agroteknos

advertisement
JURNAL
ISSN: 2087-7706
AGROTEKNOS
Volume 5 Nomor 1
Maret 2015
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
J. Agroteknos
Vol. 5 No. 1
Hal: 1-75
Kendari, Maret 2015
ISSN: 2087-7706
JURNAL AGROTEKNOS
ISSN: 2087-7706
Diterbitkan oleh Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo,
Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Cabang Sulawesi Tenggara
Alamat : Gedung Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Jl. H.E.A. Mokodompit, E-mail :[email protected]
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
Pelindung/Penasehat:
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Penanggung Jawab:
Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Ketua Dewan Redaksi:
Dr. Andi Khaeruni R.
Wakil Ketua:
Dr. Dirvamena Boer
Sekretaris:
Dr. La Ode Afa
Redaksi Ahli:
Prof. Dr. Sahta Ginting (Kesuburan Tanah-UHO)
Prof. Dr. Sylvia Sjam (Entomologi-UNHAS)
Prof. Dr. Elka Wakib Syam’un (Fisiologi Tanaman-UNHAS)
Prof. Dr. Andi Bahrun (Agrohidrologi-UHO)
Prof. Dr. Muhammad Taufik (Fitopatologi-UHO)
Prof. Dr. I Gusti Ray Sadimantara (Pemuliaan Tanaman-UHO)
Dr. Fransiscus S. Rembon (Pengelolaan Tanah-UHO)
Prof. Dr. Suaib (Pemuliaan Tanaman-UHO)
Dr. Teguh Wijayanto (Bioteknologi Tanaman-UHO)
Redaksi Pelaksana:
Prof. Dr. Gusti Ayu Kade Sutariati, Dr. La Ode Muhammad Harjoni Kilowasid,
Asniah, M.Si, Syamsu Alam, M.Sc
Bendahara:
Tresjia C. Rakian, M.P
Adminisitrasi:
Arsy Aysyah Anas, M.P, Asmar Hasan, M.P
Jurnal Agroteknos diterbitkan sebagai media komunikasi dan forum pembahasan ilmiah
masalah pertanian, khususnya dibidang ilmu dan teknologi: budidaya tanaman, pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan, dan pengelolaan sumberdaya alam pertanian. Artikel yang
dipertimbangkan pemuatannya berupa hasil penelitian atau telaah (review) yang belum pernah
diterbitkan atau tidak sedang menunggu diterbitkan pada publikasi lain. Dewan penyunting
berhak memperbaiki naskah yang akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Jurnal
Agroteknos terbit tiga kali setahun yakni pada bulan Maret, Juli dan Nopember.
JURNAL AGROTEKNOS Maret 2015
Vol. 5 No. 1. Hal 1-9
ISSN: 2087-7706
KARAKTERISASI GEN EF-1α Conopomorpha cramerella Snell. HAMA
PENGGEREK BUAH TANAMAN KAKAO DI DESA ANDOMESINGGO KEC.
BESULUTU KAB. KONAWE
Characterization of EF-1α gene of Conopomorpha cramerella Snell. as
cocoa pod borrer pest in the Andomesinggo Village Besulutu District
Konawe Regency
1)Jurusan
MUZUNI1*)
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
The aim of this study is to determine the character of the EF-1α gene of Conopomorpha
cramerella as PBK pests, so it can be used as an ingredient of molecular information for early
detection of PBK pest by PCR. This study used a PCR method that begins with the isolation of
genomic DNA of PBK pest using CTAB method. Sequence analysis using NCBI programs,
creation of phylogenetic tree using CLC sequences program, restriction enzyme mapping
using NEB Cutter program, amino acid analysis using Expasy program, and hydrophobicity
analysis using Bio Edit program. The results showed that the character of a partial gene
fragment EF-1αPBK is 601 bp size, restriction enzyme mapping showed 39 sites cutting,
amino acid analysis produces 200 amino acids, hydrophobicity analysis showed partial gene
EF-1α is the hydrophilic region dominance, and the results of construction phylogenetic
showed PBK are in the same clade with C. cramerella. Based on these characters can be
concluded that PBK samples is included in C. cramerella species. Specific primer used in this
PCR can amplify specific DNA fragment of C. cramerella so that it be applied as detection
tools of C. cramerella.
Keywords : Conopomorpha cramerella, PBK, Elongation Factor 1 alpha gene, Kakao
1PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang memiliki peranan penting
bagi perekonomian nasional, yaitu sebagai
penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan
petani, dan sumber devisa negara. Pada tahun
2010, luas areal pertanaman kakao Indonesia
mencapai 1.5 juta ha dimana sebagian besar
(90%) dikelola oleh rakyat dan10% dikelola
oleh perkebunan besar negara dan swasta
(Ditjen perkebunan, 2010).
Salah satu jenis tanaman kakao yang
diusahakan adalah jenis lindak dengan sentra
produksi adalah Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah (Dirjen Bina Produksi
Perkebunan, 2004). Namun, hampir 50%
tanaman kakao dikategorikan tidak produktif
lagi karena sudah berumur tua (Puslitkoka,
*)
Alamat korespondensi:
Email : [email protected]
2006 dan KKI, 2006). Data Dirjen Bina
Produksi Perkebunan (2004) dan KKI (2006),
menunjukkan bahwa produktivitas kakao
rakyat berkisar antara 200-1300 kg/ha/tahun,
masih
di
bawah
rata-rata
potensi
produktivitas
Nasional,
yaitu
2000
kg/ha/tahun.
