Value Chain Rumput Laut di Empat Daerah di Sulawesi Selatan

advertisement
Laporan Penelitian
Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di
Sulawesi Selatan
Prof. Dr. Syafiuddin Saleh, dkk
1.1. Pendahuluan
Rumput laut merupakan salah satu potensi Indonesia yang merupakan negara
maritim. Tahun 2011 produksi rumput laut Indonesia sekitar 4.3 juta ton. Data
menunjukkan produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah penyumbang terbesar
hasil produksi rumput laut Indonesia. Tahun 2014 produksi produksi rumput laut
Sulawesi Selatan 2,88 juta ton terdiri dari Cottoni 1,93 juta ton, Grasilaria 0,83 juta
ton dan spinosum sekitar 0,12 juta ton. Pada ke empat daerah yang diteliti, produksi
rumput laut Kabupaten Takalar 810.820,4 ton, Maros 15,5 ton, Pangkep 152,234,6
ton dan Barru 798 ton (BPS, 2014). Rumput laut produksi Sulawesi Selatan sebagian
besar di ekspor ke Philipina, China, Thaiwan, dan Hongkong. Pada tahun 2014 nilai
produksi rumput laut Sulsel mencapai Rp 3, 198 triliyun.
Besarnya potensi rumput laut sangat perlu dikembangkan sebagai sumber
pendapatan masyarakat pesisir. Tidak hanya penting bagi pendapatan dan
perekonomian daerah, rumput laut juga dapat menjadi sektor penghidupan
masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, budidaya rumput laut menjadi sumber
pendapatan utama selain dari menangkap ikan. Dari sisi kepastian, budidaya rumput
laut lebih baik dibandingkan dari hasil tangkapan ikan/melaut.
Namun demikian, usaha budidaya rumput laut oleh masyarakat masih
menemui banyak kendala. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan, mengingat padatnya aktivitas di wilayah pesisir
memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas
lingkungan. Kondisi ini dengan sendirinya akan memengaruhi usaha baik di bidang
perikanan tangkap maupun budi daya, termasuk rumput laut yang pada akhirnya
juga berdampak pada ekonomi masyarakat pesisir.
Persoalan lain yang muncul adalah hingga hari ini pembangunan sektor
perikanan masih belum ada hubungan fungsional diantara tingkatan dan pelaku
usaha. Pelaku pemasaran (sektor hilir) cenderung mementingkan diri sendiri dan
bersifat eksploitatif. Jaringan pasar hanya diikat dan dikoordinasi oleh mekanisme
pasar. Terdapat tiga masalah utama pada sisi pasar yaitu (1) rendahnya diversifikasi
komoditi baik bahan baku maupun bahan olahan; (2) rendahnya penguasaan
terhadap pasar yang disebabkan oleh kurangnya intelegensi, strategi dan promosi
pasar; (3) distorsi pasar yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme pasar dan
mendongkrak ongkos produksi. Distorsi pasar juga mengakibatkan harga komoditi
di bawah harga yang semestinya (under value), margin produksi jauh lebih kecil dari
margin pasar sehingga terjadi kecenderungan orang hanya berusaha di sektor
perdagangan.
Pemahaman atas rantai nilai (value chain) menjadi salah satu aspek penting
dimiliki semua pihak terutama petani rumput laut untuk menghadapi persoalan
pasar. Value chain merupakan semua kegiatan yang dilakukan dalam mengubah
bahan baku menjadi produk yang dijual dan dikonsumsi. Ini mencakup pengertian
bahwa ada nilai tambah pada setiap titik dalam rantai. Untuk itu perlu dilakukan
upaya analisis value chain untuk menilai semua kegiatan dan stakeholders serta
hubungannya dalam rantai pasok, dengan tujuan membantu untuk menengahi inefisiensi seperti variabilitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas
untuk beradaptasi dengan perubahan.
Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas maka suatu kajian value chain
untuk melihat hubungan antara pelaku pemasaran rumput laut perlu untuk
dilakukan. Dengan tersedianya gambaran yang jelas maka dapat dilakukan beberapa
upaya untuk memperbaiki sistem pemasaran sehingga dapat terjadi distribusi nilai
tambah yang lebih adil dalam pemasaran rumput laut bagi kelompok perempuan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya nilai tambah, distribusi
serta mengetahui pelaku usaha dan perannya di sepanjang rantai nilai.
Adanya kajian rantai nilai ini pada akhirnya dapat dijadikan alat intervensi
kebijakan pengembangan rantai nilai pada setiap aktor rantai nilai rumput laut.
Selain itu hasil kajian ini juga dapat dijadikan pijakan bagi intervensi
di level
kelompok. Dengan demikian kelompok petani rumput mampu berkembang dan
mendapat manfaat yang besar.
1.2. Persoalan Penelitian
1. Bagaimana peta rantai nilai komoditi rumput laut di lokasi terpilih?
2. Bagaimana distribusi margin pemasaran dan daya tawar aktor-aktor dalam
rantai nilai komoditi rumput laut?
3. Bagaimana peluang upgrading/capacity building pada nelayan rumput laut?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peta rantai nilai komoditi rumput laut.
2. Mengetahui distribusi margin pemasaran dan daya tawar yang diterima oleh
aktor-aktor rantai nilai komoditi rumput laut.
3. Mengetahui peluang upgrading/capacity building pada kelompok petani rumput
laut.
1.4. Output Kajian
Output dari kajian ini adalah:
1. Peta rantai komoditi rumput laut di lokasi kajian dan distribusi margin
pemasaran dan daya tawar dari masing-masing aktor-aktor rumput laut dengan
pendekatan/perspektif relasi kuasa (gender).
2. Rekomendasi strategi dan alternatif intervensi pengembangan kapasitas
kelompok perempuan tani rumput laut.
1.5 Manfaat Penelitian
Dengan mendiskripsikan profil rantai nilai rumput laut, kajian ini diharapkan
mampu memberikan masukan kepada para aktor rantai nilai tentang margin
keuntungan yang diterima dan daya tawar yang dimilikinya. Selain itu untuk
mengetahui aktor-aktor mana yang paling lemah dalam rantai nilai rumput laut,
yang dapat dilihat dari margin 4keuntungan yang diterima dibandingkan dengan
fungsinya. Manfaat lainnya adalah untuk memberikan informasi kepada Pemerintah
dan pihak-pihak yang terlibat dalam analisis rantai nilai rumput laut, agar kebijakankebijakannya dapat meningkatkan kesejahteraan aktor rantai nilai khususnya aktor
nelayan rumput laut, sehingga ada keseimbangan margin keuntungan yang diterima
masing-masing aktor rantai nilai komoditi rumput laut. Kajian ini juga dapat
dijadikan panduan dalam upaya penataan produksi sekaligus peningkatan kapasitas
kelompok tani rumput laut.
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana masalah peta
rantai komoditi dan distribusi margin pemasaran dan daya tawar dari masingmasing aktor-aktor rumput laut dengan pendekatan/perspektif relasi kuasa
(gender), baik yang terlibat dalam pembuatan kebijakan maupun pelaksanaan di
lapangan. Dengan pendekatan demikian diharapkan secara induktif akan terbentuk
interprestasi dan pemahaman makna rantai nilai rumput laut dan masalah yang
terkait di dalam rantai nilai tersebut. Untuk maksud itu pula, penelitian ini bertipikal
deskriptif: menggambarkan dan menjelaskan secara analitis mengapa dan
bagaimana pola-pola masalah terjadi.
1.6.2. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari Maret sampai April di lokasi
kajian yang merupakan lokasi di mana Oxfam berkegiatan dengan kelompok
perempuan petani rumput laut, yaitu Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru.
1.6.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer dari hasil wawancara dan Focus Group
Discusstion (FGD) dengan stakeholders rumput laut di lokasi kegiatan. Data sekunder
diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik Tingkat
Kabupaten dan tingkat Provinsi serta dari lembaga/ instansi lainnya. Selain itu data
sekunder juga diperoleh dari buku, jurnal serta publikasi terkait.
1.6.4. Metode Pengumpulan Data dan Pemilihan Responden/narasumber
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa
yaitu:
1) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung
terhadap latar dan objek penelitian.
2) Wawancara mendalam (In-depth interview), yaitu teknik dalam penelitian yang
dilakukan melalui wawancara mendalam kepada narasumber terpilih atau para
stakeholders usaha rumput laut di masing-masing lokasi.
3) Focus Group Discusstion (FGD) dengan stakeholders rumput laut di masingmasing lokasi, maupun stakeholders rumput laut di tingkat propinsi.
4) Metode dokumentasi merupakan proses pengabadian pola perilaku subjek dan
objek tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu yang diteliti
dengan bantuan peralatan mekanik seperti kamera dan foto.
5) Studi
Pustaka
yaitu
dengan
cara
mempelajari
literatur-literatur
yang
berhubungan dengan topik penelitian, antara lain buku, jurnal, laporan dari
lembaga-lembaga yang terkait dan bahan lainya yang berhubungan dengan
penelitian ini.
Penentuan narasumber dalam penelitian ini berdasar purposeful sampling, di
mana pemilihan sampel dilakukan berdasarkan jenis informasi atau pertimbangan
yang
sudah
ada/ditetapkan
kelompok/orang
yang
sebelumnya
memiliki
dan
kekhususan
adanya
tertentu
identifikasi
(terkait
atas
jabatan,
kepakaran/expert sampling, dan pengalaman dalam usaha rumput laut).
Namun di lapangan, sebagai bagian dari purposeful sampling dimungkinkan
dan bahkan didorong untuk pengembangan kategori/subjek narasumber lain
berdasarkan teknik snowbolling (berdasarkan keterkaitan informasi, rekomendasi
nama, dan seterusnya). Bertolak dari teknik tersebut, narasumber yang
diwawancarai merupakan stakeholders rumput laut yang terkait langsung dengan
rantai nilai rumput laut di masing-masing lokasi yakni petani, pedagang pengumpul
tingkat desa/kecamatan, pedagang besar, penyedia sarana produksi, penyuluh serta
Dinas Pertanian dan Perkebunan, Bappeda, BPS, dan lain-lain, baik tingkat
kabupaten maupun tingkat propinsi.
1.6.5. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni dengan metode
analisis rantai nilai perspektif relasi kuasa (gender). Porter (2001), mendefinisikan
Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis) sebagai alat untuk memahami rantai nilai
yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktifitas-aktifitas yang
dilakukan, mulai dari bahan baku dari pemasok hingga produk akhir sampai ke
tangan konsumen, termasuk juga pelayanan purna jual.
Tujuan dari analisis rantai nilai adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap
rantai nilai dimana pelaku rantai nilai dapat meningkatkan nilai produk untuk
konsumen atau menurunkan biaya dan mengefisienkan kerja. Penurunan biaya atau
peningkatan nilai tambah (value added) dapat membuat suatu usaha atau industri
lebih kompetitif. Dalam analisa rantai nilai, terdapat dua aktivitas bisnis, yakni
aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities).
Aktivitas utama adalah semua aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan
penambahan nilai terhadap masukan-masukan dan mentransformasikannya menjadi
produk yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Teori Porter ini akan diintegrasikan dengan pendekatan relasi kuasa (gender)
pada setiap tahapan dan variablenya sehingga menghasilkan analisis yang dapat
mengetahui aspek pemberdayaan, partisipasi, akses dan dampaknya terhadap relasi
kuasa (gender) tersebut.
Pada penelitian ini juga dapat dilakukan SWOT analysis untuk mengetahui
peluang upgrading/capacity building pada kelompok petani rumput laut. Menurut
Wikipedia, analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris dari kekuatan/strengths,
kelemahan/weaknesses, kesempatan/opportunities, dan ancaman/threats) adalah
metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam suatu proyek. Proses ini melibatkan
penentuan tujuan yang spesifik dan mengidentifikasikan faktor internal dan
eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan analisis rantai
nilai rumput laut.
II. Aktivitas antar Pelaku pada Proses Budidaya dan
Pemasaran Rumput laut
2.1 Kondisi Umum di Tingkat Petani Rumput Laut
2.1.1 Kabupaten Takalar
1) Aspek Budidaya
Budidaya rumput laut di Takalar berpusat di Kecamatan Mangarabombang (Marbo).
