2 Tinjauan Pustaka

advertisement
2 Tinjauan Pustaka
2.1 Korosi
Korosi adalah perusakan atau penurunan kualitas logam atau paduan logam akibat interaksi
dengan lingkungannya (Perez, 2004). Reaksi yang terjadi pada proses korosi ini merupakan
reaksi reduksi dan oksidasi. Dalam sel korosi, logam yang mengalami korosi akan
mengalami reaksi oksidasi dan lingkungan mengalami reaksi reduksi.
Gambar 2.1 Sel korosi yang terjadi pada permukaan baja karbon
Sumber: http://www.splung.com/fields tanggal akses 26 Desember 2008
Berdasarkan bentuk dan pemicu terjadinya korosi dapat dibedakan menjadi beberapa
kelompok (Bundjali, 2005):
1. Seragam atau korosi umum
Merupakan suatu bentuk korosi yang menghasilkan serangan korosi seragam pada
permukaan logam. Biasa terjadi pada lingkungan yang bersuhu tinggi.
3
2. Korosi bentuk lubang atau sumuran
Merupakan suatu serangan korosi terlokalisasi tinggi sehingga pada logam timbul lubanglubang dengan kedalaman, ukuran dan jumlah per satuan luas permukaan bervariasi. Biasa
terjadi oleh faktor-faktor metalurgi.
3. Korosi celah
Secara umum, korosi jenis ini mirip dengan korosi bentuk lubang namun berkaitan dengan
bentuk celah. Jenis serangan korosi ini biasanya berkenaan dengan volum kecil larutan
tinggal diam disebabkan oleh lubang terjadi pada bagian permukaan packing, bagian
sambungan, endapan permukaan dan celah-celah di bawah baud dan kepala paku.
4. Serangan antar butiran (intergranular attack)
Korosi yang dimulai dari batas butiran di dalam logam disebabkan karena perlakuan panas
awal dan berkaitan dengan kimia aliasi spesifik.
5. Dealiasi
Penghilangan spesifik suatu unsur (biasanya yang kurang mulia) dari suatu aliasi oleh
lingkungan korosif. Jenis korosi ini juga diacu sebagai peluluhan selektif selektif terhadap
salah satu logam komponen paduan logam, misalnya dikenal istilah-istilah dezincification
dan denickelification, yang berturut –turut berkaitan dengan peluluhan selektif unsur seng,
unsur nikel dari aliasinya.
6. Corrosion Fatigue
Inisiasi dan perambatan retakan oleh gabungan dari suatu tekanan statik yang terjadi secara
berulang-ulang dan suatu lingkungan yang korosif. Jika dimasukkan lingkungan korosif
seringkali menghilangkan batas fatigue dari aliasi ferous sehingga membatasi waktu
penggunaannya tanpa memperhatikan tingkat stres.
7. Korosi Galvanik
Sel korosi terbentuk dari penggandenghan dua logam tak sejenis. Sejalan dengan deret
galvanik, logam-logam yang lebih aktif akan menjadi anoda sedangkan logam mulia akan
menjadi katoda. Laju korosi logam yang lebih aktif mengalami percepatan sedangkan laju
korosi logam yang lebih mulia terhambat.
4
8. Korosi erosi
Adanya aliran zat padat, cairan atau gas dapat membantu terjadinya korosi yang meliputi
bentuk-bentuk seperti peronggaan dan korosi erosi. Semua jenis aliran akan menyebabkan
percepatan serangan korosi.
Pada industri minyak bumi mentah dan gas alam, masalah korosi yang terjadi di lapangan
biasanya adalah sebagai berikut (Halimatuddahlia, 2003):
1. Down Hole Corrosion
High Fluid level pada jenis pompa di sumur minyak dapat menyebabkan terjadinya stres
pada rod bahkan dapat pula terjadi corrosion fatigue. Pemilihan material untuk peralatan
bottom hole pump menjadi sangat penting. Pompa harus dapat tahan terhadap sifat-sifat
korosi dari fluida yang diproduksi dan tahan pula terhadap sifat abrasi.
