penghancuran trombosit.
2. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit
normal biasanya disebabkan oleh penghancuran atau
penyimpanan yang berlebihan.
3. Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi
antibodi yang diinduksioleh obat.
4. Perusakan atau penekanan pada sumsum tulang.
5. Kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap sumsum
tulang.
6.
Trombosit menjadi terlarut
TANDA GEJALA
1. Adanya petekhiedanpupura pada ekstermitas dan
tubuh
2. Menstruasi yang banyak
3. Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi
4. Muntah darah dan batuk darah
5. Perdarahan Gastro Intestinal
6. Adanya darah dalam urin dan feses
7. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP.
KOMPLIKASI
1. Syock hipovolemik
2. Penurunan curah jantung
3. Purpura, ekimosis, dan petekie
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
LaboratoriumDarah
PENATALAKSANAAN
Tranfusitrombosit
MAKANAN/BUAH YANG DAPAT
MENINGKATKAN TROMBOSIT
Pepaya
Bahan yang disediakan: 50 gram papaya kupas cuci bersih dan potong-potong. 3
sdm (30 ml) ASI
Cara membuat: Blender papaya hingga lembut. Tuang Makanan bayi usia 6
bulan dari pure papaya ke mangkuk. Tambahkan ASI dan aduk rata. Segera
berikan kepada bayi.
Jambu merah
Bahan : 100 gr jambu biji merah, kupas kulitnya dan buang bijinya
50 gr wortel, kupas kulitnya dan potong-poyong
200 mili liter air matang
Cara membuat : haluskan daging jambu biji merah dengan 10 mili liter air,
kemudian tuang kedalam sebuah mangkuk, rebus wortel kurang lebih selama 3
menit dengan sekitar 100 mili liter air, haluskan wortel tadi bersama sisa air,
setelah itu tuangkan ke atas bubur jambu. Lalu hidangkan
Sayuran hijau
Bahan : 115 gram Brokoli. 175 gram Kentang. 300 cc Susu Formula Cair.
115 gram Wortel.
Cara masak : Pertama siapkan susu formula cair, yaitu 3 sendok takar peres susu
bubuk formula kemudian larutkan dalam 300 cc air matang. Kemudian cuci brokoli,
potong sesuai kuntum. kupas wortel dan kentang, cuci, lalu potong dadu kecil.
Selanjutnya masukkan sayuran dalam panci kecil, tambahkan 250 cc air lalu masak
hingga matang. Kemudian haluskan dengan blender hingga lembut. tuang ke dalam
mangkuk. sajikan.
Hati
Bahan: 20 gr beras, cuci bersih, 625 cc air, 25 gr hati ayam, 26 gr tempe, 27 gr
tomat, 28 gr daun bayam, iris kasar, 1 sdt margarin/ mentega
Cara membuat:
1. Campur beras yang sudah dibersihkan dengan air, hati ayam, dan tempe. Rebus
sambil terus diaduk hingga menjadi bubur.
2. Masukkan bayam dan tomat, masak hingga sayuran matang. Angkat.
3. Masukkan margarin/ mentega, aduk rata.
4. Setelah dingin, haluskan dengan blender atau saringan kawat.
Tempatkan dalam wadah, siap diberikan pada bayi.
Kurma
Bahan : 100 ml ASI, 100 ml Air Hingga Matang, 2 sendok makan Kacang Hijau
Tanpa Kulit, 3 buah Kurma
Cara membuat : Pertama masak 2 sendok makan kacang hijau tanpa kulit
menggunakan 100 ml asi atau 3 sendok takar susu formula yang sudah diseduh
dengan 100 ml air hingga matang. Kemudian masukkan 3 buah kurma yang sudah
dipotong kecil. aduk hingga matang.
BUAH BIT
Bahan : 250 gram Air Atau Kaldu Ayam, 1 sendok makan Tepung Beras, 50 gram
Umbi Bit
Cara masak : Pertama kupas buah bit kemudian potong dadu. Kemudian larutkan
tepung beras dengan sedikit air. Selanjutnya didihkan kaldu atau air, lalu masukkan potongan
umbi bit. masak hingga umbi bit matang. Kemudian tuang larutan tepung beras. didihkan
kembali hignga tekstur mengental dan matang. angkat. Lalu tuang ke dalam tabung blender.
proses hingga lembut. tuang ke dalam mangkuk saji. sajikan.
Contoh jadwal makanan tambahan Umur 6-12 bulan :
6 pagi Susu ibu
9-10 pagi Bijirin dan susu atau buah-buahan dengan bubur/sup atau telur rebus
1-2 tengahari Nasi tim dan ikan dengan sayur-sayuran hijau atau daging dan puree
sayur
3-4 petang Susu atau buah-buahan atau air
5-6 petang Nasi tim dan kacang-kacang
Pisang lecek
Masa tidur Susu ibu
Pepaya adalah buah terbaik yang bisa meningkatkan jumlah keping darah dandapat
meningkatkan kadar trombosit Anda secara alami.
Delima
Buah berwarna merah ini kaya akan zat besi yang bisa membantu dalam meningkatkan
jumlah trombositdan tinggi akan vitamin dapat membantu Anda dalam melawan penyakit
demam berdarah.
Sayuran hijau
Sayuran hijau mengandung vitamin K yang baik dikonsumsi ketika jumlah trombosit Anda
menurun. Dan untuk meningkatkan jumlah keping darah Anda.
