BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelompok usia remaja

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelompok usia remaja (10-25 tahun), yang berjumlah hampir separo dari penduduk
Indonesia, merupakan kelompok yang secara potensial berperan dalam meningkatkan
produktivitas nasional dan dalam penguasaan iptek di masa depan, tetapi juga potensial untuk
menggagalkan keberhasilan program KB yang sudah tercapai dengan relatif baik. Perhatian
terhadap masalah remaja berhubungan dengan fakta bahwa wanita dan pria muda merupakan
bagian penduduk yang berkembang. Data World Population Data Sheet tahun 2012
menunjukkan bahwa persentase penduduk usia <15 tahun di dunia adalah mencapai 26 persen
dari total jumlah penduduk dunia secara keseluruhan yang mencapai 7 milyar. Di negara
maju jumlah penduduk usia <15 tahun mencapai 16 persen, di negara sedang berkembang
mencapai 61 persen dan di negara terbelakang mencapai 41 persen (Population Reference
Bureau, 2012).
Di Indonesia, satu dari lima orang tergolong dalam kelompok umur 15-24 tahun.
Dalam jumlah absolut, mereka meningkat dari 35 juta pada tahun 1980 menjadi lebih dari
42,4 juta pada tahun 2007 (BPS, 1992; BPS, 2006). Diantara 42,4 juta penduduk umur 15-24,
19,4 juta wanita dan 14,9 juta pria belum pernah kawin. Penduduk Indonesia dapat
digolongkan sebagai “penduduk muda”, dengan proporsi penduduk umur muda yang besar.
Pada tahun 2007, 21,4 juta penduduk berumur 15-19, dan 21,1 juta berumur 20-24 (BPS,
BKKBN, Depkes, dan Macro International, 2008). Pada tahun 2010 jumlah remaja umur 1024 tahun sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia
sebanyak 237,6 juta jiwa (BPS, 2010). Besarnya jumlah penduduk kelompok ini akan sangat
mempengaruhi pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Ketika penduduk
kelompok umur ini memasuki umur reproduksi, akan mengakibatkan laju pertumbuhan
penduduk yang tinggi untuk beberapa tahun ke depan.
Melihat jumlahnya yang sangat besar tersebut, maka remaja sebagai generasi penerus
bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental, dan
spiritual.
Faktanya,
berbagai
penelitian
menunjukkan
bahwa
remaja
mempunyai
permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja.
Masalah yang menonjol di kalangan remaja yaitu permasalahan seputar TRIAD KRR
(Seksualitas, HIV dan AIDS, IMS serta Napza), rendahnya pengetahuan remaja tentang
1
Kesehatan Reproduksi Remaja dan median usia kawin pertama perempuan relatif masih
rendah yaitu 19,8 tahun (BPS, 2008). Remaja merupakan pihak yang banyak mengalami
persoalan terkait masalah kesehatan reproduksi dan seksual. Remaja bukan di luar masalah
tetapi mereka juga menghadapi masalah. Namun demikian, beberapa masalah yang dihadapi
ini banyak yang diabaikan.
Ada beberapa faktor penyebab yang saling terkait satu sama lain dari timbulnya
permasalahan seiring dengan masa transisi yang dialami remaja tersebut. Faktor-faktor itu
antara lain adalah usia pubertas rata-rata remaja yang lebih dini sementara usia nikah semakin
tinggi, peningkatan dorongan seks pada usia remaja, kurang memadainya pengetahuan remaja
tentang proses dan kesehatan reproduksi, menajamnya penambahan jumlah remaja yang
berperilaku seks aktif (sexually active), miskinnya pelayanan dan bimbingan tentang
kesehatan reproduksi untuk remaja, dan pengaruh negatif budaya pop serta industri turisme
yang menyebarkan nilai casual sex atau easy sex melalui berbagai media cetak dan
audiovisual (Khisbiyah, dkk.,1997).
