BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peraturan

advertisement
1
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peraturan Menteri Sebagai Peraturan Perundang-Undangan Untuk
Pembatasan Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD NRI
1945
1. Kerangka Hukum dan Ruang Lingkup Pembatasan Hak Asasi
Manusia
Secara konseptual, HAM merupakan hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah
Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu,
masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan
perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi
manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara
hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan
dan kepentingan umum (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003: 199).
Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM,
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu,
pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak
terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga
dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak
kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu pemenuhan,
perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan
kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.
Berdasarkan hal di atas, pemerintah mempunyai kedudukan sebagai
pemangku kewajiban (duty bearer) atas pemenuhan HAM. Maka dari itu,
negara mengemban tiga bentuk tugas. Antara lain negara harus
2
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to
fullfil) hak asasi manusia (Asep Mulyana, 2015: 2). Kewajiban ini juga
diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat
laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan
tindakan yang dilakukan. Termasuk kewajiban pemerintah Indonesia untuk
membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang
harus disampaikan pada Komite di PBB.
Kewajiban
dan
tanggungjawab
negara
untuk
melakukan
penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk
tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan
hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari
seluruh hak asasi. Misalnya terhadap hak-hak yang merupakan nonderogable rights negara tidak boleh melakukan pembatasan ataupun
pengurangan.
Kewajiban
dan
tanggungjawab
negara
untuk
memberikan
perlindungan (obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar
bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi
warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakantindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh
pihak ke tiga. Antara lain adalah kewajiban untuk bertindak ketika satu
kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok lain;
kewajiban untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang layak
dan lainnya.
Kewajiban
dan
tanggungjawab
negara
untuk
melakukan
pemenuhan hak (obligation to fulfill) merupakan kewajiban dan tanggung
jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu
bisa terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan
kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut
3
mewujudkan penghormatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban
untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan
tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan pelaksanaan HAM secara
penuh. Misalnya kewajiban meng-implementasikan pendidikan gratis pada
tingkat dasar atau kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi
warga negaranya.
Selain tiga bentuk kewajiban utama tersebut, dalam pelaksanaan
hak asasi manusia negara pun memiliki kewajiban untuk mengambil
langkah-langkah (to take steps), untuk menjamin (to guarantee), untuk
meyakini (to ensure), untuk mengakui (to recognize), untuk berusaha (to
undertake), dan untuk meningkatkan (to promote).
Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal menjamin
adanya pemenuhan hak sipil dan politik warga negara. Pasal 19 DUHAM
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk meliputi kebebasan
mempunyai pendapat- pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan
untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan
pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak
memandang batas-batas”. Sedangkan dalam penjelasan umum mengenai
Pasal 19 DUHAM dicantumkan bahwa negara dipersyaratkan untuk
perlindungan terhadap “hak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.”
Selaras dengan itu, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan
berekspresi dan berpendapat, Frank La Rue mengatakan, kebebasan
berekspresi dan berpendapat adalah hak individual sekaligus kolektif,
yang memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk
menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam
informasi, yang bisa mengembangkan dan mengekspresikan opini
mereka dengan cara
yang menurut mereka
tepat. Kebebasan
berekspresi menurut La Rue bisa dilihat dari dua cara, pertama hak
4
untuk mengakses informasi, dan kedua hak mengekspresikan diri melalui
medium apapun. Selain itu, La Rue juga menegaskan bahwa kebebasan
berekspresi dan berpendapat harus dilihat sebagai instrumen kunci
dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga
penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan
korupsi (Frank La Rue, 2010: 6)
Berdasarkan hal-hal diatas, maka negara harus menjamin adanya
perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, tidak hanya
“kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide
apapun”, tetapi juga kebebasan untuk “mencari” dan “menerima”
informasi dan ide tersebut “tanpa memperhatikan medianya” dan dalam
bentuk apa pun “baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan,
dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya”.
Dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD NRI 1945 Negara Republik
Indonesia dicantumkan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.”
Dalam Pasal 28F UUD NRI 1945, “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Jaminan atas hak kebebasan berpendapat secara lebih jelas
dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (UU HAM), sebagai berikut:
5
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya;
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Sedangkan Pasal 23 Ayat (2) UU HAM menyatakan, “Setiap orang
bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat
sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak
ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.”
Indonesia telah meratifikasi KIHSP melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik) yang juga menjamin pemenuhan hak untuk berekspresi
dan hak atas informasi. Pasal 19 ayat (1) KIHSP menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
Sedangkan ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk menyatakan
pendapat/mengungkapkan diri; dalam hal ini termasuk kebebasan untuk
mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam
gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan
maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut
pilihannya sendiri.”
Negara juga telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundangundangan yang di dalamnya memberikan jaminan perlindungan bagi
pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi. Perundangan tersebut, antara
lain: (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers);
(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU
6
Penyiaran); dan (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU Pers mengatur dan
melindungi kegiatan jurnalistik. Pasal 4 UU Pers menyatakan secara tegas
bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”. UU
Penyiaran menjadi jaminan untuk melindungi pengguna media termasuk
kelompok minoritas agar dapat menerima gagasan dan informasi yang ada.
Sedangkam UU KIP memuat beberapa aspek penting yaitu soal prinsip
dasar bahwa informasi pada dasarnya bersifat terbuka dan pengecualian
atasnya bersifat ketat dan terbatas, serta mengenai mekanisme untuk
memperoleh informasi.
Konstitusi Indonesia menyatakan diperbolehkannya pembatasan
terhadap hak-hak yang tercantum dalam Konstitusi. Namun demikian,
UUD NRI 1945 juga mengatur ketentuan tentang hak yang tidak dapat
dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable rights). Hal ini
ditunjukkan dengan mencantumkan kata-kata berikut, “Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.”
Ketentuan Pasal 4 UU HAM mengatur mengenai hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun (non-derogable
rights) yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Jika dianalisis, maka UU HAM mengatur pembatasan mengenai
kebebasan dan HAM. Di dalam Pasal 73 UU HAM disebutkan kebebasan
dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-
7
mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa. Pasal 74 UU HAM kemudian menegaskan “tidak satu ketentuan
dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai,
golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau
menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam
undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan yang dilakukan
pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan
HAM. Selanjutnya, pembatasan terhadap HAM yang tercantum dalam UU
HAM harus dilakukan melalui undang-undang.
Ketentuan umum mengenai tidak diperbolehkannya pengurangan
hak, kecuali atas kondisi tertentu, tercantum dalam Pasal 5 Bersama
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal tersebut menyatakan:
a. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberikan secara langsung kepada suatu
Negara, kelompok atau perseorangan hak untuk melakukan kegiatan
atau tindak apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan hak atau
kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi
hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam
Kovenan ini.
b. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan atas hak-hak asasi
manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun
berdasarkan kekuatan hukum, kovenan, peraturan atau kebiasaan,
akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak
mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya namun tidak
sepenuhnya.
Ketentuan
tersebut
dimaksudkan
untuk
mencegah
adanya
penyalahgunaan baik oleh negara atau penduduknya atas hak-hak apa pun
yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 ini juga untuk menguatkan bahwa
8
Kovenan tersebut haruslah didudukkan pada maksudnya serta untuk
melindungi terhadap penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun
dari Kovenan yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan
hak mana pun yang diakui dalam Kovenan atau pembatasan hak mana pun
pada tingkat yang lebih jauh dari pada yang ditentukan oleh Kovenan.
