Konflik Pasca Pilkada: Kasus Depok

advertisement
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Konflik Pasca Pilkada:
Kasus Depok
Abdoel Fattah *
Pendahuluan
Seiring runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto di tengah krisis ekonomi
dan moneter, mulailah era reformasi di Indonesia. Salah satu tuntutan reformasi adalah
mewujudkan kehidupan demokrasi, setelah beberapa dasa warsa di bawah tekanan kekuasaan
otoriter dan sentralistik. Di samping itu, reformasi juga menuntut penegakan supremasi
hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
Era reformasi memberikan harapan besar adanya perubahan dari masa sebelumnya, menuju
penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, memiliki akuntabilitas tinggi, dan
terwujudnya good governance dan clean government. Hal itu diharapkan akan lebih
menguatkan bangsa dalam mencapai tujuan nasional, sebagaimana dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Dalam mencapai tujuan itu, semua elemen
bangsa diharapkan menjunjung tinggi nilai-nilai dan etika demokrasi, perilaku yang
demokratis, kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, persaudaraan dan
persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam kaitan tersebut, telah dilakukan perubahan-perubahan sistem kelembagaan, diawali
dengan amandemen UUD 45. Bersamaan dengan itu disusunlah paket undang-undang politik
antara lain undang-undang partai politik, Pemilu, dan otonomi daerah. Sebagai konsekuensi
perubahan dari sentralisasi menjadi desentarilasi, diharapkan pemerintah daerah lebih
diperankan dalam usaha mensejerahkan rakyat.
Proses pemilihan kepala daerah kian penting dan mendapat perhatian, menjadi ajang
perebutan partai-partai politik kontestan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Maraknya
kemunculan partai politik di era demokrasi menyebabkan sulit bagi suatu partai mencapai
kemenangan mayoritas tunggal dalam Pilkada. Upaya koalisi partai-partai politik ditempuh
untuk memenangkan calon kepala daerah.
*
Dosen Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
1
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Salah satu Pilkada dilakukan di kota Depok, Jawa Barat. Pilkada di Depok berlangsung 26 Juni
2005, berjalan lancar, aman, dan demokratis. Walaupun masih terdapat kekurangan di sanasini tetapi tidak mengganggu proses pemilihan dan nilai demokrasi. Namun, belakangan
muncul perselisihan atas hasil penghitungan suara, ada kontestan yang tidak menerima hasil
penghitungan suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok.
Persengketaan diselesaikan dengan cara-cara yang baik, yaitu melalui saluran hukum.
Walaupun banyak mendapat pujian, cara penyelesaian ini masih menyisakan konflik pasca
Pilkada. Pertanyaannya adalah: ‘mengapa Pilkada Depok menjadi konflik yang berkepanjangan
dan kontroversial?’ Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tinjauan dari
beberapa sudut pandang: kepentingan elit politik dan rakyat, perilaku demokratis, etika
demokrasi, etika politik, dan civility. Data dalam tulisan ini banyak yang diambil dari data
sekunder, terutama dari Sumarno (2006), yang dianalisis secara deskriptif dan interpretasi
kritis. Urutan penulisan disesuaikan dengan kronologi tahap-tahap Pilkada dan pasca Pilkada.
Posisi dan Kekuatan Politik Kota Depok
Depok merupakan daerah penyangga Jakarta yang tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan Depok
bukan saja dari segi ekonomi dan kependudukan, tetapi juga dari segi politik dan pendidikan.
Penduduknya banyak yang bekerja di Jakarta. Dipandang dari lingkup nasional letak Depok
sangat strategis, karena dekat dengan ibu kota negara bukan saja secara geografis tetapi juga
dalam perspektif politik. Kejadian di Depok mendapat perhatian karena bisa berpengaruh pada
kondisi di Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan kepentingan elit politik. Karena itu
kekuasaan di Depok menjadi penting, dan diperebutkan partai-partai politik.
Kekuatan politik di Depok terdiri dari 23 partai politik yang menjadi kontestan Pemilu, namun
yang lolos dalam Pemilu 2004 ada delapan, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI
P), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Damai
Sejahtera (PDS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam Pemilu legislatif tahun 2004,
untuk DPRD Kota Depok PKS mendapat perolehan suara 176.858; Golkar 112.239; PD 102.777;
PDIP 72.647; dan PAN 63.929, sedangkan partai lainnya mendapat perolehan di bawah 50.000
suara. Perolehan suara tersebut sejalan dengan perolehan suara di tingkat nasional. Secara
lengkap data dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
2
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Tabel 1. Perolehan suara dan kursi di daerah pemilihan Depok pada Pemilu 2004
Perolehan
No.
Partai
1.
Suara
Kursi
Prosentase (%)
PKS
176.858
12
24.49
2.
Golkar
112.330
8
14.31
3.
PD
102.777
8
14.23
4.
PDI P
72.647
5
10.06
5.
PAN
63.929
5
8.85
6.
PPP
45.281
4
6.27
7.
PDS
25.929
2
3.59
8.
PKB
23.731
1
3.29
Sumber: KPUD Depok
PKS menempati urutan teratas, walaupun pada Pemilu tahun 1999 dengan nama Partai
Keadilan tidak lolos electoral treshold. Perkembangan PKS didukung kalangan anak muda,
terutama mahasiswa, di samping menunjukkan aktivis-aktivis yang jujur, santun, berakhlak
mulia di tengan-tengah kondisi yang serba diwarnai kecurangan, kebohongan, perilaku
‘menerabas’, korupsi, kolusi, dan nepotisme dan penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak
disenangi masyarakat.
Partai Golkar masih menunjukkan keunggulan karena memiliki banyak pengalaman dalam
politik, dan secara tradisional pengaruhnya masih cukup kuat di tengah masyarakat, dalam arti
lebih dikenal. Golkar sangat dominan selama tiga dasa warsa masa Orde Baru. Demikian juga
aparat pemerintah, masih banyak yang berorientasi pada Golkar. Yang menarik adalah
perolehan suara PD. Partai yang baru lahir menjelang Pemilu 2004 ini mendapat suara yang
signifikan, bahkan menjadi tiga besar di Depok. Kemungkinan hal itu karena partai itu
didirikan Susilo Bambang Yudhoyono, yang tampan, selalu tampil rapi, low profile, tampak
sabar di tengah situasi yang menimpa dirinya ketika ‘dizalimi’ oleh Taufik Kiemas semasa
Megawati Soekarnoputeri menjadi presiden. Akhirnya dia menjadi presiden menggantikan
Megawati Soekarnoputeri setelah memenangi Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2004.
