Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 PENGARUH SUHU PENGAKTIVAN CO2 TERHADAP LUAS PERMUKAAN ELEKTRODA KARBON DAN SIFAT KAPASITAN SEL SUPERKAPASITOR DARI KAYU KARET E. Taer1*, W. S. Mustika1*, Zulkifli1, I.D.M. Syam1, Rika Taslim2 1 Jurusan fisika, Universitas riau, Simpang baru, Pekanbaru, 28293 Jurusan Teknik Industri, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, 28293 * email: [email protected], [email protected] 2 ABSTRAK Telah dilakukan studi pada pengaruh suhu pengaktifan terhadap sifat fisika dan elektrokimia elektroda karbon superkapasitor dari kayu karet. Elektroda karbon dibuat dari potongan melintang kayu karet yang dicetak membentuk pelet, dilanjutkan dengan proses karbonisasi pada suhu 600 oC dalam lingkungan gas N2 dan aktivasi fisika dengan variasi suhu 800 oC dan 900 oC dalam lingkungan gas CO2. Proses aktivasi dilanjutkan dengan menggunakan aktivasi kimia secara bertingkat menggunakan larutan KOH 5 M dan diteruskan 25% larutan HNO3. Karakterisasi luas permukaan elektroda menggunakan metode Brunaeur Emmet Teller (BET). Hasil pengujian BET diperoleh luas permukaan sebesar 95.951 m2/g dan 331,543 m2/g, masing-masing untuk pengaktifan CO2 800 dan 900 oC. Pengujian sifat elektrokimia elektroda karbon dilakukan dengan membangun sel superkapasitor dan menggunakan larutan H2SO4 1 M sebagai elektrolit. Pengujian sifat elektrokimia dilakukan dengan metoda impedan spektroskopi elektrokimia. Nilai kapasitansi spesifik untuk suhu pengaktifan CO2 800 dan 900 oC diperoleh sebesar 56,08 F/g dan 154,03 F/g. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu aktivasi fisika dapat meningkatkan prestasi sel superkapasitor. Keywords: kayu karet, karbon aktif, superkapasitor ABSTRACT The effect of temperature on the activation of the physical and electrochemical properties of the carbon electrodes for supercapacitors from rubber wood had been investigated. Carbon electrodes were prepared from pieces of rubber wood by crosssection part that was made a pellets form, further carbonization process on hold at a temperature of 600 ° C in N2 gas pressure and physics activation process by variations in temperature of 800 ° C and 900 ° C in CO2 gas pressure. The activation process had to be continued a using chemical activation sustainable using agent of 5 M KOH solution and 25% HNO3 solution. Characterization of the surface area of the electrodes using the Brunaeur Emmet Teller (BET) method. The results of the BET test be obtained the surface area about 95 951 m2 / g and 331.543 m2 / g for the samples with CO2 temperature of 800 and 900 oC, respectively. The electrochemical properties of the carbon electrode were characterized by fabricated the supercapacitors cells and 1 M H2SO4 solution was use as an electrolyte. The study was carried out by the electrochemical properties impedance electrochemical spectroscopy method. Specific capacitance values for CO2 activation temperature of 800 and 900 ° C were obtained about 56.08 F / g and 154.03 F / g. The results showed that an increase in the physics activation temperature can improve the performance supercapacitor cells. Keywords: rubber wood, activated carbon, supercapacitors I. PENDAHULUAN Electrochemical Double Layer Capasitors (EDLC) merupakan salah satu jenis superkapasitor yang populer karena bahan utama yang digunakan pada elektroda adalah karbon aktif. Karbon aktif mempunyai densitas rendah, memiliki pori-pori serta luas permukaan yang besar. Disamping itu, karbon juga mudah didapatkan. Karbon aktif dapat diproduksi dari seluruh material yang memiliki unsur karbon, seperti tempurung kelapa (Jain dan Tripath, 2014), fosil, kayu (Liu dkk, 2012), dan batubara (Ge dkk, 2015). Pemilihan bahan dasar karbon dan kondisi aktivasi menentukan kinerja elektrokimia pada permukaan karbon, ukuran distribusi pori, dan konduktivitas listrik yang dihasilkan. Kinerja elektrokimia yang baik dapat diperoleh dari karbon aktif yang permukaannya memiliki struktur mesopori (Xu dkk, 2008), tipe ini berasal dari jenis kayu (Bonifacio dkk,2011). Kayu karet merupakan jenis kayu yang baik untuk bahan karbon karena mengandung unsur karbon organik yang cukup tinggi, berdasarkan hasil penelitian FAO (Food and Agricultural Organization) kayu karet memiliki kadar karbon sekitar 79%, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon aktif dan 96 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 ketersedian kayu karet di Riau cukup berlimpah. Luas lahan kebun karet yang telah digunakan hingga Mei 2015 tercatat sebesar 505.264 Ha (Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Pekanbaru, 2015). Karbon aktif dibuat melalui dua tahap, yaitu tahap karbonisasi dan aktivasi (Kötz dan Bärtschi, 2002). Karbonisasi adalah proses dekomposisi senyawa organik melalui pemanasan pada temperatur yang bersesuaian untuk menghasilkan karbon. Kemampuan kerja karbon aktif dapat diupayakan dengan kombinasi metode aktivasi kimia dan fisika. Proses aktivasi kimia yaitu dengan pemakaian zat kimia yang dinamakan aktivator, sedangkan aktivasi fisika dengan perlakuan panas serta mengalirkan gas pengoksida seperti Nitogen. Proses aktivasi fisika dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain laju kenaikan temperatur, laju aliran gas inert, temperatur proses, activating agent, lama proses aktivasi dan alat yang digunakan (Hartini, 2012). Profil pemanasan merupakan salah satu aspek utama yang dititik beratkan dalam proses karbonisasi (Taer, 2009). Penelitian ini diarahkan untuk penyediaan karbon aktif monolit dengan pori alami dari potongan melintang kayu karet melalui variasi suhu aktivasi fisika karena semakin tinggi suhu aktivasi yang digunakan semakin memperbesar luas permukaan dan diameter pori karbon aktif. II. METODOLOGI Tahap awal penelitian adalah persiapan elektroda karbon. Bahan dasar pembuatan karbon aktif adalah potongan melintang kayu karet kering dengan ketebalan ± 4-5 mm dan diameter 80-90 mm. Selanjutnya kayu karet dicetak membentuk pellet dengan diameter 19-20 mm menggunakan hydraulic press. Proses karbonisasi dilakukan pada suhu 600 0C dalam lingkungan gas Nitorgen dan dilanjutkan dengan proses aktivasi fisika dengan variasi suhu 800 0C dan 9000C . Proses selanjutnya adalah pemolesan dan pencucian untuk mengurangi cacat permukaan dan meningkatkan kemurnian karbon aktif. Selanjutnya sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100 0C selama 24 jam. Langkah terakhir untuk pembuatan elektroda adalah aktivasi kimia bertingkat, yaitu menggunakan aktivator KOH 5 M dan diteruskan 25% larutan HNO3. Elektroda karbon aktif direndam dalam laurutan elektrolit H2SO4 dengan konsentrasi 1 M selama 24 jam. Kemudian komponen elektroda digabungkan dalam body superkapasitor berbentuk persegi yang terbuat dari acrilic dengan bagian tengah yang dilubangi. Pengumpul arus yang digunakan berupa stainless steel. Pengumpul arus ini digabungkan dengan komponen elektroda dan dilapisi dengan teflon dengan diameter yang sama dengan elektroda, sementra itu diantara dua elektroda dipasang separator. Separator yang digunakan adalah separator alami dari membran kulit telur itik (MKTI) (Sumantre, 2012). Pengukuran sifat elektrokimia dilakukan dengan metode Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) yang bertujuan untuk menentukan kapasitansi sel superkapasitor. Pengujian EIS dilakukan dengan menggunkan solatron interface 1286. Pengukuran EIS dilakukan di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Kemudian data pengukuran dinyatakan dalam kurva plot Nyquist. Plot Nyquist diperoleh pada rangkaian terbuka dengan amplitudo tegangan sebesar 10 mV dan frekuensi 1 kHz sampai 0,01 Hz. Pengukuran Luas Permuakaan elektroda dilakukan dengan alat uji Surface Area Analyzer (SAA) dengan merek Quanthachrome seri NOVAWIN. Pengukuran SAA dilakukan di Universitas Negeri Semarang. Prinsip kerja alat ini menggunakan mekanisme adsorpsi gas pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada suhu konstan yaitu suhu didih dari gas tersebut. Gas yang digunakan adalah nitogen dengan suhu didih 77.3 K, dan massa sampel yang dibutuhkan untuk pengujian 0.1197 g. III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Karakterisasi Sel Elektrokimia Plot Nyquist dibagi menjadi tiga bagian yang berhubungan dengan frekuensi: (a) daerah setengah lingkaran menunjukkan tahanan total (ESR) yang diperoleh dari hasil pengurangan Rp terhadap Rs. Bagian (b) garis lurus dengan sudut sekitar 45º menunjukkan waktu yang dibutuhkan ion elektrolit meresap kedalam pori. Bagian terakhir (c) Garis tegak lurus terhadap impedansi riil (Z′) menggambarkan sifat kapasitif sel superkapasitor (Xi-miao dkk, 2007). Gambar 1 menunjukkan hasil pengukuran Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) untuk sel superkapasitor dengan variasi suhu pengaktivan CO2. 97 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 1. Plot Nyquis sel superkapasitor dengan variasi suhu pengaktivan CO2 Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai impedansi riil Z’’ semakin kecil seiring dengan bertambahnya suhu pengaktivan CO2. Nilai Z” pada suhu pengaktivan CO2 800 0C adalah 15,32 ohm dan nilai Z” pada suhu pengaktivan CO2 900 0C adalah 9,10 ohm. Nilai tahanan total sel superkapasitor untuk variasi suhu pengaktivan CO2 ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai tahanan sel superkapasitor berdasarkan variasi suhu pengaktivan CO2. Sampel Rs (Ω) Rp (Ω) ESR (Ω) CO2 800 0C 0,84 1,45 0,61 CO2 900 0C 0,74 1,52 0,78 Berdasarkan Tabel 1 dapat dianalisa sifat sel superkapasitor. Nilai Rs sel superkapasitor pada suhu pengaktivan CO2 800 0C lebih tinggi dibandingkan Rs sel pada suhu pengaktivan 900 0C. Nilai Rp sel superkapasitor pada suhu pengaktivan menunjukkan nilai tahanan yang lebih tinggi pada sel superkapasitor dengan suhu pengaktivan 900 0C. Nilai ESR adalah selisih dari nilai Rp dengan Rs. Nilai ESR sel superkapasitor dengan suhu pengaktivan 900 0C juga lebih besar dibandingkan dengan suhu pengaktivan 800 0C. Gambar 2 menjelaskan hubungan antara nilai kapasitansi spesifik terhadap frekuensi. Nilai kapasitansi spesifik terbesar ditunjukkan pada saat frekuensi terkecil (0.01 Hz). Nilai kapasitansi spesifik untuk sel superkapasitor dengan CO2 800 0C adalah 56,08 F/g dan 154,03 F/g untuk suhu pengaktivan CO2 900 0C. 180 800 0C 900 0C 160 Kapasitansi Spesifik (F/g) 140 120 100 80 60 40 20 0 0 ,0 1 0,1 0 1 ,0 0 1 0,0 0 1 0 0 ,00 1 0 0 0,0 0 F reku ensi (H z) Gambar 2. Hubungan antara kapasitansi spesifik terhadap frekuensi 98 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Nilai tahanan total sel berbanding terbalik dengan kapasitansi spesifik superkapasitor. Namun pada penelitian ini, nilai ESR sel superkapasitor lebih tinggi untuk suhu pengaktivan CO2 900 0C disebabkan daerah kontak pada permukaan sel yang lebih luas dibandingkan sel superkapasitor dengan suhu pengaktivan 800 0C. 3.2 Karakterisasi Luas Permukaan Sel Superkapasitor Hubungan volume serapan gas Nitrogen (N2) untuk elektroda karbon aktif dari potongan melintang kayu karet dengan variasi suhu pengaktivan CO2 disajikan pada Gambar 3. 1 20 0 800 C 900 0 C 3 Volume @STP(cm /g) 1 00 80 60 40 20 0 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 T ekan an Relativ (P /P 0 ) Gambar 3. Hubungan volume serapan terhadap perubahan tekanan gas N2 untuk pellet karbon aktif monolit dari potongan melintang kayu karet Berdasarkan Gambar 3 dapat dianalisa luas permukaan sel superkapasitor, luas permukaan sel superkapasitor sebanding dengan nilai kapasitansi spesifik sel superkapasitor (Rufford dkk, 2009). Daerah permukaan yang luas memungkinkan penyimpan daya yang lebih besar. Luas permukaan sel elektroda pellet karbon aktif dari potongan melintang kayu karet disajikan pada Tabel 2 Tabel 2 Luas permukaan sel elktroda pellet karbon aktif dari potongan melintang kayu karet Suhu Pengaktivan CO2 Luas Permukaan 800 0C 95.951 m2/g 0 900 C 331.543 m2/g Berdasarkan Tabel 2 ditunjukkan bahwa luas permukaan sel superkapasitor lebih tinggi pada suhu pengaktivan CO2 900 0C. Suhu pengaktivan yang tinggi menyebabkan pengotor yang mengisi pori berkurang lebih banyak, sehingga terbentuk pori yang lebih banyak dan menghasilkan daerah permukaan yang luas. IV. KESIMPULAN Pembuatan superkasitor menggunakan elektroda pellet karbon aktif dari potongan melintang kayu karet dengan aktivasi fisika menggunakan gas CO2 telah berhasil dilakukan. Suhu pengaktivan yang lebih tinggi menghasilkan nilai kapasitansi spesifik yang tinggi pula karena berkaitan dengan luas permukaan elektroda yang lebih tinggi. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimaksih kepada DP2M DIKTI atas bantuan pendanaan melalui project penelitian Hibah Kompetensi tahun 2015 dengan judul Nanokarbon Berbasis Limbah Biomassa sebagai Inti Elektroda Campuran Untuk Superkapasitor. DAFTAR PUSTAKA Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Pekanbaru. 2015. Peluang Investasi Kota Pekanbaru. Pekanbaru: Kepala BTPM Kota Pekanbaru. 99 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Bonifacio, L.D. Lotsch, B.V. Ozin, G.A. 2011. Periodic Mesoporous Materials: Holes Filled with Opportunities. Elsevier: 97. Ge, X. Tian,F. Wu, Z. Yan, Y. Cravotto, G. Wu, Z. 2015. Adsorption of naphthalene from aqueous solution on coal-based activated carbon modified by microwave induction: Microwave power effects. Chemical Engineering and Processing: Process Intensification.91: 67–77. Hartini, L. 2012. Efek Variasi Suhu Karbonisasi dalam Mendapatkan Aktif dari Kulit Durian untuk Aplikasi Pembersih Air Limbah. Skripsi Jurusan Fisika FMIPA Universitas Riau. Jain,A dan S.K. Tripathi. 2014. Fabrication and characterization of energy storing supercapacitor devices using coconut shell based activated charcoal electrode. Materials Science and Engineering: B.Vol 183: 54–60. Kötz, R dan Bärtschi, M. 2002. Hy.Power-A Fuel Cell Car Boosted with Supercapacitors. The 12th International Seminar on Double Layer Capacitors and Similar Energy Storage Devices. Deerfield Beach, USA. Liu, M.C. Kong, L.B. Zhang,P. Luo, Y.C. Kang,L. 2012. Porous wood carbon monolith for high performance supercapacitors. Electrochimica Acta. 60: 443– 448. Rufford, T.E. Jurcakova, D.H. Fiset, E. Zhu, Z. Lu, G.Q. 2009. Double-layer Capacitance of waste coffe ground activated carbons in an organic electrolyte. Electrochemistry Communications. 11: 974-977. Sumantre, M.A. 2013. Membran dari kulit telur sebagai separator superkapasitor. Skripsi Jurusan Fisika FMIPA Universitar Riau, Pekanbaru. Taer, E. 2009. Pembangunan Superkapasitor Menggunakan Elektroda Karbon. FMIPA Universitas Riau : Laporan Penelitian. Xio-miou, L.Z., Rui,Z. Liang,L. Dong-hui,Q. Wen-ming,Y. Jun-he,L. Li-cheng. 2007. Impedence of Carbon Aerogel / Activated Carbon Composites as Electrode of Electrochemical Capacitors in Aprotic Electrolyte, Journal science direct. Xu, B. Wu, F. Chen, R. Cao, G. Chen, S. Zhou, Z. Yang, Y. 2008. Highly mesoporous and high surface area carbon: A high capacitance electrode material for EDLCs with various electrolytes. Electrochemistry Communications. 10: 795–797. 100 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 UKURAN KRISTAL ZAT BESI (FE) SEMANGKA TANPA BIJI (QUALITY) MELALUI PERHITUNGAN SCHERER DARI X-RAY DIFRACTION Musfirah Cahya Fajrah Jurusan Fisika FMIPA Institut Sains Dan Teknologi Nasional [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian buah semangka untuk melihat pengaruh waktu pemanasan terhadap pengidentifikasian unsur, mikrostruktur dan ukuran kristal besi (Fe) dengan menggunakan SEM-EDAX dan XRD. Analisis SEM menunjukkan struktur permukaan yang tidak berpori, bentuk butir yang tidak beraturan dan semakin lama waktu pemanasan semakin terlihat adanya batas butir. Analisis EDAX menjelaskan bahwa buah semangka memiliki kandungan unsur besi (Fe) sebesar 5,59% dan analisis XRD menjelaskan bahwa semakin lama waktu pemanasan ukuran kristal yang diperoleh semakin kecil yaitu untuk pemanasan selama 1 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0014 m, untuk pemanasan 3 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0012 m dan untuk pemanasan 5 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0010 m. Hal ini terjadi karena unsur besi (Fe) yang terdapat pada sampel telah berikatan dengan oksigen (O) dan bersifat amorf, sehingga lebar setengah puncak difraksi (FWHM) semakin lebar. Kata Kunci : Variasi Waktu Pemanasan, Unsur Besi (Fe), Sem-Edax, Xrd, Dan Ukuran Kristal. ABSRACT A research has conducted on watermelon to see the effect of heating on identifying elements, microstructure and grain crystallite of the iron (Fe) using SEM-EDAX and XRD. SEM analysis showed that the surface structure is not porous, grain boundaries. EDAX analysis explain that watermelon contains iron (Fe) of 5.59% and XRD analysis explains that the longer the heating time the grain crystalite acquired the smaller, the heating for 1 hour to obtain a grain crystallite of 1.4 x 10-3 µm, the heating for 3 hours obtained grain crystallite of 1.2 x 10-3 µm and 5 hours for heating the grain crystallite obtained at 1.0 x 10-3 µm. This happens because of the element iron (Fe) contained in the sample have bonded with oxygen (O) and are amorphous, so that half the width of the diffraction peak (FWHM) is widening. Keywords : Variations In The Time Heating, Element Iron (Fe), Sem-Edax, Xrd And Grain Crystalite I. PENDAHULUAN Semangka (Citrulus lanatus) merupakan buah yang digemari masyarakat Indonesia karena rasanya yang manis, renyah dan kandungan airnya yang banyak (Prajnanta, 2003). Buah semangka memiliki kandungan air 92,30 g, kalori 28,00 kal, protein 1,10 g, lemak 0,20 g, karbohidrat 7,20 g, kalsium 8,00 g, fosfor 7,00 mg, zat besi 0,20 mg, serat 0,50 mg, natrium 1,00 mg, kalium 82,00 mg, vitamin B 0,20 mg dan vitamin C 6,00 mg. Zat besi merupakan mineral makro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh misalnya pada balita, zat besi berperan untuk kecepatan penghantar saraf, pemrosesan informasi dan kecerdasan (Almatsier, 2004). Sayuran dan buahan kaya akan nutrisi yaitu vitamin A, B dan C selain itu juga mengandung mineral seperti kalsium, kalium, magnesium, fosfor dan zat besi. Salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel darah merah adalah zat besi. Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan. Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Selain itu zat besi berperan dalam mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh, produksi hemoglobin dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Hanifah, 2009). Pemanasan sangat penting dalam proses suatu material, proses ini salah satunya adalah untuk pertumbuahan Kristal, perubahan fasa , ukuran Kristal, dan distribusi partikel. Dalam hal ukuran Kristal efek pemanasan dapat di deteksi melalui pelebaran puncak difraksi menggunakan analisa difrasi sinar X, yang mana bila semakin kecil ukuran Kristal maka semakin lebar puncak difraksi yang dihasilkan atau sebaliknya. Terhadap morfologi, efek pemanasan dapat melihat dengan jelas adanya distribusi partikel suatu bahan di mana batas antara butirannya lebih rapat dan tidak terjadi peregangan (Van vlack, 1989. Mengingat begitu pentingnya zat besi (Fe) bagi tubuh serta mengetahui 101 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 bahwa keberadaan zat besi (Fe) dalam buah semangka dapat membantu memenuhi kebutuhan zat besi (Fe) didalam tubuh. Maka dilakukan penelitian ini, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mikrostruktur zat besi (Fe) dari buah semangka dengan metode variasi waktu pemanasan. II. METODOLOGI Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap penyediaan sampel dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako dan tahap karakterisasi SEM-EDAX dilakukan di PT Vanadia Utama, Jakarta serta karakterisasi XRD dilakukan di Laboratorium Mikrostruktur Universitas Negeri Makassar. Dalam tahap penyediaan sampel, bahan yang digunakan adalah buah semangka tanpa biji, kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada suhu 180oC selama 1, 2, 3, 4, dan 5 jam. Tahap karakterisasi menggunakan SEM-EDAX dilakukan untuk mengetahui mikrostruktur dan kandungan unsur dari sampel, dan karakterisasi menggunakan XRD dilakukan untuk mengetahui ukuran kristal dari sampel. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisa Scanning Electron Microscope (SEM) Karakterisasi menggunakan SEM dapat diperoleh informasi berupa gambar struktur permukaan dari setiap sampel yang dianalisis. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 1,2,3,4,dan 5 berikut. Gambar 1. Pemanasan 1 Jam Gambar 3. Pemanasan 3 Jam Gambar 2. Pemanasan 2 Jam Gambar 4. Pemanasan 4 jam Struktur permukaan sampel dapat dijelaskan dari gambar 1, 2, 3, 4 dan 5 yaitu pada Gambar 1 menunjukkan struktur permukaan yang tidak berpori dan bentuk butir yang tidak beraturan. Pada Gambar 2, 3 dan 4 menunjukkan struktur permukaan dengan bentuk butir yang seragam dan tidak berpori. Sedangkan pada Gambar 5 terlihat struktur permukaan yang memiliki bentuk butir tidak beraturan serta terlihatnya batas butir (grain boundary). 102 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Batas butir Gambar 5. Pemanasan 5 Jam 3.2 Analisa energy Dispersive X-Ray Analisys (EDAX) Karakterisasi EDAX dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur dari sampel. Hasil EDAX secara kuantitatif dapat dijelaskan pada tabel 1 yang menunjukkan komposisi setiap unsur yang terdapat pada sampel. Adapun unsur-unsur yang terdapat pada sampel adalah C, O, K, Ca dan Fe. Tabel 1. Hasil karakterisasi EDAX Sampel Pemanasan 1 Jam No.Atom 6 8 6 8 6 8 6 8 19 6 8 20 26 Pemanasan 2 Jam Pemanasan 3 jam Pemanasan 4 jam Pemanasan 5 jam Unsur Karbon Oksigen Karbon Oksigen Karbon Oksigen Karbon Oksigen Kalium Karbon Oksigen Kalsium Besi Weigh (%) 54,63 46,04 53,96 45,37 54,23 44,64 56,01 43,21 46,04 56,94 36,48 0,99 5,59 3.3 Analisa X-ray Difraction (XRD) Karakterisasi XRD dilakukan untuk menentukan setengah puncak difraksi (FWHM) dan akan dilakukan perhitungan ukuran kristal menggunakan persamaan scherrer. Hasil XRD dapat dilihat pada Gambar 7, 8 dan 9 berikut. 4000 (101) 1000 (111) (110) 2000 0 10 20 40 50 0 100 50 10 60 20 70 Cristobalite alpha, Si O2 (111) 50 0 30 (101) 100 (110) Intensity(cps) 3000 Iron Oxide, Fe2 O3 30 40 50 60 70 2-theta (deg) Gambar 6. Hasil XRD pemanasan 1 Jam 103 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 5000 (111 ) 4000 (101 ) (440) (200 ) 2000 1000 0 20 (111) 0 100 50 0 10 40 50 60 70 cristobali te-alpha high, Si O2 Magnetite, Fe3 O4 (440 ) 50 30 (101 ) 10 100 (200 ) Intensity(cps) 3000 20 30 40 50 60 70 2-theta (deg) Gambar 7. Hasil XRD pemanasan 3 Jam (101) 5000 (002) 4000 (107) Intensity(cps) 3000 2000 1000 0 10 20 0 50 10 20 60 70 potassium undecaferrate(III), K ( Fe11 O17 ) (107) 50 40 cristobalite-alpha high, Si O2 (002) 50 0 100 30 (101) 100 30 40 50 60 70 2-theta (deg) Gambar 8. Hasil XRD pemanasan 5 jam Berdasarkan Gambar 6, 7 dan 8 telah diperoleh peak-peak yang menunjukkan senyawa– senyawa yang terdapat pada sampel, namun untuk mengetahui peak–peak yang menunjukkan senyawa Fe2O3, Fe3O4 dan Fe11O17, dilakukan analisis lebih lanjut sehingga diperoleh parameter panjang gelombang (λ), sudut difraksi ( ) dan lebar setengah puncak difraksi (FWHM), sehingga memudahkan perhitungan ukuran kristal dari senyawa-senyawa tersebut. Dari hasil analisis menjelaskan bahwa waktu pemanasan berpengaruh terhadap lebar setengah puncak difraksi (FWHM), yaitu semakin lama waktu pemanasan, lebar setengah puncak difraksi (FWHM) yang diperoleh semakin lebar. Persamaan Schere digunakan untuk memprediksi ukuran kristal bukan ukuran butiran, Dimana semakin kecil ukuran Kristal maka semakin lebar puncak difraksi yang dihasilkan. Dari hasil perhitungan ukuran kristal menggunakan persamaan scherrer (persamaan ini digunakan untuk memprediksi ukuran Kristalin berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X diperoleh ukuran kristal yang semakin kecil yaitu untuk pemanasan 1 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0014 m, untuk pemanasan 3 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0012 m dan untuk pemanasan 5 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0010 m. Hasil yang iperoleh menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemanasan ukuran kristal semakin kecil dan lebar setengah puncak difraksi (FWHM) semakin melebar. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa Fe2O3, Fe3O4 dan Fe11O17 pada serbuk buah semangka lebih cenderung bersifat amorf. Berdasarkan gambar 6, 7 dan 8 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran sudut difraksi ( dan pelebaran setengah puncak difraksi (FWHM). Pergeseran sudut difraksi ( terjadi karena adanya proses pemanasan dan terjadi pelebaran setengah puncak difraksi (FWHM) karena senyawa yang terkandung pada sampel buah semangka lebih bersifat amorf yang menyebabkan ukuran kristal semakin mengecil. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Hasil karakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dapat diketahui mikrostruktur dari sampel buah semangka yaitu struktur permukaan yang tidak berpori dan bentuk 104 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 butir yang tidak beraturan serta ukuran kristal yang semakin mengecil seiring dengan meningkatnya waktu pemanasan. Dari hasil karakterisasi menggunakan Energy dispersive X-Ray Analisys (EDAX) memperlihatkan bahwa serbuk buah semangka memiliki kandungan zat besi (Fe) sebesar 5,59% serta kandungan unsur-unsur lain yaitu unsur karbon (C) sebesar 56,94%, Oksigen (O) sebesar 36,48%, kalium (K) sebesar 46,04% dan kalsium (Ca) sebesar 0,99%. Hasil karakterisasi dan analisis XRD menjelaskan bahwa semakin lama waktu pemanasan terjadi pelebaran setengah puncak difraksi (FWHM) sehingga ukuran kristal yang dihasilkan semakin kecil yaitu untuk pemanasan selama 1 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0014 m, pemanasan selama 3 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0012 m dan pemanasan selama 5 jam diperoleh ukuran kristal sebesar 0,0010 m. 4.2 Saran Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan proses pemanasan dengan suhu yang tinggi dan waktu pemanasan yang cukup lama, sehingga dapat diperoleh kandungan zat besi (Fe) yang tinggi dari sampel buah semangka. DAFTAR PUSTAKA Almatsier S, 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anum Hanifah, 2009, Analisis kalsium dan besi dalam berbagai apel secara spektrometri serapan atom setelah destruksi basah dan kering, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Prajnanta, 2003, Analisis Kandungan Natrium, Magnesium dan kalium dari Buah Semangka Dengan Menggunakan spektrofotometer UV - Vis, Universitas Sumatra Utara, Medan. Zarianis, 2006, Efek Suplementasi Besi dan Vitamin C Terhadap Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar Yang Anemia Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, Universitas Diponegoro, Semarang. Van vlack, 1989, Ilmu Dan Teknologi Bahan, Penerbit Erlangga, Jakarta. 105 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 STUDI AWAL PEMANFAATAN ARANG TEMPURUNG KELAPA PRODUKSI PETANI SEBAGAI ADSORBEN ION BESI PADA AIR SUMUR WARGA DIKOTA DUMAI Rika Taslim 1, Ade Putra Pratama1, Erman Taer2 1 Jurusan Teknik Industri, Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim, 2 Jurusan fisika, Universitas Riau, Simpang baru, Pekanbaru, 28293 Pekanbaru,28293 email: [email protected] & [email protected] ABSTRAK Kebutuhan air bersih di Riau sangatlah tinggi karna sebagian besar daerah tidak ada sumber air bersih yang layak untuk digunakan. Fokus penelitian ini ditujukan pada daerah kecamatan Dumai Barat, kota Dumai. Sampel yang dipilih adalah sebanyak 5 buah air sumur bor warga. Hasil pengujian laboratorium menggunakan alat spektroskopi serapan atom didapatkan kandungan ion besi (Fe) sebanyak 5,057 ppm, 4,621 ppm, 1,013 ppm, 1,438 ppm dan 6,372 ppm masing-masing untuk sampel air simur A, B, C, D, dan E. Pengurangan kandungan ion Fe telah dilakukan dengan menggunakan proses adsorpsi memakai karbon aktif dari arang tempurung kelapa produksi petani yang telah dimodifikasi melalui proses aktivasi kimia menggunakan KOH. Proses modifikasi arang tempurung kelapa meliputi proses penggilingan menggunakan ball milling selama 20 jam, pengayakan untuk mendapatkan partikel karbon sebesar 100 µm dan proses aktivasi dengan senyawa KOH untuk perbandingan karbon dan KOH adalah sebesar 1:4. Setelah aktivasi selesai karbon aktif dari tempurung kelapa telah dipakai sebagai media penyerap ion Fe dengan perbandingan karbon dan sampel air adalah 5% : 95% dengan waktu perendaman selama 3, 5, 7 jam. Hasil pengujian menunjukkan arang tempurung kelapa berpotensi digunakan sebagai bahan penyerap ion Fe pada sumur warga. Kata kunci : arang tempurung kelapa, air sumur, logam Fe ABSTRACT The need for clean water in the Riau is very high because most of the areas there are no viable source for clean water. The focus of this research was aimed at regional districts of West Dumai. The selected sample was five artesian water residents. Results of laboratory testing using atomic absorption spectroscopy tools available of iron of (Fe) of 5,057 ppm, 4,621 ppm, 1,013 ppm, 1,438 ppm and 6,372 ppm, respectively and the samples was named as A, B, C, D, and E. Reduction of Fe ion content has been studied by using adsorption process with active carbon from coconut shell charcoal produced by regional farmers that have been modified through chemical activation process using KOH. Coconut shell charcoal modification process includes milling process using a ball milling for 20 hours, sieving to obtain carbon particles less than of 100 μm and activation process with KOH and KOH to carbon ratio was 1: 4. After activation was finished activated carbon from coconut shell has been used as absorbent for Fe ions with a ratio of carbon and water samples were 5%: 95% by the time of immersion for 3, 5, 7 hours. The results demonstrate that the coconut shell charcoal was a potential candidate used as an absorbent material on the Fe ion. Key word: Coconut shell charcoal, artesian water, Fe ion. I. PENDAHULUAN Kelapa adalah tanaman yang banyak sekali dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari batang, daun, dan buah. Pada bagian buah kelapa terdapat serabut kulit, daging buah dan tempurung. Selama ini tempurung kelapa hanya dipergunakan sebagai arang bakaran saja. Dewasa ini pemanfaatan arang tempurung kelapa tidak hanya digunakan sebagai karbon aktif, pembuatan karbon aktif dapat dilakukan dengan aktivasi fisika dan aktivasi kimia. Kalium Hidroksida (KOH) adalah salah satu bahan kimia yang banyak digunakan sebagai aktivator pengaktif suatu karbon.Karbon aktif dipakai dalam proses pemurnian udara, gas, dan larutan atau cairan, dalam proses pemurnian suatu logam dari biji logamnya, dan juga dipakai sebagai katalis pendukung. Dipakai juga dalam pemurnian gas dan udara, masker dan respirator, seragam militer, industri nuklir, deklorinasi, penyerapan rasa dan bau dari air, aquarium, filter pada rokok dan juga penghilang senyawa – senyawa organik dalam air. Dengan gaya Van der Walls yang dimilikinya, pori – pori yang sangat luas ini mampu menangkap berbagai macam bahan (Aufari, 2013). 106 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Dalam proses pengolahan air karbon aktif dapat digunakan sebagai adsorben untuk penyerapan logam berat yang terkandung didalam air. Logam berat yang bisa diserap karbon aktif diantaranya Cu, Zn, Pb, Fe, dll. Logam Fe adalah logam berat yang memiliki ciri-ciri berbau tidak enak, memiliki rasa pahit-asam dan air yang semula jernih dan telah terjadi kontak dengan udara maka air yang semula jernih berubah menjadi kecoklatan (Hartomo, 1994). Logam Fe apabila dikonsumsi melebihi batas yang ditentukan dapat membahayakan kesehatan karna bersifat toksik. Kadar logam besi (Fe) yang di perbolehkan Mentri Kesehatan dengan baku mutu 0,3 mg/L (Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 492/Menkes/PER/IV/2010). Pada tahap observasi di kota Dumai ditemukan bahwa air yang semula bersih selang waktu beberapa menit warna air berubah kecoklatan dan air memiliki bau yang tidak enak. Sifat air seperti itu ditemukan hampir merata di seluruh kota Dumai. Dari observasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa air di Kota Dumai tercemar logam Fe. Pada penelitian ini akan dilakukan pengurangan kadar Fe di dalam sampel air sumur dengan melakukan penyerapan menggunakan bahan karbon aktif dari karbon tempurung kelapa produksi petani. II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Pembuatan serbuk karbon aktif. Proses pembuatan serbuk karbon aktif dari kelapa dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: (i) Tahap awal yang perlu dilakukan adalah pemilihan arang komersil. Arang tempurung kelapa yang dipilih adalah arang tempurung kelapa yang tidak terdapat abu yang kasat mata dan dalam keadaan kering. Tahapan selanjutnya yaitu (ii) Penghancuran dan Pengayakan Arang Tempurung Kelapa. Arang dihancurkan menggunakan mortar sampai menghasilkan ukuran ± 0,5 mm, untuk mendapatkan ukuran tersebut tidak cukup hanya dilakukan pengilingan tetapi perlu adanya pengayakan hingga menghasilkan ukuran ± 0,5 mm. Tahapan berikutnya (iii) yaitu proses ball milling selama 20 jam dan dilanjutkan dengan (iv) proses pengayakan untuk mendapatkan ukuran partikel kecil dari 100 µm. Tahapan akhir adalah (v) Aktivasi arang tempurung kelapa dengan kalium hidroksida. Aktivasi dilakukan dengan perbandingkan massa KOH dengan arang tempurung kelapa yang dipakai sebanyak 4:1. 