Ada empat desa yang diobservasi antara lain; Desa Cikoang, Desa Pattoppakkang,
Desa Punaga dan Desa Laikang. Dari empat desa tersebut, rupanya hanya desa
Punaga dan Desa Laikang yang masyarakatnya memang secara massif bekerja
sebagai petani rumput laut. Sementara Desa Pattoppakang dan Desa Laikang, tidak
ditemui adanya petani budidaya rumput laut.
Informasi dari warga di Cekoang, alasan utama mereka tidak melakukan
budidaya karena kondisi pesisir pantai yang tidak cocok untuk budidaya. Meskipun
demikian, Desa Cekoang menjadi pusat penjualan alat-alat yang dibutuhkan petani
seperti tali, dan lain-lain. Hal berbeda dapat terlihat di desa Pattoppakkang. Jarak
pemukiman warga dengan garis pantai yang berjauhan membuat warga
Pattoppakkang tidak bisa secara penuh terlibat dalam budidaya. Meski demikian,
ada sejumlah warga Pattoppakkang yang juga bertani rumput laut, tetapi memakai
lokasi Desa Laikang.
Perkembangan rumput laut memang hanya berkembang massif di dua desa
yakni Desa Punaga dan Desa Laikang. Di Desa Laikang dan Punaga, mayoritas
warga-nya bekerja sebagai petani rumput laut. Umumnya, petani (produsen)
rumput laut di Laikang membudidayakan dua jenis bibit yakni Katonik (e-cottoni)
dan SP (e-spinosum). Umumnya petani di Laikang dan di Punaga membudidaya dua
jenis bibit sekaligus dalam satu periode tanam. Skalanya bervariasi, ada yang lebih
banyak menanam Katonik, begitu pun sebaliknya. Cai Daeng Sarro (38), misalnya
membudidaya SP dan Katonik sekaligus, walau ia mengaku lebih banyak
bentangannya jenis Katonik. Alasannya, karena harganya yang lebih mahal, lagi pula
tersedia bibit yang ia hasilkan sendiri. Cai Daeng Sarro mengaku membudidaya SP
lebih banyak hanya saat musim panas, karena pada masa kemarau, bibit jenis
Katonik harus ia Beli dari Bantaeng atau Jeneponto.
Namun, tidak jarang ada petani yang khusus menanam jenis Spinosum.
Kebanyakan petani yang menanam jenis Spinosum adalah petani yang sudah
bergelut puluhan tahun, seperti pengakuan Daeng Mutta (55 tahun), seorang petani
di Punaga. Selain karena alasan terbiasa menanam jenis itu sejak lama, alasan
lainnya adalah perawatannya yang relatif lebih mudah, serta ketersediaan bibit
yang mudah.
Menurut Daeng Mutta, walau harga Spinosum lebih murah, namun ia hanya
membudidaya jenis ini saja karena ia tidak perlu lagi mengeluarkan modal untuk
bibit. Sebagaimana pengakuan Cai Daeng Sarro, faktor cuaca memang menjadi
variabel utama yang mempengaruhi pilihan petani dalam menentukan bibit. Daeng
Taba (30) petani di Laikang, mengaku menanam jenis SP bila musim kemarau, dan
menanam Katonik di musim hujan. Pengakuan yang sama juga dikatakan petani
lainnya seperti Sudirman (24) di Puntondo maupun Ical Daeng Roa (29) di Punaga.
2) Ketersediaan bibit.
Umumnya bibit tersedia, terutama pada musim hujan. Namun, tidak semua petani
dapat menghasilkan bibit sendiri. Daeng Taba di Laikang misalnya mengaku masih
membeli bibit khususnya jenis Katonik. Hal yang sama dikatakan petani di Laikang
bernama Daeng Sitaba (48). Daeng Sitaba mengaku kadang-kadang membibit, tapi
bila tidak berhasil maka terpaksa ia harus membeli di petani sekitar Punaga dan
Laikang.
Sementara Daeng Lewa (40) petani di Malelaya Punaga mengaku mengolah
pembibitan sendiri. Ia mengaku hanya membeli bibit 7 tahun lalu di Puntondo,
setelah itu ia membibit sendiri karena jumlah bentangannya yang cukup banyak
yakni sekitar 700 bentangan. Hal yang sama dilakukan Cai Daeng Sarro di Laikang
yang mengaku sudah menghasilkan bibit sendiri untuk budidayanya sekitar 500-an
bentangan. Ada kecenderungan, petani dengan bentangan yang banyak relatif
melakukan pembibitan sendiri, sementara petani dengan bentangan sedikit masih
harus membeli bibit.
Prinsipnya, bila musim kemarau bibit di Punaga dan Laikang terbatas,
sehingga harus membeli bibit. Harga bibit di Punaga dan Laikang antara Rp.3000
hingga Rp.3500 per kg. Harga bibit di Laikang sedikit lebih mahal berdasarkan
pengakuan Cai Daeng Sarro, Daeng Taba, Daeng Boko maupun Daeng Sitaba yakni
Rp.3500 per kg. Sementara Petani di Punaga hanya membeli bibit seharga Rp. 3000
per kg (sebagaimana pengakuan Daeng Ta’le, Ical Daeng Roa, Sampara, maupun
Daeng Mutta). Mengenai jumlah bentangan petani, umumnya di dua desa (Punaga
dan Laikang), mempunyai jumlah bentangan yang cukup banyak yakni rata-rata
antara 300 sampai 1000 bentangan. Setiap bentangan rata-rata memakai bibit
antara 5 kg sampai 10 kg, dengan panjang bentangan yang bervariasi antara 20
meter hingga 30 meter.
3) Permodalan
Umumnya, petani rumput laut di Punaga dan Laikang menggunakan modal
pinjaman. Dari semua responden yang sempat ditemui, hanya ada beberapa orang
saja yang mengaku memakai modal sendiri antara lain; Daeng Sitaba di Laikang
yang memakai modal sendiri. Sebagai catatan, Daeng Sitaba hanya memiliki sekitar
200 bentangan. Dan ia mengaku berbudidaya rumput laut sekedar sebagai
pekerjaan sambilan dan tambahan pendapatan saja, sebab pekerjaan sebenarnya
adalah seorang PNS alias guru di sebuah Sekolah Dasar di laikang.
Pengakuan lainnya dari Ical Daeng Roa dan Sampara Daeng Nai di Desa
Punaga. Keduanya menggunakan modal sendiri. Ical Daeng Roa misalnya mengaku
memiliki modal sendiri dari hasil keringatnya bertahun-tahun menjadi TKI di
Malaysia. Sementara Sampara Daeng Nai, memiliki modal dari keuletannya
bertahun-tahun menjadi petani rumput laut. Sampara Daeng Nai adalah salah satu
dari beberapa orang yang jumlah lahan dan bentangannya paling luas di Punaga.
Secara umum, rata-rata petani di Punaga dan Laikang menggunakan modal
pinjaman yang berasal dari pedagang pengumpul (istilah petani: BOSS-nya). Hanya
ada sedikit saja petani yang menggunakan modal sendiri (berdasarkan pengakuan
semua responden di Punaga dan Laikang).
Pinjaman sangat dibutuhkan petani untuk modal peralatan budidaya
maupun upah pekerja. Berdasarkan pengakuan semua responden, pinjaman yang
didapatkan dari pedagang pengumpul tersebut tidak berbunga. Jadi, berapa pun
yang dipinjam, maka sebanyak itupula yang dikembalikan. Hanya saja ada aturan
khusus yang diberlakukan secara informal atau melalui konsensus lisan saja yakni
petani yang meminjam harus menjual produksinya ke pedagang bersangkutan.
Selisih harga pasar di lokasi biasanya sekitar Rp.1000 per kg. Namun,
pedagang (sebagaimana pengakuan H. Siriwa di Laikang dan H. Nasir di Punaga)
tidak pernah menekan harga. Jadi, kalau harga naik, otomatis dinaikkan pula
harganya di petani, namun tetap dengan selisih sekitar Rp. 1000 per kg. Sebagai
catatan, selain meminjam dari pedagang pengumpul, ada pula petani yang
meminjam uang dari Bank utamanya mereka yang jumlah bentangannya banyak
(sebagaimana pengakuan Cai Daeng Sarro).
4) Tenaga dan Lahan
Hampir semua petani di Punaga dan Laikang menggunakan tenaga kerja
paling banyak pada saat pembibitan. Rata-rata pekerjanya adalah kaum perempuan.
Sementara pada periode penanaman, pemeliharaan, dan masa panen, hanya
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan akan dilibatkan kembali pada saat pasca penen
yakni saat penjemuran. Pekerja mereka diambil dari keluarga sendiri. Upah ratarata pekerja bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 20.000 hingga
Rp.50.000. Kalau khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan
pekerja digaji antara Rp. 1000 hingga Rp. 1500 per bentangan.
Mengenai lahan budidaya, semua petani di Punaga dan Laikang memakai
lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya bentangan bervariasi, tapi bila
dirata-ratakan antara 300-1000 bentangan.
Pola penentuan lokasi atau lahan
sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa mengklaim lokasi sepanjang tidak ada
orang yang menggarap sebelumnya. Walau begitu, konflik lahan dengan skala kecil
sering terjadi namun dengan intensitas rendah. Menurut Daeng Taba di Laikang,
konflik lahan jarang terjadi tapi sejauh pengalamannya, kejadian ribut-ribut
memang pernah terjadi. Tapi, bisa diselesaikan oleh warga sendiri. Pengalaman
yang sama dikatakan Daeng Sitaba, menurutnya konflik yang terjadi tidak besar dan
biasanya hanya diselesaikan di tingkat desa. Jadi, belum pernah ada konflik yang
sampai ke tingkat polisi.
Hal berbeda dikatakan Ical Daeng Roa dan Sampara Daeng Nai di Punaga,
menurutnya, di sekitar wilayahnya belum pernah ada ribut-ribut masalah lahan.
Alasannya, hampir semua petani di sekitar wilayahnya masih ada hubungan
keluarga dekat. Jadi, tidak ada yang berani saling mengganggu satu sama lain.
5) Alat-alat budidaya dan pemeliharaan
Alat-alat yang digunakan para petani umumnya sama antara lain; tali ris, plampung,
sampan, para-para, rang. Waring, tenda, linggis, bambu, dll. Bila akan membeli tali
dengan jumlah yang banyak, maka petani di Punaga dan Laikang membelinya di
Makassar atau di Kota Takalar. Namun, bila membeli tali yang jumlahnya sedikit,
mereka membelinya di Cekoang saja atau beberapa penjual di desa masing-masing.
Perbedaan harga tali bila beli di Makassar atau di Takalar Kota sekitar
Rp.3000 sampai 5000 per roll. Untuk 1 roll tali biasanya dapat antara 3 sampai 7
bentangan tergantung panjang bentangannya. Umumnya bentangan bisa dipakai
bertahun-tahun bahkan antara 5 sampai 10 tahunan. Rata-rata petani hanya
mengeluhkan plampung, karena setiap saat harus menggantinya. Apalagi kalau arus
gelombang laut tinggi. Untuk investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1
hingga 2 kali panen untuk mengembalikan modalnya.
Dalam hal pemeliharaan, hampir semua petani di Punaga dan Laikang hanya
mengeluhkan plampung. Ada hama biasanya, sebagian warga menyebutnya “nana
putih” (rumput laut hancur putih). Hama seperti ini umumnya menyerang di musim
panas. Selain itu, petani juga banyak mengeluhkan kotoran seperti lumut yang
kadang menempel di rumput laut.
Pengalaman menarik diutarakan Daeng Lewa, Ical Daeng Roa, dan Sampara
Daeng Nai di Desa Punaga—mereka mengeluhkan adanya penyelam di sekitar
lokasi budidaya yang menggunakan bius berzat kimia. Menurut mereka, bius
penyelam tersebut dapat menghancurkan budidaya mereka. Oleh sebab itu, warga
di Punaga selalu berjaga-jaga dari penyelam ilegal yang katanya bukan warga
setempat. Warga mengaku seringkali mengusir paksa para penyelam tersebut.
Dalam hal pemeliharaan rumput laut, perempuan belum dilibatkan sama sekali.
6) Panen, Pasca Panen, Produksi dan Harga Jual
Dalam hal budidaya, petani di Laikang dan Punaga umumnya menggunakan
waktu sekitar 40-45 hari. Pada saat panen, petani dengan jumlah bentangan di atas
500-an biasanya menggunakan 1 tambahan tenaga kerja laki-laki, untuk
mengangkat rumput laut ke lokasi penjemuran.Dari observasi di dua desa, belum
seluruhnya petani menggunakan para-para dalam penjemuran. Sebagian besar
masih menggunakan rang, kecuali petani yang ada di Dusun Puntondo Laikang yang
sudah ramai memakai para-para.
