Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia Pengembangan Alur Belajar Pecahan Berbasis Realistic Mathematics Education 1* Ahmad Fauzan dan 1Oci Yulina Sari 1 Program Studi S2 Pendidikan Matematika PPs UNP. *Corresponding Author: [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan alur belajar (learning trajectory) dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yang valid, praktis, dan efektif untuk pembelajaran topik Pecahan di kelas IV sekolah dasar (SD). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian disain (design research), yang dicirikan oleh suatu proses siklis dari preparing for the experiment, conducting the experiment, dan retrospective analysis. Penelitian ini difokuskan untuk merancang alur belajar, memvalidasinya, dan kemudian mengujicobakannya secara one-to-one dan pada kelompok kecil. Alur belajar yang telah direvisi selanjutnya diimplementasikan di kelas. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi, wawancara, daftar cheklist, video taping, analisis hasil kerja siswa, dan tes. Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Dari penelitian yang telah dilaksanakan, dihasilkan alur belajar Pecahan untuk Kelas IV SD yang valid dari segi state of the art RME, isi, dan konstruksi. Dalam implementasinya, alur belajar yang dirancang dapat bekerja sesuai dengan yang dihipotesiskan, sehingga siswa dapat menemukan kembali konsep-konsep dalam topik Pecahan melalui prosesproses horizontal dan vertikal matematisasi. Alur belajar yang dihasilkan juga efektif dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Kata kunci: alur belajar, RME, kemampuan penalaran matematis Pendahuluan Dewasa ini metode mengajar chalk and talk masih mendominasi pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD). Akibatnya, sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika yang mereka pelajari, karena apa yang dipelajari bersifat abstrak dan tidak terkait dengan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam memilih dan menerapkan pendekatan mengajar yang mampu menarik minat siswa untuk belajar matematika. Di samping itu, buku teks yang tersedia pada umumnya juga mendorong guru untuk mengajar matematika secara mekanistik dan algoritmik (Fauzan, 2002, 2015; Fauzan, Plomp & Gravemeijer, 2013). Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan dalam pendidikan matematika yang potensial untuk mengatasi permasalahan yang di kemukakan di atas. Dalam RME siswa akan mempelajari konsep-konsep matematika berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Selain itu, siswa juga akan mempunyai banyak kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika di bawah bimbingan guru, sehingga pemahaman mereka terhadap konsep-konsep matematika yang dipelajari akan lebih mantap dan bermakna (Gravemeijer, 1994, 1997; Streefland, 1991; Treffers, 1987). B55 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia Pendekatan RME potensial untuk digunakan karena kurang berhasilnya penerapan Matematika Moderen atau New Math di Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari empat dekade. Indikator ketidakberhasilan dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti: hasil belajar matematika siswa pada umumnya rendah, proses pembelajaran matematika secara umum dilaksanakan secara mekanistik dan konvensional, serta banyak guru yang tidak menguasai konsep matematika yang diajarkan (lihat Fauzan, Slettenhaar & Plomp, 2002, 2002a; Marsigit, 2000; Soedjadi, 2000; Somerset, 1997). Penafsiran yang kurang tepat tentang matematika moderen, terutama oleh pengembang kurikulum dan guru, mengakibatkan proses pembelajaran matematika di kelas berlangsung secara sangat mekanistik. Pada pembelajaran yang mekanistik, proses pembelajaran dimulai dengan guru menerangkan algoritma disertai beberapa contoh, kemudian siswa mengerjakan latihan sesuai dengan contoh yang diberikan guru. Siswa hampir tidak pernah diberi kesempatan oleh guru untuk memahami rasional dibalik algoritma-algoritma yang diajarkan kepada mereka. Guru lebih cenderung untuk meminta siswa mengingat “caracara” yang mereka ajarkan dalam