Hal lain yang menjadi penyebab tidak
maksimalnya produktivitas tanaman kakao
selain karena tanaman yang sudah berumur
tua, juga karena adanya serangan hama. Hama
penggerek buah kakao (PBK), Conopomorpha
cramerella Snell., merupakan hama spesialis
dan homodinamik yang hidupnya tergantung
pada ketersediaan buah kakao (Lim, 1986).
Akibat dari infeksi hama PBK pada areal
tanaman kakao di Sulawesi Tenggara yang
telah terjadi sejak tahun 1995 dan luas
serangan pada tahun 2000 mencapai 9.535,5
Ha (Dinas Perkebunan Sultra, 2001)
menyebabkan penurunan produksi kakao
Vol. 5 No.1, 2015
Karakterisasi Gen EF-1α Conopomorpha cramerella Snell.
hingga 60% - 80%, sehingga makin
memberikan ancaman yang sangat luar biasa
berat bagi peningkatan produksi kakao
Sulawesi Tenggara.
Desa Andomesinggo yang menjadi lokasi
pengambilan sampel pada penelitian ini
merupakan salah satu sentra produksi kakao
terbesar di Sulawesi Tenggara. Lahan
produksi kakao di desa Andomesinggo yang
dominan dikelola oleh masyarakat memiliki
luas 2.350 Ha dengan produksi tahun 2010
sebesar 170 ton (Anonim, 2011). Meskipun
demikian, kondisi pencapaian peningkatan
produksi dan kualitas biji kakao tersebut
mendapat ancaman yang sangat serius dan
bisa berdampak terhadap kemerosotan
produksi secara drastis karena serangan hama
PBK.
Strategi revitalisasi yang menjadi tumpuan
pengembangan produksi tanaman kakao
masih menemui hambatan antara lain karena
masih terbatasnya bahan tanam unggul yang
bebas dari hama dan penyakit, demikian pula
kebun-kebun benih di daerah sentra
pengembangan kakao masih kurang tersedia.
Salah satu strategi yang dapat digunakan
untuk mengantisipasi serangan hama utama
tanaman kakao adalah melakukan identifikasi
dini pada bahan tanam dan hama tersebut
baik secara morfologi maupun molekular
sehingga dengan demikian dapat dilakukan
kegiatan pengendalian yang sesuai dan efisien.
Identifikasi spesies hama utama tanaman
kakao yang dilakukan secara molekuler akan
menghasilkan informasi dengan tingkat
ketepatan yang lebih tinggi dan waktu yang
digunakan relatif lebih cepat. Identifikasi
molekuler
dapat
dilakukan
melalui
karakterisasi sekuen DNA yang tersedia di
Bank data gen (Genebank), seperti gen-gen
yang terdapat pada rDNA, gen sitokrom
oksidase (cox), atau gen Elongation Factor-1
Alpha (EF-1α). Sedangkan, identifikasi secara
morfologi memiliki beberapa kelemahan
antara lain,yakni dapat dipengaruhi oleh
lingkungan dan terbatas pada individu
dewasa.
Protein EF-1α merupakan salah satu dari
empat subunit penyusun faktor elongasi
translasi sel eukariotik yakni EF-1α, EF-1βγ,
EF-2, dan EF-3 yang sangat melimpah berkisar
hingga 3-10% dari total protein terlarut dalam
sel sitoplasma (Merrick, 1992). Protein
tersebut memiliki peran penting dalam setiap
2
proses translasi pada sel-sel eukariot sehingga
DNA penyandinya sangat memungkinkan
dijadikan sebagai template untuk mendesain
primer yang bersifat universal dan spesifik
yang dapat digunakan dalam identifikasi
organisme eukaryot dengan metode PCR.
Protein EF-1α memainkan peranan penting
dalam biosintesis protein, mengkatalisis
pengikatan aminoasil-tRNA ke situs A ribosom
dengan mekanisme yang tergantung GTP
(Merrick, 1992). Selain itu, gen EF-1α sebagai
penanda pada identifikasi molekuler telah
digunakan oleh para peneliti dalam
mengidentifikasi C. cramerella yang menjadi
salah satu hama utama kakao, terbukti sekuen
gen EF-1α C. cramerella telah tersedia di
Genebank.
Oleh karena itu, data atau infomasi
mengenai aspek biologi maupun genetik PBK
mutlak diperlukan sebagai informasi dasar
untuk penanganan dan penanggulangan hama
tersebut. Tulisan ini dapat menjelaskan
karakteristik gen EF-1α hama penggerek buah
kakao (C. cramerella) pada tanaman kakao di
Desa Andomesinggo, Kecamatan Besulutu,
Kabupten Konawe, yang nantinya akan
digunakan sebagai alat deteksi hama tersebut
dengan metode PCR.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Conopomorpha cramerella Snell. (PBK),
primer, buffer CTAB (Cetyl Trimetyl
AmmoniumBromide), PCR kit, agarosa,
PCI (Phenol-Chlorofom-Isoamyl Alcohol), pasir
kuarsa, ethidium bromide, 1X TAE (Tris-Acetic
EDTA), etanol 70 %, etanol absolute, dH2O,
RNAse, Loading dye, Buffer TE (Tris-HCl dan
EDTA), Marker (1 kb ladder).
