AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU MOHAMMAD IRFAN C34051397 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE PADA KULIT IKAN BANDENG (Chanos chanos, Forskal) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU Oleh: Mohammad Irfan C34051397 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase pada Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) selama Periode Kemunduran Mutu Nama Mahasiswa : Mohammad Irfan NRP : C34051397 Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II (Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si) NIP 19700807 199603 2 002 (Dra. Ella Salamah, M.Si) NIP 19530629 198803 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan (Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil) NIP 19580511 198503 1 002 Tanggal Lulus: ................... RINGKASAN MOHAMMAD IRFAN. C34051397. Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase pada Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) selama Periode Kemunduran Mutu. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH. Autolisis oleh enzim diketahui merupakan salah satu hal yang berperan dalam kemunduran mutu kulit ikan. Enzim-enzim yang berperan dalam kemunduran mutu kulit ikan adalah enzim-enzim proteolitik, seperti katepsin dan kolagenase. Katepsin merupakan enzim yang terdapat dalam lisosom sel dan mendegradasi protein miofibril pada otot ikan, sedangkan kolagenase mendegradasi ikatan polipeptida terutama pada jaringan ikat dari ikan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui fase kemunduran mutu (post mortem) ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal), pola kemunduran mutu, perubahan parameter kesegaran, serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada kulit ikan bandeng. Penelitian dilakukan pada kulit ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: R), dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: S). Hasil penelitian menunjukan bahwa fase pre rigor ikan P dan Q terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19 penyimpanan. Ikan dengan perlakuan R dan S, fase pre rigor terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran pada ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu chilling (R dan S). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada tiap fase kemunduran mutu (ANOVA; α=0,05). Aktivitas enzim katepsin tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada fase post rigor adalah 0,7800 U/ml; 0,8929 U/ml; 1,1429 U/ml, dan 1,0357 U/ml. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim kolagenase ikan P, Q, R, dan S pada fase post rigor adalah, 0,0708 U/ml; 0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Hubungan korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan erat dengan parameter kesegaran ikan, yaitu organoleptik, TVB dan TPC. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan kurang erat dengan nilai pH. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase menjadi kurang erat ketika memasuki fase busuk. PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase pada Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) selama Periode Kemunduran Mutu” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan atau karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir bagian skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Mohammad Irfan C34051397 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah serta kesabaran yang diberikan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase selama Periode Kemunduran Mutu”. pembiayaan dari program Penelitian ini dapat terlaksana atas Hibah Bersaing 2008 atas nama Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian serta memberikan arahan, bimbingan dan semangat kepada penulis. 2. Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-biol selaku komisi pendidikan departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Keluarga Penulis, terutama Ayah dan Ibu, kakak-kakak penulis yang telah memberikan dukungan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Dina Dwi Astuti, S.Si atas kesabarannya dan semangat yang diberikan kepada penulis. 7. Seluruh staf, dosen dan TU THP atas bantuan dan dukungannya. 8. Ibu Ema (THP), Bapak Wahyu (FKH), Ibu Martini dan Bapak Arya (Biokimia) yang telah banyak membantu penulis. 9. Tim seperjuangan: Rustamaji, S.Pi, Nina Fentiana S.Pi, Jamaludin S.Pi, Rijan Zakaria S.Pi, Bapak Kurnianto PS atas dukungan dan kebersamaannya selama penelitian. 10. Bapak Oci beserta staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tangerang atas bantuannya selama pengambilan sampel penelitian. 11. Fuad Wahdan M, S.Pi, Sabda Aji Pambayu, S.Pi atas dukungan serta kebersamaannya dalam perkuliahan maupun penyelesaian skripsi ini. 12. Teman-teman THP 42 yang telah banyak membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 13. Seluruh civitas THP lain yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Bogor, Agustus 2010 Mohammad Irfan C34051397 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1987. Penulis merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara, dari pasangan Bapak A Rahim Jabbar dan Ibu Ratna Djuwita. Penulis memulai jenjang pendidikan formal pada SD Tunas Jakasampurna, Bekasi yang lulus pada tahun 1999. Setelah itu, penulis melanjutkan sekolah ke SLTPI Al-Azhar 6 Jakapermai, Bekasi dan lulus pada tahun 2002. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUI Al-Azhar 1, Jakarta Selatan pada tahun 2005. Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2005 dan diterima sebagai mahasiswa mayor Teknologi Hasil Perairan pada tahun 2006. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah biokimia hasil perairan pada tahun ajaran 2007/2008 dan pernah mengikuti kegiatan Pengembangan Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2007/2008. Penulis juga pernah menjadi staf Departemen Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan tahun 2006/2007 lalu menjadi Kepala Departemen Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan tahun 2007/2008. Selain itu, penulis juga aktif di kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Institut Karate-do Indonesia Institut Pertanian Bogor (INKAI IPB). DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) .... 5 2.2 Kandungan Gizi Ikan Bandeng ............................................................ 6 2.3 Kulit Ikan .............................................................................................. 6 2.4 Mutu Ikan ............................................................................................. 7 2.5 Kemunduran Mutu Ikan ....................................................................... 2.5.1 Pre rigor ...................................................................................... 2.5.2 Rigor mortis................................................................................. 2.5.3 Post rigor..................................................................................... 2.5.4 Busuk ........................................................................................... 10 11 12 12 12 2.6 Metode Penentuan Kesegaran Ikan ...................................................... 13 2.7 Enzim.................................................................................................... 15 2.7.1 Enzim katepsin ............................................................................ 16 2.7.2 Enzim kolagenase ........................................................................ 17 2.8 Peranan Enzim Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu Ikan ............................................................................................. 18 3. METODOLOGI ........................................................................................ 19 3.1 Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 19 3.2 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 19 3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................... 20 3.3.1 Penelitian pendahuluan .............................................................. 20 3.3.2 Penelitian utama ......................................................................... 20 3.4 Analisis ................................................................................................. 3.4.1 Uji organoleptik (BSNb 2006) .................................................... 3.4.2 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ....................................... 3.4.3 Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989)............ 3.4.4 Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) ................................ 3.4.5 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) .............................. vii 21 21 21 21 22 23 3.4.6 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al. 2002)..................................................... 24 3.5 Assay Aktivitas Enzim Katepsin (Dinu et al. 2002) ............................. 24 3.6 Assay Aktivitas Enzim Kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al. 2002) ......................................................................... 25 3.7 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976) .................... 26 3.8 Analisis Data ........................................................................................ 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 29 4.1 Penelitian Pendahuluan ........................................................................ 29 4.2 Penelitian Utama .................................................................................. 4.2.1 Nilai organoleptik ........................................................................ 4.2.2 Nilai pH ....................................................................................... 4.2.3 Nilai total volatile base (TVB).................................................... 4.2.4 Nilai total plate count (TPC) ....................................................... 4.2.5 Konsentrasi protein katepsin dan aktivitas enzim katepsin ......... 4.2.6 Konsentrasi protein kolagenase dan aktivitas enzim kolagenase ........................................................................ 31 31 36 39 41 43 47 4.3 Hubungan antara Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dengan Parameter Kesegaran Ikan ........................................................ 50 4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan ......................................... 55 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 59 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 59 5.2 Saran ..................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61 LAMPIRAN .................................................................................................... 65 viii DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Kandungan gizi ikan bandeng per 100 gr bahan ......................................... 6 2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang mulai busuk ........................................... 8 3. Persyaratan mutu ikan segar ........................................................................ 10 4. Jenis-jenis enzim autolisis pada ikan........................................................... 16 5. Jenis-jenis enzim lisosom proteinase pada Ikan .......................................... 17 6. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/mL ..................... 26 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari fase pre rigor hingga post rigor ........................................................... 53 8. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari fase pre rigor hingga busuk ................................................................. 53 ix DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) ................................................... 5 2. Bagian-bagian dari kulit ikan .................................................................... 7 3. Perubahan setelah ikan mati (Eskin 1990) ................................................ 10 4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S ......................... 32 5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ................ 35 6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ................................ 37 7. Rata-rata nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................. 39 8. Rata-rata nilai log TPC kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ....................... 42 9. Rata-rata konsentrasi protein katepsin kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................................................................................ 44 10. Rata-rata aktivitas enzim katepsin kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ...... 45 11. Rata-rata konsentrasi protein kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................................................................................ 48 12. Rata-rata aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................................................................................ 49 13. Korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase fase pre rigor hingga busuk pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S; aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik ikan bandeng; (b) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (c) pH; (d) TVB; (e) TPC; aktivitas kolagenase dengan (f) nilai organoleptik ikan bandeng; (g) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC ........ 52 14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit ikan bandeng P .......................................................................................... 55 15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit ikan bandeng Q ......................................................................................... 56 16. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit ikan bandeng R.......................................................................................... 57 17. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran kulit ikan bandeng S .......................................................................................... 58 x DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Dokumentasi penelitian ............................................................................. 65 2. Kerangka penelitian secara keseluruhan ................................................... 68 3. Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI-10-2346-2006) ................... 69 4. Kurva standar penentuan konsentrasi protein enzim ................................. 72 5. Uji ragam (ANOVA) nilai pH ................................................................... 74 6. Uji ragam (ANOVA) nilai TVB ................................................................ 76 7. Uji ragam (ANOVA) nilai TPC ................................................................ 78 8. Uji ragam (ANOVA) aktivitas enzim katepsin ......................................... 80 9. Uji ragam (ANOVA) aktivitas enzim kolagenase ..................................... 82 10. Data hasil pengujian pH, TVB, TPC, assay aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, pengukuran konsentrasi protein katepsin dan kolagenase .......................................................................................... 