45 TRADISI ISLAM LOKAL PESISIR CIREBON Oleh

advertisement
45
TRADISI ISLAM LOKAL PESISIR CIREBON
Oleh:
Mohammad Isfironi
Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy Situbondo
[email protected]
Dian Permata Sari
Prodi KPI Fak. Dakwah IAI Ibrahimy Situbondo
[email protected]
Abstract
In cultural perspective, attitudes and act change of individual or social, and in many
respects influenced by cultural interactionism and integration. As outer various cultural
values contact with local cultural values, will be the basis in the formation of subcultures that stands alone with his dynamic expressions. For that reason, various
dimentions life experience redefinition and differentiation in massif occurring and than
gave rise to various socio-cultural its own problems. Let alone it impact the change in
attitudes and the act dimention of individual and the coastas Javas communities in
Talun subdistrict Cirebon district of West Java. Ritual acculturation of “Nadran” in
Indonesia that called as a ritual of sea alms especially in subdistrict of Talun, Cirebon
district presented cultural acculturation that pertaining the region activities.
Keyword : Akuturasi, Budaya, Nadran, Cirebon
Tradisi Nadran (Pesta Sedekah Laut)
Perubahan-perubahan
dunia
modern yang oleh Giddens1 diibaratkan
sebagai “Juggernaut” yang lepas kontrol
ternyata memaksa munculnya suatu
strategi bertahan (survival strategy) dari
masyarakat untuk dapat tetap hidup
dalam harmoni di tengah-tengah arus
perubahan dan modernisasi yang
mengepung dari berbagai sisi. Model
solidaritas yang terbentuk dalam
konteks perubahan masyarakat ke arah
yang lebih otonom, terlepas dari sistem
dan ikatan lama, ternyata masih
menunjukkan suatu kesamaan dengan
pola-pola lama yang mencirikan sebuah
solidaritas mekanik. Perubahan realitas
sosial tersebut direspon secara berbeda
oleh masyarakat yang berbeda. Strategi
1
Ritzer, George and Goodman J. Douglas.
Teori Sosial Modern, ter. Alimandan (Jakarta,
Kencana: 2005),, 104
adaptasi terhadap realitas sosial yang
baru menunjukkan suatu kreatifitas
masyarakat sekaligus menunjukkan
watak dinamisnya.
Tradisi-tradisi ini umumnya
muncul dengan suatu motif-motif sosial,
ekonomi maupun keagamaan. Namun
dalam mengikuti suatu acara tradisi atau
agama mungkin individu juga tidak
didorong oleh suatu keinginan apapun
untuk memenuhi fungsi latent pattern
maintenance
ataupun
untuk
meningkatkan
solidaritas
sosial.
Sebaliknya motif-motif yang bersifat
pribadi justru lebih menonjol seperti
memenuhi
kewajiban-kewajiban
agama, memperoleh keselamatan atau
ketenteraman jiwa atau menyesuaikan
diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang
sudah mapan.
Dengan kata lain bahwa dalam
kehidupan modern ini agama masih
46
menjadi
alasan
terhadap
segala
tindakan-tindakan sosial, baik agama
sebagai ajaran maupun agama sebagai
spirit. Agama sebagai ajaran, artinya
bahwa seringkali motivasi suatu bentuk
kegiatan semacam upacara dilakukan
karena perintah Agama sebagaimana
dalam teks. Sedangkan agama sebagai
spirit lebih melihat bahwa kegiatan atau
upacara-upacara yang dilakukan dengan
mengambil spirit dari agama tertentu.
Fenomena yang demikian dalam
perspektif Durkheimian disebut civil
religion yang bertujuan yang sebagai
social cohesion. Suatu kepaduan atau
keteraturan sosial sebagaimana pula
yang dicita-citakan dalam Civil
Society2. Salah satu tradisi di Indonesia
yang cukup kental sebagai hasil sebuah
akulturasi atau dialog antara agama dan
budaya adalah tradisi Nadran. Tradisi
nadran menjadi ciri khas masyarakat
pesisir di hampir seluruh wilayah di
Jawa.
Tradisi ‟Nadran‟ dikenal juga
sebagai pesta atau sedekah laut, sedekah
bumi, upacara buang saji atau labuh
saji. Nadran memiliki arti janji atau rasa
syukur. Nadran berasal dari kata nazar
dalam bahasa Arab yang memiliki arti
janji. Janji atau rasa syukur masyarakat
pesisir Cirebon atas rezeki yang telah
dilimpahkan yang maha kuasa kepada
mereka. Secara turun temurun, upacara
Nadran adalah upacara yang lahir dari
akulturasi agama Islam dan Hindu.