Perubahan-perubahan sikap dan perilaku seksual remaja ini pada gilirannya
mengakibatkan peningkatan masalah-masalah seksual seperti meningkatnya perilaku seks
sebelum menikah yang biasanya disertai masalah-masalah unprotected sexuality, penyebaran
penyakit kelamin, dan kehamilan tidak dikehendaki atau tidak direncanakan (unwanted atau
unintended pregnancy). Masalah yang disebut terakhir ini akan menimbulkan masalahmasalah lain, yakni aborsi dan pernikahan usia muda. Semua masalah ini disebut oleh WHO
(1989:6) sebagai masalah kesehatan reproduksi remaja, yang telah mendapat perhatian
khusus dari berbagai organisasi internasional.
Besarnya jumlah penduduk usia remaja dan masalah yang berhubungan dengannya,
pemerintah Indonesia bersama negara-negara Asia dan Pacific menetapkan kesehatan remaja
sebagai isu penting (ESCAP, 2001:45). Namun begitu, pernyataan ini tidak diikuti oleh
tindakan yang relevan. Lebih jauh lagi, banyak program kesehatan reproduksi remaja yang
dikembangkan, namun tidak ada program yang berskala nasional.
Dalam Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, KRR adalah salah
satu program pemerintah di dalam sektor pembangunan sosial-budaya (Bappenas, 2005).
Tujuan program ini adalah dari program KRR di Indonesia adalah terwujudnya perubahan
perilaku remaja melalui penyediaan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi.
Pelayanan kesehatan reproduksi masih terbatas pada konseling dan testing mandiri (VCT2
voluntary counceling and testing) dan pengobatan penyakit menular seksual (STDs) dan
HIV/AIDS. Sementara pemerintah tidak dapat menyediakan alat/cara kontrasepsi untuk
remaja yang belum kawin karena menurut undang-undang hal ini illegal.
Dalam Grand Desain Program Pembinaan Ketahanan Remaja disebutkan bahwa
pembinaan remaja perlu dilakukan melalui dua sisi, disatu sisi pembinaan dilakukan untuk
membantu remaja menghadapi tantangan hidup masa sekarang. Disisi lain pembinaan perlu
juga dilakukan kepada remaja dalam mempersiapkan kehidupan di masa mendatang.
Pembinaan dua arah ini perlu dilakukan secara bersinergis. Remaja yang terganggu
kehidupannya saat ini, misalnya terganggu oleh risiko TRIAD KRR (Seksualitas, HIV dan
AIDS, NAPZA), maka kehidupan masa depannya pun akan terganggu baik dari segi
kesehatan ataupun psikologisnya. Disisi lain remaja juga perlu mendapat gambaran tentang
perencanaan dan persiapan masa depan, sehingga remaja berhati-hati dalam bersikap, tidak
akan melakukan hal-hal yang merugikan, dan menyambut masa depan dengan kesiapan
mental khususnya dalam kesiapan kehidupan berkeluarga. Dalam rangka pembinaan remaja
ini, pemerintah memberikan kerangka hukum dan acuan yang jelas baik berupa undangundang, peraturan-peraturan dan ketentuan (www.ceria.bkkbn.go.id, diakses pada Rabu, 16
Januari 2012).
Kebijakan dalam kesehatan reproduksi remaja diimplementasikan melalui pendekatan
klinik dan masyarakat. Pendekatan pertama dikembangkan oleh Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI), yang bekerja melalui pusat-pusat remaja. Pelayanan di pusat
remaja ini termasuk konseling, grup diskusi, pelayanan melalui telpon dan klinik, dan
pelatihan dalam hal pengembangan pribadi. Pendekatan ini lebih dipilih pemerintah,
mempercayakan pada sistem “referral”. Pendekatan kedua diimplementasikan antara lain
melalui pembentukan pusat-pusat informasi dan konseling di seluruh wilayah dengan
keterlibatan lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti juga halnya organisasi-organisasi
masyarakat.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2002-2003
menemukan bahwa remaja laki-laki dan perempuan belum kawin sudah melakukan aktivitas
seksual sebelum umur mereka mencapai 15 tahun. SKRRI juga menemukan bahwa satu
persen responden remaja perempuan belum kawin umur 15-19 tahun dilaporkan telah
melakukan hubungan seks, sementara pada responden remaja laki-laki belum kawin
3
mencapai lima persen. Laki-laki dengan tingkat pendidikan menengah atau lebih tinggi
mempunyai kecenderungan sangat tinggi untuk melakukan hubungan seks (BPS, 2003).