2.2 Adsorpsi ion Fe dalam sampel air Pada penelitian ini perbandingan karbon dan sampel air adalah 5% : 95% dengan waktu perendaman selama 3 jam, 5 jam dan 7 jam. 2.3 Pengujian pengurangan jumlah kandungan ion Fe dalam air Pengujian ini dimadsudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penurunan kandungan ion Fe yang terkandung dalam air. Pengujian kandungan ion Fe menggunakan alat spektroskopi serapan atom (SSA). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengujian sampel air awal/tanpa perlakuan menggunakan alat spektroskopi serapan atom (SSA) di dapatkan hasil seperti pada tabel dan grafik berikut: Tabel 1 Hasil Pengujian SSA Sampel Air Kandungan Fe A 5,0565 ppm B 4,6221 ppm C 1,0134 ppm D 1,4381 ppm E 6,3715 ppm Sumber: Hasil pengujian 107 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 1 Nilai Konsentrasi Logam Fe pada sampel air sumur di Kota Dumai Dari Tabel dan Gambar diatas diketahui bahwa air sumur di daerah Kota Dumai tercemar kadar Fe karena sudah melebihi batas baku mutu yang di tetapkan oleh Menteri Kesehatan sebesar 0,3 mg/L (ppm). Penggunaan terus menerus dapat memberikan efek yang tidak baik untuk kesehatan karena logam Fe bersifat toksik. Dari pengujian SSA, kandungan Fe yang terbesar pada sampel E sebesar 6,3715 ppm. Nilai kandungan Fe tersebut sangat tinggi dan dapat menggangu kesehatan apabila dikonsumsi. Cara untuk menurunkan kadar Fe dalam air dilakukan dengan cara Adsorpsi, yang bertindak sebagai adsorben adalah karbon aktif Pada penelitian ini penulis hanya hanya mengambil sampel D dan E untuk dilakukan proses adsorpsi menggunakan karbon aktif, berikut hasil pengujian karbon aktif dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut: Tabel 2 Hasil Pengujian SSA pada sampel D Sampel Air Kandungan Fe Persentase D.1 0 100% D.2 0 100% D.3 0 100% Sumber: Hasil pengujian Gambar 2 Nilai Konsentrasi Logam Fe pada sampel D ( D = tampa perlakuan / Awal, D.1 = Perendaman 3 jam, D.2 = Perendaman 5 jam, D.3 = Perendaman 7 jam ) Dari Tabel 2 dan Gambar 2 dapat dilihat penurunan kadar logam Fe pada D.1, D.2, D.3 mencapai 100% dan karbon aktif dapat mengadsorpsi kandungan logam Fe yaitu sebesar 1,4381 ppm. Persentase penyerapan yang lebih tinggi pada sampel D terkait juga dengan konsentrasi awal ion Fe yang ada. Konsentrasi ion yang ada didalam sampel D lebih kecil dibandingkan konsentrasi ion Fe yang ada pada sampel E. Sehingga penyerapan ion pada sampel D dapat mencapai persentase yang lebih tinggi dari pada sampel E. Dilihat dari proses perlakuan perendaman dapat diambil kesimpulan bahwa proses adsorpsi pada perlakuan 3, 5 dan 7 jam sangat baik karena dari hasil pengujian 108 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 menunjukkan bahwa logam Fe pada sampel D.1, D.2, D.3 memiliki persentase penyerapan yang sama sebesar 100%. Tabel 3 Hasil Pengujian SSA pada sampel E Sampel Air E.1 E.2 E.3 Kandungan Fe Persentase 2,1477 66,29% 2,0516 67,80% 2,4046 62,26% Sumber: Hasil pengujian Gambar 3 Nilai Konsentrasi Logam Fe pada sampel E ( E = tampa perlakuan / Awal, E.1 = Perendaman 3 jam, E.2 = Perendaman 5 jam, E.3 = Perendaman 7 jam ) Pada Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa hasil adsorpsi yang paling baik pada sampel E.2 dengan waktu perendaman selama 5 jam dengan persentase penurunan sebesar 67,80% dan penurunan logam Fe sebesar 4,2238 ppm. Pada Perendaman dengan waktu 3 jam nilai penyerapannya hampir sama dengan penyerapan perendaman 5 jam sebesar 66,29% dan penurunan logam Fe sebesar 4,3199 ppm. Pada waktu perendaman selama 7 jam terjadi penurunan dengan persentase penyerapan 62,26% dan penurunan logam Fe sebesar 3,9669 ppm. Dalam proses adsorpsi lamanya waktu kontak dapat mempengaruhi turunnya konsentrasi logam Fe yang terdapat pada sampel air sumur. Menurut laporan Rahayu, dkk tahun 2014 bahwa waktu kontak yang terlalu lama akan mengakibatkan proses desorpsi. Dimana desorpsi merupakan proses pelepasan kembali ion atau molekul yang telah berikatan dengan gugus aktif pada adsorben. IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa air di Kota Dumai tercemar logam Fe dengan nilai tiap sampel A, B, C, D, E sebesar sebanyak 5,057 ppm, 4,621 ppm, 1,013 ppm, 1,438 ppm dan 6,372 ppm. Setelah dilakukan perlakuan karbon aktif, nilai penurunan kadar logam Fe dalam air yang paling baik adalah pada waktu perendaman selama 5 jam. DAFTAR PUSTAKA Aufari, M, A., Robianto, S., Manurung, R. 2013. Pemurnian Crude Glicerine Melalui Proses Bleaching Dengan Menggunakan Karbon Aktif. Jurnal Teknik Kimia USU. 2:1, 44-48 Hartomo, A. J., Widiatmoko, M. C., 1994, Teknologi Membran Pemurnian Air. Andi Offset Yogyakarta, Yogyakarta, Kementrian Kesehatan. 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010. Jakarta: Menteri Kesehatan Rahayu, A, N., Adhitiyawarman., 2014 Pemanfaatan Tongkol Jagung Sebagai Adsorben Besi Pada Air Tanah. Jurnal Kimia Khatulistiwa 3:3, 7-13 109 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 MODEL KECEPATAN LOKAL GELOMBANG P SATU DIMENSI WILAYAH TOBA Dimas Salomo J. Sianipar1,2, Furqon Dawam Raharjo3 1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan 2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Balai Besar Wilayah I, Medan 3Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Geofisika Padang Panjang Email: [email protected] ABSTRAK Salah satu parameter penting dalam keakuratan lokasi hiposenter gempabumi yaitu tersedianya model kecepatan gelombang seismik dalam skala lokal atau regional dengan tingkat presisi yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat model kecepatan lokal gelombang P wilayah Toba, Sumatera Utara dan relokasi hiposenter gempabumi di sana. Penelitian ini menggunakan metode solusi masalah model kopel hypocenter-velocity dari Kissling (1995). Data gempa dan waktu tiba gelombang P diunduh dari buletin yang sudah dianalisis ulang (reviewed bulletin) oleh International Seismological Centre (ISC). Data yang digunakan yaitu 30 kejadian gempa dengan kualitas baik yang terjadi tahun 2010-2013 di wilayah Toba. Data waktu tiba gelombang P yang dipilih yaitu catatan dari stasiun-stasiun lokal dengan jarak kurang dari 10 derajat. Nilai Azimuthal GAP stasiun seismik rata-rata yang didapatkan cukup bagus untuk inversi ini yaitu 171. Sebanyak tiga puluh (30) iterasi dilakukan dalam proses relokasi dan penentuan model kecepatan. Pada iterasi ke-24 solusi mulai konvergen dan pada iterasi akhir memperoleh nilai RMS (root mean square) residual waktu tempuh yang sudah bernilai rendah yaitu sebesar 0.30. Penelitian ini berhasil menentukan model kecepatan lokal gelombang P pada 18 lapisan (kedalaman -3 sampai 171 km) dan relokasi hiposenter gempabumi di wilayah Toba. Kata kunci : gelombang P, model kecepatan, toba ABSTRACT One of the important parameters in accuracy of earthquake hypocenter is the high precision seismic velocity model which available in local or regional scale. The aims of this research are to make a local P-wave velocity model in Toba region, North Sumatra and to relocate the hypocenter there. This work used the method of coupled hypocenter-velocity model problem solution from Kissling (1995). The P-wave arrival data were downloaded from the reviewed event bulletin of International Seismological Center (ISC). We used 30 well-selected earthquakes which occurred in the 2010-2013 in Toba region. The P-wave arrival time data were selected from seismic stations which distance smaller than 10 degree (local scale). The average azimuthal GAP value of seismic stations is good for this inversion i.e. 171. We did 30 iterations in the relocation and inversion processes in order to make the new P-wave velocity model. In the 24th iteration, the solution is convergent and in the last iteration (the 30th), RMS residual of travel time have the lowest value i.e. 0.30. We successfully make a one dimensional and local P-wave velocity model in 18 layers (depth -3 to 171 km) and hypocenter relocation in Toba region. Keywords: P wave, velocity model, toba I. PENDAHULUAN Wilayah Toba merupakan bekas supertektovulkano Gunung Toba raksasa yang meletus. Wilayah Toba merupakan wilayah yang memiliki aktivitas kegempaan. Pada bulan Juli 2013, setelah terjadinya gempa darat yang merusak di wilayah Bener Meriah, Aceh, terjadi rangkaian gempa di wilayah Toba, Sumatera Utara. Tepatnya pada tanggal 4 Juli 2013, pukul 17:58 UTC, terjadi gempa dengan magnitudo M=3.6 dengan pusat gempa berada pada koordinat 2.57 LU, 98.64 BT, kedalaman 10 km. Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Balai Besar Wilayah I Medan, gempa ini dapat dirasakan masyarakat di wilayah Samosir dalam skala II MMI (Modified Mercally Intensity). Setelah gempa ini terjadi lagi sebanyak 23 kejadian gempa dengan yang paling besar yaitu yang terjadi pada tanggal 5 Juli 2013 pukul 16:54 UTC dengan kekuatan M=4.8. Pusat gempa berada pada koordinat 2,560 LU, 98,610 BT dengan kedalaman 10 km. Gempa ini dirasakan masyarakat di wilayah Samosir dalam skala III-IV MMI. Ramdhan dan Nugraha (2013) melakukan studi seismisitas di sekitar wilayah Toba berdasarkan hasil relokasi hiposenter. Menurut mereka, wilayah Toba sangat menarik dijadikan topik 110 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 penelitian berdasarkan kepada tatanan tektonik dan kondisi geologinya. Wilayah Toba dipengaruhi oleh adanya slab subduksi miring yang menyusup ke bawah Pulau Sumatera, segmen-segmen dari patahan besar sumatera (Sumatra Fault System) serta keberadaan gunung api yang aktif di sekitarnya. Dalam melakukan relokasi hiposenter di wilayah Toba, mereka menggunakan model kecepatan yang dihasilkan oleh Madlazim dan Santosa (2010). Salah satu parameter penting dalam keakuratan lokasi hiposenter gempabumi yaitu tersedianya model kecepatan gelombang seismik dalam skala lokal atau regional dengan tingkat presisi yang tinggi. Model kecepatan ini menunjukkan keheterogenitas batuan pada lapisan-lapisan di bawah permukaan bumi. Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat model kecepatan lokal gelombang P satu dimensi wilayah Toba. Model struktur kecepatan gelombang gempa yang biasa digunakan dalam studi seismologi, salah satunya adalah model kecepatan global IASP91. IASP91 merupakan model kecepatan bumi satu dimensi yang dihasilkan oleh International Association of Seismology and Physics of the Earth’s Interior (IASPEI) dari pemodelan menggunakan ribuan data gelombang P dan gelombang S yang direkam oleh ribuan sensor seismik di seluruh dunia. Model kecepatan ini disusun dengan asumsi bahwa interior bumi di seluruh bagian mempunyai karakteristik yang sama atau homogen. Pada kenyataannya, struktur interior bumi tidaklah homogen, sehingga pemakaian model kecepatan global dinilai kurang akurat dalam perhitungan parameter hiposenter untuk gempa-gempa yang bersifat lokal dan/atau regional. Tingkat ketelitian penentuan parameter hiposenter untuk gempa-gempa lokal di suatu daerah dapat ditingkatkan dengan membuat model struktur kecepatan gelombang seismik yang lebih sesuai (cocok) untuk daerah tersebut. Beberapa penelitian sudah pernah membahas tentang struktur kecepatan gelombang P di wilayah Sumatera bagian utara dan sekitarnya, di antaranya yaitu Madlazim dan Santosa (2010), Akbar dan Santosa (2012), Rachman dan Nugraha (2012), Iswati, dkk. (2013) dan Muksin (2014), tetapi belum ada yang secara khusus menentukan model kecepatan lokal wilayah Toba dalam banyak lapisan yang jelas dan menggunakan data waktu tiba gelombang P yang sudah dianalisis ulang (reviewed) serta dengan menggunakan stasiun-stasiun yang lokal yaitu jarak kurang dari 10 derajat. Koulakov dkk. (2009) dalam penelitiannya secara fokus membahas wilayah Toba yaitu menentukan tomografi gelombang seismik di sana. Hasil penelitian mereka berupa citra model kecepatan gelombang P dan S sebagai hasil tomografi seismic wilayah Toba. Saat ini diperlukan nilai-nilai kecepatan gelombang P satu dimensi dalam banyak lapisan yang dapat dipergunakan dalam perangkat lunak penentuan lokasi hiposenter gempa (locating) yang jelas dengan tingkat akurasi yang tinggi. Untuk itulah dilakukan penelitian penentuan model kecepatan lokal satu dimensi di wilayah Toba seperti yang dilakukan dalam penulisan ini. II. DATA Data parameter gempabumi dan waktu tiba gelombang P diunduh dari buletin yang sudah dianalisis ulang (reviewed event bulletin) oleh International Seismological Centre (ISC). Data yang digunakan yaitu kejadian gempa di wilayah Toba pada batasan koordinat 2.04050 LU sampai dengan 3.04050 LU, 98.22820 BT sampai dengan 99.22820 BT, pada semua rentang kedalaman (0-1000 km) dan magnitudo (0≤M≤9.5). Data ini merupakan data 30 kejadian gempa dengan kualitas baik yang terjadi dari tahun 2010-2012 (selama tiga tahun). Data waktu tiba gelombang P yang dipilih yaitu catatan dari stasiun-stasiun lokal dengan jarak kurang dari 10 derajat. Selain itu digunakan data stasiun-stasiun seismik yang berada di wilayah Sumatera bagian utara dan sekitarnya. Data stasiun yang dibutuhkan meliputi koordinat stasiun (lintang dan bujur) serta elevasinya. Selain itu dipilih stasiun referensi yaitu stasiun Parapat (PSI). Model kecepatan awal (inisial) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model kecepatan IASP91 yang sudah dimodifikasi menjadi 21 lapisan. III. METODOLOGI Model struktur kecepatan gelombang gempa dapat ditentukan dengan memanfaatkan seperangkat data observasi gempa yang meliputi data waktu tiba (arrival time) atau waktu tempuh (travel time) gelombang gempa yang terekam pada stasiun seismik. Perhitungan model kecepatan gelombang P satu dimensi di wilayah Toba ini menggunakan metode inversi penyelesaian masalah model kopel hypocenter-velocity dari Kissling (1995). Dalam melakukan inversi, jarak episenter maksimal dalam penggunaan fase gelombang seismik yaitu 4 derajat (444.8 km). Data observasi pada stasiun-stasiun pada jarak yang lebih besar dari ini diabaikan (tidak digunakan). Fase gelombang seismik yang digunakan hanya fase gelombang P. 111 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Metode solusi kopel hypocenter-velocity ini merupakan metode relokasi gempa dan koreksi stasiun secara bersamaan. Prinsip metode ini adalah melakukan inversi secara simultan terhadap model kecepatan dan hiposenter yang dibatasi pada fase pertama waktu tiba gelombang P (P-wave first arrival phases). Metode ini digunakan dalam perangkat lunak Velest 3.3 (Kissling, 1995). Dalam Velest 3.3, diperlukan empat data masukan, yaitu data gempabumi, daftar stasiun-stasiun seismik, model kecepatan inisial (awal) gelombang P satu dimensi, dan kontrol parameter. Data gempabumi yang dimaksud yaitu data parameter gempa (origin time, koordinat episenter, kedalaman, dan magnitudo) dan data waktu tiba gelombang P (dalam sekon) dengan nama stasiun seismik pencatatnya. Model awal yang digunakan yaitu model kecepatan global IASP91 yang dimodifikasi menjadi 21 lapisan. Kontrol parameter yang dilakukan yaitu mengganti nama-nama masukan sesuai nama data gempa, data stasiun dan data model inisial. Pada kontrol parameter juga ditentukan koordinat pusat wilayah penelitian, jumlah gempa, jarak maksimum episenter ke stasiun, dan banyaknya iterasi yang akan dilakukan dalam inversi. Diagram alir metode inversi solusi masalah kopel hypocenter-velocity dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Diagram alur proses penentuan model kecepatan lokal gelombang P baru dari Kissling (1995). Data gempabumi yang dipakai ini yaitu data dari tahun 2010 (karena stasiun-stasiun seismik InaTEWS BMKG dipertimbangkan mulai beroperasi secara optimal pada tahun ini) dan sampai tahun 2012 (data yang sudah di-review/direlokasi oleh ISC). Artinya data yang digunakan ini sudah cukup baik karena sudah dianalisis ulang oleh ISC serta menggunakan stasiun-stasiun seismik BMKG yang dekat dengan sumber gempa. Sebanyak tiga puluh (30) iterasi dilakukan dalam proses relokasi dengan dasar prinsip Joint Hypocenter Determination (JHD) dan penentuan model kecepatan satu dimensi yang baru. Stasiun referensi yang digunakan yaitu Stasiun PSI (Parapat, Sumatra, Indonesia, koordinat 2.8018 LU, 98.9240 BT, elevasi 1051 m). Stasiun referensi ini ditentukan berdasarkan kriteria sebagai stasiun seismik dengan kualitas yang tinggi, dekat dengan pusat dari geometri jaringan stasiun, dengan waktu perekaman gempa yang panjang, serta sedikitnya mencatat sedikitnya 50 persen dari bacaan fase yang ada. Pengetahuan tentang struktur kecepatan dekat permukaan di sekitar bawah stasiun referensi dapat membantu interpretasi keterlambatan stasiun (station delays) secara kualitatif. Dengan persyaratan di atas, maka ada 15 (lima belas) stasiun seismik yang dapat digunakan. Semua stasiun tersebut beserta banyaknya fase gelombang P yang terekam yaitu: BKNI (5), FRIM (2), GSI (25) IPM (4), KCSI (23), KULM (3), LHMI ( 4), MLSI (4), MNSI (20), PBSI (10), PSI (26), SISI (1), SNSI (7), TPTI (17), TSI (19). GAP rata-rata yang didapatkan dari seluruh proses perhitungan yaitu sebesar 171. GAP ini artinya yaitu nilai terbesar azimuthal gap antara stasiunstasiun perekam yang berdekatan secara azimuth dalam derajat. Nilai ini dianggap cukup baik karena masih dibawah 180 derajat. Namun ada beberapa event gempa yang memiliki nilai GAP lebih dari 112 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 180 yang dikarenakan kondisi sebaran geometri stasiun seismik penerima yang digunakan dalam penentuan lokasinya (locating). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Total rekaman fase gelombang P dari seluruh gempa yaitu sebanyak 170. Dari 170 bacaan fase gelombang P ini, sebanyak 167 merupakan gelombang langsung-lurus dan hanya 3 (tiga) merupakan gelombang yang direfraksikan. Root mean square (RMS) residual sebelum dilakukan proses perhitungan yaitu 1.620092. Iterasi pertama setelah mulai dilakukan penyelesaian solusi, menghasilkan RMS residual senilai 1.448997 dan terus berkurang pada setiap iterasi. Grafik nilai RMS residual waktu tempuh pada setiap iterasi dapat dilihat pada Gambar 2. Dari grafik tersebut, terlihat bahwa solusi sudah mulai konvergen pada iterasi ke 24. Gambar 2 Grafik nilai RMS residual waktu tempuh pada setiap iterasi. RMS terlihat sudah konvergen pada iterasi ke-24. Proses inversi ini dilakukan secara simultan untuk menentukan model kecepatan gelombang P satu dimensi dan relokasi hiposenter hingga iterasi ke-30. Setelah 30 iterasi ini, dari 170 sinar gelombang seismik tersebut, disimpulkan 157 merupakan sinar gelombang lurus dan langsung, dan 13 merupakan sinar gelombang yang direfraksikan. Pada iterasi terakhir ini, nilai RMS residual waktu tempuh sudah sangat kecil yaitu 0.304776. Hasil ini dianggap sudah cukup baik karena nilai RMS residual waktu tempuh yang sudah sangat kecil mendekati nol. Gambar 3 Episenter 30 gempabumi yang digunakan dalam penelitian ini. Tanda bintang merupakan episenter sebelum relokasi dan tanda bulat sesudah relokasi.Warna pada simbol menunjukkan kedalaman hiposenter, merah artinya kedalaman dangkal (kurang dari 70 km) dan hijau artinya kedalaman menengah (71-300 km). Tabel 1 menunjukkan nilai-nilai keterlambatan (delays) waktu tiba gelombang P di setiap stasiun seismik, relatif terhadap stasiun referensi PSI (nilai delay 0). Nilai-nilai ini merupakan koreksi stasiun, ada yang bernilai positif dan ada yang bernilai negatif. Waktu delay stasiun bernilai negatif 113 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 menunjukkan bahwa waktu tempuh gelombang P lebih cepat untuk sampai pada stasiun pencatat tersebut dibandingkan dengan stasiun referensi dikarenakan struktur batuan di sekitar bawah stasiun seismik tersebut tersusun atas bebatuan yang lebih padat (hardrock). Waktu delay stasiun bernilai positif mengindikasikan bahwa struktur batuan di sekitar bawah stasiun seismik tersebut tersusun atas batuan yang lebih lunak (sedimen) yang menyebabkan gelombang P merambat lebih lambat untuk sampai pada stasiun pencatat tersebut dibanding stasiun referensi (Madlazim dan Santosa, 2010). Tabel 1 Waktu delay (koreksi stasiun) yang didapatkan dalam penelitian ini Stasiun BKNI FRIM IPM KCSI KULM LHMI MLSI MNSI PBSI SNSI TPTI TSI GSI PSI Fase P P P P P P P P P P P P P P Keterlambatan (delay) 0.9935 -0.0311 -0.4340 -1.1418 -1.1091 -2.1159 -2.0266 -0.4964 -2.1052 -1.6828 -0.9476 -0.0455 -1.3779 0.0000 Gambar 4 Grafik model kecepatan inisial dan model kecepatan baru gelombang P satu dimensi di wilayah Toba. Garis biru merupakan struktur kecepatan IASP91 yang dimodifikasi menjadi 21 lapisan, garis merah merupakan struktur kecepatan gelombang P baru yang didapat dari inversi dalam penelitian ini. Dengan menggunakan model kecepatan global IASP91 yang sudah dimodifikasi (menjadi 21 lapisan) sebagai model kecepatan inisial, didapatkan model kecepatan baru gelombang P satu dimensi 114 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 hasil inversi untuk wilayah Toba. Berdasarkan hasil perhitungan, sangat sedikit sinar gelombang yang melewati lapisan di atas 171 km (hanya 24 sinar gelombang, lihat Tabel 2). Maka struktur kecepatan gelombang P dalam penelitian ini hanya bisa ditentukan sampai kedalaman 171 km. Grafik perbandingan struktur model kecepatan awal (inisial) dengan model kecepatan baru hasil inversi yang didapat dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4, sementara secara kuantitatif, nilainya tertera pada Tabel 2. Model kecepatan baru hasil inversi dengan menggunakan inversi solusi model kopel hypocenter-velocity ini memiliki nilai yang berbeda dengan model kecepatan inisial yang digunakan. Pada kedalaman kurang dari 100 km, kecepatan gelombang P yang baru lebih lambat dibanding model kecepatan inisial. Pada lapisan di atas mean sea level, kecepatan gelombang P yaitu 4.9 km/s. Pada lapisan kerak (crust), kecepatan gelombang P menurun secara bertahap dari 5.3 km/s hingga 5.0 km/s. Lapisan ini teridentifikasi sebagai lapisan kerak bumi bagian atas (upper crust) yaitu kedalaman 0 hingga 25 km. Pada kedalaman 25-35 km teridentifikasi lapisan berkecepatan rendah (low velocity layer) dengan kecepatan gelombang P yaitu 4.87 km/s. Selanjutnya nilai kecepatan gelombang P meningkat menjadi 5.25 sampai 5.26 km/s pada kedalaman 35 hingga 50 km. Lapisan ini teridentifikasi sebagai lapisan kerak bumi bagian bawah (lower crust). Tabel 2 Hasil nilai kecepatan gelombang P pada setiap lapisan. NHIT merupakan jumlah sinar gelombang yang melewati lapisan tersebut. XY yaitu rata-rata panjang sinar gelombang horisontal pada lapisan tersebut. Z yaitu rata-rata panjang sinar gelombang vertikal pada lapisan tersebut. Nomor Lapisan Atas ..... Bawah (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 -3.00... 0.00 0.00... 2.00 2.00... 4.00 4.00... 7.00 7.00... 10.00 10.00... 15.00 15.00... 20.00 20.00... 25.00 25.00... 35.00 35.00... 40.00 40.00... 50.00 50.00... 60.00 60.00... 71.00 71.00... 81.00 81.00...100.00 100.00...120.00 120.00...140.00 140.00...171.00 171.00...210.00 210.00...271.00 271.00... Kecepatan gelombang P inisial (km/s) 4.8 5.8 5.8 5.8 5.8 5.8 5.8 6.5 6.5 8.04 8.04 8.04 8.04 8.05 8.05 8.05 8.19 8.19 8.30 8.52 8.88 Kecepatan gelombang P baru (km/s) NHIT XY (km) Z (km) 4.9 5.32 5.2 5.17 5.17 5.12 5.12 5.08 4.87 5.25 5.26 5.94 7.77 7.31 7.93 8.45 8.09 8.63 8.56 8.52 8.88 120 220 170 170 170 170 170 171 168 170 167 167 158 149 153 141 137 119 24 0 0 0.1 4.3 1.7 2.5 2.5 3.9 3.9 3.4 5.8 3.2 6.3 7.6 26.5 11 27.4 41.2 29 38.5 8.9 0 0 0.3 1.5 2 3 3 5 5 4.9 9.8 4.9 10 10 10.4 10 18.2 19.4 19.6 18.6 6.4 0 0 Pada kedalaman 50-60 km, kecepatan gelombang P kembali meningkat secara signifikan menjadi 5.94 km/s yang masih bisa diidentifikasi sebagai lapisan kerak bagian bawah dengan densitas batuan yang semakin padat. Nilai kecepatan meningkat signifikan pada kedalaman 60-71 km menjadi 7.77 km/s dan terus meningkat hingga pada kedalaman 81-100 km menjadi 7.93 km/s. Lapisanlapisan dengan kecepatan lebih tinggi ini teridentifikasi sebagai lapisan mantel bagian atas. 115 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Pada kedalaman di atas 100 km, kecepatan gelombang P yang dihasilkan dari inversi penelitian ini lebih cepat dari model kecepatan inisial. Lapisan-lapisan ini masih teridentifikasi sebagai lapisan mantel bumi. Perbedaan antara model kecepatan inisial dengan model kecepatan hasil inversi menunjukkan bahwa setiap wilayah memiliki model kecepatan gelombang P satu dimensi yang berbeda sesuai dengan kondisi heterogenitas horisontal dan lateral bawah permukaan. Model kecepatan baru hasil inversi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin ke dalam maka semakin besar pula kecepatan gelombang P. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke dalam lapisan penyusun bumi semakin rapat (densitas meningkat). Teridentifikasi adanya tiga lapisan berkecepatan rendah (low velocity layer) yang tidak mengikuti pola peningkatan terhadap kedalaman yaitu pada kedalaman 25-35 km, 71-81 km, dan 120140km. Lapisan berkecepatan rendah ini biasanya berada pada zona transisi antar lapisan. Selain menghasilkan model kecepatan baru, metode solusi coupled hypocenter velocity ini juga melakukan relokasi hiposenter yang secara teoritis menggunakan prinsip relokasi simultan Joint Hypocenter Determination (JHD). Perbandingan episenter baru hasil relokasi dan inisial sesuai data buletin ISC, dapat dilihat pada Gambar 3 di atas. Kualitas episenter baru hasil relokasi dipertimbangkan lebih baik ditinjau dari kecilnya nilai RMS residual waktu tempuh pada masing-masing event gempabumi. V. KESIMPULAN Penelitian ini berhasil membuat model kecepatan lokal gelombang P satu dimensi wilayah Toba dengan metode inversi solusi model kopel hypocenter-velocity menggunakan data 30 gempa dengan kualitas baik. Keakuratan model kecepatan baru dipertimbangkan menjadi lebih baik ditinjau dari kecilnya RMS residual waktu tempuh yang dihasilkan yaitu 0.30. Rata-rata GAP sebesar 171 juga mendukung keakuratan hasil perhitungan ini. Idealnya azimuthal GAP di bawah 180, tetapi karena kondisi sebaran gempa dan geometri stasiun seismik yang digunakan, sulit mencapai nilai di bawah 180 untuk seluruh gempa. Struktur model kecepatan yang dihasilkan yaitu sebanyak 18 lapisan (kedalaman -3 sampai 171 km). Pada kedalaman kurang dari 100 km, kecepatan gelombang P yang baru lebih lambat dibanding model kecepatan inisial. Pada kedalaman di atas 100 km, kecepatan gelombang P yang dihasilkan dari inversi penelitian ini lebih cepat dari model kecepatan inisial. Teridentifikasi lapisan upper crust, lower crust dan lapisan mantel. Teridentifikasi juga adanya tiga lapisan berkecepatan rendah (low velocity layer) yang tidak mengikuti pola peningkatan kecepatan gelombang P terhadap kedalaman yaitu pada kedalaman 25-35 km, 71-81 km, dan 120-140 km. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Gigih Wahyu, dan Bagus Jaya Santosa, 2012, Model Inversi 1D Struktur Lapisan Kerak Bumi dengan Metode Algoritma Genetik di Provinsi Sumatera Utara Indonesia, Jurnal Sains POMITS Vol. I, No. 1, 1-7. Iswati, Dina, Supardiyono, dan Madladzim, 2013, Estimasi Model Kecepatan Lokal Gelombang Seismik 1D Dan Relokasi Hiposenter Di Daerah Sumatera Barat Menggunakan Hypo-GA dan Velest 3.3. Jurnal Fisika Vol. II No. 2, 1-5. Kissling, E, 1995, Program Velest User’s Guide – Short Introduction, Institute of Geophysics ETH Zurich. Koulakov Ivan,Tedi Yudistira, Birger-G. Luehr dan Wandono, 2009, P, S velocity and Vp/Vs ratio beneath the Toba caldera complex (Northern Sumatra) from local earthquake tomography, Geophys. J. Int., doi: 10.1111/j.1365-246X.2009.04114.x. Madlazim dan B. J. Santosa, 2010, Simultaneous Inversion for 1-D P-Wave Velocity Model, Station Corrections and Hypocenters of Sumatra Earthquakes, 5th Kentingan Physics Forum, pp.9398. Muksin, 2014, A Fault-Controlled Geothermal System in Tarutung (North Sumatra, Indonesia) Investigated by Seismological Analysis, Disertasi, GFZ Postdam. Puspito. Nanang T., 1996, Struktur Kecepatan Gelombang Gempa dan Koreksi Stasiun Seismologi di Indonesia, JMS Vol. I No.2. Rachman, Deni Tri dan Nugraha, Andri Dian, 2012, Penentuan Model 1-D Kecepatan Gelombang P Dan Relokasi Hiposenter Secara Simultan Untuk Data Gempabumi Yang Berasosiasi Dengan Sesar Sumatera Di Wilayah Aceh Dan Sekitarnya, JTM, Vol. XIX No.1. Ramdhan, Muhammad dan Andri Dian Nugraha, 2013, Study of seismicity around Toba area based on relocation hypocenter result from BMKG catalogue, AIP Conf. Proc. 1554, 242; doi: 10.1063/1.4820330. 116 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 ESTIMASI TEMPERATUR RESERVOIR PANAS BUMI BERDASARKAN RESISTIVITAS LISTRIK TERAS SILIKA DI SEKITAR MATA AIR PANAS KECAMATAN ALAM PAUH DUO, KABUPATEN SOLOK SELATAN Eko Budi Nugroho, Ardian Putra Laboratorium Fisika Bumi, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang, 25163 e-mail :[email protected], [email protected] .ac.id ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang perkiraan temperatur reservoir panas bumi di daerah Alam Pauh Duo, Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan berdasarkan resistivitas listrik silika jenuh air dan resistivitas air. Sampel teras silika dan air diambil pada 6 titik radial menjauh dari sumber mata air panas.Pada pengujian resistivitas silika jenuh air, nilai yang didapatkan yaitu berkisar antara 7,06 sampai dengan9,74 ā¦m dan resistivitas air didapatkan nilai berkisar antara 57,06 dan 58,52 ā¦m. Perkiraan temperatur reservoir yang dihasilkan memiliki rentang temperatur rata-rata antara 253 sampai dengan 340ĖC yang dihitung menggunakan persamaan Dakhnov.Nilai ini mengindikasikan bahwa daerah di Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan berpotensi sebagai sumber pembangkit listrik tenaga panas bumi. Kata Kunci :estimasi temperatur reservoir, teras silika, resistivitas, mata air panas, Solok Selatan ABSTRACT The study in estimating temperature of geothermal reservoir at Alam Pauh Duo, Solok Selatan was conducted based on the electrical resistivity ofsaturated silica and resistivity of water. Silica sinter terraces and water samples were taken at six point radially away from the hot spring. Electrical resistivity of saturated silica range from 7.06 to 9.74 ā¦m, while the resistivity of water range from 57.06 to 58.52 ā¦m. Temperature estimation of geothermal reservoir have an average of temperature value from 253 to 340ĖC, calculated using Dakhnov equation. This value indicates that the area at Alam Pauh Duo, Solok Selatan has potential as a source of geothermal power plant. Keywords :temperature estimation of reservoir, silica sinter terraces, resistivity, hot spring, Solok Selatan I. PENDAHULUAN Kebutuhan akan energi di Indonesia terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan industri dan bertambahnya jumlah penduduk. Dengan kondisi tersebut, hanya bergantung kepada energi fosil saja tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Indonesia perlu mengembangkan energi lain yang berpotensi besar khususnya dari bidang energi baru dan energi terbarukan. Dari berbagai macam energi terbarukan yang sedang dikembangkan di Indonesia, salah satu energi yang dapat digunakan adalah energi panas bumi yang dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung.Pemanfaatan langsung dapat dikembangkan untuk pemandian air panas, memasak bahan makanan, dan pemanas ruangan. Pemanfaatan tidak langsung dikembangkan untuk pembangkit listrik energi panas bumi (Fitrianty, 2012). Pembangkit listrik energi panas bumi (PLTP) telah berkembang dengan cepat sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi PLTP tesebut.Dalam perkembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi harus ada perhitungan dan perencanaan yang maksimal.Perencanaan awal biasanya menganalisis temperatur yang ada pada reservoir panas bumi agar mendapatkan hasil yang baik untuk pembangkit listrik. Temperatur reservoir biasanya dapat diketahui dengan cara pemboran, namun dengan mahalnya biaya untuk pemboran tersebut harus digunakan perhitungan estimasi pada reservoir tersebut. Estimasi temperatur biasanya dapat dihitung dengan mineral yang ada di sekitar manifestasi permukaan panas bumi (Liney, dkk., 2010). Sumber mata air panas berasal dari sistem panas bumi hidrotermal.Pemanasandalam bumi menghasilkan panas yang dapat keluar ke permukaan pada daerah gunung berapi atau retakan geologis.Panas yang keluar ini diakibatkan karena adanya celah atau retakan di kulit bumi.Sumber 117 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 panas bumi memiliki kandungan berbagai mineral seperti kalsium, belerang, litium, radium, dan silika. Mineral-mineral ini muncul ke permukaan akibat terjadinya pendorongan oleh temperatur yang meningkat dari kerak bumi (Suparno, 2009). Silika merupakan salah satu mineral penting dalam mengestimasi temperatur reservoir dengan membawa informasi temperatur tersebut dari bawah permukaan bumi yang terbawa oleh air. Silika banyak terdapat di sekitar mata air panas yang memiliki ciri khusus dengan adanya teras-teras silika (silica sinter terraces).Kandungan silika dapat digunakan untuk menentukan nilai temperatur, karena kelarutan silika merupakan fungsi temperatur yang tidak dipengaruhi oleh tekanan dan garam terlarut (Fournier, 1989). Resistivitas secara langsung berkaitan dengan sifat-sifat batuan panas yang ada di bawah permukaan bumi, seperti salinitas, porositas, permeabilitas, temperatur, dan perubahan mineral. Nilai resistivitas listrik bahan pada daerah geotermal sangat membantu untuk memprediksi temperatur yang ada di bawah permukaan bumi di daerah geotermal (Hersir dan Arnason, 2009).Resistivitas dapat didefinisikan sebagai rasio beda potensial, untuk arus I (A) pada suatu material memiliki luas penampang 1 m2 dan panjang 1 m, menurut hukum Ohm resistivitas suatu bahan dapat dituliskan: ρ = R (A/L) (1) dengan ρ adalah resistivitas bahan (ā¦m), R adalah resistansi (ā¦), A adalah luas penampang (m2), dan l adalah panjang (m) (Tipler, 2001). Sehingga persamaan telah dikembangkan oleh Dakhnov : ρw = ρwo /[1+ (T-To)] (2) dengan ρwadalah nilai resistivitas jenuh air yang berisi fluida pada temperatur To, ρwoadalah resistivitas air pada temperaturTo, Toadalah suhu awal mata air panas dengan nilai 23ĖC, dan adalah koefisien suhu dari resistivitas dengan nilai 0.023ĖC-1, T merupakan temperatur pada larutan (Hersir dan Arnason, 2009). Kabupaten Solok Selatan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki sumber daya alam panas bumi terbesar di Sumatera Barat.Dari penelitian yang telah dilaksanakan di daerah ini berpotensi membangkitkan energi listrik sebesar 1000 MW.Salah satu manifestasi permukaan panas bumi yang banyak di kabupaten ini adalah sumber mata air panas (Solselkab, 2011).Dari banyaknya potensi energi panas bumi yang ada di Kabupaten Solok Selatan dan hipotesis yang ada, dapat dilakukan penelitianmemprediksi temperatur reservoir yang ada di bawah permukaan bumi pada daerah sumber mata air panas di Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan berdasarkan resistivitas listrik teras silika dan resistivitas listrik air di mata air panas. II. METODE Bahan penelitian berupa teras silika dan air yang diambil radial menjauh dari sumber mata air panas.Sampel silika dan air diambil pada enam titik yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 1.Penelitian perkiraan temperatur reservoir menggunakan dua parameter uji yaitu resistivitas listrik silika jenuh air dan resistivitas air. Pada pengujian resistivitas silika jenuh air,sampel silika dimasukkan kedalam pipa PVC dan disambungkan dengan elektroda untuk mengalirkan arus daripower supply.Sebelum disambungkan dan diberi tegangan, silika yang ada di dalam pipa PVC direndam dengan air yang dibawa dari sumber mata air panas sampai dengan keadaan jenuh.Keadaan jenuh dimaksudkan sampai air tidak terserap oleh silika yang berada di pipa PVC.Pada penelitian dilakukan20 variasi tegangan untuk mendapatkan nilai arus.Nilai keduanya diplot dalam sebuah grafik dan dicari persamaan regresinya untuk mendapatkan nilai resistansi.Setelah mendapatkan nilai resistansi, nilai luas penampang dan panjang sampel diukur selanjutnya dihitungnilai resistivitas silika jenuh air, sesuai dengan Persamaan 1. Pengukuran nilai resistivitas air dilakukan dengan mengukur resistivitas air menggunakan conductivitymeter. Resistivitas air diukur pada temperatur 23ĖC. Nilai resistivitas silika jenuh air dan resistivitas air yang telah didapatkan digunakan untuk mendapatkan nilai estimasi temperatur yang diolah menggunakan Persamaan2, sehingga didapatkan nilai estimasi temperaturnya. 