5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Tenaga Listrik Suatu sistem tenaga listrik pada dasarnya dapat dikelompokan atas tiga bagian utama, yaitu: sistem pembangkitan, sistem transmisi dan sistem distribusi seperti gambar 2.1. Pelanggan TM Pelanggan TR Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik (Sumber : Bastanna, 2009) 6 Keterangan gambar 2.1 TR = Tegangan rendah TM = Tegangan menengah TT = Tegangan tinggi TET = Tegangan ekstra tinggi GI = Gardu induk GD = Gardu distribusi 2.2 Sistem Jaringan Distribusi Daya listrik yang dihasilkan pada pembangkit harus mengalami beberapa tahap pendistribusian sebelum daya itu digunakan oleh pemakai. Pembangkit dan pendistribusian daya dari pembangkit memungkinkan daya yang dihasilkan pada satu lokasi untuk penggunaan setiap saat pada lokasi lain beberapa mil jauhnya. Pentransmisian energi listrik dalam jumlah yang sangat besar melalui jarak yang sangat jauh paling efisien dengan menggunakan tegangan tinggi atau ekstra tinggi. Tegangan tinggi atau ekstra tinggi digunakan pada saluran transmisi untuk mengurangi jumlah aliran arus sampai sebesar yang dikehendaki. Sistem distribusi tenaga listrik meliputi semua tegangan menengah 20 kV dan semua jaringan tegangan rendah 220/380 V hingga ke kWh meter pelanggan. Distribusi tenaga listrik menyalurkan energi listrik dengan penghantar udara maupun penghantar dibawah tanah dari mulai gardu induk hingga pusat beban. Setiap elemen jaringan distribusi pada lokasi tertentu dibangun gardu – gardu distribusi dimana tegangan menengah 20 kV diturunkan menjadi tegangan rendah 220/380 V. Dari gardu – gardu ini kemudian para pelanggan listrik dilayani dengan menarik kabel – kabel tegangan rendah menjelajah sepanjang pusat – pusat pemukiman, komersial maupun pusat – pusat industri. Beberapa pelanggan 7 besar dapat juga dilayani secara khusus dengan menggunakan jaringan tegangan tinggi 150 kV ataupun dengan jaringan tegangan menengah 20 kV. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit sebelum disalurkan melalui saluran transmisi biasanya dinaikkan tegangannya menjadi 70 kV, 150 kV dan 500 kV melalui transformator penaik tegangan. Dari sistem tegangan transmisi kemudian diturunkan lagi di gardu induk menjadi tegangan menengah atau tegangan distribusi primer 20 kV. Tegangan menengah ini kembali mengalami penurunan tegangan pada gardu distribusi menjadi tegangan rendah 220/380 V. (Hartoyo, 2009) Sistem jaringan distribusi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu, sistem jaringan distribusi primer dan sistem jaringan distribusi sekunder. 2.2.1 Sistem Jaringan Distribusi Primer Jaringan distribusi primer adalah bagian dari sistem distribusi tenaga listrik diantara gardu induk dan gardu distribusi. Jaringan ini pada umumnya terdiri dari jaringan tiga phasa yang biasanya digunakan saluran kawat udara, kabel udara maupun kabel bawah tanah. Tegangan kerja dari sistem distribusi primer ini sebesar 20 kV, dikenal juga dengan jaringan tegangan menengah (JTM). Ada beberapa konfigurasi sistem jaringan distribusi primer diantaranya: (Hartoyo,2009) 1. Konfigurasi jaringan tipe Radial Sistem distribusi dengan tipe Radial seperti gambar 2.2 adalah sistem distribusi yang paling sederhana dan ekonomis. Pada sistem ini terdapat satu penyulang yang menyuplai beberapa gardu distribusi. 