13 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Banyak bukti menunjukkan bahwa manusia di berbagai lokasi sudah melakukan adaptasi sebagai respon terhadap perubahan iklim yang telah terjadi atau sebagai antisipasi terhadap perubahan iklim yang diramalkan akan terjadi (IPCC 2007). Hal ini dapat dilihat pada banyaknya lembaga yang melakukan kegiatan adaptasi guna membantu masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga mereka dapat menyesuaikan diri terhadap dampak yang telah ataupun yang akan terjadi nanti. 4.1 Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia pada Semua Sektor Kelembagaan Hampir semua sektor kelembagaan di Indonesia memberikan perhatian khusus pada masalah perubahan iklim terutama sektor-sektor kelembagaan yang terkena dampak langsung dari perubahan iklim. Berdasarkan data kegiatan adaptasi dari 14 kelembagaan di Indonesia diperoleh hasil bahwa kegiatan adaptasi yang telah dilakukan mencakup semua sektor kelembagaan yang ditetapkan oleh UNDP (2007), yaitu pertanian dan ketahanan pangan, pembangunan wilayah pesisir, kesehatan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam, manajemen risiko bencana, serta sumber daya dan kualitas air. Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim termasuk pada sektor manajemen risiko bencana. Hal ini dikarenakan sektor tersebut memiliki cakupan yang luas di antaranya yaitu sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur. Gambar 6c menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan adaptasi yang direncanakan akan dilakukan oleh sektor kesehatan masyarakat pada tahun mendatang. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian penting bagi para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim karena bagaimanapun juga harus ada langkah antisipatif untuk mencegah terjadinya dampak perubahan iklim pada sektor tersebut. Gambar 6 Sektor kelembagaan adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan. 14 4.1.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan Kegiatan adaptasi pada sektor pertanian banyak dilakukan oleh Balitklimat (Kementan), sedangkan kegiatan yang berkaitan dengan sektor ketahanan pangan dilakukan oleh WFP. Selain lembaga tersebut, ada juga BMKG dan CCROM yang melakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian. Kegiatan adaptasi pada sektor pertanian yang rutin dilakukan oleh Balitklimat setiap tahunnya yaitu penyusunan kalender tanam interaktif dan dinamik. Kegiatan tersebut dilakukan untuk membantu para petani dalam menentukan waktu tanam yang tepat sehingga dapat menurunkan risiko terkena gagal panen. Kegiatan rutin lainnya yaitu Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang dilakukan oleh Balitklimat dan BMKG. Kegiatan ini termasuk kegiatan pembangunan berlanjut yang dilakukan rutin setiap tahun di berbagai tempat di Indonesia. Sementara kegiatan insidental yang dilakukan oleh Balitklimat yaitu kegiatan panen air dam parit dan aplikasi irigasi yang merupakan kegiatan aksi adaptasi, kegiatan ini dilakukan untuk mengembangkan jaringan irigasi dan menyusun model teknologi panen air hujan. Ada juga kegiatan pembuatan pola kerentanan pertanian di Pulau Jawa yang dilakukan oleh CCROM bekerjasama dengan ci:grasp. Selain itu, saat ini BMKG sedang merencanakan kegiatan berupa penempatan 1000 penakar hujan observasi di seluruh Indonesia serta merencanakan pembangunan pos agroklimat di seluruh Indonesia agar dapat mengantisipasi dampak perubahan iklim yang akan terjadi serta mengancam pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia. Masih banyak kegiatan adaptasi pada sektor pertanian lainnya baik yang telah, sedang, ataupun akan dilaksanakan (Lampiran 3). Sektor yang berkaitan erat dengan sektor pertanian yaitu sektor ketahanan pangan. Pada sektor ini, WFP rutin melaksanakan kegiatan food for asset (FFA) setiap tahunnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan kapasitas adaptif masyarakat rentan pangan terhadap dampak perubahan iklim. Kegiatan FFA terfokus di NTB dan NTT, karena kedua propinsi tersebut merupakan salah satu prioritas utama dalam hal penguatan ketahanan pangan. Gambar 7 Diagram persentase kegiatan adaptasi sektor pertanian. Gambar 7 menunjukkan bahwa hampir 80% kegiatan adaptasi pada sektor pertanian merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan, sementara yang sedang dan akan dilaksanakan masing-masing hanya 12% dan 9%. Hal ini dikarenakan beberapa lembaga terkait hanya memberikan laporan akhir tahun kegiatan yang dilakukan, sementara proposal data kegiatan adaptasi yang sedang dan akan dilaksanakan tidak diberikan dengan alasan sesuai ketentuan yang berlaku di lembaga tersebut, sehingga kegiatan adaptasi pada sektor pertanian dan ketahanan pangan lebih banyak termasuk kegiatan yang telah dilakukan. Jika melihat pada Gambar 6, kegiatan adaptasi pada sektor pertanian dan ketahanan pangan mendapatkan perhatian yang cukup konsisten dari para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim dibandingkan dengan sektor lainnya, dibuktikan dengan nilai persentase yang dimiliki oleh sektor tersebut pada waktu lalu, sekarang, dan akan datang adalah cukup konstan. Hal ini dikarenakan sektor tersebut memang sangat dipengaruhi oleh iklim. Kemarau panjang dan banjir akan menyebabkan gagal panen yang sangat berpengaruh terhadap sumber penghidupan petani. Oleh karena itu, sektor ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim agar kondisi pertanian dan ketahanan pangan Indonesia menjadi lebih baik serta kondisi taraf hidup masyarakat Indonesia yang mayoritas petani dapat meningkat. 15 4.1.2 Sektor Pembangunan Wilayah Pesisir Pada sektor pembangunan wilayah pesisir, kegiatan adaptasi banyak dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di antaranya yaitu kajian kerentanan di sepanjang jalur Pantura, rehabilitas mangrove, dan program pengembangan sistem informasi perubahan iklim bagi masyarakat di sekitar daerah pesisir. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan adaptasi yang bersifat insidental. Sementara kegiatan yang bersifat lanjutan yaitu program pengembangan desa pesisir tangguh yang dilaksanakan dari tahun 20112014. Selain KKP, ada juga lembaga lain yang melakukan kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan wilayah pesisir yaitu CCROM. Lembaga tersebut melaksanakan kegiatan adaptasi komunitas daerah pesisir di Tapak Tugurejo Semarang serta mengevaluasi tingkat emisi GRK dan kemungkinan dampak perubahan iklim dan juga kenaikan muka air laut di daerah rawa Kota Palembang. Kegiatan adaptasi yang rutin dilakukan pada sektor ini adalah pengelolaan kawasan pesisir melalui rehabilitasi pantai dengan penanaman mangrove dan pembuatan alat penahan ombak (APO) sepanjang 100 meter oleh Bintari. Kegiatan ini telah berjalan dengan baik dan sedang dalam proses pengembangan. Gambar 8 Diagram persentase kegiatan sektor pembangunan wilayah pesisir. Gambar 8 menunjukkan bahwa 63% kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan wilayah pesisir merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan, 21% merupakan kegiatan adaptasi yang sedang dilaksanakan dan 16% merupakan kegiatan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan Gambar 6, kegiatan yang telah dilakukan pada sektor ini hanya sedikit saja, namun karena kondisi muka air laut yang terus naik dan diperkirakan akan terjadi dampak perubahan iklim yang cukup besar pada sektor pesisir, oleh karena itu saat ini ada beberapa kelembagaan yang sedang melakukan kegiatan adaptasi sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim yang telah terjadi serta merencanakan kegiatan adaptasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim yang akan terjadi nanti. Salah satu program yang sedang dilaksanakan dan direncanakan akan berjalan pada tahun berikutnya yaitu program pengembangan desa pesisir tangguh yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim dapat bertahan hidup dalam kondisi yang baik, termasuk membantu masalah perekonomiannya. 4.1.3 Sektor Kesehatan Masyarakat Kegiatan adaptasi perubahan iklim pada sektor kesehatan banyak dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dengan kegiatannya yaitu protecting health from climate change di Jakarta serta penelitian pola penyakit akibat dampak perubahan iklim di beberapa provinsi di Indonesia. Selain itu ada kegiatan berupa penelitian dan ujicoba pengembangan pedoman model surveilans dampak perubahan iklim di Indonesia. Pada saat penelitian tahun 2011 kegiatan ini masih berupa kapasitas adaptif, sementara setelah dilakukan ujicoba di Lampung, Jawa Tengah, dan Bali pada tahun 2012 kegiatan ini merupakan aksi adaptasi yang dilakukan langsung oleh Menkes kepada masyarakat yang rentan akibat perubahan iklim. Semua kegiatan adaptasi pada sektor kesehatan merupakan kegiatan yang insidental, tidak ada kegiatan rutin yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Contoh kegiatan lain yang dilakukan oleh Menkes dalam mengatasi dampak perubahan iklim adalah model prediksi penyakit demam berdarah dengue/DBD berdasarkan kondisi iklim di Indonesia, kegiatan tersebut bertujuan untuk mendapatkan model matematik yang mampu memprediksi kejadian DD/DBD 16 dengan memanfaatkan informasi iklim, sehingga dapat digunakan sebagai peringatan dini terhadap kejadian penyakit DD/DBD. 4.1.4 Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam Pada sektor pengelolaan sumber daya alam, CCROM membuat model tata lahan di kelurahan Sukorejo dengan cara pembuatan model konservasi yang sudah terarah dalam bentuk pilot project untuk konservasi tanaman, masa tanam, dan terasering, serta model untuk mengurangi kekeringan, banjir, erosi, dan bencana lainnya. Selain itu juga CCROM membuat sumur tangkapan biopori dan penghijauan. Sementara itu, RCCCUI melakukan rencana restorasi pasca tambang timah provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang bertujuan untuk menyusun alternatif konsep pembangunan dan pengelolaan restorasi lahan pasca penambangan timah dan lahan kritis lainnya di seluruh wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Gambar 9 Diagram persentase kegiatan sektor kesehatan masyarakat. Gambar 9 menunjukkan bahwa 80% kegiatan adaptasi pada sektor kesehatan merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan dan sisanya merupakan kegiatan yang sedang dilakukan. Sementara data kegiatan adaptasi yang akan dilakukan oleh Kementerian kesehatan tidak disampaikan. Walaupun demikian, kegiatan adaptasi yang telah dan sedang dilakukan oleh Menkes guna mengatasi dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan telah berjalan dengan cukup baik dibuktikan dengan penyusunan strategi adaptasi dampak perubahan iklim di bidang kesehatan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dalam mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terhadap dampak perubahan iklim dalam bidang kesehatan masyarakat harus menghadapi beberapa realitas. Pertama, dampak perubahan iklim akan sangat bervariasi menurut wilayah. Kedua, mereka akan bervariasi menurut kelompok penduduk, tidak semua orang sama-sama rentan. Ketiga, efek ini sangat kompleks sehingga perlu perencanaan dan tindakan yang multidimensi (Frumkin et al. 2008). Gambar 10 Diagram persentase kegiatan sektor pengelolaan sumber daya alam. Gambar 10 menunjukkan bahwa 79% kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan wilayah pesisir merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan, 14% merupakan kegiatan adaptasi yang sedang dilaksanakan dan 7% merupakan kegiatan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan Gambar 6, kegiatan adaptasi pada sektor ini masih sedikit dibandingkan dengan sektor lainnya, sehingga dengan kondisi tersebut seharusnya dapat memperoleh perhatian dari para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim. 17 4.1.