Pada Pemilu 2004, suara PDIP merosot dibanding hasil yang diperoleh pada Pemilu 1999.
Seperti diketahui, sebelum reformasi ada kesan Megawati juga ‘dizalimi’ sehingga mendapat
simpati masyarakat. Merosotnya suara PDI P juga bisa disebabkan brand image yang diusung
pada Pemilu 1999 yaitu sebagai partai wong cilik, tidak terbukti. Bahkan, ketika Megawati
menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid, para menteri dan para petinggi partai
tidak dapat menunjukkan realisasi motto itu. Di samping itu, beberapa kader partai yang
menjadi anggota lembaga legislatif ternyata ‘cacat dari segi hukum’.
3
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Lima belas partai lain kontestan Pemilu tahun 2004 pada umumnya merupakan partai yang
relatif baru. Walaupun partai-partai tersebut mendapat suara, tetapi tidak mencukupi untuk
mendapatkan kursi di lembaga legislatif.
Partisipasi rakyat dalam Pilkada Depok cukup tinggi. Dari sekitar 1,3 juta penduduk, total
jumlah pemilih tercatat 899.419 pemilih. Data KPUD Depok menyebutkan bahwa total suara
sesuai penetapan KPUD adalah 722.225 orang. Suara yang sah yang masuk dan diumumkan
sebagai hasil penghitungan suara adalah 529. 807.
Koalisi dan Konspirasi di Lembaga Legislatif
Usai Pemilu 2004, dilakukan pemilihan ketua DPRD Depok dan perlengkapan dewan (ketuaketua komisi). Walaupun meraih suara tertinggi dalam Pemilu legislatif, PKS tidak bisa
mendudukkan kader untuk memimpin lembaga legislatif di Depok. Dalam pemilihan ketua
dewan, PKS nampak over confident, padahal tidak meraih mayoritas tunggal. Sedangkan
partai-partai peraih suara lain melakukan koalisi untuk menempatkan kadernya. Parta Golkar,
peraih suara dalam urutan kedua, akhirnya memenangi dan menempatkan kadernya sebagai
Ketua DPRD Depok, yaitu Naming D. Bothin. (Dia pernah ditahan di Polda Metro Jaya sekitar
satu bulan, dan pada saat pemilihan masih dalam status tahanan kota atas tuduhan terlibat
korupsi anggaran 9 miliar rupiah.) Akhirnya, PKS hanya bisa menduduki wakil ketua.
Kegagalan PKS untuk mendudukkan kadernya menjadi ketua dewan juga diikuti kegagalan
meraih pimpinan di semua komisi di DPRD Kota Depok.
Fenomena kegagalan PKS menjadi perbincangan umum, dan banyak yang mengatakan
disebabkan adanya semacam ketakutan di antara para kader partai-partai lain terhadap sikap
PKS yang tidak mau kompromi melakukan hal-hal yang berbau KKN dan penyimpangan lain.
Bukan rahasia lagi bahwa saat itu masih banyak yang melakukan KKN. Jika dikaitkan dengan
ekonomi dan bisnis, kekuasaan mengandung arti adanya peluang melakukan KKN. Misalnya
dalam pembangunan daerah, perijinan, dan sebagainya. Dari sudut etika politik, tekad PKS
benar dan perlu didukung. Tetapi PKS seharusnya memiliki strategi dan taktik jitu untuk
meraih sesuatu tanpa harus ikut ‘arus negatif’. Dalam politik diperlukan dialog, kompromi,
negosiasi, dan sikap toleran, tanpa harus mengorbankan prinsip yang dianut. Di samping itu,
PKS nampaknya juga kurang melakukan komunikasi intensif untuk menggalang dukungan
partai-partai lain.
4
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa dalam pemilihan ketua dewan dan ketua komisi ada
konspirasi politik untuk menghadang kader PKS, sementara pihak PKS kurang luwes dan
kurang pengalaman dalam memperjuangkan pelaksanaan prinsip. Politik bukan seperti
berhitung secara matematis. Membuat keputusan dengan menggunakan model probabilitas
atau metode analisis kuantitatif tidak salah, namun harus melihat situasi dan kondisi internal
dan eksternal sebagai right-brain side decision making. Terlepas dari kegagalan meraih jabatan
pimpinan DPRD Depok, dari sudut prinsip dan moral berpolitik, apa yang dilakukan PKS
merupakan langkah baik bagi pembelajaran dan pembangunan politik yang sehat di Indonesia.
Apabila PKS dapat konsisten memegang prinsip, niscaya akan menjadi partai dambaan rakyat
yang bersih dari ‘politik uang’ curang hanya untuk meraih jabatan atau kekuasaan dan terjauh
dari sifat machiavellis, dan berlaku jujur dalam meraih kekuasaan karena memandang
kekuasaan sebagai amanah yang harus dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan di hari
kemudian. Namun, sikap eksklusif dalam berpolitik harus dihindari.
Kemenangan PKS dalam perolehan suara dan kursi pada Pemilu menunjukkan bahwa rakyat
pemilih sudah memiliki kesadaran dan tahu apa yang harus diperbuat dalam partisipasi politik.
Dalam perspektif political culture seperti ditulis Mochtar Mas’ud (1982: 39) mengutip tulisan
Almond yang mendasarkan pada klasifikasi budaya politik parokial, subjek, dan partisipan, ada
tiga model budaya politik, yang dikenal dengan orientasi terhadap pemerintahan dan politik.
Pertama, model masyarakat demokratis industrial, yang ditandai antara lain banyak aktivis
politik yang menjamin kompetisi partai-partai politik, banyak pemberi suara dalam Pemilu,
banyak publik peminat politik. Kedua, model sistem otoriter. Ketiga, model sistem demokrasi
pra-industrial, di mana hanya sedikit partisipan professional dan usahawan, sementara banyak
kelompok tani dan buruh yang buta huruf. Depok nampaknya lebih cenderung termasuk pada
model demokratis industrial, karena terdapat banyak aktivis politik, kompetisi partai-partai
politik, partisipasi yang cukup dalam memberikan suara dalam Pemilu. Pemilih memiliki daya
kritis yang cukup baik, karena Depok merupakan daerah yang memiliki banyak lembaga
pendidikan. Banyak penduduk yang bermukim di Depok dan bekerja di Jakarta memiliki
pendidikan yang cukup. Namun, demokrasi butuh bukan sekedar partisipasi, tetapi perlu
budaya dan etika demokrasi serta perilaku demokratis.
