BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Tenaga Listrik Suatu sistem

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Tenaga Listrik
Suatu sistem tenaga listrik pada dasarnya dapat dikelompokan atas tiga
bagian utama, yaitu: sistem pembangkitan, sistem transmisi dan sistem distribusi
seperti gambar 2.1.
Pelanggan TM
Pelanggan TR
Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik
(Sumber : Bastanna, 2009)
6
Keterangan gambar 2.1
TR
= Tegangan rendah
TM
= Tegangan menengah
TT
= Tegangan tinggi
TET
= Tegangan ekstra tinggi
GI
= Gardu induk
GD
= Gardu distribusi
2.2 Sistem Jaringan Distribusi
Daya listrik yang dihasilkan pada pembangkit harus mengalami beberapa
tahap pendistribusian sebelum daya itu digunakan oleh pemakai. Pembangkit dan
pendistribusian daya dari pembangkit memungkinkan daya yang dihasilkan pada
satu lokasi untuk penggunaan setiap saat pada lokasi lain beberapa mil jauhnya.
Pentransmisian energi listrik dalam jumlah yang sangat besar melalui jarak yang
sangat jauh paling efisien dengan menggunakan tegangan tinggi atau ekstra tinggi.
Tegangan tinggi atau ekstra tinggi digunakan pada saluran transmisi untuk
mengurangi jumlah aliran arus sampai sebesar yang dikehendaki.
Sistem distribusi tenaga listrik meliputi semua tegangan menengah 20 kV
dan semua jaringan tegangan rendah 220/380 V hingga ke kWh meter pelanggan.
Distribusi tenaga listrik menyalurkan energi listrik dengan penghantar udara
maupun penghantar dibawah tanah dari mulai gardu induk hingga pusat beban.
Setiap elemen jaringan distribusi pada lokasi tertentu dibangun gardu – gardu
distribusi dimana tegangan menengah 20 kV diturunkan menjadi tegangan rendah
220/380 V. Dari gardu – gardu ini kemudian para pelanggan listrik dilayani
dengan menarik kabel – kabel tegangan rendah menjelajah sepanjang pusat –
pusat pemukiman, komersial maupun pusat – pusat industri. Beberapa pelanggan
7
besar dapat juga dilayani secara khusus dengan menggunakan jaringan tegangan
tinggi 150 kV ataupun dengan jaringan tegangan menengah 20 kV.
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit sebelum disalurkan
melalui saluran transmisi biasanya dinaikkan tegangannya menjadi 70 kV, 150 kV
dan 500 kV melalui transformator penaik tegangan. Dari sistem tegangan
transmisi kemudian diturunkan lagi di gardu induk menjadi tegangan menengah
atau tegangan distribusi primer 20 kV. Tegangan menengah ini kembali
mengalami penurunan tegangan pada gardu distribusi menjadi tegangan rendah
220/380 V. (Hartoyo, 2009)
Sistem jaringan distribusi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, sistem jaringan
distribusi primer dan sistem jaringan distribusi sekunder.
2.2.1
Sistem Jaringan Distribusi Primer
Jaringan distribusi primer adalah bagian dari sistem distribusi tenaga listrik
diantara gardu induk dan gardu distribusi. Jaringan ini pada umumnya terdiri dari
jaringan tiga phasa yang biasanya digunakan saluran kawat udara, kabel udara
maupun kabel bawah tanah. Tegangan kerja dari sistem distribusi primer ini
sebesar 20 kV, dikenal juga dengan jaringan tegangan menengah (JTM). Ada
beberapa
konfigurasi
sistem
jaringan
distribusi
primer
diantaranya:
(Hartoyo,2009)
1. Konfigurasi jaringan tipe Radial
Sistem distribusi dengan tipe Radial seperti gambar 2.2 adalah sistem
distribusi yang paling sederhana dan ekonomis. Pada sistem ini terdapat satu
penyulang yang menyuplai beberapa gardu distribusi.
8
Gambar 2.2 Konfigurasi Jaringan Tipe Radial
(Sumber : Hartoyo, 2009)
2. Konfigurasi jaringan tipe Cincin (Loop)
Pada jaringan tegangan menengah konfigurasi Cincin (Loop) seperti
gambar 2.3 dimungkinkan pemasokannya dari beberapa penyulang, sehingga
dengan demikian tingkat keandalannya relatif lebih baik.
