Tentang Penggolongan Musik Oleh: Bagus Takwin “Apa jenis musik kalian?” Pertanyaan ini sering —kalau tidak bisa dibilang selalu— ditanyakan kepada sebuah kelompok musik Indonesia yang baru dikenal. Dalam wawancara di radio dan televisi, si pewawancara seperti kurang lengkap kalau tidak mengajukan pertanyaan ini. Dalam wawancara di media massa cetak pun sering sekali ditemukan pertanyaan serupa. Lalu si pemusik akan menjawab dengan jawaban yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 1) Menyebutkan nama salah satu jenis musik yang sudah umum dikenal seperti rock, jazz, r&b, pop, dan sebagainya; 2) Menyebutkan bahwa musik mereka adalah perpaduan beberapa jenis musik seperti “Musik kami ada blues-nya, ada rock dan jazz. Kami menggabungkan musik-musik itu menjadi musik kami.”; Hal ini mengingatkan kita pada jawaban Sting atas pertanyaan apa jenis musik The Police. Ia menyatakan musik The Police adalah perpaduan musik punk dan reggae. Target pendengar The Police adalah penggemar musik punk dan menurut Sting “kaum punk sangat mudah menerima reggae di dalam musik punk.” 3) Menyebutkan bahwa musik yang dimainkan adalah musik mereka sendiri, misalnya kalau nama kelompok band mereka “Jomblo”, maka jenis musik mereka adalah “musik jomblo”. Seringkali disusul dengan pernyataan “Apa pun jenis musik yang kami mainkan, itulah musik kami.” 4) Tidak mau menyebutkan jenis musik apapun. Kelompok musik seperti ini cenderung tidak mau menggolongkan musik mereka ke jenis musik manapun. Sering juga disertai dengan pernyataan “Biar pendengar dan kritikus musik yang menentukan jenis musik apa yang kami bawakan.” Di sisi lain, pertanyaan tentang jenis musik juga tak jarang mengganggu benak para pemain musik baru. “Kalau nanti ditanya apa jenis musik kita, kita jawabnya apa?” Beberapa kelompok band yang saya kenal sempat juga disinggahi pikiran semacam itu. Terutama jika mereka menampilkan lagu yang mengandung berbagai elemen musik dari jenis-jenis musik yang sudah ada. Mereka mengalami kesulitan dalam memberi nama jenis musik yang mereka mainkan. Walhasil, setelah bingung mencari-cari jenis musik mereka, salah satu dari 4 jenis jawaban di atas yang keluar dari mulut mereka. Pengkategorian musik juga sering jadi masalah dalam proses pemberian penghargaan. Paling tidak buat sebagian penikmat musik. Misalnya ada kelompok A yang memainkan musik dengan kandungan elemen musik jazz mendapat penghargaan dalam kategori musik jazz. Pertanyaan yang mungkin muncul: “Lho, memangnya kelompok A main musik jazz? Itu sih masih pop, kok dapat penghargaannya dalam musik jazz?” Mengapa pertanyaan tentang jenis musik apa yang dimainkan pemusik menjadi perlu? Dari manakah asalnya nama jenis musik? Bagaimanakah seharusnya sebuah musik digolongkan dalam jenis musik tertentu? Pertanyaan tentang jenis musik adalah sebuah pertanyaan yang wajar dari sudut pandang psikologi. Manusia memiliki kecenderungan untuk membuat kategori-kategori dalam benaknya. Secara kognitif ada kecenderungan manusia untuk selalu bertingkah laku menurut satu struktur tertentu. Struktur itu yang akan menentukan aturan dan pola tingkah laku. Salah satu sifat yang menonjol dari kecenderungan ini adalah memberi batasan kepada setiap hal. Tindakan kongkret dari pemberian batasan itu adalah dengan mengelompokkan setiap hal kepada suatu kelompok tertentu. Benda A adalah A dan tak mungkin sekaligus bukan A. Begitu juga dalam musik. Misalnya: Seseorang menegaskan bahwa musik Rolling Stones adalah musik rock, bukan jenis musik yang lain. Bukan jazz, bukan folk, bukan ini, bukan itu, pokoknya