5
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Proses Pilkada Depok
Pilkada di Depok, sama dengan proses pemilihan kepala daerah di tempat lain, dimulai dengan
pendaftaran calon wali kota dan wakil wali kota melalui partai politik. Ada lima pasangan calon
pada Pilkada Depok tahun 2005:
1.
Abdul Wahab—Ilham Wijaya, diusung Partai Demokrat
2. Harun Heryana—Farkhan A.R, dicalonkan Koalisi Masyarakat Depok (PAN, PKPB, PBB,
PBR, PKPI)
3. Badrul Kamal—Syihabuddin Ahmad, didukung Golkar dan PKB
4. Yus Ruswandi—Soetadi Dipowongso, diusung PDI P, PPP, PDS
5. Nur Mahmudi Ismail—Yuyun Wirasaputra, diusung PKS
Proses selanjutnya, antara lain, penyampaian visi dan misi atau program-program para calon,
masa kampanye, dan seterusnya. Para calon diaudit kekayaannya, untuk antisipasi keperluan
data kemungkinan korupsi di kemudian hari.
Dukungan partai mencerminkan kekuatan politik pendukung calon. Tiga kandidat diusung
koalisi partai, sedangkan calon urut nomor 5 hanya didukung partainya sendiri yaitu PKS.
Partai Demokrat yang sebelumnya masuk dalam koalisi pendukung Badrul Kamal—
Syihabuddin Ahmad (BK-SA) keluar dari koalisi dan mengusung calon sendiri. Nur MahmudiYuyun(NI-YW) sejak semula hanya diusung PKS. Dalam proses pencalonan, PKS tidak
melakukan koalisi dengan partai lain karena percaya akan menang, bisa dikatakan over
confident. Hal ini didasarkan pada data perolehan suara Pemilu 2004 di mana PKS meraih
suara tertinggi. Ada kemungkinan PKS mempunyai prinsip yang harus diperjuangkan sendiri
tanpa diganggu
‘kontaminasi’ partai lain. Seperti diketahui, PKS selalu mengandalkan
penampilan para kader dengan profil yang bersih, jujur, santun dan mengedepankan moralitas.
Pada situasi di mana banyak sekali kecurangan, kebohongan, korupsi, kolusi, nepotisme, serta
sikap dan gaya hidup hedonisme di kalangan masyarakat, prinsip tersebut menjadi daya tarik
simpati masyarakat kepada PKS. Terbukti, pasangan NI-YW mendapat suara terbanyak dalam
Pilkada Depok 26 Juni 2005.
Proses Pilkada di Depok pada dasarnya berjalan cukup lancar, aman, dan demokratis.
Walaupun ada beberapa masalah berindikasi money politics dan aparat pemerintah yang tidak
bertindak netral, namun tidak sampai mengganggu proses Pilkada. Tahap penghitungan suara
mendapat perhatian besar para pendukung calon, terutama pendukung BK-SA dan NI-YW
sebagai dua pasangan peraih suara terbanyak. Menjelang akhir penghitungan suara, banyak
berita yang menyuguhkan hasil sementara. KPUD mengeluarkan siaran pers hasil penghitungan
suara, tetapi tidak ada yang menandatanganinya. Isi siaran pers menyebutkan BK-SA unggul.
6
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Ini membuat pendukung BK-SA melampiaskan kegembiraan. Sebaliknya, pendukung NI-YW
berusaha mengecek dan meneliti, dan menemukan kesalahan yaitu ada daerah basis PKS belum
dicantumkan. Setelah dikoreksi ternyata NI-YW unggul perolehan suara. Kubu BK-SA, yang
sebelumnya gembira, menjadi sangat kecewa. Mereka yakin BK-SA menang, ini didasarkan
pada kenyataan bahwa BK-SA memiliki dana yang lebih besar, pengalaman yang lebih banyak
sebagai incumbent yang memiliki jaringan birokrasi yang luas, dan aparat pemerintah diyakini
memihak BK-SA. Namun, penghitungan suara akhir menunjukkan pasangan NI-YW menang.
Rincian hasil penghitungan suara yang mendapat penetapan KPUD Depok tertera pada Tabel 2.
Sampai di sini, proses Pilkada Depok sudah selesai dan sukses. Tinggal mengajukan ke lembaga
yang berkompeten untuk memproses lanjut hasil Pilkada.
Tabel 2.Perolehan suara Pilkada Depok tahun 2005
No
1.
Nama Calon
H. Abdul Wahab Abidin—M. Ilham
Perolehan Suara
Prosentase (%)
32.461
6.13
23.859
4.50
206.781
39.03
34.096
6.44
232.610
43.90
529.807
100
Wijaya
2.
Drs. Harun Heryana—Drs. H. Farkhan
A.R
3. Drs. H. Badrul Kamal,MM—K.H.
Syhabuddin Ahmad
4. Drs. H. Yus Ruswandi—H.M. Soetadi
Dipowongso, SH
5. DR. Ir. Nur Mahmudi Ismail—Drs. H.
Yuyun Wirasaputra
Jumlah Suara
Sumber: S.K. KPUD Kota Depok No. 18 Tahun 2005, tanggal 6 Juli 2005
Awal Konflik
Keyakinan menang yang berlebihan dan kenyataan pahit yang harus dihadapi atas hasil
penghitungan suara merupakan benih tidak diterimanya hasil penghitungan suara oleh
pasangan yang kalah. Hasil perolehan suara yang disahkan dan penetapan pemenang calon
Walikota dan Wakil Walikota oleh KPUD tidak menjadi akhir Pilkada di Depok. Badrul Kamal
sebelumnya tidak bereaksi dan nampak pasrah atas hasil yang diterima, namun kemudian
berubah sikap, mungkin karena didesak oleh elit politik lain dari kelompoknya. Tidak terima
atas hasil penghitungan suara, karena menurut mereka seharusnya mereka menang, kubu BKSA menggugat KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Menurut kubu BK-SA, kekalahan
7
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
disebabkan KPUD banyak melakukan pelanggaran, sementara kubu NI-YW dituduh melakukan
kecurangan. Perselisihan atas hasil penghitungan suara ditambahi lagi sikap Panitia Pengawas
Pilkada (Panwasda) Depok yang merekomendasikan agar DPRD membatalkan hasil
penghitungan suara karena ditemukan pelanggaran dalam proses Pilkada dan meminta
dilakukan pemungutan suara ulang di sejumlah TPS yang ditemukan pemilih tidak sah.