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan
mengidentifikasi hama PBK secara molekuler
yang telah diambil dari lokasi penelitian.
Proses identifikasi tersebut meliputi isolasi
DNA, uji kualitas dan kuantitas DNA, desain
primer, serta reaksi amplifikasi, elektroforesis,
pengurutan dan analisis urutan DNA (Muzuni
et al., 2010).
Pengambilan
Sampel.
Proses
pengambilan sampel dilakukan dengan dua
metode yakni dengan cara menangkap
langsung individu C. cramerella (PBK) dan
dengan cara mengingkubasi buah kakao yang
terinfeksi PBK dan dibiarkan hingga larva
4
MUZUNI
dalam buah kakao keluar ke permukaan kulit
buah dan membentuk pupa. Pada saat
tersebut sampel PBK dapat dengan mudah
diambil, diidentifikasi dan selanjutnya
dilakukan isolasi DNA.
Isolasi DNA. Ekstraksi DNA hama PBK
menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimetyl
AmmoniumBromide) (Sambrook et al., 1989).
Sebelum dilakukan ekstraksi, terlebih dahulu
buffer lisis disiapkan sesuai jumlah sampel
yang akan diekstraksi. Sampel terlebih dahulu
ditimbang sebanyak 0,1-0,2 gr, lalu digerus
dengan bantuan pasir kuarsa. Sampel
dimasukkan ke dalam eppendorff 1,5 ml dan
ditambahkan 600 μl buffer lisis. Sampel
diinkubasi selama 30 menit dengan suhu 65oC
dan dibolak-balik setiap 5 menit. Sampel
kemudian dimasukkan ke dalam es selama 5
menit lalu disentrifugasi pada 10.000 rpm
selama 10 menit. Supernatan diambil lalu
dimasukkan ke dalam eppendorff baru ukuran
1,5 ml dan ditambahkan 1 x volume PCI
(Phenol-Chlorofom-Isoamyl Alcohol) yang
berfungsi memisahkan kontaminan seperti
protein dan senyawa - senyawa organik
dengan DNA.
Selanjutnya suspensi
disentrifugasi pada 10.000 rpm, suhu 40C
selama 10 menit. Supernatan diambil dan
dipindahkan dalam eppendorff 1,5 ml lalu
ditambahkan dengan 0,1 volume sodium
asetat (NaOAC) 3 M pH 5,2 kemudian
ditambahkan 2x volume etanol absolut lalu
diinkubasi
selama
2
jam
kemudian
disentrifugasi kembali selama 20 menit pada
10.000 rpm suhu 4oC sehingga pellet DNA
diperoleh. Selanjutnya pellet DNA dicuci
dengan 0,5 ml ethanol 70%, lalu dikeringkan
kemudian dilarutkan dalam 20 μl H2O. Untuk
menghilangkan RNA, larutan ditambahkan
100 μg/μl RNAse, lalu diinkubasi pada suhu
37oC selama 12 jam. Larutan DNA selanjutnya
disimpan pada suhu -4oC.
Uji Kualitas dan Kuantitas DNA. Kualitas
DNA dapat diukur dengan elektroforesis dan
spektofotometer, sedangkan kuantitas DNA
diukur
dengan
alat
spektrofotometer.Elektroforesis DNA hasil
isolasi berfungsi untuk mengetahui apakah
DNA utuh atau terdegradasi.Spektrofotometer
pada panjang gelombang 260nm dan 280nm
berfungsi untuk mengetahui apakah DNA
murni
atau
terkontaminasi.Panjang
J. AGROTEKNOS
gelombang yang digunakan untuk mengetahui
kandungan
DNA
menggunakan
spektrofotometri
UV
adalah
260nm,
sedangkan untuk mengetahui kandungan
protein menggunakan spektrofotometri UV
dengan panjang gelombang 280nm.
Kualitas DNA ditetapkan berdasarkan nilai
rasio A260/A280 sekitar 1,8 - 2,0. Kuantitas DNA
ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa 1 DO
(Density Optic) = 50 μg/ml DNA utas ganda
dengan rumus:
[DNA]= A260 x50 μg/ml x FP
Keterangan : [DNA]
= Konsentrasi DNA, A260
=
Absorbansi
pada
panjang
gelombang 260 nm, 50 μg/ml =
Konstanta untuk DNA, dan FP =
Faktor pengenceran.
Desain Primer. Sekuen DNA penyandi EF1α dari beberapa spesies terdekat yang
diperoleh dari bank data gen (Genebank)
disejajarkan menggunakan program BioEdit.
Daerah yang mempunyai homologi tinggi
(conserve region) dapat digunakan sebagai
primer spesifik dalam PCR. Primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah primer
pbk-F (5’-CTCTACTGAGCCCCCATACA-3’) dan
pbk-R (5’-CTGGTCAAATCTCAACGGT-3’) yang
digunakan untuk mengamplifikasi fragmen
spesifik gen penyandi EF-1α serta primer HlpF (5’- GAACTTGGAACTACAGGACCAT -3’) dan
Hlp-R (5’-TGATGGGTCGAAGA AGATG-3’),
spesifik untuk mengamplifikasi fragmen
Cytochrome Oxidase sub unit I Helopeltis,
digunakan untuk spesifikasi primer.