118 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Aliran Air Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 1a 1b 1c 2a 2b 2c 3a 3b 3c 4a 4b 4c 5a 5b 5c 6a 6b 6c Sumber Mata Air Panas Gambar 1 Teknik pengambilan sampel III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Hasil Pengujian Resistivitas Silika Jenuh Air Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa, titik 3 memiliki nilai yang lebih besar resistivitasnya dibandingkan titik lain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh mineral yang diambil pada titik 3 memiliki kandungan lain yang menyebabkan nilai resistivitasnya tinggi. Karena nilai pada titik 3 ini terlalu besar maka dikesampingkan dalam estimasi temperatur. Nilai resistivitas listrik pada titik-titik lain relatif sama. Tabel 1. Hasil pengujian resistivitas silika jenuh air Resistivitas (ā¦m) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Resistivitas Rata-Rata (ā¦m) 7,06 8,58 23.2 7,73 8,95 9,74 Nilai resistivitas rata-rata yang diharapkan pada penelitian untuk identifikasi adanya potensi panas bumi sesuai dengan Arnason dkk (2000) yang memiliki rentang nilai dari 3 sampai dengan 15 ā¦m. Dari hasil yang didapatkan memperlihatkan bahwa nilai resistivitas pada batuan di daerah geotermal Islandia khususnya dengan sistem air (hidrotermal) memiliki nilai resistivitas dengan rentang yang sama walaupun menggunakan metode yang berbeda-beda. Kandungan silika (SiO2) dilokasi penelitian yang diukur menggunakan X-ray Fluoresence (XRF) berkisar antara 83,398 sampai dengan 85,212% (Putra,2015). Silika dikelompokkan berdasarkan harga resistivitas listrik yang memiliki sifat isolator pada temperatur yang sangat rendah, namun pada temperatur ruang sebagai konduktor, sehingga silika dapat mempengaruhi nilai resistivitasnya.Perbedaan kandungan silika inilah yang menjadikan nilai resistivitas silika di setiap titik juga berbeda. Nilai resistivitas inilah yang digunakan untuk mengidentifikasi temperatur tinggi di bawah permukaan tanah dalam eksplorasi geotermal.Nilai resistivitas yang rendah biasanya dapat memberikan informasi temperatur zona atas di dekat dengan reservoir inti. Hal yang sebenarnya adalah temperatur reservoir tersebut dapat lebih tinggi dari daerah pada zona atas. Resistivitas dengan nilai yang rendah (6 ā¦m)dapat menginformasikan bahwa temperatur daerah zona atas reservoir tinggi, sedangkan apabila nilai resistivitasnya tinggi maka temperatur yang didapatkan akan rendah (Usser, dkk., 2000). 3.2 Hasil Pengujian Resistivitas Air Tabel 2 merupakan data nilai resistivitas air pada temperatur 23ĖC. Nilai resistivitas air masing-masing sampel maupun nilai rata-ratanya tidak jauh berbeda dengan nilai resistivitas listrik silika. Nilai resistivitas air yang hampir sama ini karena air yang diambil merupakan air mengalir yang berasal dari sumber mata air panas yang sama. 119 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Tabel 2. Hasil pengujian resistivitas air Sampel Penelitian Resistivitas Rata-rata (ā¦m) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Rata-rata 58,50 57,06 58,52 57,53 58,38 57,07 57,8 3.3 Hasil Perkiraan Temperatur Reservoir. Tabel 3 merupakan perkiraan temperatur reservoir. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai temperatur rata-rata reservoir berada pada rentang 253 sampai dengan 340ĖC dengan nilai rata-rata temperatur seluruh titik adalah 288ĖC. Nilai rata-rata temperatur memiliki kesalahan data 19%.Nilai kesalahan (error) digunakan untuk mengetahui keakuratan dari data yang telah diuji dalam penelitian ini. Namun yang perlu dicermati adalah nilai temperatur yang didapatkan berasal dari reservoir dangkal (sekunder) yang berada di atas reservoir inti dari sumber mata air panas, dimana reservoir yang berada di bawah reservoir dangkal ini memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan reservoir dangkal tersebut (Usser, dkk., 2000). Suatu pembangkit listrik energi panas bumi bisa dikembangkan dengan suhu lebih dari 150ĖC.Nilai ini mengindikasikan bahwa temperatur reservoir di Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok selatan berpotensi sebagai sumber pembangkit listrik tenaga panas bumi.Temperatur reservoirdi atas 225ĖC dapat dikategorikan kedalam suhu reservoir tinggi. Tabel 3. Perkiraan temperatur reservoir Sampel Penelitian Titik 1 Titik 2 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Rata-rata temperatur Temperatur Rata-rata (ĖC) 340 271 308 267 253 288 IV. KESIMPULAN Dari pengujian resistivitas listrik silika jenuh air di Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan didapatkan nilai rata-rata yang berkisar antara 7,06 sampai dengan 9,74 ā¦m. Berdasarkan pada pengujian resistivitas air di sekitar mata air panas didapatkan nilai resistivitas air yang berkisar antara 57,06-58,52 ā¦m. Nilai perkiraan temperatur yang didapatkan adalah 288ĖC. Nilai ini mengindikasikan bahwa daerah sumber panas bumi di Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan berpotensi sebagai sumber pembangkit listrik tenaga panas bumi. DAFTAR PUSTAKA Arnason, K., Karlsdottir, R., Eysteinsson, H., Flovenz, O. G., Gudlaugsson, S. T., 2000, The Resistivity Structure Of High-Temperature Geothermal System In Iceland, Proceedings World Geothermal Congress 2000, Kyushu-Tohaku, Japan. Fitrianty, U., 2012, Sebaran Mata Air Panas Di Kabupaten Serang, Skripsi, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok. Fournier, R. O., 1989, Water Geothermometers Applied To Geothermal Energy, US Geological Survey, USA. Hersir, G.P. dan Arnason, K., 2009, Resistivity of Rock, Short Course IV on Exploration for Geothermal Resources, 1-22 November, Lake Naivasha, Kenya. 120 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Liney, H. Kristindottir., Flovenz, O. G., Arnason, K., Bruhn, D., Milsch, H., Spangeberg, E., Kulenkampff, J., 2010, Electrical Conductivity and P-wave Velocity in Rock Samples from High-Temperature Icelandic Geothermal Fields, Geothermics, Vol 39, Elsevier, hal 94-105. Putra, A., Endovani, R., Nugroho,E. B., 2015, Identifikasi Kandungan Silika Pada Mata Air Panas dan Teras Silika (Studi Kasus : Mata Air Panas Sentral Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat), Prosiding Seminar Semirata 2015 Bidang MIPA BKS-PTN Barat 2015, 6-9 Mei, Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Indonesia. Suparno, S., 2009, Energi Panas Bumi: A Present from The Heart of The Earth, Edisi Pertama, UI Press, Depok. Tipler, P. A, 2001, Fisika untuk Sains dan Teknik, Jilid II, Edisi ketiga, (diterjemahkan oleh: Bambang Soegijono), Erlangga, Jakarta. Ussher, G., Johnstone, C., Errol, A., 2000, Understanding The Resistivities Observed In Geothemal System, Proceeding World Geothermal Congress 2000, Kyushu-Tohoku, Japan. Solselkab Profil, 2011, Letak Geografis dan Topografi, solselkab.go.id/post/read/154/letak-geografisdan-topografi.html. diakses Desember 2014. 121 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 ESTIMASI NILAI PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM DI SUMATERA BARAT DAN BENGKULU BERDASARKAN SKENARIO GEMPA BUMI DI WILAYAH PAGAI DENGAN MENGGUNAKAN RUMUSAN SI DAN MIDORIKAWA 1999 Denisa Syafriana1, Dwi Pujiastuti1, Andiyansyah Z.Sabarani2 1 )Jurusan Fisika Universitas Andalas )Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Padang Panjang e-mail: [email protected] 2 ABSTRAK Telah dilakukan estimasi nilai percepatan tanah maksimum di Sumatera Barat dan Bengkulu berdasarkan skenario gempa bumi di wilayah Pagai. Rumusan Si dan Midorikawa 1999 digunakan untuk mencari nilai percepatan tanah maksimum dan rumusan Murphy O’Brein untuk mencari nilai intensitas. Skenario gempa bumi dibuat dengan variasi magnitudo yaitu 8,5, 8,8 dan 9,2 Mw, dengan kedalaman hiposenter berada di 50 km. Nilai percepatan tanah maksimum untuk tiap-tiap kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu dihitung dengan menggunakan posisi titik acuan kabupaten/kota sebagai titik tinjau. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar untuk semua skenario berada di Pulau Pagai dan Kabupaten Mukomuko. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat nilai percepatan tanah maksimum untuk provinsi Sumatera Barat berada di Pulau Pagai, Pulau Sipora, Kabupaten Pesisir Selatan, diikuti dengan Kabupaten Solok Selatan, dan Kota Padang. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat nilai percepatan tanah maksimum untuk provinsi Bengkulu berada di Kabupaten Mukomuko. Kata kunci : gempa bumi wilayah Pagai, percepatan tanah maksimum, Sumatera Barat, Bengkulu ABSTRACT An estimation of peak ground acceleration values estimated in West Sumatra and Bengkulu based on earthquake scenario in the Pagai area has been performed. Si and Midorikawa1999 formula was used to estimate peak ground acceleration value and Murphy O'Brein formula was used to calculate the intensity value. Scenario of earthquake were with various magnitude i.e 8.5, 8.8, and 9.2 Mw, with hypocenter depth in 50 km. Peak ground acceleration value of each district/city in West Sumatra and Bengkulu were calculated using the position of the district/city reference point as the point of the review. The result of analysis shows that Pagai island and Mukomuko district has the highest peak ground acceleration value and intensity value for all scenarios. Area having the high susceptibility caused by the peak ground acceleration for West Sumatra province is located in Pagai Island, Sipora Island, Pesisir Selatan District, followed by Solok Selatan District, and Padang City. Area having the high susceptibility caused by the peak ground acceleration for Bengkulu province is located in Mukomuko District. Keywords : Pagai area earthquake, peak ground acceleration, West Sumatra, Bengkulu I. PENDAHULUAN Wilayah Sumatera berada pada wilayah pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia. Pertemuan lempeng tektonik ini membentuk tiga zona yang menjadi sumber gempa bumi, yaitu zona subduksi, zona sesar Sumatera, dan zona sesar Mentawai (Sunarjo, dkk., 2010). Selain itu, pulau Sumatera juga memiliki kawasan seismik gap yang berada di Kepulauan Mentawai (Natawidjaja, 2007). Adanya kawasan seismik gap di Kepulauan Mentawai ini berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh para ahli dari catatan sejarah gempa bumi besar yang terjadi di wilayah Kepulauan Mentawai. Pada tahun 1833, gempa bumi besar pernah terjadi di lepas pantai barat Sumatera dengan kekuatan 8,8 - 9,2 Mw. Gempa bumi ini memicu terjadinya tsunami yang menerjang pesisir barat Sumatera hingga Bengkulu. Kekuatan dari gempa bumi ini telah diestimasi dengan menggunakan catatan pengangkatan microatoll karang di wilayah tersebut (Natawidjaja, dkk., 2006). Menurut Natawidjaja (2003), gempa bumi yang terjadi pada tahun 1833 ini memiliki siklus gempa besar 200-300 tahun. Sebelumnya, pada tahun 1301 dan tahun 1608 pernah terjadi gempa bumi besar di sekitar wilayah yang berada di zona subduksi pulau Sumatera ini. Meskipun pernah terjadi gempa bumi yang disertai dengan gelombang tsunami pada tahun 2010 di sekitar wilayah tersebut, tetapi 122 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 total energi yang sudah terlepas ini masih kurang dari total energi yang sudah tersimpan sejak tahun 1833. Potensi pelepasan energi gempa bumi pada wilayah ini masih besar (IAIG, 2003). Ketika terjadi gempa bumi, energi dari gempa bumi akan menjalar dalam bentuk gelombang seismik. Ketika gelombang mencapai permukaan tanah, tanah yang dilalui oleh gelombang ini akan mengalami percepatan. Percepatan tanah yang dirasakan di permukaan bumi ini disebut percepatan tanah maksimum. Faktor yang mempengaruhi konstruksi bangunan dan menjadi titik ukur dalam membangun bangunan tahan gempa adalah percepatan tanah. Nilai percepatan tanah terhadap bangunan perlu diketahui untuk menyesuaikan bangunan yang akan dibangun, sehingga apabila terjadi gempa bumi, kerusakan pada bangunan dapat diminimalisir (Delfebriyadi, 2011). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2012, tingkat kerentanan nilai percepatan tanah maksimum akibat gempa bumi dibagi menjadi tiga, yaitu tingkat rendah dengan nilai PGA <0,26 g, tingkat sedang dengan nilai PGA antara 0,26 - 0,70 g, dan tingkat tinggi dengan nilai PGA >0,70 g. Korelasi energi gempa bumi dengan nilai percepatan tanah maksimum telah dibuat dalam bentuk rumusan empiris, diantaranya adalah rumusan Donovan, Guttenberg Richter, Kawashumi, Kanai, dan sebagainya. Rumusan tersebut memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan kondisi tektonik wilayah tersebut. Untuk mencari nilai percepatan tanah maksimum yang sesuai dengan kondisi tektonik di Kepulauan Mentawai, maka digunakan rumusan empiris Si dan Midorikawa 1999. Rumusan Si dan Midorikawa 1999 dibuat berdasarkan analisis kecepatan dan percepatan tanah maksimum dari 21 gempa bumi yang terjadi di Kepulauan Jepang. Ditinjau dari kondisi tektonik, bentuk patahan lempeng di Kepulauan Jepang hampir mirip dengan bentuk patahan lempeng di Kepulauan Mentawai. Sumber gempa bumi di Kepulauan Jepang juga berada di zona subduksi dan zona sesar geser. Berdasarkan penelitian sebelumnya, rumusan Si dan Midorikawa pernah digunakan dalam penelitian oleh Koketsu dkk. (2012), Miura dan Midorikawa (2012), dan Atsumi dkk. (2012). Menurut Koketsu dkk. (2012), gempa bumi di wilayah Kanto memiliki nilai percepatan tanah maksimum yang semakin kecil untuk stasiun yang jauh dari hiposenter. Menurut Miura dan Midorikawa (2012), gempa bumi di wilayah Tohoku memiliki amplitudo percepatan tanah maksimum dan karakteristik spektral yang sama, pada rentang waktu 10 detik saat terjadi gempa bumi ketika magnitudo melebihi 8,0 Mw. Menurut Atsumi dkk. (2012), gempa bumi di wilayah Tohoku memiliki atenuasi percepatan tanah maksimum yang meningkat pada magnitudo 8,0 Mw dan 8,5 Mw, dan melemah pada magnitudo 9,0 Mw. Pada penelitian ini, rumusan empiris Si dan Midorikawa 1999 digunakan dengan melakukan skenario gempa bumi dengan magnitudo 8,5 Mw, 8,8 Mw dan 9,2 Mw yang berpusat di wilayah Pagai. Skenario ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh gempa bumi terhadap nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas di tiap-tiap kabupaten/kota provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. II. METODE PENELITIAN Nilai percepatan tanah maksimum (Peak Ground Acceleration) dari skenario gempa bumi di wilayah Pagai dengan menggunakan rumusan Si dan Midorikawa 1999, ditentukan dengan tahaptahap sebagai berikut : ļ· Menentukan episenter gempa bumi Episenter gempa bumi ditentukan dengan melihat data sejarah gempa bumi merusak di wilayah Kepulauan Mentawai tahun 1797 sampai 2014. Episenter gempa bumi berada pada koordinat -2,50oLS - 100,50oBT. Data ini didapat dari bulletin International Seismological Center (ISC). ļ· Menentukan skenario parameter gempa bumi Skenario terhadap parameter gempa bumi dapat dilihat pada Tabel 1. 123 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Tabel 1. Skenario parameter gempa bumi Skenari o Magnitud o (Mw) 1 8,5 2 8,8 3 9,2 Kedalaman Hiposenter (Km) 50 ļ· Menentukan jarak hiposenter (hypocenter distance) Jarak hiposenter gempa bumi di tiap-tiap titik acuan kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu terhadap pusat gempa bumi ditentukan dengan cara sebagai berikut : ļ· Menentukan koordinat lintang dan bujur tiap-tiap titik acuan kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu. ļ· Koordinat lintang dan bujur tiap-tiap titik acuan kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Daftar Kabupaten/Kota Provinsi Bengkulu Nama No Titik Acuan Kabupaten/Kota Koordinat Lintang (O) Koordinat Bujur (O) Kabupaten/Kota 124 1. Mukomuko Mukomuko -2,58 101,12 2. Bengkulu Utara Arga Makmur -3,35 102,07 3. Lebong Muara Aman -3,12 102,20 4. Kota Bengkulu Bengkulu -3,83 102,30 5. Rejang Lebong Curup -3,45 102,56 6. Bengkulu Tengah Karang Tinggi -3,74 102,43 7. Kepahing Kepahing -3,64 102,60 8. Seluma Tais -4,08 102,59 9. Bengkulu Selatan Kota Manna -4,46 102,91 10. Kaur Bintuhan -4,79 103,35 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Tabel 3. Daftar Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Nama Titik Acuan Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Koordinat Lintang (O) Koordinat Bujur (O) Pulau Siberut -1,35 99,94 Pulau Sipora -2,20 99,69 Pulau Pagai -3,00 100,29 No 1. Kepulauan Mentawai 2. Pesisir Selatan Painan -0,63 100,27 3. Solok Selatan Padang Aro -1,53 101,26 4. Kabupaten Solok Arosuka -1,03 100,78 5. Padang Padang -0,88 100,34 6. Solok Solok -0,79 100,65 7. Sawahlunto Sawahlunto -0,68 100,78 8. Sijunjung Muaro Sijunjung -0,66 100,94 9. Dharmasraya Pulau Punjung -1,05 101,64 10. Padang Pariaman Parit Malintang -0,63 100,27 11. Pariaman Pariaman -0,62 100,12 12. Padang Panjang Padang Panjang -0,47 100,41 13. Tanah Datar Batusangkar -0,46 100,59 14. Bukittinggi Bukittinggi -0,30 100,37 15. Agam Lubuk Basung -0,31 100,03 16. Payakumbuh Payakumbuh -0,23 100,63 17. Lima Puluh Kota Sarilamak -0,15 100,66 18. Pasaman Barat Simpang Empat 0,11 99,83 19. Pasaman Timur Lubuk Sikaping 0,19 100,13 ļ· Menghitung jarak dari episenter ke tiap-tiap titik acuan kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu, dengan menggunakan persamaan 1. (1) o dimana D adalah jarak episenter ke titik acuan kabupaten/kota ( ), x1 adalah lintang episenter (o), x2 adalah lintang titik acuan kabupaten/kota (o), y1 adalah bujur episenter (o), dan y2 adalah bujur titik acuan kabupaten/kota (o). Jarak yang didapatkan kemudian dikonversikan ke dalam satuan km, dimana 1o = 111 km. ļ· Menghitung jarak hiposenter dengan menggunakan teorema phythagoras pada persamaan 2. (2) 125 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 dimana R adalah jarak hiposenter (km), D adalah jarak dari episenter ke tiap-tiap titik acuan kabupaten/kota (km), dan H adalah kedalaman hiposenter (km). Hubungan antara episenter, hiposenter, dan titik yang ditinjau, dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Garis hubungan hiposenter, episenter, dan titik tinjau (Sumber : Budiono, 2012) 1. Memasukkan skenario parameter gempa bumi tersebut ke dalam rumusan empiris Si dan Midorikawa 1999 (persamaan 3). (3) dimana A adalah peak ground acceleration (cm/s2 ; gal), Xeq adalah jarak hiposenter (km), Mw adalah momen magnitudo, D adalah kedalaman gempa bumi, d adalah koefisien jarak dari pusat gempa bumi ke lokasi (crust = 0,00 ; inter-plate = 0,09 ; intra-plate = 0,28), s adalah variabel dummy untuk tipe/jenis patahan (s=1), a,h,k,e adalah koefisien regresi (0,50; 0,0036; 0,003; 0,60), dan adalah standar deviasi (0,24). Dari Persamaan 3, maka dapat ditentukan nilai A dengan menggunakan persamaan 4. (4) kemudian nilai A dinyatakan dalam g (percepatan gravitasi bumi) dengan cara membagi dengan 980 cm/s2. 2. Mengkonversi nilai Peak Ground Acceleration (PGA) ke skala Modified Mercalli Intensity (MMI), untuk menunjukkan skala intensitas dengan menggunakan rumusan empiris Murphy & O’Brien pada persamaan 5. (5) dengan MMI adalah Modified Mercalli Intensity. 3. Membuat peta kontur percepatan tanah maksimum (Peak Ground Acceleration) dan intensitas untuk tiap-tiap kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu, dengan menggunakan software Arc View GIS 3.3. 4. Menganalisis nilai percepatan tanah maksimum (Peak Ground Acceleration) dan intensitas untuk tiap-tiap kabupaten/kota di Sumatera Barat dan Bengkulu dari pemetaan yang telah dilakukan. III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Nilai Percepatan Tanah Maksimum dan Intensitas untuk Provinsi Sumatera Barat Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas untuk 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, dari skenario gempa bumi di wilayah Pagai, yang dapat dilihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar untuk ketiga variasi magnitudo berada di Pulau Pagai, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Nilai percepatan tanah maksimum diperoleh sebesar 1,743 g dengan intensitas sebesar 10,48 MMI untuk magnitudo 8,5 Mw, untuk magnitudo 8,8 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 2,463 g dengan intensitas sebesar 10,91 MMI, dan untuk magnitudo 9,2 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 3,903 g dengan intensitas sebesar 11,49 MMI. Nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terkecil untuk ketiga variasi magnitudo berada di Kabupaten Pasaman Timur. Nilai percepatan tanah maksimum diperoleh sebesar 0,082 g dengan intensitas sebesar 6,69 MMI untuk magnitudo 8,5 Mw, untuk magnitudo 8,8 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 0,116 g dengan intensitas sebesar 7,12 MMI, dan untuk magnitudo 9,2 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 0,184 g dengan intensitas sebesar 7,69 MMI. 126 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Berdasarkan data yang diperoleh, dihasilkan peta percepatan tanah maksimum dan intensitas untuk skenario gempa bumi di wilayah Pagai seperti pada Gambar 2 dan Gambar 3. Pada Gambar 2 dan Gambar 3, dapat dilihat bahwa wilayah yang memiliki nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar berada di Pulau Pagai, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Percepatan tanah maksimum dan intensitas yang besar juga berada di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, dan Pulau Sipora. Wilayah yang berada di Pasaman Timur dan Pasaman Barat memiliki nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terkecil. Pada Gambar 2 (b) dan Gambar 3 (b), terlihat bahwa ketika magnitudo ditingkatkan menjadi 8,8 Mw, peta nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terlihat memiliki radius wilayah kerentanan yang semakin luas dibandingkan dengan skenario gempa bumi untuk magnitudo 8,5 Mw. Pada Gambar 2 (c) dan Gambar 3 (c) juga terlihat bahwa peta nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas untuk magnitudo 9,2 Mw, memiliki radius kerentanan wilayah semakin meluas dibandingkan dengan skenario gempa bumi untuk magnitudo 8,5 dan 8,8 Mw. Tabel 4. Nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas dari skenario gempa bumi di wilayah Pagai untuk 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat Nama No Kabupaten/Kota 1. Kepulauan Mentawai 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Pesisir Selatan Solok Selatan Kabupaten Solok Padang Solok Sawahlunto Sijunjung Dharmasraya Padang Pariaman Pariaman Padang Panjang Tanah Datar Bukittinggi Agam Payakumbuh Lima Puluh Kota Pasaman Barat Pasaman Timur Titik Acuan R (km) Kabupaten/Kota Pulau Siberut Pulau Sipora Pulau Pagai Painan Padang Aro Arosuka Padang Solok Sawahlunto Muaro Sijunjung Pulau Punjung Parit Malintang Pariaman Padang Panjang Batusangkar Bukittinggi Lubuk Basung Payakumbuh Sarilamak Simpang Empat Lubuk Sikaping (a) 220,75 108,60 78,15 103,22 145,34 172,88 187,00 196,86 210,05 210,08 211,02 214,76 218,22 231,22 232,01 249,11 253,07 257,43 277,67 303,33 317,69 8,5 Mw PGA I (g) (MMI) 0,230 7,97 1,017 9,81 1,743 10,48 1,110 9,92 0,589 9,14 0,410 8,69 0,343 8,47 0,305 8,32 0,261 8,13 0,261 8,12 0,258 8,11 0,247 8,06 0,237 8,01 0,205 7,82 0,203 7,81 0,168 7,58 0,161 7,52 0,153 7,47 0,124 7,20 0,095 6,87 0,082 6,69 Magnitudo 8,8 Mw PGA I (g) (MMI) 0,326 8,40 1,436 10,24 2,463 10,91 1,568 10,35 0,833 9,57 0,579 9,11 0,485 8,90 0,431 8,75 0,368 8,55 0,368 8,55 0,364 8,54 0,349 8,49 0,335 8,44 0,289 8,25 0,287 8,24 0,237 8,01 0,227 7,95 0,217 7,89 0,175 7,63 0,134 7,30 0,116 7,12 9,2 Mw PGA I (g) (MMI) 0,516 8,97 2,276 10,82 3,903 11,49 2,485 10,93 1,319 10,14 0,917 9,69 0,769 9,47 0,682 9,32 0,584 9,13 0,584 9,13 0,577 9,11 0,553 9,06 0,531 9,01 0,458 8,83 0,454 8,81 0,376 8,58 0,360 8,53 0,343 8,47 0,277 8,20 0,212 7,87 0,184 7,69 (b) 127 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 (c) Gambar 2. Peta percepatan tanah maksimum dari skenario gempa bumi dengan magnitudo (a) 8,5 Mw, (b) 8,8 Mw, (c) 9,2 Mw (a) (b) (c) Gambar 3. Peta intensitas dari skenario gempa bumi dengan magnitudo (a) 8,5 Mw, (b) 8,8 Mw, (c) 9,2 Mw 3.2 Nilai Percepatan Tanah Maksimum dan Intensitas untuk Provinsi Bengkulu Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas untuk 10 kabupaten/kota di Bengkulu, dari skenario gempa bumi di wilayah Pagai, yang dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar untuk ketiga variasi magnitudo berada di Kabupaten Mukomuko. Nilai percepatan tanah maksimum diperoleh sebesar 1,515 g dengan intensitas sebesar 10,31 MMI untuk magnitudo 8,5 Mw, untuk magnitudo 8,8 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 2,140 g dengan intensitas sebesar 10,74 MMI, dan untuk magnitudo 9,2 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 3,392 g dengan intensitas sebesar 11,31 MMI. Nilai percepatan tanah maksimum 128 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 dan intensitas terkecil untuk ketiga variasi magnitudo berada di Kabupaten Kaur. Nilai percepatan tanah maksimum diperoleh sebesar 0,034 g dengan intensitas sebesar 5,59 MMI untuk magnitudo 8,5 Mw, untuk magnitudo 8,8 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 0,048 g dengan intensitas sebesar 6,02 MMI, dan untuk magnitudo 9,2 Mw diperoleh nilai percepatan tanah maksimum sebesar 0,076 g dengan intensitas sebesar 6,59 MMI. Tabel 5. Nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas dari skenario gempa bumi di wilayah Pagai untuk 10 kabupaten/kota di Bengkulu No Nama Kabupaten/Kota 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10. Mukomuko Bengkulu Utara Lebong Kota Bengkulu Rejang Lebong Bengkulu Tengah Kepahing Seluma Bengkulu Selatan Kaur Titik Acuan R (km) Kabupaten/Kota Mukomuko Arga Makmur Muara Aman Bengkulu Curup Karang Tinggi Kepahing Tais Kota Manna Bintuhan 85,49 204,39 206,83 253,65 256,77 259,87 267,12 295,26 348,01 408,92 8,5 Mw PGA I (g) (MMI) 1,515 10,31 0,279 8,21 0,271 8,17 0,160 7,52 0,154 7,47 0,149 7,43 0,138 7,34 0,103 6,97 0,061 6,31 0,034 5,59 Magnitudo 8,8 Mw PGA I (g) (MMI) 2,140 10,74 0,394 8,64 0,383 8,60 0,226 7,95 0,218 7,90 0,211 7,86 0,195 7,77 0,145 7,40 0,086 6,74 0,048 6,02 9,2 Mw PGA I (g) (MMI) 3,392 11,31 0,624 9,21 0,606 9,17 0,358 8,52 0,346 8,48 0,335 8,43 0,310 8,34 0,231 7,97 0,136 7,32 0,076 6,59 Berdasarkan data yang diperoleh, dihasilkan peta percepatan tanah maksimum dan intensitas untuk skenario gempa bumi di wilayah Pagai seperti pada Gambar 4 dan Gambar 5. Pada Gambar 4 dan Gambar 5, dapat dilihat bahwa wilayah yang memiliki nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar berada di Kabupaten Mukomuko. Percepatan tanah maksimum dan intensitas yang besar diikuti oleh Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong. Wilayah yang berada di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Kaur memiliki nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terkecil. (a) (b) (c) 129 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 4. Peta percepatan tanah maksimum dari skenario gempa bumi dengan magnitudo (a) 8,5 Mw, (b) 8,8 Mw, (c) 9,2 Mw (a) (b) (c) Gambar 5. Peta intensitas dari skenario gempa bumi dengan magnitudo (a) 8,5 Mw, (b) 8,8 Mw, (c) 9,2 Mw IV. KESIMPULAN Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar untuk provinsi Sumatera Barat dari ketiga variasi magnitudo berada di Pulau Pagai. Nilai percepatan tanah maksimum dan intensitas terbesar untuk provinsi Bengkulu dari ketiga variasi magnitudo berada di Kabupaten Mukomuko. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat nilai percepatan tanah maksimum untuk provinsi Sumatera Barat berada di Pulau Pagai, Pulau Sipora, Kabupaten Pesisir Selatan, dan diikuti dengan Kabupaten Solok Selatan dan Kota Padang. Wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat nilai percepatan tanah maksimum untuk provinsi Bengkulu berada di Kabupaten Mukomuko. DAFTAR PUSTAKA Atsumi, T., Midorikawa, S., Miura, H., 2011, Strong Motion Records From The 2011 off The Pacific Coast of Tohoku Earthquake, Japan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2012, Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, Jakarta. Budiono, A. D. A., 2012, Evaluasi Peak Ground Acceleration Untuk Peta Gempa Indonesia di Kota Padang, Surabaya. Delfebriyadi, 2011, Pembuatan Peta Spektral Percepatan Gempa Dengan Metoda Probabilitas, CV.Ferila, Padang. 130 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAIG), 2003, Waspadai Gempa Besar Dari Zona Subduksi Mentawai, http://geologi.iaig.or.id, diakses 20 Agustus 2015. Koketsu, K., Si, H., Miyake, H., Ibrahim, R., 2012, High Attenuation Rate For Shallow, Small Earthquake in Japan, Japan. Miura, H., Midorikawa, S., 2012, Preliminary Analysis for Characteristics of Strong Ground Motion from Gigantic Earthquakes, Japan. Natawidjaja, D. H., 2007, Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera dan Upaya Untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup Yang Aman Dari Bencana Alam, Laporan KHL, LIPI, Jakarta. Natawidjaja, D. H., Sieh, K., Chlieh, M., Getzka, J., Suwargadi, B. W., Cheng, H., Edwards, R. L., Avouac, J. P., Ward, S. N., 2006, Source Parameters Of The Great Sumatran Megatrust Earthquakes of 1797 and 1833 Inferred From Coral Microatolls, Journal of Geophysical Research, Volume 111, American Geophysical Union. Si, H., Midorikawa, S., 2000, New Attenuation Relations For Peak Ground Accelerationion and Velocity Considering Effects of Fault Type And Site Condition, Japan. Sunarjo, Gunawan, M. T., Pribadi, S., 2010, Gempa Bumi Edisi Populer, BMKG, Jakarta. 