Proses penjemuran berlangsung selama 3 hari bila panas terik, namun bila
cuaca mendung bisa sampai 7 hari. Tidak semua petani melakukan pensortiran saat
penjemuran. Rata-rata menjemur begitu saja. Soal kotoran yang menempel, masih
ada petani yang tidak membersihkannya. Daeng Lewa dan Daeng Ta’le di Desa
Punaga mengaku tidak membersihkan rumput lautnya. Alasannya karena produk
mau kotor atau bersih tetap juga dibeli oleh pedagang pengumpul.
Meski
demikian,
beberapa
petani
utamanya
di
Laikang
sangat
memperhatikan kebersihan produknya. Hal ini dikatakan oleh Cai Daeng Sarro,
Daeng Taba, Daeng Sitaba, maupun Daeng Boko—mereka mengaku membersihkan
rumput laut dari kotoran, bahkan seringkali menyewa lagi tenaga kerja untuk
pembersihan. Alasanya, agar produk disukai oleh pedagang karena kualitasnya
terjaga.
Pengalaman bertani rumput laut yang sudah puluhan tahun membuat petani
di Laikang dan Punaga, rata-rata sudah memahami soal kadar air bagaimana
rumput laut yang bersih. Pengetahuan itu, selain karena pengalaman juga karena
informasi dari pedagang pengumpul.
Pada setiap panen jumlah produksi petani bervariasi tergantung jumlah
bentangannya. Sudirman di Laikang misalnya untuk 400 bentangan, ia bisa
memproduksi sekitar 1 ton, tapi bila pertumbuhan sedikit gagal, paling tidak sudah
bisa menghasilkan sekitar 500 kg kering. Daeng Boko di Laikang misalnya bisa
memproduksi hingga 1.5 ton untuk 700 bentangan.
Setiap kali panen, petani umumnya tidak menjual sekaligus produksinya.
Seringkali mereka menyimpan. Namun, bila kondisi keuangan mereka kurang bagus,
berapa pun harganya (sekali pun murah), petani tetap menjual produknya. Apalagi
kalau sudah harus membayar utang atau ada kebutuhan mendadak.
Semua petani di Laikang dan Punaga tidak memiliki pengalaman menjual
langsung produksinya ke parbrik atau eksportir. Agaknya, mereka memang tidak
memiliki minset untuk hal itu. Semua petani akan menjual produknya ke pedagang
yang memodalinya, walau dengan konsekuensi harga yang lebih murah dengan
selisih Rp 1000 per kg.
Meski jumlah rumput laut yang begitu massif di Laikang dan Punaga, warga
belum memiliki minat untuk pengolahan rumput laut untuk jadi bahan makanan.
Belum adanya pelatihan khusus menjadi penyebabnya. Sebagian Warga mengaku
memang pernah membuat keripik rumput laut karena diajari oleh mahasiswa KKN,
tapi itu tidak berlanjut. Umumnya, petani tidak atau belum berpikir ke arah sana—
mereka benar-benar fokus pada budidaya saja.
7) Masalah yang dihadapi.
Umumnya, petani mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan
tidak stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak.
Namun, petani tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak
memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.
2.1.2 Kabupaten Maros
1) Aspek Budidaya
Berbeda halnya dengan kondisi petani di Takalar, di Maros budidaya rumput
laut masih tergolong baru yakni sekitar 2 tahunan. Lokasi penelitian di Dusun
Sampara Desa Ampekale. Awalnya, warga di sana berasumsi bahwa rumput laut di
lokasinya tidak bisa dikembangkan. Jadi, petani lebih fokus pada hasil laut lainnya
terutama kepiting.
Namun masuknya Oxfam yang memberi pemahaman mendorong warga
untuk mencobanya. Adalah seorang yang bernama Rusman yang mempelopori
budidaya rumput laut di Sangkara. Berkat kerja kerasnya, di awal penanamannya,
Rusman cukup sukses mendapatkan keuntungan. Walhasil, ada sejumlah warga
yang mengikutinya. Di lokasi terdapat sekitar sepuluh rumah tangga yang mecob
membudidayakan rumput laut namum semikian sebagian diantara mereka masih
dalam jumlah kecil.
2) Ketersediaan Bibit
Pada awal budidaya, warga membeli bibit dari Takalar. Lalu, tahun kedua
dari Bone, dan sekarang sudah melakukan pembibitan sendiri. Pada saat membeli
bibit, harganya sekitar Rp. 3000 per kg. Karena tergolong masih baru, petani di
Dusun Sampara Maros rata-rata masih menggunakan bibit yang lebih sedikit dari
Takalar. Rusman misalnya sebagai pelopor dan petani yang paling banyak
bentangannya, masih menggunakan bibit sekitar 600 kg untuk 250 bentangan.
Dalam hal pembibitan, pihak perempuan paling banyak terlibat di Maros
bahkan sudah pernah dibuatkan kelompoknya. Dalam satu bentangan, pekerja
perempuan mendapatkan sekitar Rp. 3500 per bentangan. Walau masih baru,
ketersediaan bibit di Sangkara mulai stabil, bahkan ada keinginan masyarakat untuk
fokus melakukan pembibitan karena bisa mendapatkan hasil secara cepat, dan
tanpa ada proses yang memakan tenaga dan modal besar. Rusman misalnya sudah
melakukan kontrak dengan Dinas Perikanan setempat untuk proyek pembibitan.
3) Permodalan dan tenaga Kerja
Menariknya, rata-rata petani rumput laut di Maros yang jumlahnya memang
masih sekitar 20-an orang, menggunakan modal sendiri. Belum ada yang meminjam
atau tersandera oleh pedagang tertentu. Oleh sebab itu, para petani di Maros bebas
menjual produknya kemana pun. Belum ada pedagang di tingkat desa. Para petani
langsung menjual produknya ke Pangkep. Untuk tenaga kerja, petani di Maros
banyak menggunakan tenaga perempuan dalam pembibitan.
Dalam satu periode dibutuhkan sekitar 7 orang dalam pembibitan, dan
masing-masing 1 orang pada periode penanaman, pemeliharaan dan panen. Pada
pasca panen, petani biasanya menggunakan tenaga kerja untuk penjemuran. Semua
tenaga kerja yang ikut berpartisipasi berasal dari keluarga mereka sendiri.
4) Lahan dan alat-alat budidaya
Yang sangat menarik di Maros adalah karena masih tersedianya lahan yang
cukup luas untuk budidaya. Hal ini disebabkan oleh belum terlampau banyaknya
warga yang berbudidaya. Jadi, warga masih bebas memilih lahan mana yang akan
dipakainya bila ingin memulai. Karena itu pula, di Dusun Sangkara belum pernah
sekalipun terjadi ribut atau konflik antar petani. Warga dengan luas lahan paling
banyak adalah Rusman, warga lainnya rata-rata masih 50 hingga 200 bentangan
saja.
Soal peralatan, petani memakai alat-alat yang umumnya digunakan seperti
tali ris, plampung, sampan, para-para, waring dll. Petani membeli tali di Makassar
atau di Pangkep bila untuk jumlah besar. Sedangkan untuk jumlah sedikit, petani
hanya membeli di lokasi dengan selisih harga yang cukup besar sekitar Rp. 10.000
per roll. Untuk 1 roll bisa untuk 7 bentangan yang panjangnya sekitar 25 meter. Tali
digunakan cukup lama sampai tahunan. Alat yang paling sering diganti adalah
plampung dan cincin yang dipakai ditali. Untuk investasi alat, modal petani sudah
bisa kembali dalam satu kali panen saja.
5) Pemeliharaan, panen dan pasca panen
Yang paling diperhatikan saat pemeliharaan adalah kotoran yang menempel.
Untuk pemeliharaan, petani masih menggunakan tenaga kerja laki-laki. Soal
penyakit atau hama, sejauh ini petani di Maros belum pernah mengeluhkannya.
Untuk
mengantisipasi
banyaknya
kotoran
yang
menempel,
petani
membiasakan melakukan pengecekan berkala. Dalam hal pemeliharaan tersebut,
perempuan belum pernah dilibatkan. Pemeliharaan rumput laut menggunakan
waktu sekitar 40 hari. Pada saat panen biasanya menggunakan tenaga kerja
tambahan dalam hal penjemuran. Proses penjemuran sendiri berlangsung selama 3
hari. Pada saat penjemuran, rumput laut disortir terlebih dahulu. Lalu diambil
kotoran yang menempel. Petani mengetahui cara produksi rumput laut tersebut
dari penyuluhan oleh Oxfam.
6) Produksi, harga jual
Pada setiap panen Rusman misalnya memproduksi sekitar 500 kg untuk 250
bentangan. Kondisinya kering patah kadar 35. Yang menarik di Maros adalah semua
petani tidak pernah menyimpan hasil produksinya setiap kali periode penanaman,
jadi begitu selesai produksi langsung dijual tanpa peduli harga naik atau turun.
Adanya penyuluhan dari Oxfam sangat membantu petani dalam hal produksi
rumput laut. Harga jual untuk Katonik Rp. 8500 per kg dan langsung dijual ke
Pedagang besar di Pangkep. Selain itu, ibu-ibu di Pangkep sudah memahami cara
pengolahan rumput laut menjadi dodol, sirup, gula-gula bahkan bakso rumput laut.
Hanya saja pengolahan rumput laut di Maros belum dikembangkan, karena warga
sekitar masih fokus pada pengolahan kepiting yang dibawah dampingan Oxfam.
7) Masalah yang dihadapi
Mengenai harga, menurut petani belum terlalu masalah karena masih baru.
tapi, mereka berharap harganya bisa naik. Namun, bila dibandingkan dengan di
Takalar, petani di Maros masih lebih beruntung bisa menjual produknya dengan
harga yang lebih mahal, mungkin karena belum ada rantai pasar yang bertingkat.
2.1.3 Kabupaten Pangkep
1) Budidaya
Aktifitas terkait rumput laut di Kabupaten Pangkep dapat dilihat dari
beberapa tahap yaitu pra produksi, produksi, distribusi, pengolahan dan konsumen
akhir. Pada tahap pra produksi, komoditas rumput laut di Kabupaten Pangkep
memerlukan benih dan saprokan untuk membantu produksi rumput laut. Benih
rumput laut berasal dari dari Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru, kabupaten
Bone, Kabupaten Bantaeng dan Takalar. Sarana produksi rumput laut (Saprokan)
didapatkan pembudidaya dari Kecamatan Mandalle, Kecamatan Ma’rang dan
Makassar. Saprokan tersebut diantaranya tali tambang dan tali ris untuk mengikat
rumput laut.
Pembudidaya rumput laut yang ada di Kabupaten Pangkep tersebar di
Kecamatan Ma’rang, dan Kecamatan Mandalle dengan rata-rata luas lahan yang
dimiliki 0,5-1 Ha. Budidaya rumput laut yang dilakukan di Kabupaten Pangkep ini
menggunakan teknologi longline yaitu pembudidayaan rumput laut di kolom air
(eupotik) dekat permukaan perairan laut dengan menggunakan tali yang
dibentangkan dari satu titik ke titik lain dengan panjang 25 – 30 m, dalam bentuk
terangkai berbentuk segi empat dengan bantuan pelampung dan jangkar.
Perkembangan rumput laut memang hanya berkembang pesat di tiga desa
yaitu Desa Pitusunggu Kecamatan Ma’rang, Desa Tamarrupa serta desa Boddie
Kecamatan Mandalle. Di desa Pitusunggu mayoritas warga-nya bekerja sebagai
petani rumput laut. Umumnya, petani (produsen) rumput laut di kabupaten
Pangkep membudidayakan satu jenis bibit yakni ( Eucheuma cottoni).
2) Ketersediaan bibit
Semua petani rumput laut membudidayakan Echeuma cottonii, karena petani
yang diketahui
cara budidayanya adalah Cottonii masa, sehingga di Januari –
Pebruari bibit susah didapat karena ombak yang besar, menurut Tadarrus Dg Niga
(40 Tahun) desa Pitusunggu. Sedangkan menurut Hamid (40 tahun) bibit susah
didapat, karena ombak yang besar pada bulan Nopember - Pebruari
di desa
Tamangapa, lain halnya dengan desa Tamarrupa dan Boddie Mading (43 tahun)
dan Anwar (44 tahun) bibit susah karena ombak yang besar pada bulan Maret –
April.
