BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Frekuensi Pemberian Makanan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Frekuensi Pemberian Makanan Sumber Protein Pada Balita
1. Frekuensi Pangan
Frekuensi pemberian makanan sumber protein pada balita adalah
berapa kali perhari pemberian pangan sumber protein pada balita, berapa
kali dalam seminggu, hingga berapa kali per tahun, setelah itu dibuat ratarata harian. Seberapa sering makanan sumber protein dikonsumsi dapat
menjadi indikator kemungkinan kekurangan maupun kelebihan protein.
Cara menyajikan frekuensi pangan sumber protein berdasarkan frekuensi
yang paling sering dikonsumsi, baik protein hewani maupun nabati.
Metode Kuesioner Frekuensi Pangan (Food Frequency Questionaire /
FFQ) merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan dalam
Survei Konsumsi Gizi yang memiliki banyak kelebihan, yaitu cepat,
murah, mudah dilakukan dilapangan dan mampu mendeteksi kebiasaan
makan masyarakat dalam jangka panjang dalam waktu yang relatif singkat.
Langkah pertama dalam melakukan FFQ membuat kuesioner frekuensi
pangan berdasarkan kebutuhan zat gizi yang diteliti serta kebiasaan makan
masyarakat, sehingga tidak perlu semua nama makanan masuk ke dalam
kuesioner namun juga tidak ada nama makanan yang tidak terekam di
kuesioner karena terlewat didata. ( Widajanti, L.2009).
Daftar nama makanan dan minuman dibuat berdasarkan kelompok
pangan lalu dibuat kategori respon berapa kali frekuensi yang ada terhadap
daftar nama makanan yang sudah dibuat. Frekuensi pangan yang ditulis
berupa berapa kali perhari hingga berapa kali per tahun, setelah itu dibuat
rata-rata harian. Kadang-kadang diperlukan nilai baru untuk pengolahan
lebih lanjut, sehingga frekuensi konsumsi diberikan skor atau nilai.
Kategori nilai atau skor yang biasa dipakai menurut Suhardjo et al (1988)
yang dimodifikasi adalah : A (Sering sekali dikonsumsi)= lebih dari 1 kali
sehari (tiap kali makan), skor = 50; B (Sering dikonsumsi) = 1 kali sehari
(4-6 kali seminggu), skor = 25; C (Biasa dikonsumsi) = 3 kali perminggu,
skor = 15; D (Kadang-kadang dikonsumsi) = kurang dari 3 kali perminggu
(1-2 kali perminggu), skor = 10; E (Jarang dikonsumsi) = kurang dari 1
kali perminggu, skor = 1; F (Tidak pernah dikonsumsi), skor = 0.
2. Protein
a. Definisi
Protein berasal dari kata Yunani proteos, yang berarti yang
utama atau yang didahulukan. Kata ini diperkenalkan oleh seorang ahli
kimia Belanda, Geradus Mulder (1802-1880), karena ia berpendapat
bahwa protein adalah zat yang paling penting dalam setiap organisme.
(Almatsier, S.2009).
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan
bagian terbesar tubuh sesudah air, yaitu seperlima bagian dari tubuh
adalah protein, separonya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang
dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam
jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon,
pengangkut zat-zat gizi dan darah adalah protein. (Almatsier, S.2009)
b. Sumber Protein
Bahan makanan hewani merupakan protein yang baik, dalam
jumlah maupun mutu, seperti daging, ikan, unggas, kerang, telur, susu
dan produk olahannya. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai
dan hasil olahannya seperti tempe dan tahu serta kacang-kacangan yang
lain. Sebagian kecil protein terdapat dalam sayuran dan buah-buahan.
Padi-padian dan hasilnya relatif rendah dalam protein, tetapi karena
dimakan dalam jumlah banyak memberi sumbangan besar terhadap
konsumsi protein sehari. Menurut catatan Biro Pusat Statistik tahun
1999, rata-rata 51,4 % konsumsi protein penduduk sehari berasal dari
padi-padian. Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu
tinggi, tetapi hanya 18,4 % konsumsi rata-rata penduduk Indonesia.
Bahan makanan nabati kontribusinya terhadap konsumsi protein hanya
9,9 %. Sayur dan buah-buahan kontribusinya rata-rata terhadap
konsumsi protein 5,4 %. (Almatsier, S.2009)
TABEL 1.
