AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT

advertisement
AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE
PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal)
SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU
MOHAMMAD IRFAN
C34051397
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE
PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal)
SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU
Oleh:
Mohammad Irfan
C34051397
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase
pada Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal)
selama Periode Kemunduran Mutu
Nama Mahasiswa
: Mohammad Irfan
NRP
: C34051397
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si)
NIP 19700807 199603 2 002
(Dra. Ella Salamah, M.Si)
NIP 19530629 198803 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil)
NIP 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus: ...................
RINGKASAN
MOHAMMAD IRFAN. C34051397. Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase
pada Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) selama Periode Kemunduran
Mutu. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH.
Autolisis oleh enzim diketahui merupakan salah satu hal yang berperan
dalam kemunduran mutu kulit ikan. Enzim-enzim yang berperan dalam
kemunduran mutu kulit ikan adalah enzim-enzim proteolitik, seperti katepsin dan
kolagenase. Katepsin merupakan enzim yang terdapat dalam lisosom sel dan
mendegradasi protein miofibril pada otot ikan, sedangkan kolagenase
mendegradasi ikatan polipeptida terutama pada jaringan ikat dari ikan.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui fase kemunduran mutu
(post mortem) ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal), pola kemunduran mutu,
perubahan parameter kesegaran, serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase
pada kulit ikan bandeng. Penelitian dilakukan pada kulit ikan bandeng yang tidak
dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), dipuasakan
sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), tidak dipuasakan
sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: R), dipuasakan sebelum
dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: S).
Hasil penelitian menunjukan bahwa fase pre rigor ikan P dan Q terjadi
sesaat setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi
pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19
penyimpanan. Ikan dengan perlakuan R dan S, fase pre rigor terjadi sesaat
setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada
jam ke-84 penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540
(23 hari) penyimpanan. Kemunduran pada ikan yang disimpan pada suhu ruang
(ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu
chilling (R dan S).
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim
katepsin
dan
kolagenase
pada
tiap
fase
kemunduran
mutu
(ANOVA; α=0,05).
Aktivitas enzim katepsin tertinggi terdapat pada
fase post rigor. Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
pada fase post rigor adalah 0,7800 U/ml; 0,8929 U/ml; 1,1429 U/ml, dan
1,0357 U/ml. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim kolagenase ikan P, Q, R,
dan S pada fase post rigor adalah, 0,0708 U/ml; 0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan
0,0750 U/ml. Hubungan korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas
enzim katepsin dan kolagenase berhubungan erat dengan parameter kesegaran
ikan, yaitu organoleptik, TVB dan TPC. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase
berhubungan kurang erat dengan nilai pH. Hubungan antara aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase menjadi kurang erat ketika memasuki fase busuk.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Aktivitas
Enzim
Katepsin
dan
Kolagenase
pada
Kulit
Ikan
Bandeng
(Chanos chanos, Forskal) selama Periode Kemunduran Mutu” adalah hasil karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun.
Sumber informasi yang berasal dari kutipan atau karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir bagian skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Mohammad Irfan
C34051397
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
hidayah serta kesabaran yang diberikan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi dengan judul “Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase
selama Periode Kemunduran Mutu”.
pembiayaan
dari
program
Penelitian ini dapat terlaksana atas
Hibah
Bersaing
2008
atas
nama
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada
kesempatan
ini
penulis
mengucapkan
terima
kasih
yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
skripsi ini, terutama kepada:
1. Ibu Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si selaku ketua komisi pembimbing yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian serta memberikan arahan, bimbingan dan semangat kepada
penulis.
2. Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang
telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan, saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-biol selaku komisi pendidikan
departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) yang telah banyak membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Keluarga Penulis, terutama Ayah dan Ibu, kakak-kakak penulis yang telah
memberikan dukungan dan membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Dina Dwi Astuti, S.Si atas kesabarannya dan semangat yang diberikan
kepada penulis.
7. Seluruh staf, dosen dan TU THP atas bantuan dan dukungannya.
8. Ibu Ema (THP), Bapak Wahyu (FKH), Ibu Martini dan Bapak Arya
(Biokimia) yang telah banyak membantu penulis.
9. Tim seperjuangan: Rustamaji, S.Pi, Nina Fentiana S.Pi, Jamaludin S.Pi,
Rijan
Zakaria
S.Pi,
Bapak
Kurnianto
PS
atas
dukungan
dan
kebersamaannya selama penelitian.
10. Bapak Oci beserta staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tangerang atas
bantuannya selama pengambilan sampel penelitian.
11. Fuad Wahdan M, S.Pi, Sabda Aji Pambayu, S.Pi atas dukungan serta
kebersamaannya dalam perkuliahan maupun penyelesaian skripsi ini.
12. Teman-teman THP 42 yang telah banyak membantu penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
13. Seluruh civitas THP lain yang telah banyak membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dalam
penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan.
Bogor, Agustus 2010
Mohammad Irfan
C34051397
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1987.
Penulis merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara, dari pasangan
Bapak A Rahim Jabbar dan Ibu Ratna Djuwita.
Penulis
memulai jenjang pendidikan formal pada SD Tunas
Jakasampurna, Bekasi yang lulus pada tahun 1999. Setelah
itu, penulis melanjutkan sekolah ke SLTPI Al-Azhar 6
Jakapermai, Bekasi dan lulus pada tahun 2002.
Penulis menyelesaikan
pendidikan menengah atas di SMUI Al-Azhar 1, Jakarta Selatan pada tahun 2005.
Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2005 dan diterima sebagai mahasiswa
mayor Teknologi Hasil Perairan pada tahun 2006. Selama menjalani pendidikan
di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah biokimia hasil
perairan pada tahun ajaran 2007/2008 dan pernah mengikuti kegiatan
Pengembangan Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2007/2008.
Penulis juga
pernah menjadi staf Departemen Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Teknologi
Hasil
Perikanan
tahun
2006/2007
lalu
menjadi
Kepala
Departemen
Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan tahun
2007/2008. Selain itu, penulis juga aktif di kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Institut Karate-do Indonesia Institut Pertanian Bogor (INKAI IPB).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
1. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................
1
1.2 Tujuan ...................................................................................................
4
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) ....
5
2.2 Kandungan Gizi Ikan Bandeng ............................................................
6
2.3 Kulit Ikan ..............................................................................................
6
2.4 Mutu Ikan .............................................................................................
7
2.5 Kemunduran Mutu Ikan .......................................................................
2.5.1 Pre rigor ......................................................................................
2.5.2 Rigor mortis.................................................................................
2.5.3 Post rigor.....................................................................................
2.5.4 Busuk ...........................................................................................
10
11
12
12
12
2.6 Metode Penentuan Kesegaran Ikan ...................................................... 13
2.7 Enzim.................................................................................................... 15
2.7.1 Enzim katepsin ............................................................................ 16
2.7.2 Enzim kolagenase ........................................................................ 17
2.8 Peranan Enzim Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran
Mutu Ikan ............................................................................................. 18
3. METODOLOGI ........................................................................................ 19
3.1 Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 19
3.2 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 19
3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................... 20
3.3.1 Penelitian pendahuluan .............................................................. 20
3.3.2 Penelitian utama ......................................................................... 20
3.4 Analisis .................................................................................................
3.4.1 Uji organoleptik (BSNb 2006) ....................................................
3.4.2 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) .......................................
3.4.3 Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989)............
3.4.4 Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) ................................
3.4.5 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ..............................
vii 21
21
21
21
22
23
3.4.6 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954
diacu dalam Kim et al. 2002)..................................................... 24
3.5 Assay Aktivitas Enzim Katepsin (Dinu et al. 2002) ............................. 24
3.6 Assay Aktivitas Enzim Kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu
dalam Kim et al. 2002) ......................................................................... 25
3.7 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976) .................... 26
3.8 Analisis Data ........................................................................................ 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 29
4.1 Penelitian Pendahuluan ........................................................................ 29
4.2 Penelitian Utama ..................................................................................
4.2.1 Nilai organoleptik ........................................................................
4.2.2 Nilai pH .......................................................................................
4.2.3 Nilai total volatile base (TVB)....................................................
4.2.4 Nilai total plate count (TPC) .......................................................
4.2.5 Konsentrasi protein katepsin dan aktivitas enzim katepsin .........
4.2.6 Konsentrasi protein kolagenase dan aktivitas
enzim kolagenase ........................................................................
31
31
36
39
41
43
47
4.3 Hubungan antara Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase
dengan Parameter Kesegaran Ikan ........................................................ 50
4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan ......................................... 55
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 59
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 59
5.2 Saran ..................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
LAMPIRAN .................................................................................................... 65
viii DAFTAR TABEL
No
Teks
Halaman
1. Kandungan gizi ikan bandeng per 100 gr bahan .........................................
6
2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang mulai busuk ...........................................
8
3. Persyaratan mutu ikan segar ........................................................................ 10
4. Jenis-jenis enzim autolisis pada ikan........................................................... 16
5. Jenis-jenis enzim lisosom proteinase pada Ikan .......................................... 17
6. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/mL ..................... 26
7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin
dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S
dari fase pre rigor hingga post rigor ........................................................... 53
8. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin
dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S
dari fase pre rigor hingga busuk ................................................................. 53
ix DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Halaman
1. Ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) ...................................................
5
2. Bagian-bagian dari kulit ikan ....................................................................
7
3. Perubahan setelah ikan mati (Eskin 1990) ................................................ 10
4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S ......................... 32
5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ................ 35
6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ................................ 37
7. Rata-rata nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................. 39
8. Rata-rata nilai log TPC kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ....................... 42
9. Rata-rata konsentrasi protein katepsin kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S ............................................................................................ 44
10. Rata-rata aktivitas enzim katepsin kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ...... 45
11. Rata-rata konsentrasi protein kolagenase kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S ............................................................................................ 48
12. Rata-rata aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S ............................................................................................ 49
13. Korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase
fase pre rigor hingga busuk pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S;
aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik ikan bandeng;
(b) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (c) pH; (d) TVB; (e) TPC;
aktivitas kolagenase dengan (f) nilai organoleptik ikan bandeng;
(g) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC ........ 52
14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit
ikan bandeng P .......................................................................................... 55
15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit
ikan bandeng Q ......................................................................................... 56
16. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit
ikan bandeng R.......................................................................................... 57
17. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit
ikan bandeng S .......................................................................................... 58
x DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Dokumentasi penelitian ............................................................................. 65
2. Kerangka penelitian secara keseluruhan ................................................... 68
3. Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI-10-2346-2006) ................... 69
4. Kurva standar penentuan konsentrasi protein enzim ................................. 72
5. Uji ragam (ANOVA) nilai pH ................................................................... 74
6. Uji ragam (ANOVA) nilai TVB ................................................................ 76
7. Uji ragam (ANOVA) nilai TPC ................................................................ 78
8. Uji ragam (ANOVA) aktivitas enzim katepsin ......................................... 80
9. Uji ragam (ANOVA) aktivitas enzim kolagenase ..................................... 82
10. Data hasil pengujian pH, TVB, TPC, assay aktivitas enzim katepsin
dan kolagenase, pengukuran konsentrasi protein katepsin
dan kolagenase .......................................................................................... 84
xi 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan sumberdaya hayati yang memiliki potensi pengembangan
yang besar terutama di Indonesia. Ikan telah menjadi komoditas yang dikenal luas
oleh masyarakat dan dimanfaatkan terutama sebagai bahan pangan maupun
non-pangan. Ikan memiliki kandungan protein dan asam amino esensial yang
dibutuhkan oleh tubuh sehingga ikan merupakan bahan makanan yang bernilai
gizi tinggi serta mudah dicerna (Adawyah 2007). Salah satu potensi perikanan
yang cukup besar adalah perikanan budidaya di tambak.
2
memiliki potensi sebesar 1.224.076 km
Perikanan tambak
dan baru dimanfaatkan sebesar
613.175 km2 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2009).
Salah satu hasil perikanan tambak yang banyak diminati oleh masyarakat
Indonesia dan potensial pengembangannya adalah ikan bandeng.
Ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) merupakan ikan yang telah
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara luas serta cukup potensial
pengembangannya. Bandeng merupakan jenis ikan budidaya air payau (tambak)
yang mempunyai bentuk badan yang memanjang, padat, dapat mencapai ukuran
yang cukup besar serta rasanya cukup lezat sehingga membuat bandeng sangat
disukai oleh masyarakat Indonesia secara luas. Penyebaran bandeng sangat luas
karena ikan ini merupakan ikan yang hidup pada daerah payau (estuari) sehingga
memiliki toleransi salinitas yang tinggi. Ikan-ikan yang hidup pada daerah estuari
memiliki regulasi ion dan air isotonik yang membuatnya dapat hidup di habitatnya
(Fujaya 2004). Produksi budidaya bandeng nasional pada tahun 2006 mencapai
212.883 ton kemudian menjadi 263.139 ton pada tahun 2007 dan 277.471 ton
pada tahun 2008 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2009).
Kenaikan produksi ikan bandeng terjadi seiring dengan usaha dari pemerintah
untuk menaikan produksi bandeng karena besarnya potensi ikan bandeng
(Irianto dan Soesilo 2007). Ikan bandeng mempunyai toleransi salinitas yang
sangat tinggi sehingga tidak hanya dapat dipelihara ditambak tetapi juga di kolam
air tawar sehingga dapat lebih terkontrol dan bandeng tahan terhadap temperatur
2 tinggi
sehingga
memang
cocok
untuk
dibudidayakan
di
Indonesia
(Saparinto 2009).
Kulit ikan bandeng merupakan salah satu bagian pada ikan bandeng yang
banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan bandeng didapat dari hasil
pengolahan
ikan
bandeng
yang
memisahkan
kulit
dengan
dagingnya.
Pemanfaatan kulit ikan bandeng tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan tetapi
juga untuk produk non pangan.
Kulit ikan bandeng sebagaimana kulit ikan
lainnya diketahui memiliki unsur utama berupa protein kolagen yang banyak
digunakan untuk bahan baku kulit olahan serta bahan perekat (Adawyah 2007).
Kulit ikan sangat potensial pengembangannya karena dapat dijadikan sebagai
alternatif bahan baku kulit olahan/kulit samak.
Kebutuhan bahan baku kulit
mentah untuk produk kulit olahan Indonesia saat ini berjumlah 100.000 ton,
namun saat ini baru dapat dipenuhi sekitar 40 % saja yang berasal dari kulit sapi,
kerbau, kambing, dan domba (Anonim 2008).
Kulit ikan dapat dijadikan
alternatif untuk memenuhi kekurangan bahan baku kulit tersebut. Perkembangan
saat ini menunjukan bahwa kulit ikan diketahui mengandung enzim-enzim, seperti
kolagenase yang dapat dimanfaatkan pada industri untuk memisahkan kulit ikan
dengan daging (Shahidi dan Kamil 2001). Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemanfaatan kulit ikan adalah kesegaran kulit ikan yang akan diolah. Kulit ikan
rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas bakteri dan enzim sehingga diperlukan
pengetahuan mengenai kemuduran mutu pada kulit ikan serta untuk
menstabilkannya (Gimenez et al. 2005).
Sebagai bahan pangan maupun untuk bahan baku industri, ikan ternyata
memiliki kekurangan yang mempengaruhi pemanfaatannya, yaitu kandungan air
yang sangat tinggi (80 %) dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim
autolisis.
Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kebusukan ikan yang cepat.
Proses pembusukan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme
dan oksidasi lemak dalam tubuh ikan itu sendiri (Adawyah 2007).
Kekurangan yang terdapat pada ikan tersebut dapat menghambat usaha
pemasaran hasil ikan sehingga tidak jarang menyebabkan kerugian besar terutama
di saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses untuk
dapat mempertahankan mutunya. Pemanfaatan ikan dengan mutu yang baik harus
3 menjadi prioritas. Selain itu pada pemanfaatannya untuk agroindustri mana pun,
bahan baku ikan dengan kualitas yang baik sangat mempengaruhi mutu dan daya
saing dari produk tersebut (Mangunwidjaja dan Sailah 2005).
Mutu ikan berkaitan dengan kesegarannya. Kesegaran ikan dapat
dipertahankan dengan menggunakan teknik penanganan yang tepat. Penanganan
yang dapat dilakukan pada ikan untuk mempertahankan mutunya dapat dilakukan
dengan berbagai cara.
Cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menurunkan suhu ikan atau mempertahankan ikan tetap hidup. Penanganan ikan
dengan menurunkan suhunya dilakukan untuk ikan yang dikonsumsi dalam
keadaan mati. Penurunan suhu ikan atau disebut juga pendinginan umumnya
dilakukan sampai suhu dingin (chilling) yaitu (-1)-5 0C. Suhu chilling dapat
mempertahankan mutu ikan dengan menghambat aktivitas bakteri (Huss 1995).
Autolisis oleh enzim diketahui merupakan salah satu hal yang berperan
dalam kemunduran mutu pada ikan. Enzim yang berperan dalam kemunduran
mutu ikan adalah enzim proteolitik. Enzim proteolitik merupakan enzim yang
bekerja pada substrat protein dan mendegradasinya. Enzim yang berperan dalam
kemunduran mutu ikan diantaranya adalah katepsin dan kolagenase.
Enzim
katepsin merupakan enzim yang banyak terdapat pada lisosom sel dan
mendegradasi protein miofibril otot ikan.
Enzim katepsin menyebabkan
pelunakan jaringan pada ikan, Enzim kolagenase mendegradasi ikatan polipeptida
terutama pada jaringan ikat dari ikan (Huss 1995).
Mutu bahan baku ikan yang baik akan memberikan manfaat yang
maksimal bagi masyarakat serta pengembangan produk olahan dari bahan baku
ikan tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
kemunduran mutu pada kulit ikan bandeng selama periode kemunduran mutu,
serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase yang berpengaruh pada kemunduran
mutu ikan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan data bagi masyarakat
luas maupun bagi industri untuk pengembangan komoditas hasil perairan ikan
bandeng terutama bagian kulitnya.
4 1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
(1)
menentukan fase post mortem ikan bandeng pada penyimpanan suhu ruang
dan chilling;
(2)
menentukan pola kemunduran mutu kulit ikan bandeng pada penyimpanan
suhu ruang dan chilling berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan;
(3)
menentukan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase kulit ikan bandeng
selama kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan suhu chilling
serta korelasinya terhadap parameter kesegaran ikan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal)
Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di
Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di
permukaan dan sering dijumpai di daerah dekat pantai atau litoral. Ikan bandeng
merupakan ikan bertulang keras (Teleostei) dengan habitat di perairan payau.
Diantara Genus-nya, ikan bandeng hanya terdapat satu spesies, yaitu ikan bandeng
(Chanos chanos). Klasifikasi ikan bandeng menurut Nelson (1984) adalah:
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Gonorhynchiformes
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chamos (Forskal 1775)
Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu
/fish/image_gallery/data/media/13/milk.png)
Ikan bandeng memiliki ciri ciri morfologi berupa tubuh berbentuk pipih,
sirip dorsal 13-17, sirip anal 9-11, sirip caudal 16. Ikan bandeng memiliki mulut
kecil dan tidak bergigi.
Ikan bandeng dapat mencapai ukuran 30-90 cm
(Nelson 1984).
Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan yang terdapat
pada perairan dekat pantai atau pertemuan antara air laut dan air tawar (payau).
Secara geografis, ikan ini hidup di daerah tropis maupun sub-tropis pada batas
300 LU – 400 LS. Ikan bandeng tersebar di perairan Indo-Pasifik mulai dari pantai
timur Afrika, laut merah, pantai barat dan timur India, Asia Tenggara, bagian
6 selatan Jepang, pantai utara Australia, sampai ke pantai barat California, dan
Meksiko (Saparinto 2009).
Ikan bandeng sudah lama dikenal di negara Indonesia sebagai ikan yang
banyak dipelihara di tambak yang tersebar hampir di seluruh pulau besar di
Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi).
Ikan ini telah banyak
dikonsumsi masyarakat baik ikan segar maupun dalam bentuk olahan. Ikan ini
juga dipelihara di Filipina dan Taiwan. Ikan bandeng ini ditempat lain disebut
banding, mulch, agam (Sumatera), bolu (Bugis), bangos (Filipina) dan sabahi
(Taiwan) (Saparinto 2009).
2.2 Kandungan Gizi Ikan Bandeng
Bandeng merupakan komoditas perikanan payau yang rasanya cukup enak
dan digemari masyarakat. Selain itu ikan bandeng mempunyai nilai gizi yang
tinggi, aman dan sehat dimakan. Kandungan gizi ikan bandeng dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng per 100 g bahan
Kandungan Gizi
Air
Kalori
Protein
Lemak
Ca
P
Fe
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin C
Bidd
Jumlah
66
129
20
4,8
20
150
2
150
0,05
80
Satuan
g
Kal
g
g
mg
mg
mg
SI
mg
g
Sumber: Saparinto (2009)
Dikarenakan kandungan gizi-nya yang cukup baik, ikan bandeng telah
sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan.
Pengolahan ikan bandeng
sebagai bahan makanan antara lain bandeng presto, bandeng cabut duri, bandeng
bakar, bandeng asap (Saparinto 2009).
2.3 Kulit Ikan
Kulit ikan sama seperti vertebrata yang lain, terdiri dari dua jaringan, yaitu
bagian luar yang disebut epidermis dan bagian dalam yang disebut dermis
(corium). Sisik menempel pada kulit ikan yang berfungsi sebagai pelindung dari
7 kerusakan mekanis, seperti benturan pada ikan.
Kulit ikan mengandung
air 69,6 %, protein 26,9 %, abu 2,5 % dan lemak 0,7 % (Koehler 1990).
Bagian-bagian dari kulit ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
1
2
3
4
Gambar 2. Bagian-bagian dari Kulit Ikan (1= epidermis; 2= dermis/ corium;
3= jaringan ikat; 4= otot rangka) (Koehler 1990)
Pemanfaatan kulit ikan tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan tetapi
juga untuk produk non-pangan. Kulit ikan diketahui memiliki unsur utama berupa
protein kolagen yang banyak digunakan untuk bahan baku kulit olahan serta
bahan perekat (Adawyah 2007).
Kulit ikan akan mengalami kemunduran mutu seperti bagian ikan yang
lain ketika ikan mati. Kulit ikan rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas bakteri
dan enzim sehingga diperlukan pengetahuan mengenai kemuduran mutu pada
kulit ikan serta untuk menstabilkannya (Gimenez et al. 2005). Enzim-enzim yang
banyak berperan dalam kemunduran mutu kulit seperti halnya pada ikan adalah
enzim-enzim proteolitik seperti enzim katepsin dan kolagenase (Haard 1994).
2.4 Mutu Ikan
Mutu ikan adalah ciri-ciri dari ikan yang memenuhi permintaan atau batas
toleransi dari konsumen. Mutu ikan sangat penting karena merupakan sesuatu
yang bersifat mutlak untuk pemanfaatan ikan baik sebagai bahan pangan maupun
sebagai bahan baku industri.
Mutu ikan berkaitan dengan kesegaran ikan.
Ikan yang segar mempunyai dua pengertian, yang pertama adalah ikan yang baru
saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan. Kedua, ikan yang mutunya masih
baik, disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta
belum mengalami kemunduran mutu baik secara fisik, kimia maupun biologis,
misalnya ikan-ikan yang disimpan dingin atau beku (Huss 1995).
8 Tingkat kesegaran memberikan kontribusi utama terhadap mutu ikan.
Kesegaran ikan sangat penting bagi mutu dari produk yang dihasilkan pada semua
produk perikanan. Secara umum, ada dua metode utama yang biasa digunakan
untuk menilai kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori (subyektif) dan
non-sensori (obyektif) (Robb 2002).
Mutu suatu komoditas meliputi unsur-unsur mutu yang terlihat dan
tersembunyi serta dapat diukur dan tidak dapat diukur. Unsur mutu terdiri dari
3 kategori (Soekarto 1990), yaitu:
(1) Sifat mutu, yaitu sifat yang dapat diukur langsung secara subyektif atau
obyektif;
(2) Parameter mutu, yaitu besaran yang mencirikan sifat mutu suatu produk;
(3) Faktor mutu, yaitu hal-hal yang tidak dapat diukur dan diamati secara
langsung, seperti varietas, faktor genetik dan asal daerah.
Ikan yang masih segar dapat ditentukan dengan beberapa parameter
kesegaran ikan.
Parameter-parameter tersebut merupakan standar mutu ikan.
Parameter-parameter tersebut didapat dari sifat atau ciri fisika, kimia serta
aktivitas mikrobiologis pada ikan yang menyebabkan ikan mengalami
kemunduran mutu. Standar mutu ikan dapat dijadikan acuan untuk menentukan
kesegaran ikan. Berikut ciri-ciri fisik ikan segar dan ikan yang mulai membusuk
pada Tabel 2.
Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang mulai busuk
Ikan Segar
Ikan Mulai Busuk
Kulit
- Warna kulit terang dan jernih
Kulit masih kuat membungkus
tubuh, tidak mudah sobek,
terutama pada bagian perut
- Warna-warna khusus yang masih
ada dan terlihat jelas
- Kulit berwarna suram, pucat dan
berlendir banyak
- Kulit mulai terlihat mengendur di
beberapa tempat tertentu
- Kulit
mudah
sobek
dan
warna-warna khusus sudah hilang
Sisik
- Sisik menempel kuat pada tubuh sehingga sulit dilepas
Mata
- Mata tampak terang,
menonjol dan cembung
jernih,
Sisik mudah terlepas dari tubuh
- Tampak suram, tenggelam dan
berkerut
9 Ikan Segar
Ikan Mulai Busuk
Insang
- Insang berwarna merah sampai merah tua, terang dan lamela
insang terpisah
- Insang tertutup oleh lender berwarna terang dan berbau segar
seperti bau ikan
Daging
- Daging kenyal
- Daging dan bagian tubuh lain
berbau segar
- Bila daging ditekan dengan jari
tidak tampak bekas lekukan
- Daging melekat pada tulang
- Daging perut utuh dan kenyal
- Warna daging putih
-
Bila Ditaruh dalam Air
- Ikan segar akan tenggelam
-
Insang berwarna cokelat suram
atau abu-abu dan lamella insang
berdempetan
Lendir insang keruh dan berbau
asam, menusuk hidung
Daging lunak
Daging dan bagian tubuh lain
mulai berbau busuk
Bila daging ditekan dengan jari
tampak bekas lekukan
Daging mudah lepas dari tulang
Daging perut lunak dan isi perut
sering keluar
Daging
berwarna
kuning
kemerahan-merahan terutama di
sekitar tulang punggung
Ikan yang sudah sangat busuk
akan mengapung
Sumber: Adawyah (2007)
Selain ciri-ciri fisik, kesegaran ikan dapat dilihat dari parameter kimia
(kadar air, pH, total volatile base (TVB), TBA, kadar histamin) dan aktivitas
mikrobiologisnya. Badan Standarisasi Nasional (BSN) memberikan suatu standar
dalam menentukan mutu ikan. Berikut persyaratan mutu ikan segar berdasarkan
SNI 01-2729-2006 (BSNa 2006) pada Tabel 3.
Tabel 3. Persyaratan mutu ikan segar
Jenis Uji
a. Organoleptik
b. Cemaran mikroba*:
- ALT
- Escherichia coli
- Salmonella
- Vibrio Cholerae
c. Cemaran kimia*:
- Raksa (Hg)
- Timbal (Pb)
- Histamin
- Cadmium (Cd)
d. Parasit*
*) Bila Diperlukan
Sumber: BSNa (2006)
Satuan
Angka (1 – 9)
Persyaratan
Minimal 7
Koloni/g
APM/g
APM/25 g
APM/25 g
Maksimal 5,0 x 105
Maksimal < 2
Negatif
Negatif
mg/Kg
mg/Kg
mg/Kg
mg/Kg
Ekor
Maksimal 0,5
Maksimal 0,4
Maksimal 100
Maksimal 0,1
Maksimal 0
10 2.5 Kemunduran Mutu Ikan
Kemunduran mutu pada ikan terjadi setelah ikan itu mati (post mortem).
Setelah ikan mati, akan terjadi perubahan pada ikan yang menuju kepada
kebusukan. Kemunduran mutu yang terjadi pada ikan disebabkan oleh beberapa
hal seperti, aktivitas mikrobiologi, aktivitas enzim, oksidasi lipid dan
reaksi browning.
Berikut perubahan yang terjadi setelah ikan mati menurut
Eskin (1990) pada Gambar 3.
Sirkulasi darah terhenti
Ikan mati
Sistem syaraf dan
hormon terhenti
Suplai vitamin,
antioksidan
terhenti
Keseimbangan
osmotik rusak
Akumulasi
bakteri
Potensial redoks
menurun
Penurunan Suhu
Pemadatan lemak
Suplai oksigen
terhenti
Respirasi aerob terhenti
(glikogen
CO2)
Penguraian fosfat berenergi
tinggi
Kemunculan
rigor mortis
Denaturasi
protein
Respirasi anaerob terjadi
(glikogen
asam laktat)
Penurunan pH
Pembebasan dan
pengaktifan katepsin
Protein melepaskan Ca2+
dan mengikat K+
Oksidasi lemak
dan ketengikan
Akumulasi metabolit,
pemicu flavour, dll.
Perubahan
warna
Penguraian
protein
Pertumbuhan
bakteri
Gambar 3. Perubahan akibat terhentinya aliran darah setelah ikan mati
(Eskin 1990)
11 Perubahan pasca kematian ikan (post mortem) terjadi setelah ikan mati dan
aliran darah terhenti. Hasil dari terhentinya peredaran darah adalah serangkaian
reaksi yang sangat kompleks dalam otot. Pengaruh yang cepat dari berhentinya
peredaran darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya
pemasukan oksigen ke dalam jaringan.
Akibatnya jaringan tidak mampu
membentuk kembali adenosin trifosfat (ATP) sebagai bahan energi sel, karena
mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti. Hal ini
menyebabkan respirasi anaerob yang menghasilkan asam laktat pada sel sehingga
pH turun. Setelah pH turun, enzim proteolitik terutama katepsin akan bebas dan
aktif kemudian mendegradasi protein.
Pemecahan protein akan memacu
pertumbuhan bakteri sehingga ikan akan semakin menunjukkan tanda-tanda
kebusukan (Eskin 1990).
Proses kemunduran mutu ikan berlangsung cepat dikarenakan ikan
merupakan bahan pangan yang cepat membusuk (highly perishable foods).
Kecepatan kemunduran mutu ikan tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal.
Faktor
internal
meliputi
spesies,
ukuran,
jenis
kelamin.
Faktor eksternal meliputi kondisi pembudidayaan, penanganan pasca panen serta
sifat-sifat biokimia ikan (DKP dan JICA 2008).
Proses kemunduran mutu ikan terbagi menjadi beberapa fase sesuai
dengan
urutan
perubahan-perubahan
yang
terjadi
setelah
ikan
mati.
Fase kemunduran mutu tersebut secara umum menurut Junianto (2003) adalah:
fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Fase-fase ini berkaitan erat
dengan perubahan fisik, biokimiawi dan aktivitas bakteri yang diakibatkan
terhentinya aliran darah setelah ikan mati.
2.5.1
Pre rigor
Fase pre rigor merupakan perubahan yang terjadi pertama kali ketika ikan
mati. Perubahan ini ditandai dengan pelepasan lendir dari permukaan dibawah
kulit ikan.
Perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah yang
membawa oksigen dan energi untuk kegiatan metabolismenya. Meskipun ikan
telah mati namun masih terjadi proses enzimatis. Proses ini berjalan tanpa kendali
sehingga terjadi perubahan biokimia yang luar biasa (Yunizal dan Wibowo 1998).
12 Pada fase ini, terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat serta
perubahan glikogen menjadi asam laktat akibat respirasi anaerob. Hal ini akan
menyebabkan turunnya pH pada ikan pada tahap selanjutnya. Tahap ini biasanya
akan terjadi 1-7 jam setelah ikan mati (Adawyah 2007).
2.5.2
Rigor mortis
Fase selanjutnya adalah fase rigor mortis. Pada fase ini daging ikan
menjadi lebih keras dari sebelumnnya.
Daging ikan menjadi lebih keras
dikarenakan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi kompleks
aktin dan miosin yang bersifat irreversible (DKP dan JICA 2008). Pada fase ini
belum terjadi aktivitas bakteri yang berarti, pH ikan masih turun dikarenakan
penumpukan asam laktat sehingga bakteri belum bisa tumbuh dengan baik
(Adawyah 2007).
Fase rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan. Hal ini
karena fase ini dapat dijadikan petunjuk bahwa ikan masih segar.