Perpaduan
tersebut
menciptakan
upacara
Nadran.Dalam
prosesi
pelaksanaannya
biasanya
diawali
dengan pemotongan kepala kerbau dan
pemotongan nasi tumpeng. Kepala
kerbau tersebut dibalut dengan kain
putih dan kemudian bersama dengan
perangkat sesajen lainnya dilarung ke
tengah laut lepas dan kepala kerbau
tersebut ditenggelamkan.
Sesajen yang diberikan, disebut
ancak, yang berupa anjungan berbentuk
replika perahu yang berisi kepala
kerbau, kembang tujuh rupa, buahbuahan, makanan khas, dan lain
sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut,
ancak
diarak
terlebih
dahulu
mengelilingi tempat-tempat yang telah
ditentukan sambil diiringi dengan
berbagai suguhan seni tradisional,
seperti tarling, genjring, barongsai, telik
sandi, jangkungan, ataupun seni modern
(drumband), di setiap acara nadran
selalu digelar wayang kulit selama seminggu.3
Pemerintah Kota Cirebon sendiri
bermaksud menjadikan tradisi nadran
sebagai jargon pariwisata. Dengan
harapan dapat menjadi magnet atau
daya tarik pengembangan pariwisata di
kota udang ini, yang kini jauh tertinggal
dengan daerah hinterland-nya, seperti
Kabupaten Kuningan, atau bahkan
Kabupaten Cirebon sendiri.4
Tradisi ini memiliki landasan
filosofis yang berakar dari keyakinan
keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal
yang dianut oleh masyarakat setempat
sebagai salah satu cara bagaimana
masyarakat nelayan mengekpresikan
rasa syukur mereka pada Sang Maha
Pencipta atas tangkapan ikan yang
mereka peroleh serta permohonan
keselamatan dalam mencari nafkah di
laut. Nilai-nilai filosofis yang menarik
untuk dipelajari antara lain nilai
solidaritas, etis, estetis, kultural dan
2
Rosseau, Jean-Jacque, The Social Contract.
England, (Penguin Classics, 1968), 64-65.;
Bellah, Robert, N, Beyond Belief: Esei-esei
tentang Agama di Dunia Modern. Jakarta.
Paramadina, 2000), 245.; Durkheim, Emile, The
Elementary Forms of Religious Life. Transl.
Joseph Ward Swain ( New York. Free Press,
1965), 432.
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Nadran (diunduh
pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB)
4
http://asepbisnisman.blogspot.co.id/2009/08/na
dran-di-cirebon.html (diunduh pada tanggal 03
Maret 2016 pukul 13.00 WIB)
47
religius yang terungkap dalam ekspresi
simbolis dari upacara-upacara yang
disajikan melalui bentuk-tari-tarian,
nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus
lainnya. Dalam konteks relasi sosial,
tradisi „Nadran‟ dapat meningkatkan
persaudaraan antarwarga desa yang
selama ini warga yang tinggal di sekitar
pesisir dikenal memiliki watak dan
karakter yang keras.
Sejarah Tradisi Nadran Masyarakat
Cirebon
1. Tradisi Nadran Pra Islam
Berdasarkan
buku
penelitian Dr. Heriyani Agustina,
Kepel Press-2009 diceritakan
tentang buku “Negara Kertabumi”
karya Pangeran Wangsakerta
dengan sumber cerita dari Kartani
(Penasehat Budaya Cirebon)
disebutkan
bahwa
asal-usul
pelaksanaan
budaya
Nadran
adalah berawal pada tahun 410 M,
dimana Raja Purnawarman, raja
ketiga Kerajaan Tarumanegara
yang terletak di dekat sungai
Citarum yang mengalir dari
Bandung
ke
Indramayu,
memerintahkan
Raja
Indraprahasta Prabu Santanu (
yang sekarang Kec. Talun, Kab.
Cirebon) untuk memperdalam
atau memperbaiki tanggul, yang
bertujuan untuk menduplikat
Sungai Gangga di India. Agar
tanggul sungai lebih kuat,
dibuatlah prasastinya tangan sang
Prabu
Purnawarman
yang
sekarang belum ditemukan, serta
sang Prabu memberikan hadiahhadiah untuk Brahmana 500 ekor
sapi, pakaian-pakaian dan satu
ekor
gajah
untuk
Raja
Indraprahasta (Prabu Santanu).