Pasal 29 DUHAM menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan
kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang
ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi
persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum
yang adil dalam masyarakat yang demokratis.
Selanjutnya, kedua Kovenan tersebut memuat ketentuan yang
mengatur adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu. Beberapa klausul
pembatasan yang digunakan dalam kedua kovenan adalah: diatur
berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam
masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum
(public order/ordre public), kesehatan publik (public health), moral publik
(public moral), keamanan nasional (national security) dan keamanan
publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of
others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others),
serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives
of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik
pada pengadilan (restrictions on public trial).
Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di
dalam
Kovenan
Internasional
Hak
Sipil
dan
Politik
(KIHSP)
diterjemahkan secara lebih detail di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa
(Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan
hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan
harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak.
9
Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hakhak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak
tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. (Asep Mulyana, 2015:
3)
Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa
dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut:
a. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the
law). Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali
didasarkan oleh hukum nasional. Selain itu, hukum yang membatasi
hak tersebut juga tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan.
Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan
bisa diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya
perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan atau
pun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap
hak-hak
tersebut.
Hak
ini
diperkuat
dengan
Prisip-prinsip
Johannesburg (The Johannesburg Principles On National Security,
Freedom of Expression and Acces to Information) yang menyatakan:
hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan
dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap
individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan
hukum atau tidak.
b. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic
society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada
pada
negara
yang
menetapkan
aturan
pembatasan
dengan
menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu
berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model
masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang
mengakui dan menghormati hak asasi manusia yang tercantum
dalam Piagam PBB dan DUHAM.
10
c. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public).
Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah
aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat
prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga
melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu,
ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang
dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab
untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam
penggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau
badan mandiri lain yang kompeten.
d. Untuk melindungi kesehatan publik (public health). Klausul ini
digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas
sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat
atau pun anggota masyarakat. Namun langkah pembatasan ini harus
diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan atau
dalam rangka akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan
kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi
tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk
menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan
industrial.
e. Untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Klausul ini
digunakan untuk melindungi orang dari bahaya dan melindungi
kehidupan mereka, integritas fisik atau kerusakan serius atas milik
mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk pembatasan yang
sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada perlindungan
yang cukup dan pemulihan yang efektif terhadap penyalahgunaan
pembatasan.
f. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom
of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan
hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa
11
digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan
opini publik.
g. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus
menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi
terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara
memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat.
h. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul
ini digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas
wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau
ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini
sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang-wenang
dan tidak jelas. Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika
tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah
untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan
dengan keamanan nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi
suatu pemerintahan dari rasa malu.
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP)
secara lebih rinci mencatat beberapa hak yang pelaksanaannya dapat
dibatasi dan dikurangi, yaitu: pertama, hak untuk bebas bergerak.
Pembatasan dapat dilakukan jika ditentukan oleh hukum, yang perlu untuk
melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan umum, atau
moral, atau hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan hak
lainnya yang diakui dalam Kovenan ini. Dalam Komentar Umum Nomor
27 disebutkan pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh membatalkan
dan melemahkan jiwa dari hak untuk bebas bergerak. Selain itu, Langkahlangkah pembatasan harus menjadi instrumen intervensi terakhir dan harus
proporsional bagi kepentingan mereka yang ingin dilindungi. Penerapan
pembatasan- pembatasan yang diperbolehkan oleh Pasal 12 ayat (3) harus
sesuai dengan hak-hak lain yang dijamin oleh Kovenan dan dengan
prinsip-prinsip mendasar kesetaraan dan nondiskriminasi.
12
Kedua, hak pers dan masyarakat atas pemeriksaan yang adil dan
terbuka oleh pengadilan. Pers dan masyarakat dapat dilarang mengikuti
seluruh atau sebagian sidang dengan alasan moral, ketertiban umum atau
keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis, atau
bilamana perlu, demi kepentingan kehidupan pribadi pihak yang
bersangkutan, atau sejauh diperlukan menurut pengadilan dalam keadaan
khusus, di mana publikasi justru dianggap akan merugikan kepentingan
keadilan itu sendiri. Namun apa pun yang diputuskan pengadilan, baik
perkara pidana atau perdata, harus diumumkan, kecuali kepentingan anakanak di bawah umur menentukan sebaliknya, atau jika persidangan
tersebut mengenai perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
Ketiga, hak untuk menjalankan agama atau kepercayaan. Hak ini
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk
melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau
hak dan kebebasan mendasar orang lain. Namun pembatasan yang
diterapkan harus dijamin oleh hukum dan tidak boleh diterapkan dengan
cara-cara yang dapat melanggar hak-hak itu sendiri. Pembatasan tidak
boleh diterapkan untuk tujuan-tujuan yang diskriminatif atau diterapkan
dengan cara yang diskriminatif. Kenyataan bahwa suatu agama diakui
sebagai agama negara atau bahwa agama tersebut dinyatakan sebagai
agama resmi atau tradisi, atau bahwa penganut agama tersebut terdiri dari
mayoritas penduduk, tidak boleh menyebabkan tidak dinikmatinya hakhak yang dijamin Kovenan, termasuk oleh Pasal 18 dan pasal 27 KIHSP.
Keempat, hak untuk bebas menyatakan pendapat dan memperoleh
informasi. Pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur
menurut hukum dan dibutuhkan untuk menghormati hak atau nama baik
orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moral masyarakat. Pasal 19 Ayat (3) KIHSP menentukan
kondisi-kondisi tertentu untuk melakukan pembatasan, yaitu:
(1) harus “dinyatakan oleh hukum”;
13
(2) hanya boleh diterapkan bagi salah satu tujuan yang dinyatakan di
sub ayat (a) dan (b) dari ayat 3;
(3) pembatasan tersebut harus dijustifikasi sebagai sesuatu yang
“dibutuhkan” negara untuk salah satu dari tujuan-tujuan tersebut.
Pembatasan itu tidak boleh membahayakan hak itu sendiri. Tidak seorang
pun boleh menjadi subyek pembatasan dan sanksi, serta dirugikan karena
pendapat atau kepercayaannya. Ekspresi dapat dihukum sebagai ancaman
keamanan nasional jika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi itu
ditujukan atau dapat memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau ada
hubungan langsung dan dekat antara ekspresi dan kekerasan tersebut.
Namun tidak seorang pun boleh dihukum karena ekspresi yang
mengandung kritik atau penghinaan terhadap kebijakan pemerintah atau
pejabat publik.
Pembatasan hak menyatakan pendapat dan kebebasan memperoleh
informasi merupakan salah satu hal yang diperkenankan dalam hukum
internasional maupun hukum nasional. Mengingat internet merupakan
salah satu akses dalam menyatakan pendapat dan kebebasan memperoleh
informasi, maka dalam konteks ini Negara dapat melakukan pembatasan
dengan mengingat pertimbangan untuk menghormati hak atau nama baik
orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moral masyarakat.