Rekomendasi Panwasda ini sama dengan tuntutan kubu BK-SA. Inilah awal konflik pasca
Pilkada di Depok.
Tuntutan kubu BK-SA dan sikap Panwasda tersebut menimbulkan
pertanyaan: Apakah Panwasda tidak mengikuti proses Pilkada selama kampanye, hari tenang,
dan penghitungan suara yang pengawasannya menjadi tanggung jawabnya? Mengapa baru
mengemukakan pelanggaran setelah KPUD mengesahkan hasil penghitungan suara? Apakah
Panwasda tidak mengikuti proses ketika KPUD akan mengambil keputusan? Kalau diakui
bahwa Panwasda aktif dalam semua proses Pilkada, akan timbul kecurigaan bahwa Panwasda
terkooptasi atau kolusi dengan salah satu kontestan sehingga tidak bersikap dan bertindak
netral. Mencari jawaban pasti masalah tersebut tidak mudah, tetapi yang bisa menjawab adalah
hati nurani Panwasda. Sebenarnya bukti Berita Acara dapat menjelaskan hal tersebut, karena
pada setiap tingkatan dan tahapan Pilkada ada dokumen tertulis.
Sementara kubu BK-SA dan Panwasda masih memasalahkan hasil penghitungan suara,
sebaliknya keempat partai lain menerima hasil Pilkada, dan ketiga partai lainnya memberi
ucapan selamat kepada Nur Mahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra. Selain empat partai dari
lima partai yang menjadi kontestan menerima hasil penghitungan suara, mayoritas masyarakat
pun menerima hasil itu. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya elemen masyarakat yang
mendukung agar pasangan NI-YW segera dilantik, karena telah sebulan keputusan hasil Pilkada
dinyatakan sah oleh KPUD. Elemen masyarakat itu antara lain: Pengurus Daerah
Muhammadiyah, Pengurus Cabang NU, MUI Depok, Angkatan Muda Demokrat, FKPPI, GMNI,
Pemuda Pancasila, KAMMI, Asosiasi Pedagang Pasar Depok, dan banyak LSM. Sebelum ada
tekanan masyarakat, pelantikan terhambat lantaran setelah Berita Acara Penetapan calon
terpilih yang dikirim oleh KPUD ke DPRD, proses selanjutnya tidak berjalan. Seharusnya,
selambat-lambatnya tiga hari setelah itu, DPRD mengajukan usul pelantikan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat.
Tertundanya pelantikan NI-YW itu memunculkan rumor kecurigaan kemungkinan konspirasi
antara Ketua DPRD Depok dengan Gubernur Jawa Barat untuk menghambat pelantikan,
dengan alasan gugatan Kubu BK-SA masih dalam proses di Pengadilan Tinggi. Kecurigaan ini
tidak ada bukti, masyarakat menghubungkan dengan kesamaan asal partai (Golkar) antara
Ketua DPRD Depok Naming D. Bothin dengan Gubernur Danny Setiawan. Ada rumor bahwa
keduanya masih ada hubungan kekerabatan sebagai besan.
8
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Setelah didesak masyarakat Depok, DPRD Depok mengadakan rapat yang menyepakati
mengirim surat kepada Gubernur Jawa Barat untuk diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri
meminta pengesahan hasil Pilkada Depok. Ini memperlihatkan bahwa kapasitas politik civil
society dapat berperan dalam proses demokrasi.
Tidak Siap Kalah?
Seperti dikemukakan terdahulu, proses Pilkada di Depok berlangsung cukup sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Namun, pada proses akhir penghitungan suara, muncul sikap dan
tindakan yang kontra produktif bagi pengembangan demokrasi. Hal itu disebabkan
ketidaksiapan salah satu kontestan untuk menerima kekalahan dan mengakui pihak lain
memiliki keunggulan dalam proses demokrasi Pilkada di Depok. Ada beberapa kemungkinan
penyebab ketidaksiapan kalah. Pertama, kubu BK-SA sebagai incumbent yang memiliki sumber
daya politik lebih besar, terlalu yakin menang. Kedua, kubu BK-SA telah mematok sasaran
‘pokoknya harus menang’. Hal ini mengindikasikan lebih mengedepankan tujuan mencapai
hasil, sementara proses sebagai sarana pengembangan demokrasi kurang menjadi perhatian.
Ketiga, fokus pandangan terhadap demokrasi lebih pada kelembagaan atau struktur, sementara
kultur dan tradisi demokrasi belum mengakar. Padahal nilai-nilai demokrasi sangat penting,
seperti dikatakan Maswadi Rauf (1997: 2) “Sistem politik demokratis hanyalah merupakan
sebuah produk dari perkembangan nilai-nilai demokrasi yang sebelumnya terjadi di
masyarakat.” Lemahnya kultur dan tradisi demokrasi menjadi penyebab tindakan anarki
menjelang dan sesudah proses penghitungan suara, berupa tindakan-tindakan yang
menyimpang dari nilai dan prinsip demokrasi dan perilaku demokratis. Masalah tersebut bisa
dilihat ketika pendukung BK-SA unjuk rasa menentang penghitungan suara dan memaksa
menghentikan penghitungan suara, mengganggu ketertiban umum, menduduki kantor KPUD,
melakukan intimidasi dan teror terhadap petugas KPUD dan Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK), dan mencaci maki dengan kata-kata kotor. Bahkan, Ketua KPUD sudah merasa dirinya
terancam secara fisik. Tindakan-tindakan itu sudah menjurus anarki.
Anarki bertentangan dengan demokrasi, karena selamanya tidak compatible dengan demokrasi.
Anarki bertolak dari penunggalan pendapat, memaksakan kehendak dengan kekerasan. Dalam
perspektif perilaku demokratis, apa yang terjadi tidak sejalan dengan perilaku demokratis.
