PERBAIKAN GAMBARAN KLINIS DEMAM TERHADAP TERAPI ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum CAROLINA INNESA N.A G2A009119 PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 PERBAIKAN GAMBARAN KLINIS DEMAM TERHADAP ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID TERAPI Carolina Innesa N.A1, MMDEAH Hapsari2, Selamat Budijitno3 ABSTRAK Latar Belakang: Kasus demam tifoid pada anak di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat.Manifestasi klinis demam tifoid pada anak tidak khas dan sangat bervariasi.Terdapat beberapa gambaran klinis demam tifoid pada anak dan demam merupakan gejala utama yang selalu diderita.Terapi antibiotik merupakan terapi utama pada anak dengan demam tifoid.Pemberian antibiotik ini dapat memperbaiki gambaran klinis demam dengan didapatkan data terjadinya penurunan demam. Tujuan: Mengukur dan membandingkan waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid dengan antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim. Metode: Merupakan penelitian observasional klinik dengan desain belah lintang.Data diambil dari rekam medik berupa waktu terjadinya penurunan demam setelah pemberian antibiotik.Subyek diinklusi dengan cara consequtive sampling.Analisa data dilakukan dengan uji Anova. Hasil: Dari 61 rekam medik pasien anak dengan demam tifoid didapatkan data penurunan demam dengan kloramfenikol dalam waktu 4,11±1,82 hari, seftriakson dalam waktu 4,71±1,36 hari dan sefotaksim dalam waktu 3,25±0,71 hari ( p = 0,1 ). Kesimpulan: Perbaikan gambaran klinis demam pada pasien anak dengan demam tifoid terjadi dalam waktu 3 – 5 hari tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal kecepatan waktu penurunan demam antara antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim. Kata Kunci: Demam tifoid pada anak, antibiotik, lama demam turun. 1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 2 Staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 3 Staf pengajar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang THE IMPROVEMENT OF CLINICAL FEVER CONDITION WITH ANTIBIOTICS USAGE IN PEDIATRIC PATIENTS WITH TYPHOID FEVER ABSTRACT Background: Case of typhoid fever in Indonesian children is growing every year. Clinical manifest of typhoid fever in children is not typical and vary greatly. There is a lot of description about typhoid fever in children and fever is one of the main symptoms that always happened to the children. Antibiotic therapy is one of the main therapy for children with typhoid fever. Administration of antibiotic can fix clinical condition of the fever with the data that reflects it is the reduction of the temperature of fever Aim: To measure and compare time of fever defervescence with chloramphenicol, ceftriaxone and cefotaxime in pediatric patients with typhoid fever. Method: This research is clinical observational using cross sectional study.The occurrences of time of fever defervescence after antibiotic therapy are collected from medical record.Subject was included using consequtive sampling.Statistical analysis used was Anova test. Result: From 61 medical record of the pediatric patients with typhoid fever, the mean time (mean±SD) for patients to become afebrile was 4,11 ± 1,82 days for chloramphenicol, 4,71 ± 1,36 days for ceftriaxone and 3,25 ± 0,71 days for cefotaxime ( p = 0,1 ). Conclusion: The improvement of clinical fever condition in pediatric patients with typhoid fever, which occurred in 3 - 5 days, shows no significant differences in time of fever defervescence among chloramphenicol, ceftriaxone and cefotaxime. Keyword: Typhoid fever in children, antibiotic, time of fever defervescence . PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan.Angka kejadian pasti demam tifoid masih sukar ditentukan karena penyakit ini memiliki gejala dengan spektrum klinis yang luas. 1,2,3 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kejadian 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Demam tifoid di