8 Gambar 2.2 Konfigurasi Jaringan Tipe Radial (Sumber : Hartoyo, 2009) 2. Konfigurasi jaringan tipe Cincin (Loop) Pada jaringan tegangan menengah konfigurasi Cincin (Loop) seperti gambar 2.3 dimungkinkan pemasokannya dari beberapa penyulang, sehingga dengan demikian tingkat keandalannya relatif lebih baik. Gambar 2.3 Konfigurasi Jaringan Tipe Cincin (Loop) (Sumber : Hartoyo, 2009) 9 3. Konfigurasi jaringan tipe Spindel Konfigurasi jaringan tipe Spindel seperti pada gambar 2.4 adalah suatu pola kombinasi jaringan dari pola Radial dan Cincin. Spindel terdiri dari beberapa penyulang (feeder) yang tegangannya diberikan dari gardu induk dan tegangan tersebut berakhir pada sebuah Gardu Hubung (GH). Gambar 2.4 Konfigurasi Jaringan Tipe Spindle (Sumber : Hartoyo, 2009) 4. Konfigurasi jaringan tipe Gugus (Kluster) Konfigurasi Gugus seeperti pada gambar 2.5 banyak digunakan untuk kota besar yang mempunyai kerapatan beban yang tinggi. Dalam sistem ini terdapat saklar pemutus beban dan penyulang cadangan. Gambar 2.5 Konfigurasi Jaringan Tipe Gugus (Kluster) (Sumber : Hartoyo, 2009) 10 2.2.2 Sistem Jaringan Distribusi Sekunder Jaringan distribusi sekunder merupakan bagian dari sistem distribusi tenaga listrik dimana jaringan ini berhubungan langsung dengan konsumen tenaga listrik. Pada jaringan distribusi sekunder, sistem jaringan primer diturunkan menjadi sistem tegangan rendah 220/380 V dengan menggunakan transformator penurun tegangan yang terdapat pada trafo distribusi. Sistem jaringan distribusi sekunder dapat dilihat pada gambar 2.6. (Hartoyo, 2009) Gambar 2.6 Sistem Jaringan Distribusi Sekunder (Sumber : Hartoyo, 2009) 2.3 Pengertian Transformator Transformator adalah suatu alat listrik yang digunakan untuk mentransformasikan daya atau energi listrik dari tegangan tinggi ke tegangan rendah atau sebaliknya, melalui suatu gandengan magnet dan berdasarkan prinsip 11 induksi-elektromagnet. Transformator digunakan secara luas, baik dalam bidang tenaga listrik maupun elektronika. Penggunaan transformator dalam sistem tenaga memungkinkan terpilihnya tegangan yang sesuai, dan ekonomis untuk tiap – tiap keperluan. Pada umumnya tranformator terdiri pada sebuah inti, yang terbuat dari besi berlapis dan dua buah kumparan, yaitu kumparan primer dan kumparan skunder. Rasio perubahan tegangan akan tergantung dari rasio jumlah lilitan pada kedua kumparan. Biasanya kumparan terbuat dari kawat tembaga yang dibelit seputar kaki inti transformator. (Noerdayanto, 2007) Gambar 2.7 Konstruksi Lengkap Transformator (Sumber : Noerdayanto, 2007) 2.4 Prinsip Kerja Transformator Prinsip kerja suatu transformator adalah induksi bersama (mutual induction) antara dua rangkaian yang dihubungkan oleh fluks magnet. Dalam bentuk yang sederhana, transformator terdiri dari dua buah kumparan yang secara listrik terpisah tetapi secara magnet dihubungkan oleh suatu alur induksi. Kedua kumparan tersebut mempunyai mutual induction yang tinggi. Jika salah satu kumparan dihubungkan dengan sumber tegangan bolak-balik, fluks bolak-balik timbul di dalam inti besi yang dihubungkan dengan kumparan