Gambar 2.3 Konfigurasi Jaringan Tipe Cincin (Loop)
(Sumber : Hartoyo, 2009)
9
3. Konfigurasi jaringan tipe Spindel
Konfigurasi jaringan tipe Spindel seperti pada gambar 2.4 adalah suatu
pola kombinasi jaringan dari pola Radial dan Cincin. Spindel terdiri dari beberapa
penyulang (feeder) yang tegangannya diberikan dari gardu induk dan tegangan
tersebut berakhir pada sebuah Gardu Hubung (GH).
Gambar 2.4 Konfigurasi Jaringan Tipe Spindle
(Sumber : Hartoyo, 2009)
4. Konfigurasi jaringan tipe Gugus (Kluster)
Konfigurasi Gugus seeperti pada gambar 2.5 banyak digunakan untuk kota
besar yang mempunyai kerapatan beban yang tinggi. Dalam sistem ini terdapat
saklar pemutus beban dan penyulang cadangan.
Gambar 2.5 Konfigurasi Jaringan Tipe Gugus (Kluster)
(Sumber : Hartoyo, 2009)
10
2.2.2
Sistem Jaringan Distribusi Sekunder
Jaringan distribusi sekunder merupakan bagian dari sistem distribusi
tenaga listrik dimana jaringan ini berhubungan langsung dengan konsumen tenaga
listrik. Pada jaringan distribusi sekunder, sistem jaringan primer diturunkan
menjadi sistem tegangan rendah 220/380 V dengan menggunakan transformator
penurun tegangan yang terdapat pada trafo distribusi. Sistem jaringan distribusi
sekunder dapat dilihat pada gambar 2.6. (Hartoyo, 2009)
Gambar 2.6 Sistem Jaringan Distribusi Sekunder
(Sumber : Hartoyo, 2009)
2.3 Pengertian Transformator
Transformator
adalah
suatu
alat
listrik
yang
digunakan
untuk
mentransformasikan daya atau energi listrik dari tegangan tinggi ke tegangan
rendah atau sebaliknya, melalui suatu gandengan magnet dan berdasarkan prinsip
11
induksi-elektromagnet. Transformator digunakan secara luas, baik dalam bidang
tenaga listrik maupun elektronika. Penggunaan transformator dalam sistem tenaga
memungkinkan terpilihnya tegangan yang sesuai, dan ekonomis untuk tiap – tiap
keperluan.
Pada umumnya tranformator terdiri pada sebuah inti, yang terbuat dari besi
berlapis dan dua buah kumparan, yaitu kumparan primer dan kumparan skunder.
Rasio perubahan tegangan akan tergantung dari rasio jumlah lilitan pada kedua
kumparan. Biasanya kumparan terbuat dari kawat tembaga yang dibelit seputar
kaki inti transformator. (Noerdayanto, 2007)
Gambar 2.7 Konstruksi Lengkap Transformator
(Sumber : Noerdayanto, 2007)
2.4 Prinsip Kerja Transformator
Prinsip kerja suatu transformator adalah induksi bersama (mutual
induction) antara dua rangkaian yang dihubungkan oleh fluks magnet. Dalam
bentuk yang sederhana, transformator terdiri dari dua buah kumparan yang secara
listrik terpisah tetapi secara magnet dihubungkan oleh suatu alur induksi. Kedua
kumparan tersebut mempunyai mutual induction yang tinggi. Jika salah satu
kumparan dihubungkan dengan sumber tegangan bolak-balik, fluks bolak-balik
timbul di dalam inti besi yang dihubungkan dengan kumparan yang lain
12
menyebabkan atau menimbulkan ggl (gaya gerak listrik) induksi sesuai dengan
induksi elektromagnet) dari Hukum Faraday, Bila arus bolak balik mengalir pada
induktor, maka akan timbul gaya gerak listrik (ggl). (Noerdayanto, 2007)
Gambar 2.8 Rangkaian Transformator
(Sumber : Noerdayanto, 2007)
Besarnya GGL induksi pada kumparan primer adalah
dimana
𝑑∅
ep
= - Np
ep
= GGL induksi pada kumparan primer
Np
= Jumlah lilitan kumparan primer
dΦ
= Perubahan garis – garis gaya magnit dalam satuan weber
dt
= Perubahan waktu dalam satuan detik
𝑑𝑑
Volt
Fluks magnet yang menginduksikan GGL induksi
(2.1)
ep juga dialami oleh
komponen sekunder karena merupakan fluks bersamaan (mutual fluks). Dengan
demikian fluks tersebut menginduksikan GGL induksi
es
pada kumparan
skunder.
es
= - Ns
𝑑∅
𝑑𝑑
Volt
(2.2)
dimana Ns adalah jumlah lilitan kumparan skunder.