Indonesia bersifat sporadik endemik dan timbul sepanjang tahun, kasusnya masih cukup tinggi antara 354-810 / 100.000 penduduk per tahun.5 Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica, terutama serotype Salmonella Typhi.2,6,7 Manifestasi klinis demam tifoid pada anak tidak khas dan sangat bervariasi, tetapi biasanya didapatkan trias tifoid, yaitu demam lebih dari 5 hari, gangguan pada saluran cerna dan dapat disertai atau tanpa adanya gangguan kesadaran.2 Penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat beberapa gambaran klinis demam tifoid pada anak yang sering ditemukan, antara lain demam, hepatomegali, splenomegali, muntah, kembung, konstipasi dan roseola. 8.9.10 Dari beberapa gejala klinis tersebut demam merupakan gejala yang selalu diderita oleh anak dengan demam tifoid. Penelitian yang dilakukan di Manila, menyebutkan bahwa demam merupakan gejala utama yang selalu ada pada pasien anak dengan demam tifoid dan umumnya demam terjadi secara intermiten.11 Terapi antibiotika merupakan terapi utama karena dapat mengubah perjalanan penyakit, memperbaiki gambaran klinis demam, mengurangi komplikasi dan angka kematian.2 Penelitian yang dilakukan di Agaram, Bangalore menyebutkan bahwa terjadi perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid yang menggunakan antibiotik kloramfenikol, gentamisin, dan siprofloksasin. 12 Antibiotik yang dapat digunakan pada terapi demam pada anak dengan demam tifoid sampai saat ini adalah kloramfenikol dan seftriakson, tetapi mungkin masih ada yang menggunakan ampisilin, sefotaksim atau kotrimoksasol.Penggunaan terapi kloramfenikol sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum merupakan masalah.13 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur dan membandingkan waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid dengan antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim. METODE Jenis penelitian ini adalah observasional klinik dengan desain belah lintang.Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang selama 4 bulan.Subjek diinklusi dengan cara consequtive sampling.D ata diambil dari rekam medik berupa waktu terjadinya penurunan demam setelah pemberian antibiotik. Penelitian ini didapatkan 61 rekam medik sebagai sampel penelitian, dengan ktiteria inklusi pasien anak yang telah didiagnosis demam tifoid secara klinis dan laboratorium serologis di semua kelas perawatan RSUP Dr.Kariadi Semarang dengan usia 1 – 15 tahun, sedangkan kriteria eksklusi pasien telah mendapat antibiotik sebelumnya, rekam medik yang data antibiotik dan catatan temperatur tubuh tidak lengkap selama perawatan dan pasien anak yang memiliki catatan diagnosis sekunder yang berhubungan dengan demam selain diagnosis primer demam tifoid.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis antibiotik dengan variabel terikat perbaikan gambaran klinis demam.Analisis data dilakukan menggunakan uji Anova. HASIL Karakteristik dan Distribusi Subjek Berdasarkan 61 rekam medik pasien anak dengan demam tifoid yang sesuai dengan kriteria inklusi didapatkan karakteristik subyek berupa distribusi jenis kelamin dan usia yang tersaji pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Subyek Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Laki - laki 35 57,4 Perempuan 26 42,6 Total 61 100,0 0 – 5 tahun 34 55,7 5 – 10 tahun 21 34,4 10 – 15 tahun 6 9.8 61 100,0 Jenis Kelamin Usia Total Dilihat dari 61 rekam medik, didapatkan rerata suhu tubuh pada saat pasien masuk rawat inap yaitu 38,20 C dengan rentang 37,40 C – 39,60 C serta didapatkan distribusi penggunaan antibiotik dengan kloramfenikol 36 pasien (59 %), seftriakson 17 pasien (27,9 %) dan dengan sefotaksim 8 pasien (13,1 %).Dapat dilihat bahwa antibiotik kloramfenikol yang paling banyak digunakan sebagai terapi antibiotik pada anak dengan demam tifoid. Perbaikan Gambaran Klinis Demam Berdasarkan 61 rekam medik, perbaikan gambaran demam dapat dilihat dari lamanya demam turun dengan pemberian