BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Puisi dalam Kamus Istilah Sastra (1984) adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Hal yang sama juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) dengan penambahan bahwa puisi merupakan gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus. Selain itu puisi juga merupakan sajak. Menurut Pradopo puisi merupakan gubahan penyair tentang pengalaman manusia ke dalam bentuk yang estetis (1987:7). Menurut Waluyo (2003:1), puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, diberi irama dengan bunyi yang padu, dan menggunakan kata-kata kias (imajinatif). Sedangkan menurut Dreyden (dalam Djojosuroto, 2005:10), puisi adalah musik yang tersusun rapi. Menurut Waluyo (2003:2-14), terdapat enam ciri-ciri kebahasaan puisi, yaitu: 1. Pemadatan bahasa Pemadatan bahasa bertujuan supaya kata atau frase yang terdapat dalam puisi memiliki makna yang lebih luas. 1 2 2. Pemilihan kata khas Kata-kata khas puisi adalah kata-kata yang berbeda dengan kata-kata untuk prosa atau bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut biasanya berupa penggunaan kata kias dan lambang yang bertujuan untuk mengganti suatu hal / benda dengan hal / benda yang lain, juga pemilihan kata dengan mempertimbangkan persamaan bunyi atau rima yang harmonis. 3. Kata konkret Kata konkret digunakan untuk menggambarkan sesuatu secara lebih konkret, sehingga lebih jelas maksud yang ingin disampaikan penyair. 4. Pengimajian Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang disampaikan oleh penyair dengan membuat hal-hal yang digambarkan tersebut seolah-olah dapat dilihat, didengar atau dirasa. 5. Irama Irama atau ritme berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frase, dan kalimat dalam puisi untuk memperindah puisi tersebut. 6. Tata wajah Tata wajah merupakan tata letak kata untuk membentuk gambar yang mewakili maksud tertentu dalam puisi. 3 Lirik lagu mengungkapkan bahasa yang digunakan pencipta lagu untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Wujud bahasa dalam lirik lagu adalah kata-kata. Penuangan ide lewat lirik lagu tidak lepas dari melodi, jenis irama, dan unsur musik lagu tersebut. Melodi, jenis irama, dan unsur musik tersebut menimbulkan pemendekan kata, pengurangan atau penambahan imbuhan. Hal tersebut dilakukan untuk menyesuaikan lirik lagu dengan melodi, jenis irama, dan konstruksi musik lagu tersebut (Helmi, 2010:2-3). Karakteristik lagu mempunyai kemiripan dengan puisi dalam wujud ekspresi linguistiknya, seperti bahasa yang digunakan pendek, singkat, padat makna, dan terdiri atas kalimat-kalimat yang disusun menjadi bait-bait (Anjarsari, 2007:27). Lagu apabila dilepaskan dari nadanada atau melodinya, akan menjadi lirik lagu, yang berarti bahwa lirik lagu merupakan rangkaian kata-kata dalam lagu (Sa’idah. 2013:3). Puisi sebagai salah satu karya sastra dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya (Pradopo, 1987:3). Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa lirik lagu mempunyai ciri-ciri yang sama dengan puisi, sehingga lirik lagu dapat dianalisis sebagai karya sastra sama seperti puisi. Lirik lagu yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah lirik lagu dari AKB48. AKB48 merupakan salah satu idol group yang populer di Jepang. Berkat kepopulerannya idol group yang berasal dari Tokyo ini berhasil membentuk sister group yang berada di wilayah lain, seperti SKE48 di Nagoya; NMB48 di Osaka; dan HKT48 di Fukuoka. Selain itu AKB48 juga telah berhasil membentuk sister group yang berada di luar Jepang, yaitu TPE48 di Taiwan; SNH48 di Cina; dan JKT48 di Indonesia. Beberapa single AKB48 telah berhasil menduduki peringkat 4 pertama Oricon Charts di Jepang. Lagu yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah lagu yang berjudul Sakura no Hanabiratachi 2008, Juunen Zakura, dan Sakura no Shiori. Lagu-lagu tersebut dipilih karena memiliki berbagai persamaan. Diantaranya adalah persamaan penggunaan bunga sakura dalam liriknya. Selain itu single-single tersebut dirilis dalam rentang waktu yang hampir sama, yaitu antara bulan Februari dan Maret. Hal yang menarik adalah rentang waktu tersebut dekat dengan periode kelulusan bagi sekolah dan universitas di Jepang. Sehingga, bunga sakura sering dihubungkan dengan perpisahan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah makna bunga sakura pada tiga lirik lagu AKB48 yang berjudul Sakura no Hanabiratachi 2008, Juunen Zakura, dan Sakura no Shiori. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna bunga sakura pada tiga lirik lagu AKB48 yang berjudul Sakura no Hanabiratachi 2008, Juunen Zakura, dan Sakura no Shiori. 1.4 Tinjauan Pustaka Andini Surety Indranesya, dari jurusan Sastra Jepang FIB UGM, dalam skripsinya yang berjudul “Lirik Lagu Kanjani Eito Bertema Osaka: Analisis Semiotik Riffaterre”, membahas pembacaan makna lirik lagu Kanjani Eito yang 5 bertema Osaka sebagai sebuah karya sastra. Dalam penelitiannya digunakan pedekatan objektif dengan analisis semiotik Riffaterre, yang munggunakan empat langkah dalam menganalisis makna dengan semiotik Riffattere, yaitu pencarian ketaklangsungan ekspresi; pembacaan heuristik dan hermeneutik; pencarian matriks, model, dan varian; dan pencarian hubungan intertekstual atau hipogram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat lirik lagu Kanjani Eito yang berjudul Naniwa Iroha Bushi, Osaka Rainy Blues, Osaka Romanesque, dan Osaka Obachan Rock memiliki hubungan intertekstual satu sama lain. Keempatnya juga memiliki hubungan dengan kota Osaka seperti judul yang menggunakan nama kota Osaka dan penggunaan dialek Osaka dalam lirik lagunya. Suci Sumbawati yang juga merupakan mahasiswa Sastra Jepang UGM, dalam skripsinya yang berjudul “Makna Dua Puluh Bait Puisi “Kemuri” karya Ishikawa Takuboku: Analisis Semiotik Riffaterre”, juga menggunakan teori yang sama untuk menemukan alasan mengapa pengarang puisi tersebut memberi judul “Kemuri” pada puisinya. Berdasarkan hasil penelitiannya, pengarang memberikan judul “Kemuri” pada puisi tersebut karena dalam puisi tersebut menggambarkan kehidupan kelam, gelap, dan menyedihkan seperti kata kemuri yang berarti asap. Selain itu, diketahui bahwa makna dari dua puluh bait puisi “Kemuri” adalah perjalanan hidup Ishikawa Takuboku saat berada di Tokyo. Noor Sa’idah dari jurusan dan universitas yang sama, juga menggunakan teori semiotik Riffaterre untuk menganalisis lirik lagu berbahasa Jepang karya Ninomiya Kazunari dalam skripsinya yang berjudul “Diksi, Gaya Bahasa, dan Kata Konkret dalam Lirik Lagu Karya Ninomiya Kazunari”. Lirik lagu yang 6 dianalisis adalah lirik lagu yang berjudul Gimmick Game dan 1992*4##111 yang memiliki penyampaian makna yang khas, yaitu munculnya dialog atau percakapan antara dua orang tokoh di dalam liriknya, banyaknya penggunaan huruf katakana, dan sedikitnya pengulangan kalimat. Makna yang terdapat pada lirik lagu berjudul Gimmick Game adalah kebohongan dan penghianatan yang dilakukan oleh sepasang kekasih, sedangkan makna lirik lagu yang berjudul 1992*4##111 adalah penyampaian rasa terima kasih melalui sebuah kode. Penelitian ini menggunakan teori yang sama dengan peneliti-peneliti sebelumnya, yaitu teori semiotik Riffaterre. Data penelitian juga sama yaitu puisi berbahasa Jepang (dalam hal ini adalah lirik lagu), akan tetapi lirik lagu yang digunakan berbeda, yaitu lirik lagu AKB48, yang belum pernah digunakan sebagai bahan penelitian pada penelitian-penelitian sebelumnya. 1.5 Landasan Teori Semiotik berasal dari bahasa Yunani kuno “semeion” yang berarti tanda atau “sign” dalam bahasa Inggris. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji halhal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekspresi (Djojosuroto, 2005:68). Menurut Zoest (dalam Sumbawati, 2012:7) semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Sedangkan menurut Preminger (dalam Pradopo, 1995:119) semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu 7 mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensikonvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger dalam Pradopo, 1995:119). Bahasa merupakan sebuah sistem semiotik tingkat pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sebagai sistem tanda tingkat kedua (Premiger dalam Pradopo, 1995:107). Karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua (Pradopo, 1987:122). Riffaterre berpendapat bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna pada tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tandatanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembaca transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi. (1978:164-166) Menurut Riffaterre terdapat empat hal penting untuk memberikan makna pada karya sastra