2. Tinjauan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19
Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
sebagai Pembatasan Hak Asasi Manusia
Dalam konteks pemajuan hak asasi manusia (HAM), besarnya
pengguna internet ini tentu melahirkan banyak peluang. Mengutip
pernyataan dari Frank La Rue, dalam laporannya ia mengatakan :
Given that the Internet has become an indispensable tool for
realizing a range of human rights, combating inequality, and
accelerating development and human progress, ensuring universal
14
access to the Internet should be a priority for all states. Each State
should thus develop a concrete and effective policy, in consultation
with individuals from all sections of society, including the private
sector and relevant Government ministries, to make the Internet
widely available, accessible and affordable to all segments of
population (Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan
untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberantas
ketidakadilan, serta mempercepat pembangunan dan kemajuan
manusia. Oleh karena itu, memastikan akses universal terhadap
Internet harus menjadi prioritas bagi semua negara. Masing-masing
negara harus mengembangkan kebijakan yang mendasar dan efektif,
melibatkan individu-individu dari semua bagian dari masyarakat,
baik sektor swasta maupun departemen pemerintah yang relevan,
agar Internet tersedia secara luas, dapat diakses dan terjangkau bagi
semua segmen dari populasi ) (Frank La Rue, 2011: 22).
Guna menjamin pemenuhan HAM diranah media online/internet,
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengesahkan
Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif (Permen Kominfo). Peraturan ini dimaksudkan
untuk mengisi kekosongan hukum mengenai tata cara pemblokiran konten
internet yang dinilai negatif, sebagai turunan dari pengaturan ‘konten yang
dilarang’ sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun
demikian, tidak ada penjelasan yang detail dan terstruktuk tentang apa
yang dimaksud dengan ‘konten bermuatan negatif’. Artinya, Permen ini
dapat membatasi konten apapun yang ada di Internet, karena rumusan
cakupan pengaturannya menjadi sangat luas dan tidak spesifik.
Selama ini praktik pemblokiran terhadap konten internet di
Indonesia, telah aktif dilakukan oleh Internet Service Provider (ISP) atas
perintah Kominfo, tanpa berdasarkan aturan dan prosedur yang memadai.
Keberadaan Trust+Positif, sebagaimana disebut dalam Permen Kominfo
tersebut, tidaklah memiliki 3 hal: (i) legitimasi, (ii) prosedur, dan (iii) audit
kinerja yang transparan dan akuntabel. Setidaknya, pihak Kominfo sendiri
belum dapat menunjukkan ketiga hal tersebut. Padahal Trust+Positif
adalah database yang dikeluarkan oleh Kominfo, berisi daftar situs yang
15
wajib diblokir oleh para penyelenggara jasa Internet Indonesia (PJI / ISP)
di Indonesia tanpa terkecuali.
Selain itu, sebagai produk hukum tentang peraturan teknis, Permen
Kominfo ini haruslah mengacu, melaksanakan pendelegasian dari undangundang yang spesifik atau tertentu. Sehingga apabila Permen Kominfo ini
merujuk pada UU ITE, maka yang diatur dalam Permen ini adalah pada
pasal-pasal larangan dalam UU ITE, dalam hal ini pasal 27 hingga pasal
29. Sementara, jika merujuk pada UU Pornografi, maka Permen ini
seharusnya hanya mengatur konten yang bermuatan pornografi.
Secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo
ini telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), dimana peraturan
pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang
mendasarinya. Selain itu, pelaksana teknis Permen Kominfo ini
sebenarnya telah diberikan wewenang yang sangat besar untuk
merumuskan dan menentukan konten yang dinilai bermuatan negatif,
melebihi dari yang telah dirumuskan oleh undang-undang.
Perumusan yang sewenang-wenang juga nampak dengan adanya
frasa “kegiatan ilegal lainnya …” di dalam Permen Kominfo tersebut.
Rumusan
ini
semakin
mengaburkan
batasan
pengertian
dengan
memberikan “blanko kosong” kepada pemerintah untuk bebas melakukan
intepretasi atas konten/kegiatan ilegal yang dapat dan/atau wajib diblokir
di
Internet.
Hal
tersebut
berpotensi
terjadinya
penyalahgunaan
kewenangan serta mempertinggi tingkat ketidakpastian hukum, yang pada
ujungnya merugikan masyarakat Indonesia pada umumnya dan pengguna
internet pada khususnya.
Ketentuan di dalam UU ITE tidak mengenal ‘kegiatan ilegal’
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih
lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya
16
berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang.
Pasal 4 huruf c Peraturan Menteri dikatakan, “kegiatan ilegal lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan” memberikan
kewenangan dari Peraturan Menteri ini untuk menentukan cakupan dan
apa yang dikategorikan sebagai ‘bermuatan negatif’ dengan rumusan yang
sangat luas dan tanpa batasan yang jelas. Rumusan tersebut justru semakin
memperlebar batasan pengertian dengan menyerahkan intepretasi kegiatan
ilegal berdasarkan kementerian atau lembaga pemerintah. Perumusan yang
sedemikian
fleksibel
dapat
meningkatkan
potensi
terjadinya
penyalahgunaan kewenangan yang secara lentur melakukan intepretasi
atas ‘perbuatan ilegal’ rumusan ini
jelas
mempertinggi
tingkat
‘ketidakpastian hukum’ khususnya bagi warga negara/entitas pengguna
internet yang menjadi subyek dari peraturan ini
Kejanggalan lain dari peraturan ini ialah pemberian kewenangan
kepada masyarakat (individu, kelompok masyarakat, sektor bisnis) untuk
turut serta melakukan pemblokiran terhadap konten internet yang dinilai
bermuatan negatif. Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang
partisipasi pada masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan
dengan pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945, yang secara jelas merujuk pada
kewenangan dan otoritas negara, bukan entitas privat, yang dapat
melakukan tindakan pembatasan hak asasi. Bagi sektor bisnis, dalam hal
ini para ISP, pemberian kewenangan ini merugikan mereka. Karena jika
Permen Kominfo ini dijalankan, maka selain dapat berdampak pada
kenetralitasan jaringan (net neutrality), juga justru membuka banyak celah
gugatan hukum kepada para ISP dari konsumen yang merasa haknya
dirugikan. Sebab walaupun database blokir memang disediakan dan
diwajibkan oleh Kominfo, secara teknis tindakan pemblokiran memang
dilakukan oleh ISP.
Kendati bermaksud mengisi kekosongan hukum, kehadiran Permen
Kominfo ini mengandung sejumlah kelemahan mendasar, baik secara
17
formil maupun materiil. Pemblokiran terhadap konten internet memang
dapat dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap hak
asasi yang memang boleh dibatasi. Akan tetapi dalam pembatasannya
haruslah memenuhi kaidah-kaidah pembatasan, salah satunya adalah
keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu
dimaksudkan
untuk
menjamin
adanya
partisipasi
publik
dalam
pembahasannya, yang diwakili oleh DPR, serta memastikan adanya
transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Kaidah
tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang
mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin
dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan
teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri.
Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan
merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan
yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan
daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan daftar dan
rumusan terbuka yang setiap saat dapat di reintepretasikan oleh pembuat
kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Ini dimaksudkan untuk mencegah
penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan.
Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan
sensor konten internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau
meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu.
Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya
pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan/atau
tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan sensor terhadap konten
internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran dengan menggunakan
teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas
kebebasan berekspresi. Tindakan-ttindakan tersebut benar-benar tidak
sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan
18
sering menciptakan chilling effect (efek ketakutan) yang besar terhadap
kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Merujuk pada batasan-batasan tersebut, jika suatu tindakan
penapisan dan pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang
tidak tepat, maka tindakan tersebut justru masuk dalam kategori
pelanggaran. Secara detail tindakan penapisan dan pemblokiran yang
dianggap sewenang-wenang dan termasuk pelanggaran hak asasi jika
dikategorikan adalah berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang
membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh
hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga
menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan seme-mena; Kedua,
pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan Pasal
19 ayat (3) KIHSP, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan
sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi
tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika
pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah
menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai
tujuan, karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang
cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena
dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dilakukan tanpa adanya
intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan
atau badan independen.
Peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan
kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten
internet, adalah ketentuan Pasal 18 UU Pornografi, yang menyebutkan:
“Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk
pemblokiran
pornografi
melalui
internet..”
Sementara
ketentuan
perundang-undangan yang lain, termasuk Undang-Undang Nomor 11
19
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara
eksplisit memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan
penapisan dam pemblokiran konten internet, termasuk terhadap kontenkonten yang dilarang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 hingga
Pasal 29 UU ITE.
Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan
RPM ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan:
“Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”, maka tidak tepat pula jika kewenangan
pemblokiran konten internet diperluas tidak hanya terhadap konten
pornografi.
Hal
ini
karena
peraturan
perundang-undangan
yang
memberikan kewenangan pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah
ketentuan UU Pornografi, sementara yang lain tidak ada.
Dalam perkembangan selanjutnya, terhadap Permen Kominfo ini,
Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau Institute for
Criminal Justice Reform (ICJR), ELSAM, Lembaga Bantuan Hukum Pers,
Perkumpulan Mitra TIK Indonesia, dll mengajukan permohonan pengujian
ke Mahkamah Agung untuk menguji legalitas peraturan menteri tersebut
karena dianggap bertentangan Peraturan yang lebih tinggi. Menurut para
pemohon, Peraturan Kominfo tersebut haruslah mengacu, melaksanakan
pendelegasian dari undang-undang yang spesifik atau tertentu. Secara
formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah
bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundangundangan (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), dimana peraturan
pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang
mendasarinya. Sementara Kementerian Kominfo menganggap bahwa
meskipun dalam dasar hukum mengingatnya memasukan Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
20
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, peraturan
menteri tersebut memang bukan delegasi yang tegas dari peraturan yang
lebih tinggi, tetapi didasarkan pada kewenangan atau freis ermessen yang
dimiliki oleh pemerintah yang karena meskipun Undang-Undang
Pornografi sudah mengatur pemblokiran konten pornografi, tetapi masih
ada
kekosongan
peraturan
perundang-undangan
dalam
tata
cara
pemblokiran tersebut, sementara permintaan pemblokiran kepada Kominfo
sudah sangat banyak, sehingga peraturan menteri tersebut dianggap
sebagai peraturan kebijaksanaan. Hingga kini putusan pengujian tersebut
belum dipublikasikan sehingga tidak akan dibahas lebih lanjut dalam
penulisan hukum ini.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat diuraikan 5 hal sebagai berikut:
a.
Praktik penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) yang
diatur di dalam Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 merupakan
bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia,
terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak memperoleh
informasi yang dijamin UUD NRI 1945;
b.
Penerbitan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 44 tahun
2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) sehingga pemuatan materi
larangan-larangan dalam Permen seharusnya tidak melebihi tindakantindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi;
c.
Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tidak memiliki dasar acuan
undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada
Kementerian Kominfo untuk menilai apakah suatu situs bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi untuk menutup
situs tersebut. Maka, legitimasi kewenangan Kominfo lewat di
peraturan itu tidak sah karena tidak berdasar;
21
d.
Pemblokiran "konten yang dilarang" sudah aktif dilakukan Internet
Service Provider (ISP) atas perintah Kominfo merujuk pada daftar
"TRUST+Positive" yang dibentuk berdasarkan Permen Kominfo
Nomor 19 Tahun 2014. Pada implementasinya, materi pengaturan
pemblokiran ini membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD
NRI 1945. Seharusnya materi peraturan tersebut diatur oleh undangundang
untuk
menjamin
adanya
partisipasi
publik
dalam
pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas
dalam tindakan pembatasannya; dan
e.
Pembatasan hak asasi manusia dengan mendasarkan pada ketertiban
umum, moral publik, dan keamanan negara tidak lagi dapat
dipergunakan secara fleksibel, dalam standar tersebut juga harus
dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang secara
limitatif harus dirumuskan dalam Undang-Undang.
B. Rekonstruksi Hukum Untuk Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif Dalam Kerangka Pembatasan Hak Asasi Manusia
Pembatasan HAM khususnya tentang kebebasan berekspresi dan
memperoleh informasi telah diatur dalam KIHSP yang mana pada hukum
Internasional pelaksanaan atas Kovenan semacam ini selalu disertai dengan
Komentar Umum (General Comment). Komentar Umum merupakan
interpretasi otoritatif yang berlaku seperti panduan, berisi cakupan,
karakteristik dan cara membaca isi kovenan. Dikeluarkan oleh badan atau
komite PBB yang membidangi hak-hak terkait dan merupakan soft law bagi
negara pihak yang ikut meratifikasi.
Rekonstruksi hukum dalam penanganan situs internet bermuatan
negatif dalam kerangka pembatasan hak asasi manusia harus sesuai dengan
pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, juga harus sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku di Indonesia terkait dengan masalah
pembatasan HAM dan bidang teknologi informasi Internet. Selanjutnya,
22
karena Indonesia telah meratifikasi KIHSP melalui Undang-Undang Nomor
12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik),
maka Indonesia juga tunduk terhadap Komentar Umum Nomor 34 tentang
Pasal 19 KIHSP.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional memahami
hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan dan martabat manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di samping diatur mengenai hak
asasi manusia juga diatur mengenai kewajiban dasar manusia, yang
dimaknai sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Dalam
undang-undang a quo diatur mengenai hak berkomunikasi dan memperoleh
informasi, hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang
tersedia (Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999).
Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP pada pasal 7
menyebutkan:
“Kewajiban untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi
adalah mengikat setiap negara pihak secara keseluruhan. Semua cabang
negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan otoritas publik atau swasta
lainnya, pada tingkat apapun -nasional, regional maupun lokal- berada
dalam posisi ikut serta bertanggung jawab dengan negara pihak. Tanggung
jawab tersebut dapat juga dikenakan oleh suatu negara Pihak di bawah
beberapa keadaan sehubungan untuk menghormati tindakan oleh entitas
(badan) semi negara. Kewajiban ini juga memerlukan negara-negara pihak
23
untuk memastikan bahwa orang yang dilindungi dari tindakan oleh orang
pribadi atau badan yang akan mengganggu kenikmatan kebebasan
berpendapat dan berekspresi sejauh bahwa hak-hak Perjanjian ini disetujui
untuk di aplikasi antara orang pribadi atau badan.”
Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi
Kovenan ini dianggap sebagai Negara Pihak yang harus turut tunduk pada
ketentuan
tersebut,
artinya
Indonesia
wajib
menjamin
kebebasan
berpendapat dan berekspresi. Kewajiban ini diikuti tanggung jawab yang
dibebankan kepada semua bagian pemerintahan baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Pembatasan terhadap hak ini pun menjadi tanggung
jawab 3 bagian pemerintah tersebut.
