BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Film dan Perannya sebagai Media Komunikasi Massa Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa modern yang kedua muncul di dunia (Sobur, 2004 : 126). Film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa media audio visual. Film merupakan penemuan teknologi baru yang muncul pada akhir abad ke sembilan belas. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail, 1987 : 13). Menurut RUU Perfilman bab II pasal 6, film itu sendiri mempunyai fungsi : 1. Pemberdayaan Masyarakat Memberdayakan masyarakat pada umumya dalam pembangunan watak dan kepribadian bangsa. 2. Pengekspresian Seni Film sebagai media pengekspresian seni sesuai dengan seleranya tanpa ada batasan dari pihak lain kecuali ditentukan dalam undang-undang yang berlaku. 3. Pengembangan Budaya Bangsa Film sebagai media yang mampu memantapkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa. 4. Pendidikan Film sebagai media yang mampu menjadi sarana pendidikan bagi khalayak yang menontonnya. 5. Hiburan Film sebagai media yang mampu manjadi sarana penghibur bagi khalayak yang menontonnya. 6. Penerangan atau Informasi Film sebagai media yang bisa mempromosikan nilai-nilai keragaman budaya dan kepribadian bangsa kepada masyarakat internasional. 7. Komoditas Ekonomi 7 Menumbuhkan dan mengembangkan perfilman sebagai industri yang maju, mengembangkan nilai-nilai budaya, dan mampu bersaing dalam peta internasional. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat,hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Irawanto, 1999 : 13). 2.2. Gender dalam Media Massa sebagai Representasi Ruang Publik Ideologi gender yang bias, yang juga dianut dengan baik oleh media massa umumnya, dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Ideologi ini didukung oleh pandangan nonfeodal, kapitalisme, dan militerisme yang dianggap benar. Komunikasi bahasa yang dibangun berada dalam wacana demikian. Hubungan antara media massa dan perempuan memiliki peran cukup penting. Polemik yang merujuk pada pergeseran makna peran perempuan dalam kehidupan sosial membawa keterlibatan media massa yang semakin luas dan erat, namun keterlibatan ini bukan membawa perempuan dalam situasi yang lebih adil dan demokratis (Baria, 2005 : 3). Perempuan dalam media seringkali dikaitkan dengan sensualitas. Ludfy Baria (2005 : 4) menjabarkan bahwa pada dasarnya hal ini berkaitan dengan ideologi dominan yang ada dalam masyarakat, yaitu ideologi patriarki yang memposisikan perempuan sebagai obyek memberikan kontribusi pada pengkomoditian tubuh perempuan oleh pihak media sebagai sarana pengeruk keuntungan secara ekonomis. Namun menurut penulis bukan ideologi patriarki yang memposisikan perempuan sebagai obyek komoditi tubuh, melainkan sistem kapitalisme yang memanfaatkan tatanan struktur sosial yang berpusat pada laki-laki (bapak) demi keuntungan ekonomis semata. Pandangan media massa sendiri masih sangat stereotip terhadap perempuan. Penerimaan atas perspektif perempuan, berarti menerima pendapat masyarakat yang berposisi subordinat, seperti kelompok miskin, anak-anak, dan kelompok marginal yang lain. (Murniati, 2004 : 242) 8 2.3. Patriarki Kata patriarki secara harfiah berarti kekuasaan bapak atau “patriarkh” (patriarch). Mulanya patriarki digunakan untuk menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki,” yaitu rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kekuasaan laki-laki penguasa (bapak). Sekarang, istilah patriarki digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki (Bhasin, 1996 : 1). Konsep patriarki pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada bentukan sistem sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga dan lingkup publik seperti ekonomi. Kemudian kaum feminis radikal mempertegas bahwa dominasi laki-laki terdapat di semua bidang, misalnya politik, agama dan seksualitas (jenis kelamin). Pada umumnya, alasan jenis kelamin digunakan untuk membenarkan superioritas dan kontrol laki-laki terhadap perempuan. Akibatnya, penindasan tersebut telah membuat perempuan tersubordinasi. Patriarki