BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian 4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK menteri kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah Sanatorium menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi geografis RSPAW yang berada diketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan air laut dan suhu udara berkisar antara 18-29o C, membuat RSPAW menjadi rumah sakit yang sangat ideal bagi orang yang terganggu kesehatan paru-parunya. 44 45 Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: www.rspaw.or.id Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang dengan baik. Selain memberikan pelayanan kesehatan paru, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan juga mampu memberikan pelayanan kesehatan umum. Dan oleh karena standar mutu manajemen yang baik, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan mendapatkan sertifikat ISO 9001-2008. Pada tahun 2011 sebanyak 5663 pasien telah dirawat, kasus penyakit sebagai berikut: dengan 11 besar 46 Tabel 4.1 Sebelas Besar Penyakit di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Klasifikasi Penyakit Bronkitis, Emfisema, PPOK Gagal Jantung Tuberkulosa Paru Pneumonia ASMA Dispepsia Tumor Paru Sekuel TB Bronkiaktasis (BE) Efusi Pleura Diare Prosentase 14,42% 12,13% 7,46% 4,54% 4,38% 3,4% 3,13% 2,84% 2,61% 2,56% 2,54% Sumber: Medical Record Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan tahun 2011 Berdasarkan data flebitis pada bulan Januari sampai dengan September 2011, prosentase kejadian flebitis adalah 6,07 % (243 dari 4005 pasien). Jumlah ini melebihi standar rekomendasi dari INS yaitu 4-5%. 4.1.2 Data Umum Dari penelitian ini didapatkan 309 responden yang diamati setiap hari berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian flebitis. Dari 309 responden diperoleh sebanyak 456 insersi kateter intravena yang layak diobservasi perihal tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui perbandingan angka kejadian flebitis pada tangan dominan dan nondominan. Dari ke 456 insersi tersebut, 147 dilakukan di tangan dominan, yaitu 145 insersi pada tangan 47 kanan dan 2 pada tangan kiri. Sedangkan 309 insersi pada tangan nondominan dilakukan pada tangan kiri. 4.1.3 Data Khusus Dari 456 insersi kateter intravena yang diamati, 24,34% (111 dari 456) diantaranya mengalami flebitis. Dari 111 kejadian flebitis sebanyak 30,63% (34 dari 111 responden) terjadi pada tangan dominan dan 69,37% (77 dari 111 respoden) terjadi pada tangan nondominan. Acuan pertama penentuan kejadian flebitis berdasarkan skala flebitis dari Royal College of Nursing, 2010. Selain dari skala flebitis peneliti juga melakukan validasi kepada perawat yang bertugas. Dari 456 insersi kateter intravena yang diamati, sebanyak 147 dilakukan di tangan dominan dan 309 insersi di tangan nondominan. Pada tangan dominan sebanyak 23,13% (34 dari 147 responden) mengalami flebitis, dan pada tangan nondominan sebanyak (77 dari 309 responden) mengalami flebitis. 24,92% 48 4.2 Analisa Univariat 4.2.1 Karakteristik Responden 4.2.1.1 Jenis Kelamin Pada penelitian ini, responden laki-laki berjumlah 247 orang (54,2%) dan responden perempuan berjumlah 209 orang (45,8%). Dapat dilihat bahwa jumlah responden lebih banyak dari responden perempuan. Berdasarkan tangan dominan dengan nondominan, distribusi jenis kelamin adalah sebagai berikut: dari 247 responden laki-laki, sebanyak 30,36% (75 dari 247) terpasang kateter intravena pada tangan dominan dan sebanyak 69,64% (172 dari 247) terpasang pada tangan nondominan. Dari 209 responden perempuan, sebanyak 34,45% (72 dari 209) terpasang kateter intravena pada tangan dominan dan sebanyak 65,55% (137 dari 209) terpasang pada tangan nondominan. Jenis kelamin akan dianalisa apakah terdapat perbedaan angka kejadian flebitis antara laki-laki dengan perempuan. Pada kerangka konsep diketahui bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan kejadian flebitis. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui perbedaan perempuan. kejadian flebitis antara laki-laki dengan 49 Untuk mempermudah melihat proporsi jenis kelamin pada penelitian ini, dapat dilihat pada diagram lingkaran di bawah ini. Diagram 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Diagram 4.2 Distribusi Responden Laki-Laki Berdasarkan Tangan Dominan dan Nondominan 50 Diagram 4.3 Distribusi Responden Perempuan Berdasarkan Tangan Dominan dan Nondominan 4.2.1.2 Usia Ada banyak pendapat tentang pengelompokan usia, misalnya menurut Erick Erikson dan WHO. Oleh karena banyak pendapat dalam pengklasifikasian usia, maka untuk mempermudah penelitian peneliti membuat pengelompokan usia menjadi enam, yaitu: <19 tahun, 20-29 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, >60 tahun. Agar diperoleh gambaran usia yang baik, maka peneliti membuat rentang usia dengan rentang interval 10 tahun. Sebanyak 19 responden berusia dibawah 19 tahun, 27 responden berusia 20-29 tahun, 38 responden berusia 30-39 tahun, 82 responden berusia 40-49 tahun, 97 responden berusia 5059 tahun dan 193 responden berusia lebih dari 60 tahun. Oleh karena dalam kerangka konsep terdapat usia yang 51 merupakan salah satu faktor berkaitan dengan kejadian flebitis, maka perbedaan penelitian kejadian ini juga akan menganalisa flebitis yang