Bawang putih
Selain baik untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara alami, mengonsumsi
bawang putih juga mampu menambah keping darah dalam tubuh.
Buah bit
Buahinimampu menjaga jumlah keping darah Anda agar tidak turun.
Hati
Baik hati ayam maupun hati sapi, keduanya bermanfaat untuk menambah jumlah trombosit
atau keping darah Anda.
Kismis
Buah-buahan kering seperti kismis mengandung 30% zat besi yang baik untuk
meningkatkan kadar trombosit secara alami. Aprikot
Aprikot adalah jenis buah yang tinggi akan zat besi di dalamnya. Mengonsumsi sebuah
aprikot setiap hari dapat menambah jumlah keping darah Anda.
Kurma
Kurma tinggi akan zat besi serta nutrisi lainnya yang bermanfaat untuk menambah
trombosit secara alami.
Gandum utuh
Daripada nasi, lebih baik konsumsi gandum utuh sebagai asupan karbohidrat Anda saat
sakit. Sebab gandum kaya akan serat, nutrisi, mineral, vitamin yang baik untuk
meningkatkan jumlah keping darah dalamtubuh.
Jambumerah
Jambu biji merah sangat kaya akan vitamin C, bahkan kandungan vitamin C-nya lebih
tinggi dari buah-buah lainnya, sehingga tak heran bila buah ini sangat baik untuk
mempertahankan daya tahan dan kebugaran tubuh.
A. DEFINISI
4. Perusakan atau penekanan pada
Trombositopenia didefinisikan sebagai
sumsum tulang.
jumlah trombosit kurang dari100.000 /
5. Kemoterapeutik
mm3 dalam sirkulasi darah. Darah
biasanya mengandung sekitar 150.000-
yang
bersifat
toksik terhadap sumsum tulang.
6. Trombosit menjadi terlarut
350.000 trombosit/mL. Jika jumlah
trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa
terjadi perdarahan abnormal meskipun
biasanya gangguan baru timbul jika
C. TANDA GEJALA
1. Adanya petekhie pada ekstermitas
dan tubuh
jumlah trombosit mencapai kurang
2. Menstruasi yang banyak
dari 10.000/mL.
3. Perdarahan pada mukosa, mulut,
hidung, dan gusi
B. PENYEBAB
4. Muntah darah dan batuk darah
1. Berkurangnya
produksi
meningkatnya
DI SUSUN OLEH
FERINA NURIASIH
A01301751
atau
penghancuran
trombosit.
MUHAMMADIYAH GOMBONG
2016
2. Keadaan trombositopenia dengan
produksi
trombosit
biasanya
disebabkan
normal
% pada ITP.
D. KOMPLIKASI
1. Syock hipovolemik
3. Trombosit dapat juga dihancurkan
produksi
7. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5
oleh
yang berlebihan.
oleh
6. Adanya darah dalam urin dan
feses
penghancuran atau penyimpanan
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
5. Perdarahan Gastro Intestinal
antibodi
diinduksioleh obat.
yang
2. Penurunan curah jantung
3. Purpura, ekimosis, dan petekie
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
LaboratoriumDarah
Anda.
Kurma
Bawang putih
Kurma tinggi akan zat besi serta nutrisi
Selain
F. PENATALAKSANAAN
Tranfusitrombosit
baik
untuk
meningkatkan
YANG
DAPAT
MENINGKATKAN TROMBOSIT
Pepaya
Pepaya adalah buah terbaik yang bisa
meningkatkan jumlah keping darah
dandapat
trombosit
meningkatkan
Anda
secara
kadar
alami.
Delima
zat besi yang bisa membantu dalam
meningkatkan
jumlah
trombositdan
tinggi akan vitamin dapat membantu
Anda dalam melawan penyakit demam
berdarah.
Sayuran hijau
Sayuran hijau mengandung vitamin K
yang baik dikonsumsi ketika jumlah
trombosit Anda menurun. Dan untuk
meningkatkan jumlah keping darah
untuk
mengonsumsi
Gandum utuh
bawang
menambah
putih
keping
juga
darah
Daripada nasi, lebih baik konsumsi
tubuh.
gandum
utuh
sebagai
asupan
Buah bit
karbohidrat Anda saat sakit. Sebab
Buahinimampu menjaga jumlah keping
gandum kaya akan serat, nutrisi,
darah
mineral,
Anda
agar
tidak
turun.
vitamin
yang
baik
untuk
Hati
meningkatkan jumlah keping darah
Baik hati ayam maupun hati sapi,
dalamtubuh.
keduanya
menambah
bermanfaat
jumlah
untuk
trombosit
atau
keping darah Anda.
Buah berwarna merah ini kaya akan
bermanfaat
menambah trombosit secara alami.
dalam
MAKANAN
yang
sistem kekebalan tubuh secara alami,
mampu
G. 10
lainnya
Kismis
Buah-buahan kering seperti kismis
mengandung 30% zat besi yang baik
untuk meningkatkan kadar trombosit
secara
alami.
Aprikot
Aprikot adalah jenis buah yang tinggi
akan
zat
besi
di
dalamnya.
Mengonsumsi sebuah aprikot setiap
hari dapat menambah jumlah keping
darah
Anda.
Download