ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A DIRUANG MELATI 3A3 RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan Disusun Oleh : Ferina Nuriasih A01301751 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN 2016 Program Studi DIII Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong KTI, Agustus 2016 Ferina Nuriasih1,Nurlaila2,M.Kep.Ns ABSTRAK ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA An.A DI RUANG MELATI 3A3 RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN Latar belakang. Penyakit DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Penyakit demam dengue ini dapat menimbulkan gejala klinis yaitu mual muntah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan volume cairan. Presentasi cairan pada bayi jauh lebih banyak dibanding dengan orang dewasa oleh karena itu bayi lebih beresiko tinggi mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Tujuan umum penulisan. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. Asuhan keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang muncul yaitu defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah). Implementasi keperawatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu menganjurkan keluarga untuk memberikan banyak minum, memantau tanda gejala dehidrasi, melakukan pengukuran vital sign, mengobservasi muntah dan BAK , pemberian cairan IV RL 500ml (30tpm), menimbang popok dan berat badan, memonitor asupan dan pengeluaran. Hasil evaluasi diagnosa defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (mual, muntah) teratasi. Analisa tindakan. Pemberian cairan golongan kristaloid (RL, RA) sangat efektif untuk menangani resusitasi cairan pada penyakit DBD. Kata kunci: elektrolit, cairan, asuhan keperawatan iv Nursing Studies Programe DIII College of Health Sciences Muhammadiyah Gombong KTI, August 2016 Ferina Nuriasih1, Nurlaila2, M.Kep,Ns ABSTRACT NURSING CARE OF “A” THE CHILD PATIENT WITH FLUIDS AND ELECTROLYTE NEED AT MELATI WORD ROOM 3A3 RSUD Dr SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN Background. DHF in Indonesia has become a public health problem since last 30 years. Dengue fever can cause clinical symptoms are nausea and vomiting that can lead to lack of fluid volume. Presentation of fluid in the baby much more than adults because the baby is at high risk of fluid and electrolyte balance disorders. The general objective of writing. Describing nursing care meeting the needs of fluid and electrolytes to An.A in Melati room RSUD Dr Soedirman Kebumen hospital. Nursing care. The main nursing diagnoses that arise are fluid volume deficit associated with loss of active liquid (nausea, vomiting). Implementation of nursing has been done among which encourage families to give a lot of drinking, wathcing the signs of dehydration symptoms, measurements of vital signs, observe vomiting and urinating, RL 500ml IV fluid administration (30tpm), weighing diapers and weight, observe your intake and expenditure. The results of diagnostic evaluation of fluid volume deficit associated with loss of active liquid (nausea, vomiting) resolved. Analysis of the action. Crystalloid fluid administration group (RL, RA) is very effective for dealing with fluid resuscitation in dengue disease. Keywords. electrolyte, fluid, nursing care v KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warohmatulahi wabarakatuh Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya ,sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Cairan Pada An.A Diruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman Kebumen”. Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk melaporkan hasil Karya Tulis Ilmiah dalam rangka ujian tahap akhir jenjang pendidikan DIII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong. Terwujudnya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat : 1. Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat sehat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancar 2. Bapak Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku Ketua STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan keperawatan 3. Bapak Sawiji Amani, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DII Keperawatan STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah mendidik penulis dengan baik 4. Ibu Nurlaila, S.Kep,Ns, M.Kep selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah ini yang telah memberikan banyak motivasi dan bimbingan kepada penulis 5. Kedua Orang tua, Bapak Sahro dan Ibu Marilah yang telah memberikan kasih sayang, semangat, motivasi, materil serta doa kepada penulis sehingga membantu menyelesaikan tugas ini dengan lancar 6. Tim penguji Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan saran dan arahan 7. Ibu Rini Amborowati, S.Kep,Ns selaku pembimbing klinik selama ujian komprehensif yang dengan sabar membimbing dan memberikan anyak masukan kepada penulis vi 8. Segenap dosen dan staff STIKes Muhammadiyah Gombong yang telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan materi selama penulis menempuh pendidikan 9. Segenap Keluarga besar Bapak Trimo Rejo dan Bapak Sahro yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis 10. Teman-teman seperjuangan kelas 3A khususnya Anggun K, Anis L, Annisa S, Fitroh A, dan sahabat dekat penulis R.A yang telah memberikan banyak semangat dan doa kepada penulis 11. Serta tidak lupa kepada An.A dan keluarga yang telah mau bekerjasama dengan penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan Semoga Alloh SWT senantiasa melipahkan rahmat serta hidayahNya kepada kita semua, amin. Besar harapan penulis, semoga laporan Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis dan rekan-rekan pembaca semua. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarrokatuh Gombong, 2 Agustus 2016 Penulis vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii ABSTRAK ....................................................................................................... iv ABSTRACT ..................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4 C. Manfaat Penulisan ................................................................................ 5 BAB II KONSEP DASAR A. Konsep Dasar Cairan dan Elektrolit ..................................................... 6 1. Pengertian Cairan dan Elektrolit .................................................... 6 2. Fungsi Cairan Tubuh ...................................................................... 7 3. Fisiologis Kekurangan Volume Cairan .......................................... 7 4. Tanda Gejala Kekurangan Volume Cairan .................................... 7 5. Dehidrasi ........................................................................................ 8 6. Cara Pemenuhan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit ....................... 10 7. Faktor Keseimbangan Cairan ......................................................... 12 B. Konsep Dasar Cairan Intravena ........................................................... 14 1. Pengertian Cairan Intravena ........................................................... 14 2. Tujuan Pemberian Cairan Intravena .............................................. 14 3. Keadaan-keadaan yang Memerlukan Cairan IV ............................ 14 4. Penatalaksanaan Pemberian Cairan IV pada DBD ........................ 15 5. Menghitung Tetesan Infus.............................................................. 17 BAB III RESUME ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian ............................................................................................ 19 B. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan ............................................ 21 C. Intervensi, Implementasi dan Evaluasi ................................................ 22 BAB IV PEMBAHASAN A. Asuhan Keperawatan ........................................................................... 32 1. Defisit Volume Cairan ................................................................... 32 2. Hipertermia .................................................................................... 35 3. Defisiensi pengetahuan .................................................................. 38 4. Resiko perdarahan .......................................................................... 41 B. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan............................................... 43 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 48 B. Saran ..................................................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Lembar Konsultasi Lampiran 2 : Jurnal Penelitian Lampiran 3 : Laporan Asuhan Keperawatan Lampiran 4 : Laporan Pendahuluan Lampiran 5 : Satuan Acara Penyuluhan Lampiran 6 : Lembar Balik Lampiran 7 : Lembar Leaflet ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidayati (2009) mengemukakan bahwa masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki kemampuan untuk dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut maka masalah kesehatan anak di prioritaskan didalam perencanaan atau penataan pembangunan bangsa. Faktor yang sering mempengaruhi anak mengalami sakit adalah wilayah tropis, dimana wilayah tropis di Indonesia memang baik bagi kuman untuk berkembang biak contohnya demam (Damayanti, 2008). Penyakit ini biasanya semakin mewabah saat musim peralihan. Terjadinya perubahan cuaca tersebut dapat mempengaruhi perubahan kondisi kesehatan anak. Kondisi anak dari sehat menjadi sakit yang mengakibatkan tubuh bereaksi untuk meningkatkan suhu yang disebut dengan demam. Ada beberapa penyakit menular di Indonesia yang disebabkan virus, salah satu diantaranya yaitu dengue (Soedarto,2009) Menurut WHO (2008) demam berdarah dengue (DBD/Dengue heaemoragic fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan didaerah tropis dan subtropis, terutama didaerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi. DBD ditemukan pertama kali pada tahun 1950 di Filipina dan Thailand. DBD saat ini sudah dapat ditemukan disebagian besar negara di Asia. Sudah beberapa tahun ini jumlah negara yang mengalami wabah DBD ini meningkat empat kali lipat, dan sebagian besar kasus menyerang pada 2 anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD mecapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1% . Di Indonesia, penyakit DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat sejak 30 tahun terakhir. Pada saat ini kasus penyakit DBD sudah dapat ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan kasus kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD (DepKes RI , 2008). Jumlah kasus penyakit DBD pada tahun 2014 tercatat penderita DBD di 34 Propinsi di Indonesia mencapai 7.668 kasus, dan 641 orang diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 112.511 kasus, dengan sebanyak 871 orang meninggal dunia (KemenKes RI, 2015). Penyakit demam dengue ini dapat menimbulkan tanda dan gejala klinis diantaranya seperti mual dan muntah yang dapat menyebabkan terjadinya kekurangan volume cairan (Suriadi dan Yuliani, 2010) Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa kekurangan volume cairan akan terjadi saat air dan elektrolit yang hilang berada didalam proposi isotonik. Kadar elektrolit didalam serum tetap dan tidak berubah, kecuali apabila terjadi ketidakseimbangan lain. Pasien yang mengalami kekurangan volume cairan ini biasanya adalah pasien yang mengalami kehilangan cairan dan elektrolit melalui gastrointestinal, misalnya akibat muntah, penghisap lambung, diare ataupun fistula. Tarwoto dan Wartonah (2006) menyatakan bahwa cairan dan elektrolit merupakan kebutuhan hidup kedua setelah udara. Tubuh dikatakan seimbang apabila jumlah keseluruhan dari air didalam tubuh dalam keadaan normal dan relatif konstan. jika seseorang kehilangan cairan dalam jumlah yang cukup besar, maka akan terjadi kelainan pada fungsi fisiologis yang cukup serius. Perlunya mempertahankan jumlah cairan didalam tubuh secara konstan yaitu karena cairan mempunyai banyak peran penting didalam tubuh. Cairan itu sendiri merupakan zat pelarut utama bagi tubuh, salah satunya melarutkan zat kimia didalam tubuh. 3 Dalam hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan salah satu proses dinamik dalam tubuh, karena metabolisme tubuh membutuhkan perubahan yang tetap berespon terhadap stressor fisiologis dan lingkungan. Pada bayi cairan total tubuh yaitu 80% dari berat badan, dan pada usia 3 tahun cairan total tubuh menjadi 65% dari berat badan (Mubarak, Chayatin 2009). Pada bayi dan anak kecil memiliki kebutuhan cairan yang lebih besar sehingga bayi dan anak lebih rentan terhadap perubahan keseimbangan cairan serta elektrolit. Gangguan keseimbangan dan elektrolit akan terjadi lebih sering dan lebih cepat, dan pada saat itu pasien anak-anak kurang cepat untuk menyesuaikan diri mereka dengan perubahan ini (Tarwoto dan Wartonah, 2006). Presentasi cairan tubuh pada bayi jauh lebih banyak dibanding presentasi cairan tubuh pada orang dewasa. Sebagian besar dari cairan tubuh bayi adalah cairan ekstrasel (CES), sehingga bayi beresiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan karena CES lebih mudah hilang dibanding cairan intrasel (CIS). Di samping itu, fungsi ginjal pada bayi belum matur, sehingga dapat menyebabkan bayi dan anak-anak lebih beresiko terhadap perubahan kadar cairan dan elektrolit (Rosdahl dan Kowalski, 2014). Pada saat lahir fungsi ginjal bayi sebanding dengan 30%-50% dari kapasitas orang dewasa dan belum cukup matur untuk memekatkan urin. Pada bayi semua struktur ginjal sudah ada tetapi kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin dan mengatur kondisi cairan serta fluktuasi elektrolit belum maksimal (Wong, 2008). Dua dan tiga tahun pertama merupakan masa periode emas bagi perkembangan anak secara optimal, untuk mencapai proses tumbuh kembang yang optimal pada anak, maka yang perlu diperhatikan yaitu tidak hanya aspek nutrisi, namun kebutuhan cairan tubuhnya juga perlu diperhatikan guna menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (Setiawan, 2013) 4 Kekurangan volume cairan dan elektrolit dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume, tekanan darah, nadi cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata dan ubun-ubun cekung, selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering dan penanganan kasus DHF yang terlambat akan mengakibatkan Dengue Syok Sindrom (DSS) yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan penderita mengalami defisit volume cairan akibat dari meningkatnya permeabilitas dari kapiler pembuluh darah sehingga seseorang yang menderita DHF mengalami syok hipovolemik dan akhirnya meninggal (Ngastiyah,2010). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis tertarik menyusun karya tulis ilmiah “Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit Pada An.A Di Ruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman Kebumen”. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mendeskripsikan asuhan keperawatan dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada An.A di Ruang Melati 3A3 RSUD Dr Soedirman Kebumen. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada An.A dengan masalah pemenuhan kebutuhan caiaran dan elektrolit di Ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan yang muncul pada An.A dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada An.A dengan masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. 5 d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada An.A dengan masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada An.A dengan masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. f. Mendeskripsikan hasil analisa tindakan pada An.A dengan masalah pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di Ruang Melati RSUD Dr Soedirman Kebumen. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk rumah sakit Agar dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit di RSUD Dr Soedirman. 2. Manfaat untuk institusi Agar dapat menjadi wacana dan bahan masukan yang baru dalam proses belajar mengajar terhadap pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit. 3. Manfaat untuk penulis Untuk menambah dan memperluas wawasan pengetahuan serta pemahaman yang lebih mengenai pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit juga sebagai prasyarat kelulusan program studi DIII Keperawatan. DAFTAR PUSTAKA A. Potter Patricia, G. Perry Anne. (2010). Clinical Nursing Skill & Technique. Canada:ISBN Anonim. (2006). Ringer Asetat Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio. Majalah Farmacia, 5(9): 34. Aris Setiawan, dkk. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: TIM Bulecheck G, Butcher H, Dochterman J, Wagner C. (2016). Nursing Interventions Classification (NIC), 6th Indonesian edition. Indonesia: ISBN Bridget AW, Nguyen M, Ha Loan, Dong TH, Tran TN, Thuy MD. (2005). Comparison of three fluid solution for resusitation in Dengue Shock Syndrom. N Engl J Med;353;877-89 Carolin Brunker, R., Mary, T., Kowalski. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar VOL 10, Edisi 1. Jakarta : EGC Chen K, Herdiman TP, Robert S. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue. Medicinus, 22(1): 3–7. Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi revisi 3. Jakarta : EGC Damayanti. (2008). Psikologi Kesehatan Depok. Jakarta: EGC Darmawan. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue. http://www.depkes.go.id/download/Tata%20Laksana%20DBD.pdf Hartoyo Edi. (2008). Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Sari pediatri, vol. 10, No. 3 Citraresmi, E., Rezeki, S., H, Arwin AP Akib. (2007). Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumah Sakit di Jakarta. Sari pediatri, vol. 8, No 3 (Suplemen) Herdman, T. H. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012/2014. Jakarta : EGC Hidayat Alimul, A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, A. A., Musrifatul Uliyah. (2014). Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC Hidayati, A. A. (2009). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika Indrawati E. (2012). Demam Berdarah Dengue. Warta RSUD, Th. VI, No 11, 7– 9. Lestari K. (2007). Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Farmaka, 5(3): 12–29. Fokus Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculaapius. Jakarta : EGC Mc Closkey et al. (2006). Nursing Intervention Classification. USA : Mosby Mubarak, W.I., Chayatin, N. (2007). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika. Karyanti Mulya R., Satari Hindra I., Sjarif Damayanti R. (2005). The effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in dengue hemorrhagic fever. Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No 3-4 M. ikhwan, S. (2013). Pentingnya Cairan dan Ion Tubuh bagi Anak : Stiviora Tjang (Edelman Indonesia) Ngastiyah. (2010). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC Potter & perry. (2006). Fundamental of nursing : Concepts, Process and Practice, 7th Edition 4, Vol 1 . Jakarta: EGC. Price Silvia A, M. Wilson. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. Soedarto. (2009). Penyakit Menular Di Indonesia. Jakarta: ISBN Soegijanto S. (2006). Demam Berdarah Dengue, Edisi 2. Surabaya, Airlangga University Press. Sudoyo, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Suriadi, Yuliani. R. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: ISBN 97995115-42 Syaifudin. (2006). Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika Tarwoto, Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Wong, Dona L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Edisi 6. Jakarta: EGC Wongkar, m. F. (2015). Ketrampilan Perawatan Gawat Darurat dan Medikal Bedah. yogyakarta: gosyen publishing. World Health Oraganization. (2008). Dengue and http://www.who.int/mediacenter/factsheest/fs117/en/ Dengue Fever. Sari Pediatri, Vol. 8, No. Januari Januari 2007: 82007 - 14 Sari Pediatri, Vol. 38,(Suplemen), No. 3 (Suplemen), Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar biasa Tahun 2004 di Enam Rumah Sakit di Jakarta Endah Citraresmi, Sri Rezeki Hadinegoro, Arwin AP Akib Latar belakang. Pada kejadian luar biasa (KLB) DBD pada tahun 2004 di Jakarta, pasien memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan dirawat di koridor. Kejadian luar biasa menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin terjadi overdiagnosis. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria diagnosis dan tata laksana DBD menurut kriteria WHO 1997. Metoda. Data diambil secara retrospektif dari catatan rekam medis semua pasien usia 0-15 tahun dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue (DD/DBD) yang dirawat di enam rumah sakit di Jakarta selama KLB 2004. Hasil. Terdapat 1494 anak memenuhi kriteria inklusi, terdiri dari DD 241 (16,1%), DBD tanpa syok 1051 (70,4%) dan DBD syok 202 (13,5%); 19 pasien meninggal (1,5% kasus DBD). Rerata jumlah cairan yang diberikan selama perawatan pada pasien DD, DBD tanpa syok dan DBD syok berturut-turut 83,0, 78,4 dan 79,4 ml/kg/hari. Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok 25,6 ml/kg dan rerata lama syok teratasi 88,3 menit, melebihi waktu 1 jam yang direkomendasikan. Cairan koloid digunakan pada 1,9% pasien DBD tanpa syok dan 70,3% pasien DBD syok sementara transfusi darah diberikan pada 7,6% pasien. Penggunaan antibiotik mencapai 59,9% pasien, dan dijumpai pemberian beberapa obat yang belum dibuktikan manfaatnya pada pengobatan DBD. Penilaian ulang diagnosis menggunakan kriteria DBD WHO 1997 mendapatkan hanya 19,1% pasien DBD tanpa syok yang memenuhi kriteria tersebut, sedangkan pada pasien DBD syok 99,0%. Penghitungan ulang CFR menggunakan jumlah kasus DBD berdasarkan kriteria tersebut menghasilkan peningkatan CFR menjadi 4,9%. Kesimpulan. Terdapat overdiagnosis dan tata laksana yang kurang optimal dalam mengatasi syok serta pemberian obat-obatan yang tidak tepat pada KLB DBD tahun 2004. Sedikitnya jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria WHO 1997 menyebabkan peningkatan CFR. Kata kunci: demam berdarah dengue, kejadian luar biasa, kriteria diagnosis WHO 1997, CFR. Alamat korespondensi: Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K). Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jl. Salemba no. 6 Jakarta 10430. Tel. 391 4126. Fax. 3907743. Dr. Endah Citraresmi PPDS Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUIRSCM email : [email protected] 8 I nfeksi virus dengue memiliki karakteristik terjadinya kejadian luar biasa (KLB) atau epidemi secara periodik.1,2 Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun terdapat limakali KLB demam Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007 berdarah dengue (DBD) di Indonesia yang cukup bermakna, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998, dan 2004.3 Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadi di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus 59.321 kasus dan kematian 669 orang (case fatality rate 1,1%).4 Pada KLB tahun 2004 dilaporkan bahwa pasien DBD di Jakarta memenuhi berbagai rumah sakit sampai tak tertampung dan harus dirawat di koridor rumah sakit dengan tempat tidur tambahan.5 Adanya KLB akan menyebabkan jumlah kasus berat bertambah, namun sangat mungkin pula terjadi overdiagnosis. Untuk menghindari overdiagnosis tersebut dapat digunakan kriteria diagnosis secara klinis dan laboratorium dengan menggunakan kriteria WHO tahun 1997.6 Oleh karena itu, dalam menghadapi KLB DBD, diperlukan peningkatan kewaspadaan dari segenap petugas kesehatan baik di tingkat puskesmas, dokter praktek perseorangan dan rumah sakit. Untuk memberikan gambaran KLB-DBD maka diperlukan diketahui data karakteristik demografi, klinis, laboratoris serta tata laksana KLB DBD untuk dapat menjadi acuan dalam perbaikan perencanaan menghadapi KLB DBD di masa datang. Metoda Penelitian ini adalah suatu studi deskriptif seksi silang dengan pengambilan data secara retrospektif dari rekaman medik, dilakukan pada semua pasien usia 015 tahun yang didiagnosis demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di RSUP dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP Fatmawati, RSU Pasar Rebo, RSUD Koja, RSAB Harapan Kita dan RSU Sumber Waras Jakarta pada periode KLB DBD 1 Januari sampai 31 Mei 2004. Data dari catatan rekam medik ditelaah mengenai karakteristik demografi, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, diagnosis, tata laksana (cairan, transfusi, dan obatobatan), serta outcome pasien. Diagnosis pulang menurut dokter yang merawat disesuaikan dengan kriteria definisi kasus menurut WHO 1997 dan dilakukan penghitungan ulang case fatality rate sesuai jumlah kasus DBD yang memenuhi kriteria tersebut. Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi 13.0. Hasil Pada KLB-DBD 2004 di dapatkan 1818 kasus DD/ DBD usia 0-15 tahun yang tercatat di enam rumah sakit, 1494 (82,2%) subyek di antaranya mempunyai catatan rekam medis lengkap dan memenuhi kriteria. Rerata usia pasien pada penelitian ini (6,4±3,8) tahun, median 6,0 tahun, modus 4,0 tahun, dengan rentang usia 1 bulan sampai 15 tahun 11 bulan (Tabel 1). Pasien DD dan DBD sebagian besar memiliki status gizi baik, 1,4% pasien DBD di antaranya memiliki status gizi buruk. Rerata lama perawatan tersingkat didapatkan pada kelompok DD (3,3 hari); rerata lama perawatan pada pasien DBD 4,4 hari (4,3 hari DBD tanpa syok dan 5,2 hari DBD syok) dengan rentang lama perawatan 1 sampai 18 hari. Kelompok usia terbanyak adalah 1-5 tahun (49,4% pada pasien DD dan 38,9% pada pasien DBD) diikuti kelompok usia 6-10 tahun (33,6% pada pasien DD dan 37,8% pada pasien DBD). Terdapat 66 (4,4%) Tabel 1. Karakteristik demografi pasien DD/DBD di enam rumah sakit saat KLB 2004 Parameter Jumlah pasien [n(%)] Usia (rerata ± SB, tahun) Rasio laki-laki : perempuan Status gizi [n (%)] − gizi lebih − gizi baik − gizi kurang − gizi buruk Lama perawatan (rerata ± SB, hari) DD DBD Total 241 (16,1) 5,6±3,7 1,29:1 1253 (83,9) 6,5±3,8 1,07:1 1494 (100) 6,4±3,8 1,11:1 64 (26,6) 119 (49,4) 54 (22,4) 4 (1,7) 3,3±1,4 363(29,0) 530 (42,3) 343(27,4) 17 (1,4) 4,4±1,9 427 (28,6) 649 (43,4) 397 (26,6) 21 (1,4) 4,2±1,86 9 Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007 Tabel 2. Manifestasi klinis dan laboratorium pasien DD/DBD saat KLB 2004 Manifestasi klinis dan laboratorium Lama demam (rerata±SB, hari) Manifestasi perdarahan [n (%)] • Perdarahan spontan • Uji bendung positif, (n=633) Hepatomegali [n (%)] Syok [n (%)] Bukti kebocoran plasma [n (%)] • Peningkatan Ht >20% • Efusi pleura, (n=151) Trombosit <100.000/µL [n (%)] DD DBD tanpa syok DBD dengan syok 3,0±1,4 3,5±1,6 3,9±1,3 36 (14,9) 328 (31,2) 58/132 (43,9) 273/442 (61,8) 28 (11,6) 260 (24,7) 0 (0) 0 (0) 50 (20,7) 0/4 (0) 103 (42,7) pasien berusia di bawah 1 tahun, masing-masing pada DD, DBD dan DSS yaitu 10,50 dan 6 pasien. Rerata lama demam di rumah 3,5 hari dengan modus 4 hari. Pada fase demam, pasien DD dan DBD memiliki keluhan/gejala penyerta. Pasien DD menunjukkan keluhan batuk dan pilek dengan proporsi yang lebih banyak dibandingkan pada pasien DBD dengan/tanpa syok (p=0,000). Proporsi muntah, nyeri perut, kejang, penurunan kesadaran, dan hepatomegali lebih banyak pada DBD syok dibandingkan kedua kelompok lainnya (p=0,000). Manifestasi klinis dan laboratoris pada pasien DD/ DBD tertera pada Tabel 2. Terdapat 497 (33,3%) pasien mengalami perdarahan spontan, terbanyak adalah petekie (19,3%) dan epistaksis (8,9%). Hematemesis dan melena lebih banyak dijumpai pada kelompok DBD syok, masingmasing 39,3% dan 18,4% dibandingkan DBD tanpa syok 1,9% dan 1,3%. Diantara 997 pasien yang tidak memiliki manifestasi perdarahan spontan, 429 (43,0%) pasien dilakukan uji bendung dengan hasil positif pada 236 (23,7%) pasien. Pasien DBD tanpa dan dengan syok memiliki proporsi uji bendung positif yang lebih tinggi (61,8% dan 69,5%) dibandingkan pasien DD (43,9%). Saat masuk rumah sakit, sulit untuk menegakkan diagnosis DBD berdasarkan nilai awal pemeriksaan laboratorium. Pasien DBD syok Saat masuk rumah sakit memiliki rerata kadar hematokrit lebih tinggi (42,1 vol%, p=0,000) dibandingkan kelompok DD dan DBD tanpa syok (36,8 dan 37,8). Demikian pula rerata kadar hematokrit tertinggi selama perawatan didapatkan pada pasien DBD syok (45,6 vol%). Sedangkan kelompok DD memiliki rerata kadar 10 344 (32,7) 57/85 (67,1) 791 (75,3) 133 (66,3) 41/59 (69,5) 105 (52,0) 199 (98,5) 151 (74,8) 55/62 (88,7) 199 (98,5) hematokrit tertinggi selama perawatan yang tidak berbeda secara statistik dengan DBD tanpa syok masing-masing 40,7 dan 41,4 vol% (p>0,05). Hemokonsentrasi hanya ditemukan pada 74,8% pasien DBD syok dan 32,7% pasien DBD tanpa syok, dan mencapai 20,7% pada pasien DD. Rerata jumlah trombosit saat masuk rumah sakit pada kelompok DBD syok lebih rendah (88.80±79.15/ mL, p=0,000) dibandingkan kedua kelompok lainnya masing-masing untuk DD (151.56±53.26/mL) dan DBD tanpa syok (126.71±58.45/mL). Hal yang sama juga ditemukan pada rerata jumlah trombosit terendah selama perawatan. Hampir semua (98,5%) DBD syok mempunyai jumlah trombosit =100.000/µL, lebih tinggi dibandingkan dengan pasien DBD tanpa syok dan DD (p=0,000). Data serologi (uji HI dan IgM/IgG anti dengue) hanya dilakukan pada 258 (17,3%) pasien, 66 (25,6%) kasus infeksi primer dan 132 (51,2%) kasus infeksi sekunder. Dijumpai 48 dari 171 (28,1%) pasien yang diperiksa antibodi IgM dan IgG anti dengue sebelum hari kelima sakit, dan 22 pasien menunjukkan hasil negatif. Prinsip dari tata laksana kasus DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang akibat perembesan plasma maupun dehidrasi. Jenis dan jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan kondisi setiap pasien, sesuai panduan baik dari WHO maupun Depkes RI. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD tertera dalam Tabel 3. Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasien DD 83,0 ml/kg/hari dengan rerata lama pemberian cairan intravena 3,0 hari. Cairan yang terbanyak diberikan adalah rinper laktat (RL), rinper asetat (RA) Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007 Tabel 3. Pemberian cairan pada pasien DD/DBD di enam RS saat KLB 2004 Cairan DD Jumlah cairan rehidrasi ml/kg/hari (rerata±SB) DBD tanpa syok Jumlah cairan rehidrasi ml/kg/hari (rerata±SB) DBD syok Jumlah cairan kristaloid ml/kg/hari (rerata±SB) Jumlah cairan koloid ml/kg/hari (rerata±SB) Syok teratasi • Waktu (rerata±SB, menit) • Jumlah cairan ml/kg (rerata±SB) *RS. Cipto Mangunkusumo •RS. Fatmawati RSCM* RSHK** RSPR*** RSF• RSK•• 77,0±29,1 74,8±29,2 80,0±24,1 84,7±36,9 70,3±21,5 0 84,4±28,2 66,2±25,6 86,1±27,6 91,1±36,0 68,5±24,9 48,3±17,1 75,2±26,5 55,2±25,7 96,5±28,6 98,4±38,0 103,8±86,6 46,2±15,6 18,6±10,5 19,7±11,6 19,4±6,7 23,2±20,9 31,4±13,4 12,6±4,3 77,2±58,7 112,3±99,1 71,2±61,0 76,1±38,9 75,2±40,1 116,5±66,0 30,8±17,8 22,4±15,1 24,2±8,2 22,9±13,1 22,3±19,3 23,0±14,0 ** RS. Harapan Kita ••RS. Koja dan larutan Nacl 0,9% : Dekstrosa 5% 3 :1 (KaEN IB). Pada DBD tanpa syok, jenis cairan intravena yang dipilih sebagian besar adalah RL kecuali di RS. Sumber Waras (RSSW) menggunakan cairan dekstrosa 5% +1/ 2 normal saline (D5%+1/2NS). Cairan koloid diberikan pada 25 pasien, (1,9%) pada pasien DBD tanpa syok. Rerata jumlah cairan yang diberikan pada pasien DBD tanpa syok adalah 78,4 ml/kg/hari, terendah di RSSW. Rerata lama pemberian cairan intravena adalah 3,8 hari. Meski lama pemberian cairan intravena pada kasus DD lebih singkat dibandingkan kasus DBD tanpa syok, namun volume cairan yang diberikan lebih banyak. Pada pasien DBD syok, cairan resusitasi kristaloid yang terbanyak digunakan adalah RL diikuti dengan RA. Seluruh pasien di RSSW menggunakan cairan D5%+1/2NS sebagai cairan resusitasi. Rerata cairan kristaloid intravena selama perawatan pada pasien DBD syok secara keseluruhan adalah 79,4 ml/kg/hari, tidak berbeda dengan pasien DBD tanpa syok. Terdapat 142 (70,3%) pasien dengan syok mendapat koloid. Dari 53 pasien dengan komplikasi syok lama atau berulang, 46 di antaranya mendapat cairan koloid. Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok secara keseluruhan adalah 25,6 ml/kg dengan rerata tertinggi di RSCM. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenam RS adalah 88,3 RSSW••• *** RS. Pasar Rebo •••RS. Sumber Waras menit (rerata terendah 71,2 dan tertinggi 116,5 menit). Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien) adalah fresh frozen plasma (FFP). Satu pasien DBD derajat IV dari 26 pasien yang diberi transfusi trombosit concentrate (TC) tidak memiliki perdarahan spontan dengan jumlah trombosit terendah adalah 44.000/µL. Sementara 22 dari 95 pasien yang diberi transfusi FFP tidak disertai perdarahan spontan. Obat inotropik digunakan pada 43 pasien dan 42 di antaranya pasien DSS; 18 pasien diantaranya mengalami komplikasi syok lama atau berulang. Sebanyak 895 (59,9%) pasien mendapat antibiotik dengan proporsi terendah 8,7% di RSCM dan proporsi tertinggi di RSK dan RSPR. Hanya 10 (0,7%) pasien yang datang dengan keluhan demam >7 hari sebelum dirawat yang dapat menjadi alasan kuat penggunaan antibiotik. Antivirus (isoprinosin, asiklovir) diberikan pada 78 (5,2%) pasien. Obat lain yang digunakan antara lain kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obat untuk menghentikan perdarahan (transamin, adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173 (11,6) pasien. Enam puluh sembilan (5,5%) pasien mengalami komplikasi akibat penyakit DBD. Terbanyak adalah syok berulang (2,7% pasien DBD atau 16,8% pasien DBD syok). Edema paru dan/atau overload cairan 11 Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007 Tabel 4. Diagnosis pasien saat pulang dan sesuai kriteria WHO 1997 saat KLB 2004 Diagnosis saat Diagnosis sesuai kriteria WHO 1997 pulang DD DBD tanpa syok DBD dengan syok Total DD DBD tanpa syok DBD dengan syok Total 232 850 2 1084 9 201 0 210 0 0 200 200 241 1051 202 1494 dialami 21 (1,7%) pasien. Terdapat 19 (1,5%) pasien DBD meninggal. Angka kematian tertinggi didapatkan di RSCM dan terendah di RSSW. Secara keseluruhan, angka kematian pada kelompok pasien DBD tanpa syok 0,2% sedangkan pada pasien DBD syok 8,4%. Jika dibandingkan diagnosis saat pulang pasien DD, DBD tanpa syok dan DBD dengan syok dengan diagnosis menurut kriteria WHO 1997 (Tabel 4), ternyata hanya 201 dari 1051 (19,1%) pasien yang didiagnosis DBD tanpa syok saat pulang sesuai dengan kriteria WHO 1997, sedangkan 232 dari 241 (96,3%) DD dan 200 dari 202 (99,0%) DBD dengan syok yang memiliki kesesuaian diagnosis saat pulang dengan kriteria WHO 1997. Dengan melakukan klasifikasi diagnosis ulang sesuai kriteria WHO 1997, dilakukan penghitungan ulang CFR pada pasien DBD saat KLB tahun 2004 di enam RS di Jakarta. Berdasarkan penghitungan ulang, CFR pada 410 pasien DBD dari semula 1,5% (n=1253) meningkat menjadi 4,9%, dan CFR tertinggi didapatkan pada RSK (semula RSCM) dan terendah tetap RSSW. Diskusi Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga sangat tergantung dari kelengkapan data yang berhubungan dengan subyek penelitian dan kualitas catatan medik. Data yang tidak lengkap menyebabkan kasus tersebut tidak dianalisis yang mungkin sebenarnya bermanfaat untuk penelitian ini. Kualitas pengukuran (pengisian catatan rekam medik) sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan perilaku dari tenaga medis (dokter dan perawat) yang merawat pasien. Penelitian KLB DBD di Jakarta tahun 1988 mendapatkan rerata usia 6 tahun 8 bulan, modus 7 tahun 3 bulan, dan rentang usia 3 bulan - 16 tahun 5 bulan. Pada penelitian tersebut, kelompok umur 12 terbanyak adalah 5-9 tahun (43,7%) diikuti kelompok usia 1-4 tahun (34,6%). 7 Pada penelitian ini didapatkan komposisi umur pasien yang lebih muda dibandingkan tahun 1988. Klasifikasi status gizi pada penelitian ini dipakai menurut persentase berat badan aktual terhadap berat badan ideal menurut usia.8 Idealnya digunakan persentase berat badan ideal menurut tinggi badan, namun data rekam medik sebagian besar (85,7%) tidak mencantumkan data tinggi badan anak. Kalayanarooj dkk9 melakukan penelitian retrospektif terhadap status gizi pada 4532 pasien DD dan DBD anak di Thailand dan mendapatkan sebagian besar (66,6%) memiliki status gizi normal, sementara 9,3% malnutrisi dan 24,2% obesitas. Klasifikasi status gizi pada penelitian tersebut juga menggunakan berat badan menurut usia. Perbedaan proporsi malnutrisi dan gizi normal dari penelitian ini mungkin disebabkan perbedaan dalam batasan klasifikasi status gizi. Pada penelitian tersebut Kalayanarooj dkk mendapatkan pasien gizi kurang dan gizi lebih memiliki risiko syok dan komplikasi dibandingkan dengan pasien gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Bachtar E tahun 1990 di RSCM Jakarta, tidak menemukan hubungan antara derajat berat penyakit DBD dengan status gizi anak.10 Terdapat 144 pasien (9,6%) yang datang dengan keluhan demam kurang dari 2 hari dan 10 pasien (0,7%) yang datang dengan keluhan demam lebih dari 7 hari. Siswan7 hanya menemukan 1 (0,2%) pasien yang datang dengan demam kurang dari 2 hari. Pada pasien dengan demam kurang dari 2 hari dengan penelitian laboratorium normal, sebaiknya dipikirkan untuk rawat jalan namun harus kontrol setiap hari sampai demam reda. Pasien tersebut sebaiknya untuk tidak memperpanjang lama rawat tiap rumah sakit memiliki sarana ruang rawat sehari (one day care) untuk melakukan pemantauan pada pasien dengan diagnosis meragukan.11 Rerata lama demam pada penelitian ini 4,7 hari dengan rentang 1 sampai 16 hari. Pada pasien Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007 dengan demam lebih dari 7 hari, perlu dipikirkan penyebab infeksi lain ataupun infeksi nosokomial/ komplikasi yang menyertai pasien DBD. Perembesan plasma berat terjadi pada kasus DBD syok, sehingga terapi penggantian cairan harus dilakukan dengan cermat. Kebutuhan volume cairan harus diperhitungkan setiap 2-3 jam atau lebih sering pada kasus syok. 6,12 Rerata jumlah cairan untuk mengatasi syok tertinggi ditemukan di RSCM. Hal ini karena kasus yang datang ke RSCM sebagai rumah sakit rujukan adalah kasus berat yang membutuhkan terapi cairan yang lebih agresif. Proporsi pasien DBD derajat III dan IV di RSCM berturut-turut adalah 26,2% dan 14,7%, lebih tinggi dibandingkan keenam rumah sakit yaitu 10,6% dan 4,4%. Dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi adalah 88,3 menit. Penelitian yang dilakukan Hadinegoro SR pada periode bukan KLB tahun 1993-1995, dengan pemberian cairan intravena yang adekuat rata-rata syok teratasi dalam waktu 48 menit, paling lama 74,6 menit dan prognosis DBD baik jika syok teratasi dalam waktu maksimal 90 menit.13 Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam evaluasi tata laksana kasus DBD dengan syok pada penelitian ini karena rerata lama syok teratasi melebihi 60 - 90 menit yang pada berbagai penelitian merupakan indikator prognosis yang buruk.13,14 Perlu direkomendasikan penggunaan jalur alternatif (intraoseus) pada kasus syok dengan kesulitan mencari akses vena dan pemasangan sedikitnya dua jalur dalam melakukan resusitasi kasus syok untuk mempersingkat waktu untuk mengatasi syok. Syok harus diupayakan segera diatasi dengan tepat karena waktu yang diperlukan untuk mengatasi syok berhubungan dengan prognosis, makin cepat syok teratasi makin baik prognosisnya. Didapatkan 113 (7,6%) pasien mendapat transfusi komponen darah dengan jenis terbanyak (95 pasien) adalah FFP, dan 22 di antaranya tidak disertai perdarahan spontan. Fresh frozen plasma selain digunakan dalam mengatasi perdarahan, juga digunakan sebagai cairan koloid dalam tata laksana DBD. Fresh whole blood hanya diberikan pada 2 pasien, hal ini menunjukkan kecenderungan penggunaan komponen darah dalam tata laksana DBD di Jakarta. Penggunaan antibiotik pada KLB DBD 2004 terkesan over-use (59,9% pasien). Demikian juga pemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78 (5,2%) pasien, kortikosteroid pada 79 (5,3%) pasien, obat untuk menghentikan perdarahan (transamin, adona) pada 15 (1,0%), dan vitamin C intravena pada 173 (11,6%) pasien. Beberapa penelitian tidak menemukan manfaat pemberian obat-obatan tersebut pada DBD.15,16 Tampaknya kesepakatan para dokter anak dalam menggunakan obat-obatan tersebut perlu ditelaah kembali. Sampai saat ini, untuk menentukan diagnosis klinis DBD di Indonesia dipergunakan kriteria diagnosis WHO 1997. Kriteria ini juga digunakan dalam menentukan jumlah kasus dan jumlah kematian untuk kepentingan evaluasi program dan tata laksana penyakit. Dengan melakukan penilaian ulang diagnosis pasien menurut kriteria WHO 1997, pada kelompok DD dan DBD dengan syok hampir seluruhnya (96,3% dan 99,0%) terdapat persamaan diagnosis baik saat pulang maupun diagnosis sesuai kriteria WHO. Namun pada kelompok DBD tanpa syok, 80,9% pasien tidak memenuhi kriteria WHO; jadi sebenarnya mereka tersebut rumah sakit rumah sakit termasuk dalam DD. Sayangnya pada penelitian ini yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis hanya 17,3% pasien. Selama beberapa dekade, Indonesia mengalami penurunan CFR meskipun terdapat peningkatan jumlah kasus DBD. Penghitungan ulang CFR dengan menggunakan diagnosis sesuai kriteria WHO menghasilkan CFR yang jauh lebih tinggi (4,9% vs 1,5%) dibandingkan dengan menggunakan diagnosis saat pulang. Juga bila dibandingkan dengan CFR yang dilaporkan oleh Depkes untuk KLB tahun 2004 yaitu sebesar 1,1%.4 Hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut dari ketepatan tata laksana DBD pada saat KLB sehingga Departemen Kesehatan serta para pengambil kebijakan perencanaan kesehatan tidak berpuas diri dengan angka CFR yang dilaporkan rendah selama ini. Kesimpulan Pada periode KLB-DD/DBD tahun 2004 di enam rumah sakit di Jakarta, terdapat 241 pasien DD, 1051 DBD tanpa syok dan 202 DBD syok. Rerata jumlah cairan yang digunakan untuk mengatasi syok pada pasien DBD syok 25,6 ml/kg; dengan terapi cairan resusitasi tersebut, rerata lama syok teratasi di keenam rumah sakit adalah 88,3 menit, melebihi waktu yang direkomendasikan. Sebanyak 7,6% pasien memer13 Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007 lukan transfusi darah. Antibiotik dan obat lain banyak diberikan pada pasien tanpa indikasi pemberian yang jelas dan belum terbukti manfaatnya dalam tata laksana DBD. Terdapat 80,9% pasien DBD tanpa syok saat pulang ternyata tidak memenuhi kriteria WHO 1997 sehingga dimasukkan dalam diagnosis DD, sedangkan pasien yang didiagnosis DBD syok saat pulang 99,0% sesuai dengan kriteria WHO 1997. Case fatality rate berdasarkan diagnosis saat pulang yang semula 1,5%, dengan menyesuaikan diagnosis sesuai kriteria WHO 1997 menyebabkan terdapat peningkatan CFR menjadi 4,9% akibat pengurangan jumlah pasien DBD. 6. 7. 8. 9. 10. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada kepala dan staf SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Fatmawati, RSUD Pasar Rebo, RSU Koja, RSAB Harapan Kita, dan RSU Sumber Waras. 11. Daftar Pustaka 12. 1. 2. 3. 4. 5. 14 Kautner I, Robinson MJ, Kuhnle U. Dengue virus infection: Epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis, and prevention. J Pediatr 1997; 131: 516-24. Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social and economic problem in the 21st century.Trends in Microbiology 2002;10:100-3. Suroso T, Holani A, Ali I. Dengue haemorrhagic fever outbreaks in Indonesia 1997-1998. Dengue Bulletin 1998;22. De p a r t e m e n K e s e h a t a n Re p u b l i k In d o n e s i a . Kewaspadaan terhadap demam berdarah tetap diperlukan. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/ popups/newswindow.php?id=488. Diakses tanggal 31 Agustus 2004. Adimidjaja TK, Wahono TD, Kristina, Isminah, Wulandari L. Kajian masalah kesehatan demam berdarah dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan;2004. 13. 14. 15. 16. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva:WHO; 1997. Siswan KRJ. Gambaran klinis dan laboratoris pada demam berdarah dengue di Bagian Ilmu Kesehatan Anak rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada kejadian luar biasa tahun 1988 dengan penekanan pada uji serologi inhibisi hemaglutinasi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988. Tesis. Djumadias A. Aplikasi antropometri sebagai alat ukur status gizi di Indonesia. Gizi Indonesia 1990;14:37-50. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity related to nutritional status? Southeast Asian J Trop Med Public Health 2005;36:378-84 Bachtar E. Status gizi anak penderita demam berdarah dengue. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990. Hadinegoro SRH. Piftalls and pearls dalam diagnosis dan tata laksana demam berdarah dengue. Dalam Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, editor. Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI: Current management of pediatrics problems. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUIRSCM; 2004. h. 63-72. Kalayanarooj S, Nimmannitya S, editor. Guidelines for dengue hemorrhagic fever case management. Bangkok: WHO Collaborating Centre for Case Management of Dengue/DHF/DSS Queen Sirikit National Institute of Child Health; 2004. h. 1-74. Hadinegoro SRS. Telaah endotoksemia pada perjalanan penyakit demam berdarah dengue. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta 1996. Nhan NT, Phuong CXT, Kneen R, Wills B, Mu NV, Phuong NTQ, dkk. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001;32:204-13. Sumarmo, Talogo W, Asrin A, Isnuhandojo, Sahudi A. Failure of hydrocortisone to affect outcome in dengue shock syndrome. Pediatrics 1982;69:45 Rijal S. Efek carbazochrome pada penderita demam berdarah dengue. Tesis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. 2000 Artikel Asli Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada anak Edi Hartoyo Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD. Ulin Banjarmasin Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di beberapa daerah di dunia. Setiap tahunnya WHO melaporkan 50–100 juta terinfeksi virus dengue dengan 250-500 ribu menderita DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, 12 dari 30 propinsi di antaranya merupakan daerah endemis DBD dengan case fatality rate 1,12%. Tujuan. Untuk mengetahui gambaran klinis, laboratorium, serta mengevaluasi terapi yang telah diberikan pada penyakit demam dengue/DBD. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, subjek adalah pasien yang di rawat di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin periode Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis demam dengue/DBD/sindrom syok dengue (SSD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan uji serologi (rapid test Panbio Australia). Analisis data dengan program SPSS 13 for window. Hasil. Dari 123 subjek gejala klinis yang mencolok adalah demam 93,5%, muntah 65,1%, nyeri perut 50,4%, ruam konvalesen 47,1%, pusing 19%, batuk 17,9%, pilek 9,8%, perdarahan gusi 6,5%, epitaksis 4,1%, dan melena 3,3%. Pada pemeriksaan fisik uji forniket positif 62,6%, hepatomegali 38,2%, efusi pleura 37,4%, dan asites 27,6%. Hasil laboratorium menunjukkan rerata angka leukosit lebih rendah pada SSD dibandingkan dengan DD dan DBD, dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,007), nilai rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD dibandingkan DBD dan DD, secara statistik berbeda bermakna (p=0,049), rerata nilai trombosit SSD lebih rendah. Kadar SGOT 76,7% dan SGPT 86% meningkat pada SSD. Penggunaan cairan kristaloid pada demam dengue 81,1%, DBD 86,4% dan SSD 86,1% dari semua kasus, sedangkan penggunaan cairan koloid pada SSD 56,1%. Kesimpulan. Gejala klinis yang mencolok l demam, mual, muntah, nyeri perut, epitaksis, dan melena. Pemeriksan fisik, yang mencolok uji forniket positif, ruam konvalesen, hepatomegali. Leukopenia, trombositopenia serta peningkatan SGOT/SGPT lebih banyak dijumpai pada DBD dan SSD dari pada DD. (Sari Pediatri 2008;10(3):145-150). Kata kunci: SSD, nilai leukosit, hematokrit dan trombosit. Alamat Korespondensi: Dr. Edi Hartoyo., SpA. Staf SMF Kesehatan Anak FK. UNLAM-RSUD Ulin. Jl Jendral A.Yani 43, Banjarmasin Kalimantan Selatan. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008 145 Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue I nfeksi virus dengue endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis, dan lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Selatan, dan Fasifik Barat. Sekitar 2,5 juta penduduk di daerah tersebut pernah terinfeksi virus dengue. Menurut WHO terdapat kira-kira 50 – 100 juta kasus infeksi virus dengue setiap tahunnya, dengan 250.000–500.000 demam berdarah dengue (DBD) dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. 1 Di Indonesia DBD merupakan masalah kesehatan, karena hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit infeksi dengue. Dua belas di antara 30 provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis DBD, dengan case fatality rate 1,2%.2 Virus penyebab dan nyamuk sebagai vektor pembawa tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum. Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai 4 serotipe yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perjalanan penyakit dengue sulit diramalkan, manifestasi klinis bervariasi mulai dari asimtomatik, simtomatik (demam dengue, DBD), DBD dapat tanpa syok atau disertai syok (SSD). Pasien yang pada waktu masuk rumah sakit dalam keadaan baik sewaktu-waktu dapat jatuh ke dalam keadaan syok (SSD), oleh karena itu kecepatan menentukan diagnosis, monitor, dan pengawasan yang ketat men­ jadi kunci keberhasilan penanganan DBD. Angka kesakitan DBD cenderung meningkat di Indonesia mulai 0,05 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 35,19 per 100.000 penduduk pada tahun 1998. Program pencegahan dan pemberantasan DBD dilaksanakan secara integral mencakup survailans laboratory based study, penyuluhan, pendidikan pengelolaan pasien bagi dokter, paramedis, dan pemberantasan sarang nyamuk dengan peran serta masyarakat.2,3 Metode Penelitian diskriptif analitik dengan subjek pasien yang dirawat di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin an­tara Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 dengan diagnosis (DBD/DD) berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dikonformasi dengan serologi IgG/IgM (dengue strip rapid tes Panbio Australia). 146 Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari ke 4 sampai hari ke 6 (fase akut). Apabila hasil pemeriksaan pertama negatif, diulang pada saat berobat untuk kontrol (fase konvalesen). Infeksi primer apabila pada fase akut IgM positif dan infeksi sekunder bila pada fase akut IgM dan IgG positif atau hanya IgG positif. Penentuan status gizi berdasarkan kriteria CDC 2000. Sampel dianalisis dengan SPSS 13. Untuk nilai leukosit, hematokrit, dan trombosit dilakukan analisis t test. Hasil Dalam kurun waktu Januari 2007 sampai dengan Febuari 2008 terdapat 123 anak yang dirawat dengan diagnosis DD/DBD/SSD berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan dilakukan uji serologi anti dengue. Angka kejadian DBD/DD terbanyak pada umur 5–10 tahun, 52 anak (42,4%). Berdasarkan distribusi jenis kelamin, laki-laki lebih banyak 66(54,6%) Tabel 1. Karateristik dasar pasien demam berdarah dengue/ demam dengue. No Variabel 1. Umur (tahun) <5 5 – 10 > 10 – 14 2. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 3. Status gizi Baik Kurang Buruk 4. Diagnosis DD DBD (derajat 1 dan 2) SSD ( DBD derajat 3 dan 4) 5. Infeksi primer DD DBD SSD 6. Infeksi sekunder DD DBD SSD Jumlah (%) 44(35,7) 52(42,4) 27(21,9) 66(54,6) 57(45,4) 82(66,6) 38(30,8) 3(2,6) 21(17,2) 59(47,9) 43(34,9) 20(95,3) 16(27,1) 6(14) 1(4,7) 43(72,9) 37(86) Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008 Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue dibandingkan dengan perempuan 57(45,4%). Sebagian besar kasus mempunyai status gizi baik 82 (66,6%). Berdasarkan diagnosis kasus DBD derajat 1 dan 2 lebih banyak dibandingkan DD dan SSD yaitu 59 (47,%) anak. Sebagian besar SSD adalah infeksi sekunder 37(86%), sedangkan DD sebagian infeksi primer 20 (95,3%). Gejala klinis tertera pada Gambar 1. Dari Gambar 1 gambaran klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), ruam konvalesen 58 (47,1%), mual 55 (44,7%), pusing 24 (19,5%), perdarahan gusi 8 (6,5%), epitaksis 5 (4,1%), melena 4 (3,3%) dan SGOT SGPT 4, 8 14.30% 11.80% 76.70% Demam dengue DBD SSD 0% 11,80% 86% Demam dengue DBD SSD Gambar 2. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada pasien demam berdarah dengue % Gambar 1. Presentase gejala klinis demam berdarah dengue gejala penyerta batuk 17 (17,9%), pilek 12 (9,8%). Pada pemeriksaan fisik ditemukan Rumple leed (RL) positif 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), efusi pleura 46 (37,4%) dan asites 34 (27,6%). Kadar transaminase hati meningkat terutama pada SSD, SGOT 33 (76,7%) dan SGPT 37(86,0%), seperti tertera pada Gambar 2 . Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit tertera pada Gambar 4. Leukosit dan trombosit pada pasien SSD lebih rendah dibandingkan DBD dan DD dan perbedaan ini secara statistik bermakna. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008 Terapi (Tabel 2) Penggunaan terapi cairan kristaloid merupakan terapi utama, pada DD 17 (81,1%), DBD 51 (86,4%) dan SSD 37 (86,1%), sedangkan koloid paling banyak dipakai pada SSD 24 (56,1%). Cairan koloid yang digunakan HES 6%, komponen darah terbanyak digunakan pada SSD yaitu fress frozen flasma (FFP) 7 (16,3%), PRC 4 (9,3%) dan komponen trombosit 7 (16,3%). Penggunaan antibiotik pada DBD 5 (8,5%), SSD 17 (39,5%). 147 Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Tabel 2. Terapi pada pasien DD, DBD, dan SSD. Variabel DD n=21 DBD n=59 SSD n=43 Cairan (%) 81,1 86,4 86,1 • Kristaloid • Plas ma ekspander 8,4 56,1 • Komponen darah - FFP 3,3 6,9 - PRC 4,8 1,6 9,3 - Trombosit 5,1 16,3 Obat inotropik (%) 11,5 Ventilator mekanik (%) 4,6 Rerata perawatan (hari) (4±0,93) (5±0,23) (6±0,21) Antibiotik (%) 8,5 39,5 Rerata syok teratasi (menit) (47±0,89) Angka kematian (%) 6,9 pada kelompok umur 5–9 tahun yaitu 46,1%.4 Tabel 1 memperlihatkan kasus terbanyak adalah DBD 59 (47,9%), diikuti oleh SSD 43 (34,9%), dan DD 21 (17,2%). Data menunjukkan bahwa kasus yang datang atau dirujuk pada umumnya kasus DBD berat. Chairulfatah dkk7 melaporkan bahwa dari 128 kasus infeksi virus dengue, 19% kasus disertai dengan syok, sedangkan Kabra dkk1 melaporkan dari 193 pasien klinis infeksi virus dengue 59% disertai dengan syok. Di Amerika Latin Gonzales dkk8 medapatkan 29% kasus DBD mengalami syok. Pasien DBD dan SSD pada umumnya adalah infeksi sekunder, sedangkan DD umumnya infeksi primer berdasarkan hasil serologi dengue rapid test (Panbio-Australia), tes ini mempunyai sensitivitas 98% dan spesifisitas 87%.9,10 Gejala klinis yang mencolok adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut 62 (50,4%), pusing 24 Gambar 3. Nilai rerata leukosit, hematokrit, dan trombosit pada pasien DD, DBD dan SSD Pembahasan Berdasarkan distribusi jenis kelamin dari 123 kasus, la­ ki-laki 66 (54,6%) lebih banyak dibandingkan de­ngan pe­rempuan 57 (45,4%), atau perbandingan laki-laki dan perempuan 1,1:1. Temuan ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan di Bagian IKA RSCM yang mendapatkan laki-laki perempuan 1,3:1 dan penelitian Suharyono4,5 mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 1,4:1. Kemungkinan berkait­ an dengan kebiasaan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00, pada jam tersebut anak bermain di luar rumah.6 Insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 5–10 tahun yaitu 52 (42,4%), seperti hasil penelitian di Bagian IKA RSCM, yang melaporkan insiden tertinggi terdapat 148 (19,5%), batuk 22 (17,9%), dan pilek 12 (9,8%). Pada penelitian Kautner dkk,11 demam, muntah, dan nyeri perut merupakan gejala yang mencolok. Pada pemeriksaan fisik, di dapatkan uji forniket positif pada 77 (62,6%), hepatomegali 47 (38,2%), dan efusi pleura 46 (37,4%). Pada penelitian uji forniket di Thailand terhadap 108 pasien infeksi virus dengue mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 48%, di Vietnam terhadap 598 kasus infeksi virus dengue mempunyai sensitivitas 42% dan spesifisitas 94%.1,12 Di Bangkok dan Kamphaeng Phet Thailand dilakukan penelitian terhadap 318 anak umur 6 bulan- 15 tahun infeksi virus dengue dan 72 anak terinfeksi virus lain dengan hasil uji forniket positif pada 88% demam dengue, 91% DBD derajat I, 95% DBD derajat II, 91 % pada SSD, dan 52% pada infeksi selain virus dengue.1 Hepatomegali 38,2%, sama dengan penelitian Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008 Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue Daniel dkk13 bahwa pada 38% infeksi virus dengue terdapat hepatomegali. Pada pasien SSD terjadi peningkatan kadar SGOT pada 33 (76,3%) dan SGPT 37 (80,0%), ini sesuai dengan hasil penelitian Agus dkk14 pa­da SSD peningkatan nilai transaminase hati lebih tinggi di bandingkan pada DD dan DBD. Pada penelitian Mohan dkk15 peningkatan kadar SGOT/ SGPT terjadi karena gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, terutama pada DBD dan SSD. Peningkatan transaminase hati terjadi akibat kerusakaan sel hati oleh invasi virus secara langsung atau merupakan respon imun sel pejamu.16,17,18 Nilai rerata angka leukosit pada hari ketiga dan keempat pada pasien SSD lebih rendah jika dibandingkan dengan DD maupun DBD dan ini bermakna secara statistik (p=0,007). Penelitian Tanner dkk19 pada 364 subjek didapatkan 78% pasien infeksi virus dengue mengalami leukopenia (<5.000/ ul), demikian juga nilai rerata hematokrit pasien DSS lebih tinggi dibandingkan dengan pasien DD dan DBD pada hari keempat dan kelima dan secara statistik bermakna (p=0,049). Nilai hematokrit tertinggi terjadi hari keempat dan kelima, kemudian akan menurun. Penelitian Gonzales dkk8 pada pasien DBD didapatkan trombositopenia 100%, hemokonsentrasi 93,4%, leukopenia 71,3%, dan kenaikan transaminase hati 82,8%. Nilai rerata angka trombosit pasien SSD jauh lebih rendah dibandingkan dengan DD dan DBD (Gambar 3). Nilai trombosit <50.000/ul berhubungan dengan faktor prognostik.13 Pada penelitian Ayub dkk19 trombositopenia terdapat pada 79,49% kasus DD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama, baik pada DD, DBD maupun SSD. Pada SSD, cairan kristaloid digunakan pada 86,1% kasus, sedang plasma ekpander 56,1%. Cairan koloid digunakan pada resusitasi kedua pada SSD apabila dengan cairan kristaloid tidak membaik. Penelitian Bridget dkk20 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada resusitasi awal antar cairan kristaloid (RL) dengan koloid (dextran 70 atau HES 6%), koloid lebih sering menyebabkan efek samping. Pada penelitian di Thailand, 30%-50% SSD mendapatkan cairan koloid.21 Penggunaan komponen darah (plasma, PRC dan trombosit) lebih sering pada SSD, 16,3% pasien mendapatkan tranfusi trombosit oleh karena terjadi perdarahan aktif disertai trombositopenia, 9,3% mendapatkan tranfusi PRC, sedangkan pada DBD 5,1% mendapatkan tranfusi trombosit dan 4,8% transfusi PRC. Penelitian di Thailand mendapatkan penggunaan komponen darah 5%-30% pada kasus Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008 DBD.21 Antibiotik masih digunakan pada SSD dengan komplikasi sepsis, 39,5% SSD mendapatkan antibiotik oleh karena disertai sepsis. Angka kematian pasien SSD 6,9%, pada umumnya kematian disebabkan oleh disseminated intravascular coagulation (DIC) atau multiple organ difunction syndrome (MODS) akibat syok lama. Pada penelitian di India, angka kematian pasien SSD 9,3%, sedangkan di Philipina 2%.1 Pada umumnya angka kematian oleh karena syok tidak teratasi lebih dari satu jam, sehingga terjadi komplikasi lainnya. Kesimpulan Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat, oleh karena morbiditas dan mortalitas masih tinggi. Gejala klinis yang mencolok demam, muntah, mual, nyeri perut, epitaksis, dan melena. Pada pemeriksaan fisik ditemukan uji forniket positif, ruam konvalesen, hepatomegali, efusi pleura, asites. Sindrom syok dengue sebagian besar infeksi sekunder, sedangkan demam dengue infeksi primer. Gambaran laboratorium yang mencolok kenaikan transaminase hati, leukopenia, trombositopenia, dan hematokrit. Rerata angka leukosit dan trombosit lebih rendah pada SSD dibandingkan dengan DD atau DBD, sedangkan rerata hematokrit lebih tinggi pada SSD. Penggunaan cairan kristaloid merupakan terapi utama baik pada SSD maupun DBD. Survival rate pada DD dan DBD di Bagian Anak RSUD Ulin Banjarmasin 100% sedangkan SSD 96%. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and Dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Geneva 2005. Sri Rezeki S. Hadinegoro. Seminar sehari pengelolaan infeksi virus dengue. Jakarta, 1997. Halstead SB. Global epidemiology of dengue: health systems in disarray. Trop Med 1993;35:137-46. Sumarmo. Penatalaksanaan demam berdarah dengue. Medika 1989;2:161-70. Suharyono. Masalah penyakit demam berdarah dengue pada Pelita VI. Cermin Dunia Kedok 1994; 92:11-3. Saleha S, Ismid. Bionomik Aedes aegypti, vektor utama demam berdarah dengue. Medika 1994;7:64-8. 149 Edi Hartoyo : Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 150 Chairulfatah A, Setiabudi D, Ridad A. Clinical manifestation of dengue haemorrhagic fever in children in Bandung Indonesia. Ann Soc Belg Med Trop 1995; 30:293-303. Gonzales D, Osvaldo E, Peres J, Eric Martines, Suzan V, Castro G dkk. Classical dengue haemorrhagic fever resulting from two dengue infections spaced 20 years of more apart: Havana, dengue 3 epidemic 2001-2002. Int J Infect Dis 2005;9:280-5. Aryanti. Manfaat tes dengue stick IgM dan IgG pada demam berdarah dengue. Dalam Makalah lengkap seminar: Penatalaksanaan demam berdarah dengue. Trop Dis Centre Unair, Surabaya 2001:62-8. Cuzzobo AJ, Rowland D, Michel JL, Devine PL. Comparison of the Panbio dengue IgM dan IgG immunochromatographic card test and the Panbio dengue IgG immunochromatographic strip test. Panbio Pty Ltd 2000;41-8. Kutner I, Robinson MJ, Kubnle U. Dengue virus infection: epidemiologi, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis and prevention. J Pediatr 1997;131:516-24. Phoung CX, Nhan NT, Wills B, Kneen R, Han NT, Mai TT dkk. Evaluation of the World Health Organization standart torniquet test in the diagnosis of dengue infection in Vietnam. Trop Med and Int Health 2002; 7:125-32. Daniel H, Lybrati, Khin SA, Myint, Clinton K, Robert V dkk. A comparative study of leptospirosis and dengue in Thai children. Plos Negl Trop Dis 2007;1:111-7. Agus D, Sekarwana N, Setiabudi S. Hubungan kadar aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. (ALT) serum dengan spektrum klinis infeksi virus dengue pada anak. Sari Ped 2008; 9:359-62. Mohan B, Parwati AK, Anand VK. Hepatic dysfunction in chil­hood dengue infection. J Trop Med 2000;46:40-3. Gubler DJ. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev 1998;11:480-96. Petdachai W. Hepatic dysfunction in children with dengue shock syndrome. Dengue Bull 2005;29:1-8. Kalayanarooj S, Osotkrapan S, Nimmannitya S. Abnormal elevation of hepatic transaminase in dengue haemorrhagic fever patients. Studies/collaborative on dengue infection/dengue haemorrhagic fever at Queen Sirikit National Institute of Child Health (Children,s Hospital). Bangkok: WHO Collaborating Centre for Case Management;1991. Ayub M, Khazarnidal M, Lubbad EH, Shahid S, Alyafi AY, Al-Ukayli S. Characteristic of dengue fever in large public hospital, Jeddah, Saudi Arabia. J Ayub Med Coll Abbottabd 2006;18:9-12. Bridget AW, Nguyen M , Ha Loan, Dong TH, Tran TN, Thuy MD. Comparison of three fluid solution for resusitation in Dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005;353:877-89. Kalayanarooj S, Chaimongkol Y, Nimmannitya S. Volume of intravenous fluid, blood and blood components used in Dengue haemorrhagic fever patients. Study collaborative on dengue infections an Queen Sirikit National Institute of Child Health Hospital Bangkok. WHO collaborative centre for case management 1991:199-202. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008 Paediatrica Indonesiana VOLUME 45 March - April • 2005 NUMBER 3-4 Original Article The effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in dengue hemorrhagic fever Mulya Rahma Karyanti, MD; Hindra Irawan Satari, MD; Damayanti Rusli Sjarif, MD, PhD ABSTRACT Dengue hemorrhagic fever (DHF) infection causes hepatocelullar impairment. In management of DHF, World Health Organization (WHO) recommends the crystalloids Ringer’s acetate (RA) or Ringer’s lactate (RL), which are similar in composition to plasma. Acetate in RA is not metabolized in the liver, hence not burdening the liver, whereas lactate in RL is metabolized mostly in the liver, thus placing a burden on the liver. Objective To compare aminotransferase changes as markers of hepatocellular impairment subsequent to the use of RA and RL in the management of DHF with and without shock. Methods This study was a double-blind randomized controlled trial on DHF patients aged 1-18 years in Cipto Mangunkusumo Hospital who had not received prior treatment with crystalloids or colloids. Subjects were randomly assigned to receive either RA or RL intravenously. Aminotransferase levels were examined on the first, second and third weeks from the onset of fever. Results Ninety-two patients who fulfilled inclusion criteria were enrolled in this study, consisting of those without and with shock. Mean transaminase levels of patients without shock in the RA and RL groups did not differ significantly. Mean transaminase levels of patients with shock in the RA group were lower than those in the RL group, but this difference was not significant statistically. Mean alteration of transaminase levels in patients with and without shock were not significantly different. Conclusion In DHF without shock, there is no significant difference between aminotransferase level changes of patients receiving RA and RL solutions. In DHF with shock, aminotransferase levels of patients receiving RA tend to be lower than those receiving RL, but this difference is insignificant [Paediatr Indones 2005;45:81-86]. Background Keywords: hepatocellular impairment, dengue haemorrhagic fever, Ringer’s acetate, Ringer’s lactate, aminotransferase D engue hemorrhagic fever (DHF), is an acute, self-limited illness characterized by fever, bleeding, and sometimes shock. 1-3 In a patient with DHF, capillary permeability increases; even more so in dengue shock syndrome (DSS). The capillary permeability of a healthy child is higher than that of a healthy adult, rendering children more vulnerable to shock.4 The liver is one of the target organs of dengue infection and the clinical manifestations of hepatocelullar impairment are shown by increased aminotransferase levels. In the dengue-infected liver, pathological findings show centrilobular necrosis, fatty changes, Kuppfer cell hyperplasia, and acidophilic and monocytic infiltration from the portal tract. Aminotransferase levels usually increase, reaching maximum levels 9 days after the onset of fever, and decrease gradually to normal levels by the 14th day.5 The principle of DHF management is supportive treatment by replacing the volume of plasma lost through increased capillary permeability and bleeding.6 Massive bleeding may occur if hemostatic impairment such as vasculopathy, thrombocytope- From the Department of Child Health, Medical School, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia. Reprint requests to: Mulya Rahma Karyanti, MD, Department of Child Health, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Tel. 62-21-3147342; Fax. 62-21-3148931; Email: [email protected]. Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 81 Paediatrica Indonesiana nia and coagulopathy persist. 7,8 Specific fluid therapy is needed for children with DHF because the water composition and requirement in children differ from adults.9,10 WHO has recommended crystalloid solutions such as Ringer’s lactate (RL), Ringer’s acetate (RA), and normal saline for the management of DHF. RA and RL are similar in composition to the intravascular plasma.11,12 RA has a potential advantage over RL, since acetate can be metabolized in almost all muscles and does not burden the liver, while most lactate must be metabolized by the liver. RA, as an alternative to RL, should be considered in DHF patients with severe liver impairment, in whom the liver’s ability to eliminate lactate is decreased.13 Until the present time, RL is widely used in the Department of Child Health, Cipto Mangunkusumo Hospital, while no study comparing the use of RA and RL in DHF patients has been done. This study aims to compare aminotransferase changes subsequent to the use of RA and RL in the management of DHF patients with and without shock. Methods This study was a double-blind randomized controlled trial conducted on DHF patients in the Department of Child Health, Cipto Mangunkusumo Hospital, during a dengue epidemic from May 2003 until March 2004. The diagnostic criteria of DHF were based on WHO’s Technical Guide for Diagnosis, Treatment, Prevention and C ontrol of DHF.7 Severity of the disease was graded according to the 1997 WHO criteria,7 in which grade I DHF was defined as fever accompanied by non-specific constitutional symptoms, with a positive tourniquet test as the only hemorrhagic manifestation; grade II as spontaneous bleeding in addition to grade I manifestations; grade III as circulatory failure manifested by rapid and weak pulse, narrowing of pulse pressure or hypertension, with the presence of cold, clammy skin and restlessness; and grade IV as profound shock with undetectable blood pressure. Subjects consisted of patients aged 1-18 years who were diagnosed with DHF based on the above criteria and had not received prior treatment with crystalloid or colloid solutions, whose parents gave informed consent. Patients were excluded from this study when they had a history of liver disease and/or a family history of chronic liver disease, myocarditis, or rhabdomyolysis, had recurrent or prolonged shock, did not have completed transaminase examinations, or died. The study was approved by the Committee of Medical Research Ethics, Medical School, University of Indonesia. Sample size for this study was determined by using 95% confidence interval and power of 80%. Statistical significance was set at P<0.05. Based on this calculation, 92 subjects were required, consisting of 46 subjects with shock (DHF/DSS grade III and IV) and 46 without (DHF grade II). Subjects were randomly allocated to receive infusions of either RA or RL such, that there were an equal number of subjects in the RA with shock, RL with shock, RA without shock, and RL without shock groups, respectively. Fluid management was given according to the 1997 WHO standard procedure. Subjects were examined for complete blood count and aminotransferase levels. Complete blood count was performed every 6 hours for 48 hours since the patient’s admission. Aminotransferase levels, comprising aspartate transaminase (AST) and alanine transaminase (ALT) levels were examined from blood samples taken on the first week (S1), second week (S2), and third week (S3) from the onset of fever. The level considered normal was <40 U/l for AST and <40 U/l ALT. The increase in aminotransferase levels was considered mild if <100 U/l, moderate if 101-200 U/l, and severe if >201 U/l. The collected data were processed using SPSS 10.5 for Windows. Statistical analyses were performed using the chi-square test, the Kolmogorov-Smirnov test, and the Mann-Whitney test, where appropriate. Results Between May 2003 and March 2004, 201 DHF patients were admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred and twelve cases were included in this study and followed. In the process, 20 patients dropped out (12 had incomplete data, 6 died from prolonged shock, encephalopathy, respiratory failure, and massive gastrointestinal bleeding, and 2 had extreme transaminase levels). Finally, only 92 DHF patients who fulfilled the inclusion criteria could be further examined and analyzed. These consisted of 46 subjects with shock and 46 without. Among the subjects with shock, 23 82 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 Mulya Rahma Karyanti et al: Effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in DHF subjects each belonged to the RL and RA groups. A similar subject distribution occurred among subjects without shock. The final subject allocation can be seen in Figure 1. The distribution of subjects according to sex and age group are shown in Table 1. Sex distribution was similar between patients with and without shock. Most patients were aged between 5 to 14 years. More children aged <5 years experienced shock compared to those of older age. With adequate fluid management, all subjects recovered completely. Comparison between the mean AST and ALT levels of the RA and RL groups is provided in Table 2. In subjects without shock, the highest transaminase levels were recorded at S2 in both the RA and RL groups. Analysis of the mean AST levels of the RA and RL groups at S1, S2, and S3 did not yield statistically significant difference. Similar analysis of the mean ALT levels of the same groups did not reveal significant difference (Table 2). In subjects with shock, transaminase levels in the RA and RL groups had a comparable starting point. At S2 and S3, transaminase levels in the RA group were lower than RL group, but this difference was not statistically significant. The difference between mean transaminase levels of the RA and RL groups at S1, S2 and S3 was not statisticaly significant, either (Table 2). This study also compared the mean alteration of transaminase levels in the RA and RL groups (Table 3). Statistically significant difference was not found between the RA and RL groups in patients both with 201 DHF cases 112 cases meeting inclusion criteria 57 without shock 28 RA 55 with shock 29 RL 4 incomplete data 1 died 28 RA 27 RL 1 incomplete data 3 died 6 incomplete data 1 incomplete data 2 died 18 drop-out cases 1 extreme cases 23 RA 23 RL 1 extreme cases 2 outlier cases 23 RA 23 RL 92 analyzed cases FIGURE 1. AMINOTRANSFERASE CHANGES IN DHF PATIENTS RECIEVING RINGER’S ACETATE VERSUS RINGER’S LACTATE RECEIVING. TABLE 1. DISTRIBUTION OF SUBJECTS ACCORDING TO SEX AND AGE GROUP Without shock RA Sex Male Female Age 1-4 years 5-9 years 10-14 years 15-18 years With shock RL RA RL n=23 % n=23 % n=23 % n=23 % 10 13 (43.5) (56.5) 11 12 (47.8) (52.2) 11 12 (47.8) (52.2) 7 16 (30.4) (69.6) 3 7 12 1 (13.0) (30.4) (52.2) (4.3) 4 11 8 (17.4) (47.8) (34.8) 7 9 7 (30.4) (39.1) (30.4) 6 11 6 (26.1) (47.8) (26.1) Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 83 Paediatrica Indonesiana and without shock, although in subjects without shock mean transaminase alterations were highest from S2 to S3 in both the RA and RL groups (Table 3). In sum, it was shown that AST and ALT levels increased on the second week after fever onset both in patients with and without shock. After the second week and into the third week, transaminase levels decreased. In addition, the study indicated that AST levels tend to be higher than ALT levels in all groups. identified as a cause of death in DHF patients infected by dengue virus types 1, 2 and 3. In Indonesia, the virus type most frequently found in DHF patients is type 3, which is associated with severe and fatal cases.17-20 Lin et al has proven in vitro that dengue virus can infect diverse liver cells with differing replication efficiency, causing cytopathic effects (CPEs) of diverse severity. Among the CPEs, the increased AST levels was correlated with the clinical results from 24 DHF patients, who showed