Umumnya bibit tersedia, pada musim tertentu sesuai kondisi daerahnya.
Awalnya petani membeli bibit untuk dijadikan bibit kembali. Hj. Hapsa (45) petani
di Pitusunggu mengaku mengolah pembibitan sendiri. Ia mengaku hanya membeli
bibit waktu awal mulai budidaya rumput laut di Wajo, setelah itu ia membibit
sendiri karena jumlah bentangannya yang cukup banyak yakni sekitar 700
bentangan. Sama halnya dengan Daeng Limpa (40 tahun) di Tamanggapa yang
mengaku menyediakan bibit sendiri untuk budidayanya sekitar 700 bentangan. Ada
kecenderungan, petani dengan bentangan yang banyak relatif melakukan
pembibitan sendiri, sementara petani dengan bentangan sedikit masih harus
membeli bibit.
Pada prinsipnya, bibit di Pitusunggu, Tamanggapa, Tamarrupa dan Boddie
terbatas di waktu tertentu atau di musim sesuai kondisi daerahnya masing-masing,
sehingga harus membeli bibit. Harga bibit di Pitusunggu, Tamarrupa, Tamanggapa
dan Boddie antara Rp.3.000 hingga Rp.4.000 per kg. Sedangkan mengenai
bentangan, petani umumnya di desa Pitusunggu mempunyai jumlah bentangan
yang cukup banyak yakni rata-rata antara 500 sampai 1.200 bentangan. Setiap
bentangan rata-rata memakai bibit antara 5 kg sampai 7 kg, dengan panjang
bentangan yang bervariasi antara 20 meter hingga 25 meter. Sedangkan di desa
Tamanggapa petani umumnya mempunyai jumlah bentangan agak kurang yakni
rata-rata 200 – 600 bentangan, dengan bibit setiap bentangan antara 4 – 7 kg,
panjang bentangan 15 – 25 meter.
Desa Tamarrupa dan Boddie mempunyai
bentangan rata-rata 300 – 1000, dengan panjang bentangan 20 – 25 meter.
3) Permodalan
Umumnya, petani rumput laut di empat Desa dan menggunakan modal
pinjaman. Dari semua responden yang sempat ditemui, hanya ada beberapa orang
saja yang mengaku memakai modal sendiri antara lain; Halwiah di Pitusunggu yang
memakai modal sendiri. Hamid (40 tahun) desa Tamangapa, Hamza (38 Tahun)
desa Tamarrupa, Hamka dan Nurdin keduanya dari desa Boddie menggunakan
modal sendiri. Rata –rata memulai usaha budidaya rumput laut dengan bentangan
yang sedikit sehingga modal yang digunakan juga sedikit, dan sekarang sudah
berkembang usahanya.
Secara umum, rata-rata petani di empat desa menggunakan modal pinjaman
yang berasal dari pedagang pengumpul. Hanya ada sebagian saja petani yang
menggunakan modal sendiri (berdasarkan pengakuan semua informan di empat
desa).
Pinjaman sangat dibutuhkan petani untuk modal peralatan budidaya
maupun upah pekerja. Berdasarkan pengakuan semua responden, pinjaman yang
didapatkan dari pedagang pengumpul tersebut tidak berbunga. Jadi, berapa pun
yang dipinjam, maka sebanyak itupula yang dikembalikan. Hanya saja ada aturan
khusus yang diberlakukan secara informal atau melalui konsensus lisan saja yakni
petani yang meminjam harus menjual produksinya ke pedagang bersangkutan.
Selisih harga pasar di lokasi tidak ada perbedaan.
4) Tenaga Kerja dan Lahan
Hampir semua petani di empat desa
menggunakan tenaga kerja paling
banyak pada saat pembibitan. Rata-rata pekerjanya adalah kaum perempuan.
Sementara pada periode penanaman, pemeliharaan, dan masa panen, hanya
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan akan dilibatkan kembali pada saat pasca penen
yakni saat penjemuran. Pekerja mereka diambil dari keluarga sendiri. Upah ratarata pekerja bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 30.000 hingga
Rp.50.000. Kalau khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan
pekerja digaji antara Rp. 2.500 hingga Rp. 3.000 per bentangan.
Mengenai lahan budidaya, semua petani di Pitusunggu, Tamanggapa,
Tamarrupa dan Boddie memakai lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya
bentangan bervariasi, tapi bila dirata-ratakan antara 250-1.200 bentangan. Pola
penentuan lokasi atau lahan sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa mengklaim
lokasi sepanjang tidak ada orang yang menggarap sebelumnya. Walau begitu,
konflik lahan dengan skala kecil sering terjadi namun dengan intensitas rendah.
Menurut petani kejadian ribut-ribut memang pernah terjadi. Tapi, bisa diselesaikan
oleh warga sendiri, menurutnya konflik yang terjadi biasanya hanya diselesaikan di
tingkat desa. Jadi, belum pernah ada konflik yang sampai ke tingkat polisi.
5) Alat-alat budidaya dan pemeliharaan
Alat-alat yang digunakan para petani umumnya sama antara lain; tali ris,
pelampung, sampan (perahu), para-para, rang. Waring, tenda, linggis, bambu, dll.
Bila akan membeli tali dengan jumlah yang banyak, maka petani membelinya di kota
Kecamatan. Perbedaan harga tali bila beli di Makassar sekitar Rp.5.000 – 10.000 per
roll. Untuk 1 roll tali biasanya dapat antara 3 sampai 7 bentangan tergantung
panjang bentangannya. Umumnya bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan
antara 5 sampai 10 tahunan.
Rata-rata petani hanya mengeluhkan plampung, dan tali pengikat karena
setiap saat harus menggantinya. Apalagi kalau arus gelombang laut tinggi. Untuk
investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1 hingga 3 kali panen untuk
mengembalikan modalnya.
Dalam hal pemeliharaan, hampir semua petani di empat desa hanya
mengeluhkan pelampung. Masalah hama biasanya, sebagian warga menyebutnya
“putih” (rumput laut hancur putih) dan ikan baronang yang memakan pucuk
rumput laut. Selain itu, petani juga banyak mengeluhkan kotoran seperti lumut,
tiram dan lumpur yang kadang menempel di rumput laut dan tali rumput laut.
Dalam hal pemeliharaan rumput laut, perempuan belum dilibatkan sama sekali.
6) Panen, Pasca Panen, Produksi dan Harga Jual
Dalam hal budidaya, petani di empat desa umumnya menggunakan waktu
sekitar 40-45 hari. Pada saat panen, petani dengan jumlah bentangan di atas 700-an
biasanya menggunakan 1 - 2 tambahan tenaga kerja laki-laki, untuk mengangkat
rumput laut ke lokasi penjemuran. Dari observasi di empat desa, belum seluruhnya
petani menggunakan para-para dalam penjemuran. Sebagian besar masih
menggunakan rang, kecuali petani yang ada di Desa Pitusunggu yang sudah ramai
memakai para-para.
Proses penjemuran berlangsung selama 3 hari bila panas terik, namun bila
cuaca mendung bisa sampai 7 hari. Tidak semua petani melakukan pensortiran saat
penjemuran. Rata-rata menjemur begitu saja. Soal kotoran yang menempel, masih
ada petani yang tidak membersihkannya. Petani mengaku tidak membersihkan
rumput lautnya. Alasannya karena pada saat rumput laut kering kotorannya
terpisah. Akan tetapi, beberapa petani utamanya Pitusunggu sangat memperhatikan
kebersihan produknya. Hal ini dikatakan oleh Limpa, Tadarrus Daeng Niga, Hj.
Hapsa, mereka mengaku membersihkan rumput laut dari kotoran, untuk menjaga
kualitas rumput lautnya. Pengalaman bertani rumput laut yang sudah puluhan
tahun membuat petani di empat desa, rata-rata sudah memahami soal tingkat
kering dan rumput laut yang bersih. Pengetahuan itu, selain karena pengalaman
juga karena informasi dari pedagang pengumpul.
Pada setiap panen jumlah produksi petani bervariasi tergantung jumlah
bentangannya. Hj. Hapsa di Pitusunggu misalnya untuk 200 bentangan, ia bisa
memproduksi sekitar 560 Kg kering, tapi bila pertumbuhan sedikit gagal, paling
tidak sudah bisa menghasilkan sekitar 300 kg kering. Lain halnya dengan Tadarrus
Daeng Niga dengan 1.000 bentangan, dia dapat 3 ton rumput laut kering. Setiap kali
panen, petani umumnya menjual sekaligus produksinya, berapa pun harganya
(sekali pun murah), petani tetap menjual produknya. Apalagi kalau sudah harus
membayar utang atau ada kebutuhan mendadak.
Semua petani di empat desa tidak memiliki pengalaman menjual langsung
produksinya ke parbrik atau eksportir.. Semua petani akan menjual produknya ke
pedagang yang memodalinya. Pengolahan rumput laut untuk jadi bahan makanan
biasa dilakukan oleh Ibu sesuai penuturan Ibu Kepala Desa pitusunggu, tapi
produknya masih di konsumsi sendiri belum di pasarkan secara meluas. Produk
yang biasa dihasilkan seperti Dodol, stik, kerupuk, serta sirup rumput laut. Kendala
yang dihadapi adalah kemasan serta pemasarannya.
7) Masalah yang dihadapi
Umumnya, petani mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan tidak
stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak.
Namun, petani tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak
memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.
2.1.4 Kabupaten Barru
1) Aspek Budidaya
Kawasan pesisir dan laut Kabupaten Barru secara administrasi mencakup 5
(lima) kecamatan masing-masing Kecamatan Mallusetasi, Kecamatan Soppeng Riaja,
Kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Rilau. Bentuk
morfologi kawasan pesisir yang memiliki garis pantai sepanjang 78 km secara
umum tergolong homogen yakni datar dan landai. Terdapat sekitar 5 (lima) pulau
yang secara administrasi berada dalam wilayah kewenangan Kabupaten Barru,
yaitu Pulau Puteanging, Pulau Pannikiang, Pulau Dutungeng, Pulau Bakki dan Pulau
Batukalasi.
Aktifitas masyarakat pada daerah pesisir tentunya akan mempengaruhi
kualitas air laut, akan tetapi di Kabupaten Barru aktifitas tersebut masih sebatas
tambak ikan dan udang, industri hatchery skala menengah dan industri
pengalengan hasil laut. Kegiatan budidaya rumput laut agak berkembang di
kecamatan Tanete Rilau yang terdiri dari dua Desa yakni Desa Lasitae dan Desa
Pancana, budidaya rumput laut sudah lama di lakukan oleh petani di desa tersebut
yang di beri bantuan serta di bina oleh Dinas Kelautan Perikanan Barru.
Namun demikian masuknya Oxfam yang memberi pembinaan dan bantuan
peralatan dalam budidaya rumput laut mendorong warga untuk mengembangkan
usahanya. Semua petani rumput laut membudidayakan Echeuma cottonii, karena
petani yang diketahui
cara budidayanya adalah Cottonii, sehingga di bulan
september november bibit susah didapat karena musim kemarau salinitas air laut
yang tinggi, menurut Diana (23 Tahun) desa Pancana. Sedangkan menurut Randi
Kasim (43 tahun), Saharuddin (43 tahun) bibit susah didapat karena musim
kemarau di desa Lasitae
2) Ketersediaan bibit.
Umumnya bibit tersedia, pada musim tertentu sesuai kondisi daerahnya.
Awalnya petani membeli bibit untuk dijadikan bibit kembali. Randi kasim (43
tahun) petani di desa Lasitae mengaku mengolah pembibitan sendiri. Ia mengaku
hanya membeli bibit waktu awal mulai budidaya rumput laut dari Takalar dan
Bantaeng, setelah itu ia membibit sendiri karena jumlah bentangannya yang cukup
banyak yakni sekitar 500 bentangan.
Sama halnya dengan Diana (23 tahun),
Saharuddin (43 tahun) di Pancana yang mengaku menyediakan bibit sendiri untuk
budidayanya sekitar 250 - 600 bentangan. Ada kecenderungan, petani dengan
bentangan yang banyak relatif melakukan pembibitan sendiri, sementara petani
dengan bentangan sedikit masih harus membeli bibit.