Sementara itu, prevalensi HIV/AIDS pada remaja di Indonesia telah meningkat
dengan cepat. Data terbaru tahun 2012 menunjukkan terdapat 86.762 kasus HIV dan 32.103
kasus AIDS di Indonesia, dari sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai bulan
Juni tahun 2012. Terdapat 12 provinsi di Indonesia dengan kasus HIV/AIDS terbesar, yaitu
DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Banten, Riau dan DIY (Depkes, 2012). Jumlah kasus
HIV/AIDS menurut provinsi secara lebih rinci disajikan pada tabel 1.1 dibawah ini.
Tabel 1.1 Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2012
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Provinsi
Papua
DKI Jakarta
Jawa Timur
Jawa Barat
Bali
Jawa Tengah
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Riau
Sumatera Barat
DI Yogyakarta
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Banten
Nusa Tenggara Timur
Kepulauan Riau
Jambi
Kalimantan Timur
Sumatera Selatan
Nusa Tenggara Barat
Maluku
Bangka Belitung
Lampung
Papua Barat
Bengkulu
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
NAD
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tengah
Gorontalo
HIV
AIDS
9447
21775
11994
6640
5871
4274
3476
2861
1291
658
1634
1733
5935
2549
1295
2751
356
1612
1133
510
887
293
683
1668
148
111
165
114
70
135
129
23
7572
6299
5257
4098
2939
2503
1699
1377
775
715
712
595
515
500
420
375
332
332
322
321
284
244
192
178
155
148
134
123
102
85
82
49
4
33.
Sulawesi Barat
Jumlah/Total
Sumber : Depkes, 2012
30
92251
39434
Remaja, adalah populasi terbesar yang terkena virus HIV yang menyebabkan hampir
50 persen, remaja di dunia meninggal dunia akibat penyakit AIDS ini. Remaja, selalu
menjadi sorotan dan target khalayak untuk kampanye penyakit paling mematikan dan
umumnya menyerang kekebalan tubuh manusia ini. Penularan bakteri, virus, fungi dan
parasit yang menyerang para remaja umumnya disebabkan oleh hubungan seksual pranikah
yang banyak dilakukan oleh para remaja di Indonesia. Akan tetapi, meskipun remaja
mengalami banyak penderitaan karena HIV/AIDS, banyak remaja masih belum memahami
wabah ini. Pemahaman remaja tentang HIV/AIDS masih sangat minim. Padahal, remaja
termasuk kelompok usia yang rentan dengan perilaku berisiko. Pengetahuan merupakan salah
satu indikator kinerja pengendalian HIV/AIDS. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAN) persentase perempuan dan laki-laki usia muda (15-24 tahun) yang mampu
menjawab dengan benar cara-cara pencegahan penularan HIV serta menolak pemahaman
yang salah mengenai penularan HIV baru 14,3 persen (KPAN, 2007). Persentase itu antara
lain mengindikasikan belum banyak remaja yang menguasai dengan komprehensif dan benar
tentang HIV/AIDS. Edukasi remaja menjadi penting karena remaja termasuk orang terinfeksi
HIV.
Hasil survei BKKBN terhadap remaja di Jawa Barat (2008) menunjukkan, 83,0
persen tidak tahu tentang konsep kesehatan reproduksi, 61,8 persen tidak tahu masa subur,
40,6 persen tidak tahu risiko hamil usia muda, 40,6 persen tidak tahu perilaku seksual
berisiko, dan 42,4 persen tidak tahu tentang risiko Infeksi Menular Seksual (IMS). Mereka
hanya tahu risiko seks bebas adalah HIV/AIDS adalah sebesar 58,7 persen. Rendahnya
pengetahuan masyarakat terutama remaja terkait penularan dan pencegahan virus Human
Immuno Deficiency Virus (HIV) Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), menjadikan
Indonesia sebagai negara tercepat dalam penularan HIV/AIDS di Asia.