131 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 ANOMALI TEMPERATUR DAN AWAN GEMPA YANG MENGIRINGI GEMPA NEPAL 2015 Marzuki Jurusan Fisika Universitas Andalas e-mail: [email protected] ABSTRAK Anomali temperatur dan awan gempa yang mengiringi gempa bumi yang terjadi di Nepal pada tanggal 24 April dan 17 Mei 2015 telah diteliti menggunakan data temperatur tanah dari satelit Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan data awan dari Multi-functional Transport Satellite (MTSAT). Data temperatur udara dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP) dan National Center for Atmospheric Research (NCAR) juga digunakan untuk memastikan bahwa anomali temperatur tersebut bukan disebabkan oleh aktivitas cuaca. Anomali temperatur diamati selama 5 tahun sebelum terjadinya gempa dan awan gempa diamati menggunakan data selama 3 bulan sebelum gempa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kenaikan temperatur permukaan tanah tidak teramati sebelum gempa Nepal terjadi. Hasil penelitian ini mempertegas penelitian sebelumnya dimana tidak semua kasus gempa didahului dengan kenaikan temperatur tanah dan kemunculan awan gempa. Kata kunci : anomali temperatur tanah, awan gempa, gempa Nepal 2015 ABSTRACT Temperature anomaly and earthquake cloud associated with the Nepal earthquake occurred on April 24 and May 17, 2015 had been studied by using the land surface temperatur data from the Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) satellite and cloud propagation data from Multi-functional Transport Satellite (MTSAT). The atmosphere temperature from the National Centers for Environmental Prediction (NCEP) and the National Center for Atmospheric Research (NCAR) reanalysis data were also used to confirm that temperature anomaly was not due to a weather activity. The data during 5 years and 3 months, for temperature and cloud respectively, before the earthquake were analyzed. The results showed that the increases of land surface temperatures and earthquake cloud were not observed before the two earthquakes. This result reinforces the previous study that not all cases of the earthquake is preceded by the increase of land surface temperatur and the occurrence of earthquake cloud. Keywords: land surface temperatur anomaly, earthquake cloud, Nepal earthquake 2015 I. PENDAHULUAN Berbagai upaya telah dilakukan untuk memprediksi gempa bumi dalam rangka meningkatkan kesiapan dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam ini. Ulasan lengkap mengenai prediksi gempa bumi dapat ditemukan di dalam Geller (1997). Terlepas dari pro dan kontra tentang kemungkinan untuk memprediksi gempa bumi, penelitian tentang hal ini terus berkembang dan salah satunya adalah pengamatan prekursor gempa bumi. Prekursor gempa bumi adalah fenomena fisika yang dilaporkan mengikuti kejadian gempa bumi, biasanya sebelum gempa bumi terjadi. Menurut Cicerone dkk. (2009), beberapa prekursor yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi antara lain adalah medan listrik dan medan magnet induksi, emisi gas, perubahan ketinggian air tanah, perubahan temperatur, perubahan bentuk permukaan, dan anomali pola seismisitas. Selain beberapa hal di atas, ada juga prekursor yang sudah lama menjadi bahan penelitian, yaitu anomali awan atau yang lebih dikenal dengan awan gempa yang dihubungkan dengan anomali temperatur (Guo dan Wang, 2008). Meningkatnya penelitian mengenai anomali temperatur meningkatkan pula perdebatan tentang penomena ini. Hal ini disebabkan adanya perbedaan hasil diantara peneliti. Sejak teramati di atas patahan aktif sebelum gempa di Asia Tengah pada tahun 1980-an, banyak ilmuwan telah mempelajari anomali temperatur menggunakan data satelit untuk gempa di Jepang dan China (Tronin, dkk., 2002), Aljazair (Saraf dan Choudhury, 2004), dan India (Saraf dan Choudhury, 2005). Anomali temperatur terlihat 7-14 hari sebelum terjadinya gempa dan mempengaruhi ribuan hingga puluhribuan kilometer dari pusat gempa. Anomali ini memperlihatkan adanya deviasi positif (peningkatan) sebesar 2-4 K atau lebih dan mulai menghilang beberapa hari setelah terjadinya gempa (Guo, 2008). Di sisi lain, sebagian peneliti tidak menemukan adanya kenaikan temperatur sebelum gempa. 132 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Misalnya, Sulçe (2013) mengatakan bahwa ia tidak menemukan anomali temperatur sebelum gempa bumi, sebaliknya ia menemukan anomali temperatur sekitar 2 hari setelah gempa bumi. Sama halnya dengan anomali temperatur, perdebatan juga terjadi pada awan gempa. Awan gempa adalah awan lurus yang abnormal di atas patahan aktif. Morozova (1997) dalam Guo (2008) mengamati sebuah jejak lurus yang berada di dalam awan yang tebal dan besar. Dia mengemukakan bahwa gas yang diemisikan dari bumi bergegas menuju langit, mengikis awan, dan terbentuklah jejak lurus. Peristiwa ini disebut sebagai earth degassing dan merupakan akibat dari aktivitas pasangan (coupling) antara atmosfer dan litosfer. Karena sumber panas yang tetap, maka awan gempa yang terbentukpun akan tetap dan tidak akan berpindah oleh angin. Setelah Guo dan Wang (2008) tidak ditemukan publikasi terbaru tentang kemunculan awan gempa. Rahma dan Marzuki (2015) meneliti tentang anomali temperatur dan awan gempa yang mengiringi gempa Aceh 2004 dan gempa Sumatera Barat 2007. Mereka tidak menemukan awan gempa dan kenaikan temperatur permukaan tanah yang mengiringi kedua gempa tersebut. Dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan hasil penelitian di atas, maka sangat diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil kasus-kasus gempa yang lain. Dalam tulisan ini, akan dibahas anomali temperatur dan awan gempa yang mengiringi gempa Nepal 2015. Gempa Nepal terjadi pada 25 April 2015 sekitar jam 11:56 waktu setempat. Gempa ini berkekuatan 7,8 Mw dengan episenter 28,147°N 84,708°E terletak di kawasan Gorkha (sekitar 80 km utara-barat dari Kathmandu). Gempa terjadi pada antarmuka subduksi sepanjang busur Himalaya antara lempeng India dan lempeng Eurasia. Gempa susulan dengan kekuatan yang cukup besar (7,3 Mw) terjadi 12 Mei 2015 sekitar jam 12:51 waktu setempat. Gempa ini terjadi pada kedalaman 18,5 km dengan episenter pada 27,837°N 86,077°E. Gambaran lengkap gempa ini beserta dampak yang ditimbulkan dapat dilihat pada Goda dkk. (2015). II. METODOLOGI Anomali temperatur permukaan tanah dihitung dari data satelit Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) seri MOD11C1 dengan resolusi waktu 1 hari dan resolusi spasial 0,1°. Periode data yang digunakan adalah April-Mei dari tahun 2011 hingga 2015. Data temperatur permukaan tanah dibedakan antara siang dan malam karena adanya perbedaan temperatur yang signifikan antara siang dan malam. Anomali temperatur dihitung dari selisih antara nilai temperatur sesaat dengan temperatur rata-rata selama periode 5 tahun. Anomali temperatur pada saat gempa dibandingkan dengan anomali temperatur pada bulan yang sama untuk tahun normal (tidak ada gempa). Jika terdapat kenaikan temperatur 2-4 K atau lebih, dan hanya terjadi pada saat gempa saja, maka disimpulkan anomali temperatur ini berhubungan dengan gempa bumi (Guo, 2008). Jika terdapat kenaikan temperatur 2-4 K atau lebih, dan juga terjadi pada tahun normal yang lain, atau anomali bernilai kecil dari 2 K, maka disimpulkan tidak terjadi anomali temperatur yang disebabkan oleh gempa bumi, bisa jadi faktor penyebab anomali temperatur tersebut adalah faktor cuaca maupun kebakaran hutan. Untuk memastikan apakah anomali temperatur terjadi akibat gempa bumi atau aktivitas cuaca, digunakan data temperatur udara dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP)-National Center for Atmospheric Research (NCAR), dengan periode yang sama dengan data MODIS. Resolusi waktu dan spasial data ini berturut-turut adalah 1 hari dan 2,5°. Awan gempa yang mengiringi gempa Nepal dipantau dari citra satelit MTSAT selama bulan Januari-Mei 2015. Data diambil dalam rentang waktu tersebut karena indikasi kemunculan awan gempa adalah sekitar 3 bulan sebelum gempa terjadi (Guo dan Wang, 2008). Data ini mempunyai resolusi waktu 1 jam dan resolusi spasial 0,05°. Awan gempa diamati dengan membuat kontur harian data MTSAT selama 5 bulan pengamatan, dan kemudian menganimasikannya. Jika pada animasi terdapat awan lurus yang tidak dapat berpindah oleh angin (hanya bagian ekor saja yang berpindah) selama beberapa jam, maka dapat diprediksi bahwa jejak lurus tersebut merupakan awan gempa. III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Anomali Temperatur Gambar 1 menunjukkan anomali temperatur atmosfir dari data NCEP/NCAR reanalisis pada bulan April-Mei 2011-2015 untuk level tekanan 1000-10 hPa. Tekanan 1000 hPa setara dengan permukaan tanah. Dari gambar dapat dilihat bahwa anomali temperatur selama bulan April adalah negatif yang mengindikasikan bahwa terjadi penurunan temperatur dari temperatur rata-rata, termasuk pada saat gempa pada tanggal 25 April 2015. Anomali selama bulan Mei adalah positif yang mengindikasikan bahwa terjadi kenaikan temperatur dari temperatur rata-rata, termasuk pada saat 133 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 gempa pada tanggal 12 Mei 2015. Anomali temperatur udara tertinggi, teramati pada lapisan 500-200 hPa. 2011 2012 2013 2014 o 2015 4 200 Pressure (hPa) C6 2 400 0 600 -2 800 1000 1/4 -4 -6 1/5 31/5 30/4 30/5 29/4 29/5 28/4 28/5 27/4 27/5 Time Gambar 1 Anomali temperatur atmosfir pada bulan November-Desember 2011-2015 dari data NCEP/NCAR reanalisis. Garis vertikal putus-putus menunjukkan batas tahun dan garis vertikal padat menunjukkan waktu terjadinya gempa. Gambar 2 menunjukkan anomali temperatur permukaan tanah yang diperoleh dari data MODIS. Untuk melihat perubahan temperatur secara lebih jelas, maka nilai anomali dirata-ratakan dalam grid ± 0,5° dari episentrum. Kedua kasus gempa memperlihatkan pola nilai rata-rata anomali temperatur yang sama. Kenaikan nilai temperatur tanah besar dari 2 K (anomali > 2 K) terlihat dominan pada bulan Mei 2012, April 2013, dan April-Mei 2014. Puncak-puncak anomali menyerupai sebuah gelombang dimana secara umum anomali bernilai negatif pada 2011, positif pada 2012, negatif pada 2013, kembali positif pada 2014 dan negatif lagi pada 2015. Pola ini agak berbeda dengan pola temperatur udara (Gambar 1). Alasan mengenai pola anomali temperatur ini diluar lingkup penelitian ini. Peningkatan temperatur yang berhubungan dengan gempa biasanya terlihat 7-14 hari sebelum terjadinya gempa dengan kenaikan sebesar 2-4 K atau lebih dan mulai menghilang beberapa hari setelah terjadinya gempa (Guo, 2008). Jika mengacu kepada Gambar 2, kenaikan temperatur sebelum gempa pada tanggal 25 April 2015 tidak terlihat. Temperatur tanah malahan memperlihatkan penurunan temperatur dari kondisi normal yang ditandai dengan anomali negatif sebesar 5-9 K. Penurunan temperatur tanah ini mirip dengan penurunan temperatur atmosfir (Gambar 1). Sebelum gempa susulan pada tanggal 15 Mei, terlihat adanya sedikit kenaikan temperatur permukaan tanah. Pada tanggal 3 Mei terlihat kenaikan temperatur sekitar 2 K, tetapi hal ini hanya bertahan satu hari. Secara umum temperatur permukaan tanah sebelum gempa 15 Mei juga menurun sebagaimana sebelum gempa utama 25 April. Pada tanggal 16 Mei anomali mencapai -6 K. Dengan demikian, kenaikan temperatur tanah sebagai prekursor gempa tidak teramati sebelum gempa Nepal 2015. 134 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 25 April Earthquake 2011 2013 2012 12 May Earthquake 2014 2015 o Temperature Anomaly (C) 6 4 2 0 -2 -4 -6 1/4 1/5 1/4 1/5 1/4 1/5 1/4 1/5 1/4 1/5 Time Gambar 2 Rata-rata anomali temperatur permukaan tanah pada bulan April-Mei 2011-2015 dari satelit MODIS yang dirata-ratakan dalam grid ± 0,5° dari episentrum . Garis vertikal putus-putus menunjukkan batas tahun dan garis vertikal padat menunjukkan waktuterjadinyagempa. Time : 00:00 UTC 01-02-2015 K 30 300 (a) 29.5 280 Latitude 29 260 28.5 X 28 X 240 27.5 220 27 26.5 200 26 83 84 85 86 87 88 89 90 Longitude Time : 06:00 UTC 26-02-2015 K 30 29.5 300 (b) 280 Latitude 29 260 28.5 X 28 X 240 27.5 220 27 26.5 26 83 200 84 85 86 87 88 89 90 Longitude Gambar 3 Citra awan dari satelit MTSAT untuk tanggal 1 (a) dan 26 Februari 2016 (b). UTC adalah kependekan dari Coordinated Universal Time. 135 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 3.2 Awan Gempa Dari animasi citra awan tidak terlihat adanya indikasi kuat tentang kemunculan awan gempa sebelum gempa Nepal 2015. Pola awan yang berbetuk lurus dengan kepala yang tetap tidak teramati pada episentrum gempa. Rahma dan Marzuki (2015) mengemukakan dua alasan tidak teramatinya awan gempa pada gempa Aceh 2004 dan gempa Sumatera Barat 2006. Pertama, awan gempa yang mengiringi gempa Sumatera Barat memang tidak ada walaupun gempa Sumatera Barat merupakan gempa darat yang lebih potensial menghasilkan awan. Kemungkinan ini juga berlaku untuk gempa Nepal 2015. Alasan kedua adalah sangat aktifnya proses konvektif di sekitar Sumatera dan Samudera Hindia (Marzuki dkk., 2013). Kawasan Nepal tidak mempunyai awan konvektif sebanyak di Sumatera. Awan-awan rendah (T < 240 K) terlihat hampir setiap saat di bagian utara episenter dan sebagai contoh dapat dilihat pada Gamabar 3a. Awan-awan kovektif dalam (deep convective) sekalikali juga teramati, yang bergerak dari barat ke timur (Gambar 3b). Oleh karena itu, dari segi kemunculan awan konvektif, awan gempa untuk gempa Nepal 2015 lebih mudah diamati dari gempa Sumatera. Namun, penelitian ini tidak melihat adanya indikasi kuat tentang kemunculan awan gempa sebelum gempa Nepal 2015. IV. KESIMPULAN Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tidak ada kenaikan temperatur permukaan tanah sebelum gempa Nepal 2015. Temperatur tanah malahan memperlihatkan penurunan temperatur dari kondisi normal yang ditandai dengan anomali negatif sebesar 5-9 K. Penelitian ini juga tidak menemukan adanya kemunculan awan gempa sebelum gempa terjadi. Hasil penelitian yang didapatkan di dalam penelitian ini konsisten dengan yang ditemukan pada gempa Aceh 2004 dan Gempa Sumatera Barat 2006. Penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan terutama mengenai karakteristik gempa yang diawali oleh kenaikan temperatur permukaan tanah dan awan gempa, dan mana yang tanpa dua prekursor tersebut. Hal ini akan sangat membantu penelitian ke depannya mengenai anomali temperatur permukaan tanah dan awan gempa sebagai prekursor gempa bumi. DAFTAR PUSTAKA Cicerone, R. D., Ebel, J. E. dan Britton, J., 2009. A Systematic Compilation of Earthquake Precursors, Tectonophysics, Elsevier, Vol. 476, hal. 371-396. Geller, R. J, 1997, Earthquake prediction: a critical review, Geophys. J. Int. Vol. 131, Hal. 425-450 Goda K, Kiyota T, Pokhrel RM, Chiaro G, Katagiri T, Sharma K and Wilkinson S (2015) The 2015 Gorkha Nepal earthquake: insights from earthquake damage survey. Front. Built Environ. 1:8. doi: 10.3389/fbuil.2015.00008 Guo, G. M., 2008, Studying Thermal Anomaly before Earthquake with NCEP Data, The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol. XXXVII, Bagian B8, Beijing. Guo, G. M. dan Wang, B., 2008, Cloud Anomaly before Iran Earthquake, International Journal of Remote Sensing, Vol. 29, No. 7, hal 1921-1928. Marzuki, Hashiguchi, H., Yamamoto, M. K., Yamamoto, M., Mori, S., Yamanaka, M. D., Carbone, R. E. dan Tuttle, J. D., 2013, Cloud Episode Propagation Over the Indonesian Maritime Continent from 10 years of Infrared Brightness Temperature Observations, Atmospheric Research, Vol. 120-121, hal. 268-286 Morozova, L. I., 1997, Dynamics of Cloudy Anomalies above Fracture Regions during Natural and Anthropogenically caused Seismic Activities, Fizika Zemli, Vol. 9, hal. 94-96. Rahma, M. dan Marzuki, 2015, Pengamatan Anomali Temperatur dan Awan Gempa Yang Mengiringi Gempa Aceh 2004 dan Gempa Sumatera Barat 2007, Jurnal Fisika Unand (inpress) Saraf, A. K. dan Choudhury, S., 2004, Satellite Detects Surface Thermal Anomalies Associated with the Algerian Earthquakes of May 2003. International Journal of Remote Sensing, Vol. 26, hal. 2705-2713. Saraf, A. K. dan Choudhury, S., 2005, NOAA-AVHRR Detects Thermal Anomaly Associated with 26 january, 2001 Bhuj Earthquake, gujarat, India. International Journal of Remote Sensing, Vol. 26, hal. 1065-1073. 136 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 SulŅ«e, A., 2013, Is Land Surface Temperature an Earthquake Precursor?, Tesis, Departemento de Lenguajes y Sistemas Informatícos, Universat Jaume I, Castellon. Tronin, A., Hayakawa, M. dan Molchanov, O. A., 2002, Thermal IR Satellite Data Application for Earthquake Research in Japan and China, Journal of Geodynamics, Vol. 33, hal. 519-534. 137 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 PREDIKSI KEDALAMAN AKUIFER BEBAS RATA-RATA STUDI KASUS KECAMATAN RUMBAI KOTA PEKANBARU Juandi M., Rofeah, Defrianto Jurusan Fisika –Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Bina widya Pekanbaru , 28293, Indonesia. e-mail:[email protected] ABSTRAK Penelitian tentang prediksi hydraulic head akuifer bebas rata-rata kecamatan Rumbai kota Pekanbaru telah dilakukan dengan menggunakan metode beda hingga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi akuifer bebas tahun 2016 sampai dengan 2019 di kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru menggunakan program komputer aplikasi MATLAB versi 7.0. Hasil penelitian dapat di informasikan bahwa kondisi akuifer bebas di kecamatan Rumbai adalah sebagai berikut: Prediksi kondisi akuifer bebas di kecamatan Rumbai tahun 2019 relatif lebih baik dibandingkan tahun 2016 hal ini disebabkan karena aktivitas pengembangan lahan yang berkurang. Kata Kunci: Air bawah tanah, akuifer bebas, kedalaman. ABSTRACT Research on prediction of hydraulic head unconfined aquifers mean at Rumbai Pekanbaru city districts have been done using finite difference method. The purpose of this study was to analyze the condition of the aquifer free 2016 and 2019 in the district Rumbai Pekanbaru using MATLAB application computer program version 7.0. Results of research can be informed that the unconfined aquifer conditions in the district Rumbai are as follows: Prediction of unconfined aquifer conditions in the district Rumbai relatively better in 2019 than in 2016 this was due to land development activities were reduced. Keywords: Underground water, aquifers freely, depth. I. PENDAHULUAN Kerusakan sumber daya air tidak dapat dipisahkan dari kerusakan lahan dan tekanan penduduk. Beberapa faktor menyebabkan timbulnya permasalahan air tanah antara lain Pertumbuhan industri yang pesat di suatu kawasan disertai dengan pertumbuhan pemukiman menimbulkan kecenderungan kenaikan permintaan air tanah, pemakai air beragam sehingga berbeda dalam kepentingan, maksud serta cara memperoleh sumber air, perubahan sikap sebagian besar masyarakat yang cenderung boros dalam penggunaan air serta melalaikan unsur konservasi, adanya krisis air akibat kerusakan lingkungan perlu suatu upaya untuk menjaga keberadaan atau ketersediaan sumber daya air tanah (Muhammad, dkk, 2001). Sumber daya air tanah dipengaruhi oleh ruang terbangun. Peningkatan ruang terbangun ini terus bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aspek ekonomi (Riswandi, 2006). Pertumbuhan penduduk Kota Pekanbaru rata-rata 3% pertahun dan pertumbuhan rata–rata industri di Kota Pekanbaru cukup berarti yaitu 11,65% per tahun (Data olahan dari dinas perindustrian dan perdagangan Kota Pekanbaru). Pengambilan sumber air tanah oleh penduduk dan industri akan berdampak terhadap berkurangnya air akuifer bebas, sehingga prediksi kedalaman akuifer bebas menjadi penting dilakukan untuk mengetahui kondisi air akuifer bebas ke depannya yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk dan industri. Kondisi akuifer bebas di Rumbai Kota Pekanbaru perlu dianalisis sebab faktor ekploitasi air tanah oleh industri dan pembuatan sumur artesis oleh penduduk dibeberapa lokasi di Rumbai serta perubahan fungsi lahan dapat berdampak terhadap berkurangnya volume air tanah, sehingga perlu dilakukan prediksi kondisi akuifer bebas di Rumbai Kota Pekanbaru. Banyaknya perubahan fungsi lahan akan berdampak berkurangnya lahan untuk resapan air tanah. Pengambilan air tanah melalui sumur-sumur akan mengakibatkan lengkung penurunan muka air tanah (depression cone). Keseimbangan baru dapat terjadi hanya jika laju pengambilan air tanah lebih kecil dari pengisian oleh air hujan pada daerah resapan (Hutasoit, 2009). 138 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 II. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Labotarium Fisika Bumi FMIPA UR. Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peta geologi lembar Pekanbaru hasil penelitian Puslitbang Geologi tahun 1982, data lapangan kedalaman akuifer bebas di Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru tahun 2015 dan Perangkat komputer, MATLAB versi 7.0. Simulasi numerik dilakukan dengan metode beda hingga (finite difference method), yaitu dengan menggunakan persamaan (1) (Guymon, 1994): …………………………………………(1) Dengan : T adalah transmisivitas ( ) , S adalah storativitas R adalah resapan ( ) h adalah kedalaman akuifer bebas (m) t adalah waktu x,y adalah koordinat pada titik grid Diskritisasi domain dilakukan dengan membagi daerah asal (domain) dan fungsi kontinu ke bentuk titik-titik diskrit. Domain daerah penelitian adalah berbentuk persegi dengan panjang dan lebar masing-masing 16 km, sedangkan jumlah grid adalah 50 x 50. Program perhitungan proses meliputi program untuk meghitung: kalibrasi simulasi numerik, verifikasi model dan prediksi model. Persiapkan bahan penelitian dan penelusuran literatur Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data lapangan Pengolahan data Pembuatan program dengan MATLAB Analisa sistem informasi Kesimpulan Gambar 1. Diagram alir penelitian III. HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas hasil dan analisis kondisi akuifer bebas di kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru. Hasil prediksi kedalaman akuifer bebas dapat dilihat pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. 139 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 2. Kondisi akuifer bebas Kecamatan Rumbai tahun 2016 Gambar 3. Kondisi akuifer bebas Kecamatan Rumbai tahun 2017 Gambar 4. Kondisi akuifer bebas Kecamatan Rumbai tahun 2018 140 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 5. Kondisi akuifer bebas Kecamatan Rumbai tahun 2019 Bentuk cekungan air bawah tanah di Kecamatan Rumbai tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 adalah pola yang terbalik dari kondisi pada umumnya, hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan data penduduk dan industri yang meningkat. Pada tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 kedalaman air bawah tanah yang mengisi akuifer bebas berturut-turut diperkirakan sekitar 45,52 meter, 54,42 meter, 54,33 meter dan 54,24 meter, artinya hydraulic head yang mengisi air akuifer bebas tahun 2017 sampai tahun 2019 adalah sama yaitu sebesar 50 meter, kondisi ini bisa dikatakan keadaan akuifernya dalam. Pengambilan air bawah tanah oleh penduduk dan industri lebih besar daripada jumlah air yang masuk ke akuifer. Prediksi kedalaman akuifer bebas rata-rata Kecamatan Rumbai tahun 2016 sampai tahun 2019 ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6. Grafik Hydraulic head Rata-rata Kecamatan Rumbai IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk cekungan air bawah tanah di Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 adalah pola yang terbalik. 2. Pada tahun 2016, 2017, 2018 dan 2019 kedalaman rata-rata akuifer bebas di Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru berturut-turut diperkirakan sekitar 45,52 meter, 54,42 meter, 54,33 meter dan 54,24 meter. 3. Prediksi kondisi akuifer bebas di kecamatan Rumbai tahun 2019 relatif lebih baik dibandingkan tahun 2016 hal ini disebabkan karena aktivitas pengembangan lahan yang berkurang. 141 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 DAFTAR PUSTAKA Guymon, G.,1994. Unsaturated zone hydrology; Englewood Cliffs, New Jersey, PTR Prentice Hall, 2010p. Hutasoit, L.M., 2009. Kondisi Permukaan Ar Tanah dengan dan Tanpa Peresapan Buatan di Daerah Bandung, Jurnal Geology Indonesia. 0l.4, No.3, P.177-188. Muhammad, E., Aminullah, dan Soesilo, B., 2001. Analisis Sistim Dinamics Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen, UMJ Press, Jakarta. Riswandi, S.T.,2006, Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Pekanbaru, Pengelolaan sumber daya alam, IPB, Bogor. 142 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 KARAKTERISTIK OSILASI CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT BERDASARKAN TRANSFORMASI WAVELET Poltak Sandro Rumahorbo, Marzuki Jurusan Fisika Universitas Andalas e-mail: [email protected] ABSTRAK Transformasi wavelet telah digunakan untuk menganalisis pola curah hujan di Sumatera Barat, Indonesia. Data curah hujan bulanan untuk beberapa stasiun pengamatan yaitu Dharmasraya, Pasaman, Sicincin, Solok, dan Tabing telah dianalisis menggunakan fungsi Morlet. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa curah hujan di Sumatera Barat memperlihatkan osilasi tahunan dengan periode 1-4 tahun. Hal ini terlihat dari spektrum daya dan spektrum global wavelet. Selain itu, osilasi musiman dengan periode 0,5-1 tahun juga teramati walaupun dengan nilai spektrum daya yang lebih kecil dari osilasi tahunan. Osilasi musiman yang agak kuat terlihat di daerah Pasaman periode dominan 0,8-0,9 tahun. Kata kunci: transformasi wavelet, Sumatera Barat, osilasi curah hujan ABSTRACT Wavelet transform has been used to study the rainfall pattern at West Sumatera, Indonesia. Monthly rainfalls from five gauge station, i.e, at Dharmasraya, Pasaman, Sicincin, Solok, and Tabing have been analyzed by using the mother wavelet Morlet . It was found that the most dominant oscillation of rainfall in west Sumatera is annual oscillating with the period of 1-4 years that can be inferred from time series of power spectrum and global wavelet. Seasonal oscillation (0.5-1 year) was also observed although it was weaker than the annual oscillation. A strong seasonal oscillation was found in Pasaman with the oscillation period of 0.8-0.9 year. Keywords: wavelet tranform, West Sumatera, rainfall oscillation I. PENDAHULUAN Curah hujan mempunyai variasi atau pola osilasi baik terhadap ruang maupun waktu. Pola ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hujan seperti intensitas sinar matahari, angin, dan topografi. Pada daerah lintang menengah osilasi dengan perulangan yang cukup lama seperti variasi musiman, tahunan, dan sepuluh tahunan lebih dominan. Untuk kawasan tropis, selain osilasi yang perulangannya lama (Saji dkk., 1999; Schott dkk., 2009), osilasi yang lebih pendek seperti osilasi diurnal (Mori dkk., 2004; Marzuki dkk., 2009) dan intra-musiman (Tjasyono dan Banu, 2003; Madden dan Julian, 2004; Marzuki dkk., 2013, 2015), juga sangat dominan. Penelitian mengenai pola osilasi curah hujan memberikan manfaat dalam memprediksi curah hujan di suatu daerah. Salah satu cara untuk memvisualisasikan osilasi curah hujan adalah menggunakan transformasi wavelet mengingat curah hujan merupakan sinyal non-stasioner yaitu sinyal dengan frekuensi yang berubah terhadap waktu (Labat dkk., 2001; Santos dkk., 2003; Markovic dan Koch, 2005; Yueqing dkk., 2005). Melalui transformasi wavelet dapat diketahui informasi frekuensi dan waktu dari sebuah sinyal secara bersamaan (Laura, 2011). Ulasan lengkap mengenai penerapan transformasi wavelet dapat ditemukan dalam tulisan Torrence dan Compo (1998) dan Domingues dkk. (2005). Di dalam makalah ini akan dianalisis osilasi curah hujan musiman dan tahunan menggunakan transformasi wavelet untuk beberapa daerah di Sumatera Barat, yaitu Dharmasraya, Pasaman, Sicincin, Solok, dan Tabing. Osilasi yang lebih singkat tidak bisa diteliti karena data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan bulanan. Transformasi wavelet memiliki beberapa fungsi dasar yang dikenal dengan nama mother wavelet, yaitu Haar, Mayer, Morlet, Paul dan Derivative of Gaussian (DOG). Tiap-tiap mother wavelet memiliki keunikan tersendiri dan akan menghasilkan pola sinyal yang berbeda ketika digunakan dengan sinyal masukan (data) yang sama. Banyaknya osilasi curah hujan di kawasan tropis, sangat memungkinkan tidak adanya mother tunggal yang dapat digunakan untuk menganalisis semua osilasi tersebut. Rumahorbo dan Marzuki (2015) menemukan bahwa periode osilasi dari puncak-puncak spektrum global transformasi wavelet lebih jelas terlihat pada mother Morlet dibandingkan dengan mother lainnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan mother Morlet. 143 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 II. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan data curah hujan bulanan di Dharmasraya, Pasaman, Sicincin, Solok, dan Tabing yang didapatkan dari Balai Besar Stasiun Klimatologi Kelas II, Sicincin, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Periode data di setiap stasiun bervariasi dimana untuk Dharmasraya adalah 33 tahun (1981-2013), Pasaman selama 24 tahun (1990-2013), Sicincin selama 24 tahun (19902013), Solok selama 26 tahun (1981-2006) dan Tabing selama 40 tahun (1971-2010). Osilasi curah hujan untuk lima stasiun di atas dihitung menggunakan transformasi wavelet kontinu yang diberikan oleh persamaan (Torrence dan Compo 1998): (1) dimana ωk=ļ±(2ļ°k/Nļ¤t) merupakan frekuensi angular, δt merupakan interval waktu, k merupakan indeks frekuensi, s mewakili parameter skala, N merupakan jumlah data, Wn menunjukan hasil transformasi wavelet Penelitian ini menggunakan jenis mother wavelet Morlet (ω0 = 6). Karena data input adalah data bulanan maka δt = 1/12 tahun. Pada transformasi wavelet dikenal juga istilah faktor turunan empiris yang disebut Cone of Influence (COI). Beberapa faktor turunan empiris tersebut adalah faktor rekontruksi (Cδ), faktor korelasi rata-rata waktu (γ) dan faktor rata-rata skala (δj0). Untuk Morlet, nilai COI nya adalah Cδ = 0,776, γ = 2,32, δj0 = 0,60 dan 0(0) = -1/4. Luaran dari transformasi wavelet yang digunakan adalah spektrum daya wavelet yang dinyatakan oleh persamaan: (2) Luaran kedua adalah spektrum wavelet yang dirata-ratakan untuk skala tertentu yang menggambarkan deret waktu varians (σ) dalam skala waktu tertentu, diberikan oleh persamaan: (3) dimana J menunjukkan jumlah skala terluas, nilai δj memberikan gambaran yang baik dari spektrum daya wavelet. Luaran terakhir yang digunakan di dalam penelitian ini adalah spektrum global wavelet yang merupakan rata-rata daya wavelet atas semua spektrum lokal wavelet sepanjang sumbu waktu, diberikan oleh: (4) III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Gambaran Umum Pola Curah Hujan Gambar (i) menunjukkan intensitas hujan bulanan untuk lima daerah di Sumatera Barat dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Untuk Dharmasraya (Gambar 3.1) rentang waktunya adalah 33 tahun (1981-2013) dengan intensitas curah hujan maksimum 659 mm/bulan. Pada daerah Pasaman (Gambar 3.2) digunakan rentang waktu selama 24 tahun (1990-2013) dengan intensitas curah hujan maksimum 1.072 mm/bulan. Daerah pengamatan selanjutnya adalah Sicincin (Gambar 3.3), dimana digunakan data curah hujan selama 24 tahun (1990-2013) dengan intensitas curah hujan maksimum 1.146 mm/hari. Penggunaan data curah hujan Solok (Gambar 3.4) selama 26 tahun (19812006) menghasilkan intensitas hujan maksimum sebesar 1.026 mm/hari. Dari data curah hujan Tabing (Gambar 3.5) selama 40 tahun (1971-2010) diketahui intensitas curah hujan maksimum sebesar 953 mm/bulan. Gambar (ii) menujukkan spektrum daya wavelet untuk masing-masing daerah pengamatan. Setiap daerah memiliki osilasi terkuat dengan periode yang berbeda-beda. Pada daerah Dharmasraya osilasi dominan yang terlihat adalah tahunan dengan periode 1 tahun. Sedangkan pada daerah Pasaman terlihat osilasi musiman muncul pada beberapa tahun data pengamatan dengan periode osilasi 0,5 tahun dan osilasi tahuhan pada tahun 2005-2010 dengan periode 1-2 tahun. Sicincin merupakan daerah dengan osilasi musiman dan tahunan yang paling terlihat jelas mempengaruhi pola curah hujannya jika dibandingkan dengan keempat daerah lainnya. Osilasi musimannya memiliki periode 0,5-1 tahun dan osilasi tahunannya 1-4 tahun. Pada daerah Solok osilasi tahunan muncul pada tahun 1990-1995 dengan periode 2-4 tahun. Jika dilihat dari spektrum daya waveletnya, untuk daerah Tabing, osilasi yang terlihat adalah tahunan pada tahun 1990an dengan periode osilasi 1-4 tahun. Jadi, secara umum osilasi yang paling terlihat dari tampilan spektrum daya wavelet adalah osilasi tahunan dengan rentang periode 1-4 tahun. Variabel dari transformasi wavelet yang digunakan untuk menganalisis lebih lanjut pola curah hujan adalah time series rata-rata (Gambar (iii)),. Jika dilihat dari time series rata-rata 0,5-1 144 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 tahun maka dapat dilihat pola bahwa setiap lima tahun muncul puncak curah hujan yang kadangkadang nilainya di atas nilai rata-rata. Hal ini terjadi pada kelima daerah pengamatan yang memiliki nilai rata-rata variance yang berbeda untuk setiap daerah. Oleh karena itu, jika dilihat dari spektrum daya dan time series dapat disimpulkan bahwa osilasi musiman dan tahunan mempengaruhi pola curah hujan di Sumatera Barat. Tetapi analisis ini belum cukup kuat untuk menyimpulkan hal tersebut. Oleh karena itu, dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan spektrum global wavelet, dimana spektrum global wavelet merupakan penjumlahan dari seluruh spektrum daya . i) Curah Hujan Bulanan Dharmasraya Curah Hujan (mm/bulan) 1200 900 600 300 0 1985 1990 1995 2000 2005 2010 Wakt u (t ahun) ii) Spektrum Daya Wavelet Periode (tahun) 0.25 0.5 1 2 4 8 Rata-Rata Variance (mm 2) 1985 2 x 10 4 1990 1995 2000 2005 2010 Wakt u (t ahun) iii) T ime Series Rat a-Rat a 0,5-1 T ahun 1 0 1985 1990 1995 2000 2005 Waktu (t ahun) 2010 Gambar 1. Pola curah hujan Dharmasraya 145 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 i) Curah Hujan Bulanan Pasaman 1200 Curah Hujan (mm/bulan) 900 600 300 Periode (tahun) 0 1990 1995 2000 2005 2010 Waktu (tahun) ii) Spekt rum Daya Wavelet 0.25 0.5 1 2 4 8 Rata-Rata Variance (mm 2) 1990 x 10 1995 2000 2005 2010 Waktu (tahun) iii) T ime Series Rat a-Rat a 0,5- 1 T ahun 4 2 1 0 1990 1995 2000 2005 Waktu (tahun) 2010 Gambar 2. Pola curah hujan Pasaman i) Curah Hujan Bulanan Sicincin Curah Hujan (mm/bulan) 1200 900 600 300 0 1990 1995 2000 2005 2010 Waktu (tahun) ii) Spekt rum Daya Curah Hujan Periode (tahun) 0.25 0.5 1 2 4 8 Rata-Rata Variance (mm 2) 1990 x 10 2 1995 4 2000 2005 2010 Wakt u (t ahun) iii) T ime Series Rat a-Rat a 0,5-1 T ahun 1 0 1990 1995 2000 2005 Waktu (tahun) 2010 Gambar 3. Pola curah hujan Sicincin 146 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 i) Curah Hujan Bulanan Solok Curah Hujan (mm/bulan) 1200 900 600 300 0 1985 1990 1995 2000 2005 Wakt u (t ahun) ii) Spektrum Daya Curah Hujan Periode (tahun) 0.25 0.5 1 2 4 8 Rata-Rata Variance (mm 2) 1985 x 10 1990 1995 2000 2005 Wakt u (t ahun) iii) T ime Series Rata-Rata 0,5-1 T ahun 4 2 1 0 1985 1990 1995 2000 Waktu (t ahun) 2005 Gambar 4. Pola curah hujan Solok i) Curah Hujan Bulanan T abing Curah Hujan (mm/bulan) 1200 900 600 300 0 1980 1990 2000 Waktu (tahun) ii) Spekt rum Daya Curah Hujan 2010 Periode (tahun) 0.25 0.5 1 2 4 8 Rata-Rata Variance (mm 2) 1980 x 10 3 1990 2000 Waktu (tahun) 2010 4 iii)T ime Series Rat a-Rat a 0,5-1 T ahun 2 1 0 1980 1990 2000 Waktu (tahun) 2010 Gambar 5. Pola curah hujan Tabing 3.2 Analisis Spektrum Global Wavelet pada Daerah Dharmasraya, Pasaman, Sicincin, Solok, dan Tabing Gambar 6 menunjukkan spektrum global wavelet yang dihasilkan dari data curah hujan untuk kelima daerah pengamatan. Pada daerah Dharmasraya dan Tabing, periode osilasi dominan terjadi pada 1 dan 3 tahun. Sedangkan untuk daerah Pasaman, Sicincin, dan Solok memiliki periode osilasi 147 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 dominan 1, 3, dan 4 tahun. Osilasi dominan tersebut memiliki nilai spektrum 150-300 mm2. Osilasi musiman dengan periode 0,5 sampai 1 tahun memiliki nilai spektrum terlemah (50-100 mm2) jika dibandingkan dengan periode lainnya dan ini berlaku untuk semua daerah pengamatan, kecuali Pasaman. Khusus daerah Pasaman, selain dari osilasi tahunan, pola curah hujannya juga dipengaruhi oleh osilasi musiman (0,8-0,9 tahun) memiliki kekuatan spektrum sekitar 150 mm2. Berdasarkan spektrum global wavelet, untuk daerah Sumatera Barat (diwakili oleh lima daerah pengamatan) dapat disimpulkan bahwa spektrum terkuat dihasilkan oleh osilasi tahunan, dengan periode 1-4 tahun dan nilai spektrum 150-300 mm2. Jadi, osilasi curah hujan Sumatera Barat sangat kuat dipengaruhi oleh osilasi tahunan, selain oleh osilasi musiman. Pasaman 750 600 600 2 Power (mm ) 750 2 Power (mm ) Dharmasraya 450 300 150 0 450 300 150 0.25 0.5 1 2 4 0 8 0.25 0.5 1 2 4 8 4 8 Period (year) (a) (b) Sicincin Solok 750 600 600 2 Power (mm ) 750 2 Power (mm ) Period (year) 450 300 450 300 150 0 150 0.25 0.5 1 2 4 0 8 0.25 0.5 Period (year) 1 2 Period (year) (c) (d) Tabing 600 2 Power (mm ) 750 450 300 150 0 0.25 0.5 1 2 4 8 Period (year) (e) Gambar 6 Spektrum Global Wavelet dari data pengamatan (a) Dharmasraya, (b) Pasaman, (c) Sicincin, (d) Solok, dan (e) Tabing 148 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 IV. KESIMPULAN Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dengan menggunakan mother Morlet, didapatkan bahwa osilasi dominan yang mempengaruhi pola curah hujan Sumatera Barat adalah osilasi tahunan. Hal ini terlihat dari tampilan spektrum daya , time series rata-rata, dan spektrum global wavelet. Pada spektrum global wavelet, periode osilasi dominan sekitar 1-4 tahun dengan nilai spektrum 150-300 nm2. Selain osilasi tahunan, osilasi musiman (0,5-1 tahun) juga teramati di Sumatera Barat, dengan nilai spektrum yang lebih kecil (50-100 mm2). Osilasi musiman (periode dominan 0,8-0,9 tahun) teramati cukup kuat di daerah Pasaman dengan nilai spektrum 150 mm2. DAFTAR PUSTAKA Domingues, M. O., Mendes, O. dan Mendes, A., 2005, On Wavelet Techniques in Atmospheric Sciences, Advances in Space Research, Vol. 35, Hal. 831–842. Labat, D., Ababou, R. dan Mangin, A., 2001, Introduction of Wavelet Analyses to Rainfall/Runoffs Relationship for a Karstic Basin: The Case of Licq-Atherey Karstic System (France), Groundwater, Vol.39, Issue 4, Hal.605–615. Laura, C., 2011. A Wavelet Based Approach for Series Timing, PhD Thesis, Polictechnica University of Timisoara and Telecom Bretagne, Timisoara. Madden, R. A. dan Julian P. R., 1994, Observations of the 40-50 Day Tropical Oscillation, Monthly Wheater Review, Vol. 122, Hal. 814-837. Marzuki, Kozu, T., Shimomai, T., Randeu, W. L., Hashiguchi, H., Shibagaki, Y., 2009, Diurnal Variaton of Rain Attenuatuion Obtained from Measurement of Raindrop Size Distribution in Equatorial Indonesia, IEEE Transaction Antennas Propagation, Vol. 57, hal 1190 – 1196. Marzuki, Randeu, W. L., Kozu, T., Hashiguchi, H., dan Schonhuber M, 2013, Raindrop Axis Ratio, Fall Velocities and Size Distribution over Sumatera from 2D – Video Disdrometer Measurement, Atmospheric Research, Vol. 119, hal. 23 – 37. Marzuki, Hashiguchi, H., Kozu, T., Shibagaki, Y., dan Takahashi, Y., 2015, Precipitation Microstucture ini Different Madden-Julian Oscillation Phases over Sumatera, Atmospheric Research (Inpress). Markovic, D. dan Koch, M., 2005, Wavelet and Scaling Analysis of Monthly Precipitation Extremes in Germany in the 20th Century: Interannual to Interdecadal Oscillations and the North Atlantic Oscillation Influence. Water Resources Research, Vol.41, Issue 9. Mori, S., Hamada, J.I., Tauhid,Y.I. dan Yamanaka, M.D., 2004, Diurnal Land–Sea Rainfall Peak Migration over Sumatera Island, Indonesian Maritime Continent, Observed by TRMM Satellite and Intensive Rawinsonde Soundings, Monthly Weather Review, Vol. 132, Hal. 2021-2039. Rumahorbo, P. S. dan Marzuki, 2015, Penggunaan Transformasi Wavelet untuk Menganalisis Osilasi Intramusiman Curah Hujan di Kototabang, Jurnal Fisika Unand (Inpress). Saji, N. H., Goswami, B. N., Vinayachandran, P.N. dan Yamagata, T., 1999, A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean, Nature, Vol. 401, Hal. 360-363. Santos, C. A. G., Galvão, C. O. dan Trigo, R. N., 2003, Rainfall Data Analysis Using Wavelet Transform. Hydrologi of LLie MediterranIan and Semiarid Regions, Proceedings of an International Symposium Held at Montpellier, April 2003, IAHS, Publ. no. 278. 2003. Schoot, F.A., Xie, S.P. and McCreary, J.P., 2009, Indian Ocean Circulation and Climate Variability, Review Geophysics, Vol. 47, Hal. 1-46. Tjasyono, B.Hk. dan Banu, 2003, Dampak ENSO pada Faktor Hujan di Indonesia, Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 8, No. 1, Hal. 15-22. Torrence, C. dan Compo G. P., 1998, A Pratical Guide to Wavelet Analysis, Bulletin of the American Meteorological Society, Vol. 79, No. 1, Hal. 61-78. Yueqing, X., Shuangcheng, L. dan Yunlong, C., 2005, Wavelet Analysis of Rainfall Variation in the Hebei Plain, Science in China Ser. D Earth Science, Vol. 48, No 12, Hal. 2241-2250. 149 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 STUDI VARIASI SPASIAL SEISMOTEKTONIK UNTUK MENGETAHUI KONDISI STRESS LOKAL TEKTONIK DAN TINGKAT AKTIVITAS KEGEMPAAN DISUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Furqon Dawam Raharjo, Rahmat Triyono Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Jl. Meteorologi Silaing Bawah, Kota Padang Panjang Email :[email protected] ABSTRAK Studi ini menggunakan katalog dari BMKG dan NEIC/USGS periode observasi 1 Januari 1973 – 31 Desember 2010 dengan batas koordinat 2 LU – 4 LS dan 94 BT – 104 BT meliputi wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya. Untuk menentukan variasi spasial parameter seismotektoni digunakan software ZMAP(Wiemer. S, 2001). Dari analisis didapatkan variasi spasial b-value berkisar 0,6 – 2,0 dan nilai a-value berkisar 4 – 11. Kondisi stress lokal yang tinggi teramati disekitar Kepulauan Mentawai, pulau Nias bagian selatan dan disepanjang Bukit barisan Sumatera Baratdan kondisi stress lokal yang rendah teramati dibagian barat-barat laut pulau Nias dan disepanjang Bukit barisan Sumatera bagian utara.Sedangkan tingkat keaktifan kegempaan yang rendah terjadi di KepulauanMentawai dan tingkat keaktifan kegempaan yang tinggi terjadi di barat-barat laut pulau Nias dan disepanjang Bukit barisan Sumatera bagian utara. Kata kunci :Variasi spasial parameter seismotektonik, a dan b-value dan kondisi stress lokal tektonik ABSTRACT This study used the earthquake catalog from BMKG and NEIC/USGS with observation period 1 January 1973 - 31 December 2010. Limitation of study area is 2 LU – 4 LS and 94 BT – 104 BT, this area are West Sumatera regions. To determine the spatial variation of tectonic seism used ZMAP software. This analysis obtained spatial variation b–value about 0,6-2,0 and avalue about 4 – 11. The results showed the high stress condition in Mentawai island, the south regions of Nias island and along of Barisan Hill West Sumatera. While the low stress condition in west regions of west coast Nias Island and along of Barisan Hill Northern Sumatera. The Low level seismicity occurred Mentawai island and then the high level seismicity occurred of west coast Nias Island and along of Barisan Hill Northern Sumatera. Keyword :The spatial variation parameter of tectonic seism, a and b-value, stress local condition I. PENDAHULUAN Wilayah Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi, hal ini disebabkan karena wilayah Sumatera Barat dilalui oleh pertemuan dua lempeng besar yang aktif yaitu lempeng Indo – Australia dan lempeng Eurasia. Lempeng Indo – Australia bergerak secara miring kemudian menabrak lempeng Eurasia yang relatif diam. Selain itu wilayah Sumatera Barat juga terdapat adanya patahan aktif yang disebut sebagai patahan besar Sumatera atau ”Sumatera Fault System”. Pertemuan dua lempeng dan patahan aktif Sumatera adalah pemicu terjadinya gempabumi diwilayah sekitar Sumatera Barat. Sudah banyak kejadian gempabumi besar dan merusak yang terjadi diwilayah Sumatera Barat, antara lain gempabumi Pariaman tahun 2009 denganmagnitudo7.6 SR, gempabumi Pagai Selatan Kepulauan Mentawai tahun 2010 dengan magnitudo 7.2 SRdan gempabumi Padangpanjang tahun 2007 dengan magnitudo 6.4 SR dan 6.3 SR Untuk memahami proses yang menyebabkan terjadinya gempabumi besar dan merusak disuatu wilayah perlu mengetahui kondisi stress lokal tektonik dan tingkat keaktifan kegempaan menggunakan variasi spasial parameter seismotektonik a dan b-valuedengan pendekatan hubungan frekuensi–magnitudo(a dan b-value) yang dikemukakan oleh Gutenberg and Richter, 1964. Variasi spasial parameter seismotektonik low b-value mencerminkan kondisi stress lokal yang tinggi dan high b–value sebaliknya, sedangkan low a-value mencerminkan tingkat keaktifan kegempaan yang rendah dan sebaliknya pada high a-value. Suatu wilayah yang memiliki kondisi stress lokal tektonik yang tinggi memiliki besar b-value sekitar 0,4 - 0,9, kemudian kondisi stress lokal tektonik yang rendah bvalue lebih dari 1,2 (Amelung and King, 1997; Wiemer and Wyss, 1997). Studi ini, telah banyak dilakukan oleh beberapa ahli seismologi sebelumnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Kemudian oleh (Y.Z. Zhao,2008)tentang mapping the b-value along the 150 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Longmenshan fault zone before and after the 12 May 2008 beliau mendapatkan pada kejadian gempabumi besar dan merusak, seperti gempabumi Wen-chuan (Mw.8) 12 Mei 2008 disekitar dekat episenter menghasilkan anomali b-value yang rendah (low b-value). Dan penelitian yang dilakukan oleh Rohadi dkk, 2007 tentang studi variasi spasial seismisitas di zona subduksi Jawa. Rohadi dkk (2007) mengatakan pada a-value yang rendah menunjukkan akitivitas kegempaan yang rendah yang berarti adanya akumulasi energi (asperity). Oleh karena itu menurut Schorlemmer & Wiemer (2004) variasi spasial parameter seismotektonik menjadi salah satu metode yang cukup tepat untuk mengetahui kondisi stress lokal tektonik dan tingkat aktivitas kegempaan di suatu wilayah. Untuk menentukan variasi spasial parameter seismotektonik digunakan software ZMAP (Wiemer,2001)Software ini pada prinsipnya menggunakan metode maksimum Likelihood dari relasi persamaan Gutenberg and Richter (1944) dengan teknik gridding yang terdapat beberapa kejadian gempabumi dan pada tiap-tiap grid dapat dicari variasi spasial parameter seismotektoniknya. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui wilayah mana saja di Sumatera Barat dan Sekitarnya yang memiliki kegempaan dan kondisi stress lokal yang tinggi dalam hubungannya sebagai mitigasi bencana, khususnya bencana gempabumi. 1.1 Tektonik Setting Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah yang berada dipantai barat Sumatera, dengan tingkat aktivitas seismik/kegempaan sangat tinggi di Indonesia. Hal ini tidak lepas dengan keberadaan adanya dua lempeng tektonik besar yang aktif, yaitu lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Gambar 2. Tatanan tektonik Sumatera (Mc Caffrey, 2000) Pertemuan kedua lempeng ini bersifat konvergen dan lempeng Indo-Australia bergerak kearah utara kemudian men-subduksi terhadap lempeng Eurasia secara menyerong (obligue) dengan kemiringan (dip) yang landai. Salah satu akibat dari pergerakkan kedua lempeng tersebut, maka muncul deretan kepulauan Mentawai dan juga membentuk jalur sesar Mentawai (Mentawai fault) yang berada diantara selat Mentawai. 1.2 Hubungan Frekuensi Dengan Magnitudo Gempabumi Hubungan frekuensi dan magnitudo gempabumi merupakan salah satu cara untuk mengetahui tingkat aktivitas kegempaan disuatu wilayah dan menjadi suatu hubungan dasar dari statistik seismologi. Hubungan frekuensi dan magnitudo gempa bumi (frequency – magnitude distribution) pertama kali dikemukakan oleh Gutenberg and Richter,1944 yang memenuhi persamaan : Log N (M) = a – bM dimana : N (M) = Jumlah gempabumi dengan magnitudo M, a dan b = Konstanta parameter seismotektonik dan M = Magnitude gempabumi 151 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 3. Kurva hubungan frekuensi dengan magnitude gempabumi Gutenberg and Richter ,1944(sumber : Stein and Wysession, 2003) Kurva diatas menjelaskan tentang hubungan frekuensi dan magnitude gempabumi. Semakin rendah magnitude (M<4.5) maka semakin tinggi frekuensi gempabumi, sedangkan sebaliknya untuk magnitude yang tinggi. 1.3 Data Data yang digunakan dalam studi ini adalah data katalog gempabumi dari BMKG dan NEIC(USGS) periode observasi 1 januari 1973 – 31 Desember 2010, untuk daerah yangterletak dalam koordinat 2 LU – 4 LS dan 96 BT – 104 BT meliputi wilayah Sumatera Barat dan sekitarnya (Gambar4) dengan magnitudo 3,5 – 8.0 SR. Data katalog gempabumi ini terdiri dari latitude, longitude, tahun, bulan, tanggal, magnitudo, kedalaman, jam, dan menit. Gambar 4.Wilayah penelitian meliputi Sumatera barat dan Sekitarnya dengan letak koordinat 2 LU – 4 LS dan 94 BT – 104 BT. Beberapa tahapan untuk menentukan variasi spasial seismotektonik (a dan b-value) sebagai berikut : Data diklasifikasikan menjadi beberapa bagian : longitude,latitude, tahun, bulan, hari, magnitudo, kedalaman, jam, dan menit, Declustering data katalog gempabumi untuk memisahkan data gempabumi utama dengan data gempabumi susulannya. Plot distribusi frekuensi – magnitude untuk mengetahui magnitude completness nya (Mc) Menghitung densitas kegempaan, dengan menggunakan teknik ”gridding”, pada tiap-tiap griddingdengan jarak 0,1 0 x 0.1 0 radius sampling 110 km, banyaknya kejadian pada tiap-tiap grid 30 gempabumi dan Mc =4,5kemudian dibuat peta variasi distribusi densitas kegempaan dalam skala logaritmik (jumlah gempabumi per km 2 ). Memetakan variasi spatial b – value, dengan cara membagi daerah penelitian menjadi grid – grid dan nilai b – value dihitung untuk tiap titik grid dengan kombinasi radius konstan dan jumlah gempa 152 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 konstan.Perhitungan nilai variasi spatial b – value menggunakan metode Likelihood, menggunakan software ZMAP versi 6.0 (Wiemer,2001). Untuk mengetahui kondisi stress tektonik dan tingkat keaktifan kegempaan di suatu wilayah dalam studi ini menggunakan program ZMAP versi 6.0 (Wiemer and Wyss,2000) yang menggunakan metode maksimum Likelihood (Utsu, 1965) dengan persamaan b – value: dimana: b = Karakteristik seismotektonik di suatu wilayah, log e = 0,4343, , Mmin = magnitude completeness. Kemudian nilai a – value mennggunakan rumus sebagai berikut : Dimana : a = aktivitas kegempaan disuatu wilayah, log N ( M ≥ M 0) = log dari jumlah gempabumi yang memiliki magnitude lebih besar dari Mo. II. HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan distribusi frekuensi – magnitude gempabumi nilai magnitude completeness (Mc) diwilayah penelitian didapatkan cukup baik yaitu sekitar Mc = 4,5. Nilai magnitude completeness ini sangat mempengaruhi dalam penentuan parameter seismotektonik disuatu wilayah. Berdasarkan kurva FMD, maka secara umum nilai parameter seismotektonik diwilayah Sumatera Barat dan sekitarnya menghasilkan b-value = 0,894 dan a-value = 7,22 Gambar 6.Kurva FMD diwilayah Sumatera Barat dan sekitarnya periode observasi1 Januari 1973 – 31 Desember 2010. 153 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 7.Kurva analisis time series atau plot kumulatif gempabu (sumber data : BMKG dan NEIC/USGS) Gambar 7 kurva merupakan analisis time series atau plot kumulatif gempabumi diwilayah Sumatera Barat dan sekitarn yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas seismik/kegempaan antara tahun 2000 – 2010. Pada tahun 2000 – 2010 banyak terjadi gempabumi yang cukup signifikan dengan magnitudo M > 6,5 SR. Dengan melihat plot kumulatif gempabumi dapat kita artikan selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2000 – 2010 diwilayah ini terus-menerus mengalami accumulation energy sehingga dapat menyebabkan gempabumi yang cukup signifikan. Gambar 10. Pemetaan densitas gempabumi diwilayah Sumatera barat dan sekitarnya Dari Gambar 10 dapat kita lihat di sekitar NiasGn.Sitoli dan di kepulauan Mentawai yang berwarna merah pekat memiliki kerapatan kegempaan yang cukup tinggi dengan densitas gempabumi berkisar -2 s/d -1,6 log (Eq per km 2) yang mengindikasikan diwilayah tersebut kondisi batuannya mudah mengalami “fracture”. Sedangkan untuk kerapatan kegempaan yang rendah terjadi di sekitar Pulau Batu dengan densitas gempabumi berkisar -2,6 s/d -2,2 log (Eq per km 2). Variasi spasial parameter seismotektonik b-value diwilayah Sumatera Barat dan sekitarnya telah dianalisis dengan cukup baik.Distribusi variasi spasial parameter seismotektonik ditampilkan pada Gambar 11.Berdasarkan Gambar 11 variasi spasial parameter seismotektonik b-value yang 154 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 rendah teramati di bagian selatan Pulau Nias-Gn. Sitoli, Kepulauan Mentawai dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian barat.Diwilayah bagian selatan Pulau Nias-Gn. Sitoli menghasilkan nilai variasi spasial seismotektonik sekitar 0,7 – 0,9 di Kepulauan Mentawai sekitar 0,6 – 0,9 dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian barat berkisar 0,8 – 1,0. Kemudian variasi spasial parameter seismotektonik b-value yang tinggi berada dibagian barat-barat laut pulau Nias dan disepanjang bukitbarisan Sumatera bagian utara dengan nilai variasi spasial parameter seismotektonik 1,1 – 1,3. Gambar 11.Petavariasi spasial b-value di wilayah Sumatera barat dan Sekitarnya. Berdasarkan para ahli kebumian sebelumnya nilai b-value yang rendah berasosiasi terhadap kondisi lokal stress yang tinggi dan sebaliknya pada b-value yang tinggi. Dengan demikian wilayah pulau Nias bagian selatan, Kepulauan Mentawai dan diwilayah sepanjang Bukitbarisan diSumatera bagian barat memiliki lokal stress yang cukup tinggi (high normal stress).Hal ini karena pada wilayah tersebut berada dizona seismik aktif (regime stress zone) yang dipengaruhi oleh adanya aktivitas tektonik zona subduksi, sesar aktif Mentawai dan Sumatera. Selain itu kita lihat juga diwilayah tersebut banyak gempabumi yang cukup besar dan merusak dengan magnitudo M > 6,0 SR yang memiliki nilai variasi spasial b-value rendah. Hal ini berarti setelah terjadi gempabumi besar dan merusak diwilayah bagian selatan Pulau NiasGn. Sitoli, Kepulauan Mentawai dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian barat masih menyimpan lokal stress yang cukup tinggi atau sedang berlangsung akumulasi stress dan berpotensi terjadi gempabumi besar yang akan datang.Pada wilayah penelitian dengan b-value rendah berarti mempunyai tingkat kondisi heterogenitas yang rendah. Kemudian untuk wilayah Pulau Nias bagian barat-barat laut dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian utara dapat diinterpretasikan mempunyai stress lokal yang rendah (low local stress) dengan variasi spasial b-value tinggi, kondisi heterogenitas yang tinggi. Diwilayah tersebut juga dapat dikatakan sebagai daerah creeping yang artinya daerah sesar aktif mengalami slip dan tidak mengakumulasi stress dengan spasial b-value sekitar > 1,2 (Wiemer and Wyss, 1997).Menurut Warren and Latham, 1970 dengan b-value yang tinggi dipengaruhi oleh high thermal gradient di slab– subduction.Kemudian b-value yang tinggi juga terlihat di sepanjang Bukitbarisan diSumatera bagian utara. Dengan melihat kembali Gambar 2 tentang aktivitas kegempaan diwilayah penelitian, kondisi seismisitas di sepanjang Bukitbarisan diSumatera bagian utara mempunyai kedalaman 100 – 300 km.Menurut Wiemer and Benoit, 1996 pada kedalaman h > 100 km kondisi termal dibawah slabsubduction sangat tinggi yang dapat menimbulkan medan stress dengan asosiasi karakteristik seismotektonik dangan nilai b-value yang tinggi.Tampak pada Gambar 12 nilai a-value yang rendah 155 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 terjadi disekitar Kepulauan Mentawai denagan a-value berkisar 4 - 6.Dimana a-value yang rendah diartikan sebagai wilayah yang memiliki aktivitas seismik yang rendah dan terjadi akumulasi energi (asperity) diwilayah tersebut. Berdasarkan dari nilai a-value yang rendah maka diwilayah kepulauan Mentawai berpeluang terjadinya gempabumi besar hal ini didasarkan dengan kondisi stress lokal yang tinggi dan adanya akumulasi energi (asperity). Gambar 12.Peta variasi spasial a-value di wilayah Sumatera barat dan Sekitarnya Tampak pada Gambar 12 nilai a-value yang rendah terjadi disekitar Kepulauan Mentawai denagan a-value berkisar 4 - 6.Dimana a-value yang rendah diartikan sebagai wilayah yang memiliki aktivitas seismik yang rendah dan terjadi akumulasi energi (asperity) diwilayah tersebut. Berdasarkan dari nilai a-value yang rendah maka diwilayah kepulauan Mentawai berpeluang terjadinya gempabumi besar hal ini didasarkan dengan kondisi stress lokal yang tinggi dan adanya akumulasi energi (asperity). Sedangkan a-value yang tinggi terjadi dibagian barat-barat laut pulau NiasGn.Sitoli, sebagian disepanjang wilayah Bukitbarisan Sumatera bagian utara dan di Kepulauan Mentawai bagian selatan dengan a-valueberkisar 6,5 – 8,5. Kondisi parameter seismotektonik a-value yang tinggi hampir sama dengan kondisi b-value yang tinggi diwilayah tersebut, dengan demikian diwilayah tersebut memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi. III. KESIMPULAN 1. Secara umum nilai a dan b – value diwilayah Sumatera Barat dan sekitarnya yaitu 7,22 dan 0,894. 2. Berdasarkan variasi spasial parameter seismotektonik menggunakan katalog gempabumi dari BMKG dan NEIC/USGS periode observasi 1 Januari 1973 – 31 Desember 2010, b-value rendah teramati disekitar kepulauan Mentawai dengan b-value berkisar 0,6 – 0,9 dan di pulau Nias bagian selatan dengan b-value berkisar 0,7 – 0,9 dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian barat b-value berkisar 0,8 – 1,0. Kemudian b-value tinggi berada dipulau Nias bagian barat-barat laut dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian utara dengan b-value> 1,0. 3. Kepulauan Mentawai dan di pulau Nias bagian selatan mempunyai kondisi stress lokal tektonik yang tinggi dan berpotensi terjadinya gempabumi besar dan merusak. Sedangkan dibagian barat – barat laut pulau Nias–Gn.Sitoli dan disepanjang Bukitbarisan di Sumatera bagian utara memiliki stress lokal tektonik yang rendah. 4. Tingkat aktivitas seismik/kegempaan yang rendah (low a-value) teramati di kepulauan Mentawai dengan a-value berkisar 4 – 6 dan diwilayah tersebut sedang terjadi akumulasi energi (asperity), namun tingkat aktivitas seismik/kegempaan yang tinggi terjadi di pulau Nias-Gn.Sitoli bagian barat-barat laut dan di sekitar kepulauan Mantawai bagian selatan dengan a-value berkisar 6,5 – 8,5. 156 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 DAFTAR PUSTAKA Aki, K., 1965, Maximum likelihood estimate of b in the formula log N = a – bM and its confidence limits, Bulletin of the earthquake Research Institute, Tokyo University, 43, pp. 237-239. Gibowicz, S.J. (1973), Variation of the frequency-magnitude relation during earthquake sequence in New Zealand, Bull. Seimol. Soc. Am, 63, 517 – 528. Gutenberg, B. And Richter, C, F., 1944, Frequency of earthquake in California, Bull. Seismol. Soc. Am. 34, hal. 185 – 188. Nuannin, P.-, Kulhanek, O. And Parson, L., 2005. Spatial and Temporal b value anomalies proceding the deviasting off coast of NW Sumatra earthquakes of december 26, 2004. Geophys. Res. Let., 32 L 11307. Rohadi, dkk. 2007. Variasi Spasial Seismisitas di Zona Subduksi Jawa.Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol. 8 No.1 Juli 2007 : 42 - 47 Stein, S., Wysession, M., 2003. An introduction to seismology, earthquakes, andearth structure, Blackwell Publishing, Boston. Scholz, C. H., 1968, The frequency – magnitude relation of microfracturing in rock and its relation to earthquake, Bull. Seismol. Soc. Am, 58, hal . 399 – 415. Wiemer, S., 2001. A software package to Analyze Seismicity: ZMAP, Seismol. Res. Lett, vol.72, 373382. Wiemer, S and Benoit, J., 1996. Mapping The b-value Anomaly at 100 km Depth in The Alaska and New Zealand Subduction Zones. Geophys. Res. Let, Vol.23. 1557-1560. Wiemer, S and Wyss, M. 1997. Distribution Variation Spatial and Temporal of Earthquake. Seismol. Res. Lett, vol.15, 255-260. Zhao. Y.Z et al,. 2008. mapping the b-value along the Longmenshan fault zone before and after the 12 May 2008. Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 8, 1375–1385. 157 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 PERBANDINGAN VARIASI DIURNAL DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN HUJAN DI PADANG DAN DI KOTOTABANG Rio Chandra1, Marzuki1, Mutya Vonnisa1, Hiroyuki Hashiguchi2 1 Jurusan Fisika Universitas Andalas, 2RISH Kyoto University, Japan e-mail: [email protected] ABSTRAK Variasi diurnal distribusi ukuran butiran hujan atau raindrop size distribution (RDSD) di Padang dan di Kototabang, Sumatera Barat telah dibandingkan. Perbandingan dilakukan melalui pengamatan particle size velocity (Parsivel) selama Maret 2014 – Mei 2015 untuk Padang dan Januari 2014 – Januari 2015 untuk Kototabang. Data dikelompokkan berdasarkan waktu terjadinya hujan yaitu pagi (00:00-11:59 WIB) dan malam (12:00-23:59 WIB). RDSD dimodelkan dengan distribusi gamma dan parameternya didapatkan menggunakan metode Momen. Pada kedua lokasi terlihat bahwa konsentrasi butiran hujan berukuran kecil lebih banyak di pagi hari, sedangkan butiran hujan berukuran besar lebih banyak di malam hari. Akibat dari lebih banyaknya butiran hujan yang berukuran besar di malam hari sehingga nilai radar reflectivity (Z) pada malam hari lebih besar daripada pagi hari untuk intensitas curah hujan yang sama. Hal ini terlihat dari koefisien A persamaan Z-R (Z=ARb) lebih besar di malam daripada di pagi hari. Kata kunci: raindrop size distribution, metode Momen, Parsivel, Padang, Kototabang ABSTRACT Diurnal variation of raindrop size distribution (RDSD) in Padang and Kototabang have been compared through particle size distribution (Parsivel) observation during March 2014 – May 2015 for Padang and January 2014 – January 2015 for Kototabang. The data were classified into two categories, i.e., morning (00:00-11:59 LT) and evening (12:00-23:59 LT). The RDSD was parameterized by the modified gamma distribution and its parameter was calculated by the Moment method. It was found that the RDSD of the two locations in the morning hours composed of more small drops and drop concentration, fewer large drops than the evening ones. Diurnal variation of RDSD leads to significant variation of Z–R relations so that they must be considered to increase the accuracy of Z–R conversion from weather radar in this region. Keywords: raindrop size distribution, moment Method, Parsivel, Padang, Kototabang I. PENDAHULUAN Distribusi ukuran butiran hujan atau lebih dikenal dengan raindrop size distribution (RDSD) adalah distribusi butiran hujan pada ukuran tertentu per satuan volume sampel selama interval waktu pengamatan tertentu (Jameson dan Kostinski, 2001). Informasi tentang RDSD diperlukan untuk mengetahui proses fisika dalam pembentukan hujan (Tokay dan Short, 1996), perancangan sistem remote sensing untuk pemantauan atmosfer (Coppens dan Haddad, 2000), pengamatan hujan menggunakan radar (Uijlenhoet, 2001) dan memprediksi atenuasi gelombang elektromagnetik yang disebabkan oleh hujan (Owolawi, 2011). RDSD bervariasi terhadap lokasi, waktu, dan tipe hujan. Hal ini disebabkan oleh proses fisika dan faktor yang mempengaruhi pembentukan butiran hujan juga bervariasi terhadap lokasi (Ulbrich, 1983; Rosenfeld dan Ulbrich, 2003; Marzuki dkk., 2013a), waktu (Kozu dkk., 2006) dan tipe hujan (Tokay dan Short, 1996). Variasi RDSD dapat menurunkan akurasi bidang-bidang yang memerlukan informasi tentang RDSD di atas. Oleh karena itu, pengamatan terhadap RDSD secara akurat dan kontinu perlu untuk dilakukan. Tulisan ini akan menyajikan hasil awal penelitian tentang RDSD di Padang dan Kototabang, Sumatera Barat, Indonesia, sebagai lanjutan dari penelitian oleh Chandra dkk. (2015). Mereka telah menemukan bahwa konsentrasi butiran hujan di Padang untuk intensitas curah hujan yang tinggi lebih banyak daripada di Kototabang. Hujan di Sumatera mempunyai variasi diurnal yang sangat kuat sebagai akibat dari interaksi antara daratan Sumatera dan lautan di sekitarnya (Mori dkk. 2004). Variasi diurnal ini mempengaruhi banyak parameter meteorologi, termasuk RDSD. Beberapa peneliti sebelumnya telah menemukan variasi diurnal RDSD untuk kawasan Kototabang (Kozu dkk., 2006; Marzuki dkk., 2009; Marzuki dkk., 2013b). Oleh karena itu, penelitian ini akan menambah satu lokasi pengamatan baru yaitu di Padang. 