rock. Kemungkinan adanya elemen-elemen dari jenis musik lain dalam lagu-lagu Rolling Stones cenderung diabaikan. Yang lebih simple lagi adalah penggolongan musik menjadi jenis musik komersil dan nonkomersil. Kecenderungan ini tampak sekali dalam bisnis musik di Indonesia. Para produser cenderung mengelompokkan penilaian terhadap sebuah komposisi musik dalam kategori komersil jika sesuai dengan selera pasar dan tidak komersil jika tidak sesuai dengan selera pasar. Kalau seseorang malas mengolah pikirannya lebih detil dan kompleks, kecenderungan inilah yang akan muncul. Jika terus begitu, maka kecenderungan ini jadi kebiasaan bahkan semacam ‘tradisi’. Benak secara otomatis mengelompokkan setiap hal ke dalam kategori-kategori yang sudah dikenalnya. Apakah sesuatu itu punya karakteristik-karakteristik unik, tidak dipedulikan. Sebagai anggota dari satu kategori, sesuatu itu hanya dipandang sebagai wakil dari kelompok, bukan sebagai dirinya. Perilaku memilah-milah berbagai hal, mencari persamaan dan perbedaan dari berbagai macam hal lalu mengelompokkannya dalam satu kategori-kategori tertentu disebut abstraksi. Perilaku ini merupakan kecenderungan manusia. Sejak para filsuf Yunani Kuno seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, perilaku abstraksi cenderung jadi andalan manusia dalam memahami berbagai hal yang ditemuinya. Kecenderungan ini memudahkan manusia dalam berbagai hal, tetapi di sisi lain juga punya kerugian. Pembakuan-pembakuan hasil abstraksi mengarahkan manusia menjadi cenderung memandang setiap benda sebagai bagian dari kelompok tertentu, bukan sebagai benda itu sendiri. Keunikan tiap hal cenderung diabaikan. Manusia tidak dipandang sebagai dirinya sendiri melainkan sebagai anggota kelompok suku atau ras atau kategori tertentu. Keunikan manusia luput dari amatan. Begitu pula dalam memahami musik. Sejarah menunjukkan pengelompokkan dan pembatasan terhadap bentuk-bentuk musik tidak mampu menampung begitu beragamnya hasil kreativitas manusia. Musik jazz contohnya. Pada awalnya musik yang dimainkan oleh orang-orang Afrika yang dipekerjakan di Amerika itu diberi batasan sebagai musik yang terdiri dari elemen musik blues, klasik dan marching. Tetapi pada perkembangan selanjutnya berbagai macam elemen musik lainnya masuk ke dalam musik yang dinamakan jazz. Musik blues yang awalnya bernada sendu, menimbulkan efek blue (sendu dan depresif) pada pemain dan pendengarnya sehingga dinamakan “blues” juga menunjukkan perkembangan yang tak tertampung oleh namanya. Pada perkembangan selanjutnya banyak lagu blues yang bernada riang dan menimbulkan efek riang pada pemain dan pendengarnya. Bahkan, musik blues kemudian melahirkan musik riang bertempo cepat yang dikenal dengan sebutan “rock & roll.” Hal yang setara terjadi juga pada musik rock. Dari penampilan awalnya yang terkesan keras, menghentak dan menggoda pendengarnya untuk bergoyang, musik ini diberi nama rock. Dalam bahasa Inggris rock berarti karang atau cadas. Padanan arti lainnya adalah kejutan dan goyangan. Musik ini dimaknai sebagai musik yang memiliki karakteristik keras seperti karang dan memiliki efek yang mengejutkan serta menggoda orang untuk bergoyang. Tetapi belakangan muncul slow rock yang melankolik dan pop rock yang terdengar manis di kuping. Penamaan rock pun bergeser lagi artinya. Contoh-contoh yang saya ajukan menunjukkan bahwa penamaan musik yang awalnya terkesan cocok dengan musik yang dinamakan, belakangan tampak seperti dilakukan dengan semena-mena. Nama tidak harus cocok dengan apa yang dinamakan. Seperti nama orang yang tidak otomatis menunjukkan sifat