BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini dideskripsikan suatu tinjauan pustaka mengenai pembuktian. Adapun tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pembuktian pada umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study) pembuktian menurut UU ITE dan dalam rangka konvergensi tidak dapat dilepaskan dari UU Telekomunikasi. Uraian dari Bab ini terdiri dari pembuktian dalam hukum acara perdata dan pembuktian dalam hukum acara pidana. Penulisan ini juga akan membandingkan mengenai kedudukan dokumen elektronik dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Uraian Bab tentang pembuktian dalam hukum acara perdata pada umumnya, mencakup pengertian pembuktian, sistem pembuktian, beban pembuktian serta alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian hukum acara perdata. Sebagai perbandingan dikemukakan pula suatu tinjauan mengenai pembuktian dalam hukum acara pidana pada umumnya. Terdiri dari pengertian pembuktian, sistem pembuktian, serta alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian hukum acara pidana. Kemudian akan dikemukakan pula suatu tinjauan mengenai alat bukti yang diatur dalam UU ITE sebagai perluasan alat bukti dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia dan dalam rangka konvergensi tidak dapat dilepaskan dari UU Telekomunikasi di Indonesia. 13 Tujuan dari pendeskripsian tinjauan pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan dalam skripsi ini.1 2.1. Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu membuktikan dalam arti logis atau ilmiah, membuktikan dalam arti konvensional dan membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis tidak lain memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.2 Pembuktian dalam lingkup keperdataan tercantum dalam Buku Keempat tentang Pembuktian dan Daluwarsa dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia. Buku keempat itu memuat segala aturan-aturan pokok pembuktian dalam hukum perdata. Pasal 1865 misalnya mengemukakan suatu asas bahwa “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.” Menurut Penulis, kaedah atau asas tersebut mengatur tentang beban pembuktian atau Onus, yaitu barang siapa yang mendalilkan maka dialah yang wajib, menurut hukum untuk membuktikan akan kebenaran dalilnya tersebut. 1 Mengenai Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Skripsi ini dapat dilihat dalam Sub Judul 1.3., dan 1.4., hlm. 11, supra. 2 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hlm. 93. 14 Sedangkan tugas pokok dari hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara.3 Hakim dalam memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Dalam konteks yang demikian, maka benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasil pembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu pembuktian di dalam hukum acara perdata sifatnya relatif namun menjadi hal yang sangat penting.4 Pembuktian juga mengandung pengertian memberikan alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak (the parties of contract) yang berperkara kepada hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Hakim memeroleh keyakinan untuk dijadikan dasar putusannya yang diajukan oleh para pihak. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu hak. Jadi hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.5 3 Ibid, hlm. 74. 4 Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 50. 5 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 95. 15 Di dalam hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya.6 2.2. Metode Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Menurut hukum positif di Indonesia, hukum acara perdata dinyatakan secara resmi berlaku adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diberlakukan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg).7 Ketentuan di atas mengenal beberapa metode pembuktian antara lain yaitu: Para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukan secara enumeratif apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Pembatasan kebebasan itu, berlaku juga kepada hakim. Hakim tidak bebas dan tidak leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti di luar yang ditentukan secara enumeratif dalam undang-undang, hakim mesti menolak dan mengesampingkannya dalam penyelesaian perkara.8 Namun belakangan berkembang lagi satu metode pembuktian yang tidak lagi ditentukan jenis atau bentuk alat bukti secara enumeratif. Metode pembuktian tersebut 6 M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 505. 7 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 6. 8 M. Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm. 555. 