1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Proses demokrasi dalam negeri mulai membaik pasca runtuhnya era orde baru, apalagi peristiwa tersebut diikuti dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang memunculkan lembaga-lembaga negara baru dan penghapusan lembaga sebelumnya. Adapun lembaga negara yang dihapus yakni Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan lembaga negara baru dalam UUD NRI 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah. Selain itu kedudukan MPR yang sebelumnya merupakan lembaga tertinggi negara, kemudian menjadi lembaga tinggi negara. Amandemen UUD 1945 mengatur juga lembaga pemilihan umum yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan komisi pemilihan umum daerah (KPUD) tidak hanya pembentukan lembaga negara baru yang diatur dalam UUD NRI 1945, melainkan perubahan pelaksanaan demokrasi yang mempengaruhi sistem ketatanegaraan juga diatur dalam amandemen konstitusi tersebut. Hal yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi ini yakni Pemilihan Umum yang dalam UUD 1945 sebelum amandemen (selanjutnya disebut UUD 1945) menggunakan sistem keterwakilan (tidak langsung) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yang menentukan: “Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.” 2 Ketentuan ini memberikan dasar mekanisme pemilihan presiden dengan sistem keterwakilan yang diwakili oleh MPR dengan suara terbanyak. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1), menentukan “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari Daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang.” Sebelum penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung untuk memilih Presiden, pemilihan Presiden pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh MPR dengan suara terbanyak. Bila dilihat dari sejarahnya penyelenggaran pemilihan umum dengan mekanisme keterwakilan ini dimulai dari tahun 1955. Pemilihan Umum Indonesia 1955 merupakan pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955, yang kemudian penyelenggaraannya dilaksanakan sampai saat ini demi melangsungkan demokrasi di Indonesia. Setelah bergulirnya era reformasi pada tahun 1999, amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan demokrasi terjadi pada mekanisme pemilihan Presiden/Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1), yang menentukan : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” Ketentuan ini mengatur secara jelas dan menjamin pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat sesuai nuraninya. Hal ini membawa perubahan yang mendasar dalam demokrasi di Indonesia, khususnya dalam hal pemilihan umum. 3 Akhirnya pada tahun 2004, pertama kali dilakukan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden secara langsung dalam satu pasangan. Selain berbeda subyek pemilihnya dalam pemilihan umum secara langsung ini juga memberikan keleluasaan bagi calon Presiden untuk memilih wakilnya. Sebab dalam mekanisme keterwakilan sebelumnya, Wakil Presiden terpilih merupakan kandidat calon yang mendapatkan perolehan suara kedua. Perubahan dalam mekanisme pemilihan umum Presiden secara langsung diikuti dalam proses pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menentukan : “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Ketentuan ini tidak mengatur secara eksplisit, apakah pemilihan umum kepala daerah dilakukan secara langsung atau keterwakilan (tidak langsung). Namun penjabaran Pasal 18 ayat (4) ini dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah diharuskan dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Secara lengkap ketentuan Pasal 24 No. 32 Tahun 2004, menentukan: (1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. (2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. (3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. 4 (4) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. (5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Sedangkan dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan; “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini memberikan penegasan agar pelaksanaan Pilkada secara demokratis. Dengan adanya mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat maka Undang-Undang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada KPUD untuk menyelenggarakan Pemilihan umum Kepala Daerah serta Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah dalam proses pengawasan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sampai tingkat kecamatan. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung dimulai tahun 2005 yang dilakukan untuk memilih kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota. Seperti telah kita ketahui, eksperimentasi demokrasi di level daerah ini mulai mendapatkan legitimasi semenjak lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pengujung September 2004. Undang-Undang tersebut lahir sebagai pengganti dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 5 Selanjutnya pada Pasal 233 yang mengatur Ketentuan Peralihan disebutkan bahwa untuk daerah yang kepala daerahnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2004 sampai Juni 2005, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan secara langsung pada Juni 2005. Dengan hadirnya naskah UU Pemerintahan Daerah yang baru ini, sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) kabupaten/kota dan 8 (delapan) provinsi telah menghadapi pemilihan kepala daerah langsung pada Juni 2005. Sepanjang tahun 2005 sendiri, termasuk yang mengadakan pemilihan kepala daerah bulan Juni, ada 11 (sebelas) provinsi dan 215 (dua ratus lima belas) kabupaten/kota yang telah mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung.1 Melalui pemilihan kepala daerah perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Pemilihan kepala daerah merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah (legitimate). Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Keputusan politik untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah adalah langkah strategis dalam rangka memperluas memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. 1 Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, http://id.wikipedia.org/wiki/Pilkada_2005, 6 Januari 2011 6 Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada langsung adalah: Pertama, pemilihan kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Kedua, pemilihan kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan di tingkat lokal. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah, pada awalnya, direspon oleh masyarakat dengan antusiasme yang tinggi. Antusiasme masyarakat itu berkaitan dengan terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan secara langsung kepala daerahnya. Antusiasme juga merupakan cerminan begitu besar harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah langsung. Hal itu tidak lepas dari akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan lokal sebelum era pilkada langsung. Akan tetapi setelah tiga tahun berjalan, antusiasme masyarakat terhadap proses dan hasil pemilihan kepala daerah makin berkurang atau menurun. Hal ini bisa dilihat antara lain dari menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Penurunan ini sejalan dengan menurunnya keyakinan masyarakat terhadap kemampuan kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah langsung. Selain itu, kondisi tersebut didorong oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang kerap kali menyodorkan calon yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat sebagai hasil dari proses pencalonan yang tidak demokratis dan kental nuansa KKN. 7 Kekecewan itu memunculkan respon mulai dari menguatnya apatisme di kalangan masyarakat, gejala protest voters yang meluas hingga golongan putih (Golput), serta munculnya aspirasi calon perseorangan atau calon independen. Ada 5 (lima) pertimbangan penting penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, menurut hemat penulis. 1. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung. 2. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 3. Pemilihan kepala daerah langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. 4. Pemilihan kepala daerah langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan 8 dalam pemilihan kepala daerah langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan. 5. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini. Namun dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Sering kali ditemukan pemakaian ijazah palsu oleh bakal calon. Seandainya calon tersebut dapat lolos bagaimana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin maka tindakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau “balik modal” ini sangat berbahaya sekali. Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massa untuk mendatangi KPUD 9 setempat. Kasus-kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatera. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut. Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat yang tidak independensi. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti : 1. Money Politic (politik uang) Sepertinya money politic ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan Pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Dengan modus salah satu dari kader bakal calon membagi-bagikan uang kepada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah masyarakat mengikuti kehendaknya. 2. Intimidasi Intimidasi ini juga sangat berbahaya. Sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah, bahwa oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Ataupun calon kepala daerah “incumbent” menggunakan jabatannya untuk melakukan intervensi terhadap pejabat struktural atau pegawai negeri sipil. 10 3. Pendahuluan start kampanye Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. 