Fase ini
dihindari pada industri fillet ikan karena daging ikan menjadi keras dan sulit untuk
dilakukan pem-fillet-an (Huss 1995).
2.5.3
Post rigor
Setelah fase rigor mortis berakhir, ikan akan mengalami fase post rigor
dimana daging ikan menjadi lemas kembali.
Fase ini merupakan awal dari
kebusukan ikan. Pada awalnya fase ini akan meningkatkan derajat penerimaan
konsumen dikarenakan daging ikan akan lemas kembali. Setelah itu akan terjadi
autolisis oleh enzim sehingga terjadi pendegradasian protein. Bakteri tumbuh
pesat dikarenakan pH ikan mulai naik akibat degradasi protein oleh enzim yang
menyediakan nutrien protein sederhana bagi bakteri (Huss 1995).
Proses autolisis oleh enzim mulai berlangsung pada tahap post rigor.
Autolisis serta aktivitas bakteri juga akan menaikkan tingkat basa volatil yang
terdapat pada ikan. Hal ini akan menyebabkan perubahan tekstur, rasa serta bau
pada ikan (Poli et al. 2005).
2.5.4
Busuk
Fase busuk menandai akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana ikan
tidak dapat lagi dikonsumsi.
Fase ini ditandai dengan meningkatnya bakteri
13 pembusuk pada ikan. Tekstur, rasa dan bau sudah tidak dapat diterima lagi oleh
konsumen.
Fase busuk ditandai dengan perubahan yang jelas pada tubuh ikan. Akan
terjadi perubahan baik pada tekstur, rasa dan bau ikan. Nilai pH ikan akan naik
akibat basa volatil yang terus menumpuk serta aktivitas bakteri yang meningkat
pesat (Huss 1995).
Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus berlangsung jika tidak
dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal,
baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri
maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia.
Faktor biologis (internal) tidak mudah ditangani karena berkaitan dengan sifat
ikan itu sendiri.
Meski begitu, dalam beberapa hal beberapa tindakan dapat
dilakukan. Misalnya, untuk ikan budidaya dipuasakan lebih dulu paling tidak
4 jam sebelum dipanen sehingga ikan tidak dalam kondisi kenyang ketika
dipanen. Usaha yang paling dapat dilakukan adalah menangani faktor eksternal
karena berkaitan dengan tindakan dan lingkungan yang diberikan (Junianto 2003).
Sifat ikan yang mudah rusak merupakan masalah bagi pemanfaatan ikan.
Apalagi bila ikan akan didistribusikan ke tempat yang jauh dari tempat
penangkapan maupun tempat budidaya ikan. Untuk menjaga mutu ikan yang
cepat menurun, dua strategi dasar telah dikembangkan di seluruh dunia, yaitu
penyimpanan
dingin
(chilling)
dan
penyimpanan
beku
(frozen)
(FAO 2007 diacu dalam Medina et al. 2009). Produk yang disimpan dalam suhu
dingin ((-1)-5 0C) dan suhu beku ((-30) 0C atau lebih rendah lagi) mendominasi
pasar produk perikanan saat ini dan terus berkembang. Penyimpanan dingin dan
beku diketahui dapat mencegah aktivitas bakteri namun kurang efektif untuk
mencegah autolisis akibat enzim pada ikan (Huss 1995).
2.6 Metode Penentuan Kesegaran Ikan
Kesegaran merupakan tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu
baik dan tidak. Penentuan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor sensori, kimia
dan mikrobiologi. Berdasarkan kesegarannya ikan dapat digolongkan menjadi
empat kelas mutu, yaitu ikan yang tingkat kesegarannya baik sekali (prima), ikan
14 yang kesegarannya baik (advanced), ikan yang kesegarannya mundur (sedang),
ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk) (Adawyah 2007).
Penentuan ikan secara sensori/organoleptik merupakan cara yang mudah,
cepat dan praktis. Cara organoleptik merupakan cara penilaian dengan hanya
menggunakan panca indera manusia. Metode ini termasuk ke dalam metode
subyektif. Penilaian secara organoleptik dapat menggunakan standar penilaian
organoleptik SNI 01-2346-2006 yang dibuat oleh Badan Standarisasi Nasional
(BSN) (BSNb 2006).
Metode penentuan kesegaran ikan secara kimia yang biasa dilakukan
adalah pengukuran pH ikan, analisis kandungan basa-basa volatil (TVB).
Sedangkan untuk analisis mikrobiologi menggunakan total plate count (TPC).
Nilai pH dapat dijadikan ukuran kesegaran ikan karena ikan yang sudah tidak
segar akan memiliki pH yang tinggi (basa). Hal ini disebabkan reaksi biokimiawi
yang terjadi pada ikan (Adawyah 2007).
Parameter kimia lain yang sering digunakan adalah kandungan basa-basa
volatil atau total volatile base (TVB).
Nilai TVB dapat dijadikan sebagai
parameter indeks kesegaran ikan karena basa volatil terakumulasi dalam daging
ikan sampai pada tahap kebusukan. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari
kandungan TVB, yaitu sebesar 20-30 mg N/100 g ikan. Hal ini dipengaruhi oleh
jenis ikan. Berikut tingkat kesegaran ikan berdasarkan TVB menurut
Farber (1965), yaitu:
-
Ikan sangat segar dengan kandungan TVB 10 mg N/100 g atau lebih kecil;
-
Ikan segar dengan kadar TVB sebesar 10 – 20 mg N/100 g;
-
Ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi
dengan kadar TVB 20 – 30 mg N/100 g;
-
Ikan busuk yang sudah tidak dapat dikonsumsi lagi oleh manusia dengan
kadar TVB lebih besar dari 30 mg N/100 g.
Pengujian secara mikrobiologi dapat dilakukan dengan penentuan
total plate count (TPC). Penentuan TPC dilakukan dengan menghitung jumlah
total koloni bakteri kemudian dibandingkan dengan standar mutu ikan segar.
Selain dari analisis secara organoleptik, nilai pH, TVB dan TPC, penentuan
kesegaran ikan dapat dilakukan dengan aanlisis kandungan biogenik amin,
15 hipoksantin, dimetil amin, trimetil amin, amoniak, oksidasi lipid dan nilai K
(Huss 1995; Adawyah 2007).
2.7 Enzim
Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai katalis dan dapat
mempercepat reaksi (Campbell dan Farrell 2007). Suatu reaksi kimia khususnya
antara senyawa organik yang dilakukan dalam laboratorium membutuhkan suatu
kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan waktu dan
lain-lain. Apabila salah satu kondisi tidak terpenuhi maka reaksi tidak akan
terjadi. Pada mahkluk hidup, proses ini dapat berlangsung dengan baik tanpa
suhu tinggi dan terjadi dalam waktu relatif singkat karena adanya katalis berupa
enzim. Enzim dapat mempercepat reaksi 108-1011 kali lebih cepat dibanding
reaksi yang dilakukan tanpa enzim. Enzim memiliki cara kerja dengan kekhasan
yang tinggi dimana enzim hanya akan bekerja pada substrat tertentu
(lock and key) (Poedjiadi 1994).
Enzim diketahui merupakan salah satu penyebab kemunduran mutu pada
ikan. Enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan merupakan jenis enzim
proteolitik. Enzim ini bekerja dengan substrat protein. Enzim ini berperan dalam
pendegradasian jaringan tubuh ikan yang sebagian besar merupakan protein.
Enzim proteolitik juga diketahui mempercepat pertumbuhan bakteri pembusuk
pada ikan dengan mendegradasikan protein pada jaringan tubuh ikan menjadi
lebih sederhana dan menjadi sumber nutrien bagi bakteri pembusuk (Huss 1995).
Enzim-enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan telah berhasil
diketahui.
Enzim-enzim ini merupakan enzim proteolitik yang menyebabkan
autolisis pada ikan.
Secara umum enzim proteolitik yang menyebabkan
kemunduran mutu pada tubuh ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
16 Tabel 4. Jenis-jenis enzim autolisis pada ikan
Enzim
Substrat
Enzim glikolitik
Glikogen
ATP
Nukleotidase
Katepsin
ADP
AMP
IMP
Protein, peptida
Karboksipeptidase
Protein, peptida
Kalpain
Protein miofibril
Kolagenase
Jaringan ikat
TMAO dimetilase
TMAO
Perubahan yang
terjadi
Produksi asam laktat
dan penurunan pH
daging, gaping
Kehilangan rasa
kesegaran,
hipoksantin
Pelunakan jaringan
Autolisis jaringan
pencernaan (belly
bursting)
Pelunakan daging
Pelunakan jaringan,
gaping
Formaldehida
Pencegahan
Penyimpanan
suhu dingin
Penyimpanan
suhu dingin
Penanganan ikan
dengan baik
Penyimpanan
suhu beku
Penghilangan
kalsium
Penyimpanan
suhu dingin
Penyimpanan
suhu beku
Sumber: Huss (1995)
2.7.1
Enzim katepsin
Enzim katepsin merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu
ikan. Beberapa enzim lain diketahui memiliki hubungan dengan kemunduran
mutu ikan namun enzim katepsin merupakan enzim yang paling banyak
ditemukan dalam jaringan tubuh ikan. Enzim katepsin merupakan enzim protease
yang ditemukan tersimpan dalam organel sel yang bernama lisosom. Pada ikan
yang masih hidup, enzim katepsin tidak aktif namun langsung aktif ketika ikan
mati (Huss 1995).
Enzim katepsin tersimpan dalam lisosom sehingga enzim ini dinamai juga
enzim lisosom proteinase. Enzim katepsin terdiri dari beberapa jenis, seperti
katepsin A, katepsin B, katepsin C, katepsin D, katepsin H dan katepsin L. Enzim
katepsin bekerja optimum pada kisaran pH asam.
Daging ikan mengadung
katepsin D lebih banyak dibandingkan dengan mamalia lain. Katepsin A, B, C, H
dan L termasuk ke dalam serin proteinase, sedangkan katepsin D termasuk ke
dalam aspartat proteinase. Berikut jenis-jenis enzim lisosom proteinase yang
terdapat pada ikan pada Tabel 5.
17 Tabel 5. Jenis-jenis enzim lisosom proteinase pada Ikan
Enzim
Famili
Aktivitas
Asal enzim
Katepsin B
Sistein
Endopeptidase
Katepsin H
Sistein
Endopeptidase
Katepsin J
Sistein
Endopeptidase
Katepsil L
Sistein
Endopeptidase
Otot ikan
salmon dan
mackerel
-
Dipeptidil
peptidase
(Katepsin C)
Sistein
Eksopeptidase
Otot
berbagai
spesies ikan
-
Katepsin D
aspartat
Eksopeptidase
Otot
berbagai
spesies ikan
Dipeptidil
peptidase II
Sistein
Eksopeptidase
karboksipeptidase
Karboksipeptidase
(Katepsin
dan I)
Katepsin S
Otot dari
berbagai
spesies ikan
Otot ikan
salmon
pH
optimum
6,5-7
-
-
Serin
Eksopeptidase
Otot dari
berbagai
spesies ikan
Sistein
Eksopeptidase
Otot
mackerel
A
A
Kemampuan
degradasi
Miosin dan
miofibril
7
Miosin
-
-
3,5
Miosin dan
miofibril
-
Aktin dan
miosin
-
-
5-6
-
-
-
Sumber : Goll et al. (1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)
2.7.2
Enzim kolagenase
Enzim kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu
mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda
berdasarkan fungsi fisiologisnya. Serin kolagenase berkaitan dengan produksi
hormon dan farmakologi-peptida aktif sebagai fungsi seluler. Fungsi tersebut
meliput pencernaan protein, penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks
dan fertilisasi. Enzim tipe ini digunakan secara luas dalam industri kimia, obat,
makanan dan eksperimen biologi molekuler. Tipe kedua dari enzim ini adalah
metalokolagenase yang terdiri dari zinc yang membutuhkan kalsium untuk
18 kestabilan. Metalokolagenase termasuk ke dalam enzim ekstraseluler yang berat
molekulnya bervariasi dari 30-150 kDa (Kim et al. 2002).
Enzim kolagenase merupakan enzim dari famili metaloprotease peptidase
yang bekerja pada substrat kolagen.
Pengaturan dari enzim kolagenase
merupakan proses yang kompleks namun enzim kolagenase disintesis dan
disekresikan pada jaringan ikat (Hagen et al. 2008). Enzim ini memiliki sifat
yang stabil pada suhu rendah dan kehilangan aktivitasnya pada suhu diatas 40oC
(Shahidi dan kamil 2001).
2.8 Peranan Enzim Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu
Ikan
Enzim katepsin dan enzim kolagenase berperan dalam kemunduran mutu
ikan. Enzim katepsin dan kolagenase berperan dalam autolisis jaringan ikan.
Enzim katepsin mendegradasi terutama bagian daging ikan sedangkan kolagenase
mendegradasi jaringan ikat pada ikan. Kedua enzim ini memiliki hubungan yang
sejalan dengan kemunduran mutu ikan (Hagen et al. 2008).
Aktivitas katepsin pada kemunduran telah banyak diteliti dan diketahui
bahwa katepsin berperan dalam degradasi protein dan pelunakan daging ikan.
Katepsin dapat mendegradasi banyak jenis protein. Katepsin B berperan dalam
degradasi miosin rantai panjang, troponin I dan T. Katepsin B diketahui dapat
mendegradasi protein kolagen. Katepsin L mendegradasi sebagian besar struktur
protein miofibril seperti aktin dan miosin.
mendegradasi troponin I.
Katepsin H berperan dalam
Enzim katepsin mulai aktif ketika pH ikan turun
dikarenakan enzim ini memiliki pH optimum pada kisaran pH asam
(Hagen et al. 2008).
Enzim kolagenase berperan dalam autolisis jaringan ikat pada ikan.
Kolagenase menyebabkan kerusakan daging ikan dengan peristiwa gaping atau
pecahnya miotom pada daging ikan sehingga mempercepat kemunduran mutu
pada ikan.
Enzim ini juga berperan dalam pelunakkan daging ikan dan
pemendekan otot ikan. Pada kemunduran mutu ikan, enzim kolagenase akan
mendegradasi protein kolagen yang menyebabkan pelunakan awal dari jaringan
ikan (Sato et al. 1997 diacu dalam Hernandez-herrero et al. 2003).
3.
METODOLOGI
3.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku
Hasil
Perairan,
Laboratorium
Biokiomia
Hasil
Perairan,
Laboratorium
Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Laboratorium
Penelitian I, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Dokumentasi penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
ikan bandeng dengan ukuran 200-250 g/ekor. Ikan bandeng yang digunakan
diberi empat perlakuan, yaitu ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum
dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), ikan bandeng yang dipuasakan
sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), ikan bandeng yang
tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: R) dan
ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen pada penyimpanan suhu chilling
(kode: S). Bahan-bahan untuk analisis nilai pH (larutan buffer standar pH 4 dan 7,
akuades), analisis total volatile base (TVB) (H3BO3, K2CO3, TCA 7 %,
HCl 0,032 N), analisis total plate count (TPC) (larutan garam 0,85 % steril,
nutrient agar), ekstraksi enzim katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4), assay aktivitas
katepsin (akuades, hemoglobin, HCl 1 N, TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pembuatan kolagen (kulit ikan bandeng dan asam asetat), ekstraksi enzim
kolagenase (buffer tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung 0,25 % Triton-X 100 dan
10 mM CaCl2), assay aktivitas kolagen (buffer tris-HCl pH 7,5 yang mengandung
5 mM CaCl2, TCA 5 %, ninhydrin, 50 % 1-propanol), pengukuran konsentrasi
protein (akuades, bovine serum albumin, coomassie brilliant blue G-250,
etanol 95 %, asam fosfat 85 % (b/v)).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, talenan,
alat bedah, pH meter, cawan conway, inkubator, oven, sentrifuse suhu dingin,
20 spektrofotometer, mikropipet, timbangan analitik, homogenizer, magnetic stirer,
hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan petri,
erlenmeyer, kapas, tissue, aluminium foil, bunsen, jarum ose, beaker glass, dan
peralatan gelas lainnya serta peralatan uji organoleptik.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, meliputi penelitian pendahuluan
untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik. Penelitian utama
meliputi tiga tahap, yaitu tahap pertama adalah mempelajari pola kemunduran
mutu serta perubahan parameter kesegaran kulit ikan yang terjadi, tahap kedua
adalah ekstraksi enzim katepsin dan kolagenase serta mengetahui aktivitasnya.