Pada prinsipnya, bibit di dua desa terbatas di waktu tertentu atau di musim
sesuai kondisi daerahnya, sehingga harus membeli bibit. Harga bibit di Pancana,
dan Lasitae antara Rp.2.500 hingga Rp.3.500 per kg. Sedangkan mengenai
bentangan, petani umumnya mempunyai jumlah bentangan yang cukup banyak
yakni rata-rata antara 250 sampai 600 bentangan. Setiap bentangan rata-rata
memakai bibit antara 5 kg sampai 7 kg, dengan panjang bentangan yang bervariasi
antara 20 meter hingga 25 meter.
Permodalan
Umumnya, petani rumput laut di Desa Pancana dan Lasitae menggunakan
modal sendiri. Dari semua responden yang sempat ditemui, hanya ada beberapa
orang saja yang mengaku memakai modal pinjaman antara lain; Randi Kasim di desa
Lasitae yang memakai modal pinjaman. Secara umum, rata-rata petani di dua desa
menggunakan modal sendiri, hanya ada sebagian saja petani yang menggunakan
modal pinjaman (berdasarkan pengakuan semua responden di dua desa). Pinjaman
sangat dibutuhkan petani untuk modal peralatan budidaya maupun upah pekerja.
Berdasarkan pengakuan responden, pinjaman yang didapatkan dari keluarga
tersebut tidak berbunga. Jadi, berapa pun yang dipinjam, maka sebanyak itupula
yang dikembalikan. Bahkan ada petani yang meminjam dari Bank yang.
3) Tenaga Kerja dan Lahan.
Hampir semua petani di dua desa menggunakan tenaga kerja paling banyak
pada saat pembibitan. Rata-rata pekerjanya adalah kaum perempuan. Sementara
pada periode penanaman, pemeliharaan, dan masa panen, hanya dilakukan oleh
laki-laki. Perempuan akan dilibatkan kembali pada saat pasca penen yakni saat
penjemuran. Pekerja mereka diambil dari keluarga sendiri. Upah rata-rata pekerja
bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 30.000 hingga Rp.40.000. Kalau
khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan pekerja digaji antara Rp.
3.500 hingga Rp. 4.000 per bentangan. Mengenai lahan budidaya, semua petani di
Pancana, dan Lasitae memakai lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya
bentangan bervariasi, tapi bila dirata-ratakan antara 250 - 600 bentangan.
Pola penentuan lokasi atau lahan sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa
mengklaim lokasi sepanjang tidak ada orang yang menggarap sebelumnya. Walau
begitu, konflik lahan dengan skala kecil sering terjadi namun dengan intensitas
rendah. Menurut petani kejadian ribut-ribut memang pernah terjadi. Tapi, bisa
diselesaikan oleh warga sendiri, menurutnya konflik yang terjadi biasanya hanya
diselesaikan di tingkat desa. Jadi, belum pernah ada konflik yang sampai ke tingkat
polisi.
4) Alat-alat budidaya dan pemeliharaan
Alat-alat yang digunakan para petani umumnya sama antara lain; tali ris,
plampung, sampan (perahu), para-para, rang. Waring, tenda, linggis, bambu, dll. Bila
akan membeli tali dengan jumlah yang banyak, maka petani membelinya di kota
Kecamatan. Perbedaan harga tali bila beli di Makassar sekitar Rp.5.000 – 10.000 per
roll. Untuk 1 roll tali biasanya dapat antara 3 sampai 7 bentangan tergantung
panjang bentangannya. Umumnya bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan
antara 5 sampai 10 tahunan. Rata-rata petani hanya mengeluhkan plampung, dan
tali pengikat karena setiap saat harus menggantinya. Apalagi kalau arus gelombang
laut tinggi. Untuk investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1 hingga 3 kali
panen untuk mengembalikan modalnya.
Dalam hal pemeliharaan, hampir semua petani di empat desa hanya
mengeluhkan plampung. Masalah hama biasanya, sebagian warga menyebutnya
“putih” (rumput laut hancur putih) dan ikan baronang yang memakan pucuk
rumput laut. Selain itu, petani juga banyak mengeluhkan kotoran seperti lumut,
tiram dan lumpur yang kadang menempel di rumput laut dan tali rumput laut.
Dalam hal pemeliharaan rumput laut, perempuan belum dilibatkan sama sekali.
5) Panen, Pasca Panen, Produksi dan Harga Jual
Dalam hal budidaya, petani di empat desa umumnya menggunakan waktu
sekitar 40-45 hari. Pada saat panen, petani dengan jumlah bentangan di atas 500-an
biasanya menggunakan 1 - 2 tambahan tenaga kerja laki-laki, untuk mengangkat
rumput laut ke lokasi penjemuran.
Dari observasi di empat desa, belum seluruhnya petani menggunakan parapara dalam penjemuran. Sebagian besar masih menggunakan waring. Proses
penjemuran berlangsung selama 3 hari bila panas terik, namun bila cuaca mendung
bisa sampai 7 hari. Tidak semua petani melakukan pensortiran saat penjemuran.
Rata-rata menjemur begitu saja. Soal kotoran yang menempel, masih ada petani
yang tidak membersihkannya. Petani
mengaku tidak membersihkan rumput
lautnya. Alasannya karena pada saat rumput laut kering kotorannya terpisah.
Pengalaman bertani rumput laut yang sudah tahunan membuat petani di
dua desa, rata-rata sudah memahami soal tingkat kering dan rumput laut yang
bersih. Pengetahuan itu, selain karena pengalaman juga karena informasi dari
pedagang pengumpul. Pada setiap panen jumlah produksi petani bervariasi
tergantung jumlah bentangannya. Diana
di Pancana
misalnya untuk 250
bentangan, ia bisa memproduksi sekitar 750 Kg kering, tapi bila pertumbuhan
sedikit gagal, paling tidak sudah bisa menghasilkan sekitar 400 kg kering. Lain
halnya dengan Saharuddin dengan 100 bentangan, dia dapat 400 Kg rumput laut
kering.
Setiap kali panen, petani umumnya menjual sekaligus produksinya, berapa
pun harganya (sekali pun murah), petani tetap menjual produknya. Apalagi kalau
sudah harus membayar utang atau ada kebutuhan mendadak. Semua petani di dua
desa tidak memiliki pengalaman menjual langsung produksinya ke pabrik atau
eksportir.
Pengolahan rumput laut untuk jadi bahan makanan biasa dilakukan oleh Ibuibu sesuai penuturan Diana Desa Pancana, tapi produknya masih di konsumsi
sendiri belum di pasarkan secara meluas. Produk yang biasa dihasilkan seperti
Dodol, stik, kerupuk, serta sirup rumput laut. Kendala yang dihadapi adalah
kemasan serta pemasarannya.
6) Masalah yang dihadapi
Umumnya, petani mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan
tidak stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak.
Namun, petani tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak
memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.
Kendala lainnya adalah di saat musim kemarau bulan september sampai november
rumput laut susah tumbuh dengan baik, petani di dua desa ini biasanya pada bulan
tersebut budidayanya di pindahkan ke dekat muara sungai pancana akan tetapi
masyarakat di sekitar lokasi tersebut tidak mengizinkan lagi yang bagi budidaya
rumput laut karena mata pencaharian masyarakat disekitar lokasi tersebut adalah
nelayan, masalah ini sudah di komunikasikan dengan kepala Desa setempat.
2.2 Kondisi Umum Pedagang Pengumpul Desa, Kecamatan dan Pedagang
besar
2.2.1 Kabupaten Takalar
Dalam observasi yang saya lakukan, pedagang di Takalar memiliki beberapa
tingkatan. Dari pedagang pengumpul terkecil paling bawah yang biasanya memodali
keluarga terdekatnya sendiri, lalu pedagang pengumpul di atasnya yang
memberinya modal, lalu pedagang besar yang tidak hanya memodali petani dan
pengumpul tetapi juga memiliki sumber daya lebih besar dalam hal infrastruktur
bisnis seperti gudang, modal lebih besar, maupun kendaraan pengangkut.
Pedagang pengumpul kecil langsung membeli rumput laut ke petani,
terutama pada petani yang dimodalinya. Thalib Daeng Sibali (45), pedagang kecil di
Punaga misalnya membeli produk petani seharga Rp. 7.000 untuk Katonik dan Rp.
5.000 untuk SP/spinosum. Barang yang ia kumpul kemudian ia jual kembali ke
pedagang besar seharga Rp. 8 500 untuk Katonik dan Rp. 6 000 untuk SP. Thalib
Daeng Sibali hanya menggunakan modal sendiri, ia mengaku hanya memodali 3
petani saja. Rumput laut yang dibelinya dijemur kembali sebelum dijual ke
pedagang besar. Setiap hari Thalib hanya menjemur sekitar 10-20 kg perhari, dan
setiap periode penjualan sekitar 500 kg. Selama berdagang, Thalib belum pernah
sekalipun menjual barangnya langsung ke pabrik atau eksportir besar.
Secara garis besarnya, pedagang besar di Punaga dikuasai oleh dua orang
yakni H. Nasir Daeng Tujuh dengan Ibu Mawar (istri Kepala Desa Punaga).
Keduanya, memiliki gudang besar dan petani binaan. H. Nasir misalnya memiliki 40
lebih petani yang dimodalinya, dan beberapa pedagang pengumpul. Menurut
pengakuan H. Nasir, ia membeli produk dengan harga yang berbeda antara petani
dan pedagang pengumpul. Ada selisih harga sekitar Rp. 500 bila beli dari pedagang,
dan Rp. 1000 bila dari petani. Walau begitu, ia mengaku tidak pernah menekan
harga sekalipun kepada petani.
H. Nasir melakukan prosesing kembali produk yang dibelinya dengan cara
penjemuran kembali untuk memenuhi standar permintaan eksportir. Dalam setiap
1 karung sekitar 100 kg, terjadi penyusutan sekitar 20 kg setelah penjemuran. H.
Nasir menjual produknya ke Pelita, di PT Giwang dan di Palleko. Harga jualnya kalau
Katonik Rp. 11.000 dan SP seharga Rp.7500 per kg dengan kadar 33.
Pembeli (pedagang rumput laut) di Takalar secara umum dapat dilihat dalam
struktur jaringan bertingkat-tingkat. Pedagang yang memiliki basis modal besar,
menguasai begitu banyak jaringan pengumpul kecil, memiliki infrastruktur
pergudangan, kendaraan untuk pengiriman, bisa dikategorikan sebagai Pedagang
besar.
Selain memiliki jaringan pengumpul, pedagang besar juga memiliki akses
langsung ke petani. Hajji Nasir (Punaga) dan Hajji Siriwa (Laikang) serta Daeng
Tuju (Pattoppakkang), Hj Mawar Ibu Desa (Punaga) adalah beberapa di antara
pedagang besar yang ada di Takalar. Mereka memiliki jaringan khusus dengan
pengumpul dibawahnya dan juga sejumlah petani yang dimodalinya.
Pedagang pengumpul di bawah pedagang besar adalah mereka yang
difasilitasi modal oleh pedagang besar. Dengan syarat harus menjual dagangannya
ke pemberi modal. Kalau dilihat tipologinya, pedagang pengumpul kecil membawahi
petani dengan kapasitas modal ekonomi kecil. Sementara petani dengan jumlah
bentangan besar relatif membangun akses langsung dengan pedagang besar.
Namun, ada hal yang menarik di Takalar yakni adanya sejumlah pedagang kecil
yang tidak dibawahi oleh pedagang besar tertentu (karena mereka menggunakan
modal sendiri), hanya saja secara tidak langsung mereka juga menjadi bagian dari
pedagang besar, karena hasil pembeliannya juga dijual ke pedagang besar. Saya
mewawancarai Pedagang kecil yang dengan modal sendiri seperti Thalib Daeng
Sibali (Punaga) dan Daeng Rate (Laikang), mereka kerapkali menjual produknya ke
pedagang besar di tingkat lokal. Pengakuan ini dipertegas oleh pernyataan H. Siriwa,
bahwa ia menerima produk dari pengumpul binaan maupun pedagang lainnya yang
tidak ada ikatan modal dengannya.
Pembelian produk oleh pedagang besar (H. Nasir) dengan dua varian harga
antara lain; (1) untuk pedagang pengumpul ia membeli seharga Rp.7000 (Katonik)
sementara yang dibeli langsung dari petani dibeli seharga Rp. 6500. Standar harga,
akan dinaikkan oleh pedagang besar apabila harga pasar global juga naik. Pedagang
besar tidak pernah mempermainkan harga.