Data dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menerangkan bahwa
48 persen dari keseluruhan populasi usia pengidap HIV/AIDS yaitu berada antara 15 sampai
dengan 29 tahun. Selain penggunaan narkoba dengan jarum suntik, hubungan seks bebas juga
cukup berperan aktif dalam penularan HIV/AIDS pada anak dan remaja. Usia remaja menjadi
usia yang rentan akan segala sesuatu. Di usia inilah manusia menjadi sangat ingin tahu akan
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Termasuk dalam hal mencoba obat terlarang dan seks
5
bebas yang berpeluang membuka jalan pada penularan HIV/AIDS. Dari jumlah kasus AIDS
yang didata KPAN, hampir separuhnya terjadi pada remaja. Seperti kelompok usia lainnya
yang berpotensi terkena AIDS dari kelompok remaja adalah pengguna narkoba jarum suntik,
pekerja seks komersial, dan pelaku seks sejenis (KPAN, 2011).
Dari kenyataan tersebut diatas maka perlu dilakukan kajian mengenai pengetahuan
dan sikap remaja tentang HIV/AIDS. Penelitian dilakukan pada remaja belum menikah usia
15-24 tahun berdasarkan data SKRRI 2007. Selanjutnya akan dilengkapi dengan data
publikasi Survei Indikator Kinerja RPJMN Program Kependudukan dan KB Nasional Tahun
2011. Dipilihnya remaja karena mereka termasuk dalam kelompok berisiko terkena penyakit
menular seksual, khususnya HIV/AIDS. Akan dikaji pengetahuan HIV/AIDS dan sikap
terhadap ODHA pada remaja menurut karakteristik latar belakang dan pengetahuan
HIV/AIDS dan sikap terhadap ODHA menurut pengalaman seksual (pernah atau tidak
melakukan hubungan seks pranikah). Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui sejauh
mana mereka mengetahui tentang cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, kesediaan
untuk merahasiakan status ODHA dan merawat ODHA, sumber informasi mengenai
HIV/AIDS dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja.
1.2 Permasalahan
Permasalahan penelitian merupakan permasalahan yang mempunyai nilai ilmiah yang
akan dicari jawabannya melalui prosedur-prosedur ilmiah terkait dengan disiplin ilmu yang
bersangkutan. Pentingnya permasalahan penelitian menurut Leedy (1980 dalam Yunus, 2010)
yang menyatakan no problem no research yang artinya bila permasalahan penelitian tidak
dapat dirumuskan maka penelitian tersebut juga tidak akan dapat dilakukan. Untuk dapat
merumuskan permasalahan penelitian ini dimulai dari pemahaman tentang kesehatan
reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi remaja yang dimaksud adalah pengetahuan tentang
dan sikap tentang HIV/AIDS pada remaja.
Dewasa ini, kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak
diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan
(International Conference on Population and Development, ICPD) di Kairo pada tahun 1994.
Salah satu hal penting yang disepakati dalam konferensi tersebut adalah perubahan
paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan
pengendalian jumlah penduduk dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus
pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi. Adapun yang
6
dimaksud dengan hak-hak reproduksi adalah hak-hak asasi manusia yang berhubungan
dengan proses kehidupan manusia dalam menjaga keturunan demi kelestarian hidup manusia.
Termasuk didalamnya adalah hak untuk berkeluarga, hak untuk selamat dalam menjalani
kehamilan dan persalinan, hak untuk terbebas dari HIV/AIDS, hak untuk menggunakan
kontrasepsi dan lain-lain (UNFPA, 1995).
Remaja dalam studi kesehatan reproduksi merupakan kelompok yang menarik karena
pertama, secara fisik, psikologi, sosial, dan seksologi mengalami perubahan sehingga
pengawasan secara komprehensif antara keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat diperlukan.
Kedua, hidup dalam globalisasi termasuk informasi dan komunikasi sehingga banyak
informasi yang terkait dengan kesehatan reproduksi dapat diakses dengan mudah, sementara
itu lembaga yang secara khusus menangani persoalan keluarga berencana kehilangan
eksistensinya.
Remaja umumnya sangat rentan terhadap infeksi HIV/AIDS karena sebagian besar
diantara mereka berperilaku yang kurang tepat dan belum mendapatkan informasi yang benar
tentang pilihan berperilaku (AIDCOM, 2004). Dengan begitu, remaja menjadi kelompok
yang rentan terkena HIV/AIDS, baik di Indonesia maupun di dunia. Meski pada awalnya
tidak diperhatikan, wabah HIV/AIDS global sudah secara meyakinkan percaya bahwa HIV
sangat berbahaya bagi remaja. Hal itu juga berarti bahwa pada pundak merekalah harapan
yang sangat besar untuk melawan penyakit yang sangat fatal ini. Remaja mendapat warisan
dari abad ini suatu penyakit yang mematikan yang bukan saja dapat membunuh mereka
sendiri tetapi juga teman mereka, saudara-saudara mereka, orangtua, guru, dan masyarakat.