Dari persamaan
ep
dan
es
didapatkan perbandingan lilitan berdasarkan
perbandingan GGL induksi, yaitu
a =
Apabila
ep =
es
𝑁𝑝
𝑁𝑠
(2.3)
a = nilai perbandingan lilitan tranformator
a < 1, maka transformator berfungsi untuk menaikkan tegangan
13
a >1, maka transformator berfungsi untuk menurunkan tegangan
2.5 Keadaan Transformator Tanpa Beban
Bila kumparan primer suatu transformator dihubungkan dengan sumber
tegangan V1 yang sinusoidal, akan mengalirkan arus primer I0 yang juga
sinusoidal dan dengan menganggap belitan N1 reaktif murni. I0 akan tertinggal
90° dari V1. Arus primer I0 menimbulkan fluks (Π€) yang sefasa dan juga
berbentuk sinusoidal. (Bastanna, 2009)
Gambar 2.9 Trafo Dalam Keadaan Tanpa Beban
(Sumber : Bastanna, 2009)
Π€
= Π€max sin ωt
( 2.4 )
Fluks yang sinusoid ini akan menghasilkan tegangan induksi e1
𝑑𝛷
e1
= -N1
e1
= -N1
e1
= -N1 ωΦmax sin (ωt – 90) tertinggal 90 ° dari Φ
e1
= gaya gerak listrik (Volt)
N1
= jumlah belitan di sisi primer (Turn)
ω
= kecepatan sudut putar (Rad/Sec)
Φ
= fluks magnetik (Weber)
𝑑𝑑
𝑑(𝛷 max βˆ™ sin πœ”π‘‘)
𝑑𝑑
dimana :
(2.5)
14
Gambar 2.10 Gambar Gelombang e1, Tertinggal 90° Dari Φ
(Sumber : Bastanna, 2009)
Harga efektifnya menjadi
𝑁1 πœ”π›·π‘šπ‘Žπ‘₯
E1
=
E1
=
E1
=
E1
= 4,44 N1 fΦmax (Volt)
√2
𝑁1 2πœ‹π‘“π›·π‘šπ‘Žπ‘₯
√2
𝑁1 2π‘₯3,14π‘“π›·π‘šπ‘Žπ‘₯
√2
(2.6)
Pada rangkaian skeunder fluks (Φ) bersama juga menimbulkan :
𝑑𝛷
e2
= -N2
e2
= -N2 ωΦmaxβˆ™cos ωt (Volt)
𝑑𝑑
(2.7)
Harga efektifnya :
= 4,44 N2 fΦmax (Volt)
E2
(2.8)
Sehingga perbandingan antara rangkaian primer dan sekunder adalah :
𝐸1
𝐸2
=
𝑁1
𝑁2
= a
(2.9)
15
dimana :
E1
= ggl induksi di sisi primer (Volt)
E2
= ggl induksi di sisi sekunder (Volt)
N1
= jumlah belitan sisi primer (Turn)
N2
= jumlah belitan sisi sekunder (Turn)
a
= faktor transformasi
2.6 Keadaan Transformator Berbeban
Apabila kumparan sekunder dihubungkan dengan ZL, I2 mengalir pada
kumparan sekunder, dimana I2 =
𝑉𝑧
𝑍𝑙
Gambar 2.11 Trafo Dalam Keadaan Berbeban
(Sumber : Bastanna, 2009)
Arus beban I2 ini akan menimbulkan gaya gerak magnet (ggm) N2I2 yang
cenderung menentang fluks (Π€) bersama yang telah ada akibat arus pemagnetan.