yang lain 12 menyebabkan atau menimbulkan ggl (gaya gerak listrik) induksi sesuai dengan induksi elektromagnet) dari Hukum Faraday, Bila arus bolak balik mengalir pada induktor, maka akan timbul gaya gerak listrik (ggl). (Noerdayanto, 2007) Gambar 2.8 Rangkaian Transformator (Sumber : Noerdayanto, 2007) Besarnya GGL induksi pada kumparan primer adalah dimana π∅ ep = - Np ep = GGL induksi pada kumparan primer Np = Jumlah lilitan kumparan primer dΦ = Perubahan garis – garis gaya magnit dalam satuan weber dt = Perubahan waktu dalam satuan detik ππ‘ Volt Fluks magnet yang menginduksikan GGL induksi (2.1) ep juga dialami oleh komponen sekunder karena merupakan fluks bersamaan (mutual fluks). Dengan demikian fluks tersebut menginduksikan GGL induksi es pada kumparan skunder. es = - Ns π∅ ππ‘ Volt (2.2) dimana Ns adalah jumlah lilitan kumparan skunder. Dari persamaan ep dan es didapatkan perbandingan lilitan berdasarkan perbandingan GGL induksi, yaitu a = Apabila ep = es ππ ππ (2.3) a = nilai perbandingan lilitan tranformator a < 1, maka transformator berfungsi untuk menaikkan tegangan 13 a >1, maka transformator berfungsi untuk menurunkan tegangan 2.5 Keadaan Transformator Tanpa Beban Bila kumparan primer suatu transformator dihubungkan dengan sumber tegangan V1 yang sinusoidal, akan mengalirkan arus primer I0 yang juga sinusoidal dan dengan menganggap belitan N1 reaktif murni. I0 akan tertinggal 90° dari V1. Arus primer I0 menimbulkan fluks (Π€) yang sefasa dan juga berbentuk sinusoidal. (Bastanna, 2009) Gambar 2.9 Trafo Dalam Keadaan Tanpa Beban (Sumber : Bastanna, 2009) Π€ = Π€max sin ωt ( 2.4 ) Fluks yang sinusoid ini akan menghasilkan tegangan induksi e1 ππ· e1 = -N1 e1 = -N1 e1 = -N1 ωΦmax sin (ωt – 90) tertinggal 90 ° dari Φ e1 = gaya gerak listrik (Volt) N1 = jumlah belitan di sisi primer (Turn) ω = kecepatan sudut putar (Rad/Sec) Φ = fluks magnetik (Weber) ππ‘ π(π· max β sin ππ‘) ππ‘ dimana : (2.5) 14 Gambar 2.10 Gambar Gelombang e1, Tertinggal 90° Dari Φ (Sumber : Bastanna, 2009) Harga efektifnya menjadi π1 ππ·πππ₯ E1 = E1 = E1 = E1 = 4,44 N1 fΦmax (Volt) √2 π1 2πππ·πππ₯ √2 π1 2π₯3,14ππ·πππ₯ √2 (2.6) Pada rangkaian skeunder fluks (Φ) bersama juga menimbulkan : ππ· e2 = -N2 e2 = -N2 ωΦmaxβcos ωt (Volt) ππ‘ (2.7) Harga efektifnya : = 4,44 N2 fΦmax (Volt) E2 (2.8) Sehingga perbandingan antara rangkaian primer dan sekunder adalah : πΈ1 πΈ2 = π1 π2 = a (2.9) 15 dimana : E1 = ggl induksi di sisi primer (Volt) E2 = ggl induksi di sisi sekunder (Volt) N1 = jumlah belitan sisi primer (Turn) N2 = jumlah belitan sisi sekunder (Turn) a = faktor transformasi 2.6 Keadaan Transformator Berbeban Apabila kumparan sekunder dihubungkan dengan ZL, I2 mengalir pada kumparan sekunder, dimana I2 = ππ§ ππ Gambar 2.11 Trafo Dalam Keadaan Berbeban (Sumber : Bastanna, 2009) Arus beban I2 ini akan menimbulkan gaya gerak magnet (ggm) N2I2 yang cenderung menentang fluks (Π€) bersama yang telah ada akibat arus pemagnetan. Agar fluks bersama itu tidak berubah nilainya, pada kumparan primer harus mengalir arus I2', yang menentang fluks yang dibangkitkan oleh arus beban I2, hingga keseluruhan arus yang mengalir pada kumparan primer menjadi : (Bastanna, 2009) I1 = I0 + I2’ (Ampere) (2.10) Bila