berkaitan dengan pengelompokan usia tersebut. Untuk mempermudah melihat proporsi responden dalam kelompok usia di atas, dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini: Diagram 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia 52 4.2.2 Lokasi Pemasangan Dalam penelitian ini dari 309 responden diperoleh 456 insersi yang sesuai dengan kriteria penerimaan sebagai sampel. Dari 456 insersi sebanyak 32,24% insersi (147 dari 456) dilakukan di tangan dominan, dengan rincian 145 insersi di tangan kanan dan 2 insersi di tangan kiri. Dan sebanyak 67,76% dilakukan di tangan nondominan, dimana semua insersi pada tangan nondominan dilakukan pada tangan kiri. Dari 147 insersi pada tangan dominan, sebesar 66,67% dilakukan pada vena Sefalika, 18,37% pada vena Dorsal Metakarpal, 8,16% pada vena Basilika, pada 4,76% vena Median Antebrachial dan sebesar 2,04% dilakukan pada vena Median Kubital. Dan dari 309 insersi yang dilakukan pada tangan nondominan, sebesar 77,99% dilakukan pada vena Sefalika, 9,39% pada vena Dorsal Metakarpal, 4,85% pada vena Basilika, 6,15% pada vena Median Antebrachial dan sebesar 1,62% dilakukan pada vena Median Kubital Untuk mempermudah melihat distribusi responden berdasarkan lokasi pemasangan kateter intravena di atas, dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini: 53 Diagram 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Pemasangan Kateter Intravena pada Tangan Dominan dan Nondominan Diagram 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Vena pada Tangan Dominan 54 Diagram 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Vena pada Tangan Nondominan 4.2.3 Ukuran Kateter Intravena Ukuran kateter merupakan salah satu dari faktor mekanik yang menyebabkan flebitis. Ukuran kateter intravena yang besar jika dipasang pada vena yang kecil akan berakibat merusak tunika intima vena dan dapat menyebabkan flebitis. Pada penelitian ini diperoleh bahwa sebanyak 90,57% (413 dari 456) insersi menggunakan kateter intravena nomor 22 dan sebanyak 9,43% (43 dari 456) menggunakan kateter intravena nomor 24. Berdasarkan tangan dominan dan nondominan, dari 413 insersi yang dilakukan dengan kateter intravena nomor 22, sebanyak 32,93% (136 dari 413) dilakukan pada tangan dominan dan sebanyak 67,07% (277 dari 413) dilakukan pada tangan nondominan. Dan dari 43 insersi dengan 55 menggunakan kateter intravena nomor 24, sebanyak 25,58% (11 dari 43) dilakukan pada tangan dominan dan sebanyak 74,42% (32 dari 43) dilakukan pada tangan nondominan Untuk mempermudah melihat distribusi responden berdasarkan ukuran kateter intravena yang digunakan, dapat dilihat pada diagram lingkaran di bawah ini: Diagram 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Nomor Kateter Intravena yang Digunakan Diagram 4.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Kateter IV Nomor 22 pada Tangan Dominan dan Nondominan 56 Diagram 4.10 Distribusi Frekuensi Penggunaan Kateter IV Nomor 24 pada Tangan Dominan dan Nondominan 4.2.4 Lama pemasangan Dari penelitian ini diperoleh 456 insersi. Dari 456 insersi tersebut dipantau setiap harinya sampai muncul flebitis atau sampai dilakukan pelepasan insersi. Dari 456 insersi pada hari pertama, yang bertahan sampai hari kedua sebanyak 387 insersi, pada hari ke tiga 275 insersi, hari ke empat 150 insersi, hari ke lima 71 insersi dan hari ke enam 29 insersi. Untuk mempermudah melihat distribusi jumlah pemasangan infus berdasarkan lama hari pemasangan infus, dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini: 57 Diagram 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Hari Pemasangan Kateter Intravena 4.2.5 Cairan Infus Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 456 insersi, diperoleh 106 responden yang mendapatkan satu macam cairan infus, yaitu; 11 responden mendapatkan Asering, 34 responden mendapatkan Dekstrose 5% (D5), 8 responden mendapatkan Natrium Klorida 0,9% (NaCl) dan 53 responden mendapatkan Ringer Laktat (RL). Sedangkan sebanyak 350 responden mendapatkan lebih dari satu jenis cairan. Dalam penelitian ini terdapat 5 responden yang mendapat tranfusi darah (PRC). Untuk melihat secara lengkap distribusi responden berdasarkan cairan infus yang diberikan, dapat dilihat pada diagram batang dibawah ini. 58 Diagram 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Cairan Infus 59 4.2.6 Obat yang Diberikan Secara Intravena Dari penelitian ini, peneliti tidak secara umum membuat distribusi frekuesi responden berdasarkan obat yang diberikan. Peneliti hanya menampilkan distribusi frekuensi obat pada pasien yang terkena flebitis. Dari 111 kejadian flebitis, diperoleh data bahwa 42 responden tidak mendapatkan obat yang dapat menyebabkan flebitis menurut Deglin & Vallerand (2005). Berikut adalah obat menyebabkan flebitis pada 69 pasien: Diagram 4.13 Distribusi Frekuensi Obat yang Menyebabkan Flebitis 60 Dari data diatas diketahui bahwa, obat yang paling banyak digunakan adalah Cefotaxime. Dari 69 responden diatas, sebanyak 12 responden mendapatkan dua obat yang beresiko menyebabkan flebitis. 