158 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 II. METODOLOGI RDSD diamati dengan Particle Size Velocity (Parsivel). Parsivel adalah disdrometer sensor optik-laser yang dapat mengukur ukuran dan kecepatan jatuh dari partikel hujan (butiran hujan, salju, dan sebagainya). Parsivel terdiri dari lembaran laser dioda dengan lebar 30 mm, panjang 180 mm, dan tinggi 1 mm. Luas daerah pengamatan Parsivel adalah 5400 mm2. Parsivel sesungguhnya tidak secara langsung menghasilkan RDSD, tetapi hanya memberikan “count atau jumlah” daripada butiran hujan per ukuran tertentu per waktu pengamatan. Ukuran butiran hujan dan kecepatan jatuhnya dikelompokkan ke dalam 32 kelas sehingga spektrum terdiri dari 1024 kelas (32 x 32). Dari jumlah butiran (ļn) kita bisa menghitung RDSD [N(D)], intensitas curah hujan (R), radar reflectivity (Z), dengan persamaan berikut: (1) (2) (3) dimana F adalah luas pengamatan Parsivel (5400 mm2), t adalah waktu pengamatan (1 menit), D adalah diameter butiran, v(D) adalah kecepatan butiran, dan ΔD adalah lebar kelas. Penjelasan lengkap tentang Parsivel ini dapat ditemui di dalam Loffler-Mang dan Joss (2000). Data Parsivel yang digunakan adalah data dari bulan Maret 2014 – Mei 2015 untuk Padang dan dari bulan Januari 2014 – Januari 2015 untuk Kototabang. Data dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan waktu terjadinya hujan, yaitu hujan yang terjadi antara 00:00-11:59 disebut “pagi” dan antara jam 12.00-23.59 yang selanjutnya akan disebut “malam”. Pembagian ini mengikuti penelitian Marzuki dkk. (2013b). RDSD pertama kali dikelompokkan dan dirata-ratakan berdasarkan beberapa kelas intensitas curah hujan. RDSD dengan intensitas hujan yang sama di Kota Padang dibandingkan dengan RDSD di Kototabang. Hal ini akan memberikan informasi awal dan umum tentang perbedaan RDSD di Padang dan di Kototabang. Untuk melihat karakteristik RDSD lebih detail, RDSD dimodelkan dengan distribusi gamma sebagai berikut: (4) dimana N(D) adalah fungsi RDSD (mm-1 m-3), NT adalah parameter intercept dengan satuan m , µ adalah parameter bentuk (shape) dan ļ merupakan parameter slope dari distribusi dalam satuan mm-1. Parameter gamma RDSD (µ, N T, dan ļ) dihitung menggunakan metode Momen. Metode momen dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa semua parameter hujan merupakan fungsi RDSD yang secara umum dapat ditulis sebagai berikut: -3 (5) (6) dimana M adalah momen dan x adalah pangkat diameter butiran. Nilai M3, M4, dan M6 didapat dari Persamaan (6) dengan menggunakan dan x = 3, 4, dan 6. M3 menunjukkan liquid water content (LWC), M4 menunjukkan intensitas curah hujan (R), M6 menunjukkan radar reflectivity (Z). Parameter gamma RDSD dalam Persamaan (4) dapat dihitung sebagai berikut (Kozu dan Nakamura, 1991): iiiiiiii dengan (7) iiiiiiiiiiiiiiiiii(8) 159 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 iiiiiiiiiiiii iiiii (9) iiiiiiiiiiiiiiiii dimana adalah massa-berat diameter rata-rata, dan iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii i(10) adalah momen ke tiga dari normalisasi spektrum massa oleh Tahap terakhir yang dilakukan adalah menghitung persamaan Z-R. Persamaan Z-R dihitung dengan regresi linier dalam skala logaritmik. III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Rata-rata RDSD Gambar 1 memperlihatkan perbandingan variasi diurnal RDSD di Kototabang. Dari semua intensitas curah hujan (Gambar 1.a-e) terlihat bahwa konsentrasi butiran hujan berukuran kecil lebih banyak terdapat pada hujan di pagi hari dibandingkan malam hari. Kondisi sebaliknya terjadi pada butiran berukuran besar. Konsentrasi butiran hujan berukuran besar lebih banyak terdapat pada hujan di malam hari dibandingkan pagi hari. Hal ini mulai terlihat untuk butiran hujan dengan diameter besar dari 2 mm. Perbedaan ini semakin jelas dengan peningkatan intensitas curah hujan. Kondisi yang teramati di Kototabang juga terlihat di Padang. Konsentrasi butiran hujan berukuran kecil di Padang juga lebih banyak terdapat pada hujan di pagi hari dibandingkan malam hari. Selain itu, konsentrasi butiran hujan berukuran besar juga lebih banyak terdapat pada hujan di malam hari dibandingkan pagi hari. Adanya persamaan pola diurnal RDSD di Padang dan Kototabang, disebabkan oleh hujan yang terjadi di Padang dan di Kototabang kemungkinan berasal dari awan konvektif yang sama, yaitu awan dari Samudra Hindia. Awan tersebut mengalami proses yang berbeda di Kototabang disebabkan oleh adanya pegunungan di sekitar daerah ini sehingga menimbulkan hujan dengan RDSD yang agak berbeda dengan di Padang (Chandra dkk., 2015). light rain 1 ļ£ R < 2 mm/h N(D) N(D) very light rain R < 1 mm/h 0 10 Malam Pagi (a) 0 2 4 6 Raindrop diameter (mm) 0 10 (b) 0 8 2 0 10 0 (d) 2 4 6 8 0 2 Raindrop diameter (mm) 4 6 8 Raindrop diameter (mm) very heavy rain 10 ļ£ R < 20 mm/h extreme rain R ļ³ 20 mm/h N(D) N(D) 8 10 (c) 0 10 0 10 (e) 0 6 heavy rain 5 ļ£ R < 10 mm/h N(D) N(D) moderate rain 2 ļ£ R < 5 mm/h 0 4 Raindrop diameter (mm) (f) 2 4 6 Raindrop diameter (mm) 8 0 2 4 6 8 Raindrop diameter (mm) Gambar 1. Perbandingan RDSD pagi (00:00-11:59 WIB) dan malam hari (12:00-23:59 mmmmmmlWIB) di Kototabang 160 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Tabel 1 memperlihatkan rekapitulasi data dan hasil fitting dari Gambar 1 dan Gambar 2. Bentuk distribusi (µ) dari parameter gamma secara umum hampir sama. Nilai µ lebih besar di pagi daripada malam hari baik untuk Padang maupun Kototabang. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrasi butiran hujan berukuran kecil lebih banyak terdapat pada hujan di pagi hari dibandingkan malam hari sebagaimana penjelasan sebelumnya. Untuk semua intensitas curah hujan, nilai Λ di Padang lebih besar di pagi dibandingkan malam hari dan nilai Λ semakin kecil jika intensitas curah hujan semakin besar. Nilai Λ di Kototabang untuk hujan ringan dan hujan sedang lebih besar pada pagi sedangkan untuk intensitas curah yang lain nilai Λ di malam hari lebih besar dibanding pagi hari. Nilai Λ di Kototabang juga semakin kecil saat intensitas curah hujan semakin besar, sama halnya dengan di Padang. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi butiran hujan berukuran besar dengan peningkatan curah hujan yang terlihat juga dari peningkatan nilai Dm dengan peningkatan curah hujan. Butiran yang besar lebih sedikit pada pagi hari sehingga nilai Dm pada pagi lebih kecil dari malam hari untuk semua intensitas curah hujan. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa untuk semua kategori hujan nilai Dm di Kototabang lebih besar dibanding Padang untuk hujan pada pagi hari, sedangkan untuk hujan pada malam hari nilai Dm di Kototabang lebih kecil dibandingakan dengan di Padang. 0 light rain 1 ļ£ R < 2 mm/h N(D) N(D) very light rain R < 1 mm/h Malam Pagi 10 0 10 (a) 0 (b) 2 4 6 Raindrop diameter 0 8 2 4 N(D) N(D) 0 10 0 10 (c) (d) 2 4 6 8 0 2 Raindrop diameter 4 8 extreme rain R ļ³ 20 mm/h N(D) N(D) 6 Raindrop diameter very heavy rain 10 ļ£ R < 20 mm/h 0 10 0 10 (e) 0 8 heavy rain 5 ļ£ R < 10 mm/h moderate rain 2 ļ£ R < 5 mm/h 0 6 Raindrop diameter (f) 2 4 Raindrop diameter 6 8 0 2 4 6 8 Raindrop diameter Gambar 2. Perbandingan RDSD pagi (00:00-11:59 WIB) dan malam hari (12:00-23:59 mmmmmmlWIB) di Padang 3.2 Persamaan Z-R Salah satu aplikasi dari RDSD adalah untuk mengkonversi nilai Z dari radar meteorologi menjadi intensitas curah hujan (R) menggunakan persamaan Z-R (Z=ARb). Dalam penelitian ini persamaan Z-R dihitung melalui tiga cara dan semuanya melalui regresi linear dalam skala log. Pada cara pertama, R diletakkan pada sumbu-y dan sumbu-x digunakan Z. Hal ini digunakan karena parameter yang diketahui oleh radar adalah Z dan yang ingin kita dapatkan adalah R. Kedua, R diletakkan pada sumbu-x dan sumbu-y digunakan Z cara ini adalah yang paling banyak digunakan. 161 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Ketiga, persamaan Z-R dihitung dengan menetapkan nilai b =1,4. Penetapan nilai b = 1,4 digunakan pada beberapa radar meteorologi (Marzuki dkk., 2015). Tabel 1 Parameter gamma RDSD untuk RDSD rata-rata (Gambar 1 dan Gambar 2) Katego ri Hujan Λ µ PDG Mala Pagi m KTB Pagi Malam Dm PDG Mala Pagi m KTB Mala Pagi m Sangat ringan 0,42 0,68 0,10 0,22 4,64 4,61 4,19 4,63 Ringan 0,52 -0,13 0,40 -0,76 4,28 3,24 3,10 2,89 Sedang 0,45 -0,57 0,05 -0,23 3,71 2,61 3,13 3,10 Lebat 0,92 -0,06 0,27 3,83 2,67 2,42 3,21 1,35 -0,30 1,46 3,65 2,11 2,20 3,72 0,20 -0,10 -0,70 1,76 1,10 1,17 1,36 Sangat Lebat Ekstri m 0,44 0,18 0,92 PDG Pag Mala i m 0,9 1,01 5 1,0 1,20 6 1,2 1,31 0 1,2 1,47 8 1,4 1,74 6 2,1 2,72 6 KTB Mala Pagi m 0,98 0,91 1,16 1,18 1,30 1,21 1,46 1,33 1,72 1,46 2,63 2,41 Tabel 2 memperlihatkan persamaan Z-R di Padang dan di Kototabang yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu pagi, malam dan total (semua data tanpa pengelompokan). Pada tabel terlihat bahwa nilai persamaan koefisien A dari Z-R di Padang pada pagi lebih kecil dibandingkan pada malam hari untuk semua metode. Koefisien A dari Z-R di Kototabang pada pagi hari juga lebih kecil dibandingkan dengan malam hari. Karakteristik persamaan Z-R sejalan dengan subbab sebelumnya dimana konsentrasi butiran hujan berukuran besar lebih banyak pada malam dibandingkan pada pagi hari. Hal ini mengakibatkan Z pada malam hari lebih besar dari pagi hari, karena nilai Z sangat dipengaruhi oleh butiran hujan berukuran besar. Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa untuk semua metode, nilai A di Kototabang lebih besar dibanding Padang untuk hujan pada pagi hari, sedangkan untuk hujan pada malam hari nilai A di Kototabang lebih kecil dibandingakan dengan di Padang. Hal ini konsisten dengan pola diurnal parameter RDSD pada Tabel 1. Tabel 2 Persamaan Z-R dari RDSD di Padang dan di Kototabang Metode Padang Pagi Malam 1,47 1,52 Kototabang Total Pagi 1,51 Malam 1,53 1,56 Total R–Z Z=205R Z=236R Z=227R Z=213R Z=223R Z=221R1,56 Z–R Z=209R1,32 Z=247R1,41 Z=237R1,39 Z=205R1,47 Z=228R1,42 Z=223R1,41 b kostan Z=207R1,40 Z=248R1,40 Z=236R1,40 Z=207R1,40 Z=229R1,40 Z=223R1,40 IV. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya mengenai variasi diurnal RDSD di Sumatera. RDSD dari dua lokasi (Padang dan Kototabang) memperlihatkan pola diurnal dimana konsentrasi butiran hujan berukuran kecil lebih tinggi di pagi hari, sedangkan butiran hujan berukuran besar lebih banyak di malam hari. Pola diurnal RDSD ini mempengaruhi persamaan Z-R yang akan digunakan dalam radar meteorologi. Koefisien A persamaan Z-R lebih besar di malam daripada di pagi hari. Variasi diurnal persamaan Z-R ini jika diabaikan kemungkinan dapat menurunkan akurasi pengamatan hujan oleh radar. Tulisan ini adalah kajian awal dan penelitian masih harus dilanjutkan dengan menganalisis data yang lebih banyak. DAFTAR PUSTAKA Chandra, R., Marzuki, Hashiguchi, H., 2015, Perbandingan Karakteristik Distribusi Ukuran Butiran Hujan di Padang dan di Kototabang, Jurnal fisika unand (inpress). 162 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Coppens, D. dan Haddad, Z. S., 2000, Effect of Raindrop Size Distribution Variations on Microwave Brightness Temperature Calculation, Journal of Geophysical Research: Atmosphere, Vol. 105, No. 19, hal. 483 – 489. Jameson, A. R. dan Kostinski, A. B., 2001, What is a Raindrop Size Distribution, Bulletin of American Meteorological Society, Vol. 82, No. 6, hal. 1169 – 1177. Kozu, T., Reddy, K. K., Mori, S., Thurai, M., Ong, J. T., Rao, D. N., dan Shimomai, T., 2006, Seasonal and Diurnal Variations of Raindrop Size Distribution in Asian Monsoon Region, Journal of the Meteorology Society Of Japan, Vol. 84A, hal. 195 – 209. Marzuki, Kozu, T., Shimomai, T., Randeu, W. L., Hashiguchi, H., Shibagaki, Y., 2009, Diurnal Variaton of Rain Attenuatuion Obtained from Measurement of Raindrop Size Distribution in Equatorial Indonesia, IEEE Transaction Antennas Propagation, Vol. 57, hal 1190 – 1196. Marzuki, M., Hashiguchi, H., Yamamoto, M. K., Mori, S., dan Yamanaka, M. D., 2013a, Regional Variability of Raindrop Size Distribution over Indonesia, Annales Geophysicae, Vol. 31, hal. 1941 – 1948. Marzuki, Randeu, W. L., Kozu, T., Hashiguchi, H., dan Schonhuber M, 2013b, Raindrop Axis Ratio, Fall Velocities and Size Distribution over Sumatra from 2D – Video Disdrometer Measurement, Atmospheric Research, Vol. 119, hal. 23 – 37. Marzuki, Hashiguchi, H., Kozu, T., Shibagaki, Y., dan Takahashi, Y., 2015, Precipitation Microstucture ini Different Madden-Julian Oscillation Phases over Sumatra, Atmospheric Research (Inpress). Mori, S., Hamada, J. I., Tauhid, Y. I., dan Yamanaka, M. D., 2004, Diurnal Land-Sea Rainfall Peak Migration over Sumatra Island, Indonesian Maritim Continent, Observed by TRMM Satellite and Intensive Rawinsonde Soundings, Mothly Weather Review, Vol. 132, hal. 2021 – 2039. Owolawi, P., 2011, Raindrop Size Distribution Model for the Prediction of Rain Attenuation in Durban, PIERS Online, Vol. 7, No. 6, hal. 516 – 523. Rosenfeld, D. dan Ulbrich, C.W., 2003, Cloud Microphysical Properties, Processes, and Rainfall Estimation Opportunities, Meteorological Monographs, Vol. 52, hal. 237 – 258. Tokay, A. dan Short, D. A., 1996, Evidence from Tropical Raindrop Spectra of the Origin of Rain from Statiform Versus Convective Clouds, Journal Applied Meteorology, Vol. 35, hal 355 – 371. Uijlenhoet, R., 2001, Raindrop Size Distributions and Radar Reflectivity-Rain Rate Relationships for Radar Hydrology, Hydrology and Earth System Sciences, hal. 615 – 627. Ulbrich, C. W., 1983, Natural Variations in the Analytical Form of the Raindrop Size Distribution, Journal of Climate and Applied Meteorology, Vol. 22, hal. 1764 – 1775. 163 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 ANALISIS PARAMETER FISIS KOLEKTOR BIOMASSA SEBAGAI PENGERING KERUPUK SINGKONG Juandi M., Eka Afriyani, Salomo Jurusan Fisika –Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Binawidya Pekanbaru , 28293, Indonesia. e-mail : [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang pemanfaatan limbah tempurung kelapa sebagai energi biomassa untuk pengeringan kerupuk singkong. Beberapa parameter fisis yang diukur adalah suhu disetiap sisi dinding alat pengering. Karakteristik suhu rata-rata dipengaruhi oleh energi biomassa, karena energi biomassa bekerja mentranfer panas ke ruang pengeringan. Hubungan karakteristik suhu rata-rata untuk rak 1 adalah y = 3E-06x4 – 0,003x3 + 0,020x2 – 0,178x + 61.00 dengan koefisien determinasi R² = 0,883, sedangkan untuk rak 2 adalah y = 3E-06x4 – 0,000x3 + 0,020x2 – 0,213x + 65,01 dengan koefisien determinasi R² = 0,925 . Nilai maksimum karakteristik laju panas yang hilang dipengaruhi oleh laju aliran panas, secara keseluruhan dari alat pengering terjadi pada laju panas yang hilang di bagian atas, sedangkan laju panas yang hilang minimum terjadi pada bagian belakang, hal ini dikarenakan laju aliran panas lebih banyak bergerak ke bagian atas sedangkan pada bagian belakang mengalami hambatan, misalnya hambatan oleh rak. Karakteristik efesiensi sumber energi biomassa dipengaruhi oleh laju udara yang masuk dan pembakaran limbah biomassa. Kata kunci : Karakteristik, parameter, fisis, pengeringan,kerupuk singkong. ABSTRACT Has done research on the use of coconut shell waste as biomass energy for drying cassava crackers. Some physical parameters measured were the temperature of each side wall of the dryer. Characteristics average temperature is influenced by biomass energy, since biomass energy work transferring heat to the drying room. Relationship characteristics of average temperature for rack 1 is y = 3E-06x4 – 0,003x3 + 0,020x2 – 0,178x + 61.00 with a coefficient of determination R² = 0,883, while for the second shelf is y = 3E-06x4 – 0,000x3 + 0,020x2 – 0,213x + 65,01 with a coefficient of determination R² = 0,925. The maximum value characteristic of the rate of heat lost is influenced by the rate of heat flow, the whole of the dryer occurred at the rate of heat lost at the top, while the rate of heat lost minimum occurs on the back, this is because the rate of heat flow more moving parts above while at the rear have problems, such barriers by rack. Characteristics of biomass energy resource efficiency is influenced by the rate of the incoming air and combustion of biomass waste. Keywords: Characteristics, parameters, physical, drying, cassava crackers. I. PENDAHULUAN Biomassa adalah sebagai sumber energi terbarukan yang berasal dari organisme yang belum lama mati (dibandingkan dengan bahan bakar fosil). Sumber-sumber biomassa yang paling umum adalah kayu dan limbah tanaman. Kayu saat ini merupakan sumber yang paling banyak digunakan untuk biomassa. Di Amerika Serikat, misalnya, hampir 90% biomassa berasal dari kayu (Bargumono, dan Wongsowijaya, 2013). Krupuk singkong merupakan salah satu olahan singkong dalam keadaan basah karena memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga tidak dapat bertahan lama. Untuk mengawetkan krupuk singkong agar dapat bertahan lama yaitu dengan cara dikeringkan. Pengeringan adalah suatu proses pengeluaran air yang terkandung pada suatu bahan, kecepatan proses pengeringan sangat bergantung pada energi dan laju aliran massa udara pengering yang diberikan kepada pengering (Suriadi dan Murti, 2011). Pengeringan yang selama ini dilakukan masyarakat yaitu menjemur krupuk singkong dibawah terik matahari, tetapi pengeringan dengan cara tersebut kurang efektif karena smembutuhkan waktu yang cukup lama, tempat yang luas dan bergantung pada penyinaran matahari, sehingga pada malam hari atau hujan proses pengeringan tidak dapat dilakukan, selain itu pengeringan alami lebih rentan terkontaminasi oleh debu atau bakteri yang berasal dari lingkungan sekitar, akibatnya kualitas produk yang dihasilkan menjadi rendah (Aman dkk, 2015). 164 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Pengeringan dapat dilakukan dengan membuat rumah pengering yang memanfaatkan sumber energy biomassa dari limbah tempurung kelapa. Udara panas dari pembakaran dapat berpindah ke dalam ruang pengering secara konduksi (Buchori,2004). II. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yaitu dengan membuat alat pengering menggunakan energi biomassa dari limbah tempurung kelapa. 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rejosari, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Madya Pekanbaru yang dimulai dari bulan maret s/d bulan april 2015. 2.2 Alat dan Bahan Penelitian No Bahan Fungsi 1. Kayu broti 2. 3. Plat seng Thermometer mercuri 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Paku pines Stopwatch pipa seng Drum Rotan Krupuk singkong Timbangan 11. 12. 13. 14. 15. Cat hitam Triplek Paku Rookwool Paralon Sebagai penyangga kolektor dan kerangka alat pengering Sebagai penghantar panas Alat pengukur suhu ruangan pengering dan suhu sekitar Sebagai perekat plat seng dan tripek Sebagai alat pengukur waktu Sebagai cerobong Sebagai ruang energi biomassa Sebagai rak pengering Sebagai Bahan penelitian Mengukur massa krupuk singkong dan massa bahan bakar. Sebagai pelapis seng pada kolektor Sebagai isolator Sebagai penghubung antara kayu Sebagai peredam panas Sebagai cerobong pembuangan asap pembakaran. 2.3 Alat Pengering Energi Biomassa Alat pengering ini dibuat berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang kali lebar, 130 cm x 97 cm dan tinggi 120 cm. Alat pengering dibuat berdindingkan triplek dan pada bagian dalam dilapisi seng dengan ketebalan 0,7 mm, bagian permukaaan seng diberi cat berwarna hitam. Setelah ukuran kayu sudah sesuai dengan ukuran yang dikehendaki hubungkan masing-masing sisi kayu dengan sisi kayu yang lainnya menggunakan paku. 2.4 Ruang Pengering Ruangan pengering diisi dengan 2 buah rak dengan jarak 15 cm antara rak satu dengan rak kedua, 15 cm jarak dari rak kedua keatap rumah pengering, dan 30 cm dari ruang energi biomassa . Pada dasar ruangan pengering diisi dengan drum yang berukuran 70 cm dan diameter 44 cm. Drum ini berfungsi untuk mengolah limbah tempurung kelapa menjadi energi biomassa yang menimbulkan panas yang dapat mengeringkan krupuk singkong. Pada bagian atas ruangan pengering ini diberi cerobong untuk jalan udara keluar dari dalam ruangan pengering (Gambar 1). 165 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 1. Kolektor biomassa 2.5 Prosedur Penelitian Data penelitian yang diamati adalah perubahan suhu terhadap suhu lingkungan dalam ruang kolektor, selanjutnya diamati dan dihitung parameter-parameter fisika yang terjadi ketika pengeringan krupuk singkong, dengan prosedur penelitian yang dilakukan adalah: 1. Mendesain alat yang digunakan untuk penelitian yaitu alat pengering Energi Biomassa dari limbah tempurung kelapa (Gambar 1). 2. Menyiapkan alat dan bahan penelitian meliputi: 3. Alat pengering energi biomassa dari limbah tempurung kelapa dibuat dengan kerangka kayu dan berdindingkan triplek yang tebalnya 8 mm, dan pada bagian dalamnya dilapisi seng dengan ketebalan 0,7 mm, bagian permukaaan seng diberi cat berwarna hitam, alat pengering energi biomassa ini dilengkapi dengan rak pengering yang terbuat dari anyaman rotan, cerobong yang terbuat dari plat seng dan ruang energi biomassa yang berasal dari drum. 4. Singkong segar yang dikupas terlebih dahulu, dibersihkan dan diparut sehingga menjadi bubur singkong yang kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan aluminium yang berbentuk bulat. Bubur singkong yang telah dicetak di kukus selama 10 sampai dengan 15 menit, lalu bubur singkong yang telah setengah jadi ini dilepas dari cetakan yang kemudian disusun di atas rak-rak pengering untuk dikeringkan. 2.6 Pengambilan data Pengambilan data dilakukan setiap 10 menit yang terdiri dari pengukuran suhu lingkungan sekitar dan pengukuran suhu dalam ruang pengering yaitu di rak tingkat 1 dan tingkat ke 2, pengukuran suhu pada permukaan drum, pengukuran suhu disetiap sisi dinding alat pengering menggunakan thermometer mercuri, pengukuran massa kerupuk singkong pada setiap rak, dengan pengaturan suhu dalam ruang pengering antara 57- 68 oc. 2.6.1 Analisa Parameter fisis Laju konduksi energi termis dapat ditentukan dari (Tipler, 1998): Dimana : Konduktivitas termal bahan Luas permukaan yang tegak lurus Beda temperatur antara permukaan Tebalnya pernghantar panas Energi thermis yang dikonduksikan Satuan waktu Efesiensi sumber energi biomassa yang digunakan untuk menaikkan suhu udara dalam ruang pengering dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (Tipler, 1998): 166 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 dengan : kelapa Laju energi panas yang dihasilkan dari pembakaran biomassa limbah tempurung , dalam ruang pengering Laju energi panas yang digunakan untuk menaikkan suhu udara , dimana , dengan adalah laju panas total yang hilang dari alat pengering. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang karakteristik parameter fisis kolektor biomassa sebagai pengering kerupuk singkong dapat ditunjukkan pada Gambar 2 sampai Gambar 4. Gambar 2. Karakteristik suhu rata-rata terhadap waktu Gambar 2 menjelaskan bahwa karakteristik suhu rata-rata dari menit ke 10 sampai dengan ke 40 suhu cenderung naik karena energi biomassa mulai bekerja mentranfer panas ke ruang pengeringan. Suhu rata-rata pada menit ke 50 sampai dengan ke 80 nilai suhu cenderung menurun, ini dikarenakan energi biomassa mulai berkurang. Persamaan grafik pada Gambar 2 untuk rak 1 y = 3E06x4 – 0,003x3 + 0,020x2 – 0,178x + 61.00 dengan koefisien determinasi R² = 0,883, sedangkan untuk rak 2 adalah y = 3E-06x4 – 0,000x3 + 0,020x2 – 0,213x + 65,01 dengan koefisien determinasi R² = 0,925 Karakteristik laju hilang panas secara keseluruhan dari alat pengering dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai bagian alat yang memiliki laju hilang panas maksimum ada pada bagian atas, sedangkan laju hilang panas minimum terjadi pada bagian belakang. Hal ini dikarenakan aliran panas lebih banyak bergerak ke bagian atas sedangkan pada bagian belakang mengalami hambatan, misalnya oleh rak. 167 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 3. Karakteristik laju hilang panas Gambar 4. Karakteristik efesiensi sumber energi biomassa untuk pengeringan terhadap waktu Gambar 4. menunjukkan karakteristik efesiensi sumber energi biomassa. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa pada menit ke 10 sampai 50 efesiensi sumber energi biomassa cenderung berkurang. Hal ini disebabkan oleh laju udara yang masuk cukup besar dan pembakaran limbah biomassa baru mulai, sehingga pembakaran belum sempurna dan juga diakibatkan laju energi panas yang hilang sedang meningkat. Karakteristik efesiensi sumber energi biomassa Pada menit ke 60 sampai 80 menunjukkan bahwa efesiensi sumber energi biomassa meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor angin yang masuk ke dalam ruang pengering mulai berkurang dan karena pembakaran limbaha biomassa lebih sempurna, dan juga karena laju energi panas yang hilang mulai berkurang. Persamaan efesien energi biomassa terhadap waktu adalah: y = 0,0001x2 – 0,042x + 98,95 dengan koefisien determinasi R² = 0,975. 168 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Karakteristik suhu rata-rata dipengaruhi oleh energi biomassa, karena energi biomassa bekerja mentranfer panas ke ruang pengeringan. Hubungan karakteristik suhu rata-rata untuk rak 1 adalah y = 3E-06x4 – 0,003x3 + 0,020x2 – 0,178x + 61.00 dengan koefisien determinasi R² = 0,883, sedangkan untuk rak 2 adalah y = 3E-06x4 – 0,000x3 + 0,020x2 – 0,213x + 65,01 dengan koefisien determinasi R² = 0,925 . 2. Nilai maksimum laju hilang panas terjadi pada bagian atas, sedangkan laju hilang panas minimum terjadi pada bagian belakang. Hal ini dikarenakan aliran panas lebih banyak bergerak ke bagian atas sedangkan pada bagian belakang mengalami hambatan, misalnya oleh rak. 3. Karakteristik efesiensi sumber energi biomassa dipengaruhi oleh laju udara yang masuk dan pembakaran limbah biomassa. Pada menit ke 10 sampai 50 cenderung berkurang. Hal ini disebabkan karena laju udara yang masuk cukup besar dan pembakaran limbah biomassa baru mulai, sehingga pembakaran belum sempurna dan juga diakibatkan laju energi panas yang hilang sedang meningkat. Setelah menit ke 50 efesiensi cendrung meningkat. Hal ini disebabkan karena pembakaran limbah biomassa sudah sempurna. DAFTAR PUSTAKA Aman,W.P., Abadi Jading, dan Mathelda K. Roreng.2015. Prototipe Alat Pengering Tipe Rotari (Rotary Dryer) bersumber Panas Biomassa Untuk Industri Pengolahan Pati Sagu di Papua.Universitas Negeri Papua. Bargumono,H.M dan Wongsowijaya, S., 2013. Umbi Utama Sebagai Pangan Alternatif Nasional. Yogyakarta : Leutika prio. Buchori,L.2004.Perpindahan Panas Bagian 1.Universitas Diponegoro:Semarang. Suriadi,I.G.A.K. dan Murti, M.R., .2011.Kesetimbangan Energi Termal dan Efesiensi Transient Pengering Aliran Alami Memanfaatkan Kombinasi Dua Energi.Universitas Udayana. Tipler, P.A.1998.Fisika Untuk Sains dan Teknik .Edisi Ketiga.Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 169 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 PEMETAAN TINGKAT BAHAYA GEMPABUMI BERDASARKAN KARAKTERISTIK DINAMIKA TANAH RESPON DATA MIKROTREMOR KOTA PADANG, SUMATERA BARAT Saaduddin1, Sismanto2, Marjiyono3 1 Prodi Teknik Geofisika, Jurusan Teknik Kebumian, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi, Indonesia 2 Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada – Sekip Utara Yogyakarta 55281, Indonesia 3 Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung, Indonesia e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini menggunakan data mikrotremor Kota Padang sebanyak 103 titik yang diukur oleh Tim Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 26-30 November 2009 dan data seismisitas yang diperoleh dari USGS, ISC dan BMKG Padang Panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dinamika tanah sebagai parameter dalam memetakan daerah bahaya gempabumi di kota Padang. Parameter tersebut adalah frekuensi dominan kerentanan seismik , faktor amplifikasi , indeks , ketebalan lapisan sedimen , dan ground shear strain . Nilai parameter yang diperoleh adalah frekuensi dominan faktor amplifikasi , periode dominan berkisar antara (0,42 – 12,12) Hz, berkisar antara (1,54 – 10,67), periode dominan 2,36) s, indeks kerentanan seismik berkisar antara (0,08 – berkisar antara (0,58 – 170,61), ketebalan lapisan sedimen berkisar antara (6,78 – 270,07) m, dan ground shear strain (4,85 x 10-5 – 1,45 x 102). Klasifikasi tingkat bahaya gempabumi Kota Padang menunjukkan bahwa Kota Padang sebelah barat berada pada zona sedang hingga tinggi. Zona bahaya tingkat rendah berada di sebelah timur antara lain kecamatan Pauh, sebagian di kecamatan Lubuk Kilangan, sebagian di kecamatan Lubuk Bergalung, dan sebagian di kecamatan Kuranji. Mayoritas zona bahaya tinggi berada di daerah pesisir yang berada di dekat pantai seperti Padang Utara, Padang Barat sebelah utara, Padang Timur sebelah utara dan sebagian di daerah perbatasan antara kecamatan Naggalo dan Kuranji. Kata kunci: mikrotremor, bahaya gempabumi, Padang ABSTRACT This study processed 103 points of mictremor measurement data of Padang that observed by Centre of Geological Survey, Ministry of Energy and Mineral Resources on November 26th30th, 2009 and seismicity data obtained by USGS, ISC, and BKMG of Padang Panjang. The objective of this study is to know the dynamics characters of soil which is used as the parameters to map the seismic hazard area in Padang. The parameters are dominant frequency , amplification , dominant period , seismic vulnerability index , thickness of sediment layer and ground shear strain . The result showed that the dominant frequency is about (0,42 – 12,12) Hz,, the amplification is about (1,54 – 10,67), the dominant period is about (0,08 – 2,36) s, the seismic vulnerability index is about (0,58 – 170,61), the thickness of sediment layer is about (6,78 – 270,07) m and the ground shear strain is about (4,85 x 10-5 – 1,45 x 10-2). Based on those parameters, the classification of seismic hazard area in Padang showed that the western part of Padang is in medium to high seismic hazard. The low seismic hazard is in the eastern of Padang such as Pauh, part of LubukBergalung, part of LubukKilangan and apart of Kuranji. The high seismic hazard is almost in coast area like Padang Utara, northern of Padang Timur, northern of Padang Barat and part of Naggalo and Kuranji. Keywords: microtremor, seismic hazard, Padang 170 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tektonika Indonesia menjelaskan bahwa negara ini merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik seperti yang terlihat pada Gambar 1.1. Konsekuensinya, dinamika lempeng tersebut membentuk sesar-sesar besar yang aktif yang dapat menjadi pemicu terjadinya bencana alam seperti gempabumi. Salah satu sesar besar yang terkenal yaitu sesar Sumatera atau sesar Semangko yang membentang dari ujung barat sampai ujung timur Pulau Sumatera. Bahkan, interaksi ketiga lempeng tersebut yang terus menerus berlangsung dapat membentuk sesar-sesar baru lainnya. Kota Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat, merupakan salah satu kota berkembang di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 1.214 per km2 (Anonim, 2010). Selain itu, Kota Padang juga merupakan salah satu daerah dengan tingkat ancaman bencana alam yang cukup besar diantaranya ialah bencana gempabumi dan tsunami. Hal ini dikarenakan posisi daerah tersebut berada di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Gambar 1.1. Petemuan tiga lempeng besar di Indonesia, Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik (Harijono, 2010) Kejadian gempabumi terbesar di Kota Padang yang menyita perhatian dunia pada saat itu terjadi pada 30 September 2009 dengan magnitudo 7,6 SR. Titik episentrum gempa tersebut berada pada titik koordinat 1,397O LS dan 99,9OBT. Gempabumi yang terjadi bersifat sangat merusak berdasarkan parameter kedalaman hiposenter dan ukuran magnitudonya. Gempa tersebut bersifat dangkal dengan kedalaman hiposenter 87 km. Kekuatan gempa tersebut setara dengan skala VII MMI. Gempabumi tersebut sangat merugikan. Berdasarkan pemberitaan di media massa pada saat itu terdapat 1.117 korban tewas, 1.214 korban lukaberat, 1.688 korban luka ringan dan 1 orang dinyatakan hilang. Kerusakan infrastruktur pun tak dapat dihindari. Tercatat 135.448 unit bangunan rusak berat, 65.380 unit rusak sedang, dan 78.604 unit rusak ringan termasuk rumah masyarakat dan fasilitas umum. Guncangan gempa tersebut tidak hanya dirasakan di provinsi terdekat seperti Bengkulu, Jambi, Palembang dan Riau tetapi juga dirasakan sampai di Malaysia dan Singapura (Harian Kompas edisi 15 Oktober 2009). Aktualitas data tersebut mencerminkan bahwa daerah Kota Padang memang merupakan suatu daerah dengan tingkat potensi kerawanan bencana gempabumi yang terbilang tinggi. Sehingga kesiagaan dari pihak pemerintah, tokoh masyarakat, lembaga kemasyarakat dan masyarakat sangat perlu diperhatikan.Oleh karena itu, upaya mitigasi lainnya sangat diperlukan seperti pemetaan spasial daerah rawan berdasarkan beberapa parameter gempabumi. Berdasarkan fakta tersebut, penulis melakukan penelitian dengan memetakan daerah rawan bencana di Kota Padang berdasarkan beberapa parameter hasil pengukuran mikrotremor yang diolah dengan menggunakan metode Horizontal to Vertikal Spectral Ratio (HVSR) atau metode Nakamura. Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu menjadi salah satu pertimbangan dalam pembangunan dan mitigasi bencana gempabumi di Kota Padang. 171 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memetakan sebaran nilai frekuensi dominan, faktor amplifikasi, periode dominan, ketebalan lapisan sedimen, indeks kerentanan seismik, dan ground shear strain, di Kota Padang Sumatera Barat. Selain itu, penelitian ini juga untuk memetakan tingkat potensi bahaya gempabumi di Kota Padang Sumatera Barat berdasarkan sebaran nilai karakteristik dinamika tanah. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya adalah sebagai bahan informasi tentang karakteristik daerah rawan bencana dalam upaya mitigasi bencana gempabumi dan bahan pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur di Kota Padang, Sumatera Barat. II. METODOLOGI 2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data mikrotremor dilakukan di Kota Padang, Sumatera Barat. Pengukuran mikrotremor dilakukan secara langsung oleh tim Pusat Survei Geologi (PSG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selama lima hari yaitu dari 26 – 30 November 2009. Survei ini dilakukan pada 103 titik dengan durasi pengukuran sekitar 10 menit per titik dengan frekuensi sampling 100 Hz. Adapun sebaran titik-titik pengukuran tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Peta sebaran titik pengukuran mikrotremor di Kota Padang, Sumatera Barat 2.2 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer pengukuran mikrotremor Kota Padang dari PSG Bandung sebanyak 103 titik dengan menggunakan seismometer tipe Mark L4-3D. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa data seismisitas atau historis kegempaan Kota Padang dari tahun 1900 sampai tahun 2014 yang diperoleh dari USGS, ISC dan BMKG Padang Panjang, data titik kerusakan Kota Padang akibat gempabumi pada tanggal 30 September 2009, data nilai kecepatan gelombang S pada kedalaman 30 m (Vs30) dari USGS dan data titik bor dan litologi batuan dari Dinas Pertambangan Kota Padang. Untuk mengetahui jenis batuan di daerah penelitian diperoleh melalui peta geologi lembar Padang, Sumatera. 172 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Pemrosesan data dalam penelitian ini menggunakan laptop dan perangkat lunak lunak berupa microsoft office 2007, perangkat lunak HVSR (Geopsy) dan perangkat lunak pemetaan. 2.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan data mikrotremor dalam format .saf yang diambil oleh Tim Pusat Survei Geologi, Badan Geologi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Geopsy dengan pendekatan HVSR Nakamura untuk mengetahui nilai frekuensi alami (Hz)dan faktor amplifikasi daerah penelitian. Data tersebut dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui periode dominan, indeks kerentanan seismik, ketebalan lapisan sedimen dan ground shear strain. Periode dominan To diperoleh dari invers frekuensi alami hasil analisis HVSR. Indeks kerentanan seismik diperoleh dari perbandingan antara kuadrat faktor amplifikasi dan frekuensi alami daerah penelitian seperti yang dituliskan pada persamaan (1). Parameter fisis lainnya, ketebalan lapisan sedimen diperoleh dari hasil perbandingan antara kecepatan gelombang geser dari kedalaman 30 m dan nilai frekuensi alami seperti yang dituliskan pada persamaan (2). Sedangkan besaran ground shear strain diperoleh dari hubungan antara indeks kerentanan seismik dan percepatan gerakan tanah di batuan dasar seperti yang dituliskan pada persamaan (3). ............................... (1) ............................... (2) ............................... (3) Langkah selanjutnya adalah memetakan tingkat bahaya gempabumi Kota Padang beradsarkan karakteristik dinamika tanah hasil pengolahan data mikrotremor yang telah diperoleh. Asumsi klasifikasi zona tingkat bahaya gempabumi di Kota Padang didasarkan bahwa indeks kerentanan seismik , ketebalan lapisan sedimen dan ground shear strain lebih berpengaruh dibandingkan dengan periode dominan . III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Frekuensi Alami dan Periode Dominan Nilai frekuensi dominan (Hz) kota Padang diperoleh dari penunjukkan puncak spektrum HVSR hasil pengolahan data mikrotremor tiga komponen (Sesame, 2004). Nilai yang diperoleh berkisar antara 0,42 Hz sampai 12,12 Hz. Spektrum HVSR menunjukkan bahwa nilai pada daerah penelitian sebelah barat cenderung lebih rendah dan mengalami peningkatan ke arah timur dan selatan. Hal ini berkesesuain dengan kondisi geologi daerah penelitian. Pada daerah penelitian sebelah barat didominasi dengan endapan aluvium yang juga merupakan daerah pantai sehingga nilai yang diperoleh semakin rendah ke arah pantai. Peningkatan nilai ke arah timur karena pada daerah tersebut didominasi dengan batuan gunungapi yang bersifat masif. Kota Padang memiliki frekuensi dominan rata-rata sebesar 2,12 Hz. Nilai terendah yaitu 0,42 Hz diperoleh di titik pengukuran P025 yang terdapat di kecamatan Padang Selatan dengan kondisi geologi yang tersusun atas endapan aluvium. Titik ini merupakan titik pengukuran yang berdekatan dengan daerah teluk Bayur. Sedangkan nilai tertinggi yaitu 12,12 Hz yang diperoleh di titik pengukuran P073 yang terdapat di kecamatan Pauh dengan kondisi geologi yang tersusun atas endapan permukaan berupa endapan aluvium dan kipas aluvium. Titik P073 memiliki nilai yang tinggi meskipun berada di daerah endapan. Hal ini karena daerah tersebut memiliki ketebalan lapisan sedimen yang tipis. Selain itu, berdasarkan informasi geologi bahwa pada daerah tersebut masih berasosiasi dengan rombakan-rombakan dari andesit. 173 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Nilai periode dominan diperoleh dari analisis perhitungan dengan menggunakan frekuensi dominan sebagai parameter masukan. Periode dominan merupakan bentuk invers atau kebalikan dari frekuensi dominan . Sehingga ditemukan bahwa daerah yang memiliki nilai frekuensi dominan yang tinggi akan memiliki nilai periode dominan yang rendah dan begitupun sebaliknya. Nilai periode dominan daerah penelitian yang diperoleh berkisar antara 0,08 s sampai 2,36 s dengan nilai rata-rata periode dominan sebesar 1,00 s. 3.2 Amplifikasi Hasil pengolahan HVSR data mikrotremor tiga komponen dengan menggunakan perangkat lunak Geopsy menunjukkan bahwa nilai rata-rata faktor amplifikasi di daerah penelitian adalah 4,74. Nilai faktor amplifikasi yang diperoleh bervariasi dengan nilai minimum sebesar 1,54 dan nilai maksimum sebesar 10,67 yang tersebar di 103 titik pengukuran. Nilai faktor amplifikasi ditemukan di enam titik pengukuran antara lain; P090, P067, P065, P066, P068 dan P031. Titik-titik tersebut berada di daerah dengan kondisi geologi berupa endapan permukaan. Nilai faktor amplifikasi tersebar di 96 titik pengukuran dan nilai faktor amplifikasi hanya ditemukan di titik pengukuran P039. Sebaran nilai hasil pengukuran faktor amplifikasi yang diperoleh sangat berkorelasi dengan tingkat kerusakan akibat gempabumi tahun 2009. Nilai faktor amplifikasi terendah terdapat di titik pengukuran P090 yang berlokasi di kecamatan Pauh. Berdasarkan data geologi, daerah ini tertutupi oleh endapan permukaan berupa endapan kipas aluvium. Sedangkan nilai faktor amplifikasi tertinggi terdapat di titik pengukuran P039 yang berlokasi di kecamatan Nanggalo di mana daerah initertutupi oleh endapan permukaan berupa endapan aluvium. 3.3 Indeks Kerentanan Seimik Indeks kerentanan seismik merupakan salah satu parameter yang dapat dihitung dengan menggunakan parameter masukan dari hasil analisis HVSR data mikrotremor tiga komponen yaitu parameter frekuensi dominan (Hz) dan parameter faktor amplifikasi . Nilai kedua parameter tersebut diperoleh dari penunjukkan spektrum HVSR. Nilai indeks kerentanan seismik suatu daerah dihitung dengan menggunakan persamaan (1) (Daryono, 2011). Hasil perhitungan indeks kerentanan seismik di daerah penelitian berkisar antara 0,58 sampai 170,61. Variasi tinggi rendahnya nilai indeks kerentanan seismik ini sangat dipengaruhi oleh nilai frekuensi dominan (Hz) dan faktor amplifikasi . Nilai minumum sebesar 0,58 terdapat di titik pengukuran P068 yang berlokasi di kecamatan Kuranji dengan kondisi geologi ditutupi oleh endapan permukaan berupa endapan aluvium. Pada titik tersebut diketahui memiliki nilai frekuensi dominan sebesar 5,99 Hz dan faktor amplifikasi sebesar 1,87. Sedangkan nilai maksimum sebesar 170,61 terdapat di titik pengukuran P039 yang berlokasi di kecamatan Nanggalo dengan kondisi geologi ditutupi oleh endapan permukaan berupa endapan aluvium. Pada titik tersebut diketahui bahwa memiliki nilai frekuensi dominan sebesar 0,67 Hz dan faktor amplifikasi sebesar 10,67. Secara umum nilai indeks kerentanan seismik yang relatif tinggi berada pada daerah dengan kondisi geologi yang mayoritas ditutupi oleh endapan aluvium. Berdasarkan parameter masukannya, nilai indeks kerentanan seismik yang tinggi akan dijumpai pada daerah yang memiliki nilai frekuensi dominan yang relatif lebih rendah dan nilai faktor amplifikasi yang relatif lebih tinggi. Sebaran nilai hasil perhitungan indeks kerentanan seismik yang diperoleh sangat berkorelasi dengan tingkat kerusakan akibat gempabumi tahun 2009. Daerah dengan nilai indeks kerentanan seismik yang tinggi menjadi daerah terjadinya kerusakan akibat gempabumi. Daerah dengan tingkat rentan yang tinggi dapat dilihat pada kecamatan Kototengah, Nanggalo, Padang Utara, Padang Barat, Padang Timur, Lubukbergalung dan sebagian kecamatan Kuranji. 174 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 3.4 Ketebalan Lapisan Sedimen Nilai ketebalan lapisan sedimen merupakan salah satu parameter tambahan yang dapat diketahui berdasarkan informasi karakteristik daerah dari hasil analisis spektrum HVSR data mikrotremor. Pada dasarnya, nilai ketebalan lapisan sedimen tetap dipengaruhi oleh frekuensi dominan , faktor amplifikasi , dan kecepatan gelombang seismik. Namun setelah dianalisis lebih lanjut, dalam perhitungan untuk memperoleh nilai ketebalan lapisan sedimen parameter masukan yang diperlukan adalah nilai kecepatan gelombang geser dari kedalaman 30 m dan nilai frekuensi alami seperti pada persamaan (2) (Handayani, 2009). Nilai di daerah penelitinan berkisar antara 191,37 m/s2 sampai 642, 84 m/s2. Berdasarkan sistem klasifikasi yanag dirumuskan oleh Romeo dkk (2000) daerah penelitian berada pada kelas B yaitu endapan padat-menengah dalam dan kelas C yaitu endapan-endapan lepas. Sebaran nilai ketebalan lapisan sedimen berdasarkan hasil perhitungan berkisar antara 6,78 m sampai 270,07 m. Nilai minimum diperoleh pada titik pengukuran P073 yang terdapat di kecamatan Pauh sedangkan nilai maksimum diperoleh pada titik pengukuran P015 yang terdapat di kecamatan Padang Selatan. Hasil pengolahan data yang diperoleh berkorelasi dengan titik bor yang mendeskripsikan kedalaman lapisan tanah di Kota Padang. Didapatkan dua titik bor yaitu di kecamatan Kototengah dan kecamatan Lubuk Bergalung. Kedalaman titik bor untuk kedua daerah tersebut m. Hal ini sesuai dengan hasil perhitungan yang diperoleh bahwa kedalaman di lapisan sedimen di daerah tersebut cukup dalam mencapai 100 m. Secara umum, nilai ketebalan lapisan sedimen semakin tinggi menuju ke arah barat dan semakin rendah menuju ke arah timur. Hal ini sesuai dengan morfologi daerah penelitian di mana daerah penelitian sebelah barat mengarah ke pantai dan daerah penelitian sebelah timur mengarah ke arah perbukitan. Selain itu, berdasarkan informasi geologi diketahui bahwa daerah yang memiliki nilai lapisan sedimen yang tebal merupakan daerah dengan kondisi geologi yang tertutupi oleh lapisan endapan permukaan berupa aluvium. Dari data kerusakan gempabumi Padang tahun 2009, daerah yang memiliki lapisan sedimen yang tebal merupakan daerah di mana terjadinya kerusakan. Hal ini menjelaskan bahwa, daerah yang memiliki lapisan sedimen yang tebal lebih rentan untuk mengalami kerusakan ketika bencana gempabumi terjadi. 3.5 Ground Shear Strain Ground shear strain merupakan suatu parameter yang menunjukkan kemampuan meregang atau bergeser yang dialami oleh suatu material lapisan tanah ketika terjadi gempabumi. Nilai ground shear strain dan kemampuan deformasi suatu material menunjukkan hubungan yang linear, semakin besar nilai ground shear strain yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan material tersebut untuk berdeformasi, artinya semakin mudah material tersebut mengalami perubahan bentuk dan begitupun sebaliknya(Nakamura, 1996). Nilai ground shear strain dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan persamaan (3). Hasil perhitungan ground shear strain di daerah penelitian menunjukkan bahwa, kota Padang memiliki nilai yang berkisar antara sampai . Nilai ground shear strain minimum sebesar diperoleh di titik pengukuran P068 yang berlokasi di kecamatan Kuranji sedangkan nilai ground shear strain maksimum sebesar diperoleh di titik pengukuran P039 yang berlokasi di kecamatan Nanggalo. Berdasarkan klasifikasi tingkat deformasi berdasarkan nilai ground shear strain (Isihara, 1982), nilai ground shear strain daerah penelitian yang berkisar dapat diklasifikasikan menjadi nilai ground shear strain antara skala menengah yang tersebar pada 47 titik pengukuran dan nilai ground shear strain daerah penelitian yang berkisar antara dapat diklasifikasikan menjadi nilai ground shear strain skala tinggi yang tersebar pada 56 titik pengukuran. Sebaran nilai ground shear strain berkesesuaian dengan data kerusakan akibat gempabumi 2009. Sebaran nilai ground shear strain menyerupai dengan sebaran indeks kerentanan seismik dan ketebalan lapisan sedimen Distribusi nilai ground shear strain tinggi terpusat di daerah 175 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 penelitian sebelah barat di mana pada daerah tersebut memilki titik kerusakan terbanyak akibat gempabumi 2009. 3.6 Potensi Bahaya Gempabumi Karakteristik dinamika tanah berdasarkan parameter hasil pengolahan data mikrotremor dengan menggunakan metode HVSR dan dilengkapi dengan parameter seismisitas di Kota Padang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Parameter karakteristik dinamika yang diperoleh berupa frekuensi dominan , faktor amplifikasi , periode dominan , indeks kerentanan seismik , ketebalan lapisan sedimen , dan ground shear strain . Parameter-parameter tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut memetakan tingkat bahaya bencana gempabumi di Kota Padang. Zona tingkat bahaya bencana gempabumi Kota Padang dibagi atas tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Parameter masukan dalam analisis spasial tingkat bahaya bencana gempabumi ini antara lain periode dominan , indeks kerentanan seismik , ketebalan lapisan sedimen , danground shear strain . Asumsi klasifikasi zona tingkat bahaya gempabumi di Kota Padang didasarkan bahwa indeks kerentanan seismik , ketebalan lapisan sedimen dan ground shear strain lebih berpengaruh dibandingkan dengan periode dominan . Klasifikas zona bahaya rendah mengikuti ketentuan kurang dari 0,83 s, kurang dari 24,50, kurang dari 30 m, dan kurang dari . Klasifikas zona bahaya sedang mengikuti ketentuan berkisar antara 0,83 – 1,58 s, berkisar antara 24,50 – 61,58, berkisar antara 30100 m, dan berkisar antara . Sedangkan untuk klasifikas zona bahaya tinggi mengikuti ketentuan lebih dari 1,58 s, lebih dari 61,58, lebih dari 100 m, dan lebih dari . Zona bahaya tingkat rendah terlihat berada di daerah penelitian sebelah barat, meliputi kecamatan Pauh, Lubuk Kilangan, sebagian Kuranji dan sebagian Lubuk Bergalung. Zona bahaya tingkat rendah mayoitas berada pada daerah dengan kondisi geologi yang didominasi oleh pengaruh batuan gunungapi yang masif. Zona bahaya tingkat sedang dan tinggi berada di daerah kondisi geologi yang didoimnasi oleh endapan permukaan berupa endapan aluvium. Zona bahaya tingkat sedang kebanyakan terlihat di kecamatan Nanggalo, Kuranji sebelah timurlaut, Padang Selatan, sebagian Lubuk Bergalung, Padang Barat sebelah selatan, dan Padang Timur sebelah selatan. Sedangkan zona bahaya tingkat tinggi banyak terlihat di kecamatan Padang Utara, Padang Barat sebelah utara, Padang Timur sebelah utara, Kuranji sebelah barat dan sebagian di Lubuk Bergalung. Gambar 3.1. Peta klasifikasi zona tingkat bahaya gempabumi Kota Padang, Sumatera Barat 176 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Hasil interpolasi parameter-parameter hasil pengolahan data mikrotremor dengan metode HVSR dan seismisitas dalam analisis spasial tingkat bahaya gempabumi Kota Padang menunjukkan adanya korelasi yang baik dengan tingkat kerusakan yang pernah terjadi di daerah tersebut pada tahun 2009. Terlihat bahwa daerah dengan zona bahaya tingkat tinggi merupakan daerah dengan titik kerusakan terbanyak. Hasil analisis ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya mitigasi bencana gempabumi serta pembangunan infrastruktur di daerah tersebut. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian analisis spasial tingkat bahaya gempabumi berdasarkan karakteristik dinamika tanah di Kota Padang, Sumatera Barat, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemetaan tingkat bahaya di Kota Padang akibat kejadian gempabumi sebagai bahan pertimbangan dalam mitigasi bencana dan perencanaan pembangunan suatu daerah dapat ditentukan melalui pemetaan parameter hasil pengukuran dan pengolahan data mikrotremor dan pengolahan data seismisitas. Variasi nilai yang diperoleh dipengaruhi oleh kondisi geologi dan tektonikdaerah tersebut. Nilai parameter tersebut adalah frekuensi dominan ( berkisar antara 0,42 – 12,12 Hz, faktor amplifikasi ( berkisar antara 1,54 – 10,67, periode dominan ( 2,36 s, indeks kerentanan seismik ( ) berkisar antara 0,08 – berkisar antara 0,58 – 170,61, ketebalan lapisan sedimen -5 ( berkisar antara 6,78 – 270,07 m dan ground shear strain ( berkisar antara 4,85 x 10 – 1,45 -2 x 10 . 2. Klasifikasi zona tingkat bahaya gempabumi kota Padang dibagi menjadi tiga kelas, yaitu zona rendah, sedang dan tinggi. 3. Zona bahaya rendah mengikuti ketentuan kurang dari 0,83 s, kurang dari 24,50, kurang dari 30 m, dan kurang dari yang meliputi kecamatan Pauh, Lubuk Kilangan, sebagian Kuranji dan sebagian Lubuk Bergalung. 4. Zona bahaya sedang mengikuti ketentuan berkisar antara 0,83 – 1,58 s, berkisar antara 24,50 – 61,58, berkisar antara 30-100 m, dan berkisar antara yang meliputi kecamatan Nanggalo, Kuranji sebelah timurlaut, Padang Selatan, sebagian Lubuk Begalung, Padang Barat sebelah selatan, dan Padang Timur sebelah selatan. 5. Zona bahaya tinggi mengikuti ketentuan lebih dari 1,58 s, lebih dari 61,58, lebih dari 100 m, dan lebih dari yang meliputi kecamatan Padang Utara, Padang Barat sebelah utara, Padang Timur sebelah utara, Kuranji sebelah barat dan sebagian di Lubuk Bergalung. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Tim Survei Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerrian Energi, Sumber Daya Mineral atas kesediaannya untuk memberikan data mikrotremor Kota Padang sebagai data primer dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2010,Hasil Sensus Penduduk Kota Padang (Angka Sementara), Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padang Daryono, 2011,Indeks Kerentanan Seismik Berdasarkan Mikrotremor pada Setiap Bentuklahan di Zona Graben Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta Handayani, L., Mulyadi, D., Dadan, D., Wardhana, dan Wawan H. Nur, 2009, Percepatan Pergerakan Tanah Maksimum Daerah Cekungan Bandung: Studi Kasus Gempa Sesar Lembang, JSDG Vol 19. Harijono, S.W.B, 2010,InaTEWS, Indonesia Tsunami Early Warning System: Konsep dan Implementasi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia Isihara, K., 1982, Evaluatian of Soil Properties for Use in Earthquake Response Analysis,Proc. Int. Symp. on Numerical Model in Geomech, 237-259. 177 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Nakamura, Y, 1996,Realtime Information Systems for Seismic Hazard Mitigation, Quarterly report of Railway Technical Research Inst. (RTRI) 37, 112–127. Romeo, R., Paciello, A., and Rinaldis, D., 2000,Seismic Hazard Maps of Italy Including Site Effect, 20, 85-92 Sesame, 2004,Site Effects Assessment Using Ambient Excitations, European Commission – Research General Directorate Project No. EVG1-CT-2000-00026 SESAME, Report of the WP04 H/V Technique: Empirical Evaluation. 178 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 PENGAMATAN MIKROFISIKA HUJAN MENGGUNAKAN DUAL FREKUENSI RADAR DAN JOSS-DISDROMETER MutyaVonnisa Jurusan Fisika, UniversitasAndalas, Sumatra Barat, Indonesia email: [email protected] ABSTRAK Mikrofisika hujan atau yang lebih dikenal dengan istilah raindrop size distribution (DSD) telah diamati menggunakan dual-frekuensi radar dan Joss-Disdrometer (JD). Hasil yang didapatkan oleh kombinasi kedua alat ini dibandingkan dengan model DSD Marshall-Palmer (MP). Hasil DSD memiliki tren yang sesuai antara dual-frekuensi dan MP. Pengamatan dilakukan pada tanggal 23 April 2004, pukul 13:40 sampai 14:30, ketinggian 0 (permukaan tanah) to 3940 m (di bawah melting layer). Analisa awal menunjukkan DSD awal dan akhir hujan adalah konstan, sedangkan fluktuasi terjadi pada pertengahan hujan. Hal tersebut disebabkan karena tingginya suhu permukaan tanah daerah ekuator dan kondisi saturasi di akhir kejadian hujan. Fluktuasi nilai DSD memperlihatkan kondisi mikrofisika hujan yang bervariasi pula pada kejadian pertengahan hujan, sehingga ditemukan keadaan proses mikrofisika; coalescence (penggabungan butiran hujan), evaporation (penguapan), condensation (pengembunan), breakup (terpecah) yang mempengaruhi nilai DSD. Kata Kunci : DSD, Dual-frekuensi radar, Joss-Disdrometer. ABSTRACT Rain Microphysics or known as the raindrop size distribution (DSD) has been observed using a dual-frequency radar and Joss-Disdrometer (JD). The results obtained by combination of these two tools compared to DSD model of Marshall-Palmer (MP). Results DSD has the corresponding trends between dual-frequency and MP. Observations were made on April 23, 2004, at 13:40 to 14:30, height of 0 (ground level) to 3940 m (below the melting layer). Initial analysis of DSD shows beginning and ending of rain is constant, while the fluctuations occurred in the mid rain. This is due to the high temperature of the soil surface and the equatorial region saturation conditions at the end of the rain events. Fluctuations of DSD value show conditions of rain microphysics also varies in mid rainy events, so discovered the microphysics process; coalescence, evaporation,condensation, and break-up, which affect the value of DSD. Kata Kunci: DSD, Dual- frequency radar, Joss-Disdrometer. I. PENDAHULUAN Penelitian tentang DSD telah banyak dikembangkan, seperti pemodelan untuk mendapatkan parameter-parameter hujan. Sebagai parameter dasarr hujan, maka semua parameter hujan adalah fungsi DSD. Dengan demikian paramater DSD dapat menggambarkan proses mikrofisika hujan, seperti coalescence (penggabungan butiran hujan), evaporation (penguapan), condensation (pengembunan), break-up (terpecah). Metode untuk mendapatkan DSD dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, di tanah atau vertical kolom hujan. Perolehan DSD secara langsung di tanah dapat menggunakan Joss-Disdrometer (JD), seperti yang dilakukan Sheppard B., E. (1989). Sedangkan untuk struktur vertical juga sudah dikembangkan oleh para peneliti dari data radar atmosfer, baik menggunakan metode satu frekuensi (single-frekuensi) oleh Sato et al. (1990) dan Wakasuki et al. (1986) ataupun dua frekuensi (dualfrekuensi) oleh Teraoka et al. (1993) dan Schafer et al. (2002). Pengembangan metode dual-frekuensi sudah dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Vonnisa et. al. (2014) dan mendapatkan hasil yang baik jika dibandingkan dengan single frekuensi. Karena hasil yang demikianlah, maka dilakukan peneltian lebih lanjut tentang proses mikrofisika hujan. II. METODOLOGI 2.1 Data dan Instrumen Pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 23 April 2004, pukul 13:40 sampai 14:30, ketinggian 0 (permukaan tanah) to 3940 m (di bawah melting layer). Data yang digunakan adalah parameter DSD hasil pengembangan metode dual frekuensi radar; Equatorial Atmosphere 179 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Radar (EAR) dan Boundary Layer Radar (BLR). Kemudian data pembanding yang diambil dari data Joss Disdrometer (JD). Penjelasan lebih detail tentang spesifikasi EAR diberikan oleh Fukao et al. (2003), BLR oleh Renggono (2006) dan JD oleh Sheppard B., E. (1989). Semua instrumen penelitian tersebut terdapat di Koto Tabang, Sumatra Barat, Indonesia. Koto Tabang merupakan pusat radar atmosfer. Adanya EAR dimanfaatkan untuk mengukur pergerakan angin di troposfir dan stratosfir bagian bawah atau dengan cakupan pengamatan pada ketinggian di atas 20 km. Disamping itu, EAR dapat juga mendeteksi hujan tetapi dengan tingkat sensitivitas yang rendah (Fukao et al.2003). EAR dioperasikan pada frekuensi 47 MHz, yang tergolong VHF-band wind profiler. Sementara itu, BLR didesain untuk dapat mengukur angin di troposfer bagian bawah termasuk planetary boundary layer (PBL) dengan resolusi waktu dan ketinggian lebih kurang 1 menit dan 100 meter. Walaupun BLR didesain untuk pengamatan udara bersih, pengalaman menunjukkan bahwa BLR juga dapat digunakan untuk mendeteksi hydrometeors (Renggono, 2006). BLR dioperasikan pada frekuensi 1357.5 MHz dengan transmisi daya 1 kW, yang merupakan sebuah UHFband wind profiler. Berbeda dengan EAR, pada saat hujan, echo hujan dari BLR lebih kuat dari pada echo turbulen. BLR bias memperoleh echo hujan di atas 60 dB lebih kuat daripada echo turbulen atmosfer (Renggono, 2006). Selanjutnya, alat pembanding DSD yang digunakan adalah JD. Sesuai namanya, tipe sensor ini disebut disdrometer dikarenakan untuk mengukur distribusi butiran hujan di tanah. Alat ini dikembangkan oleh J.Joss dan A.Waldvogel yang diproduksi oleh Distrometer Ltd Di Swiss, yang digunakan untuk banyak aplikasi penelitian DSD (Kozu, 1991). 2.2 Raindrop Size Distribution (DSD) DSD Marshall-Palmer (MP) DSD telah menjadi bahan penelitian lebih dari 100 tahun. Law dan Person (1943), Marshall dan Palmer (1948) merupakan peneliti-peneliti pertama yang mempelajari DSD secara mendalam. Mereka beranggapan bahwa distribusi butiran hujan dapat diaproksimasi dengan fungsi eksponensial dalam bentuk: N ( D) ļ½ N 0 exp(ļļD) , ļ ļ½ 4.1R ļ0.21 , N 0 ļ½ 8000 , (1) dimana N(D) merupakan fungsi DSD dalam mm-1m-3, ļadalah slope (mm-1), N 0 adalah interceptparameter (mm-1 m-3) danRadalah intensitas hujanatau rainfall rate (mmh-1). DSD Dual-frekuensi Radar DSD yang diperoleh dengan menggunakan dual-frekuensi radar menggunakan model gamma DSD sebagai berikut: N ( D ) ļ½ N 0 D ļ e ļ ļD . (2) Berbeda dengan MP model, nilai N0 dan Λ dipilih dari nilai terbaik dari uji coba yang dilakukan. Pers. (2) dapat dimodifikasi menjadi bentuk lain dengan menggunakan momen ke-x dari DSD (Mx) yang diberikan oleh persamaan: M x ļ½ N 0 ļ( ļ ļ« x ļ« 1) ļļ ļ« x ļ«1 , (3) dimanaΓ(μ+x+1) adalah fungsi gamma. Menggunakan Pers. (3), Pers. (2) dapat ditulis sebagai berikut: N ( D) ļ½ m y ļxxyļ« y ļ«1 D ļ e ļ ļ xy D , (4) 1/(y-x) Dimana my=My/Γ(μ+y+1) dan Λxy=(mx/my) , x=3.67 dan y=6. Parameter DSD digambarkan oleh my, Λxy, dan μ. Λxy menunjukkan parameter skala Λ yang diperolehdari Mx dan My. Pers. (4) didapatkan berdasarkan spektrum Doppler yang sebanding dengan D6|dv(D)/dD|-1 dimana v(D) adalah kecepatan terminal. DSD Joss-Disdrometer 180 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 JD merupakan instrumen yang dapat mengukur distribusi butiran hujan secara langsung di permukaan tanah. Maka hasil data DSD dari JD bisa langsung digunakan dalam perbandingan untuk menganalisa mikrofisika hujan III. HASIL 3.1 Perbandingan DSD dari JD dan Dual-Frekuensi dengan MP di Beberapa Ketinggian dan Waktu. Analisa kesesuaian hasil yang baik dari algoritma dual-frekuensi adalah dasar untuk meningkatkan pembahasan tentang mikrofisika hujan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan hasil yang lebih baik dari algoritma dual-frekuensi. Pada penelitian ini akan dibandingkan DSD dari Jossdisdrometer (JD) dan hasil dual-frekuensi dengan Model DSD Marshall-Palmer (MP) dari beberapa ketinggian pada tanggal 23 April 2004 pukul 13:40-14:30 (Gambar 1). Pada Gambar 1 tersebut, hasil plot JD, ditunjukkan oleh (a) dengan peningkatan waktunya ditunjukkan oleh a1, a2, a3, a4, a5, a6, dan a7, dimana waktu secara berturut-turutadalah pukul 13:40, 13:50, 14:00, 14:10, 14:20, dan 14:30. Garis lurus di setiap gambar adalah DSD dari model MP dan tanda tambah adalah DSD dari plot JD. Dari kedua plot, hasil plot yang memiliki kecocokan cukup dekat adalah pada akhir waktu 14:30. Di sisi lain, pada waktu awal 13:40, DSD dari model MP tampak lebih sempit dari JD. Hal ini terjadi sampai pertengahan atau 14:10. Ini berarti proses yang berbeda terhadap waktu yang disebabkan karakteristik DSD yang berbeda pada tahap awal, dianalisa terjadi proses mikrofisika; pergabungan, terpecah, dan penguapan dari butiran hujan. Selain itu, hal itu juga disebabkan perbedaan waktu antara kedua radar tersebut. (b) (c) (d) (a1) (b1) (c1) (d1) (a2) (b2) (c2) (d2) (a3) (b3) (c3) (d3) 181 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 (a4) (b4) (c4) (d4) (a5) (b5) (c5) (d5) (a6) (b6) (c6) (d6) Gambar 1.Perbandingan DSD hasil dari Joss-disdrometer (JD) dan algoritma dual-frekuensi dengan DSD Marshall-Palmer (MP). Model DSD di beberapa ketinggian dari 13:40-14:30 pada tanggal 23April 2004. Garis lurus adalah DSDdariMP-Model. Untuk menganalisis karakteristik profil DSD dari tanah ke atas, diperlihatkan pada Gambar. 1(b), (c), dan (d) yang menunjukkan hasil perbandingan DSD dari algoritma dual-frekuensi dengan MP-model dalam beberapa ketinggian; 2290m, 3040m, dan3940m di atas permukaan laut(ASL). Setiap ketinggian memiliki nilai curah hujan yang berbeda. Tabel 1 menunjukkan analisis profil DSD yang berbeda daricurah hujan yang berbeda. Table 1 Rain rates (dBR) di beberapa ketinggian (h) dan waktu (t) beserta rangkuman proses DSD dari atas ke permukaan tanah. t and h 3940 m 3040 m 2290 m JD DSD 13:40 6.89 8.81 5.28 1.83 konstan 13:50 11.02 19.67 14.02 6.08 melebar 14:00 11.87 15.07 15.38 6.91 melebar 14:10 4.72 4.46 4.48 11.39 melebar 14:20 1.96 3.07 2.22 7.96 melebar 14:30 2.67 2.82 -0.73 2.18 konstan Jika diasumsikan kecepatan terminal rata-rata dari atas ke tanah adalah 5 m/s, waktu delay terjadi sekitar 200 detik per 1 km. Dari Gambar. 1 diperoleh kesimpulan proses DSD dari atas ke permukaan tanah (3940 m ke tanah) pada Tabel 1. Seperti pada pukul 13:40, dari 3940 m ke tanah, rain rate mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena suhu yang tinggi dari permukaan tanah sehingga terjadi penguapan butiran hujan. Selanjutnya dari 13:50 – 14:20 fluktuasi nilai DSD memperlihatkan kombinasi semua proses mikrofisika hujan seperti, penggabungan, penguapan, terpecah dan pengembunan. Pada pukul 14:30 di akhir hujan, rain rate mulai konstan, karena kondisi jenuh/saturasinya butiran hujan. Kemudian, analisa dari waktu awal sampai pertengahan kejadian yakni pukul 13:40-14:00, intensitas hujan meningkat dari 3.940 m ke 3040 m, kemudian menurun sampai di akhir pengukuran oleh JD. Terdapat beberapa proses di sini. Pada waktu awal (13:40), DSD menjadi sedikit lebih lebar dan terjadi peningkatan curah hujan (3.940 m - 3.040 m). Hal ini menunjukkan terjadinya penggabungan. Pada 3040 m ke tanah, DSD hampir konstan dan curah hujan menurun, hal ini menunjukkan adanya proses penguapan. Proses penguapan dominan di awal hujan karena permukaan tanah yang panas, disebabkan permukaan wilayah ekuator yang membuat tetesan menguap lagi. Dari 182 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 13:50-14:00, karena DSD lebih lebar di tanah daripadabagian atas, diperkirakan terjadi penggabungan butiransaat menuju tanah. Dari ketinggian 3940 m ke tengah (sekitar 3040 m) terjadi penggabungan butiran hujan, yang mengakibatkan curah hujan meningkat. Dari tengah ketinggian ke tanah, didominasi proses penguapan, sehingga curah hujan menurun. Di sisi lain, karakteristik profil DSD yang berlawanan ditemukan dari bagian tengah ke akhir hujan. Variasi proses mikrofisika hujan membuat fluktuasi pada intensitas hujan selama 3940 m ke 2290 m,dimana curah hujan meningkat di atas permukaan tanah. Proses peleburan dan kondensasi dari proses mikrofisika lebih dominan. Pada tahap akhir, DSD dan curah hujan menunjukkan nilai konstan terhadap ketinggian, yang menunjukkan kondisi saturasi hujan, sehingga, kurang/sedikit proses mikrofisika yang terjadi. Keadaan saturasi itu ditandai dengan cenderung konstannya nilai rain rate. IV. KESIMPULAN Dengan menggunakan Joss Disdrometer dan dual frekuensiradar telah didapatkan nilai DSD dari tanah sampai ke ketinggian 3940 m (di bawah melting layer). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa DSD MP Model mempunyai kecocokan yang baik dengan DSD dual-frekuensi. Mikrofisika hujan menunjukkan nilai konstan terhadap ketinggian pada waktu awal kejadian hujan. Halk itu dikarenakan proses penguapan. Hal yang sama juga terjadi di akhir hujan, hal itu dikarenakan kondisi saturasi(jenuh) hujan sehingga DSD cenderung konstan. Fluktuasi nilai DSD ditemukan pada waktu pertengahan hujan, beberapa proses seperti: coalescence (penggabungan butiran hujan), evaporation (penguapan), condensation (pengembunan), break-up (terpecah) sehingga mempengaruhi nilai DSD. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Prof. Toshiaki Kozu dan Dr. Toyoshi Shimomai dari Universitas Shimane Jepang, yang telah memberikan bimbingan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Fukao, S., H. Hashiguchi, M. Yamamoto, T. Tsuda, T. Nakamura, And M. K. Yamamoto, 2003: Equatorial Atmosphere Radar (Ear): System Description And First Result, Radio Science ,Vol 38. Kozu, 1991: Estimation of raindrop size distribution from spaceborne radar measurement, Doctor thesis, submitted to Kyoto University, Japan. Law, J. O., and D. A. Parson. 