bab iii. hasil dan pembahasan

advertisement
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif (Relative Percent Survival /RPS)
Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan mas dilakukan pada saat
vaksinasi dan pengamatan terhadap kelangsungan hidup relatif dilakukan
pascauji-tantang hingga akhir penelitian. Selama vaksinasi, tidak terjadi kematian
pada ikan sehingga nilai kelangsungan hidupnya 100% pada semua perlakuan. Hal
ini menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan melalui pakan pada ikan tidak
mengganggu kesehatan ikan dan terjamin tingkat keamanannya (Ellis, 1988).
Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan
menginjeksi filtrat KHV sebanyak 0,1 mL/ekor ikan secara intramuskular,
sedangkan kontrol negatif diinjeksi dengan 0,1 mL/ekor ikan dengan larutan PBS.
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kelangsungan hidup relatif yang bervariasi
pada setiap perlakuan (data selengkapnya pada Lampiran 8 ). Kelangsungan hidup
relatif terendah dimiliki oleh perlakuan A sebesar 23,33±13,32% dan
kelangsungan hidup relatif tertinggi dimiliki oleh perlakuan C sebesar
84,60±13,32% (P<0,05).
Tabel 1. Kelangsungan hidup relatif (RPS) ikan mas yang diberi vaksin DNA
anti-KHV dengan frekuensi pemberian pakan berbeda
No
Perlakuan
Mortalitas(%)
RPS (%)
1
A
33,33 ± 5,77
23,07 ± 13,32a
2
B
20,00 ± 10,00
53,84 ± 23,07ab
3
C
6,67 ± 5,77
84,60 ± 13,32b
4
K
43,33 ± 5,77
Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh
yang berbeda nyata (P<0,05)
Keterangan :
A = Vaksinasi satu kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
B = Vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
C = Vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
K = Tanpa vaksin dan ikan diuji tantang dengan KHV
8 Keteranga A : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
B : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
C : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
K- : tanpa vaksinasi dan injeksi dengan PBS (K-), dan
K+ : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).
Gambar 1. Pola kematian ikan mas selama uji tantang (30 hari) dengan KHV.
Gambar 1 menunjukkan pola kelangsungan hidup ikan mas selama uji
tantang, dari hari pertama pascauji-tantang hingga hari ke-30. Kematian ikan mas
diawali oleh perlakuan A pada hari ke-5 diikuti oleh kontrol positif, perlakuan B
serta C pada hari ke-18. Puncak kematian terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang
dengan jumlah 4 ekor dari perlakuan A, 4 ekor dari perlakuan B, 1 ekor dari
perlakuan C, dan 7 ekor dari perlakuan kontrol positif sehingga total kematiannya
sebesar 16 ekor ikan (Lampiran 8). Pada perlakuan kontrol negatif tidak terjadi
kematian hingga akhir penelitian sehingga kelangsungan hidupnya 100%.
3.1.2 Gejala Klinis
Pengamatan gejala klinis dilakukan selama vaksinasi dan pascauji-tantang
hingga akhir penelitian yaitu hari ke-30. Pengamatan dilakukan setiap 2 kali
sehari pada saat pemberian pakan, namun pengamatan secara rinci pascaujitantang dilakukan setiap dua hari sekali. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
tingkat stres pada ikan. Berdasarkan pengamatan tersebut, pada saat vaksinasi
ikan terlihat sehat dan tidak ada tanda-tanda ikan sakit. Pengamatan terhadap ikan
yang sakit dilihat dari nafsu makan, tingkah laku dan perubahan fisik yang tidak
9 normal pada tubuhnya. Gejala klinis yang pertama kali muncul adalah terjadinya
penurunan nafsu makan pada ikan. Penurunan nafsu makan dilihat dari jumlah
konsumsi pakan ikan pascauji-tantang (Lampiran 9). Jumlah konsumsi pakan ikan
cenderung menurun dari hari pertama hingga hari ke-21 pascauji-tantang. Ikan
yang pertama kali mengalami penurunan nafsu makan adalah ikan pada perlakuan
B, kemudian kontrol positif, perlakuan A, dan perlakuan C. Penurunan jumlah
konsumsi pakan terbesar terjadi pada perlakuan kontrol positif sebesar 45,91%
Hal ini terjadi hingga hari ke-21 dan terjadi peningkatan nafsu makan kembali
pada hari ke-22 hingga akhir penelitian.