2. Flowing well
Anulus dapat pula digunakan untuk mengalirkan inhibitor ke dasar tubing dan memberikan
proteksi pada tabung dari kemungkinan bahaya korosi. Pelapisan dengan plastik dan
memberikan inhibisi untuk proteksi tubing dapat pula digunakan pada internal tubeing
surface.
3. Casing Corrosion .
Casing yang terdapat di sumur-sumur produksi bervariasi dari yang besar sampai yang
consentric acid. Diperlukan perlindungan katodik untuk external casing. Korosi internal
casing tergantung dari komposisi annular fluid.
4. Well Heads
Peralatan dari well heads, terutama pada well gas tekanan tinggi, sering mengalami korosi
yang disebabkan oleh kecepatan tinggi dan adanya turbulensi dari gas.
5. Flow Lines
Adanya akumulasi di dalam flow line dapat menyebabkan korosi dan pitting yang akhirnya
menyebabkan kebocoran. Internal corrosion di dalam flow line dapat dicegah dengan
inhibitor.
5
Laju korosi maksimum yang diizinkan dalam pipeline adalah 5 mpy (mils per year, 1 mpy =
0,001 in/year), sedangkan normalnya adalah 1 mpy atau kurang. Umumnya permasalahan
korosi disebabkan oleh air. Akan tetapi ada beberapa faktor selain air yang mempengaruhi
laju korosi, diantaranya:
1. Faktor Gas Terlarut.
Oksigen (O2), adanya oksigen yang terlarut akan menyebabkan korosi pada logam seperti
laju korosi pada mild steel alloys akan bertambah dengan meningkatnya kandungan oksigen.
Kelarutan oksigen dalam air merupakan fungsi dari tekanan, temperatur dan kandungan
klorida. Untuk tekanan 1 atm dan temperatur kamar, kelarutan oksigen adalah 10 ppm dan
kelarutannya akan berkurang dengan bertambahnya temperatur dan konsentrasi garam.
Sedangkan kandungan oksigen dalam kandungan minyak-air yang dapat menghambat
timbulnya korosi adalah 0,05 ppm atau kurang (Halimatuddahlia, 2003).
Karbondioksida (CO2), jika karbondioksida dilarutkan dalam air maka akan terbentuk asam
karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air dan meningkatkan korosifitas, biasanya
bentuk korosinya berupa pitting yang secara umum reaksinya adalah:
CO + H O ⟶ H CO
Fe + H CO ⟶ FeCO + H
FeCO3 merupakan hasil korosi yang dikenal sebagai sweet corrosion.
2. Temperatur
Penambahan temperatur umumnya menambah laju korosi walaupun kenyataannya kelarutan
oksigen berkurang dengan meningkatnya temperatur. Apabila logam pada temperatur yang
tidak seragam, maka akan besar kemungkinan terbentuk korosi.
3. pH
Korosi terjadi juga karena adanya faktor keasaman. Untuk baja karbon, laju korosi rendah
pada pH antara 7 sampai 13. Laju korosi akan meningkat pada pH < 7 dan pada pH > 13.
6
4. Bakteri Pereduksi atau Sulfat Reducing Bacteria (SRB)
Adanya bakteri pereduksi sulfat akan mereduksi ion sulfat menjadi gas H2S, yang mana jika
gas tersebut kontak dengan besi akan menyebabkan terjadinya korosi (Halimatuddahlia,
2003).
5. Faktor Ion Terlarut
Terdapat beberapa ion terlarut yang dapat meningkatkan laju korosi, diantaranya :
a. Karbonat (CO32-), kalsium karbonat sering digunakan sebagai pengontrol korosi dimana
film karbonat diendapkan sebagai lapisan pelindung permukaan logam, tetapi dalam
produksi minyak hal ini cenderung menimbulkan masalah kerak.
b. Sulfat (SO42-), ion sulfat ini biasanya terdapat dalam minyak. Dalam air, ion sulfat juga
ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi dan bersifat kontaminan, dan oleh
bakteri SRB sulfat diubah menjadi sulfida yang korosif.