16 mendasarkan kepada pendapat bahwa kebenaran tidak hanya diperoleh dari alat bukti tertentu, tetapi dari alat bukti mana saja pun harus diterima sebagai suatu kebenaran sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti, tidak disebut satu persatu. Ditinggalkannya sistem yang menyebut satu per satu alat bukti berdasar alasan, bahwa metode pembuktian yang mengikuti alat bukti yang enumeratif oleh UU dianggap tidak komplet. Metode itu tidak menyebut dan memasukkan alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, alat bukti elektronik (electronic evidence), meliputi data elektronik (electronic data), berkas elektronik (electronic file), maupun segala bentuk sistem komputer yang dapat dibaca (system computer readable form).9 2.3. Beban Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Dalam hukum acara perdata, pembuktian dilakukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of proof).10 Hal ini tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 R.Bg dan Pasal 1865 BW, yang berbunyi: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk 9 Ibid, hlm. 555. 10 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 99. 17 membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu”.11 Kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara perdata, penggugat wajib mebuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Pembagian beban pembuktian sangat menentukan jalannya peradilan. Jadi apabila salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam melakukan pembagian pembuktian.12 Sehubungan dengan beban pembuktian dalam hukum acara perdata sebagaimana diuraikan di atas, kepustakaan yang distudi oleh Penulis membahas beberapa model pembagian beban pembuktian yaitu: model yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief). Dengan model ini, yang dibebani pembuktian adalah pihak yang mengemukakan sesuatu. Sedangkan pihak yang membantah sama sekali tidak dibebani pembuktian.13 Ada pendapat bahwa model itu tidak realistik dan sudah ditinggalkan. Sedangkam model berikutnya adalah beban pembuktian didasarkan pada hukum subjektif. Diajarkan bahwa yang dibuktikan itu adalah peristiwa-peristiwa, dimana peristiwa-peristiwa tersebut meliputi peristiwa umum dan peristiwa khusus yang menimbulkan hak (rechtserzeugendetatsachen), menghalangi timbulnya hak (rechtshindernde tatsachen), dan membatalkan hak (rechtsvernichtende tatsachen). Jadi 11 Lihat uraian terdahulu, Pasal 1865 BW, hlm. 4, supra. 12 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 99. 13 Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Op. Cit., hlm. 56. 18 siapa yang mendalilkan adanya peristiwa-peristiwa itu, atau membantahnya, maka pihak itulah yang harus membuktikannya,14 menurut model tersebut. Pembagian beban pembuktian dalam hukum subyektif, seolah mendikte hakim agar kepada pihak berperkara pembuktian didasarkan kepada hukum objektif. Siapa yang mendalilkan suatu peristiwa maka ia harus membuktikan bahwa peristiwa itu telah memenuhi unsur-unsur hukum objektif yang mengaturnya. Demikian pula siapa yang membantahnya harus dibebani pembuktian bahwa bantahannya itu memenuhi unsurunsur hukum objektif yang mengaturnya.15 Sedangkan model beban pembuktian selanjutnya adalah kedua belah pihak wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Dalam model itu, ada sanksi pidananya bagi pihakpihak tersebut. Hakim diberi wewenang lebih besar dalam mencari kebenaran peristiwa yang menjadi pokok sengketa.16 Akhirnya dalam pembagian beban pembuktian dengan model kepatuhan, hakim membagi beban pembuktian kepada pihak yang paling banyak mendalilkan hal-hal yang menyimpang dari kepatuhan menurut aturan dan pengalaman umum.17 14 Ibid, hlm. 56. Bandingkan dengan uraian dalam hlm. 15. 15 Ibid, hlm. 57. 16 Ibid, hlm. 57. 17 Ibid, hlm. 57. 19 2.4. Alat-Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata Alat bukti juga meliputi bahan-bahan (barang bukti. Penulis) yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara perdata di depan persidangan pengadilan.18 Menurut hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.19 Menurut Penulis kaedah ini juga termasuk sebagai alat bukti. Alat-alat bukti dalam acara perdata konvensional yang diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan 1866 BW yaitu: alat bukti tertulis, saksi, persangkaanpersangkaan, pengakuan dan sumpah. Berikut di bawah ini gambaran20 menurut kepustakaan yang membicarakan tentang alat-alat bukti tersebut; Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.21 Untuk memastikan buah pikiran itu, menurut Penulis, dapat “dikejar” melalui pengakuan dari orang yang membuat surat tersebut sepanjang yang bersangkutan masih hidup.22 18 Ibid, hlm. 57. 19 Lihat uraian dalam hlm. 16. 