84 xi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan sumberdaya hayati yang memiliki potensi pengembangan yang besar terutama di Indonesia. Ikan telah menjadi komoditas yang dikenal luas oleh masyarakat dan dimanfaatkan terutama sebagai bahan pangan maupun non-pangan. Ikan memiliki kandungan protein dan asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga ikan merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi serta mudah dicerna (Adawyah 2007). Salah satu potensi perikanan yang cukup besar adalah perikanan budidaya di tambak. 2 memiliki potensi sebesar 1.224.076 km Perikanan tambak dan baru dimanfaatkan sebesar 613.175 km2 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2009). Salah satu hasil perikanan tambak yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia dan potensial pengembangannya adalah ikan bandeng. Ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) merupakan ikan yang telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara luas serta cukup potensial pengembangannya. Bandeng merupakan jenis ikan budidaya air payau (tambak) yang mempunyai bentuk badan yang memanjang, padat, dapat mencapai ukuran yang cukup besar serta rasanya cukup lezat sehingga membuat bandeng sangat disukai oleh masyarakat Indonesia secara luas. Penyebaran bandeng sangat luas karena ikan ini merupakan ikan yang hidup pada daerah payau (estuari) sehingga memiliki toleransi salinitas yang tinggi. Ikan-ikan yang hidup pada daerah estuari memiliki regulasi ion dan air isotonik yang membuatnya dapat hidup di habitatnya (Fujaya 2004). Produksi budidaya bandeng nasional pada tahun 2006 mencapai 212.883 ton kemudian menjadi 263.139 ton pada tahun 2007 dan 277.471 ton pada tahun 2008 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2009). Kenaikan produksi ikan bandeng terjadi seiring dengan usaha dari pemerintah untuk menaikan produksi bandeng karena besarnya potensi ikan bandeng (Irianto dan Soesilo 2007). Ikan bandeng mempunyai toleransi salinitas yang sangat tinggi sehingga tidak hanya dapat dipelihara ditambak tetapi juga di kolam air tawar sehingga dapat lebih terkontrol dan bandeng tahan terhadap temperatur 2 tinggi sehingga memang cocok untuk dibudidayakan di Indonesia (Saparinto 2009). Kulit ikan bandeng merupakan salah satu bagian pada ikan bandeng yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan bandeng didapat dari hasil pengolahan ikan bandeng yang memisahkan kulit dengan dagingnya. Pemanfaatan kulit ikan bandeng tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan tetapi juga untuk produk non pangan. Kulit ikan bandeng sebagaimana kulit ikan lainnya diketahui memiliki unsur utama berupa protein kolagen yang banyak digunakan untuk bahan baku kulit olahan serta bahan perekat (Adawyah 2007). Kulit ikan sangat potensial pengembangannya karena dapat dijadikan sebagai alternatif bahan baku kulit olahan/kulit samak. Kebutuhan bahan baku kulit mentah untuk produk kulit olahan Indonesia saat ini berjumlah 100.000 ton, namun saat ini baru dapat dipenuhi sekitar 40 % saja yang berasal dari kulit sapi, kerbau, kambing, dan domba (Anonim 2008). Kulit ikan dapat dijadikan alternatif untuk memenuhi kekurangan bahan baku kulit tersebut. Perkembangan saat ini menunjukan bahwa kulit ikan diketahui mengandung enzim-enzim, seperti kolagenase yang dapat dimanfaatkan pada industri untuk memisahkan kulit ikan dengan daging (Shahidi dan Kamil 2001). Hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan kulit ikan adalah kesegaran kulit ikan yang akan diolah. Kulit ikan rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas bakteri dan enzim sehingga diperlukan pengetahuan mengenai kemuduran mutu pada kulit ikan serta untuk menstabilkannya (Gimenez et al. 2005). Sebagai bahan pangan maupun untuk bahan baku industri, ikan ternyata memiliki kekurangan yang mempengaruhi pemanfaatannya, yaitu kandungan air yang sangat tinggi (80 %) dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kebusukan ikan yang cepat. Proses pembusukan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme dan oksidasi lemak dalam tubuh ikan itu sendiri (Adawyah 2007). Kekurangan yang terdapat pada ikan tersebut dapat menghambat usaha pemasaran hasil ikan sehingga tidak jarang menyebabkan kerugian besar terutama di saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses untuk dapat mempertahankan mutunya. Pemanfaatan ikan dengan mutu yang baik harus 3 menjadi prioritas. Selain itu pada pemanfaatannya untuk agroindustri mana pun, bahan baku ikan dengan kualitas yang baik sangat mempengaruhi mutu dan daya saing dari produk tersebut (Mangunwidjaja dan Sailah 2005). Mutu ikan berkaitan dengan kesegarannya. Kesegaran ikan dapat dipertahankan dengan menggunakan teknik penanganan yang tepat. Penanganan yang dapat dilakukan pada ikan untuk mempertahankan mutunya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan suhu ikan atau mempertahankan ikan tetap hidup. Penanganan ikan dengan menurunkan suhunya dilakukan untuk ikan yang dikonsumsi dalam keadaan mati. Penurunan suhu ikan atau disebut juga pendinginan umumnya dilakukan sampai suhu dingin (chilling) yaitu (-1)-5 0C. Suhu chilling dapat mempertahankan mutu ikan dengan menghambat aktivitas bakteri (Huss 1995). Autolisis oleh enzim diketahui merupakan salah satu hal yang berperan dalam kemunduran mutu pada ikan. Enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan adalah enzim proteolitik. Enzim proteolitik merupakan enzim yang bekerja pada substrat protein dan mendegradasinya. Enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan diantaranya adalah katepsin dan kolagenase. Enzim katepsin merupakan enzim yang banyak terdapat pada lisosom sel dan mendegradasi protein miofibril otot ikan. Enzim katepsin menyebabkan pelunakan jaringan pada ikan, Enzim kolagenase mendegradasi ikatan polipeptida terutama pada jaringan ikat dari ikan (Huss 1995). Mutu bahan baku ikan yang baik akan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat serta pengembangan produk olahan dari bahan baku ikan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemunduran mutu pada kulit ikan bandeng selama periode kemunduran mutu, serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase yang berpengaruh pada kemunduran mutu ikan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan data bagi masyarakat luas maupun bagi industri untuk pengembangan komoditas hasil perairan ikan bandeng terutama bagian kulitnya. 4 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menentukan fase post mortem ikan bandeng pada penyimpanan suhu ruang dan chilling; (2) menentukan pola kemunduran mutu kulit ikan bandeng pada penyimpanan suhu ruang dan chilling berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan; (3) menentukan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase kulit ikan bandeng selama kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan suhu chilling serta korelasinya terhadap parameter kesegaran ikan. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Ikan bandeng atau milkfish termasuk ikan yang sudah lama dikenal di Indonesia. Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di permukaan dan sering dijumpai di daerah dekat pantai atau litoral. Ikan bandeng merupakan ikan bertulang keras (Teleostei) dengan habitat di perairan payau. Diantara Genus-nya, ikan bandeng hanya terdapat satu spesies, yaitu ikan bandeng (Chanos chanos). Klasifikasi ikan bandeng menurut Nelson (1984) adalah: Filum : Chordata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Gonorhynchiformes Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chamos (Forskal 1775) Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) (www.ag.auburn.edu /fish/image_gallery/data/media/13/milk.png) Ikan bandeng memiliki ciri ciri morfologi berupa tubuh berbentuk pipih, sirip dorsal 13-17, sirip anal 9-11, sirip caudal 16. Ikan bandeng memiliki mulut kecil dan tidak bergigi. Ikan bandeng dapat mencapai ukuran 30-90 cm (Nelson 1984). Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan yang terdapat pada perairan dekat pantai atau pertemuan antara air laut dan air tawar (payau). Secara geografis, ikan ini hidup di daerah tropis maupun sub-tropis pada batas 300 LU – 400 LS. Ikan bandeng tersebar di perairan Indo-Pasifik mulai dari pantai timur Afrika, laut merah, pantai barat dan timur India, Asia Tenggara, bagian 6 selatan Jepang, pantai utara Australia, sampai ke pantai barat California, dan Meksiko (Saparinto 2009). Ikan bandeng sudah lama dikenal di negara Indonesia sebagai ikan yang banyak dipelihara di tambak yang tersebar hampir di seluruh pulau besar di Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi). Ikan ini telah banyak dikonsumsi masyarakat baik ikan segar maupun dalam bentuk olahan. Ikan ini juga dipelihara di Filipina dan Taiwan. Ikan bandeng ini ditempat lain disebut banding, mulch, agam (Sumatera), bolu (Bugis), bangos (Filipina) dan sabahi (Taiwan) (Saparinto 2009). 2.2 Kandungan Gizi Ikan Bandeng Bandeng merupakan komoditas perikanan payau yang rasanya cukup enak dan digemari masyarakat. Selain itu ikan bandeng mempunyai nilai gizi yang tinggi, aman dan sehat dimakan. Kandungan gizi ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng per 100 g bahan Kandungan Gizi Air Kalori Protein Lemak Ca P Fe Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Bidd Jumlah 66 129 20 4,8 20 150 2 150 0,05 80 Satuan g Kal g g mg mg mg SI mg g Sumber: Saparinto (2009) Dikarenakan kandungan gizi-nya yang cukup baik, ikan bandeng telah sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Pengolahan ikan bandeng sebagai bahan makanan antara lain bandeng presto, bandeng cabut duri, bandeng bakar, bandeng asap (Saparinto 2009). 2.3 Kulit Ikan Kulit ikan sama seperti vertebrata yang lain, terdiri dari dua jaringan, yaitu bagian luar yang disebut epidermis dan bagian dalam yang disebut dermis (corium). Sisik menempel pada kulit ikan yang berfungsi sebagai pelindung dari 7 kerusakan mekanis, seperti benturan pada ikan. Kulit ikan mengandung air 69,6 %, protein 26,9 %, abu 2,5 % dan lemak 0,7 % (Koehler 1990). Bagian-bagian dari kulit ikan dapat dilihat pada Gambar 2. 1 2 3 4 Gambar 2. Bagian-bagian dari Kulit Ikan (1= epidermis; 2= dermis/ corium; 3= jaringan ikat; 4= otot rangka) (Koehler 1990) Pemanfaatan kulit ikan tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan tetapi juga untuk produk non-pangan. Kulit ikan diketahui memiliki unsur utama berupa protein kolagen yang banyak digunakan untuk bahan baku kulit olahan serta bahan perekat (Adawyah 2007). Kulit ikan akan mengalami kemunduran mutu seperti bagian ikan yang lain ketika ikan mati. Kulit ikan rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas bakteri dan enzim sehingga diperlukan pengetahuan mengenai kemuduran mutu pada kulit ikan serta untuk menstabilkannya (Gimenez et al. 2005). Enzim-enzim yang banyak berperan dalam kemunduran mutu kulit seperti halnya pada ikan adalah enzim-enzim proteolitik seperti enzim katepsin dan kolagenase (Haard 1994). 2.4 Mutu Ikan Mutu ikan adalah ciri-ciri dari ikan yang memenuhi permintaan atau batas toleransi dari konsumen. Mutu ikan sangat penting karena merupakan sesuatu yang bersifat mutlak untuk pemanfaatan ikan baik sebagai bahan pangan maupun sebagai bahan baku industri. Mutu ikan berkaitan dengan kesegaran ikan. Ikan yang segar mempunyai dua pengertian, yang pertama adalah ikan yang baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan. Kedua, ikan yang mutunya masih baik, disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran mutu baik secara fisik, kimia maupun biologis, misalnya ikan-ikan yang disimpan dingin atau beku (Huss 1995). 8 Tingkat kesegaran memberikan kontribusi utama terhadap mutu ikan. Kesegaran ikan sangat penting bagi mutu dari produk yang dihasilkan pada semua produk perikanan. Secara umum, ada dua metode utama yang biasa digunakan untuk menilai kesegaran dan mutu ikan, yaitu metode sensori (subyektif) dan non-sensori (obyektif) (Robb 2002). Mutu suatu komoditas meliputi unsur-unsur mutu yang terlihat dan tersembunyi serta dapat diukur dan tidak dapat diukur. Unsur mutu terdiri dari 3 kategori (Soekarto 1990), yaitu: (1) Sifat mutu, yaitu sifat yang dapat diukur langsung secara subyektif atau obyektif; (2) Parameter mutu, yaitu besaran yang mencirikan sifat mutu suatu produk; (3) Faktor mutu, yaitu hal-hal yang tidak dapat diukur dan diamati secara langsung, seperti varietas, faktor genetik dan asal daerah. Ikan yang masih segar dapat ditentukan dengan beberapa parameter kesegaran ikan. Parameter-parameter tersebut merupakan standar mutu ikan. Parameter-parameter tersebut didapat dari sifat atau ciri fisika, kimia serta aktivitas mikrobiologis pada ikan yang menyebabkan ikan mengalami kemunduran mutu. Standar mutu ikan dapat dijadikan acuan untuk menentukan kesegaran ikan. Berikut ciri-ciri fisik ikan segar dan ikan yang mulai membusuk pada Tabel 2. Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang mulai busuk Ikan Segar Ikan Mulai Busuk Kulit - Warna kulit terang dan jernih Kulit masih kuat membungkus tubuh, tidak mudah sobek, terutama pada bagian perut - Warna-warna khusus yang masih ada dan terlihat jelas - Kulit berwarna suram, pucat dan berlendir banyak - Kulit mulai terlihat mengendur di beberapa tempat tertentu - Kulit mudah sobek dan warna-warna khusus sudah hilang Sisik - Sisik menempel kuat pada tubuh sehingga sulit dilepas Mata - Mata tampak terang, menonjol dan cembung jernih, Sisik mudah terlepas dari tubuh - Tampak suram, tenggelam dan berkerut 9 Ikan Segar Ikan Mulai Busuk Insang - Insang berwarna merah sampai merah tua, terang dan lamela insang terpisah - Insang tertutup oleh lender berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan Daging - Daging kenyal - Daging dan bagian tubuh lain berbau segar - Bila daging ditekan dengan jari tidak tampak bekas lekukan - Daging melekat pada tulang - Daging perut utuh dan kenyal - Warna daging putih - Bila Ditaruh dalam Air - Ikan segar akan tenggelam - Insang berwarna cokelat suram atau abu-abu dan lamella insang berdempetan Lendir insang keruh dan berbau asam, menusuk hidung Daging lunak Daging dan bagian tubuh lain mulai berbau busuk Bila daging ditekan dengan jari tampak bekas lekukan Daging mudah lepas dari tulang Daging perut lunak dan isi perut sering keluar Daging berwarna kuning kemerahan-merahan terutama di sekitar tulang punggung Ikan yang sudah sangat busuk akan mengapung Sumber: Adawyah (2007) Selain ciri-ciri fisik, kesegaran ikan dapat dilihat dari parameter kimia (kadar air, pH, total volatile base (TVB), TBA, kadar histamin) dan aktivitas mikrobiologisnya. Badan Standarisasi Nasional (BSN) memberikan suatu standar dalam menentukan mutu ikan. Berikut persyaratan mutu ikan segar berdasarkan SNI 01-2729-2006 (BSNa 2006) pada Tabel 3. Tabel 3. Persyaratan mutu ikan segar Jenis Uji a. Organoleptik b. Cemaran mikroba*: - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Vibrio Cholerae c. Cemaran kimia*: - Raksa (Hg) - Timbal (Pb) - Histamin - Cadmium (Cd) d. Parasit* *) Bila Diperlukan Sumber: BSNa (2006) Satuan Angka (1 – 9) Persyaratan Minimal 7 Koloni/g APM/g APM/25 g APM/25 g Maksimal 5,0 x 105 Maksimal < 2 Negatif Negatif mg/Kg mg/Kg mg/Kg mg/Kg Ekor Maksimal 0,5 Maksimal 0,4 Maksimal 100 Maksimal 0,1 Maksimal 0 10 2.5 Kemunduran Mutu Ikan Kemunduran mutu pada ikan terjadi setelah ikan itu mati (post mortem). Setelah ikan mati, akan terjadi perubahan pada ikan yang menuju kepada kebusukan. Kemunduran mutu yang terjadi pada ikan disebabkan oleh beberapa hal seperti, aktivitas mikrobiologi, aktivitas enzim, oksidasi lipid dan reaksi browning. Berikut perubahan yang terjadi setelah ikan mati menurut Eskin (1990) pada Gambar 3. Sirkulasi darah terhenti Ikan mati Sistem syaraf dan hormon terhenti Suplai vitamin, antioksidan terhenti Keseimbangan osmotik rusak Akumulasi bakteri Potensial