Penyusunan Basis Data Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim Di

advertisement
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Banyak bukti menunjukkan bahwa
manusia di berbagai lokasi sudah melakukan
adaptasi sebagai respon terhadap perubahan
iklim yang telah terjadi atau sebagai
antisipasi terhadap perubahan iklim yang
diramalkan akan terjadi (IPCC 2007). Hal
ini dapat dilihat pada banyaknya lembaga
yang melakukan kegiatan adaptasi guna
membantu masyarakat yang rentan terhadap
perubahan iklim sehingga mereka dapat
menyesuaikan diri terhadap dampak yang
telah ataupun yang akan terjadi nanti.
4.1 Adaptasi Perubahan Iklim di
Indonesia pada Semua Sektor
Kelembagaan
Hampir semua sektor kelembagaan di
Indonesia memberikan perhatian khusus
pada masalah perubahan iklim terutama
sektor-sektor kelembagaan yang terkena
dampak langsung dari perubahan iklim.
Berdasarkan data kegiatan adaptasi dari 14
kelembagaan di Indonesia diperoleh hasil
bahwa kegiatan adaptasi yang telah
dilakukan
mencakup
semua
sektor
kelembagaan yang ditetapkan oleh UNDP
(2007), yaitu pertanian dan ketahanan
pangan, pembangunan wilayah pesisir,
kesehatan masyarakat, pengelolaan sumber
daya alam, manajemen risiko bencana, serta
sumber daya dan kualitas air.
Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat
bahwa kegiatan yang paling banyak
dilakukan oleh para pemangku kegiatan
adaptasi perubahan iklim termasuk pada
sektor manajemen risiko bencana. Hal ini
dikarenakan sektor tersebut memiliki
cakupan yang luas di antaranya yaitu sosial,
budaya,
pendidikan,
ekonomi,
dan
infrastruktur.
Gambar 6c menunjukkan bahwa tidak
ada kegiatan adaptasi yang direncanakan
akan dilakukan oleh sektor kesehatan
masyarakat pada tahun mendatang. Hal ini
seharusnya dapat menjadi perhatian penting
bagi para pemangku kegiatan adaptasi
perubahan iklim karena bagaimanapun juga
harus ada langkah antisipatif untuk
mencegah terjadinya dampak perubahan
iklim pada sektor tersebut.
Gambar 6 Sektor kelembagaan adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang
dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan.
14
4.1.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan
Pangan
Kegiatan adaptasi pada sektor
pertanian banyak dilakukan oleh Balitklimat
(Kementan), sedangkan kegiatan yang
berkaitan dengan sektor ketahanan pangan
dilakukan oleh WFP. Selain lembaga
tersebut, ada juga BMKG dan CCROM yang
melakukan kegiatan adaptasi perubahan
iklim pada sektor pertanian.
Kegiatan adaptasi pada sektor
pertanian yang rutin dilakukan oleh
Balitklimat
setiap
tahunnya
yaitu
penyusunan kalender tanam interaktif dan
dinamik. Kegiatan tersebut dilakukan untuk
membantu para petani dalam menentukan
waktu tanam yang tepat sehingga dapat
menurunkan risiko terkena gagal panen.
Kegiatan rutin lainnya yaitu Sekolah Lapang
Iklim (SLI) yang dilakukan oleh Balitklimat
dan BMKG. Kegiatan ini termasuk kegiatan
pembangunan berlanjut yang dilakukan rutin
setiap tahun di berbagai tempat di Indonesia.
Sementara kegiatan insidental yang
dilakukan oleh Balitklimat yaitu kegiatan
panen air dam parit dan aplikasi irigasi yang
merupakan kegiatan aksi adaptasi, kegiatan
ini dilakukan untuk mengembangkan
jaringan irigasi dan menyusun model
teknologi panen air hujan. Ada juga kegiatan
pembuatan pola kerentanan pertanian di
Pulau Jawa yang dilakukan oleh CCROM
bekerjasama dengan ci:grasp. Selain itu, saat
ini BMKG sedang merencanakan kegiatan
berupa penempatan 1000 penakar hujan
observasi di seluruh Indonesia serta
merencanakan pembangunan pos agroklimat
di
seluruh
Indonesia
agar
dapat
mengantisipasi dampak perubahan iklim
yang akan terjadi serta mengancam
pertanian dan ketahanan pangan di
Indonesia. Masih banyak kegiatan adaptasi
pada sektor pertanian lainnya baik yang
telah, sedang, ataupun akan dilaksanakan
(Lampiran 3).
Sektor yang berkaitan erat dengan
sektor pertanian yaitu sektor ketahanan
pangan. Pada sektor ini, WFP rutin
melaksanakan kegiatan food for asset (FFA)
setiap tahunnya. Kegiatan ini bertujuan
untuk
menguatkan kapasitas adaptif
masyarakat rentan pangan terhadap dampak
perubahan iklim. Kegiatan FFA terfokus di
NTB dan NTT, karena kedua propinsi
tersebut merupakan salah satu prioritas
utama dalam hal penguatan ketahanan
pangan.
Gambar 7 Diagram persentase kegiatan
adaptasi sektor pertanian.
Gambar 7 menunjukkan bahwa
hampir 80% kegiatan adaptasi pada sektor
pertanian merupakan kegiatan yang telah
dilaksanakan, sementara yang sedang dan
akan dilaksanakan masing-masing hanya
12% dan 9%. Hal ini dikarenakan beberapa
lembaga terkait hanya memberikan laporan
akhir tahun kegiatan yang dilakukan,
sementara proposal data kegiatan adaptasi
yang sedang dan akan dilaksanakan tidak
diberikan dengan alasan sesuai ketentuan
yang berlaku di lembaga tersebut, sehingga
kegiatan adaptasi pada sektor pertanian dan
ketahanan pangan lebih banyak termasuk
kegiatan yang telah dilakukan.
Jika melihat pada Gambar 6, kegiatan
adaptasi pada sektor pertanian dan
ketahanan pangan mendapatkan perhatian
yang cukup konsisten dari para pemangku
kegiatan
adaptasi
perubahan
iklim
dibandingkan dengan sektor lainnya,
dibuktikan dengan nilai persentase yang
dimiliki oleh sektor tersebut pada waktu
lalu, sekarang, dan akan datang adalah
cukup konstan. Hal ini dikarenakan sektor
tersebut memang sangat dipengaruhi oleh
iklim. Kemarau panjang dan banjir akan
menyebabkan gagal panen yang sangat
berpengaruh terhadap sumber penghidupan
petani. Oleh karena itu, sektor ini perlu
mendapatkan perhatian khusus dari para
pemangku kegiatan adaptasi perubahan
iklim agar kondisi pertanian dan ketahanan
pangan Indonesia menjadi lebih baik serta
kondisi taraf hidup masyarakat Indonesia
yang mayoritas petani dapat meningkat.
15
4.1.2 Sektor Pembangunan Wilayah
Pesisir
Pada sektor pembangunan wilayah
pesisir, kegiatan adaptasi banyak dilakukan
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), di antaranya yaitu kajian kerentanan
di sepanjang jalur Pantura, rehabilitas
mangrove, dan program pengembangan
sistem informasi perubahan iklim bagi
masyarakat di sekitar daerah pesisir.
Kegiatan-kegiatan
tersebut
merupakan
kegiatan adaptasi yang bersifat insidental.