Pribadi yang demokratis dan sifat-sifat atau karakter yang kondusif bagi demokrasi tidak seperti
yang dilakukan para demonstran itu. Carol Gould (1993: 293-297) menyatakan bahwa perilaku
demokratis antara lain: resiprositas, yaitu kesediaan untuk memahami perspektif orang lain
sebagai perspektifnya sendiri dan kesiapan bertindak demi kepentingan orang lain seperti
bertindak untuk kepentingan sendiri; toleran, yaitu mau menerima perbedaan dan tidak
9
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
memaksa orang lain menerima cara berpikir dan perilakunya. Demokrasi juga memerlukan
etika supaya berlangsung dengan baik dan berperadaban. Stephen L. Carter (1998: 279-285)
mengetengahkan pentingnya nilai-nilai civility (keadaban) dikukuhkan dalam praktek
kehidupan demokrasi. Civility mengetengahkan kesopanan, kesantunan, tatakrama, moral,
kejujuran, dan keadilan dalam kehidupan demokrasi yang harus saling menghormati dan
menghargai. Civility menuntut kita menunjukkan rasa hormat kepada orang lain,
membolehkan kritik namun harus disampaikan secara santun dan beradab. Civility
mengedepankan musyawarah dan menuntut terciptanya kehidupan moral mengikuti normanorma yang berlaku. Apa yang dilakukan para demonstran tersebut di atas bertentangan
dengan etika dan prinsip-prisip civility.
Mendapat tekanan, cemoohan, intimidasi, dan teror, Ketua KPUD Depok Zulfadli justru tidak
mundur, terus menyelesaikan penghitungan suara, dan mengadakan rapat khusus di luar
kantor KPUD demi keamanan dan kelancaran. Rapat bermaksud menetapkan pasangan NI-YW
menjadi pemenang Pilkada Depok. Rapat pleno yang dihadiri juga tim sukses masing-masing
kandidat tersebut menetapkan pasangan NI-YW sebagai pemenang Pilkada Depok.
Setelah berbagai cara dilakukan tidak berhasil menekan KPUD Depok, pada tanggal 11 Juli
2005 kubu BK-SA menggugat KPUD Depok ke Pengadilan. Mereka menilai KPUD menyimpang
dari Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2005 tentang
perubahan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penggugat juga menuduh KPUD melakukan pelanggaran
pemalsuan kartu pemilih. Penggugat berpendapat terdapat kesalahan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan KPUD, karena menimbulkan sengketa. Menurut penggugat penghitungan
suara yang benar untuk pasangan BK-SA adalah 267.531 suara, sedangkan untuk NI-YW
195.357. Dengan demikian, menurut penggugat, seharusnya yang menang adalah pasangan BKSA. Penggugat menyatakan bahwa ada penggelembungan jumlah pemilih untuk NI-YW
sebanyak 9.471. Penggelembungan yang dicantumkan pada surat permohonan keberatan BKSA ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat berupa antara lain: ada ‘pemilih ilegal’ 7.471 orang yang
seluruhnya pendukung pasangan NI-YW; KPUD memberi undangan kepada 37.253 orang
bukan warga Depok yang menurut penggugat mendukung pasangan NI-YW; KPUD tidak
mengambil tindakan kepada pihak yang menghalangi pemilih tetap sebesar 342.427 orang yang
diklaim pendukung BK-SA; banyak orang yang tidak mendapat undangan KPUD sebagai
pemilih padahal mereka pendukung BK-SA; terdapat pemilih yang mendukung NI-YW ber-KTP
DKI; dan ditemukan banyak pemilih yang identitasnya tidak jelas.
10
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Bukan saja KPUD Depok yang disalahkan, kubu BK-SA juga menuduh kubu NI-YW melakukan
kecurangan-kecurangan antara lain melakukan money politics dengan membantu renovasi
masjid; pada masa tenang menyebarkan gambar; menghalangi pendukung BK-SA untuk
memilih; intimidasi terhadap pendukung BK-SA; menggelembungkan suara, dan sebagainya.
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, baik yang menyangkut KPUD dan NI-YW, pihak BK-SA
mengajukan permohonan agar Pengadilan Tinggi Jawa Barat menyatakan putusan
mengabulkan permohonan; membatalkan keputusan KPUD Depok tentang penetapan hasil
penghitungan suara dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar dengan suara BK-SA
269.531 dan suara NI-YW 195.357; mendiskualifikasi pasangan NI-YW atau menyatakan
Pilkada Depok tahun 2005 batal dan diulang kembali. Dengan perubahan jumlah suara seperti
yang dituntut BK-SA berarti ada penambahan suara di pihak BK-SA sebanyak 62.750 dari
penetapan KPUD, sedangkan untuk NI-YW berkurang 37.257. Dengan perubahan suara
menurut versi kubu BK-SA, maka total jumlah suara dalam Pilkada Depok menjadi 555.304,
berbeda dengan penetapan KPUD yaitu 529.807.
Gugatan BK-SA tersebut diselesaikan di pengadilan. Namun, nampak sudah ada kejanggalan
dalam materi gugatan tersebut. Misalnya, klaim bahwa sebanyak 9.471 pemilih tetap dikatakan
ilegal dan undangan 37.253 orang yang mendukung NI-YW. Kemudian, ada 349.427 orang yang
dihalangi mencoblos adalah pendukung BK-SA. Demikian juga klaim banyak pendukung BK-SA
yang tidak diberi undangan untuk memilih. Bagaimana mungkin orang-orang yang tersebut
dapat dipastikan memilih BK-SA? Di bilik suara tidak ada yang tahu mereka memilih siapa.
Penghitungan suara yang dimohonkan kubu BK-SA untuk ditetapkan pengadilan dengan
sejumlah suara tambahan pemilih BK-SA dan pengurangan suara NI-YW karena dugaan
‘pemilih ilegal’ secara logika tidak masuk akal, hanya asumsi.
Proses Pengadilan
Sidang pengadilan perkara gugatan kubu BK-SA 25 Juli 2005 dibarengi demonstrasi
pendukung BK-SA yang menghujat KPUD Depok. Pihak BK-SA berjuang all out. Indikasinya
antara lain dengan disiapkannya 11 saksi yang mendukung penggugat, termasuk dari Panwasda.
Namun, dalam persidangan para saksi nampak tidak meyakinkan dan ragu dalam menjawab
pertanyaan hakim. Karena ada saksi yang bersaksi tanpa dapat menunjukkan bukti fakta tetapi
tuduhan, PKS sebagai pengusung NI-YW yang dituduh melakukan kecurangan, melaporkan
salah satu saksi kepada polisi karena melakukan kesaksian palsu atau berbohong.