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana Pada sektor manajemen risiko bencana, kegiatan adaptasi dikaitkan dengan kondisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan/ edukasi, dan infrastruktur. Kegiatan adaptasi pada sektor ini banyak dilakukan oleh CCROM, salah satunya yaitu program Micro-finance di Kemijen Semarang yang bekerjasama dengan Iset, URDi, ACCCRN, dan MercyCorps. Program ini bertujuan untuk mengembangkan model perputaran dana yang diharapkan dapat meningkatkan kondisi sanitasi dan kehidupan kepala rumah tangga wanita yang miskin. Selain itu, BMKG melakukan kegiatan berupa edukasi mengenai perubahan iklim dalam bentuk komik, pocket book, iklan masyarakat, sampai acara TV yaitu “Teropong Si Bolang”. Kegiatan tersebut termasuk bentuk manajemen risiko bencana berupa pemberian edukasi ringan untuk kalangan petani, nelayan, serta anakanak. Ada juga kegiatan yang dilakukan oleh Bintari pada sektor ini yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis masyarakat melalui konsep wanatani yang berkelanjutan di Ungaran, Semarang, Indonesia. Kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana juga menarik perhatian para pelaku kepentingan perubahan iklim di tingkat Kementerian Republik Indonesia, di antaranya KKP melakukan pengembangan sistem informasi perubahan iklim di Kota Pekalongan yang bertujuan untuk memudahkan akses informasi tentang iklim kepada para nelayan dan masyarakat pesisir; KLH yang menjalankan program Clean Batik Initiative (CBI) dengan tujuan untuk menciptakan kesadaran akan penggunaan batik ramah lingkungan di Indonesia; Menhut yang mendirikan beberapa koperasi hasil hutan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang berbasis pada pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam; Menristek melakukan Technology Needs Assesment untuk mengidentifikasi dan menentukan teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; serta Menkeu melakukan pengembangan Clean Technology Fund (CTF). Gambar 11 Diagram persentase kegiatan sektor manajemen risiko bencana. Gambar 11 menunjukkan bahwa 77% kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan, 15% merupakan kegiatan adaptasi yang sedang dilaksanakan, dan 8% merupakan kegiatan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan Gambar 6, kegiatan adaptasi sektor manajemen risiko bencana merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan sektor tersebut memiliki cakupan yang luas di antaranya yaitu sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur. 4.1.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas Air Pada sektor ini kegiatan adaptasi perubahan iklim banyak dilakukan oleh Bintari, dengan kegiatannya yaitu scaling up wanatani berbasis masyarakat sebagai upaya mengurangi penurunan lahan dan dampak perubahan iklim di DAS Garang, Ungaran, Semarang, pemanenan air hujan untuk meningkatkan ketahanan kota, dan Early warning Sistem Banjir dengan menyediakan flood shelter. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Bintari bertempat di Semarang, Jawa Tengah. Selain Bintari, CCROM pun melakukan kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya dan kualitas air dengan kegiatannya berupa penguatan kelembagaan untuk mengintegrasikan manajemen SDA di 8 lokasi di Jawa Barat sejak September 2010 sampai September 2012. Sementara Menristek melakukan inovasi teknologi sistem membran pada 18 pompa air siap minum dan membuat PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) dengan tujuan untuk menjaga lingkungan hutan agar sumber daya air sebagai sumber daya listrik harus tetap terjaga. Berdasakan Gambar 6, kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya dan kualitas air tidak terlalu banyak dilakukan oleh para pemangku kegiatan adaptasi, padahal seharusnya sektor ini perlu mendapat perhatian khusus agar dampak yang terjadi tidak menyebar luas pada sektor yang lainnya. Perubahan pola curah hujan akan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Sebagai contoh, ketika masyarakat kekurangan sumber daya air bersih maka sektor kesehatan pun akan terganggu karena sumber daya air merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan ini, tidak hanya dibutuhkan untuk minum atau mandi saja, namun dibutuhkan juga untuk mencuci semua perlengkapan sehari-hari agar senantiasa hidup dalam kondisi yang bersih, serta dibutuhkan untuk irigasi lahan pertanian. Namun, kekhawatiran ini mendapat tanggapan cukup baik dari para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim, hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya kegiatan pada sektor sumber daya dan kualitas air yang sedang dan akan dilakukan oleh beberapa kelembagaan di Indonesia. Gambar 12 Diagram persentase kegiatan sektor sumber daya dan kualitas air. Gambar 12 menunjukkan bahwa 57% kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan, sementara yang sedang dan akan dilaksanakan masing-masing hanya 29% dan 14%. Walaupun secara keseluruhan kegiatan adaptasi perubahan iklim pada sektor ini tergolong sedikit, namun para pemangku kepentingan masih memberikan perhatiannya pada sektor ini, dibuktikan dengan adanya kegiatan adaptasi yang sedang dan akan dilakukan guna mengatasi dampak yang telah, sedang, atau akan terjadi pada sektor sumber daya dan kualitas air. 4.2 Analisis Kegiatan Adaptasi Berdasarkan Jenis Adaptasi Perubahan Iklim Kegiatan adaptasi yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh kelembagaan di Indonesia harus memiliki basis ilmiah agar dapat menjustifikasi bahwa kegiatan adaptasi tersebut memiliki dasar yang mencukupi sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim. Pengidentifikasian kegiatan berdasarkan jenis adaptasi dapat menjadi salah satu basis ilmiah. Menurut McCarthy et al. (2001), jenis adaptasi perubahan iklim dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu adaptasi terencana yang merupakan hasil dari keputusan kebijakan yang direncanakan berdasarkan kesadaran bahwa kondisi telah berubah atau akan berubah; adaptasi otonom merupakan adaptasi yang bukan merupakan respon secara sadar terhadap rangsangan iklim tetapi dipicu oleh perubahan ekologi di sistem alam ataupun sistem manusia; dan adaptasi antisipatif yang dilakukan sebelum dampak perubahan iklim terjadi. 4.2.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, sebagai contoh kekeringan dan banjir akan menyebabkan gagal panen produksi pertanian. Oleh karena itu perlu adanya kegiatan adaptasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi ataupun mengantisipasi dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan terjadi. 