Sementara kegiatan yang bersifat lanjutan
yaitu program pengembangan desa pesisir
tangguh yang dilaksanakan dari tahun 20112014.
Selain KKP, ada juga lembaga lain
yang melakukan kegiatan adaptasi pada
sektor pembangunan wilayah pesisir yaitu
CCROM. Lembaga tersebut melaksanakan
kegiatan adaptasi komunitas daerah pesisir
di Tapak Tugurejo Semarang serta
mengevaluasi tingkat emisi GRK dan
kemungkinan dampak perubahan iklim dan
juga kenaikan muka air laut di daerah rawa
Kota Palembang.
Kegiatan
adaptasi
yang
rutin
dilakukan pada sektor ini adalah pengelolaan
kawasan pesisir melalui rehabilitasi pantai
dengan
penanaman
mangrove
dan
pembuatan alat penahan ombak (APO)
sepanjang 100 meter oleh Bintari. Kegiatan
ini telah berjalan dengan baik dan sedang
dalam proses pengembangan.
Gambar 8 Diagram persentase kegiatan
sektor pembangunan wilayah
pesisir.
Gambar 8 menunjukkan bahwa 63%
kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan
wilayah pesisir merupakan kegiatan yang
telah dilaksanakan, 21% merupakan
kegiatan adaptasi yang sedang dilaksanakan
dan 16% merupakan kegiatan yang akan
dilaksanakan. Berdasarkan Gambar 6,
kegiatan yang telah dilakukan pada sektor
ini hanya sedikit saja, namun karena kondisi
muka air laut yang terus naik dan
diperkirakan akan terjadi dampak perubahan
iklim yang cukup besar pada sektor pesisir,
oleh karena itu saat ini ada beberapa
kelembagaan yang sedang melakukan
kegiatan adaptasi sebagai upaya mengatasi
dampak perubahan iklim yang telah terjadi
serta merencanakan kegiatan adaptasi untuk
mengantisipasi dampak perubahan iklim
yang akan terjadi nanti. Salah satu program
yang sedang dilaksanakan dan direncanakan
akan berjalan pada tahun berikutnya yaitu
program pengembangan desa pesisir tangguh
yang digagas oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat pesisir yang rentan terhadap
perubahan iklim dapat bertahan hidup dalam
kondisi yang baik, termasuk membantu
masalah perekonomiannya.
4.1.3 Sektor Kesehatan Masyarakat
Kegiatan adaptasi perubahan iklim
pada sektor kesehatan banyak dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan, dengan
kegiatannya yaitu protecting health from
climate change di Jakarta serta penelitian
pola penyakit akibat dampak perubahan
iklim di beberapa provinsi di Indonesia.
Selain itu ada kegiatan berupa penelitian dan
ujicoba pengembangan pedoman model
surveilans dampak perubahan iklim di
Indonesia. Pada saat penelitian tahun 2011
kegiatan ini masih berupa kapasitas adaptif,
sementara setelah dilakukan ujicoba di
Lampung, Jawa Tengah, dan Bali pada tahun
2012 kegiatan ini merupakan aksi adaptasi
yang dilakukan langsung oleh Menkes
kepada masyarakat yang rentan akibat
perubahan iklim.
Semua kegiatan adaptasi pada sektor
kesehatan merupakan kegiatan yang
insidental, tidak ada kegiatan rutin yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan
dalam mengatasi dampak perubahan iklim
terhadap kesehatan. Contoh kegiatan lain
yang dilakukan oleh Menkes dalam
mengatasi dampak perubahan iklim adalah
model prediksi penyakit demam berdarah
dengue/DBD berdasarkan kondisi iklim di
Indonesia, kegiatan tersebut bertujuan untuk
mendapatkan model matematik
yang
mampu memprediksi kejadian
DD/DBD
16
dengan memanfaatkan informasi iklim,
sehingga
dapat
digunakan
sebagai
peringatan dini terhadap kejadian penyakit
DD/DBD.
4.1.4 Sektor Pengelolaan Sumber Daya
Alam
Pada sektor pengelolaan sumber daya
alam, CCROM membuat model tata lahan di
kelurahan Sukorejo dengan cara pembuatan
model konservasi yang sudah terarah dalam
bentuk pilot project untuk konservasi
tanaman, masa tanam, dan terasering, serta
model untuk mengurangi kekeringan, banjir,
erosi, dan bencana lainnya. Selain itu juga
CCROM membuat sumur tangkapan biopori
dan penghijauan. Sementara itu, RCCCUI
melakukan rencana restorasi pasca tambang
timah provinsi Kepulauan Bangka Belitung
yang bertujuan untuk menyusun alternatif
konsep pembangunan dan pengelolaan
restorasi lahan pasca penambangan timah
dan lahan kritis lainnya di seluruh wilayah
Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.
Gambar 9 Diagram persentase kegiatan
sektor kesehatan masyarakat.
Gambar 9 menunjukkan bahwa 80%
kegiatan adaptasi pada sektor kesehatan
merupakan kegiatan yang telah dilaksanakan
dan sisanya merupakan kegiatan yang
sedang dilakukan. Sementara data kegiatan
adaptasi yang akan dilakukan oleh
Kementerian kesehatan tidak disampaikan.
Walaupun demikian, kegiatan adaptasi yang
telah dan sedang dilakukan oleh Menkes
guna mengatasi dampak perubahan iklim
pada sektor kesehatan telah berjalan dengan
cukup baik dibuktikan dengan penyusunan
strategi adaptasi dampak perubahan iklim di
bidang kesehatan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
Dalam
mengembangkan
dan
melaksanakan pelayanan terhadap dampak
perubahan iklim dalam bidang kesehatan
masyarakat harus menghadapi beberapa
realitas. Pertama, dampak perubahan iklim
akan sangat bervariasi menurut wilayah.
Kedua, mereka akan bervariasi menurut
kelompok penduduk, tidak semua orang
sama-sama rentan. Ketiga, efek ini sangat
kompleks sehingga perlu perencanaan dan
tindakan yang multidimensi (Frumkin et al.
2008).
Gambar 10 Diagram persentase kegiatan
sektor pengelolaan sumber
daya alam.
Gambar 10 menunjukkan bahwa 79%
kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan
wilayah pesisir merupakan kegiatan yang
telah dilaksanakan, 14% merupakan
kegiatan adaptasi yang sedang dilaksanakan
dan 7% merupakan kegiatan yang akan
dilaksanakan. Berdasarkan Gambar 6,
kegiatan adaptasi pada sektor ini masih
sedikit dibandingkan dengan sektor lainnya,
sehingga dengan kondisi tersebut seharusnya
dapat memperoleh perhatian dari para
pemangku kegiatan adaptasi perubahan
iklim.
17
4.1.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana
Pada sektor manajemen risiko
bencana, kegiatan adaptasi dikaitkan dengan
kondisi
ekonomi,
sosial,
budaya,
pendidikan/ edukasi, dan infrastruktur.
Kegiatan adaptasi pada sektor ini banyak
dilakukan oleh CCROM, salah satunya yaitu
program
Micro-finance
di
Kemijen
Semarang yang bekerjasama dengan Iset,
URDi, ACCCRN, dan MercyCorps.
Program
ini
bertujuan
untuk
mengembangkan model perputaran dana
yang diharapkan dapat meningkatkan
kondisi sanitasi dan kehidupan kepala rumah
tangga wanita yang miskin.