Duplikat Sungai Gangga tersebut
untuk keperluan mandi suci.
Sungai yang dimaksud adalah
sungai Gangganadi dan muaranya
di sebut Subanadi (muara adalah
perbatasan antara sungai dan
laut). Sungai tersebut sekarang
adalah sungai Kriyan, terletak di
belakang Keraton Kasepuhan
Kota Cirebon. Mandi suci di
sungai Gangganadi dilakukan
setahun sekali, sebagai acara
ritual
untuk
menghilangkan
kesialan dan sebagai sarana
mempersatukan
rakyat
dan
pemujaan kepada sang pencipta.(
Sumber Kartani dan Kaenudin).
Sebetulnya tradisi Nadran
bukanlah tradisi asli daerah
Cirebon apalagi masyarakat Desa
Mertasinga, karena tradisi ini
banyak
juga
ditemukan
dibeberapa daerah lain dengan
nama yang berbeda, seperti di
Jawa Tengah dikenal dengan
tradisi Labuhan, karena ada
beberapa kepercayaan bahwa
apabila mereka tidak melakukan
sedekah ini, mereka berkeyakinan
bahwa Dewa Baruna akan murka
dan segera mengirim bencana
melalui dewa petir, Dewa
Halilintar dan Dewa Angin yang
mengakibatkan nelayan tidak
dapat melaut. Akhirnya tidak
dapat mencari ikan sebagai
sumber kehidupan utama.
Penggunaan daging kerbau
sebagai
persembahan
dan
bukanya daging sapi, dikarenakan
daging kerbau lebih banyak, juga
ada kemungkinan sapi merupakan
hewan yang dianggap suci dalam
agama Hindu, sehingga harus
dipelihara dan tidak boleh
dibunuh. Selain itu juga sapi
dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual
lainnya
adalah
pembacaan
mantra-mantra sambil membakar
dupa atau kemenyan yang
48
bertujuan memohon keselamatan
kepada para Dewa Laut. Mantra
juga berfungsi untuk memanggil
arwah para leluhur yang telah ikut
menjaga keselamatan mereka
dalam mencari rejeki di laut.
Kesan magis pada asap dupa dan
kemenyan
bertujuan
untuk
ketenangan sekaligus permohonan
kehadirat Yang Maha Kuasa, agar
permohonan mereka lebih cepat
sampai ke hadapan Tuhan serta
cepat
dikabulkan
segala
permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi
Nadran juga di tampilkan hiburan
Wayang
yang
merupakan
kesenian dari Hinduisme dan
animisme, yang dapat diperankan
seperti tokoh Mahabarata dan
Ramayana. Pertunjukan lain dari
wayang yang sangat kental
dengan
Hinduisme
dan
animismenya adalah wayang
dengan lakon Wudug Basuh, yang
menceritkan tentang pencarian
Tirta Amerta (air kehidupan) oleh
para
Dewa,
dengan
cara
mengaduk air laut menggunakan
ekor naga Basuki. Tirta Amerta
diperlukan untuk mengurapi para
Dewa agar mereka terhindar dari
kematian, tapi mereka tidak dapat
terhindar dari sakit. Oleh karena
itu, masing-masing-masing dewa
diberi
tempat
dikayangan
Suralaya. Namun demikian ada
kelanjutannya, air laut yang
diaduk oleh para dewa tersebut
mengakibatkan
mahluk
laut
terganggu, lalu bermuculan ke
daratan sambil membawah wabah
penyakit wudug, budug (bisul),
penyakit-penyakit lainnya. untuk
mengatasi wabah ini para Dewa
meminta
bantuan
pada
Sanghiyang
Baruna
untuk
menentramkan
mahluk
laut
2.
5
supaya
tidak
mengganggu
penghuni
daratan.
Sangyang
Baruna
melantunkan
jampa
mantra di baskom air kembang,
lalu air kembang yang telah diberi
mantra disiramkan pada layar
perahu nelayan.