2.1.1
Pencegahan Korosi
Korosi menimbulkan banyak sekali kerugian, karena itu perlu dilakukannya pencegahan
peningkatan laju korosi. Laju korosi pada alat-alat untuk produksi minyak dapat dicegah
melalui beberapa cara, diantaranya (Bundjali, 2005):
1. Proteksi Katodik
Untuk mencegah terjadinya proses korosi atau setidak-tidaknya untuk memperlambat proses
korosi tersebut, maka dipasanglah suatu anoda buatan di luar logam yang akan diproteksi.
Daerah anoda adalah suatu bagian logam yang kehilangan elektron. Ion positif yang
terbentuk meninggalkan logam tersebut dan masuk ke dalam larutan yang ada sehingga
logam tersebut berkarat. Karena perbedaan potensial maka arus elektron akan mengalir dari
anoda yang dipasang dan akan menahan melawan arus elektron dari logam yang di dekatnya,
sehingga logam tersebut berubah menjadi daerah katoda. Inilah yang disebut Cathodic
Protection. Dalam hal diatas elektron disuplai kepada logam yang diproteksi oleh anoda
buatan sehingga elektron yang hilang dari daerah anoda tersebut selalu diganti, sehingga
akan mengurangi proses korosi dari logam yang diproteksi. Anoda buatan tersebut ditanam
dalam suatu elektrolit yang sama (dalam hal ini tanah lembab) dengan logam (dalam hal ini
pipa) yang akan diprotekasi dan antara dan pipa dihubungkan dengan kabel yang sesuai agar
proses listrik diantara anoda dan pipa tersebut dapat mengalir terus menerus.
7
2. Pelapisan
Cara ini sering dilakukan dengan melapisi logam (coating) dengan suatu bahan agar logam
tersebut terhindar dari korosi.
3. Pemakaian Bahan-Bahan Kimia (Chemical Inhibitor)
Salah satu pencegahan korosi adalah dengan menambahkan inhibitor korosi. Inhibitor korosi
merupakan senyawa yang bila ditambahkan dalam jumlah yang kecil ke dalam suatu
lingkungan yang korosif secara berkala untuk menekan serangan korosi sehingga laju korosi
tidak meningkat. Pada umumnya inhibisi korosi terjadi melalui proses adsorpsi pada
permukaan logam, sehingga memberikan perlindungan pada logam tersebut. Inhibitor korosi
dapat menurunkan laju korosi pada permukaan logam melalui :
a. Peningkatan polarisasi anodik dan katodik.
b. Reduksi pergerakan atau difusi ion ke permukaan logam.
c. Peningkatan resistensi listrik dari permukaan logam.
2.1.2
Inhibitor Korosi
Suatu inhibitor kimia adalah suatu zat kimia yang dapat menghambat atau memperlambat
suatu reaksi kimia. Secara khusus, inhibitor korosi merupakan suatu zat kimia yang bila
ditambahkan ke dalam suatu lingkungan tertentu, dapat menurunkan laju penyerangan
lingkungan itu terhadap suatu logam.
Saat ini, penggunaan inhibitor korosi dari senyawa organik merupakan metode
penanggulangan korosi yang paling disukai dibanding dari senyawa anorganik. Perlindungan
yang efektif untuk bagian permukaan dalam pipa pengalir minyak bumi dan gas alam adalah
dengan penambahan inhibitor korosi secara kontinu ke dalam aliran fluidanya.
8
Jenis-jenis inhibitor korosi diantaranya (Barus, 2007):
1.
Pasivator
Jenis inhibitor yang membentuk lapisan pelindung berupa oksida logam pada permukaan
logam yang mudah terkorosi
2. Penetralisir inhibitor katodik
Logam reaktif akan terekspos dalam larutan netral, contohnya baja di dalam air laut, ion
hidrogen akan membentuk gas hidrogen yang akan menyebabkan peningkatan jumlah ion
hidroksida. Dengan adanya hidroksida yang tak larut, akan mengurangi reaksi katodik dan
mengurangi laju korosi.
