Justifikasi Departemen Fakultas Filsafat UGM: Catatan Awal Ke Arah Pengembangan Naskah Akademik Departemen Filsafat Barat, Departemen Filsafat Agama dan Departemen Filsafat Timur (Nusantara) Oleh: Agus Wahyudi Pengantar Di luar argumen legalitas yang berhubungan dengan kenyataan bahwa pembagian tiga departemen di Fakultas telah mendapatkan pengakuan hukum dan pengesahan formal dari Rektorat, kita perlu mempertimbangkan jenis argumen lain yang dapat membantu mempertimbangkan secara lebih konstruktif mengapa pembagian Fakultas ke dalam tiga Departemen yang disebut di atas bukan saja diinginkan (desirable) tetapi juga dapat dan perlu diwujudkan (realizable). Pengertian argumen legalitas selalu mengandaikan bahwa berbagai justifikasi non-legal telah dipertimbangkan secara cukup, namun seperti yang nampaknya berkembang dalam narasi di sebagian kalangan kita sendiri, pertimbangan non-legal masih belum dapat ditangkap secara sama. Salah satunya adalah keberatan yang telah dan memang absah (legitimate) dikaitkan dengan kenyataan salah satunya bahwa masing-masing departemen itu belum dilengkapi dengan “naskah akademik” sebagaimana disyaratkan dalam salah satu peraturan Rektor mengenai pembagian Departemen. Tapi menunjukkan keberatan semacam ini, dalam konteks ketika legalitas sudah tersedia dan ketika ketua dan sekretaris masing masing departemen sudah dipilih dan nampak sudah mulai bekerja, sama dengan mengatakan ada pasangan orang tua yang baru saja merayakan kelahiran anaknya kemudian bertanya apakah sebaiknya anak ini dibunuh saja karena orang tua bayi itu tidak mampu membelikan pakaian buat kebutuhan anak yang baru dilahirkannya. Jadi, argumen legalitas telah diremehkan oleh jenis keberatan ini, tetapi lihatlah kelemahan utamanya: keberatan ini terlalu meremehkan kemungkinan bahwa orang tua yang baru memiliki anak dapat bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Tetapi saya sendiri tidak ingin mengatakan bahwa justifikasi terbaik terhadap keberadaan tiga jurusan yang kita miliki hanya perlu dibatasi pada usaha mendukung argumen legalitas itu. Menurut saya cukup penting, jika kita ingin dapat mengembangkan diskusi yang produktif dan konstruktif, untuk mengembangkan argumen non legal, yaitu mengapa dan bagaimana pembagian departemen atau jurusan ke dalam tiga istilah yang kita miliki sekarang dapat dan seharusnya dikembangkan dari kemungkinan penalaran yang lain. Tulisan ini merupakan usaha untuk mengisi kekosongan ini. Penalaran non-legal yang masih belum diekplorasi secara mendalam akan merujuk pada dua konsepsi untuk model justifikasi bagi setiap keberadaan. Penalaran pertama adalah “argumen instrinsic” (intrinsic reasoning), yaitu mempertimbangkan hakikat keberadaan, sesuatu yang dapat menjustifikasi mengapa masing-masing departemen itu penting atau bermakna dalam dirinya sendiri. Penalaran kedua adalah “argumen instrumental” (instrumental reasoning), yaitu mempertimbangkan akibat, efek atau dampak dari pembagian jurusan ke dalam tiga nomenklatur: Filsafat Barat, Filsafat Agama dan Filsafat Nusantara atau Timur. Saya akan mendiskusikan dua argumen ini secara ringkas dan berurutan dalam bagian selanjutnya. Argumen Instrinsik Setiap keberadaan (existence) termasuk entitas seperti jurusan atau departemen dalam sebuah fakultas dijustifikasi dengan pertimbangan apakah entitas itu bisa nampak atau dapat dikenali sesuai dengan halnya sendiri (as thing in themselves), meskipun tentu saja tidak ada identitas yang unik, berdiri sendiri dan terisolasi, karena setiap keberadaan selalu mengandaikan kaitannya dengan yang lain (interrelated). Tetapi implikasi dari ketiadaaan pengakuan atas sebuah identitas atau entitas sesuatu adalah sangat fundamental maknanya dan sangat merusak akibat buruknya: tidak diakui (not to be recognized) artinya dianggap tidak ada dan sering, dalam praktis, ini akan berarti: tidak ada lagi atau sudah tidak mungkin akan terbuka sesuatu yang tidak diakui ini untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya dan terhadap interelasi kekuasaan ang lain. Apakah kita dapat mengatakan begitu saja bahwa tradisi Filsafat Barat, Filsafat Agama dan Filsafat Timur (termasuk Nusantara) tidak dapat diakui eksistensinya? Jawabannya