increased AST levels at the onset of fever.22 Complete liver function test should include examinations of albumin, prothrombin time, bilirubin, transaminase, and gamma-glutamyl transpeptidase. AST and ALT are very sensitive indicators to evaluate liver impairment.23-28 This was the rationale for the use of transaminase levels to evaluate hepatocellullar impairment in this study. In the beginning of this study, blood samples for transaminase examinations were planned to be taken Discussion Liver involvement in dengue infection has been reported to be mild and manifested by the rise of liver enzyme levels.5 However, reports have been made of fulminant hepatitis with high mortality in patients with dengue infection.14 Innis et al17 reviewed the clinical course and liver histopathology of 19 fatal cases of dengue infection. In his study, acute liver failure was TABLE 2. COMPARISON Mean transaminase levels (U/l) AST S1 S2 S3 ALT S1 S2 S3 BETWEEN MEAN TRANSAMINASE LEVELS OF RA (mean+SD) Without shock RL (mean+SD) RA AND P RA (mean+SD) RL GROUPS With shock RL (mean+SD) P 97.91 + 148.36 100.43+122.03 31.17 + 17.94 50.61 + 23.37 68.04 + 59.78 30.61 + 15.11 0.531* 0.119* 0.454* 102.70 + 86.34 80.35 + 55.35 38.04 + 26.62 113.70 + 92.91 211.78 +352.20 89.00 + 135.52 0.373* 0.350* 0.198* 48.39 + 73.09 60.13 + 96.51 26.52 + 29.87 23.48 + 12.58 32.48 + 23.51 20.91 + 13.24 0.226* 0.531* 0.461* 41.26 + 41.63 41.74 + 29.08 23.78 + 18.35 47.61 + 50.66 104.48 +149.07 52.70 + 75.84 0.482* 0.150* 0.066* *) Mann-Whitney test S1= first week from fever onset; S2=second week from fever onset; S3=third week from fever onset TABLE 3. COMPARISON Mean transaminase level alteration (U/l) AST S1 to S2 S2 to S3 S1 to S3 ALT S1 to S2 S2 to S3 S1 to S3 OF MEAN ALTERATION OF TRANSAMINASE LEVELS IN RA (mean±SD) Without shock RL (mean±SD) P RA (mean±SD) RA AND RL GROUPS With shock RL (mean±SD) P 2.52 + 142.91 69.26 + 119.16 66.73 + 136.51 17.43 + 60.48 37.43 + 60.06 20.00 + 21.85 0.809* 0.097* 0.435* 2.34 + 62.92 42.30 + 44.98 64.65 + 81.88 22.34 + 62.92 42.30 + 44.98 64.65 + 81.88 0.328* 0.684* 0.475* 11.73 + 95.33 33.60 + 91.33 21.86 + 48.82 9.00 + 24.67 11.56 + 26.06 2.56 + 14.49 0.605* 0.750* 0.286* 0.47 + 24.87 17.95 + 26.64 17.47 + 37.65 0.47 + 24.87 17.95 + 26.64 17.47 + 37.65 0.605* 0.904* 0.302* *) Mann-Whitney test S1= first week from fever onset; S2=second week from fever onset; S3=third week from fever onset 84 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 Mulya Rahma Karyanti et al: Effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in DHF on the first day of admission, on the 9th and 14th day since the onset of fever. However, patient incompliance made it difficult to obtain the blood samples on time. To cope with this obstacle, the blood samples were taken within the first, second and third weeks. Other studies also encountered difficulties in obtaining blood samples at a specific time. Mohan et al27 took blood samples on the first, second, third, and fourth weeks. Nguyen et al26 undertook a similar study with the first blood samples taken in the first week and second blood samples between the 8th and 11th day since the first symptoms. Kuo et al24 took the first blood sample on the first week and the next samples between the 8th and 21st day. Lin et al22 also took the first blood sample in the first week and the second between the 10th and 14th day. Most studies have focused on comparing RA and RL solutions by measuring lactate levels and observing acid-base disturbances in patients with shock, liver insufficiency, burns, diabetic ketoacidosis, and posthepatectomy patients. Presently, studies comparing transaminase levels after the use of RA and RL in DHF patients have not been found. Initially, the AST levels were higher than ALT leves both in patients with and without shock (Table 2). These results are supported by the outcome of other studies and the speculation that myocytes or monocytes may contribute to the higher AST increase.22,25,29,30 This phenomenon differs from that in hepatitis virus-infected patients, in which the ALT level is higher than the AST level. AST is more specific and sensitive to detect hepatocellular impairment because its concentration is highest in the liver. In contrast, AST is produced by the liver, heart and skeletal muscles, kidney, pancreas, and monocytes.32,33 In the early phase of DHF infection, a systemic impairment occurs which also affects myocytes and monocytes. According to Lin et al, liver cells infected by the dengue virus are another source of AST production. Moreover, the half-life of ALT (32-43 hours) is longer than that of AST (12,5-22 hours), which explains why AST declined more rapidly to normal levels (10 to 14 days after fever onset) than did ALT.22 In this study, marked disturbance of liver function indicating hepatocellular involvement was observed in all cases (Table 2). AST and ALT levels increased during the first week and reached its peak during the second week, then decreased to normal levels in the third week. This result is supported by that of Mohan,27 who found similar results. The mean AST and ALT levels in the RA and RL groups without shock were highest on the second week and decreased in the third week, but this difference was not significant statistically. The mean AST and ALT levels in patients with shock was lower in the RA group than in the RL group, with again no significantly statistical difference. This suggests that RA does not burden the liver. In conclusion, in DHF without shock, there is no significant difference between aminotransferase level changes of patients receiving RA dan RL solutions. In DHF with shock, aminotransferase levels of patients receiving RA tend to be lower than those receiving RL, but this difference is insignificant. From our findings, we infer that either RA or RL can be used in the management of DHF patients without shock. Further study is needed in patients with shock, since the mean transaminase levels were lower in the RA group compared to RL group clinically, even though the differences were not significant statistically. References 1. Harun SR. Telaah endotoksemia pada perjalanan penyakit demam berdarah dengue, perhatian khusus pada syok, produksi TNF-a, Interleukin-6, dan sebagai faktor prediktor demam berdarah dengue berat [dissertation]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1996. p. 12-14. 2. Soedarmo SP. Demam berdarah dengue. Medika 1995;10:798-808. 3. Soedarmo SP. Masalah demam berdarah dengue di Indonesia. In: Harun SR, Satari HI, editors. Demam berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 1-5. 4. Bethell DB, Gamble J, Pham PL, Nguyen MD, Tran TH, Ha TH, et al. Noninvasive measurement of microvascular leakage in patients with dengue haemorrhagic fever. Clin Infect Dis 2001; 32:243-53. 5. Wahid SF, Sanusi S, Zawawi MM, Ali RA. A comparison of the pattern of liver involvement in dengue hemorrhagic fever with classic dengue fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2000;31:259-63. 6. Harun SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam berdarah dengue Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 • 85 Paediatrica Indonesiana 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. pada anak. In: Harun SR, Satari HI, editors. Demam berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 82137. Kurane I, Ennis FA. Cytokines in dengue virus infections: role of cytokines in the pathogenesis of dengue haemorrhagic fever. Semin Virology 1994;5:443-8. Harun SR. Imunopatogenesis demam berdarah dengue. In: Akib AA, Tumbelaka AR, Matondang CS, editors. Naskah lengkap PKB IKA XLIV: Pendekatan imunologi berbagai penyakit alergi dan infeksi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 41-57. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention, and control. 2nd ed. Geneva: WHO; 1997. p. 1-33. World Health Organization. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue haemorrhagic fever in small hospitals. 1st ed. New Delhi: WHO Regional Office for South-East Asia; 1999. p. 16-8. Latief A. Pemilihan cairan resusitasi pada anak: kontroversi antara koloid dan kristaloid. In: Chair I, Purwanto SH, Pudjiadi A, editors. Naskah lengkap PKB IKA XXX: Pendekatan farmakologik pada pediatri gawat darurat. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1993. p. 37-50. Sunatrio S. Resusitasi cairan. 1st ed. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000. p. 1-120. Sunatrio S. Larutan Ringer asetat dalam praktek klinis. Presented at Simposium Alternatif Baru dalam Terapi Resusitasi Cairan; 1999 Aug 14; Jakarta, Indonesia. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. In: Sastroasmoro S, Ismael S, editors. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 2nd edition. Jakarta: Sagung Seto; 2002. p. 259-86. Suvatte V, Vajaradul C, Laohapand. Liver failure and hepatic encephalopathy in dengue hemorrhagic fever/ dengue shock syndrome: correlation study with acetaminophen usage. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1990;21:694-5. Innis BL. Acute liver failure is one important cause of fatal dengue infection. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1990;21:695-6. Soedarmo SP. Patofisiologi dan patogenesis. In: Sumarmo, editor. Demam berdarah dengue pada anak. 2nd ed. Jakarta: FKUI; 1988. p. 27-33. Harun SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/ demam berdarah dengue. 1st ed. Jakarta: Ditjen P2MPLP Departemen Kesehatan RI; 1999. p. 1-6. 19. Juffrie M, Haasnoot K, Thijs LG. Dengue virus infection and dengue hemorrhagic shock. Crit Care and Shock 2000;3:139-45. 20. Chameides L, Hazinski MR. Recognition of respiratoy failure and shock. In: Aehlert B, editor. Pediatric Advanced Life Support. St Louis: Mosby; 1997. p. 1– 10. 21. Lin YL, Liu CC, Lei HY, Yeh TM, Lin YS, Chen RM, et al. Infection of five human liver cell lines by dengue-2 virus. J Med Virol 2000; 60:425-31. 22. Krishnamurti C, Kalayanarooj S, Cutting MA, Peat RA, Rothwell SW, Reid TJ, et al. Mechanisms of hemorrhage in dengue without circulatory collapse. Am J Trop Med Hyg 2001;65:840-7. 23. Huerre MR, Lan NT, Marianneau P, Hue NB, Khun H, Hung NT, et al. Liver histopathology and biological correlates in five cases of fatal dengue fever in Vietnamese children. Virchows Arch 2001;438:107-15. 24. Kuo CH, Tai DI, Chang-Chien CS, Lan CK, Chiou SS, Liaw YF. Liver biochemical tests and dengue fever. Am J Trop Med Hyg 1992;47:265-70. 25. Nguyen TL, Nguyen TH, Tieu NT. The impact of dengue haemorrhagic fever on liver function. Res Virol 1997;148:273-7. 26. Mohan B, Patwari AK, Anand VK. Hepatic dysfunction in childhood dengue infection. J Trop Pediatr 2000;46:40-3. 27. Johnston DE. Special considerations in interpreting liver function tests. Am Fam Physician 1999;59:2223-30. 28. Wang LY, Chang WY, Lu SN, Chen TP. Sequential changes of serum transaminase and abdominal sonography in patients with suspected dengue fever [abstract]. Gaoxiong Yi Xue Ke Xue Za Zhi 1990;6:483-9. 29. Nguyen TH, Lei HY, Nguyen TL, Lin YS, Huang KJ, Le BL, et al. Dengue hemorrhagic fever in infants: a study of clinical and cytokine profiles. J Infect Dis 2004;189:221-32. 30. Pancharoen C, Rungsarannont A, Thisyakorn U. Hepatic dysfunction in dengue patients with various severity [abstract]. J Med Assoc Thai 2002;85 (Suppl): 298-301. 31. Martin P, Friedman LS. Assessment of liver function and diagnostic studies. In: Friedman LS, Keeffe EB, editors. Handbook of liver disease. 1st ed. London: Churchill Livingstone; 1998. p. 1-4. 32. Maller ES. Laboratory assessment of liver function and injury in children. In: Suchy FJ, editor. Liver disease in children. 1st ed. Missouri: Mosby; 1994. p. 269-80. 33. Ganong WF. Keseimbangan energi, metabolisme dan nutrisi. In: Ganong WF, editor. Fisiologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: ECG Penerbit Buku Kedokteran; 1988. p. 236-270. 86 • Paediatrica Indonesiana, Vol. 45, No. 3-4 • March - April 2005 LAPORAN PENDAHULUAN TROMBOSITOPENIA A. Pengertian Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang merupakan bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.000 -450000/ul, ratarata berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit di dalam sirkulasidarah mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu untuk mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal di produksi 150.000 - 450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan mencapai baru timbul jika jumlah trombosit kurang dari 10.000/mL.(Sudoyo,,2006). Trombositopenia adalah suatu manifestasi tersering dari sindrom imunodefisiensi didapat ( Robbins,2007 ). Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan hebat,bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. ( Corwin, 2005 ). Trombositopenia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan trombosit. Kadar trombosis di dalam plasma darah kurang dari 200 ribu/mm3. Trombosit adalah salah satu protein dalam pembekuan darah (Price & Wilson,2005). Idiopatik trombositopenia purpura ( ITP )adalah penyakit yang menyerang segala golongan usia. Penyebabnya belum diketahui pasti. Infeksi virus kadang mendahului penyakit ini. Masa hidup trombosit menjadi lebih pendek ( Brunner & Suddart,2009 ). Purpur Trombositopenia idiopatik merupakan suatu penyakit autoimun, paling sering terjadi sebagai kelainan yang tamaknya tersendiri walaupun terkadang merupakan manifestasi pertama SLE (Sistemik lupus eritematosus ) ( Robbins,2007). B. Penyebab Menurut Robbins (2007 ) penyebab terjadinya trombositopenia adalah : 1. Penurunan Produksi Trombosit Dapat disebabkan oleh berbagai bentuk kegagalan atau cedera sumsum tulang, yang mencangkup anemia aplastik ideopatik, kegagalan sumsum tulang akibat obat, dan kegagalan sumsum tulang oleh tumor. Trombositopenia juga merupakan bahaya yang dapat terjadi setelah transplantasi sumsum tulang. Pemulihan trombosit berlangsung jauh lebih lambat darpada pemulihan turunan sel lainnya. Pada semua keadaan diatas, Trombositopenia disebabkan oleh penurunan megakariosis sumsum tulang. 2. Penurunan Usia Trombosit Percepatan destruksi tromsosit sering bersifat imunologis, terjadi akibat pembentukan antibody antitrombosit atau adsorpsi trombosit oleh komplek imun yang terbentuk didalam sirkulasi. Destruksi trombosit yang diperantarai oleh antibody mungkin berkaitan dengan penyakit autoimun, seperti SlE, atau timbul sebagai kelainan tersendiri ( ITP ). Sebagai trombositopenia akibat obat juga imunologis. Penyebab non imunologik pada destruksi terlebih trombosit secara berlebihan trombosit yaitu pemakaian trombosit secara berlebihan yang terjadi pada DIC, katup jantung prostetik dan suatu penyakit yang jarang disebut purpura trombositopenik trombolitik. 3. Sekuestrasi Limpa sering tertekan pada berbagai sistemik.limpa yang membesar menyebabkan pembersihan dalam jumlah besar satu atau lebih elemen terbentuk di dalam, sehingga terjadi anemia, leukopenia atau trombositopenia. Keadaan ini disebut hipersplenisme. 