perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 BAB II TINJAUAN

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Dalam bagian ini akan dipaparkan teori-teori yang melandasi penelitian
ini, yaitu teori Agency dan teori Stakeholder, penjelasan mengenai tanggung
jawab sosial perusahaan, pengungkapan informasi tanggung jawab sosial
perusahaan, dan definisi variabel penelitian, yaitu kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, kepemilikan asing, tipe industri, leverage dan
profitabilitas.
1. Agency Theory
Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara prinsipal dan agen
(Jensen dan Meckling 1976). Teori keagenan mengemukakan bahwa antara
pihak principal (pemilik) dan agent (manajer) memiliki kepentingan yang
berbeda sehingga memunculkan konflik yang dinamakan konflik keagenan
(agency
conflict)
(Rustriani
2010).
Jensen
dan
Meckling
(1976)
menggambarakan hubungan agency sebagai suatu kontrak di bawah satu atau
lebih (principal) yang melibatkan orang lain (agent) untuk melaksanakan
beberapa layanan bagi mereka dengan melibatkan pendelegasian wewenang
pengambilan keputusan kepada agen. Hubungan antara pemegang saham dan
manajer adalah penuh dengan konflik kepentingan yang timbul akibat
pemisahan kepemilikan dan kontrol manajemen yang berbeda tujuan.
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan
bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia
pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki
daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality),
dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Manajer sebagai
pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang
saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui
pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan
keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali
karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastian
nya Ali (2002) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007). Ketidakseimbangan
informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai
asimetri informasi (information asymmetry). Oleh karena itu prinsipal perlu
menciptakan suatu sistem yang dapat memonitor perilaku agen supaya
bertindak sesuai dengan harapannya. Aktivitas ini meliputi biaya penciptaan
standar, biaya monitoring agen, penciptaan sistem informasi akuntansi dan
lain-lain. Aktivitas ini menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost.
Teori keagenan memandang perusahaan sebagai nexus of contracts,
yaitu organisasi yang terikat kontrak dengan beberapa pihak seperti pemegang
saham, supplier, karyawan (termasuk manajer) dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan. Teori keagenan mengemukakan bahwa antara pihak principal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
(pemilik) dan agent (manajer) memiliki kepentingan yang berbeda sehingga
memunculkan konflik yang dinamakan konflik keagenan (agency conflict).
Sebagai agen manajemen akan berupaya mengoperasikan perusahaan sesuai
dengan keinginan publik (stakeholder). Guthrie dan Parker (1990) dalam Sayekti
dan Wondabio (2007) menyatakan bahwa dalam pengungkapan informasi
corporate social responsibility dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara
perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi
perusahaan dari sisi ekonomi dan politis.
Struktur
kepemilikan
merupakan
salah
satu
aspek
corporate
governance yang dipandang sebagai mekanisme kontrol yang tepat untuk
mengurangi konflik keagenan karena dapat meningkatkan proses monitoring
dalam perusahaan.
2. Teori Stakeholder
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas
yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus mampu
memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditor,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan
demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan
yang diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri,
2007: 409). Gray et. al (1994, p.53) dalam Ghozali dan Chariri (2007:409)
menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada
dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas
perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Teori stakeholder digunakan sebagai dasar untuk menganalisis
kelompok-kelompok yang mana perusahaan harus bertanggung jawab (Moir,
2001: 8). Definisi stakeholder menurut Freeman (1984) dalam Moir (2001: 8)
adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Stakeholder khususnya dapat
dibedakan ke dalam stakeholder primer dan sekunder. Clarkson (1995) dalam
Moir (2001; 8) mendefinisikan stakeholder primer sebagai seseorang atau
kelompok yang tanpanya perusahaan tidak dapat bertahan untuk going concern,
meliputi: shareholder dan investor, karyawan, konsumen dan pemasok, bersama
dengan yang didefinisikan sebagai kelompok stakeholder publik, yaitu:
pemerintah dan komunitas. Kelompok stakeholder sekunder didefinisikan sebagai
mereka yang mempengaruhi, atau dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak
berhubungan
dengan transaksi
dengan
perusahaan
dan
tidak
esensial
kelangsungannya.
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang
digunakan perusahaan. Oleh karena itu power stakeholder ditentukan oleh
besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut (Ghozali
dan Chariri, 2007: 409). Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk
membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga
kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur
perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan
jasa yang dihasilkan perusahaan (Deegan, 2000 dalam Ghozali dan Chariri,
2007). Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan caracara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ullman, 1985 dalam Chariri dan
Ghozali, 2007)
Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara
perusahaan dengan stakeholder-nya. Atas dasar argumen di atas, teori
stakeholder umumnya berkaitan dengan cara-cara yang digunakan perusahaan
untuk me-manage stakeholder-nya. Cara-cara yang dilakukan untuk memanage stakeholder-nya tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan
(Ullman, 1985 dalam Chariri dan Ghozali, 2007).
3. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibilty)
a. Definisi Corporate Social Responsibilty (CSR)
Dalam Undang-Undang RI No.40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas Bab V Pasal 74, Corporate Social Responsibility (CSR) disebut
l 1
butir 3 Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas didefinisikan:
Tanggung Jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen
perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumny
Menurut versi Bank Dunia dalam SWA edisi 26/XX/19 Desember-11
Januari 2006, (Handayati dan Tri, 2008:130) definisi Corporate Social
Responsibility (CSR) adalah:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
CSR is commitment of business to contribute to sustainable
economic development working with employees and their
representatives, the local community and society at large to
improve quality of live, in ways that are both good for business and
good for development.
CSR adalah komitmen bisnis sebagai kontribusi untuk keberlanjutan
perkembangan ekonomi yang bekerja sama dengan pekerja, perwakilan
mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk memperbaiki kualitas
hidup, dimana keduanya baik untuk bisnis maupun pengembangan. Menurut
Bank Dunia, tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa
komponen utama, yaitu: perlindung-an lingkungan, jaminan kerja, hak asasi
manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standart
usaha, pasar, pe-ngembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan
kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.
Definisi CSR menurut versi Uni Eropa dalam Handayati dan Tri,
(2008: 130) adalah sebagai berikut:
CSR is concept whereby companies intergrate social and
environmental concern in their business operations and their
interaction with a their stakeholders on a voluntary basis
Definisi diatas merupakan salah satu definisi yang menggambarkan
bahwa praktik CSR berhubungan dengan interaksi perusahaan dan
stakeholder dengan dasar sukarela.
Menurut
The
World
Business
Council
for
Sustainable
Development, CSR merupakan komitmen untuk memberikan kontribusi
bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan
karyawan, komunitas setempat, dan masyarakat untuk meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
kualitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang
menyatakan setiap perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat
berdasarkan nilai-nilai keadilan dan bagaimana perusahaan menanggapi
berbagai kelompok untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Jika terjadi
ketidakselarasan sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat maka
perusahaan
kehilangan
legitimasinya
sehingga
dapat
mengancam
kelangsungan hidup perusahaan. Jadi pengungkapan informasi CSR
merupakan
salah
satu
cara
perusahaan
untuk
membangun,
mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi
ekonomi dan politis (Haniffa dan Cooke, 2005).
Ketentuan mengenai kegiatan CSR di Indonesia diatur dalam
Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
mewajibkan perseroan atau penanam modal untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan. Ketentuan ini bertujuan untuk mendukung
terjalinnya hubungan yang serasi dan seimbang antara perusahaan dengan
lingkungan sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Pengaturan CSR juga bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
b. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam
Laporan Tahunan
Hendriksen
(1991)
mendefinisikan
pengungkapan
sebagai
penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian
secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat
wajib (mandatory), yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh
perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada
yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan
informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku.
Agrifood (2004) dalam Suhardjanto dan Laras (2009) menyatakan
bahwa pengungkapan (disclosure) yang dilakukan oleh perusahaan adalah
alat yang penting untuk mengkomunikasikan kinerja ekonomi, lingkungan
hidup dan sosial suatu perusahaan. Selanjutnya (Guthrie dan Parker, 1990)
dalam Suhardjanto dan Laras (2009) menekankan bahwa disclosure
meliputi ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan
dengan interaksi organisasi dengan lingkungan phisik dan lingkungan
sosialnya, dapat dibuat di dalam laporan tahunan perusahaan (annual
report) atau laporan sosial terpisah Selayaknya, pengungkapan informasi
berisi mengenai sejauh mana organisasi atau perusahaan
dapat
memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup manusia dan lingkungan
hidupnya.
Ada berbagai cara untuk meraih kepercayaan dari stakeholders dan
mendapatkan nilai lebih bagi perusahaan, salah satunya dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
meningkatkan kredibilitas perusahaan melalui pengungkapan sukarela
secara lebih luas untuk membantu investor dalam memahami strategi
bisnis manajemen (Rahayu, 2008). Pengungkapan informasi sosial di
dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan
tingkat akuntabilitas, responsibilitas, dan transparasi korporat kepada
investor dan stakeholder lainnya (Machmud dan Djakman 2008).