4.2.7 Diagnosa Medis Dari penelitian ini diperoleh bahwa, dari 456 insersi yang diobservasi diagnosa yang paling banyak ditemukan adalah PPOK, yaitu sebesar 16,22%. Hasil ini mengingat bahwa PPOK menempati posisi pertama dalam 11 besar penyakit yang dirawat di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan tahun 2011. Pada penelitian ini setelah PPOK, 9 lain diagnosa yang paling banyak diamati adalah CHF sebanyak 13,82%, TB sebanyak 12,06%, Dispepsia sebanyak 6,8%, Diabetes Melitus sebanyak 3,29%, Asma sebanyak 2,85%, Hematemesis sebanyak 2,63%, Efusi Pleura sebanyak 2,63%, Masa Paru sebanyak 2,41% dan Febris sebanyak 2,41%. Untuk melihat distribusi responden berdasarkan diagnosa medis secara lengkap, dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini. 61 Diagram 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa Medis 62 4.3 Analisa Bivariat 4.3.1 Uji Hipotesis Penelitian Berikut adalah hipotesis penelitian: Hipotesis nol: Tidak ada perbedaan angka kejadian flebitis pada pemasangan kateter intravena pada tangan dominan dengan nondominan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga. Hipotesis alternatif: Ada perbedaan angka kejadian flebitis pada pemasangan kateter intravena pada tangan dominan dengan nondominan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga. Peneliti mempunyai dua cara perhitungan untuk menguji hipotesis komparatif di atas yaitu secara manual dan dengan bantuan SPSS. 4.3.1.1 Perhitungan Secara Manual Perhitungan secara manual yang dilakukan peneliti menggunakan tabel kontingensi 2x2 dalam uji hipotesis komparatif. 63 Tabel 4.2 Tabel Kontingensi 2x2 Letak Pemasangan Infus di Ekstremitas Atas (Tangan) Dominan Nondominan Jumlah Pengaruh terhadap Kejadian Flebitis Tidak Terjadi Terjadi Flebitis Flebitis 34 113 77 232 111 345 Jumlah 147 309 456 Perhitungan menurut Sugiyono (2010), menggunakan rumus Chi-Square dengan koreksi Yates: Dengan taraf kesalahan 5% dan df=1, maka harga Chi-Square tabel = 3,841. Ternyata harga Chi-Square hitung lebih rendah dari harga Chi-Square untuk taraf kesalahan 64 5%. Dengan demikian maka Ha ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan angka kejadian flebitis pada pemasangan kateter intravena antara tangan dominan dengan tangan nondominan. Hal ini berarti angka kejadian flebitis pada tangan dominan dengan tangan nondominan relatif sama. 4.3.1.2 Perhitungan dengan SPSS Ketentuan uji hipotesis dengan menggunakan SPSS: - Jika Chi-Square hitung < Chi-Square Tabel, maka Ho diterima - Jika Chi-Square hitung > Chi-Square Tabel, maka Ha diterima Atau - Jika Asymp Sig. > α (tingkat kepercayaan 95%, α=0,05), maka Ho diterima - Jika Asymp Sig. < α (tingkat kepercayaan 95%, α=0,05), maka Ha diterima Dengan bantuan SPSS, diperoleh hasil harga ChiSquare hitung adalah 0,083 dan dengan df 1 (Chi-Square tabel adalah 3,841) serta Asymp Sig. 0,773. Asymp Sig. menunjukkan signifikasi atau dalam kata lain adalah p-value. Dengan harga Chi-Square lebih rendah dari Chi-Square tabel dan Asymp Sig. lebih dari 0,05 maka Ha ditolak. 65 Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis pada tangan dominan dengan nondominan. 4.3.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dan Nondominan Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan Pembuluh Vena Sefalika Dorsal Metakarpal Basilika Median Antebrachial Median Kubital Jumlah Tangan Kanan Insersi Flebitis n n (%) 23 97 (23,71) 6 27 (22,22) 1 11 (9,1) 2 7 (28,57) 2 3 (66,67) 145 34 Tangan Kiri Insersi Flebitis n n (%) Total Insersi N 1 0 98 0 0 27 1 0 12 0 0 7 0 0 3 2 0 147 Total Flebitis N (%) 23 (23,47) 6 (22,22) 1 (8,33) 2 (28,57) 2 (66,67) 34 (23,13) Dari data diatas diketahui bahwa dari 147 insersi yang dilakukan pada tangan dominan, dua per tiga dilakukan pada vena Sefalika. sedangkan vena yang paling sedikit digunakan untuk insersi adalah vena Median Kubital, dimana prosentasenya hanya mencapai 2,04%. 66 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Nondominan Pembuluh Vena Tangan Kanan Insersi Flebitis n n (%) Tangan Kiri Insersi Flebitis n n (%) 58 241 (24,07) 9 29 (31,03) 2 15 (13,33) 7 19 (36,84) Total Insersi N Sefalika 0 0 Dorsal Metakarpal 0 0 Basilika 0 0 0 0 0 0 5 1 (20) 5 1 (20) 0 0 309 77 (24,92) 309 77 (24,92) Median Antebrachial Median Kubital Jumlah 241 Total Flebitis N (%) 58 (24,07) 9 (31,03) 2 (13,33) 7 (36,84) 29 15 19 Dari data diatas vena Sefalika juga merupakan vena yang paling sering digunakan untuk insersi, dimana 77,99% dari 309 insersi dilakukan pada vena tersebut. Vena Median Kubital juga menjadi vena yang paling sedikit digunakan untuk insersi, prosentase penggunaan vena ini hanya 1,62%. Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dan Nondominan Pembuluh Vena Sefalika Dorsal Metakarpal Basilika Median Antebrachial Median Kubital Jumlah Tangan Dominan Insersi Flebitis n n (%) 23 98 (23,47) 6 27 (22,22) 1 12 (8,33) 2 7 (28,57) 2 3 (66,67) 34 147 (23,13) Tangan Nondominan Insersi Flebitis n n (%) 58 241 (24,07) 9 29 (31,03) 2 15 (13,33) 7 19 (36,84) ChiSquare df (1), pvalue 0,021 0,884 1,528 0,216 1.190 0,275 0,970 0.325 5 1 (20) 25,391 0,00 309 77 (24,92) 0,083 0,773 67 Dari hasil diatas diketahui bahwa perbandingan antara tangan dominan dengan nondominan tidak signifikan. Namun, pada vena Median Kubital terdapat perbedaan yang sangat kuat, dimana tangan dominan lebih beresiko terkena flebitis. Hal ini dibuktikan dengan Chi-Square hitung 25,391 dimana dengan df 1 Chi-Square tabel adalah 3,841 dan dengan p-value 0,00 lebih rendah dari 0,05. 