Negara-negara pihak diwajibkan untuk memastikan bahwa hak-hak
yang terkandung dalam Pasal 19 perjanjian memberikan efek dalam hukum
domestik negara, secara konsisten dengan panduan yang disediakan Komite
sesuai dalam Komentar Umum Nomor 31 bahwa sudah sifat kewajiban
hukum umum untuk dikenakan pada negara-negara pihak Perjanjian. Perlu
diingat bahwa negara-negara Pihak harus memberikan kepada Komite,
sesuai dengan laporan yang disampaikan sesuai dengan Pasal 40, dengan
aturan-aturan hukum domestik yang relevan, praktek-praktek administratif
dan peradilan, serta tingkat kebijakan yang relevan dan praktek-praktek
sektoral lain yang berkaitan dengan hak-hak yang dilindungi oleh Pasal 19,
mempertimbangkan isu-isu yang dibahas dalam Komentar Umum yang
sekarang. Negara-negara pihak juga harus memasukkan informasi tentang
perbaikan yang tersedia jika hak-hak tersebut dilanggar.(Pasal 8 Komentar
Umum Nomor 34)
Indonesia sebagai negara Pihak harus mampu memenuhi hak-hak
yang dilindungi oleh Pasal 19 dengan menyelaraskan hal-hal berikut:
(1) peraturan domestik yang relevan,
24
(2) praktek-praktek administratif dan peradilan, serta tingkat
kebijakan dan praktek-praktek sektoral lain yang relevan; dan
(3) perbaikan apabila hak-hak tersebut dilanggar.
Artinya mengenai pembatasan atas hak-hak yang disebutkan pada Pasal 19
pun harus selaras dengan 3 poin diatas. Salah satu yang termasuk
pembatasan hak yang dimaksud adalah mengenai penanganan situs internet
bermuatan negatif. Penanganan yang dilakukan yang berupa filtering
bahkan blocking terhadap situs-situs yang dianggap mengandung muatan
negatif merupakan bentuk dari pembatasan hak berekspresi dan menerima
informasi.
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945
yang berbunyi : “(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan
dan
ketertiban
umum
dalam
suatu
masyarakat
demokaratis.“ Indonesia telah memiliki peraturan domestik yang relevan
namun mengenai tingkat kebijakan yang relevan perlu ada rekonstruksi
dalam pengaturannya, begitupula mengenai perbaikan yang layak bagi
korban yang dilanggar haknya.
Rekonstruksi tersebut dapat dilakukan dengan membuat undangundang yang dikhususkan mengatur mengenai pembatasan hak-hak
berekspresi dan menerima informasi sebagaimana yang dimaksud pasal 19
KIHSP. Penanganan situs internet bermuatan negatif, sebagaimana telah
dibahas pada sub-bab bagian pertama, hanya diatur oleh peraturan yang
berupa Peraturan Menteri yang acuan undang-undang dalam pemberian
kewenangannya tidak jelas. Terlebih lagi dalam menutup suatu situs internet
legitimasi kewenangan Kominfo melalui peraturan itu tidaklah sah karena
tidak berdasar.
25
Salah satu kaidah dari pembatasan HAM adalah keharusan prescribe
by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk
menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili
oleh DPR (Dewan Perwakilan rakyat), serta memastikan adanya
transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. Indonesia
merupakan negara demokrasi, salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan
berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui segala jenis saluran yang
tersedia. Kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi adalah darah
hidup demokrasi. Warga demokratis hidup dengan suatu keyakinan bahwa
melalui pertukaran informasi, pendapat, dan gagasan yang terbuka,
kebenaran akhirnya akan terbukti dan kepalsuan akhirnya akan terkalahkan.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka kebebasan berkomunikasi dan
memperoleh informasi, berpendapat, mengeluarkan ide dan gagasan,
berkorespondensi dengan pers adalah suatu media komunikasi massa.
Perbincangan mengenai pers dalam sistem politik demokrasi menempati
posisi sentral, mengingat kebebasan pers menjadi salah satu ukuran
demokratis tidaknya suatu sistem politik. Kebebasan pers dalam sistem
demokrasi politik dihubungkan dengan kebebasan penting lainnya, seperti
kebebasan untuk berekspresi dan bertukar informasi. Dalam sistem politik
demokrasi, kebebasan pers diperlukan sebagai sarana informasi bagi
masyarakat, dan demokrasi hanya akan berjalan efektif jika warga
negaranya memperoleh akses informasi dengan baik. Kebebasan pers yang
meliputi media cetak, media elektronik, dan media lainnya merupakan salah
satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh
karena itu kebebasan pers harus diorientasikan untuk kepentingan
masyarakat dan bukan untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, harkat
dan martabat setiap orang adalah tak ternilai harganya (immateriil).
Pelanggaran terhadap hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang
kehilangan kepercayaan dari publik sepanjang hidupnya, tidak hanya
26
terhadap dirinya sendiri melainkan juga terhadap nama baik keluarganya.
Demikian pula halnya dalam lingkup kehidupan keperdataannya, banyak
relasi, mitra yang akan berpikir kembali untuk menjalin kerjasama atau
membuat perikatan dengan orang tersebut. Mekanisme pemulihan kembali
atas hak tersebut seringkali teramat sulit dilakukan bahkan cenderung tidak
proporsional karena tidak ada jaminan pemulihan hak yang sepadan baik
dari aspek (i) ruang, (ii) waktu, maupun (iii) dampak/akibatnya. Akibat
suatu pemberitaan pada suatu ruang dan waktu tertentu telah secara nyata
langsung menimbulkan multiplier effect (chilling effects) yang bergulir terus
tanpa kendali sebagaimana layaknya snow ball.
Ironisnya, pemulihan hak tersebut sering tidak mendapat ruang dan
waktu yang sama, demikian pula dengan dampak seketika yang langsung
dirasakan oleh si korban. Oleh karena itu, kepentingan hukum adanya
rumusan tindak pidana pencemaran nama baik adalah guna keseimbangan
antara hak kebebasan berpendapat dengan hak perlindungan harkat dan
martabat setiap orang. Meskipun pada satu sisi setiap orang dijamin
kebebasan berbicaranya, namun hak tersebut jangan sampai disalahgunakan
sehingga setiap orang dengan mudahnya dapat memfitnah, menghina, atau
mencemarkan nama baik orang lain tanpa ancaman pidana yang cukup berat,
hal tersebut tentunya akan mengakibatkan ketidakadilan. Mengenai berat
atau ringannya ancaman pidana terkait dengan politik hukum pidana
nasional dan politik pemidanaan nasional yang diikuti inilah yang menjadi
kompetensi legislatif atau pembentuk hukum.
Jika ada pihak keberatan terhadap ancaman pidana, keberatan
tersebut ditujukan kepada legislatif/pembentuk agar melakukan legislative
review atau apabila terkait dengan praktek penegakan hukum, maka
keberatan ditujukan kepada hakim (pengadilan) yang memiliki wewenang
kehakiman yakni mengadili perkara pidana dan menjatuhkan ancaman
sanksi pidana dalam undang-undang.
27
Notabene, tujuan undang-undang yaitu sebagai barometer atau
ukuran pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang bersumber dari
konstitusi itu sendiri (hak-hak konstitusional), dan dilain pihak undangundang juga berperan untuk melindungi hak-hak konstitusional dari pihakpihak yang wajib mendapat perlindungan hukum. Maka memang sudah
seharusnya pengaturan mengenai pembatasan semacam ini diwujudkan
dalam bentuk undang-undang yang garis kewenangannya jelas serta revelan
baik dari segi peraturan domestik, kebijakan, praktek-praktek administratif ,
peradilan dan sektoral, serta mampu memberikan perbaikan yang layak atas
pelanggaran hak yang terjadi. Dengan demikian harmonisasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat tercipta.
Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
NRI 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak,
hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan
bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan
Menteri. Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan
merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan
yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan
daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan daftar dan rumusan
terbuka yang setiap saat dapat di re-intepretasikan oleh pembuat kebijakan.
Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari
kekuasaan pembatasan yang diberikan.
Pada pasal 24 Komentar Umum yang membahas tentang pasal 19
ayat (3) KIHSP disebutkan: “Pembatasan harus dilakukan oleh hukum.