orangnya. Nama Budiwan misalnya, bisa saja dimiliki oleh orang yang tidak berbudi sama sekali atau dimiliki seorang penjahat yang korup dan senang membunuh. Begitulah nama yang diterakan pada musik. *** Haruskah ada penggolongan musik? Pengelompokkan suatu bentuk musikal ke dalam jenis musik tertentu bisa jadi mempermudah dalam penentuan target pasar dan pembahasan-pembahasan tentangnya. Tetapi, keunikan musik itu cenderung diabaikan. Walhasil musik itu cenderung hanya dipandang sebagai representasi dari jenis musik tertentu. Orang mengenalnya sebagai musik dari jenis musik tertentu tanpa mengingat rincian karakteristik keseluruhan musik itu. Di sini terjadi reduksi terhadap bentuk musikal. Musik yang seharusnya dapat diapresiasi secara utuh dan unik hanya dipandang sama dengan musik-musik lainnya dalam jenis musik tertentu. Penggolongan musik boleh saja dilakukan sebatas untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya untuk keperluan catatan direktori musik, penggolongan di toko kaset dan perpustakaan, serta pengantar awal studi musik. Atau sekedar memudahkan deskripsi, misalnya untuk memberi nama elemen-elemen musik yang ada dalam lagulagu. Sedangkan buat keperluan apresiasi sebaiknya dihindari penggolongan musik. Deskripsi detil dan unik dari setiap karya musik lebih mampu menggambarkan musik secara utuh. Pendeskripsian akan menghindarkan kita dari pe-reduksi-an musik. Jika kecenderungan penggolongan musik ke dalam kategori yang sudah ada terus dilakukan maka akan mengarahkan kita pada penurunan kreativitas. Kecenderungan ini akan menegaskan satu pola ajeg dalam benak yang akhirnya menjadi satu-satunya cara memahami musik. Secara otomatis benak bekerja mengikuti pola ajeg itu dan menghindar dari cara-cara lain yang mungkin saja lebih optimal menggali kreativitas. Orang yang mengalami kondisi benak macam ini akan berkurang kreativitasnya. *** Singkatnya penggolongan boleh dan sesekali diperlukan. Tetapi kita sebaiknya waspada terhadap kekakuan pada cara penggolongan tertentu. Kita harus selalu cermat dan kritis terhadap segala sesuatu agar tidak terjadi otomatisasi dalam benak kita. Otomatisasi memiliki bahaya kekakuan pikiran yang berujung pada rendahnya daya kreatif. Penamaan dan penggolongan musik bukanlah sebuah hal yang mutlak. Kategorikategori musik yang ada cuma hasil simplifikasi manusia untuk memudahkan pemahaman akan musik. Kemudahan itu harus dibayar dengan kemungkinan kehilangan pemahaman yang utuh terhadap sebuah karya musik. Sebuah musik perlu dihayati dengan pikiran, perasaan serta seluruh aspek yang ada pada sistem psiko-fisik manusia, bukan oleh satu aspek saja. Keseluruhan itu tereduksi dengan adanya penggolongan musik. Untuk menghindari reduksi terhadap keutuhan musik akibat penggolongan, perlu dikembangkan sikap kritis. Pandang setiap karya musik sebagai satu hal unik, jangan terpaku ada jenis atau aliran tertentu. Jangan pula terpaku pada satu pola analisis dan cara apresiasi tertentu. Berangkatlah dari musik itu sendiri. Ulasan dalam tulisan ini pun perlu dikritisi karena disusun dengan satu pola analisis dan cara berpikir tertentu. Saya menulisnya sebagai satu ajakan untuk tidak memanjakan benak kita dengan satu struktur tertentu. Membiasakan pikiran tidak terpaku pada satu pola tertentu dan tidak begitu saja mudah tunduk pada suatu aturan. Itulah yang saya pikir perlu kita miliki dalam mengapreasiasi musik: Membuka pikiran pada segala arah, menebar diri pada segala cakrawala, serta selalu belajar memahami sesuatu yang baru secara utuh dan unik. Dan manusia punya kemampuan untuk itu.***