4.3.3 Perbandingan Digunakan Kejadian Flebitis pada Vena yang Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tiap Lokasi Vena Pembuluh Vena Total Insersi N Sefalika 339 Dorsal Metakarpal 56 Basilika 27 Median Antebrachial Median Kubital 26 8 Total Flebitis N (%) ChiSquare, df, p-value 81 (23,89) 15 (26,79) 3 (11,11) 9 (34,62) 3 (37,5) 16,667 df: 4 0,02 Dari Hasil perhitungan SPSS di atas, dengan harga Chi-Square hitung 16,667 dengan df 4 (Chi-Square tabel: 9,488), maka harga Chi-Square hitung lebih besar dari ChiSquare tabel dan dengan p-value bernilai 0,02, maka dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan kejadian flebitis pada lokasi vena di ekstremitas atas. Vena Median Kubital 68 merupakan vena yang paling tinggi kejadian flebitisnya yaitu sebesar 37,5%. 4.3.4 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Karakteristik Responden 4.3.4.1 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin pada Tangan Dominan dan Nondominan Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah Dominan Insersi Flebitis n n (%) 13 75 (17,33) 21 72 (29,17) 34 147 (23,13) Nondominan Insersi Flebitis n n (%) 35 172 (20,04) 42 137 (30,66) 77 309 (24,92) ChiSquare, df (1), p-value 0,243 0,622 0,067 0,796 0,083 0,773 Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square 0,243 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,622 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian flebitis antara laki-laki yang terpasang kateter intravena pada tangan dominan dengan nondominan. Hasil serupa juga ditunjukkan pada perbandingan antara perempuan yang terpasang kateter intravena pada tangan dominan dengan nondominan. Hal ini dibuktikan dengan nilai Chi-Square 0,067 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,796 Dari hasil ini dapat dilihat bahwa kejadian flebitis 69 antara tangan dominan dengan nondominan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin Pembuluh Vena Sefalika Dorsal Metakarpal Basilika Median Antebrachial Median Kubital Jumlah Laki-Laki Insersi Flebitis n n (%) 36 195 (18,46) 5 17 (29,41) 2 15 (13,33) 3 15 (20) 2 5 (40) 48 247 (19,43) Perempuan Insersi Flebitis n n (%) 45 144 (31,25) 10 39 (25,64) 1 11 (9,1) 6 12 (50) 1 3 (33,33) 63 209 (30,14) ChiSquare, df (1), p-value 3,449 0,063 0,164 0,686 0,727 0,394 12,857 0,00 0,641 0,413 2.469 0,116 Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square 2,469 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,116 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis pada laki-laki dengan perempuan. 70 4.3.4.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Responden Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Responden Kelompok Usia Insersi n Flebitis n (%) <19 thn 19 3 (15,79) 20-29 thn 27 4 (14,82) 30-39 thn 38 7 (18,42) 40-49 thn 82 23 (28,05) 50-59 thn 97 30 (30,93) >60 thn 193 44 (22,8) Chi-Square, df, p-value 10,056 df: 4 0,04 Dengan nilai Chi-Square hitung 10,056 dengan df 4 (ChiSquare tabel: 9,488), sehingga Chi-Square hitung lebih besar dari pada Chi-Square tabel dan dengan nilai p-value 0,04 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok usia. 4.3.5 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena pada Tangan Dominan dan Nondominan Nomor Kateter IV Nomor 22 Nomor 24 Jumlah Dominan Insersi Flebitis n n (%) 29 136 (21,32) 5 11 (45,45) 34 147 (23,13) Nondominan Insersi Flebitis n n (%) 65 277 (23,47) 12 32 (37,5) 77 309 (24,92) ChiSquare, df (1), p-value 0,091 0,763 7,118 0,008 0,083 0,773 Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square 0,091 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,763 menunjukkan 71 bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian flebitis pada penggunaan kateter intravena nomor 22 di tangan dominan dengan nondominan. Namun pada penggunaan kateter intravena nomor 24, didapatkan perbedaan bahwa nomor 24 yang dipasang pada tangan dominan lebih beresiko terkena flebitis. Hasil ini dibuktikan dengan nilai Chi-Square 7,118 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,008 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena Pembuluh Vena Sefalika Dorsal Metakarpal Basilika Median Antebrachial Median Kubital Jumlah Nomor 22 Insersi Flebitis n n (%) 71 316 (22,47) 9 45 (20) 3 24 (12,5) 8 21 (38,1) 3 7 (42,86) 94 413 (22,76) Nomor 24 Insersi Flebitis n n (%) 10 23 (43,48) 6 11 (54,55) ChiSquare df (1), p-value 6,785 0,009 16,33 0,000 3 0 - - 5 1 (20) 5,586 0,018 1 0 - - 43 17 (39,53) 4.587 0,032 Dari hasil perhitungan di atas, menunjukkan bahwa nilai Chi-Square hitung 4,587 lebih besar dari Chi-Square tabel dengan df 1 dan nilai p-value 0,032. Dengan demikian maka terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian flebitis berhubungan dengan ukuran kateter intravena. Dimana nomor 24 lebih beresiko menyebabkan flebitis daripada nomor 22. 72 4.3.6 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Resiko Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Hari Pemasangan Lama Hari Pemasangan Insersi n Flebtis n (%) 1 456 28 (6,14) 2 387 28 (7,24) 3 275 28 (10,18) 4 150 18 (12) 5 71 6 (8,45) 6 29 3 (10,35) Chi-Square, df, p-value 2,811 df: 1 0,729 Dari penelitian ini didapatkan kejadian flebitis pada hari pertama sebesar 6,14% (28 dari 456 insersi), hari ke dua sebesar 7,24% (28 dari 387 insersi), hari ke tiga 10,18% (28 dari 275 insersi), hari ke empat sebesar 12% (18 dari 150 insersi), hari ke lima sebesar 8,45% (6 dari 71 insersi) dan pada hari ke enam sebesar 10,35% (3 dari 29 insersi). Untuk mempermudah melihat distribusi kejadian flebitis berdasarkan lama pemasangan kateter intravena, dapat dilihat pada diagram garis di bawah ini. 73 Diagram 4.15 Distribusi Frekuensi Resiko Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan 4.3.7 Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus Tabel. 