Selain itu, BMKG melakukan
kegiatan
berupa
edukasi
mengenai
perubahan iklim dalam bentuk komik,
pocket book, iklan masyarakat, sampai acara
TV yaitu “Teropong Si Bolang”. Kegiatan
tersebut termasuk bentuk manajemen risiko
bencana berupa pemberian edukasi ringan
untuk kalangan petani, nelayan, serta anakanak. Ada juga kegiatan yang dilakukan oleh
Bintari pada sektor ini yaitu adaptasi dan
mitigasi
perubahan
iklim
berbasis
masyarakat melalui konsep wanatani yang
berkelanjutan di Ungaran, Semarang,
Indonesia.
Kegiatan adaptasi pada sektor
manajemen risiko bencana juga menarik
perhatian
para
pelaku
kepentingan
perubahan iklim di tingkat Kementerian
Republik Indonesia, di antaranya KKP
melakukan pengembangan sistem informasi
perubahan iklim di Kota Pekalongan yang
bertujuan untuk memudahkan akses
informasi tentang iklim kepada para nelayan
dan masyarakat pesisir; KLH yang
menjalankan program Clean Batik Initiative
(CBI) dengan tujuan untuk menciptakan
kesadaran akan penggunaan batik ramah
lingkungan di Indonesia; Menhut yang
mendirikan beberapa koperasi hasil hutan
untuk
meningkatkan
perekonomian
masyarakat yang berbasis pada pelestarian
dan pemanfaatan sumber daya alam;
Menristek melakukan Technology Needs
Assesment untuk mengidentifikasi dan
menentukan teknologi mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim; serta Menkeu melakukan
pengembangan Clean Technology Fund
(CTF).
Gambar 11 Diagram persentase kegiatan
sektor
manajemen
risiko
bencana.
Gambar 11 menunjukkan bahwa 77%
kegiatan adaptasi pada sektor manajemen
risiko bencana merupakan kegiatan yang
telah dilaksanakan, 15% merupakan
kegiatan adaptasi yang sedang dilaksanakan,
dan 8% merupakan kegiatan yang akan
dilaksanakan. Berdasarkan Gambar 6,
kegiatan adaptasi sektor manajemen risiko
bencana merupakan kegiatan yang paling
banyak dilakukan oleh para pemangku
kegiatan adaptasi perubahan iklim setiap
tahunnya. Hal ini dikarenakan sektor
tersebut memiliki cakupan yang luas di
antaranya yaitu sosial, budaya, pendidikan,
ekonomi, dan infrastruktur.
4.1.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas
Air
Pada sektor ini kegiatan adaptasi
perubahan iklim banyak dilakukan oleh
Bintari, dengan kegiatannya yaitu scaling up
wanatani berbasis masyarakat sebagai upaya
mengurangi penurunan lahan dan dampak
perubahan iklim di DAS Garang, Ungaran,
Semarang, pemanenan air hujan untuk
meningkatkan ketahanan kota, dan Early
warning Sistem Banjir dengan menyediakan
flood shelter. Semua kegiatan yang
dilakukan oleh Bintari bertempat di
Semarang, Jawa Tengah. Selain Bintari,
CCROM pun melakukan kegiatan adaptasi
pada sektor sumber daya dan kualitas air
dengan kegiatannya berupa penguatan
kelembagaan
untuk
mengintegrasikan
manajemen SDA di 8 lokasi di Jawa Barat
sejak September 2010 sampai September
2012. Sementara Menristek melakukan
inovasi teknologi sistem membran pada
18
pompa air siap minum dan membuat
PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro) dengan tujuan untuk menjaga
lingkungan hutan agar sumber daya air
sebagai sumber daya listrik harus tetap
terjaga.
Berdasakan Gambar 6, kegiatan
adaptasi pada sektor sumber daya dan
kualitas air tidak terlalu banyak dilakukan
oleh para pemangku kegiatan adaptasi,
padahal seharusnya sektor ini perlu
mendapat perhatian khusus agar dampak
yang terjadi tidak menyebar luas pada sektor
yang lainnya. Perubahan pola curah hujan
akan mengurangi ketersediaan air untuk
irigasi dan sumber air bersih. Sebagai
contoh, ketika masyarakat kekurangan
sumber daya air bersih maka sektor
kesehatan pun akan terganggu karena
sumber daya air merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan ini, tidak hanya
dibutuhkan untuk minum atau mandi saja,
namun dibutuhkan juga untuk mencuci
semua perlengkapan sehari-hari agar
senantiasa hidup dalam kondisi yang bersih,
serta dibutuhkan untuk irigasi lahan
pertanian. Namun,
kekhawatiran ini
mendapat tanggapan cukup baik dari para
pemangku kegiatan adaptasi perubahan
iklim, hal ini dibuktikan dengan semakin
meningkatnya kegiatan pada sektor sumber
daya dan kualitas air yang sedang dan akan
dilakukan oleh beberapa kelembagaan di
Indonesia.
Gambar 12 Diagram persentase kegiatan
sektor sumber daya dan
kualitas air.
Gambar 12 menunjukkan bahwa 57%
kegiatan adaptasi pada sektor manajemen
risiko bencana merupakan kegiatan yang
telah dilaksanakan, sementara yang sedang
dan akan dilaksanakan masing-masing hanya
29% dan 14%. Walaupun secara keseluruhan
kegiatan adaptasi perubahan iklim pada
sektor ini tergolong sedikit, namun para
pemangku kepentingan masih memberikan
perhatiannya pada sektor ini, dibuktikan
dengan adanya kegiatan adaptasi yang
sedang dan akan dilakukan guna mengatasi
dampak yang telah, sedang, atau akan terjadi
pada sektor sumber daya dan kualitas air.
4.2 Analisis
Kegiatan
Adaptasi
Berdasarkan
Jenis
Adaptasi
Perubahan Iklim
Kegiatan adaptasi yang telah, sedang,
dan akan dilakukan oleh kelembagaan di
Indonesia harus memiliki basis ilmiah agar
dapat menjustifikasi bahwa kegiatan
adaptasi tersebut memiliki dasar yang
mencukupi
sebagai
bentuk
adaptasi
perubahan
iklim.
Pengidentifikasian
kegiatan berdasarkan jenis adaptasi dapat
menjadi salah satu basis ilmiah. Menurut
McCarthy et al. (2001), jenis adaptasi
perubahan iklim dibagi ke dalam tiga jenis,
yaitu adaptasi terencana yang merupakan
hasil dari keputusan kebijakan yang
direncanakan berdasarkan kesadaran bahwa
kondisi telah berubah atau akan berubah;
adaptasi otonom merupakan adaptasi yang
bukan merupakan respon secara sadar
terhadap rangsangan iklim tetapi dipicu oleh
perubahan ekologi di sistem alam ataupun
sistem manusia; dan adaptasi antisipatif
yang dilakukan sebelum dampak perubahan
iklim terjadi.
4.2.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan
Pangan
Sektor pertanian merupakan salah
satu sektor yang sangat dipengaruhi oleh
kondisi iklim, sebagai contoh kekeringan
dan banjir akan menyebabkan gagal panen
produksi pertanian. Oleh karena itu perlu
adanya kegiatan adaptasi untuk mengatasi
dampak perubahan iklim yang sudah terjadi
ataupun mengantisipasi dampak perubahan
iklim yang diperkirakan akan terjadi.