MAKANAN SUMBER PROTEIN HEWANI. SATU SATUAN PENUKAR
MENGANDUNG 95 KALORI, 4 g PROTEIN, DAN 6 g LEMAK.
------------------------------------------------------------------------------------Bahan makanan
Berat (gram)
Ukuran Rumah Tangga (URT)
------------------------------------------------------------------------------------Daging sapi
25
1 potong sedang
Daging ayam
25
1 potong kecil
Hati sapi
25
1 potong sedang
Babat
60
2 potong sedang
Usus sapi
75
3 bulatan
Telur ayam buras
75
2 butir
Telur ayam ras
60
1 butir besar
Telur bebek
60
1 butir
Ikan segar
50
1 potong sedang
Ikan asin
25
1 potong sedang
Ikan teri
25
2 sendok makan
Udang basah
50
¼ gelas
Keju
30
1 potong sedang
Bakso daging
100
20 biji kecil
------------------------------------------------------------------------------------------Sumber
: Jokohadikusumo, P. (2010)
TABEL 2.
MAKANAN SUMBER PROTEIN NABATI SATU SATUAN
PENUKAR MENGANDUNG 80 KALORI, 6 g PROTEIN,3 g LEMAK
------------------------------------------------------------------------------------------
Bahan makanan
Berat (gram) Ukuran rumah tangga (URT)
-----------------------------------------------------------------------------------Kacang hijau
25
2.5 sendok makan
Kacang kedelai
25
2,5 sendok makan
Kacang merah
25
2,5 sendok makan
Kacang tanah terkupas
20
2 sendok makan
Keju kacang tanah
20
2 sendok makan
Oncom
50
2 potong sedang
Tahu
100
1 biji
Tempe
50
2 potong sedang
-------------------------------------------------------------------------------------------Sumber
: Jokohadikusumo, P. (2010)
c. Fungsi Protein
Fungsi protein ada beberapa macam sebagai berikut :
-
Membentuk
jaringan
perkembangan
baru dalam masa pertumbuhan dan
-
Memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan
yang aus, rusak atau mati.
-
Menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk
enzim pencernaan dan metabolisme serta antibodi yang diperlukan.
-
Mengatur keseimbangan air yang terdapat dalam intraseluler,
ekstraseluler/interseluler dan intravaskuler.
-
Mempertahankan kenetralan (asam-basa) tubuh.
(Yuniastuti, A. 2008)
d. Kebutuhan Protein
Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1985) adalah “
konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh
dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa
pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui “.
Widyakarya Pangan Nasional dan Gizi 2004, menetapkan Angka
Kecukupan Protein (AKP) untuk penduduk Indonesia berdasarkan berat
badan patokan, mutu protein, dan daya cerna Protein.
kualitas
protein
ditentukan
oleh
susunan
asam
Mutu atau
amino
yang
membentuknya, Asam amino inilah yang akan diserap ke dalam
pembuluh darah. Dari berbagai asam amino yang diperlukan, tidak
semua dapat disintesis tubuh sehingga harus didapat dari makanan dan
disebut asam amino esensial, Jumlah dan jenis asam amino dalam
makanan yang mengandung protein bervariasi dan berbeda. Protein
hewani disebut “ protein lengkap” karena jumlah dan jenis asam amino
esensial yang terkandung di dalamnya lengkap dan cukup. Protein
nabati kandungan asam amino esensialnya rendah, tetapi dengan cara
mencampur beberapa protein nabati dalam menu sehari-hari seperti nasi
dan tempe, kebutuhan asam amino esensial akan saling mencukupi,
meski tidak sebaik protein hewani. Untuk anak pada masa
pertumbuhan, disarankan mengkonsumsi protein hewani seperti susu,
telur, daging, ikan atau daging unggas, agar asam amino esensial yang
terkandung dapat menunjang tumbuh kembang dengan baik. Pada bayi
yang terus disusui sampai satu tahun atau lebih adalah cara paling
mudah dan praktis untuk mendapatkan masukan protein berkualitas
(Waluyo,K. 2010)
TABEL 3.
