45 TRADISI ISLAM LOKAL PESISIR CIREBON Oleh: Mohammad Isfironi Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy Situbondo [email protected] Dian Permata Sari Prodi KPI Fak. Dakwah IAI Ibrahimy Situbondo [email protected] Abstract In cultural perspective, attitudes and act change of individual or social, and in many respects influenced by cultural interactionism and integration. As outer various cultural values contact with local cultural values, will be the basis in the formation of subcultures that stands alone with his dynamic expressions. For that reason, various dimentions life experience redefinition and differentiation in massif occurring and than gave rise to various socio-cultural its own problems. Let alone it impact the change in attitudes and the act dimention of individual and the coastas Javas communities in Talun subdistrict Cirebon district of West Java. Ritual acculturation of “Nadran” in Indonesia that called as a ritual of sea alms especially in subdistrict of Talun, Cirebon district presented cultural acculturation that pertaining the region activities. Keyword : Akuturasi, Budaya, Nadran, Cirebon Tradisi Nadran (Pesta Sedekah Laut) Perubahan-perubahan dunia modern yang oleh Giddens1 diibaratkan sebagai “Juggernaut” yang lepas kontrol ternyata memaksa munculnya suatu strategi bertahan (survival strategy) dari masyarakat untuk dapat tetap hidup dalam harmoni di tengah-tengah arus perubahan dan modernisasi yang mengepung dari berbagai sisi. Model solidaritas yang terbentuk dalam konteks perubahan masyarakat ke arah yang lebih otonom, terlepas dari sistem dan ikatan lama, ternyata masih menunjukkan suatu kesamaan dengan pola-pola lama yang mencirikan sebuah solidaritas mekanik. Perubahan realitas sosial tersebut direspon secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda. Strategi 1 Ritzer, George and Goodman J. Douglas. Teori Sosial Modern, ter. Alimandan (Jakarta, Kencana: 2005),, 104 adaptasi terhadap realitas sosial yang baru menunjukkan suatu kreatifitas masyarakat sekaligus menunjukkan watak dinamisnya. Tradisi-tradisi ini umumnya muncul dengan suatu motif-motif sosial, ekonomi maupun keagamaan. Namun dalam mengikuti suatu acara tradisi atau agama mungkin individu juga tidak didorong oleh suatu keinginan apapun untuk memenuhi fungsi latent pattern maintenance ataupun untuk meningkatkan solidaritas sosial. Sebaliknya motif-motif yang bersifat pribadi justru lebih menonjol seperti memenuhi kewajiban-kewajiban agama, memperoleh keselamatan atau ketenteraman jiwa atau menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan. Dengan kata lain bahwa dalam kehidupan modern ini agama masih 46 menjadi alasan terhadap segala tindakan-tindakan sosial, baik agama sebagai ajaran maupun agama sebagai spirit. Agama sebagai ajaran, artinya bahwa seringkali motivasi suatu bentuk kegiatan semacam upacara dilakukan karena perintah Agama sebagaimana dalam teks. Sedangkan agama sebagai spirit lebih melihat bahwa kegiatan atau upacara-upacara yang dilakukan dengan mengambil spirit dari agama tertentu. Fenomena yang demikian dalam perspektif Durkheimian disebut civil religion yang bertujuan yang sebagai social cohesion. Suatu kepaduan atau keteraturan sosial sebagaimana pula yang dicita-citakan dalam Civil Society2. Salah satu tradisi di Indonesia yang cukup kental sebagai hasil sebuah akulturasi atau dialog antara agama dan budaya adalah tradisi Nadran. Tradisi nadran menjadi ciri khas masyarakat pesisir di hampir seluruh wilayah di Jawa. Tradisi ‟Nadran‟ dikenal juga sebagai pesta atau sedekah laut, sedekah bumi, upacara buang saji atau labuh saji. Nadran memiliki arti janji atau rasa syukur. Nadran berasal dari kata nazar dalam bahasa Arab yang memiliki arti janji. Janji atau rasa syukur masyarakat pesisir Cirebon atas rezeki yang telah dilimpahkan yang maha kuasa kepada mereka. Secara turun temurun, upacara Nadran adalah upacara yang lahir dari akulturasi agama Islam dan Hindu. Perpaduan tersebut menciptakan upacara Nadran.Dalam prosesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala kerbau tersebut ditenggelamkan. Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buahbuahan, makanan khas, dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni modern (drumband), di setiap acara nadran selalu digelar wayang kulit selama seminggu.3 Pemerintah Kota Cirebon sendiri bermaksud menjadikan tradisi nadran sebagai jargon pariwisata. Dengan harapan dapat menjadi magnet atau daya tarik pengembangan pariwisata di kota udang ini, yang kini jauh tertinggal dengan daerah hinterland-nya, seperti Kabupaten Kuningan, atau bahkan Kabupaten Cirebon sendiri.4 Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat sebagai salah satu cara bagaimana masyarakat nelayan mengekpresikan rasa syukur mereka pada Sang Maha Pencipta atas tangkapan ikan yang mereka peroleh serta permohonan keselamatan dalam mencari nafkah di laut. Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan 2 Rosseau, Jean-Jacque, The Social Contract. England, (Penguin Classics, 1968), 64-65.; Bellah, Robert, N, Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern. Jakarta. Paramadina, 2000), 245.; Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life. Transl. Joseph Ward Swain ( New York. Free Press, 1965), 432. 3 https://id.wikipedia.org/wiki/Nadran (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) 4 http://asepbisnisman.blogspot.co.id/2009/08/na dran-di-cirebon.html (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) 47 religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk-tari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus lainnya. Dalam konteks relasi sosial, tradisi „Nadran‟ dapat meningkatkan persaudaraan antarwarga desa yang selama ini warga yang tinggal di sekitar pesisir dikenal memiliki watak dan karakter yang keras. Sejarah Tradisi Nadran Masyarakat Cirebon 1. Tradisi Nadran Pra Islam Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiahhadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin). Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama. Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa. Selain melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang 48 bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala permohonan atau permintaannya. Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut 2. 5 supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan. Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.5 Tradisi Nadran setelah kedatangan Islam Tradisi-tradisi Nadran setelah kedatangan Islam tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta), akan tetapi lebih dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan pembacaan do‟a-do‟a yang dipimpin oleh seorang ulama. Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah. (Dasuki,1979:1011). Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak Heriyani Agustina, Nilai-nilai Filosofi Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon, Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan,(Yogyakarta: Kepel Press, 2009), hal, 38 49 3. lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna pelarungan ini lebih bersimbol pada membuang kesialan, sekaligus untuk mengingat bahwa laut merupakan sumber kehidupan bagi para nelayan, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan. Nuansa keislaman juga nampak dalam pementasan seni wayang dan tari. Wayang yang dipertunjukan adalah wayang Golek Cepak dan wayang kulit Dakwah (sebelumnya wayang dibuat dari gulungan kain yang bergambar lalu diubah menjadi wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau atau lembu ) yang merupakan asli Cirebon yang alur ceritanya diambil dari Babad Cirebon, Babad Walisanga dan Babad Ambiya, yang menggambarkan sejarah Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan para Wali, beserta cerita perjuangan Rasullah SAW dan sahabat-sahabatnya dalam menegakkan syariat Islam. Pagelaran wayang semalam suntuk dalam tradisi Nadran bukan hanya untuk bergadang, akan tetapi masyarakat mendapatkan penyuluhan dan pembekalan rohani. Pagelaran ini diistilahkan dengan tabarukan, yaitu mencari keberkahan atas syukur yang mendalam, dengan membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan menggantinya dengan nilai-nilai positif. 