jelas negatif. Kita perlu melihat apa artinya mengatakan bahwa Filsafat Barat merupakan sekumpulan tradisi dan khasanah pengetahuan filsafat yang sekaligus juga membentuk atau menyajikan berbagai ragam wawasan, teori atau perspektif. Hal yang sama dapat dikatakan dengan Filsafat Agama dan Filsafat Timur atau Nusantara. Saya menggunakan argumen yang nampaknya terlalu abstrak dan filosofis tentang makna “pengakuan” (recognition) ini karena bukan saja kelak akan argumen ini berhubungan dengan argumen selanjutnya, argumen instrumental, tetapi juga karena kekuatan dalam argumen instrinsik sendiri: Masing masing jurusan atau departemen dalam tiga nomenklatur: Barat, Agama dan Timur memiliki sumber bahan kajian, tradisi pemikiran dan sederatan literatur yang akan selalu dapat memperlihatkan potensinya untuk memperlihatkan aspek ontologi, epistemologi dan exiologinya, dan dalam istilah Thomas Kuhn, membentuk dan memperkuat “normal science” tetapi juga menjanjikan setiap potensi untuk terjadinya revolusi pengetahuan, atau dalam istilah Robert Cox, selalu ada elemen “teori kritis” dan elemen teori “problem-solving” dalam masing masing bidang atau jurusan itu. Problem sebenarnya ketika berhadapan dengan kebutuhan nomenklatur itu dipergunakan dalam atau oleh institusi pendidikan tertentu, katakanlah oleh Fakultas Filsafat UGM, karena itu bukan tentang ketiadaan argumen untuk rekognisi, tetapi kemampuan dalam memberikan bukti bahwa rekognisi yang harus ditunjukkannya akan cukup memadai. Masalah tentu saja tergantung pada potensi sumber daya manusia, para dosen dan pekerja akademik, dan pada kemampuan kolektif dalam mengorganisasi pengetahuan dalam institusi pendidikan itu. Ujian untuk mengetahui dan mengenali seberapa sadar dan berkembang sebuah institusi pendidikan ketika mengadopsi sebuah nomenklatur jurusan atau departemen tentu saja bergantung pada kesadarannya dan kemampuannay memahami keberadaan dirinya sendiri berkenanan dengan tiga pertanyaan ini: 1) apa yang sudah kita ketahui? 2) apa yang belum kita ketahui? 3). Apa yang ingin kita ketahui? Tiga pertanyaan itu harus selalu dipertanyakan oleh setiap “epistemic communities” (selfreflections and inquiries) secara terus menerus. Sebagai entitas, jurusan atau departemen menjadi penting selalu bertanya dalam batas bidangnya: apa yang sudah kita ketahui? Apa yang belum kita ketahui dan apa yang ingin kita ketahui selanjutnya? Dapat saya simpulkan sebagai garis bawah disini bahwa ketika fakultas Filsafat diarahkan HANYA ke dalam satu departemen atau jurusan, kemampuan menjawab dan mengelaborasi ketiga pertanyaan epistemik itu akan jauh lebih terbatas, dibandingkan dengan jawaban yang kemungkinan dapat dan seharusnya mampu dilakukan oleh masing-masing departemen atau jurusan yang pembagiannya sudah disepakati secara legal sekarang ini. Dengan kata lain, semakin pembagian kerja dan otonomi dalam ilmu pengetahuan dilakukan, semakin besar kemungkinan potensinya untuk secara luas dan mendalam mengeksplorasi ketiga pertanyaan itu, dan akhirnya menentukan dinamik dan perkembangan keilmuan selanjutnya. Tetapi soal utamanya di sini tidak harus disalahpahami: pembagian kerja, division of labors, dan nomenklatur bukan inti pokoknya, sebab inti pokoknya adalah tentang pembagian kerja, division of labors and nomenklatur yang tepat. Tepat di sini akan berarti, seperti dijelaskan dimuka, dapat diterima dan dipahami bersama, atau sebagai entitas atau keberadaan bisa nampak atau dapat dikenali sesuai dengan halnya sendiri (as thing in themselves), dengan potensi-potensi yang sangat terbuka di masa depan yang tentu saja bergantung pada kemampuan warga jurusan itu sendiri dalam mengerjakannya. Sekali lagi, menyangkut pertanyaan terakhir ini, kita akan sulit mempertahankan bahwa departemen atau jurusan dalam bentuk filsafat Barat, Filsafat Agama dan Filsafat Timur (Nusantara) tidak dapat membentuk entitas atai identitas sebagai “thing in themselves” itu sendiri. Kasus ini berbeda dengan nomenklatur sebelumnya yang menggunakan rujukan The Liang Gie, karena tidak pernah ada presendennya sebagai praktek pembagian jurusan atau departemen, dan keberadaan halnya sendiri yang nampak tak pernah bisa sungguh-sungguh dikenali. Argumen Instrumental