1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peraturan Menteri Sebagai Peraturan Perundang-Undangan Untuk Pembatasan Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 1. Kerangka Hukum dan Ruang Lingkup Pembatasan Hak Asasi Manusia Secara konseptual, HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003: 199). Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara. Berdasarkan hal di atas, pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) atas pemenuhan HAM. Maka dari itu, negara mengemban tiga bentuk tugas. Antara lain negara harus 2 menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia (Asep Mulyana, 2015: 2). Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Termasuk kewajiban pemerintah Indonesia untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Misalnya terhadap hak-hak yang merupakan nonderogable rights negara tidak boleh melakukan pembatasan ataupun pengurangan. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan (obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakantindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ke tiga. Antara lain adalah kewajiban untuk bertindak ketika satu kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok lain; kewajiban untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang layak dan lainnya. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan pemenuhan hak (obligation to fulfill) merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut 3 mewujudkan penghormatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan pelaksanaan HAM secara penuh. Misalnya kewajiban meng-implementasikan pendidikan gratis pada tingkat dasar atau kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Selain tiga bentuk kewajiban utama tersebut, dalam pelaksanaan hak asasi manusia negara pun memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah (to take steps), untuk menjamin (to guarantee), untuk meyakini (to ensure), untuk mengakui (to recognize), untuk berusaha (to undertake), dan untuk meningkatkan (to promote). Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal menjamin adanya pemenuhan hak sipil dan politik warga negara. Pasal 19 DUHAM menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk meliputi kebebasan mempunyai pendapat- pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”. Sedangkan dalam penjelasan umum mengenai Pasal 19 DUHAM dicantumkan bahwa negara dipersyaratkan untuk perlindungan terhadap “hak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.” Selaras dengan itu, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, Frank La Rue mengatakan, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak individual sekaligus kolektif, yang memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang bisa mengembangkan dan mengekspresikan opini mereka dengan cara yang menurut mereka tepat. Kebebasan berekspresi menurut La Rue bisa dilihat dari dua cara, pertama hak 4 untuk mengakses informasi, dan kedua hak mengekspresikan diri melalui medium apapun. Selain itu, La Rue juga menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi (Frank La Rue, 2010: 6) Berdasarkan hal-hal diatas, maka negara harus menjamin adanya perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, tidak hanya “kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun”, tetapi juga kebebasan untuk “mencari” dan “menerima” informasi dan ide tersebut “tanpa memperhatikan medianya” dan dalam bentuk apa pun “baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya”. Dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD NRI 1945 Negara Republik Indonesia dicantumkan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dalam Pasal 28F UUD NRI 1945, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan atas hak kebebasan berpendapat secara lebih jelas dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sebagai berikut: 5 Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Sedangkan Pasal 23 Ayat (2) UU HAM menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.” Indonesia telah meratifikasi KIHSP melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang juga menjamin pemenuhan hak untuk berekspresi dan hak atas informasi. Pasal 19 ayat (1) KIHSP menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan. Sedangkan ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat/mengungkapkan diri; dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri.” Negara juga telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundangundangan yang di dalamnya memberikan jaminan perlindungan bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi. Perundangan tersebut, antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers); (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU 6 Penyiaran); dan (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU Pers mengatur dan melindungi kegiatan jurnalistik. Pasal 4 UU Pers menyatakan secara tegas bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”. UU Penyiaran menjadi jaminan untuk melindungi pengguna media termasuk kelompok minoritas agar dapat menerima gagasan dan informasi yang ada. Sedangkam UU KIP memuat beberapa aspek penting yaitu soal prinsip dasar bahwa informasi pada dasarnya bersifat terbuka dan pengecualian atasnya bersifat ketat dan terbatas, serta mengenai mekanisme untuk memperoleh informasi. Konstitusi Indonesia menyatakan diperbolehkannya pembatasan terhadap hak-hak yang tercantum dalam Konstitusi. Namun demikian, UUD NRI 1945 juga mengatur ketentuan tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable rights). Hal ini ditunjukkan dengan mencantumkan kata-kata berikut, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Ketentuan Pasal 4 UU HAM mengatur mengenai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun (non-derogable rights) yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Jika dianalisis, maka UU HAM mengatur pembatasan mengenai kebebasan dan HAM. Di dalam Pasal 73 UU HAM disebutkan kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata- 7 mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Pasal 74 UU HAM kemudian menegaskan “tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM. Selanjutnya, pembatasan terhadap HAM yang tercantum dalam UU HAM harus dilakukan melalui undang-undang. Ketentuan umum mengenai tidak diperbolehkannya pengurangan hak, kecuali atas kondisi tertentu, tercantum dalam Pasal 5 Bersama Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal tersebut menyatakan: a. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau perseorangan hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam Kovenan ini. b. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan atas hak-hak asasi manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan hukum, kovenan, peraturan atau kebiasaan, akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya namun tidak sepenuhnya. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan baik oleh negara atau penduduknya atas hak-hak apa pun yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 ini juga untuk menguatkan bahwa 8 Kovenan tersebut haruslah didudukkan pada maksudnya serta untuk melindungi terhadap penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun dari Kovenan yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan hak mana pun yang diakui dalam Kovenan atau pembatasan hak mana pun pada tingkat yang lebih jauh dari pada yang ditentukan oleh Kovenan. Pasal 29 DUHAM menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Selanjutnya, kedua Kovenan tersebut memuat ketentuan yang mengatur adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan dalam kedua kovenan adalah: diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan (restrictions on public trial). Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) diterjemahkan secara lebih detail di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. 9 Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hakhak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. (Asep Mulyana, 2015: 3) Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut: a. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Selain itu, hukum yang membatasi hak tersebut juga tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan atau pun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut. Hak ini diperkuat dengan Prisip-prinsip Johannesburg (The Johannesburg Principles On National Security, Freedom of Expression and Acces to Information) yang menyatakan: hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak. b. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang mengakui dan menghormati hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan DUHAM. 10 c. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam penggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten. d. Untuk melindungi kesehatan publik (public health). Klausul ini digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat atau pun anggota masyarakat. Namun langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan atau dalam rangka akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial. e. Untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Klausul ini digunakan untuk melindungi orang dari bahaya dan melindungi kehidupan mereka, integritas fisik atau kerusakan serius atas milik mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk pembatasan yang sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada perlindungan yang cukup dan pemulihan yang efektif terhadap penyalahgunaan pembatasan. f. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa 11 digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik. g. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat. h. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang-wenang dan tidak jelas. Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) secara lebih rinci mencatat beberapa hak yang pelaksanaannya dapat dibatasi dan dikurangi, yaitu: pertama, hak untuk bebas bergerak. Pembatasan dapat dilakukan jika ditentukan oleh hukum, yang perlu untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan umum, atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan hak lainnya yang diakui dalam Kovenan ini. Dalam Komentar Umum Nomor 27 disebutkan pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh membatalkan dan melemahkan jiwa dari hak untuk bebas bergerak. Selain itu, Langkahlangkah pembatasan harus menjadi instrumen intervensi terakhir dan harus proporsional bagi kepentingan mereka yang ingin dilindungi. Penerapan pembatasan- pembatasan yang diperbolehkan oleh Pasal 12 ayat (3) harus sesuai dengan hak-hak lain yang dijamin oleh Kovenan dan dengan prinsip-prinsip mendasar kesetaraan dan nondiskriminasi. 12 Kedua, hak pers dan masyarakat atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan. Pers dan masyarakat dapat dilarang mengikuti seluruh atau sebagian sidang dengan alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis, atau bilamana perlu, demi kepentingan kehidupan pribadi pihak yang bersangkutan, atau sejauh diperlukan menurut pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru dianggap akan merugikan kepentingan keadilan itu sendiri. Namun apa pun yang diputuskan pengadilan, baik perkara pidana atau perdata, harus diumumkan, kecuali kepentingan anakanak di bawah umur menentukan sebaliknya, atau jika persidangan tersebut mengenai perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. Ketiga, hak untuk menjalankan agama atau kepercayaan. Hak ini hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Namun pembatasan yang diterapkan harus dijamin oleh hukum dan tidak boleh diterapkan dengan cara-cara yang dapat melanggar hak-hak itu sendiri. Pembatasan tidak boleh diterapkan untuk tujuan-tujuan yang diskriminatif atau diterapkan dengan cara yang diskriminatif. Kenyataan bahwa suatu agama diakui sebagai agama negara atau bahwa agama tersebut dinyatakan sebagai agama resmi atau tradisi, atau bahwa penganut agama tersebut terdiri dari mayoritas penduduk, tidak boleh menyebabkan tidak dinikmatinya hakhak yang dijamin Kovenan, termasuk oleh Pasal 18 dan pasal 27 KIHSP. Keempat, hak untuk bebas menyatakan pendapat dan memperoleh informasi. Pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Pasal 19 Ayat (3) KIHSP menentukan kondisi-kondisi tertentu untuk melakukan pembatasan, yaitu: (1) harus “dinyatakan oleh hukum”; 13 (2) hanya boleh diterapkan bagi salah satu tujuan yang dinyatakan di sub ayat (a) dan (b) dari ayat 3; (3) pembatasan tersebut harus dijustifikasi sebagai sesuatu yang “dibutuhkan” negara untuk salah satu dari tujuan-tujuan tersebut. Pembatasan itu tidak boleh membahayakan hak itu sendiri. Tidak seorang pun boleh menjadi subyek pembatasan dan sanksi, serta dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya. Ekspresi dapat dihukum sebagai ancaman keamanan nasional jika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi itu ditujukan atau dapat memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi dan kekerasan tersebut. Namun tidak seorang pun boleh dihukum karena ekspresi yang mengandung kritik atau penghinaan terhadap kebijakan pemerintah atau pejabat publik. Pembatasan hak menyatakan pendapat dan kebebasan memperoleh informasi merupakan salah satu hal yang diperkenankan dalam hukum internasional maupun hukum nasional. Mengingat internet merupakan salah satu akses dalam menyatakan pendapat dan kebebasan memperoleh informasi, maka dalam konteks ini Negara dapat melakukan pembatasan dengan mengingat pertimbangan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. 