memecahkan soal daripada menstimulasi mereka untuk mengkonstruksi pengetahuan. Akibatnya pengetahuan yang diperoleh siswa kurang bermakna dan cepat terlupakan (lihat Fauzan, 2002, 2013). Sampai sejauh ini upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan matematika belum membuahkan hasil yang optimal. Kurikulum dan buku-buku teks matematika masih belum memberi kesempatan yang cukup kepada siswa untuk belajar matematika, melainkan untuk mengingat matematika. Sementara itu, guru tidak ingin pindah dari metode konvensional, dan siswa cenderung membenci pelajaran matematika (Marpaung, 2001). Melalui penelitian ini dikembangkan alur belajar (learning trajectory) untuk topik pecahan di kelas IV sekolah dasar (SD). Alur belajar ini dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa menemukan konsep formal melalui pemberian soal-soal kontekstual dan proses horizontal dan vertikal matematisasi. Selama proses, siswa akan terlibat aktif secara fisik dan mental dalam belajar matematika dengan melakukan aktivitas doing mathematics. Adapun rumusan masalah yang dijawab melalui penelitian ini adalah: Bagaimana karakteristik alur belajar berbasis RME untuk topik Pecahan yang valid dan praktis untuk meningktakan kemampuan penalaran siswa kelas IV SD? Produk yang dihasilkan dari penelitian ini adalah LIT (local instructional theory) atau alur belajar berbasis pendekatan RME. Bentuk awal dari produk adalah berupa Hypotetical Learning Trajectory (HLT). Istilah HLT pertama kali dikemukakan oleh Simon (1995), yang menyatakan bahwa hypothetical learning trajectories are defined by researcher-developers as goals for meaningful learning, a set of tasks to accomplish those goals, and a hypothesis about students’ thinking and learning”. Berdasarkan pendapat tersebut tampak bahwa HLT terdiri dari tiga komponen yaitu, tujuan pembelajaran untuk pembelajaran bermakna, sekumpulan tugas untuk mencapai tujuan tersebut, dan hipotesis tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana siswa berfikir. Sebuah HLT akan memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya, guru dapat membuat keputusan-keputusan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran. Guru seharusnya memiliki terlebih dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berfikir yang digunakan anak, level berfikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutuhkan untuk tujuannya tersebut. Semuanya termuat dalam HLT. Informasi-informasi itu dapat diperoleh melalui observasi, pretes, atau penilaian lain. Berdasarkan observasi, penilaian, dan informasi lain yang telah dikumpulkan, guru dapat mengetahui learning trajectory ataupun tingkat berfikir yang dimiliki anak saat itu. Dengan mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam proses pembelajaran kita dapat mengetahui mana yang harus B56 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia didahulukan dalam proses pengembangannya. Learning trajectory memberikan suatu kerangka kerja bagi guru untuk mengembangkan pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik. Selanjutnya, pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik dapat digunakan untuk merencanakan pembelajaran. Sewaktu proses memformulasikan HLT, tujuan belajar (learning goals) dapat diuraikan dalam sub-sub tujuan (subgoals), sedangkan proses belajar disusun berdasarkan data empirik. Jika tujuan belajar dapat dikorelasikan dengan proses belajar akan mempermudah seorang guru dalam menyusun kerangka kerja untuk mendesain pembelajaran dan penilaian. HLT memuat rencana alur pembelajaran yang terdiri dari, (1) cara mengajarkan suatu topik matematika, (2) aktivitas dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual, (3) prediksi jawaban peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual, dan (4) antisipasi teori tentang prediksi jawaban peserta didik (Gravemeijer & Cobb, 2013). Agar lebih operasional maka juga dirancang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja peserta didik (LKPD). Metode Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian disain (design research) yang dikemukakan oleh Gravemeijer and