3. Inhibitor organik
Awal mula digunakan pada produksi, pengilangan dan transportasi minyak bumi. Biasanya
merupakan molekul anionik dan kationik.
4. Inhibitor fasa uap
Biasanya dari bahan-bahan yang mudah menguap sehingga menginhibisi korosi permukaan
logam.
2.1.3
Mekanisme Inhibisi
Pada penggunaannya, jumlah inhibitor yang ditambahkan adalah sedikit, baik secara kontinu
maupun periodik menurut suatu selang waktu tertentu.
Adapun mekanisme kerjanya dapat dibedakan sebagai berikut (Dalimunthe, 2004):
1.
Inhibitor teradsorpsi pada permukaan logam, dan membentuk suatu lapisan tipis dengan
ketebalan beberapa molekul inhibitor. Lapisan ini tidak dapat dilihat oleh mata biasa,
namun dapat menghambat penyerangan lingkungan terhadap logamnya.
2.
Melalui pengaruh lingkungan (misal pH) menyebabkan inhibitor dapat mengendap dan
selanjutnya teradsopsi pada permukaan logam serta melidunginya terhadap korosi.
Endapan yang terjadi cukup banyak, sehingga lapisan yang terjadi dapat teramati oleh
mata.
3.
Inhibitor lebih dulu mengkorosi logamnya, dan menghasilkan suatu zat kimia yang
kemudian melalui peristiwa adsorpsi dari produk korosi tersebut membentuk suatu
lapisan pasif pada permukaan logam.
4.
Inhibitor menghilangkan konstituen yang agresif dari lingkungannya.
9
2.2 Surfaktan
Zat aktif permukaan (ZAP) atau surfactant (surface active agent) merupakan molekul
dengan bagian hidrofilik yang disebut kepala dan bagian hidrofobik yang disebut ekor.
Bagian kepala dapat merupakan ionik, zwitter ion atau non-ionik, sementara bagian ekor
merupakan hidrokarbon linier yang mengandung 10 sampai 18 karbon. Beberapa contoh dari
surfaktan diberikan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Beberapa contoh surfaktan
a) surfaktan anion natrium dodesil sulfat, b) surfaktan kation dodesil trimetil amonium bromida, c)
non-ionik surfaktan heksaetilen glikol monododesil eter (C12H16)
Penggunaan surfaktan saat ini sudah sangat meluas, dimulai sebagai deterjen hingga sebagai
inhibitor korosi yang banyak digunakan perusahaan pengilangan minyak.
Jenis-jenis surfaktan diantaranya:
1. Surfaktan yang larut dalam minyak, contohnya senyawa hidrokarbon berantai panjang,
senyawa fluorokarbon, minyak silikon.
2. Surfaktan yang larut dalam air, contohnya surfaktan anionik, surfaktan kationik,
surfaktan non-ionik tak terionisasi dalam air, surfaktan amfoterik yang dapat bermuatan
negatif ataupun positif bergantung pada pH larutan, surfaktan polimer.
10
Saat menyebar dalam larutan yang mengandung air, surfaktan menyerap pada antarmuka dan
berkumpul membentuk suatu larutan yang meruah. Adsorpsi adalah konsentrasi surfaktan
pada antarmuka, sementara berkumpulnya surfaktan merupakan penggumpalan surfaktan
menjadi struktur yang disebut misel. Misel ini akan terbentuk pada konsentrasi tertentu dan
untuk setiap jenis surfaktan nilainya berbeda, konsentrasi tersebut dinyatakan sebagai cmc
(concentration micelle critic). Proses ini disebabkan ekor hidrofobik berkumpul menjauhi
larutan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nilai cmc, yaitu (Bundjali, 2005):
a. Semakin panjang bagian hidrofob, nilai cmc akan turun dalam medium air, untuk
surfaktan ionik, perpanjangan satu gugus –CH2, menurunkan nilai cmc setengahnya dari
semula, berlaku untuk panjang rantai karbon kurang dari 15, sedangkan untuk jumlah
atom karbon lebih besar dari 18, nilai cmc cenderung turun.
b. Kenaikan suhu mengakibatkan peningkatan nilai cmc.
c. Penambahan elektrolit akan menurunkan nilai cmc.