secara semiotik, yaitu: 1.5.1. Ketidaklangsungan Ekspresi Riffaterre menjelaskan bahwa puisi mengutarakan berbagai hal dan pengertian secara tidak langsung. Secara sederhana, puisi menyatakan sesuatu hal 8 tetapi memiliki makna yang lain (1978:1). Karya sastra merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, dengan cara lain (Pradopo, 1995:124). Menurut Riffaterre (1978: 2) ada tiga hal yang memungkinkan terjadinya ketidaklangsungan ekspresi, yaitu: a) Penggantian arti (displacing of meaning) disebabkan oleh perubahan makna suatu tanda, saat sebuah kata berarti yang lainnya, seperti yang terdapat pada metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora adalah bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti suatu hal dengan sesuatu yang lain dengan tidak menggunakan kata-kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya (Pradopo, 1995:124). Sedangkan metonimi adalah bahasa kias pengganti nama, berupa penggunaan atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat dengan objek yang digantikan (Pradopo, 1987:77). Metafora dan metonimi ini untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Selain itu terdapat juga jenis bahasa kiasan yang lain, seperti simile, personifikasi, sinekdoke, dan alegori (Pradopo, 1995:124). Simile adalah majas pertautan yang membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa (Sudjiman, 1984:70). Personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 1987:75). Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu hal untuk hal itu sendiri. Ada dua macam sinekdoke, yaitu pars pro toto yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan, dan totum pro parte yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian (Pradopo, 1987:78-79). Sedangkan alegori ialah cerita kiasan 9 ataupun lukisan kiasan, yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain (Pradopo, 1987: 71). Lirik yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah lirik lagu berbahasa Jepang. Di dalam bahasa Jepang juga terdapat bahasa kiasan yang mempunyai pengertian yang sama dengan bahasa kiasan dalam bahasa Indonesia. Berikut ini adalah pengertian bahasa kiasan dalam bahasa Jepang menurut Momiyama dalam Sa’idah (2013:16): (1) Metafora (in’yu), yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan sesuatu hal dengan hal yang lain karena adanya kemiripan atau kesamaannya. (2) Metonimi (kan’yu), yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan suatu hal dengan hal yang lain karena berdekatannya atau adanya keterkaitan baik secara ruang maupun secara waktu. (3) Sinekdoke (teiyu), yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan suatu hal yang umum dengan hal yang lebih khusus atau sebaliknya. Sedangkan bahasa kiasan menurut Hirai Masao dalam Sa’idah (2013:1617) antara lain sebagai berikut: (1) Simile (chokuyu), yaitu cara membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan kata-kata: “seperti”, “nampak”, “sama seperti…”, “mirip…”, dan sebagainya, yang secara jelas menunjukkan perumpamaan. 10 (2) Metafora (in’yu), yaitu cara menunjukkan sesuatu yang diperumpamakan secara tiba-tiba. (3) Personifikasi (gijinhou), yaitu cara menunjukkan atau menyatakan hal yang bukan manusia seperti manusia. b) Penyimpangan arti (distorting of meaning), disebabkan oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas disebabkan oleh bahasa puisi yang berarti ganda (polyinterpretable). Kegandaan arti ini dapat berupa kegandaan arti dari sebuah kata, frase, ataupun kalimat (Pradopo, 1995:125). Kontradiksi berarti mengandung pertentangan yang disebabkan oleh paradoks atau ironi (Pradopo, 1995:126). Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi jika ditilik lebih dalam, sesungguhnya mengandung suatu kebenaran (Sudjiman, 1984:56). Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan makna sesungguhnya, misalnya dengan mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, atau ketidaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya (Sudjiman, 1984:36). Menurut Pradopo, nonsense adalah “kata-kata” yang secara linguistik tidak mempunyai arti karena hanya berupa rangkaian bunyi dan tidak terdapat dalam kamus. Tetapi, di dalam puisi nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi sastra (1995:128). Misalnya seperti penggabungan dua 11 kata atau lebih menjadi bentuk baru atau pengulangan suku kata dalam suku kata (Pradopo, 1987:219). c) Penciptaan arti (creating of meaning) terjadi ketika ruang teks menyajikan prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda di luar hal-hal ketatabahasaan yang tidak memiliki arti menjadi berarti misalnya dengan simitri, rima, atau ekuivalensi makna antara persamaan (homologues) posisi dalam bait (Riffaterre, 1978:2). Menurut Pradopo, penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik (1995:129). 