4. Kampanye negatif Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut. Penelitian ini pada dasarnya menempatkan sistem pemilihan kepala daerah sebagai sebuah obyek. Sistem pemilihan yang dimaksud telah mengalami pekembangan yang signifikan dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihn langsung. Pemilihan kepala daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang terjadi sebanyak atau sejalan dengan jumlah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia merupakan fenomena yang menarik dan menjadi obyek kajian berbagai penelitian. Penelitian pertama yang dijumpai adalah penelitian untuk sebuh tesis yang dilakukan oleh Zainal Hakim dari Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2006. Tesis yang diberi judul “Pengaruh Perubahan Regulasi Dalam Penyelenggaraan Pemilu Kepala 11 Daerah Secara Langsung di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pemalang tahun 2005” (Analisis Yuridis Empiris Terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Adapun permasalahan yang dibahas adalah: 1. Bagaimanakah perkembangan penyelenggaraan kepala daerah sebagai perwujudan dan penguatan demokrasi lokal di Indonesai dalam perspektif Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah? 2. Bagaimanakah perubahan dan pengaruh peraturan hukum (regulasi) dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah secara langsung di kota Pekalongan dan Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah pada tahun 2005? Penelitian kedua adalah skripsi yang diposkan oleh Herman dengan judul “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah Terhadap Kesadaran Bedemokrasi” (Studi pada Kabupaten Limapuluhkota, Provinsi Sumatera Barat). Dari skripsi tersebut terdapat beberapa rumusan masalah yang dibahas, yakni: 1. Bagaimana pengaturan pemilihan umum kepala daerah menurut UndangUndang Dasar 945 dan menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004? 2. Bagaimana pelaksanaan serta apa saja hambatan dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Limapuluhkota, Provinsi, Sumatera Barat? 3. Bagaimana implikasi pemilihan umum kepala daerah terhadap kesadaran berdemokrasi di Kabupaten Limapuluhkota, Provinsi Sumatera Barat? 12 Penelitian ketiga adalah pemilihan kepala daerah secara langsung dalam perspektif hukum positif dan fiqih Islam dalam tesis Megawati Talib dari Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2011 tentang permasalahan perbandingan antara pemilihan langsung dan perwakilan menurut hukum positif dan fiqih Islam yang lebih menekankan pada pemilihan secara langsung. Dari penelitian pertama ditemukan dengan jelas bahwa penekanan pada pemilihan langsung, sedangkan pada penelitian ketiga memang obyeknya adalah mengenai perbandingan sistem yaitu sistem langsung dan perwakilan, akan tetapi acuan hukum yang digunakan adalah hukum positif dan fiqih Islam. Dengan demikian originalitas tesis ini merupakan murni uraian dari hasil pengkajian dari penulis tentang pemilihan umum kepala daerah. Beranjak dari uraian latar belakang permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem kepala daerah, maka dapat dirumuskan isu-isu hukum yang akan tertuang dalam rumusan masalah. 1.2.Rumusan Masalah Pemilihan kepala daerah secara langsung yang mulai dilaksanakan dalam tahun 2005 lalu, secara filosofis dan yuridis telah memenuhi harapan-harapan rakyat untuk mengimplementasikan pemilihan kepala daerah secara jujur dan adil. Kendati demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Sebaliknya pemilihan melalui sistem perwakilan oleh Dewan Perakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengandung kelebihan dan kelemahankelemahannya. Kelemahan dari dua sistem pemilihan kepala daerah inilah 13 menjadi fokus penelitian dan penulisan penelitian tesis ini. Sehingga rumusan masalah dari penelitian tesis ini, diantaranya : 1. Bagaimana prosedur pemilihan umum kepala daerah secara langsung oleh rakyat? 2. Bagaimana perbandingan prosedur pemilihan umum kepala daerah secara langsung dan melalui sistem perwakilan? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian 1.3.1.1.Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan melakukan pengkajian terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung dan sistem perwakilan. 1.3.1.2.Tujuan Khusus a. Mengetahui prosedur pemilihan umum kepala daerah secara langsung b. Mengetahui perbandingan secara jelas mengenai kelebihan dan kelemahan dari pemilihan kepala daerah secara langsung dengan sistem perwakilan. 1.3.2. Manfaat Penelitian a. Memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi pengembangan ilmu hukum yakni hukum tata negara, dalam hal pemilihan umum kepala daerah. b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam hal tinjauan terhadap pemilihan umum kepala daerah. 14 1.4. Landasan Teoritis Terkait dengan permasalahan pemilihan umum kepala daerah yang akan dikaji dalam Penelitian Tesis ini, maka teori-teori, konsep-konsep, dan asas-asas serta pandangan para sarjana yang relevan. Landasan teoritis ini berfungsi sebagai dasar untuk melakukan pembenaran teoritis terhadap pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, konsep-konsep yang akan diuraikan dalam penelitian tesis ini adalah Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Demokrasi, dan konsep Negara Hukum. 1.4.1. Teori Kedaulatan Rakyat Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat, paham kedaulatan rakyat merupakan pilihan dari the founding fathers (pendiri bangsa) kita. Seperti diketahui pengakuan Indonesia sebagai negara berkedaulatan rakyat itu dapat diidentifikasi dari pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan ketentuan batang tubuh Pasal 1 ayat (2). Apabila dicermati dari sejarah pengaturannya, pada Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) Pasal 1 ayat (2) menyatakan : “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, sebagai lembaga tertinggi negara. Konsekuensinya Kedaulatan Rakyat dipegang olehnya (Majelis Permusyawaratan Rakyat), karena dianggap sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia. MPR ini menetapkan Undang-undang dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini pula mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensi 15 yuridis sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pula, Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh MPR. Presiden yang diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden hanyalah mandataris MPR, sehingga berkewajiban menjalankan keputusankeputusan yang ditetapkan oleh MPR. Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal. Sebenarnya para pembentuk UUD 1945 menghendaki agar MPR mempunyai susunan yang benar-benar mencerminkan representasi dari seluruh rakyat Indonesia, maka itu anggotanya terdiri dari wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat Indonesia, sehingga anggotanya terdiri dari wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat secara langsung (DPR), wakil-wakil daerah (utusan daerah), dan wakil dari golongan (utusan golongan). Namun sangat disayangkan bahwa kemudian di dalam praktek banyak terjadi penyimpangan serta membuat MPR menjadi lembaga yang diktator karena sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga tertinggi negara. 16 Namun eksistensi MPR pasca amandemen Undang-undang Dasar 1945, tidaklah sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak menjadi pemegang kedaulatan rakyat seperti yang diamanatkan oleh konstitusi Republik Indonesia sebelumnya. Perubahan redaksional dari pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menentukan ; “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar” Adapun aspek yang sangat penting menjadi suatu kajian pada perbedaan redaksional Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan UUD 1945 sebelumnya adalah lembaga pemegang kekuasaan. Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945. Dalam mengkaji kedaulatan rakyat perlu dikedepankan terlebih dahulu Teori Perjanjian Masyarakat. Pandangan J.J Rosseau, dalam teorinya menghasilkan suatu negara yang demokrasi. J.J Rosseau, berpendapat bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu. Konstruksi yang dihasilkan ialah pemerintah demokrasi langsung yang hanya sesuai bagi negara dengan wilayah sempit dan penduduk sedikit.2 2 1990, h. 6 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 17 Menurut teori perjanjian sosial yang dikemukakan oleh J.J Rosseau bahwa masyarakat yang dibangun itu bukan berdasarkan pada jumlah individu yang berkumpul melainkan pada kesatuan kehendak yang menurut J.J Rosseau disebut kehendak umum atau Volunte Generale, yang mencerminkan kehendak umum anggota masyarakat.3 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai soverignty, jika ditelusuri dalam Black’s law dictionary istilah soverignty diartikan dengan supreme.4 Kamus bahasa Inggris-Indonesia, Istilah ”supreme” diartikan sebagai “tertinggi”5 Jadi diartikan bahwa kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, dengan kata lain tidak berada di bawah kekuasaan lainnya. Pemikiran konsep rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, ini lahir dari kekuasaan raja yang absolut. John Locke menganjurkan adanya konstitusi dalam negara monarkhi dan adanya pembatasan kekuasaan, yang kemudian melahirkan asas pemisahan kekuasaan “separation of power”. Tiga kekuasaan yang dibagi diantaranya; 1. kekuasaan Legislatif 2. kekuasaan eksekutif 3. kekuasaan federatif6 selain John Locke, tokoh lainnya yakni Baron de Montesquie, dalam bukunya “L Esprit Des Lois”, mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan 3 Dominikus Rato, Filsafat Hukum, Laksbang Justitia, Surabaya, 2010, h.120 Black’s Law Dictionary, Centennial Edition 1891-1991, p. 971 5 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia Jakarta, 1992, h. 570 6 M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju, 2002, h. 60 4 18 terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudisial.7 Frasa “rakyat” dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai segenap penduduk suatu negara.8 Sehingga dapat dipahami bahwa kedaulatan rakyat memiliki makna bahwa rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD NRI 1945.Karenanya apapun lembaga yang dapat melaksanakan fungsi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka lembaga tersebut merupakan pelaksana kedaulatan rakyat. Jika menilik ketentuan konstitusi yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, maka hal ini merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. 