memilah secara kaku peran sosial laki-laki dan perempuan ke dalam wilayah publik dan domestik. Lingkup domestik diidentikkan dengan perempuan dan tanggung jawabnya dalam pengasuhan anak. Sementara lingkup publik diidentikkan dengan laki-laki yang berkaitan dengan hirarki dan dibentuk secara terpisah dari hubungan ibu dan anak, sehingga laki-laki dapat bebas untuk membentuk organisasi yang hirarkis karena tidak terikat pada masalah pengasuhan anak. Menurut pandangan Curtis (1986), dirinya mengakui keberadaan patriarki di dalam ketidaksetaraan gender, tetapi dia tidak sependapat dengan pandangan yang mengaitkan patriarki dengan jantina. Menurutnya, jika patriarki ditakrifkan sebagai penindasan (perempuan oleh laki-laki) yang berakar dalam hubungan produksi dan perpaduan antara laki-laki yang bersifat hierarki, merupakan maka takrifan ini mengandung makna bahwa patriarki aplikasi kuasa semata-mata; ia tidak berkaitan dengan gender. Dari segi sosiologi, sumber kuasa paling penting yang mendasari patriarki adalah kewenangan (authority), yaitu hak dari seseorang yang menguasai kedudukan sosial tertentu untuk membuat keputusan bagi pihak lain (kelompok); hak yang disetujui oleh orang lain. ‘Hak’ ini ada bukan pada seseorang yang mencari kuasa, melainkan di dalam lingkungan masyarakat. Ini berarti bahwa perpaduan yang bersifat hierarki bisa terjadi di kalangan laki-laki tidak karena mereka adalah laki-laki, tetapi karena mereka adalah subjek kewenangan. Karena itu, tulis Curtis, “patriarki bersumber pada keluarga, bukan pada jantina”. Curtis percaya bahwa 9 struktur kuasa di dalam keluarga tidak ditentukan oleh hanya satu faktor dari keadaan di luar keluarga, seperti kapitalisme, kekuatan pasar, atau perpaduan antara laki-laki, melainkan terjadi melalui suatu proses perundingan yang berubah-ubah bergantung kepada ciri hubungan-hubungan sosial di dalam keluarga yang dikehendaki oleh anggota keluarga itu sendiri, di samping keadaan lingkungan. Itu berarti keluarga yang berlainan bisa mempunyai struktur kuasa yang berbeda. (Lahade J.R, 2004 : 26-27) 2.3.1. Teori Struktural-Fungsionalisme Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsurunsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Megawangi, 1999 : 56). Talcott Parsons memfokuskan teorinya mengenai hubungan antara keluarga dan sistem kerja, dan dirinya tidak berkontribusi terhadap gagasan bahwa ruang domestik tidak memiliki hubungan fungsional dengan ruang publik. Selain itu, seperti yang telah disebutkan, Parsons sadar bahwa perbedaan yang berlebihan antara pekerjaan publik dengan pekerjaan domestik (rumah tangga) menghasilkan penyiksaan terhadap “peranan perempuan” (England, 1993 : 119). Teori struktural-fungsionalisme sering digambarkan sebagai pemikiran yang kuno oleh kritik awalnya, termasuk feminis di tahun 1960-1970. Namun kebanyakan ahli teori saat ini memahami Parsons sebagai liberal – percaya pada kebaikan kebebasan individual, demokrasi, dan pluralisme. Ia cenderung melihat kapitalisme dan sosialisme tidak sebagai pilihan khusus bersama dalam meningkatkan masyarakat industrial. Parsons tidak menyetujui kapitalisme yang tak terkendali dan wujud kecenderungan totalitarian oleh rezim sosialis. Skema evolusioner dalam teori struktural-fungsionalisme Parsons memiliki kekuatan dalam memprediksi beberapa jenis penggabungan diantara keduanya (England, 1993 : 122). Dalam tulisan Johnson sebelumnya pada tahun 1989, ia berpendapat bahwa skema evolusioner Parsons dalam pemahaman perubahan sosial dapat dengan mudah diterapkan untuk tujuan perubahan gerakan feminisme, yang telah menunjukkan empat proses dasar 10 evolusioner yaitu structural differentiation, inclusion (penyertaan), upgrading (peningkatan), dan value generalization (generalisasi nilai) (England, 1993 : 123-124). 1. Structural Differentiation Parsons menggunakan ketentuan structural differentiation tidak hanya untuk mengacu kepada pengambilan alih fungsi beberapa agen khusus yang sebelumnya dilakukan oleh agen tunggal, tetapi ia juga menggunakannya untuk mengacu pada meningkatnya pembedaan antara budaya, organisasi sosial, personal, dan organisme biologi. 