Agar fluks bersama itu tidak berubah nilainya, pada kumparan primer harus
mengalir arus I2', yang menentang fluks yang dibangkitkan oleh arus beban I2,
hingga keseluruhan arus yang mengalir pada kumparan primer menjadi :
(Bastanna, 2009)
I1
= I0 + I2’ (Ampere)
(2.10)
Bila komponen arus rugi inti (Ic) diabaikan, maka I0 = Im , sehingga :
I1
= Im + I2’ (Ampere)
I1
= arus pada sisi primer (Ampere)
dimana:
(2.11)
16
I'2
= arus yg menghasilkan Φ'2 (Ampere)
0
= arus penguat (Ampere)
Im
= arus pemagnetan (Ampere)
Ic
= arus rugi-rugi inti (Ampere)
Untuk menjaga agar fluks tetap tidak berubah sebesar ggm yang dihasilkan oleh
arus pemagnetan IM, maka berlaku hubungan :
N1 IM
= N1 I1 – N2 I2
N1 IM
= N1 (IM + I2’) – N2 I2
N1 I2’
= N2 I2
Karena IM dianggap kecil, maka I2’ = I1. Sehingga :
N1 I1
𝐼1
I2
= N2 I2
=
𝑁2
𝑁1
(2.12)
2.7 Beban Tidak Seimbang
Menurut Machmudsyah, (2006) yang dimaksud dengan keadaan seimbang
adalah suatu keadaan di mana :
• Ketiga vektor arus / tegangan sama besar.
• Ketiga vektor saling membentuk sudut 120º satu sama lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan tidak seimbang adalah
keadaan di mana salah satu atau kedua syarat keadaan seimbang tidak terpenuhi.
Kemungkinan keadaan tidak seimbang ada 3 yaitu:
• Ketiga vektor sama besar tetapi tidak membentuk sudut 120º satu sama lain.
• Ketiga vektor tidak sama besar tetapi membentuk sudut 120º satu sama lain.
• Ketiga vektor tidak sama besar dan tidak membentuk sudut 120º satu sama lain.
17
(a)
(b)
Gambar 2.12 Vektor Diagram Arus
(Sumber : Machmudsyah, 2006)
Gambar 2.21 (a) menunjukkan vektor diagram arus dalam keadaan seimbang. Di
sini terlihat bahwa penjumlahan ketiga vektor arusnya (IR, IS, IT) adalah sama
dengan nol sehingga tidak muncul arus netral (IN). Sedangkan pada gambar 2.21
(b) menunjukkan vektor diagram arus yang tidak seimbang. Di sini terlihat bahwa
penjumlahan ketiga vektor arusnya (IR, IS, IT) tidak sama dengan nol sehingga
muncul sebuah besaran yaitu arus netral (IN) yang besarnya bergantung dari
seberapa besar faktor ketidakseimbangannya.
2.8 Beban Penuh Transformator
Daya transformator bila ditinjau dari sisi tegangan tinggi (primer) dapat
dirumuskan sebagai berikut : (Machmudsyah, 2006)
S
= √3 x V x I
S
= Daya transformator (kVA)
V
= Tegangan sisi primer transformator (kV)
I
= Arus jala-jala (A)
(2.13)
dimana
Sehingga untuk menghitung arus beban penuh dapat menggunakan rumus :
𝑆
IFL
=
IFL
= Arus beban penuh (A)
S
= Daya transformator (kVA)
V
= Tegangan sisi sekunder (V)
√3 βˆ™π‘‰
dimana
(2.14)
18
Arus rata-rata siang dan malam hari dapat dihitung dengan rumus :
Irata-rata
=
𝐼𝑅+𝐼𝑆+𝐼𝑇
(2.15)
3
Prosentase pembebanan transformator adalah :
I rata − rata
I FL
x 100%
(2.16)
Jika [ I ] adalah besaran arus phase dalam penyaluran daya sebesar P pada
keadaaan seimbang, maka pada penyaluran daya yang sama tetapi dengan keadaan
yang tidak seimbang besarnya arus – arus phase dapat dinyatakan dengan
keofisien a, b, c sebagai berikut :
IR = a·I maka
a=
IS
= b·I maka
a=
IT
= c·I maka
a=
IR
I
IS
I
IT
I
(2.17)
(2.18)
(2.19)
Dengan IR, IS dan IT berturut – turut adalah arus di phase R, S dan T. Koefisien a,
b, dan c dapat diketahui besarnya, dimana pada keaadaan seimbang besarnya