Tahap ketiga adalah pengukuran konsentrasi protein katepsin dan kolagenase.
Kerangka penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.3.1
Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase
post mortem ikan, meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Pada
tahap ini dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 0C) dan suhu chilling
((-1)-5 0C). Penyimpanan pada suhu ruang dilakukan selama 19 jam dengan
interval waktu pengamatan satu jam, sedangkan pada suhu chilling penyimpanan
dilakukan selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam.
Pengamatan dilakukan secara organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan
SNI 01-2346-2006 (Lampiran 3).
3.3.2
Penelitian utama
Penelitian utama
bertujuan untuk mengetahui pola kemunduran ikan
P, Q, R, dan S berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap
post mortem.
Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap sampel ikan
berdasarkan waktu yang didapat dari hasil penentuan fase post mortem pada
penelitian tahap pendahuluan. Analisis yang dilakukan pada setiap pengamatan
meliputi
uji
organoleptik
menggunakan
score
sheet
berdasarkan
SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006), uji nilai pH, TVB dan TPC, assay aktivitas
katepsin dan kolagenase, serta konsentrasi protein katepsin dan kolagenase.
21 3.4 Analisis
Sampel kulit ikan bandeng pada setiap tahap post mortem diambil dan
dilakukan pengamatan serta analisis, meliputi pengamatan dan analisis tingkat
kesegaran ikan (penilaian organoleptik, penentuan nilai pH, TVB, penghitungan
jumlah total bakteri dengan menggunakan metode TPC), serta ekstraksi enzim
katepsin dan kolagenase untuk assay aktivitas katepsin dan kolagenase.
3.4.1
Uji organoleptik (BSNb 2006)
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet
berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Pengujian organoleptik merupakan
cara pengujian yang bersifat subyektif menggunakan indera yang ditujukan pada
mata, insang, lendir permukaan, badan, daging, bau, dan tekstur. Pada uji
organoleptik ini, ada beberapa syarat yang harus disepakati oleh panelis
(BSNb 2006) antara lain: tertarik dan mau, terampil dan konsisten dalam
mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak
menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan
tidak buta warna, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah
15 orang (semi-terlatih). Dari data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis
kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI 01-2346-2006):
3.4.2
Segar
: nilai organoleptik berkisar antara 7-9
Agak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar
: nilai organoleptik berkisar antara 1-3
Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara
dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram yang diambil dari bagian
kulit ikan dihomogenkan dengan homogenizer dengan 90 ml air destilata.
Kemudian pH homogen diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah
dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.
3.4.3
Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989)
Penetapan
ini
bertujuan
untuk
menentukan
jumlah
kandungan
senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip
dari analisis total volatile base (TVB) adalah menguapkan senyawa-senyawa basa
22 volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat
oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl.
Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 gram sampel yang
diambil dari bagian kulit ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan
dihomogenkan selama satu menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring
sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel, maka
dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam
inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir
menutupi cawan. Dengan memakai pipet 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke
dalam outer chamber disebelah kiri.
Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh
ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3
tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan sebelumnya pinggir cawan diolesi
vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga
kedua cairan di outer chamber tercampur.
Disamping itu dikerjakan blanko
dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kemudian
kedua cawan conway tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah
diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi
blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,032 N dan cawan digoyang-goyangkan
perlahan sampai larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda.
Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang
sama dengan blanko. Kadar TVB dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
%N (mg N/100 g) = (j – i) x N HCl x
100
x fp x 14 mg N/100 g
g contoh
1
Keterangan:
3.4.4
j
: ml titrasi sampel
fp
: faktor pengenceran
i
: ml titrasi blanko
N
: normalitas HCl (0,032 N)
Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987)
Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di
dalam sampel (kulit ikan) dengan pengenceran sesuai kebutuhan dan dilakukan
secara duplo.
Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan
10 gram sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian kulit ikan, lalu
23 dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril,
kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut
diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 %
steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar
homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian,
biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing
tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam
cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan
ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar
merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan
mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke
dalam inkubator pada suhu 35 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang
dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni
yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung
adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.
3.4.5
Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim
katepsin yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi katepsin
dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran mutu.
Proses ektraksi katepsin dilakukan dengan metode Dinu et al. (2002).
Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak
kasar protease dengan mengambil sampel kulit ikan. Kulit ikan disuspensikan
dalam akuades dengan perbandingan kulit ikan dan akuades sebesar 1:5, lalu
dihomogenisasikan pada suhu 0-4 0C.
Ekstrak kulit hasil homogenisasi ini
disentrifugasi pada 1.000 rpm selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh
kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000 rpm selama 10 menit.
dihasilkan
dari
sentrifugasi
ini
kemudian
Pelet yang
dilarutkan
dalam
0,1 M buffer tris-HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades
sebelumnya (1:5) dan disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan
(ekstrak kasar enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria
dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.
24 3.4.6
Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam
Kim et al. 2002)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim
kolagenase yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya.
Ekstraksi
kolagenase dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran
mutu.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencuci kulit ikan bandeng
dengan air dingin, dan ditambahkan dengan 100 mM buffer Tris-HCl (pH 8,0),
dengan perbandingan bahan baku dan larutan buffer 1:5, kemudian dihomogenkan
dengan homogenizer.
Selanjutnya kulit yang telah homogen tersebut,
disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit. Setelah itu, pelet
yang telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama
20 menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan antara bahan
baku dan larutan buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang dihasilkan
ditambahkan
dengan
20
mM
Tris-HCl
(pH
8,0)
yang
mengandung
0,36 mM CaCl2, dan didiamkan pada suhu rendah (± 4 0C) selama 48 jam.
Larutan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar kolagenase yang akan
digunakan untuk pengujian selanjutnya.
3.5 Assay Aktivitas Enzim Katepsin (Dinu et al. 2002)
Aktivitas proteolitik dari enzim katepsin diuji menggunakan hemoglobin
terdenaturasi asam sebagai substratnya. Sebanyak 8 % hemoglobin dilarutkan
dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0
dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % dengan
akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat dengan 0,2 ml larutan enzim
direaksikan dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37 0C. Reaksi dihentikan
dengan penambahan 2 ml TCA 5 %. Campuran disaring dan hasil reaksi yang
didapat ditambah dengan 1 ml pereaksi folin serta diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk
larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan
sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan
dengan akuades dan tirosin. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan
rumus berikut:
25 UA =
Asp − Abl
1
xPx
Ast − Abl
T
UA
: jumlah enzim yang menyebabkan
perubahan 1 μmol substrat per menit
Asp : nilai absorbansi sampel
Asp
: nilai absorbansi sampel
Abl : nilai absorbansi blanko
Ast
: nilai absorbansi standar
P
T
: waktu inkubasi
: faktor pengenceran
3.6 Assay Aktivitas Enzim Kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam
Kim et al. 2002)
Aktivitas kolagenolitik dapat diukur dengan metode Moore dan Stein
(1954) dalam Kim et al. (2002) yang telah dimodifikasi dengan cara mereaksikan
5 ml kolagen dari kulit ikan dengan 1 ml 0,05 M Tris-HCl (pH 7,5) yang
mengandung 5 mM CaCl2 dan 0,1 ml larutan enzim lalu diinkubasi pada suhu
37 0C selama 1 jam. Reaksi dihentikan dengan penambahan 0,2 ml 5 % TCA.
Setelah 10 menit pada suhu ruang, larutan disaring dengan menggunakan kertas
saring. Supernatan (0,2 ml) dicampur dengan 1,0 ml larutan nynhidrin, diinkubasi
pada suhu 100 0C selama 20 menit. Kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Campuran tersebut diencerkan dengan 5 ml 50 % 1-propanol untuk pengukuran
absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm. Larutan
buffer (0,05 M Tris-HCl pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 digunakan
sebagai pengganti larutan enzim sebagai larutan kontrol dan larutan tirosin
digunakan sebagai larutan standar enzim kolagenase. Aktivitas enzim kolagenase
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
UA =
Asp − Abl
1
xPx
Ast − Abl
T
UA
: jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol
substrat per menit
Asp
: nilai absorbansi sampel
Abl
: nilai absorbansi blanko
Ast
: nilai absorbansi standar
P
: faktor pengenceran
T
: waktu inkubasi
26 3.7 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976)
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan
bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan
dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam
12,5 ml etanol 95 %. Lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85% (b/v). Jika
telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 l dan disaring
dengan kertas saring Whatman-1 sesaat sebelum digunakan.
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan
cara 0,1 ml enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan
standar dilakukan seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 1,0-1,0 mg/ml
dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml. Tabel pembuatan larutan standar BSA
0,1-1,0 mg/mL disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml
Konsentrasi BSA
Volume BSA
Volume akuades
(mg/ml)
(ml)
(ml)
0,1
0,05
0,95
0,2
O,10
0,90
0,3
0,15
0,85
0,4
0,20
0,80
0,5
0,25
0,75
0,6
0,30
0,70
0,7
0,35
0,65
0,8
0,40
0,60
0,9
0,45
0,55
1,0
0,50
0,50
Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam kurva
standar Bradford untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung dalam
sampel enzim (Lampiran 4).
27 3.8 Analisis Data
Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai
organoleptik, pH, TVB dan TPC serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase,
serta konsentrasi protein enzim dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut
dihitung menggunakan rumus berikut (Steel dan Torrie 1989):
Keterangan :
n
X =
∑
X : nilai rata-rata
Xi
i =1
Xi : nilai X ke-i
n
N : jumlah data
Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, dan nilai
pH), nilai aktivitas enzim dan konsentrasi protein enzim dilakukan melalui uji
ragam (ANOVA) berupa rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan
(sampel
P,
Q,
R,
dan
S)
dan
4
kelompok
(pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk). Persamaan umum model
rancangan tersebut sebagai berikut:
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan:
Yij
: nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
µ
: nilai tengah populasi
τi
: pengaruh perlakuan τ taraf ke-i
βj
: pengaruh kelompok β taraf ke-j
εij
: galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
Hipotesis yang digunakan adalah:
1.
Hipotesis perlakuan
a. H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata
b. H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata
2. Hipotesis kelompok
a. H0 : pengaruh kelompok tidak berbeda nyata
b. H1 : minimal ada 1 kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata
Apabila pengaruh perlakuan dan kelompok berbeda nyata dengan selang
kepercayaan
95
%
(p
<0.05),
maka
diadakan
uji
lanjut
Duncan
(Steel dan Torrie 1989).
28 Derajat hubungan linier antara aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase)
n
∑
X =
Xi
i = 1
n
terhadap parameter kesegaran mutu (nilai organoleptik, pH, TVB, TPC) dilihat
menggunakan
koefisien
korelasi
linier
sederhana
dengan
rumus
(Snedecor dan Cochran 1967):
r=
∑ xy
(∑ x )(∑ y )
2
2
Keterangan:
x : simpangan dari rataan peubah pertama (yang mempengaruhi)
y : simpangan dari rataan peubah kedua (yang dipengaruhi)
Nilai derajat korelasinya adalah:
r =>0,7
: hubungan sangat erat
0,5<= r <=0,7 : hubungan erat
r <=0,5
: hubungan tidak erat 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran
mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan
bandeng dilakukan untuk mengetahui interval dan lama waktu terjadinya
kemunduran mutu pada ikan bandeng selama penyimpanan.
Penentuan fase
post mortem juga dilakukan untuk penelitian utama, yaitu mengenali kondisi
tingkat kesegaran kulit ikan bandeng terkait dengan besarnya nilai organoleptik,
nilai pH, total volatile base (TVB), total plate count (TPC), aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase pada fase kemunduran mutu. Seperti telah diketahui
sebelumnya, berdasarkan Junianto (2003), bahwa fase kemunduran mutu pada
ikan terdiri dari 4 fase, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk.
Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan dengan
menggunakan metode sensori, yaitu secara organoleptik. Pengujian sensori dapat
digunakan untuk menentukan fase-fase post mortem pada kemunduran mutu ikan
(Huss 1995). Metode organoleptik merupakan cara yang paling mudah dan murah
untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu pada ikan dengan bantuan panca
indera manusia.
Metode organoleptik dapat menilai kemunduran mutu yang
terjadi pada ikan yang jelas terlihat dari perubahan penampakan dan tekstur ikan.
Penetapan fase kemuduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu
berupa lembar nilai (score sheet) yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi
Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006).
Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum
dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), dipuasakan sebelum dipanen
dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), tidak dipuasakan sebelum dipanen dan
disimpan pada suhu chilling (kode: R), dipuasakan dan disimpan pada suhu
chilling (kode: S). Suhu chilling yang dimaksud pada penelitian ini adalah
(-1)-5
0
C.
Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian
medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.
30 Berdasarkan pengamatan, fase pre rigor ikan P dan Q terjadi sesaat setelah
ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada
jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19
penyimpanan. Pada ikan R dan S, fase pre rigor terjadi sesaat setelah ikan mati
atau pada kan ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-84
penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540 (23 hari)
penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan pada suhu ruang
(ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu
chilling (R dan S).
Hal ini disebabkan karena suhu yang lebih tinggi pada
penyimpanan dapat mempercepat proses kebusukan. Fase kemunduran mutu pada
ikan berhubungan dengan mutu ikan sebagai bahan yang dapat dikonsumsi oleh
manusia. Fase kemunduran mutu pada ikan merupakan fase-fase dimana terjadi
kemunduran kualitas makanan (eating quality) (Huss 1995).
Fase pre rigor merupakan fase sesaat setelah ikan mati. Fase ini ditandai
dengan penampakan ikan yang masih seperti ikan yang masih hidup. Bau dan
rasa ikan masih segar seperti bau rumput laut. Otot ikan menjadi lemas dan
mudah dilenturkan pada fase ini.
Secara biokimia terjadi penurunan kadar
adenosine triphosphate (ATP) karena terhentinya peredaran darah yang membawa
oksigen (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada ikan tidak ditemukan tanda-tanda
perubahan warna, tetapi secara berangsur warna semakin suram.
Hal ini
disebabkan karena timbulnya lendir sebagai akibat dari proses biokimiawi lebih
lanjut dan berkembangnya mikroba yang akan lebih jelas terlihat pada fase
kemunduran mutu berikutnya (Adawyah 2007).
Fase rigor mortis ditandai dengan mengerasnya otot ikan, bau dan rasa
ikan menjadi netral, perubahan tekstur pada ikan serta mulainya proses autolisis
atau penghancuran diri sendiri akibat aktivitas enzim (Huss 1995). Daging ikan
mengeras disebabkan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi
protein kompleks aktomiosin yang bersifat tidak dapat dikembalikan (irreversible)
(DKP dan JICA 2008). Fase rigor mortis sangat penting hubungannya dengan
pemanfaatan ikan sebagai bahan baku untuk dikonsumsi manusia karena mulai
terjadinya perubahan yang terlihat jelas pada ikan.
31 Fase post rigor terjadi setelah rigor mortis. Fase ini ditandai dengan
melemasnya otot ikan kembali setelah menegang pada fase rigor mortis. Pada
fase post rigor, mulai terjadi aktivitas bakteri yang meningkat serta aktivitas
enzim yang semakin banyak (Huss 1995). Aktivitas enzim akan menyebabkan
pelunakan jaringan pada ikan serta aktivitas bakteri menyebabkan ikan menjadi
semakin mengarah kepada kondisi busuk (Delbarre-Ladrat et al. 2006).
Fase setelah post rigor adalah fase busuk. Pada fase ini ikan tidak lagi
dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Hal ini disebabkan karena aktivitas
bakteri yang sangat banyak serta kerusakan pada tubuh ikan.
4.2 Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui kemunduran mutu yang
terjadi pada ikan bandeng serta kulit ikan bandeng pada fase kemunduran mutu
selama penyimpanan. Pengamatan dan analisis dilakukan terhadap sampel ikan
P, Q, R, dan S berdasarkan waktu penyimpanan. Analisis kemunduran mutu yang
dilakukan, yaitu nilai organoleptik, pH, total volatile base (TVB), serta
total plate count (TPC) dengan mengambil sampel pada bagian kulit. Pengujian
sendiri dilakukan pada 4 titik fase kemunduran mutu, yaitu pre rigor,
rigor mortis, post rigor dan busuk. Nilai uji organoleptik, pH, TVB dan TPC
merupakan parameter-parameter kesegaran ikan yang dapat menunjukkan
kemunduran mutu pada ikan (Huss 1995).
