II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perencanaan Wilayah Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah berhak untuk membangun wilayahnya sendiri. Pembangunan yang baik tentunya adalah pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor noncontrollable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut dan menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut (Tarigan,2002). 2.2. Konsep Perkotaan Perkotaan mempunyai beberapa pengertian. Menurut UU No. 22 Tahun 1999, kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. O’Sullivan (2001) dalam Anjani (2007) menyatakan bahwa kota adalah pusat perdagangan dan produksi. Pusat kota adalah wilayah di mana terdapat pusat pelayanan pemerintah. Terdapat pula pengertian area perkotaan, yaitu wilayah yang terdiri dari minimal satu pusat kota dan dikelilingi oleh area yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1000 jiwa per m2, sehingga total penduduk dalam area perkotaan minimal 50 ribu jiwa. Kota metropolitan adalah area yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar di pusat kota dan terintegrasi secara ekonomi. Salah satu karakteristik kota metropolitan adalah jumlah penduduk yang melebihi 50 ribu jiwa. 2.3. Pengertian Investasi Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam Ferdiyan (2006) investasi adalah kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi (produksi) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) pada masa-masa yang akan datang. Pada dasarnya investasi dibedakan menjadi investasi finansial dan investasi non finansial. Investasi finansial adalah bentuk pemilikan instrumen finansial seperti uang tunai, tabungan, deposito, modal dan penyertaan, surat berharga, obligasi dan sejenisnya. Investasi non finansial direalisasikan dalam bentuk investasi fisik (investasi riil) yang berwujud kapital atau barang modal, termasuk pula di dalamnya inventori (persediaan). Namun demikian, investasi finansial dapat juga direalisasikan menjadi investasi fisik. Berdasarkan konsep pendapatan nasional yang mengacu pada A System of National Account (UN, 1968) dalam BPS (2003), pengertian investasi adalah selisih antara stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1), atau setiap ada penambahan atau penimbunan modal. Menurut Mankiw (2004), investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Investasi dibagi menjadi tiga sub kelompok, yaitu investasi tetap bisnis, investasi tetap rumah tangga, dan investasi persediaan. Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan oleh perusahaan; investasi tetap rumah tangga adalah pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah; sedangkan investasi persediaan adalah peningkatan dalam persediaan barang perusahaan, barang dalam proses, dan barang jadi. 2.4. Investasi Asing Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah modal untuk pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri atas : 1. Investasi portofolio (portofolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi potofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun, dan sebagainya. 2. Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrikpabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya. Negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama bagi perusahaan yang menghasilkan barangbarang yang akan diekspor. Di negara maju, modal asing tetap dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar, dan penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang yang sangat memerlukan modal untuk pembangunannya, terutama jika modal dari dalam negeri tidak mencukupi. Untuk menarik masuknya investasi asing ke dalam negeri, maka diperlukan upaya, antara lain dengan proses promosi ke negara-negara maju, menciptakan iklim yang kondusif untuk penanaman modal, misalnya dengan menciptakan peraturanperaturan yang jelas untuk kelancaran investasi, menjaga kestabilan politik dan ekonomi, serta menyediakan sarana dan infrastruktur yang mendukung. Diperlukan juga badan yang mengawasi kelancaran kegiatan penanaman modal, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang ada di Indonesia. Pelaksanaan PMA diatur oleh pemerintah dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan diperbaharui oleh UU No 11 Tahun 1970 tentang penanaman modal asing. UU itu didukung oleh berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan dalam paket-paket deregulasi. 2.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Investasi a. Pendapatan Riil Penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Perubahan laju pertumbuhan investasi tersebut memengaruhi tinggi rendahnya pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, setiap negara ataupun daerah tentu berupaya menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi agar investasi dapat masuk ke dalamnya. Investasi merupakan salah satu komponen dari Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara, sedangkan komponen lainnya adalah konsumsi, pembelian pemerintah dan ekspor bersih negara tersebut. Hubungan antara PDB dan investasi dapat dilihat pada Gambar 3 Y (PDB) I=I I Sumber : Mankiw (2004) Gambar 3. Hubungan Investasi dan PDB b. Tenaga Kerja Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap nilai total realisasi investasi. Semakin banyak tenaga kerja pada suatu sektor perekonomian maka akan mendorong terjadinya penurunan tingkat upah, sehingga biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh investor menurun. Penurunan