Perubahan tingkah laku ikan muncul pada ikan yang sakit, yaitu berenang
di permukaan, kadang bergerombol di sekitar aerasi dan diam di dasar akuarium.
Perubahan tingkah laku ikan mulai muncul pada hari ke-6 pascauji-tantang. Ikan
yang pertama mengalami perubahan tingkah laku adalah ikan pada perlakuan A
dan B, kemudian disusul dengan perlakuan kontrol positif dan perlakuan C. Ikan
yang sakit juga memiliki gerak reflek yang lambat dan respons gerak yang lemah.
Pada hari ke-18, gerakan ikan sudah mencapai puncak kondisi terlemah yang
kemudian terjadi kematian. Ikan yang berhasil melewati kondisi tersebut mampu
bergerak dengan normal kembali setelah hari ke-21. Ikan yang sehat memiliki
kondisi fisik yang normal baik sisik, sirip, maupun insangnya. Insang normal
berwarna merah cerah. Ikan yang terinfeksi KHV memiliki kondisi fisik yang
tidak normal, yaitu terjadi perubahan warna kulit, kerusakan pada sirip ekor, dan
nekrosis pada insang. Perbedaan ikan sakit dan ikan sehat disajikan dalam
Gambar 2.
Abnormalitas yang terjadi pada kondisi fisik ikan yang terserang KHV
adalah produksi lendir berlebih, terjadi bercak merah pada bagian punggung yang
kemudian dilanjutkan oleh kulit melepuh disertai keluar darah dan nanah, sisik di
sekitar anal rontok, sirip ekor dan dorsal geripis, hemoragi pada pangkal sirip
ventral dan pektoral, serta anal, mata cekung, terjadi perubaan warna menjadi
lebih gelap bergaris, insang bercabang, pucat, memutih seperti borok dan akhirnya
terjadi kematian (Gambar 3).
10 a
a
a
b
b
b
Gambar 2. Kondisi fisik ikan mas pascauji-tantang dengan filtrat KHV. Badan
dan insang ikan sehat (a), badan dan insang ikan terinfek KHV (b).
Perubahan fisik ikan mulai terlihat pada hari ke-5 pascauji-tantang, yaitu
nekrosis insang pada perlakuan B kemudian disusul oleh perlakuan A dan kontrol
positif pada hari ke-8. Pada hari ke-10, nekrosis mencapai 80% bagian insang
untuk perlakuan B namun sekitar 30% pada perlakuan yang lain. Bercak pada
punggung dan kerusakan sirip ekor terjadi pada hari ke-12 disertai dengan kulit
melepuh pada beberapa ekor ikan di akuarium perlakuan kontrol positif. Jumlah
ikan yang mengalami kerusakan fisik semakin bertambah hingga mengalami
puncak terparah pada hari ke-18 pascauji-tantang, ini terjadi pada perlakuan A, B,
C, dan kontrol positif. Pada perlakuan B dan C telah mengalami penyembuhan
luka pada hari ke-21 pascauji-tantang. Pada hari yang sama, masih ditemukan ikan
yang mengalami luka dengan jumlah yang cukup banyak pada perlakuan A dan
kontrol positif.
11 aa
b b
c
d
e
f
g
h
Gambar 3. Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV; a) sisik terlepas, b) bercak
merah, c) terjadi perubahan warna kulit, d) berenang di permukaan, e)
kulit melepuh, f) sirip ekor geripis, g) mata cekung, h) kerusakan
insang.