20 Gambaran singkat mengenai hal ini juga telah Penulis kemukakan dalam Bab I karya tulis kesarjanaan ini, hlm. 6-8, supra. 21 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm 105. 22 Lihat pula catatan kaki no. 15 Skripsi ini, Bab I, hlm. 7, supra. 20 Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta. Surat bukan akta adalah surat yang tidak ada tanda tangannya. Sedangkan akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.23 Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.24 Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.25 Keterangan saksi yang diberikan di dalam persidangan harus mengenai peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan dugaan bukan merupakan kesaksian. Kesaksian ini diperlukan guna menguatkan tentang kebenaran dalil yang diajukan pihak yang 23 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 109. 24 Ibid, hlm. 110. 25 Ibid, hlm. 117. 21 berperkara sebagai dasar dari putusan hakim. Keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain tidak dapat dipercayai di dalam hukum (unus testis nullus testis). Alat bukti saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas memberikan penilaiannya atas kesaksian seseorang/beberapa orang yang diajukan di persidangan.26 Persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditariknya suatu peristiwa yang sudah diketahui ke arah peristiwa yang belum diketahui. Jadi, persangkaan merupakan alat bukti tidak langsung yang ditarik dari alat bukti lain, atau merupakan uraian hakim dengan mana hakim menyimpulkan dari fakta yang terbukti ke arah fakta yang belum terbukti.27 Pengakuan ialah suatu pernyataan lisan/tertulis dari salah satu pihak berperkara yang isinya membenarkan dalil lawan bagian sebagian atau seluruhnya.28 Ada dua macam pengakuan (Pasal 1923 BW), yaitu: pertama, pengakuan di muka hakim di depan persidangan (Gerechtelijke bekentenis). Pengakuan di sini ada yang diberikan secara tegas, sehingga memberikan kepastian kepada hakim. Ada juga pengakuan yang diberikan secara diam-diam yang tidak memberikan kepastian kepada hakim, sehingga hakim bebas menilainya.29 Kedua, Pengakuan di luar sidang, yaitu pengakuan yang 26 Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Op. Cit., hlm. 74. 27 Ibid, hlm. 77. 28 Ibid, hlm. 78. 29 Ibid, hlm. 78. 22 artinya suatu pernyataan pihak di luar sidang yang lainnya membenarkan dalil lawan sebagian atau seluruhnya.30 Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Tuhan. Jadi, pada hakekatnya sumpah merupakan tidankan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.31 Sumpah ini ada tiga macam, yaitu: pertama, sumpah pelengkap (suppletoir). Sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.32 Kedua, sumpah pemutus (decisoir). Sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.33 Ketiga, Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed). Sumpah penaksiran yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.34 Menurut Penulis, semua elemen pembuktian yang telah diuraikan di atas adalah alat bukti. 30 Ibid, hlm. 79. 31 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 136. 32 Ibid, hlm. 137. 33 Ibid, hlm.138. 34 Ibid, hlm.138. 23 2.5. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Meskipun fokus penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini hanya menyangkut alat bukti dalam perkara perdata, namun agar lebih mendalam Penulis merasa perlu dikemukakan disini mengenai suatu studi perbandingan (comparative study) dengan aspek pidana. Pembuktian dalam hukum acara pidana memegang peranan yang sangat penting, karena menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Pembuktian menurut hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.35 Dikaji dari prespektif yuridis, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakaan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.36 Dalam hukum acara pidana pembuktian sudah dimulai pada tahap penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyelidikan penyelidik mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sehingga menurut Penulis, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula 35 Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 159. 36 M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 252. 