Adsorpsi dengan tegangan antarmuka yang rendah memungkinkan penggunaan surfaktan
dalam berbagai aplikasi di dunia industri. Surfaktan juga stabil sebagai koloid antarmuka
yang memungkinkan untuk aplikasi seperti flotasi dan pembusaan. Selain itu, surfaktan juga
dapat digunakan sebagai zat pengolah limbah, contohnya surfaktan digunakan untuk
mengolah limbah yang mengandung zat warna (Ghoreishi dan Nooshabadi, 2004).
Penggunaan surfaktan lainnya adalah pelembut serat, pengemulsi, cat, tinta, remediasi tanah,
pembasahan, pelapis papan ski, herbisida, dan lain-lain.
Pada beberapa tahun silam, surfaktan mulai digunakan sebagai inhibitor korosi pada pipa
pengalir minyak di industri pengilangan minyak. Salah satu surfaktan yang digunakan adalah
surfaktan gemini.
2.2.1
Surfaktan Gemini
Surfaktan gemini merupakan jenis molekul ampifilik yang muncul pertama kali muncul
dalam literatur pada tahun 1974. Surfaktan gemini menjadi topik yang menarik perhatian
para peneliti, tidak hanya karena memiliki keefektifannya dalam modifikasi sifat antarmuka
tetapi juga karena geometri yang tidak biasa . Surfaktan gemini terdiri dari dua molekul
surfaktan identik yang digabungkan oleh sebuah gugus alkil penghubung. Gugus
penghubung ini bersifat fleksibel atau kaku, hidrofilik atau hidrofobik dan pada umumnya
menghubungkan dua surfaktan, sebagian atau dekat dengan gugus kepala. Kehadiran gugus
penghubung akan meningkatkan kehidropobisitasan dari surfaktan dimeriknya bergantung
11
pada unit monomernya. Akibatnya nilai CMC dari surfaktan gemini dapat mencapai 100 kali
lebih rendah daripada unit monomernya (Moulik, 2002).
Biasanya penulisan senyawa gemini yang hanya memiliki atom N, C, dan H adalah m-s-m
dengan m adalah jumlah atom karbon gugus alkil, sedangkan s adalah jumlah atom karbon
pada spacer, hal ini dilakukan untuk memudahkan penamaan. Spacer yang digunakan
biasanya polieter, gugus alifatik dan aromatik. Sedangkan gugus anioniknya biasanya
amonium, pospat, sulfat, dan karboksilat. Beberapa contoh dari surfaktan gemini dapat
terlihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Beberapa contoh surfaktan gemini (Sekhon, 2004)
Surfaktan ini biasanya memiliki sifat aktif permukaan yang lebih baik dibandingkan
surfaktan konvensional untuk ukuran panjang rantai yang sama. Penggunaan surfaktan
gemini sangat menjanjikan dalam industri deterjen dan menunjukkan efisiensi dalam
perawatan kulit, sifat antibakteri,dll.
12
Surfaktan gemini dapat bermuatan negatif, positif dan netral. Saat ini banyak dilakukan
penelitian mengenai penggunaan surfaktan gemini dalam inhibisi korosi pada logam,
terutama pada besi dan baja yang biasanya banyak digunakan oleh industri. Surfaktan gemini
yang biasanya dapat dijadikan sebagai inhibitor korosi adalah surfaktan gemini kationik tipe
12-2-12 atau 14-2-14.
2.3 Teknik Pengukuran Korosi Secara Elektrokimia
Teknik pengukuran korosi dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya kurva
polarisasi, Linear Polarization Resistance, Open Circuit Potential Decay, pengukuran AC
impedansi, dan pengukuran penghilangan berat. Metode yang umum digunakan adalah
pengukuran penghilangan berat, kurva polarisasi, dan pengukuran AC impedansi.
a.