6 Tradisi Nadran Di Masa Kini Proses pelaksanaan tradisi Nadran di pesisir Cirebon 6 http://soetirman.blogspot.co.id/2010/07/sejarahperkembangan-tradisi-nadran-di.html (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) berdasarkan cerita masyarakat setempat dari dulu hingga sekarang adalah sama dan hampir tidak ada perubahan berarti kalaupun ada hanya proses kelengkapan hiburan yang kadang disesuaikan dengan tingkat kemampuan para nelayan atau tengkulak, dan berdasarkan fakta dilapangan disetiap tahunnya hampir hampir seluruh warga masyarakat khusunya yang berdekatan dengan kali Bondet turut memeriahkan tradisi ini dengan mengelar berbagai hiburan tambahan selain hiburan utama, bahkan para pedagang pun tak ketinggalan dari pintu masuk jalan raya sampai ke pusat kegiatan (biasanya di TPI KUD Mina Waluya Desa Bondet) disesaki berbagai macam para pedagang dan hiburan tambahan lainnya seperti permainan modern. Menurut Dr. Heriyani Agustina, bahwa dalam kontek kekinian, Nadran terkadang lebih terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Ia sering kehilangan ruhnya, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesanpesan moral para pendahulunya, terutama tokoh-tokoh Islam dan para pendiri Cirebon yang tersirat melalui simbol-simbol tradisi. Bahkan ketika menampilkan lakon para sufi atau para wali dalam pagelaran wayang sebagai media pengajaran masyarakat supaya hidup sederhana dan selalu memperhatikan kaum yang lemah.. sebaliknya justru Nadran malah dijadikan sarana untuk berfoya-foya dengan tidak menghiraukan pendekatan kaum 50 yang lemah. Bahkan sekarang ada kecenderungan bahwa pesta tradisi Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan. Kalau dicermati secara rinci dari sisi ekonomi, bahwa tradisi Nadran yang dilaksanakan oleh masyarakat Nalayan kali Bondet, sebenarnya sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun daerah, hal ini dikarenakan kegiatan nadran ini sangat menarik para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Bahkan lewat tradisi ini kadang masyarakat Desa Mertasinga juga diuntungkan dari para wisatawan yang kadang juga turut bertransaksi ekonomi lainnya disamping menikmati hiburanhiburan yang sedang 7 ditampilkan. Akulturasi Budaya, Agama dalam Tradisi NADRAN Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman budaya dan agama yang sangat besar (heterogen), seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang pada setiap pulaunya memiliki kultur yang berbeda-beda, dan hal ini sering disebut sebagai multi etnis dan agama. Pluralisme budaya dan agama di Indonesia merupakan sebuah berkah yang terberi yang menjadikan kehidupan secara sosial-budaya sangat kaya akan kebajikan-kebajikan lokal, yang tanpa disadari merupakan modal sosial yang sangat berharga guna terus exis dalam era globalisasi. Dalam hal ini, Budaya dan Agama sangat berkaitan erat, dikarenakan dalam studi antropologi istilah culture (budaya) secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”, sehingga budaya tercipta dari hasil pengaruh agama terhadap diri manusia (Izebigovic, 1992). Keberagaman kultur budaya dan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia, tentunya tidak datang secara tiba-tiba yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, namun melalui beberapa tahapan perkembangan sejarah Negara. Mulai dari sejarah warisan budaya pribumi masa lampau, hingga kedatangan pedagang-pedagang dari luar yang membawa kebudayaan dan agama bangsa mereka (kultur luar) ke wilayah Nusantara (khususnya Maluku dan Jawa). 8 Berbicara tentang konsep Islam vis a vis tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity). 8 7 http://soetirman.blogspot.co.id/2010/07/sejarahperkembangan-tradisi-nadran-di.html (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) http://bayukreshnaadhitya.blogspot.co.id/2012/ 05/akulturasi-agama-dalam-ritual-sedekah.html diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) 51 Lebih jauh melihat kondisi Islam di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemahaman seperti di atas, tidak saja akan menemukan keterkaitan historis dengan realitas kesejarahan Islam, tetapi juga akan menemukan satu sisi penting dari awal proses transformasi intelektual Islam yang bertolak dari nilai-nilai universalisme Islam yang dikategorikan sebagai tradisi besar dengan tata nilai dalam setting kultural dan struktural tertentu yang sudah terpola sebelumnya.9 Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling kental tentang akulturasi keagamaannya, terkait dengan adat istiadat pribumi pada saat itu hingga penyebaran agama (yang mulai mengubah membaur dalam budaya) oleh bangsa-bangsa dari luar yang melakukan aktivitas perdagangan di Indonesia. Pada awal sejarah Indonesia, Tanah Jawa di kenal dengan faham animisme dan dinamisme-nya, dimana sebagain besar masyarakat Jawa pada saat itu melakukan pendewaan dan pemitosan pada ruh-ruh nenek moyang yang kemudian menjadikannya sebagai dewa pelindung pemiliki