Amplifikasi dan Elektroforesis. Reaksi
PCR menggunakan PCR kit Go Taq Green
Master Mix 2x. Komposisi reaksi PCR adalah
DNA template 1 μl (100 ng), primer forward
0,5 μl [0,5 μM], primer reverse 0,5 μl [0,5 μM],
Taq Green Master Mix 2x 5 μl dan dH2O 2 μl.
Reagen PCR tersebut kemudian disatukan ke
dalam tabung eppendorf steril ukuran 0,5 ml
kemudian divortex dan dispindown, lalu
dimasukan ke dalam mesin PCR. Reaksi PCR
dilakukan sebanyak 30 siklus dengan kondisi
sebagai berikut: pre- PCR, selama 5 menit pada
suhu 94 oC; denaturasi, selama 1,5 menit pada
suhu 94 oC; annealing, selama 1 menit pada
suhu 55 oC; extension, selama 1,5 menit pada
suhu 72 oC dan post- PCR, selama 5 menit pada
suhu 72 oC.
Reaksi amplifikasi ini membutuhkan waktu
selama ± 2,20 jam. Hasil amplifikasi
Vol. 5 No.1, 2015
Karakterisasi Gen EF-1α Conopomorpha cramerella Snell.
selanjutnya dielektroforesis dengan agarose
1% (0,3 g agarosa dan 30 ml TAE 1x dan juga
ditambahkan 7,5 μl EtBr)
pada voltase
konstan 100 volt dan 80 A selama 30 menit
lalu divisualisasikan di atas ultra violet
transilluminator
kemudian
dilakukan
pemotretan dengan photoforesis.
Pengurutan DNA. Pengurutan DNA hasil
amplifikasi menggunakan alat pengurut DNA
otomatis (automated DNA Sequencer ABI
Prism
310,
Perkin-Elmer).
Pengurutan
dilakukan
dengan
metode
Sanger,
menggunakan
terminator
dye
berupa
fluorescent dye rhodamin (PRISM reaction
dyedoaxy terminator cycle sequencing kit).
Setelah mendapatkan hasil pengurutan,
urutan DNA kemudian disejajarkan dengan
menggunakan program NCBI Blast.
Analisis
Data.
Identifikasi
urutan
nukleotida dilakukan dengan beberapa
analisis. Analisis kesejajaran lokal (local
alignment) hasil pengurutan DNA dengan data
yang ada di GeneBank dilakukan dengan
program BLAST (Basic Local Alignment Search
Tools) yang disediakan NCBI (National Center
for Biotechnology Information) melalui
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast.
Selanjutnya, urutan nukleotida hasil isolasi
dikelompokkan dengan menggunakan pohon
filogenetik dengan program CLC sequence.
Analisis asam amino menggunakan program
Expasi. Akhirnya organisme yang dianalisis
dapat ditentukan spesiesnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Isolasi
DNA
genom
PBK
(Conopomorpha cramerella Snell.). Isolasi
DNA genom Penggerek Buah Kakao (PBK)
(Conopomorpha cramerella Snell.) dari
individu secara utuh dengan metode CTAB.
Pengerjaan isolasi diawali dengan pelisisan
baik
secara
mekanik
yakni
dengan
penggerusan untuk merusak sel secara
mekanik dengan menggunakan mortar dan
pastle maupun secara kimiawi menggunakan
buffer lisis (CTAB), selanjutnya dilakukan
pemurnian
menggunakan
PCI
dan
pengendapan menggunakan etanol.
Penambahan buffer lisis (CTAB) saat
penggerusan akan mempermudah degradasi
sel. Namun, untuk memaksimalkan proses
2
pelisisan
maka
sampel
yang
telah
ditambahkan CTAB harus diinkubasi pada
suhu 65oC karena CTAB yang berkemampuan
melisis membaran sel akan aktif pada kondisi
panas.Larutan CTAB berfungsi menurunkan
tegangan permukaan cairan sehingga dapat
melarutkan lipid yang akan meyebabkan
membran sel mengalami degradasi sehingga
semua isi sel keluar termasuk DNA dan
dilepaskan ke dalam buffer lisis.
Pembersihan DNA dilakukan dengan
larutan PCI (Phenol:Cloroform:Isoamy Alcohol)
dan sentrifugasi. Pembersihan tersebut
dilakukan bertujuan untuk memisahkan DNA
yang tercampur dengan polisakarida, protein,
dan pengotor lainnya perlu dibersihkan.