4.13 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus yang Diberikan Cairan Infus Insersi n Aminoleban/D5 2 Aminovel/D5/RL 6 Asering 11 Asering/Aminoleban 2 D5/Asering 17 D5/Asering/Aminovel 1 D5/Aminoleban/PRC 1 D5/Aminovel 1 D5/RL/Asering 13 RL/Asering/Manitol 1 NaCl/Asering/PRC 1 RL/Asering 6 Flebitis n (%) 1 (50) 1 (16,67) 3 (27,27) 2 (100) 8 (47,06) 1 (100) 1 (100) 1 (100) 1 (7,69) 0 0 1 (16,67) Cairan Infus Insersi n Asering/PRC 1 D5 34 D5/NaCl 49 D5/NaCl/RL 4 D5/NaCl/Albumin 1 D5/RL 231 D5/RL/Manitol 1 NaCl 8 NaCl/RL 10 RL 53 RL/PRC 2 Flebitis n (%) 0 11 (32,35) 7 (14,28) 2 (50) 0 48 (20,78) 0 1 (12,5) 2 (20) 19 (35,85) 1 (50) 74 Dari data diatas jika dikelompokkan menjadi kelompok cairan kombinasi dan satu macam cairan infus yang diberikan. Prosentase kejadian flebitis pada responden yang mendapat satu jenis cairan infus sebesar 32,07%. Sedangkan yang mendapat cairan infus kombinasi sebesar 22%. Apabila digunakan perhitungan SPSS diperoleh ChiSquare hitung 1,852 lebih sedikit dari pada maka ChiSquare tabel dengan df 1 (3,841) dan dengan p-value 0,174 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis yang disebabkan oleh cairan infus kombinasi dan yang hanya satu macam cairan infus. 4.3.8 Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa Medis Pada penelitian ini, peneliti tidak membandingkan atau menghubungkan kejadian flebitis dengan diagnosa medis. peneliti hanya akan memaparkannya. 75 Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa Medis Diagnosa Abdominal Pain Insersi Flebitis n n 2 0 Diagnosa GE Insersi n 2 Flebitis n 0 Abses Paru 2 0 Hematemesis 12 5 Anemia 1 0 Hepatitis 6 4 Apendic 1 0 Hipertensi 6 3 Asma 13 2 Hipertermi 2 1 BE Terinfeksi 7 3 Hipoglikemia 1 0 Bekas TB 11 1 KP 1 0 Bleeding 1 0 LBP 4 2 Bradikardi 2 0 Masa Paru 11 4 Bronkiektasis 1 0 Meningitis TB 1 0 Bronkitis Kronis 3 0 Obs. Febris 7 1 BRPN 2 1 Oedema Paru 3 0 ca. Paru 2 0 Ost. Peartritis 2 0 Cardiomiopati 2 1 Oystitis Nefrokal 2 1 Cephagia 4 1 PJI 2 0 Chest Pain 11 1 Pneumonia 7 4 CHF 63 14 Pneumothorax 2 1 Cirosis Hepatica 3 0 PPOK 74 19 Coma Hepatica 2 0 3 1 Colic Abdomen 3 2 5 4 Colic Renal 2 0 Sirosis Hepatik Sindrom Otak Organik SNH 10 2 CPC 3 1 Stemi 2 0 Diare Akut 2 0 Susp. DHF 1 0 Dispepsia 31 11 TB 55 11 DM 15 3 TIA 2 1 Efusi Pleura 12 3 Tumor Paru 10 1 Febris 11 2 Typhoid 3 0 Gastritis 3 0 Usteral 1 0 Vertigo 4 0 Dari data diatas diperoleh bahwa 10 besar diagnosa yang lebih rentan terkena flebitis, adalah sebagai berikut: 76 sindrom otak organik 80% (4 dari 5 insersi), Colic Abdomen 66,67% (2 dari 3 insersi), Hepatitis 66,67% (4 dari 6 insersi), Pneumonia 57,14% (4 dari 7 insersi), Bronkopneumonia 50% (1 dari 2 insersi), Cardiomiopati 50% (1 dari 2 insersi), Hipertensi 50% (3 dari 6 insersi), Hipertermi 50% (1 dari 2 insersi), Low Back Pain 50% (2 dari 4 insersi) dan Oystitis Nefrokal 50% (1 dari 2 insersi). 4.4 Pembahasan Penelitian ini mungkin pernah dilakukan pada awal mula ditemukannya terapi intravena dalam dunia kesehatan, namun peneliti tidak menemukan satu dokumen atau jurnal yang menjelaskan tentang hal tersebut. Dalam penelitian tentang faktor-faktor predisposisi terhadap kejadian flebitis yang pernah dilakukan oleh Uslusoy dan Mete pada tahun 2008 dengan desain studi deskriptif, mendapatkan bahwa tubuh sebelah kanan secara prosentase lebih beresiko terjadi flebitis. Dengan ide penelitian yang muncul dari penelitian Uslusoy dan Mete tersebut, peneliti melakukannya secara lebih spesifik lagi dan dengan desain penelitian Cohort Prospektif yang lebih sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk membandingkan. 77 4.4.1 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dengan Nondominan Hasil analisa dari data yang diperoleh selama satu bulan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan, menunjukkan bahwa pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis pada tangan dominan dengan nondominan. Hal ini dibuktikan melalui perhitungan yang dilakukan oleh peneliti baik manual maupun dengan bantuan SPSS, dimana nilai Chi-Square hitung (0,08**) lebih kecil dari nilai Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841). Dari hasil penelitian ini diperoleh kejadian flebitis pada tangan dominan sebesar 23,13% (13 dari 147 insersi) dan tangan nondominan sebesar 24,92% (77 dari 309 insersi). Lebih jauh lagi peneliti mencoba untuk membandingkan kejadian flebitis tiap vena pada tangan dominan dengan nondominan. Hasilnya diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara vena Median Kubital antara tangan dominan dengan nondominan. Dengan nilai Chi-Square 25,391 lebih besar dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841), dimana vena Median Kubital pada tangan dominan lebih beresiko terjadi flebitis. Peneliti berasumsi bahwa terjadi perbedaan tersebut karena