koefisien a, b, dan c adalah 1. Maka rata – rata ketidakseimbangan beban (dalam
%) adalah :
=
{|a−1|+ |b−1|+ |c−1|
3
x 100 %
(2.20)
2.9 Rugi-Rugi Transformator
2.9.1
Rugi Arus Pusar (Eddy Current)
Arus pusar adalah arus yang mengalir pada material inti karena tegangan
yang diinduksi oleh fluks. Arah pergerakan arus pusar adalah 90° terhadap arah
fluks. (Prasetya, 2007)
19
Gambar 2.13 Arus Pusar yang Berputar Pada Material Inti
(Sumber : Prasetya, 2007)
Dengan adanya resistansi dari material inti maka arus pusar dapat
menimbulkan panas sehingga mempengaruhi sifat fisik material inti tersebut
bahkan hingga membuat transformator terbakar. Untuk mengurangi efek arus
pusar maka material inti harus dibuat tipis dan dilaminasi sehingga dapat disusun
hingga sesuai tebal yang diperlukan. Rugi arus pusar dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan : (Prasetya, 2007)
dimana
pe
= ke βˆ™ f² βˆ™ t² βˆ™ B²max
pe
= Rugi arus pusar [w/kg]
ke
= Konstanta material inti
f
= Frekuensi [Hz]
t
= Ketebalan material [m]
(2.21)
Bmax = Nilai puncak medan magnet [T]
2.9.2 Rugi Hysterisis
Rugi hysterisis terjadi karena respon yang lambat dari material inti. Hal
ini terjadi karena masih adanya medan magnetik residu yang bekerja pada
material, jadi saat arus eksitasi bernilai 0, fluks tidak serta merta berubah menjadi
0 namun perlahan-lahan menuju 0. Sebelum fluks mencapai nilai 0 arus sudah
mulai mengalir kembali atau dengan kata lain arus sudah bernilai tidak sama
dengan 0 sehingga akan membangkitkan fluks kembali. (Prasetya, 2007)
20
Gambar 2.14 Grafik Hysterisis Iex Terhadap Φ
(Sumber : Prasetya, 2007)
Rugi hysterisis ini memperbesar arus eksitasi karena medan magnetik
residu mempunyai arah yang berlawanan dengan medan magnet yang dihasilkan
oleh arus eksitasi. Untuk mengurangi rugi ini, material inti dibuat dari besi lunak
yang umum digunakan adalah besi silikon. Besarnya rugi hysterisis dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan 2.18.
ph = kh βˆ™ f² βˆ™ 𝐡𝑛 max
dimana
ph
= Rugi hysteresis [w/kg]
kh
= Konstanta material inti
f
= Frekuensi [Hz]
(2.22)
Bmax = Nilai puncak medan magnet [T]
n
= Nilai eksponensial, tergantung material dan Bmax
Rugi hysteris maupun rugi arus pusar bernilai tetap, tidak bergantung pada
besarnya beban
2.9.3 Rugi Tembaga
Rugi tembaga adalah rugi yang dihasilkan oleh konduktor/tembaga yang
digunakan sebagai bahan pembuat kumparan. Rugi ini diakibatkan oleh adanya
resistansi bahan. Nilai resistansi konduktor dapat dihitung dengan Persamaan
2.19. (Prasetya, 2007)
πœŒβˆ™π‘™
R
=
𝐴
(2.23)
21
dimana
R
= Tahanan (Ohm)
ρ
= Tahanan jenis (Ohm.m)
l
= Panjang (m)
A
= Luas penampang (m²)
Sedangkan untuk menghitung kerugian tembaga itu sendiri dapat mempergunakan
persamaan
2.20 untuk sisi primer dan persamaan 2.21 untuk sisi sekunder.
(Prasetya, 2007)
dimana
Pcp = I²p βˆ™ Rp
(2.24)
Pcs = I²s βˆ™ Rs
(2.25)
Pcp
= Rugi konduktor primer
Pcs
= Rugi konduktor skunder
Ip
= Arus pada kumparan primer
Is
= Arus pada kumparan sekunder
Rp
= Tahanan kumparan primer
Rs
= Tahanan kumparan skunder
Dengan memperhatikan Persamaan 2.20 dan Persamaan 2.21 terlihat bahwa
besarnya arus yang mengalir pada kumparan berpengaruh terhadap besarnya rugi
konduktor, dengan kata lain besarnya beban mempengaruhi besarnya nilai
kerugian.