19 Gambar 13 Diagram persentase jenis adaptasi kegiatan sektor pertanian dan ketahanan pangan. Gambar 14 Diagram persentase jenis adaptasi kegiatan sektor pembangunan wilayah pesisir. Gambar 13 menunjukkan bahwa 64% kegiatan adaptasi merupakan kegiatan adaptasi terencana, hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor pertanian dan ketahanan pangan lebih banyak kegiatan yang direncanakan (diputuskan sesuai kebijakan) dibandingkan dengan kegiatan otonom ataupun antisipatif. Walaupun begitu, para pemangku kepentingan tetap memperhatikan dampak lain di luar pengaruh iklim dan mempersiapkan kegiatan sebelum terjadi dampak perubahan iklim, dibuktikan dengan ada kegiatan yang merupakan adaptasi otonom (18%) dan antisipatif (18%). Gambar 14 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi terencana dan otonom cukup tinggi yaitu masing-masing 42% dan 37%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan wilayah pesisir tidak hanya memperhatikan pengaruh iklim saja namun juga cukup memperhatikan pengaruh dari luar iklim. Sementara kegiatan antisipatif pada sektor ini cukup sedikit yaitu hanya 21%. Angka tersebut diharapkan dapat menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan agar melaksanakan kegiatan yang bersifat antisipatif sehingga dapat mengantisipasi dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan terjadi. 4.2.2 Sektor Pembangunan Wilayah Pesisir Sama halnya dengan sektor pertanian dan ketahanan pangan, sektor pembangunan wilayah pesisir pun sangat dipengaruhi oleh iklim. Pemangku kepentingan pada sektor ini sudah melakukan beberapa kegiatan yang bersifat terencana, otonom, dan antisipatif. Contoh kegiatan adaptasi terencana pada sektor ini adalah program pengembangan desa pesisir tangguh yang dilakukan oleh KKP mulai tahun 2011 sampai 2014. Kegiatan ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan kesejahteraan, pelayanan sarana prasarana sosial ekonomi, kualitas lingkungan hidup, kapasitas kelembagaan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim. 4.2.3 Sektor Kesehatan Masyarakat Berbeda dengan kedua sektor sebelumnya, kegiatan adaptasi yang bersifat antisipatif pada sektor kesehatan lebih diperhatikan dibandingkan dengan kegiatan adaptasi otonom. Contohnya kegiatannya adalah pelatihan strategi adaptasi bidang kesehatan terhadap perubahan iklim yang bekerjasama dengan Pemda setempat. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan di tingkat pusat dan daerah dalam pelaksanaan adaptasi bidang kesehatan terhadap perubahan iklim, sehingga diharapkan saat dampak perubahan iklim terjadi pada sektor ini akan banyak tenaga kesehatan yang mampu menanganinya dengan baik. Sementara satu-satunya kegiatan otonom yang telah dilakukan oleh Menkes dalam menghadapi dampak perubahan iklim adalah 20 peningkatan kemitraan para pelaku adaptasi perubahan iklim yang bertujuan untuk mengembangkan jejaring internal Menkes, terkumpulnya data/ informasi, serta upaya dan strategi adaptasi perubahan iklim di tiap sektor. Gambar Gambar 15 Diagram persentase jenis adaptasi kegiatan sektor kesehatan masyarakat. Gambar 15 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi terencana dan antisipatif cukup tinggi yaitu masing-masing 60% dan 33%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor kesehatan masyarakat cukup antisipatif dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang akan terjadi. Sementara kegiatan otonom pada sektor ini hanya sedikit yaitu 7%. 4.2.4 Sektor Sumber Daya Alam Walaupun kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya alam cukup sedikit namun kegiatan yang dilakukan mencakup seluruh jenis adaptasi perubahan iklim yang ditetapkan oleh McCarthy, yaitu antisipatif, otonom, dan terencana. Kegiatan adaptasi yang dilakukan oleh para pemngku kepentingan pada sektor sumber daya alam lebih banyak yang fokus pada subsektor sumber daya hutan, seperti pengembangan sistem sumber daya hutan kabupaten, forest and climate partnership yang dilakukan di Kalimantan dan Sumatera. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kebakaran hutan yang dapat menimbulkan bencana hilangnya ribuan hektar hutan yang dinilai ekonomis tinggi sekaligus berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya (BSN 2009). 16 Diagram persentase jenis adaptasi kegiatan sektor sumber daya alam. Gambar 16 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi terencana dan otonom memiliki porsi yang sama yaitu 29%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya alam tidak hanya memperhatikan pengaruh iklim saja namun juga cukup memperhatikan pengaruh dari luar iklim. Sementara kegiatan antisipatif pada sektor ini cukup banyak yaitu 42%. Besarnya nilai persentase tersebut menunjukkan bahwa para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim pada sektor sumber daya alam cukup memberikan perhatian pada perubahan iklim dibuktikan dengan banyaknya kegiatan antisipatif yang dilakukan pada sektor ini. 4.2.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana Banyaknya kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana terbagi rata pada setiap jenis adaptasi perubahan iklim yang ditetapkan McCarthy (2001). Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan persoalan kelangsungan hidup, sehingga diperlukan langkah-langkah nyata terkait manajemen risiko bencana, dengan mempertimbangkan kerentanan masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim sekarang dan masa mendatang. Masyarakat miskin di negara berkembang membutuhkan perhatian khusus, karena mereka akan menanggung beban yang berat terkait dampak perubahan iklim. 21 Gambar 17 Diagram persentase jenis adaptasi kegiatan sektor manajemen risiko bencana. Gambar 17 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana baik yang bersifat antisipatif, terencana maupun otonom memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu masingmasing 44%, 33%, dan 23%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana tidak hanya memperhatikan pengaruh iklim saja namun juga cukup memperhatikan pengaruh dari luar iklim. 