11
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Dari jalannya persidangan, ada beberapa yang menarik untuk dicermati dan dikritisi. Pertama,
mengapa anggota Panwasda menjadi saksi yang memberatkan tergugat dan berusaha
menguntungkan penggugat? Padahal seharusnya bertindak netral, kalaupun menemui
penyimpangan dalam proses Pilkada seharusnya ditangani sejak awal, bukan setelah ada
keputusan KPUD yang dihasilkan melalui rapat pleno yang juga mereka hadiri. Kedua, mengapa
KPUD tidak mengajukan saksi yang cukup memadai untuk menandingi para saksi pihak
penggugat? Ketiga, mengapa pihak NI-YW yang dituduh oleh BK-SA telah melakukan
kecurangan, tidak dilibatkan atau dimintai konfirmasi atas tuduhan-tuduhan yang diarahkan
kepadanya atau minimal diminta menyediakan saksi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menimbulkan spekulasi dan prasangka negatif masyarakat terhadap hakim, yang belum tentu
benar.
Eksepsi KPUD Depok
Sebagai pihak tergugat, KPUD Depok menolak gugatan dengan mengajukan argumentasi,
antara lain: gugatan pihak BK-SA tidak sah karena sudah lewat jangka waktu yang ditentukan
aturan yaitu tiga hari setelah penetapan hasil Pilkada; permohonan keberatan pihak BK-SA atas
kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepada KPUD seharusnya diajukan kepada Panwasda
dan bukan kepada Pengadilan sesuai PP No. 6 Tahun 2005, karena kesalahan-kesalahan yang
dituduhkan terjadi pada tahapan pemilihan; obyek yang dipersengketakan adalah tentang
penetapan calon terpilih Wali Kota dan Wakil Wali Kota padahal sesuai UU No. 32 Tahun 2004
dan Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 2 Tahun 2005 yang bisa dipersengketakan adalah
hasil penghitungan suara yang diumumkan KPUD, bukan penetapan calon terpilih; gugatan
pihak BK-SA mencampur adukkan pelanggaran yang terjadi pada proses tahapan Pilkada yang
telah dilalui dan berjalan dengan baik dengan proses penetapan hasil penghitungan suara tahap
akhir, dan tidak jelas tingkatan penghitungan suara mana yang dianggap terdapat kesalahan
dengan bukti berita acara hasil penghitungan suara.
Disamping itu, tergugat menyatakan: klaim BK-SA ada 9.471 pemilih yang ilegal dan dilegalkan
KPUD tidak benar, apalagi klaim bahwa jumlah 9.471 tersebut memilih NI-YW, karena di bilik
suara tidak ada yang tahu apa yang dicoblos; pernyataan BK-SA bahwa ada 37.253 orang yang
tidak berhak memilih diberi undangan untuk memilih yang dipastikan mendukung NI-YW,
hanya asumsi belaka; pernyataan pihak BK-SA bahwa 62.750 orang yang akan memilih BK-SA
dihalangi memilih, hanya asumsi; pernyataan BK-SA bahwa jumlah suara NI-YW seharusnya
195.357, tidak benar, karena tidak didukung bukti seperti Berita Acara Pemilihan dari KPPS,
PPK, dan KPUD; permohonan BK-SA agar NI-YW didiskualifikasi karena dituduh melakukan
money politics, tidak benar, karena tidak ada bukti.
12
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Sebenarnya KPUD Depok sebagai tergugat dapat melakukan perlawanan hukum atas gugatan
kubu BK-YW secara lebih serius, misalnya dengan mengajukan saksi-saksi tandingan dan
banyak bukti untuk keperluan persidangan yang digelar sampai 10 kali, antara lain Berita Acara
Pinghitungan Suara yang sudah ditanda tangani para saksi di TPS, PPS, dan PPK. Namun, hal
itu tidak dilakukan. Tuduhan-tuduhan pihak penggugat kepada KPUD juga tidak ditanggapi
atau dibantah dalam persidangan. Ada rumor dugaan tidak seriusnya KPUD melawan gugatan
tersebut ‘ada sesuatu’. Baru setelah ada tekanan publik, KPUD serius dan mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Hal ini juga dilatarbelakangi sikap dan
tindakan para pendukung BK-SA yang menjurus kepada anarki, pemaksaan, cemohan dengan
kata-kata kotor, intimidasi, dan teror pada saat penghitungan suara yang membuat
ketersinggungan Ketua KPUD. Apa yang dilakukan para pendukung BK-SA justru kontra
produktif.
Pemenang yang Kalah
Dari jalannya persidangan sudah dapat diterka hasilnya. Hal itu dapat dibaca, misalnya tidak
dilakukan pengecekan barang bukti secara lebih teliti dan akurat, adanya keterangan 11 saksi
yang diajukan kubu BK-SA seperti klaim penggelembungan suara dan ‘penggembosan’ yang
tidak dipermasalahkan kebenarannya pada persidangan padahal menjurus pada kebohongan,
tidak adanya bukti otentik, tidak dimintanya kesaksian dari kubu NI-YW padahal mereka
dituduh dalam gugatan, dan sebagainya. Jadi, nampak yang menjadi pertimbangan hakim
dalam memutuskan perkara lebih condong kepada apa yang diajukan kubu BK-SA. Misalnya,
keterangan para saksi yang tidak disertai dengan bukti otentik, pernyataan Tim Pencari Fakta
(TPF) yang dibentuk oleh kubu BK-SA (ketua TPF adalah Tim Sukses BK-SA). Hakim meyakini
‘kebenaran’ apa yang dikatakan para saksi, seperti adanya pemilih dari luar kota Depok, adanya
kartu pemilih yang salah cetak, dan banyaknya warga yang berhak memilih tidak bisa memilih.
Hal-hal tersebut tidak disertai bukti yang sah. Bahkan, klaim BK-SA ‘digembosi’ sampai
mencapai 62.772 tidak jelas data dan buktinya, juga klaim penggelembungan suara NI-YW
sampai sebesar 27.782. Kalau bukan asumsi belaka, bagaimana hal-hal tersebut dibuktikan?