Meskipun
Nadran
bernuansa magis dan animisme,
masyarakat primitif pada waktu
itu telaah memiliki kesadaran
mistik
terhadap
keberadaan
penguasa alam semesta, disertai
rasa terima kasih dan bermohon
kepada Yang Maha Kuasa
suapaya diberi kebaikan dan
keselamatan.5
Tradisi
Nadran
setelah
kedatangan Islam
Tradisi-tradisi
Nadran
setelah kedatangan Islam tidak
lagi dimaknai sebagai sebuah
persembahan kepada Sanghyang
Jagat Batara (Penguasa Alam
Semesta), akan tetapi lebih
dimaknai sebagai wujud syukur
kepada Allah SWT atas karunia
yang diberikan-Nya kepada para
nelayan,
baik
itu
karunia
kesehatan, kekuatan maupun hasil
tangkapan ikan yang berlimpah.
Mantra-mantra yang dibacakan
dalam prosesi Nadran diganti
dengan pembacaan do‟a-do‟a
yang dipimpin oleh seorang
ulama. Lauk pauk hasil bumi yang
diikutsertakan dalam upacara ini
dibagi-bagikan kepada penduduk
desa
dangan
simbolisasi
pembagian
berkah.
(Dasuki,1979:1011).
Pelarungan kepala kerbau
ke laut tetap dilakukan, tapi tidak
Heriyani Agustina, Nilai-nilai Filosofi Tradisi
Nadran
Masyarakat
Nelayan
Cirebon,
Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya
Kelautan,(Yogyakarta: Kepel Press, 2009), hal,
38
49
3.
lagi
dimaknai
sebagai
persembahan
kepada
Dewa
Baruna pelarungan ini lebih
bersimbol
pada
membuang
kesialan,
sekaligus
untuk
mengingat bahwa laut merupakan
sumber kehidupan bagi para
nelayan, sehingga perlu dijaga
dan dilestarikan.
Nuansa keislaman juga
nampak dalam pementasan seni
wayang dan tari. Wayang yang
dipertunjukan adalah wayang
Golek Cepak dan wayang kulit
Dakwah (sebelumnya wayang
dibuat dari gulungan kain yang
bergambar lalu diubah menjadi
wayang kulit yang berasal dari
kulit kerbau atau lembu ) yang
merupakan asli Cirebon yang alur
ceritanya diambil dari Babad
Cirebon, Babad Walisanga dan
Babad
Ambiya,
yang
menggambarkan
sejarah
Islamisasi di tanah Jawa yang
dilakukan para Wali, beserta
cerita perjuangan Rasullah SAW
dan sahabat-sahabatnya dalam
menegakkan syariat Islam.
Pagelaran
wayang
semalam suntuk dalam tradisi
Nadran bukan hanya untuk
bergadang, akan tetapi masyarakat
mendapatkan penyuluhan dan
pembekalan rohani. Pagelaran ini
diistilahkan dengan tabarukan,
yaitu mencari keberkahan atas
syukur yang mendalam, dengan
membuang kebiasaan-kebiasaan
buruk dan menggantinya dengan
nilai-nilai positif. 6
Tradisi Nadran Di Masa Kini
Proses pelaksanaan tradisi
Nadran di pesisir Cirebon
6
http://soetirman.blogspot.co.id/2010/07/sejarahperkembangan-tradisi-nadran-di.html (diunduh
pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB)
berdasarkan cerita masyarakat
setempat dari dulu hingga
sekarang adalah sama dan hampir
tidak ada perubahan berarti
kalaupun ada hanya proses
kelengkapan hiburan yang kadang
disesuaikan
dengan
tingkat
kemampuan para nelayan atau
tengkulak, dan berdasarkan fakta
dilapangan disetiap tahunnya
hampir hampir seluruh warga
masyarakat
khusunya
yang
berdekatan dengan kali Bondet
turut memeriahkan tradisi ini
dengan
mengelar
berbagai
hiburan tambahan selain hiburan
utama, bahkan para pedagang pun
tak ketinggalan dari pintu masuk
jalan raya sampai ke pusat
kegiatan (biasanya di TPI KUD
Mina Waluya Desa Bondet)
disesaki berbagai macam para
pedagang dan hiburan tambahan
lainnya
seperti
permainan
modern.
Menurut Dr. Heriyani
Agustina, bahwa dalam kontek
kekinian, Nadran terkadang lebih
terlihat sebagai upaya pelestarian
tradisi, dan sebagai sarana hiburan
bagi masyarakat. Ia sering
kehilangan ruhnya, ini terlihat
dari banyaknya masyarakat yang
telah mulai meninggalkan pesanpesan moral para pendahulunya,
terutama tokoh-tokoh Islam dan
para pendiri Cirebon yang tersirat
melalui simbol-simbol tradisi.