Hukum yang dimaksud dapat berupa undang-undang dari Parlemen yang
memiliki hak khusus dan undang-undang terendah pengadilan. Dikarenakan
pembatasan-pembatasan
pada
kebebasan
berekspresi
merupakan
pengurangan serius hak asasi manusia, maka tidak dibenarkan berdasarkan
Perjanjian ini atas pembatasan yang diatur dalam hukum tradisional, agama
atau hukum kebiasaan lainnya.” Pasal ini mempertegas kebijakan dan
28
hukum domestik yang seperti apa yang seharusnya digunakan dalam
pembatasan HAM khususnya yang dimaksud oleh pasal 19 KIHSP.
Pemblokiran "konten yang dilarang" merupakan bentuk pembatasan
dan pengurangan hak kebebasan berekspresi. Praktek pemblokiran yang
sebenarnya sudah aktif dilakukan Internet Service Provider (ISP) merujuk
pada daftar "TRUST+Positive". Sayangnya, daftar "TRUST+Positive"
dibentuk berdasarkan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 yang
pemberian kewenangannya tidaklah jelas. Seharusnya materi peraturan
tersebut diatur oleh undang-undang sehingga dapat menjamin adanya
partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan
akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.
Undang-undang yang dibentuk untuk mengatur pembatasan atas hak
kebebasan berekspresi (termasuk didalamnya hak menerima informasi)
masih tetap harus sesuai dengan aturan yang disebutkan Komentar Umum
ini, antara lain dalam pasal-pasal dibawah ini:
Pasal 26:
“Undang-undang yang membatasi hak-hak yang disebutkan dalam
Pasal 19 ayat 2, termasuk undang-undang yang dimaksud dalam ayat
24, seharusnya tidak hanya mematuhi persyaratan yang ketat dari
Pasal 19, ayat 3 Perjanjian ini tetapi juga harus kompatibe/sesuai
dengan ketentuan, tujuan dan sasaran dari Perjanjian ini. Undangundang seharusnya tidak melanggar ketentuan non-diskriminasi
Perjanjian ini. Undang-undang seharusnya tidak memberikan
hukuman yang tidak sesuai dengan Perjanjian ini, seperti misalnya
hukuman fisik.”
Pasal 35:
“Apabila suatu Negara Pihak menentukan suatu alasan yang sah atas
pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, maka harus ditunjukkan
29
dalam gambaran yang spesifik dan jelas atas sifat mengancam dari
alasan tersebut, dan tindakan seperti apa yang harus diambil secara
proposional dan sesuai kebutuhan, khususnya dengan menunjukkan
hubungan langsung antara ekspresi dan ancaman tersebut”
Maka dari itu, undang-undang yang dibentuk haruslah jelas membedakan
mana konten yang dilarang dan mana konten diperbolehkan.
Informasi
merupakan
kebutuhan
pokok
setiap
orang
bagi
pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian
penting bagi ketahanan nasional. Hak memperoleh informasi merupakan
hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu
ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Keterbukaan
informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan
publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya dan
segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Pengelolaan
informasi publik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan
masyarakat informasi. Internet adalah sarana efektif dalam melaksanakan
partisipasi masyarakat untuk tujuan pengawasan pembangunan, sebab daya
sebar internet yang tidak mengenal batas waktu dan jangkauan sangat
memudahkan masyarakat mendapatkan hak-hak informasinya.
Dalam jurnal yang disusun berdasarkan laporan dari Freedom the
Net 2015 disebutkan:
China was the year’s worst abuser of internet freedom. As President
Xi Jinping made “cyber sovereignty” one of the priorities of his
tenure as leader of the Chinese Communist Party, internet users
endured crackdowns on “rumors,” greater enforcement of rules
against anonymity, and disruptions to the circumvention tools that
are commonly used to bypass censorship. Though not entirely new,
these measures were implemented with unprecedented intensity.
Google, whose services were frequently interrupted in the past, was
almost completely blocked. Veteran human rights defenders were
jailed for online expression, including lawyer Pu Zhiqiang, who
30
faces charges of “picking quarrels” in connection with 28 social
media posts, and 70-year-old journalist Gao Yu, who was sentenced
to seven years in prison for sending “state secrets” to a foreign
website. Official censorship directives during the year suppressed
online commentary on issues ranging from Hong Kong
prodemocracy protests to stock-market volatility. Syria and Iran
were the second- and third-worst performers, respectively. Activists,
bloggers, and citizen journalists in Syria continue to risk death at the
hands of armed factions from across the political spectrum. In Iran,
positive moves by President Hassan Rouhani and the ICT Ministry
have led to greater bandwidth and the expansion of 3G services
across all major networks. However, despite the president’s
reformist rhetoric, major improvements to civil liberties remain
blocked by the supreme leader and the country’s conservative
establishment. Eight young people were sentenced to a combined
127 years in prison for antigovernment posts on Facebook in July
2014. (Sanja Kelly, et al, 2015)
China merupakan contoh terburuk dalam menangani kebebasan
menggunakan internet. Presiden Xi Jinping membuat “kedaulatan cyber”
menjadi prioritas atas jabatannya sebagai pemimpin Partai Komunis China,
netter di China harus menghadapi tindakan atas “rumors”, penegakan
peraturan yang lebih ketat terhadap anonimitas, dan gangguan terhadap alatalat tipuan yang sering digunakan untuk mem-bypass sensor. Peraturan ini
diterapkan dengan sangat intens. Google, yang dulunya sering diinterupsi
layanannya, kini hampir sepenuhnya diblokir. Pembela hak asasi manusia
veteran dipenjara karena berekspresi secara online, termasuk pengacara Pu
Zhiqiang, yang menghadapi tuduhan "menuai pertengkaran" sehubungan
dengan 28 postingan dalam sosial media, dan wartawan Gao Yu (70 tahun),
yang dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena dituduh mengirim
"rahasia negara" ke situs web asing.
Selain China, Siria dan Iran masing-masing menjadi urutan kedua
dan ketiga terburuk dalam pemberian kebebasan menggunakan internet.
Aktivis, blogger dan citizen journalists di Suriah terus menghadapi risiko
kematian dari faksi bersenjata oleh spektrum politik lawan. Di Iran,
pergerakan positif Presiden Hassan Rouhani dan Departemen ICT telah
menyebabkan pengadaan bandwidth yang lebih besar dan perluasan
31
Layanan 3G di semua jaringan utama. Namun, disamping retorika reformis
presiden tersebut, perbaikan utama kebebasan sipil tetap diblokir oleh
pemimpin tertinggi dan pendirian konservatif negara. Delapan (8) pemuda
dijatuhi hukuman gabungan selama 127 tahun penjara atas postingan antipemerintah di Facebook pada Juli 2014 lalu. Contoh dari ketiga negara
tersebut menggambarkan bagaimana berperannya internet dalam kehidupan
bernegara dan sejauh mana kebebasan berekspresi dan menerima informasi
melalui internet perlu dibatasi tanpa menciderai HAM itu sendiri. Selain itu,
ketiga contoh tersebut juga dapat dijadikan sebagai acuan pembanding bagi
negara ini untuk menentukan langkah tegas yang bertanggung jawab bagi
pemenuhan hak berekspresi dan menerima informasi melalui internet.
Negara-negara Pihak dari KIHSP harus mempertimbangkan sejauh
mana perkembangan informasi dan teknologi komunikasi, seperti internet
dan sistem penyebaran informasi elektronik berbasis mobile, secara
substansial telah mengubah praktek-praktek komunikasi di seluruh dunia.
