Pejabat Publik dan Iklan Komersial Hadi

advertisement
Pejabat Publik dan Iklan Komersial
Hadi Satyagraha
Dalam berbagai media massa, terutama elektronik, beberapa pejabat publik
muncul dalam berbagai iklan komersial. Pejabat publik adalah orang ditunjuk
dan diberi tugas dalam lembaga eksekutif, legislatif, judikatif dan badan lain
dalam penyelenggarakan negara yang sebagian atau seluruh dananya
berasal dari negara. Sedangkan iklan komersial adalah bentuk pesan tentang
suatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh
pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh
masyarakat.
Berbagai pejabat publik kita, mulai dari Wakil Gubernur, Menteri, sampai
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat muncul dalam berbagai iklan komersial di
negeri kita. Dahlan Iskan (DI), saat menjabat Menteri BUMN, mempromosikan
obat masuk angin ‘Tolak Angin’. Dedi Mizwar (DM) -sang Wagub Jabar-,
sampai hari ini masih mempromosikan berbagai produk mulai dari larutan
penyegar ‘Cap Badak’, sosis’ Sozziz’, dan pasta gigi ‘Enzim’. Sedangkan
Marzuki Alie (MA), saat menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat,
mempromosikan produk buatan Indonesia dalam iklan produk peralatan
rumah-tangga ‘Maspion’.
DI, DM, dan MA melakukan apa yang dalam jargon periklanan disebut
‘endorsement’. Federal Trade Commision, lembaga independen yang
dibentuk pemerintah Amerika Serikat dan mempunyai misi melindungi
konsumen dan mencegah anti-persaingan, mendefinisikan ‘endorsement’
sebagai ‘pesan sebuah iklan yang cenderung akan dipercayai masyarakat
tentang pendapat, kepercayaan, temuan, atau pengalaman seseorang yang
melakukan ‘endorsement’ tersebut’.
Para produsen produk-produk tersebut tentunya berharap keterkenalan DI,
DM, dan MA sebagai pejabat publik akan mempengaruhi masyarakat
berbondong-bondong membeli produk-produk yang di-endorse DI, DM, dan
MA.
Endorsement oleh seorang seorang terkenal dalam iklan merupakan
fenomena yang lazim. Praktik ini sudah dikenal sejak akhir abad-19.
Penggunaan endorsement dalam iklan komersial pertama terjadi di Inggris.
Adalah Lillie Langtry, aktris yang terkenal lewat sandiwara seperti The Lady
of Lions, mempromosikan produk-produk kosmetik dan sabun mandi merek
Pears. Di Italia, dalam abad 19, foto Paus Leo XIII –sang ‘Gembala’ Gereja
Katolik Roma- terpampang dalam label obat paten ‘Mariani Wine’.
Saat ini, di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 20% iklan menggunakan
endorsement oleh para selebritas. Dalam berbagai iklan televisi di negara
kita, kita melihat deretan selebritas dalam iklan komersial. Mulai dari pemain
sinetron, presenter televisi, pelawak, olahragawan, sampai kepada pejabat
publik seperti DI, DM, dan MA ramai-ramai mempromosikan berbagai produk.
Penggunaan selebritas yang tepat dalam iklan terbukti efektif mendongkrak
penjualan produk yang diiklankan. Konon, popularitas dan penjualan kopi
‘Kapal Api’ meroket setelah menggunakan Benjamin Sueb –seniman Betawidalam iklan mereka beberapa puluh tahun yang lalu. Sampai kini Kapal Api
masih merajai pasar kopi bubuk di Indonesia. Berkat pelawak Basuki -mantan
anggota Srimulat- yang mempromosikan ‘Antangin’, sampai kini ‘Antangin’
masih menjadi raja obat masuk angin dalam segmen pasar masyarakat
menengah-bawah.
Beberapa puluh tahun yang lalu, berkat endorsement Rudy Hartono –sang
maestro bulutangkis- yang meneriakkan ‘Indomilk Sedap’, susu kental manis
(SKM) Indomilk, yang merupakan merek asli Indonesia, bisa bersaing dengan
merek-merek global -seperti Frisian Flag dan Nestle-, dan bahkan mampu
menjadi pemain kedua terbesar di negara kita sampai hari ini.
Mungkin DI, DM, dan MA merasa tidak ada yang salah membintangi iklaniklan komersial tersebut. Mereka tentu akan menyatakan bahwa tidak ada
satupun aturan yang mereka langgar dalam mempromosikan sebuah produk
dalam iklan komersial. Sangat mungkin DI dan MA tidak menerima bayaran
dalam bentuk uang dari perusahaan sponsor. Dalam hal DM, ceritanya
sedikit beda. DM sudah mempromosikan ketiga produk tersebut sebelum
diangkat menjadi Wagub Jabar. Saat itu, dapat dipastikan DM menerima
bayaran untuk iklan-iklan komersial yang di-’bintangi’-nya. Setelah menjabat
Wagub Jabar, saya tidak tahu, apakah DM masih menerima bayaran untuk
penampakannya dalam iklan-iklan tersebut. Kalau masih menerima bayaran
pun, saya tidak tahu apakah ada aturan yang melarangnya.