ANGKA KECUKUPAN PROTEIN BALITA DAN ANAK SAMPAI
USIA 9 TH YANG DIANJURKAN PER ORANG PER HARI
------------------------------------------------------------------------------------Golongan Umur Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)
Protein (g)
-------------------------------------------------------------------------------------0 - 6 bl
6,0
60
12
7 - 12 bl
8,5
71
16
1 – 3 th
12
90
25
4 – 6 th
17
110
39
7 – 9 th
25
120
45
---------------------------------------------------------------------------------------------Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi, 2004. dalam Almatsier, S.
e. Kekurangan Protein
Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial
ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat
menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun
(balita). Istilah kwashiorkor diperkenalkan oleh Dr.Cecily Williams
pada tahun 1933, ketika ia menemukan keadaan ini di Ghana, Afrika.
Kwashiorkor dalam bahasa Ghana artinya penyakit yang diperoleh anak
pertama, bila anak kedua sedang ditunggu kelahirannya. Gejala
kwashiorkor adalah pertumbuhan terhambat, otot-otot berkurang dan
melemah, edema, muka bulat seperti bulan (moonface) dan gangguan
psikomotor. Edema terutama pada perut, kaki, dan tangan merupakan
ciri khas kwashiorkor. Anak apatis, tidak ada nafsu makan, tidak
gembira dan suka merengek. Kulit mengalami depigmentasi, kering,
bersisik, pecah-pecah, dan dermatosis. Luka sukar sembuh. Rambut
mengalami depigmentasi, menjadi lurus, kusam, halus, dan mudah
rontok (rambut jagung). Hati membesar dan berlemak; sering disertai
anemia dan xeroftalmia. Kekurangan protein sering ditemukan secara
bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang
dinamakan marasmus. Sindrome gabungan antara dua jenis kekurangan
ini dinamakan Kurang Energi-Protein/KEP. ( Almatsier, S.2009).
f. Kelebihan Protein
Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh. Makanan
yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan
obesitas. Diet protein tinggi yang sering dianjurkan untuk menurunkan
berat badan kurang beralasan. Kelebihan protein dapat menimbulkan
masalah lain, terutama pada bayi. Kelebihan asam amino memberatkan
ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan
nitrogen. Kelebihan protein akan menimbulkan asidosis, dehidrasi,
diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum darah, dan demam.
( Almatsier, S.2009)
3. Faktor–Faktor yang mempengaruhi frekuensi pemberian makanan
sumber protein pada balita.
a. Faktor Ekonomi
Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi
pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian
yang serius karena keadaan ini relatif mudah diukur dan berpengaruh
besar pada konsumsi pangan. Pemberian makanan sumber protein untuk
konsumsi balita dan keluarga sangat dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga. Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik akan naik pula
jumlah dan jenis bahan makanan yang dibeli, termasuk makanan
sumber protein yang dikonsumsi sebagai lauk pauk. Masyarakat dengan
pendapatan rendah harus membagi-bagi pendapatannya selain untuk
keperluan makan keluarga, juga untuk berbagai keperluan lainnya;
pendidikan, transportasi, dll, sehingga tidak jarang persentase
pendapatan untuk keperluan penyediaan makanan hanya kecil saja.
Dengan demikian besar kecilnya pendapatan mempengaruhi pola
konsumsi keluarga yang pada akhirnya akan berimbas pada keadaan
gizi keluarga, khususnya anak balita yang rawan gizi.(Suhardjo,2005)
b. Faktor Budaya
Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah
gizi diberbagai masyarakat. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan
suatu kebiasaan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan
prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai
yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan, misalnya bahan
makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu
untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu.
Budaya di masyarakat masih ada yang memprioritaskan anggota
keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah
disiapkan yaitu umumnya kepala keluarga. Anggota keluarga lainnya
menempati urutan prioritas berikutnya, dan yang paling umum
mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga. Apabila
hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh sesuatu budaya,
sedangkan di lain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga
yang bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan
yang tidak baik di antara anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut
berlangsung lama dapat berakibat timbulnya masalah gizi kurang di
dalam keluarga yang bersangkutan, terutama pada golongan rawan
seperti
ibu
hamil,
ibu
menyusui,
bayi
dan
anak-anak
balita.(Suhardjo.2005)
c. Banyaknya Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga yang banyak akan berpengaruh pada
konsumsi makanan keluarga, khususnya keluarga miskin. Pemenuhan
kebutuhan makan keluarga akan lebih mudah jika yang harus makan
jumlahnya sedikit. Apabila besarnya keluarga bertambah, maka pangan
untuk setiap anak akan berkurang. Ironisnya jumlah anggota keluarga
yang banyak sebagian besar ditemui pada keluarga miskin, sehingga
banyak anak-anak keluarga miskin menderita gizi kurang / buruk karena
konsumsi
makanannya
kurang,
baik
jumlah
maupun
mutunya.