tangan dominan lebih aktif dari pada tangan nondominan, dan dengan lokasi vena Median Kubital yang berada di 78 persendian siku sebelah dalam. Pada kasus ini pergerakan pada sendi akan menyebabkan kerusakan pada balutan dan pergeseran kateter intravena yang dapat menyebabkan flebitis. Berkaitan dengan perbandingan kejadian flebitis pada tangan dominan dengan nondominan, peneliti hanya dapat membandingkan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008), terhadap 568 insersi. Penelitian dari Uslusoy dan Mete (2008), tidak meneliti tentang perbandingan dominan dengan nondominan namun membandingkan antara tubuh sebelah kanan dengan sebelah kiri. Dari penelitian yang dilakukan Uslusoy dan Mete, kejadian flebitis pada tubuh sebelah kanan sebesar 57,5% (115 dari 200) dan tubuh sebelah kiri sebesar 52,7% (194 dari 358). Dengan hasil Chi-Square hitung (1,195) lebih kecil dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan nilai pvalue 0,274, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbandingan yang signifikan pada kejadian flebitis antara tubuh sebelah kanan dengan tubuh sebelah kiri. Berdasarkan hasil penelitian diatas, menunjukkan bahwa faktor kejadian flebitis tidak akan mempengaruhi pemilihan tangan yang akan digunakan untuk memberikan terapi intravena. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi 79 pemilihan vena untuk digunakan dalam terapi intravena sudah dijelaskan pada BAB II Tinjauan Pustaka, poin 2.2. 4.4.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tiap Lokasi Vena pada Ekstremitas Atas Dari hasil penelitian ini diperoleh angka kejadian pada vena Sefalika sebesar 23,89% (81 dari 339 insersi), vena Dorsal Metakarpal sebesar 26,79% (15 dari 56 insersi), vena Basilika sebesar 11,11% (3 dari 27 insersi), vena Median Antebrachial sebesar 34,62% (9 dari 26 insersi) dan vena Median Kubital sebesar 37,5% (3 dari 8 insersi). Dengan hasil Chi-Square hitung 16,67 lebih besar dari ChiSquare tabel dengan df 4 (9,488) dan dengan nilai p-value 0,02 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perbedaan kejadian flebitis pada lokasi vena di ekstremitas atas. Dari hasil diatas didapatkan bahwa vena Median Kubital merupakan vena yang paling banyak mengalami flebitis. Vena Median Kubital merupakan vena yang berada di persendian, yaitu di siku tangan sebelah dalam. Pemasangan kateter intravena pada area sendi akan beresiko mengalami komplikasi karena pada persendian, balutan akan rentan terhadap gerakan. Hal ini dapat menyebabkan balutan rusak sehingga mikroorganisme 80 dapat masuk atau jika terjadi gerakan dapat melukai tunika intima vena. Hasil serupa juga diperoleh Uslusoy dan Mete (2008), yang melakukan penelitian terhadap 568 insersi. Pada penelitian yang Uslusoy dan Mete lakukan, bukan vena yang dijadikan indikator pengukuran namun letak berdasarkan penampakan luar tangan. Hasil yang Uslusoy dan Mete dapatkan adalah kejadian flebitis paling banyak terjadi di persendian antar tangan dengan lengan yaitu sebesar 51,3% (59 dari 115 insersi), dan pada punggung tangan sebesar 51,3% (79 dari 154 insersi), kemudian pada lengan tangan sebesar 43,1% (75 dari 174 insersi) dan pada Anterkubital Fossa sebesar 36,8% (46 dari 125 insersi). 4.4.3 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin Pada penelitian ini diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis pada Lakilaki dengan Perempuan. Dengan nilai Chi-Square hitung 2,469 lebih kecil dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan dengan p-value 0,116 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian flebitis yang signifikan antara Laki-laki dengan Perempuan. Kemudian peneliti menghubungkan jenis kelamin dengan tangan dominan dan 81 nondominan. Hasil perbandingan antara tangan dominan dengan nondominan pada laki-laki diperoleh bahwa nilai Chi-Square 0,067 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,796, hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Pada wanita juga memperoleh hasil tidak ada perbedaan antara tangan dominan dengan nondominan. Hal ini dibuktikan dengan nilai Chi-Square 0,243 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,622. Hasil ini juga sama dengan yang penelitian yang dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008) terhadap 568 insersi. Dimana diperoleh hasil bahwa sebanyak 42,3% (131 dari 179 insersi) perempuan terkena flebitis dan sebanyak 49,9% ( 128 dari 180 insersi) laki-laki terkena flebitis. 4.4.4 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Dalam penelitian ini diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok usia yang dibuktikan dengan nilai Chi-Square hitung 10,056 lebih besar dari Chi-Square tabel dengan df 4 yaitu 9,488 dan nilai p-value 0,04. dimana resiko terkena flebitis tertinggi yaitu sebesar 30,93% pada usia 50-59 tahun, kemudian 28,05 pada kelompok usia 40-49 tahun, 22,8% pada usia lebih dari 60 tahun, 18,42% pada usia 30-39 tahun, 14,82% 82 pada usia 20-29 tahun dan 15,79% pada usia dibawah 19 tahun. Hasil penelitian ini juga memperoleh hasil yang mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh R Singh, et al (2008), terhadap 230 insersi. Dari penelitian oleh R Singh, et al (2008), didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok usia, dimana usia yang beresiko terkena flebitis