Estimasi UNICEF, UNAIDS, dan WHO mengatakan bahwa sekitar 11,8 juta remaja umur
15-24 tahun hidup dengan HIV/AIDS. Setiap hari, hampir 6000 remaja umur 15-24 tahun
terinfeksi HIV. Namun, hanya sedikit diantara mereka yang mengetahui bahwa mereka sudah
terinfeksi (UNICEF, UNAIDS, dan WHO, 2002). Laporan terbaru UNAIDS mengatakan
bahwa tingkat infeksi HIV pada remaja di seluruh dunia meningkat sangat cepat dan 67
persen individu baru yang terinfeksi adalah remaja di negara berkembang yang berumur 1524 tahun. Peningkatan risiko juga pada remaja perempuan umur 15-24 tahun (UNAIDS,
2004).
Akan tetapi, meskipun remaja akan mengalami banyak penderitaan karena
HIV/AIDS, banyak remaja masih belum memahami wabah ini (Macdonald, G. et. Al. 1994;
Mboy, 2004; Mohammad, 2004 dalam Beni, 2004). Pemahaman yang kurang memadai ini
terjadi baik diantara remaja sendiri pada umumnya, di kalangan remaja dengan risiko tinggi
7
pada khususnya maupun masyarakat secara keseluruhan. Remaja seringkali sudah terinfeksi
HIV/AIDS tanpa mereka sadari. Konsekuensinya, wabah ini sangat cepat tersebar pada
kelompok ini dan menjadi kelompok yang memiliki risiko sangat besar. Sebab, dari
kelompok yang sudah terinfeksi tetapi tidak mengetahui status HIVnya, wabah tersebar
dengan sangat cepat kepada remaja lain, terutama karena mereka sudah aktif secara seksual.
Dengan kondisi semacam ini, kelompok remaja sangat rentan terpapar risiko HIV (Hitchcock
dan Fransen, 1999; UNAIDS dan WHO 1998; Rahmat, 2004 dalam Beni, 2004). Kerentanan
remaja terhadap HIV/AIDS ini juga cepat tersebar karena adanya perilaku dimana
meningkatnya laki-laki dewasa yang mungkin sudah terinfeksi HIV cenderung memilih
remaja perempuan sebagai partner dalam berhubungan seks.
Pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS menjadi fokus perhatian karena kelompok
remaja merupakan generasi yang akan meneruskan berbagai kebijakan kependudukan.
Pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dalam penelitian ini akan diukur dengan pengetahuan
tentang cara penularan HIV/AIDS dan pengetahuan tentang cara pencegahan HIV/AIDS.
Sikap remaja terhadap ODHA akan diukur dengan kesediaan remaja untuk merahasiakan
status ODHA dan merawat ODHA. Sumber informasi HIV/AIDS yang diakses remaja
meliputi radio, televisi dan surat kabar/majalah. Karakteristik latar belakang remaja yang
akan dianalisis meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, daerah tempat tinggal,
keterpaparan terhadap media massa, pengalaman berpacaran dan teman sebaya.
Atas
dasar
permasalahan
tersebut, operasional penelitian dituntun dengan
menggunakan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah pengetahuan
HIV/AIDS dan sikap terhadap ODHA pada remaja di Provinsi DIY menurut karakteristik
latar belakang; (2) Bagaimanakah pengetahuan tentang HIV/AIDS dan sikap terhadap ODHA
pada remaja di Provinsi DIY menurut perilaku seks pranikah; (3) Sumber informasi
HIV/AIDS apakah yang paling banyak diakses oleh remaja di Provinsi DIY; dan (4) Apakah
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja di Provinsi DIY.