2. Inclusion Feminisme yang berkembang pada tahun 1960 menggambarkan tekanan oleh kaum perempuan dalam keinginannya menyertakan diri (inclusion) di dalam masyarakat. Perempuan mencari peluang pekerjaan yang sepadan dengan laki-laki dalam kelas mereka, dan di dalam arena politik mencari sebuah kedudukan yang terpilih. Revolusi gender dapat dianggap juga sebagai contoh dari inclusion; pada kasus ini, keinginan perempuan untuk menyertakan dirinya sebagai suatu kebebasan gender yang diberikan oleh laki-laki. 3. Adaptive Upgrading Adaptive upgrading mengacu pada peningkatan efisiensi dan efektivitas yang diharapkan untuk menjawab dari differentiation dan inclusion. Sesungguhnya, pendapat mereka mengenai inclusion (penyertaan), feminis menunjuk secara khusus kepada peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) yang akan terjadi jika kemampuan mereka dibuang oleh pelaksanaan kebiasaan. Saat ini, kebanyakan akan betul-betul setuju bahwa penyertaan wanita berpendidikan ke dalam dunia kerja di luar konstitusi rumah tangga lebih rasional dalam pemanfaatan waktu dan kemampuan. 4. Value Generalization Proses evolusi akhir yang dikemukakan oleh Parsons yaitu value generalization. Mengacu pada fakta bahwa seluruh proses memerlukan perubahan nilai dalam masyarakat secara keseluruhan – perubahan nilai yang dapat menggabungkan berbagai jenis tujuan yang lebih luas, aktifitas, dan beragam masyarakat. Tampak bahwa nilai-nilai sosial berubah dengan cara memberikan tekanan / perhatian dalam perspektif bahwa perempuan memiliki lebih banyak kekhasan daripada laki-laki. 11 Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi, 1999 : 56). Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin). Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Menurut Mirriam M. Johnson, berbeda dengan teori Marxis dan interactionist, teori struktural-fungsionalisme setidaknya dapat berpotensi menganalisis pola fungsional dan disfungsional perempuan di beberapa posisi struktural. Teori struktural-fungsionalisme memperlakukan perempuan bukan sebagai kategori pekerja yang terbelakang, melainkan sebagai “anggota” yang sama-sama istimewa dalam sebuah interkasi. (England, 1993 : 120) 12 2.3.2. Skema Fungsi AGIL dalam Teori Struktural-Fungsionalisme Parsons Pada teori struktural-fungsionalisme Talcott Parsons dimulai dengan empat fungsi dalam sistem “tindakan” yang dikenal dengan skema AGIL. Yang dimaksudkan dengan fungsi disini adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Fungsi ini menurut Talcott Parsons dibutuhkan oleh semua sistem secara bersama-sama untuk dapat bertahan (survive), meskipun begitu keempat fungsi ini tidaklah nyata melainkan unit analisis yang dipakai Parsons. Empat fungsi penting ini diperlukan dalam menganalisis semua sistem ‘tindakan’ manusia untuk pemeliharaan pola di dalam masyarakat. Adapun keempat fungsi tersebut adalah : (Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2007 : 121-123) 1. Adaptation (Penyesuaian Diri) Fungsi yang dimiliki oleh sebuah sistem untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari sistem tersebut. Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, dan dengan kebutuhan lingkungannya. Kemudian aspek ‘Organisme perilaku’ adalah merupakan sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal) dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan yaitu ‘Sistem ekonomi’, adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui tenaga kerja, produksi, dan alokasi. Contoh konkritnya adalah pada saat revolusi industri terjadi perubahan dalam pembuatan barang yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia diganti dengan penggunaan mesin uap, sehingga dapat lebih efektif dan efisien dalam produksi barang. Maka dari itu industri-industri yang ada juga harus mengadaptasikan dirinya dengan penggunaan mesin uap untuk dapat bertahan dalam persaingan atau tidak mereka akan ketinggalan dan tidak dapat bertahan menghadapi industri lain yang menggunakan mesin uap tersebut. 