Bahkan ketika menampilkan
lakon para sufi atau para wali
dalam pagelaran wayang sebagai
media pengajaran masyarakat
supaya hidup sederhana dan selalu
memperhatikan
kaum
yang
lemah.. sebaliknya justru Nadran
malah dijadikan sarana untuk
berfoya-foya
dengan
tidak
menghiraukan pendekatan kaum
50
yang lemah. Bahkan sekarang ada
kecenderungan
bahwa
pesta
tradisi Nadran lebih banyak dalam
bentuk
campur
sari
dan
dangdutan, yang terkadang malah
ada yang mengarah kepada
kemaksiatan.
Kalau dicermati secara
rinci dari sisi ekonomi, bahwa
tradisi Nadran yang dilaksanakan
oleh masyarakat Nalayan kali
Bondet,
sebenarnya
sangat
menguntungkan bagi masyarakat
maupun
daerah,
hal
ini
dikarenakan kegiatan nadran ini
sangat menarik para wisatawan
baik
domestik
maupun
mancanegara.
Bahkan
lewat
tradisi ini kadang masyarakat
Desa
Mertasinga
juga
diuntungkan dari para wisatawan
yang
kadang
juga
turut
bertransaksi ekonomi lainnya
disamping menikmati hiburanhiburan
yang
sedang
7
ditampilkan.
Akulturasi Budaya, Agama dalam
Tradisi NADRAN
Indonesia merupakan negara
dengan keanekaragaman budaya dan
agama yang sangat besar (heterogen),
seperti yang telah diketahui bahwa
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang pada setiap pulaunya memiliki
kultur yang berbeda-beda, dan hal ini
sering disebut sebagai multi etnis dan
agama. Pluralisme budaya dan agama
di Indonesia merupakan sebuah berkah
yang
terberi
yang
menjadikan
kehidupan secara sosial-budaya sangat
kaya akan kebajikan-kebajikan lokal,
yang tanpa disadari merupakan modal
sosial yang sangat berharga guna terus
exis dalam era globalisasi.
Dalam hal ini, Budaya dan
Agama
sangat
berkaitan
erat,
dikarenakan dalam studi antropologi
istilah
culture
(budaya)
secara
etimologis
berkaitan
dengan
sesembahan yang dalam bahasa latin
berarti “cultus” dan “culture”, sehingga
budaya tercipta dari hasil pengaruh
agama
terhadap
diri
manusia
(Izebigovic, 1992).
Keberagaman kultur budaya dan
agama dalam kehidupan bangsa
Indonesia, tentunya tidak datang secara
tiba-tiba yang merupakan anugerah
Tuhan Yang Maha Esa, namun melalui
beberapa tahapan perkembangan sejarah
Negara. Mulai dari sejarah warisan
budaya pribumi masa lampau, hingga
kedatangan pedagang-pedagang dari
luar yang membawa kebudayaan dan
agama bangsa mereka (kultur luar) ke
wilayah Nusantara (khususnya Maluku
dan Jawa). 8
Berbicara tentang konsep Islam
vis a vis tradisi dalam disiplin
antropologi terbagi menjadi dua bagian
yang sering disebut dengan “tradisi
besar” (grand tradition) dengan tradisi
kecil (little tradition). Konsep ini
dikenalkan oleh Jacques Duchesne
Guillemin yang menyatakan bahwa
akan selalu terjadi dialog antara tatanan
nilai agama yang menjadi cita-cita
religius dari agama dengan tata nilai
budaya lokal. Pertautan dialektis yang
kreatif antara nilai universal dari agama
dengan
budaya
lokal
telah
menghadirkan corak ajaran Islam dalam
kesatuan spiritual dengan corak budaya
yang ragam (unity and diversity).
8
7
http://soetirman.blogspot.co.id/2010/07/sejarahperkembangan-tradisi-nadran-di.html (diunduh
pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 13.00 WIB)
http://bayukreshnaadhitya.blogspot.co.id/2012/
05/akulturasi-agama-dalam-ritual-sedekah.html
diunduh pada tanggal 03 Maret 2016 pukul
13.00 WIB)
51
Lebih jauh melihat kondisi
Islam
di
Indonesia
dengan
menggunakan kerangka pemahaman
seperti di atas, tidak saja akan
menemukan keterkaitan historis dengan
realitas kesejarahan Islam, tetapi juga
akan menemukan satu sisi penting dari
awal proses transformasi intelektual
Islam yang bertolak dari nilai-nilai
universalisme Islam yang dikategorikan
sebagai tradisi besar dengan tata nilai
dalam setting kultural dan struktural
tertentu
yang
sudah
terpola
sebelumnya.9
Pulau Jawa merupakan wilayah
yang paling kental tentang akulturasi
keagamaannya, terkait dengan adat
istiadat pribumi pada saat itu hingga
penyebaran agama (yang mulai
mengubah membaur dalam budaya)
oleh bangsa-bangsa dari luar yang
melakukan aktivitas perdagangan di
Indonesia.