Sentrifugasi dilakukan setelah penambahan
larutan PCI, tujuannya adalah untuk
memisahkan molekul berdasarkan ukuran dan
berat molekul. Sampel yang disentrifugasi
dengan kecepatan tinggi dan gaya sentrifugal
menyebabkan komponen yang lebih besar dan
lebih berat akan terendap di dasar tabung
yangdisebut dengan pellet, sedangkan molekul
yang ukuran dan beratnya lebih kecil akan
berada pada lapisan atas yang disebut dengan
supernatan. Pada tahap sentrifugasi pertama
terbentuk supernatan yang mengandung DNA
dan zat organik lainnya dan pellet yang
mengandung
molekul
besar
seperti
polisakarida. Kemudian supernatan dipipet
dan ditambahkan dengan larutan PCI sambil
dibolak-balik untuk menghomogenkan sampel
sehingga terbentuk emulsi. Phenol merupakan
pelarut organik yang dapat melarutkan
protein, lipid dan molekul lain seperti
polisakarida. Klorofrom dan isoamil alkohol
berfungsi
untuk
mengekstrak
dan
mengendapkan komponen polisakarida di
dalam buffer ektraksi yang mengkontaminasi
larutan DNA (Ningrum, 2008).
Setelah penambahan PCI, selanjutnya
disentrifugasi sehingga menghsilkan tiga
lapisan. Larutan DNA barada pada lapisan
atas, larutan tengah terdapat protein yang
dilarutkan oleh kloroform, sedangkan larutan
kloroform terletak di bagian bawah dengan
zat-zat organik lainnya. Kemudian supernatan
diamabil dengan menggunakan mikropipet
secara perlahan-lahan agar bagian protein
tidak ikut terambil kemudian disimpan pada
tabung baru untuk pemurnian DNA.
Pengendapan DNA dilakukan dengan
sodium asetat dan etanol absolut. Larutan-
6
J. AGROTEKNOS
MUZUNI
larutan tersebut dapat mengendapkan DNA
sedangkan kontaminan yang lain tetap larut
(Sambrook,1989). Hoelzel (1992) juga
menambahkan bahwa presipitasi juga
berfungsi untuk menghilangkan residu-residu
kloroform yang berasal dari tahapan ekstraksi.
Penambahan etanol absolut harus dalam
keadaan dingin untuk lebih banyak DNA yang
mengendap, penambahan sodium asetat pada
tahap ini berfungsi memekatkan dan
mengendapkan
DNA
karena
prinsip
pengendapan dengan menggunakan etanol
absolut dingin yaitu saat penambahan garam
sodium asetat berfungsi sebagai neutralize
charge pada gula fosfat DNA, maka ion-ion
seperti kation Na+ akan menyelimuti rantai
DNA yang bermuatan negatif. Jika di dalam air,
gaya elektrostatik antara ion positif (Na+) dan
negatif (DNA-) masih lemah karena sebagian
rantai DNA masih berikatan dengan air, atau
dapat dikatakan air punya konstanta
dielektrik yang tinggi. Sehingga penambahan
pelarut organik seperti etanol absolut dapat
menurunkan konstanta dielektrik tersebut
atau memperbanyak ikatan DNA dengan Na+
sehingga membuat DNA lebih mudah
terpresipitasi. Tahap selanjutnya diinkubasi
ke dalam freezer, dan setelah itu susupensi
disentrifugasi sehingga menghasilkan pellet
berupa
DNA
dan
supernatan
yang
mengandung etanol absolute dan sodium
asetat.
Pencucian endapan DNA dengan etanol
70% dilakukan setelah membuang supernatan
bertujuan untuk memisahkan kontaminan
yang masih menempel pada DNA, sementara
untuk mendegradasi RNA yang tercampur
Tabel 1. Hasil uji spektrofotometri
No
1
2
Sampel
Blanko
Conopomorpha
Absorbansi
λ260
λ280
0,000
0,000
0,045
0,023
Amplifikasi gen EF-1α dengan teknik
PCR. Amplifikasi gen EF-1α memperlihatkan
pita fragmen target dengan jelas dan tebal
yang membentuk pola pita tunggal (single
band) dengan panjang produk sekitar 600 pb.
Amplikon ini sesuai dengan target amplifikasi
fragmen EF-1α yang dihasilkan oleh primer
pbk-F dan primer pbk-R. Hasil visualisasi
amplikasi gen EF-1α dapat dilihat pada
Gambar 2.
pada DNA dilakukan penambahan enzim
RNAse sehingga dihasilkan DNA murni yang
terbebas dari RNA dan siap dijadikan sebagai
DNA cetakan pada saat PCR. Hasil
elektroforesis DNA genom dari sampel PBK
ditunjukkan pada Gambar 1. Berdasarkan
hasil tersebut menunjukkan kualitas pita DNA
yang baik karena pita yang ditunjukkan cukup
tegas dan tidak menunjukkan pola pita DNA
yang terdegradasi.
A
B
Pita DNA genom
PBK
Gambar 1. Hasil elektroforesis isolasi DNA genom
sampel PBK (C. Cramerella) dengan
perbedaan jumlah DNA sampel yakni A
= 100 ng ; B = 200 ng.
Konsentrasi DNA genom sampel PBK hasil
isolasi adalah sebesar 4.500 µg/ml dengan
tingkat kemurnian sebesar 1,95. Hasil ini
menunjukkan bahwa tingkat kemurnian DNA
genom tergolong baik sehingga dapat
langsung digunakan dalam proses amplifikasi
dengan PCR. Tingkat kemurnian DNA
dikatakan baik apabila nilai rasio A260/A280
berkisar 1,8-2,0. Jika nilai rasio tersebut
berada di
bawah 1,8, maka DNA
terkontaminasi dengan protein dan harus
diekstraksi kembali. Hasil pengukuran
spektrofotometer secara detail dapat dilihat
pada Tabel 1.