2. Goal Attainment (Pencapaian Tujuan) Fungsi yang dimiliki sebuah sistem untuk dapat mendefinisikan dan mencapai tujuannya. Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mendefinisikan tujuan dan upaya mencapai tujuan utamanya. Kemudian aspek ‘Sistem kepribadian’, adalah 13 melaksanakan fungsi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam sistem, dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan utamanya. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Sistem pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya manusia) untuk mencapai tujuan utama yang telah dirumuskan. Misalnya pada suatu kelompok penelitian yang dibentuk pada suatu mata kuliah. Bila dalam kelompok tersebut tidak dapat menentukan tujuannya maka kelompok tersebut tidak akan dapat menjalankan fungsinya. 3. Integration (Integrasi) Fungsi yang dimiliki oleh sistem dalam rangka mengatur hubungan bagianbagian dalam komponen sistem tersebut dan aktor-aktor didalamnya. Sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya (adaptation, goal attainment, latency). Kemudian aspek ‘Sistem sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Komunitas kemasyarakatan’ (contoh, hukum, Undang-Undang atau seperangkat aturan), adalah akan menjalankan fungsi terbentuknya integrasi, atau mengkoordinasi beragam komponen masyarakat menuju terwujudnya integrasi sosialbudaya. Misalnya saja pada partai politik PKB, karena partai ini tidak mempunyai integrasi yang cukup kuat maka terjadilah perpecahan yang membuat komponenkomponen dalam sistem partai tersebut terbagi menjadi dua kubu. Walaupun tetap dapat menjalankan sistemnya tetapi tidak dapat mencapai suatu keseimbangan, sebagai bukti terjadi pertentangan antara kedua kubu dalam memperebutkan kekuasaan yang sah terhadap partai PKB. 4. Latency (Pemeliharaan Pola) Fungsi yang dimiliki suatu sistem untuk memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki pada tingkat individu maupun pola-pola kultural. Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, serta mendorong (memotivasi) individu atau pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai-norma (seperangkat aturan) yang berlaku. Kemudian aspek ‘Sistem kultural’, adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak sesuai dengan nilai-norma. Sedangkan bidang ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga 14 keluarga, sekolah, dan lembaga keagamaan), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola (nilai-norma yang sudah menjadi etos/ pola hidup dalam kelompok) dengan menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk ‘disosialisasikan, diinternalisasikan dan dienkulturasikan’ pada dirinya. Contohnya bila dalam suatu perusahaan tidak memiiki budaya organisasi untuk memelihara kinerja yang baik, bila tidak maka kinerja pada perusahaan tersebut akan tidak stabil dan akan menghasilkan pendapatan yang tidak stabil pula bagi perusahaan tersebut. Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di masyarakat, apabila menggunakan teori fungsionalisme struktural versi Parsons, seharusnya menggunakan skema AGIL yang keempat aspeknya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain secara fungsional. 2.3.3. Patriarki Privat dan Patriarki Publik Konsep perbedaan antara beberapa aspek dari Patriarki memiliki sejarah panjang dalam analisis hubungan gender. Beberapa upaya sebelumnya dalam menggunakan perbedaan privat dan publik telah dibatasi menjadi satu aspek patriarki. Rosaldo (1974) berpendapat bahwa subordinasi perempuan disebabkan oleh pembatasannya dalam ruang lingkup domestik. Ia menyatakan bahwa pekerjaan laki-laki selalu lebih bernilai tinggi dibandingkan perempuan. Ia menyarankan bahwa subordinasi perempuan merupakan fenomena umum, meskipun dalam tingkat yang bervariasi, hal ini dijelaskan oleh fakta umum bahwa perempuan dibatasi dalam lingkup domestik keluarga karena peran mereka dalam melahirkan dan membesarkan anak-anak. (Walby, 1990 : 174). Sylvia Walby menjelaskan bahwa patriarki adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan mengeksploitasi perempuan.. Walby membedakan dua bentuk Patriarki : privat dan publik. Keduanya