1.5.2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Menurut Riffaterre proses semiotik benar-benar terjadi di dalam pikiran pembaca dan itu merupakan hasil dari pembacaan kedua. Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi secara semiotik, terdapat dua langkah pembacaan. Langkah pertama adalah pembacaan heuristik dan langkah selanjutnya pembacaan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:4-6). Pembacaan pertama disebut dengan pembacaan heuristik, di mana dalam pembacaan ini dilakukan penafsiran pertama, yaitu dengan memahami adanya ketidakserasian antar kata dan juga mengidentifikasi adanya kiasan (Riffaterre, 1978:5). Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasar struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama 12 (Pradopo, 1995: 135). Dalam pembacaan ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku; bilamana perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti (Pradopo, 1995:136). Tentu saja pada pembacaan ini belum memberikan makna sajak yang sebenarnya, hanya terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu berdasarkan konvensi bahasanya (Pradopo, 1995: 136-137). Langkah kedua adalah pembacaan retroaktif. Pada pembacaan hermeneutik ini dilakukan penafsiran yang kedua. Pembaca mengingat kembali apa yang sudah dibacanya dan memperbaiki pemahamannya (Riffaterre, 1978, 5). Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua, diantaranya adalah ketaklangsungan ekspresi sajak (Pradopo, 1995:137). 1.5.3. Matriks, Model, dan Varian Riffaterre berpendapat bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. dalam puisi, ruang ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (Riffaterre, 1978:13). Menurut Riffaterre untuk mendapatkan makna sajak lebih lanjut, pencarian tema dapat dilakukan dengan mencari matriks, model, dan varian- 13 variannya terlebih dahulu. Matriks dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks tidak diwujudkan secara utuh, tetapi diwujudkan dalam bentuk varian-varian. Bentuk varian sebagai perwujudan pertama dari matriks adalah model. Model dapat berupa kata atau kalimat tertentu yang biasanya diwujudkan dalam judul. Matriks, model, dan teks merupakan varian dari struktur yang sama. Matriks, model, dan varian saling berkaitan dan membentuk tema (1978:19-21). 1.5.4. Hipogram Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya dan merupakan sebuah tanggapan pada karya sastra yang terbit sebelumnya (Teeuw dalam Pradopo, 1995:131). Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis dan teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama, secara pengertian umum adalah teks (Pradopo, 1995:131-132). Produksi tanda puisi ditentukan oleh asal mula hipogram. Hipogram merupakan suatu sistem tanda yang terdiri dari setidaknya satu pernyataan dan bisa sama besar dengan suatu teks. Hipogram mungkin potensial, tampak dalam bahasa, atau aktual, juga tampak dalam teks sebelumnya (Riffaterre, 1987:23). Tujuan pencarian hipogram atau kajian intertekstual adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut (Nurgiyantoro dalam Indranesya, 2012:21). 14 1.6 Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan melalui sumber tertulis dan media elektronik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga lirik lagu AKB48 yang berhubungan dengan bunga sakura. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini tediri dari tiga bab yang disusun secara sistematik. Bab I berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi profil singkat mengenai AKB48. Bab III berisi analisis lirik lagu dengan melakukan pembacaan heuristik tiap bait dalam lirik lagu dan pembacaan hermeneutik keseluruhan lirik lagu dengan memperhatikan adanya ketidaklangsungan ekspresi; pencarian matriks, model, dan varian; dan pencarian hipogram untuk mengetahui makna lirik lagu secara menyeluruh. Terakhir, bab IV berisi kesimpulan hasil analisis sebagai penutup.