19
Gambar
13 Diagram persentase jenis
adaptasi
kegiatan
sektor
pertanian dan ketahanan pangan.
Gambar
14
Diagram persentase jenis
adaptasi
kegiatan
sektor
pembangunan wilayah pesisir.
Gambar 13 menunjukkan bahwa 64%
kegiatan adaptasi merupakan kegiatan
adaptasi terencana, hal ini menjelaskan
bahwa kegiatan adaptasi pada sektor
pertanian dan ketahanan pangan lebih
banyak
kegiatan
yang
direncanakan
(diputuskan sesuai kebijakan) dibandingkan
dengan kegiatan otonom ataupun antisipatif.
Walaupun
begitu,
para
pemangku
kepentingan tetap memperhatikan dampak
lain di luar pengaruh iklim dan
mempersiapkan kegiatan sebelum terjadi
dampak perubahan iklim, dibuktikan dengan
ada kegiatan yang merupakan adaptasi
otonom (18%) dan antisipatif (18%).
Gambar 14 menunjukkan bahwa
kegiatan adaptasi terencana dan otonom
cukup tinggi yaitu masing-masing 42% dan
37%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan
adaptasi pada sektor pembangunan wilayah
pesisir tidak hanya memperhatikan pengaruh
iklim saja namun juga cukup memperhatikan
pengaruh dari luar iklim. Sementara kegiatan
antisipatif pada sektor ini cukup sedikit yaitu
hanya 21%. Angka tersebut diharapkan
dapat menjadi perhatian bagi para pemangku
kepentingan agar melaksanakan kegiatan
yang bersifat antisipatif sehingga dapat
mengantisipasi dampak perubahan iklim
yang diperkirakan akan terjadi.
4.2.2 Sektor Pembangunan Wilayah
Pesisir
Sama halnya dengan sektor pertanian
dan ketahanan pangan, sektor pembangunan
wilayah pesisir pun sangat dipengaruhi oleh
iklim. Pemangku kepentingan pada sektor
ini sudah melakukan beberapa kegiatan yang
bersifat terencana, otonom, dan antisipatif.
Contoh kegiatan adaptasi terencana pada
sektor ini adalah program pengembangan
desa pesisir tangguh yang dilakukan oleh
KKP mulai tahun 2011 sampai 2014.
Kegiatan ini dimaksudkan agar dapat
meningkatkan kesejahteraan, pelayanan
sarana prasarana sosial ekonomi, kualitas
lingkungan hidup, kapasitas kelembagaan
dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap
bencana dan perubahan iklim.
4.2.3 Sektor Kesehatan Masyarakat
Berbeda dengan kedua sektor
sebelumnya, kegiatan adaptasi yang bersifat
antisipatif pada sektor kesehatan lebih
diperhatikan dibandingkan dengan kegiatan
adaptasi otonom. Contohnya kegiatannya
adalah pelatihan strategi adaptasi bidang
kesehatan terhadap perubahan iklim yang
bekerjasama dengan Pemda setempat.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan tenaga kesehatan di tingkat
pusat dan daerah dalam pelaksanaan
adaptasi
bidang
kesehatan
terhadap
perubahan iklim, sehingga diharapkan saat
dampak perubahan iklim terjadi pada sektor
ini akan banyak tenaga kesehatan yang
mampu menanganinya dengan baik.
Sementara satu-satunya kegiatan otonom
yang telah dilakukan oleh Menkes dalam
menghadapi dampak perubahan iklim adalah
20
peningkatan kemitraan para pelaku adaptasi
perubahan iklim yang bertujuan untuk
mengembangkan jejaring internal Menkes,
terkumpulnya data/ informasi, serta upaya
dan strategi adaptasi perubahan iklim di tiap
sektor.
Gambar
Gambar
15
Diagram persentase jenis
adaptasi
kegiatan
sektor
kesehatan masyarakat.
Gambar 15 menunjukkan bahwa
kegiatan adaptasi terencana dan antisipatif
cukup tinggi yaitu masing-masing 60% dan
33%. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan
adaptasi pada sektor kesehatan masyarakat
cukup antisipatif dalam mengatasi dampak
perubahan iklim yang akan terjadi.
Sementara kegiatan otonom pada sektor ini
hanya sedikit yaitu 7%.
4.2.4 Sektor Sumber Daya Alam
Walaupun kegiatan adaptasi pada
sektor sumber daya alam cukup sedikit
namun kegiatan yang dilakukan mencakup
seluruh jenis adaptasi perubahan iklim yang
ditetapkan oleh McCarthy, yaitu antisipatif,
otonom, dan terencana. Kegiatan adaptasi
yang dilakukan oleh para pemngku
kepentingan pada sektor sumber daya alam
lebih banyak yang fokus pada subsektor
sumber daya hutan, seperti pengembangan
sistem sumber daya hutan kabupaten, forest
and climate partnership yang dilakukan di
Kalimantan dan Sumatera. Hal tersebut
dilakukan untuk mengantisipasi kebakaran
hutan yang dapat menimbulkan bencana
hilangnya ribuan hektar hutan yang dinilai
ekonomis tinggi sekaligus berbagai macam
keanekaragaman hayati yang berada di
dalamnya (BSN 2009).
16
Diagram persentase jenis
adaptasi
kegiatan
sektor
sumber daya alam.
Gambar 16 menunjukkan bahwa
kegiatan adaptasi terencana dan otonom
memiliki porsi yang sama yaitu 29%. Hal ini
menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada
sektor sumber daya alam tidak hanya
memperhatikan pengaruh iklim saja namun
juga cukup memperhatikan pengaruh dari
luar iklim. Sementara kegiatan antisipatif
pada sektor ini cukup banyak yaitu 42%.
Besarnya
nilai
persentase
tersebut
menunjukkan bahwa para pemangku
kegiatan adaptasi perubahan iklim pada
sektor sumber daya alam cukup memberikan
perhatian pada perubahan iklim dibuktikan
dengan banyaknya kegiatan antisipatif yang
dilakukan pada sektor ini.
4.2.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana
Banyaknya kegiatan adaptasi pada
sektor manajemen risiko bencana terbagi
rata pada setiap jenis adaptasi perubahan
iklim yang ditetapkan McCarthy (2001).
Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan persoalan kelangsungan hidup,
sehingga diperlukan langkah-langkah nyata
terkait manajemen risiko bencana, dengan
mempertimbangkan kerentanan masyarakat
dan
melibatkan
masyarakat
dalam
menghadapi perubahan iklim sekarang dan
masa mendatang. Masyarakat miskin di
negara berkembang membutuhkan perhatian
khusus, karena mereka akan menanggung
beban yang berat terkait dampak perubahan
iklim.
21
Gambar
17
Diagram persentase jenis
adaptasi
kegiatan
sektor
manajemen risiko bencana.
Gambar 17 menunjukkan bahwa
kegiatan adaptasi pada sektor manajemen
risiko bencana baik yang bersifat antisipatif,
terencana maupun otonom memiliki nilai
yang tidak jauh berbeda yaitu masingmasing 44%, 33%, dan 23%. Hal ini
menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada
sektor manajemen risiko bencana tidak
hanya memperhatikan pengaruh iklim saja
namun juga cukup memperhatikan pengaruh
dari luar iklim.