3.1.3. Indeks Fagositosis
Pengamatan indeks fagositosis dilakukan setiap seminggu sekali dari
mulai vaksinasi hingga minggu ketiga pascauji-tantang. Hasil pengamatan indeks
fagositosis ditunjukkan pada Lampiran 10 dan Gambar 4.
12 Keterangan A : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
B : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
C : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV
K- : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS, dan
K+ : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).
Gambar 4. Indeks fagositosis pada masing-masing perlakuan pada saat pasca
vaksinasi dan diuji tantang.
Gambar 4 menunjukkan aktivitas fagositosis sel darah putih pada
perlakuan A, B, C, K-, dan K+. Pada pasca vaksinasi, nilai indeks fagositosis
mengalami peningkatan pada masing-masing perlakuan hingga hari ke-21 pasca
vaksinasi dan mengalami penurunan pada hari ke-28 sebelum uji tantang.
Kenaikan aktivitas fagositosis terjadi pada hampir seluruh perlakuan hingga hari
ke-56 kecuali pada perlakuan B dan C yang mengalami penurunan sebesar 15%
pada perlakuan B dan 12% pada C.
3.1.4 Histopatologi
Gambar 5 menunjukkan histologi jaringan pada organ ginjal dan Gambar
6 menunjukkan histologi insang pada masing-masing perlakuan. Pada kontrol
negatif tidak terdapat kelainan jaringan. Pada perlakuan A, C, dan kontrol positif
ditemukan hiperplasia, hipertropi dan badan inklusi baik pada organ ginjal
maupun organ insang. Pada perlakuan B tidak ditemukan badan inklusi, namun
ditemukan kelainan berupa hipertropi dan hiperplasia pada kedua organ.
13 Z
Y
A
B
Z
Y
Y
Z
C
D
Y
Z
E
Keterangan A : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS (K-)
B : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (A)
C : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (B)
D : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (C), dan
E : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).
Gambar 5. Histopatologi ginjal ikan; Y) hipertropi; Z) badan inklusi (Bar pada
semua Gambar=20 µm).
14 X
Y
A
B
Z
Y
X
Z
Y
X
C
X
D
Z
Y
E
Keterangan A : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS (K-)
B : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (A)
C : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (B)
D : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (C), dan
E : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).
Gambar 6. Histopatologi insang ikan; X) hiperplasia; Y) hipertropi; Z) badan
inklusi (Bar pada semua gambar =20 µm).
3.1.5 Kualitas Air
Parameter kualitas air yang paling berbengaruh dan merupakan faktor
pemicu terhadap serangan KHV adalah suhu sehingga pengamatan terhadap
parameter ini dilakukan setiap dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore hari.
15 Parameter kualitas air lainnya yang diamati adalah pH, DO, dan NH3-N.
Pengamatan terhadap parameter kualitas air tersebut dilakukan pada awal dan
akhir penelitian saja. Data kisaran kualitas air disajikan dalam Tabel 2, sedangkan
data pengamatan suhu harian disajikan dalam Lampiran 11.
Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan ikan mas
Parameter kualitas air
Kisaran
Suhu (°C)
17-23,5
pH
7,9-8,3
DO(mg/L)
6,6-7,2
NH3N(mg/L)
0,04-0,06
3.2 Pembahasan
Sakit pada ikan adalah suatu kondisi dimana ikan dalam keadaan tidak
normal yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, kelainan pada respons
tubuh baik gerak, mata, ekor maupun pertahanan hingga menyebabkan kelainan
pada kondisi fisik ikan. Berdasarkan pengamatan ikan yang sakit karena infeksi
KHV menunjukkan gejala penurunan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus
dan kekurangan energi. Ikan yang kekurangan energi akan mudah terinfeksi
patogen lain atau infeksi sekunder seperti bakteri, fungi dan parasit (Mudjiutami
et al., 2006). Kondisi ini yang kemudian akan menyebabkan abnormalitas pada
tubuh ikan.
Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan dilakukan pada masa
vaksinasi (7 hari), pasca vaksinasi (28 hari), dan pascauji-tantang (30 hari). Pasca
vaksinasi dilakukan pemeliharaan selama 28 hari agar sistem imun ikan dapat
terbentuk secara sempurna. Sistem imun yang sempurna menyebabkan ikan dapat
memberikan respons tanggap kebal terhadap infeksi KHV. Pada penelitian ini,
vaksin diberikan secara oral yang dicampurkan ke dalam pakan ikan. Keuntungan
pemberian vaksin secara oral adalah dapat digunakan secara massal, digunakan
untuk berbagai ukuran ikan, dan tidak menimbulkan cekaman (Ellis, 1988). Hasil
pengamatan selama 28 hari menunjukkan tidak terjadi gejala infeksi KHV dan
tidak ditemukan adanya kematian pada msing-masing perlakuan sehingga
pemberian vaksin melalui pakan ini dapat dikatakan aman bagi ikan.
Dosis vaksin yang diberikan pada masing-masing perlakuan mengacu pada
Yulianti (2011) adalah sama, yaitu 7,6 ng dengan kepadatan bakteri 108 cfu/mL.
Sedangkan yang membedakan pada tiap perlakuan adalah frekuensi vaksin yang
16 diberikan. Pemberian vaksin satu kali dalam satu minggu untuk Perlakuan A,
pemberian vaksin dua kali dalam satu minggu untuk perlakuan B, pemberian
vaksin tiga kali dalam satu minggu untuk perlakuan C, dan kontrol tanpa
pemberian vaksin.
Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan
menginjeksi filtrat KHV dengan konsentrasi 10-2 sebanyak 0,1 mL tiap ekor ikan
pada hari ke-29 pasca vaksinasi. Kematian ikan diawali oleh perlakuan A pada
hari ke-5 dan diikuti oleh perlakuan B, C, dan kontrol positif pada hari ke-18
pascauji-tantang (Gambar 1). Kematian terbanyak terjadi pada hari ke-18
pascauji-tantang. Ini lebih lambat dari penelitian Hayati (2009) dan Zahro (2010)
yang melaporkan bahwa kematian massal ikan yang terinfeksi KHV terjadi pada
hari ke-9 dan ke-10 pascauji-tantang. Hal ini diduga karena sebelum hari ke-17
terjadi penurunan suhu air pada beberapa akuarium yang terletak tepat di bawah
AC (air conditioner), yaitu mencapai 16,5°C sehingga dapat mengurangi tingkat
virulensi virus terhadap inang (Lampiran 13). Pada hari ke-17 suhu ruangan
dinaikkan menjadi 20°C. Pokorova et al. (2005) dalam ulasannya menguatkan
bahwa KHV inaktif pada suhu di bawah 18°C dan di atas 24°C.
Kelangsungan hidup relatif ikan pada perlakuan A dengan frekuensi
pemberian satu kali dalam satu minggu memiliki nilai yang sangat kecil sebesar
23,33%. Kelangsungan hidup relatif perlakuan A lebih rendah daripada B dan C
diduga karena keberadaan vaksin pada pakan perlakuan yang diberikan tidak
dapat membangkitkan respons imun pada ikan sehingga ikan tidak dapat melawan
virus yang telah menginfeksinya. Yulianti (2011) menguatkan bahwa pemberian
pakan bervaksin 2 kali dalam satu minggu menunjukkan persistensi yang lebih
tinggi daripada pemberian pakan bervaksin satu kali dalam satu minggu sehingga
pemberian pakan bervaksin dua kali satu dalam minggu dapat menginduksi
respons imun ikan mas.