terapi antibiotik tersebut, seperti yang ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Lama Hari Demam Turun dengan Antibiotik Jenis Antibiotik Lama demam turun (rerata (SD);median) Kloramfenikol 4,11 (1,82); 4,00 Seftriakson 4,71 (1,36); 4,00 Sefotaksim 3,25 (0,71); 3,00 Analisis perbedaan waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid menurut beberapa jenis antibiotik yang diberikan dilakukan dengan uji Anova.Uji beda yang dilakukan antara ketiga antibiotik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik ( p = 0,1 ). Sensitivitas Salmonella Typhi terhadap Antibiotik Dari 61 rekam medik pasien anak dengan demam tifoid hanya didapatkan 4 pasien positif dengan isolate Salmonella Typhi dan dengan uji kepekaan terhadap beberapa antibiotik seperti amikacin, ampisil-sulbaktam, sefotaksim, seftazidim, kotrimoksazol, sefoperazon, sefepime, siprofloksasin, kloramfenikol, fosfomisin, gentamisin, moksifloksasin, imipenem, meropenem, doripenem, sulbaktam – sefoperazon, piper + lazobaktam dan tigesiklin menunjukkan bahwa kuman Salmonella Typhi masih sensitif terhadap antibiotik – antibiotik tersebut. PEMBAHASAN Perbaikan gambaran demam dapat dilihat dari lama hari demam turun dengan pemberian terapi antibiotik demam tifoid.Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian.Antibiotik yang menurunkan demam paling cepat menunjukkan bahwa antibiotik tersebut efektif sebagai terapi demam tifoid pada anak.14 Saat redanya demam ( time of fever defervescence ) merupakan salah satu parameter keberhasilan terapi.Bila suhu turun berarti membaik sedangkan bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi atau kuman penyebab adalah MDRST.14,15 Dalam penelitian ini didapatkan data redanya demam pada pasien anak dengan demam tifoid di semua kelas perawatan RSUP Dr. Kariadi dengan menggunakan antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim.Antibiotik – antibiotik tersebut diberikan setelah keluarnya hasil tes Tubex.Dengan antibiotik kloramfenikol terjadi penurunan demam dalam waktu 4,11 ± 1,82 hari, seftriakson dalam waktu 4,71 ± 1,36 hari dan dengan sefotaksim dalam waktu 3,25 ± 0,71 hari. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dengan antibiotik kloramfenikol didapatkan lama demam turun berkisar 4,1 hari dan dengan pemberian seftriakson sekali sehari lama demam turun rata – rata 4 hari.16,17 Sedangkan penelitian lainnya menunjukkan dengan antibiotik sefalosporin generasi ketiga yaitu seftriakson dan sefotaksim lama demam turun dalam waktu 4 – 5 hari, dengan kloramfenikol demam turun dalam waktu 5,8 ± 1,2 hari dan dengan seftriakson dalam waktu 3,3 ± 1,2. 8 Dari penelitian – penelitian yang telah dilakukan tersebut dapat dilihat bahwa lama demam turun dengan kloramfenikol dan seftriakson hampir sama dengan hasil penelitian ini, yaitu 4 – 5 hari.Sedangkan dengan terapi sefotaksim pada penelitian ini lama demam turun dalam waktu 3 hari. Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim, kita juga harus melihat beberapa hal dalam klasifikasi Gyssens untuk pemilihan terapi antibiotik pada anak dengan demam tifoid, bahwa antibiotik tersebut harus lebih efektif, murah dan berspektrum sempit.Dari ketiga hal tersebut maka antibiotik kloramfenikol tetap masih dipakai sebagai terapi lini pertama pada anak dengan demam tifoid.Laporan dari Departemen Mikrobiologi FK UI menunjukkan sensitivitas kloramfenikol masih mencapai 100 %.UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI masih menganjurkan kloramfenikol sebagai antibiotik lini pertama untuk demam tifoid.18 Terdapat beberapa keuntungan pada terapi kloramfenikol, antara lain mudah diperoleh, jarang menimbulkan efek samping dalam pemakaian singkat, demam turun dalam waktu singkat, meningkatkan angka kesembuhan dan dapat diberikan per oral. 2 Selain itu juga terdapat extended- spectrum β-lactamases (ESBL) pada penggunaan antibiotik golongan sefalosporin generasi ke tiga.ESBL banyak menimbulkan resistensi antibiotik di