Di tingkat pedagang besar, rumput laut diproses kembali melalui pensortiran
dan pengeringan. Dalam setiap karung seberat 100 kg yang dibeli dari petani,
dikeringkan kembali sehingga mengalami penyusutan sekitar 20 kg, sehingga
menjadi Rp. 80 kg kering. Dapat dihitung sebagai berikut, untuk 100 kg
menghabiskan modal sekitar Rp. 77.000 (belum termasuk biaya karung dan gaji
pengeringan). Lalu, menjadi 80 kg setelah dijemur dan dijual ke eksportir sekitar
Rp. 11.000 per kg (kadar 33,34)= Rp. 88.000, ada selisih sekitar Rp. 11.000
keuntungan kotor (sebab belum termasuk biaya karung, pengeringan dan
pengiriman). Kalau dikalkulasi maka, setiap 1 kg rumput laut yang dibeli, pedagang
besar hanya untung sekitar Rp. 1000—keuntungan ini agaknya beda tipis dengan
keuntungan yang didapatkan pengumpul di bawahnya.
2.2.2 Kabupaten Maros Pangkep dan Barru
Aktifitas terkait rumput laut di Kabupaten Pangkep dan Barru dapat dilihat
dari beberapa tahap yaitu pra produksi, produksi, distribusi, pengolahan dan
konsumen akhir. Pada tahap pra produksi, komoditas rumput laut memerlukan
biaya sehingga menjadi peluang bagi pemilik modal untuk membantu sekaligus
bisnis usaha rumput laut untuk membantu produksi rumput laut.
Perkembangan rumput laut salah satunya ditopang oleh bantuan yang ada,
khususnya pada pedagang pengumpul yang memberi bantuan modal ke petani
rumput laut sehingga usaha budidayanya dapat berjalan dengan baik.
Semua petani rumput laut membudidayakan Echeuma cottonii, karena petani
yang diketahui cara budidayanya dan harganya masih relatif baik, menurut Daming
(46 Tahun) desa Pitusunggu, yang membina petani rumput laut lebih 1.000 tersebar
di Desa Pitusunggu, Tamanggapa, Tamarrupa, Bo’die, Maccini Baji, Berarue Desa
Lasitae dan Pancana.
Sedangkan Bahar (47 tahun) Kelurahan Mandalle (Staf
Teknisi Budidaya di Politani Negeri Pangkep) yang membina petani rumput laut
lebih 200 tersebar di Kelurahan Mandalle, Pancana, Lasitae, Bo’die, Tamarrupa,
kelurahan Bone, Sigeri, Kecamatan Ma’rang dan Pulau Salemo.
Umumnya rumput laut di beli di daerah sekitarnya. Daming (46 Tahun)
pedagang di Pitusunggu mengaku membeli langsung ke petani rumput laut di
daerah yang dekat seperti Pitusunggu, Tamanggapa, sedangkan daerah yang agak
jauh menggunakan pengumpul seperti Maccini Baji, Berarue Desa Lasitae, Pancana.
Sama halnya dengan Bahar (47 Tahun) pedagang pengumpul di Kelurahan Mandalle
dengan membeli langsung ke petani di daerah seperti Tamarrupa, Mandalle dan
Sigeri, sedangkan daerah yang agak jauh seperti Salemo, Ma’rang, Bo’die, Lasitae
dan Pekkae menggunakan pengumpul.
Pada prinsipnya, harga rumput laut tergantung waktu tertentu atau di musim
sesuai kondisi daerahnya masing-masing. Harga rumput laut yang dibelikan di
petani Rp 9.000 – 9.500/Kg, sedangkan di pengumpul di belikan dengan harga
selisih antara Rp 200 – 500/Kg menurut Daming. Bahar pedagang di Kelurahan
Mandalle membeli di petani dengan harga Rp. 9.500 dan di pengumpul Rp
10.000/Kg Sedangkan mengenai
ongkos angkut menurut Daming biaya Rp
141,7/Kg, sedangkan menurut Bahar biaya digunakan satu kali pengiriman ke
Makassar Rp 500.000 dengan menggunakan mobil sendiri.
Modal yang digunakan dalam usaha jual beli rumput laut menggunakan
modal sendiri. Daming (46 tahun) desa Pitusunggu, yang memberi modal bantuan
kepada petani lebih 1.000 berupa uang, dengan pengembalian dengan cara menjual
rumput lautnya kepada pemberi modal dan dari hasil penjualan rumput laut
tersebut di potong utang pinjamannya secara bertahap. Sedangkan menurut Bahar
(47 tahun) kelurahan Mandalle, memodali petani kurang lebih 200 dengan model
pengembalian yang sama.
Hampir semua melakukan penyortiran dan pengeringan sebentar tergantung
kalau di beli langsung dari petani sedangkan kalau di beli dipengumpul biasanya
Cuma di kemas dengan cara mengganti karung dan di press manual dengan jumlah
yang di proses sekali rata-rata 150 karung dengan 4 kali proses setiap minggunya
menurut Daming. Sedangkan Bahar yang di proses yang di beli di petani saja
sedangkan di pengumpul sudah langsung di angkut dan dikirim ke Makassar
sehingga keuntungan pengumpul itu bisa 50 % dari selisih harga, dengan jumlah
satu kali proses antara 2.000 – 2.400 Kg, dengan 4 kali pengiriman setiap
minggunya. Biaya yang digunakan saat proses adalah Rp 200 – 250/kg yang
pekerjanya semua laki-laki.
Jumlah yang dijual dan harga jual. Daming (46 Tahun) pedagang pengumpul
di Desa Pitusunggu menjual dengan jumlah 150 Karung atau sekitar 12.000 Kg
dengan harga Rp 10.800 di PT.Pelita, PT. Rapid Niaga Internasional, PT. Padeha,
harga Rp 10.400 – 11.000 di Robin dan Ibu kris dengan 4 kali pengiriman ke
Makassar setiap minggu. Sedangkan Bahar (47 Tahun) pedagang pengumpul di
Kelurahan Mandalle menjual dengan jumlah 2.000 – 2.400 Kg dengan harga Rp
10.300 – 10.500 di PT Bahari Indonesia dengan 4 kali pengiriman setiap minggunya.
2.2.3 Eksport dan Industri (Pengolahan ) Rumput Laut
1) Ekspor dan Pengolahan pada Industri Besar
Aktifitas ekspor dan pengolahan rumput laut di Sulawesi Selatan selama ini
dikelola oleh perusahaan bersar seperti PT Bantimurung indah yang berlokasi di
Maros, PT Giwang Citra Lestari yang berlokasi di Takalar, PT Cahaya Cemerlang dan
PT Wahyu yang berlokasi di Makassar. Perusahaan tersebut selain melakukan
ekspor rumput laut kering juga melakukan ekspor rumput laut olahan berupa SRC.
ATC dan Chip. Guna memahami lebih mendalam mengenai ekspor dan pengolahan
rumput laut disajikan kasus PT Giwang di Takalar.
PT Giwang Citra Lestari di dirikan pada tahun 2002 oleh seorang pengusaha
lokal (etnis Tionghoa). Mulai beroperasi pada tahun 2005 dan dipusatkan di Palleko
Kabupaten Takallar. PT Giwang merupakan salah satu eksportir rumput laut
terbesar di Indonesia Timur. Dalam hal memperoleh bahan baku, PT Giwang
membeli dari berbagai daerah seperti dari Sulsel, Sulbar, Sultra, bahkan NTT. Model
pembeliannya adalah dengan menerima di tempat. PT Giwang belum pernah
sekalipun melakukan pembelian langsung ke Petani atau melakukan share modal
dengan pedagang tertentu.
Sebagai eksportir besar, PT Giwang mengaku bahwa harga rumput laut di
pasar global sangat tidak menentu. Jadi, tidak ada patokan reguler mengenai harga.
Tapi di level pedagang, PT Giwang biasanya membeli produk rumput laut secara
selektif berdasarkan kualitas. Apabila kualitasnya memang memenuhi standar
perusahaan, otomatis akan dihargai lebih baik. Harga terbaru dengan kualitas
standar di kisaran Rp. 11.000 hingga 12.000 untuk jenis Katonik.
Semua bahan baku yang masuk ke perusahaan akan melewati proses dengan
standar pabrik. Prosesnya sebagai berikut; (1) perendaman/pencucian (2)
pemasakan (3) pencucian III (netralisasi) (4) pencucian II (netralisasi) (5) pencucian
I (netralisasi), (6) pemotongan (7) pengeringan (8) penggilingan (9) pengemasan.
Proses ini akan berlangsung selama sehari, yang kemudian menghasilkan dua
produk antara lain; (1) Alkali Treated Chips (ATC) dan Semi Refined Carregenan
(SRC).
Produk yang sudah berbentuk serbuk Refined diolah dalam beberapa varian
berdasarkan tingkat kehalusannya (ada max 40, 60, 80, 100, 180). PT Giwang
biasanya memproduksi berdasarkan permintaan pasar. Sebagai catatan bahwa
sebelum pengiriman produk, perusahaan terlebih dahulu mengirimkan sampel ke
buyer Eropa untuk memastikan standar yang diinginkan. Produk rumput laut yang
mirip tepung dikemas dalam bentuk Sak semen, dimana setiap sak-nya sekitar 25
kg. PT Giwang memproses rumput laut setiap hari dengan jumlah bahan baku
paling sedikit 6 Ton. Kalau permintaan buyer banyak, maka produksi bisa di atas 10
ton setiap hari. PT Giwang mempekerjakan tenaga kerja yang terdiri dari 44 orang
(pekerja tetap), 13 orang (pekerja kontrak), dan 20 orang (borongan). Pegawai
kontrak dan borongan biasanya dipanggil bekerja saat ada over produksi. Bila
produksi normal saja, maka perusahaan hanya memakai pekerja tetap. Mayoritas
pekerja di perusahaan ini adalah laki-laki, hanya ada sekitar 15 % tenaga
perempuan.
Semua hasil produksi langsung diekspor, kecuali bila ada buyer yang tiba-tiba
menyetop pembelian. Produk terpaksa disimpan, dan dalam keadaan begini
perusahaan kadang mengalami kerugian. Lama penyimpanan tidak pernah
berbulan-bulan, karena segera harus dilepas untuk memenuhi siklus produksi dan
keseimbangan keuangan perusahaan.
Dalam sekali pengiriman ke Eropa, PT Giwang mengirim sekitar 1 sampai 2
kontainer (dalam bentuk tepung). Setiap kontainer sekitar 20 Ton (rumput laut
berbentuk tepung). Setiap bulannya, PT Giwang hanya mengirim sekitar 2 kali ke
buyer Eropa.
Harga ekspor per kg untuk rumput laut yang berbentuk tepung seharga 6
Dollar AS atau sekitar Rp. 70.000, sementara untuk produk chip dijual seharga 5
Dollar AS, atau sekitar 60.000. Hitungan produksinya sebagai berikut; setiap 1 kg
produk dalam bentuk chip atau tepung membutuhkan bahan baku sekitar 4 sampai
4.5 kg rumput laut kering. Kalau harga rumput laut kering sekitar 11.000 maka,
modal dasarnya=44.000, jumlah ini belum termasuk biaya produksi, infrastruktur
pabrik, pengemasan, pengiriman, dokumen ekspor dll. Dalam hitungan bisnisnya,
selisih yang diperoleh perusahaan sebenarnya tidak terlalu besar, hanya dikisaran
10.000 per kg.
Mengenai harga, menurut Pak Ronny, rumput laut adalah satu-satunya hasil
bumi yang harganya sulit diprediksi. Dan tidak pernah ada harga permanen yang
bisa dijadikan rujukan dalam kurun waktu tertentu. Harganya terus berubah, tidak
ada kejelasan kapan naik dan kapan turun. Mengapa demikian? Karena penentu
harga adalah buyer di Eropa. Logika harga juga menggunakan pendekatan teori
ekonomi suplay and demand, jadi kalau permintaan buyer besar maka harga juga
kadang naik. Tapi, kalau permintaan pasar global sedikit, maka harga domestik
biasanya turun. Masalahnya adalah perubahan harga di tingkat buyer bersifat
unprediktible karena tergantung pada kebutuhan rumput laut pasar global.