kekuatan gaib yang melindungi keluarga yang masih hidup (Ridwan, 2005). Keberadaan ruh dan kekuatankekuatan gaib pada saat itu, dipandang sebagai dewa atau bahkan Tuhan yang dapat menolong, ataupun sebaliknya yang dapat mencelakakan. Hingga mulai timbul-lah inisiatif pembuatan kegiatan ritual-ritual yang mendatangkan arwah nenek moyang atau dewa, kemudian mengucapkan mantra, memberikan sesaji dan sebagainya di dalam upacara ritual tersebut. Dalam hal ini, W. Robertson Smith memandang bahwa upacara yang dilakukan pada saat itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak hanya berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, namun juga karena mereka menganggap melaksanakan ritual keagamaan adalah bagian dari kewajiban social.10 Sedekah laut merupakan bagian ritual “keagamaan” pada saat itu yang masih tertinggal hingga kini dalam lingkup keberlangsungan hidup nelayan. Ritual sedekah laut sangat kental terasa di wilayah Jawa khususnya Pantai Utara Jawa. Ritual sedekah laut dikenal pada masyarakat awam Jawa dengan definisi pemberian macammacam sesaji kepada yang mbau rekso atau yang menguasai laut selatan yang dikenal dengan sebutan kanjeng ratu kidul, sebagai bentuk rasa syukur (berterima kasih) atas rejeki laut dan keselamatan yang telah diterima saat melaut. Komitmen Religius Masyarakat Pesisir Cirebon dalam tangkapan Teori Budaya Geertz Tradisi Nadran atau sedekah laut yang dianggap sebagai ritual keagamaan yang digelar oleh para nelayan Cirebon adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan, baik berupa keselamatan ketika berlayar di laut maupun hasil ikan yang melimpah sepanjang tahun yang lalu. Sebuah komitmen religious yang diekspresikan melalui berbagai macam upacara yang keseluruhannya melambangkan sebuah rasa syukur yang mendalam. Ritual sedekah laut umumnya dilakukan pada bulan Asyura atau bulan Muharam di hari-hari yang telah di tetapkan, semisal jumat kliwon dan 9 Syamsul Arifin dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta : SIPRESS, 1996) hal. 50-51. 10 Koentjarajakti. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). hal. 69 52 selasa kliwon di bulan tersebut. Bulan Muharam adalah bulan yang sakral bagi umat islam bahkan menjadi salah satu bulan suci bagi umat islam sebagai bentuk evaluasi diri, pengutaraan rasa syukur kepada Allah SWT dan pergantian tahun pada kalender Hijriah. Begitupun dalam kacamata orang jawa yang telah terakulturasi kebudayan Islam dari animisme-dinamisme dan Hindu-Budha, hanya bedanya,, bagi sebagian masyarakat Jawa bulan Suro adalah bulan yang mistis atau keramat. Pada bulan ini, umumnya masyarakat Jawa tidak berani untuk melakukan kegiatan apapun, seperti pernikahan ataupun hajatan, dikarenakan takut menimbulkan petaka bagi keberlangsungan hidup mereka (Purwanti, 2010). Kegiatan di bulan Asyura biasanya adalah kegiatan selametan dan persembahan yang sering diikenal dengan istilah-istilah tirakatan (selametan) dan Sadranan atau Nadran (Pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi lauk pauk dan bermacam-macam kembang yang kemudian di Larung ke laut disertai dengan kepala kerbau) “Sedekah Laut”. Kesemua ini merupakan sebuah tradisi Keagamaan yang berkembang pada daerah pesisir Cirebon. Menurut Clifford Geertz agama merupakan sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbolsimbol ini mempunyai makna yang diwujudkan kedalam bentuk ekspresi realitas hidupnya. Oleh karena itu Geertz lebih menekankan pada budaya dari dimensi agama. Dalam hal ini agama dianggap sebagai bagian dari budaya. Kebudayaan adalah sebuah pola makna-makna (a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol- simbol itu. Salah satu dari sekian banyak simbol keagamaan yang dipraktekkan masyarakat Islam Jawa adalah tradisi Sedekah Laut atau biasa disebut Tradisi Nadran. Geertz berpandangan bahwa suatu agama akan tergambar dari dan oleh kondisi masyarakat pemeluknya, sebagaimana yang selama ini diyakini oleh penganut fungsionalisme, namun kenyataannya masyarakatpun akan ditunjukkan oleh agama yang mereka anut. Geertz melihat agama sebagai fakta budaya saja, bukan semata-mata sebagai sebagai ekspresi kehidupan sosial atau ketegangan ekonomi (meskipun hal ini juga diperhatikan). Melalui ide, simbol, ritual dan adat kebiasaan, dia menemukan adanya pengaruh agama dalam setiap celah kehidupan di Jawa. Studi Geertz begitu rinci, sehingga begitu terikat dengan fakta kehidupan di Jawa. Ia begitu hatihati untuk menghindari generalisasi yang ia gunakan sebagai model untuk jenis antropologi thick description yang ia anjurkan. Keterkaitan antara agama dan budaya ini ditulis dalam esai tersendiri yang berjudul Religion as a Cultural System (Agama sebagai Sistem Budaya) yang pertama diterbitkan pada tahun 1966, kemudian dimasukkan dalam kumpulan tulisannya The Interpretation of Cultures. Geertz memulai esainya dengan ketertarikannya pada “dimensi kebudayaan” agama. Kebudayaan digambarkan sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat dalam simbolsimbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbolsimbol itu. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk 53 menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu eksistensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Simpulan Tradisi Sedekah laut atau Nadran memiliki landasan filosofi yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat, walau dibalik keberlangsungan sejarah ritual sedekah laut terdapat sedikit polemik tentang bagaimana ritual tersebut terbentuk di masyarakat. Mencoba mengangkat kembali bahwa ritual sedekah laut tidak sertamerta muncul mentah hasil warisan budaya jaman dahulu, namun peran serta sejarah terutama “akulturasi agama” yang ada didalamnya turut memberikan torehan nilai-nilai budaya. Animisme-dinamisme yang menjadi akar awal adanya ritual ini, lalu tata cara dan tahapan yang mendapat sentuhan Hindu-Budha, serta nuansa islam yang ada pada isi haturan setiap bait kata syukur dalam prosesi tersebut. Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam ritual sedekah laut di Cirebon termuat dibalik rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai filosofi yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacaraupacara yang disajikan melalui bentuktari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritusritus lainnya, terlepas darimana dan bagaimana kebudayaan itu terbentuk atau tercipta. Oleh karena keterbatasan ruang dalam tulisan ini, maka masih banyak aspek yang sesungguhnya cukup urgen untuk diungkap. Oleh karenanya perting juga dilakukan sebuah penelitian lebih lanjut terutama yang mengkaji perubahan-perubahan suatu tradisi seperti nadran dalam konteks komodifikasi yang banyak dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka mendorong parawisata guna meningkatkan pendapat daerah. Semoga pada kesempatan yang lain dapat dikaji secara lebih mendalam berbagai tradisi di tanah air yang sesungguhnya secara kebudayaan dapat memberikan subuah manfaat terutama dalam rangka kembali kepada jati diri bangsa. Memahami berbagai tradisi di Indonesia (baca: Nusantara) dengan lebih tepat akan menghindarkan diri pada suatu sikap menyalahkan atau bahkan mengkafirkan yang belakangan seorang menjadi sebuah trend suatu kelompok tertentu yang kurang sepaham dengan praktik-praktik budaya di tanah air.[] Daftar Pustaka Bellah, Robert, N, 2000. Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Moder: Jakarta, Paramadina Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of Religious Life: Transl. Joseph Ward Swain. New York. Free Press. 54 Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York. Basic Books Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. ter. Aswab Mahasin: Jakarta, Pustaka Jaya. Geertz, Cliffort.,1992. Kebudayaan dan Agama: Yogyakarta, Kanisius Heriyani, Agustina. 2009, Nilai-nilai Filosofi Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon, Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan: Yogyakarta, Kepel Press. https://id.wikipedia.org/wiki/Nadran (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) http://asepbisnisman.blogspot.co.id/200 9/08/nadran-di-cirebon.html (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) http://soetirman.blogspot.co.id/2010/07/ sejarah-perkembangan-tradisinadran-di.html (diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) http://bayukreshnaadhitya.blogspot.co.i d/2012/05/akulturasi-agamadalam-ritual-sedekah.html diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB) Ritzer, George and Goodman J. Douglas.2005. Teori Sosiologi Modern. ter. Alimandan: Jakarta, Kencana. Rosseau, Jean-Jacque. 1968. The Social Contract. England. Penguin Classics. Koentjarajakti. 1994, Kebudayaan Jawa.: Jakarta,: Balai Pustaka. Syamsul Arifin dkk.1996, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan: Yogyakarta, SIPRESS.