adalah sebagai berikut: 81,8% (27 dari 33) usia 31-40 tahun, 76,9% (20 dari 26) usia 41-50 tahun, 63% (17 dari 27) usia 51-60 tahun, 58,8% (20 dari 34) usia lebih dari 60 tahun, 52,2% (24 dari 46) usia 15-20 tahun dan 43,8% (28 dari 64) usia 21-30 tahun. Menurut Ingram P dan Lavery I (2005), kelompok yang beresiko dan rentan mengalami flebitis adalah orang yang sudah tua. Hal ini dikarenakan proses degenerasi yang dialami, Pengaruh degenerasi terhadap pembuluh darah adalah keelastisan berkurang sehingga pembuluh darah tidak dapat mempertahankan kecepatan aliran darah dengan normal. Proses degenerasi juga menyebabkan sistem imun berkurang. Pada kasus pemasangan infus, peneliti berasumsi bahwa tidak terdapat balutan yang steril 100%. Sehingga jika terdapat bakteri, walaupun kecil resikonya 83 seorang yang sudah tua akan lebih mudah terkena infeksi dan dapat berkembang menjadi flebitis. 4.4.5 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena Hasil Chi-Square hitung antara ukuran kateter nomor 22 dengan nomor 24 adalah 4,587. Hasil ini lebih besar dari nilai Chi-Square tabel dengan df 1 yaitu 3,841. Dan dengan nilai p-value 0,032 (<0,05), menunjukkan bahwa secara umum terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian flebitis oleh karena perbedaan nomor kateter intravena. Pada penelitian ini diperoleh bahwa kateter intravena nomor 24 lebih beresiko dibanding dengan nomor 22. Menurut La Rocca (1998), kateter intravena nomor 22 merupakan kateter intravena yang cocok digunakan pada pasien anak-anak dan orangtua. sedangkan untuk nomor 24 digunakan pada pasien pediatrik dan neonatus. Nomor kateter intravena berbanding terbalik dengan diameter kateter intravena, semakin besar nomor kateter intravena semakin kecil diameternya. Nomor 22 dan nomor 24 adalah nomor yang sering dipakai di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan. Besarnya diamater berpengaruh pada kecepatan aliran cairan infus yang diberikan, diameter yang kecil akan membuat aliran infus lebih kencang daripada yang 84 berdiameter besar. Kecepatan aliran akan berpengaruh pada kejadian flebitis, hal ini berkaitan dengan iritasi yang disebabkan cairan infus terhadap tunika intima yang dilalui. Menurut intravena La dengan Rocca (1998) ukuran kecil penggunaan dapat kateter memperlambat pemberian cairan sehingga memerlukan alat infus tekanan positif atau pemasangan kembali kateter intravena dengan ukuran yang lebih besar. La Rocca (1998), juga menambahkan bahwa dalam memilih kateter intravena harus mempertimbangkan kondisi vena yang dipilih, viskositas cairan, usia pasien dan lama terapi yang diperkirakan. Untuk ukuran kateter intravena yang lebih besar juga dapat menyebabkan flebitis, hal ini berkaitan dengan letak pemasangan. Ukuran kateter besar apabila dipasang pada vena yang kecil dapat mengakibatkan trauma pada tunika intima dan akhirnya dapat menyebabkan flebitis. Dengan hasil yang menunjukkan bahwa kateter intravena berdiameter kecil yang lebih beresiko menyebabkan flebitis, dapat diartikan bahwa pada pemasangan kateter intravena, perawat Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan mempunyai kompetensi yang baik dalam melakukan insersi kateter intravena. 85 Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nassaji-Zavareh M, Ghobarani R dan oleh Uslusoy dan Mete. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nassaji-Zavareh M, Ghobarani R (2008) terhadap 300 insersi didapatkan bahwa sebanyak 27,5% (30 dari 109) kejadian flebitis terjadi pada pemasangan kateter intravena nomor 20 dan sebanyak 24,7% (47 dari 190) kejadian flebitis terjadi pada pemasangan kateter intravena nomor 18. Dan penelitian yang dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008), terhadap 568 insersi diperoleh kejadian flebitis pada pemasangan kateter intravena nomor 16 adalah 35,6% (16 dari 45), untuk nomor 18 sebanyak 47,7% (93 dari 195), nomor 20 sebanyak 45,6% (146 dari 320) dan untuk kateter intravena nomor 22 sebanyak 50% (4 dari 8). 4.4.6 Kejadian Flebitis Kateter Intravena Berdasarkan Lama Pemasangan Dari hasil penelitian ini, peneliti mendapatkan proporsi kejadian flebitis tiap lama hari pemasangan. Dengan hasil kejadan flebitis pada hari pertama sebesar 6,14% (28 dari 456 insersi), hari ke dua sebesar 7,24% (28 dari 387 insersi yang masih bertahan), hari ke tiga 10,18% (28 dari 275 insersi), hari ke empat sebesar 12% (18 dari 150 insersi), 86 hari ke lima sebesar 8,45% (6 dari 71 insersi) dan hari ke enam sebesar 10,35% (3 dari 29 insersi). Pada hari ke lima didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan resiko kejadian flebitis kemudian meningkat lagi pada hari ke enam. Peneliti melihat bahwa jika tidak dilakukan penggantian kateter intravena pada hari ke empat, maka akan ada pilihan untuk mengganti balutan pada hari ke empat atau ke lima. Dari hasil diatas menggambarkan bahwa semakin lama pemasangan kateter intravena, maka resiko kejadian flebitis akan semakin bertambah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang disampaikan oleh O’Grady, et al (2002), dan Royal College of Nursing (2010), dimana semakin lama pemasangan infus potensi terjadinya infeksi akan semakin bertambah, dan oleh sebab itu dianjurkan untuk mengganti kanulasi atau melakukan pemindahan tempat tusukan setiap 72-96 jam. 4.4.7 Kejadian Flebitis Diberikan Berdasarkan Cairan Infus yang Penelitian ini tidak menggolongkan cairan infus berdasarkan jenisnya menjadi cairan hipotonik, isotonik dan hipertonik. Hal ini disebabkan penelitian ini berdesain cohort prospektif, dimana setiap hari dilakukan observasi. 