4.2.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas Air Berbeda dengan sektor-sektor sebelumnya, kegiatan adaptasi yang paling banyak dilakukan pada sektor sumber daya dan kualitas air adalah adaptasi otonom. Contoh kegiatannya adalah program penguatan kelembagaan untuk mengintegrasikan manajemen SDA yang dilakukan oleh CCROM bekerjasama dengan ADB Citarum. Kegiatan ini bukanlah kegiatan yang dilakukan khusus untuk mengantisipasi/ mengatasi dampak perubahan iklim, namun kegiatan ini ditujukan agar kelembagaan terkait dapat mengarusutamakan permasalahan perubahan iklim ke dalam perencanaan dan manajemen sumber daya air di DAS Citarum. Gambar 18 Diagram persentase jenis adaptasi kegiatan sektor sumber daya dan kualitas air. Gambar 18 menunjukkan kegiatan adaptasi yang paling banyak dilakukan pada sektor sumber daya dan kualitas air merupakan kegiatan yang bersifat otonom yaitu 57%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor sumber daya dan kualitas air sangat memperhatikan faktor pengaruh dari luar iklim namun tetap mengarusutamakan pengaruh iklim pada kegiatan yang dilakukan. Pada sektor ini, para pemangku kepentingan lebih fokus pada langkah antisipatif dibandingkan dengan langkah perencanaan. Yaitu memiliki porsi masingmasing 36% untuk adaptasi antisipatif dan 7% untuk adaptasi terencana. Angka tersebut diharapkan dapat menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan agar melaksanakan kegiatan yang bersifat terencana dan antisipatif pada sektor sumber daya dan kualitas air sehingga dapat mengatasi dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan terjadi. 22 Gambar 19 Jenis adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan. Secara keseluruhan, sebagian besar kegiatan adaptasi yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh kelembagaan di Indonesia termasuk kegiatan adaptasi terencana (38%) dan adaptasi antisipatif (36%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelembagaan di Indonesia berupaya sepenuhnya untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan yang diprediksi akan terjadi dengan persiapan yang baik dan penuh prediksi. Tentunya semua persiapan tersebut dilakukan dengan harapan tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sedangkan jenis adaptasi otonom sebesar 26%, menunjukkan bahwa rangsangan faktor luar seperti ekologi, pasar, atau kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim cukup mendapat perhatian dari para pemangku perubahan iklim sehingga terbentuk kegiatan adaptasi untuk permasalahan yang ada. 4.3 Analisis Kegiatan Adaptasi Berdasarkan Dimensi Adaptasi Perubahan Iklim Selain jenis adaptasi, dimensi adaptasi dapat dijadikan sebagai basis ilmiah dalam penentuan kegiatan adaptasi perubahan iklim. Dalam bahasan kali ini, pembagian dimensi adaptasi disesuaikan dengan pendapat dari Spearman dan McGray (2011) yaitu, kapasitas adaptif, aksi adaptasi, dan pembangunan berlanjut. Kapasitas adaptif merupakan dimensi yang berupaya mendorong pemikiran, perencanaan, dan pelaksanaan kerja ke depan yang akan menghindarkan bencana dan mengambil manfaat. Aksi adaptasi merupakan kapasitas adaptif yang diterapkan dalam bentuk keputusan dan tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim spesifik. Sedangkan dimensi pembangunan berlanjut yaitu aksi adaptasi yang dilakukan setelah berhasil mengurangi dampak perubahan iklim dan masih tetap melakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim. 4.3.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan Pada sektor pertanian, kegiatan adaptasi yang paling banyak dilakukan adalah kegiatan yang berdimensi kapasitas adaptif, contohnya adalah penyusunan kalender tanam yang dilakukan oleh Balitklimat dan food for asset di NTT dan NTB yang dilakukan oleh WFP. NTT dan NTB merupakan wilayah yang sudah sangat rentan terhadap berubahnya kondisi iklim di Indonesia. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di NTT, misalnya, sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi tersebut (UNDP 2007). Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian akan menimbulkan dampak yang multidimensi karena melibatkan faktor biotik dan abiotik. Air, energi, sistem lahan, lingkungan tanah, hutan dan keanekaragaman hayati, ketersediaan tenaga kerja, infrastruktur, operasi pasar, pengetahuan, tradisi, masalah kebijakan dan sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang menentukan operasi sistem pertanian, yang mana faktor tersebut banyak dipengaruhi oleh parameter iklim (Pokhrel dan Pandey 2011). Dengan kata lain, perubahan iklim dapat mempengaruhi berbagai komponen dalam sistem pertanian secara spesifik sehingga dampaknya tidak hanya berupa dampak biofisik saja melainkan juga dalam faktor sosial ekonomi. 23 sekarang dan akan dilanjutkan sampai tahun 2013. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kapasitas masyarakat pesisir dan konservasi hutan mangrove. Gambar 20 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor pertanian dan ketahanan pangan. Gambar 20 menunjukkan bahwa 64% kegiatan adaptasi termasuk kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor pertanian dan ketahanan pangan lebih banyak berupa penyusunan data, pemetaan, ataupun pembuatan model. Namun para pemangku kepentingan tetap melakukan kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi, walaupun hanya sedikit (24% yang berdimensi aksi adaptasi dan 12% yang berdimensi pembangunan berlanjut). Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian yang multidimensi sudah cukup teratasi dengan kegiatan adaptasi perubahan iklim baik yang berdimensi kapasitas adaptif, aksi adaptasi, maupun pembangunan berlanjut. 4.3.2 Sektor Pembangunan Wilayah Pesisir Pada sektor pembangunan wilayah pesisir, proporsi dimensi kegiatan adaptasi yang dilakukan tidak jauh berbeda. Bahkan antara dimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut memiliki nilai yang sama yaitu 23%. Contoh kegiatan adaptasi dimensi pembangunan berlanjut yang telah dilakukan pada sektor ini adalah pengelolaan kawasan pesisir melalui rehabilitasi pantai dengan penanaman mangrove dan pembuatan alat penahan ombak (APO) yang dilakukan oleh Bintari. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 2009 sampai Gambar 21 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor pembangunan wilayah pesisir. Gambar 21 menunjukkan bahwa 54% kegiatan adaptasi merupakan kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, sementara kegiatan berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut masing-masing sebesar 23%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan wilayah pesisir sudah teratasi dengan baik pada semua jenis dimensi kegiatan yang ada. Perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan, membuat banyak para pengusaha ikan harus mempertimbangkan perubahan iklim yang akan terjadi karena hal tersebut akan merugikan mereka. Jika dampak dari perubahan iklim pada sektornya sangat tinggi dan buruk, mereka harus mencari usaha lain sebagai alternatif untuk memperoleh pendapatan mereka. Harapannya perubahan tersebut dapat menjadi perhatian para pemangku kepentingan perubahan iklim untuk melaksanakan pendekatan ekosistem pada sektor perikanan secara holistik, terpadu, dan partisipatif disertai dengan pendekatan untuk mendapatkan perikanan yang berkelanjutan (FAO (2006) dalam Daw et al. 2009). 24 4.3.3 Sektor Kesehatan Masyarakat Lain halnya dengan sektor kesehatan masyarakat, 93% kegiatan adaptasi yang dilakukan merupakan kegiatan berdimensi kapasitas adaptif dan sisanya merupakan kegiatan aksi adaptasi (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan pada sektor ini lebih menitikberatkan pada dimensi kapasitas adaptif, padahal dalam menghadapi perubahan iklim juga diperlukan aksi adaptasi yang nyata dan berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim yang terjadi dapat diatasi lebih baik lagi. mengidentifikasikan kesehatan dari populasi yang paling rentan, serta fokus pada menghilangkan kesenjangan kesehatan (Frumkin et al. 2008). 4.3.4 Sektor Sumber Daya Alam Sama halnya dengan sektor kesehatan masyarakat, kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya alam pun belum ada kegiatan berupa pembangunan berlanjut. Kegiatan adaptasi yang telah, sedang, dan direncanakan akan dilakukan masih berupa kapasitas adaptasi dan aksi adaptasi. Contoh kegiatan yang berupa aksi adaptasi adalah model tata lahan pada kelurahan Sukorejo yang dilakukan oleh CCROM. Pada kegiatan ini dilakukan pemodelan konservasi yang sudah terarah dalam bentuk pilot project untuk konservasi tanaman, masa tanam, dan terasering, membentuk sumur tangkapan biopori dan penghijauan. Gambar 22 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor kesehatan masyarakat. Kesenjangan kesehatan diakui terjadi dalam kesehatan masyarakat dan praktek klinis, padahal seharusnya perbedaan tersebut dihilangkan karena pelayanan kesehatan merupakan hal yang harus diberikan kepada setiap orang tanpa membedakan jenis ras ataupun banyaknya materi yang dimiliki. Salah satu kontributor dalam kesenjangan kesehatan adalah risiko lingkungan yang tidak proporsional mengancam populasi tertentu, terutama orang miskin dan kelompok minoritas. Pada skala global, orang di negara miskin akan menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan orang kaya karena kehidupan mereka memang jauh berbeda. Untuk itu perlu dilakukan aksi dalam bidang kesehatan masyarakat terutama kepada masyarakat yang rentan akibat perubahan iklim. Dalam pelaksanaan aksi tersebut harus memperhatikan kerentanan dan Gambar 23 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor sumber daya alam. Gambar 23 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya alam memiliki proposi cukup jauh berbeda untuk dimensi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi, yaitu masing-masing adalah 71% dan 29%. Sementara tidak ada kegiatan adaptasi yang berdimensi pembangunan berlanjut pada sektor ini. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian penting bagi para pemangku kepentingan pada sektor ini bahwa dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang telah dan diperkirakan akan terjadi perlu dilakukan kegiatan aksi adaptasi yang berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim dapat teratasi lebih baik lagi. 25 4.3.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana Sektor manajemen risiko bencana merupakan sektor yang paling banyak mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan perubahan iklim. Pada sektor ini, seluruh kegiatan adaptasi mencakup ketiga dimensi adaptasi perubahan iklim menurut Spearman dan McGray, walaupun kegiatan adaptasi berupa pembangunan berlanjut yang telah dilakukan hanya ada satu, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis masyarakat melalui konsep wanatani yang berkelanjutan di Ungaran, Semarang. Gambar 24 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor manajemen risiko bencana. Gambar 24 menunjukkan bahwa 83% kegiatan adaptasi merupakan kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, hal ini menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor manajemen risiko bencana masih banyak yang berupa pelatihan strategi, penyusunan data, pemetaan, ataupun pembuatan model. Namun para pemangku kepentingan tetap melakukan kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan berlanjut dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi, walaupun hanya sedikit (11% yang berdimensi aksi adaptasi dan 6% yang berdimensi pembangunan berlanjut). Salah satu kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi pada sektor ini adalah green building and green infrastruktur yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Kegiatan tersebut penting dilaksanakan dalam mewujudkan tatanan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (suistanable development), tanpa merusak atau mengganggu sumber daya alam (Ginting 2008). 4.3.