1.3
Keaslian penelitian
Selama ini masalah kesehatan reproduksi lebih banyak didekati dari aspek klinik
sehingga berkembang anggapan bahwa masalah-masalah kesehatan reproduksi hanya dapat
dipelajari dan dipecahkan oleh ahli-ahli kedokteran. Ada banyak bukti bahwa inti persoalan
kesehatan reproduksi sebenarnya terletak pada konteks sosial, ekonomi, dan kebudayaan
yang sangat kompleks. Perhatian terhadap aspek sosial dan kebudayaan dari kesehatan
8
reproduksi merupakan cerminan dari pendapat bahwa berbagai macam masalah yang
dihadapi dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi pada dasarnya merupakan
masalah-masalah perubahan sosial dan kebudayaan.
Studi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi perlu lebih ditingkatkan, tidak saja
dari segi medis, tetapi juga dari tinjauan sosial-budaya maupun demografi. Salah satu aspek
yang perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut sehubungan dengan kesehatan reproduksi
adalah aspek yang berkaitan dengan perilaku seksual dan penyakit menular seksual (sexually
transmitted diseases) pada remaja. Beberapa studi literatur mengenai reproductive tract
infection (RTIs)/sexually transmitted disease (STDs) menunjukkan bahwa kajian-kajian yang
berkaitan dengan HIV/AIDS memang sudah cukup banyak. Namun demikian, dari jumlah
yang cukup banyak tersebut lebih banyak yang bersifat medis, kurang melihat aspek sosial
budaya maupun demografi responden. Selain itu, juga masih kurang menyoroti remaja yang
justru merupakan kelompok yang sangat rentan. Namun demikian, hal itu bisa dipahami
karena persoalan perilaku seksual dan STDs merupakan persoalan yang sangat sensitif, yang
tidak mudah digali.
Penelitian HIV/AIDS biasanya dilakukan pada perempuan dan laki-laki dewasa.
Selain itu, juga pada kelompok berisiko, seperti PSK (Pekerja Seks Komersial), waria dan
mereka yang walaupun tidak secara khusus menggantungkan kehidupannya pada pelayanan
jasa seksual, tetapi memiliki gaya hidup yang hampir sama dengan PSK dan waria
(pelanggan PSK, pecandu NAPZA dan para supir). Dalam kaitannya dengan penyebaran
HIV/AIDS, PSK merupakan representasi dari kelompok yang paling berisiko tinggi terpapar
HIV/AIDS. Pekerja seks tersebut tidak hanya didominasi oleh perempuan, tetapi juga
dilakukan oleh laki-laki yang disebut gigolo. Perempuan dan laki-laki dewasa serta kelompok
berisiko tersebut ditanyakan sumber informasi, gejala, cara pencegahan dan penularan
HIV/AIDS.
Penelitian HIV/AIDS yang ditanyakan kepada perempuan dan laki-laki dewasa
maupun kelompok berisiko kurang mencerminkan kondisi di Indonesia saat ini dimana
prevalensi HIV/AIDS pada remaja di Indonesia telah meningkat dengan cepat. Sementara itu,
meskipun remaja mengalami banyak penderitaan karena HIV/AIDS, banyak remaja masih
belum memahami wabah ini. Remaja umumnya sangat rentan terhadap infeksi HIV/AIDS
karena sebagian besar diantara mereka berperilaku yang kurang tepat, seperti telah
melakukan hubungan seks pranikah. Penelitian ini akan melihat pengetahuan dan sikap
9
remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah dan yang belum pernah melakukan
hubungan seks pranikah tentang HIV/AIDS.