Selain itu, perusahaan melakukan pengungkapan informasi sosial
perusahaan dengan berbagai tujuan yang berbeda, salah satunya adalah
untuk membangun image perusahaan dan mendapatkan perhatian dari
stakeholders (Anggraini, 2006). Suhardjanto dan Aulia (2009) menyatakan
bahwa pelaporan sosial perusahaan mempunyai nilai lebih bagi perusahaa
dan juga untuk memperoleh kepercayaan dari stakeholder terutama
pemegang saham.
Setiap pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan
pemegang saham dan mengkonsetrasikan diri pada pencapaian laba juga
mempunyai tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam
laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 2009) paragraf keduabelas:
Entitas dapat pula menyajikan, terpisah dari laporan keuangan,
laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah
(value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor
lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri
yang menganggap karyawan sebagai kelompok pengguna laporan
yang memegang peranan penting. Laporan tambahan tersebut di
luar ruang lingkup Standar Akuntansi Keuangan .
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Menurut Zhegal dan Ahmed (1990) dalam Anggraini (2006)
mengidentifikasikan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaporan CSR
perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1) Lingkungan, meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau
perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan
pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan.
2) Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi.
3) Praktik bisnis yang wajar, meliputi, pemberdayaan terhadap minoritas
dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab
sosial.
4) Sumber daya manusia, meliputi aktivitas di dalam suatu komunitas,
dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan seni.
5) Produk, meliputi keamanan, pengurangan polusi.
Sementara itu, Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) mengatakan
bahwa Corporate Sustainability Reporting terbagi menjadi tiga kategori
yang biasa disebut sebagai aspek Triple Bottom Line, yaitu kinerja
ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial.
4. Struktur Kepemilikan dengan Pengungkapan Pertanggungjawaban
Sosial
Struktur kepemilikan perusahaan merupakan salah satu mekanisme
dalam corporate governance (Gunarsih, 2003 dalam Novitasari, 2009).
Struktur kepemilikan menggambarkan komposisi kepemilikan saham dari
suatu perusahaan. Struktur kepemilikan juga menjelaskan komitmen pemilik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
untuk mengelola dan menyelamatkan perusahaan (Wardhani, 2006 dalam
Novitasari, 2009).
Struktur
kepemilikan merupakan salah satu
dari karakteristik
perusahaan. Karena sudah banyak penelitian yang menguji karakteristik
perusahaan terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial, maka dalam
penelitian ini difokuskan hanya meneliti struktur kepemilikan perusahaan.
Karena pengaruh tekanan global yang meminta transparansi dan akuntabilitas
serta isu-isu global yang dihadapi perusahaan multinasional, para investor
sekarang juga mempertimbangkan kinerja.
a. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan
oleh institusi (badan). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor
institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer
(Arif 2006 dalam Machmud & Djaman 2008). Menurut Mursalim (2007),
kepemilikan institusional dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi
masalah keagenan dengan meningkatkan proses monitoring. Pemegang
saham institusional juga memiliki opportunity, resources, dan expertise
untuk menganalisis kinerja dan tindakan manajemen. Investor institusional
sebagai pemilik sangat berkepentingan untuk membangun reputasi
perusahaan.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), salah satu cara untuk
mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
institusional yang berfungsi untuk mengawasi agen. Degan kata lain, akan
mendorong pengawasan yang optimal terhadap kinerja manajemen. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan oresentase kepemilikan institusional
dapat menurunkan presentase kepemilikan manajerial karena kepemilikan
manajerial dan kepemilikan institusional bersifat saling menggantikan
sebagai fungsi monitoring.
Struktur kepemilikan institusional dapat diukur sesuai dengan
proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik institusi dan
kepemilikan oleh blockholder.
b. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa
manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut
sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Rustiarini, 2011). Pihak
tersebut adalah mereka yang duduk di dewan komisaris dan dewan direksi
perusahaan.
Keberadaan
manajemen
perusahaan
mempunyai
latar
belakang yang berbeda, antara lain: pertama, mereka mewakili pemegang
saham institusi, kedua, mereka adalah tenaga- tenaga professional yang
diangkat oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Ketiga, keagenan, hubungan antara manajemen dengan pemegang saham,
rawan untuk terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan
bahwa salah satu mekanisme untuk memperkecil mereka duduk di jajaran
manajemen perusahaan karena turut memiliki saham.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
Berdasarkan teori adanya konflik agensi dalam perusahaan adalah
dengan
memkasimalkan
jumlah
kepemilikan
manajerial.
Dengan
menambah jumlah kepemilikan manajerial, maka manjemen akan
merasakan dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil
karena mereka menjadi pemilik perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976).