(Suharjo, 1986)
4. Penyebab masalah gizi / Kurang Energi Protein (KEP) pada balita
(Depkes RI, 2007)
a. Penyebab langsung
Konsumsi makanan yang kurang dan penyakit infeksi
merupakan faktor utama yang mempengaruhi timbulnya masalah
kurang gizi pada balita. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi,
anak yang menderita kurang gizi sangat rentan terkena penyakit infeksi,
sementara anak yang menderita sakit cenderung nafsu makannya
menurun sehingga anak beresiko jatuh dalam kondisi kurang gizi.
b. Penyebab tak langsung
Tidak cukup tersedianya pangan di rumah tangga, kurang
baiknya pola pengasuhan anak karena pengetahuan ibu yang kurang,
terutama dalam pemberian makanan sumber protein pada anak
mengakibatkan anak tidak mendapatkan makanan sesuai kebutuhan.
Pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau serta kesehatan lingkungan
yang buruk menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi.
c. Masalah utama
Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan
keluarga
tidak dapat menyediakan makanan yang cukup dan biaya
untuk pelayanan kesehatan. Rendahnya kesempatan kerja dan
ketersediaan pangan di pasar juga mempengaruhi kemampuan keluarga
dalam menentukan pola makan dan kebiasaan hidup sehat dalam
keluarga tersebut.
d. Masalah dasar
Akar masalah yang mendasari munculnya banyak kasus anak gizi
buruk adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan social termasuk
kejadian bencana. Rusaknya jaringan produksi, distribusi dan penjualan
bahan
pangan
serta
makanan
mengakibatkan
mendapatka asupan makanan yang cukup.
B. Pengetahuan Ibu Tentang Makanan Sumber Protein
penduduk
tidak
Pengetahuan ibu tentang makanan sumber protein adalah kepandaian
yang dimiliki oleh ibu
tentang zat gizi protein yang meliputi makanan
sumber protein, fungsi, kebutuhan, kekurangan dan kelebihan protein. Ibu
yang berperan dominan dalam mengatur menu, dituntut untuk memahami
seluk beluk makanan yang berkaitan dengan gizi agar dapat meningkatkan
gizi keluarga.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut
Erfandi, 2009, yaitu :
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Seseorang dengan pendidikan tinggi maka akan cenderung untuk
mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan
yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan
dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang
tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan
bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak
berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan tidak mutlak diperoleh di
pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non
formal.
2. Mass Media / Informasi.
Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa
yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Sebagai sarana
komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat
kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Media massa membawa pula
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.
3. Sosial Budaya dan Ekonomi
Sosial budaya atau kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orangorang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk,
dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun
tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan
tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang.
4. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena ada interaksi timbal balik
ataupun tidak, yang direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan
memberikan pengetahuan dan ketrampilan professional serta pengalaman
belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan
mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan
menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam
bidang kerjanya.
6. Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin baik. Saat usia madya, individu akan berperan aktif dalam
masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan
demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang
usia madya akan lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca.
Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal
dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Semakin tua semakin
bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai semakin banyak hal
yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
C. Kerangka Teori
STATUS GIZI
ASUPAN GIZI
Ketersediaan
Pangan Tingkat
Rumah Tangga
PENYAKIT INFEKSI
Pola asuh Anak/
(Frekuensi Pemberian
Makanan Sumber
Protein)
Pelayanan
Kesehatan &
Sanitasi
Kemiskinan, Pendidikan
Pemberdayaan Wanita & Keluarga
Kesempatan Kerja
Krisis Ekonomi, Politik Dan Sosial
Gambar 1.
(Sumber : UNICEF.dalam Depkes RI.2007)
A. Kerangka Konsep
Frekuensi Pemberian
Pengetahuan Ibu Tentang
Makanan Sumber Protein
Makanan Sumber Protein
Pada Balita
Gambar 2.
Kerangka Konsep Penelitian
E. Hipotesis
Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang makanan sumber
protein dengan frekuensi pemberian makanan sumber protein pada anak balita
usia 1 -2 tahun.
Download