Kemurnian DNA
1,951
2000
1650
1000
850
650
500
300
200
100
M
[DNA](µg/ml)
1
4.500
Gambar 2. Hasil
elektroforesis
produk PCR
sampel DNA
PBK dengan
primer pbk-F
dan
primer
pbk-R (1), 1
kb ladder (M)
pada
gel
agarosa 1%.
Karakterisasi Gen EF-1α Conopomorpha cramerella Snell.
Vol. 5 No.1, 2015
Uji Spesifitas Primer. Primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Pbk-F
dan Pbk-R. Hasil uji reaksi silang menunjukkan
bahwa PCR pada sampel DNA Helopletis yang
menggunakan primer Hlp-F dan Hlp-R
(Gambar 3, lajur 1) dan sampel DNA PBK yang
menggunakan primer Pbk-F dan Pbk-R
(Gambar
3,
lajur
2),
keduanya
memperlihatkan pita tunggal yang tebal dan
jelas.
M
1
2
3
4
2000
1650
1000
850
650
500
300
200
100
Gambar 3. Hasil Uji spesifisitas primer. M = 1 kb
ladder, 1 = Uji positif (sampel DNA
Helopeltis + primer Hlp-F dan Hlp-R), 2
= Uji positif (sampel DNA PBK + primer
Pbk-F dan Pbk-R), 3 = Uji negatif
(sampel DNA Helopeltis + primer Pbk-F
dan Pbk-R), 4 = Uji negatif (sampel
DNA PBK + primer Hlp-F dan Hlp-R).
PCR pada sampel DNA Helopeltis yang
menggunakan primer Pbk-F dan Pbk-R
(Gambar 3, lajur 3) tidak memperlihatkan
pita, begitu juga PCR pada sampel DNA PBK
yang menggunakan primer Hlp-F dan Hlp-R
(Gambar 3, lajur 4) juga tidak memperlihatkan
adanya pita. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa primer Pbk-F dan Pbk-R spesifik untuk
mengidentifikasi hama PBK. Hasil pengujian
primer tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Pengurutan DNA (sequencing ) dan
Analisis Sekuen. Sequencing merupakan
tahap penentuan urutan basa nukleotida pada
suatu molekul DNA. Jumlah nukleotida hasil
PCR DNA PBK menggunakan primer pbk-F dan
pbk-R adalah 601pb dengan urutan seperti
yang tampak pada Gambar 4. Hasil sequencing
dianalisis menggunakan program BLASTN
pada
situs
www.ncbi.nih.gov
untuk
mengetahui tingkat similaritas sekuen gen
parsial EF-1α PBK (object) dengan sekuen gen
pada Gene Bank.
Berdasarkan analisis BLASTN sekuen gen
parsial EF-1α sampel PBK (obyek) yang
dibandingkan dengan sekuen gen parsial EF1α C. cramerella (subyek) memimiliki nilai
identitas sebesar 100%. Nilai identitas
(similaritas) 99-100% dinyatakan sebagai satu
spesies yang sama, sedangkan nilai identitas
89-99% termasuk dalam genus yang sama
(Henry et al., 2000), dan nilai identitas >80%
masih digolongkan dalam famili yang sama
(Guo et al., 2011). Nilai persentase similaritas
ditentukan oleh kesamaan susunan nukleotida
antara sampel PBK dan pembandingpembandingnya yang ada di bank data gen.
Nilai similaritas dari sekuen gen parsial EF-1α
sampel PBK (obyek) terhadap sekuen
pembanding dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan nilai persentase similaritas
tersebut sampel PBK (obyek) merupakan
spesies yang sama dengan sekuen gen subyek
yakni C. cramerella.
Tabel 2. Similaritas nukleotida sekuen DNA amplikon
Sampel PBK, obyek
C. cramerella, subyek
Epichepala sp.
C. cecidophora
Sampel PBK, C. cramerella,
Epichepala sp.
obyek
subyek
100%
100%
100%
88%
88%
89%
89%
2
100%
C. cecidophora
100%
Vol. 5 No.1, 2015
Karakterisasi Gen EF-1α Conopomorpha cramerella Snell.
2
Gambar 4. Urutan fragmen gen EF-1α sampel DNA PBK hasil PCR.
Analisis Filogenetik. Konstruksi pohon
filogenetik pada penelitian ini menggunakkan
metode UPGMA (unweighted pair group
method using arithmetic averages) yang
merupakan pohon konsensus dari hasil
bootstrapping 100 kali replikasi data sekuen.
Bootsrapping berfungsi untuk menguji
kestabilan dari pengelompokan dalam
konstruksi pohon filogenetik, bootsrap dapat
menghasilkan sejumlah pohon filogenetik
acak. Program konsensus kemudian dapat
menghitung berapa kali sekuen mengelompok
dari pohon acak dengan nilai inilah yang dapat
menjadi acuan kestabilan pohon filogenetik.
Gambar 5. Pohon filogenetik C. cramerella berdasarkan gen EF-1α
dengan boostrap 100x.
menggunakan metode UPGMA
2
J. AGROTEKNOS
MUZUNI
Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan
urutan DNA menunjukkan adanya dua
kelompok dengan nilai kepercayaan 100%.