4. Pengenceran akibat tranfusi trombosit. Terapi trenfusi trombosit telah membuat kemajuan dan kebanyakan pasien defisiensi trombosit atau disfungsi memperoleh manfaat dari terapi tersebut. Pasien dengan masalah yang berkaitan dengan meningkatnya konsumsi trombosit, tranfusi trombosit tampaknya hanya sedikit atau tidak ada manfaatnya. Pada pasien dengan trombositopenia imun,tidak ada manfaatnya tidak efektif dan bahkan akan memperburuk keadaan. C. Tanda dan Gejala 1. Peradangan kulit biasa merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit yang kurang. 2. Peteki atau bintik bintik merah sering kali muncul pada area tungkai bawah. 3. Memar bisa timbul hanya karena cidera ringan. 4. Perdarahan spontan dari gusi dan hidung. 5. Kadang darah juga di temukan pada tinja atau air kemih 6. Pada penderita wanita darah menstruasi bisa sangat banyak. 7. Perdarahan sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan dapat berakibat fatal D. Patofisiologi Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagi cara yang mengakibatkan semakin lamanya pendarahan. Obat-obat seperti aspirin, indometasin, fenilbutazon menghambat agresgasi dan reaksi pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan pendarahn yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin tunggal dapat berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari. Protein plasma, myeloma seperti yang multiple di temukan pada menyelubungi trombosit, makroglobulinemia mengganggu dn adhesi trombosit, reaksi bekuan, dan polimerasi fibrin. E. Pemeriksaan Diagnostik Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsy sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia sumsum tulang aplastik, mieleofibrosis dengan (pengganti jaringan fibrosa), leukimia unsur-unsur akut, dan karisinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum tulang normal. F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan penyakit yang trombositopenia mendasarinya. Apabila biasanya terjadi adalah gangguan mengobati produksi trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikan angka trombosit dan menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan intrakranial. Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang ditranfusikan juga akan hancur dan tidak akan menaikan angka trombosit. G. Diagnosa 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik 3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi. 5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang, anoreksia H. Batasan Karakteristik 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat, diaforesis, maskerwajah prilaku distraksi, mengekspresikan perilaku, ( mata kurang bercahaya, tampak kacau, meringis), sikap melindungi area nyeri, fokus menyempit misal gangguan persepsi nyeri,hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan linhgkungan ), indikasi nyeri yang dapat diamati, melaporkan nyeri secara verbal, fokus pada diri sendiri. 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Respon tekanan darah abnormal terhapad aktivitas, respon frekuensi jantung abnormal, perubahan EkG, ketidaknyamanan setelah aktivitas, dispnea setelah beraktivitas, merasakan merasa letih, merasa lemah. 3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia Faktor resiko : Aneurisme, sirkumsisi, defisiensi pengetahuan, koagulan intravaskuler gastrointersinal, diseminata, gangguan fungsi riwayat hati, jatuh, koagulan gangguan inheren, komplikasi pascapartum, komplikasi terkait kehamilan, trauma, efek samping terkait terapi 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi Memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai. 5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang, anoreksia Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal, dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance), membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah, luka inflamasi pada rongga mulut, mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan, dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan, dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa, perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan, miskonsepsi, kehilangan BB dengan makanan cukup, eengganan untuk makan, kram pada abdomen, tonus otot jelek, nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi, kurang berminat terhadap makanan, pembuluh darah kapiler mulai rapuh, diare dan atau steatorrhea, kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok) I. Fokus Intervensi Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis Kaji nyeri secara komprehensif, monitor ttv, ajarkan teknik non farmakologi nafas dalam, berikan lingkungan yang nyaman untuk mengurangi nyeri, anjurkan istirahat cukup, kolaborasi dengan dokter pemberian terapi analgetik untuk mengurangi nyeri 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik NOC : Energy conservation Self Care : ADLs NIC : Energy Management Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas, dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan, kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan, monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat, monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan, monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas, monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien. 3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi NIC : Teaching : disease Process Diskusikan perubahan Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat, sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat, hindari harapan yang kosong, sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat, gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit, diskusikan pilihan terapi atau penanganan, dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan, eksplorasi dengan cara kemungkinan sumber atau dukungan yang tepat, rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal dengan cara yang tepat, instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan dengan cara yang tepat. 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. NIC : Nutrition Management Kaji adanya alergi makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien, anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe, anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C, berikan substansi gula, yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi, berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi), ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi, kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. NIC : Nutrition Monitoring BB pasien dalam batas normal, monitor adanya penurunan berat badan, monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan, monitor interaksi anak atau orangtua selama makan, monitor lingkungan selama makan, jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan, monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi, monitor turgor kulit, monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah, monitor mual dan muntah, monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht, monitor makanan kesukaan, monitor pertumbuhan dan perkembangan, monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva, monitor kalori dan intake nuntrisi, catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral. DAFTAR PUSTAKA Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1. Jakarta : EGC Price, S.A., Lorraine, M. W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC Robbins, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC Saryabudi, Raharjuningsih, D. (2007). Hemostatis dan Trombosis. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI Tailor, C. M. (2010). Diagnosis dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC SATUAN ACARA PENYULUHAN TROMBOSITOPENIA DI RUANG MELATI DI RS Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN DISUSUN OLEH FITHROH ANGGRAINI A01301755 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016 SAP TROMBOSITOPENIA Topik : Trombositopenia Sasaran : Orang tua klien dan klien Tempat : Ruang Melati Hari : 31 mei 2016 Waktu : 30 menit A. TUJUAN UMUM Setelah mengikuti penyuluhan, diharapkan orang tua dan keluarga mampu memahami tentang penyakit trombositopenia dan mampu memberi perawatan. B. TUJUAN KHUSUS Setelah diberikan penyuluhan mengenai Trombositopenia, orangtua dapat : 1. Menjelaskan Pengertian Trombositopenia 2. Menjelaskan Penyebab Trombositopenia 3. Menjelaskan Tanda dan gejala Trombositopenia 4. Menjelaskan Akibat dari Trombositopenia 5. Menjelaskan Cara merawat klien dengan Trombositopenia C. SASARAN Orang tua dan keluarga D. MATERI (TERLAMPIR) 1. Pengertian Trombositopenia 2. Penyebab Trombositopenia 3. Tanda dan Gejala Trombositopenia 4. Akibat dari Trombositopenia 5. Cara merawat klien dengan Trombositopenia E. METODE 1. Ceramah 2. Tanya Jawab F. MEDIA 1. Leaflet 2. Lembar Balik G. KEGIATAN PENYULUHAN No 1. Waktu 5 menit Kegiatan Penyuluh Kegiatan peserta Pembukaan : 1. Mengucapkan salam pembuka 1. Menjawab salam 2. Memperkenalkan diri 2. Mendengarkan 3. Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan 3. Mendengarkan penyuluhan 4. Menanyakan kepada klien sejauh mana pemahaman tentang materi yang akan 4. Menjawab pertanyaan penyuluh disampaikan 2. 15 menit Pelaksanaan : 1. Menjelaskanpengertian Trombositopenia 2. Menjelaskan Penyebab Trombositopenia 3. Menjelaskan Tanda dan gejala 1. Memperhatikan 2. Memperhatikan Memperhatikan Memperhatikan 4. Memperhatikan Trombositopenia 4. Menjelaskan Akibat dari 5. Trombositopenia 5. Menjelaskan Cara merawat klien dengan Trombositopenia 3. 10 menit Penutup : 1. Menggali pengetahuan peserta tentang materi 1. Menjelaskan tentang yang telah disampaikan. materi Trombositopenia yang telah 2. Menyimpulkan hasil kegiatan penyuluhan 3. Mengucapkan salam penutup disampaikan. 2. Mendengarkan 3. Menjawab salam H. KRITERIA EVALUASI 1. Evaluasi Proses a. Kegiatan penyuluhan dihadiri oleh klien dan orang tua b. Media yang digunakan adalah leaflet dan Lembar balik c. Waktu penyuluhan selama 30 menit. d. Penyelenggaraan penyuluhan diadakan di ruang melati e. Penyaji diharapkan menguasai materi dengan baik. f. Pengorganisasian penyuluhan dipersiapkan beberapa hari sebelum penyuluhan. g. Klien dan orang tua hadir mengikuti penyuluhan dan tidak meninggalkan tempat penyuluhan sebelum kegiatan penyuluhan selesai dilakukan. h. Diharapkan klien dan orang tua antusias mengikuti proses penyuluhan sampai kegiatan penyuluhan selesai. 2. Evaluasi Hasil Setelah dilakukan penyuluhan tentang Trombositopenia diharapkan klien mampu : a. Mengetahui Pengertian Trombositopenia b. Mengetahui Penyebab Trombositopenia c. Mengetahui Tanda dan Gejala Trombositopenia d. Mengetahui Penanganan Trombositopenia e. Mengetahui Pencegahan Trombositopenia Lampiran Materi A. Pengertian Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang merupakan bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi berkisar antara 150.000 -450000/ul, rata-rata berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari jumlah trombosit di dalam sirkulasidarah mengalami penghancuran di dalam limpa oleh karena itu mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal untuk di produksi 150.000 - 450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit 10.000/mL.(Sudoyo,,2006). Trombositopenia tersering dari mencapai adalah suatu kurang dari manifestasi sindrom imunodefisiensi didapat ( Robbins,2007 ). Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan hebat,bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. ( Corwin, 2005 ). Trombositopenia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan trombosit. Kadar trombosis di dalam plasma darah kurang dari 200 ribu/mm3. Trombosit adalah salah satu protein dalam pembekuan darah (Price & Wilson,2005). Idiopatik trombositopenia purpura ( ITP )adalah penyakit yang menyerang segala golongan usia. Penyebabnya belum diketahui pasti. Infeksi virus kadang mendahului penyakit ini. Masa hidup trombosit menjadi lebih pendek ( Brunner & Suddart,2009 ). Purpur Trombositopenia idiopatik merupakan suatu penyakit autoimun, paling sering terjadi sebagai kelainan yang tamaknya tersendiri walaupun terkadang merupakan manifestasi pertama SLE (Sistemik lupus eritematosus ) ( Robbins,2007). B. Penyebab Menurut Robbins (2007 ) penyebab terjadinya trombositopenia adalah : 1. Penurunan Produksi Trombosit Dapat disebabkan oleh berbagai bentuk kegagalan atau cedera sumsum tulang, yang mencangkup anemia aplastik ideopatik, kegagalan sumsum tulang akibat obat, dan kegagalan sumsum tulang oleh tumor. Trombositopenia juga merupakan bahaya yang dapat terjadi setelah transplantasi sumsum tulang. Pemulihan trombosit berlangsung jauh lebih lambat darpada pemulihan turunan sel lainnya. Pada semua keadaan diatas, Trombositopenia disebabkan oleh penurunan megakariosis sumsum tulang. 2. Penurunan Usia Trombosit Percepatan destruksi tromsosit sering bersifat imunologis, terjadi akibat pembentukan antibody antitrombosit atau adsorpsi trombosit oleh komplek imun yang terbentuk didalam sirkulasi. Destruksi trombosit yang diperantarai oleh antibody mungkin berkaitan dengan penyakit autoimun, seperti SlE, atau timbul sebagai kelainan tersendiri ( ITP ). Sebagai trombositopenia akibat obat juga imunologis. Penyebab non imunologik pada destruksi terlebih trombosit secara berlebihan trombosit yaitu pemakaian trombosit secara berlebihan yang terjadi pada DIC, katup jantung prostetik dan suatu penyakit yang jarang disebut purpura trombositopenik trombolitik. 3. Sekuestrasi Limpa sering tertekan pada berbagai sistemik.limpa yang membesar menyebabkan pembersihan dalam jumlah besar satu atau lebih elemen terbentuk di dalam, sehingga terjadi anemia, leukopenia atau trombositopenia. Keadaan ini disebut hipersplenisme. 4. Pengenceran akibat tranfusi trombosit. Terapi trenfusi trombosit telah membuat kemajuan dan kebanyakan pasien defisiensi trombosit atau disfungsi memperoleh manfaat dari terapi tersebut. Pasien meningkatnya konsumsi hanya sedikit dengan masalah trombosit, yang tranfusi berkaitan trombosit dengan tampaknya atau tidak ada manfaatnya. Pada pasien dengan trombositopenia imun,tidak ada manfaatnya tidak efektif dan bahkan akan memperburuk keadaan. C. Tanda dan Gejala 1. Peradangan kulit biasa merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit yang kurang. 2. Peteki atau bintik bintik merah sering kali muncul pada area tungkai bawah. 3. Memar bisa timbul hanya karena cidera ringan. 4. Perdarahan spontan dari gusi dan hidung. 5. Kadang darah juga di temukan pada tinja atau air kemih 6. Pada penderita wanita darah menstruasi bisa sangat banyak. 