perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Dalam bagian ini akan dipaparkan teori-teori yang melandasi penelitian ini, yaitu teori Agency dan teori Stakeholder, penjelasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan, dan definisi variabel penelitian, yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, tipe industri, leverage dan profitabilitas. 1. Agency Theory Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara prinsipal dan agen (Jensen dan Meckling 1976). Teori keagenan mengemukakan bahwa antara pihak principal (pemilik) dan agent (manajer) memiliki kepentingan yang berbeda sehingga memunculkan konflik yang dinamakan konflik keagenan (agency conflict) (Rustriani 2010). Jensen dan Meckling (1976) menggambarakan hubungan agency sebagai suatu kontrak di bawah satu atau lebih (principal) yang melibatkan orang lain (agent) untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Hubungan antara pemegang saham dan manajer adalah penuh dengan konflik kepentingan yang timbul akibat pemisahan kepemilikan dan kontrol manajemen yang berbeda tujuan. 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastian nya Ali (2002) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007). Ketidakseimbangan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Oleh karena itu prinsipal perlu menciptakan suatu sistem yang dapat memonitor perilaku agen supaya bertindak sesuai dengan harapannya. Aktivitas ini meliputi biaya penciptaan standar, biaya monitoring agen, penciptaan sistem informasi akuntansi dan lain-lain. Aktivitas ini menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost. Teori keagenan memandang perusahaan sebagai nexus of contracts, yaitu organisasi yang terikat kontrak dengan beberapa pihak seperti pemegang saham, supplier, karyawan (termasuk manajer) dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Teori keagenan mengemukakan bahwa antara pihak principal perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 (pemilik) dan agent (manajer) memiliki kepentingan yang berbeda sehingga memunculkan konflik yang dinamakan konflik keagenan (agency conflict). Sebagai agen manajemen akan berupaya mengoperasikan perusahaan sesuai dengan keinginan publik (stakeholder). Guthrie dan Parker (1990) dalam Sayekti dan Wondabio (2007) menyatakan bahwa dalam pengungkapan informasi corporate social responsibility dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis. Struktur kepemilikan merupakan salah satu aspek corporate governance yang dipandang sebagai mekanisme kontrol yang tepat untuk mengurangi konflik keagenan karena dapat meningkatkan proses monitoring dalam perusahaan. 2. Teori Stakeholder Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007: 409). Gray et. al (1994, p.53) dalam Ghozali dan Chariri (2007:409) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 Teori stakeholder digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kelompok-kelompok yang mana perusahaan harus bertanggung jawab (Moir, 2001: 8). Definisi stakeholder menurut Freeman (1984) dalam Moir (2001: 8) adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Stakeholder khususnya dapat dibedakan ke dalam stakeholder primer dan sekunder. Clarkson (1995) dalam Moir (2001; 8) mendefinisikan stakeholder primer sebagai seseorang atau kelompok yang tanpanya perusahaan tidak dapat bertahan untuk going concern, meliputi: shareholder dan investor, karyawan, konsumen dan pemasok, bersama dengan yang didefinisikan sebagai kelompok stakeholder publik, yaitu: pemerintah dan komunitas. Kelompok stakeholder sekunder didefinisikan sebagai mereka yang mempengaruhi, atau dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak berhubungan dengan transaksi dengan perusahaan dan tidak esensial kelangsungannya. Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007: 409). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Deegan, 2000 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan caracara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ullman, 1985 dalam Chariri dan Ghozali, 2007) Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Atas dasar argumen di atas, teori stakeholder umumnya berkaitan dengan cara-cara yang digunakan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya. Cara-cara yang dilakukan untuk memanage stakeholder-nya tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan (Ullman, 1985 dalam Chariri dan Ghozali, 2007). 3. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibilty) a. Definisi Corporate Social Responsibilty (CSR) Dalam Undang-Undang RI No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Bab V Pasal 74, Corporate Social Responsibility (CSR) disebut l 1 butir 3 Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas didefinisikan: Tanggung Jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumny Menurut versi Bank Dunia dalam SWA edisi 26/XX/19 Desember-11 Januari 2006, (Handayati dan Tri, 2008:130) definisi Corporate Social Responsibility (CSR) adalah: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 CSR is commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are both good for business and good for development. CSR adalah komitmen bisnis sebagai kontribusi untuk keberlanjutan perkembangan ekonomi yang bekerja sama dengan pekerja, perwakilan mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk memperbaiki kualitas hidup, dimana keduanya baik untuk bisnis maupun pengembangan. Menurut Bank Dunia, tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu: perlindung-an lingkungan, jaminan kerja, hak asasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standart usaha, pasar, pe-ngembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan. Definisi CSR menurut versi Uni Eropa dalam Handayati dan Tri, (2008: 130) adalah sebagai berikut: CSR is concept whereby companies intergrate social and environmental concern in their business operations and their interaction with a their stakeholders on a voluntary basis Definisi diatas merupakan salah satu definisi yang menggambarkan bahwa praktik CSR berhubungan dengan interaksi perusahaan dan stakeholder dengan dasar sukarela. Menurut The World Business Council for Sustainable Development, CSR merupakan komitmen untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, komunitas setempat, dan masyarakat untuk meningkatkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 kualitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan setiap perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat berdasarkan nilai-nilai keadilan dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Jika terjadi ketidakselarasan sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat maka perusahaan kehilangan legitimasinya sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Jadi pengungkapan informasi CSR merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Haniffa dan Cooke, 2005). Ketentuan mengenai kegiatan CSR di Indonesia diatur dalam Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan perseroan atau penanam modal untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Ketentuan ini bertujuan untuk mendukung terjalinnya hubungan yang serasi dan seimbang antara perusahaan dengan lingkungan sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Pengaturan CSR juga bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungannya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 b. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam Laporan Tahunan Hendriksen (1991) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory), yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku. Agrifood (2004) dalam Suhardjanto dan Laras (2009) menyatakan bahwa pengungkapan (disclosure) yang dilakukan oleh perusahaan adalah alat yang penting untuk mengkomunikasikan kinerja ekonomi, lingkungan hidup dan sosial suatu perusahaan. Selanjutnya (Guthrie dan Parker, 1990) dalam Suhardjanto dan Laras (2009) menekankan bahwa disclosure meliputi ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan phisik dan lingkungan sosialnya, dapat dibuat di dalam laporan tahunan perusahaan (annual report) atau laporan sosial terpisah Selayaknya, pengungkapan informasi berisi mengenai sejauh mana organisasi atau perusahaan dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup manusia dan lingkungan hidupnya. Ada berbagai cara untuk meraih kepercayaan dari stakeholders dan mendapatkan nilai lebih bagi perusahaan, salah satunya dengan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 meningkatkan kredibilitas perusahaan melalui pengungkapan sukarela secara lebih luas untuk membantu investor dalam memahami strategi bisnis manajemen (Rahayu, 2008). Pengungkapan informasi sosial di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparasi korporat kepada investor dan stakeholder lainnya (Machmud dan Djakman 2008). Selain itu, perusahaan melakukan pengungkapan informasi sosial perusahaan dengan berbagai tujuan yang berbeda, salah satunya adalah untuk membangun image perusahaan dan mendapatkan perhatian dari stakeholders (Anggraini, 2006). Suhardjanto dan Aulia (2009) menyatakan bahwa pelaporan sosial perusahaan mempunyai nilai lebih bagi perusahaa dan juga untuk memperoleh kepercayaan dari stakeholder terutama pemegang saham. Setiap pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan mengkonsetrasikan diri pada pencapaian laba juga mempunyai tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009) paragraf keduabelas: Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan, laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan . perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 Menurut Zhegal dan Ahmed (1990) dalam Anggraini (2006) mengidentifikasikan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaporan CSR perusahaan, yaitu sebagai berikut: 1) Lingkungan, meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan. 2) Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi. 3) Praktik bisnis yang wajar, meliputi, pemberdayaan terhadap minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial. 4) Sumber daya manusia, meliputi aktivitas di dalam suatu komunitas, dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan seni. 5) Produk, meliputi keamanan, pengurangan polusi. Sementara itu, Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) mengatakan bahwa Corporate Sustainability Reporting terbagi menjadi