24 halnya dengan penyidikan yakni tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.37 Artinya pembuktian dalam hukum acara pidana berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana oleh hakim, kecuali menurut pendapat Penulis, diskresi menyatakan bahwa penyidikan tidak diteruskan. Hal ini berarti bahwa pembuktian berhenti pada diskresi yang diambil pejabat yang berwenang. Pembuktian pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin.38 Kegiatan pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya jaksa penuntut umum yang melakukan penuntutan dan adanya terdakwa atau beserta penasihat hukum (advokat) yang sebelumnya melalui suatu proses penyelidikan dan penyidikan.39 Dikaji dari prespektif hukum pidana, hukum pembuktian ada, lahir, tumbuh dan berkembang dalam rangka untuk menarik suatu konklusi bagi hakim di depan sidang pengadilan untuk menyatakan terdakwa terbukti ataukah tidak terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, dan akhirnya dituangkan hakim dalam rangka penjatuhan pidana kepada terdakwa.40 37 Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 160. 38 Ibid, hlm. 160. 39 Ibid, hlm. 161. 40 Ibid, hlm. 164. 25 2.6. Metode Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Pertama, conviction-in time. Metode pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Menurut pendapat Penulis, hal seperti ini mungkin saja terjadi apabila hakim yang terbebas dari dugaan suap atau korupsi merasa yakin (subyektifitas) bahwa alat-alat bukti yang diajukan kepadanya adalah alat-alat bukti rekayasa untuk menghukum terdakwa yang tidak bersalah. Dalam metode pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim, suatu pandangan yang sangat rawan subyektifitas dan rawan abuse of power,41 namun, hukum mengijinkan hal itu sebab hakim bertanggungjawab kepada Tuhan. Hal seperti ini juga, dalam kaitan dengan alat bukti lainnya dalam pembuktian dengan alat bukti lainnya dalam pembuktian Penulis sebut dengan alat bukti. Kedua, conviction-raisonee. Dengan alat ini pun dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan 41 M Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm. 277. 26 tetapi, di sini faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Pembatasan ini adalah bahwa keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Tegasnya, keyakinan hakim dengan alat ini, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.42 Pandangan terhadap hukum ini agak sedikit sekuler, sebab mengandalkan sepenuhnya pada akal sehat yang umum atau commonsence. Ketiga, pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut alat ini menekankan bahwa “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim di sini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa memersoalkan keyakinan hakim.43 Keempat, pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Alat bukti ini merupakan cara antara alat pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian ini merupakan keseimbangan antara dua cara yang terkesan saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, alat bukti ini terlihat seolah-olah 42 Ibid, hlm. 278. 43 Ibid, hlm. 278. 27 “menggabungkan” antara pembuktian menurut keyakinan dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusannya berbunyi: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya sematamata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.44 Menurut Penulis, rumusan seperti ini terlihat tautologis dan retorik, sebab pada ujung-ujungnya dalam setiap pembuktian semuannya sangat bergantung kepada keyakinan hakim. Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari bunyi Pasal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa KUHAP menganut sistem “pembuktian undang-undang secara negatif”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk 44 Ibid, hlm. 279. 28 menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:45 kesalahannya terbukti dengan sekurangkurangnya “dua alat bukti yang sah”; atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 2.7. Alat-alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana Dalam hukum acara pidana Indonesia, alat-alat bukti diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana alat-alat bukti tersebut antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Keterangan saksi secara eksplisit diatur dalam Pasal 1 Angka (27) KUHAP yang menyatakan: “Keterangan saksi adalah salah satu46 alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.” Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya itu. Keterangan ahli adalah adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu 45 Ibid, hlm. 280. 46 Perkataan “adalah salah satu” dalam rumusan pasal di atas memperlihatkan bahwa konsep alat bukti adalah suatu konsep yang sangat luas. Bahkan di atas, dengan berdasar pada pandangan seperti itu, Penulis menggantikan kata sistem pembuktian dengan alat pembuktian. 