Perlakuan C dengan frekuensi vaksinasi tiga kali dalam satu minggu
memiliki nilai kelangsungan hidup relatif tertinggi sebesar 84,6%. Hal ini diduga
karena gen glikoprotein yang diberikan dapat dikenali oleh sistem imun sehingga
terbentuk antibodi dan menginduksi terbentuknya sel memori sehingga dengan
adanya sel memori ini akan mempercepat waktu pembentukan respons sekunder
17 terhadap serangan antigen yang sama. Vaksinasi melalui pakan mampu diterima
dan menunjukkan hasil yang baik. Hasil penelitian Miyazaki et al. (2008) tentang
pemberian vaksin liposom melalui pakan buatan juga mampu meningkatkan
kelangsungan hidup ikan mas hingga 74% yang dipelihara selama 21 hari. Dengan
demikian vaksinasi melalui pakan dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu efektif
dalam meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas dan dapat menjadi alternatif
pengendalian infeksi pada ikan mas dan koi pada pembudidaya dalam skala
massal.
Data yang mendukung kelangsungan hidup relatif ikan adalah gejala klinis
yang timbul pascauji-tantang, indeks fagositosis, dan histopatologi pada insang
dan ginjal ikan (Gambar 2, 3, 5, dan 6). Data tersebut berkaitan erat dengan nilai
kelangsungan hidup relatif yang didapat selama penelitian (Tabel 1).
Perubahan fisik yang terjadi pada ikan yang terinfeksi KHV adalah pada
bagian punggung terjadi bercak merah yang kemudian melepuh, beberapa sisik di
sekitar anal terkelupas, pendarahan pada sirip pektoral, ventral dan anal,
kerusakan pada sirip ekor, terjadi perubahan warna kulit menjadi kehitaman
bergaris, dan kerusakan pada lamela insang. Perlakuan C menghasilkan ikan yang
mengalami perubahan fisik dengan jumlah yang paling sedikit dibandingkan
perlakuan A, B, dan kontrol positif. Beberapa penelitian terhadap ikan yang
diinfeksi KHV pun menunujukkan gejala klinis dan perubahan fisik yang sama.
Hendrik et al. (2005) menyebutkan bahwa tanda-tanda ikan koi yang terinfeksi
KHV adalah terjadi perubahan warna tubuh, nekrosis pada filamen insang, mata
cekung, dan produksi lendir yang berlebih. Demikian juga disebutkan oleh
Sunarto et al. (2005), ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukkan gejala respons
ikan yang lemah, lesu, kehilangan keseimbangan dan megap-megap, kulit
melepuh, terjadi pendarahan pada operkulum, sirip, ekor dan perut, serta terjadi
kerusakan pada filamen insang.
Penurunan nafsu makan pada ikan uji terjadi sejak hari ke-3 pascaujitantang, sedangkan gejala klinis baru terlihat pada hari ke-5, yaitu peningkatan
produksi lendir dan kerusakan pada insang (perlakuan B). Masa inkubasi virus
pada penelitian ini tergolong cepat karena membutuhkan waktu hanya 5 hari.
Masa inkubasi virus KHV tergantung pada kondisi lingkungan perairannya,
18 terutama suhu air (Tabel 2). Pada penelitian ini suhu air akuarium berkisar 1723,5 °C. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Antychowicz et al. (2005)
bahwa gejala-gejala serangan KHV di Polandia sering terjadi pada suhu berkisar
17-24 °C, namun tidak menunjukkan adanya kematian pada suhu 17 °C. Puncak
gejala klinis terparah terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang. Nekrosis insang dan
luka-luka pada kulit punggung ikan pada saat ini mengalami puncak terparah yang
menuju pada banyaknya kematian ikan.