87 Sehingga peneliti mendapati setiap perubahan berkaitan dengan cairan infus yang diberikan, peneliti menyajikan data dimana tanda garis miring “/” menunjukkan pergantian cairan infus. Dalam penelitian ini hanya 106 insersi yang memperoleh hanya satu macam cairan infus, dengan rincian sebagai berikut: NaCl 0,9% 8 insersi, Asering 11 insersi, Dekstrose 5% (D5) 34 insersi dan Ringer Laktat (RL) 53 insersi. Apabila dilakukan analisis mengenai perbandingan kejadian flebitis antara satu macam cairan infus dengan terapi kombinasi, diperoleh Chi-Square hitung 1,852 lebih sedikit dari pada Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan dengan p-value 0,174 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis yang disebabkan oleh cairan infus kombinasi dan yang hanya satu macam cairan infus. Pada penelitian ini terdapat lima pasien yang diberikan produk darah, dari penelitian ini sebanyak 40% (2 dari 5 insersi) mengalami flebitis. Untuk pemberian produk darah, perawat harus lebih memperhatikannya karena selain produk darah digolongkan ke dalam cairan hipertonik, produk darah dapat menyebabkan tromboflebitis jika dalam pemberiannya terdapat gumpalan darah yang melewati filter. 88 Maka untuk manajemen produk darah setelah darah habis, harus cepat dilakukan irigasi dengan saline normal agar tidak terbentuk gumpalan darah (La Rocca, 1998). 4.4.8 Kejadian Flebitis Berdasarkan Obat yang Diberikan Secara Intravena Setiap terapi intravena baik sekecil apapun akan mempunyai resiko terjadinya komplikasi, setiap jenis infus akan beresiko menyebabkan flebitis bahkan tromboflebitis. Hal tersebut tergantung dari pemantauan pemasangan infus. Apabila terjadi gejala flebitis langsung dilakukan tindakan sesuai dengan skala flebitis. Seperti halnya cairan infus, semua obat jika diberikan secara intravena juga dapat menyebabkan flebitis. Bukan hanya terkait dengan efek samping dan kandungan obat, namun juga cara pemberian, kepekatan obat, kelarutan obat, kecepatan yang sesuai dengan jenis obat dan teknik aseptik. Dari Cefotaxime penelitian ini telah diperoleh merupakan obat yang data paling bahwa banyak menimbulkan flebitis di RSPAW, Cefotaxime merupakan Sefalosporin generasi ketiga, dan Sefalosporin sendiri masuk dalam klasifikasi obat antiinfeksi. Menurut Mulyani (2011), Obat yang dapat menyebabkan peradangan vena yang berat antara lain: Kalium Klorida, Vancomysin, 89 Amphotrecin B, Sefalosporin, Diazepam, Midazolam dan obat untuk kemoterapi. 4.4.9 Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa medis Diagnosa medis yang mempunyai kejadian flebitis tertinggi adalah sindrom otak organik yaitu 80% (4 dari 5 insersi yang diamati). Menurut Hinchliff (1999), pasien dengan sindrom otak organik akan mengalami gangguan ingatan serta kepribadian, kemunduran dalam perawatan diri, kerusakan kemampuan kognitif dan disorientasi. Pasien dengan diagnosa tersebut dapat digolongkan dalam ketergantungan penuh. Penyakit yang diderita oleh pasien akan mempengaruhi pola istirahat dan aktivitas, pasien yang tidak dapat bermobilisasi akan beresiko terkena flebitis. Hal ini dipengaruhi oleh aliran darah yang lambat karena dalam kondisi tersebut pompa jantung akan lebih rendah dari keadaan normal. Sebaliknya jika pasien banyak melakukan aktivitas dengan tangannya akan beresiko terkena flebitis karena kepatenan fiksasi kateter intravena dapat berkurang. Bagi pasien yang sering duduk atau berdiri akan beresiko terkena flebitis, hal ini berkaitan dengan posisi jantung lebih tinggi dari area insersi sehingga aliran yang akan menuju ke 90 jantung lebih lambat. Menurut La Rocca (1998), ketepatan aliran infus dengan aliran darah akan mengurangi resiko terjadinya komplikasi berupa flebitis. 4.5 Hambatan yang Dijumpai dalam Pelaksanaan Penelitian 4.5.5 Hambatan dari Peneliti Peneliti menyadari bahwa peneliti masih perlu banyak belajar mengenai konsep flebitis dan metodologi. Peneliti juga merasa kesulitan untuk mendapatkan jurnal-jurnal tentang flebitis karena sebagian besar jurnal tersebut harus melalui pembayaran yang mahal dan dengan prosedur yang rumit. 4.5.6 Hambatan dari Pasien Dalam penelitian ini tidak sedikit pasien yang menolak untuk diminta kerjasamanya untuk berpartisipasi mejadi responden. Peneliti menyadari bahwa mereka dalam kondisi sakit yang sedang mencari cara untuk sembuh dan ketika peneliti datang, mereka dapat mengira bahwa peneliti hanya akan mengganggu istirahat dan kenyamanan mereka. 91 4.5.7 Hambatan dari Rumah Sakit dan Perawat Dalam kegiatan pelaksanaannya peneliti tidak mendapat hambatan sama sekali dari perawat-perawat Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan, bahkan banyak dari perawat yang membantu proses penelitian. Hambatan yang cukup dirasa oleh peneliti adalah ijin penelitian yang dalam prosesnya memang lama yaitu hampir mencapai tiga minggu. Namun, mengijinkan peneliti sebuah menyadari penelitian, bahwa Rumah Sakit dalam akan mempertimbangakn dampak baik dan buruk dari penelitian yang akan dilakukan.