redoks menurun Penurunan Suhu Pemadatan lemak Suplai oksigen terhenti Respirasi aerob terhenti (glikogen CO2) Penguraian fosfat berenergi tinggi Kemunculan rigor mortis Denaturasi protein Respirasi anaerob terjadi (glikogen asam laktat) Penurunan pH Pembebasan dan pengaktifan katepsin Protein melepaskan Ca2+ dan mengikat K+ Oksidasi lemak dan ketengikan Akumulasi metabolit, pemicu flavour, dll. Perubahan warna Penguraian protein Pertumbuhan bakteri Gambar 3. Perubahan akibat terhentinya aliran darah setelah ikan mati (Eskin 1990) 11 Perubahan pasca kematian ikan (post mortem) terjadi setelah ikan mati dan aliran darah terhenti. Hasil dari terhentinya peredaran darah adalah serangkaian reaksi yang sangat kompleks dalam otot. Pengaruh yang cepat dari berhentinya peredaran darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya pemasukan oksigen ke dalam jaringan. Akibatnya jaringan tidak mampu membentuk kembali adenosin trifosfat (ATP) sebagai bahan energi sel, karena mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti. Hal ini menyebabkan respirasi anaerob yang menghasilkan asam laktat pada sel sehingga pH turun. Setelah pH turun, enzim proteolitik terutama katepsin akan bebas dan aktif kemudian mendegradasi protein. Pemecahan protein akan memacu pertumbuhan bakteri sehingga ikan akan semakin menunjukkan tanda-tanda kebusukan (Eskin 1990). Proses kemunduran mutu ikan berlangsung cepat dikarenakan ikan merupakan bahan pangan yang cepat membusuk (highly perishable foods). Kecepatan kemunduran mutu ikan tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi spesies, ukuran, jenis kelamin. Faktor eksternal meliputi kondisi pembudidayaan, penanganan pasca panen serta sifat-sifat biokimia ikan (DKP dan JICA 2008). Proses kemunduran mutu ikan terbagi menjadi beberapa fase sesuai dengan urutan perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati. Fase kemunduran mutu tersebut secara umum menurut Junianto (2003) adalah: fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Fase-fase ini berkaitan erat dengan perubahan fisik, biokimiawi dan aktivitas bakteri yang diakibatkan terhentinya aliran darah setelah ikan mati. 2.5.1 Pre rigor Fase pre rigor merupakan perubahan yang terjadi pertama kali ketika ikan mati. Perubahan ini ditandai dengan pelepasan lendir dari permukaan dibawah kulit ikan. Perubahan ini terjadi karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen dan energi untuk kegiatan metabolismenya. Meskipun ikan telah mati namun masih terjadi proses enzimatis. Proses ini berjalan tanpa kendali sehingga terjadi perubahan biokimia yang luar biasa (Yunizal dan Wibowo 1998). 12 Pada fase ini, terjadi penurunan kadar ATP dan kreatin fosfat serta perubahan glikogen menjadi asam laktat akibat respirasi anaerob. Hal ini akan menyebabkan turunnya pH pada ikan pada tahap selanjutnya. Tahap ini biasanya akan terjadi 1-7 jam setelah ikan mati (Adawyah 2007). 2.5.2 Rigor mortis Fase selanjutnya adalah fase rigor mortis. Pada fase ini daging ikan menjadi lebih keras dari sebelumnnya. Daging ikan menjadi lebih keras dikarenakan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi kompleks aktin dan miosin yang bersifat irreversible (DKP dan JICA 2008). Pada fase ini belum terjadi aktivitas bakteri yang berarti, pH ikan masih turun dikarenakan penumpukan asam laktat sehingga bakteri belum bisa tumbuh dengan baik (Adawyah 2007). Fase rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan. Hal ini karena fase ini dapat dijadikan petunjuk bahwa ikan masih segar. Fase ini dihindari pada industri fillet ikan karena daging ikan menjadi keras dan sulit untuk dilakukan pem-fillet-an (Huss 1995). 2.5.3 Post rigor Setelah fase rigor mortis berakhir, ikan akan mengalami fase post rigor dimana daging ikan menjadi lemas kembali. Fase ini merupakan awal dari kebusukan ikan. Pada awalnya fase ini akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen dikarenakan daging ikan akan lemas kembali. Setelah itu akan terjadi autolisis oleh enzim sehingga terjadi pendegradasian protein. Bakteri tumbuh pesat dikarenakan pH ikan mulai naik akibat degradasi protein oleh enzim yang menyediakan nutrien protein sederhana bagi bakteri (Huss 1995). Proses autolisis oleh enzim mulai berlangsung pada tahap post rigor. Autolisis serta aktivitas bakteri juga akan menaikkan tingkat basa volatil yang terdapat pada ikan. Hal ini akan menyebabkan perubahan tekstur, rasa serta bau pada ikan (Poli et al. 2005). 2.5.4 Busuk Fase busuk menandai akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana ikan tidak dapat lagi dikonsumsi. Fase ini ditandai dengan meningkatnya bakteri 13 pembusuk pada ikan. Tekstur, rasa dan bau sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Fase busuk ditandai dengan perubahan yang jelas pada tubuh ikan. Akan terjadi perubahan baik pada tekstur, rasa dan bau ikan. Nilai pH ikan akan naik akibat basa volatil yang terus menumpuk serta aktivitas bakteri yang meningkat pesat (Huss 1995). Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Faktor biologis (internal) tidak mudah ditangani karena berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri. Meski begitu, dalam beberapa hal beberapa tindakan dapat dilakukan. Misalnya, untuk ikan budidaya dipuasakan lebih dulu paling tidak 4 jam sebelum dipanen sehingga ikan tidak dalam kondisi kenyang ketika dipanen. Usaha yang paling dapat dilakukan adalah menangani faktor eksternal karena berkaitan dengan tindakan dan lingkungan yang diberikan (Junianto 2003). Sifat ikan yang mudah rusak merupakan masalah bagi pemanfaatan ikan. Apalagi bila ikan akan didistribusikan ke tempat yang jauh dari tempat penangkapan maupun tempat budidaya ikan. Untuk menjaga mutu ikan yang cepat menurun, dua strategi dasar telah dikembangkan di seluruh dunia, yaitu penyimpanan dingin (chilling) dan penyimpanan beku (frozen) (FAO 2007 diacu dalam Medina et al. 2009). Produk yang disimpan dalam suhu dingin ((-1)-5 0C) dan suhu beku ((-30) 0C atau lebih rendah lagi) mendominasi pasar produk perikanan saat ini dan terus berkembang. Penyimpanan dingin dan beku diketahui dapat mencegah aktivitas bakteri namun kurang efektif untuk mencegah autolisis akibat enzim pada ikan (Huss 1995). 2.6 Metode Penentuan Kesegaran Ikan Kesegaran merupakan tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan tidak. Penentuan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor sensori, kimia dan mikrobiologi. Berdasarkan kesegarannya ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas mutu, yaitu ikan yang tingkat kesegarannya baik sekali (prima), ikan 14 yang kesegarannya baik (advanced), ikan yang kesegarannya mundur (sedang), ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk) (Adawyah 2007). Penentuan ikan secara sensori/organoleptik merupakan cara yang mudah, cepat dan praktis. Cara organoleptik merupakan cara penilaian dengan hanya menggunakan panca indera manusia. Metode ini termasuk ke dalam metode subyektif. Penilaian secara organoleptik dapat menggunakan standar penilaian organoleptik SNI 01-2346-2006 yang dibuat oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (BSNb 2006). Metode penentuan kesegaran ikan secara kimia yang biasa dilakukan adalah pengukuran pH ikan, analisis kandungan basa-basa volatil (TVB). Sedangkan untuk analisis mikrobiologi menggunakan total plate count (TPC). Nilai pH dapat dijadikan ukuran kesegaran ikan karena ikan yang sudah tidak segar akan memiliki pH yang tinggi (basa). Hal ini disebabkan reaksi biokimiawi yang terjadi pada ikan (Adawyah 2007). Parameter kimia lain yang sering digunakan adalah kandungan basa-basa volatil atau total volatile base (TVB). Nilai TVB dapat dijadikan sebagai parameter indeks kesegaran ikan karena basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai pada tahap kebusukan. Adapun batas penerimaan ikan ditinjau dari kandungan TVB, yaitu sebesar 20-30 mg N/100 g ikan. Hal ini dipengaruhi oleh jenis ikan. Berikut tingkat kesegaran ikan berdasarkan TVB menurut Farber (1965), yaitu: - Ikan sangat segar dengan kandungan TVB 10 mg N/100 g atau lebih kecil; - Ikan segar dengan kadar TVB sebesar 10 – 20 mg N/100 g; - Ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVB 20 – 30 mg N/100 g; - Ikan busuk yang sudah tidak dapat dikonsumsi lagi oleh manusia dengan kadar TVB lebih besar dari 30 mg N/100 g. Pengujian secara mikrobiologi dapat dilakukan dengan penentuan total plate count (TPC). Penentuan TPC dilakukan dengan menghitung jumlah total koloni bakteri kemudian dibandingkan dengan standar mutu ikan segar. Selain dari analisis secara organoleptik, nilai pH, TVB dan TPC, penentuan kesegaran ikan dapat dilakukan dengan aanlisis kandungan biogenik amin, 15 hipoksantin, dimetil amin, trimetil amin, amoniak, oksidasi lipid dan nilai K (Huss 1995; Adawyah 2007). 2.7 Enzim Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai katalis dan dapat mempercepat reaksi (Campbell dan Farrell 2007). Suatu reaksi kimia khususnya antara senyawa organik yang dilakukan dalam laboratorium membutuhkan suatu kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan waktu dan lain-lain. Apabila salah satu kondisi tidak terpenuhi maka reaksi tidak akan terjadi. Pada mahkluk hidup, proses ini dapat berlangsung dengan baik tanpa suhu tinggi dan terjadi dalam waktu relatif singkat karena adanya katalis berupa enzim. Enzim dapat mempercepat reaksi 108-1011 kali lebih cepat dibanding reaksi yang dilakukan tanpa enzim. Enzim memiliki cara kerja dengan kekhasan yang tinggi dimana enzim hanya akan bekerja pada substrat tertentu (lock and key) (Poedjiadi 1994). Enzim diketahui merupakan salah satu penyebab kemunduran mutu pada ikan. Enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan merupakan jenis enzim proteolitik. Enzim ini bekerja dengan substrat protein. Enzim ini berperan dalam pendegradasian jaringan tubuh ikan yang sebagian besar merupakan protein. Enzim proteolitik juga diketahui mempercepat pertumbuhan bakteri pembusuk pada ikan dengan mendegradasikan protein pada jaringan tubuh ikan menjadi lebih sederhana dan menjadi sumber nutrien bagi bakteri pembusuk (Huss 1995). Enzim-enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan telah berhasil diketahui. Enzim-enzim ini merupakan enzim proteolitik yang menyebabkan autolisis pada ikan. Secara umum enzim proteolitik yang menyebabkan kemunduran mutu pada tubuh ikan dapat dilihat pada Tabel 4. 16 Tabel 4. Jenis-jenis enzim autolisis pada ikan Enzim Substrat Enzim glikolitik Glikogen ATP Nukleotidase Katepsin ADP AMP IMP Protein, peptida Karboksipeptidase Protein, peptida Kalpain Protein miofibril Kolagenase Jaringan ikat TMAO dimetilase TMAO Perubahan yang terjadi Produksi asam laktat dan penurunan pH daging, gaping Kehilangan rasa kesegaran, hipoksantin Pelunakan jaringan Autolisis jaringan pencernaan (belly bursting) Pelunakan daging Pelunakan jaringan, gaping Formaldehida Pencegahan Penyimpanan suhu dingin Penyimpanan suhu dingin Penanganan ikan dengan baik Penyimpanan suhu beku Penghilangan kalsium Penyimpanan suhu dingin Penyimpanan suhu beku Sumber: Huss (1995) 2.7.1 Enzim katepsin Enzim katepsin merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan. Beberapa enzim lain diketahui memiliki hubungan dengan kemunduran mutu ikan namun enzim katepsin merupakan enzim yang paling banyak ditemukan dalam jaringan tubuh ikan. Enzim katepsin merupakan enzim protease yang ditemukan tersimpan dalam organel sel yang bernama lisosom. Pada ikan yang masih hidup, enzim katepsin tidak aktif namun langsung aktif ketika ikan mati (Huss 1995). Enzim katepsin tersimpan dalam lisosom sehingga enzim ini dinamai juga enzim lisosom proteinase. Enzim katepsin terdiri dari beberapa jenis, seperti katepsin A, katepsin B, katepsin C, katepsin D, katepsin H dan katepsin L. Enzim katepsin bekerja optimum pada kisaran pH asam. Daging ikan mengadung katepsin D lebih banyak dibandingkan dengan mamalia lain. Katepsin A, B, C, H dan L termasuk ke dalam serin proteinase, sedangkan katepsin D termasuk ke dalam aspartat proteinase. Berikut jenis-jenis enzim lisosom proteinase yang terdapat pada ikan pada Tabel 5. 17 Tabel 5. Jenis-jenis enzim lisosom proteinase pada Ikan Enzim Famili Aktivitas Asal enzim Katepsin B Sistein Endopeptidase Katepsin H Sistein Endopeptidase Katepsin J Sistein Endopeptidase Katepsil L Sistein Endopeptidase Otot ikan salmon dan mackerel - Dipeptidil peptidase (Katepsin C) Sistein Eksopeptidase Otot berbagai spesies ikan - Katepsin D aspartat Eksopeptidase Otot berbagai spesies ikan Dipeptidil peptidase II Sistein Eksopeptidase karboksipeptidase Karboksipeptidase (Katepsin dan I) Katepsin S Otot dari berbagai spesies ikan Otot ikan salmon pH optimum 6,5-7 - - Serin Eksopeptidase Otot dari berbagai spesies ikan Sistein Eksopeptidase Otot mackerel A A Kemampuan degradasi Miosin dan miofibril 7 Miosin - - 3,5 Miosin dan miofibril - Aktin dan miosin - - 5-6 - - - Sumber : Goll et al. (1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994) 2.7.2 Enzim kolagenase Enzim kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda berdasarkan fungsi fisiologisnya. Serin kolagenase berkaitan dengan produksi hormon dan farmakologi-peptida aktif sebagai fungsi seluler. Fungsi tersebut meliput pencernaan protein, penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks dan fertilisasi. Enzim tipe ini digunakan secara luas dalam industri kimia, obat, makanan dan eksperimen biologi molekuler. Tipe kedua dari enzim ini adalah metalokolagenase yang terdiri dari zinc yang membutuhkan kalsium untuk 18 kestabilan. Metalokolagenase termasuk ke dalam enzim ekstraseluler yang berat molekulnya bervariasi dari 30-150 kDa (Kim et al. 2002). Enzim kolagenase merupakan enzim dari famili metaloprotease peptidase yang bekerja pada substrat kolagen. Pengaturan dari enzim kolagenase merupakan proses yang kompleks namun enzim kolagenase disintesis dan disekresikan pada jaringan ikat (Hagen et al. 2008). Enzim ini memiliki sifat yang stabil pada suhu rendah dan kehilangan aktivitasnya pada suhu diatas 40oC (Shahidi dan kamil 2001). 2.8 Peranan Enzim Katepsin dan Kolagenase dalam Kemunduran Mutu Ikan Enzim katepsin dan enzim kolagenase berperan dalam kemunduran mutu ikan. Enzim katepsin dan kolagenase berperan dalam autolisis jaringan ikan. Enzim katepsin mendegradasi terutama bagian daging ikan sedangkan kolagenase mendegradasi jaringan ikat pada ikan. Kedua enzim ini memiliki hubungan yang sejalan dengan kemunduran mutu ikan (Hagen et al. 2008). Aktivitas katepsin pada kemunduran telah banyak diteliti dan diketahui bahwa katepsin berperan dalam degradasi protein dan pelunakan daging ikan. Katepsin dapat mendegradasi banyak jenis protein. Katepsin B berperan dalam degradasi miosin rantai panjang, troponin I dan T. Katepsin B diketahui dapat mendegradasi protein kolagen. Katepsin L mendegradasi sebagian besar struktur protein miofibril seperti aktin dan miosin. mendegradasi troponin I. Katepsin H berperan dalam Enzim katepsin mulai aktif ketika pH ikan turun dikarenakan enzim ini memiliki pH optimum pada kisaran pH asam (Hagen et al. 2008). Enzim kolagenase berperan dalam autolisis jaringan ikat pada ikan. Kolagenase menyebabkan kerusakan daging ikan dengan peristiwa gaping atau pecahnya miotom pada daging ikan sehingga mempercepat kemunduran mutu pada ikan. Enzim ini juga berperan dalam pelunakkan daging ikan dan pemendekan otot ikan. Pada kemunduran mutu ikan, enzim kolagenase akan mendegradasi protein kolagen yang menyebabkan pelunakan awal dari jaringan ikan (Sato et al. 1997 diacu dalam Hernandez-herrero et al. 2003). 3. METODOLOGI 3.