Semua produk PT Giwang dijual ke Eropa. Sebagai catatan bahwa pasar
global sangat selektif dalam menentukan produk. Kendala utama eksportir di
Indonesia, kata Ronny adalah kualitas rumput laut. Kualitas kita di bawah rata-rata
sehingga seringkali ditolak dan dihargai lebih rendah, menurut Ronny, variabel ini
boleh jadi salah satu pemicu menurunnya harga rumput laut kita. Sebagai eksportir,
PT Giwang sudah sangat berpengalaman dalam melihat kualitas produk dari petani.
Sebagian besar produk petani dalam kualitas dibawah standar, tidak bersih, dan
tidak cukup umur.
Di tingkat pedagang (tengkulak), tidak sedikit yang melakukan praktik
kecurangan dengan melakukan berbagai macam cara agar produk menjadi berat
saat ditimbang. PT Giwang sangat selektif dan tidak pernah mentolerir adanya
praktik seperti itu. Problemnya adalah pasar rumput laut (di level pedagang besar)
khususnya di Sulsel, tidak pernah kompak dalam hal menjaga kualitas. “Jadi
meskipun produk-nya buruk, tetap saja ada pedagang besar yang membelinya
padahal mestinya ada komitmen bersama untuk menolak demi menjaga kualitas
sekaligus mengedukasi produsen (petani). Kelemahan pada level ini menurut Pak
Ronny disebabkan oleh lemahnya peran Asosiasi Rumput laut yang ada.
2) Pengolahan di Tingkat Rumah tangga
Pengolahan rumput di tingkat rumah tangga sudah mulai dilakoni
perempuan tani di beberapa lokasi. Aktifitas pengolahan yang dilakukan seperti
membuat dodol, kripik, permen, selei dan lain-lain. Gambaran penggunaan input
dan hasil produksi dari produk olahan tersebut digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1 Penggunaan bahan baku dan nilai produksi olahan rumput laut.
dodol
Bahan :
Banyaknya
Satuan
Harga
Satuan
Jumlah
1. Rumput Laut
1
Kg
9.500
9.500
2. Beras Ketan
3
Kg
12.500
37.500
5.000
5.000
15.000
45.000
3. Santan
4. Gula Merah
Jumlah
Hasil Produksi
Dodol Rumput
laut
Secukupnya
3
Kg
97.000
bungku
30 s
8.000
240.000
Keuntungan kotor
143.000
Keterangan : Produksi 1 Kg/hari
Keripik Ubi unggu rumput
laut
Bahan :
1. Ubi
1 Kg
8.000
8.000
2. Tepung
1 Kg
7.500
7.500
3. Rumput laut
1 Kg
9.500
9.500
Jumlah
Hasil Produksi
Keripik
25.000
1 Kg
40.000
Keuntungan kotor
40.000
15.000
keterangan : Produksi 100 Kg/bulan
Permen RL
Bahan :
1. Rumput Laut
1 Kg
9.500
9.500
2. Gula Pasir
1 Kg
11.500
11.500
Jumlah
Hasil Produksi
Permen RL
21.000
bungku
15 s
5.000
Keuntungan kotor
75.000
54.000
Keterangan : Produksi 50 Kg/bulan
Selai RL
Bahan :
1. Rumput laut
1 Kg
9.500
9.500
2. Gula merah
1 Kg
15.000
15.000
Jumlah
hasil produksi
24.500
selai RL
4 botol
15.000
Keuntungan kotor
60.000
35.500
Keterangan : Produksi 10 Kg/bulan
Sirup Rumput Laut, Mie
Kendala peralatan dan kemasan
Bahan baku rumput laut masih membeli dari lokasi tersebut
III. RANTAI NILAI DAN RELASI ANTAR PELAKU
DALAM PRESPEKTIF GENDER
Pemetaan rantai nilai (value chain) pada dasarnya bertujuan membangun
pemahaman mengenai struktur pasar pada tingkat pembudidaya dan pelaku usaha
lainnya baik dalam pengolahan maupun pemasaran. Peta vaue chain menunjukkan
arus produk, pelaku usaha kunci dan proses penambahan nilai (value added) dalam
rantai, untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang terlewatkan. Rantai nilai
aktifitas pelaku pada komoditas rumput laut dapat dilihat pada beberapa tahap
seperti tahap pra produksi, produksi, distribusi, pengolahan dan pemasaran. Pada
tahap pra produksi petani melakukan penyediaan alat budidaya, penyediaan bibit;
dilajutkan kegiatan produksi yang terdiri dari proses budidaya mulai dari
merangkai bibit, memindahkan kelaut, pemeliharaan, panen sampai pasca panen.
Selanjutnya distribusi melewati proses
memindahkan rumput laut dari petani
produsen ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses ini melewati beberapa pelaku
seperti pengumpul kecil, biasanya pada prakteknya disebut tengkulak, pengumpul
besar, pedagang besar, dan ekportir. Sedangkan pada pengolahan terdiri dari
industri besar dan pengolahan tingkat rumah tangga. Kegiatan pemasaran rumput
laut dilanjutkan oleh perusahaan besar baik dengan memasarkan ke luar negeri
dalam bentuk rumput laut kering maupun dalam bentuk
hasil olahan berupa
ATC/chip dan SRC ke negara tujuan seperti China, Jepang dan Eropa.
Data terakhir tentang produksi komoditi unggulan Sulawesi Selatan, rumput
laut adalah salah satu diantaranya. Data produksi tersebut pada ke empat daerah
yang diteliti
Kabupaten Takalar
merupakan daerah yang memiliki produksi
terbesar dengan tiga jenis rumput laut yang dihasilkan setiap tahun. Hasil produksi
tahun 2014 di daerah ini terdiri dari rumput laut cottoni sekitar 629.728,0
grasilaria 76.848,4 ton serta spinosum 110 252 ton. Ke tiga daerah berikutnya
Pangkep merupakan daerah yang potensinya relatif lebih besar yakni dengan
produksi cottoni
sekitar 148.652 ton grasilaria
76.848,4 ton dan tidak
memproduksi spinosum, demikian pula maros masih dengan produksi yang sangat
sedikit yakni 15, 5 ton sedangkan Barru hanya memproduksi 798 ton cottoni.
Rincian hasil produksi di empat daerah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2 Produksi Rumput laut di Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru
Tahun 2014.
No
Kapubaten
1
2
3
4
Takalar
Maros
Pangkep
Barru
Jenis Rumput Laut
(ton)
Cottoni
Grasilaria
Spinosum
623.370,0
76.848,4
110.252
8,3
7,2
148.652,0
3582,6
798,0
-
Jumlah
(ton)
810.820,4
15,5
152.234,6
798,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa dua daerah yakni kabupaten Takalar dan Pangkep
merupakan daerah potensial penghasil rumput laut di Sulawesi Selatan,
dibandingkan dua daerah lain dan selanjutnya nilai produksi rumput laut pada ke
empat daerah tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Produksi Rumput laut Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep, dan
Barru (dalam jutaan rupiah)
No
Kapubaten
1
2
3
4
Takalar
Maros
Pangkep
Barru
Jenis Rumput Laut
Jumlah
(Rp)
(Rp)
Cottoni
Grasilaria
Spinosum
935.580.000,0 76.848.4000,0 165.378.000,- 1.117.860.400,0
12.450,0
7.200,0
19.650,0
222.978.000,0
3.582.600,0
226.560.600,0
1.197.000,0
1.197.000,0
Di empat daerah yang menjadi cakupan penelitian ini pada kegiatan pra
produksi petani/pembudidaya rumput laut menyediakan alat budidaya seperti tali
ris, plampung, sampan, para-para, waring, tenda, linggis, bambu, dll. Bahan utama
yang dibutuhkan petani adalah tali dan plampung. Bila akan membeli tali dengan
jumlah yang banyak, maka petani/pembudidaya membelinya di Makassar atau kota
kabupaten seperti petani rumput laut di Punaga dan Laikang yang umumnya
membeli di Makasar atau kota Takalar. Namun, bila membeli tali yang jumlahnya
sedikit, mereka membelinya di Cikoang saja atau beberapa penjual di desa masingmasing. Pembudidaya Maros-Pangkep misalnya membeli Tali di Makassar atau di
kota Pangkajene demikian pula halnya di Barru. Selisih harga dilokasi petani di
empat daerah tesebut sekitar Rp 5. 000 sampai Rp 10.000 per roll. Untuk 1 roll tali
biasanya antara 3 sampai 7 bentangan tergantung panjang bentangannya.
Umumnya setiap bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan antara 5 sampai
10 tahunan. Untuk kegiatan pembukaan lahan baru atau penggantian tali kadangkadang petani membutuhkan 300 bentangan atau sekitar 60 roll. Kalau saja tali
tersebut dibeli di Makasar maka perbedaan nilai yang diperoleh sekitar Rp. 400.000
- Rp. 600.000, Keadaannya tidak berbeda beberapa peralatan lain. Hanya plampung
yang hampir setiap saat di ganti untuk jumlah tertentu. Untuk investasi alat, petani
membutuhkan waktu antara 1 hingga 2 kali panen untuk mengembalikan modalnya.
Jenis rumput laut yang dibudidayakan di empat daerah umumnya adalah eCottoni
atau atau dengan nama lain Kappapicus
alfarezi, petani umumnya
menyebutnya katonik. Akan tetapi di Kabupaten Takalar jenis rumput laut yang
dibudidayakan lebih bevariasi, selain cottoni juga terdapat jenis rumput laut jenis
eucheumma lain seperti e-spinosum (SP) dan e-edule. Dua jenis rumput laut ini
dihargai dipasar dengan harga yang lebih rendah dibanding dengan katonik.
Misalnya di Takalar bila katonik ditingkat petani dijual dengan harga Rp 7.000/kg
kering maka jenis SP dan edule dengan harga Rp 6.000/kg. Namun demikian di
Takalar untuk Desa Punaga dan Laikang sebagian petani senang atau menyukai
membudidayakan jenis ini karena lebih tahan terhadap perubahan musim, dan
bibitnya mudah diperoleh.
Rumput laut ramai dibudidayakan pada saat musim hujan. Hampir semua
petani pada saat awal, membeli bibit ditempat lain dengan harga Rp 3000 – 3500
per kg basah. Setiap bentangan membutuhkan sekitar 5- 7 kg bibit. Untuk setiap
100 kg dapat digunakan untuk sekitar 15 bentangan. Pada beberapa lokasi upaya
pembibitan sendiri sudah ada yang melakukan baik secara individu maupun secara
kelompok. Bahkan di Pangkep dan Barru sudah ada upaya pembibitan yang
melibatkan kelompok perempuan. Tetapi ketersediaan bibit pada musim tertentu
mengalami kekurangan, sehingga petani mendatangkan bibit dari lokasi/daerah
lain seperti Jeneponto, Bantaeng. Peta Produksi, distribusi, pengolahan pemasaran
Rumput Laut dapat dilihat pada Gambar 1.
Pemasok
bibit
Harga bibit Rp
3000-3 250
Jeneponto
Produsen
Katonik 7000, SP
6000
Punaga
Cikoang
Laikang
Pattopakkang
Bantaeng
Distribusi/peng
umpul
Pittusungg
u
Tamarupa
Kotonik
10.400-10 800
Takalar
Pengumpul
Desa
Takalar
•
•
•
•
Pangkep
H. Nasir
Hj Mawar
H. Siriwa
Daeng Tuju
•
•
•
•
MadelloMalusu
kotonik 8000
•
•
•
•
•
PT Bantimurung indah
(Maros)
PT Giwang (Takalar)
PT Pelita (makasar)
PT Cahaya Cemerlang
(makasar)
PT Bahari Indonesia
(Makassar)
PT Wahyu (Makassar)
PT Rapid Niaga Int
PT Padeha
Kospermindo
Rp 11.000Rp
12.000
Pengumpul
desa
Kotonik Rp 9.000
Makassar/Maros
•
•
•
•
Pangkep/Barru
Boddia
Eksportir/
industri/pengola
han skala besar
Katonik 8000, SP
7000
Ampekale
Bontoa
Tammangapa
Pedagang
besar
H. Daming
H. Bahar
H. Anwar
Kotonik Rp 10.000- Rp
10.800
Barru
Barru
Pengumpul
desa
•
•
Pengolahan
Tradisonal
Bu Suwarsih
PancanaTanete
LasitaeTanete
Gambar 1. Peta Produksi, Distribusi, pengolahan dan Pemasaran Rumput
Laut di Takalar, Maros, Pangkep dan Barru.