Nilai ini menjelaskan bahwa komposisi
organisme tersebut telah stabil, artinya
sekalipun 100x komposisi organisme pada
pohon tersebut dibolak balik namun
komposisi organisme tetap berada pada
cabangnya
masing-masing.
Menurut
Felsenstein (1985) bahwa kelompok yang
memiliki nilai boostrap ≥95% pada suatu
cabang maka dapat menunjukkan tingkat
kepercayaan suatu cabang. Sekuen gen sampel
PBK (object) berada pada kelompok yang
sama dengan C. cramerella. Hal ini
menunjukkan bahwa sekuen gen sampel PBK
(object) termasuk ke dalam spesies yang sama
dengan C. Cramerella (Gambar 5).
Analisis Asam Amino. Hasil deduksi asam
amino dari sekuen gen EF-1α PBK (obyek)
menggunakan program expasy, menghasilkan
200 asam amino dengan komposisi asam
amino yang dihasilkan adalah sistein 0.5%,
triptopan 1.5%, leusin 5.5%, prolin 8.5%,
histidin 2%, glutamin 2%, arginin 3.5%,
isoleusin 6%, metionin 1.5%, treonin 4.5%,
tirosin 2.5%, asparagin 5%, lisin 8.5%, serin
5.5%, valin 10.5%, alanin 8.5%, asam aspartat
4%, asam glutamat 7.5%, glisin 9.5%, dan
phenilalanin 3%. Komposisi asam amino yang
terbesar dari sekuen gen objek adalah valin
sebanyak 10.5%. Runutan asam amino
tersebut
disajikan
pada
Gambar
6.
STEPPYSEARFEEIKKEVSSYIKKIGYNPAAVAFVPISGWHGDNMLEPSTKMPWF
KGWSVERKEGKADGKCLIEALDAILPPARPTDKALRLPLQDVYKIGGIGTVPVG
RVETGVLKPGTIVVFAPANITTEVKSVEMHHEALQEAVPGDNVGFNVKNVSVK
ELRRGYVAGDSKNNPPKGAADFTAQVIVLNHPGQISNG
Gambar 6. Deduksi asam amino fragmen gen EF-1α PBK.
Berdasarkan hasil pensejajaran asam
amino gen EF-1α sampel PBK (obyek) dengan
gen
EF-1α
C.
cramerella
(subyek)
menunjukkan nilai identitas 100%, dengan
Epicephala sp. menunjukkan nilai identitas
89.5%,
dan
dengan
C.
cecidophora
menunjukkan nilai identitas 93%.
Gambar 7. Pohon filogenetik C. cramerella berdasarkan urutas asam amino EF-1α menggunakan metode
UPGMA dengan boostrap 100x.
Berdasarkan Multiple sequence alignment
urutan asam amino yang dikode oleh gen
parsial EF-1α obyek tidak terdapat perbedaan
dengan urutan asam amino yang dikode oleh
gen parsial EF-1α subyek sementara jika
dibandingkan dengan dengan urutas asam
amino Epicephala sp. dan C. cecidophora
terdapat perbedaan yang cukup signifikan, hal
ini dapat dilihat dari pohon filogeni asam
amino dengan metode UPGMA dengan
bootsrap 100x replikasi yang terdapat pada
Gambar 7.
Pohon filogenetik berdasarkan urutan
asam amino menunjukkan pola percabangan
yang serupa dengan pohon filogenetik
berdasarkan urutan nukleotida sebagaimana
Karakterisasi Gen EF-1α Conopomorpha cramerella Snell.
Vol. 5 No.1, 2015
yang ditunjukkan pada Gambar 5. Hal ini
menunjukkan bahwa kodon dari sekuen gen
EF-1α yang menyandikan asam amino benarbenar terkonservasi sehingga menghasilkan
urutan asam amino yang tidak berubah.
Berdasarkan hasil penyejajaran asam amino
dan pohon filogenetik, perbedaan urutan asam
amino menunjukkan perbedaan spesies.
SIMPULAN
Gen EF-1α yang berasal dari hama PBK
telah
berhasil
diamplifikasi
menggunakan primer pbk-F
(5’CTCTACTGAGCCCCCATACA-3’) dan pbk-R (5’CTGGTCAAATCTCAACGGT-3’) dengan panjang
produk 601 pb. Karakter gen tersebut adalah
memiliki nilai similaritas 100% dengan gen
EF-1α C. cramerella, pada pohon filogenetik
berada pada cabang yang sama dengan C.
Cramerella dengan nilai boostrap 100% pada
percabangannya, dan menghasilkan 200 asam
amino. Hasil identifikasi berdasarkan karakter
gen EF-1α hama PBK yang ada di Desa
Andomesinggo Kec. Besulutu merupakan
spesies yang sama dengan Conopomorpha
cramerella Snell. Primer pbk-F dan pbk-R
dapat diguanakan untuk mendeteksi PBK pada
tanaman kakao.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Z. 2006. Optimization of PCR Conditions in
vitro for Maximum Amplification of DNA from
Xanthomonas campestris 13551. Journal of
Applied Sciences Research, 2(3): 112-122.