2.9.4 Rugi Pada Arus Netral
Sebagai akibat dari ketidakseimbangan beban antara tiap-tiap fasa pada
sisi sekunder trafo (fasa R, fasa S, fasa T) mengalirlah arus di netral trafo. Arus
yang mengalir pada penghantar netral trafo ini menyebabkan losses (rugi-rugi).
Losses pada penghantar netral trafo ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(Prasetya, 2007)
PN = IN² x RN
dimana
PN
= losses pada penghantar netral trafo (watt)
IN
= arus yang mengalir pada netral trafo (A)
RN
= tahanan penghantar netral trafo (Ω)
(2.26)
22
Sehingga daya aktif transformator dapat dirumuskan sebagai berikut:
P
dimana
= S x cos φ
P
= daya aktif transformator
S
= daya semu transformator
(2.27)
Cos φ = 0,85 (asumsi)
Prosentase rugi – rugi daya akibat adanya arus netral pada penghantar netral
transformator adalah ;
% PN =
PN
P
x 100 %
(2.28)
2.9.5 Rugi Pada Arus ke Tanah (Ground)
Rugi – rugi daya (losses) yang diakibatkan karena arus netral yang
mengalir ke tanah (ground) dapat dihitung dengan perumusan sebagai berikut :
(Prasetya, 2007)
PG = IG² x RG
(2.29)
dimana
PG = losses akibat arus netral yang mengalir ke tanah (watt)
IG = arus netral yang mengalir ke tanah (A)
RG = tahanan pembumian netral trafo (Ω)
2.10 Panel Tegangan Rendah
Panel tegangan rendah (low voltage board) adalah suatu peralatan yang
berfungsi menerima dan mendistribusikan tenaga listrik ke konsumen pemakai
tenaga listrik sesuai dengan system yang diperlukan. Low voltage board
merupakan sebuah panel yang terletak atau terpasang pada kaki-kaki gardu
distribusi. Low voltage board merupakan sebuah perangkat hubung bagi (PHB).
Adapun bagian pengaman dan pendistribusian dari low voltage board ini terdiri
dari peralatan pelindung (sekering/fuse) dan pensakelaran (disconnecting switch).
(Noerdayanto, 2007)
23
Gambar 2.15 Tata Letak Komponen Dalam Panel Tegangan Rendah
(Sumber : Noerdayanto, 2007)
2.11 Pengukuran
2.11.1 Pengukuran Tegangan
Pengukuran tegangan dilakukan untuk mengetahui nilai tegangan yang ada
dan dilakukan meliputi pengukuran tegangan antar fasa dan tegangan antar fasa
dengan netral yang diukur pada busbar atau sepatu kabel fasa R, S, T dan netral
pada LV board. Selain pada LV board pengukuran tegangan juga dilaksanakan di
ujung line jurusan (JTR). Pengukuran tegangan ini dilaksanakan untuk
mengetahui kwalitas tegangan yang disalurkan dengan batas pelayanan minimal
10% dari 220/380 volt dan batas maksimal 5% dari 220/380 volt. Pengukuran
tegangan mengunakan suatu peralatan volt meter. (Noerdayanto, 2007)
24
Gambar 2.16 Pengukuran Tegangan Pada Panel Tegangan Rendah
(Sumber : PT PLN (Persero) Rayon Mengwi, 2011)
2.11.2 Pengukuran Arus
Pengukuran arus beban dilakukan untuk mengetahui nilai arus beban yang
ada dan dilakukan meliputi pengukuran arus beban pada masing-masing fasa dan
netral. Pengukuran dilaksanakan di panel tegangan rendah baik secara beban total
pada titik keluaran hef boom saklar maupun pada titik keluaran dari masingmasing NH fuse jurusan. Pengukuran arus dilaksanakan pada beban-beban puncak
di siang hari dan di malam hari. Tujuan dari pengukuran arus adalah untuk
mengetahui besar beban yang disalurkan ke pelanggan dan disesuaikan dengan
kapasitas daya trafo distribusi yang tepasang supaya tidak terjadi overload (beban
diatas 80% dari daya terpasang). Pengukuran arus mengunakan perlatan ampere
meter. (Noerdayanto, 2007)
25
Gambar 2.17 Pengukuran Arus Pada Panel Tegangan Rendah
(Sumber : PT PLN (Persero) Rayon Mengwi, 2011)
Download