2. Tinjauan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif sebagai Pembatasan Hak Asasi Manusia Dalam konteks pemajuan hak asasi manusia (HAM), besarnya pengguna internet ini tentu melahirkan banyak peluang. Mengutip pernyataan dari Frank La Rue, dalam laporannya ia mengatakan : Given that the Internet has become an indispensable tool for realizing a range of human rights, combating inequality, and accelerating development and human progress, ensuring universal 14 access to the Internet should be a priority for all states. Each State should thus develop a concrete and effective policy, in consultation with individuals from all sections of society, including the private sector and relevant Government ministries, to make the Internet widely available, accessible and affordable to all segments of population (Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberantas ketidakadilan, serta mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia. Oleh karena itu, memastikan akses universal terhadap Internet harus menjadi prioritas bagi semua negara. Masing-masing negara harus mengembangkan kebijakan yang mendasar dan efektif, melibatkan individu-individu dari semua bagian dari masyarakat, baik sektor swasta maupun departemen pemerintah yang relevan, agar Internet tersedia secara luas, dapat diakses dan terjangkau bagi semua segmen dari populasi ) (Frank La Rue, 2011: 22). Guna menjamin pemenuhan HAM diranah media online/internet, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengesahkan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Permen Kominfo). Peraturan ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum mengenai tata cara pemblokiran konten internet yang dinilai negatif, sebagai turunan dari pengaturan ‘konten yang dilarang’ sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun demikian, tidak ada penjelasan yang detail dan terstruktuk tentang apa yang dimaksud dengan ‘konten bermuatan negatif’. Artinya, Permen ini dapat membatasi konten apapun yang ada di Internet, karena rumusan cakupan pengaturannya menjadi sangat luas dan tidak spesifik. Selama ini praktik pemblokiran terhadap konten internet di Indonesia, telah aktif dilakukan oleh Internet Service Provider (ISP) atas perintah Kominfo, tanpa berdasarkan aturan dan prosedur yang memadai. Keberadaan Trust+Positif, sebagaimana disebut dalam Permen Kominfo tersebut, tidaklah memiliki 3 hal: (i) legitimasi, (ii) prosedur, dan (iii) audit kinerja yang transparan dan akuntabel. Setidaknya, pihak Kominfo sendiri belum dapat menunjukkan ketiga hal tersebut. Padahal Trust+Positif adalah database yang dikeluarkan oleh Kominfo, berisi daftar situs yang 15 wajib diblokir oleh para penyelenggara jasa Internet Indonesia (PJI / ISP) di Indonesia tanpa terkecuali. Selain itu, sebagai produk hukum tentang peraturan teknis, Permen Kominfo ini haruslah mengacu, melaksanakan pendelegasian dari undangundang yang spesifik atau tertentu. Sehingga apabila Permen Kominfo ini merujuk pada UU ITE, maka yang diatur dalam Permen ini adalah pada pasal-pasal larangan dalam UU ITE, dalam hal ini pasal 27 hingga pasal 29. Sementara, jika merujuk pada UU Pornografi, maka Permen ini seharusnya hanya mengatur konten yang bermuatan pornografi. Secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang mendasarinya. Selain itu, pelaksana teknis Permen Kominfo ini sebenarnya telah diberikan wewenang yang sangat besar untuk merumuskan dan menentukan konten yang dinilai bermuatan negatif, melebihi dari yang telah dirumuskan oleh undang-undang. Perumusan yang sewenang-wenang juga nampak dengan adanya frasa “kegiatan ilegal lainnya …” di dalam Permen Kominfo tersebut. Rumusan ini semakin mengaburkan batasan pengertian dengan memberikan “blanko kosong” kepada pemerintah untuk bebas melakukan intepretasi atas konten/kegiatan ilegal yang dapat dan/atau wajib diblokir di Internet. Hal tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan serta mempertinggi tingkat ketidakpastian hukum, yang pada ujungnya merugikan masyarakat Indonesia pada umumnya dan pengguna internet pada khususnya. Ketentuan di dalam UU ITE tidak mengenal ‘kegiatan ilegal’ sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya 16 berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Pasal 4 huruf c Peraturan Menteri dikatakan, “kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan” memberikan kewenangan dari Peraturan Menteri ini untuk menentukan cakupan dan apa yang dikategorikan sebagai ‘bermuatan negatif’ dengan rumusan yang sangat luas dan tanpa batasan yang jelas. Rumusan tersebut justru semakin memperlebar batasan pengertian dengan menyerahkan intepretasi kegiatan ilegal berdasarkan kementerian atau lembaga pemerintah. Perumusan yang sedemikian fleksibel dapat meningkatkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang secara lentur melakukan intepretasi atas ‘perbuatan ilegal’ rumusan ini jelas mempertinggi tingkat ‘ketidakpastian hukum’ khususnya bagi warga negara/entitas pengguna internet yang menjadi subyek dari peraturan ini Kejanggalan lain dari peraturan ini ialah pemberian kewenangan kepada masyarakat (individu, kelompok masyarakat, sektor bisnis) untuk turut serta melakukan pemblokiran terhadap konten internet yang dinilai bermuatan negatif. Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan dengan pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945, yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara, bukan entitas privat, yang dapat melakukan tindakan pembatasan hak asasi. Bagi sektor bisnis, dalam hal ini para ISP, pemberian kewenangan ini merugikan mereka. Karena jika Permen Kominfo ini dijalankan, maka selain dapat berdampak pada kenetralitasan jaringan (net neutrality), juga justru membuka banyak celah gugatan hukum kepada para ISP dari konsumen yang merasa haknya dirugikan. Sebab walaupun database blokir memang disediakan dan diwajibkan oleh Kominfo, secara teknis tindakan pemblokiran memang dilakukan oleh ISP. Kendati bermaksud mengisi kekosongan hukum, kehadiran Permen Kominfo ini mengandung sejumlah kelemahan mendasar, baik secara 17 formil maupun materiil. Pemblokiran terhadap konten internet memang dapat dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi yang memang boleh dibatasi. Akan tetapi dalam pembatasannya haruslah memenuhi kaidah-kaidah pembatasan, salah satunya adalah keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR, serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri. Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan daftar dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di reintepretasikan oleh pembuat kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan. Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor konten internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu. Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan sensor terhadap konten internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran dengan menggunakan teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakan-ttindakan tersebut benar-benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan 18 sering menciptakan chilling effect (efek ketakutan) yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Merujuk pada batasan-batasan tersebut, jika suatu tindakan penapisan dan pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang tidak tepat, maka tindakan tersebut justru masuk dalam kategori pelanggaran. Secara detail tindakan penapisan dan pemblokiran yang dianggap sewenang-wenang dan termasuk pelanggaran hak asasi jika dikategorikan adalah berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan seme-mena; Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan Pasal 19 ayat (3) KIHSP, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan, karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan independen. Peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten internet, adalah ketentuan Pasal 18 UU Pornografi, yang menyebutkan: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet..” Sementara ketentuan perundang-undangan yang lain, termasuk Undang-Undang Nomor 11 19 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara eksplisit memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan penapisan dam pemblokiran konten internet, termasuk terhadap kontenkonten yang dilarang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 hingga Pasal 29 UU ITE. Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan RPM ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan: “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”, maka tidak tepat pula jika kewenangan pemblokiran konten internet diperluas tidak hanya terhadap konten pornografi. Hal ini karena peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah ketentuan UU Pornografi, sementara yang lain tidak ada. Dalam perkembangan selanjutnya, terhadap Permen Kominfo ini, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ELSAM, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Perkumpulan Mitra TIK Indonesia, dll mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Agung untuk menguji legalitas peraturan menteri tersebut karena dianggap bertentangan Peraturan yang lebih tinggi. Menurut para pemohon, Peraturan Kominfo tersebut haruslah mengacu, melaksanakan pendelegasian dari undang-undang yang spesifik atau tertentu. Secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang mendasarinya. Sementara Kementerian Kominfo menganggap bahwa meskipun dalam dasar hukum mengingatnya memasukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan 20 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, peraturan menteri tersebut memang bukan delegasi yang tegas dari peraturan yang lebih tinggi, tetapi didasarkan pada kewenangan atau freis ermessen yang dimiliki oleh pemerintah yang karena meskipun Undang-Undang Pornografi sudah mengatur pemblokiran konten pornografi, tetapi masih ada kekosongan peraturan perundang-undangan dalam tata cara pemblokiran tersebut, sementara permintaan pemblokiran kepada Kominfo sudah sangat banyak, sehingga peraturan menteri tersebut dianggap sebagai peraturan kebijaksanaan. Hingga kini putusan pengujian tersebut belum dipublikasikan sehingga tidak akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan hukum ini. Berdasarkan hal-hal di atas, dapat diuraikan 5 hal sebagai berikut: a. Praktik penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) yang diatur di dalam Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 merupakan bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi yang dijamin UUD NRI 1945; b. Penerbitan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) sehingga pemuatan materi larangan-larangan dalam Permen seharusnya tidak melebihi tindakantindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi; c. Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Kominfo untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi untuk menutup situs tersebut. Maka, legitimasi kewenangan Kominfo lewat di peraturan itu tidak sah karena tidak berdasar; 21 d. Pemblokiran "konten yang dilarang" sudah aktif dilakukan Internet Service Provider (ISP) atas perintah Kominfo merujuk pada daftar "TRUST+Positive" yang dibentuk berdasarkan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Pada implementasinya, materi pengaturan pemblokiran ini membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD NRI 1945. Seharusnya materi peraturan tersebut diatur oleh undangundang untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya; dan e. Pembatasan hak asasi manusia dengan mendasarkan pada ketertiban umum, moral publik, dan keamanan negara tidak lagi dapat dipergunakan secara fleksibel, dalam standar tersebut juga harus dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang secara limitatif harus dirumuskan dalam Undang-Undang. B. Rekonstruksi Hukum Untuk Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif Dalam Kerangka Pembatasan Hak Asasi Manusia Pembatasan HAM khususnya tentang kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi telah diatur dalam KIHSP yang mana pada hukum Internasional pelaksanaan atas Kovenan semacam ini selalu disertai dengan Komentar Umum (General Comment). Komentar Umum merupakan interpretasi otoritatif yang berlaku seperti panduan, berisi cakupan, karakteristik dan cara membaca isi kovenan. Dikeluarkan oleh badan atau komite PBB yang membidangi hak-hak terkait dan merupakan soft law bagi negara pihak yang ikut meratifikasi. Rekonstruksi hukum dalam penanganan situs internet bermuatan negatif dalam kerangka pembatasan hak asasi manusia harus sesuai dengan pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, juga harus sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia terkait dengan masalah pembatasan HAM dan bidang teknologi informasi Internet. Selanjutnya, 22 karena Indonesia telah meratifikasi KIHSP melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), maka Indonesia juga tunduk terhadap Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional memahami hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan martabat manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di samping diatur mengenai hak asasi manusia juga diatur mengenai kewajiban dasar manusia, yang dimaknai sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Dalam undang-undang a quo diatur mengenai hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia (Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999). Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP pada pasal 7 menyebutkan: “Kewajiban untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah mengikat setiap negara pihak secara keseluruhan. Semua cabang negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan otoritas publik atau swasta lainnya, pada tingkat apapun -nasional, regional maupun lokal- berada dalam posisi ikut serta bertanggung jawab dengan negara pihak. Tanggung jawab tersebut dapat juga dikenakan oleh suatu negara Pihak di bawah beberapa keadaan sehubungan untuk menghormati tindakan oleh entitas (badan) semi negara. Kewajiban ini juga memerlukan negara-negara pihak 23 untuk memastikan bahwa orang yang dilindungi dari tindakan oleh orang pribadi atau badan yang akan mengganggu kenikmatan kebebasan berpendapat dan berekspresi sejauh bahwa hak-hak Perjanjian ini disetujui untuk di aplikasi antara orang pribadi atau badan.” Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Kovenan ini dianggap sebagai Negara Pihak yang harus turut tunduk pada ketentuan tersebut, artinya Indonesia wajib menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kewajiban ini diikuti tanggung jawab yang dibebankan kepada semua bagian pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pembatasan terhadap hak ini pun menjadi tanggung jawab 3 bagian pemerintah tersebut. Negara-negara pihak diwajibkan untuk memastikan bahwa hak-hak yang terkandung dalam Pasal 19 perjanjian memberikan efek dalam hukum domestik negara, secara konsisten dengan panduan yang disediakan Komite sesuai dalam Komentar Umum Nomor 31 bahwa sudah sifat kewajiban hukum umum untuk dikenakan pada negara-negara pihak Perjanjian. Perlu diingat bahwa negara-negara Pihak harus memberikan kepada Komite, sesuai dengan laporan yang disampaikan sesuai dengan Pasal 40, dengan aturan-aturan hukum domestik yang relevan, praktek-praktek administratif dan peradilan, serta tingkat kebijakan yang relevan dan praktek-praktek sektoral lain yang berkaitan dengan hak-hak yang dilindungi oleh Pasal 19, mempertimbangkan isu-isu yang dibahas dalam Komentar Umum yang sekarang. Negara-negara pihak juga harus memasukkan informasi tentang perbaikan yang tersedia jika hak-hak tersebut dilanggar.(Pasal 8 Komentar Umum Nomor 34) Indonesia sebagai negara Pihak harus mampu memenuhi hak-hak yang dilindungi oleh Pasal 19 dengan menyelaraskan hal-hal berikut: (1) peraturan domestik yang relevan, 24 (2) praktek-praktek administratif dan peradilan, serta tingkat kebijakan dan praktek-praktek sektoral lain yang relevan; dan (3) perbaikan apabila hak-hak tersebut dilanggar. Artinya mengenai pembatasan atas hak-hak yang disebutkan pada Pasal 19 pun harus selaras dengan 3 poin diatas. Salah satu yang termasuk pembatasan hak yang dimaksud adalah mengenai penanganan situs internet bermuatan negatif. Penanganan yang dilakukan yang berupa filtering bahkan blocking terhadap situs-situs yang dianggap mengandung muatan negatif merupakan bentuk dari pembatasan hak berekspresi dan menerima informasi. Sebagaimana telah diatur dalam pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi : “(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis.“ Indonesia telah memiliki peraturan domestik yang relevan namun mengenai tingkat kebijakan yang relevan perlu ada rekonstruksi dalam pengaturannya, begitupula mengenai perbaikan yang layak bagi korban yang dilanggar haknya. Rekonstruksi tersebut dapat dilakukan dengan membuat undangundang yang dikhususkan mengatur mengenai pembatasan hak-hak berekspresi dan menerima informasi sebagaimana yang dimaksud pasal 19 KIHSP. Penanganan situs internet bermuatan negatif, sebagaimana telah dibahas pada sub-bab bagian pertama, hanya diatur oleh peraturan yang berupa Peraturan Menteri yang acuan undang-undang dalam pemberian kewenangannya tidak jelas. Terlebih lagi dalam menutup suatu situs internet legitimasi kewenangan Kominfo melalui peraturan itu tidaklah sah karena tidak berdasar. 25 Salah satu kaidah dari pembatasan HAM adalah keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan rakyat), serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Indonesia merupakan negara demokrasi, salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. Kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi adalah darah hidup demokrasi. Warga demokratis hidup dengan suatu keyakinan bahwa melalui pertukaran informasi, pendapat, dan gagasan yang terbuka, kebenaran akhirnya akan terbukti dan kepalsuan akhirnya akan terkalahkan. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi, berpendapat, mengeluarkan ide dan gagasan, berkorespondensi dengan pers adalah suatu media komunikasi massa. Perbincangan mengenai pers dalam sistem politik demokrasi menempati posisi sentral, mengingat kebebasan pers menjadi salah satu ukuran demokratis tidaknya suatu sistem politik. Kebebasan pers dalam sistem demokrasi politik dihubungkan dengan kebebasan penting lainnya, seperti kebebasan untuk berekspresi dan bertukar informasi. Dalam sistem politik demokrasi, kebebasan pers diperlukan sebagai sarana informasi bagi masyarakat, dan demokrasi hanya akan berjalan efektif jika warga negaranya memperoleh akses informasi dengan baik. Kebebasan pers yang meliputi media cetak, media elektronik, dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh karena itu kebebasan pers harus diorientasikan untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, harkat dan martabat setiap orang adalah tak ternilai harganya (immateriil). Pelanggaran terhadap hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kepercayaan dari publik sepanjang hidupnya, tidak hanya 26 terhadap dirinya sendiri melainkan juga terhadap nama baik keluarganya. Demikian pula halnya dalam lingkup kehidupan keperdataannya, banyak relasi, mitra yang akan berpikir kembali untuk menjalin kerjasama atau membuat perikatan dengan orang tersebut. Mekanisme pemulihan kembali atas hak tersebut seringkali teramat sulit dilakukan bahkan cenderung tidak proporsional karena tidak ada jaminan pemulihan hak yang sepadan baik dari aspek (i) ruang, (ii) waktu, maupun (iii) dampak/akibatnya. Akibat suatu pemberitaan pada suatu ruang dan waktu tertentu telah secara nyata langsung menimbulkan multiplier effect (chilling effects) yang bergulir terus tanpa kendali sebagaimana layaknya snow ball. Ironisnya, pemulihan hak tersebut sering tidak mendapat ruang dan waktu yang sama, demikian pula dengan dampak seketika yang langsung dirasakan oleh si korban. Oleh karena itu, kepentingan hukum adanya rumusan tindak pidana pencemaran nama baik adalah guna keseimbangan antara hak kebebasan berpendapat dengan hak perlindungan harkat dan martabat setiap orang. Meskipun pada satu sisi setiap orang dijamin kebebasan berbicaranya, namun hak tersebut jangan sampai disalahgunakan sehingga setiap orang dengan mudahnya dapat memfitnah, menghina, atau mencemarkan nama baik orang lain tanpa ancaman pidana yang cukup berat, hal tersebut tentunya akan mengakibatkan ketidakadilan. Mengenai berat atau ringannya ancaman pidana terkait dengan politik hukum pidana nasional dan politik pemidanaan nasional yang diikuti inilah yang menjadi kompetensi legislatif atau pembentuk hukum. Jika ada pihak keberatan terhadap ancaman pidana, keberatan tersebut ditujukan kepada legislatif/pembentuk agar melakukan legislative review atau apabila terkait dengan praktek penegakan hukum, maka keberatan ditujukan kepada hakim (pengadilan) yang memiliki wewenang kehakiman yakni mengadili perkara pidana dan menjatuhkan ancaman sanksi pidana dalam undang-undang. 27 Notabene, tujuan undang-undang yaitu sebagai barometer atau ukuran pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang bersumber dari konstitusi itu sendiri (hak-hak konstitusional), dan dilain pihak undangundang juga berperan untuk melindungi hak-hak konstitusional dari pihakpihak yang wajib mendapat perlindungan hukum. Maka memang sudah seharusnya pengaturan mengenai pembatasan semacam ini diwujudkan dalam bentuk undang-undang yang garis kewenangannya jelas serta revelan baik dari segi peraturan domestik, kebijakan, praktek-praktek administratif , peradilan dan sektoral, serta mampu memberikan perbaikan yang layak atas pelanggaran hak yang terjadi. Dengan demikian harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat tercipta. Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri. Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan daftar dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re-intepretasikan oleh pembuat kebijakan. Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan. Pada pasal 24 Komentar Umum yang membahas tentang pasal 19 ayat (3) KIHSP disebutkan: “Pembatasan harus dilakukan oleh hukum. Hukum yang dimaksud dapat berupa undang-undang dari Parlemen yang memiliki hak khusus dan undang-undang terendah pengadilan. Dikarenakan pembatasan-pembatasan pada kebebasan berekspresi merupakan pengurangan serius hak asasi manusia, maka tidak dibenarkan berdasarkan Perjanjian ini atas pembatasan yang diatur dalam hukum tradisional, agama atau hukum kebiasaan lainnya.” Pasal ini mempertegas kebijakan dan 28 hukum domestik yang seperti apa yang seharusnya digunakan dalam pembatasan HAM khususnya yang dimaksud oleh pasal 19 KIHSP. Pemblokiran "konten yang dilarang" merupakan bentuk pembatasan dan pengurangan hak kebebasan berekspresi. Praktek pemblokiran yang sebenarnya sudah aktif dilakukan Internet Service Provider (ISP) merujuk pada daftar "TRUST+Positive". Sayangnya, daftar "TRUST+Positive" dibentuk berdasarkan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 yang pemberian kewenangannya tidaklah jelas. Seharusnya materi peraturan tersebut diatur oleh undang-undang sehingga dapat menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Undang-undang yang dibentuk untuk mengatur pembatasan atas hak kebebasan berekspresi (termasuk didalamnya hak menerima informasi) masih tetap harus sesuai dengan aturan yang disebutkan Komentar Umum ini, antara lain dalam pasal-pasal dibawah ini: Pasal 26: “Undang-undang yang membatasi hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 19 ayat 2, termasuk undang-undang yang dimaksud dalam ayat 24, seharusnya tidak hanya mematuhi persyaratan yang ketat dari Pasal 19, ayat 3 Perjanjian ini tetapi juga harus kompatibe/sesuai dengan ketentuan, tujuan dan sasaran dari Perjanjian ini. Undangundang seharusnya tidak melanggar ketentuan non-diskriminasi Perjanjian ini. Undang-undang seharusnya tidak memberikan hukuman yang tidak sesuai dengan Perjanjian ini, seperti misalnya hukuman fisik.” Pasal 35: “Apabila suatu Negara Pihak menentukan suatu alasan yang sah atas pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, maka harus ditunjukkan 29 dalam gambaran yang spesifik dan jelas atas sifat mengancam dari alasan tersebut, dan tindakan seperti apa yang harus diambil secara proposional dan sesuai kebutuhan, khususnya dengan menunjukkan hubungan langsung antara ekspresi dan ancaman tersebut” Maka dari itu, undang-undang yang dibentuk haruslah jelas membedakan mana konten yang dilarang dan mana konten diperbolehkan. Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Pengelolaan informasi publik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi. Internet adalah sarana efektif dalam melaksanakan partisipasi masyarakat untuk tujuan pengawasan pembangunan, sebab daya sebar internet yang tidak mengenal batas waktu dan jangkauan sangat memudahkan masyarakat mendapatkan hak-hak informasinya. Dalam jurnal yang disusun berdasarkan laporan dari Freedom the Net 2015 disebutkan: China was the year’s worst abuser of internet freedom. As President Xi Jinping made “cyber sovereignty” one of the priorities of his tenure as leader of the Chinese Communist Party, internet users endured crackdowns on “rumors,” greater enforcement of rules against anonymity, and disruptions to the circumvention tools that are commonly used to bypass censorship. Though not entirely new, these measures were implemented with unprecedented intensity. Google, whose services were frequently interrupted in the past, was almost completely blocked. Veteran human rights defenders were jailed for online expression, including lawyer Pu Zhiqiang, who 30 faces charges of “picking quarrels” in connection with 28 social media posts, and 70-year-old journalist Gao Yu, who was sentenced to seven years in prison for sending “state secrets” to a foreign website. Official censorship directives during the year suppressed online commentary on issues ranging from Hong Kong prodemocracy protests to stock-market volatility. Syria and Iran were the second- and third-worst performers, respectively. Activists, bloggers, and citizen journalists in Syria continue to risk death at the hands of armed factions from across the political spectrum. In Iran, positive moves by President Hassan Rouhani and the ICT Ministry have led to greater bandwidth and the expansion of 3G services across all major networks. However, despite the president’s reformist rhetoric, major improvements to civil liberties remain blocked by the supreme leader and the country’s conservative establishment. Eight young people were sentenced to a combined 127 years in prison for antigovernment posts on Facebook in July 2014. (Sanja Kelly, et al, 2015) China merupakan contoh terburuk dalam menangani kebebasan menggunakan internet. Presiden Xi Jinping membuat “kedaulatan cyber” menjadi prioritas atas jabatannya sebagai pemimpin Partai Komunis China, netter di China harus menghadapi tindakan atas “rumors”, penegakan peraturan yang lebih ketat terhadap anonimitas, dan gangguan terhadap alatalat tipuan yang sering digunakan untuk mem-bypass sensor. Peraturan ini diterapkan dengan sangat intens. Google, yang dulunya sering diinterupsi layanannya, kini hampir sepenuhnya diblokir. Pembela hak asasi manusia veteran dipenjara karena berekspresi secara online, termasuk pengacara Pu Zhiqiang, yang menghadapi tuduhan "menuai pertengkaran" sehubungan dengan 28 postingan dalam sosial media, dan wartawan Gao Yu (70 tahun), yang dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena dituduh mengirim "rahasia negara" ke situs web asing. Selain China, Siria dan Iran masing-masing menjadi urutan kedua dan ketiga terburuk dalam pemberian kebebasan menggunakan internet. Aktivis, blogger dan citizen journalists di Suriah terus menghadapi risiko kematian dari faksi bersenjata oleh spektrum politik lawan. Di Iran, pergerakan positif Presiden Hassan Rouhani dan Departemen ICT telah menyebabkan pengadaan bandwidth yang lebih besar dan perluasan 31 Layanan 3G di semua jaringan utama. Namun, disamping retorika reformis presiden tersebut, perbaikan utama kebebasan sipil tetap diblokir oleh pemimpin tertinggi dan pendirian konservatif negara. Delapan (8) pemuda dijatuhi hukuman gabungan selama 127 tahun penjara atas postingan antipemerintah di Facebook pada Juli 2014 lalu. Contoh dari ketiga negara tersebut menggambarkan bagaimana berperannya internet dalam kehidupan bernegara dan sejauh mana kebebasan berekspresi dan menerima informasi melalui internet perlu dibatasi tanpa menciderai HAM itu sendiri. Selain itu, ketiga contoh tersebut juga dapat dijadikan sebagai acuan pembanding bagi negara ini untuk menentukan langkah tegas yang bertanggung jawab bagi pemenuhan hak berekspresi dan menerima informasi melalui internet. Negara-negara Pihak dari KIHSP harus mempertimbangkan sejauh mana perkembangan informasi dan teknologi komunikasi, seperti internet dan sistem penyebaran informasi elektronik berbasis mobile, secara substansial telah mengubah praktek-praktek komunikasi di seluruh dunia. Sekarang ini telah ada jaringan global untuk bertukar ide dan pendapat yang tidak perlu mengandalkan perantara berupa media massa tradisional. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mendorong kemerdekaan media baru ini dan untuk menjamin akses individu terhadapnya (Pasal 15 Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP) Jika, masyarakat saja dilindungi hak-hak informasinya apalagi seorang wartawan yang memang berusaha menyajikan suatu berita yang dianggap bagian dari pencarian fakta, dan hal ini merupakan pilar keempat dari demokrasi dalam memberikan pelajaran, pendidikan dan kesadaran masyarakat terhadap setiap kebijakan politik dan kebijakan publik yang dibuat oleh negara. Wartawan sering mengalami ancaman, intimidasi dan kejahatan seperti penahanan yang sewenang-wenang, penyiksaan, ancaman terhadap kehidupan dan pembunuhan karena pekerjaan mereka. Begitu pula orang-orang yang terlibat dalam pengumpulan dan analisis informasi 32 tentang keadaan hak asasi manusia dan yang mempublikasikan laporan terkait dengan hak asasi manusia, termasuk hakim dan pengacara. Segala jenis kejahatan tersebut harus secara ketat diselidiki dengan tepat waktu, dan para pelaku harus dituntut, dan korban, atau, dalam kasus pembunuhan, wakil-wakil mereka, harus menerima ganti rugi yang sesuai. (Pasal 23 Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP) Globalisasi yang bergulir pada tahun 1980-an, bukan saja terkait dengan kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda kehidupan politik, pertahanan, keamanan, sosial budaya, hukum bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi in casu pertumbuhan dunia cyber (cyberspace). Globalisasi di bidang politik tidak terlepas dari pergerakan hak asasi manusia (HAM), transparansi, dan demokratisasi. Berkaitan dengan globalisasi dalam pergerakan HAM, Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara dunia dan telah pula diratifikasi oleh Indonesia dalam hukum positif sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara proporsional. Manusia di sini dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai warga negara yang padanya melekat harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Mendengung-dengungkan nilai-nilai demokrasi tanpa diiringi dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sama halnya dengan menggelincirkan demokrasi itu sendiri pada titik terendah dan itulah saat kematian demokrasi yang diagungkan itu, 33 karenanya, konstitusi memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945). Kemajuan yang begitu pesat di bidang teknologi informasi telah memberikan sumbangan yang besar bagi berkembangnya dunia informasi dan transaksi elektronik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, kemajuan yang begitu dahsyat tersebut di satu sisi membawa berkat bagi kemanusiaan tetapi di sisi yang lain juga dapat membawa mudarat bagi kemanusiaan. Kemajuan di bidang informasi dan transaksi elektronik telah menempatkan manusia dalam posisi yang makin paripurna dalam mengemban misi kekhalifahan di muka bumi tetapi juga dapat berpotensi menggelincirkan posisi kemanusiaan pada titik terendah ketika penggunaan informasi dan transaksi elektronik dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab dengan menyerang kehormatan dan nama baik orang lain. Apabila tumbuh berbagai bentuk kejahatan tetapi tidak ada hukum yang mengatur dan bersifat memaksa, maka kejahatan-kejahatan tersebut akan membunuh masyarakat dimana kejahatan itu berada. Akan tetapi, membuat ketentuan hukum terhadap bidang yang berubah dengan cepat sungguh bukan perkara yang mudah, sehingga diperlukan perubahan paradigma model hukum responsif seiring dengan dinamika perkembangan dan kemajuan dunia cyber. Karakteristik aktivitas di dunia cyber yang bersifat lintas batas yang tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial dan hukum tradisional memerlukan hukum responsif, sebab Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di dunia maya. Dalam laporan Freedom on The Net 2015, Indonesia menduduki urutan ke-33 sebagai negara yang memiliki kebebasan mengakses Internet dengan skor total 42. Metriks penilaian dihitung berdasarkan penilaian di 34 sektor metriks Obstacles to Access, Indonesia hanya mendapat 11 poin. Faktor geografis, menjadi kendala utama yang membuat penyebaran internet di Indonesia, belum sebanding dengan jumlah penduduk. Sementara dari metriks Limits on Content, kebebasan yang bisa dirasakan konsumen di Indonesia hanya mencapai 12 poin. Dari poin tersebut bisa dikatakan pemerintah pemerintah yang diwakilkan Kominfo dianggap kurang berhasil ketika memutuskan regulasi tentang konten yang dianggap “negatif”. Kejadian ini mendapatkan perlawanan cukup keras dari masyarakat yang menganggap bahwa upaya pemblokiran konten menutup ekspresi kebebasan, serta keputusan ini dinilai dikeluarkan tanpa adanya proses legislatif. Terakhir metriks Violations of User Rights, Indonesia memperoleh nilai 19 poin. Poin tersebut didapat lantaran, sekarang ini di Indonesia angka tuntutan dan penahanan individu di bawah UU ITE meningkat, sehingga kerap kali mengintimidasi dan membungkam kritik masyarakat. Dalam laporan ini, masyarakat Indonesia dianggap sering menggunakan UU ITE untuk kepentingan personal, dan menyalah artikan antara ruang pribadi dan umum. (https://dailysocial.id/post/kebebasan-akses-internet-di-indonesia- duduki-peringkat-ke-33-di-dunia/) Secara garis besar, laporan Freedom on The Net 2015 menunjukkan rata-rata penurunan tingkat kebebasan akses Internet di dunia. Hal ini dilatari pemerintah dari tiap negara yang memperluas pengawasan dan memblokir segala tools yang ditengarai mampu melindungi privasi dari tiap individu. Negara Islandia menduduki peringkat pertama sebagai negara yang paling bebas berdasarkan skor terendah metriks penilaian dengan nilai sebesar 6, sementara posisi terakhir diduduki oleh Tiongkok dengan skor 88. Posisi Indonesia tak berbeda jauh dengan Singapura dan Malaysia yang masing-masing menduduki posisi ke-32 dan 35.