berbagai rumah sakit di dunia termasuk di Indonesia.19,20 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbaikan gambaran klinis demam pada pasien anak dengan demam tifoid terjadi dalam waktu 3 – 5 hari tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal kecepatan waktu penurunan demam antara antibiotik kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim. Saran Untuk penelitian selanjutnya dilakukan dengan studi prospektif.Serta, waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna pada ketiga antibiotik tersebut, oleh karena itu antibiotik kloramfenikol masih dapat digunakan sebagai antibiotik lini pertama pada anak dengan demam tifoid mengingat respon penurunan demam dan efek sampingnya sebanding dengan antibiotik seftriakson dan sefotaksim serta efek menginduksi resistensi lebih kecil dari kedua antibiotik tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada dr. MMDEAH Hapsari, Sp.A (K) dan Dr.dr.Selamat Budijitno,Msi.Med,Sp.B,Sp.B(K)Onk yang telah memberikan saransaran dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.Tidak lupa kepada dr.Helmia Farida,Sp.A,MKes selaku ketua penguji dan dr.Ninung Rose DK,Msi.Med,Sp.A(K) selaku penguji.Serta pihak-pihak lain yang telah membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Dahlan A, Aminullah A. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid II. 11 th ed. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. 2. Rohim A, Saharso D. Ilmu penyakit anak diagnosa dan penatalaksanaan. Jakarta : Salemba Medika. 2002. 3. Muliawan SY, Suryawidjaya JE. Diagnosa dini demam tifoid dengan menggunakan protein membrane luar S.Typhi sebagai antigen spesifik. Cermin Dunia Kedokteran. 1999. 4. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva. 2003. 5. Anonymous. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. 6. Karsinah, Suharto, W Mardiastuti, M Lucky. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Binarupa Akasara. 1994. 7. Brooks G, Butel J, Morse S. Mikrobiologi kedokteran. 23th ed. Jakarta : EGC. 2007. 8. Hammad O, Hifnawy T, Omran D, Tantowi M, Girgis N. Ceftriaxone vs chloramphenicol for treatment of acute typhoid fever. Life Science Journal. 2011. 9. Bajracharya BL, Baral MR, Shakya S, Tuladhar P, Paudel M, Acharya B. Clinical profile and antibiotics response in typhoid fever. Kathmandu University Medical Journal. 2006. Volume 4. 10. Chowta MN, Chowta NK. Study of clinical profile and antibiotics response in typhoid fever. Indian Journal of Medical Microbiology. 2005. Volume 23. 11. Melvin R, Marcial MD, Immanuel R. The Santo Tomas University Hospital Report on typhoid fever. Phil J Microbial Infect Dis. 1994. Volume 24 12. TS Raghu, L Krishnamurty, PK Menon, Singh D, DG Jayaprakash. Clinical profile and therapy in enteric fever. Indian Pediatrics. 1994. Volume 31. 13. Syarif A, Bahry B, Ganiswarna V, Utama H. Farmakologi dan terapi. 5 th ed. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. 14. Mangunatmadja I, Munasir Z, Gatot D. Pediatrics update. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2003. 15. Sidabutar S, Satari H. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak : kloramfenikol atau seftriakson?. Sari Pediatri. 2010. Volume 11. 16. Watson KC. Chloramphenicol in typhoid fever : a review of 110 cases. Am J Trop Med Hyg 1954:6:526-32. 17. Acharya G, Revoisier C, Butler T, Ho M, Tiwari M, Klaus SK, dkk. Pharmacokinetics of ceftriaxone. Antimikcrob Agents Chemother 1998;38:241-8. 18. Firmansyah A, Supriyatno B. State of the Art : Common problems in hospitalized children. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011 19. Aztal Z, Sharif FA, Abdallah SA, Fahd MI. Extended spectrum beta lactamases in Escherichia coli isolated from community-acquired urinary tract infection in the Gaza Strip, Palestina. Ann Saudi Med 2004;24:55-7. 20. Al-Jasses AM. Extended-Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs) : a global problem. Kuwait Medical Journal 2006;38:171-85.