Untuk setiap petani yang memiliki 300 bentangan, mereka membutuhkan
tambahan biaya sekitar Rp 900.000.per musim budidaya. Nilai ini merupakan nilai
tambah yang diperoleh petani jika melakukan pembibitan sendiri untuk menjaga
keberlanjutan produksi. Upaya menggalakkan kegiatan pembibitan sangat mungkin
dilakukan terutama pada wilayah yang jarak pemukiman relatif dekat dengan lokasi
budidaya seperti di Takalar dan Barru.
Rumput laut di tanam atau di dibudidayakan di laut setelah bentangan siap
dengan bibit yang sudah terangkut. Pekerjaan menyangkutkan bibit ini umumnya
dilakukan perempuan. Setiap bentangan di hargai dengan upah kerja yang
bervariasi. Di desa Lasitae dan Pancana kabupaten Barru setiap bentangan pekerja
perempuan mendapat upah Rp 3000-Rp 4000. Sedangkan di Pangkep dan Maros Rp
2 500 – Rp 3000 per bentangan, sedangkan di Takalar lebih rendah antara Rp 1000
– Rp 1500 perbentangan. Proses budidaya berlangsung selama 40 -45 hari, dalam
proses ini petani umumnya hanya menunggu sampai panen. Pemeliharan hanya
dilakukan sewaktu-waktu yakni dengan mengamati timbulnya penyakit pada
rumput laut peliharaannya. Di empat lokasi penelitian umumnya pekerja pada
proses budidaya (penanaman sampai panen) adalah laki-laki.
Pasca panen berlangsung setelah rumput laut diangkut dengan sampan ke
daratan. Pekerjaaan ini dilakukan oleh laki laki dibantu perempuan terutama pada
saat pengeringan sampai penyimpanan. Hampir semua petani melakukan
pengeringan selama 2-3 hari tergantung cuaca. Sebahagian besar petani mulai
memahami mengenai tingkat kekeringan rumput laut berdasarkan informasi dari
pedagang
pengumpul
walaupun
sebagian
lagi,
kadang-kadang
tidak
mempertimbangan tingkat kekeringan sesuai standar yakni 32 %.
Rumput laut ditingkat petani langsung dikarungkan dan jarang dilakukan
penyortiran dan langsung dijual, tetapi untuk beberapa petani di desa Pitunggu
Pangkep sangat memperhatikan kegiatan sortir sebelum dijual. Berdasarkan
pengakuan petani untuk 400 bentangan memproduksi rata-rata 1 ton lebih rumput
laut kering, tapi jika pertumbuhan kurang baik hanya menghasilkan 500 kg, ada
diantara petani menghasilkan 1,5 ton rumput laut kering untuk 700 bentangan.
Sehingga dapat disimpulkan setiap petani menghasilkan 3-5 kg rumput laut kering
setiap bentangan. Setelah dikeringkan rumput laut akan langsung diambil oleh
pedagang pengumpul atau dibeli oleh tengkulak dengan harga yang bervariasi. Di
Takalar harga Kontonik sekitar Rp 7000 dan SP atau spinosum seharga Rp 6000.
Sedangan di Pangkep yang umumnya menghasilkan kotonik harga lebih tinggi yakni
sekitar Rp 8.000 – Rp 9000. Melalui proses tersebut petani mendapat nilai tambah
sekitar Rp 2.500 dengan rata-rata keuntungan sekitar Rp 5 500.
Bagi mereka yang pernah dimodali oleh salah satu pedagang maka mereka
berkewajiban menjual ke pedagang tersebut. Seperti di Takalar ada petani dibawah
binaan H. Nasir dan Hj. Mawar, Walaupun harganya lebih rendah Rp 1000 dari
harga umum. Kedua pedagang tersebut memilki gudang besar untuk menampung
rumput laut. Sedangkan di Pangkep, Maros dan Barru sebagian di bawah binaan H.
Daming dan sebahagian lagi di bawah binaan H. Bahar. Jarang diantara petani yang
mampu membawa sendiri rumput lautnya ke Ekportir, kendatipun mereka
memodalinya sendiri.
Pada tingkat pedagang besar umumnya menerima rumput laut dari
pengumpul dengan kualitas yang beragam, tetapi umumnya pedagang besar
membeli rumput laut dari pengumpul berbeda jika membeli langsung ke petani.
Selisihnya sekitar Rp 200
sampai Rp. 500
tetapi umumnya harga ditingkat
pedagang pengumpul berkisar Rp 7700 – 9 500. Nilai tambah bisa diperoleh
pengumpul sekitar Rp 750 dengan kemungkinan susut 10 % dan di antara mereka
dengan naik turunnya harga tetap mendapat taksiran keuntungan sekitar Rp 1000.
Setelah dilakukan pengeringan, penyortiran dan penggantian karung selanjutnya
pedagang besar menyalurkan ke ekportir atau ke Pabrik dengan harga Rp 10. 400
– 11.000. Pada tingkat pedagang besar rumput laut kembali diproses melalui
pengeringan dan penyortiran, nilai tambah yang bisa diperoleh sekitar Rp 140
dengan rendemen 80 %. Penyaluran rumput laut berikutnya adalah ke eksportir
atau industri rumput laut. Di Sulawesi Selatan ada beberapa ekportir atau industri
antara lain PT Bantimurung indah (Maros), PT Giwang (Takalar) , PT Pelita , PT
Cahaya Cemerlang , PT Bahari Indonesia , PT Wahyu, PT Rapid Niaga Internasional
PT Padeha masing-masing di Makassar
dan salah satu Koperasi adalah
Kospermindo. Menurut salah satu eksportir harga terbaru sekarang dipasar Global
adalah Rp 12.000 untuk jenis cottoni tetapi harga tersebut berfluktuasi dan
cenderung
tidak
pasti.
Sehingga
Eksportir/industri
pengolahan produk tersebut menjadi ATC,
umumnya
melakukan
SRC atau Chip. Pada pekerjaan ini
umumnya dilakukan laki-laki hanya 15 % perempuan. ATC di ekspor dengan harga
rata-rata $ 5 dan SRC sekitar $ 6 . Pada pekerjaan ini umumnya dilakukan laki-laki
hanya 15 % perempuan
Di Tingkat petani pengolahan juga dilakukan teratama dalam skala rumah
tangga berupa dodol, keripik, permen, sirup rumput laut. Untuk menjadi produk
dodol, untuk bahan baku 1 kg rumput laut diperlukan bahan tambahan berupa
beras ketan 3 kg, gula merah 3 kg dan santan kelapa secukupnya.
Tabel 4 Peta rantai nilai Rumput Laut di Takalar, Maros, Pangkep dan Barru
Pembibita
n
Petani/
pembudiday
a
Pengumpul
Pedagang
besar
Kegiatan
Melakukan
pembibita
n, baik
kelompok
maupun
individu
Mengumpul
kan dari
petani dan
menyalurka
n ke
pedagang
besar
Rata-rata
Harga
produk
3250
Aktifitas
budidaya,
pengeringan
sortir
sampai
tersedia
rumput laut
kering
7 500
Pengerin
gan,
sortiran,
menyalur
kan ke
eksportir
dan
Pabrik
10.500
8500
Pengolahan Eksportir/
Skala rumah industri
tangga
pengolahan
besar
Mengolah
Mengekpor
menjadi
rumput laut
dodol, aneka kering,
kue, sirup Mengolah
dll
menjadi
ATC. SRC
9500
12.000
rumput
laut kering
(Rp/kg)
Nilai
tambah
(Rp/kg)
Keuntunga
n (Rp/kg)
Pelaku
utama
2660
2500
Laki-laki
/sebhgn
prempuan
2 500
5 500
Perempuan
(merangkai
bibit)
Laki-laki
(budidaya)
750
820
Laki-laki
140
1200
Umum
Laki-laki
Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
Umumnya
perempuan
Bervariasi
Umumnya
Laki-laki
Aktifitas pembuatan dodol dapat menghasilkan 30 bungkus rumput laut
seharga Rp 8000 per bungkus. Keuntungan diperoleh sekitar Rp 140.000. Untuk
pengolahan rumput laut menjadi kripik dengan untuk 1 kg rumput laut diperlukan
bahan tambahan berupa ubi kayu 1 kg, dan tepung 1 kg dan hasilnya menjadi 1 kg
kripik dengan harga Rp 40.000. Dan keuntungan sekitar Rp 15.000. Permen rumput
laut untuk 1 kg bahan baku rumput laut kering hanya dibutuhkan bahan tambahan
gula pasir 1 kg dapat menghasilkan 15 bungkus permen a Rp 5000, dengan taksiran
keuntungan Rp 54 000. Sedangkan sirup selain menggunakan 1 kg rumput laut
kering, juga menggunakan bahan tambahan 1 kg gula merah menghasilkan 4 botol
bahan pembuatan sirup seharga Rp 15.000 perbotol dengan keuntungan kotor
sekitar Rp 35.000. Kegiatan skala rumah tangga ini secara komersial baru dilakukan
ibu rumah tangga di Barru sedangkan di daerah lain pernah dipekenalkan baik oleh
Mahasiswa KKN maupun oleh relawan oxfam tetapi belum dilirik untuk dijual.
IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Simpulan
Aktifitas utama pada pengelolaan rumput laut di awali oleh pra produksi berupa
penyediaan alat budidaya dan pembibitan, yang dilanjutkan dengan aktifitas
produksi
(merangkai bibit, penanaman, pemeliharaan, panen, pengeringan
penyortiran). Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh petani sendiri yang
umumnya laki-laki, kecuali pada saat merangkai bibit yang dilakukan perempuan.
Pada rantai ini terdapat kemungkinan petani meperoleh nilai tambah dari
kegiatannya seperti dengan menyediakan alat dengan berupaya membeli di
Makassar, dan melakukan pembibitan sendiri baik secara
induvidual maupun
kolektif. Distribusi rumput laut sampai di pasaran selanjutnya dilakukan oleh
pedagang pengumpul dilanjutkan ke pedagang besar dan ke eksportir. Pada pelakupelaku tersebut kendatipun memperoleh nilai tambah yang lebih kecil tetapi
pengelolaannya menggunakan waktu yang relatif singkat dan jumlah rumput laut
kering dalam jumlah besar, sehingga nilai tambah yang diperoleh relatif menjadi
lebih besar. Aktifitas pengolahan skala rumah tangga yang dikelola perempuan
secara komersial sudah mulai berkembang, tetapi memerlukan waktu agar
terbentuk sebagai kegiatan usaha mandiri dan menguntungkan serta mendapat
nilai tambah dalam skala besar.
4.2. Rekomendasi
1. Dalam perpektif Gender aktifitas perempuan dibidang pengolahan perlu diberi
suport terutama pada pengolahan skala rumah tangga yang mengubah baku
rumput laut kering menjadi dodol atau makanan lain, tetapi dapat pula
diperkenalkan aktifitas pengolahan ATC atau Chip skala rumah tangga karena
memiliki nilai tambah yang besar, walaupun harus disertai kontrol kualitas yang
kontinyu. Untuk beberapa lokasi perempuan perlu dirangsang motivasi dan di
buka wawasannya sehingga mampu melakukan kegiatan yang lebih inovatif,
dengan membawa mereka melakukan kunjungan ke daerah lain yang lebih maju.
2. Pembinaan kapasitas petani dalam pemasaran rumput laut, terutama bagi petani
yang tidak terikat dengan modal pihak lain dengan fokus kegiatan diarahkan
pada peningkatan kualitas dan perubahan pola pikir. Hampir setiap daerah
sentra rumput laut yang diteliti terdapat beberapa petani muda yang dapat di
berdayakan untuk kegiatan tersebut. Pada kegiatan ini petani dapat
diperkenalkan teknologi pasca panen yang lebih baik sehingga produk yang
dihasilkan sesuai dengan permintaan di tingkat ekpotir/pasar internasional.
3. Pembibitan
yang
dikembangkan
dilakukan
sebagai
secara
alternatif
individu
menjamin
maupun
kelompok
ketersediaan
bibit
perlu
secara
berkesinambungan. Upaya ini sangat membantu petani karena kegiatan tersebut
dapat memberi nilai tambah yang lebih besar guna menambah total pendapatnya.
Download
Study collections