1.4.2. Teori Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani “demos” yang berarti rakyat dan kata “kratos” atau “cratein” yang berarti pemerintahan, sehingga kata demokrasi berarti suatu pemerintahan oleh rakyat. Kata pemerintahan oleh rakyat memiliki makna : a. Suatu pemerintah yang dipilih oleh rakyat b. Suatu pemerintah oleh rakyat biasa c. Suatu pemerintahan oleh rakyat kecil 7 8 Subawa et.all, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, 2005, h.53 Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta 1998, h. 188 19 Berdasarkan esensi-esensi tersebut diatas maka yang berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah yakni suatu pemerintah yang dipilih oleh rakyat. Hal ini memberikan landasan yang kuat perlunya penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana cirri dari Negara demokratis. Selain itu beberapa ahli telah memberikan pengertian demokrasi, antara lain sebagai berikut:9 a. Pendapat Joseph Schemeter Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik dimana para individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. b. Pendapat Sidney Hook Demokrasi adalah suatu bentu pemerintahan dimana putusan-putusan pemerintah yang penting secaa langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. c. Pendapat Philippe C. Schmitter Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintakan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. d. Pendapat Henry B. Mayo Demokrasi adalah suatu sistem dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawali secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke empat sebelum masehi sampai abad keenam masehi. Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy); artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik 9 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, PT Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 2 20 dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 (tiga ratus ribu) orang dalam satu negara. Guna melengkapi pemahaman tentang demokrasi, Robert Dahl10 menyodorkan 8 (delapan) kriteria bagi negara demokrasi, yaitu: 1. Ada kebebasan untuk bergabung ke dalam organisasi (freedom to form and join organization) 2. Ada kebebasan untuk menyatakan pendapat (freedom to expression) 3. Ada hak untuk memilih (the right to vote) 4. Ada hak untuk dipilih ( eligibility for public office) 5. Hak bagi peserta politik untuk berkampanye guna memperoleh dukungan suara rakyat (the right of political leaders to complete for support and vote) 6. Ada pilihan terhadap berbagai sumber informasi (alternative sources of information) 7. Ada Pemilu yang bebas dan jujur (free and fair elections) 8. Ada lembaga-lembaga yang memuat kebijaksanaan pemerintah berdasarkan kepada keinginan rakyat (institution for making governmet polices depend on vote and other expression of preferences) Adapun yang berkaitan dengan pemilihan umum yakni angka, 3, 4, 5, dan 7 diatas. Adanya hak untuk memilih telah dijamin sebagai hak asasi manusia, sehingga pada pelaksanaan pemilihan umum, setiap warga Negara yang memenuhi persayaratan berhak untuk memilih. Selain hak untuk memilih, setiap orang yang memenuhi syarat juga berhak untuk menjadi calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah. 10 Edy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, 2007, h. 8 21 Dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, peserta/calon diberikan kesempatan untuk berkampanye guna mencari dukungan, hal ini dilakukan agar rakyat dapat menilai para calon, untuk dipilih sesuai dengan nurani tanpa paksaan. Angka ke 7 merupakan syarat utama untuk menunjukkan adanya Pemilu yang demokratis, dengan mengedepankan semangat kebebasan dan kejujuran, hal ini sangat berkenaan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil) yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Asas Pemilu ini menekankan pada kebebasan setiap warga Negara untuk memilih sesuai pilihannya tanpa paksaan dari siapapun serta pelaksanaan Pemilu yang jujur tanpa rekayasa, sehingga Pemilu berjalan secara demokratis. 1.4.3. Konsep Negara hukum Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia sebagai negara hukum serta penganut sistem Eropa kontinental/civil law, menurut M.C Burkens dalam Yohanes Usfunan, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (Rechtsstaat) menurut Burkens apabila memenuhi syarat-syarat :11 1. Asas legalitas 11 Yohanes Usfunan, Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis, Orasi Ilmiah, Universitas Udayana, Denpasar, 2004, h. 24 22 2. Pembagian kekuasaan 3. Hak asasi manusia (HAM) 4. Pengawasan Pengadilan (peradilan administrasi). Adapun pendapat Burkens12 tersebut yakni: “Zetten we nu de rechtsstatelijke vereisten op een rijtje dank omen we tot het volgende overzicht : 1. Legaliteitsbeginsel 2. Machtsverdeling 3. Grondrechten 4. Rechterlijke controle” Disamping itu dalam pendapat J.F Stahl, menentukan negara hukum bercirikan adanya : 1. 2. 3. 4. Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas) Perlindungan HAM, Pemisahan Kekuasaan, adanya peradilan administrasi13. Ciri-ciri negara hukum di atas dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum” (Rechtstaat). Tak hanya penganut sistem civil law saja yang memiliki kharateristik, negara penganut konsep Rule of Law (anglo saxon) pun memilikinya, seperti A.V Dicey yang mengemukakan mengenai unsur-unsur konsep Rule of law, yakni; - Supremasi Hukum Equality Before the Law Perlindungan HAM 14 Sedangkan J.B.M. Ten Berge menyebutkan, prinsip-prinsip negara hukum yaitu:15 12 M.C. Burken, et.al, Beginselen van De Democratiche Rechtsstaat, Tjeenk Wiliink Zwole, 1990, p. 29 13 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1993, h.28 14 Subawa et.all, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar, 2005, h. 56 23 1. Asas Legalitas Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemimpin) harus ditemukan dasarnya dalam Undang-Undang yang merupakan perauturan