tiga kategori yang biasa disebut sebagai aspek Triple Bottom Line, yaitu kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial. 4. Struktur Kepemilikan dengan Pengungkapan Pertanggungjawaban Sosial Struktur kepemilikan perusahaan merupakan salah satu mekanisme dalam corporate governance (Gunarsih, 2003 dalam Novitasari, 2009). Struktur kepemilikan menggambarkan komposisi kepemilikan saham dari suatu perusahaan. Struktur kepemilikan juga menjelaskan komitmen pemilik perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 untuk mengelola dan menyelamatkan perusahaan (Wardhani, 2006 dalam Novitasari, 2009). Struktur kepemilikan merupakan salah satu dari karakteristik perusahaan. Karena sudah banyak penelitian yang menguji karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial, maka dalam penelitian ini difokuskan hanya meneliti struktur kepemilikan perusahaan. Karena pengaruh tekanan global yang meminta transparansi dan akuntabilitas serta isu-isu global yang dihadapi perusahaan multinasional, para investor sekarang juga mempertimbangkan kinerja. a. Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi (badan). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer (Arif 2006 dalam Machmud & Djaman 2008). Menurut Mursalim (2007), kepemilikan institusional dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi masalah keagenan dengan meningkatkan proses monitoring. Pemegang saham institusional juga memiliki opportunity, resources, dan expertise untuk menganalisis kinerja dan tindakan manajemen. Investor institusional sebagai pemilik sangat berkepentingan untuk membangun reputasi perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (1976), salah satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 institusional yang berfungsi untuk mengawasi agen. Degan kata lain, akan mendorong pengawasan yang optimal terhadap kinerja manajemen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan oresentase kepemilikan institusional dapat menurunkan presentase kepemilikan manajerial karena kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional bersifat saling menggantikan sebagai fungsi monitoring. Struktur kepemilikan institusional dapat diukur sesuai dengan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik institusi dan kepemilikan oleh blockholder. b. Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Rustiarini, 2011). Pihak tersebut adalah mereka yang duduk di dewan komisaris dan dewan direksi perusahaan. Keberadaan manajemen perusahaan mempunyai latar belakang yang berbeda, antara lain: pertama, mereka mewakili pemegang saham institusi, kedua, mereka adalah tenaga- tenaga professional yang diangkat oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Ketiga, keagenan, hubungan antara manajemen dengan pemegang saham, rawan untuk terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan bahwa salah satu mekanisme untuk memperkecil mereka duduk di jajaran manajemen perusahaan karena turut memiliki saham. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 Berdasarkan teori adanya konflik agensi dalam perusahaan adalah dengan memkasimalkan jumlah kepemilikan manajerial. Dengan menambah jumlah kepemilikan manajerial, maka manjemen akan merasakan dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil karena mereka menjadi pemilik perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Peningkatan atas kepemilikan manajerial akan membuat kekayaan manajemen, secara pribadi, semakin terikat dengan kekayaan perusahaan sehingga manajemen akan berusaha mengurangi resiko kehilangan kekayaannya. Kepemilikan manajerial yang tinggi berakibat pada rendahnya dividen yang dibayarkan kepada shareholder. Hal ini disebabkan karena pembiayaan yang dilakukan oleh manajemen terhadap nilai investasi di masa yang akan datang bersumber dari biaya internal. Struktur kepemilikan manajerial dapat diukur sesuai dengan proporsi saham biasa yang dimiliki oleh manajerial. c. Kepemilikan Saham Asing (Foreign Shareholding) Kepemilikan saham asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham perusahaan di Indonesia (Rustiarni, 2011). Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan (Machmud dan Djakman, 2008). Jika dilihat dari sisi stakeholder perusahaan, pengungkapan CSR merupakan salah satu media yang dipilih untuk memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 Dengan kata lain, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan foreign stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih didukung dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR) (Puspitasari, 2009). Selama ini kepemilikan asing merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti diketahui, negara-negara di Eropa sangat memperhatikan isu sosial misalnya hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan lingkungan seperti efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini menjadikan perusahaan multinasional mulai mengubah perilaku mereka dalam beroperasi demi menjaga legitimasi dan reputasi perusahaan (Fauzi, 2006). Ada beberapa alasan mengapa perusahaan yang memiliki kepemilikan saham asing harus memberikan pengungkapan yang lebih dibandingkan dengan yang tidak memiliki kepemilikan saham asing (Susanto, 1992 dalam Kusumasumedi, 2010) sebagai berikut: 1) Perusahaan asing mendapatkan pelatihan yang lebih baik dalam bidang akuntansi dari perusahaan induk di luar negeri. 