4.2.1
Nilai organoleptik
Penilaian mutu ikan secara organoleptik merupakan metode penilaian
secara sensori yang menggunakan panca indera manusia. Metode ini merupakan
cara yang digunakan untuk mengukur, menganalisa dan menginterpretasikan
karakter dari suatu bahan pangan (Huss 1995). Penetapan fase kemuduran mutu
pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet)
yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan
SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S
disajikan pada Gambar 4.
32 Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S
Nilai organoleptik pada ikan dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan
bandeng P, Q, R, dan S menunjukan nilai yang semakin menurun seiring dengan
semakin lamanya waktu penyimpanan. Hal ini berarti bahwa semakin lama ikan
disimpan maka mutu ikan akan semakin menurun. Menurut Ozogul et al. (2006),
semakin lama waktu penyimpanan maka nilai mutu organoleptik/sensori dari ikan
akan semakin menurun.
Secara umum, nilai organoleptik ikan P, Q, R dan S tidak menunjukan
perbedaan
yang
mencolok.
Kondisi
tidak
dipuasakan-dipuasakan
atau
kenyang-lapar pada ikan bandeng tidak berpengaruh terhadap mutu organoleptik
dari ikan bandeng.
Perbedaan hanya terjadi pada lamanya ikan mengalami
kemunduran mutu dimana ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang
(P dan Q) lebih cepat busuk, yaitu pada jam ke-19 penyimpanan serta ikan
bandeng yang disimpan pada suhu chilling mengalami kebusukan lebih lama,
33 yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Suhu penyimpanan memberikan efek terhadap
kemunduran mutu pada ikan.
Hal ini dikarenakan perkembangan bakteri
pembusuk dapat ditekan dengan suhu yang lebih rendah (Huss 1995).
Pada ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling (kode: R dan S), ikan
yang dipuasakan (kode: S) memiliki nilai organoleptik yang lebih baik dibanding
ikan yang tidak dipuasakan (kode: R) sampai fase post rigor. Hal ini dikarenakan
pada ikan yang dipuasakan/lapar proses pemecahan ATP berlangsung lebih
lambat sehingga kondisi post mortem-nya lebih baik.
Pada penelitian yang
dilakukan terhadapan ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang disimpan pada
suhu dingin, kondisi kenyang-lapar pada ikan berpengaruh pada kadar glikogen
dan ATP dari ikan tersebut.
Glikogen dan ATP digunakan untuk proses
metabolisme ikan dan rendahya kadar glikogen dan ATP memperlambat
metabolisme ikan.
Rendahnya metabolisme pada ikan ketika mati akan
menyebabkan kondisi stres pada ikan berkurang sehingga kemunduran mutu
sensori berlangsung lebih lambat (Morkore et al. 2008).
Pada fase pre rigor, nilai organoleptik dari ikan P, Q, R, dan S bernilai 9
atau masih dalam kondisi segar. Menurut Adawyah (2007), ikan yang masih
segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa,
bau, rasa maupun teksturnya. Ikan bandeng segar ini mempunyai ciri-ciri mata
yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa
lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, serta belum ada
perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada
perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki dinding perut utuh. Bau ikan
sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya padat, elastis bila ditekan dengan
jari,
serta
sulit
menyobek
daging
dari
tulang
belakang.
Berdasarkan SNI 01-2346-2006, ikan segar memiliki nilai organoleptik 7-9
(BSNb 2006).
Pada fase rigor mortis, ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar
6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabuabuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir.
Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan
daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang
34 tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak
elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.
Fase post rigor ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai
organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk
dimakan sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7
merupakan batas akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan
(BSNb 2006). Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah
keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah
kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam,
kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang
tulang belakang, serta dinding perutnya lunak.
Bau amoniak mulai tercium,
sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta
agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Menurut SNI 01-2346-2006,
nilai organoleptik 5-6 tergolong ikan yang agak segar (BSNb 2006).
Fase busuk atau tidak segar ikan bandeng ditandai dengan nilai
organoleptik antara 1-3 (BSNb 2006). Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng
sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai
ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat
cekung, kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat ada sedikit putih.
Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Sayatan daging kusam, warna
merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak
kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat
bila ditekan, serta mudah menyobek daging dari tulang belakang.
Kulit ikan bandeng mengalami kemunduran mutu yang sebanding seperti
pada ikan bandeng utuh. Fase kemunduran mutu yang terjadi sama halnya dengan
ikan bandeng. Pada kulit ikan bandeng, nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan
S mengalami kecenderungan yang sama seperti pada nilai organoleptik ikan
bandeng. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami penurunan
dengan
semakin
lamanya
waktu
penyimpanan. Berikut disajikan nilai
organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 5.
35 Gambar 5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
Kulit ikan bandeng mengalami kondisi yang berbeda pada setiap fase
kemunduran mutu. Pada fase pre rigor, kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
memiliki nilai organoleptik 8-9 atau masih dalam kondisi segar. Kulit ikan pada
fase ini memiliki ciri-ciri lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum
ada perubahan warna. Pada fase rigor mortis, kulit ikan bandeng memiliki nilai
7-8 dengan ciri-ciri lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang
transparan.
Pada fase post rigor kondisi kulit ikan bandeng menurun nilainya menjadi
5-6 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh.
Sedangkan pada fase busuk nilai organoleptik kulit adalah 3 dengan ciri-ciri lendir
tebal menggumpal, warna putih kuning.
Nilai organoleptik kulit ikan
P, Q, R, dan S tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Perbedaan hanya
terdapat pada kecepatan kemunduran mutu dimana kulit ikan yang disimpan pada
36 suhu ruang mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat dibanding yang
disimpan pada suhu chilling.
Pengetahuan akan mutu bahan baku dapat menjadi dasar bagi
pengembangan produk dari bahan baku tersebut.
Pada pemanfaatan untuk
konsumsi maupun agroindustri manapun, bahan baku dari ikan yang baik akan
sangat mempengaruhi mutu dan daya saing dari produk tersebut. Mutu pada ikan
dapat dilihat dari daya simpan produk tersebut. Pada penelitian ini kulit ikan
bandeng yang disimpan dalam suhu ruang (26-30 0C), yaitu ikan P dan Q
memiliki daya simpan sekitar 19 jam dan ikan R dan S yang disimpan pada suhu
chilling ((-1)-5 0C) mempunyai daya simpan sekitar 540 jam (23 hari).
Kecepatan kemunduran mutu pada ikan terjadi tergantung pada beberapa
hal. Hal ini terdiri dari jenis ikan, suhu, penanganan setelah ikan mati, ukuran,
kondisi fisik ikan, serta kondisi stres pada ikan (Huss 1995). Pada ikan-ikan laut
tertentu di daerah tropis, kecepatan kemunduran mutu tergantung dari perbedaan
suhu pada habitat asal dan suhu penyimpanan. Makin besar perbedaan suhu pada
habitat
dan
suhu
penyimpanan
makin
cepat
ikan
membusuk
(Abe dan Okuma 1991 dalam Huss 1995). Salah satu cara dalam mencegah
kemuduran mutu pada ikan adalah dengan menyimpan ikan pada suhu chilling.
Suhu chilling dapat memperlambat kemunduran mutu pada ikan dikarenakan suhu
chilling dapat menghambat aktivitas bakteri pembusuk pada ikan. Namun, suhu
chilling tidak banyak membantu dalam hal kemunduran mutu karena pengaruh
enzim atau autolisis (Medina et al. 2009).
4.2.2
Nilai pH
Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu zat atau
larutan (HAM 2001). Nilai pH dapat menunjukkan tingkat kesegaran dari ikan.
Nilai pH ikan yang sudah tidak segar tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih
segar. Hal ini karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa, misalnya
amoniak, trimetilamin dan senyawa basa volatil lainnya (Poli et al. 2005). Hasil
pengukuran nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R dan S selama kemunduran mutu
disajikan pada Gambar 6.
37 Gambar 6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 6 mengalami
perubahan selama periode kemunduran mutu.
Nilai pH kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S turun pada saat setelah ikan dimatikan kemudian naik kembali
setelah fase rigor mortis sampai busuk. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada
saat setelah ikan dimatikan (pre rigor) adalah 6,42 sedangkan kulit ikan bandeng
Q dan S pada fase pre rigor memiliki nilai pH 7,11. Ketika memasuki fase
rigor mortis, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun. Hal ini disebabkan
karena akumulasi asam laktat akibat respirasi anaerob. Respirasi anaerob sendiri
terjadi akibat terhentinya aliran darah yang membawa oksigen pada ikan setelah
ikan itu mati sehingga terjadi respirasi anaerob glikogen yang menghasilkan asam
laktat (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada
fase rigor mortis, yaitu 6,02 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase
rigor mortis bernilai 6,46. Nilai pH kulit ikan pada fase post rigor naik dari
38 sebelumnya pada fase rigor mortis. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan Q pada
fase post rigor bernilai 6,61 dan 6,78 serta kulit ikan bandeng R dan S bernilai
6,55 dan 6,78. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng terus naik. Pada fase
busuk, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berturut-turut adalah 6,79, 7,02,
7,80, dan 6,94. Kenaikan nilai pH pada fase post rigor dan busuk disebabkan
karena terakumulasinya basa-basa volatil akibat aktivitas bakteri (Huss 1995).
Nilai pH ikan pada saat fase post mortem berkisar antara 7,4-6,0 atau dapat lebih
rendah lagi (Delbarre-Ladrat et al. 2006).
Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S secara umum tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok selama kemunduran mutu.
Perbedaan nilai pH terdapat pada fase-fase kemunduran mutu ikan selama
penyimpanan. Pada fase awal kemunduran mutu ikan, nilai pH ikan berkisar
netral dikarenakan belum terjadi penurunan pH akibat respirasi anaerob glikogen.
Nilai pH akan turun akibat dihasilkannya asam laktat akibat respirasi anaerob
glikogen yang disebabkan terhentinya aliran oksigen setelah ikan mati. Nilai pH
akan naik setelah glikogen habis melewati proses respirasi anaerob. Autolisis
oleh enzim dan aktivitas bakteri yang menghasilkan senyawa-senyawa basa
menyebabkan kenaikan nilai pH pada ikan (Huss 1995). Ketika pH turun, enzim
autolisis terutama enzim katepsin yang aktif pada suhu asam akan mendegradasi
protein
menyebabkan
terdegradasinya
protein
pada
ikan
(Delbarre-Ladrat et al. 2006).
Pengujian sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05 dilakukan untuk
mengetahui pengaruh perlakuan kombinasi ikan bandeng sebelum dipanen P, Q,
R, dan S terhadap nilai pH selama kemunduran mutu. Hasil penelitian
menunjukan
P,
Q,
bahwa
R,
dan
terdapat
S
perbedaan
pada
nilai
fase-fase
pH
kulit
kemunduran
ikan
bandeng
mutu
ikan
(pre rigor, rigor mortis, post rigor serta busuk) selama waktu penyimpanan
(ANOVA; α=0,05) (Lampiran 5). Hal serupa ditemukan pada penelitian yang
dilakukan pada ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang diberi perlakuan
diberi
makan
dan
tidak
sebelum
dipanen
pada
penyimpanan
dingin
(Morkore et al. 2008). Perbedaan nilai pH tersebut dikarenakan nilai pH ikan
39 berubah seiring waktu kemunduran mutu akibat terbentuknya asam laktat dan
aktivitas enzim serta bakteri (Huss 1995).
4.2.3
Nilai total volatile base (TVB)
Penurunan kesegaran ikan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme serta
enzim autolisis yang menghasilkan senyawa-senyawa basa volatil.
Nilai
total volatile base (TVB) pada ikan merupakan jumlah dari senyawa-senyawa
basa volatil yang terdapat pada ikan. Nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Rata-rata nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R dan S
Batas nilai TVB untuk ikan yang masih dapat dikonsumsi manusia adalah
30 mg N/100 g (Farber 1965). Pada fase pre rigor, nilai TVB ikan bandeng
P dan R menunjukkan nilai 5,88 mg N/100 g sedangkan ikan Q dan S bernilai
6,27 mg N/100 g. Nilai ini menunjukan bahwa ikan masih sangat segar. Ikan
40 sangat segar memiliki nilai TVB 10 mg N/100 g atau lebih kecil (Farber 1965).
Pada fase rigor mortis, nilai TVB kulit ikan P, Q, R, dan S naik ke nilai
10,08 mg N/100 g, 9,80 mg N/100 g, 11,20 mg N/100 g, dan 18,76 mg N/100 gr.
Nilai TVB kulit ikan P, Q, R, dan S naik kembali pada fase post rigor menjadi
24,64 mg N/100 g, 22,12 mg N/ 100 g, 32,20 mg N/100 g dan 26,04 mg N/100 g.
Batas TVB kulit ikan bandeng untuk konsumsi manusia adalah pada fase busuk,
yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Nilai TVB kulit pada fase busuk bernilai lebih
besar dari 30 mg N/100 g, yaitu 45,35-57,40 mg N/100 g yang menunjukkan
bahwa kulit ikan ini sudah busuk dan tidak dapat dikonsumsi lagi.
Peningkatan nilai TVB pada ikan disebabkan penguraian protein oleh
enzim autolisis serta aktivitas bakteri. Ketika ikan mati, enzim akan menguraikan
protein menjadi senyawa-senyawa turunan protein seperti dimetil amin, trimetil
amin, trimetil amin-oksida (TMAO) dan amoniak. Bakteri berperan besar dalam
peningkatan basa volatil pasca kematian ikan. Bakteri-bakteri pembusuk pada
ikan memanfaatkan beberapa senyawa ini untuk melakukan respirasi dan
berkembang biak. Beberapa bakteri-bakteri pembusuk pada ikan yang bersifat
anaerobik fakultatif seperti E. coli, S. putrefaciens serta vibrio dapat melakukan
respirasi anaerobik dengan menggunakan trimetil amin-oksida sebagai akseptor
elektron. Hasil dari respirasi yang dilakukan oleh bakteri-bakteri tersebut akan
menghasilkan senyawa hasil reduksi TMAO, yaitu trimetil amin (TMA) yang
merupakan komponen terbesar TVB pada ikan (Huss 1995).
Pada kulit ikan yang disimpan pada suhu chilling, nilai TVB ikan R dan S
naik lebih lambat bila dibandingkan dengan kulit ikan P dan Q yang disimpan
pada suhu ruang. Hal ini terlihat dari nilai TVB kulit ikan R dan S mencapai nilai
diatas 30 mg N/100 g atau sudah busuk pada jam ke-540 (23 hari) sedangkan pada
kulit ikan yang disimpan pada suhu ruang, yaitu ikan P dan Q terjadi pada
jam ke-19. Hal ini disebabkan karena akumulasi basa volatil lebih lambat pada
suhu chilling (Karungi et al. 2003).
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai TVB pada
tiap
fase
kemunduran
mutu
selama
penyimpanan
(ANOVA;
α=0,05)
(Lampiran 6). Nilai TVB pada ikan P, Q, R, dan S selama periode kemunduran
mutu menunjukkan nilai yang semakin meningkat seiring dengan waktu
41 penyimpanan.
selama
Nilai TVB juga berhubungan dengan fase kemunduran mutu
waktu
penyimpanan
pada
ikan
Nila
(Oreochromis
niloticus)
(Yasmin et al. 2001), ikan Turbot (Scopthalmus maximus) (Ozogul et al. 2006)
serta
ikan
Red
Mullet
(Mullus
barbatus)
dan
Goldband
Goatfish
(Upeneus moluccensis) (Ozogul et al. 2009). Kenaikan jumlah TVB pada ikan
selama kemunduran mutu berhubungan dengan autolisis oleh enzim dan aktivitas
bakteri (Huss 1995).
4.2.4
Nilai total plate count (TPC)
Nilai TPC (total plate count) merupakan jumlah bakteri/koloni bakteri
yang terdapat pada bahan/sampel. Nilai TPC dapat dijadikan sebagai indikator
keberadaan bakteri pembusuk pada ikan (Huss 1995). Metode ini didasarkan pada
asumsi bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks
bagi jumlah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam sampel.
Nilai TPC
disajikan dalam log TPC, yaitu jumlah bakteri secara logaritmik. Ikan yang masih
hidup memiliki sistem kekebalan yang melindunginya dari pertumbuhan bakteri.