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokiomia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Laboratorium Penelitian I, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Dokumentasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama ikan bandeng dengan ukuran 200-250 g/ekor. Ikan bandeng yang digunakan diberi empat perlakuan, yaitu ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: R) dan ikan bandeng yang dipuasakan sebelum dipanen pada penyimpanan suhu chilling (kode: S). Bahan-bahan untuk analisis nilai pH (larutan buffer standar pH 4 dan 7, akuades), analisis total volatile base (TVB) (H3BO3, K2CO3, TCA 7 %, HCl 0,032 N), analisis total plate count (TPC) (larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar), ekstraksi enzim katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4), assay aktivitas katepsin (akuades, hemoglobin, HCl 1 N, TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pembuatan kolagen (kulit ikan bandeng dan asam asetat), ekstraksi enzim kolagenase (buffer tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung 0,25 % Triton-X 100 dan 10 mM CaCl2), assay aktivitas kolagen (buffer tris-HCl pH 7,5 yang mengandung 5 mM CaCl2, TCA 5 %, ninhydrin, 50 % 1-propanol), pengukuran konsentrasi protein (akuades, bovine serum albumin, coomassie brilliant blue G-250, etanol 95 %, asam fosfat 85 % (b/v)). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, talenan, alat bedah, pH meter, cawan conway, inkubator, oven, sentrifuse suhu dingin, 20 spektrofotometer, mikropipet, timbangan analitik, homogenizer, magnetic stirer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer, kapas, tissue, aluminium foil, bunsen, jarum ose, beaker glass, dan peralatan gelas lainnya serta peralatan uji organoleptik. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap, meliputi penelitian pendahuluan untuk menentukan fase post mortem ikan secara organoleptik. Penelitian utama meliputi tiga tahap, yaitu tahap pertama adalah mempelajari pola kemunduran mutu serta perubahan parameter kesegaran kulit ikan yang terjadi, tahap kedua adalah ekstraksi enzim katepsin dan kolagenase serta mengetahui aktivitasnya. Tahap ketiga adalah pengukuran konsentrasi protein katepsin dan kolagenase. Kerangka penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.3.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase post mortem ikan, meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Pada tahap ini dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 0C) dan suhu chilling ((-1)-5 0C). Penyimpanan pada suhu ruang dilakukan selama 19 jam dengan interval waktu pengamatan satu jam, sedangkan pada suhu chilling penyimpanan dilakukan selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam. Pengamatan dilakukan secara organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (Lampiran 3). 3.3.2 Penelitian utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pola kemunduran ikan P, Q, R, dan S berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap sampel ikan berdasarkan waktu yang didapat dari hasil penentuan fase post mortem pada penelitian tahap pendahuluan. Analisis yang dilakukan pada setiap pengamatan meliputi uji organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006), uji nilai pH, TVB dan TPC, assay aktivitas katepsin dan kolagenase, serta konsentrasi protein katepsin dan kolagenase. 21 3.4 Analisis Sampel kulit ikan bandeng pada setiap tahap post mortem diambil dan dilakukan pengamatan serta analisis, meliputi pengamatan dan analisis tingkat kesegaran ikan (penilaian organoleptik, penentuan nilai pH, TVB, penghitungan jumlah total bakteri dengan menggunakan metode TPC), serta ekstraksi enzim katepsin dan kolagenase untuk assay aktivitas katepsin dan kolagenase. 3.4.1 Uji organoleptik (BSNb 2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subyektif menggunakan indera yang ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan, badan, daging, bau, dan tekstur. Pada uji organoleptik ini, ada beberapa syarat yang harus disepakati oleh panelis (BSNb 2006) antara lain: tertarik dan mau, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (semi-terlatih). Dari data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI 01-2346-2006): 3.4.2 Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram yang diambil dari bagian kulit ikan dihomogenkan dengan homogenizer dengan 90 ml air destilata. Kemudian pH homogen diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7. 3.4.3 Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989) Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis total volatile base (TVB) adalah menguapkan senyawa-senyawa basa 22 volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 gram sampel yang diambil dari bagian kulit ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan dihomogenkan selama satu menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel, maka dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan memakai pipet 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan sebelumnya pinggir cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kemudian kedua cawan conway tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,032 N dan cawan digoyang-goyangkan perlahan sampai larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang sama dengan blanko. Kadar TVB dapat dihitung dengan menggunakan rumus: %N (mg N/100 g) = (j – i) x N HCl x 100 x fp x 14 mg N/100 g g contoh 1 Keterangan: 3.4.4 j : ml titrasi sampel fp : faktor pengenceran i : ml titrasi blanko N : normalitas HCl (0,032 N) Uji total plate count (TPC) (Fardiaz 1987) Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (kulit ikan) dengan pengenceran sesuai kebutuhan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 gram sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian kulit ikan, lalu 23 dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril, kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 35 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. 3.4.5 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim katepsin yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi katepsin dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran mutu. Proses ektraksi katepsin dilakukan dengan metode Dinu et al. (2002). Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak kasar protease dengan mengambil sampel kulit ikan. Kulit ikan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan kulit ikan dan akuades sebesar 1:5, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 0C. Ekstrak kulit hasil homogenisasi ini disentrifugasi pada 1.000 rpm selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000 rpm selama 10 menit. dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian Pelet yang dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris-HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades sebelumnya (1:5) dan disentrifugasi pada 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut. 24 3.4.6 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al. 2002) Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim kolagenase yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi kolagenase dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran mutu. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencuci kulit ikan bandeng dengan air dingin, dan ditambahkan dengan 100 mM buffer Tris-HCl (pH 8,0), dengan perbandingan bahan baku dan larutan buffer 1:5, kemudian dihomogenkan dengan homogenizer. Selanjutnya kulit yang telah homogen tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit. Setelah itu, pelet yang telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan antara bahan baku dan larutan buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang dihasilkan ditambahkan dengan 20 mM Tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung 0,36 mM CaCl2, dan didiamkan pada suhu rendah (± 4 0C) selama 48 jam. Larutan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar kolagenase yang akan digunakan untuk pengujian selanjutnya. 3.5 Assay Aktivitas Enzim Katepsin (Dinu et al. 2002) Aktivitas proteolitik dari enzim katepsin diuji menggunakan hemoglobin terdenaturasi asam sebagai substratnya. Sebanyak 8 % hemoglobin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat sebesar 2 % dengan akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat dengan 0,2 ml larutan enzim direaksikan dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37 0C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5 %. Campuran disaring dan hasil reaksi yang didapat ditambah dengan 1 ml pereaksi folin serta diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut: 25 UA = Asp − Abl 1 xPx Ast − Abl T UA : jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol substrat per menit Asp : nilai absorbansi sampel Asp : nilai absorbansi sampel Abl : nilai absorbansi blanko Ast : nilai absorbansi standar P T : waktu inkubasi : faktor pengenceran 3.6 Assay Aktivitas Enzim Kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam Kim et al. 2002) Aktivitas kolagenolitik dapat diukur dengan metode Moore dan Stein (1954) dalam Kim et al. (2002) yang telah dimodifikasi dengan cara mereaksikan 5 ml kolagen dari kulit ikan dengan 1 ml 0,05 M Tris-HCl (pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 dan 0,1 ml larutan enzim lalu diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam. Reaksi dihentikan dengan penambahan 0,2 ml 5 % TCA. Setelah 10 menit pada suhu ruang, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring. Supernatan (0,2 ml) dicampur dengan 1,0 ml larutan nynhidrin, diinkubasi pada suhu 100 0C selama 20 menit. Kemudian didinginkan pada suhu kamar. Campuran tersebut diencerkan dengan 5 ml 50 % 1-propanol untuk pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm. Larutan buffer (0,05 M Tris-HCl pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 digunakan sebagai pengganti larutan enzim sebagai larutan kontrol dan larutan tirosin digunakan sebagai larutan standar enzim kolagenase. Aktivitas enzim kolagenase dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: UA = Asp − Abl 1 xPx Ast − Abl T UA : jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol substrat per menit Asp : nilai absorbansi sampel Abl : nilai absorbansi blanko Ast : nilai absorbansi standar P : faktor pengenceran T : waktu inkubasi 26 3.7 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976) Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml etanol 95 %. Lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85% (b/v). Jika telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 l dan disaring dengan kertas saring Whatman-1 sesaat sebelum digunakan. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan cara 0,1 ml enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan standar dilakukan seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 1,0-1,0 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml. Tabel pembuatan larutan standar BSA 0,1-1,0 mg/mL disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml Konsentrasi BSA Volume BSA Volume akuades (mg/ml) (ml) (ml) 0,1 0,05 0,95 0,2 O,10 0,90 0,3 0,15 0,85 0,4 0,20 0,80 0,5 0,25 0,75 0,6 0,30 0,70 0,7 0,35 0,65 0,8 0,40 0,60 0,9 0,45 0,55 1,0 0,50 0,50 Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam kurva standar Bradford untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung dalam sampel enzim (Lampiran 4). 27 3.8 Analisis Data Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai organoleptik, pH, TVB dan TPC serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, serta konsentrasi protein enzim dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan rumus berikut (Steel dan Torrie 1989): Keterangan : n X = ∑ X : nilai rata-rata Xi i =1 Xi : nilai X ke-i n N : jumlah data Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, dan nilai pH), nilai aktivitas enzim dan konsentrasi protein enzim dilakukan melalui uji ragam (ANOVA) berupa rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan (sampel P, Q, R, dan S) dan 4 kelompok (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk). Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut: Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan: Yij : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j µ : nilai tengah populasi τi : pengaruh perlakuan τ taraf ke-i βj : pengaruh kelompok β taraf ke-j εij : galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j Hipotesis yang digunakan adalah: 1. Hipotesis perlakuan a. H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata b. H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata 2. Hipotesis kelompok a. H0 : pengaruh kelompok tidak berbeda nyata b. H1 : minimal ada 1 kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata Apabila pengaruh perlakuan dan kelompok berbeda nyata dengan selang kepercayaan 95 % (p <0.05), maka diadakan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie 1989). 28 Derajat hubungan linier antara aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase) n ∑ X = Xi i = 1 n terhadap parameter kesegaran mutu (nilai organoleptik, pH, TVB, TPC) dilihat menggunakan koefisien korelasi linier sederhana dengan rumus (Snedecor dan Cochran 1967): r= ∑ xy (∑ x )(∑ y ) 2 2 Keterangan: x : simpangan dari rataan peubah pertama (yang mempengaruhi) y : simpangan dari rataan peubah kedua (yang dipengaruhi) Nilai derajat korelasinya adalah: r =>0,7 : hubungan sangat erat 0,5<= r <=0,7 : hubungan erat r <=0,5 : hubungan tidak erat 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penentuan fase kemunduran mutu (post mortem) pada ikan bandeng. Penentuan fase post mortem pada ikan bandeng dilakukan untuk mengetahui interval dan lama waktu terjadinya kemunduran mutu pada ikan bandeng selama penyimpanan. Penentuan fase post mortem juga dilakukan untuk penelitian utama, yaitu mengenali kondisi tingkat kesegaran kulit ikan bandeng terkait dengan besarnya nilai organoleptik, nilai pH, total volatile base (TVB), total plate count (TPC), aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada fase kemunduran mutu. Seperti telah diketahui sebelumnya, berdasarkan Junianto (2003), bahwa fase kemunduran mutu pada ikan terdiri dari 4 fase, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan dengan menggunakan metode sensori, yaitu secara organoleptik. Pengujian sensori dapat digunakan untuk menentukan fase-fase post mortem pada kemunduran mutu ikan (Huss 1995). Metode organoleptik merupakan cara yang paling mudah dan murah untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu pada ikan dengan bantuan panca indera manusia. Metode organoleptik dapat menilai kemunduran mutu yang terjadi pada ikan yang jelas terlihat dari perubahan penampakan dan tekstur ikan. Penetapan fase kemuduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet) yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: P), dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu ruang (kode: Q), tidak dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (kode: R), dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling (kode: S). Suhu chilling yang dimaksud pada penelitian ini adalah (-1)-5 0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati. 30 Berdasarkan pengamatan, fase pre rigor ikan P dan Q terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19 penyimpanan. Pada ikan R dan S, fase pre rigor terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada kan ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu chilling (R dan S). Hal ini disebabkan karena suhu yang lebih tinggi pada penyimpanan dapat mempercepat proses kebusukan. Fase kemunduran