Cobb (2013), yang dicirikan oleh suatu proses siklis dari preparing for the experiment (tahap persiapan), conducting the experiment (tahap pelaksanaan eksperimen), dan the retrospective analysis (analisis retrospektif). Penelitian disain yang dipilih juga tergolong sebagai development studies (Plomp, 2013), karena merupakan suatu kajian sistematis tentang merancang, mengembangkan, dan mengevaluasi intervensi pendidikan sebagai solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik pendidikan. Penelitian disain yang digagas Gravemeijer dan Cobb difokuskan untuk mengembangkan urutan penyajian materi dalam pembelajaran matematika. Untuk melakukannya, dimulai dengan eksperimen pikiran (though experiment), memikirkan rute/lintasan pembelajaran yang akan dilalui oleh peserta didik. Hasil eksperimen pikiran selanjutnya dicobakan di kelas. Dengan melakukan refleksi terhadap hasil eksperimen di kelas, dilakukan though experiment berikutnya. Dalam proses jangka panjang, kedua kegiatan ini dapat dilihat sebagai proses siklik kumulatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Proses Siklis Thought & Classroom Experiment (Sumber: Gravemeijer & Cobb; 2006) Berikut ini dipaparkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tiap fase penelitian disain yang telah dilakukan : B57 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia 1. Preparing for The Experiment (Tahap Persiapan) Tujuan utama dari fase preparing for the experiment adalah merumuskan HLT yang akan disempurnakan selama proses penelitian. Ada dua hal pokok yang dilakukan pada fase ini. Pertama, mengkaji berbagai literatur tentang RME, dan literatur tentang bagaimana cara mengajarkan topik pecahan. Kedua, Merancang HLT (serangkaian aktivitas menyelesaikan soal-soal kontekstual) beserta kelengkapannya. Dalam merancang HLT, pertama ditentukan End Points, yaitu tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui berbagai aktivitas menyelesaikan soal-soal kontekstual dalam pembelajaran topik Pecahan. Tujuan ini digunakan sebagai pemandu aktivitas belajar yang dirancang. Selanjutnya ditentukan Starting Points, yaitu pengetahuan awal atau pengetahuan informal yang sudah dimiliki siswa untuk melakukan berbagai aktivitas menyelesaikan soal-soal kontekstual dalam rangka mencapai tujuantujuan yang ditetapkan. Agar tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai dengan baik, dirancang prediksi tentang proses berpikir siswa dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual, beserta antisipasinya. 2. Conducting the Experiment (Tahap Pelaksanaan) Tujuan utama tahap kedua ini adalah untuk menguji dan meningkatkan dugaan konjektur yang sudah dibuat dalam tahap persiapan dan mengembangkan pemahaman tentang cara kerja desain yang dilakukan (Gravemeijer dan Cobb, 2013). Pada fase ini komponen yang berperan penting adalah HLT. HLT digunakan untuk mengamati proses pembelajaran dan sebagai panduan untuk mengajar dengan memberikan masalah kontekstual. Pada penelitian ini, tahap pembelajaran di kelas dilakukan dalam dua siklus. Siklus pertama bertujuan untuk melihat bagaimana desain dapat bekerja dan mengevaluasi serta memperbaiki siklus berikutnya. Hal ini dilakukan pada kelompok kecil yang terdiri dari enam orang peserta didik. Siklus kedua adalah implementasi HLT yang dilakukan di kelas sesungguhnya. Subyek penelitian yang digunakan pada Siklus I dan Siklus II penelitian terdiri dari sejumlah siswa yang berasal dari 4 SD di Kota Padang. 3. The Retrospective Analysis (Analisis Retrospektif) Tahap ketiga adalah analisis retrospektif. Hal yang dilakukan pada tahap ini adalah mengevaluasi apakah HLT yang sudah direncanakan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Rencana lintasan belajar yang digunakan dalam analisis retrospektif merupakan petunjuk dan acuan pokok dalam menjawab rumusan masalah penelitian. Tujuan utama pada tahap ini adalah untuk memberikan kontribusi pada pengembangan HLT dalam mendukung pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari. Peran HLT dalam tahap ini adalah untuk menjadi pedoman dalam menentukan fokus analisis dalam