Peningkatan atas kepemilikan manajerial akan membuat kekayaan
manajemen, secara pribadi, semakin terikat dengan kekayaan perusahaan
sehingga manajemen akan berusaha mengurangi resiko kehilangan
kekayaannya. Kepemilikan manajerial yang tinggi berakibat pada
rendahnya dividen yang dibayarkan kepada shareholder. Hal ini
disebabkan karena pembiayaan yang dilakukan oleh manajemen terhadap
nilai investasi di masa yang akan datang bersumber dari biaya internal.
Struktur kepemilikan manajerial dapat diukur sesuai dengan proporsi
saham biasa yang dimiliki oleh manajerial.
c. Kepemilikan Saham Asing (Foreign Shareholding)
Kepemilikan saham asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh
pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap
saham perusahaan di Indonesia (Rustiarni, 2011). Kepemilikan asing
dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap
pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan (Machmud dan
Djakman,
2008).
Jika
dilihat
dari
sisi
stakeholder
perusahaan,
pengungkapan CSR merupakan salah satu media yang dipilih untuk
memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Dengan kata lain, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan foreign
stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih
didukung dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (CSR)
(Puspitasari, 2009).
Selama ini kepemilikan asing merupakan pihak yang dianggap
concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Seperti diketahui, negara-negara di Eropa sangat memperhatikan isu sosial
misalnya hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan lingkungan
seperti efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini
menjadikan perusahaan multinasional mulai mengubah perilaku mereka
dalam beroperasi demi menjaga legitimasi dan reputasi perusahaan (Fauzi,
2006).
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan yang memiliki
kepemilikan saham asing harus memberikan pengungkapan yang lebih
dibandingkan dengan yang tidak memiliki kepemilikan saham asing
(Susanto, 1992 dalam Kusumasumedi, 2010) sebagai berikut:
1) Perusahaan asing mendapatkan pelatihan yang lebih baik dalam bidang
akuntansi dari perusahaan induk di luar negeri.
2) Perusahaan tersebut mungkin punya sistem informasi yang lebih efisien
untuk memenuhi kebutuhan internal dan kebutuhan perusahaan induk.
3) Kemungkinan permintaan yang lebih besar pada perusahaan berbasis
asing dari pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Penelitian yang dilakukan Rustiarini (2008) menemukan bahwa
kepemilikan asing berpengaruh pada pengungkapan CSR. Sementara itu,
penelitian yang dilakukan oleh Mahmud dan Djakman (2008) menemukan
bahwa struktur kepemilikan saham termasuk kepemilikan asing tidak
berpengaruh terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia pada tahun 2006.
5. Tipe Industri (Industri High-Profile dan Low-Profile)
Para peneliti akuntansi sosial tertarik untuk menguji pengungkapan
sosial pada berbagai perusahaan yang memiliki perbedaan karakteristik. Salah
satu perbedaan karakteristik yang menjadi perhatian adalah tipe industri, yaitu
industri yang high-profile dan industri yang low-profile. Untuk membedakan
kedua jenis industri tersebut, definisi yang diusulkan oleh Robert (1992)
dalam Hackston and Milne (1996) dapat dipergunakan. Robert mendefinisikan
high-profile companies sebagai perusahaan yang memiliki consumer visibility,
tingkat risiko politik dan tingkat kompetisi yang tinggi. Industri yang highprofile diyakini melakukan pengungkapan sosial yang lebih banyak daripada
industri yang low-profile. Cowen et al. (1987) dalam Hackston dan Milne
(1996) menambahkan sebagai berikut:
Consumer-oriented companies can be expected to exhibit greater
concern with demonstrating their social responsibility to the community,
since this is likely to enhance corporate image and influence sales .
Maksud dari uraian di atas adalah perusahaan yang berorientasi pada
konsumen
diperkirakan
akan
memberikan
informasi
mengenai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
pertanggungjawaban sosial karena hal ini akan meningkatkan image
perusahaan dan mempengaruhi penjualan. Sementara itu, Preston (1977)
dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang
memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri
ekstraktif, lebih mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak
lingkungan dibandingkan industri yang lain. Klasifikasi tipe industri yang
diuraikan oleh banyak peneliti terdahulu sifatnya sangat subyektif dan
berbeda-beda.