4.2.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas
Air
Berbeda
dengan
sektor-sektor
sebelumnya, kegiatan adaptasi yang paling
banyak dilakukan pada sektor sumber daya
dan kualitas air adalah adaptasi otonom.
Contoh kegiatannya adalah program
penguatan
kelembagaan
untuk
mengintegrasikan manajemen SDA yang
dilakukan oleh CCROM bekerjasama
dengan ADB Citarum. Kegiatan ini
bukanlah kegiatan yang dilakukan khusus
untuk mengantisipasi/ mengatasi dampak
perubahan iklim, namun kegiatan ini
ditujukan agar kelembagaan terkait dapat
mengarusutamakan permasalahan perubahan
iklim ke dalam perencanaan dan manajemen
sumber daya air di DAS Citarum.
Gambar
18
Diagram persentase jenis
adaptasi
kegiatan
sektor
sumber daya dan kualitas air.
Gambar 18 menunjukkan kegiatan
adaptasi yang paling banyak dilakukan pada
sektor sumber daya dan kualitas air
merupakan kegiatan yang bersifat otonom
yaitu 57%. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor sumber daya dan kualitas air sangat
memperhatikan faktor pengaruh dari luar
iklim namun tetap mengarusutamakan
pengaruh iklim pada kegiatan yang
dilakukan. Pada sektor ini, para pemangku
kepentingan lebih fokus pada langkah
antisipatif dibandingkan dengan langkah
perencanaan. Yaitu memiliki porsi masingmasing 36% untuk adaptasi antisipatif dan
7% untuk adaptasi terencana. Angka tersebut
diharapkan dapat menjadi perhatian bagi
para
pemangku
kepentingan
agar
melaksanakan kegiatan yang bersifat
terencana dan antisipatif pada sektor sumber
daya dan kualitas air sehingga dapat
mengatasi dampak perubahan iklim yang
diperkirakan akan terjadi.
22
Gambar 19 Jenis adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan;
(c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan.
Secara keseluruhan, sebagian besar
kegiatan adaptasi yang telah, sedang, dan
akan dilakukan oleh kelembagaan di
Indonesia termasuk kegiatan adaptasi
terencana (38%) dan adaptasi antisipatif
(36%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor
kelembagaan di Indonesia berupaya
sepenuhnya untuk mengatasi dampak
perubahan iklim yang telah terjadi dan yang
diprediksi akan terjadi dengan persiapan
yang baik dan penuh prediksi. Tentunya
semua persiapan tersebut dilakukan dengan
harapan tujuan yang diinginkan dapat
tercapai. Sedangkan jenis adaptasi otonom
sebesar
26%,
menunjukkan
bahwa
rangsangan faktor luar seperti ekologi, pasar,
atau kesejahteraan masyarakat yang terkena
dampak perubahan iklim cukup mendapat
perhatian dari para pemangku perubahan
iklim sehingga terbentuk kegiatan adaptasi
untuk permasalahan yang ada.
4.3 Analisis
Kegiatan
Adaptasi
Berdasarkan
Dimensi
Adaptasi
Perubahan Iklim
Selain jenis adaptasi, dimensi adaptasi
dapat dijadikan sebagai basis ilmiah dalam
penentuan kegiatan adaptasi perubahan
iklim. Dalam bahasan kali ini, pembagian
dimensi adaptasi disesuaikan dengan
pendapat dari Spearman dan McGray (2011)
yaitu, kapasitas adaptif, aksi adaptasi, dan
pembangunan berlanjut. Kapasitas adaptif
merupakan
dimensi
yang
berupaya
mendorong pemikiran, perencanaan, dan
pelaksanaan kerja ke depan yang akan
menghindarkan bencana dan mengambil
manfaat. Aksi adaptasi merupakan kapasitas
adaptif yang diterapkan dalam bentuk
keputusan dan tindakan spesifik untuk
mengatasi risiko iklim spesifik. Sedangkan
dimensi pembangunan berlanjut yaitu aksi
adaptasi yang dilakukan setelah berhasil
mengurangi dampak perubahan iklim dan
masih tetap melakukan kegiatan adaptasi
perubahan iklim.
4.3.1 Sektor Pertanian dan Ketahanan
Pangan
Pada sektor pertanian, kegiatan
adaptasi yang paling banyak dilakukan
adalah kegiatan yang berdimensi kapasitas
adaptif, contohnya adalah penyusunan
kalender tanam yang dilakukan oleh
Balitklimat dan food for asset di NTT dan
NTB yang dilakukan oleh WFP. NTT dan
NTB merupakan wilayah yang sudah sangat
rentan terhadap berubahnya kondisi iklim di
Indonesia. Kemarau panjang diikuti oleh
gagal panen di NTT, misalnya, sudah
menimbulkan akibat yang parah dan kasus
kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah
di seluruh provinsi tersebut (UNDP 2007).
Dampak perubahan iklim pada sektor
pertanian akan menimbulkan dampak yang
multidimensi karena melibatkan faktor
biotik dan abiotik. Air, energi, sistem lahan,
lingkungan
tanah,
hutan
dan
keanekaragaman hayati, ketersediaan tenaga
kerja,
infrastruktur,
operasi
pasar,
pengetahuan, tradisi, masalah kebijakan dan
sosial ekonomi merupakan faktor-faktor
yang menentukan operasi sistem pertanian,
yang mana faktor tersebut banyak
dipengaruhi oleh parameter iklim (Pokhrel
dan Pandey 2011). Dengan kata lain,
perubahan iklim dapat mempengaruhi
berbagai komponen dalam sistem pertanian
secara spesifik sehingga dampaknya tidak
hanya berupa dampak biofisik saja
melainkan juga dalam faktor sosial ekonomi.
23
sekarang dan akan dilanjutkan sampai tahun
2013. Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan
kapasitas masyarakat pesisir dan konservasi
hutan mangrove.
Gambar 20 Diagram persentase dimensi
adaptasi
kegiatan
sektor
pertanian
dan
ketahanan
pangan.
Gambar 20 menunjukkan bahwa 64%
kegiatan adaptasi termasuk kegiatan adaptasi
berdimensi kapasitas adaptif, hal ini
menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada
sektor pertanian dan ketahanan pangan lebih
banyak berupa penyusunan data, pemetaan,
ataupun pembuatan model. Namun para
pemangku kepentingan tetap melakukan
kegiatan yang berdimensi aksi adaptasi dan
pembangunan berlanjut dalam menghadapi
dampak perubahan iklim yang terjadi,
walaupun hanya sedikit (24% yang
berdimensi aksi adaptasi dan 12% yang
berdimensi
pembangunan
berlanjut).
Dampak perubahan iklim pada sektor
pertanian yang multidimensi sudah cukup
teratasi dengan kegiatan adaptasi perubahan
iklim baik yang berdimensi kapasitas
adaptif, aksi adaptasi, maupun pembangunan
berlanjut.
4.3.2 Sektor Pembangunan Wilayah
Pesisir
Pada sektor pembangunan wilayah
pesisir, proporsi dimensi kegiatan adaptasi
yang dilakukan tidak jauh berbeda. Bahkan
antara
dimensi
aksi
adaptasi
dan
pembangunan berlanjut memiliki nilai yang
sama yaitu 23%. Contoh kegiatan adaptasi
dimensi pembangunan berlanjut yang telah
dilakukan pada sektor ini adalah pengelolaan
kawasan pesisir melalui rehabilitasi pantai
dengan
penanaman
mangrove
dan
pembuatan alat penahan ombak (APO) yang
dilakukan oleh Bintari. Kegiatan ini
berlangsung sejak tahun 2009 sampai
Gambar 21 Diagram persentase dimensi
adaptasi
kegiatan
sektor
pembangunan wilayah pesisir.