Ketika ikan mati, sistem kekebalan berhenti bekerja sehingga bakteri mulai
tumbuh pada ikan.
Berbagai macam bakteri akan tumbuh pada ikan dan
menurunkan mutu ikan hingga akhirnya ikan menjadi busuk dan tidak layak lagi
untuk dikonsumsi. Bakteri pada ikan ketika mengalami kemunduran mutu dapat
berasal dari luar tubuh ikan yang masuk melalui kulit atau dari dalam tubuh ikan
itu sendiri. Jumlah bakteri yang dihitung dengan nilai log TPC pada kulit ikan
bandeng P, Q, R, dan S ditunjukkan pada Gambar 8.
42 Gambar 8. Rata-rata nilai log TPC kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
Nilai TPC/jumlah bakteri kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada
Gambar 8 mengalami kenaikan seiring dengan kemunduran mutu pada
penyimpanan suhu ruang dan chilling.
Pada fase pre rigor atau saat awal
kemunduran mutu ikan, nilai log TPC bernilai 3,66-3,82 cfu/g. Memasuki fase
rigor mortis, nilai log TPC naik menjadi 4,68-6,42 cfu/g. Pada fase post rigor,
jumlah bakteri sudah diatas ambang batas untuk konsumsi manusia. Nilai log
TPC pada fase post rigor adalah 6,61-7,72 cfu/g. Ambang batas jumlah bakteri
ikan segar untuk konsumsi manusia menurut SNI 01-2729-2006, yaitu 5 x 105
atau dalam log TPC, 5,70 cfu/g (BSN 2006). Pada fase busuk jumlah bakteri
semakin banyak, yaitu 7,34-7,85 cfu/g. Jumlah bakteri pada kulit ikan beragam
dan
berkisar
antara
102-107
(Shewan 1980 dalam Huss 1995).
cfu/g
atau
dalam
log
TPC
2-7
cfu/g
43 Bakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kebusukan pada
ikan. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tubuh yang menjaga ikan dari serangan
bakteri tidak bekerja lagi dan bakteri mulai masuk ke tubuh ikan. Bakteri-bakteri
pembusuk pada ikan berasal terutama dari lingkungan ikan tersebut. Bakteri
masuk dari permukaan luar/kulit ikan kemudian masuk ke daging dan organ
pencernaan melalui jaringan ikat. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan
berhubungan dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan
jumlah dan jenis bakteri yang ditemukan pada ikan dipengaruhi oleh faktor
makanan, cara penangkapan, penanganan serta perbedaan suhu yang dipengaruhi
oleh musim dan letak geografis. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan
tropis adalah Pseudomonas, Acinetobacter, Moraxella, Vibrio, E. coli, serta
Salmonella (Huss 1995; Junianto 2003).
Pada penelitian ini, ikan bandeng P dan Q yang disimpan pada suhu ruang
mengalami kenaikan jumlah bakteri lebih cepat dibanding dengan ikan R dan S
yang disimpan pada suhu chilling. Hal ini terlihat bahwa ikan P dan Q melewati
batas nilai TPC ikan segar berdasarkan SNI 01-2729-2006 pada fase post rigor
pada jam ke – 15 sedangkan ikan R dan S terjadi pada jam ke – 300 (13 hari).
Suhu chilling dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan dikarenakan
pertumbuhan bakteri akan lebih lambat pada suhu rendah (Huss 1995).
Nilai TPC kulit ikan bandeng pada penelitian ini berbeda pada tiap fase
kemunduran mutu (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 7).
Nilai TPC naik seiring
dengan kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan chilling. Hal ini
disebabkan karena bakteri akan tumbuh semakin banyak pada ikan yang mati.
Pertumbuhan bakteri pada ikan yang mati semakin banyak karena kondisi ikan
yang memungkinkan bakteri untuk tumbuh dan berkembang akibat dari hasil
pendegradasian protein yang merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan
bakteri (Huss 1995).
4.2.5
Konsentrasi protein katepsin dan aktivitas enzim katepsin
Enzim katepsin merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu
ikan. Beberapa enzim lain diketahui memiliki hubungan dengan kemunduran
mutu ikan, namun enzim katepsin merupakan enzim yang paling banyak
disebutkan berpengaruh dalam kemunduran mutu ikan.
Enzim katepsin
44 merupakan enzim protease yang ditemukan tersimpan dalam organel sel yang
bernama lisosom. Lisosom pada ikan mengandung paling tidak 13 jenis enzim
katepsin (Delbarre-Ladrat et al. 2006).
Pada ikan yang masih hidup, enzim
katepsin tidak aktif namun langsung aktif ketika ikan mati dan pH ikan turun
(Huss 1995). Keberadaan enzim katepsin dapat dilihat dari konsentrasi enzim
tersebut.
Konsentrasi protein katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rata-rata konsentrasi protein katepsin kulit
ikan bandeng P, Q, R, dan S
Jumlah rata-rata protein katepsin ikan bandeng P, Q, R, dan S pada
Gambar 9 naik dengan semakin lamanya penyimpanan kemudian turun setelah
melalui fase post rigor. Hal ini akan sebanding dengan aktivitas enzim katepsin. Aktivitas enzim katepsin menunjukan aktivitasnya dalam melakukan kerja sebagai
enzim proteolitik. Aktivitas enzim katepsin dapat menunjukan peranan enzim
45 katepsin dalam kemunduran mutu ikan. Berikut aktivitas enzim katepsin pada
kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 10.
Gambar 10. Rata-rata aktivitas enzim katepsin kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S
Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada
Gambar 10, terlihat bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin selama
kemunduran mutu. Pada fase pre rigor kulit ikan P dan R memiliki aktivitas
enzim katepsin sebesar 0,1250 U/ml sedangkan aktivitas enzim katepsin kulit ikan
Q, S memiliki aktivitas sebesar 0,0893 U/ml. Aktivitas enzim tertinggi terdapat
pada fase post rigor, yaitu 0,7800 U/ml untuk kulit ikan P, 0,8929 U/ml,
untuk kulit ikan Q, 1,1429 U/ml, untuk kulit ikan R serta 1,0357 U/ml untuk
ikan S. Aktivitas enzim katepsin berkaitan dengan pH ikan pada kemunduran
mutu. Enzim akan bekerja paling baik pada pH yang optimum. Pada penelitian
ini aktivitas katepsin paling besar terjadi dari fase post rigor dimana pH kulit ikan
46 bandeng P, Q, R, dan S bernilai 6,02-6,78. Ketika ikan mati, pH ikan akan turun
dari kisaran netral atau 7 ke kisaran 6,5 atau lebih rendah kemudian naik lagi.
Kisaran pH 6,5-7 merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim katepsin,
terutama katepsin B dan L (Jiang 2000 diacu dalam Cheret et al. 2007).
Katepsin pada ikan merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran
mutu dari ikan dengan mengautolisis protein pada jaringan tubuh ikan. Pada
lisosom sel ikan, diketahui terdapat 13 jenis enzim katepsin dan jenis katepsin B,
D, H, dan L merupakan jenis enzim katepsin terbanyak pada ikan.
Enzim
katepsin mendegradasi struktur protein miofibril pada ikan. Enzim Katepsin juga
diketahui mampu mendegradasi jaringan ikat dan protein kolagen pada ikan
(Hagen et al. 2008). Kulit merupakan bagian yang banyak mengandung jaringan
ikat dan protein kolagen (Porter dan Bonnevine 1973). Saat awal kemunduran
mutu ikan, katepsin akan lepas dari lisosom sel dan dibantu dengan penurunan pH
menjadi antara 6,5-7 (pH optimum katepsin B dan L) akan mendegradasi protein
tubuh ikan (Cheret et al. 2007).
Pada penelitian ini, enzim memiliki aktivitas tertinggi pada fase post rigor
dimana nilai pH 6,02-6,78. Nilai pH ini masuk ke dalam nilai pH optimum untuk
jenis enzim katepsin B dan L, yaitu 6,5-7. Katepsin B merupakan jenis katepsin
yang berperan dalam pelunakan jaringan pada ikan.
Enzim katepsin B
melepaskan ikatan tri- dan dipeptida dari peptida protein ikan. Katepsin B juga
mendegradasi miosin rantai panjang serta menghidrolisis secara parsial aktin dan
degradasi troponin-I dan troponin-T pada ikan.
Pada beberapa penelitian
katepsin B juga berperan dalam pendegradasian jaringan ikat dan protein kolagen.
(Hagen et al. 2008).
Aktivitas enzim katepsin pada penelitian ini berbeda pada tiap fase
kemunduran mutu selama penyimpanan (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 8). Hal ini
disebabkan karena nilai pH pada tiap fase kemunduran mutu berbeda sehingga
aktivitas katepsin akan berbeda pula.
aktivitas dari enzim katepsin.
nilai
pada
pH
pH
pada
ikan.
yang
Nilai pH akan berpengaruh terhadap
Aktivitas enzim katepsin berhubungan dengan
Aktivitas
sesuai
untuk
enzim
katepsin
aktivitas
akan
maksimal
enzim
katepsin
(Sovik dan Rustad 2006; Synnes et al. 2005; Hultmann dan Rustad 2004).
47 4.2.6
Konsentrasi protein kolagenase dan aktivitas enzim kolagenase
Kulit ikan merupakan bagian dari tubuh ikan yang mengandung unsur
utama berupa protein kolagen. Protein kolagen merupakan protein yang menjadi
unsur utama pada kulit, tulang, tendon dan jaringan ikat pada hewan
(Morimura et al. 2002, Nagai dan Suzuki 2000 dalam Huo dan Zhang 2009).
Protein kolagen mengalami degradasi ketika terjadi kemunduran mutu pada ikan.
Kehilangan protein kolagen pada ikan akan mengurangi nilai gizi pada ikan
karena kolagen merupakan bahan yang penting untuk dimanfaatkan pada industri
pangan. Selain itu, protein kolagen juga digunakan untuk industri farmasi dan
kosmetik. Degradasi protein kolagen saat kemunduran mutu ikan disebabkan oleh
enzim proteolisis, yaitu enzim kolagenase.
Enzim kolagenase merupakan enzim dari famili metaloprotease peptidase
yang bekerja pada substrat kolagen.
Pengaturan dari enzim kolagenase
merupakan proses yang kompleks namun enzim kolagease disintesis dan
disekresikan pada jaringan ikat (Hagen et al. 2008).
Keberadaan jumlah
kolagenase berhubungan dengan konsentrasi enzim serta aktivitasnya. Jumlah
atau konsentrasi protein kolagenase yang terdapat pada kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 11.
48 Gambar 11. Rata-rata konsentrasi protein kolagenase kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S
Pada Gambar 11, terlihat bahwa jumlah atau konsentrasi protein
kolagenase pada ikan bandeng P, Q, R, dan S berbeda-beda selama periode
kemunduran mutu. Hal ini berhubungan dengan aktivitas enzim kolagenase yang
terjadi.
Jumlah protein kolagenase berhubungan dengan aktivitas enzim
kolagenase selama periode kemunduran mutu. Berikut aktivitas enzim kolagenase
kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S selama periode kemunduran mutu pada
Gambar 12.
Aktivitas enzim kolagenase menunjukkan kecenderungan yang sebanding
dengan konsentrasi enzim yang terdapat pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S.
Pada jumlah dan suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi atau
aktivitas
enzim
(Lehninger 1993).
bertambah
dengan
bertambahnya
konsentrasi
enzim
49 Gambar 12. Rata-rata Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng
P, Q, R, dan S
Aktivitas enzim kolagenase menunjukkan bahwa aktivitas enzim
kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berubah seiring dengan
kemunduran mutu yang terjadi. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan P, Q,
R, dan S pada fase awal ikan mati atau pre rigor adalah berturut-turut, yaitu
0,0125 U/ml; 0,0292 U/ml; 0,0167 U/ml, dan 0,0208 U/ml. Aktivitas enzim
kolagenase tertinggi berada pada fase post rigor dimana aktivitas enzim
kolagenase pada kulit ikan P, Q, R, dan S berturut-turut, yaitu 0,0708 U/ml;
0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Perubahan akibat autolisis enzim
pada ikan akan mencapai aktivitas tertinggi setelah fase rigor mortis (Huss 1995).
Enzim kolagenase berperan dalam mendegradasi protein kolagen pada
kemunduran mutu ikan. Berdasarkan uji sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05,
(Lampiran 9) diketahui bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim kolagenase
50 selama kemunduran mutu pada penyimpanan. Hal serupa juga ditemukan pada
ikan cod dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim pada tiap fase kemunduran
mutu (Hernandez-hererro et al. 2003). Perbedaan aktivitas enzim kolagenase
pada kemunduran mutu ikan berhubungan dengan pH optimum enzim kolagenase
(Hagen et al. 2008).
4.3 Hubungan antara Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dengan
Parameter Kesegaran Ikan
Kemunduran
mutu
ikan
merupakan
kombinasi
nikrobiologis serta fisik yang terjadi setelah ikan mati.
proses
biokimia,
Kombinasi dari
proses-proses tersebut akan menyebabkan kemunduran mutu yang terlihat dari
beberapa parameter, seperti nilai sensori/organoleptik, nilai pH, nilai TVB serta
nilai TPC ikan. Aktivitas enzim proteolitik, yaitu enzim katepsin dan kolagenase
akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan.
Aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase mempengaruhi kombinasi proses biokimia yang menyebabkan
kemunduran mutu ikan. Kemunduran mutu yang terjadi disebabkan oleh enzim
proteolitik dan terlihat dari kondisi fisik, kimia (nilai pH) serta diikuti oleh
pembusukan oleh bakteri (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Hal ini dapat dilihat
dengan suatu analisis korelasi linier sederhana dimana hubungan antara aktivitas
enzim dengan parameter mutu ikan dapat diketahui. Hubungan antara aktivitas
enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran dari fase pre rigor
hingga fase post rigor pada ikan P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 13.
Berdasarkan analisis korelasi linier sederhana, diketahui bahwa aktivitas
enzim katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat dengan nilai
organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S (r =>0,7) dari fase pre rigor hingga fase
post rigor (Gambar 13a dan 13f). Hubungan tersebut adalah aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase akan semakin meningkat seiring dengan penurunan nilai
organoleptik ikan (waktu penyimpanan). Hal ini berkaitan dengan peran enzim
katepsin dan kolagenase dalam pelunakan jaringan dan pendegradasian protein
pada ikan (Huss 1995).
Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivtas enzim katepsin dan
kolagenase dengan nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S
menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13b dan 13g).
51 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase akan semakin meningkat seiring dengan
penurunan nilai organoleptik kulit ikan (waktu penyimpanan). Enzim katepsin,
terutama katepsin B dan kolagenase berperan dalam pendegradasian protein
kolagen yang banyak terdapat pada kulit ikan (Hagen et al. 2008).
Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivtas enzim katepsin dan
kolagenase dengan nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan
hubungan yang tidak erat (r <=0,5) (Gambar 13c dan 13h). Penurunan nilai pH
dapat memicu lepasnya enzim katepsin dan kolagenase.
Perubahan nilai pH
setelah fase kemunduran mutu ikan lebih dikarenakan penumpukan asam laktat
akibat
respirasi
anaerob
dan
aktivitas
bakteri
yang
terjadi
(Delbarre-Ladrat et al. 2006).
Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dengan nilai TVB menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7)
(Gambar 13d dan 13i).
Perubahan nilai TVB selama kemunduran mutu
disebabkan oleh pemecahan protein pada ikan oleh enzim-enzim proteolitik
seperti katepsin dan kolagenase (Huss 1995).
Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dengan nilai TPC kulit ikan bandeng P, Q, R dan S menunjukkan
hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13e dan 13j). Hal ini dikarenakan
aktivitas enzim proteolitik akan mendegradasi protein yang merupakan substrat
yang baik untuk bakteri yang menghasilkan basa-basa volatil terakumulasi
(Karungi et al. 2003).