Pada awal sejarah Indonesia,
Tanah Jawa di kenal dengan faham
animisme dan dinamisme-nya, dimana
sebagain besar masyarakat Jawa pada
saat itu melakukan pendewaan dan
pemitosan pada ruh-ruh nenek moyang
yang kemudian menjadikannya sebagai
dewa pelindung pemiliki kekuatan gaib
yang melindungi keluarga yang masih
hidup (Ridwan, 2005).
Keberadaan ruh dan kekuatankekuatan gaib pada saat itu, dipandang
sebagai dewa atau bahkan Tuhan yang
dapat menolong, ataupun sebaliknya
yang dapat mencelakakan. Hingga
mulai timbul-lah inisiatif pembuatan
kegiatan
ritual-ritual
yang
mendatangkan arwah nenek moyang
atau dewa, kemudian mengucapkan
mantra,
memberikan
sesaji
dan
sebagainya di dalam upacara ritual
tersebut. Dalam hal ini, W. Robertson
Smith memandang bahwa upacara yang
dilakukan pada saat itu berfungsi
sebagai motivasi yang dimaksudkan
tidak hanya berbakti kepada dewa
ataupun untuk mencari kepuasan
batiniah yang bersifat individual saja,
namun juga karena mereka menganggap
melaksanakan ritual keagamaan adalah
bagian dari kewajiban social.10
Sedekah laut merupakan bagian
ritual “keagamaan” pada saat itu yang
masih tertinggal hingga kini dalam
lingkup
keberlangsungan
hidup
nelayan. Ritual sedekah laut sangat
kental terasa di wilayah Jawa khususnya
Pantai Utara Jawa. Ritual sedekah laut
dikenal pada masyarakat awam Jawa
dengan definisi pemberian macammacam sesaji kepada yang mbau rekso
atau yang menguasai laut selatan yang
dikenal dengan sebutan kanjeng ratu
kidul, sebagai bentuk rasa syukur
(berterima kasih) atas rejeki laut dan
keselamatan yang telah diterima saat
melaut.
Komitmen Religius Masyarakat
Pesisir Cirebon dalam tangkapan
Teori Budaya Geertz
Tradisi Nadran atau sedekah laut
yang dianggap sebagai ritual keagamaan
yang digelar oleh para nelayan Cirebon
adalah sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rezeki yang diberikan, baik berupa
keselamatan ketika berlayar di laut
maupun hasil ikan yang melimpah
sepanjang tahun yang lalu. Sebuah
komitmen religious yang diekspresikan
melalui berbagai macam upacara yang
keseluruhannya melambangkan sebuah
rasa syukur yang mendalam.
Ritual sedekah laut umumnya
dilakukan pada bulan Asyura atau bulan
Muharam di hari-hari yang telah di
tetapkan, semisal jumat kliwon dan
9
Syamsul Arifin dkk., Spiritualisasi Islam dan
Peradaban Masa Depan (Yogyakarta :
SIPRESS, 1996) hal. 50-51.
10
Koentjarajakti. Kebudayaan Jawa. (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994). hal. 69
52
selasa kliwon di bulan tersebut. Bulan
Muharam adalah bulan yang sakral bagi
umat islam bahkan menjadi salah satu
bulan suci bagi umat islam sebagai
bentuk evaluasi diri, pengutaraan rasa
syukur kepada Allah SWT dan
pergantian tahun pada kalender Hijriah.
Begitupun dalam kacamata orang jawa
yang telah terakulturasi kebudayan
Islam dari animisme-dinamisme dan
Hindu-Budha, hanya bedanya,, bagi
sebagian masyarakat Jawa bulan Suro
adalah bulan yang mistis atau keramat.
Pada bulan ini, umumnya masyarakat
Jawa tidak berani untuk melakukan
kegiatan apapun, seperti pernikahan
ataupun hajatan, dikarenakan takut
menimbulkan
petaka
bagi
keberlangsungan
hidup
mereka
(Purwanti, 2010).