penelitian. Proses analisis tidak hanya pada faktor-faktor yang mendukung kesuksesan belajar tapi juga pada beberapa dugaan pembelajaran yang tidak mendapat respon dari peserta didik. Penjelasan yang diperoleh digunakan untuk membuat kesimpulan dan menjawab pertanyaan penelitian. Hasil dan Pembahasan Hasil Preparing for The Experiment Berdasarkan hasil-hasil studi literarur tentang RME dan hasil-hasil penelitian tentang alur belajar, maka dihasilkan alur belajar berbasis pendekatang RME, untuk pembelajaran topik Pecahan di kelas IV SD. Alur belajar topik Pecahan untuk kelas IV SD terdiri dari tujuh (7) aktivitas yang diawali dengan menemukan konsep pecahan sebagai bagian dari keseluruhan yang sama besar, dan diakhiri dengan aktivitas menemukan konsep penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Berikut diuraikan tiap-tiap aktivitas dalam HLT beserta rasionalnya. Aktivitas 1: Menemukan konsep pecahan sebagai bagian dari keseluruhan yang sama besar. Tujuan dari aktivitas ini adalah mengenal pecahan sebagai bagian dari keseluruhan suatu bangun atau suatu himpunan yang sama besar serta menyebutkan dan menuliskan pecahan dengan kata-kata dan lambang. Pengetahuan mengenai konsep pecahan sangat diperlukan B58 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia untuk mempelajari operasi pecahan. Dengan kata lain, konsep pecahan merupakan dasar untuk mempelajari materi pecahan selanjutnya. Konsep pecahan dapat dipahami dengan tugas-tugas membagi secara adil. Tugas membagi sering ditemui peserta didik dalam kehidupannya sehari-hari. Tugas-tugas membagi ini dilakukan untuk memperkenalkan istilah tentang bagian-bagian pecahan. Dengan membagi peserta didik dapat menyadari bahwa banyak kertas yang telah dibagi tidak dapat disebut dengan bilangan bulat satu karena banyak kertas sebelumnya adalah satu. Potongan kertas merupakan bagian dari kertas sebelumnya sehingga potongan ini harus ditunjukkan sebagai bagian dari keseluruhan. Peserta didik diberikan masalah kontekstual yang berhubungan dengan pembagian kertas. Permasalahan yang diberikan meminta peserta didik untuk memotong karton menjadi beberapa bagian yang sama besar. Bagian karton diberi nama pecahan. Nama pecahan dari bagian karton menunjukkan bagian dari keseluruhan potongan karton. Dengan memberi nama setiap bagian karton maka akan ditemukan nama pecahan dan simbol pecahannya. Tugas-tugas membagi diperkuat dengan memberi beberapa soal tambahan yang sejenis. Aktivitas 2: menemukan konsep pecahan senilai sabagai kuantitas atau jumlah yang sama. Tujuan dari aktivitas ini adalah menemukan konsep dua pecahan senilai yaitu menyatakan kuantitas atau jumlah yang sama atau bilangan-bilangan yang sama. Konsep pecahan senilai akan membantu siswa menemukan algoritma pecahan senilai. Kegiatan memahami konsep pecahan senilai dapat dilakukan dengan membandingkan potongan-potongan coklat yang besarnya sama pada tiap jenis coklat. Dua jenis coklat yang dibandingkan tentunya juga sama besar. Kuantitas yang sama dapat dilihat dari banyak bagian coklat yang telah dibagi dengan banyak bagian yang berbeda. Peserta didik diminta membandingkan apakah banyak satu dari empat bagian coklat pada gambar sama dengan banyak dua dari delapan bagian coklat pada gambar. Kegiatan membandingkan banyak satu dari empat bagian dengan dua dari delapan bagian merupakan kegiatan membandingkan dua jenis pecahan dengan angka yang berbeda namun bernilai sama. Awalnya peserta didik memperhatikan banyak satu bagian coklat pertama yang seluruhnya terdiri dari empat bagian dan banyak dua bagian coklat kedua yang seluruhnya terdiri dari delapan bagian. Setelah itu, peserta didik menentukan simbol pecahan dari bagian yang dimaksud. Kegiatan dilanjutkan dengan menentukan apakah bagian-bagian coklat yang dibandingkan sama banyak. Peserta didik harus dapat menyimpulkan bahwa satu dari empat bagian coklat pertama sama banyaknya dengan dua dari delapan bagian coklat kedua. Kegiatan ini tentunya menyadarkan peserta didik bahwa dua pecahan dengan angka yang berbeda memiliki besar atau kuantitas yang sama. Aktivitas 3: menemukan algoritma