mutu pada ikan berhubungan dengan mutu ikan sebagai bahan yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Fase kemunduran mutu pada ikan merupakan fase-fase dimana terjadi kemunduran kualitas makanan (eating quality) (Huss 1995). Fase pre rigor merupakan fase sesaat setelah ikan mati. Fase ini ditandai dengan penampakan ikan yang masih seperti ikan yang masih hidup. Bau dan rasa ikan masih segar seperti bau rumput laut. Otot ikan menjadi lemas dan mudah dilenturkan pada fase ini. Secara biokimia terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP) karena terhentinya peredaran darah yang membawa oksigen (Yunizal dan Wibowo 1998). Pada ikan tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna, tetapi secara berangsur warna semakin suram. Hal ini disebabkan karena timbulnya lendir sebagai akibat dari proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikroba yang akan lebih jelas terlihat pada fase kemunduran mutu berikutnya (Adawyah 2007). Fase rigor mortis ditandai dengan mengerasnya otot ikan, bau dan rasa ikan menjadi netral, perubahan tekstur pada ikan serta mulainya proses autolisis atau penghancuran diri sendiri akibat aktivitas enzim (Huss 1995). Daging ikan mengeras disebabkan terjadinya penggabungan protein aktin dan miosin menjadi protein kompleks aktomiosin yang bersifat tidak dapat dikembalikan (irreversible) (DKP dan JICA 2008). Fase rigor mortis sangat penting hubungannya dengan pemanfaatan ikan sebagai bahan baku untuk dikonsumsi manusia karena mulai terjadinya perubahan yang terlihat jelas pada ikan. 31 Fase post rigor terjadi setelah rigor mortis. Fase ini ditandai dengan melemasnya otot ikan kembali setelah menegang pada fase rigor mortis. Pada fase post rigor, mulai terjadi aktivitas bakteri yang meningkat serta aktivitas enzim yang semakin banyak (Huss 1995). Aktivitas enzim akan menyebabkan pelunakan jaringan pada ikan serta aktivitas bakteri menyebabkan ikan menjadi semakin mengarah kepada kondisi busuk (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Fase setelah post rigor adalah fase busuk. Pada fase ini ikan tidak lagi dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang sangat banyak serta kerusakan pada tubuh ikan. 4.2 Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui kemunduran mutu yang terjadi pada ikan bandeng serta kulit ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan. Pengamatan dan analisis dilakukan terhadap sampel ikan P, Q, R, dan S berdasarkan waktu penyimpanan. Analisis kemunduran mutu yang dilakukan, yaitu nilai organoleptik, pH, total volatile base (TVB), serta total plate count (TPC) dengan mengambil sampel pada bagian kulit. Pengujian sendiri dilakukan pada 4 titik fase kemunduran mutu, yaitu pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk. Nilai uji organoleptik, pH, TVB dan TPC merupakan parameter-parameter kesegaran ikan yang dapat menunjukkan kemunduran mutu pada ikan (Huss 1995). 4.2.1 Nilai organoleptik Penilaian mutu ikan secara organoleptik merupakan metode penilaian secara sensori yang menggunakan panca indera manusia. Metode ini merupakan cara yang digunakan untuk mengukur, menganalisa dan menginterpretasikan karakter dari suatu bahan pangan (Huss 1995). Penetapan fase kemuduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet) yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (BSNb 2006). Nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S disajikan pada Gambar 4. 32 Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S Nilai organoleptik pada ikan dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukan nilai yang semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Hal ini berarti bahwa semakin lama ikan disimpan maka mutu ikan akan semakin menurun. Menurut Ozogul et al. (2006), semakin lama waktu penyimpanan maka nilai mutu organoleptik/sensori dari ikan akan semakin menurun. Secara umum, nilai organoleptik ikan P, Q, R dan S tidak menunjukan perbedaan yang mencolok. Kondisi tidak dipuasakan-dipuasakan atau kenyang-lapar pada ikan bandeng tidak berpengaruh terhadap mutu organoleptik dari ikan bandeng. Perbedaan hanya terjadi pada lamanya ikan mengalami kemunduran mutu dimana ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang (P dan Q) lebih cepat busuk, yaitu pada jam ke-19 penyimpanan serta ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling mengalami kebusukan lebih lama, 33 yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Suhu penyimpanan memberikan efek terhadap kemunduran mutu pada ikan. Hal ini dikarenakan perkembangan bakteri pembusuk dapat ditekan dengan suhu yang lebih rendah (Huss 1995). Pada ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling (kode: R dan S), ikan yang dipuasakan (kode: S) memiliki nilai organoleptik yang lebih baik dibanding ikan yang tidak dipuasakan (kode: R) sampai fase post rigor. Hal ini dikarenakan pada ikan yang dipuasakan/lapar proses pemecahan ATP berlangsung lebih lambat sehingga kondisi post mortem-nya lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan terhadapan ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang disimpan pada suhu dingin, kondisi kenyang-lapar pada ikan berpengaruh pada kadar glikogen dan ATP dari ikan tersebut. Glikogen dan ATP digunakan untuk proses metabolisme ikan dan rendahya kadar glikogen dan ATP memperlambat metabolisme ikan. Rendahnya metabolisme pada ikan ketika mati akan menyebabkan kondisi stres pada ikan berkurang sehingga kemunduran mutu sensori berlangsung lebih lambat (Morkore et al. 2008). Pada fase pre rigor, nilai organoleptik dari ikan P, Q, R, dan S bernilai 9 atau masih dalam kondisi segar. Menurut Adawyah (2007), ikan yang masih segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa maupun teksturnya. Ikan bandeng segar ini mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki dinding perut utuh. Bau ikan sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya padat, elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Berdasarkan SNI 01-2346-2006, ikan segar memiliki nilai organoleptik 7-9 (BSNb 2006). Pada fase rigor mortis, ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabuabuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang 34 tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang. Fase post rigor ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk dimakan sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7 merupakan batas akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan (BSNb 2006). Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik 5-6 tergolong ikan yang agak segar (BSNb 2006). Fase busuk atau tidak segar ikan bandeng ditandai dengan nilai organoleptik antara 1-3 (BSNb 2006). Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, serta mudah menyobek daging dari tulang belakang. Kulit ikan bandeng mengalami kemunduran mutu yang sebanding seperti pada ikan bandeng utuh. Fase kemunduran mutu yang terjadi sama halnya dengan ikan bandeng. Pada kulit ikan bandeng, nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami kecenderungan yang sama seperti pada nilai organoleptik ikan bandeng. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Berikut disajikan nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 5. 35 Gambar 5. Rata-rata nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Kulit ikan bandeng mengalami kondisi yang berbeda pada setiap fase kemunduran mutu. Pada fase pre rigor, kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S memiliki nilai organoleptik 8-9 atau masih dalam kondisi segar. Kulit ikan pada fase ini memiliki ciri-ciri lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. Pada fase rigor mortis, kulit ikan bandeng memiliki nilai 7-8 dengan ciri-ciri lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Pada fase post rigor kondisi kulit ikan bandeng menurun nilainya menjadi 5-6 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh. Sedangkan pada fase busuk nilai organoleptik kulit adalah 3 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Nilai organoleptik kulit ikan P, Q, R, dan S tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Perbedaan hanya terdapat pada kecepatan kemunduran mutu dimana kulit ikan yang disimpan pada 36 suhu ruang mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat dibanding yang disimpan pada suhu chilling. Pengetahuan akan mutu bahan baku dapat menjadi dasar bagi pengembangan produk dari bahan baku tersebut. Pada pemanfaatan untuk konsumsi maupun agroindustri manapun, bahan baku dari ikan yang baik akan sangat mempengaruhi mutu dan daya saing dari produk tersebut. Mutu pada ikan dapat dilihat dari daya simpan produk tersebut. Pada penelitian ini kulit ikan bandeng yang disimpan dalam suhu ruang (26-30 0C), yaitu ikan P dan Q memiliki daya simpan sekitar 19 jam dan ikan R dan S yang disimpan pada suhu chilling ((-1)-5 0C) mempunyai daya simpan sekitar 540 jam (23 hari). Kecepatan kemunduran mutu pada ikan terjadi tergantung pada beberapa hal. Hal ini terdiri dari jenis ikan, suhu, penanganan setelah ikan mati, ukuran, kondisi fisik ikan, serta kondisi stres pada ikan (Huss 1995). Pada ikan-ikan laut tertentu di daerah tropis, kecepatan kemunduran mutu tergantung dari perbedaan suhu pada habitat asal dan suhu penyimpanan. Makin besar perbedaan suhu pada habitat dan suhu penyimpanan makin cepat ikan membusuk (Abe dan Okuma 1991 dalam Huss 1995). Salah satu cara dalam mencegah kemuduran mutu pada ikan adalah dengan menyimpan ikan pada suhu chilling. Suhu chilling dapat memperlambat kemunduran mutu pada ikan dikarenakan suhu chilling dapat menghambat aktivitas bakteri pembusuk pada ikan. Namun, suhu chilling tidak banyak membantu dalam hal kemunduran mutu karena pengaruh enzim atau autolisis (Medina et al. 2009). 4.2.2 Nilai pH Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu zat atau larutan (HAM 2001). Nilai pH dapat menunjukkan tingkat kesegaran dari ikan. Nilai pH ikan yang sudah tidak segar tinggi (basa) dibandingkan ikan yang masih segar. Hal ini karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa, misalnya amoniak, trimetilamin dan senyawa basa volatil lainnya (Poli et al. 2005). Hasil pengukuran nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R dan S selama kemunduran mutu disajikan pada Gambar 6. 37 Gambar 6. Rata-rata nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 6 mengalami perubahan selama periode kemunduran mutu. Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun pada saat setelah ikan dimatikan kemudian naik kembali setelah fase rigor mortis sampai busuk. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada saat setelah ikan dimatikan (pre rigor) adalah 6,42 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase pre rigor memiliki nilai pH 7,11. Ketika memasuki fase rigor mortis, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S turun. Hal ini disebabkan karena akumulasi asam laktat akibat respirasi anaerob. Respirasi anaerob sendiri terjadi akibat terhentinya aliran darah yang membawa oksigen pada ikan setelah ikan itu mati sehingga terjadi respirasi anaerob glikogen yang menghasilkan asam laktat (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Nilai pH kulit ikan bandeng P dan R pada fase rigor mortis, yaitu 6,02 sedangkan kulit ikan bandeng Q dan S pada fase rigor mortis bernilai 6,46. Nilai pH kulit ikan pada fase post rigor naik dari 38 sebelumnya pada fase rigor mortis. Nilai pH kulit ikan bandeng P dan Q pada fase post rigor bernilai 6,61 dan 6,78 serta kulit ikan bandeng R dan S bernilai 6,55 dan 6,78. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng terus naik. Pada fase busuk, nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berturut-turut adalah 6,79, 7,02, 7,80, dan 6,94. Kenaikan nilai pH pada fase post rigor dan busuk disebabkan karena terakumulasinya basa-basa volatil akibat aktivitas bakteri (Huss 1995). Nilai pH ikan pada saat fase post mortem berkisar antara 7,4-6,0 atau dapat lebih rendah lagi (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S secara umum tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok selama kemunduran mutu. Perbedaan nilai pH terdapat pada fase-fase kemunduran mutu ikan selama penyimpanan. Pada fase awal kemunduran mutu ikan, nilai pH ikan berkisar netral dikarenakan belum terjadi penurunan pH akibat respirasi anaerob glikogen. Nilai pH akan turun akibat dihasilkannya asam laktat akibat respirasi anaerob glikogen yang disebabkan terhentinya aliran oksigen setelah ikan mati. Nilai pH akan naik setelah glikogen habis melewati proses respirasi anaerob. Autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri yang menghasilkan senyawa-senyawa basa menyebabkan kenaikan nilai pH pada ikan (Huss 1995). Ketika pH turun, enzim autolisis terutama enzim katepsin yang aktif pada suhu asam akan mendegradasi protein menyebabkan terdegradasinya protein pada ikan (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Pengujian sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05 dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kombinasi ikan bandeng sebelum dipanen P, Q, R, dan S terhadap nilai pH selama kemunduran mutu. Hasil penelitian menunjukan P, Q, bahwa R, dan terdapat S perbedaan pada nilai fase-fase pH kulit kemunduran ikan bandeng mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor serta busuk) selama waktu penyimpanan (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 5). Hal serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada ikan Salmon Atlantik (Salmo salar L) yang diberi perlakuan diberi makan dan tidak sebelum dipanen pada penyimpanan dingin (Morkore et al. 2008). Perbedaan nilai pH tersebut dikarenakan nilai pH ikan 39 berubah seiring waktu kemunduran mutu akibat terbentuknya asam laktat dan aktivitas enzim serta bakteri (Huss 1995). 4.2.3 Nilai total volatile base (TVB) Penurunan kesegaran ikan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme serta enzim autolisis yang menghasilkan senyawa-senyawa basa volatil. Nilai total volatile base (TVB) pada ikan merupakan jumlah dari senyawa-senyawa basa volatil yang terdapat pada ikan. Nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Rata-rata nilai TVB kulit ikan bandeng P, Q, R dan S Batas nilai TVB untuk ikan yang masih dapat dikonsumsi manusia adalah 30 mg N/100 g (Farber 1965). Pada fase pre rigor, nilai TVB ikan bandeng P dan R menunjukkan nilai 5,88 mg N/100 g sedangkan ikan Q dan S bernilai 6,27 mg N/100 g. Nilai ini menunjukan bahwa ikan masih sangat segar. Ikan 40 sangat segar memiliki nilai TVB 10 mg N/100 g atau lebih kecil (Farber 1965). Pada fase rigor mortis, nilai TVB kulit ikan P, Q, R, dan S naik ke nilai 10,08 mg N/100 g, 9,80 mg N/100 g, 11,20 mg N/100 g, dan 18,76 mg N/100 gr. Nilai TVB kulit ikan P, Q, R, dan S naik kembali pada fase post rigor menjadi 24,64 mg N/100 g, 22,12 mg N/ 100 g, 32,20 mg N/100 g dan 26,04 mg N/100 g. Batas TVB kulit ikan bandeng untuk konsumsi manusia adalah pada fase busuk, yaitu pada jam ke-540 (23 hari). Nilai TVB kulit pada fase busuk bernilai lebih besar dari 30 mg N/100 g, yaitu 45,35-57,40 mg N/100 g yang menunjukkan bahwa kulit ikan ini sudah busuk dan tidak dapat dikonsumsi lagi. Peningkatan nilai TVB pada ikan disebabkan penguraian protein oleh enzim autolisis serta aktivitas bakteri. Ketika ikan mati, enzim akan menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa turunan protein seperti dimetil amin, trimetil amin, trimetil amin-oksida (TMAO) dan amoniak. Bakteri berperan besar dalam peningkatan basa volatil pasca kematian ikan. Bakteri-bakteri pembusuk pada ikan memanfaatkan beberapa senyawa ini untuk melakukan respirasi dan berkembang biak. Beberapa bakteri-bakteri pembusuk pada ikan yang bersifat anaerobik fakultatif seperti E. coli, S. putrefaciens serta vibrio dapat melakukan respirasi anaerobik dengan menggunakan trimetil amin-oksida sebagai akseptor elektron. Hasil dari respirasi yang dilakukan oleh bakteri-bakteri tersebut akan menghasilkan senyawa hasil reduksi TMAO, yaitu trimetil amin (TMA) yang merupakan komponen terbesar TVB pada ikan (Huss 1995). Pada kulit ikan yang disimpan pada suhu chilling, nilai TVB ikan R dan S naik lebih lambat bila dibandingkan dengan kulit ikan P dan Q yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini terlihat dari nilai TVB kulit ikan R dan S mencapai nilai diatas 30 mg N/100 g atau sudah busuk pada jam ke-540 (23 hari) sedangkan pada kulit ikan yang disimpan pada suhu ruang, yaitu ikan P dan Q terjadi pada jam ke-19. Hal ini disebabkan karena akumulasi basa volatil lebih lambat pada suhu chilling (Karungi et al. 2003). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai TVB pada tiap fase kemunduran mutu selama penyimpanan (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 6). Nilai TVB pada ikan P, Q, R, dan S selama periode kemunduran mutu menunjukkan nilai yang semakin meningkat seiring dengan waktu 41 penyimpanan. selama Nilai TVB juga berhubungan dengan fase kemunduran mutu waktu penyimpanan pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Yasmin et al. 2001), ikan Turbot (Scopthalmus maximus) (Ozogul et al. 2006) serta ikan Red Mullet (Mullus barbatus) dan Goldband Goatfish (Upeneus moluccensis) (Ozogul et al. 2009). Kenaikan jumlah TVB pada ikan selama kemunduran mutu berhubungan dengan autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri (Huss 1995). 4.2.4 Nilai total plate count (TPC) Nilai TPC (total plate count) merupakan jumlah bakteri/koloni bakteri yang terdapat pada bahan/sampel. Nilai TPC dapat dijadikan sebagai indikator keberadaan bakteri pembusuk pada ikan (Huss 1995). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam sampel. Nilai TPC disajikan dalam log TPC, yaitu jumlah bakteri secara logaritmik. Ikan yang masih hidup memiliki sistem kekebalan yang melindunginya dari pertumbuhan bakteri. Ketika ikan mati, sistem kekebalan berhenti bekerja sehingga bakteri mulai tumbuh pada ikan. Berbagai macam bakteri akan tumbuh pada ikan dan menurunkan mutu ikan hingga akhirnya ikan menjadi busuk dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Bakteri pada ikan ketika mengalami kemunduran mutu dapat berasal dari luar tubuh ikan yang masuk melalui kulit atau dari dalam tubuh ikan itu sendiri. Jumlah bakteri yang dihitung dengan nilai log TPC pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S ditunjukkan pada Gambar 8. 42 Gambar 8. Rata-rata nilai log TPC kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Nilai TPC/jumlah bakteri kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 8 mengalami kenaikan seiring dengan kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan chilling. Pada fase pre rigor atau saat awal kemunduran mutu ikan, nilai log TPC bernilai 3,66-3,82 cfu/g. Memasuki fase rigor mortis, nilai log TPC naik menjadi 4,68-6,42 cfu/g. Pada fase post rigor, jumlah bakteri sudah diatas ambang batas untuk konsumsi manusia. Nilai log TPC pada fase post rigor adalah 6,61-7,72 cfu/g. Ambang batas jumlah bakteri ikan segar untuk konsumsi manusia menurut SNI 01-2729-2006, yaitu 5 x 105 atau dalam log TPC, 5,70 cfu/g (BSN 2006). Pada fase busuk jumlah bakteri semakin banyak, yaitu 7,34-7,85 cfu/g. Jumlah bakteri pada kulit ikan beragam dan berkisar antara 102-107 (Shewan 1980 dalam Huss 1995). cfu/g atau dalam log TPC 2-7 cfu/g 43 Bakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kebusukan pada ikan. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tubuh yang menjaga ikan dari serangan bakteri tidak bekerja lagi dan bakteri mulai masuk ke tubuh ikan. Bakteri-bakteri pembusuk pada ikan berasal terutama dari lingkungan ikan tersebut. Bakteri masuk dari permukaan luar/kulit ikan kemudian masuk ke daging dan organ pencernaan melalui jaringan ikat. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan berhubungan dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jumlah dan jenis bakteri yang ditemukan pada ikan dipengaruhi oleh faktor makanan, cara penangkapan, penanganan serta perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan tropis adalah Pseudomonas, Acinetobacter, Moraxella, Vibrio, E. coli, serta Salmonella (Huss 1995; Junianto 2003). Pada penelitian ini, ikan bandeng P dan Q yang disimpan pada suhu ruang mengalami kenaikan jumlah bakteri lebih cepat dibanding dengan ikan R dan S yang disimpan pada suhu chilling. Hal ini terlihat bahwa ikan P dan Q melewati batas nilai TPC ikan segar berdasarkan SNI 01-2729-2006 pada fase post rigor pada jam ke – 15 sedangkan ikan R dan S terjadi pada jam ke – 300 (13 hari). Suhu chilling dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan dikarenakan pertumbuhan bakteri akan lebih lambat pada suhu rendah (Huss 1995). Nilai TPC kulit ikan bandeng pada penelitian ini berbeda pada tiap fase kemunduran mutu (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 7). Nilai TPC naik seiring dengan kemunduran mutu pada penyimpanan suhu ruang dan chilling. Hal ini disebabkan karena bakteri akan tumbuh semakin banyak pada ikan yang mati. Pertumbuhan bakteri pada ikan yang mati semakin banyak karena kondisi ikan yang memungkinkan bakteri untuk tumbuh dan berkembang akibat dari hasil pendegradasian protein yang merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Huss 1995). 4.2.5 Konsentrasi protein katepsin dan aktivitas enzim katepsin Enzim katepsin merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu ikan. Beberapa enzim lain diketahui memiliki hubungan dengan kemunduran mutu ikan, namun enzim katepsin merupakan enzim yang paling banyak disebutkan berpengaruh dalam kemunduran mutu ikan. Enzim katepsin 44 merupakan enzim protease yang ditemukan tersimpan dalam organel sel yang bernama lisosom. Lisosom pada ikan mengandung paling tidak 13 jenis enzim katepsin (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Pada ikan yang masih hidup, enzim katepsin tidak aktif namun langsung aktif ketika ikan mati dan pH ikan turun (Huss 1995). Keberadaan enzim katepsin dapat dilihat dari konsentrasi enzim tersebut. Konsentrasi protein katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Rata-rata konsentrasi protein katepsin kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Jumlah rata-rata protein katepsin ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 9 naik dengan semakin lamanya penyimpanan kemudian turun setelah melalui fase post rigor. Hal ini akan sebanding dengan aktivitas enzim katepsin. Aktivitas enzim katepsin menunjukan aktivitasnya dalam melakukan kerja sebagai enzim proteolitik. Aktivitas enzim katepsin dapat menunjukan peranan enzim 45 katepsin dalam kemunduran mutu ikan. Berikut aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 10. Gambar 10. Rata-rata aktivitas enzim katepsin kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S pada Gambar 10, terlihat bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin selama kemunduran mutu. Pada fase pre rigor kulit ikan P dan R memiliki aktivitas enzim katepsin sebesar 0,1250 U/ml sedangkan aktivitas enzim katepsin kulit ikan Q, S memiliki aktivitas sebesar 0,0893 U/ml. Aktivitas enzim tertinggi terdapat pada fase post rigor, yaitu 0,7800 U/ml untuk kulit ikan P, 0,8929 U/ml, untuk kulit ikan Q, 1,1429 U/ml, untuk kulit ikan R serta 1,0357 U/ml untuk ikan S. Aktivitas enzim katepsin berkaitan dengan pH ikan pada kemunduran mutu. Enzim akan bekerja paling baik pada pH yang optimum. Pada penelitian ini aktivitas katepsin paling besar terjadi dari fase post rigor dimana pH kulit ikan 46 bandeng P, Q, R, dan S bernilai 6,02-6,78. Ketika ikan mati, pH ikan akan turun dari kisaran netral atau 7 ke kisaran 6,5 atau lebih rendah kemudian naik lagi. Kisaran pH 6,5-7 merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim katepsin, terutama katepsin B dan L (Jiang 2000 diacu dalam Cheret et al. 2007). Katepsin pada ikan merupakan enzim yang berperan dalam kemunduran mutu dari ikan dengan mengautolisis protein pada jaringan tubuh ikan. Pada lisosom sel ikan, diketahui terdapat 13 jenis enzim katepsin dan jenis katepsin B, D, H, dan L merupakan jenis enzim katepsin terbanyak pada ikan. Enzim katepsin mendegradasi struktur protein miofibril pada ikan. Enzim Katepsin juga diketahui mampu mendegradasi jaringan ikat dan protein kolagen pada ikan (Hagen et al. 2008). Kulit merupakan bagian yang banyak mengandung jaringan ikat dan protein kolagen (Porter dan Bonnevine 1973). Saat awal kemunduran mutu ikan, katepsin akan lepas dari lisosom sel dan dibantu dengan penurunan pH menjadi antara 6,5-7 (pH optimum katepsin B dan L) akan mendegradasi protein tubuh ikan (Cheret et al. 2007). Pada penelitian ini, enzim memiliki aktivitas tertinggi pada fase post rigor dimana nilai pH 6,02-6,78. Nilai pH ini masuk ke dalam nilai pH optimum untuk jenis enzim katepsin B dan L, yaitu 6,5-7. Katepsin B merupakan jenis katepsin yang berperan dalam pelunakan jaringan pada ikan. Enzim katepsin B melepaskan ikatan tri- dan dipeptida dari peptida protein ikan. Katepsin B juga mendegradasi miosin rantai panjang serta menghidrolisis secara parsial aktin dan degradasi troponin-I dan troponin-T pada ikan. Pada beberapa penelitian katepsin B juga berperan dalam pendegradasian jaringan ikat dan protein kolagen. (Hagen et al. 2008). Aktivitas enzim katepsin pada penelitian ini berbeda pada tiap fase kemunduran mutu selama penyimpanan (ANOVA; α=0,05) (Lampiran 8). Hal ini disebabkan karena nilai pH pada tiap fase kemunduran mutu berbeda sehingga aktivitas katepsin akan berbeda pula. aktivitas dari enzim katepsin. nilai pada pH pH pada ikan. yang Nilai pH akan berpengaruh terhadap Aktivitas enzim katepsin berhubungan dengan Aktivitas sesuai untuk enzim katepsin aktivitas akan maksimal enzim katepsin (Sovik dan Rustad 2006; Synnes et al. 2005; Hultmann dan Rustad 2004). 47 4.2.6 Konsentrasi protein kolagenase dan aktivitas enzim kolagenase Kulit ikan merupakan bagian dari tubuh ikan yang mengandung unsur utama berupa protein kolagen. Protein kolagen merupakan protein yang menjadi unsur utama pada kulit, tulang, tendon dan jaringan ikat pada hewan (Morimura et al. 2002, Nagai dan Suzuki 2000 dalam Huo dan Zhang 2009). Protein kolagen mengalami degradasi ketika terjadi kemunduran mutu pada ikan. Kehilangan protein kolagen pada ikan akan mengurangi nilai gizi pada ikan karena kolagen merupakan bahan yang penting untuk dimanfaatkan pada industri pangan. Selain itu, protein kolagen juga digunakan untuk industri farmasi dan kosmetik. Degradasi protein kolagen saat kemunduran mutu ikan disebabkan oleh enzim proteolisis, yaitu enzim kolagenase. Enzim kolagenase merupakan enzim dari famili metaloprotease peptidase yang bekerja pada substrat kolagen. Pengaturan dari enzim kolagenase merupakan proses yang kompleks namun enzim kolagease disintesis dan disekresikan pada jaringan ikat (Hagen et al. 2008). Keberadaan jumlah kolagenase berhubungan dengan konsentrasi enzim serta aktivitasnya. Jumlah atau konsentrasi protein kolagenase yang terdapat pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 11. 48 Gambar 11. Rata-rata konsentrasi protein kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Pada Gambar 11, terlihat bahwa jumlah atau konsentrasi protein kolagenase pada ikan bandeng P, Q, R, dan S berbeda-beda selama periode kemunduran mutu. Hal ini berhubungan dengan aktivitas enzim kolagenase yang terjadi. Jumlah protein kolagenase berhubungan dengan aktivitas enzim kolagenase selama periode kemunduran mutu. Berikut aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S selama periode kemunduran mutu pada Gambar 12. Aktivitas enzim kolagenase menunjukkan kecenderungan yang sebanding dengan konsentrasi enzim yang terdapat pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S. Pada jumlah dan suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi atau aktivitas enzim (Lehninger 1993). bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim 49 Gambar 12. Rata-rata Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S Aktivitas enzim kolagenase menunjukkan bahwa aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S berubah seiring dengan kemunduran mutu yang terjadi. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan P, Q, R, dan S pada fase awal ikan mati atau pre rigor adalah berturut-turut, yaitu 0,0125 U/ml; 0,0292 U/ml; 0,0167 U/ml, dan 0,0208 U/ml. Aktivitas enzim kolagenase tertinggi berada pada fase post rigor dimana aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan P, Q, R, dan S berturut-turut, yaitu 0,0708 U/ml; 0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Perubahan akibat autolisis enzim pada ikan akan mencapai aktivitas tertinggi setelah fase rigor mortis (Huss 1995). Enzim kolagenase berperan dalam mendegradasi protein kolagen pada kemunduran mutu ikan. Berdasarkan uji sidik ragam (ANOVA) dengan α=0,05, (Lampiran 9) diketahui bahwa terdapat perbedaan aktivitas enzim kolagenase 50 selama kemunduran mutu pada penyimpanan. Hal serupa juga ditemukan pada ikan cod dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim pada tiap fase kemunduran mutu (Hernandez-hererro et al. 2003). Perbedaan aktivitas enzim kolagenase pada kemunduran mutu ikan berhubungan dengan pH optimum enzim kolagenase (Hagen et al. 2008). 4.3 Hubungan antara Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dengan Parameter Kesegaran Ikan Kemunduran mutu ikan merupakan kombinasi nikrobiologis serta fisik yang terjadi setelah ikan mati. proses biokimia, Kombinasi dari proses-proses tersebut akan menyebabkan kemunduran mutu yang terlihat dari beberapa parameter, seperti nilai sensori/organoleptik, nilai pH, nilai TVB serta nilai TPC ikan. Aktivitas enzim proteolitik, yaitu enzim katepsin dan kolagenase akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase mempengaruhi kombinasi proses biokimia yang menyebabkan kemunduran mutu ikan. Kemunduran mutu yang terjadi disebabkan oleh enzim proteolitik dan terlihat dari kondisi fisik, kimia (nilai pH) serta diikuti oleh pembusukan oleh bakteri (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Hal ini dapat dilihat dengan suatu analisis korelasi linier sederhana dimana hubungan antara aktivitas enzim dengan parameter mutu ikan dapat diketahui. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran dari fase pre rigor hingga fase post rigor pada ikan P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan analisis korelasi linier sederhana, diketahui bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S (r =>0,7) dari fase pre rigor hingga fase post rigor (Gambar 13a dan 13f). Hubungan tersebut adalah aktivitas enzim katepsin dan kolagenase akan semakin meningkat seiring dengan penurunan nilai organoleptik ikan (waktu penyimpanan). Hal ini berkaitan dengan peran enzim katepsin dan kolagenase dalam pelunakan jaringan dan pendegradasian protein pada ikan (Huss 1995). Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivtas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai organoleptik kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13b dan 13g). 51 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase akan semakin meningkat seiring dengan penurunan nilai organoleptik kulit ikan (waktu penyimpanan). Enzim katepsin, terutama katepsin B dan kolagenase berperan dalam pendegradasian protein kolagen yang banyak terdapat pada kulit ikan (Hagen et al. 2008). Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivtas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai pH kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan hubungan yang tidak erat (r <=0,5) (Gambar 13c dan 13h). Penurunan nilai pH dapat memicu lepasnya enzim katepsin dan kolagenase. Perubahan nilai pH setelah fase kemunduran mutu ikan lebih dikarenakan penumpukan asam laktat akibat respirasi anaerob dan aktivitas bakteri yang terjadi (Delbarre-Ladrat et al. 2006). Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai TVB menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13d dan 13i). Perubahan nilai TVB selama kemunduran mutu disebabkan oleh pemecahan protein pada ikan oleh enzim-enzim proteolitik seperti katepsin dan kolagenase (Huss 1995). Analisis korelasi linier sederhana untuk aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan nilai TPC kulit ikan bandeng P, Q, R dan S menunjukkan hubungan yang sangat erat (r =>0,7) (Gambar 13e dan 13j). Hal ini dikarenakan aktivitas enzim proteolitik akan mendegradasi protein yang merupakan substrat yang baik untuk bakteri yang menghasilkan basa-basa volatil terakumulasi (Karungi et al. 2003). 5 0 0 1 2 Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng Nilai Organoleptik Ikan Bandeng y = ‐3.642x + 9.033 R² = 0.803 r = 0.9 10 5 0 0 0.5 1 1.5 Nilai TVB mg N/100 g Nilai pH y = 0.088x + 6.520 R² = 0.010 r = 0.1 40 y = 23.18x + 4.107 R² = 0.972 r = 0.9 20 0 0 Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) 0.5 0 0.5 y = 3.437x + 3.824 R² = 0.849 r = 0.9 1 1.5 Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Nilai Log TPC (cfu/ml) 5 y = ‐57.23x + 9.758 R² = 0.729 r = 0.9 10 5 0 0 y = ‐51.45x + 9.596 R² = 0.807 r = 0.9 0 0.05 y = 2.546x + 6.453 R² = 0.030 r = 0.2 7.5 7 6.5 6 5.5 0.1 0 y = 337.3x + 0.635 R² = 0.756 r = 0.9 20 0 0 0.05 0.1 Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) (i) 0.1 (h) Nilai Log TPC (cfu/ml) Nilai TVB mg N/100 g 40 0.05 Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) (g) 0.1 (f) Nilai pH Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng (e) 0 0.05 Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) 5 1.5 (d) 10 10 1 Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) (c) 0 2 (b) 7.5 7 6.5 6 5.5 0 1 Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml) (a) 52 y = ‐2.941x + 8.789 R² = 0.718 r = 0.8 10 10 5 y = 50.69x + 3.281 R² = 0.678 r = 0.8 0 0 0.05 0.1 Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml) (j) Gambar 13. Korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase fase pre rigor hingga post rigor ikan dan kulit ikan P, Q, R, dan S; aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik ikan bandeng; (b) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (c) pH; (d) TVB; (e) TPC; aktivitas kolagenase dengan (f) nilai organoleptik ikan bandeng; (g) nilai organoleptik kulit ikan bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC 53 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada fase pre rigor hingga post rigor memiliki hubungan yang sangat erat secara linier dengan parameter kesegaran ikan kecuali pada nilai pH. Koefisien linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dari fase pre rigor hingga post rigor dapat dilihat pada Tabel 7. Hubungan tersebut menjadi berkurang keeratannya ketika memasuki fase busuk. Hal ini dapat dilihat pada koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk yang disajikan secara lengkap pada Tabel 8. Tabel 7. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari fase pre rigor hingga post rigor Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Katepsin 0,9 Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Kolagenase 0,9 Nilai organoleptik kulit 0,8 0,9 Nilai pH kulit 0,1 0,2 Nilai TVB kulit 0,9 0,8 Nilai TPC kulit 0,9 0,9 Parameter Kesegaran Ikan Nilai organoleptik ikan bandeng Tabel 8. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan P, Q, R, dan S dari fase pre rigor hingga busuk Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Katepsin 0,7 Koefisien Korelasi Aktivitas Enzim Kolagenase 0,7 Nilai organoleptik kulit 0,6 0,7 Nilai pH kulit 0,3 0,3 Nilai TVB kulit 0,6 0,6 Nilai TPC kulit 0,8 0,8 Parameter Kesegaran Ikan Nilai organoleptik ikan bandeng Aktivitas korelasi linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter kesegaran ikan berkurang keeratannya ketika memasuki fase busuk pada Tabel 8. Hal ini dikarenakan nilai pH yang semakin 54 naik pada fase busuk. Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik kulit. Hal ini dikarenakan nilai pH optimum enzim kolagenase yang memiliki rentang pH yang lebih besar, yaitu 6,5-8 dimana pada fase busuk pH ikan terus naik (Haard 1994). 4.4 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan Mutu ikan dapat dilihat dari parameter kesegaran ikan. Parameter kesegaran ikan tersebut berupa parameter yang diukur secara subyektif (organoleptik) maupun obyektif (pH, TVB, TPC). Parameter-parameter tersebut memiliki keterkaitan selama proses kemunduran mutu ikan bandeng. Perubahan pasca kematian ikan (postmortem) terjadi setelah ikan mati dan aliran darah terhenti. Hasil dari terhentinya peredaran darah adalah serangkaian reaksi yang sangat kompleks dalam otot. Pengaruh yang cepat dari berhentinya peredaran darah dan penghilangan darah dari jaringan otot adalah kurangnya pemasukan oksigen ke dalam jaringan. Akibatnya jaringan tidak mampu membentuk kembali adenosin trifosfat (ATP) sebagai bahan energi sel, karena mekanisme transport elektron dan fosforilasi oksidatif segera terhenti. Hal ini menyebabkan respirasi anaerob yang menyebabkan dihasilkannya asam laktat sehingga pH turun. Setelah pH turun, enzim proteolitik terutama katepsin akan bebas dan aktif dan mendegradasi protein. Pemecahan protein akan memacu pertumbuhan bakteri sehingga ikan akan semakin menunjukkan tanda-tanda kebusukan (Eskin 1990). Berdasarkan hubungan korelasi linier diketahui bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengetahui mutu ikan yang dapat dilihat dari parameter-parameter mutu ikan, yaitu sensori/organoleptik, nilai pH, TVB dan TPC. Hubungan antar parameter kesegaran ikan dan kulit ikan bandeng P, Q, R dan S dapat dilihat pada Gambar 14, 15, 16 dan 17. Enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif setelah ikan mati, namun sistem kerja enzim tidak terkontrol karena organ pengontrol sudah tidak bekerja lagi. Peristiwa aktifnya enzim setelah ikan mati disebut autolisis dan berlangsung setelah fase rigor mortis. Aktivitas enzim akan menyebabkan penurunan mutu ikan akibat pendegradasian jaringan pada ikan (DKP dan JICA 2008). 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan bahwa fase pre rigor ikan bandeng P (tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang) dan Q (dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang) terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19 penyimpanan. Pada ikan bandeng R (tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling) dan S (dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling), fase pre rigor terjadi sesaat setelah ikan mati atau jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu chilling (R dan S). Pola kemunduran mutu kulit ikan bandeng dapat dilihat pada fase pre rigor sampai busuk dari parameter kesegaran ikan, yaitu kisaran nilai sensori/organoleptik 3-9; pH 6,02-7,80; TVB 5,88-57,40 mg N/100 g dan TPC 3,66-7,85 cfu/g. Pengaruh perlakuan kondisi ikan sebelum dipanen P, Q, R, dan S tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada kulit ikan bandeng (ANOVA; α=0,05). Pada fase kemunduran mutu terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase (ANOVA; α=0,05) dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada tiap fase kemunduran mutu. Aktivitas enzim katepsin tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R dan S pada fase post rigor adalah 0,7800 U/ml; 0,8929 U/ml; 1,1429 U/ml, dan 1,0357 U/ml. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan P, Q, R, dan S pada fase post rigor, yaitu 0,0708 U/ml; 0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Hubungan korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan erat dengan parameter kesegaran ikan, yaitu sensori/organoleptik, TVB dan TPC. 60 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan kurang erat dengan nilai pH. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase menjadi kurang erat ketika memasuki fase busuk. Hal ini disebabkan karena enzim katepsin dan kolagenase memiliki pH optimum hanya pada fase post rigor kulit ikan P, Q, R, dan S, yaitu 6,55-6,78. 5.2 Saran Berdasarkan penelitian ini, maka disarankan pemanfaatan ikan bandeng baik untuk bahan pangan maupun bahan baku industri tidak melewati fase busuk, yaitu setelah 19 jam penyimpanan suhu ruang dan 23 hari penyimpanan suhu chilling. Pemanfaatan kulit ikan bandeng sebagai sumber enzim katepsin dan kolagenase dapat dilakukan dengan mengekstraksinya pada saat fase post rigor dimana konsentrasi protein dan aktivitas enzim tertinggi. 0.04 0.03 0.02 6 6 4 4 2 2 0.01 0.00 0 0 8 8 6 6 4 4 2 2 0 0 0 5 10 15 50 40 30 20 10 0 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml) 0.05 8 Rata-rata Nilai pH 0.06 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g) 0.07 10 Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng 8 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng 10 Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml) 0.08 0.0 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng Rata-rata Nilai pH Kulit Rata-rata Nilai TVB Kulit Rata-rata Nilai TPC Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit Gambar 14. Hubungan antar parameter kesegaran ikan P 55 5 6.8 6.7 6.6 4 0.03 0.02 6.9 6.5 3 6.4 8 8 6 6 4 4 2 2 0 0 0 5 10 15 50 40 30 20 10 0 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml) 0.04 6 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g) 0.05 7.0 10 Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng 0.06 7 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng 0.07 7.1 Rata-rata Nilai pH 0.08 7.2 8 Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml) 0.09 0.0 20 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng Rata-rata Nilai pH Kulit Rata-rata Nilai TVB Kulit Rata-rata Nilai TPC Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit Gambar 15. Hubungan antar parameter kesegaran ikan Q 56 0.00 6 4 6 4 2 2 0 0 8 8 6 6 4 4 2 2 0 0 0 100 200 300 400 500 60 50 40 30 20 10 0 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml) 8 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g) 8 10 Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng 0.02 10 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng 0.04 10 Rata-rata Nilai pH 0.06 Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml) 0.08 0.0 600 Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng Rata-rata Nilai pH Kulit Rata-rata Nilai TVB Kulit Rata-rata Nilai TPC Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit Gambar 16. Hubungan antar parameter kesegaran ikan R 57 0.00 4 4 2 2 0 0 8 8 6 6 4 4 2 2 0 0 0 100 200 300 400 500 60 50 40 30 20 10 0 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 Rata-rata Aktivitas Katepsin (U/ ml) 6 10 Rata-rata Nilai TVB (mg N/ 100 g) 6 10 Rata-rata Organoleptik Kulit Ikan Bandeng 0.02 8 Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng 0.04 8 Rata-rata Nilai pH 0.06 10 Rata-rata Nilai log TPC (cfu/ ml) Rata-rata Aktivitas Kolagenase (U/ ml) 0.08 0.0 600 Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam) Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Rata-rata Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng Rata-rata Nilai pH Kulit Rata-rata Nilai TVB Kulit Rata-rata Nilai TPC Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin Kulit Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase Kulit Gambar 17. Hubungan antar parameter kesegaran ikan S 58 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan bahwa fase pre rigor ikan bandeng P (tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang) dan Q (dipuasakan dan disimpan pada suhu ruang) terjadi sesaat setelah ikan mati atau pada jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor jam ke-15, serta busuk pada jam ke-19 penyimpanan. Pada ikan bandeng R (tidak dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling) dan S (dipuasakan dan disimpan pada suhu chilling), fase pre rigor terjadi sesaat setelah ikan mati atau jam ke-0 penyimpanan, rigor mortis terjadi pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor jam ke-300, serta busuk pada jam ke-540 (23 hari) penyimpanan. Kemunduran mutu pada ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) terjadi lebih cepat dibanding dengan ikan yang disimpan pada suhu chilling (R dan S). Pola kemunduran mutu kulit ikan bandeng dapat dilihat pada fase pre rigor sampai busuk dari parameter kesegaran ikan, yaitu kisaran nilai sensori/organoleptik 3-9; pH 6,02-7,80; TVB 5,88-57,40 mg N/100 g dan TPC 3,66-7,85 cfu/g. Pengaruh perlakuan kondisi ikan sebelum dipanen P, Q, R, dan S tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada kulit ikan bandeng (ANOVA; α=0,05). Pada fase kemunduran mutu terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase (ANOVA; α=0,05) dimana terdapat perbedaan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada tiap fase kemunduran mutu. Aktivitas enzim katepsin tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim katepsin pada kulit ikan bandeng P, Q, R dan S pada fase post rigor adalah 0,7800 U/ml; 0,8929 U/ml; 1,1429 U/ml, dan 1,0357 U/ml. Aktivitas enzim kolagenase pada kulit ikan bandeng P, Q, R, dan S tertinggi terdapat pada fase post rigor. Aktivitas enzim kolagenase kulit ikan P, Q, R, dan S pada fase post rigor, yaitu 0,0708 U/ml; 0,0792 U/ml; 0,0667 U/ml, dan 0,0750 U/ml. Hubungan korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan erat dengan parameter kesegaran ikan, yaitu sensori/organoleptik, TVB dan TPC. 60 Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase berhubungan kurang erat dengan nilai pH. Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase menjadi kurang erat ketika memasuki fase busuk. Hal ini disebabkan karena enzim katepsin dan kolagenase memiliki pH optimum hanya pada fase post rigor kulit ikan P, Q, R, dan S, yaitu 6,55-6,78. 5.2 Saran Berdasarkan penelitian ini, maka disarankan pemanfaatan ikan bandeng baik untuk bahan pangan maupun bahan baku industri tidak melewati fase busuk, yaitu setelah 19 jam penyimpanan suhu ruang dan 23 hari penyimpanan suhu chilling. Pemanfaatan kulit ikan bandeng sebagai sumber enzim katepsin dan kolagenase dapat dilakukan dengan mengekstraksinya pada saat fase post rigor dimana konsentrasi protein dan aktivitas enzim tertinggi. DAFTAR PUSTAKA Adawyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Anonim. 2008. Depperin Usulkan Tarif Baru Pajak Ekspor Kulit Mentah. http://www.pajak.go.id/index.php?option: depperin-usulkan-tarif-barupajak ekspor-kulit-mentah&catid=87:Berita%20Perpajakan&Itemid=1404. [30 Juli 2010]. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitation of microgram quantities of protein utillization the principles of protein dye binding. Analytical Biochemistry 56 (7): 248-254. [BSN]a Badan Standarisasi Nasional. 2006. Ikan segar - Bagian 1: Spesifikasi. Standar Nasional Indonesia 01-2729.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Indonesia. [BSN]b Badan Standardisasi Nasional. 