komponen arus rugi inti (Ic) diabaikan, maka I0 = Im , sehingga : I1 = Im + I2’ (Ampere) I1 = arus pada sisi primer (Ampere) dimana: (2.11) 16 I'2 = arus yg menghasilkan Φ'2 (Ampere) 0 = arus penguat (Ampere) Im = arus pemagnetan (Ampere) Ic = arus rugi-rugi inti (Ampere) Untuk menjaga agar fluks tetap tidak berubah sebesar ggm yang dihasilkan oleh arus pemagnetan IM, maka berlaku hubungan : N1 IM = N1 I1 – N2 I2 N1 IM = N1 (IM + I2’) – N2 I2 N1 I2’ = N2 I2 Karena IM dianggap kecil, maka I2’ = I1. Sehingga : N1 I1 πΌ1 I2 = N2 I2 = π2 π1 (2.12) 2.7 Beban Tidak Seimbang Menurut Machmudsyah, (2006) yang dimaksud dengan keadaan seimbang adalah suatu keadaan di mana : • Ketiga vektor arus / tegangan sama besar. • Ketiga vektor saling membentuk sudut 120º satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan tidak seimbang adalah keadaan di mana salah satu atau kedua syarat keadaan seimbang tidak terpenuhi. Kemungkinan keadaan tidak seimbang ada 3 yaitu: • Ketiga vektor sama besar tetapi tidak membentuk sudut 120º satu sama lain. • Ketiga vektor tidak sama besar tetapi membentuk sudut 120º satu sama lain. • Ketiga vektor tidak sama besar dan tidak membentuk sudut 120º satu sama lain. 17 (a) (b) Gambar 2.12 Vektor Diagram Arus (Sumber : Machmudsyah, 2006) Gambar 2.21 (a) menunjukkan vektor diagram arus dalam keadaan seimbang. Di sini terlihat bahwa penjumlahan ketiga vektor arusnya (IR, IS, IT) adalah sama dengan nol sehingga tidak muncul arus netral (IN). Sedangkan pada gambar 2.21 (b) menunjukkan vektor diagram arus yang tidak seimbang. Di sini terlihat bahwa penjumlahan ketiga vektor arusnya (IR, IS, IT) tidak sama dengan nol sehingga muncul sebuah besaran yaitu arus netral (IN) yang besarnya bergantung dari seberapa besar faktor ketidakseimbangannya. 2.8 Beban Penuh Transformator Daya transformator bila ditinjau dari sisi tegangan tinggi (primer) dapat dirumuskan sebagai berikut : (Machmudsyah, 2006) S = √3 x V x I S = Daya transformator (kVA) V = Tegangan sisi primer transformator (kV) I = Arus jala-jala (A) (2.13) dimana Sehingga untuk menghitung arus beban penuh dapat menggunakan rumus : π IFL = IFL = Arus beban penuh (A) S = Daya transformator (kVA) V = Tegangan sisi sekunder (V) √3 βπ dimana (2.14) 18 Arus rata-rata siang dan malam hari dapat dihitung dengan rumus : Irata-rata = πΌπ +πΌπ+πΌπ (2.15) 3 Prosentase pembebanan transformator adalah : I rata − rata I FL x 100% (2.16) Jika [ I ] adalah besaran arus phase dalam penyaluran daya sebesar P pada keadaaan seimbang, maka pada penyaluran daya yang sama tetapi dengan keadaan yang tidak seimbang besarnya arus – arus phase dapat dinyatakan dengan keofisien a, b, c sebagai berikut : IR = a·I maka a= IS = b·I maka a= IT = c·I maka a= IR I IS I IT I (2.17) (2.18) (2.19) Dengan IR, IS dan IT berturut – turut adalah arus di phase R, S dan T. Koefisien a, b, dan c dapat diketahui besarnya, dimana pada keaadaan seimbang besarnya koefisien a, b, dan c adalah 1. Maka rata – rata ketidakseimbangan beban (dalam %) adalah : = {|a−1|+ |b−1|+ |c−1| 3 x 100 % (2.20) 2.9 Rugi-Rugi Transformator 2.9.1 Rugi Arus Pusar (Eddy Current) Arus pusar adalah arus yang mengalir pada material inti karena tegangan yang