Gambar 21 menunjukkan bahwa 54%
kegiatan adaptasi merupakan kegiatan
adaptasi berdimensi kapasitas adaptif,
sementara kegiatan berdimensi aksi adaptasi
dan pembangunan berlanjut masing-masing
sebesar 23%. Hal ini menjelaskan bahwa
kegiatan adaptasi pada sektor pembangunan
wilayah pesisir sudah teratasi dengan baik
pada semua jenis dimensi kegiatan yang ada.
Perubahan iklim pada sektor kelautan
dan perikanan, membuat banyak para
pengusaha ikan harus mempertimbangkan
perubahan iklim yang akan terjadi karena hal
tersebut akan merugikan mereka. Jika
dampak dari perubahan iklim pada sektornya
sangat tinggi dan buruk, mereka harus
mencari usaha lain sebagai alternatif untuk
memperoleh
pendapatan
mereka.
Harapannya perubahan tersebut dapat
menjadi
perhatian
para
pemangku
kepentingan
perubahan
iklim
untuk
melaksanakan pendekatan ekosistem pada
sektor perikanan secara holistik, terpadu,
dan partisipatif disertai dengan pendekatan
untuk
mendapatkan
perikanan
yang
berkelanjutan (FAO (2006) dalam Daw et
al. 2009).
24
4.3.3 Sektor Kesehatan Masyarakat
Lain halnya dengan sektor kesehatan
masyarakat, 93% kegiatan adaptasi yang
dilakukan merupakan kegiatan berdimensi
kapasitas adaptif dan sisanya merupakan
kegiatan aksi adaptasi (Gambar 22). Hal ini
menunjukkan bahwa para pemangku
kepentingan pada sektor ini lebih
menitikberatkan pada dimensi kapasitas
adaptif,
padahal
dalam
menghadapi
perubahan iklim juga diperlukan aksi
adaptasi yang nyata dan berkelanjutan
sehingga dampak perubahan iklim yang
terjadi dapat diatasi lebih baik lagi.
mengidentifikasikan kesehatan dari populasi
yang paling rentan, serta fokus pada
menghilangkan
kesenjangan
kesehatan
(Frumkin et al. 2008).
4.3.4 Sektor Sumber Daya Alam
Sama halnya dengan sektor kesehatan
masyarakat, kegiatan adaptasi pada sektor
sumber daya alam pun belum ada kegiatan
berupa pembangunan berlanjut. Kegiatan
adaptasi
yang
telah,
sedang,
dan
direncanakan akan dilakukan masih berupa
kapasitas adaptasi dan aksi adaptasi. Contoh
kegiatan yang berupa aksi adaptasi adalah
model tata lahan pada kelurahan Sukorejo
yang dilakukan oleh CCROM. Pada kegiatan
ini dilakukan pemodelan konservasi yang
sudah terarah dalam bentuk pilot project
untuk konservasi tanaman, masa tanam, dan
terasering, membentuk sumur tangkapan
biopori dan penghijauan.
Gambar 22 Diagram persentase dimensi
adaptasi
kegiatan
sektor
kesehatan masyarakat.
Kesenjangan kesehatan diakui terjadi
dalam kesehatan masyarakat dan praktek
klinis, padahal seharusnya perbedaan
tersebut dihilangkan karena pelayanan
kesehatan merupakan hal yang harus
diberikan kepada setiap orang tanpa
membedakan jenis ras ataupun banyaknya
materi yang dimiliki. Salah satu kontributor
dalam kesenjangan kesehatan adalah risiko
lingkungan
yang
tidak
proporsional
mengancam populasi tertentu, terutama
orang miskin dan kelompok minoritas. Pada
skala global, orang di negara miskin akan
menghadapi risiko kesehatan yang lebih
besar dibandingkan orang kaya karena
kehidupan mereka memang jauh berbeda.
Untuk itu perlu dilakukan aksi dalam bidang
kesehatan masyarakat terutama kepada
masyarakat yang rentan akibat perubahan
iklim. Dalam pelaksanaan aksi tersebut
harus memperhatikan kerentanan dan
Gambar 23 Diagram persentase dimensi
adaptasi
kegiatan
sektor
sumber daya alam.
Gambar 23 menunjukkan bahwa
kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya
alam memiliki proposi cukup jauh berbeda
untuk dimensi kapasitas adaptif dan aksi
adaptasi, yaitu masing-masing adalah 71%
dan 29%. Sementara tidak ada kegiatan
adaptasi yang berdimensi pembangunan
berlanjut pada sektor ini. Hal ini seharusnya
dapat menjadi perhatian penting bagi para
pemangku kepentingan pada sektor ini
bahwa dalam mengatasi dampak perubahan
iklim yang telah dan diperkirakan akan
terjadi perlu dilakukan kegiatan aksi
adaptasi yang berkelanjutan sehingga
dampak perubahan iklim dapat teratasi lebih
baik lagi.
25
4.3.5 Sektor Manajemen Risiko Bencana
Sektor manajemen risiko bencana
merupakan sektor yang paling banyak
mendapatkan perhatian dari para pemangku
kepentingan perubahan iklim. Pada sektor
ini, seluruh kegiatan adaptasi mencakup
ketiga dimensi adaptasi perubahan iklim
menurut Spearman dan McGray, walaupun
kegiatan adaptasi berupa pembangunan
berlanjut yang telah dilakukan hanya ada
satu, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim berbasis masyarakat melalui konsep
wanatani yang berkelanjutan di Ungaran,
Semarang.
Gambar 24 Diagram persentase dimensi
adaptasi
kegiatan
sektor
manajemen risiko bencana.
Gambar 24 menunjukkan bahwa 83%
kegiatan adaptasi merupakan kegiatan
adaptasi berdimensi kapasitas adaptif, hal ini
menjelaskan bahwa kegiatan adaptasi pada
sektor manajemen risiko bencana masih
banyak yang berupa pelatihan strategi,
penyusunan data, pemetaan, ataupun
pembuatan model. Namun para pemangku
kepentingan tetap melakukan kegiatan yang
berdimensi aksi adaptasi dan pembangunan
berlanjut dalam menghadapi dampak
perubahan iklim yang terjadi, walaupun
hanya sedikit (11% yang berdimensi aksi
adaptasi dan 6% yang berdimensi
pembangunan berlanjut).
Salah satu kegiatan yang berdimensi
aksi adaptasi pada sektor ini adalah green
building and green infrastruktur yang
dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Kegiatan tersebut penting dilaksanakan
dalam mewujudkan tatanan infrastruktur
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara
berkelanjutan (suistanable development),
tanpa merusak atau mengganggu sumber
daya alam (Ginting 2008).
4.3.6 Sektor Sumber Daya dan Kualitas
Air
Berbeda dengan sektor lainnya,
sektor sumber daya dan kualitas air memiliki
kegiatan adaptasi berupa aksi yang lebih
banyak dibandingkan dengan kapasitas
adaptif, hal ini dapat dilihat pada Gambar
25.