Indeks fagositosis merupakan ingesti bahan partikel terutama bakteri atau
virus ke dalam sitoplasma sel darah. Pola peningkatan persentase indeks
fagositosis menunjukkan adanya peningkatan total leukosit termasuk monosit
yang dapat merangsang produksi limfosit (Amrullah, 2004). Pengamatan terhadap
nilai indeks fagositosis dilakukan setiap seminggu sekali baik pada masa vaksinasi
maupun pascauji-tantang. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui kecenderungan
aktivitas fagositosis pada saat pasca vaksinasi dan pascauji-tantang. Pada pasca
vaksinasi nilai indeks fagositosis pada masing-masing perlakuan hampir sama,
mengalami peningkatan pada hari ke-21 dan mengalami penurunan pada hari ke28. Indeks fagositosis perlakuan A dan kontrol positif memiliki kecenderungan
peningkatan yang sama pascauji-tantang, yaitu terus mengalami kenaikan hingga
hari ke-56. Hal ini sejalan dengan kelangsungan hidupnya yang masih mengalami
penurunan hingga memasuki minggu ke-3 pascauji-tantang (Gambar1). Berbeda
dengan hal tersebut, perlakuan B dan perlakuan C mengalami penurunan pada hari
ke-56 pascauji-tantang. Indeks fagositosis perlakuan B dan C berbanding terbalik
dengan kelangsungan hidupnya yang cenderung mulai stabil pada minggu ke-3
hingga akhir penelitian (Gambar 1). Hal ini diduga karena adanya reaksi antibodi
yang timbul akibat pemberian vaksin. Nuryati (2010) melaporkan hal yang sama,
bahwa vaksinasi mampu membangkitkan kekebalan seluler maupun humoral,
yaitu antibodi.
Nilai indeks fagositosis berkaitan dengan perluasan infeksi dari suatu
penyakit. Apabila sel-sel fagosit bekerja secara optimal maka perluasan infeksi di
dalam tubuh dapat dibatasi dengan baik. Namun sebaliknya jika aktivitas
fagositosis menurun dikarenakan suatu hal, maka sifat infeksi akan menyebar ke
seluruh tubuh (Ekandaru & Tjokronegoro, 1983). Pada perlakuan B dan C, tapi
19 pada hari ke-56 mengalami penurunan, hal ini diduga karena adanya
penyembuhan luka dan sudah tidak terjadi perluasan infeksi. Sebaliknya pada
perlakuan A dan kontrol positif, pada hari ke-56 masih mengalami kenaikan
aktifitas fagositosis. Hal ini berkorelasi dengan abnormalitas ikan yang masih
terjadi hingga waktu tersebut. Berdasarkan pengamatan hingga hari ke-56, pada
perlakuan A dan kontrol positif masih ditemukan ikan yang mengalami luka pada
kulit punggung hingga akhirnya melepuh. Di samping itu ditemukan juga ikan
yang mengalami pendarahan pada sirip anal dan pektoralnya.
Mekanisme fagositosis dibagi menjadi dua tahap, yaitu attactment phase,
waktu terjadi peristiwa penempelan partikel oleh membran sel fagosit, dan
ingestion phase termasuk di sini destruksi dan intracelluler killing (Gambar 7)
(Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983). Secara terperinci fasefase dalam mekanisme fagositosis adalah kemotaksis sel fagosit menuju daerah
yang mengalami infeksi atau kerusakan, proses opsonisasi melalui aktivasi sistem
komplemen, penempelan organisme di sel fagosit pada C3b pada Fc-reseptor
(Gambar 8), proses mengunyah dan vakuolisasi, perubahan metabolisme
interseluler, degranulasi lisosom, dan proses mencerna serta intracellular killing.
Gambar 7. Mekanisme fagositosis memperlihatkan ingesti dan proses mencerna
(Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983).
20 Gambar 8. Skema Fc dan C3b-reseptor pada permukaan sel fagosit (Bellanti,
1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983).
Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan histopalogi ginjal dan insang dari
perlakuan A, B, C, kontrol positif dan kontrol negatif. Insang pada kontrol negatif
tidak menunjukkan gejala infeksi KHV atau ginjal dan insang tersebut dalam
kondisi normal. Namun pada perlauan A, B, C, dan kontrol positif ditemukan
abnormalitas
pada
filamen
insang
seperti
hiperplasia,
hipertropi,
dan
ditemukannya badan inklusi yang mengindikasikan infeksi virus. Demikian juga
dengan hipertropi dan badan inklusi yang ditemukan pada organ ginjal. Santika
(2007) dan Giri (2008) menemukan hal yang sama pada preparat histologinya,
ikan yang terinfeksi KHV ditemukan insang yang hipertropi, hiperplasia dan
adanya badan inklusi di antara lamella insang. Menurut Sunarto et al. (2005)
pembentukan badan inklusi merupakan kondisi hipertopi pada inti yang
disebabkan oleh penumpukan virion-virion dalam inti sel.
Hiperplasia dan hipertropi pada insang dapat menyebabkan pembengkakan
antar lamela sehingga dapat mengganggu proses pertukaran gas dan terganggunya
respirasi ikan. Rusaknya insang dan kurangnya suplai oksigen akan menyebabkan
kematian ikan mas yang terinfeksi KHV (Tamba, 2007). Hipertopi pada ginjal
dapat mengganggu proses penyaringan darah sehingga menimbulkan penumpukan
zat beracun di dalam tubuh yang kemudian akan menyebabkan keracunan pada
ikan. Hipertopi pada ginjal perlakuan C ditemukan lebih sedikit daripada
21 perlakuan lainnya hal ini berbanding lurus dengan nilai RPS yang dihasilkan oleh
perlakuan C, namun lebih tinggi dari perlakuan A, B, dan kontrol positif.
Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini adalah suhu, pH,
DO, dan NH3-N (Tabel 2 dan Lampiran 11). Berdasarkan parameter tersebut,
yang paling berpengaruh terhadap serangan infeksi KHV adalah suhu sehingga
pengamatannya dilakukan setiap hari. Nilai parameter kualitas air pada penelitian
ini masih dalam kisaran yang masih dapat ditolerir oleh ikan (SNI, 1999) dan suhu
air mampu meningkatkan virulensi KHV, yaitu oksigen terlarut, pH, NH3-N, dan
suhu berturut-turut adalah 7,9-8,3 mg/L, 6,6-7,2, 0,04-0,06 mg/L, dan 17-23,5°C.
Usaha budidaya ikan tidak terlepas dari aspek eknomi yang harus benarbenar diperhitungkan untuk menghindari kerugian. Demikian juga dengan biaya
pengadaan vaksin jika akan diterapkan pada pembudidaya. Berdasarkan
perhitungan biaya perbanyakan vaksin (Lampiran14), untuk satu kali vaksinasi
membutuhkan biaya pengadaan vaksin sebesar Rp.68,2/mL/ekor ikan, sehingga
untuk dua kali vaksinasi membutuhkan 2 kali Rp. 68,2 atau sama dengan Rp.
136,6/ekor ikan dan untuk 3 kali vaksinasi membutuhkan biaya Rp. 204,6/ekor
ikan. Penggunaan vaksin efektif dalam meningkatkan kelangsungan hidup ikan
sehingga akan berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat. Berdasarkan
analisis usaha yang terlampir pada Lampiran 14, perlakuan C dengan
mengeluarkan tiga kali biaya pengadaan vaksin menghasilkan keuntungan paling
besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Lebih lagi jika dibandingkan
dengan ikan yang tidak divaksin, walaupun modal yang dikeluarkan lebih sedikit
karena tidak ada biaya untuk pengadaan vaksin, namun dengan asumsi
kelangsungan hidup 56,66% tidak menghasilkan keuntungan bahkan merugi
hingga lebih dari satu juta rupiah.
22 
Download