diinduksi oleh fluks. Arah pergerakan arus pusar adalah 90° terhadap arah fluks. (Prasetya, 2007) 19 Gambar 2.13 Arus Pusar yang Berputar Pada Material Inti (Sumber : Prasetya, 2007) Dengan adanya resistansi dari material inti maka arus pusar dapat menimbulkan panas sehingga mempengaruhi sifat fisik material inti tersebut bahkan hingga membuat transformator terbakar. Untuk mengurangi efek arus pusar maka material inti harus dibuat tipis dan dilaminasi sehingga dapat disusun hingga sesuai tebal yang diperlukan. Rugi arus pusar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : (Prasetya, 2007) dimana pe = ke β f² β t² β B²max pe = Rugi arus pusar [w/kg] ke = Konstanta material inti f = Frekuensi [Hz] t = Ketebalan material [m] (2.21) Bmax = Nilai puncak medan magnet [T] 2.9.2 Rugi Hysterisis Rugi hysterisis terjadi karena respon yang lambat dari material inti. Hal ini terjadi karena masih adanya medan magnetik residu yang bekerja pada material, jadi saat arus eksitasi bernilai 0, fluks tidak serta merta berubah menjadi 0 namun perlahan-lahan menuju 0. Sebelum fluks mencapai nilai 0 arus sudah mulai mengalir kembali atau dengan kata lain arus sudah bernilai tidak sama dengan 0 sehingga akan membangkitkan fluks kembali. (Prasetya, 2007) 20 Gambar 2.14 Grafik Hysterisis Iex Terhadap Φ (Sumber : Prasetya, 2007) Rugi hysterisis ini memperbesar arus eksitasi karena medan magnetik residu mempunyai arah yang berlawanan dengan medan magnet yang dihasilkan oleh arus eksitasi. Untuk mengurangi rugi ini, material inti dibuat dari besi lunak yang umum digunakan adalah besi silikon. Besarnya rugi hysterisis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.18. ph = kh β f² β π΅π max dimana ph = Rugi hysteresis [w/kg] kh = Konstanta material inti f = Frekuensi [Hz] (2.22) Bmax = Nilai puncak medan magnet [T] n = Nilai eksponensial, tergantung material dan Bmax Rugi hysteris maupun rugi arus pusar bernilai tetap, tidak bergantung pada besarnya beban 2.9.3 Rugi Tembaga Rugi tembaga adalah rugi yang dihasilkan oleh konduktor/tembaga yang digunakan sebagai bahan pembuat kumparan. Rugi ini diakibatkan oleh adanya resistansi bahan. Nilai resistansi konduktor dapat dihitung dengan Persamaan 2.19. (Prasetya, 2007) πβπ R = π΄ (2.23) 21 dimana R = Tahanan (Ohm) ρ = Tahanan jenis (Ohm.m) l = Panjang (m) A = Luas penampang (m²) Sedangkan untuk menghitung kerugian tembaga itu sendiri dapat mempergunakan persamaan 2.20 untuk sisi primer dan persamaan 2.21 untuk sisi sekunder. (Prasetya, 2007) dimana Pcp = I²p β Rp (2.24) Pcs = I²s β Rs (2.25) Pcp = Rugi konduktor primer Pcs = Rugi konduktor skunder Ip = Arus pada kumparan primer Is = Arus pada kumparan sekunder Rp = Tahanan kumparan primer Rs = Tahanan kumparan skunder Dengan memperhatikan Persamaan 2.20 dan Persamaan 2.21 terlihat bahwa besarnya arus yang mengalir pada kumparan berpengaruh terhadap besarnya rugi konduktor, dengan kata lain besarnya beban mempengaruhi besarnya nilai kerugian. 