Roberts
(1992)
dalam
Hackston
dan
Milne
(1996)
mengelompokkan perusahaan otomotif, penerbangan dan minyak sebagai
industri yang high-profile, sedangkan Diekers dan Perston (1977) dalam
Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa industri ekstraktif merupakan
industri yang high-profile. Patten (1991) dalam Hackston dan Milne (1996)
mengelompokkan industri pertambangan, kimia, dan kehutanan sebagai
industri high-profile. Atas dasar pengelompokan di atas, maka penelitian ini
mengelompokkan industri migas, kehutanan, pertanian, pertambangan,
perikanan, kimia, otomotif, transportasi, telekomunikasi, barang konsumsi,
makanan dan minuman, kertas, farmasi, plastik, dan konstruksi sebagai
industri yang high-profile.
6. Profitabilitas (Profitability)
Profitabilitas
merupakan
suatu
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan laba untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Menurut
Heinze (1976); Gray, et al. (1995) dalam Sembiring (2005) profitabilitas
merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
untuk mengungkapkan CSR kepada pemegang saham. Oleh karena itu,
semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar
pengungkapan informasi sosialnya. Hackston dan Milne (1996) dalam
penelitiannya menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial.
Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan, dalam hal ini
profitabilitas, dengan pengungkapan tanggung jawab sosial menurut Belkaoui
dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa
tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan
yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Manajemen
yang sadar dan memperhatikan masalah sosial juga akan memajukan
kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan kinerja keuangan
perusahaan. Konsekuensinya, perusahaan yang mempunyai respon sosial
dalam hubungannya dengan pengungkapan tanggung jawab sosial seharusnya
menyingkirkan seseorang yang tidak merespon hubungan antara profitabilitas
perusahaan dengan variabel akuntansi seperti tingkat pengembalian investasi
dan variabel pasar seperti differential return harga saham.
7. Leverage
Menurut Van Horn (1997) Financial Leverage merupakan penggunaan
sumber dana yang memiliki beban tetap, dengan harapan akan memberikan
tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya, sehingga
keuntungan pemegang saham bertambah. Alasan yang kuat menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
beban tetap adalah untuk meningkatkan pendapatan yang tersedia bagi
pemegang saham.
Leverage juga merupakan sarana untuk mendorong peningkatan
keuntungan atau pengembalian hasil/nilai tanpa menambah investasi.
Perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi berusaha menyampaikan
lebih banyak informasi sebagai instrumen untuk mengurangi monitoring costs
bagi investor. Mereka memberikan informasi yang lebih detail dalam laporan
tahunan
untuk
memenuhi
kebutuhan
tersebut
dibandingkan
dengan
perusahaan yang leverage nya lebih rendah.
Perusahaan yang memiliki proporsi utang lebih tinggi dalam struktur
modal akan mempunyai biaya keagenan yang lebih tinggi. Semakin tinggi
leverage perusahaan, semakin tinggi kemungkinan trasfer kemakmuran dari
kreditur kepada pemegang saham dan manajer (Meek, Gary, Clare dan Sidney
1995). Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai leverage tinggi
mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur
jangka panjang (Wallace, Kamal, Areceli 1994). Dengan semakin tinggi
leverage, yang mana akan menambah beban tetap perusahaan, maka untuk
program corporate social responsibility menjadi terbatas atau semakin tinggi
leverage, maka semakin rendah program corporate social responsibility.
Anggraini (2006) menemukan adanya pengaruh positif signifikan antara
leverage dengan luasnya information voluntary disclousure. Sedangkan
Sembiring (2005); Barnea dan Rubin (2006); Huafang dan Jiangou (2007);
Muchlis dan Rawi (2010); Wallace dan Naser (1995), menemukan tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
adanya pengaruh signifikan antara leverage dan luasnya information voluntary
disclousure.
B. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap
pengungkapan CSR telah dilakukan, namun masih menemukan adanya
ketidakkonsitenan pada hasil yang didapat. Pada penelitian ini, peneliti mencoba
untuk menguji kepemilikan institusional, struktur kepemilikan manajerial dan
kepemilikan asing terhadap aktivitas pengungkapan pertanggungjawaban sosial
yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia.
Salah satu kepemilikan yang cukup besar dalam sebuah perusahaan adalah
kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham
perusahaan oleh institusi (badan). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi
akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor
institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer (Arif
2006 dalam Machmud & Djaman 2008).. Penelitian Barnae dan Rubin (2006)
yang dilakukan untuk melihat CSR sebagai konflik berbagai shareholder
menunjukkan hasil bahwa pemegang saham institusional tidak memiliki hubungan
terhadap CSR. Hasil penelitian ini didukung oleh Fauzi et al, 2007; Muchlis dan
Rawi, 2010; Machmud dan Djakman, 2008 yang menemukan bahwa investasi
yang dilakukan oleh investor institusional tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pengungkapan sukarela perusahaan di India. Namun hasil penelitian
Anggraini, (2006) dan Murwaningsari, (2009) menunjukkan bahwa semakin besar
kepemilikan institusional dalam perusahaan maka tekanan terhadap manajemen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial pun semakin besar.