biaya ini tentunya akan meningkatkan keuntungan yang diperoleh investor yang tentunya akan menjadi daya tarik bagi investor untuk melakukan investasi (Sukirno, 1985). c. Inflasi Inflasi dapat didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga-harga umum atau harga rata-rata yang berlangsung terus-menerus dengan laju yang tidak kecil (Ackley, 1961). Inflasi memengaruhi investasi, walaupun secara tidak langsung. Ketika terjadi inflasi maka harga-harga pada umumnya akan mengalami kenaikan, termasuk harga faktor produksi. Ketika harga-harga faktor produksi meningkat, investor cenderung akan mengurangi investasinya. Menurut teori aliran klasik, inflasi terjadi apabila kuantitas uang bertambah, dan inflasi berhenti apabila kuantitas uang distabilisasi. Dalam hal ini, tingkat harga sangat bergantung secara langsung dengan kuantitas uang; sedangkan menurut Keynes suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun kuantitas uang konstan (Ackley, 1961). d. Infrastruktur Infrastuktur adalah salah satu faktor pendukung dalam pembangunan. Banyak daerah yang memiliki kekayaan alam yang baik tetapi belum dapat dimaksimalkan penggunaannya karena keterbatasan infrastruktur yang ada. Infrastuktur juga menjadi salah satu faktor pendukung dalam pelaksanaan investasi. Hasil survei Bank Dunia pada tahun 2007 menyatakan bahwa iklim investasi di Indonesia tergolong buruk. Iklim yang dimaksud antara lain stabilitas ekonomi makro, kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan SDM yang terampil, dan ketersediaan infrastruktur (jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dsb). Semakin banyak jalan dengan kondisi baik (diaspal) akan memperlancar proses distribusi produk. Semakin lancar proses distribusi maka biaya produksi akan menurun. Biaya produksi yang rendah merupakan salah satu daya tarik bagi investor. Oleh karena itu, semakin banyak jalan yang diaspal akan semakin banyak realisasi investasi yang ada. e. Kebijakan Peraturan Perundang-Undangan Investasi juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang mendorong atau membatasi investasi melalui peraturan perundang-undangan, misalnya undangundang pajak dan pabean atau paket-paket kebijakan tentang undang-undang investasi yang mempermudah pelaksanaan investasi di Indonesia (Mankiw, 2004). Pelaku investasi tentunya mempunyai ekspektasi yang baik terhadap investasi yang akan dilakukannya. Korupsi, kurangnya transparansi dan keefisienan merupakan faktor yang menghambat investasi. Maka dari itu dibuat peraturan perundangundangan untuk mengatasinya. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang ada sehingga dapat mendorong timbulnya investasi. 2.6. Analisis Shift Share Shift Share (SS) diperkenalkan oleh Perloff et all. Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Adapun kegunaan dari analisis ini yaitu : 1. Menganalisis perkembangan sektor perekonomian suatu wilayah terhadap wilayah lain yang lebih luas (wilayah diatasnya). 2. Menganalisis perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain. 3. Membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor di wilayah tertantu dan pertumbuhan antar wilayah sehingga dapat diketahui perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lain. Analisis ini juga dapat digunakan untuk menduga kebijakan nasional/wilayah mengenai investasi. Sebagai sebuah alat analisis Shift Share tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan. Keunggulan Analisis Shift-share antara lain : 1. Analisis Shift-share tergolong sederhana namun dapat memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. 2. Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat. Adapun kelemahan dari analisis Shift-share antara lain : 1. Hanya dapat digunakan untuk analisis ex-post. 2. Komponen PP dan PPW mengasumsikan bahwa perubahan penawaran dan pemintaan, teknologi dan lokasi diasumsikan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan wilayah. 3. Ada data periode waktu tertentu ditengah periode pengamatn yang tidak teranalisis. 4. Tidak dapat dipakai untuk melihat keterkaitan antar sektor dan tidak ada keterkaitan antar daerah. 2.7. Konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pelayanan Terpadu Satu Pintu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini, pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sernua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Pembinaan sistem ini dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah sesuai dan kewenangan masing-masing. Pelayanan satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan di bidang penanaman modal yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap pengeluaran dokumen dilakukan dalam satu tempat. Konsep pelayanan satu pintu terdiri dari penyederhanaan perizinan, penyederhanaan prosedur, penyederhanaan waktu, dan penyederhanaan pembiayaan. Jangka waktu paling lama pengeluaran izin tidak lebih dari 15 hari. Biaya perizinan ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah. 2.8. Penelitian Terdahulu Adapun beberapa penelitian terdahulu yang menjadi rujukan dalam penelitian ini diantaranya penelitian Masitoh (2007) yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Investasi di Indonesia” mengenai faktor-faktor yang memengaruhi investasi di Indonesia serta kebijakan apa yang dapat diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan kembali investasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan pengolahan data menggunakan program E-views 4 dan Microsoft Excel. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan investasi, yaitu pendapatan riil perkapita, investasi pemerintah khusus infrastruktur, upah minimum, pajak dan inflasi. Pendapatan riil per kapita dengan elastisitas sebesar 0,8875, investasi pemerintah khusus infrastruktur dengan elastisitas 0,8407, dan upah minimum dengan elastisitas sebesar 1,514 berpengaruh positif terhadap investasi PMDN, sedangkan variabel pajak dengan elastisitas -0,5747 berpengaruh negatif terhadap investasi PMDN. Banyaknya pajak dan retribusi baru yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dapat menambah biaya tinggi bagi investor sehingga dapat memberikan pengaruh yang negatif. Variabel pendapatan riil perkapita, upah minimum, dan inflasi secara signifikan berpengaruh terhadap investasi PMA, sedangkan variabel investasi pemerintah khusus infrastruktur dan pajak tidak berpengaruh terhadap kegiatan investasi asing di Indonesia. Pendapatan riil per kapita, upah minimum berpengaruh positif terhadap investasi PMA dengan elastisitas masing-masing sebesar 1,136 dan 1,6607, sedangkan laju inflasi berpengaruh negatif terhadap investasi PMA dengan elastisitas sebesar -0,0063. Di samping itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada peningkatan sarana dan prasarana berupa penyediaan barang-barang publik sehingga infrastruktur yang memadai akan mendorong investasi baik dari dalam maupun luar negeri. Penelitian Anjani (2007) yang berjudul “Analisis Pertumbuhan SektorSektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus : Kota Depok)” mengidentifikasi tentang pertumbuhan PDRB sektor-sektor ekonomi Kota Depok sebelum dan pada masa otonomi daerah, menganalisis laju pertumbuhan serta daya saingnya, dan mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian yang ada di kota tersebut. Penelitian ini menggunakan metode Shift Share. Berdasarkan hasil penelitian, pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok selama otonomi daerah tahun 2001-2004 mengalami peningkatan sebesar Rp 276.897,01 juta. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar, sedangkan sektor pertanian memiliki pertumbuhan terkecil. Pada masa otonomi daerah, Kota Depok memiliki laju pertumbuhan sebesar 2,07 persen. Daya saing Kota Depok terhadap provinsi Jawa Barat tahun 2001-2004 adalah sebesar 2,46 persen yang menunjukkan bahwa secara umum sektor-sektor perekonomian yang ada di Kota Depok memiliki daya saing yang cukup baik bila dibandingkan wilayah lain yang ada di provinsi Jawa Barat. Dewi (2007) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kawasan Timur Indonesia sebelum dan pada awal otonomi daerah dengan menggunakan analisis Shift Share. Berdasarkan hasil penelitian tersebut secara keseluruhan pada masa sebelum dan awal otonomi daerah pertumbuhan ekonomi Kawasan Indonesia Timur termasuk dalam pertumbuhan yang progresif (maju) namun apabila dilihat dari masing-masing sektor masih terdapat sektor yang mempunyai pertumbuhan lambat. 2.9. Kerangka Pemikiran Setelah diterapkannya sistem desentralisasi di Indonesia, maka setiap daerah berlomba-lomba meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan di daerahnya masingmasing karena selama diberlakukannya sistem sentralisasi ada beberapa daerah yang mengalami ketidakmerataan pembangunan. Dengan adanya desentralisasi tentu saja berpengaruh pada perekonomian daerah yang mengalaminya, termasuk Kota Cimahi. Desentralisasi membuat Kota Cimahi mengatur sendiri perekonomiannya dengan membuat kebijakan otonomi daerah yang mengatur berbagai hal, termasuk perekonomian. Maka dari itu ingin dilihat bagaimana pengaruhnya, terutama kepada pertumbuhan ekonomi Kota Cimahi dan sektor-sektor perekonomiannya. Penelitian ini akan melihat bagaimana keadaaan perekonomian Kota Cimahi dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada investasi di Kota Cimahi terutama investasi asing dan bagaimana perkembangan perekonomian yang ada di kota tersebut.. Perubahan Status Kota Cimahi Faktor-faktor yang memengaruhi investasi Perekonomian Kota Cimahi Pertumbuhan SektorSektor Perekonomian Kota Cimahi sebagai Peraih Investment Award Analisis Shift Share Investasi Kota Cimahi Regresi Linier Berganda Rekomendasi Kebijakan Gambar 4. Kerangka Pemikiran 2.10. Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang ada dan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan beberapa hipotesis, yaitu : 1. Variabel infrastruktur diduga mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah investasi. Semakin baik infrastruktur maka akan semakin tinggi jumlah investasi yang ada. 2. Variabel tingkat inflasi diduga mempunyai hubungan yang negatif dengan jumlah investasi. Semakin tinggi tingkat inflasi maka akan semakin rendah jumlah investasi yang ada. 3. Variabel tenaga kerja mempunyai hubungan positif dengan tingkat investasi. Semakin banyak tenaga kerja yang tersedia maka nilai investasi akan tinggi , demikian pula sebaliknya jika tenaga kerja yang tersedia sedikit maka nilai investasi akan rendah. 4. Variabel PDRB mempunyai hubungan positif terhadap tingkat inflasi. Semakin besar nilai PDRB maka semakin tinggi nilai investasi dan sebaliknya semakin kecil nilai PDRB maka akan semakin rendah nilai investasinya. 5. Variabel dummy peraturan perundang-undangan mempunyai hubungan positif terhadap investasi. Peraturan dibuat untuk mempersingkat birokrasi sehingga dapat menarik investor untuk berinvestasi. Dengan demikian investasi dapat meningkat.