Dengan hanya mendasarkan kepada gugatan kubu BK-SA, pengadilan memutuskan menolak
eksepsi KPUD dan mengabulkan gugatan BK-SA, membatalkan hasil penghitungan suara akhir
yang diumumkan KPUD Depok tanggal 6 Juli 2005, dan menyatakan jumlah perolehan suara
untuk pasangan BK-SA 269.551 suara dan pasangan NI-YW 204.828 suara. Hal itu berbeda
dengan jumlah suara yang disahkan KPUD Depok di mana BK-SA mendapat 206.781 suara dan
NI-YW 232.610 suara. Disebutkan bahwa perbedaan jumlah suara antara yang disahkan KPUD
13
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Depok dan keputusan hakim antara lain karena adanya ‘pengembosan’ suara kubu BK-SA.
Timbul pertanyaan, bagaimana membuktikan jumlah suara yang diklaim dari ‘penggembosan’
(kalau itu benar) pasti memilih BK-SA? Bukankah pencoblosan di bilik suara bersifat rahasia,
orang lain tidak tahu. Kalau demikian, apa arti semua Berita Acara yang sudah sah dan
ditandatangani semua perangkat panitia termasuk para saksi dan pengawas? Apa arti semua
proses Pilkada yang sudah dijalankan dengan aman, lancar, damai, dan demokratis? Arti semua
itu adalah adanya konspirasi untuk memasung atau membajak suara rakyat sebagai pemilik
kedaulatan dan untuk mencederai demokrasi.
Peninjauan Kembali
Merasa ada kekeliruan nyata dan kekhilafan hakim yang melanggar asas-asas penting Pilkada,
penegakan hukum, serta keadilan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyebabkan KPUD
Depok dikalahkan dalam putusan pengadilan, KPUD Depok mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Menurut KPUD Depok, tujuannya adalah
untuk meluruskan kembali putusan Pengadilan Tinggi yang bertentangan dengan hukum dan
keadilan, juga untuk menjamin hak-hak politik rakyat berdasarkan konstitusi. KPUD Depok
berpendapat bahwa upaya PK merupakan upaya hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa
seperti banding maupun kasasi.
Dengan mendasarkan diri pada berbagai aturan perundang-undangan yang terkait dengan
masalah Pilkada, KPUD mengajukan banyak argumentasi dalam memohon kepada MA untuk
menjatuhkan putusan menerima PK dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
KPUD Depok mengulas kembali materi eksepsi yang ditolak Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dari
banyak uraian argumentasi KPUD sebagai pemohon PK, di antaranya secara garis besar sebagai
berikut:
•
Permohonan pihak BK-SA mengajukan keberatan atas hasil Pilkada Kota Depok telah
melewati tenggang waktu yang diperkenankan, yaitu paling lambat 3 hari setelah
penetapan hasil Pilkada. Putusan KPUD ditetapkan 6 Juli 2005, sedangkan keberatan
atas hasil Pilkada diajukan oleh BK-SA 12 Juli 2005.
•
Jangka waktu pemeriksaan dan keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas keberatan
Pihak BK-SA melebihi jangka waktu 14 hari. Permohonan keberatan diterima
Pengadilan Tinggi 12 Juli 2005 dan baru diputuskan 4 Agustus 2005, berarti waktu
yang digunakan adalah 23 hari. Hal itu tidak sesuai dengan ketentuan aturan yang
berlaku.
•
Dalam mengadili, Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak membatasi pada substansi
perkara sesuai dengan aturan perundang-undangan. Seharusnya keberatan yang bisa
14
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
diajukan adalah berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang sah sesuai
persyaratan keabsahan yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Artinya
Pengadilan Tinggi tidak berwenang mengadili pelanggaran-pelanggaran dalam
penyelenggaraan Pemilu selain yang menyangkut penetapan penghitungan suara yang
rekapitulasinya sudah ditetapkan KPUD Depok dari penghitungan suara yang
dilakukan di TPS, KPPS, dan rekapitulasi dari PPS dan PPK. Dengan demikian
Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk menyatakan dalam putusannya antara lain
tentang tindakan-tindakan kekeliruan dalam daftar pemilih, dalam proses kampanye,
penggelembungan dan penggembosan suara. Hal itu merupakan wewenang Panwasda
setelah menerima laporan pihak-pihak seperti pemantau Pemilu, pasangan calon, saksi
dan sebagainya.
•
Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak menerapkan asas bebas dan rahasia dan aturan
Pemilu. Hal itu dapat dilihat pada pertimbangan hakim menerima alat bukti yang
diajukan secara sepihak dan secara apriori menetapkan surat suara dari seseorang yang
tidak datang memberikan suara di bilik suara dipastikan memilih calon tertentu. Hal ini
bertentangan dengan aturan persyaratan suara sah.
•
Dari tindakan hakim tersebut di atas seolah-olah telah terjadi ‘penggembosan’ suara
dari pihak BK-SA sebanyak 62.770 orang yang kemudian ditambahkan kepada suara
BK-SA sehingga perolehan suara BK-SA menjadi 269.551 suara. Demikian juga
pertimbangan hakim yang mendasarkan kepada hasil TPF yang menemukan sebanyak
60.94 pendukung BK-SA yang tidak menggunakan hak pilihnya, sedangkan legalitas
dan kebenaran kesaksian TPF tidak jelas.
•
Dalil-dalil dan jawaban dan duplik serta surat-surat bukti dari KPUD tidak
dipertimbangkan dalam putusan hakim.
Terhadap permohonan PK KPUD Depok tersebut, MA meneliti kembali keberatan pihak BK-SA,
eksepsi KPUD, dan permohonan PK yang diajukan KPUD. Atas penelitian tersebut, MA
berpendapat PK beserta alasan-alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan
cara yang ditentukan UU, secara formil diterima. MA berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi
Jawa Barat telah melakukan kekeliruan dalam menerapkan hukum, berdasarkan alasan-alasan
secara garis besar sebagai berikut:
•
Wewenang MA atau Pengadilan Tinggi sebagai penerima delegasi MA dalam
memeriksa dan mengadili sengketa Pilkada adalah hanya terhadap penetapan hasil
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Bahwa
konsekuensi diajukan keberatan dalam sengketa Pilkada adalah kewajiban pemohon
untuk membuktikan adanya kehilangan suara pemohon yang dapat mempengaruhi
15
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
terpilihnya pasangan termohon, pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang sah
menurut hukum acara perdata, bukan berdasarkan dugaan atau asumsi
•
Bahwa alat-alat bukti yang diajukan oleh termohon PK, selain tidak dapat
membuktikan adanya kehilangan suara yang signifikan yang dapat mempengaruhi
penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir dari KPUD, juga alat bukti tersebut
hanya berkenaan dengan teknis penyelenggaraan pemilihan yang bukan wewenang
MA/Pengadilan Tinggi untuk memeriksa dan memutuskan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, MA memutuskan mengabulkan permohonan PK KPUD
Kota Depok dan kembali menolak keberatan permohonan keberatan BK-SA.