Penelitian-penelitian HIV/AIDS pada umumnya menggunakan data primer sebagai
sumber informasi penelitian. Penelitian ini akan menggunakan data sekunder, yaitu data
SKRRI (Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) Tahun 2007. Beberapa penelitian
tentang pengetahuan remaja terhadap HIV/AIDS yang pernah dilakukan dengan
menggunakan data SKRRI 2007, antara lain sebagai berikut. Penelitian Widiarta (2011)
tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Penggunaan Kondom Sebagai
Pencegahan Penularan HIV-AIDS (Pada Remaja yang Sudah Melakukan Hubungan Seksual
Pranikah) dengan menggunakan data SKRRI Tahun 2007” bertujuan untuk mengetahui
hubungan serta pengaruh antara variabel sosio-demografi, informasi dan komunikasi terhadap
perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS dengan menggunakan kondom pada remaja yang
sudah melakukan hubungan seksual pranikah. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode survey dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional Study. Populasi dalam
penelitian ini mengacu pada populasi SKRRI tahun 2007 yaitu semua remaja Indonesia
berusia 15-24 tahun, yang sudah melakukan hubungan seksual pranikah dengan jumlah
sampel 801 remaja. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik chi
square (x²) dan regresi logistic biner (binary logistic regression), dengan probabilitas dan
kecenderungan dilihat dari Odds Ratio (OR), CI 95% dan (p≤0,05). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna dari variabel sosio demografi (tingkat
pendidikan dan daerah tempat tinggal) serta variabel informasi (umur pertamakali melakukan
hubungan seksual pranikah, dengan siapa pertamakali melakukan hubungan seksual pranikah
serta akses informasi tentang HIV/AIDS melalui media massa) terhadap perilaku pencegahan
penularan HIV/AIDS dengan penggunaan kondom pada remaja yang pernah melakukan
hubungan seksual pranikah. Remaja yang tidak sekolah, tinggal di pedesaan, umur pertama
kali melakukan hubungan seksualnya dibawah 20 tahun, yang melakukan hubungan seksual
pertamakalinya dengan pacar serta yang tidak terpapar media massa, memiliki
kecenderungan untuk tidak menggunakan kondom sebagai perilaku pencegahan penularan
HIV/AIDS.
Baharudin (2011) tentang “Pengaruh Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi
terhadap Permisivitas Seksual, Pemahaman HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Napza pada
Remaja di Indonesia” dengan menggunakan data SKRRI 2007 bertujuan untun menganalisis
bagaimana pengaruh berbagai informasi kesehatan reproduksi terhadap masalah seksualitas,
10
HIV/AIDS, dan NAPZA pada remaja usia 15-24 tahun yang belum menikah. Hasil penelitian
menunjukkan seperempat dari seluruh remaja termasuk dalam kategori permisif terhadap
perilaku seksual pranikah. Sementara itu, angka pemahaman penularan HIV yang rendah dan
perilaku menggunakan NAPZA, terjadi pada lebih dari sepertiganya. Jika dilihat dari akses
mereka terhadap informasi kesehatan reproduksi dari berbagai sumber, remaja yang memiliki
akses yang lebih baik terhadap sumber interpersonal, majalah/koran, radio dan PIK-KRR,
justru lebih permisif. Sebaliknya, sumber infomasi tersebut ditambah media televisi,
mempengaruhi semakin tingginya pemahaman penularan HIV/AIDS. Sedangkan terhadap
perilaku NAPZA, terjadi perbedaan pengaruh antara sumber interpersonal dengan media
massa. Sumber interpersonal berpengaruh positif dan terjadi pengaruh sebaliknya oleh media
majalah/Koran dan radio. Kesimpulannya bahwa sumber informasi memiliki pola pengaruh
yang relatif berbeda terhadap ketiga persoalan remaja tersebut. Terhadap masalah
permisivitas seksual, sumber informasi berpengaruh negatif, namun sebaliknya positif
terhadap tingkat pemahaman HIV/AIDS. Sementara itu, sumber interpersonal dan media
massa memiliki arah pengaruh yang berbeda pada perilaku NAPZA. Temuan ini
membuktikan
bahwa
persoalan
kesehatan
reproduksi
sangat
kompleks
sehingga
penanganannya pun mesti lebih menyeluruh.
Hery Eko Prasetyo (2011) meneliti tentang “Hubungan Perilaku Berisiko Kesehatan
Terhadap Kecenderungan Melakukan Hubungan Seksual Pranikah di Provinsi DIY (Analisis
Data SKRRI 2007)” bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku berisiko kesehatan
terhadap kecenderungan melakukan hubungan seksual pranikah dan mengetahui hubungan
latar belakang remaja terhadap kecenderungan melakukan hubungan seksual pranikah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada remaja pria terdapat hubungan yang bermakna antara
perilaku merokok, pernah minum beralkohol, umur pertama minum beralkohol, pernah
mencoba obat terlarang serta banyak sedikitnya alasan remaja pria melakukan hubungan seks
dengan kecenderungan remaja melakukan hubungan seks pranikah. Pada remaja wanita
terdapat hubungan yang bermakna antara banyak sedikitnya alasan remaja wanita melakukan
hubungan seks dengan kecenderungan remaja melakukan hubungan seks pranikah. Perilaku
berisiko kesehatan cenderung lebih banyak dilakukan oleh remaja pria. Usia di bawah 14
tahun merupakan usia paling dominan remaja pria mulai merokok. Sedangkan usia 15 tahun
sampai dengan 19 tahun merupakan usia dominan remaja pria mulai merokok teratur.