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas Air Berbeda dengan sektor lainnya, sektor sumber daya dan kualitas air memiliki kegiatan adaptasi berupa aksi yang lebih banyak dibandingkan dengan kapasitas adaptif, hal ini dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25 Diagram persentase dimensi adaptasi kegiatan sektor sumber daya dan kualitas air. Gambar 25 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya dan kualitas air memiliki proposi yang hampir sama untuk dimensi kapasitas adaptif dan aksi adaptasi, yaitu masing-masing adalah 60% dan 40%. Hal ini menjelaskan bahwa para pemangku kepentingan pada sektor ini lebih banyak melakukan kegiatan berupa aksi adaptasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang telah dan diperkirakan akan terjadi, walaupun aksi tersebut belum ditindaklanjuti menjadi kegiatan pembangunan berlanjut. Namun harapannya hal ini dapat menjadi perhatian penting bagi para pemangku kepentingan pada sektor ini bahwa dalam mengatasi dampak perubahan iklim yang telah dan diperkirakan akan terjadi perlu dilakukan kegiatan aksi adaptasi yang berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim dapat teratasi lebih baik lagi. 26 Gambar 26 Dimensi adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan. Sebagian besar kegiatan adaptasi yang dilakukan oleh 14 kelembagaan di Indonesia memiliki dimensi adaptasi berupa kapasitas adaptif (72%), sementara kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi masih tergolong sedikit (<25%), hal ini dikarenakan terbatasnya teknologi dan sarana prasarana yang dapat digunakan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim. Walaupun kegiatan berdimensi pembangunan berlanjut hanya sedikit tetapi kegiatan pada dimensi ini mengalami peningkatan jumlah kegiatan dari tahun yang lalu, sekarang, dan akan datang. Sebelumnya kegiatan adaptasi pembangunan berlanjut hanya ada 4% dari keseluruhan kegiatan adaptasi waktu itu, namun para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim merasa kegiatan pembangunan berlanjut perlu untuk dilakukan dalam mengatasi dampak perubahan iklim, sehingga saat ini kegiatan adaptasi pembangunan berlanjut meningkat menjadi 15% dan beberapa kelembagaan merencanakan kegiatan berupa pembangunan berlanjut masa yang akan datang mencapai 21%. Gambar 26 menunjukkan bahwa kegiatan para pemangku adaptasi perubahan iklim ini masih berupa pemikiran ataupun hanya menghasilkan data, belum banyak kegiatan aksi nyata dalam menghadapi/ mengatasi dampak perubahan iklim yang terjadi. Nyatanya, masyarakat lebih membutuhkan kegiatan berupa tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim yang spesifik, karena tindakan adaptasi secara langsung dapat mereduksi atau mengelola dampak biofisik dari perubahan iklim serta faktor-faktor non-iklim yang berkontribusi pada kerentanan akibat perubahan iklim. 4.4 Analisis Kegiatan Adaptasi Berdasarkan Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Penentuan kegiatan adaptasi sebagai basis ilmiah dapat juga didasarkan pada tipe teknologi yang digunakan. Dalam hal ini, pembagian tipe teknologi adaptasi disesuaikan dengan pendapat dari Suroso dkk (2010) yaitu teknologi adaptasi lunak (soft adaptation) dan adaptasi keras (hard adaptation). Sebenarnya penentuan tipe teknologi dapat dilihat berdasarkan tipe dimensi adaptasi suatu kegiatan. Jika suatu kegiatan memiliki dimensi kapasitas adaptasi maka tipe teknologi kegiatan tersebut dapat digolongkan ke dalam teknologi adaptasi lunak, yaitu teknologi untuk pengembangan kebijakan, perencanaan, diseminasi, penilaian, basis data dan informasi dalam konteks adaptasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa sektor kelembagaan di Indonesia, 76% teknologi adaptasi yang telah dilakukan masih berupa adaptasi lunak. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan yang telah dilakukan masih berupa pemikiran-pemikiran, pembuatan peta/ pola/ model, atau penyusunan data, belum berupa tindakan secara nyata (aksi). 27 Gambar 27 Teknologi adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan. Sementara sisanya kegiatan yang dilakukan berupa langkah konkret/ aksi yang dilakukan atau disebut dengan teknologi adaptasi keras, mencakup tindakan adaptasi terkait pembangunan konstruksi dalam konteks adaptasi, antara lain, dalam bentuk pembangunan bendungan pencegah banjir maupun penyimpan air. Contoh kegiatan ini adalah panen air dam parit dan aplikasi irigasi yang dilakukan oleh Balitklimat. Sebelumnya teknologi adaptasi keras hanya ada 24%, namun para pemangku kegiatan iklim terus mengupayakan kegiatan menggunakan teknologi keras karena disinyalir dampak perubahan iklim teratasi dengan baik menggunakan teknologi keras, itulah sebabnya saat ini kegiatan adaptasi dengan teknologi keras mencapai 29% dan direncanakan untuk masa yang akan datang kegiatan adaptasi dengan bantuan teknologi keras mencapai 44%. 4.5 Analisis Kegiatan Adaptasi Berdasarkan Pendekatan Adaptasi Perubahan Iklim Adaptasi perubahan iklim erat kaitannya dengan pengelolaan risiko bencana, bahkan menurut IPCC (2012) antara kedua hal tersebut ada pendekatan yang simultan dan saling melengkapi dalam mengelola risiko iklim ekstrem dan bencana (akibat) iklim ekstrem, yaitu: (1) menurunkan kerentanan, (2) sebagai persiapan, respon, atau pemulihan, (3) mentransfer dan mendistribusi risiko, (4) mengurangi paparan, (5) meningkatkan ketahanan terhadap risiko iklim, dan (6) mendorong transformasi secara bertahap maupun mendasar. Berdasarkan identifikasi data kegiatan adaptasi yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh beberapa kelembagaan di Indonesia (Lampiran 3), diperoleh hasil bahwa antara kegiatan adaptasi dan pengelolaan risiko bencana memang ada pendekatan yang saling overlap. Sebagian besar kegiatan saling overlap dalam hal persiapan, respon, atau pemulihan dengan transformasi untuk mereduksi risiko iklim ekstrem. Ada juga kegiatan yang saling overlap ketika kegiatan tersebut dapat menurunkan kerentanan, maka akan mengurangi paparan, serta meningkatkan ketahanan terhadap risiko iklim. Sementara pendekatan melalui sistem transformasi secara bertahap dan mendasar sangat diperlukan untuk seluruh kegiatan adaptasi perubahan iklim serta pengelolaan risiko bencana karena hal tersebut merupakan faktor yang esensial untuk mereduksi risiko iklim ekstrem. 