EIS atau electrochemical impedance spectroscopy
EIS adalah metode pengukuran untuk mengkarakterisasi suatu sistem elektrokimia. Teknik
ini mengukur impedansi dari sistem dalam suatu rentang frekuensi tertentu yang akan
direspon oleh sistem. Seringkali, data yang dimunculkan oleh EIS ini berupa plot bode atau
Nyquist. Impedansi berkebalikan dengan aliran dari AC dalam suatu sistem kompleks.
Sistem elektronik sistem pasif meliputi elemen energi yang hilang (resistor) dan energi yang
tersimpan(kapasitor). Hampir semua sistem fisikokimia, seperti sel elektrokimia,
penyimpanan dan tahanan energi yang terjadi dalam jaringan biologis dapat dianalisis
dengan EIS. Salah satu penggunaan EIS adalah untuk mengetahui sistem yang terbentuk jika
suatu inhibitor korosi dimasukkan kedalam suatu sistem. Jika suatu inhibitor korosi
ditambahkan kedalam suatu sistem terkorosi, maka ion ataupun elektron yang dapat
menyebabkan teroksidasinya besi akan terhalangi oleh lapisan tipis yang dibentuk oleh
inhibitor tersebut. Akibatnya, terdapat suatu bacaan tahanan yang terbaca oleh detektor.
Penggambaran dari data tersebut berupa kurva Nyquist Z, seperti yang digambarkan oleh
Gambar 2.4.
13
Gambar 2.4 Kurva Nyquist Z yang dimunculkan oleh alat EIS
Sumber: http://www.emeraldinsight.com/fig/1280550405021.png tanggal akses 20
november 2008
Dan dari data kurva tersebut, secara sederhana dapat digambarkan menjadi suatu rangkaian
elektronik sederhana seperti berikut:
Gambar 2.5 Penggambaran sederhana dari sistem elektronik yang berasal dari data EIS
Sumber: Application note Gamry Instrument
Data tahanan yang diberikan oleh EIS dapat disimulasikan dalam suatu rangkaian elektronik
pada Gambar 2.5, RP adalah tahanan yang diberikan oleh larutan atau sistem luar,
sedangakan Rs adalah tahanan yang diberikan oleh suatu senyawa dalam suatu sistem
(membran, inhibitor, dll).
14
b.
kurva polarisasi
Biasa disebut juga dengan potentiodynamic polarization. Prinsip kerjanya didasarkan pada
rapat arus sebagai fungsi potensial, yang dapat dituliskan sebagai berikut:
ln i= ln i0 -
anF
RT
(3.1)
Penyelesain untuk  :
=
2,3 RT
2,3 RT
log i0log i
anF
anF
(3.2)
Persamaan ini diubah menjadi persamaan empiris Tafel (1905)
=a+(b× log i)
(3.3)
Dengan i adalah rapat arus katodik, R adalah konstanta gas universal dan T adalah
temperatur dalam Kelvin. “a” dan “b” adalah konstanta karakteristik dari sistem elektroda.
Plot dari potensial elektroda terhadap logaritma rapat arus disebut dengan “plot Tafel” dan
hasil dari garis lurusnya disebut dengan "garis Tafel", ‘b" adalah “Tafel slope” yang
memeberikan informasi tentang mekanisme reaksi, dan
“a” memberikan informasi
mengenai konstanta laju dari suatu reaksi. Secara teliti, persamaan tersebut seharusnya
dituliskan  = a ± (b × log|i|).
15
Gambar 2.6 Kurva potensial terhadap logaritma rapat arus
Sumber: http://www.bio-logic.info/potentiostat/images/ec-labv940tafelh.gif
Kurva polarisasi ini memiliki kekurangan, diantaranya kurva anodik mungkin tidak
menunjukkan kelinieran pada daerah sekitar Ecorr.
16
Download