Anonim. 2011. Kecamatan Besulutu dalam Angka.
BPS.
Dinas Perkebunan Sulawesi Tenggara. 2001.
Statistik Perkebunan Sulawesi Tenggara 2000.
Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari.
Dirjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Kebijakan
Pola
Pengembangan
Kakao
Indonesia.
Mewujudkan Agribisnis Kakao Berwawasan
Lingkungan dan Meningkatkan Industri Hilir.
Simposium Kakao Jogjakarta 4-5 Okt. 2004.
2
Ditjen Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan
(Tree Crop Estate Statistics). Direktorat
Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian.
Felsenstein, J. 1985. Confidence limits on
phylogenies: an approach using the bootstrap.
Evolution, 783-791.
Guo, Y., Bao, Y., Wang, H., Hu, X., Zhao, Z., Li, N., &
Zhao, Y. 2011. A preliminary analysis of the
immunoglobulin genes in the African elephant
(Loxodonta africana), PloS one, 6(2): e16889
Henry, T., Iwen, P. C., & Hinrichs, S. H. 2000.
Identification of Aspergillus species using
internal transcribed spacer regions 1 and 2.
Journal of Clinical Microbiology, 38(4): 15101515.
KKI. 2006. Direktori dan Revitalisasi Agribisnis
Kakao Indonesia, Dalam Menghadapi Era
Globalisasi.
Komisi
Kakao
Indonesia.
Departemen Pertanian.
Lim, G.T. 1986. Seasonal fluctuation of cocoa
podborer Conopomorpha cramerella (Snellen)
in Tawau, sabah. Proc. 2nd. Int. Conf. Pl. prot. In
the tropics (Extended abtracts), Malaysian Plant
prot. Soc (MAPPS), Kuala lumpur.
Merrick C.W. 1992. Mecanism and regulation og
eukaryotic protein synthesis. Departement of
Biochemistry, School of Medicine, Case Western
Reservr University, Cleveland
Muzuni, Sopandie, D., Suharsono, U.W., Suharsono.
2010. Isolasi dan pengklonan fragmen cDNA
gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari
Melastoma malabathricum L. J Agron Indonesia,
38(1): 67-74.
Ningrum, E. P. 2008. Keragaman Gejala dan
Penyebab Penyakit Keriting Kuning Cabai.
Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas
Pertanian.
Universitas
Gadjah
Mada.
Yogyakarta.
Puslitkoka. 2006. Waralaba Benih Kopi dan Kakao,
Rapat Koordinasi Persiapan Pelaksanaan
Kegiatan 2006 dan Rencana Kegiatan 2007
dalam Rangka Peningkatan Kapabilitas BPTP.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Bogor.
Hoelzel, A.R. & Amos, B. 1992. Applications of
molecular
genetic
techniques
to
the
conservation of small populations. Biological
Conservation, 61(2): 133-144.
Sambrook, J., Fritsch, E.F., Maniatis T.
1989. Molecular
Cloning
A
Laboratory
Manual. Cold Spring Harbor Lab Press, USA.
Daftar Isi
JURNAL AGROTEKNOS
Vol. 5 No.1. Maret 2015
Artikel:
Karakterisasi Gen Ef-1α Conopomorpha
cramerella Snell. Hama Penggerek Buah
Tanaman Kakao di Desa Andomesinggo Kec.
Besulutu Kab. Konawe
Keterangan gambar sampul:
hasil panen tanaman kacang tanah
yang ditanam di lahan marginal
(lihat artikel halaman 37)
Muzuni
1-9
Pembentukan Bintil Akar Tanaman Kedelai pada
Tanah Masam yang diberi Aktivator M-Bio-Porasi
Sarawa
10-18
Hendrival dan Nurfitriana
19-27
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan di
Sulawesi Tenggara
La Ode Alwi
28-36
Respons Kacang Tanah Lokal (Arachis Hypogaea
L.) Berpotensi Unggul Terhadap Aplikasi
Bioteknologi Pupuk Hijau Plus Berbasis Vegetasi
Sekunder Pada Lahan Kering Marginal
Nini Mila Rahni, La Karimuna, dan
Sarawa
37-44
Pemaduan
Pupuk
Hayati
Penambat
N2
(Azotobacter sp. dan Azospirillum sp.) dengan
kompos Jerami Padi dalam Meningkatkan Efisiensi
Pupuk N pada Padi Sawah
Nana Danapriatna
45-52
Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk Organik
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Mentimun pada Tanah Ultisol
La Ode Safuan, Tresjia C Rakian,
dan Deni Narde
53-60
Berat Basah Tanaman Sambiloto (Andrographis
paniculata. Ness) Hasil Pemberian Pupuk dan
Intensitas Cahaya Matahari yang Berbeda
Nurhayu Malik
61-67
Hasil dan Rendemen Minyak Biji Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) Hubungannya dengan
Transpirasi
Robiatul Adawiyah dan Charles
Yulius Bora
68-75
Penggunaan Tanaman Penghalang serta Aplikasi
Insektisida Nabati untuk Mengendalikan Hama
Pengisap Polong Kedelai
DITERBITKAN OLEH:
JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAPERTA UNHALU
PERAGI CABANG SULAWESI TENGGARA
TERBIT 3 KALI SETAHUN
Download