7. Perdarahan sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan dapat berakibat fatal D. Patofisiologi Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagi cara yang mengakibatkan semakin lamanya pendarahan. Obat-obat seperti aspirin, indometasin, fenilbutazon menghambat agresgasi dan reaksi pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan pendarahn yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin tunggal dapat berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari. Protein plasma, seperti yang di temukan pada makroglobulinemia dn myeloma multiple menyelubungi trombosit, mengganggu adhesi trombosit, reaksi bekuan, dan polimerasi fibrin. E. Pemeriksaan Diagnostik Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsy sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia aplastik, mieleofibrosis (pengganti unsur-unsur sumsum tulang dengan jaringan fibrosa), leukimia akut, dan karisinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum tulang normal. F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati penyakit yang mendasarinya. Apabila terjadi gangguan produksi trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikan angka trombosit dan menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan intrakranial. Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang ditranfusikan juga akan hancur dan tidak akan menaikan angka trombosit. G. Diagnosa 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik 3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi. 5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang, anoreksia H. Batasan Karakteristik 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis Perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat, diaforesis, prilaku distraksi, mengekspresikan perilaku, maskerwajah ( mata kurang bercahaya, tampak kacau, meringis), sikap melindungi area nyeri, fokus menyempit misal gangguan persepsi nyeri,hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan linhgkungan ), indikasi nyeri yang dapat diamati, melaporkan nyeri secara verbal, fokus pada diri sendiri. 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Respon tekanan darah abnormal terhapad aktivitas, respon frekuensi jantung abnormal, perubahan EkG, ketidaknyamanan setelah aktivitas, dispnea setelah beraktivitas, merasakan merasa letih, merasa lemah. 3. Resiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia Faktor resiko : Aneurisme, sirkumsisi, defisiensi pengetahuan, koagulan intravaskuler diseminata, riwayat jatuh, gangguan gastrointersinal, gangguan fungsi hati, koagulan inheren, komplikasi pascapartum, komplikasi terkait kehamilan, trauma, efek samping terkait terapi 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi Memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai. 5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang, anoreksia Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal, dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance), membran mukosa dan konjungtiva pucat, kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah, luka inflamasi pada rongga mulut, mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan, dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan, dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa, perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan, miskonsepsi, kehilangan BB dengan makanan cukup, eengganan untuk makan, kram pada abdomen, tonus otot jelek, nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi, kurang berminat terhadap makanan, pembuluh darah kapiler mulai rapuh, diare dan atau steatorrhea, kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok) I. Fokus Intervensi Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Cidera Biologis Kaji nyeri secara komprehensif, monitor ttv, ajarkan teknik non farmakologi nafas dalam, berikan lingkungan yang nyaman untuk mengurangi nyeri, anjurkan istirahat cukup, kolaborasi dengan dokter pemberian terapi analgetik untuk mengurangi nyeri 2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik NOC : Energy conservation Self Care : ADLs NIC : Energy Management Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas, dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan, kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan, monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat, monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan, monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas, monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien. 3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familier dengan sumber informasi NIC : Teaching : disease Process Diskusikan perubahan Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat, sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat, hindari harapan yang kosong, sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat, gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit, diskusikan pilihan terapi atau penanganan, dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan, eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan dengan cara yang tepat, rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal dengan cara yang tepat, instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan dengan cara yang tepat. 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. NIC : Nutrition Management Kaji adanya alergi makanan, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien, anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe, anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C, berikan substansi gula, yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi, berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi), ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian, monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori, berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi, kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. NIC : Nutrition Monitoring BB pasien dalam batas normal, monitor adanya penurunan berat badan, monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan, monitor interaksi anak atau orangtua selama makan, monitor lingkungan selama makan, jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan, monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi, monitor turgor kulit, monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah, monitor mual dan muntah, monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht, monitor makanan kesukaan, monitor pertumbuhan dan perkembangan, monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva, monitor kalori dan intake nuntrisi, catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral. DAFTAR PUSTAKA Nanda. (2012). Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika Price, S. A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1. Jakarta : EGC Price, S.A., Lorraine, M. W. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC Robbins, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC Saryabudi, Raharjuningsih, D. (2007). Hemostatis dan Trombosis. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI Tailor, C. M. (2010). Diagnosis dengan Rencana Asuhan. Jakarta : EGC TROMBOSITOPENIA DI SUSUN OLEH FERINA NURIASIH A01301751 PRODI DIII KEPERAWATAN STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016 PENGERTIAN Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL. PENYEBAB 1. Berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. 2. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanya disebabkan oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan. 3. Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksioleh obat. 4. Perusakan atau penekanan pada sumsum tulang. 5. Kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap sumsum tulang. 6. Trombosit menjadi terlarut TANDA GEJALA 1. Adanya petekhiedanpupura pada ekstermitas dan tubuh 2. Menstruasi yang banyak 3. Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi 4. Muntah darah dan batuk darah 5. Perdarahan Gastro Intestinal 6. Adanya darah dalam urin dan feses 7. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP. KOMPLIKASI 1. Syock hipovolemik 2. Penurunan curah jantung 3. Purpura, ekimosis, dan petekie PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LaboratoriumDarah PENATALAKSANAAN Tranfusitrombosit MAKANAN/BUAH YANG DAPAT MENINGKATKAN TROMBOSIT Pepaya Bahan yang disediakan: 50 gram papaya kupas cuci bersih dan potong-potong. 3 sdm (30 ml) ASI Cara membuat: Blender papaya hingga lembut. Tuang Makanan bayi usia 6 bulan dari pure papaya ke mangkuk. Tambahkan ASI dan aduk rata. Segera berikan kepada bayi. Jambu merah Bahan : 100 gr jambu biji merah, kupas kulitnya dan buang bijinya 50 gr wortel, kupas kulitnya dan potong-poyong 200 mili liter air matang Cara membuat : haluskan daging jambu biji merah dengan 10 mili liter air, kemudian tuang kedalam sebuah mangkuk, rebus wortel kurang lebih selama 3 menit dengan sekitar 100 mili liter air, haluskan wortel tadi bersama sisa air, setelah itu tuangkan ke atas bubur jambu. Lalu hidangkan Sayuran hijau Bahan : 115 gram Brokoli. 175 gram Kentang. 300 cc Susu Formula Cair. 115 gram Wortel. Cara masak : Pertama siapkan susu formula cair, yaitu 3 sendok takar peres susu bubuk formula kemudian larutkan dalam 300 cc air matang. Kemudian cuci brokoli, potong sesuai kuntum. kupas wortel dan kentang, cuci, lalu potong dadu kecil. Selanjutnya masukkan sayuran dalam panci kecil, tambahkan 250 cc air lalu masak hingga matang. Kemudian haluskan dengan blender hingga lembut. tuang ke dalam mangkuk. sajikan. Hati Bahan: 20 gr beras, cuci bersih, 625 cc air, 25 gr hati ayam, 26 gr tempe, 27 gr tomat, 28 gr daun bayam, iris kasar, 1 sdt margarin/ mentega Cara membuat: 1. Campur beras yang sudah dibersihkan dengan air, hati ayam, dan tempe. Rebus sambil terus diaduk hingga menjadi bubur. 2. Masukkan bayam dan tomat, masak hingga sayuran matang. Angkat. 3. Masukkan margarin/ mentega, aduk rata. 4. Setelah dingin, haluskan dengan blender atau saringan kawat. Tempatkan dalam wadah, siap diberikan pada bayi. Kurma Bahan : 100 ml ASI, 100 ml Air Hingga Matang, 2 sendok makan Kacang Hijau Tanpa Kulit, 3 buah Kurma Cara membuat : Pertama masak 2 sendok makan kacang hijau tanpa kulit menggunakan 100 ml asi atau 3 sendok takar susu formula yang sudah diseduh dengan 100 ml air hingga matang. Kemudian masukkan 3 buah kurma yang sudah dipotong kecil. aduk hingga matang. BUAH BIT Bahan : 250 gram Air Atau Kaldu Ayam, 1 sendok makan Tepung Beras, 50 gram Umbi Bit Cara masak : Pertama kupas buah bit kemudian potong dadu. Kemudian larutkan tepung beras dengan sedikit air. Selanjutnya didihkan kaldu atau air, lalu masukkan potongan umbi bit. masak hingga umbi bit matang. Kemudian tuang larutan tepung beras. didihkan kembali hignga tekstur mengental dan matang. angkat. Lalu tuang ke dalam tabung blender. proses hingga lembut. tuang ke dalam mangkuk saji. sajikan. Contoh jadwal makanan tambahan Umur 6-12 bulan : 6 pagi Susu ibu 9-10 pagi Bijirin dan susu atau buah-buahan dengan bubur/sup atau telur rebus 1-2 tengahari Nasi tim dan ikan dengan sayur-sayuran hijau atau daging dan puree sayur 3-4 petang Susu atau buah-buahan atau air 5-6 petang Nasi tim dan kacang-kacang Pisang lecek Masa tidur Susu ibu Pepaya adalah buah terbaik yang bisa meningkatkan jumlah keping darah dandapat meningkatkan kadar trombosit Anda secara alami. Delima Buah berwarna merah ini kaya akan zat besi yang bisa membantu dalam meningkatkan jumlah trombositdan tinggi akan vitamin dapat membantu Anda dalam melawan penyakit demam berdarah. Sayuran hijau Sayuran hijau mengandung vitamin K yang baik dikonsumsi ketika jumlah trombosit Anda menurun. Dan untuk meningkatkan jumlah keping darah Anda. Bawang putih Selain baik untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara alami, mengonsumsi bawang putih juga mampu menambah keping darah dalam tubuh. Buah bit Buahinimampu menjaga jumlah keping darah Anda agar tidak turun. Hati Baik hati ayam maupun hati sapi, keduanya bermanfaat untuk menambah jumlah trombosit atau keping darah Anda. Kismis Buah-buahan kering seperti kismis mengandung 30% zat besi yang baik untuk meningkatkan kadar trombosit secara alami. Aprikot Aprikot adalah jenis buah yang tinggi akan zat besi di dalamnya. Mengonsumsi sebuah aprikot setiap hari dapat menambah jumlah keping darah Anda. Kurma Kurma tinggi akan zat besi serta nutrisi lainnya yang bermanfaat untuk menambah trombosit secara alami. Gandum utuh Daripada nasi, lebih baik konsumsi gandum utuh sebagai asupan karbohidrat Anda saat sakit. Sebab gandum kaya akan serat, nutrisi, mineral, vitamin yang baik untuk meningkatkan jumlah keping darah dalamtubuh. Jambumerah Jambu biji merah sangat kaya akan vitamin C, bahkan kandungan vitamin C-nya lebih tinggi dari buah-buah lainnya, sehingga tak heran bila buah ini sangat baik untuk mempertahankan daya tahan dan kebugaran tubuh. A. DEFINISI 4. Perusakan atau penekanan pada Trombositopenia didefinisikan sebagai sumsum tulang. jumlah trombosit kurang dari100.000 / 5. Kemoterapeutik mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000- yang bersifat toksik terhadap sumsum tulang. 6. Trombosit menjadi terlarut 350.000 trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan baru timbul jika C. TANDA GEJALA 1. Adanya petekhie pada ekstermitas dan tubuh jumlah trombosit mencapai kurang 2. Menstruasi yang banyak dari 10.000/mL. 3. Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi B. PENYEBAB 4. Muntah darah dan batuk darah 1. Berkurangnya produksi meningkatnya DI SUSUN OLEH FERINA NURIASIH A01301751 atau penghancuran trombosit. MUHAMMADIYAH GOMBONG 2016 2. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit biasanya disebabkan normal % pada ITP. D. KOMPLIKASI 1. Syock hipovolemik 3. Trombosit dapat juga dihancurkan produksi 7. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 oleh yang berlebihan. oleh 6. Adanya darah dalam urin dan feses penghancuran atau penyimpanan SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN 5. Perdarahan Gastro Intestinal antibodi diinduksioleh obat. yang 2. Penurunan curah jantung 3. Purpura, ekimosis, dan petekie E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LaboratoriumDarah Anda. Kurma Bawang putih Kurma tinggi akan zat besi serta nutrisi Selain F. PENATALAKSANAAN Tranfusitrombosit baik untuk meningkatkan YANG DAPAT MENINGKATKAN TROMBOSIT Pepaya Pepaya adalah buah terbaik yang bisa meningkatkan jumlah keping darah dandapat trombosit meningkatkan Anda secara kadar alami. Delima zat besi yang bisa membantu dalam meningkatkan jumlah trombositdan tinggi akan vitamin dapat membantu Anda dalam melawan penyakit demam berdarah. Sayuran hijau Sayuran hijau mengandung vitamin K yang baik dikonsumsi ketika jumlah trombosit Anda menurun. Dan untuk meningkatkan jumlah keping darah untuk mengonsumsi Gandum utuh bawang menambah putih keping juga darah Daripada nasi, lebih baik konsumsi tubuh. gandum utuh sebagai asupan Buah bit karbohidrat Anda saat sakit. Sebab Buahinimampu menjaga jumlah keping gandum kaya akan serat, nutrisi, darah mineral, Anda agar tidak turun. vitamin yang baik untuk Hati meningkatkan jumlah keping darah Baik hati ayam maupun hati sapi, dalamtubuh. keduanya menambah bermanfaat jumlah untuk trombosit atau keping darah Anda. Buah berwarna merah ini kaya akan bermanfaat menambah trombosit secara alami. dalam MAKANAN yang sistem kekebalan tubuh secara alami, mampu G. 10 lainnya Kismis Buah-buahan kering seperti kismis mengandung 30% zat besi yang baik untuk meningkatkan kadar trombosit secara alami. Aprikot Aprikot adalah jenis buah yang tinggi akan zat besi di dalamnya. Mengonsumsi sebuah aprikot setiap hari dapat menambah jumlah keping darah Anda.