pecahan senilai dengan menggambarkan bagian pecahan. Tujuan dari aktivitas ini adalah menentukan pecahan yang senilai dengan suatu pecahan dengan membagi ulang suatu bagian menjadi bagian-bagian yang berbeda. Aktivitas 3 merupakan proses pengembangan algoritma pecahan senilai. Kegiatan membagi ulang bagian pecahan dengan banyak bagian yang berbeda akan menghasilkan pecahan yang baru. Pecahan yang baru ini akan bernilai sama dengan pecahan sebelumnya karena banyaknya atau kuantitasnya sama. Peserta didik diminta untuk menggambarkan bagian dari pecahan yang telah ditetukan. Pecahan yang ditentukan merupakan beberapa pecahan yang senilai dengan setengah. Kegiatan menggambar bagian pecahan merupakan kegiatan membagi ulang bagian pecahan menjadi bagian-bagian yang berbeda. Dari kegiatan ini, peserta didik menyadari bahwa dengan membagi ulang bagian pecahan menjadi bagian-bagian yang berbeda akan B59 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia ditemukan nama-nama yang berbeda dari pecahan tersebut. Dengan kegiatan ini, dapat diketahui juga bahwa ada banyak bentuk pecahan yang senilai dengan suatu pecahan. Kegiatan dilanjutkan dengan mencari pecahan lain yang senilai dengan setengah. Kegiatan ini dilakukan agar peserta didik dapat mengembangkan pengetahuannya dalam menemukan algoritma pecahan senilai. Dengan mencari pecahan lain, peserta didik akan menentukan strategi mereka sendiri dalam mencari pecahan yang senilai. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah dengan kegiatan membagi ulang seperti yang telah dilakukan peserta didik sebelumnya. Strategi lain yang dapat dilakukan peserta didik adalah dengan menggunakan nilai pecahan yang telah terbukti sama nilainya pada soal sebelumnya. Strategi ini dilakukan dengan mencari suatu bilangan pengali atau pembagi sehingga diperoleh pecahan dengan bilangan yang sama, misalnya . Dengan menggunakan penemuan ini peserta didik dapat mencari pecahan lain yang senilai dengan strategi mengali. Aktivitas pembelajaran kemudian dilanjutkan dengan membuktikan dua pecahan yang senilai. Kegiatan membuktikan dua pecahan senilai dimaksudkan agar peserta didik mencari strategi untuk menentukan dua pecahan senilai. Nilai pecahan yang ditentukan memiliki angka yang besar. Angka yang besar bertujuan untuk menghindari strategi menggambar seperti kegiatan sebelumnya. Dengan memanfaatkan pecahan-pecahan yang telah dinyatakan senilai pada aktivitas sebelumnya, peserta didik dapat menemukan strategi untuk mencari pecahan yang senilai dengan suatu pecahan. Kegiatan membuktikan juga dapat dilakukan dengan mencari pengali atau pembagi dari salah satu pecahan sehingga diperoleh pecahan yang sama. Kegiatan mengalikan atau membagi pecahan dengan bilangan yang sama merupakan algoritma pecahan senilai. Aktivitas 4: Menentukan hasil penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama. Tujuan dari aktivitas ini adalah menentukan hasil penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama. Potongan kue dapat dinyatakan dalam bentuk simbol pecahan. Peserta didik dapat menunjukkan potongan kue berdasarkan simbol pecahan yang diberikan dari soal karena pada aktivitas 1 peserta didik telah mengenal simbol pecahan. Peserta didik yang telah memiliki konsep yang kuat mengenai pecahan akan mampu menentukan hasil penjumlahan dua pecahan yang berpenyebut sama. Peserta didik diberikan beberapa konteks mengenai potongan kue. Menjumlahkan potongan-potongan kue yang dimakan berarti menjumlahkan pembilang dari pecahan yang diberikan. Masalah yang diberikan dibantu dengan gambar yang mendukung. Kegiatan menjumlahkan pecahan dilakukan dengan bantuan gambar yang diberikan. Dengan menghitung jumlah potongan kue, peserta didik dapat menentukan hasil penjumlahan dua pecahan yang berpenyebut sama. Potongan-potongan kue yang dihitung merupakan kegiatan penjumlahan pembilang dari pecahan-pecahan yang diberikan. Berdasarkan hasil penjumlahan, peserta didik dapat melihat dan menyadari bahwa penyebut dari pecahanpecahan yang dijumlahkan tidak dijumlahkan. Dari kegiatan menghitung banyak kue, dapat diketahui juga bahwa