Matoussi dan Chakroun (2008) menyatakan bahwa perusahaan dengan
kepemilikan institusional yang besar lebih mampu untuk memonitor kinerja
manajemen. Investor institusional memiliki power dan experience serta
bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance untuk
melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka
menuntut perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan. Dengan
demikian, kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
pengungkapan sukarela. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat
mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan CSR.
Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer
memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai
pemegang saham perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase
kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Manajer yang memiliki
saham perusahaan tentunya akan menselaraskan kepentingannya sebagai manajer
dengan kepentingannya sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan
manajerial dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam
memaksimalkan nilai perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa
semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula motivasi
untuk mengungkapkan aktivitas perusahaan yang dilakukan. Penelitian Nasir dan
Abdullah 2004; Rosmasita 2007; dan Murwaningsari (2009) menunjukkan bahwa
kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR.
Namun ketidakkonsistenan hasil ditunjukkan oleh penelitian Barnea dan Rubin
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
2007; Fauzi, Mahoney, dan Rahman, 2007; Machmud dan Djakman 2008; Said et
al. 2009; Muchlis dan Rawi 2010; yang menemukan bahwa kepemilikan saham
manajerial tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Bentuk struktur kepemilikan yang lain adalah kepemilikan asing.
Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern
terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (Fauzi 2006 dalam Machmud &
Djaman 2008). Jika perusahaan asing tidak mampu memberikan manfaat bagi
sosial dan lingkungannya, maka akan memperburuk reputasi perusahaan asing di
masyarakat (Fauzi, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Machmud dan
Djakman, 2008; Huafang dan Jiaongou, 2007; Khan, 2010, menemukan bahwa
kepemilikan saham asing dalam perusahaan berpengaruh positif terhadap
pengungkapan CSR. Namun hasil penelitian yang dilakukan Amran dan Devi
(2008) dan Said et al. (2009) menemukan bahwa kepemilikan saham asing tidak
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Faktor
penentu
lain
yang digunakan
perusahaan sebagai bahan
pertimbangan untuk pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu
ukuran perusahaan, tipe industri, dan profitabilitas (Hackston dan Milne, 1996).
Tipe industri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu industri yang high-profile dan
industri yang low-profile. Robert (1992) dalam Anggraini (2006) mendefinisikan
high-profile companies sebagai perusahaan yang memiliki consumer visibility,
tingkat risiko politik dan tingkat kompetisi yang tinggi. Industri yang high-profile
diyakini melakukan pengungkapan sosial yang lebih banyak daripada industri
yang low-profile. Hasil penelitian Hackston dan Milne 1996 ; Sembiring 2005;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
Anggraini 2006; Amran dan Devi 2008, dan Machmud dan Djakman (2008)
menememukan
bahwa
tipe
industri
perusahaan
berpengaruh
terhadap
pengungkapan sosial perusahaan, namun Murwaningsari (2009) dan Hasan et. al
(2007) menunjukkan bahwa tipe industri signifikan tidak mempengarugi
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Profitabilitas
merupakan
suatu
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan laba untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Menurut Heinze
1976; Gray, et al. (1995) dalam Sembiring (2005) profitabilitas merupakan faktor
yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan
CSR kepada pemegang saham. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat
profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosialnya.
Hasil penelitian Sembiring (2005) menemukan bahwa profitabilitas memiliki
pengaruh yang signifikan positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan, hasil ini didukung oleh beberapa penelitian lainnya yaitu Anggraini
2006; Hasan et. al. 2007; Amran dan Devi 2008; dan Khan (2010). Hasil berbeda
ditunjukkan oleh Hackston dan Milne (1996) Nasir dan Abdullah (2004) dalam
penelitiannya menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial.
Teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage
yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya
keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen &
Meckling, 1976). Semakin tinggi leverage perusahaan,
semakin
tinggi
kemungkinan trasfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
manajer (Meek et al. 1995). Dengan semakin tinggi leverage, yang mana akan
menambah beban tetap perusahaan, maka untuk program corporate social
responsibility menjadi terbatas atau semakin tinggi leverage, maka semakin
rendah program corporate social responsibility. Anggraini (2006) menemukan
adanya pengaruh positif signifikan antara leverage dengan luasnya information
voluntary disclousure. Sedangkan Wallace dan Naser 1995; Sembiring 2005;
Barnea dan Rubin 2006; Huafang dan Jiangou 2007; Muchlis dan Rawi 2010; dan
Khan (2010) menemukan tidak adanya pengaruh signifikan antara leverage
terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
C. Perumusan Hipotesis
1. Kepemilikan Saham Institusional
Pemegang saham institusional biasanya berbentuk entitas seperti
perbankan, asuransi, dana pensiun, reksa dana, dan institusi lain. Investor
institusional umumnya merupakan pemegang saham yang cukup besar karena
memiliki pendanaan yang besar. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi
menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar untuk menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Menurut Mursalim (2007) kepemilikan institusional
dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi masalah keagenan dengan
meningkatkan proses monitoring. Pemegang saham institusional juga
memiliki opportunity, resources, dan expertise untuk menganalisis kinerja dan
tindakan
manajemen.
Investor
institusional
sebagai
berkepentingan untuk membangun reputasi perusahaan.
pemilik
sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
Penelitian Barnae dan Rubin (2006) yang dilakukan untuk melihat
CSR sebagai konflik berbagai shareholder menunjukkan hasil bahwa
pemegang saham institusional tidak memiliki hubungan terhadap CSR. Hasil
penelitian ini didukung oleh Fauzi et al, 2007; Muchlis dan Rawi, 2010;
Machmud dan Djakman, 2008 yang menemukan bahwa investasi yang
dilakukan oleh investor institusional tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pengungkapan sukarela perusahaan di India. Namun hasil penelitian
Anggraini, (2006) dan Murwaningsari, (2009) menunjukkan bahwa semakin
besar kepemilikan institusional dalam perusahaan maka tekanan terhadap
manajemen perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial pun
semakin besar. Matoussi dan Chakroun (2008) menyatakan bahwa perusahaan
dengan kepemilikan institusional yang besar lebih mampu untuk memonitor
kinerja manajemen. Investor institusional memiliki power dan experience
serta bertanggungjawab dalam menerapkan prinsip corporate governance
untuk melindungi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga
mereka menuntut perusahaan untuk melakukan komunikasi secara transparan.
Dengan demikian, kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan
kuantitas pengungkapan sukarela. Hal ini berarti kepemilikan institusional
dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan CSR.
Penelitian ini akan mencoba menguji kembali pengaruh kepemilikan
institusional terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Berdasarkan
uraian diatas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
H1 : Kepemilikan saham institusional berpengaruh positif terhadap
pengungkapan CSR
2. Kepemilikan Saham Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa
manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus
sebagai pemegang saham perusahaan (Rusriarini, 2011). Hal ini ditunjukkan
dengan besarnya persentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen
perusahaan. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan
menselaraskan kepentingannya sebagai manajer dengan kepentingannya
sebagai pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam
perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan
nilai perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula motivasi untuk
mengungkapkan
aktivitas
perusahaan
yang
dilakukan.
Kepemilikan
manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program CSR, namun
pada suatu titik tertentu hal tersebut dapat mengurangi nilai perusahaan dan
batasan yang telah dicapai sehingga menyebabkan suatu hubungan negatif
(Morck et al., 1988). Penelitian Nasir dan Abdullah (2004) menunjukkan
bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif dalam hubungan antara
kepemilikan saham manajerial terhadap luas pengungkapan CSR. Hal senada
juga disampaikan Rosmasita (2008) yang menemukan bahwa kepemilikan
saham manajerial berpengaruh terhadap luas pengungkapan CSR di Indonesia.
Namun ketidakkonsistenan hasil ditunjukkan oleh penelitian Said et al. (2009)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
yang menemukan bahwa kepemilikan saham manajerial tidak berpengaruh
terhadap pengungkapan CSR. Machmud dan Djakman (2008) meneliti
pengaruh
struktur
kepemilikan
terhadap
luas
pengungkapan
pertanggungjawaban sosial pada perusahaan publik yang listing di BEI tahun
2006. Hasil penelitian tersebut, kepemilikan institusional, kepemilikan asing,
serta kategori perusahaan BUMN dan non BUMN tidak berpengaruh
signifikan
terhadap
CSR
disclosure.
Sedangkan
ukuran
perusahaan
berpengaruh positif terhadap CSR disclosure.
Machmud
dan
Djakman
(2008)
meneliti
pengaruh
struktur
kepemilikan terhadap luas pengungkapan pertanggungjawaban sosial pada
perusahaan publik yang listing di BEI tahun 2006. Hasil penelitian tersebut,
kepemilikan institusional, kepemilikan asing, serta kategori perusahaan
BUMN dan non BUMN tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR
disclosure. Sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap CSR
disclosure.