umum. Undang-Undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh oleh organ pemerintah harus ditentukan dasarnya pada Undang-Undang tertulis (Undang-Undang Formal) 2. Perlindungan hak-hak asasi; 3. Pemerintah terikat pada hukum; 4. Monopoli pemaksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum; 5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka Suparlan, berpendapat bahwa “negara hukum adalah suatu negara dimana setiap warga negara maupun penguasanya/alat kelengkapn negara harus tunduk kepada hukum yang berlaku, sehingga antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat umum terdapat keseimbangan yang harmonis. Dalam negara hukum kita tidak mengenal adanya dominasi kekuasaan oleh golongan, suku bangsa atau perseorangan, sebab diatas pemegang kekuasaan itu masih ada yang lebih tinggi lagi yang justru membawahkan penguasa itu yaitu “hukum”16. Hal di atas telah menunjukkan kharateristik negara hukum di dunia, di antara konsep Rechtstaat dan Rule of law yang kesemuanya sama-sama mengedepankan supremasi hukum. Philipus M. Hadjon17, mengatakan konsep negara hukum untuk Indonesia adalah “Negara Hukum Pancasila”, yang mempunyai cirri-ciri : 15 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.9 16 Suparlan, Perbandingan Lembaga Kepresidenan Republik Indonesia dan Amerika Serikat, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, h. 37 17 Philipus M Hadjon , Perlindungan Hukum Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, PT Bina Ilmu, Suabaya, 1987, h. 90 24 1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan 2. Hubungan fungsional yang proporsional antaa kekuasaankekuasaan negara 3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir. 4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban Berdasarkan teori kedaulatan hukum, Krabbe mengemukakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum.18 Menurut Joeniarto19, secara substansiil isi dari suatu hukum positif harus mencerminkan nilai filosofis, historis dan sosiologis.” W. Friedman20, menjelaskan lebih lanjut mengenai 4 fungsi hukum, yakni : “the first function to be discussed is that of the state as provider. Second, the state function as regulator. Third, the state function increasingly as entrepreneur. Fourth, the state as umpire.” Sebagai konsekuensi konsep tersebut tentunya segala tindak tanduk pemerintah harus berdasarkan hukum. Serta menghormati dan melindungi HAM. Artinya negara hukum apapun di dunia ini, tentu menghormati dan melindungi HAM. Dalam hal lainnya berkaitan dengan supremasi hukum, perlu diketengahkan pendapat Aristoteles tentang kedaulatan hukum, yang menyatakan: “betapapun negara memiliki kedaulatan tertinggi, kekuasaan itu bukan bersumber dari kedudukan, pangkat, dan jabatan para pemimpin, melainkan kekuasaan itu bersumber dari hukum. Dengan demikian maka sesungguhnya hukumlah yang memiliki kedaulatan tertinggi, sehingga 18 Krabbe, dalam Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, h. 156 Joeniarto, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, Jogyakarta, cet II, 1980, hal.15. 20 W. Friedman, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Stevens and Sons, London, 1971, h. 3 19 25 pemerintahan yang baik haruslah tampak dalam penyelenggaraan kekuasaan yang didasarkan pada hukum.21 Dalam konteks Negara hukum ini, yang berkaitan dengan pemilihan umum kepala daerah yakni asas legalitas, sebab dengan adanya pengaturan secara konstitusional ataupun undang-undang, penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah harus dijalankan. Karenanya, konsep Negara hukum ini sangat perlu untuk dikedepankan dalam bagian landasan teoritis ini. Sedangkan persoalan hak asasi manusia itu telah lama menjadi kajian akademik, aliran yang mulai memandang persoalan HAM yakni aliran hukum alam yang melahirkan teori hukum alam. Aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut, dan hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.22 Menurut, G. Singer, hukum alam merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum moral tentang sistem keadilan, dan berlaku untuk seluruh umat manusia dan umumnya diakui/diyakini oleh umat manusia sendiri.23 Thomas Aquinas juga membagi empat golongan hukum yaitu : 24 - - Lex Aeterna (hukum abadi) merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Ratio ini tak dapat ditangkap pancaindra manusia. Lex Divina (Lex Devinia Positiva) Bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap manusia berdasarkan waktu yang diterimanya. Lex Divina tercantum dalam kitab suci. 21 Aristoteles, dalam J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, Rajawali, Jakarta, 1988, h.64 22 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia, Jakarta, 1995, h. 102 23 A.Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) &Proses Dinamika Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, h. 1 24 Moh.Koesnardi dan Bintan R.Saragih,Ilmu Negara,Printis Press,Jakarta,1985,h,57-58. 