Kegiatan di bulan Asyura
biasanya adalah kegiatan selametan dan
persembahan yang sering diikenal
dengan
istilah-istilah
tirakatan
(selametan) dan Sadranan atau Nadran
(Pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi
lauk pauk dan bermacam-macam
kembang yang kemudian di Larung ke
laut disertai dengan kepala kerbau)
“Sedekah Laut”.
Kesemua ini merupakan sebuah
tradisi Keagamaan yang berkembang
pada daerah pesisir Cirebon. Menurut
Clifford Geertz agama merupakan
sebuah sistem simbol-simbol yang
berlaku dalam masyarakat. Simbolsimbol ini mempunyai makna yang
diwujudkan kedalam bentuk ekspresi
realitas hidupnya. Oleh karena itu
Geertz lebih menekankan pada budaya
dari dimensi agama. Dalam hal ini
agama dianggap sebagai bagian dari
budaya. Kebudayaan adalah sebuah
pola makna-makna (a pattern of
meanings) atau ide-ide yang termuat
dalam simbol-simbol yang dengannya
masyarakat menjalani pengetahuan
mereka
tentang
kehidupan
dan
mengekspresikan kesadaran mereka
melalui simbol- simbol itu. Salah satu
dari sekian banyak simbol keagamaan
yang dipraktekkan masyarakat Islam
Jawa adalah tradisi Sedekah Laut atau
biasa disebut Tradisi Nadran.
Geertz berpandangan bahwa
suatu agama akan tergambar dari dan
oleh kondisi masyarakat pemeluknya,
sebagaimana yang selama ini diyakini
oleh penganut fungsionalisme, namun
kenyataannya masyarakatpun akan
ditunjukkan oleh agama yang mereka
anut. Geertz melihat agama sebagai
fakta budaya saja, bukan semata-mata
sebagai sebagai ekspresi kehidupan
sosial atau ketegangan ekonomi
(meskipun hal ini juga diperhatikan).
Melalui ide, simbol, ritual dan adat
kebiasaan, dia menemukan adanya
pengaruh agama dalam setiap celah
kehidupan di Jawa. Studi Geertz begitu
rinci, sehingga begitu terikat dengan
fakta kehidupan di Jawa. Ia begitu hatihati untuk menghindari generalisasi
yang ia gunakan sebagai model untuk
jenis antropologi thick description yang
ia anjurkan. Keterkaitan antara agama
dan budaya ini ditulis dalam esai
tersendiri yang berjudul Religion as a
Cultural System (Agama sebagai Sistem
Budaya) yang pertama diterbitkan pada
tahun 1966, kemudian dimasukkan
dalam kumpulan tulisannya The
Interpretation of Cultures.
Geertz memulai esainya dengan
ketertarikannya
pada
“dimensi
kebudayaan”
agama.
Kebudayaan
digambarkan sebagai sebuah pola
makna-makna (pattern of meaning) atau
ide-ide yang termuat dalam simbolsimbol yang dengannya masyarakat
menjalani pengetahuan mereka tentang
kehidupan
dan
mengekspresikan
kesadaran mereka melalui simbolsimbol itu.
Geertz mengartikan simbol
sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk
53
menyampaikan suatu konsepsi tertentu.
Jadi bagi Geertz norma atau nilai
keagamaan harusnya diinterpretasikan
sebagai sebuah simbol yang menyimpan
konsepsi tertentu. Simbol keagamaan
tersebut mempunyai dua corak yang
berbeda; pada satu sisi ia merupakan
modes for reality dan di sisi yang
lainnya ia merupakan modes of reality.
Yang pertama menunjukkan suatu
eksistensi agama sebagai suatu sistem
yang dapat membentuk masyarakat ke
dalam cosmic order tertentu, sementara
itu sisi modes of reality merupakan
pengakuan Geertz akan sisi agama yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan
perilaku manusia. Geertz menerapkan
pandangan-pandangannya
untuk
meneliti tentang agama dalam satu
masyarakat.
Simpulan
Tradisi Sedekah laut atau
Nadran memiliki landasan filosofi yang
berakar dari keyakinan keagamaan dan
nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh
masyarakat setempat, walau dibalik
keberlangsungan sejarah ritual sedekah
laut terdapat sedikit polemik tentang
bagaimana ritual tersebut terbentuk di
masyarakat.