2) Perusahaan tersebut mungkin punya sistem informasi yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal dan kebutuhan perusahaan induk. 3) Kemungkinan permintaan yang lebih besar pada perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Penelitian yang dilakukan Rustiarini (2008) menemukan bahwa kepemilikan asing berpengaruh pada pengungkapan CSR. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Mahmud dan Djakman (2008) menemukan bahwa struktur kepemilikan saham termasuk kepemilikan asing tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2006. 5. Tipe Industri (Industri High-Profile dan Low-Profile) Para peneliti akuntansi sosial tertarik untuk menguji pengungkapan sosial pada berbagai perusahaan yang memiliki perbedaan karakteristik. Salah satu perbedaan karakteristik yang menjadi perhatian adalah tipe industri, yaitu industri yang high-profile dan industri yang low-profile. Untuk membedakan kedua jenis industri tersebut, definisi yang diusulkan oleh Robert (1992) dalam Hackston and Milne (1996) dapat dipergunakan. Robert mendefinisikan high-profile companies sebagai perusahaan yang memiliki consumer visibility, tingkat risiko politik dan tingkat kompetisi yang tinggi. Industri yang highprofile diyakini melakukan pengungkapan sosial yang lebih banyak daripada industri yang low-profile. Cowen et al. (1987) dalam Hackston dan Milne (1996) menambahkan sebagai berikut: Consumer-oriented companies can be expected to exhibit greater concern with demonstrating their social responsibility to the community, since this is likely to enhance corporate image and influence sales . Maksud dari uraian di atas adalah perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan akan memberikan informasi mengenai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 pertanggungjawaban sosial karena hal ini akan meningkatkan image perusahaan dan mempengaruhi penjualan. Sementara itu, Preston (1977) dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri ekstraktif, lebih mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak lingkungan dibandingkan industri yang lain. Klasifikasi tipe industri yang diuraikan oleh banyak peneliti terdahulu sifatnya sangat subyektif dan berbeda-beda. Roberts (1992) dalam Hackston dan Milne (1996) mengelompokkan perusahaan otomotif, penerbangan dan minyak sebagai industri yang high-profile, sedangkan Diekers dan Perston (1977) dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa industri ekstraktif merupakan industri yang high-profile. Patten (1991) dalam Hackston dan Milne (1996) mengelompokkan industri pertambangan, kimia, dan kehutanan sebagai industri high-profile. Atas dasar pengelompokan di atas, maka penelitian ini mengelompokkan industri migas, kehutanan, pertanian, pertambangan, perikanan, kimia, otomotif, transportasi, telekomunikasi, barang konsumsi, makanan dan minuman, kertas, farmasi, plastik, dan konstruksi sebagai industri yang high-profile. 6. Profitabilitas (Profitability) Profitabilitas merupakan suatu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Menurut Heinze (1976); Gray, et al. (1995) dalam Sembiring (2005) profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 untuk mengungkapkan CSR kepada pemegang saham. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosialnya. Hackston dan Milne (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial. Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan, dalam hal ini profitabilitas, dengan pengungkapan tanggung jawab sosial menurut Belkaoui dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Manajemen yang sadar dan memperhatikan masalah sosial juga akan memajukan kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan kinerja keuangan perusahaan. Konsekuensinya, perusahaan yang mempunyai respon sosial dalam hubungannya dengan pengungkapan tanggung jawab sosial seharusnya menyingkirkan seseorang yang tidak merespon hubungan antara profitabilitas perusahaan dengan variabel akuntansi seperti tingkat pengembalian investasi dan variabel pasar seperti differential return harga saham. 7. Leverage Menurut Van Horn (1997) Financial Leverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap, dengan harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya, sehingga keuntungan pemegang saham bertambah. Alasan yang kuat menggunakan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 beban tetap adalah untuk meningkatkan pendapatan yang tersedia bagi pemegang saham. Leverage juga merupakan sarana untuk mendorong peningkatan keuntungan atau pengembalian hasil/nilai tanpa menambah investasi. Perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi berusaha menyampaikan lebih banyak informasi sebagai instrumen untuk mengurangi monitoring costs bagi investor. Mereka memberikan informasi yang lebih detail dalam laporan tahunan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibandingkan dengan perusahaan yang leverage nya lebih rendah. Perusahaan yang memiliki proporsi utang lebih tinggi dalam struktur modal akan mempunyai biaya keagenan yang lebih tinggi. Semakin tinggi leverage perusahaan, semakin tinggi kemungkinan trasfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham dan manajer (Meek, Gary, Clare dan Sidney 1995). Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang (Wallace, Kamal, Areceli 1994). Dengan semakin tinggi leverage, yang mana akan menambah beban tetap perusahaan, maka untuk program corporate social responsibility menjadi terbatas atau semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program corporate social responsibility. Anggraini (2006) menemukan adanya pengaruh positif signifikan antara leverage dengan luasnya information voluntary disclousure. Sedangkan Sembiring (2005); Barnea dan Rubin (2006); Huafang dan Jiangou (2007); Muchlis dan Rawi (2010); Wallace dan Naser (1995), menemukan tidak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 adanya pengaruh signifikan antara leverage dan luasnya information voluntary disclousure. B. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap pengungkapan CSR telah dilakukan, namun masih menemukan adanya ketidakkonsitenan pada hasil yang didapat. Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk menguji kepemilikan institusional, struktur kepemilikan manajerial dan kepemilikan asing terhadap aktivitas pengungkapan pertanggungjawaban sosial yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia. Salah satu kepemilikan yang cukup besar dalam sebuah perusahaan adalah kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi (badan). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer (Arif 2006 dalam Machmud & Djaman 2008).. Penelitian Barnae dan Rubin (2006) yang dilakukan untuk melihat CSR sebagai konflik berbagai shareholder menunjukkan hasil bahwa pemegang saham institusional tidak memiliki hubungan terhadap CSR. Hasil penelitian ini didukung oleh Fauzi et al, 2007; Muchlis dan Rawi, 2010; Machmud dan Djakman, 2008 yang menemukan bahwa investasi yang dilakukan oleh investor institusional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sukarela perusahaan di India. Namun hasil penelitian Anggraini, (2006) dan Murwaningsari, (2009) menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan institusional dalam perusahaan maka tekanan terhadap manajemen perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial pun semakin besar. Matoussi dan Chakroun (2008) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar lebih mampu untuk memonitor kinerja manajemen. Investor institusional memiliki power dan experience serta bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan demikian, kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan sukarela. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan CSR. Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan kepentingannya sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula motivasi untuk mengungkapkan aktivitas perusahaan yang dilakukan. Penelitian Nasir dan Abdullah 2004; Rosmasita 2007; dan Murwaningsari (2009) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR. Namun ketidakkonsistenan hasil ditunjukkan oleh penelitian Barnea dan Rubin perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 2007; Fauzi, Mahoney, dan Rahman, 2007; Machmud dan Djakman 2008; Said et al. 2009; Muchlis dan Rawi 2010; yang menemukan bahwa kepemilikan saham manajerial tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Bentuk struktur kepemilikan yang lain adalah kepemilikan asing. Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (Fauzi 2006 dalam Machmud & Djaman 2008). Jika perusahaan asing tidak mampu memberikan manfaat bagi sosial dan lingkungannya, maka akan memperburuk reputasi perusahaan asing di masyarakat (Fauzi, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Machmud dan Djakman, 2008; Huafang dan Jiaongou, 2007; Khan, 2010, menemukan bahwa kepemilikan saham asing dalam perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Namun hasil penelitian yang dilakukan Amran dan Devi (2008) dan Said et al. (2009) menemukan bahwa kepemilikan saham asing tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Faktor penentu lain yang digunakan perusahaan sebagai bahan pertimbangan untuk pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu ukuran perusahaan, tipe industri, dan profitabilitas (Hackston dan Milne, 1996). Tipe industri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu industri yang high-profile dan industri yang low-profile. Robert (1992) dalam Anggraini (2006) mendefinisikan high-profile companies sebagai perusahaan yang memiliki consumer visibility, tingkat risiko politik dan tingkat kompetisi yang tinggi. Industri yang high-profile diyakini melakukan pengungkapan sosial yang lebih banyak daripada industri yang low-profile. Hasil penelitian Hackston dan Milne 1996 ; Sembiring 2005; perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 Anggraini 2006; Amran dan Devi 2008, dan Machmud dan Djakman (2008) menememukan bahwa tipe industri perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan sosial perusahaan, namun Murwaningsari (2009) dan Hasan et. al (2007) menunjukkan bahwa tipe industri signifikan tidak mempengarugi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Profitabilitas merupakan suatu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Menurut Heinze 1976; Gray, et al. (1995) dalam Sembiring (2005) profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan CSR kepada pemegang saham. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosialnya. Hasil penelitian Sembiring (2005) menemukan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, hasil ini didukung oleh beberapa penelitian lainnya yaitu Anggraini 2006; Hasan et. al. 2007; Amran dan Devi 2008; dan Khan (2010). Hasil berbeda ditunjukkan oleh Hackston dan Milne (1996) Nasir dan Abdullah (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial. Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen & Meckling, 1976). Semakin tinggi leverage perusahaan, semakin tinggi kemungkinan trasfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 manajer (Meek et al. 1995). Dengan semakin tinggi leverage, yang mana akan menambah beban tetap perusahaan, maka untuk program corporate social responsibility menjadi terbatas atau semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program corporate social responsibility. Anggraini (2006) menemukan adanya pengaruh positif signifikan antara leverage dengan luasnya information voluntary disclousure. Sedangkan Wallace dan Naser 1995; Sembiring 2005; Barnea dan Rubin 2006; Huafang dan Jiangou 2007; Muchlis dan Rawi 2010; dan Khan (2010) menemukan tidak adanya pengaruh signifikan antara leverage terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. C. Perumusan Hipotesis 1. Kepemilikan Saham Institusional Pemegang saham institusional biasanya berbentuk entitas seperti perbankan, asuransi, dana pensiun, reksa dana, dan institusi lain. Investor institusional umumnya merupakan pemegang saham yang cukup besar karena memiliki pendanaan yang besar. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar untuk menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Mursalim (2007) kepemilikan institusional dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi masalah keagenan dengan meningkatkan proses monitoring. Pemegang saham institusional juga memiliki opportunity, resources, dan expertise untuk menganalisis kinerja dan tindakan manajemen. Investor institusional sebagai berkepentingan untuk membangun reputasi perusahaan. pemilik sangat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 Penelitian Barnae dan Rubin (2006) yang dilakukan untuk melihat CSR sebagai konflik berbagai shareholder menunjukkan hasil bahwa pemegang saham institusional tidak memiliki hubungan terhadap CSR. Hasil penelitian ini didukung oleh Fauzi et al, 2007; Muchlis dan Rawi, 2010; Machmud dan Djakman, 2008 yang menemukan bahwa investasi yang dilakukan oleh investor institusional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sukarela perusahaan di India. Namun hasil penelitian Anggraini, (2006) dan Murwaningsari, (2009) menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan institusional dalam perusahaan maka tekanan terhadap manajemen perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial pun semakin besar. Matoussi dan Chakroun (2008) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar lebih mampu untuk memonitor kinerja manajemen. Investor institusional memiliki power dan experience serta bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan demikian, kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan sukarela. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan CSR. Penelitian ini akan mencoba menguji kembali pengaruh kepemilikan institusional terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 H1 : Kepemilikan saham institusional berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR 2. Kepemilikan Saham Manajerial Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Rusriarini, 2011). Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan kepentingannya sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula motivasi untuk mengungkapkan aktivitas perusahaan yang dilakukan. Kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program CSR, namun pada suatu titik tertentu hal tersebut dapat mengurangi nilai perusahaan dan batasan yang telah dicapai sehingga menyebabkan suatu hubungan negatif (Morck et al., 1988). Penelitian Nasir dan Abdullah (2004) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif dalam hubungan antara kepemilikan saham manajerial terhadap luas pengungkapan CSR. Hal senada juga disampaikan Rosmasita (2008) yang menemukan bahwa kepemilikan saham manajerial berpengaruh terhadap luas pengungkapan CSR di Indonesia. Namun ketidakkonsistenan hasil ditunjukkan oleh penelitian Said et al. (2009) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 yang menemukan bahwa kepemilikan saham manajerial tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Machmud dan Djakman (2008) meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan pertanggungjawaban sosial pada perusahaan publik yang listing di BEI tahun 2006. Hasil penelitian tersebut, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, serta kategori perusahaan BUMN dan non BUMN tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR disclosure. Sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap CSR disclosure. Machmud dan Djakman (2008) meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan pertanggungjawaban sosial pada perusahaan publik yang listing di BEI tahun 2006. Hasil penelitian tersebut, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, serta kategori perusahaan BUMN dan non BUMN tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR disclosure. Sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap CSR disclosure. Machmud dan Djakman (2008) meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap luas pengungkapan pertanggungjawaban sosial pada perusahaan publik yang listing di BEI tahun 2006. Hasil penelitian tersebut, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, serta kategori perusahaan BUMN dan non BUMN tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR disclosure. Sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap CSR disclosure. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 Kepemilikan manajerial menyebabkan berkurangnya tindakan oportunis manajer untuk memaksimalkan kepentingan pribadi. Manajer perusahaan akan mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan perusahaan, yaitu dengan cara mengungkapkan informasi sosial yang seluasluasnya untuk meningkatkan image perusahaan meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut (Anggraini, 2006). Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: H2 : Kepemilikan saham manajerial berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR 3. Kepemilikan Saham Asing (Foreign Shareholding) Kepemilikan saham asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham perusahaan di Indonesia. Selama ini kepemilikan asing merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti diketahui, negara-negara di Eropa sangat memperhatikan isu sosial misalnya hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan lingkungan seperti efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini menjadikan perusahaan multinasional mulai mengubah perilaku mereka dalam beroperasi demi menjaga legitimasi dan reputasi perusahaan (Fauzi, 2006). Penelitian Tanimoto dan Suzuki (2005), Machmud dan Djakman (2008) membuktikan bahwa kepemilikan asing pada perusahaan publik di Jepang menjadi faktor pendorong terhadap adopsi GRI dalam pengungkapan tanggung jawab sosial. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 Perusahaan multinasional atau dengan kepemilikan asing utamanya melihat keuntungan legitimasi berasal dari para stakeholdernya yang biasanya berdasarkan atas home market (pasar tempat beroperasi) sehingga dapat memberikan eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang. Pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan salah satu media yang dipilih untuk memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan foreign stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih didukung dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (Barkemeyer, 2007). Perusahaan dengan kepemilikan saham asing biasanya lebih sering menghadapi masalah asimetri informasi dikarenakan alasan hambatan geografis dan bahasa. Oleh karena itu, perusahaan dengan kepemilikan saham asing yang besar akan terdorong untuk melaporkan atau mengungkapkan informasinya secara sukarela dan lebih luas (Huafang dan Jianguo, 2007). Menurut Puspitasari (2009), perusahaan yang memiliki kepemilikan saham asing cenderung memberikan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan yang tidak. Hal ini disebabkan beberapa alasan. Pertama, perusahaan asing terutama dari Eropa dan Amerika lebih mengenal konsep praktik dan pengungkapan CSR. Kedua, perusahaan asing mendapatkan pelatihan yang lebih baik dalam bidang akuntansi dari perusahaan induk di luar negeri. Ketiga, perusahaan tersebut mungkin mempunyai sistem informasi yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal dan kebutuhan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 perusahaan induk. Keempat, kemungkinan permintaan yang lebih besar pada perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Amran dan Devi (2008), Machmud dan Djakman (2008), dan Said et al. (2009) yang tidak menemukan pengaruh kepemilikan saham asing terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan asumsi bahwa negara-negara asing cenderung lebih perhatian terhadap aktivitas serta pengungkapan CSR, maka penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut: H3 : Kepemilikan saham asing berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR D. Kerangka Penelitian Penelitian ini menguji pengaruh dari kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan kepemilikan asing terhadap pengungkapan CSR dengan variabel kontrol, pengaruh tipe Industri, profitabilitas, leverage perusahaan terhadap pengungkapan CSR dalam laporan tahunan perusahaan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian Independent Variable 1. Kepemilikan Institutional 2. Kepemilikan Manajerial 3. Kepemilikan Asing Dependent Variable H1+ H2 + H3+ Pengungkapan CSR Variabel Control: 1. Tipe Industri 2. Profitabilitas 3. Leverage Gambar 1 Skema Konsep Penelitian