5
0
0
1
2
Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
y = ‐3.642x + 9.033
R² = 0.803
r = 0.9
10
5
0
0
0.5
1
1.5
Nilai TVB mg N/100 g
Nilai pH
y = 0.088x + 6.520
R² = 0.010
r = 0.1
40
y = 23.18x + 4.107
R² = 0.972
r = 0.9
20
0
0
Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
0.5
0
0.5
y = 3.437x + 3.824
R² = 0.849
r = 0.9
1
1.5
Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
Nilai Log TPC (cfu/ml)
5
y = ‐57.23x + 9.758
R² = 0.729
r = 0.9
10
5
0
0
y = ‐51.45x + 9.596
R² = 0.807
r = 0.9
0
0.05
y = 2.546x + 6.453
R² = 0.030
r = 0.2
7.5
7
6.5
6
5.5
0.1
0
y = 337.3x + 0.635
R² = 0.756
r = 0.9
20
0
0
0.05
0.1
Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
(i) 0.1
(h)
Nilai Log TPC (cfu/ml)
Nilai TVB mg N/100 g
40
0.05
Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
(g)
0.1
(f)
Nilai pH
Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
(e)
0
0.05
Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
5
1.5
(d)
10
10
1
Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
(c)
0
2
(b)
7.5
7
6.5
6
5.5
0
1
Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
(a)
52 y = ‐2.941x + 8.789
R² = 0.718
r = 0.8
10
10
5
y = 50.69x + 3.281
R² = 0.678
r = 0.8
0
0
0.05
0.1
Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
(j)
Gambar 13. Korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase
fase pre rigor hingga post rigor ikan dan kulit ikan P, Q, R, dan S;
aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik ikan bandeng; (b) nilai
organoleptik kulit ikan bandeng; (c) pH; (d) TVB; (e) TPC;
aktivitas kolagenase dengan (f) nilai organoleptik ikan bandeng; (g)
nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC
53 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada fase pre rigor hingga
post rigor memiliki hubungan yang sangat erat secara linier dengan parameter
kesegaran ikan kecuali pada nilai pH.
Koefisien linier sederhana antara
aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dari fase pre rigor hingga post rigor
dapat dilihat pada Tabel 7. Hubungan tersebut menjadi berkurang keeratannya
ketika memasuki fase busuk. Hal ini dapat dilihat pada koefisien korelasi linier
sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran
ikan pada fase pre rigor hingga busuk yang disajikan secara lengkap pada
Tabel 8.
Tabel 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari
fase pre rigor hingga post rigor
Koefisien Korelasi
Aktivitas Enzim
Katepsin
0,9
Koefisien Korelasi
Aktivitas Enzim
Kolagenase
0,9
Nilai organoleptik kulit
0,8
0,9
Nilai pH kulit
0,1
0,2
Nilai TVB kulit
0,9
0,8
Nilai TPC kulit
0,9
0,9
Parameter Kesegaran Ikan
Nilai organoleptik ikan bandeng
Tabel 8. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari
fase pre rigor hingga busuk
Koefisien Korelasi
Aktivitas Enzim
Katepsin
0,7
Koefisien Korelasi
Aktivitas Enzim
Kolagenase
0,7
Nilai organoleptik kulit
0,6
0,7
Nilai pH kulit
0,3
0,3
Nilai TVB kulit
0,6
0,6
Nilai TPC kulit
0,8
0,8
Parameter Kesegaran Ikan
Nilai organoleptik ikan bandeng
Aktivitas korelasi linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dengan parameter kesegaran ikan berkurang keeratannya ketika
memasuki fase busuk pada Tabel 8. Hal ini dikarenakan nilai pH yang semakin
54 naik pada fase busuk. Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R,
dan S masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik
kulit. Hal ini dikarenakan nilai pH optimum enzim kolagenase yang memiliki
rentang pH yang lebih besar, yaitu 6,5-8 dimana pada fase busuk pH ikan terus
naik (Haard 1994).
4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan
Mutu ikan dapat dilihat dari parameter kesegaran ikan.
Parameter
kesegaran ikan tersebut berupa parameter yang diukur secara subyektif
(organoleptik) maupun obyektif (pH, TVB, TPC). Parameter-parameter tersebut
memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan bandeng. Perubahan
pasca kematian ikan (postmortem) terjadi setelah ikan mati dan aliran darah
terhenti. Hasil dari terhentinya peredaran darah adalah serangkaian reaksi yang
sangat kompleks dalam otot. Pengaruh yang cepat dari berhentinya peredaran
darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya pemasukan
oksigen ke dalam jaringan. Akibatnya jaringan tidak mampu membentuk kembali
adenosin trifosfat (ATP) sebagai bahan energi sel, karena mekanisme transport
elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti. Hal ini menyebabkan respirasi
anaerob yang menyebabkan dihasilkannya asam laktat sehingga pH turun. Setelah
pH turun, enzim proteolitik terutama katepsin akan bebas dan aktif dan
mendegradasi protein. Pemecahan protein akan memacu pertumbuhan bakteri
sehingga ikan akan semakin menunjukkan tanda-tanda kebusukan (Eskin 1990).
Berdasarkan hubungan korelasi linier diketahui bahwa aktivitas enzim katepsin
dan kolagenase dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengetahui mutu ikan yang
dapat dilihat dari parameter-parameter mutu ikan, yaitu sensori/organoleptik, nilai
pH, TVB dan TPC. Hubungan antar parameter kesegaran ikan dan kulit ikan
bandeng P, Q, R dan S dapat dilihat pada Gambar 14, 15, 16 dan 17.
Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif setelah
ikan mati, namun sistem kerja enzim tidak terkontrol karena organ pengontrol
sudah tidak bekerja lagi. Peristiwa aktifnya enzim setelah ikan mati disebut
autolisis dan berlangsung setelah fase rigor mortis.
Aktivitas enzim akan
menyebabkan penurunan mutu ikan akibat pendegradasian jaringan pada ikan
(DKP dan JICA 2008).
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa fase pre rigor ikan bandeng P
(tidak
dipuasakan
dan
disimpan
pada
suhu
ruang)
dan
Q
(dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang) terjadi sesaat setelah ikan mati atau
pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan,
post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19 penyimpanan.
Pada ikan
bandeng R (tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling) dan
S (dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling), fase pre rigor terjadi sesaat
setelah ikan mati atau jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada
jam
ke-84
penyimpanan,
post
rigor
jam
ke-300,
serta
busuk
pada
jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan
pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang
disimpan pada suhu chilling (R dan S).
Pola kemunduran mutu kulit ikan bandeng dapat dilihat pada fase
pre rigor sampai busuk dari parameter kesegaran ikan, yaitu kisaran nilai
sensori/organoleptik 3-9; pH 6,02-7,80; TVB 5,88-57,40 mg N/100 g dan
TPC 3,66-7,85 cfu/g.
Pengaruh perlakuan kondisi ikan sebelum dipanen
P, Q, R, dan S tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase pada kulit ikan bandeng (ANOVA; α=0,05). Pada fase
kemunduran mutu terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase
(ANOVA; α=0,05) dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase pada tiap fase kemunduran mutu. Aktivitas enzim katepsin tertinggi
terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng
P, Q, R dan S pada fase post rigor adalah 0,7800 U/ml; 0,8929 U/ml;
1,1429 U/ml, dan 1,0357 U/ml.
Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan
bandeng P, Q, R, dan S tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim
kolagenase kulit ikan P, Q, R, dan S pada fase post rigor, yaitu 0,0708 U/ml;
0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Hubungan korelasi linier sederhana
menunjukkan bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan erat
dengan parameter kesegaran ikan, yaitu sensori/organoleptik, TVB dan TPC.
60 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan kurang erat dengan nilai
pH. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase menjadi kurang
erat ketika memasuki fase busuk. Hal ini disebabkan karena enzim katepsin dan
kolagenase memiliki pH optimum hanya pada fase post rigor kulit ikan P, Q, R,
dan S, yaitu 6,55-6,78.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini, maka disarankan pemanfaatan ikan bandeng
baik untuk bahan pangan maupun bahan baku industri tidak melewati fase busuk,
yaitu setelah 19 jam penyimpanan suhu ruang dan 23 hari penyimpanan suhu
chilling. Pemanfaatan kulit ikan bandeng sebagai sumber enzim katepsin dan
kolagenase dapat dilakukan dengan mengekstraksinya pada saat fase post rigor
dimana konsentrasi protein dan aktivitas enzim tertinggi.
0.04
0.03
0.02
6
6
4
4
2
2
0.01
0.00
0
0
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0
0
5
10
15
50
40
30
20
10
0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml)
0.05
8
Rata-rata Nilai pH
0.06
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g)
0.07
10
Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
8
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
10
Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml)
0.08
0.0
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai pH Kulit
Rata-rata Nilai TVB Kulit
Rata-rata Nilai TPC Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit
Gambar 14. Hubungan antar parameter kesegaran ikan P
55
5
6.8
6.7
6.6
4
0.03
0.02
6.9
6.5
3
6.4
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0
0
5
10
15
50
40
30
20
10
0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml)
0.04
6
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g)
0.05
7.0
10
Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
0.06
7
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
0.07
7.1
Rata-rata Nilai pH
0.08
7.2
8
Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml)
0.09
0.0
20
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai pH Kulit
Rata-rata Nilai TVB Kulit
Rata-rata Nilai TPC Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit
Gambar 15. Hubungan antar parameter kesegaran ikan Q
56
0.00
6
4
6
4
2
2
0
0
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0
0
100
200
300
400
500
60
50
40
30
20
10
0
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml)
8
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g)
8
10
Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
0.02
10
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
0.04
10
Rata-rata Nilai pH
0.06
Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml)
0.08
0.0
600
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai pH Kulit
Rata-rata Nilai TVB Kulit
Rata-rata Nilai TPC Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit
Gambar 16. Hubungan antar parameter kesegaran ikan R
57
0.00
4
4
2
2
0
0
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0
0
100
200
300
400
500
60
50
40
30
20
10
0
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml)
6
10
Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g)
6
10
Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
0.02
8
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
0.04
8
Rata-rata Nilai pH
0.06
10
Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml)
Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml)
0.08
0.0
600
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng
Rata-rata Nilai pH Kulit
Rata-rata Nilai TVB Kulit
Rata-rata Nilai TPC Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit
Gambar 17. Hubungan antar parameter kesegaran ikan S
58
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa fase pre rigor ikan bandeng P
(tidak
dipuasakan
dan
disimpan
pada
suhu
ruang)
dan
Q
(dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang) terjadi sesaat setelah ikan mati atau
pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan,
post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19 penyimpanan.
Pada ikan
bandeng R (tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling) dan
S (dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling), fase pre rigor terjadi sesaat
setelah ikan mati atau jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada
jam
ke-84
penyimpanan,
post
rigor
jam
ke-300,
serta
busuk
pada
jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan
pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang
disimpan pada suhu chilling (R dan S).
Pola kemunduran mutu kulit ikan bandeng dapat dilihat pada fase
pre rigor sampai busuk dari parameter kesegaran ikan, yaitu kisaran nilai
sensori/organoleptik 3-9; pH 6,02-7,80; TVB 5,88-57,40 mg N/100 g dan
TPC 3,66-7,85 cfu/g.
Pengaruh perlakuan kondisi ikan sebelum dipanen
P, Q, R, dan S tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase pada kulit ikan bandeng (ANOVA; α=0,05). Pada fase
kemunduran mutu terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase
(ANOVA; α=0,05) dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase pada tiap fase kemunduran mutu. Aktivitas enzim katepsin tertinggi
terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng
P, Q, R dan S pada fase post rigor adalah 0,7800 U/ml; 0,8929 U/ml;
1,1429 U/ml, dan 1,0357 U/ml.
Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan
bandeng P, Q, R, dan S tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim
kolagenase kulit ikan P, Q, R, dan S pada fase post rigor, yaitu 0,0708 U/ml;
0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Hubungan korelasi linier sederhana
menunjukkan bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan erat
dengan parameter kesegaran ikan, yaitu sensori/organoleptik, TVB dan TPC.
60 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan kurang erat dengan nilai
pH. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase menjadi kurang
erat ketika memasuki fase busuk. Hal ini disebabkan karena enzim katepsin dan
kolagenase memiliki pH optimum hanya pada fase post rigor kulit ikan P, Q, R,
dan S, yaitu 6,55-6,78.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini, maka disarankan pemanfaatan ikan bandeng
baik untuk bahan pangan maupun bahan baku industri tidak melewati fase busuk,
yaitu setelah 19 jam penyimpanan suhu ruang dan 23 hari penyimpanan suhu
chilling. Pemanfaatan kulit ikan bandeng sebagai sumber enzim katepsin dan
kolagenase dapat dilakukan dengan mengekstraksinya pada saat fase post rigor
dimana konsentrasi protein dan aktivitas enzim tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Anonim. 2008. Depperin Usulkan Tarif Baru Pajak Ekspor Kulit Mentah.
http://www.pajak.go.id/index.php?option:
depperin-usulkan-tarif-barupajak ekspor-kulit-mentah&catid=87:Berita%20Perpajakan&Itemid=1404.
[30 Juli 2010].
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitation of microgram
quantities of protein utillization the principles of protein dye binding.
Analytical Biochemistry 56 (7): 248-254.
[BSN]a Badan Standarisasi Nasional. 2006. Ikan segar - Bagian 1: Spesifikasi.
Standar Nasional Indonesia 01-2729.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi
Indonesia.
[BSN]b Badan Standardisasi Nasional. 2006. Petunjuk Organoleptik Ikan Segar.
Standar Nasional Indonesia 01-2346-2006. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.
Campbell MK, Farrell SO. 2007. Biochemistry 6th ed..Florence: Cengage
Learning.
Cheret R, Delbarre-Ladrat C, Lamballerie-Anton M, Verrez-Bagnis V. 2007.
Calpain and cathepsin activities in post mortem fish and meat muscles.
Journal of Food Chemistry 101: 1474-1479.
Delbarre-Ladrat C, Cheret R, Taylor R, Verrez-Bagnis V. 2006. Trends in
postmortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization
of the myofibrillar structure. Critical Reviews In Food Science and
Nutrition 46 (5): 409-421.
Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two
chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio. Roum Biotechnology
7: 753-758.
DKP dan JICA. 2008. Bantuan Teknis untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil
dan Menengah di Indonesia (Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan).
Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
62 Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diego: Academic
Press.
Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G, editor. Didalam: Fish as Food
Vol IV. New York: Academic Press.
Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI
Institut Pertanian Bogor.
Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan. Bandung: PT Rineka Cipta.
Gimenez B, Gomez-Guillen MC, Montero P. 2005. Storage of dried fish skins on
quality characteristics of extracted gelatin. Food Hydrocolloids
19: 958–963.
Haard NF. 1994. Protein Hydrolysis in seafoods. Shahidi F, Editor. Didalam:
Seafoods: Chemistry, Processing Technology. Glasgow: Blackie Academic
and Professional.
Hagen O, Solberg C, Johnston IA. 2008. Activity of aspargate (cathepsin D),
Cysteine proteases (cathepsins B, B + L, and H), and matrix
metallopeptidase (collagenase) and their Influence on protein and
water-holding capacity of muscle in commercially farmed atlantic halibut
(Hippoglossus hippoglossus L.). Journal of Agricultural Food Chemistry
56: 5953–5959.
Hernandez-herrero MM, Duflos G, Malle P, Bouquelet S. 2003. Collagenase
activity and protein hydrolysis as related to spoilage of iced cod (Gadus
morhua). Food Research International 36: 141-147.
Hultmann L, Rustad T. 2004. Iced storage of Atlantic salmon (Salmo salar) –
effects on endogenous enzymes and their impact on muscle proteins and
texture. Food Chemistry 87: 31–41.
Huo J, Zhang Z. 2009. Study on enzymatic hydrolysis of Gadus morrhua skin
collagen and molecular weight distribution of hydrolysates. Agricultural
Sciences in China 8 (6): 723-729.
Huss HH. 1995. Fisheries Technical Paper: Quality and quality changes in fresh
fish. Roma: FAO.
Irianto E, Soesilo I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.
Jakarta: Badan Riset Perikanan dan Kelautan.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.
63 Karungi C, Byaruhanga YB, Muyonga JH. 2003. Effect of pre-icing duration on
quality deterioration of iced nile perch (Lates niloticus). Journal of Food
Chemistry 85 (6): 13-17.
Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan. 2009. Perikanan dalam
Angka. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kim SK, Park PJ, Kim JB, Shahidi F. 2002. Purification and characterization of
the collagenase from the tissue of filefish, Novoden modestrus. Journal of
Biochemistry and Molecular Biology 35 (2): 165-171.
Koehler HW. 1990. Do discus pairs really form secretion?. 1990. NADS, 4 (2)
Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Terjemahan dari: The Foundation of Biochemistry.