4.6 Analisis Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim Berdasarkan Sebaran Lokasi Indonesia merupakan wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim, dapat dilihat pada Gambar 28 bahwa 75% wilayah Indonesia rawan dengan bencana karena iklim. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya upaya untuk mengatasi hal tersebut agar masyarakat yang rawan akibat bencana iklim dapat bertahan menghadapi dampak perubahan iklim yang akan terjadi. 28 Gambar 28 Peta kondisi wilayah Indonesia berdasarkan tingkat kerawanan bencana iklim. Sebagai negara berkembang yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan sektor pertanian, Indonesia amat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Karena itu, ketika suhu bumi kian memanas, curah hujan dan iklim berubah secara ekstrem, Indonesia termasuk negara yang diperkirakan akan mengalami banyak kerugian akibat perubahan iklim. Namun demikian, masih sulit diperkirakan seberapa besar dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim dalam rangka mengatasi ataupun mengantisipasi dampak perubahan iklim yang diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang (Hadad 2010). Gambar 28 menunjukkan bahwa hampir semua pulau di Indonesia memiliki tingkat kerawanan terhadap bencana iklim yang sangat tinggi. Pulau Jawa merupakan pulau dengan sebaran wilayah yang terkena bencana iklim paling rawan, sementara pulau Kalimantan tidak begitu terkena bencana iklim yang parah, dapat dilihat pada Gambar 28 provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah tidak terkena dampak akibat bencana iklim. Gambar 29 Peta sebaran lokasi kegiatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. 29 Gambar 29 merupakan sebaran lokasi kegiatan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh 14 kelembagaan di Indonesia. Kegiatan adaptasi perubahan iklim paling banyak dilakukan di Pulau Jawa, hal ini dikarenakan banyak kelembagaan terletak di Pulau Jawa sehingga para pemangku kegiatan lebih mudah melakukan kegiatan adaptasi di daerah-daerah terdekat, yaitu mencakup kegiatan seminar, workshop, dan kegiatan adaptasi berdimensi kapasitas adaptif lainnya. Di samping itu, Pulau Jawa memiliki banyak lahan pertanian dan perikanan yang mana lahan tersebut sangat rawan terkena dampak perubahan iklim, sehingga banyak kelembagaan yang lebih fokus untuk melakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim di Pulau Jawa. Faktor lain yang menjadi hambatan bagi kelembagaan/ para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim adalah terbatasnya dana untuk menciptakan teknologi yang tepat guna mengurangi dampak perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi. Hal tersebut menjadi faktor pembatas para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim untuk melakukan kegiatan adaptasi secara aksi langsung. Berdasarkan Gambar 28, selain Pulau Jawa, ada juga Pulau Sumatera, Sulawesi, NTB, NTT, dan Bali merupakan wilayah dengan tingkat kerawanan terhadap bencana iklim cukup tinggi. Perhatian para pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim pada wilayah tersebut juga cukup tinggi, dibuktikan dengan dilakukannya beberapa kegiatan adaptasi perubahan iklim di pulaupulau tersebut. Gambar 29 menunjukkan bahwa kegiatan adaptasi perubahan iklim telah tersebar di seluruh Indonesia, walaupun kegiatan yang telah atau sedang dilakukan di Indonesia bagian Timur masih sangat minim. Dengan kondisi seperti ini, harapannya kelembagaan yang tersebar di berbagai pelosok daerah di Indonesia dapat melakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim di daerah lainnya, seperti Pulau Kalimantan yang mana sebagian besar wilayahnya adalah hutan, sehingga perlu perhatian khusus dari kelembagaan yang bergerak dalam perubahan iklim agar hutan di Indonesia tidak habis terbakar karena suhu yang terlalu tinggi. Begitu pula untuk Pulau Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Papua. 4.7 Sistem Informasi Basis data Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim Data yang telah disusun dan diintegrasikan berdasarkan indikator dan kriteria yang ditentukan kemudian ditampilkan ke dalam display berbasis web. Adapun rancangan isi dari website yang akan dijadikan sumber informasi bagi seluruh pemangku kegiatan adaptasi perubahan iklim adalah sebagai berikut: Halaman muka (Home) yang berisi latar belakang (Gambar 30). Data kegiatan yang disusun berdasarkan sektor kelembagaan, jenis adaptasi dan dimensi adaptasi (Lampiran 2). Data kegiatan yang dilakukan oleh setiap Kementerian/ Perguruan Tinggi/ LSM (Lampiran 2) Peta lokasi kegiatan yang telah dipadukan dengan software Google Fussion Table dan Google Map (Gambar 31). Link kelembagaan yang telah bekerjasama/ memberikan data dan informasi kegiatan adaptasi perubahan iklim. Galeri foto kegiatan adaptasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait. Kontak dari pengelola website. Basis data ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk penentuan kebijakan, penelitian, pendidikan, dan hal praktis terkait dengan kegiatan adaptasi perubahan iklim. Tampilan informasi lokasi kegiatan dalam website ini disajikan secara rinci dengan konten peta Indonesia secara keseluruhan disertai dengan titik-titik lokasi kegiatan sehingga ketika salah satu titik lokasi di-klik akan muncul keterangan nama kegiatan, nama lembaga, sektor kelembagaan, waktu pelaksanaan, dan wilayah lokasi kegiatan. Tampilan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pemangku kegiatan terkait kegiatan apa dan dimana saja yang telah dilakukan sehingga para pemangku kegiatan dapat merumuskan/ merencanakan kegiatan adaptasi di wilayah lainnya yang rentan terhadap perubahan iklim, tentu dengan kegiatan-kegiatan yang tidak duplikatif dengan kegiatan sebelumnya. 30 Gambar 30 Tampilan muka website basis data kegiatan adaptasi perubahan iklim. Gambar 31 Tampilan halaman peta sebaran lokasi kegiatan adaptasi perubahan iklim pada website.