Machmud
dan
Djakman
(2008)
meneliti
pengaruh
struktur
kepemilikan terhadap luas pengungkapan pertanggungjawaban sosial pada
perusahaan publik yang listing di BEI tahun 2006. Hasil penelitian tersebut,
kepemilikan institusional, kepemilikan asing, serta kategori perusahaan
BUMN dan non BUMN tidak berpengaruh signifikan terhadap CSR
disclosure. Sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap CSR
disclosure.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
Kepemilikan
manajerial
menyebabkan
berkurangnya
tindakan
oportunis manajer untuk memaksimalkan kepentingan pribadi. Manajer
perusahaan
akan
mengambil
keputusan
sesuai
dengan
kepentingan
perusahaan, yaitu dengan cara mengungkapkan informasi sosial yang seluasluasnya untuk
meningkatkan
image
perusahaan
meskipun
ia
harus
mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut (Anggraini, 2006).
Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut:
H2 : Kepemilikan saham manajerial berpengaruh positif terhadap
pengungkapan CSR
3. Kepemilikan Saham Asing (Foreign Shareholding)
Kepemilikan saham asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh
pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham
perusahaan di Indonesia. Selama ini kepemilikan asing merupakan pihak yang
dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Seperti diketahui, negara-negara di Eropa sangat memperhatikan isu sosial
misalnya hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan lingkungan seperti
efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini menjadikan
perusahaan multinasional mulai mengubah perilaku mereka dalam beroperasi
demi menjaga legitimasi dan reputasi perusahaan (Fauzi, 2006). Penelitian
Tanimoto dan Suzuki (2005), Machmud dan Djakman (2008) membuktikan
bahwa kepemilikan asing pada perusahaan publik di Jepang menjadi faktor
pendorong terhadap adopsi GRI dalam pengungkapan tanggung jawab sosial.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
Perusahaan multinasional atau dengan kepemilikan asing utamanya melihat
keuntungan legitimasi berasal dari para stakeholdernya yang biasanya
berdasarkan atas home market (pasar tempat beroperasi) sehingga dapat
memberikan eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang. Pengungkapan
tanggung jawab sosial merupakan salah satu media yang dipilih untuk
memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya.
Dengan kata lain, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan foreign
stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih
didukung
dalam
melakukan
pengungkapan
tanggung
jawab
sosial
(Barkemeyer, 2007).
Perusahaan dengan kepemilikan saham asing biasanya lebih sering
menghadapi masalah asimetri informasi dikarenakan alasan hambatan
geografis dan bahasa. Oleh karena itu, perusahaan dengan kepemilikan saham
asing yang besar akan terdorong untuk melaporkan atau mengungkapkan
informasinya secara sukarela dan lebih luas (Huafang dan Jianguo, 2007).
Menurut Puspitasari (2009), perusahaan yang memiliki kepemilikan saham
asing cenderung memberikan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan
yang tidak. Hal ini disebabkan beberapa alasan. Pertama, perusahaan asing
terutama dari Eropa dan Amerika lebih mengenal konsep praktik dan
pengungkapan CSR. Kedua, perusahaan asing mendapatkan pelatihan yang
lebih baik dalam bidang akuntansi dari perusahaan induk di luar negeri.
Ketiga, perusahaan tersebut mungkin mempunyai sistem informasi
yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal dan kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
perusahaan induk. Keempat, kemungkinan permintaan yang lebih besar pada
perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum.
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Amran dan Devi (2008), Machmud dan
Djakman (2008), dan Said et al. (2009) yang tidak menemukan pengaruh
kepemilikan saham asing terhadap pengungkapan CSR. Berdasarkan asumsi
bahwa negara-negara asing cenderung lebih perhatian terhadap aktivitas serta
pengungkapan CSR, maka penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai
berikut:
H3 : Kepemilikan
saham
asing
berpengaruh
positif
terhadap
pengungkapan CSR
D. Kerangka Penelitian
Penelitian
ini
menguji
pengaruh
dari
kepemilikan
institusional,
kepemilikan manajerial dan kepemilikan asing terhadap pengungkapan CSR
dengan variabel kontrol, pengaruh tipe Industri, profitabilitas, leverage
perusahaan terhadap pengungkapan CSR dalam laporan tahunan perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian
Independent Variable
1. Kepemilikan Institutional
2. Kepemilikan Manajerial
3. Kepemilikan Asing
Dependent Variable
H1+
H2 +
H3+
Pengungkapan
CSR
Variabel Control:
1. Tipe Industri
2. Profitabilitas
3. Leverage
Gambar 1 Skema Konsep Penelitian
Download