keseluruhan potongan kue tidak berubah atau bertambah. Dengan kegiatan ini, peserta didik dapat menemukan bahwa dalam menjumlahkan pecahan berpenyebut sama dilakukan dengan cara menjumlahkan pembilang dari pecahan-pecahan tersebut. Kegiatan penyelesaian soal-soal penjumlahan potongan kue akan membantu siswa dalam menemukan algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut sama. Aktivitas 5: menemukan algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut sama. Tujuan dari aktivitas ini adalah menemukan algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut sama. Jika pada aktivitas sebelumnya peserta didik memanfaatkan gambar, maka pada aktivitas 5 ini peserta didik dibebaskan menggunakan strateginya sendiri. Peserta didik seharusnya dapat memanfaatkan kegiatan sebelumnya untuk mencari hasil penjumlahan pecahan berpenyebut sama. B60 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia Peserta didik diberikan masalah dengan konteks potongan-potongan kertas. Masalah yang diberikan merupakan banyak potongan kertas yang digunakan untuk membuat hiasan. Masalah yang diberikan tidak dibantu dengan gambar. Tanpa bantuan gambar peserta didik dibebaskan untuk menggunakan strategi yang lain untuk menjumlahkan dua pecahan berpenyebut sama. Proses mencari banyak potongan-potongan kertas yang dibuat dalam simbol pecahan dapat mengarahkan peserta didik untuk menentukan algortima penjumlahan pecahan berpenyebut sama. Tanpa dibantu gambar, peserta didik akan memanfaatkan hasil dari aktivitas 4 sebelumnya. Peserta didik akan memperhatikan dan mencari cara menjumlahkan pecahan berdasarkan hasil penjumlahan pecahan pada aktivitas 4. Dari proses memperhatikan ini, peserta didik akan menemukan cara menjumlahkan pecahan. Cara yang ditemukan ini akan digunakan dalam menyelesaikan soal pada aktivitas 5. Cara yang seharusnya ditemukan peserta didik adalah dengan menjumlahkan pembilang dari pecahan-pecahan yang diberikan. Cara menjumlahkan pecahan yang digunakan peserta didik ini adalah algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut sama. Aktivitas 6: menentukan hasil penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak sama. Tujuan aktivitas ini adalah menentukan hasil penjumlahan pecahan yang berpenyebut berbeda dengan menyamakan bagian gambar. Aktivitas ini berkaitan dengan pengetahuan mengenai pecahan sebagai bagian yang sama besar. Suatu pecahan dapat dinyatakan dengan simbol jika bagian-bagiannya sama besar. Dua pecahan dengan penyebut yang berbeda, tentunya memiliki besar bagian berbeda. Pecahan yang bagiannya berbeda, dapat dibagi kembali sehingga membentuk bagian yang sama besar. Bagian pecahan yang telah dibagi kembali menjadi bagian-bagian yang lebih kecil akan merubah nama pecahan itu. Nama pecahan yang baru akan senilai dengan pecahan sebelumnya. Dengan kegiatan menyamakan bagian gambar ini, peserta didik dapat menentukan hasil penjumlahan pecahan dan menemukan algoritma penjumlahan pecahan dengan penyebut yang berbeda. Aktivitas belajar diawali dengan menyelesaikan masalah bagian-bagian yang diwarnai. Pada permasalahan yang diberikan, peserta didik diminta untuk menentukan banyak bagian yang diwarnai. Namun, bagian yang diwarnai tidak sama besarnya. Peserta didik dapat menentukan banyak bagian dengan memanfaatkan gambar yang telah diberikan. Kegiatan menentukan banyak bagian yang diwarnai dilakukan dengan menyamakan besar bagian-bagian yang diwarnai pada gambar. Dengan kegiatan ini, peserta didik dapat menentukan hasil penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Hasil penjumlahan yang diperoleh ini akan digunakan peserta didik untuk mencari algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Proses membagi juga akan menghasilkan pecahan lain yang senilai dengan pecahan sebelumnya. Kegiatan ini akan mengarahkan peserta didik pada penemuan algoritma penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak sama yaitu dengan merubah pecahan-pecahan tersebut sehingga penyebutnya sama. Aktivitas 7: menemukan algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Tujuan dari aktivitas 7 adalah