2006. Petunjuk Organoleptik Ikan Segar. Standar Nasional Indonesia 01-2346-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Campbell MK, Farrell SO. 2007. Biochemistry 6th ed..Florence: Cengage Learning. Cheret R, Delbarre-Ladrat C, Lamballerie-Anton M, Verrez-Bagnis V. 2007. Calpain and cathepsin activities in post mortem fish and meat muscles. Journal of Food Chemistry 101: 1474-1479. Delbarre-Ladrat C, Cheret R, Taylor R, Verrez-Bagnis V. 2006. Trends in postmortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization of the myofibrillar structure. Critical Reviews In Food Science and Nutrition 46 (5): 409-421. Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio. Roum Biotechnology 7: 753-758. DKP dan JICA. 2008. Bantuan Teknis untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia (Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan). Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 62 Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diego: Academic Press. Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G, editor. Didalam: Fish as Food Vol IV. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI Institut Pertanian Bogor. Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan. Bandung: PT Rineka Cipta. Gimenez B, Gomez-Guillen MC, Montero P. 2005. Storage of dried fish skins on quality characteristics of extracted gelatin. Food Hydrocolloids 19: 958–963. Haard NF. 1994. Protein Hydrolysis in seafoods. Shahidi F, Editor. Didalam: Seafoods: Chemistry, Processing Technology. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Hagen O, Solberg C, Johnston IA. 2008. Activity of aspargate (cathepsin D), Cysteine proteases (cathepsins B, B + L, and H), and matrix metallopeptidase (collagenase) and their Influence on protein and water-holding capacity of muscle in commercially farmed atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus L.). Journal of Agricultural Food Chemistry 56: 5953–5959. Hernandez-herrero MM, Duflos G, Malle P, Bouquelet S. 2003. Collagenase activity and protein hydrolysis as related to spoilage of iced cod (Gadus morhua). Food Research International 36: 141-147. Hultmann L, Rustad T. 2004. Iced storage of Atlantic salmon (Salmo salar) – effects on endogenous enzymes and their impact on muscle proteins and texture. Food Chemistry 87: 31–41. Huo J, Zhang Z. 2009. Study on enzymatic hydrolysis of Gadus morrhua skin collagen and molecular weight distribution of hydrolysates. Agricultural Sciences in China 8 (6): 723-729. Huss HH. 1995. Fisheries Technical Paper: Quality and quality changes in fresh fish. Roma: FAO. Irianto E, Soesilo I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Jakarta: Badan Riset Perikanan dan Kelautan. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. 63 Karungi C, Byaruhanga YB, Muyonga JH. 2003. Effect of pre-icing duration on quality deterioration of iced nile perch (Lates niloticus). Journal of Food Chemistry 85 (6): 13-17. Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan. 2009. Perikanan dalam Angka. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Kim SK, Park PJ, Kim JB, Shahidi F. 2002. Purification and characterization of the collagenase from the tissue of filefish, Novoden modestrus. Journal of Biochemistry and Molecular Biology 35 (2): 165-171. Koehler HW. 1990. Do discus pairs really form secretion?. 1990. NADS, 4 (2) Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: The Foundation of Biochemistry. Mangunwidjaja B, Sailah I. 2005. Pengantar Agroindustri. Jakarta: Penebar Swadaya. Medina I, Gallardo JM, Santiago PA. 2009. Quality preservation in chilled and frozen fish products by employment of slurry ice and natural antioxidants. International Journal of Food Science and Technology 2009 44: 1467–1479. Morkore T, Pablo I, Mazo T, Tahirovic V, Einen O. 2008. Impact of starvation and handling stress on rigor development and quality of Atlantic salmon (Salmon salar L). Aquaculture 277: 231–238. Mulyono HAM, 2001. Kamus Kimia. Bandung: Genesindo. Nelson JS. 1984. Fishes of The World, 3rd Edition. New York: Wiley. Ozogul F, Ozyurt G, Kuley E, Ozkutuk S. 2009. Sensory, microbiological and chemical assessment of the freshness of red mullet (Mullus barbatus) and goldband goatfish (Upeneus moluccensis) during storage in ice. Food Chemistry 114: 505–510. Ozogul YA, Ozogul F, Kuley E, Ozkutuka AS, Gokbulut C, Kose S. 2006. Biochemical, sensory and microbiological attributes of wild turbot (Scophthalmus maximus), from the Black Sea, during chilled storage. Food Chemistry 99: 752–758. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Poli BM, Parisi G, Scappini F, Zampacavallo G. 2005. Fish welfare and quality as affected by pre-slaughter and slaughter management. Aquaculture International 13: 29–49. 64 Porter RP, Bonnevine MA. 1973. Fine Structure of Cells and Tissue 4th ed.. Philadelphia: Lea and Febiger Robb D. 2002. The Killing Quality: Impact of slaughter procedures on Fish Flesh. Alasalvar C dan Taylor T, editor. Didalam: Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. New York: Springer. Saparinto C. 2009. Bandeng Cabut Duri dan Cara Pengolahannya. Semarang: Dahara Prize. Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: IPB Press. Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafood : Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Shahidi F dan Kamil JYVA. 2001. Enzymes from fish and aquatic invertebrates and their application in the food industry. Trends in Food Science & Technology 12: 435–464. Snedecor GW dan Cochran WG. 1967. Statistical Methods. New Delhi: Oxford and IBH Publishing. Sovik SL, Rustad T. 2006. Effect of season and fishing ground on the activity of cathepsin B and collagenase in by-products from cod species. LWT, 39: 43–53. Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Terjemahan dari: The Principle and Procedure of Statistic. A Biometrics Approach. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Synnes M, Stoknes IS, Per M, Walde. 2005. Proteolytic activity in cod (Gadus morhua) muscle during salt curing. Food Research International 38: 693–699. Yasmin L, Kamal M, Azimuddin KM, Khan MNA, Islam MN. 2001. Studies on post-mortem changes in genetically improved farmed Tilapia (Oreochromis niloticus) during ice storage. Pakistan Journal of Biological Science 4 (9): 1144-1148. Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 65 Lampiran 1. Dokumentasi penelitian a. Tambak tempat pengambilan sampel b. Pengambilan sampel ikan bandeng c. Pemasukan ikan bandeng dalam wadah d. Transportasi ikan bandeng e. Penyimpanan suhu ruang f. Penyimpanan suhu chilling 66 g. Ikan bandeng kondisi pre rigor h. Ikan bandeng kondisi rigor mortis i. Ikan bandeng kondisi post rigor j. Ikan bandeng kondisi busuk k. l. Preparasi ikan bandeng Uji organoleptik 67 m. Uji pH dan TVB n. Uji TPC o. Uji aktivitas katepsin p. Larutan hasil reaksi uji aktivitas katepsin q. Uji aktivitas kolagenase r. Larutan hasil reaksi uji aktivitas kolagenase 68 Lampiran 2. Kerangka penelitian secara keseluruhan Ikan Bandeng (di tambak) Dipuasakan Tidak dipuasakan Pemanenan Ikan dimatikan (ditusuk bagian medula oblongata) Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu chilling Pengamatan (Penelitian pendahuluan) Setiap 1 jam untuk penyimpanan suhu ruang Setiap 12 jam untuk penyimpaan suhu chilling Uji Organoleptik, pH, TVB, TPC, ekstraksi enzim katepsin dan kolagenase Assay aktivitas enzim katepsin dan kolagenase Pengukuran konsentrasi enzim 69 Lampiran 3. Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI-10-2346-2006) Lembar Penilaian Organoleptik Ikan Segar Tanggal : ……………………..................... Nama Panelis : …………………………….. • Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. • Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi Nilai Kode contoh 1 A. 1. - Kenampakan Mata Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih. Cerah, bola mata rata, kornea jernih. Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh. - Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh. - Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 2. Insang - Warna merah cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir. - Warna merah agak kusam, tanpa lendir. - Merah agak kusam, sedikit lendir. - Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir. - Warna merah coklat, lendir tebal. - Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal. 3. Lendir permukaan badan - Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. - Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. - Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. - Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh. - Lendir tebal menggumpal, warna putih 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 1 9 8 7 6 5 3 2 3 4 5 70 kuning. Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan 4. Daging (warna dan kenampakan) - Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. - Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidaka ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. - Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. - Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak. II. Bau - Bau sangat segar, spesifikasi jenis. - Segar, spesifik jenis. - Netral. - Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. - Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. - Bau busuk jelas. III. Tekstur - Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. - Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. - Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang. - 1 9 8 7 5 3 1 9 8 7 5 3 1 9 8 7 5 3 71 - Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. 1 72 Lampiran 4. Kurva standar penentuan konsentrasi protein enzim 1. Penentuan Konsentrasi Protein Katepsin (a) Standar BSA Konsentrasi 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125 0.15 0.175 0.2 0.225 0.25 Absorbansi 0.011 0.035 0.0421 0.063 0.075 0.089 0.093 0.097 0.145 0.153 Absorbansi (b) Kurva standar BSA 0.18 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 y = 0.588x ‐ 0.000 R² = 0.957 0 0.05 0.1 0.15 Konsentrasi 0.2 0.25 0.3 73 2. Penentuan Konsentrasi Protein Kolagenase (a) Standar BSA Konsentrasi 0.025 0.05 0.075 0.1 0.125 0.15 0.175 0.2 0.225 0.25 Absorbansi 0.0211 0.043 0.063 0.078 0.085 0.089 0.097 0.103 0.109 0.115 (b) Kurva standar BSA 0.14 0.12 y = 0.380x + 0.028 R² = 0.917 Absorbansi 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0 0.05 0.1 0.15 Konsentrasi 0.2 0.25 0.3 74 Lampiran 5. Uji ragam (ANOVA) nilai pH Between-Subjects Factors Value Label Perlakuan 1 N Ruang Tidak 4 Dipuasakan 2 Ruang 4 Dipuasakan 3 Chilling Tidak 4 Dipuasakan 4 Chilling 4 Dipuasakan Kelompok_kemunduran_ 1 Pre rigor 4 Mutu 2 Rigor 4 3 Post Rigor 4 4 Busuk 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Nilai_pH Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. a 7 103.064 973.520 .000 .371 3 .124 1.169 .374 1.630 3 .543 5.132 .024 Error .953 9 .106 Total 722.401 16 Model Perlakuan Kelompok_kemunduran_ Mutu 721.448 a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) 75 Nilai_pH Duncan Kelompok_ Subset kemunduran _Mutu N 1 2 Rigor 4 6.2400 Post Rigor 4 6.6800 6.6800 Pre rigor 4 6.7650 6.7650 Busuk 4 Sig. 7.1375 .057 The error term is Mean Square(Error) = .106. .089 76 Lampiran 6. Uji ragam (ANOVA) nilai TVB Between-Subjects Factors Value Label Perlakuan 1 N Ruang Tidak 4 Dipuasakan 2 Ruang 4 Dipuasakan 3 Chilling Tidak 4 Dipuasakan 4 Chilling 4 Dipuasakan Kelompok_Kemunduran_ 1 Pre Rigor 4 Mutu 2 Rigor 4 3 Post Rigor 4 4 Busuk 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Nilai_TVB Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. a 7 2062.394 168.443 .000 120.826 3 40.275 3.289 .072 4960.208 3 1653.403 135.039 .000 Error 110.195 9 12.244 Total 14546.954 16 Model Perlakuan Kelompok_Kemunduran_ Mutu 14436.759 a. R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .987) 77 Nilai_TVB Duncan Kelompok_K Subset emunduran_ Mutu N 1 Pre Rigor 4 Rigor 4 Post Rigor 4 Busuk 4 Sig. 2 3 4 6.0750 12.4600 26.2500 51.9400 1.000 1.000 The error term is Mean Square(Error) = 12.244. 1.000 1.000 78 Lampiran 7. Uji ragam (ANOVA) nilai TPC Between-Subjects Factors Value Label Perlakuan 1 N Ruang Tidak 4 Dipuasakan 2 Ruang 4 Dipuasakan 3 Chilling Tidak 4 Dipuasakan 4 Chilling 4 Dipuasakan Kelompok_kemunduran_ 1 Pre rigor 4 Mutu 2 Rigor 4 3 Post Rigor 4 4 Busuk 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Nilai_TPC Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. a 7 87.545 601.341 .000 1.686 3 .562 3.859 .050 36.570 3 12.190 83.732 .000 Error 1.310 9 .146 Total 614.127 16 Model Perlakuan Kelompok_kemunduran_Mut u 612.816 a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996) 79 Nilai_TPC Duncan Kelompok_ke Subset munduran_M utu N 1 Pre rigor 4 Rigor 4 Post Rigor 4 Busuk 4 Sig. 2 3 4 3.7525 5.5200 7.0150 7.6825 1.000 1.000 1.000 1.000 The error term is Mean Square(Error) = .146. 80 Lampiran 8. Uji ragam (ANOVA) aktivitas enzim katepsin Between-Subjects Factors Value Label Perlakuan 1 N Ruang Tidak 4 Dipuasakan 2 Ruang 4 Dipuasakan 3 Chilling Tidak 4 Dipuasakan 4 Chilling 4 Dipuasakan Kelompok_kemunduran_ 1 Pre rigor 4 Mutu 2 Rigor 4 3 Post Rigor 4 4 Busuk 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Aktivitas_Katepsin Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. a 7 .884 40.106 .000 .254 3 .085 3.833 .051 1.689 3 .563 25.532 .000 Error .198 9 .022 Total 6.389 16 Model Perlakuan Kelompok_kemunduran_ Mutu 6.191 a. R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .945) 81 Aktivitas_Katepsin Duncan Kelompok_ke Subset munduran_M utu N 1 2 Pre rigor 4 .1072 Rigor 4 .3304 Busuk 4 Post Rigor 4 Sig. 3 .6607 .9629 .062 1.000 1.000 The error term is Mean Square(Error) = .022. 82 Lampiran 9. Uji Ragam (ANOVA) aktivitas enzim kolagenase Between-Subjects Factors Value Label Perlakuan 1 N Ruang Tidak 4 Dipuasakan 2 Ruang 4 Dipuasakan 3 Chilling Tidak 4 Dipuasakan 4 Chilling 4 Dipuasakan Kelompok_kemunduran_ 1 Pre rigor 4 Mutu 2 Rigor 4 3 Post Rigor 4 4 Busuk 4 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Aktivitas_Kolagenase Type III Sum of Source Squares df Mean Square F Sig. a 7 .006 284.227 .000 .000 3 6.919E-5 3.345 .070 .007 3 .002 108.645 .000 Error .000 9 2.069E-5 Total .041 16 Model Perlakuan Kelompok_kemunduran_ Mutu .041 a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .992) 83 Aktivitas_Kolagenase Duncan Kelompok_ke Subset munduran_M utu N 1 Pre rigor 4 Rigor 4 Busuk 4 Post Rigor 4 Sig. 2 3 4 .0198 .0344 .0578 .0729 1.000 1.000 1.000 1.000 The error term is Mean Square(Error) = 2.07E-005. Lampiran 10. Data hasil pengujian pH, TVB, TPC, Assay aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, pengukuran konsentrasi protein katepsin dan kolagenase kulit Ikan Bandeng P, Q, R, dan S Pre Rigor Rigor Mortis Post Rigor Busuk Perlakuan Organoleptik Bandeng Organoleptik Kulit pH TVB Log TPC Konsentrasi (mg N/100 g) (cfu/g) Protein Katepsin (mg/ml) 5.88 3.66 0.1925 Aktivitas Katepsin (U/ml) 0.1250 Konsentrasi Protein Aktivitas Kolagenase (mg/ml) Kolagenase (U/ml) 0.3289 0.0125 P 9 8 6.42 Q 9 9 7.11 6.27 3.72 0.2021 0.0893 0.3039 0.0292 R 9 9 6.42 5.88 3.82 0.2473 0.1250 0.3113 0.0167 S 9 9 7.11 6.27 3.81 0.2269 0.0893 0.3171 0.0208 P 8 7 6.02 10.08 4.68 0.3453 0.1964 0.5158 0.0375 Q 8 8 6.46 9.80 4.95 0.4064 0.2500 0.5355 0.0417 R 6 8 6.02 11.20 6.42 0.3230 0.3036 0.5408 0.0292 S 8 8 6.46 18.76 6.03 0.4270 0.5714 0.5632 0.0292 P 6 5 6.61 24.64 6.61 0.6510 0.7800 0.8250 0.0708 Q 6 6 6.78 22.12 6.84 0.4606 0.8929 0.7171 0.0792 R 5 6 6.55 32.20 7.72 0.5925 1.1429 0.7474 0.0667 S 5 6 6.78 26.04 6.89 0.4600 1.0357 0.7860 0.075 P 3 3 6.79 47.60 7.70 0.5454 0.2500 0.3526 0.0583 Q 3 3 7.02 45.36 7.34 0.3730 0.5893 0.4373 0.0563 R 3 3 7.80 57.40 7.85 0.3870 0.9286 0.4132 0.0542 S 3 3 6.94 57.40 7.84 0.3585 0.8750 0.3329 0.0625 84