2.9.4 Rugi Pada Arus Netral Sebagai akibat dari ketidakseimbangan beban antara tiap-tiap fasa pada sisi sekunder trafo (fasa R, fasa S, fasa T) mengalirlah arus di netral trafo. Arus yang mengalir pada penghantar netral trafo ini menyebabkan losses (rugi-rugi). Losses pada penghantar netral trafo ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (Prasetya, 2007) PN = IN² x RN dimana PN = losses pada penghantar netral trafo (watt) IN = arus yang mengalir pada netral trafo (A) RN = tahanan penghantar netral trafo (Ω) (2.26) 22 Sehingga daya aktif transformator dapat dirumuskan sebagai berikut: P dimana = S x cos φ P = daya aktif transformator S = daya semu transformator (2.27) Cos φ = 0,85 (asumsi) Prosentase rugi – rugi daya akibat adanya arus netral pada penghantar netral transformator adalah ; % PN = PN P x 100 % (2.28) 2.9.5 Rugi Pada Arus ke Tanah (Ground) Rugi – rugi daya (losses) yang diakibatkan karena arus netral yang mengalir ke tanah (ground) dapat dihitung dengan perumusan sebagai berikut : (Prasetya, 2007) PG = IG² x RG (2.29) dimana PG = losses akibat arus netral yang mengalir ke tanah (watt) IG = arus netral yang mengalir ke tanah (A) RG = tahanan pembumian netral trafo (Ω) 2.10 Panel Tegangan Rendah Panel tegangan rendah (low voltage board) adalah suatu peralatan yang berfungsi menerima dan mendistribusikan tenaga listrik ke konsumen pemakai tenaga listrik sesuai dengan system yang diperlukan. Low voltage board merupakan sebuah panel yang terletak atau terpasang pada kaki-kaki gardu distribusi. Low voltage board merupakan sebuah perangkat hubung bagi (PHB). Adapun bagian pengaman dan pendistribusian dari low voltage board ini terdiri dari peralatan pelindung (sekering/fuse) dan pensakelaran (disconnecting switch). (Noerdayanto, 2007) 23 Gambar 2.15 Tata Letak Komponen Dalam Panel Tegangan Rendah (Sumber : Noerdayanto, 2007) 2.11 Pengukuran 2.11.1 Pengukuran Tegangan Pengukuran tegangan dilakukan untuk mengetahui nilai tegangan yang ada dan dilakukan meliputi pengukuran tegangan antar fasa dan tegangan antar fasa dengan netral yang diukur pada busbar atau sepatu kabel fasa R, S, T dan netral pada LV board. Selain pada LV board pengukuran tegangan juga dilaksanakan di ujung line jurusan (JTR). Pengukuran tegangan ini dilaksanakan untuk mengetahui kwalitas tegangan yang disalurkan dengan batas pelayanan minimal 10% dari 220/380 volt dan batas maksimal 5% dari 220/380 volt. Pengukuran tegangan mengunakan suatu peralatan volt meter. (Noerdayanto, 2007) 24 Gambar 2.16 Pengukuran Tegangan Pada Panel Tegangan Rendah (Sumber : PT PLN (Persero) Rayon Mengwi, 2011) 2.11.2 Pengukuran Arus Pengukuran arus beban dilakukan untuk mengetahui nilai arus beban yang ada dan dilakukan meliputi pengukuran arus beban pada masing-masing fasa dan netral. Pengukuran dilaksanakan di panel tegangan rendah baik secara beban total pada titik keluaran hef boom saklar maupun pada titik keluaran dari masingmasing NH fuse jurusan. Pengukuran arus dilaksanakan pada beban-beban puncak di siang hari dan di malam hari. Tujuan dari pengukuran arus adalah untuk mengetahui besar beban yang disalurkan ke pelanggan dan disesuaikan dengan kapasitas daya trafo distribusi yang tepasang supaya tidak terjadi overload (beban diatas 80% dari daya terpasang). Pengukuran arus mengunakan perlatan ampere meter. (Noerdayanto, 2007) 25 Gambar 2.17 Pengukuran Arus Pada Panel Tegangan Rendah (Sumber : PT PLN (Persero) Rayon Mengwi, 2011)