Masalah pengadilan telah selesai, namun konfik masih berlanjut. Para elit pendukung BK-SA
belum ikhlas menerima kenyataan. Ketua DPRD Naming D. Bothin menggalang kekuatan di
badan legislatif. Suasana politik kota Depok terlihat dinamis, namun ada kecenderungan
‘kebablasan’. Legislatif terlalu reaktif dan nampak mencari-cari kesalahan Nurmahmudi
Ismail—Yuyun Wirasaputra sehingga kepemimpinan daerah kurang leluasa bertindak, ada
kesan terjadi disharmonisasi antar lembaga pemerintahan daerah di Depok. Hal itu dapat
dilihat ketika ada dialog di salah satu stasiun televisi yang mengesankan pertengkaran yang
tidak bermutu dan beretika. Sampai-sampai ada warga Depok mengatakan “Saya warga Depok,
saya malu dengan kondisi pertengkaran para elit politik Depok.”
Sebenarnya semua perkara dapat diselesaikan apabila dilakukan komunikasi intensif, dan
semua pihak berorientasi kepentingan rakyat. Yang terjadi, banyak elit politik yang
mengatasnamakan rakyat, tetapi kenyataannya hanya mementingkan diri sendiri, kelompok,
dan partai atau golongan. Dalam politik tidak seorangpun bisa menganggap paling benar, yang
penting adalah mencari solusi yang terbaik dengan berkomunikasi secara beradab.
Apabila dicermati, proses, hasil, dan konflik yang terjadi, termasuk perilaku para hakim di
Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bertugas mengadili persengketaan Pilkada ini, ada hal
positif dan negatif. Dari sudut etika politik dapat dilihat bahwa pengadilan terhadap konflik
Pilkada Depok sangat lemah dari sisi legitimasi keputusan publik dan praktik kekuasaan politik
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Lebih lagi, dari sudut etika keluhuran dan
moral perilaku politik, masalah hukum, dan keadilan menunjukkan kurang dipegangnya nilainilai, moral, dan etika politik. Ada tiga dimensi etika politik, yaitu dimensi tujuan, sarana, dan
tindakan politik (Sutor, 1991: 25). Dalam konteks Pilkada Depok, dimensi tujuan tidak
sepenuhnya dapat dipegang ketat karena sebagian pelaku politik mencederai tujuan
perdamaian, keadilan, dan demokrasi, walaupun semula demokrasi berjalan baik. Demikian
juga dari dimensi sarana untuk mencapai tujuan. Aturan hukum, struktur, keberadaan
infrastuktur politik yang partisipatif cukup tersedia, namun implementasinya tidak sepenuhnya
16
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
ditaati para pelaku politik yang terlibat. Dari dimensi tindakan politik, yang dilakukan pejabat
dan elit politik belum sepenuhnya mencerminkan rasionalitas tindakan politik dan pendasaran
pada moralitas dan kepentingan rakyat banyak, karena masih terjadi kasus yang merugikan
sebagian masyarakat, rasa keadilan, dan melanggar norma sosial. Seharusnya perilaku politik
santun dan empati menjadi cerminan perilaku para pelaku politik.
Penutup: Pelajaran
Pilkada kota Depok dapat menjadi sarana proses demokratisasi di tingkat lokal yang
memberikan sumbangan berarti bagi pengembangan demokrasi Indonesia. Proses Pilkada
Depok berlangung dengan baik, namun pasca Pilkada timbul konflik yang menggambarkan
bagaimana elit politik lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan katimbang
kepentingan yang lebih besar. Terfokus pada pencapain hasil ketimbang proses dalam kerangka
membangun demokrasi yang elegan, ditambah over confident pihak yang tidak siap menerima
kekalahan, pada kelanjutannya menimbulkan konflik. Padahal, dalam pemilihan pasti ada yang
menang dan kalah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dorongan elit politik nasional, karena
pentingnya Pilkada Depok mempengaruhi politik tataran nasional.
Pilkada Depok memberi pelajaran dalam pembangunan demokrasi Indonesia, antara lain:
Pertama, dalam membangun demokrasi bukan hanya berfokus kepada pembangunan lembagalembaga demokrasi saja, tetapi sangat diperlukan pembangunan kultur atau tradisi demokrasi
yang diarahkan pada karakter perilaku demokratis dan civility, serta mencegah tindakan anarki
yang bertentangan dengan demokrasi. Kedua, belajar dari Pilkada Depok menuntut para pihak
untuk lebih memahami aturan perundang-undangan politik. Konflik bisa terjadi disebabkan
kurang pemahaman terhadap aturan yang berlaku, termasuk dalam proses pengadilan. Ketiga,
penting untuk membangun dan meningkatkan keberadaan civil society, yang memiliki peran
signifikan dalam pembangunan demokrasi. Dengan kemandirian dan kematangan politik, civil
society memiliki kapasitas politik yang mampu menjadi kekuatan pengimbang, melakukan
fungsi kekuatan kritis reflektif, mengembangkan budaya politik partisipasi masyarakat.
Keempat, rakyat sebagai pemilik kedaulatan mengerti dan kritis atas perilaku para pelaku
politik. Ke depan, para pelaku politik harus lebih berorientasi pada kepentingan rakyat dan
menunjukkan perilaku demokratis sesuai dengan etika politik, didasari keluhuran budi dan
moral. Kualitas demokrasi dan otonomi daerah ditentukan oleh kemanfaatannya bagi keadilan
dan kesejahteraan rakyat banyak, yang akan terpulang pada kualitas dan perilaku para elit
politik di daerah maupun di pusat.
17
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Daftar Pustaka
Carter, Stephen L, 1998, Civility, New York: Basic Books
Gould, Carol, 1993, Demokrasi Ditinjau Kembali, Tj. Samodra Wibowo, Yogyakarta: Tiara
Wacana
Mas’ud, Mochtar dan Colin Mac Andrew, 1982, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Sumarno, 2006, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat, Nur Mahmudi
Menjawab, Bandung: Harakatuna
Sutor, Benhard, 1991, Politische Ethic, dalam Haryatmoko, 2003, Etika Politik Dan Kekuasaan,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas
18
Download