Gambar 25 Diagram persentase dimensi
adaptasi
kegiatan
sektor
sumber daya dan kualitas air.
Gambar 25 menunjukkan bahwa
kegiatan adaptasi pada sektor sumber daya
dan kualitas air memiliki proposi yang
hampir sama untuk dimensi kapasitas adaptif
dan aksi adaptasi, yaitu masing-masing
adalah 60% dan 40%. Hal ini menjelaskan
bahwa para pemangku kepentingan pada
sektor ini lebih banyak melakukan kegiatan
berupa aksi adaptasi dalam menghadapi
dampak perubahan iklim yang telah dan
diperkirakan akan terjadi, walaupun aksi
tersebut belum ditindaklanjuti menjadi
kegiatan pembangunan berlanjut. Namun
harapannya hal ini dapat menjadi perhatian
penting bagi para pemangku kepentingan
pada sektor ini bahwa dalam mengatasi
dampak perubahan iklim yang telah dan
diperkirakan akan terjadi perlu dilakukan
kegiatan aksi adaptasi yang berkelanjutan
sehingga dampak perubahan iklim dapat
teratasi lebih baik lagi.
26
Gambar 26 Dimensi adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang dilakukan;
(c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan.
Sebagian besar kegiatan adaptasi
yang dilakukan oleh 14 kelembagaan di
Indonesia memiliki dimensi adaptasi berupa
kapasitas adaptif (72%), sementara kegiatan
yang berdimensi aksi adaptasi masih
tergolong
sedikit
(<25%),
hal
ini
dikarenakan terbatasnya teknologi dan
sarana prasarana yang dapat digunakan
untuk mengatasi dampak dari perubahan
iklim. Walaupun kegiatan berdimensi
pembangunan berlanjut hanya sedikit tetapi
kegiatan pada dimensi ini mengalami
peningkatan jumlah kegiatan dari tahun yang
lalu, sekarang, dan akan datang. Sebelumnya
kegiatan adaptasi pembangunan berlanjut
hanya ada 4% dari keseluruhan kegiatan
adaptasi waktu itu, namun para pemangku
kegiatan adaptasi perubahan iklim merasa
kegiatan pembangunan berlanjut perlu untuk
dilakukan dalam mengatasi dampak
perubahan iklim, sehingga saat ini kegiatan
adaptasi pembangunan berlanjut meningkat
menjadi 15% dan beberapa kelembagaan
merencanakan
kegiatan
berupa
pembangunan berlanjut masa yang akan
datang mencapai 21%.
Gambar 26 menunjukkan bahwa
kegiatan para pemangku adaptasi perubahan
iklim ini masih berupa pemikiran ataupun
hanya menghasilkan data, belum banyak
kegiatan aksi nyata dalam menghadapi/
mengatasi dampak perubahan iklim yang
terjadi.
Nyatanya,
masyarakat
lebih
membutuhkan kegiatan berupa tindakan
spesifik untuk mengatasi risiko iklim yang
spesifik, karena tindakan adaptasi secara
langsung dapat mereduksi atau mengelola
dampak biofisik dari perubahan iklim serta
faktor-faktor non-iklim yang berkontribusi
pada kerentanan akibat perubahan iklim.
4.4 Analisis
Kegiatan
Adaptasi
Berdasarkan Teknologi Adaptasi
Perubahan Iklim
Penentuan kegiatan adaptasi sebagai
basis ilmiah dapat juga didasarkan pada tipe
teknologi yang digunakan. Dalam hal ini,
pembagian
tipe
teknologi
adaptasi
disesuaikan dengan pendapat dari Suroso
dkk (2010) yaitu teknologi adaptasi lunak
(soft adaptation) dan adaptasi keras (hard
adaptation).
Sebenarnya penentuan tipe teknologi
dapat dilihat berdasarkan tipe dimensi
adaptasi suatu kegiatan. Jika suatu kegiatan
memiliki dimensi kapasitas adaptasi maka
tipe teknologi kegiatan tersebut dapat
digolongkan ke dalam teknologi adaptasi
lunak, yaitu teknologi untuk pengembangan
kebijakan,
perencanaan,
diseminasi,
penilaian, basis data dan informasi dalam
konteks adaptasi. Berdasarkan data yang
diperoleh dari beberapa sektor kelembagaan
di Indonesia, 76% teknologi adaptasi yang
telah dilakukan masih berupa adaptasi lunak.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
kegiatan yang telah dilakukan masih berupa
pemikiran-pemikiran, pembuatan peta/ pola/
model, atau penyusunan data, belum berupa
tindakan secara nyata (aksi).
27
Gambar 27 Teknologi adaptasi perubahan iklim kegiatan (a) telah dilakukan; (b) sedang
dilakukan; (c) akan dilakukan; (d) semua kegiatan.
Sementara sisanya kegiatan yang
dilakukan berupa langkah konkret/ aksi yang
dilakukan atau disebut dengan teknologi
adaptasi keras, mencakup tindakan adaptasi
terkait pembangunan konstruksi dalam
konteks adaptasi, antara lain, dalam bentuk
pembangunan bendungan pencegah banjir
maupun penyimpan air. Contoh kegiatan ini
adalah panen air dam parit dan aplikasi
irigasi yang dilakukan oleh Balitklimat.
Sebelumnya teknologi adaptasi keras hanya
ada 24%, namun para pemangku kegiatan
iklim
terus
mengupayakan
kegiatan
menggunakan teknologi keras karena
disinyalir dampak perubahan iklim teratasi
dengan baik menggunakan teknologi keras,
itulah sebabnya saat ini kegiatan adaptasi
dengan teknologi keras mencapai 29% dan
direncanakan untuk masa yang akan datang
kegiatan adaptasi dengan bantuan teknologi
keras mencapai 44%.
4.5 Analisis
Kegiatan
Adaptasi
Berdasarkan Pendekatan Adaptasi
Perubahan Iklim
Adaptasi
perubahan
iklim
erat
kaitannya dengan pengelolaan risiko
bencana, bahkan menurut IPCC (2012)
antara kedua hal tersebut ada pendekatan
yang simultan dan saling melengkapi dalam
mengelola risiko iklim ekstrem dan bencana
(akibat)
iklim
ekstrem,
yaitu:
(1)
menurunkan kerentanan, (2) sebagai
persiapan, respon, atau pemulihan, (3)
mentransfer dan mendistribusi risiko, (4)
mengurangi paparan, (5) meningkatkan
ketahanan terhadap risiko iklim, dan (6)
mendorong transformasi secara bertahap
maupun mendasar.
Berdasarkan identifikasi data kegiatan
adaptasi yang telah, sedang, dan akan
dilakukan oleh beberapa kelembagaan di
Indonesia (Lampiran 3), diperoleh hasil
bahwa antara kegiatan adaptasi dan
pengelolaan risiko bencana memang ada
pendekatan yang saling overlap. Sebagian
besar kegiatan saling overlap dalam hal
persiapan, respon, atau pemulihan dengan
transformasi untuk mereduksi risiko iklim
ekstrem. Ada juga kegiatan yang saling
overlap ketika kegiatan tersebut dapat
menurunkan kerentanan,
maka akan
mengurangi paparan, serta meningkatkan
ketahanan terhadap risiko iklim. Sementara
pendekatan melalui sistem transformasi
secara bertahap dan mendasar sangat
diperlukan untuk seluruh kegiatan adaptasi
perubahan iklim serta pengelolaan risiko
bencana karena hal tersebut merupakan
faktor yang esensial untuk mereduksi risiko
iklim ekstrem.