Sekarang ini telah ada jaringan global untuk bertukar ide dan pendapat yang
tidak perlu mengandalkan perantara berupa media massa tradisional.
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan
untuk mendorong kemerdekaan media baru ini dan untuk menjamin akses
individu terhadapnya (Pasal 15 Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal
19 KIHSP)
Jika, masyarakat saja dilindungi hak-hak informasinya apalagi
seorang wartawan yang memang berusaha menyajikan suatu berita yang
dianggap bagian dari pencarian fakta, dan hal ini merupakan pilar keempat
dari demokrasi dalam memberikan pelajaran, pendidikan dan kesadaran
masyarakat terhadap setiap kebijakan politik dan kebijakan publik yang
dibuat oleh negara. Wartawan sering mengalami ancaman, intimidasi dan
kejahatan seperti penahanan yang sewenang-wenang, penyiksaan, ancaman
terhadap kehidupan dan pembunuhan karena pekerjaan mereka. Begitu pula
orang-orang yang terlibat dalam pengumpulan dan analisis informasi
32
tentang keadaan hak asasi manusia dan yang mempublikasikan laporan
terkait dengan hak asasi manusia, termasuk hakim dan pengacara. Segala
jenis kejahatan tersebut harus secara ketat diselidiki dengan tepat waktu, dan
para pelaku harus dituntut, dan korban, atau, dalam kasus pembunuhan,
wakil-wakil mereka, harus menerima ganti rugi yang sesuai. (Pasal 23
Komentar Umum Nomor 34 tentang Pasal 19 KIHSP)
Globalisasi yang bergulir pada tahun 1980-an, bukan saja terkait
dengan kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda kehidupan politik,
pertahanan, keamanan, sosial budaya, hukum bahkan ilmu pengetahuan dan
teknologi in casu pertumbuhan dunia cyber (cyberspace). Globalisasi di
bidang politik tidak terlepas dari pergerakan hak asasi manusia (HAM),
transparansi, dan demokratisasi. Berkaitan dengan globalisasi dalam
pergerakan HAM, Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen
HAM internasional yang diakui oleh negara-negara dunia dan telah pula
diratifikasi oleh Indonesia dalam hukum positif sesuai dengan kebudayaan
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Hal ini
mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan
bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan
masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara
fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas
institusional yang saling menunjang secara proporsional.
Manusia di sini dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial,
dan sebagai warga negara yang padanya melekat harkat dan martabat
kemanusiaannya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Penghargaan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh
tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Mendengung-dengungkan
nilai-nilai demokrasi tanpa diiringi dengan penghargaan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan sama halnya dengan menggelincirkan demokrasi itu sendiri
pada titik terendah dan itulah saat kematian demokrasi yang diagungkan itu,
33
karenanya, konstitusi memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945).
Kemajuan yang begitu pesat di bidang teknologi informasi telah
memberikan sumbangan yang besar bagi berkembangnya dunia informasi
dan transaksi elektronik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, kemajuan yang
begitu dahsyat tersebut di satu sisi membawa berkat bagi kemanusiaan
tetapi di sisi yang lain juga dapat membawa mudarat bagi kemanusiaan.
Kemajuan di bidang informasi dan transaksi elektronik telah menempatkan
manusia dalam posisi yang makin paripurna dalam mengemban misi
kekhalifahan di muka bumi tetapi juga dapat berpotensi menggelincirkan
posisi kemanusiaan pada titik terendah ketika penggunaan informasi dan
transaksi elektronik dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab dengan
menyerang kehormatan dan nama baik orang lain. Apabila tumbuh berbagai
bentuk kejahatan tetapi tidak ada hukum yang mengatur dan bersifat
memaksa, maka kejahatan-kejahatan tersebut akan membunuh masyarakat
dimana kejahatan itu berada. Akan tetapi, membuat ketentuan hukum
terhadap bidang yang berubah dengan cepat sungguh bukan perkara yang
mudah, sehingga diperlukan perubahan paradigma model hukum responsif
seiring dengan dinamika perkembangan dan kemajuan dunia cyber.
Karakteristik aktivitas di dunia cyber yang bersifat lintas batas yang tidak
lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial dan hukum tradisional
memerlukan hukum responsif, sebab Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP
dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum
yang muncul akibat aktivitas di dunia maya.
Dalam laporan Freedom on The Net 2015, Indonesia menduduki
urutan ke-33 sebagai negara yang memiliki kebebasan mengakses Internet
dengan skor total 42. Metriks penilaian dihitung berdasarkan penilaian di
34
sektor metriks Obstacles to Access, Indonesia hanya mendapat 11 poin.
Faktor geografis, menjadi kendala utama yang membuat penyebaran internet
di Indonesia, belum sebanding dengan jumlah penduduk. Sementara dari
metriks Limits on Content, kebebasan yang bisa dirasakan konsumen di
Indonesia hanya mencapai 12 poin. Dari poin tersebut bisa dikatakan
pemerintah pemerintah yang diwakilkan Kominfo dianggap kurang berhasil
ketika memutuskan regulasi tentang konten yang dianggap “negatif”.
Kejadian ini mendapatkan perlawanan cukup keras dari masyarakat yang
menganggap bahwa upaya pemblokiran konten menutup ekspresi kebebasan,
serta keputusan ini dinilai dikeluarkan tanpa adanya proses legislatif.
Terakhir metriks Violations of User Rights, Indonesia memperoleh nilai 19
poin. Poin tersebut didapat lantaran, sekarang ini di Indonesia angka
tuntutan dan penahanan individu di bawah UU ITE meningkat, sehingga
kerap kali mengintimidasi dan membungkam kritik masyarakat. Dalam
laporan ini, masyarakat Indonesia dianggap sering menggunakan UU ITE
untuk kepentingan personal, dan menyalah artikan antara ruang pribadi dan
umum.
(https://dailysocial.id/post/kebebasan-akses-internet-di-indonesia-
duduki-peringkat-ke-33-di-dunia/)
Secara garis besar, laporan Freedom on The Net 2015 menunjukkan
rata-rata penurunan tingkat kebebasan akses Internet di dunia. Hal ini
dilatari pemerintah dari tiap negara yang memperluas pengawasan dan
memblokir segala tools yang ditengarai mampu melindungi privasi dari tiap
individu. Negara Islandia menduduki peringkat pertama sebagai negara
yang paling bebas berdasarkan skor terendah metriks penilaian dengan nilai
sebesar 6, sementara posisi terakhir diduduki oleh Tiongkok dengan skor 88.
Posisi Indonesia tak berbeda jauh dengan Singapura dan Malaysia yang
masing-masing menduduki posisi ke-32 dan 35.(https://dailysocial.id/post/
kebebasan-akses-internet-di-indonesia-duduki-peringkat-ke-33-di-dunia/)
Dengan demikian, rekonstruksi hukum tersebut tidak menghalanghalangi eksistensi akses terhadap teknologi informasi dan tetap menjadi
35
pelindung hak-hak konstitusional dan menjadi bagian pelaksanaan dari
semangat Pasal 28F UUD NRI 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".