26 - Lex Naturalis (hukum alam) yang merupakan penjelmaan dari lex aeterna dalam rasio manusia. Lex Positive. (Lex humana positiva). Ketentuan hukum yang berlaku yang merupakan pelaksanaan. Dalam filsafat Thomas, Lex Aeterna mengandung asas-asas yang abstrak dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk khusus yang berasal dari Tuhan tentang bagaimana manusia itu harus menjalani hidupnya. Fungsi ini dijalankan oleh Lex Divina yang tercantum dalam kitab-kitab suci. Dengan hukum alam tetap diakui eksistensinya, sebagai hukum yang mengilhami hukum positif sehingga tujuan untuk menciptakan keadilan, keterlibatan, ketentraman dapat diwujudkan. Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded). Undang-Undang tentang HAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Adanya hak pada seseorang berarti bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistimewaan” yang dimilikinya. Sebaliknya juga, adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap yang sesuai dengan “keistimewaan” yang ada pada orang lain. Secara normatif mengenai konsep HAM, dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menentukan; “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” 27 Menurut Marjono Reksodiputro, HAM adalah sebagai hak-hak yang sedemikian melekat pada sifat manusia sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mempunyai martabat sebagai manusia (inheirent dighnity). Oleh karena itu pula hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar atau dicabut.25 Jika mengkaji Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945 menjamin kebebasan dalam memilih, yang menentukan : “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, yang menentukan : “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya” Hakekat dari ketentuan di atas memberikan kebebasan atau keleluasaan bagi setiap orang untuk memilih sesuai nuraninya. Hal ini sesuai dengan generasi HAM pertama yaitu HAM sipil dan politik. Tetapi dalam kajian dan penelitian tesis ini hanya dibatasi pada HAM politik saja. HAM politik secara esensial menurut Yohanes Usfunan26, adalah HAM yang berkaitan dengan partisipasi setiap warga negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan negara. HAM politik, cakupannya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kebebasan berpendapat. Kebebasan berkumpul, berserikat. Kebebasan untuk berpolitik. Hak menjadi anggota partai politik. Hak mempunyai keyakinan politik. Hak untuk memilih dan dipilih. 25 Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku III, Penerbit Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, h. 29 26 Yohanes Usfunan, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, 1998, h. 74 28 Mengkaji tentang pemilihan umum maka berbicara tentang HAM politik, yang menjamin tentang: a. setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai. b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat. c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Kharakteristik Hak Asasi Manusia (HAM) yakni, HAM absolut dan HAM relative. Pengertian HAM absolut terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain yang menentukan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan ini mengartikan HAM yang tidak termasuk dalam pengaturan Pasal 4 Undang-Undang HAM tersebut merupakan HAM yang bersifat relatif. Perbedaan mendasar antara HAM absolut dan HAM relatif yakni pada kharakter HAM absolut yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sedangkan HAM politik dalam pemilihan umum kepala daerah, merupakan HAM yang relatif, karena dapat dibatasi. Semacam ini, juga berlaku terhadap pemilihan kepala daerah Pasal 56 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan: 29 “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang tercantum dalam ketentuan di atas merupakan pembatasan penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah, demi mewujudkan suasana demokratis. Karena kebebasan dalam memilih pada pemilihan umum kepala daerah merupakan hak asasi manusia, maka negara harus mewujudkan suasana demokratis sebagaimana yang dicita-citakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah yang diamanatkan konstitusi, sebab Negara memiliki tanggung jawab dalam menjamin hal tersebut sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menentukan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.” Dengan demikian baik pemilihan umum kepala daerah secara langsung oleh rakyat ataukah dengan mekanisme keterwakilan (tidak langsung) tetap harus dilakukan secara demokratis demi menjamin penggunaan HAM setiap masyarakat. Adapun yang menjadi relevansi HAM dalam penyelenggaraan pemilihan umum, yaitu HAM politik tersebut memberikan keharusan bagi Negara untuk menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah. 30 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian dan penulisan tesis ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian terhadap normanorma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut, Philipus M. Hadjon, penelitian hukum normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: - Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum - Tidak menggunakan hipotesis - Menggunakan landasan teoritis - Menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder27 Nama lain dari penelitian normatif adalah penelitian hukum doktrinal juga disebut penelitian kepustakaan. Disebut penelitian doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahanbahan hukum yang lain sedangkan sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada pada perpustakaan.28 1.5.2. Jenis Pendekatan Dari kajian penelitian hukum normatif pendekatan yang ada yakni29; 1. Pendekatan undang-undang (statute approach) 2. Pendekatan kasus (case approach) 27 Philipus M. Hadjon, 1997, Penelitian Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hal. 1 28 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31 29 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Penerbit Prenada Media, h. 93 31 3. Pendekatan histories (historical approach) 4. Pendekatan komparatif (comparative approach) 5. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Sedangkan dalam penelitian ini dipergunakan jenis pendekatan; a. Pendekatan undang-undang (statute approach) Diterapkan untuk mendapatkan ketentuan hukum perbandingan pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan dan secara langsung oleh rakyat b. Pendekatan Konsep (conceptual Approach) Diterapkan untuk mendapatkan pembenaran dari hasil pengkajian teori, konsep-konsep, serta asas-asas dan pendapat sarjana yang berpengaruh. c. Pendekatan Historis (historical Approach) Diterapkan untuk mendapatkan kejelasan dari peraturan perundangundangan sebelumnya yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. d. Pendekatan perbandingan/komparatif (comparative Approach) diterapkan untuk menemukan suatu analisa dari sistem pemilihan umum kepala daerah secara langsung dan sistem keterwakilan (tidak langsung) 1.5.3. Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.30 30 Ibid, h. 141 32 a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.31 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah; 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah b. Bahan Hukum Sekunder; Bahan-bahan hukum sekunder terdiri-dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum, internet.32 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni; literatur, makalah-makalah, hasil-hasil penelitian dan artikel-artikel. 1.5.4. Teknik pengumpulan bahan hukum Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system). Menurut Winarno Surakhmad, sistem kartu tersebut dibagi 3 macam, yakni;33 31 Ibid Unud, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, 2005, h. 8 32 33 1. Kartu Ikhtisar 2. Kartu Kutipan 3. Kartu Analisis/Usulan Kartu ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun terbitan, halaman, pokok masalah yang dikutip. Kartu kutipan memuat pokokpokok masalah yang dikutip dan kartu analisis memuat ulasan yang bersifat menambah atau menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik kesimpulan, saran maupun komentar. 1.5.5. Teknik Analisis Untuk mendapatkan hasil atas permasalahan yang akan diteliti, maka diinventarisasi bahan-bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, teknik analisis bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik “deskripsi, interpretasi, evaluasi, argumentasi, dan sistematisasi”. Teknik deskripsi adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.34 Macam-macam interpretasi (penafsiran) antara lain:35 1. Interpretasi Gramatikal adalah suatu term hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. 2. Interpretasi Sistematis ; dengan titik tolak dari sitem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum. 3. wets-en rechtshistorische interpretatie; menelusuri maksud pembentuk Undang-undang. Dalam hal usaha menemukan jawaban atas suatu isu 33 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, 2007, 34 Unud, op.cit, h. 14 P.M Hadjon, op. cit, h. 26 h.227 35 34 hukum dengan menelusuri perkembangan hukum (aturan) disebut “historische Interpretatie” 4. Interpretasi perbandingan hukum; mengusahakan penyelesaian suatu isu hukum dengan membandingkan berbagai stelsel hukum. 5. Interpretasi antisipasi ; menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada suatu aturan yang belum berlaku. 6. interpretasi teleologios; setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis. Sedangkan teknik evaluasi yang merupakan penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder.36 Teknik lainnya ialah argumentasi yang memberikan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum dalam mengevaluasi sesuatu. Selanjutnya penafsiran sistematisasi menurut Van Hoecke yang dikutip Arief Sidharta terbagi dalam 3 tingkatan, yakni:37 1. Tataran teknis yaitu kegiatan yang semata-mata menghimpun dan menata materi aturan-aturan hukum berdasarkan hierarki sumber hukum 2. Tataran teleologis yang berupa sistematisasi berdasarkan substansi atau isi hukum 3. Tataran sistematisasi eksternal yaitu mensistematisasi hukum dalam rangka mengintegrasikannya ke dalam tatanan masyarakat yang selalu berkembang. Artinya sistematisasi bertujuan untuk melakukan harmonisasi terhadap aturanaturan hukum yang bertentangan sehingga maknanya dapat dipahami secara logis. Dalam penelitian ini analisisnya terfokus pada aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan dasar hukum perbandingan pemilihan umum kepala daerah secara langsung dan keterwakilan. Oleh sebab itu, teknik analisis bahan hukum 36 Unud, loc.cit Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonsesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 151 37 35 yang dikumpulkan dilakukan secara deskriptif, evaluatif dan argumentatif untuk kemudian menarik kesimpulan secara logis.