Namun, menurut penulis, sebagai pejabat publik perilaku mereka yang
membintangi sebuah iklan komersial adalah sebuah kekeliruan. Ada empat
alasan mengapa pejabat publik dalam iklan komersial merupakan kekeliruan.
Pertama. Gaji dan dan berbagai kenikmatan jabatan yang dinikmati oleh
seorang pejabat publik berasal dari ‘uang rakyat’. Rakyat secara umum,
bukan hanya rakyat produsen dan konsumen produk-produk yang mereka
promosikan. Para pejabat publik adalah ‘milik’ dan karenanya wajib melayani
semua golongan masyarakat secara imparsial, tidak memihak. Karena
mereka milik dan melayani segenap lapisan masyarakat, maka mengendorse sebuah produk tertentu tentu ‘mengkhianati’ konsep milik dan
melayani segenap lapisan masyakarat. Seorang pejabat publik yang
menyokong sebuah produk tertentu telah melakukan keberpihakan kepada
sebagian masyarakat saja. Ada sebagian masyarakat lain, produsen dan
pengguna merek lain yang dijadikan pihak ‘lawan’. Bukankah mereka juga
adalah para pembayar pajak yang menjadi sumber gaji pejabat publik itu?
Kedua. Kita tidak mengetahui secara pasti apakah yang menjadi motif DI,
DM, dan MA melakukan penampakan dalam iklan-iklan komersial. Seperti
dikatakan Milton Friedman –Begawan ekonomi dari Universitas Chicago
dan pemenang Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1976- ‘there is no such thing as a
free lunch’. ‘Such thing’, ‘sesuatu’ itu, yang sudah pasti adalah tayangan
gratis dari iklan di televisi yang lumayan tinggi frekuensinya. Ini pada
gilirannya tentu akan mendongkrak popularitas mereka.
Ketiga. Khusus untuk DI dan MA yang tahun lalu tengah berjuang dalam
Konvensi Partai Demokrat (PD) 2014, maka penampakan mereka dalam
iklan-iklan komersial merupakan unfair-advantage bagi calon peserta
Konvensi lainnya.
Menurut berita, popularitas para kandidat adalah salah satu faktor penentu
pemenang Konvensi. DI dan MA bisa dianggap mencuri start dan ‘dibayari’
orang lain pula. Padahal seperti kita ketahui yang menjadi dasar sebuah
kompetisi yang sehat adalah prinsip dan nilai-nilai luhur kejujuran dan
keadilan. Jujur dan adil terhadap sesama peserta Konvensi. Penampakan DI
dan MA dalam iklan komersial bisa ditafsirkan melanggar prinsip jujur-adil
tersebut.
Mengenai unfair-advantage pejabat publik yang beriklan kiranya kita bisa
belajar dari Filipina. Pejabat publik di Filipina juga tidak sedikit yang
‘menjajakan’ berbagai produk di berbagai media massa. Ada senator,
anggota DPR Filipina, yang memberikan ‘endorsement’ produk hotdog,
pencukur, jam tangan. Dalam Undang-undang yang tengah dibahas, bila
muncul dalam iklan komersial apapun alasannya, seorang pejabat publik
Filipina bisa akan dicopot dari kedudukannya dan juga diharuskan membayar
denda sejumlah dua kali biaya iklan di mana ia tampil. Alasan yang
dikemukakan adalah bahwa endorsement pejabat publik dalam iklan,
terlebih menjelang pemilihan legislatif atau pemilu, dianggap unfair—
advantage bagi calon-calon yang tidak muncul dalam iklan.
Keempat. Potensi konflik kepentingan bila suatu saat dilakukan investigasi
terhadap produk yang diendorse sang pejabat publik. Bila produk yang
diendorse sang pejabat publik bermasalah, dikuatirkan pejabat publik yang
bersangkutan sulit untuk bersikap netral bila dilakukan investigasi. Di negara
kita ketidak-netralan ini sangat mungkin terjadi.
Tentu kita semua berharap para pejabat publik segera sadar akan perilaku
tidak etis yang mereka lakukan dalam menyokong produk dalam iklan
komersial. Kita berharap mereka mundur secara sukarela.
Seperti dikatakan Rufus Fears, Profesor pada Universitas Oklahoma,
seorang pejabat publik yang negarawan harus punya kompas moral agar
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas
dan mana yang tidak pantas. Kepada para pebisnis dan marketers kita tentu
berharap agar mereka juga bisa berperilaku dan menjadi good corporate
citizen dengan tidak memanfaatkan dan ‘menjerumuskan’ para pejabat
publik kita melakukan hal-hal yang tidak etis.
Mari kita semua mengampanyekan hidup dan perilaku beretika. Seperti
dikatakan Albert Camus, sang filsuf Perancis pemenang Nobel Sastra, “A
man without ethics is a wild beast loosed upon this world.”
Hadi Satyagraha adalah Pengajar Etika Bisnis dan Strategi Bisnis di beberapa
Universitas ternama di Indonesia. Mantan Dekan IPMI ini memperoleh gelar
Ph.D. (Business Administration) dari Ivey Business School, The University of
Western Ontario, Kanada. Ia juga adalah Mantan Eksekutif di beberapa
perusahaan seperti di Bristol-Myers, Union Carbide dan PT. Kapal Api. Email:
[email protected]
Download