Eksistensi
akses
terhadap
teknologi
informasi
sebagai
hak
konstitusional yang lahir dari semangat keterbukaan informasi global
seharusnya dibarengi pula dengan semangat untuk menegakan pilar-pilar
demokrasi berupa ketentuan terhadap kebebasan memperoleh, menyimpan,
mengelola dan menggunakan informasi melalui berbagai bentuk media
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28F UUD NRI 1945. Saat ini,
dunia internet telah menciptakan suatu komunitas tersendiri yang
memanfaatkan kecanggihan fitur-fitur yang ada di media online, dan hal ini
berkembang sejalan dengan nafas kebebasan yang menjadi pilar-pilar
demokrasi. Bukan hanya kebebasan berekspresi tetapi juga mekanisme
kontrol sosial lebih disemarakan melalui society participatory dengan
berbagai tulisan-tulisan yang dikenal dengan jurnalisme online. Pengalaman
demokrasi di negara-negara demokratis telah menunjukan bahwa demokrasi
hanya mungkin terjadi jika ada persaingan politik yang didukung oleh aliran
informasi yang bebas. Sehingga, inti dari pada demokratisasi adalah
kepercayaan membawa kepada keadaan yang lebih baik dan jauh
memuaskan. Jika rakyat tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai
persoalan-persoalan mereka, maka mayoritas dari mereka tidak saja tidak
dapat mengambil keputusan, bahkan ada yang membuat keputusan salah.
Tidak dapat dibayangkan, seorang yang beraktivitas di internet,
namun selalu harus mendapatkan persetujuan untuk berkomunikasi di
internet. Contoh kasus yang pernah terjadi yaitu di Indonesia mengenai
pencemaran nama baik di dunia maya. Pada kasus tersebut, dapat kita lihat
adanya opini yang secara subjektif dinilai oleh seseorang yang merasa
36
dirinya telah dihina atau dicemarkan nama baiknya, perlu dilihat materi
muatan yang dimaksud secara kritis dan komprehensif dari proses
demokrasi, apakah materi muatan tersebut berupa kritik atau memang
penyerangan nama baik seseorang. Seorang pejabat negara yang merasa
dirinya dicemarkan namanya berhak memiliki perlindungan melalui hukum,
namun penafsiran atas dugaan pencemaran nama baik juga secara fair perlu
diperjelas kedudukannya, apakah benar-benar memiliki delik pidana?
Sehingga seseorang yang sesungguhnya sedang ingin mencari, memperoleh
suatu berita harus juga dilindungi hak-hak keamanannya tanpa harus takuttakut mempertanyakan suatu perbuatan yang dianggap tidak patut atau
melanggar hukum dari seorang pejabat publik/tokoh masyarakat.
Dunia IT berbeda dengan dunia maya, bedanya adalah di dunia
internet informasinya dapat berubah-ubah setiap saat pada website
sedangkan dunia maya sifatnya tidak statis tetapi dinamis. Orang yang
mampu mengubah informasi yang sifatnya dinamis dalam suatu website
adalah orang yang mempunyai website sendiri. Membuat link itu adalah
tradisi atau kebiasaan dalam penyaluran informasi dalam dunia maya.
Biasanya orang yang membuat link ke website bukan sebagai pengendali
website di link atau di tag. Informasi dalam website tidak dibawah kendali
kontrol dari orang yang me-link-nya. Dan biasanya dalam website kadangkadang tidak dipersoalkan siapa pemiliknya, identitasnya siapa dan kadangkadang menggunakan identitas samaran, inilah yang biasa terjadi dalam
dunia maya. Contoh ada seorang namanya si Nona, memiliki website
bernama nona.com. Di dalam website tersebut ada link ke website lain
bernama abcd_e.com. Pada waktu masuk ke dalam website a abcd_e.com,
isinya berubah yang sebelumnya berisi informasi yang bagus-bagus, tetapi
tiba-tiba isi website abcd_e.com itu berubah, siapa yang merubah? Tentunya
yang merubah bukannya Nona, yang merubah adalah orang yang
mempunyai website tersebut. Informasinya dirubah menjadi penghinaan dan
caci maki.
37
Secara yuridis kegiatan pada ruang cyber selain harus didekati
dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional, harus pula melibatkan
langsung masyarakat pengguna internet (netter). Sebab jika hanya melalui
hukum saja yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos
dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang cyber adalah kegiatan
virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat
elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula
sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Meskipun aktivitas internet sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun
sesungguhnya masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di
dunia nyata (real/physical world). Oleh karenanya, sebagaimana halnya di
dunia nyata, aktivitas dan perilaku manusia di dunia maya (cyberspace) pun
tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan pembatasan oleh hukum.
Pengaturan dan pembatasan oleh hukum tersebut ditetapkan karena setiap
orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya serta dalam
pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaannya. Setiap orang hanya
dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan
orang lain. Pelaksanaan hak-hak baik di dunia nyata (real/physical world)
maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia maya
(cyberspace) berisiko mengganggu ketertiban dan keadilan dalam
masyarakat apabila tidak terdapat harmonisasi antara hukum dan teknologi
informasi. Harmonisasi yang dimaksud yaitu keberadaan pengaturan dan
pembatasan oleh hukum yang melindungi hak-hak masyarakat.
Dari penjelasan di atas, negara dihadapkan pada dua kepentingan
hukum yaitu antara melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan
pendapat dengan lisan dan tulisan, dan kebebasan berkomunikasi dan
memperoleh informasi sebagai hak-hak yang bersifat hak-hak konstitusional
(constitutional rights) warga negara, berhadapan dengan hak-hak dasar
(basic rights) akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik
38
orang lain. Dalam hal ini dunia cyber adalah sebuah konstruksi maya yang
diciptakan oleh komputer yang di dalamnya berisi data-data abstrak yang
berfungsi sebagai berikut: (1) aktualisasi diri; (2) wadah bertukar gagasan;
dan (3) sarana penguatan prinsip demokrasi. Manusia dapat masuk ke dalam
sistem data dan jaringan komputer tersebut kemudian mendapatkan suatu
perasaan bahwa mereka benar-benar telah memasuki suatu ruang yang tidak
memiliki keterikatan sama sekali dengan realitas-realitas fisik. Oleh karena
itu aktivitas-aktivitas di dunia cyber mempunyai karakter, yaitu: (1) mudah,
(2) penyebarannya sangat cepat dan meluas yang dapat diakses oleh
siapapun dan dimanapun, dan (3) dapat bersifat destruktif dari pemuatan
materi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan menggunakan
media elektronik sangat Iuar biasa karena memiliki corak viktimisasi yang
tidak terbatas. Dengan memahami hakekat dunia cyber beserta karakternya,
maka
diperlukan
pengaturan
tersendiri
untuk
mengakomodasi
perkembangan dan konvergensi teknologi informasi, yang dapat digunakan
sebagai sarana dalam melakukan kejahatan. Salah satu perbedaan antara
komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media
yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui internet
akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata.
Misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi
dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik yang juga
dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia
nyata.
Oleh karena itu, meskipun berat ringannya sanksi adalah wewenang
pembentuk undang-undang, namun meningkatnya kesadaran masyarakat
akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan bagi perlunya
peraturan dan penataan dari masyarakat dunia maya itu sendiri. Setiap
pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen)
sangat dimungkinkan berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan
mencemarkan nama baik pihak lain secara leluasa tanpa disertai data dan
39
informasi akurat. Jika demikian, potensi penyalahgunaan justru lebih besar
dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada
penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa
keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan
kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka,
serta hampir tanpa batas. Di sisi lain, hal ini dapat juga menimbulkan
dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma
agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia
maya. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam
berinteraksi secara cepat maka semakin tinggi pula tuntutan kehati-hatian
karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilainilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan
interaksi. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan
bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah
kebebasan yang bertanggung jawab.
Download