4.6 Analisis
Kegiatan
Adaptasi
Perubahan
Iklim
Berdasarkan
Sebaran Lokasi
Indonesia merupakan wilayah yang
rentan terhadap perubahan iklim, dapat
dilihat pada Gambar 28 bahwa 75% wilayah
Indonesia rawan dengan bencana karena
iklim. Hal ini menunjukkan bahwa perlu
adanya upaya untuk mengatasi hal tersebut
agar masyarakat yang rawan akibat bencana
iklim dapat bertahan menghadapi dampak
perubahan iklim yang akan terjadi.
28
Gambar 28 Peta kondisi wilayah Indonesia berdasarkan tingkat kerawanan bencana iklim.
Sebagai negara berkembang yang
sangat bergantung pada sumber daya alam
dan sektor pertanian, Indonesia amat rentan
terhadap dampak perubahan iklim. Karena
itu, ketika suhu bumi kian memanas, curah
hujan dan iklim berubah secara ekstrem,
Indonesia
termasuk
negara
yang
diperkirakan akan mengalami banyak
kerugian akibat perubahan iklim. Namun
demikian, masih sulit diperkirakan seberapa
besar dampaknya terhadap ekonomi dan
lingkungan Indonesia. Oleh karena itu perlu
dilakukan kegiatan adaptasi perubahan iklim
dalam
rangka
mengatasi
ataupun
mengantisipasi dampak perubahan iklim
yang diperkirakan akan terjadi di masa yang
akan datang (Hadad 2010).
Gambar 28 menunjukkan bahwa
hampir semua pulau di Indonesia memiliki
tingkat kerawanan terhadap bencana iklim
yang sangat tinggi. Pulau Jawa merupakan
pulau dengan sebaran wilayah yang terkena
bencana iklim paling rawan, sementara
pulau Kalimantan tidak begitu terkena
bencana iklim yang parah, dapat dilihat pada
Gambar 28 provinsi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah tidak terkena dampak
akibat bencana iklim.
Gambar 29 Peta sebaran lokasi kegiatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
29
Gambar 29 merupakan sebaran lokasi
kegiatan adaptasi perubahan iklim yang
dilakukan oleh 14 kelembagaan di
Indonesia. Kegiatan adaptasi perubahan
iklim paling banyak dilakukan di Pulau
Jawa, hal ini dikarenakan banyak
kelembagaan terletak di Pulau Jawa
sehingga para pemangku kegiatan lebih
mudah melakukan kegiatan adaptasi di
daerah-daerah terdekat, yaitu mencakup
kegiatan seminar, workshop, dan kegiatan
adaptasi berdimensi kapasitas adaptif
lainnya. Di samping itu, Pulau Jawa
memiliki banyak lahan pertanian dan
perikanan yang mana lahan tersebut sangat
rawan terkena dampak perubahan iklim,
sehingga banyak kelembagaan yang lebih
fokus untuk melakukan kegiatan adaptasi
perubahan iklim di Pulau Jawa.
Faktor lain yang menjadi hambatan
bagi kelembagaan/ para pemangku kegiatan
adaptasi perubahan iklim adalah terbatasnya
dana untuk menciptakan teknologi yang
tepat guna mengurangi dampak perubahan
iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Hal tersebut menjadi faktor pembatas para
pemangku kegiatan adaptasi perubahan
iklim untuk melakukan kegiatan adaptasi
secara aksi langsung.
Berdasarkan Gambar 28, selain Pulau
Jawa, ada juga Pulau Sumatera, Sulawesi,
NTB, NTT, dan Bali merupakan wilayah
dengan tingkat kerawanan terhadap bencana
iklim cukup tinggi. Perhatian para pemangku
kegiatan adaptasi perubahan iklim pada
wilayah tersebut juga cukup tinggi,
dibuktikan dengan dilakukannya beberapa
kegiatan adaptasi perubahan iklim di pulaupulau tersebut. Gambar 29 menunjukkan
bahwa kegiatan adaptasi perubahan iklim
telah tersebar di seluruh Indonesia,
walaupun kegiatan yang telah atau sedang
dilakukan di Indonesia bagian Timur masih
sangat minim.
Dengan kondisi seperti ini, harapannya
kelembagaan yang tersebar di berbagai
pelosok daerah di Indonesia dapat
melakukan kegiatan adaptasi perubahan
iklim di daerah lainnya, seperti Pulau
Kalimantan yang mana sebagian besar
wilayahnya adalah hutan, sehingga perlu
perhatian khusus dari kelembagaan yang
bergerak dalam perubahan iklim agar hutan
di Indonesia tidak habis terbakar karena
suhu yang terlalu tinggi. Begitu pula untuk
Pulau Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Papua.
4.7 Sistem
Informasi
Basis
data
Kegiatan Adaptasi Perubahan Iklim
Data yang telah disusun dan
diintegrasikan berdasarkan indikator dan
kriteria
yang
ditentukan
kemudian
ditampilkan ke dalam display berbasis web.
Adapun rancangan isi dari website yang
akan dijadikan sumber informasi bagi
seluruh pemangku kegiatan adaptasi
perubahan iklim adalah sebagai berikut:

Halaman muka (Home) yang berisi
latar belakang (Gambar 30).

Data
kegiatan
yang
disusun
berdasarkan sektor kelembagaan, jenis
adaptasi
dan
dimensi
adaptasi
(Lampiran 2).

Data kegiatan yang dilakukan oleh
setiap Kementerian/ Perguruan Tinggi/
LSM (Lampiran 2)

Peta lokasi kegiatan yang telah
dipadukan dengan software Google
Fussion Table dan Google Map
(Gambar 31).

Link
kelembagaan
yang
telah
bekerjasama/ memberikan data dan
informasi kegiatan adaptasi perubahan
iklim.

Galeri foto kegiatan adaptasi yang
dilakukan
oleh
lembaga-lembaga
terkait.

Kontak dari pengelola website.
Basis data ini dapat digunakan untuk
berbagai keperluan, termasuk penentuan
kebijakan, penelitian, pendidikan, dan hal
praktis terkait dengan kegiatan adaptasi
perubahan iklim. Tampilan informasi lokasi
kegiatan dalam website ini disajikan secara
rinci dengan konten peta Indonesia secara
keseluruhan disertai dengan titik-titik lokasi
kegiatan sehingga ketika salah satu titik
lokasi di-klik akan muncul keterangan nama
kegiatan,
nama
lembaga,
sektor
kelembagaan, waktu pelaksanaan, dan
wilayah lokasi kegiatan. Tampilan tersebut
diharapkan dapat memberikan informasi
kepada para pemangku kegiatan terkait
kegiatan apa dan dimana saja yang telah
dilakukan sehingga para pemangku kegiatan
dapat merumuskan/ merencanakan kegiatan
adaptasi di wilayah lainnya yang rentan
terhadap perubahan iklim, tentu dengan
kegiatan-kegiatan yang tidak duplikatif
dengan kegiatan sebelumnya.
30
Gambar 30 Tampilan muka website basis data kegiatan adaptasi perubahan iklim.
Gambar 31 Tampilan halaman peta sebaran lokasi kegiatan adaptasi perubahan iklim pada website.
Download