Perilaku berisiko kesehatan pada remaja pria memberikan peluang 5,82 kali cenderung lebih
tinggi melakukan hubungan seks pranikah. Remaja pria dan wanita yang mempunyai banyak
11
alasan untuk melakukan hubungan seksual memberikan kontribusi lebih tinggi dan remaja
pria yang memiliki lebih banyak alasan untuk melakukan hubungan seksual berpeluang 105,1
kali dan remaja wanita berpeluang 30,6 kali cenderung lebih tinggi melakukan hubungan
seksual pranikah.
Selanjutnya penelitian Iswanto (2011) tentang “Pengetahuan Perempuan Indonesia
tentang HIV/AIDS” dengan menggunakan data SDKI Tahun 2007 bertujuan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan perempuan di Indonesia tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengetahuan perempuan pernah kawin mengenai penularan dan
pencegahan HIV/AIDS perlu ditingkatkan, terutama pada kelompok umur muda (15-19
tahun). Secara umum, perempuan pernah kawin di Indonesia mengetahui cara-cara
pencegahan penularan HIV/AIDS, yaitu setia dengan pasangan dalam berhubungan seks dan
tidak melakukan hubungan seks dengan PSK serta menggunakan kondom ketika melakukan
hubungan seks. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan perempuan pernah
kawin di Indonesia tentang HIV/AIDS adalah pendidikan. Perempuan yang menamatkan
pendidikan hingga tingkat atas atau lebih berpeluang memiliki pengetahuan dua kali lebih
baik mengenai HIV/AIDS daripada yang tidak berpendidikan.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk.
1. Mengkaji karakteristik latar belakang remaja yang pernah melakukan seks pranikah dan
belum pernah melakukan seks pranikah seperti umur, jenis kelamin, tempat tinggal
(perkotaan dan perdesaan), tingkat pendidikan dan keterpaparan terhadap media massa di
Provinsi DIY.
2. Mengkaji pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS menurut karakteristik latar belakang di
Provinsi DIY.
3. Mengkaji sikap remaja terhadap ODHA menurut karakteristik latar belakang di Provinsi
DIY.
4. Mengetahui sumber informasi HIV/AIDS terbanyak yang diakses oleh remaja di Provinsi
DIY.
5. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja di
Provinsi DIY.
12
1.5 Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dari sisi teoritis dan praktis
empiris. Manfaat teoritis penelitian ini akan memperkaya teori-teori mengenai kesehatan
reproduksi remaja, utamanya yang terkait dengan HIV/AIDS dan permisivitas seksual.
Penelitian kesehatan reproduksi pada umumnya difokuskan pada perempuan pernah
menikah pada usia reproduksi yaitu 15-49 tahun, namun demikian penelitian ini mengkaji
kesehatan reproduksi dari pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS. Pengetahuan HIV/AIDS
pada remaja juga akan dibedakan menurut remaja yang belum pernah melakukan hubungan
seks pranikah dan yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah. Penelitian ini juga
mampu menjelaskan perbedaan tingkat pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dan sikap
remaja terhadap ODHA menurut karakteristik latar belakang.
Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan berasal dari orisinil tema penelitian dalam
mengangkat persoalan remaja. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan data SKRRI
2007 dan dilengkapi dengan data Survei Indikator Kinerja RPJMN Program Kependudukan
dan KB Nasional Tahun 2011. Metode analisis akan diungkap dari level individu yaitu
remaja.
Manfaat praktis hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pertimbangan untuk
melakukan revitalisasi program BKKBN yang terkait dengan remaja. Bina Kelompok
Remaja (BKR) perlu ditingkatkan efisiensi dalam mensosialisasikan dan penanaman nilainilai kesehatan reproduksi. Materi dan metode penyajian perlu dilakukan agar menjadikan
persoalan kesehatan reproduksi sebagai faktor yang menarik untuk didiskusikan.
13
Download