Mencoba mengangkat kembali
bahwa ritual sedekah laut tidak sertamerta muncul mentah hasil warisan
budaya jaman dahulu, namun peran
serta sejarah terutama “akulturasi
agama” yang ada didalamnya turut
memberikan torehan nilai-nilai budaya.
Animisme-dinamisme yang menjadi
akar awal adanya ritual ini, lalu tata cara
dan tahapan yang mendapat sentuhan
Hindu-Budha, serta nuansa islam yang
ada pada isi haturan setiap bait kata
syukur dalam prosesi tersebut.
Nilai-nilai
filosofi
yang
terkandung dalam ritual sedekah laut di
Cirebon termuat dibalik rangkaian
upacara tersebut. Nilai-nilai filosofi
yang menarik untuk dipelajari antara
lain nilai solidaritas, etis, estetis,
kultural dan religius yang terungkap
dalam ekspresi simbolis dari upacaraupacara yang disajikan melalui bentuktari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritusritus lainnya, terlepas darimana dan
bagaimana kebudayaan itu terbentuk
atau tercipta.
Oleh karena keterbatasan ruang
dalam tulisan ini, maka masih banyak
aspek yang sesungguhnya cukup urgen
untuk diungkap. Oleh karenanya perting
juga dilakukan sebuah penelitian lebih
lanjut
terutama
yang
mengkaji
perubahan-perubahan suatu tradisi
seperti
nadran
dalam
konteks
komodifikasi yang banyak dilakukan
oleh Pemerintah Daerah dalam rangka
mendorong
parawisata
guna
meningkatkan pendapat daerah.
Semoga pada kesempatan yang
lain dapat dikaji secara lebih mendalam
berbagai tradisi di tanah air yang
sesungguhnya secara kebudayaan dapat
memberikan subuah manfaat terutama
dalam rangka kembali kepada jati diri
bangsa. Memahami berbagai tradisi di
Indonesia (baca: Nusantara) dengan
lebih tepat akan menghindarkan diri
pada suatu sikap menyalahkan atau
bahkan mengkafirkan yang belakangan
seorang menjadi sebuah trend suatu
kelompok tertentu yang kurang
sepaham dengan praktik-praktik budaya
di tanah air.[]
Daftar Pustaka
Bellah, Robert, N, 2000. Beyond Belief:
Esei-esei tentang Agama di
Dunia
Moder:
Jakarta,
Paramadina
Durkheim,
Emile.
1965.
The
Elementary Forms of Religious
Life: Transl.
Joseph Ward
Swain. New York. Free Press.
54
Geertz,
Clifford.
1973.
The
Interpretation of Cultures. New
York. Basic Books
Geertz, Clifford. 1983. Abangan,
Santri,
Priyayi
dalam
Masyarakat Jawa. ter. Aswab
Mahasin: Jakarta, Pustaka Jaya.
Geertz, Cliffort.,1992. Kebudayaan dan
Agama: Yogyakarta, Kanisius
Heriyani, Agustina. 2009, Nilai-nilai
Filosofi
Tradisi
Nadran
Masyarakat Nelayan Cirebon,
Realisasinya
Bagi
Pengembangan
Budaya
Kelautan: Yogyakarta, Kepel
Press.
https://id.wikipedia.org/wiki/Nadran
(diunduh pada tanggal 03 Maret
2016 pukul 13.00 WIB)
http://asepbisnisman.blogspot.co.id/200
9/08/nadran-di-cirebon.html
(diunduh pada tanggal 03 Maret
2016 pukul 13.00 WIB)
http://soetirman.blogspot.co.id/2010/07/
sejarah-perkembangan-tradisinadran-di.html (diunduh pada
tanggal 03 Maret 2016 pukul
13.00 WIB)
http://bayukreshnaadhitya.blogspot.co.i
d/2012/05/akulturasi-agamadalam-ritual-sedekah.html
diunduh pada tanggal 03 Maret
2016 pukul 13.00 WIB)
Ritzer, George and Goodman J.
Douglas.2005. Teori Sosiologi
Modern.
ter.
Alimandan:
Jakarta, Kencana.
Rosseau, Jean-Jacque. 1968. The Social
Contract. England. Penguin
Classics.
Koentjarajakti. 1994, Kebudayaan
Jawa.: Jakarta,: Balai Pustaka.
Syamsul Arifin dkk.1996, Spiritualisasi
Islam dan Peradaban Masa
Depan: Yogyakarta, SIPRESS.
Download