29 perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Angka (28) KUHAP). Keterangan ahli sebagai alat bukti dalam praktik esensinya mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrijsbewijskracht” sehingga terserah kepada penilaian dan kebijaksanaan hakim yang menangani perkara. Hakim tidak ada keharusan menerima kebenaran ahli tersebut secara limitatif.47 Menurut pendapat Penulis, di sini terlihat bahwa hukum tidak mengijinkan apabila ahli dalam bidang apapun mendikte keyakinan hakim, sebagai alat bukti. Surat sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 Ayat (1) huruf (c) KUHAP. Surat juga ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.” 47 Ibid, hlm. 186. 30 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Terlihat disini bahwa hati nurani, sesuatu yang metafisis pun menjadi bagain dari alat bukti. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain, dalam rangka memenuhi tuntutan minimum pembuktian, dua alat bukti dalam alat bukti. 31 2.8. Alat-Alat Bukti Undang-Undang ITE Konvergensi Telekomunikasi Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Kaedah ini berada dalam satu sistem pembuktian atau berkonvergensi dengan UU Telekomunikasi.48 Informasi Elektronik yang merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, dan dokumen elektronik yang merupakan setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut UU ITE. 48 Mengenai konvergensi ini, telah Penulis kemukakan di atas. Perhatikan, catatan kaki no. 1 pada Bab I skripsi ini. Untuk uraian lebih lanjut Penulis ketengahkan pada halaman selanjutnya, setelah halaman ini. 32 2.9. Arti Penting Studi Kepustakaan Apabila pemahaman definitif sebagaimana dikemukakan di atas diperhatikan dengan seksama ada satu kata yang mengatakan bahwa e-mail merupakan alat bukti; baik dalam acara perdata maupun acara pidana elektronik. Mengingat e-mail hanya ada apabila komputer dihubungkan pada jaringan telekomunikasi, maka dalam kaitan dengan asas konvergensi, Penulis perlu mengemukakan di sini definisi jaringan telekomunikasi sebagaimana dikemukakan di dalam UU Telekomunikasi (UU No. 36 tahun 1999). Namun, sebelum definisi jaringan telekomunikasi itu dipaparkan, perlu Penulis nyatakan di sini bahwa prespektif untuk memahami konvergensi antara UU ITE dan UU Telekomunikasi dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum49 harus dilihat sebagai suatu sistem yang didefinisikan: “segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya”. Dalam spirit kontrak sebagai nama ilmu hukum seperti telah Penulis kemukakan di atas maka setiap kali Penulis hendak memahami suatu issu hukum, dalam konteks penulisan karya tulis kesarjanaan ini yaitu e-mail sebagai alat bukti, maka Penulis tidak 49 Kepustakaan mengenai Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum yang Penulis maksudkan dapat dilihat dalam Jeferson Kameo, S.H., LLM, Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hlm. 2. 33 bisa hanya menggambarkan e-mail dengan melihat UU ITE saja. Tetapi, juga Penulis harus melihat e-mail dalam kaitannya dengan suatu sistem yang berkonvergensi dengan UU Telekomunikasi; demikian pula putusan pengadilan sepanjang e-mail dijadikan alat bukti dalam perkara itu dan ketentuan hukum acara yang mengatur mayantara yang berlaku. Selanjutnya dalam prespektif Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum sebagaimana telah Penulis uraikan di atas, pemahaman terhadap e-mail sebagai alat bukti harus pula dilihat dalam prespektif hukum yang mengatur pembuktian pada umumnya, plus, dalam konteks skripsi ini perbandingannnya dengan hukum acara pidana konvensional yang berlaku. Khususnya hukum yang mengatur pembuktian dalam acara yang berlaku; mulai dari proses pengumpulan alat bukti sampai dengan proses penentuan dan verifikasi alat bukti oleh hakim di pengadilan dan putusan hakim yang dibuat atas dasar alat bukti yang dibawa di pengadilan acara perdata. Kaitan dengan tuntutan prespektif Kontrak Sebagai Ilmu Hukum dimaksud; UU Telekomunikasi merekam kehendak pembuat UU itu, bahwa yang dimaksud dengan jaringan telekomunikasi adalah “rangkaian perangkat telekomunikasi yaitu sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi dan pelengkapannya yaitu setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi bertelekomunikasi, dimana yang digunakan telekomunikasi adalah dalam setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, 34 suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.” 50 Sementara itu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu antara lain: “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Dokumen Elektronik juga oleh UU ITE telah didefinisikan sebagai: “setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang merupakan alat bukti hukum yang sah, tidak berlaku untuk: Surat yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk tertulis, antara lain meliputi tetapi tidak terbatas pada 50 Pasal 1 Angka (6) UU Telekomunikasi. 35 surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. 36