Mangunwidjaja B, Sailah I. 2005. Pengantar Agroindustri. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Medina I, Gallardo JM, Santiago PA. 2009. Quality preservation in chilled and
frozen fish products by employment of slurry ice and natural antioxidants.
International Journal of Food Science and Technology 2009
44: 1467–1479.
Morkore T, Pablo I, Mazo T, Tahirovic V, Einen O. 2008. Impact of starvation
and handling stress on rigor development and quality of Atlantic salmon
(Salmon salar L). Aquaculture 277: 231–238.
Mulyono HAM, 2001. Kamus Kimia. Bandung: Genesindo.
Nelson JS. 1984. Fishes of The World, 3rd Edition. New York: Wiley.
Ozogul F, Ozyurt G, Kuley E, Ozkutuk S. 2009. Sensory, microbiological and
chemical assessment of the freshness of red mullet (Mullus barbatus) and
goldband goatfish (Upeneus moluccensis) during storage in ice. Food
Chemistry 114: 505–510.
Ozogul YA, Ozogul F, Kuley E, Ozkutuka AS, Gokbulut C, Kose S. 2006.
Biochemical, sensory and microbiological attributes of wild turbot
(Scophthalmus maximus), from the Black Sea, during chilled storage.
Food Chemistry 99: 752–758.
Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.
Poli BM, Parisi G, Scappini F, Zampacavallo G. 2005. Fish welfare and quality as
affected by pre-slaughter and slaughter management. Aquaculture
International 13: 29–49.
64 Porter RP, Bonnevine MA. 1973. Fine Structure of Cells and Tissue 4th ed..
Philadelphia: Lea and Febiger
Robb D. 2002. The Killing Quality: Impact of slaughter procedures on Fish Flesh.
Alasalvar C dan Taylor T, editor. Didalam: Seafood-Quality, Technology
and Nutraceutical Applications. New York: Springer.
Saparinto C. 2009. Bandeng Cabut Duri dan Cara Pengolahannya. Semarang:
Dahara Prize.
Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor:
IPB Press.
Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafood : Chemistry, Processing Technology and
Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional.
Shahidi F dan Kamil JYVA. 2001. Enzymes from fish and aquatic invertebrates
and their application in the food industry. Trends in Food Science &
Technology 12: 435–464.
Snedecor GW dan Cochran WG. 1967. Statistical Methods. New Delhi: Oxford
and IBH Publishing.
Sovik SL, Rustad T. 2006. Effect of season and fishing ground on the activity of
cathepsin B and collagenase in by-products from cod species. LWT,
39: 43–53.
Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Terjemahan dari: The Principle and
Procedure of Statistic. A Biometrics Approach. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama.
Synnes M, Stoknes IS, Per M, Walde. 2005. Proteolytic activity in cod (Gadus
morhua) muscle during salt curing. Food Research International
38: 693–699.
Yasmin L, Kamal M, Azimuddin KM, Khan MNA, Islam MN. 2001. Studies on
post-mortem changes in genetically improved farmed Tilapia
(Oreochromis niloticus) during ice storage. Pakistan Journal of Biological
Science 4 (9): 1144-1148.
Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan.
65
Lampiran 1. Dokumentasi penelitian
a. Tambak tempat pengambilan sampel
b. Pengambilan sampel ikan
bandeng
c. Pemasukan ikan bandeng dalam wadah
d. Transportasi ikan bandeng
e. Penyimpanan suhu ruang
f. Penyimpanan suhu chilling
66
g. Ikan bandeng kondisi pre rigor
h. Ikan bandeng kondisi
rigor mortis
i. Ikan bandeng kondisi post rigor
j. Ikan bandeng kondisi busuk
k.
l. Preparasi ikan bandeng
Uji organoleptik
67
m. Uji pH dan TVB
n. Uji TPC
o. Uji aktivitas katepsin
p. Larutan hasil reaksi uji aktivitas
katepsin
q. Uji aktivitas kolagenase
r. Larutan hasil reaksi uji
aktivitas kolagenase
68 Lampiran 2. Kerangka penelitian secara keseluruhan
Ikan Bandeng (di tambak)
Dipuasakan
Tidak dipuasakan
Pemanenan
Ikan dimatikan (ditusuk bagian
medula oblongata)
Penyimpanan suhu ruang
Penyimpanan suhu chilling
Pengamatan (Penelitian pendahuluan)
Setiap 1 jam untuk penyimpanan suhu ruang
Setiap 12 jam untuk penyimpaan suhu chilling
Uji Organoleptik, pH, TVB, TPC,
ekstraksi enzim katepsin dan
kolagenase
Assay aktivitas enzim katepsin
dan kolagenase
Pengukuran konsentrasi enzim
69 Lampiran 3. Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI-10-2346-2006)
Lembar Penilaian Organoleptik Ikan Segar
Tanggal : …………………….....................
Nama Panelis : ……………………………..
• Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian.
• Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Spesifikasi
Nilai
Kode contoh
1
A.
1.
-
Kenampakan
Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.
Cerah, bola mata rata, kornea jernih.
Agak cerah, bola mata rata, pupil agak
keabu-abuan, kornea agak keruh.
- Bola mata agak cekung, pupil berubah
keabu-abuan, kornea agak keruh.
- Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan,
kornea agak keruh.
- Bola mata cekung, pupil mulai berubah
menjadi putih susu, kornea keruh.
- Bola mata sangat cekung, kornea agak
kuning.
2. Insang
- Warna merah cemerlang, tanpa lendir.
- Warna merah kurang cemerlang, tanpa
lendir.
- Warna merah agak kusam, tanpa lendir.
- Merah agak kusam, sedikit lendir.
- Mulai ada perubahan warna, merah
kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir.
- Warna merah coklat, lendir tebal.
- Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir
tebal.
3. Lendir permukaan badan
- Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat
cerah, belum ada perubahan warna.
- Lapisan lendir jernih, transparan, cerah,
belum ada perubahan warna.
- Lapisan lendir mulai agak keruh, warna
agak putih, kurang transparan.
- Lapisan lendir mulai keruh, warna putih
agak kusam, kurang transparan.
- Lendir tebal menggumpal, mulai berubah
warna putih, keruh.
- Lendir tebal menggumpal, warna putih
9
8
7
6
5
3
1
9
8
7
6
5
3
1
9
8
7
6
5
3
2
3
4
5
70 kuning.
Lendir tebal menggumpal, warna kuning
kecoklatan
4. Daging (warna dan kenampakan)
- Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik
jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut daging utuh.
- Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis,
tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut utuh.
- Sayatan daging sedikit kurang cemerlang,
spesifik jenis, tidaka ada pemerahan
sepanjang tulang belakang, dinding perut
daging utuh.
- Sayatan daging mulai pudar, banyak
pemerahan sepanjang tulang belakang,
dinding perut lunak.
- Sayatan daging kusam, warna merah jelas
sekali sepanjang tulang belakang, dinding
perut lunak.
- Sayatan daging kusam sekali, warna merah
jelas sekali sepanjang tulang belakang,
dinding perut sangat lunak.
II. Bau
- Bau sangat segar, spesifikasi jenis.
- Segar, spesifik jenis.
- Netral.
- Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau
asam.
- Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam
jelas dan busuk.
- Bau busuk jelas.
III. Tekstur
- Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit
menyobek daging dari tulang belakang.
- Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari,
sulit menyobek daging dari tulang belakang.
- Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan
jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang.
- Agak lunak, kurang elastis bila ditekan
dengan jari, agak mudah menyobek daging
dari tulang belakang.
- Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan,
mudah menyobek daging dari tulang
belakang.
-
1
9
8
7
5
3
1
9
8
7
5
3
1
9
8
7
5
3
71 -
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila
ditekan, mudah sekali menyobek daging
dari tulang belakang.
1
72 Lampiran 4. Kurva standar penentuan konsentrasi protein enzim
1. Penentuan Konsentrasi Protein Katepsin
(a) Standar BSA
Konsentrasi
0.025
0.05
0.075
0.1
0.125
0.15
0.175
0.2
0.225
0.25
Absorbansi
0.011
0.035
0.0421
0.063
0.075
0.089
0.093
0.097
0.145
0.153
Absorbansi
(b) Kurva standar BSA
0.18
0.16
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
y = 0.588x ‐ 0.000
R² = 0.957
0
0.05
0.1
0.15
Konsentrasi
0.2
0.25
0.3
73 2. Penentuan Konsentrasi Protein Kolagenase
(a) Standar BSA
Konsentrasi
0.025
0.05
0.075
0.1
0.125
0.15
0.175
0.2
0.225
0.25
Absorbansi
0.0211
0.043
0.063
0.078
0.085
0.089
0.097
0.103
0.109
0.115
(b) Kurva standar BSA
0.14
0.12
y = 0.380x + 0.028
R² = 0.917
Absorbansi
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0
0.05
0.1
0.15
Konsentrasi
0.2
0.25
0.3
74 Lampiran 5. Uji ragam (ANOVA) nilai pH
Between-Subjects Factors
Value Label
Perlakuan
1
N
Ruang Tidak
4
Dipuasakan
2
Ruang
4
Dipuasakan
3
Chilling Tidak
4
Dipuasakan
4
Chilling
4
Dipuasakan
Kelompok_kemunduran_
1
Pre rigor
4
Mutu
2
Rigor
4
3
Post Rigor
4
4
Busuk
4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Nilai_pH
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
7
103.064
973.520
.000
.371
3
.124
1.169
.374
1.630
3
.543
5.132
.024
Error
.953
9
.106
Total
722.401
16
Model
Perlakuan
Kelompok_kemunduran_
Mutu
721.448
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
75 Nilai_pH
Duncan
Kelompok_
Subset
kemunduran
_Mutu
N
1
2
Rigor
4
6.2400
Post Rigor
4
6.6800
6.6800
Pre rigor
4
6.7650
6.7650
Busuk
4
Sig.
7.1375
.057
The error term is Mean Square(Error) = .106.
.089
76 Lampiran 6. Uji ragam (ANOVA) nilai TVB
Between-Subjects Factors
Value Label
Perlakuan
1
N
Ruang Tidak
4
Dipuasakan
2
Ruang
4
Dipuasakan
3
Chilling Tidak
4
Dipuasakan
4
Chilling
4
Dipuasakan
Kelompok_Kemunduran_
1
Pre Rigor
4
Mutu
2
Rigor
4
3
Post Rigor
4
4
Busuk
4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Nilai_TVB
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
7
2062.394
168.443
.000
120.826
3
40.275
3.289
.072
4960.208
3
1653.403
135.039
.000
Error
110.195
9
12.244
Total
14546.954
16
Model
Perlakuan
Kelompok_Kemunduran_
Mutu
14436.759
a. R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .987)
77 Nilai_TVB
Duncan
Kelompok_K
Subset
emunduran_
Mutu
N
1
Pre Rigor
4
Rigor
4
Post Rigor
4
Busuk
4
Sig.
2
3
4
6.0750
12.4600
26.2500
51.9400
1.000
1.000
The error term is Mean Square(Error) = 12.244.
1.000
1.000
78 Lampiran 7. Uji ragam (ANOVA) nilai TPC
Between-Subjects Factors
Value Label
Perlakuan
1
N
Ruang Tidak
4
Dipuasakan
2
Ruang
4
Dipuasakan
3
Chilling Tidak
4
Dipuasakan
4
Chilling
4
Dipuasakan
Kelompok_kemunduran_
1
Pre rigor
4
Mutu
2
Rigor
4
3
Post Rigor
4
4
Busuk
4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Nilai_TPC
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
7
87.545
601.341
.000
1.686
3
.562
3.859
.050
36.570
3
12.190
83.732
.000
Error
1.310
9
.146
Total
614.127
16
Model
Perlakuan
Kelompok_kemunduran_Mut
u
612.816
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
79 Nilai_TPC
Duncan
Kelompok_ke
Subset
munduran_M
utu
N
1
Pre rigor
4
Rigor
4
Post Rigor
4
Busuk
4
Sig.
2
3
4
3.7525
5.5200
7.0150
7.6825
1.000
1.000
1.000
1.000
The error term is Mean Square(Error) = .146.
80 Lampiran 8. Uji ragam (ANOVA) aktivitas enzim katepsin
Between-Subjects Factors
Value Label
Perlakuan
1
N
Ruang Tidak
4
Dipuasakan
2
Ruang
4
Dipuasakan
3
Chilling Tidak
4
Dipuasakan
4
Chilling
4
Dipuasakan
Kelompok_kemunduran_
1
Pre rigor
4
Mutu
2
Rigor
4
3
Post Rigor
4
4
Busuk
4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Aktivitas_Katepsin
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
7
.884
40.106
.000
.254
3
.085
3.833
.051
1.689
3
.563
25.532
.000
Error
.198
9
.022
Total
6.389
16
Model
Perlakuan
Kelompok_kemunduran_
Mutu
6.191
a. R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .945)
81 Aktivitas_Katepsin
Duncan
Kelompok_ke
Subset
munduran_M
utu
N
1
2
Pre rigor
4
.1072
Rigor
4
.3304
Busuk
4
Post Rigor
4
Sig.
3
.6607
.9629
.062
1.000
1.000
The error term is Mean Square(Error) = .022.
82 Lampiran 9. Uji Ragam (ANOVA) aktivitas enzim kolagenase
Between-Subjects Factors
Value Label
Perlakuan
1
N
Ruang Tidak
4
Dipuasakan
2
Ruang
4
Dipuasakan
3
Chilling Tidak
4
Dipuasakan
4
Chilling
4
Dipuasakan
Kelompok_kemunduran_
1
Pre rigor
4
Mutu
2
Rigor
4
3
Post Rigor
4
4
Busuk
4
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Aktivitas_Kolagenase
Type III Sum of
Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
7
.006
284.227
.000
.000
3
6.919E-5
3.345
.070
.007
3
.002
108.645
.000
Error
.000
9
2.069E-5
Total
.041
16
Model
Perlakuan
Kelompok_kemunduran_
Mutu
.041
a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .992)
83 Aktivitas_Kolagenase
Duncan
Kelompok_ke
Subset
munduran_M
utu
N
1
Pre rigor
4
Rigor
4
Busuk
4
Post Rigor
4
Sig.
2
3
4
.0198
.0344
.0578
.0729
1.000
1.000
1.000
1.000
The error term is Mean Square(Error) = 2.07E-005.
Lampiran 10. Data hasil pengujian pH, TVB, TPC, Assay aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, pengukuran konsentrasi
protein katepsin dan kolagenase kulit Ikan Bandeng P, Q, R, dan S
Pre Rigor
Rigor Mortis
Post Rigor
Busuk
Perlakuan
Organoleptik
Bandeng
Organoleptik
Kulit
pH
TVB
Log TPC Konsentrasi
(mg N/100 g) (cfu/g) Protein Katepsin
(mg/ml)
5.88
3.66
0.1925
Aktivitas
Katepsin
(U/ml)
0.1250
Konsentrasi Protein
Aktivitas
Kolagenase (mg/ml) Kolagenase
(U/ml)
0.3289
0.0125
P
9
8
6.42
Q
9
9
7.11
6.27
3.72
0.2021
0.0893
0.3039
0.0292
R
9
9
6.42
5.88
3.82
0.2473
0.1250
0.3113
0.0167
S
9
9
7.11
6.27
3.81
0.2269
0.0893
0.3171
0.0208
P
8
7
6.02
10.08
4.68
0.3453
0.1964
0.5158
0.0375
Q
8
8
6.46
9.80
4.95
0.4064
0.2500
0.5355
0.0417
R
6
8
6.02
11.20
6.42
0.3230
0.3036
0.5408
0.0292
S
8
8
6.46
18.76
6.03
0.4270
0.5714
0.5632
0.0292
P
6
5
6.61
24.64
6.61
0.6510
0.7800
0.8250
0.0708
Q
6
6
6.78
22.12
6.84
0.4606
0.8929
0.7171
0.0792
R
5
6
6.55
32.20
7.72
0.5925
1.1429
0.7474
0.0667
S
5
6
6.78
26.04
6.89
0.4600
1.0357
0.7860
0.075
P
3
3
6.79
47.60
7.70
0.5454
0.2500
0.3526
0.0583
Q
3
3
7.02
45.36
7.34
0.3730
0.5893
0.4373
0.0563
R
3
3
7.80
57.40
7.85
0.3870
0.9286
0.4132
0.0542
S
3
3
6.94
57.40
7.84
0.3585
0.8750
0.3329
0.0625
84
Download