(https://dailysocial.id/post/ kebebasan-akses-internet-di-indonesia-duduki-peringkat-ke-33-di-dunia/) Dengan demikian, rekonstruksi hukum tersebut tidak menghalanghalangi eksistensi akses terhadap teknologi informasi dan tetap menjadi 35 pelindung hak-hak konstitusional dan menjadi bagian pelaksanaan dari semangat Pasal 28F UUD NRI 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". Eksistensi akses terhadap teknologi informasi sebagai hak konstitusional yang lahir dari semangat keterbukaan informasi global seharusnya dibarengi pula dengan semangat untuk menegakan pilar-pilar demokrasi berupa ketentuan terhadap kebebasan memperoleh, menyimpan, mengelola dan menggunakan informasi melalui berbagai bentuk media sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28F UUD NRI 1945. Saat ini, dunia internet telah menciptakan suatu komunitas tersendiri yang memanfaatkan kecanggihan fitur-fitur yang ada di media online, dan hal ini berkembang sejalan dengan nafas kebebasan yang menjadi pilar-pilar demokrasi. Bukan hanya kebebasan berekspresi tetapi juga mekanisme kontrol sosial lebih disemarakan melalui society participatory dengan berbagai tulisan-tulisan yang dikenal dengan jurnalisme online. Pengalaman demokrasi di negara-negara demokratis telah menunjukan bahwa demokrasi hanya mungkin terjadi jika ada persaingan politik yang didukung oleh aliran informasi yang bebas. Sehingga, inti dari pada demokratisasi adalah kepercayaan membawa kepada keadaan yang lebih baik dan jauh memuaskan. Jika rakyat tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai persoalan-persoalan mereka, maka mayoritas dari mereka tidak saja tidak dapat mengambil keputusan, bahkan ada yang membuat keputusan salah. Tidak dapat dibayangkan, seorang yang beraktivitas di internet, namun selalu harus mendapatkan persetujuan untuk berkomunikasi di internet. Contoh kasus yang pernah terjadi yaitu di Indonesia mengenai pencemaran nama baik di dunia maya. Pada kasus tersebut, dapat kita lihat adanya opini yang secara subjektif dinilai oleh seseorang yang merasa 36 dirinya telah dihina atau dicemarkan nama baiknya, perlu dilihat materi muatan yang dimaksud secara kritis dan komprehensif dari proses demokrasi, apakah materi muatan tersebut berupa kritik atau memang penyerangan nama baik seseorang. Seorang pejabat negara yang merasa dirinya dicemarkan namanya berhak memiliki perlindungan melalui hukum, namun penafsiran atas dugaan pencemaran nama baik juga secara fair perlu diperjelas kedudukannya, apakah benar-benar memiliki delik pidana? Sehingga seseorang yang sesungguhnya sedang ingin mencari, memperoleh suatu berita harus juga dilindungi hak-hak keamanannya tanpa harus takuttakut mempertanyakan suatu perbuatan yang dianggap tidak patut atau melanggar hukum dari seorang pejabat publik/tokoh masyarakat. Dunia IT berbeda dengan dunia maya, bedanya adalah di dunia internet informasinya dapat berubah-ubah setiap saat pada website sedangkan dunia maya sifatnya tidak statis tetapi dinamis. Orang yang mampu mengubah informasi yang sifatnya dinamis dalam suatu website adalah orang yang mempunyai website sendiri. Membuat link itu adalah tradisi atau kebiasaan dalam penyaluran informasi dalam dunia maya. Biasanya orang yang membuat link ke website bukan sebagai pengendali website di link atau di tag. Informasi dalam website tidak dibawah kendali kontrol dari orang yang me-link-nya. Dan biasanya dalam website kadangkadang tidak dipersoalkan siapa pemiliknya, identitasnya siapa dan kadangkadang menggunakan identitas samaran, inilah yang biasa terjadi dalam dunia maya. Contoh ada seorang namanya si Nona, memiliki website bernama nona.com. Di dalam website tersebut ada link ke website lain bernama abcd_e.com. Pada waktu masuk ke dalam website a abcd_e.com, isinya berubah yang sebelumnya berisi informasi yang bagus-bagus, tetapi tiba-tiba isi website abcd_e.com itu berubah, siapa yang merubah? Tentunya yang merubah bukannya Nona, yang merubah adalah orang yang mempunyai website tersebut. Informasinya dirubah menjadi penghinaan dan caci maki. 37 Secara yuridis kegiatan pada ruang cyber selain harus didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional, harus pula melibatkan langsung masyarakat pengguna internet (netter). Sebab jika hanya melalui hukum saja yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Meskipun aktivitas internet sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun sesungguhnya masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (real/physical world). Oleh karenanya, sebagaimana halnya di dunia nyata, aktivitas dan perilaku manusia di dunia maya (cyberspace) pun tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan pembatasan oleh hukum. Pengaturan dan pembatasan oleh hukum tersebut ditetapkan karena setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya serta dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaannya. Setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Pelaksanaan hak-hak baik di dunia nyata (real/physical world) maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia maya (cyberspace) berisiko mengganggu ketertiban dan keadilan dalam masyarakat apabila tidak terdapat harmonisasi antara hukum dan teknologi informasi. Harmonisasi yang dimaksud yaitu keberadaan pengaturan dan pembatasan oleh hukum yang melindungi hak-hak masyarakat. Dari penjelasan di atas, negara dihadapkan pada dua kepentingan hukum yaitu antara melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak-hak yang bersifat hak-hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, berhadapan dengan hak-hak dasar (basic rights) akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik 38 orang lain. Dalam hal ini dunia cyber adalah sebuah konstruksi maya yang diciptakan oleh komputer yang di dalamnya berisi data-data abstrak yang berfungsi sebagai berikut: (1) aktualisasi diri; (2) wadah bertukar gagasan; dan (3) sarana penguatan prinsip demokrasi. Manusia dapat masuk ke dalam sistem data dan jaringan komputer tersebut kemudian mendapatkan suatu perasaan bahwa mereka benar-benar telah memasuki suatu ruang yang tidak memiliki keterikatan sama sekali dengan realitas-realitas fisik. Oleh karena itu aktivitas-aktivitas di dunia cyber mempunyai karakter, yaitu: (1) mudah, (2) penyebarannya sangat cepat dan meluas yang dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun, dan (3) dapat bersifat destruktif dari pemuatan materi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan menggunakan media elektronik sangat Iuar biasa karena memiliki corak viktimisasi yang tidak terbatas. Dengan memahami hakekat dunia cyber beserta karakternya, maka diperlukan pengaturan tersendiri untuk mengakomodasi perkembangan dan konvergensi teknologi informasi, yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melakukan kejahatan. Salah satu perbedaan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata. Misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik yang juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata. Oleh karena itu, meskipun berat ringannya sanksi adalah wewenang pembentuk undang-undang, namun meningkatnya kesadaran masyarakat akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan bagi perlunya peraturan dan penataan dari masyarakat dunia maya itu sendiri. Setiap pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen) sangat dimungkinkan berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan mencemarkan nama baik pihak lain secara leluasa tanpa disertai data dan 39 informasi akurat. Jika demikian, potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka, serta hampir tanpa batas. Di sisi lain, hal ini dapat juga menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia maya. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat maka semakin tinggi pula tuntutan kehati-hatian karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilainilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah kebebasan yang bertanggung jawab.