menemukan algoritma penjumlahan pecahan dengan penyebut tidak sama. Konteks yang digunakan adalah banyak potongan kue yang dimakan. Potongan kue yang dimakan umumnya berbeda-beda besar potongannya. Peserta didik dapat menjumlahkan kedua pecahan jika penyebut dari kedua pecahan itu sama. Dua pecahan yang berbeda dapat dirubah sehingga memiliki penyebut yang sama. Kegiatan merubah pecahan berkaitan dengan pecahan senilai. Tanpa bantuan gambar, peserta didik akan berusaha mencari strategi sendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Peserta didik akan memperhatikan hasil aktivitas sebelumnya karena soal yang diberikan sama dengan aktivitas 6 namun tanpa ada bantuan gambar. Dengan memanfaatkan hasil pada aktivitas 6, peserta didik diharapkan menemukan strategi lain untuk menjumlahkan pecahan berpenyebut tidak sama yakni dengan merubah pecahan B61 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia sehingga berpenyebut sama. Strategi ini dapat ditemukan peserta didik karena pada aktivitas sebelumnya peserta didik diminta menuliskan proses penjumlahan yang dilakukan. Strategi yang ditemukan ini akan membantu peserta didik menentukan hasil penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama tanpa bantuan gambar. Strategi menyamakan penyebut pecahan-pecahan kemudian menjumlahkannya merupakan algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Hasil Conducting the Experiment Alur belajar yang telah dinyatakan valid oleh pakar kemudian diujicobakan secara one-toone, small group, dan kepada kelas sebenarnya. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa alur belajar topik Pecahan dapat bekerja sesuai yang dihipotesiskan, setelah mengalami revisi (pada ujicoba one-to-one dan small group). Data hasil observasi menunjukkan bahwa implementasi alur belajar topik Pecahan tidak mengalami kendala yang berarti di kelas. Hal ini menunjukkan bahwa alur belajar memenuhi kriteria praktis. Hasil fase conducting the Experiment pada kelas sebenarnya menunjukkan bahwa siswa menyelesaikan masalah-masalah kontekstual, seperti yang diprediksi. Probing Question yang disiapkan guru telah berperan membantu siswa dalam melakukan proses matematisasi, baik horizontal maupun vertikal. Di samping itu, diskusi kelas yang dilakukan setelah penyelesaian masalah-masalah kontekstual (students' contribution) juga telah berperan membantu siswa melakukan matematisasi vertikal. Hasil Retrospective Analysis Retrospective analysis telah memberikan peran yang besar dalam penyempurnaan alur belajar yang dirancang, terutama sewaktu ujicoba one-to-one dan small group. Beberapa hasil lain dari retrospective analysis menunjukkan bahwa guru harus memberikan penanganan yang berbeda pada masing-masing kelompok karena kemampuan masingmasing kelompok tidak sama persis. Ada kelompok yang dapat melakukan aktivitas memecahkan masalah kontekstual secara langsung karena ada anggota kelompok yang paham dan ada sebagian kelompok yang perlu bimbingan lebih dari guru. Arahan yang diberikan guru berupa probing question sangat berpengaruh terhadap kelangsungan diskusi. Secara umum, implementasi alur belajar di kelas berjalan sesuai prediksi dan apa yang dihipotesiskan. Hal ini disebabkan karena kendala yang mungkin muncul telah diminimalisir dan diantisipasi berdasarkan hasil ujicoba one-to-one dan small group. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa melalui aktivitas menyelesaikan masalahmasalah kontekstual dalam tiap alur belajar siswa dapat menemukan: 1) konsep pecahan sebagai bagian dari keseluruhan yang sama besar, 2) konsep pecahan senilai sabagai kuantitas atau jumlah yang sama, 3) algoritma pecahan senilai dengan menggambarkan bagian pecahan, 4) hasil penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama, 5) algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut sama, 6) hasil penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak sama, 7) algoritma penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Penemuan ini distimulasi oleh prinsip RME, yaitu guided reinvention, didactical phenomenology, dan emerging model (Gravemeijer, 1997) dan karakteristik RME, terutama students' free production dan students' contributions (Freudethal, 1991; de Lange, 1987). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa alur belajar topik Pecahan yang dikembangkan berdampak positif terhadap kemampuan penalaran matematis siswa. Hasil tes pada akhir penelitian menunjukkan bahwa 73% siswa memiliki kemampuan penalaran dengan kriteria sangat baik. Hal ini distimulasi oleh aktivitas menyelesaikan soal-soal kontekstual yang melibatkan proses matematisasi horizontal dan vertikal, sehingga apa yang dipelajari siswa menjadi their own knowledge (Webb, Kooij, dan Geist, 2011; Gravemeijer, 1997) Kesimpulan Alur belajar topik Pecahan dengan pendekatan RME yang dikembangkan dalam penelitian ini memenuhi kriteria valid, dengan karakterstik: alur belajar telah mencerminkan state of the art knowledge, dan sesuai dengan prinsip kunci dan karakteristik RME. Alur yang B62 Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 12, 2017, Banda Aceh, Indonesia dikembangkan juga memenuhi kriteria praktis karena dapat bekerja sesuai dengan yang dihipotesiskan, serta efektif dalam meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Daftar Pustaka Fauzan, A. (2015). Pengembangan Alur Belajar dengan Pendekatan Realistic Mathematiccs Education (laporan penelitian). LPM UNP Padang. Fauzan, A. (2002). Applying Realistic Mathematics Education (RME) in Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools. Enschede, The Netherlands: PrintPartners Ipskamp. Fauzan, A., Plomp, T., Gravemeijer, K. (2013). The Development of RME-based Geometry Course for Indonesian Primary Schools. In An Introduction to Educational Design Research. T. Plomp, T., N. Nieveen N. (Eds). The Netherlands: SLO. Fauzan, A., Slettenhaar, D. & Plomp, T. (2002). Traditional Mathematics Education vs. Realistic Mathematics Education: Hoping for Changes. Proceeding of the 3rd Mathematics Education and Society (MES) conference, Helsinghor, Denmark. Fauzan, A., Slettenhaar, D. & Plomp, T. (2002a). Teaching Mathematics in Indonesian Primary Schools Using Realistic Mathematics Education (RME)-Approach. Proceeding of the Second International Conference on the Teaching of Mathematics (ICTM2). John Wiley & Sons. Freudenthal, H. (1991). Revisiting mathematics education. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic. Gravemeijer, Koeno and Cobb, Paul. (2013). Design research from the Learning Design Perspective. Dalam Jan Ven Den Akker, et. al. An Introduction to Educational Design Research. London: Routledge. Gravemeijer, K. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht, The Nederlands: Freudenthal Institute. Gravemeijer, K. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In M. Beishuizen, K.P.E. Gravemeijer, & E.C.D.M. van Lieshout (Eds.), The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematical Strategies and Procedures. Freudenthal Institute, Utrecht. de Lange, J. (1987). Mathematics, Insight, and Meaning. OW & OC, Utrecht, The Netherlands. Marpaung, J. (2001). Laporan pilot proyek RME di Indonesia, Proyek PGSM. Marsigit. (2000). Empirical Evidence of Indonesian Styles of Primary Teaching. Paper presented at the ICME conference, Hiroshima Japan, July 23-27 Simon, M. A. (1995). Reconstructing Mathematics Pedagogy from a Constructivist Perspective. Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 114-145. (Online). Soedjadi. (2000). Kiat-kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Somerset, A. (1997). Strengthening Quality in Indonesia’s Junior Secondary School: An Overview of Issues and Initiatives. Jakarta: MOEC. Streefland, L. (1991). Realistic Mathematics Education in Primary Schools. Utrecht, The Netherlands: Freudenthal Institute. Treffers, A. (1987). Three dimensions. A model of Goal and Theory Description in Mathematics Education, Dordrecht, The Netherlands: Reidel. Webb, D. C, Kooij, Henk v.d., and Geist, M. R. (2011). Design Research in the Netherlands: Introducing Lograritms Using Realistic Mathematics Education. Journal of Mathematics Education at Teachers College. Spring-Summer 2011. Vol. 2. B63