Bagaimana “argumen instrumental” (instrumental reasoning), yaitu pertimbangan tentang akibat, efek atau dampak dari pembagian jurusan ke dalam tiga nomenklatur: Filsafat Barat, Filsafat Agama dan Filsafat Nusantara atau Timur dapat dijelaskan? Tergantung pada faktor dampak atau aspek instrumental yang akan dinilai atau diperhitungkan, jenis argumen ini dapat selalu terbuka dan bersifat tanpa batas dilihat dari kemungkinan plus minusnya. Misalnya, terkait dengan pengertian identitas yang seharusnya atau semestinya dianalisis dalam konteks relasi kuasa (power relations), kita tidak dapat begitu saja meremehkan potensi dari pembagian jurusan atau departemen karena sudut pandang manfaat untuk pengembangan leadership atau jenis karir dosen atau tenaga pendukung lain dalam mengembangkan organisasi ilmu pengetahuan. Sebagian memang jelas isunya adalah tentang perkembangan karir yang lebih kaya dan bervariasi bagi para dosen dan pekerja akademik kelak, dibandingkan misalnya, jika hanya satu departemen yang dimiliki. Tetapi contoh argumen tentang pembukaan jenjang karir yang lebih bervariasi ini bukan argumen yang terlalu buruk sebenarnya. Di luar itu, pokok masalah yang sangat mendasar adalah memastikan bagaimana pembagian departemen atau jurusan kedalam tiga nomenklatur: Filsafat Barat, Filsafat Agama, dan Filsafat Timur (Nusantara) itu akan dapat menghasilkan kontribusi keilmuwan dan kompetensi lulusan yang dapat diterima, direkognisi dan diakui di dunia lapangan kerja. Bagi saya, pilihan atau diskusi apakah filsafat menjadi satu jurusan seperti yang kadang diusulkan, atau menjadi tiga jurusan seperti yang kita miliki sekarang tidak menjadi variable penentu apapun untuk menjawab pertanyaan itu, kecuali bahwa masalah kualitas SDM pengajar dan dosen kita diperbaiki termasuk dan terutama kualitas dari silabus atau bahan ajar yang ditawarkan oleh setiap dosen dalam mata kuliahnya dapat mulai dikontrol melalui prosedur penjaminan mutu yang normal. Kemampuan institusi mengontrol dan mengendalikan kualitas silabus ini menjadi sangat penting. Pembagian departemen atau jurusan dalam tiga nomenklatur mungkin lebih membantu untuk mempermudah melakukan kontrol mutu ini, sama halnya dengan kemampuan yang sentralistik dalam satu jurusan. Akan tetapi kelebihan dari pembagian jurusan atau departemen dalam tiga nomenklatur dalam pengertian instrumental dapat diharapkan dari potensi perhatian keilmuan yang lebih mendalam dan terspesialiasi, dan bidang bidang ranah riset atau penjelasan keilmuwan baru dapat semakin terbuka sebagai akibat fleksibilitas yang lebih kuat dan sensitif dalam menjawab tiga pertanyaan: apa yang sudah kita ketahui, apa yang belum kita ketahui dan apa yang ingin kita ketahui dalam masing masing jurusan atau bagian atau setiap mata kuliah dan bidang ilmu yang lebih spesifik. Setiap jurusan atau departemen tentu saja selalu perlu menentukan secara persis dan terus menerus memastikan kualitas yang semakin meningkat untuk mata-mata “kuliah inti” (core subjects) atau “major” yang menjadi identitas utamanya dan mengaitkannya mata kuliah keahlian atau kompetensi utama ini dengan mata kuliah pendukung (minors) dan mata kuliah pilihan bagi minat riset (electives). Kategori-kategori ini dapat terus menerus dievalusi dan diubah untuk perbaikan, dan kita melihat potensi nyata bahwa setiap jurusan atau departemen akan dapat menjalankannya. Penutup Posisi tulisan ini semoga cukup jelas dan mudah dipahami: bahwa pembagian jurusan atau departemen dalam tiga nomenklatur yang sekarang ini ada di Fakultas Filsafat UGM dapat dijustifikasi dengan baik dari alasan yang non-legal, setidaknya dari sudut argumen instrinsik dan argument instrumental. Ini tidak mengatakan bahwa dengan pilihan tiga departemen ini fakultas filsafat sudah tidak ada problem lagi. Problem kita masih ada, tetapi ada baiknya, jika argumen ini benar dan cukup “compelling” untuk melihat justfikasi ke dalam tiga nomenklatur departemen Filsafat Barat, Filsafat Agama dan Filsafat Timur (Nusantara) ini sebagai “kesempatan” (opportunies) dan “tantangan” (challenges) yang akan membuat kita semakin dinamik dan bekerja lebih keras dan terarah di masa depan. Selamat berlokakarya! Yogyakarta 24 Nopember 2016