memiliki tingkatan yang berbeda. Pertama, dalam hubungan antara struktur, kedua, dalam bentuk institusi dari masing-masing struktur. Lebih lanjut, keduanya dibedakan oleh bentuk utama dari strategi patriarkal: exclusionary/‘pengecualian’ dalam patriarki privat dan sagregationist/‘pemisahan’ dalam patriarki publik. Patriarki privat didasari atas produksi rumah tangga, suami/bapak yang mengontrol perempuan dan secara langsung dalam wilayah privat rumah tangga secara keseluruhan. Patriarki publik didasari atas struktur selain rumah tangga, atau di luar rumah tangga. Tentu saja, institusi konvensional menganggap sebagai bagian dari wilayah publik merupakan pusat dari perbaikan patriarki (Walby, 1990 : 178). 15 Menurut Walby terjadi ekspansi wujud patriarki dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan perempuan. Dari teori tersebut, dapat diketahui bahwa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini dikatakan Walby sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan.Sedangkan patriarki publik menempati wilayahwilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Ekspansi wujud patriarki ini merubah baik pemegang "struktur kekuasaan"dan kondisi di masing-masing wilayah (baik publik atau privat). Dalam wilayah privat misalnya, dalam rumah tangga, yang memegang kekuasaan berada di tangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif. (Walby, 1990 : 178). Akan tetapi, Sylvia Walby tidak menjelaskan faktor apa yang menyebabkan terjadinya ekspansi wujud patriarki ke dalam ruang-ruang pribadi, privat bahkan publik. Dalam hal ini penulis lebih menyetujui pendapat dari Frederick Engels, bahwa faktor ekonomilah yang menyebabkan terjadinya ekspansi wujud patriarki itu. Menurut Engels, pembagian kerja seksual mula-mula berlangsung dalam kedudukan setara, tetapi keinginan untuk menguasai sumberdaya ekonomilah yang membuat ketimpangan kedudukan pembagian kerja seksual itu (Engels, 1972). 2.4. Representasi Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282). Juliastuti (2000) mengatakan bahwa representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia, seperti : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan lain-lain. Lebih lanjut, Juliastuti menjelaskan bahwa representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui “bahasa” (Hall, 1997 : 1). Stuart Hall dalam bukunya ”Representation” mengemukakan bahwa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna adalah ”bahasa”. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam “bahasa” yang umum, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita terhadap sesuatu. Salah satu cara untuk menerjemahkan “bahasa” tersebut adalah melalui pendekatan semiotika. Karena semiotika 16 adalah studi mengenai “bahasa” pada suatu tanda, seperti : simbol, tokoh, gambar, narasi, kata-kata, suara, televisi, film dan sebagainya. Dan terutama karena pendekatan semiotika memfokuskan pada : bagaimana merepresentasikan dan bagaimana “bahasa” memproduksi makna (Hall, 1997 : 6). Untuk mendapatkan gambaran patriarki dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” pada penelitian ini tentunya melalui representasi. Proses penyampaian konsep patriarki melalui kata-kata, bunyi, gambar, ataupun kombinasinya dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, merupakan proses representasi. Representasi patriarki merupakan produk pemaknaan dari sistem tanda yang terdapat dalam adegan film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Representasi juga merupakan proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak, yaitu ideologi patriarki dalam bentuk-bentuk yang konkret. Proses representasi patriarki diawali dengan mengkonsepkan “patriarki” yang masih abstrak kemudian menerjemahkannya, supaya kita dapat menghubungkan konsep tentang patriarki dalam film ini dengan tanda dan simbolsimbol tertentu yang berlaku di masyarakat. 2.5. Analisis Isi (Content Analysis) Metode analisis isi (content analysis) dapat disebut sebagai suatu metode khas untuk penelitian komunikasi. Metode ini banyak dipakai para peneliti komunikasi utamanya saat mereka harus berurusan dengan banyak persoalan media massa. Sebagai sebuah metode yang khas, analisis isi dipandang mampu menjamin adanya cara yang efisien, mampu memberikan alat, serta menyediakan langkah-langkah yang bermanfaat bagi peneliti isi media (message). Apapun bentuk atau ragam medianya, baik media tradisional, media konvensional, maupun media baru, bila peneliti mengobservasi isi pesan, maka metode analisis isi dapat diambil sebagai sebuah pendekatan yang paling memudahkan. (Prajarto, 2010 : 1) Metode analisis isi pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. Bila dalam masa awal perkembangan metode analisis isi banyak terkait dengan isi siaran radio, yang kemudian berkembang lebih banyak lagi dengan sasaran kajian isi surat kabar serta isi siaran televisi, perkembangan teknologi yang terjadi pada masa sekarang membuka peluang lebar untuk menerapkan metode analisis isi untuk penelitian yang terkait dengan isi sajian media baru (new media). (Prajarto, 2010 : 10) 17 Penelitian dengan menggunakan metode analisis isi bukan hanya untuk mempelajari karakteristik isi komunikasi tetapi juga untuk menarik kesimpulan mengenai sifat komunikator, keadaan khalayak, maupun efek komunikasi. Menurut Wimmer dan Dominick (2000), setidaknya ada 5 kegunaan yang dapat dilakukan dalam penelitian analisis isi, yaitu : (Bungin, 2004 : 136-138) 1. Menggambarkan isi komunikasi. Mengungkapkan kecenderungan yang ada pada isi komunikasi, baik melalui media cetak maupun elektronik. 2. Menguji hipotesis tentang karakteristik pesan. Sejumlah peneliti analisis isi berusaha menghubungkan karakteristik tertentu dari komunikator (sumber) dengan karakteristik pesan yang dihasilkan. 3. Membandingkan isi media dengan dunia nyata. Banyak analisis isi digunakan untuk menguji apa yang ada di media dengan situasi aktual yang ada di kehidupan nyata. 4. Memperkirakan gambaran kelompok tertentu di masyarakat. Di sini analisis isi digunakan untuk meneliti masalah sosial tentang diskriminasi dan prasangka terhadap kelompok minoritas, agama tertentu, etnik, dan lain-lain. 5. Mendukung studi efek media massa. Seperti dalam penelitian cultivation analysis, dimana pesan yang dominan dan tema-tema isi media yang terdokumentasi melalui prosedur yang sistematik, dikorelasikan dengan studi lain tentang khalayak, penelitian ini digunakan untuk melihat apakah pesan-pesan di media massa tersebut menumbuhkan sikap-sikap serupa di antara pengguna media yang berat (beavy users). Terdapat dua jenis analisis isi, yaitu analisis isi kuantitatif (Quantitative Content Analysis) dan analisis isi kualitatif (Qualitative Content Analysis). Prinsip analisis isi kuantitatif adalah prinsip objektifitas yang diukur dari pembuatan atau penyusunan kategorisasi. Metode yang diterapkan dalam analisis isi haruslah tersistematisasi, dimana mulai unit analisis yang diteliti sampai pembuatan kategorisasi dan operasionalisasi tidak tumpang tindih. Pesan-pesan yang tampak tadi haruslah dapat dihitung/dikuantifikasi untuk mendapatkan frekuensi penghitungan pesan-pesan yang dimaksudkan. Sedangkan analisis isi media kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang dapat berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu. Dokumen dalam analisis isi kualitatif ini merupakan pada metode analisis yang integratif dan lebih secara konseptual untuk menemukan, mengidentifikasi, 18 mengolah dan menganalisa dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansinya. Tujuan dari penelitian analisis isi kualitatif ini sebenarnya adalah sistematis dan analitis, tetapi tidak kaku (rigid) seperti analisis isi kuantitatif. Dengan kata lain, analisis isi kuantitatif hanya mampu mengetahui atau mengidentifikasi manifest messages (pesan-pesan yang tampak) dari isi media yang diteliti. Sedangkan analisis isi yang sifatnya kualitatif tidak hanya mampu mengidentifikasi pesanpesan manifest, melainkan juga latent messages dari sebuah dokumen yang diteliti. Jadi lebih mampu melihat kecenderungan isi media berdasarkan context (situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang diteliti), process (bagaimana suatu proses produksi media/isi pesannya dikreasi secara aktual dan diorganisasikan secara bersama) dan emergence (pembentukan secara gradual/bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan intepretasi) dari dokumen-dokumen yang diteliti (Bungin, 2004 :144-147). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis isi kualitatif karena metode ini mampu menganalisa isi pesan dalam media massa termasuk film, serta metode ini tidak hanya sampai pada menggambarkan isi pesan namun lebih dituntut kepada aktifnya peneliti dalam mengolah, membandingkan dan menghubungkannya dengan konsep lainnya. Selain banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang dapat berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu, metode ini juga lebih mampu melihat kecenderungan isi media berdasarkan context-nya, process-nya, dan emergence-nya. 19 2.6. Kerangka Pikir Teoritis Film “7Hati 7 Cinta 7 Wanita” Film yang mengisahkan 7 tokoh wanita dengan latar belakang yang berbeda dan mengalami konflik berlandaskan cinta dengan laki-laki disekitarnya. Patriarki Perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dianggap sebagai faktor utama ketidakadilan gender Teori Struktural Fungsionalisme Struktur sosial sebagai tatanan untuk mencapai keseimbangan. Adaptation (Penyesuaian Diri) Goal Attainment (Pencapaian Tujuan) Integration (Integrasi) Latency (Pemeliharaan Pola) Representasi Analisis Isi Mengidentifikasi, mengolah dan menganalisa dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansinya secara lebih kritis dan kreatif. Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural Fungsionalisme Tokoh-Tokoh dalam Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir Teoritis Penelitian Dalam kerangka pikir penelitian ini diawali dari film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yang mengisahkan tujuh tokoh perempuan dengan latar belakang berbeda serta mengalami konflik berlandaskan cinta dengan laki-laki terdekat mereka. Film ini merupakan suatu bentuk gambaran realita dalam masyarakat dimana pesannya menunjukkan adanya ketimpangan gender dengan asumsi bahwa perempuan di bawah dominasi laki-laki atau dengan kata lain perempuan selalu menjadi ‘korban’ dari ketidakadilan laki-laki. Hal ini sangat erat kaitannya 20 dengan budaya patriarki yang masih saja melekat dari generasi ke generasi. Patriarki merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dianggap sebagai suatu ketidakadilan gender, atau dengan kata lain harus ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Melihat patriarki dari segi teori struktural fungsionalisme, dijelaskan bahwa keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan merupakan struktur sosial sebagai tatanan yang memiliki fungsi atau peran masing-masing untuk mencapai keseimbangan. Tatanan (equilibrium) merupakan sebuah penempatan peran untuk mempermudah proses kehidupan sosial dan menjaga keseimbangannya. Teori struktural-fungsionalisme memiliki empat fungsi dalam sistem “tindakan” yang dikenal dengan skema AGIL, yaitu Adaptation, Goal, Integration, Latency. Empat fungsi penting ini diperlukan untuk menganalisis semua sistem tindakan manusia terutama tokoh dalam film yang dijadikan obyek penelitian. Untuk mendapatkan gambaran patriarki tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” pada penelitian ini tentunya melalui proses representasi. Representasi merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya yaitu dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Proses representasi patriarki ini kemudian akan diteliti lebih dalam menggunakan metode analisis isi kualitatif. Analisis isi kualitatif ini merupakan metode analisis yang integratif dan lebih secara konseptual untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah dan menganalisa dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansinya. Sehingga diharapkan dengan metode ini peneliti dapat menggambarkan representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme tokoh-tokoh yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” secara lebih kritis dan kreatif. 21