1943: The relation of raindrop size to intensity. Trans. Amer. Geophys. Union., 24, 452-460 Marshall, J. S., and W. Mck. Palmer. August 1948: The distribution or raindrop with size. J. Meteor., Vol. 5, pp. 165-166 Renggono, 2006: Study on precipitating clouds over Kototabang, West Sumatera observed by wind profilers, Thesis, submitted Kyoto University. Sato, T., H. Doji, H. Iwai, and I. Kimura, 1990 : Computer processing for deriving drop-size distribution and vertical air velocities from VHF Doppler radar spectra, Radio Sci., Vol. 25, 961-973. Schafer, R., S. Avery, P. May, D. Rajopadhyaya, and C. Williams, 2002: Estimation of rainfall drop size distribution from Dual-frequency wind profiler spectra using deconvolution and a nonlinear least squares fitting technique, J. Atmos. Ocean. Tech. Vol. 19,864-874. Sheppard B., E. 1989: Effect of Irregularities in the Diameter Classification of Raindrops by the JossWaldvogel Disdrometer, J. Atmos. Ocean. Tech. Vol. 7, 180-183 Teraoka, T., T. Sato, I. Kimura, H. Hashiguchi, and S. Fukao, 1993: Simultaneous observation of raindrop size distribution by VHF and L-Band Doppler radars, Tech. Report of IEICE. SANE 93-53 (1993-10). Vonnisa, M., Kozu T., Shimomai T., 2014: Pengembangan Metode Dual-Frekuensi Untuk mengamati Struktur Vertikal Raindrop Size Distrubution (DSD) di Koto Tabang. J. Ilmu Fisika, Vol 6, 52-58 Wakasuki., A, Mizutani, M. Matsuo, S. Fukao, and S. Kato, 1986: A direct method for deriving dropsize distribution and vertical air velocities from VHF Doppler radar spectra. J. Atmos Oceanic Tech., 3, 623-629 183 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 STATISTIK WORST MONTH CURAH HUJAN KOTOTABANG Marzuki Jurusan Fisika Universitas Andalas e-mail: [email protected] ABSTRAK Redaman yang diakibatkan oleh hujan merupakan salah satu masalah utama bagi sistem telekomunikasi yang menggunakan gelombang mikro. Dampak dari redaman ini sangat signifikan untuk frekuensi di atas 10 GHz. Karena curah hujan bervariasi sepanjang tahun, redaman yang disebabkan oleh hujan juga bervariasi. Prosiding ini menampilkan statistik bulan terburuk bagi sistem telekomunikasi (worst month) berdasarkan data pengamatan curah hujan selama dua tahun (2005-2006) di Kototabang, Sumatera Barat (0,20oS, 100,32oE). Hasil pengamatan dibandingkan dengan model International Telecommunication Union Radiocommunication Sector (ITU-R). Terlihat bahwa statistik dari worst month curah hujan untuk Kototabang agak berbeda dengan model ITU-R. Hal ini menguatkan penelitian sebelumnya tentang keterbatasan model ITU-R untuk kawasan tropik. Penelitian lebih lanjut yang melibatkan lebih banyak data masih harus dilakukan untuk memperbaiki model ITU-R dengan mengadopsi karakteristik hujan Sumatera. Kata kunci: worst month, Kototabang, redaman oleh hujan ABSTRACT The microwave radio links above 10 GHz suffer from attenuation due to precipitation. The need for employing higher frequencies, especially in new broadband service, has therefore encouraged research into rain attenuation due to precipitation. Rain varies seasonally over a year, so does the behavior of radio communication links. This paper presents the results of average worst month statistics and its relationship with the average annual distribution based on 2 years rainfall rate of optical rain gauge measurement at Kototabang, west Sumatra (0,20oS, 100,32oE). The relationship was found to be slightly different from the one proposed by the International Telecommunication Union - Radiocommunication Sector (ITU-R). This result reinforces previous studies on the limitation of the ITU-R model for the tropical region. Furthere study that analyzes more dataset must be conducted to improve the ITU-R model by adopting the characteristic of Sumatra precipitation. Keywords: worst month, Kototabang, rain attenuation I. PENDAHULUAN Di dalam perancangan sistem telekomunikasi, bulan terburuk yang sering diistilahkan dengan worst month, didefinisikan sebagai bulan dimana penjalaran gelombang elektromagnetik dalam medium hujan mengalami redaman (attenuation) terburuk. Dengan kata lain, worst month juga dapat diartikan sebagai bulan-bulan dalam satu tahun dimana penjalaran gelombang elektromagnetik mengalami redaman melampaui nilai ambang batas yang diinginkan (International Telecommunications Union, 2003). Dalam perancangan sistem telekomunikasi, konsep worst month memainkan peran penting terutama jika sistem itu harus memenuhi kriteria kualitas penjalaran tertentu untuk semua bulan dalam satu tahun (Ramachandran dan Kumar, 2005; Panagopoulos dan Chatzarakis, 2007). Worst month dapat diamati jika data pengamatan redaman oleh hujan selama 12 bulan penuh tersedia. Jika data redaman tidak ada, maka bulan terburuk dapat juga dimodelkan menggunakan data curah hujan karena kuatnya hubungan antara redaman dengan intensitas curah hujan. Permasalahannya adalah curah hujan bervariasi baik terhadap waktu dan lokasi. Hal ini menyebabkan karakteristik worst month untuk setiap daerah bisa berbeda-beda. Perbedaan karakteristik curah hujan ini menyebabkan model umum yang dikeluarkan oleh International Telecommunication UnionRadiocommunication Sector (ITU-R) tidak akurat untuk semua lokasi atau daerah iklim. Oleh karena itu, dilakukanlah studi awal tentang statistik worst month untuk Sumatera berdasarkan data pengamatan curah hujan di Kototabang, Sumatera Barat, Indonesia (0,20oS, 100,32oE). Hasil yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan hasil dari model ITU-R (International Telecommunications Union, 2005) 184 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 II. METODOLOGI Data intensitas curah hujan (rainfall rate) yang digunakan adalah hasil pengamatan optical rain gauge (ORG) di Kototabang dengan resolusi waktu satu menit. ORG merupakan sensor hujan yang dirancang untuk menghitung intensitas curah hujan dengan menggunakan cahaya infra merah atau Lasser Emitting Diode (LED). Ketika hujan, butiran hujan akan menyebabkan munculnya variasi intensitas cahaya yang bergantung pada ukuran butiran hujan, kecepatan jatuh, dan geometri optiknya. Variasi intensitas cahaya ini akan ditangkap oleh foto detektor yang nantinya akan dikonversi menjadi intensitas curah hujan. Untuk tahap awal penelitian ini digunakan data curah hujan selama dua tahun (2005-2006) dengan tingkat ketersediaan 97% untuk tahun 2005 (356 hari) dan 91% (332 hari) untuk tahun 2006. Perhitungan worst month intensitas curah hujan mengacu kepada model ITU (International Telecommunications Union, 1990). Untuk periode pengamatan selama 12 bulan (satu tahun) berturutturut, worst month untuk tahun tersebut dihitung dengan memilih bulan dengan penampilan terburuk (probabilitas kemunculan redaman tertinggi) untuk setiap level atau tingkatan redaman. Misalkan, Xij adalah probabilitas yang melampaui (probability of exceeding) ambang batas (threshold) j untuk bulan ke i. Worst month untuk j dihitung oleh Xij tertinggi (Xhj), diantara 12 bulan pengamatan. Distribusi probabilitas worst month untuk suatu tahun terdiri atas semua Xhj yang berasal dari berbagai level j. Bulan untuk setiap Xhj bisa berbeda-beda untuk setiap level j. Untuk data pengamatan yang multitahun, rata-rata probabilitas worst-month didapatkan dengan merata-ratakan probabilitas masingmasing tahun untuk masing-masing nilai j (Chebil dan Rahman, 1999). Secara statistik, rata-rata probabilitas worst month (X) dan probabilitas intensitas curah hujan tahunan (Y) dapat digambarkan oleh persamaan: Q ļ½ X /Y (1) dimana Q adalah fungsi tingkat kemunculan dan kawasan/iklim. Q dapat ditulis sebagai persamaan kepangkatan (power law) dalam bentuk ((International Telecommunications Union, 2005) Q ļ½ AY ļ ļ¢ (2) Untuk menghubungkan X dengan Y, Persamaan (2) dapat ditulis dalam bentuk X ļ½ AY 1ļ ļ¢ (3) Model ITU-R menyarankan nilai A = 2,85 dan ļ¢ = 0,13 untuk tujuan global. Jika worst month dan curah hujan tahunan dinyatakan dalam persentase (bukan probabilitas), maka nilai A = 3,0 dan ļ¢ = 0,13. III. HASIL DAN DISKUSI Gambar 1 memperlihatkan percentage time rain rate exceeded untuk keseluruhan data pengamatan dibandingkan dengan model ITU-R (International Telecommunications Union, 2003b) untuk Koto Tabang (0,20oS, 100,32oE). Untuk persentase waktu yang besar misalnya 0,1%, distribusi kumulatif intensitas curah hujan menunjukkan kecocokan dengan model ITU-R. Dari dua tahun data, untuk persentase 0,1%, 0,3%, dan 1% intensitas curah hujan dari data pengukuran adalah 40,74, 20,33 dan 7,82 mm/h. Nilai-nilai ini cukup dekat dengan perhitungan dari model ITU-R, yaitu 42,97, 22,11 dan 8,01 mm/h. Perbedaan yang signifikan terlihat untuk intensitas curah hujan yang besar. Untuk persentase 0,01% dan 0,001%, data pengukuran memperlihatkan nilai 86,25 dan 135,95 mm/h, lebih rendah dari nilai yang direkomendasikan model ITU-R, yaitu 94,47 dan 148,33 mm/h. Pembahasan secara komprehensif mengenai hal ini telah dilakukan oleh Marzuki dkk. (2009). 185 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 1 Distribusi kumulatif curah hujan tahunan dan worst month di Kototabang untuk periode pengamatan 2005-2006, dibandingkan dengan model ITU-R (International Telecommunications Union, 2003a) dan model ITU-R untuk worst month (International Telecommunications Union, 2005). Gambar 1 juga memperlihatkan percentage time rain rate exceeded untuk bulan terburuk (worst month) selama periode pengamatan 2005-2006. Hubungan antara rain rate exceedance tahunan (Pa) dengan worst month (Pw) ditampilkan pada Gambar 2a. Hubungannya digambarkan oleh persamaan: Pa ļ½ 0,63Pw1,18 , r2 = 0,998 (4) Gambar 2b memperlihatkan faktor Q sebagai fungsi persentase rain rate exceedance tahunan (Y), yang digambarkan oleh persamaan: Q ļ½ 1,17Y ļ0, 29 , r2 = 0,962 (5) Dapat dilihat dari Persamaan (5) bahwa faktor Q untuk intensitas curah hujan di Kototabang berbeda dengan nilai yang direkomendasikan oleh model ITU untuk tujuan global. Selain itu, nilai dari Persamaan (5) juga berbeda dengan nilai dari model ITU-R untuk Indonesia, yaitu, A = 1,7 dan ļ¢ = 0,22 (International Telecommunications Union, 2005). Walaupun penelitian ini memperlihatkan adanya perbedaan nilai dengan model ITU, penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan sebelum hasil penelitian ini digunakan dalam perancangan sistem telekomunikasi, dengan menganalisa lebih banyak data pengamatan. 186 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 2 Plot rainfall exceedance curah hujan tahunan terhadap rainfall exceedance curah hujan worst month untuk periode pengamatan dua tahun (a) dan faktor Q sebagai fungsi rainfall exceedance curah hujan tahunan (b). Perbandingan dengan model ITU-R (International Telecommunications Union, 2005), juga ditampilkan. IV. KESIMPULAN Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan antara statistik worst month intensitas curah hujan dari model ITU dengan yang didapatkan dari hasil pengukuran curah hujan di Kototabang. Hal ini menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya tentang keterbatasan model ITU untuk kawasan tropik. Sebelum digunakan dalam perancangan sistem telekomunikasi, penelitian ini masih harus dilanjutkan. Untuk memperbaiki model ITU dengan mengadopsi karakteristik hujan di Sumatera, masih diperlukan penelitian lebih lanjut yang melibatkan lebih banyak data pengamatan dari banyak stasiun rain gauge. Selain itu, data curah hujan dari satelit TRMM juga bisa digunakan untuk mendapatkan model worst month untuk Sumatera. UCAPAN TERIMA KASIH Optical Rain Gauge (ORG) yang di Kototabang dioperasikan oleh Universitas Shimane Jepang bekerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Terima kasih kepada Dr. Toyoshi Shimomai (Universitas Shimane) dan Dr. Hiroyuki Hashiguchi (Universitas Kyoto) yang telah menyediahkan data ORG Kototabang untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Chebil, J. dan Rahman, T., 1999, Worst-month rain statistics for radiowave propagation study in Malaysia, Electron. Lett., Vol. 35, No. 17, Hal. 1147–1149. International Telecommunications Union, 1990, The Worst Month Concept, Geneva, Switzerland. International Telecommunications Union, 2003a, Propagation data and prediction methods required for the design of earthspace telecommunication systems, Rec. ITU-R, 618-8, Geneva, Switzerland. 187 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 International Telecommunications Union, 2003b, Characteristics of Precipitation for Propagation Modeling, Recommendation ITU-R P.837-5, Geneva, Switzerland. International Telecommunications Union, 2005, Conversion of Annual Statistics to Worst Month Statistics, Rec. ITU-R, 841-4, Geneva, Switzerland. Marzuki, Kozu, T., Shimomai, T., Randeu, W. L., Hashiguchi, H., and Shibagaki, Y., 2009, Diurnal variation of rain attenuation obtained from measurement of raindrop size distribution in equatorial Indonesia, IEEE Trans. Ant. Propag., Vol. 57, Hal. 1191-1196. Panagopoulos, A. D. dan Chatzarakis, G. E., 2007, Outage performance of single/dual polarized fixed wireless access links in heavy rain climatic regions, Journal of Electromagnetic Waves and Applications, Vol. 21, No. 3, Hal. 283–297. Ramachandran, V.dan Kumar, V., 2005, Invariance of accumulation time factor of Ku-band signals in the tropics, Journal of Electromagnetic Waves and Applications, Vol. 19, No. 11, 1501–1509. Yon, K.M.; Stutzman, W.L.; Bostian, C.W., 1984, Worst-month rain attenuation and XPD statistics for satellite paths at 12 GHz, Electronics Letters, Vol.20, No.16, Hal.646-647, doi: 10.1049/el:19840442 188 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 PEMBUATAN LVDT WEIGH CELL UNTUK PENGUKURAN BERAT SEBAGAI KONTROL SISTEM PENGISIAN Erwinsyah Satria FKIP Universitas Bung Hatta, Jl. Sumatera Ulak Karang Padang Email: [email protected] ABSTRAK Telah dibuat suatu prototype instrument untuk pengukuran berat dengan menggunakan sensor LVDT yang dapat digunakan untuk pengontrolan pada berbagai proses sistem pengisian. Rangkaian pembangkit gelombang AC untuk LVDT menggunakan osilator Wien-Bridge disambungkan dengan penguat arus. Rangkaian pengkondisi sinyal dibuat untuk menyearahkan tegangan AC, menapis dan menguatkan sinyal keluaran LVDT. Untuk sistem akuisisi digunakan Data Acqusition (DAQ) card NI PCI-6024E yang dihubungkan ke Personal Computer (PC). Bahasa pemograman LabVIEW digunakan untuk membuat tampilan pada PC berupa panel depan dengan indikator dan kontrol yang menampilkan data hasil pengukuran berat. Beberapa parameter uji pada penelitian ini adalah osilator, LVDT, pegas, pengkondisi sinyal DAQ, pengendali beban, dan hysteresis. Setelah melakukan pengujian diketahui bahwa jangkauan ukur dipengaruhi oleh defleksi pegas. Prototype LVDT weigh cell yang dibuat pada penelitian ini dicoba untuk jangkauan ukur sampai dengan 1.000 gram dengan resolusi 10 gram. Kata kunci: Pengukuran Berat, LVDT Weigh Cell, LabVIEW I. PENDAHULUAN Dewasa ini pekembangan teknologi telah banyak membantu mempermudah manusia dalam melakukan suatu pekerjaan dan pengukuran, terutama di industri yang memerlukan pekerjaan yang berulang yang butuh kecepatan dan hasil yang tepat. Berbagai macam peralatan/sensor yang dapat membantu suatu proses pengukuran dan pengontrolan yang dapat diprogram terus dikembangkan. Alat-alat ini digunakan untuk meningkatkan keakuratan, efisiensi, mempertinggi produktivitas dari suatu proses. Sensor-sensor tersebut ditentukan berdasarkan sensitifitas dan selektifitas terhadap suatu perubahan keadaan. Perubahan keadaannya dapat berupa perubahan keadaan tekanan, aliran, temperatur, dan lain-lain. Sensor yang digunakan dalam penelitian ini adalah sensor LVDT. Sensor LVDT sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya besarnya arus, diameter koil, jumlah lilitan koil, frekuensi osilator dan lain-lain. Output dari sistim pengukuran beban diolah lebih lanjut supaya bisa ditampilkan dan untuk pengendali beban, dengan menggunakan Data Acquisition (DAQ) card dan program LabVIEW sebagai pengendalinya dan penampil data hasil pengolahan yang dibutuhkan, secara otomatis ditampilkan pada panil depan dari progam LabVIEW. Dengan mempelajari, merancang dan membuat suatu sensor LVDT dapat diketahui bagaimana cara kerjanya, pengolahan sinyalnya, hasil pengukurannya, dan faktor-faktor kesulitan dalam mendapakan hasil pengukuran yang akurat, serta fungsinya pada pengendalian untuk proses pengisian secara otomatis. Hasil akhir yang didapat setelah melakukan pengukuran dengan prototip ini, pengguna akan dapat melihat respon tegangan terhadap berat. LVDT didasarkan pada prinsip dari suatu transformer differential dengan kopling variabel antara lilitan primer dan sekunder. Ini dirintis pada tahun 1940 oleh Schaevitz. Sensor perpindahan karena gaya tekan atau berat pada LVDT mengindera perpindahan posisi sepanjang garis lurus. Selisih tegangan induksi yang timbul pada kedua lilitan sekunder yang dirangkai seri berlawanan ditentukan oleh posisi inti magnetik yang bergerak. Jika core/inti magnet pada posisi tengah antara kedua lilitan sekunder maka tidak ada selisih tegangan keluar melalui lilitan sekunder. Lilitan primernya dibangkitkan oleh sumber AC. Ketiga lilitan diletakkan pada sebuah bobbin/kumparan plastik silinder yang mana sebuah inti soft magnetik yang bisa bergerak diletakkan di dalamnya. Inti ini dipasang pada sebuah tangkai nonmagnetik yang kadang-kadang dengan beban pegas. Wilayah kerja dari sensor disesuaikan dengan perpindahan yang diharapkan, yaitu pada daerah linier tegangan keluaran LVDT. Penggunaan sensor LVDT untuk pengukuran berat menawarkan berbagai keuntungan, antara lain: tidak adanya gesekan antara inti dan lilitan kawat, umur pemakaian yang lama karena kecilnya keausan mekanis, keluaran yang linier, resolusi yang tinggi, over-ranging pada sinyal keluaran tidak merusak sensor, ringan perawatan, kokoh dan tahan guncangan (Seippel, 1983). Medan magnetik adalah ruang dimana magnet-magnet lain yang ada di ruang itu mengalami gaya magnetik. Selain ditimbulkan oleh magnet, medan magnetik juga ditimbulkan oleh gerakan 189 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 muatan-muatan listrik atau arus listrik. Ketika sebuah konduktor berpindah melalui suatu medan magnetik, suatu tegangan dihasilkan melalui konduktor. Prinsip ini dikenal sebagai induksi elektromagnetik dan tegangan yang dihasilkan adalah tegangan induksi. Besarnya tegangan induksi tergantung pada kecepatan kawat dan medan magnetik bergerak satu sama lain. Hukum Faraday juga menyatakan jumlah tegangan induksi pada suatu koil berbanding langsung dengan jumlah lilitan dari kawat pada gulungan. Proses pengukuran yang modern selalu melibatkan komputer ataupun mikrokontroler untuk memudahkan pengguna dalam melakukan pengukuran. Keuntungan pengukuran yang melibatkan komputer ini akan dihasilkan suatu sistem pengukuran yang otomatis. Data-data yang diperoleh dapat diolah menjadi berbagai format penyajian data. Untuk mewujudkan sistem pengukuran yang otomatis ini, maka dibuatlah suatu sistem sensor LVDT yang dikontrol dengan komputer. Secara garis besar proses pengolahan data pada instrumen LVDT weigh cell ini terdiri dari beberapa bagian yang diilustrasikan pada Gambar 1. Physical System Transducer Sensor Signal Conditioning Physical Variable: Temperature Pressure Motion Flow Noisy Electical Signal Filtered and Amplified Signal A/D Converter Computer Digitized Signal 8-bit Binary Code Gambar 1. Diagram Blok Pemrosesan Data LVDT Weigh Cell Pengukuran di atas menggunakan perangkat antar muka untuk menjembatani besaran fisika yang diukur untuk dijadikan sinyal yang dapat diolah oleh perangkat digital. Komputer sebagai perangkat digital akan menerima bit-bit digital dari sinyal input analog yang sudah dikonversikan oleh perangkat antar muka tersebut. Selanjutnya data-data tersebut akan diolah dan disajikan kedalam format data yang diinginkan. Penyajian data ini dibuat untuk mempermudah pengguna dalam menganalisis data. Suatu sistem akuisisi data pada umumnya dibentuk sedemikian rupa, sehingga sistem tersebut berfungsi untuk mengambil, mengumpulkan dan menyimpan data dari sensor dalam bentuk yang siap untuk diproses lebih lanjut, seperti digunakan untuk mengaktifkan actuators. Jenis dan metode yang dipilih pada umumnya bertujuan untuk menyederhanakan setiap langkah yang dilaksanakan pada keseluruhan proses. Diagram blok sistem akuisisi datanya dapat dilihat pada Gambar 2. Sensor s DAQ PC DAQ Actuators Gambar 2. Diagram Blok Sistem Akuisisi Data Sistem akuisisi data berkembang pesat sejalan dengan kemajuan di bidang teknologi digital dan komputer. Kini, akuisisi data menkonversikan besaran fisis berupa sinyal analog ke bentuk sinyal digital selanjutnya diolah oleh komputer. Pengolahan dan pengontrolan proses oleh komputer memungkinkan penerapan akuisisi data dengan perangkat lunak. Perangkat lunak memberikan harapan proses akuisisi data bisa divariasi dan dibuat otomatis sesuai kebutuhan (Hasan, 2005). LabVIEW (Laboratory Virtual Instrument Engineering Workbench) adalah bahasa pemograman grafis yang telah diadopsi secara luas diseluruh industri, laboratorium pemerintah dan akademik sebagai standar untuk data akuisisi dan software kontrol instrumen. Dengan bahasa pemograman grafis ini kita dapat memprogram dengan menggunakan sebuah metode blok diagram 190 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 yang mengcompile ke dalam kode mesin. LabVIEW program disebut virtual instruments atau VI’s,yang terdiri dari front panel, block diagram, icon dan connector (Well, 1995). Beberapa tujuan dari penelitian ini, adalah: (1) Merancang dan membuat prototip LVDT weigh cell untuk pengendalian ON/OFF proses pengisian yang berbasis komputasi. (2) Mempelajari dan membuat perangkat lunak untuk mengolah, menganalisis, menyimpan serta menampilkan data hasil pengukuran dalam bentuk tampilan panel depan. (3) Membuat desain dan konstruksi alat LVDT weigh cell dan rangkaian elektronik pembangkit sinyal bolak-balik dan pengolah sinyal serta rangkaian pengendali relay solenoid. Hasil penelitian bermanfaat sebagai alat pengukuran berat yang dapat digunakan untuk pengontrolan pada beberapa sistem proses pengisian (misalnya: kacang, gula pasir, beras dan lainlain) baik manual maupun otomatis dan dapat dikontrol oleh pengguna melalui komputer. II. METODOLOGI Pembuatan LVDT weigh cell ini membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan dimulai dari studi pustaka mengenai topik LVDT, koil, trafo dan blok diagram dari suatu sensor LVDT, Setelah itu merancang gambaran dari konstruksi alat ukur supaya bisa memindahkan perubahan posisi dari inti untuk menginduksi tegangan pada koil, membeli/memilih diameter koil dan bobbin-nya, menentukan jumlah lilitan dan skema susunan lilitan primer dan lilitan sekunder yang akan dipakai sebagai sensor LVDT serta menentukan jenis pegas yang dipakai untuk menahan beban berat, Selanjutnya membeli komponen-komponen dan mencari rangkaian catu daya dan osilator untuk koil LVDT dan pengkondisi sinyal keluaran. Setelah didapat lilitan LVDT yang bagus, dan perakitan rangkaian elektronikanya, dilakukan pengetesan dengan multimeter dan osiloskop. Setelah dilihat hasilnya cukup bagus baru dibuat rangkaian penyearah dan tapis yang lebih bagus. Setelah itu baru dirancang perintah DAQ untuk menerima dan memproses sinyal untuk diolah di komputer sebagai pengendali beban. Data berupa sinyal nilai tegangan yang masuk tersebut diolah dan ditampilkan dalam bentuk panil depan. Program juga dirancang untuk mengukur nilai tegangan dan frekuensi dari rangkaian elektronikanya. Pengukuran dengan sistem keseluruhan dilakukan setelah perangkat lunak dan perangkat keras ini telah diselesaikan pembuatannya. Pengukuran menggunakan standard weight yang ada sebagai pengganti bahan filler. Hal ini dilakukan untuk mengetahui performa dan keakuratan dari sensor LVDT dengan mudah. Komparasi rancangan alat dengan alat standarisasi dilakukan setelah seluruh proses dapat berjalan dengan baik. Sistem LVDT weigh cell secara keseluruhan terdiri atas dua bagian yaitu : (1) Perangkat keras (2) Perangkat lunak. Perangkat keras ini terdiri dari osilator, penguat arus, sensor LVDT, pengkondisi sinyal, sistem akuisisi data, PC, dan pengendali beban serta rancangan mekanisnya. Sedangkan perangkat lunak merupakan program yang diperlukan untuk mengolah dan menampilkan data dalam bentuk grafik. Seluruh blok diagram sistem ini dapat dilihat pada Gambar 3. Osilator dan Penguat Arus Sensor LVDT Pengkondisi Sinyal DAQ PC Pengolah Data dan Tampilan Pengendali Beban Gambar 3. Blok Diagram Sistem LVDT Weigh Cell Proses pengukuran berat dengan sensor LVDT dilakukan dengan metode perpindahan dari inti LVDT akibat bertambahnya berat, adanya perbedaan besar tegangan induksi antara dua gulungan sekunder dengan tidak seimbangnya posisi inti memberikan tegangan keluaran yang sesuai dengan berat yang diukur. Osilator dan penguat arus digunakan untuk meningkatkan kepekaan LVDT dan besarnya induksi medan magnet pada gulungan primer dan sekunder. Setelah tegangan keluaran disearahkan, difilter dan dikuatkan untuk dapat diterima oleh DAQ kemudian sinyal tegangan dikirim sebagai data masukan ke komputer. Perangkat lunak yang dirancang akan mengkonversinya kembali sesuai dengan besarnya beban tersebut. Dengan demikian didapat grafik beban terhadap tegangan. Seluruh proses pengambilan data dilakukan secara otomatis, menggunakan perangkat sistem akuisisi data DAQ NI PCI-6024E sebagai sistem perangkat antarmuka yang menghubungkan sensor dengan komputer. Perangkat lunak dirancang untuk mengatur pengambilan, penyimpanan dan 191 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 pengolahan data hingga penyajian data dalam bentuk tampilan grafik dengan menggunakan program LabVIEW. Sistem akuisisi data (data acquisition yang disingkat DAQ) berbasis PC yang digunakan dalam instrumen berikut koneksi pada terminal DAQ-nya diperlihatkan dalam Gambar 4. Sistem ini terdiri dari timbangan dengan tranducer berat berupa LVDT berikut pengkondisi sinyalnya, katup aliran beban yang ditimbang, perangkat keras akuisisi data NI DAQ 6024E, PC dan perangkat lunak. Perangkat lunak yang dijalankan di komputer mengendalikan sistem akuisisi data dalam mendapatkan data mentah, menganalisa dan menampilkan hasilnya. NI DAQ 6024E Katup LVDT Weigh Cell Diagram Peralatan Koneksi Terminal DAQ Gambar 4. Diagram Sistem Akuisisi Data Berat Beban Tampilan perangkat lunak akusisi ini/panil depan dapat dilihat pada Gambar 5. Para pengguna yang akan menggunakan program weigh cell ini, pertama kali harus memasukan nilai batas berat yang diinginkan. Setelah itu tekan tombol ”mulai pengukuran”. Hasil pengukuran ini akan ditampikan pada textbox berat terukur yang muncul pada panil timbangan. Setelah hasil pengukuran didapat maka untuk memulai pengukuran berat selanjutnya, tekan tombol ”stop pengukuran”. Ketika pengguna ingin keluar dari program maka tekan tombol ”STOP”. Gambar 5 Panil Depan Program Weigh Cell (Timbangan.vi) III. HASIL DAN DISKUSI Serangkaian pengujian LVDT weigh cell dilakukan setelah perangkat keras dan lunak dikerjakan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah alat dapat berfungsi dengan baik atau tidak sebagai pengukur berat seperti yang diharapkan. Selain itu pengujian dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing alat, sehingga dapat diketahui dimana kelebihan dan kekurangannya. Pengujian ini meliputi : uji frekuensi osilator, uji pegas, uji LVDT, uji pengkondisi sinyal, uji DAQ dan perangkat lunak, uji pengendali beban. Di bawah ini dijelaskan masing-masing pengujian tersebut. Alat uji yang dipakai adalah Digital multimeter (DMM) Fluke 85 III untuk pengukuran tegangan, arus dan frekuensi. Prosedur pengujian frekuensi osilator ini, pertama dengan cara menghubungkan osilator dangan catu daya ± 15 V dan keluarannya disambungkan dengan DMM. Untuk melihat nilai ukur jangkauan frekuensi yang dihasilkan oleh osilator, dilakukan variasi nilai resistansi dari potensiometer dari 0 ļ sampai 50 kļ. Dari hasil pengujian didapat frekuensi keluaran osilator bervariasi antara 192 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 285,0 Hz sampai 104,5 KHz. Frekuensi 20,01 KHz didapat pada nilai resistansi 79 ļ. Untuk frekuensi 20,01 KHz osilator menghasilkan tegangan 4,93 V dan arus 1,98 mA. Prosedur pengujian pegas dilakukan dangan cara meletakkan beban di atas pegas bervariasi antara 50 gram sampai 500 gram, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil Pengujian Pegas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Berat yang Diletakkan Di Atas Pegas (gram) 50,0 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Panjang Defleksi Pegas (mm) 1,00 2,20 3,50 4,90 6,20 7,60 9,00 10,4 11,8 13,3 Konstanta Pegas (gram/mm) 50,0 45,5 42,9 40,8 40,3 39,5 38,9 38,5 38,1 37,6 Dari data Tabel 1 dapat dihitung konstanta pegas rata-rata adalah: k = 41,2 gram/mm = 0,04 Kg/mm = 0,40 N/mm. Pengujian karakteristik LVDT dilakukan untuk mengetahui daerah kerja linear (jangkau ukur) dari LVDT. Pengukuran dimulai dengan meletakkan massa standar di atas dudukan pegas dengan berat dari 10 gram sampai 1.000 gram dengan step 10 gram dan 100 gram. Hasil keluaran tegangan dari pengkondisi sinyal diukur dengan DMM. Hasilnya sebagai terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil Pengujian LVDT No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Berat yang Diletakkan Di Atas Pegas (gram) 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,0 200,0 300,0 400,0 500,0 600,0 700,0 800,0 900,0 1.000 Tegangan Keluaran (volt) 0,012 0,028 0,030 0,045 0,063 0,077 0,091 0,106 0,120 0,132 0,270 0,400 0,530 0,675 0,804 0,936 1,071 1,197 1,331 Dalam bentuk grafik hasil pengujian karakteristik LVDT diketahui daerah kerja linear (jangkau ukur) dari LVDT seperti terlihat pada Gambar 6. 193 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 1.4 1.2 Tegangan (V) 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 200 400 600 800 1000 Berat (g) Gambar 6 Grafik Hasil Pengujian LVDT Karena alat ukur berat ini menggunakan bahan yang dapat menghasilkan medan magnetik, histeresis sangat mungkin ditemukan pada sensor ini. Karena itu dilakukan uji histeresis dengan cara memvariasikan berat yang diukur sesuai dengan daerah ukur dari LVDT Weigh Cell ini. Ketika berat ditambah ada jeda waktu yang diberikan agar tegangan induksi pada lilitan sekunder menjadi stabil. Selanjutnya berat diperbesar sampai batas maksimum jangkau ukur. Kemudian berat diturunkan secara perlahan dengan skala yang sama dengan skala kenaikan berat sampai berat terkecil. Sehingga dapat diketahui jika pada alat ukur terjadi histeresis. Hasil pengujian histeresis ditunjukan pada Gambar 7. B e ra t d ip e rk e c i l B e ra t d ip e rb e s a r 1.4 1.2 Tegangan (V) 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 200 400 600 800 1000 B e r a t (g ) Gambar 7. Grafik Pengujian Histeresis Sensor LVDT Tabel 3. Hasil Pengujian Pengkondisi Sinyal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 194 Vin (volt) 0,012 0,027 0,041 0,052 0,066 0,079 0,094 1,069 1,189 1,311 Vout (volt) 0,120 0,270 0,400 0,530 0,675 0,804 0,936 10,71 11,97 13,31 Penguatan 10,00 9,920 9,750 10,09 10,18 10,11 9,950 9,670 10,06 10,15 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Pengujian pengkondisi sinyal dilakukan dengan cara memvariasikan tegangan yang masuk pada rangkaian inverted amplifier melalui perubahan massa yang ditimbang/posisi inti dari LVDT. Hasilnya diukur dengan multimeter. Hasilnya diperlihatkan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa penguatan 10 kali tegangan input telah tercapai. Pengujian DAQ dilakukan dengan menghubungkan keluaran pengkondisi sinyal ke blok terminal DAQ sesuai dengan channel yang ditentukan. Pembacaan tegangan oleh DAQ dikontrol dari perangkat lunak pengendali LabVIEW. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4 dan dibandingkan dengan hasil pengukuran dengan DMM untuk berat 100 g sampai 1.000 g. Pada Tabel 4 terlihat bahwa tegangan yang diambil oleh DMM mendekati nilai yang ditunjukkan oleh DAQ Tabel 4. Hasil Pengujian DAQ dengan Perangkat Lunak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 VDMM (volt) 0,132 0,270 0,400 0,530 0,675 0,804 0,936 1,070 1,190 1,330 VDAQ (volt) 0,135 0,273 0,404 0,535 0,678 0,810 0,941 1,080 1,200 1,340 Untuk pengujian resolusi sensor LVDT dilakukan dengan cara memvariasikan berat yang ditimbang. Berat dinaikkan dengan variasi setiap 10 g, kemudian tegangan keluaran dari sensor LVDT dicatat. Dari percobaan didapat data beberapa perubahan terkecil yang dideteksi oleh alat ukur berat ini. Hasil pengujian terlihat pada Gambar 8. Pada gambar terlihat bahwa keluaran alat ukur memiliki resolusi sebesar 10 g. 0 .3 5 0 .3 0 Tegangan (V) 0 .2 5 0 .2 0 0 .1 5 0 .1 0 0 .0 5 0 5 10 15 20 25 30 B e ra t (g ) Gambar 8. Grafik Hasil Pengujian Resolusi Sensor LVDT Pengujian respone time dilakukan dengan cara mencuplik data setiap 20 ms pada keluaran tegangan dari sensor LVDT. Masukan berupa standar berat diletakkan di atas landasan atas/platform LVDT (misalnya: 50 g dan 100 g). Setelah beberapa saat berat tersebut diangkat dari sensor LVDT. Hasil pengujiannya ditunjukkan pada Gambar 9. 195 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 0 .0 7 0 .0 6 Tegangan (V) 0 .0 5 0 .0 4 0 .0 3 0 .0 2 0 .0 1 0 .0 0 -0 .0 1 -2 0 0 20 40 60 80 1 00 120 140 16 0 W aktu (m s) Gambar 9. Grafik Hasil Pengujian Response Time Pengujian pengendali beban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah membuka tutup katup oleh solenoid. Solenoid dapat bekerja dengan baik bila diberikan supply tegangan sebesar 12 V, jadi tidak boleh disatukan dengan supply tegangan sensor LVDT weigh cell karena akan mengganggu hasil pengukuran. Nilai level tegangan HIGH (logika 1) DAQ hanya sebesar 5 V, karenanya untuk mengendalikan beban tersebut diperlukan sebuah relay dan komponen penguat berupa transistor. Transistor dirangkai sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai saklar elektronik. Dari hasil pengujian beban ketika kondisi non aktif dari DAQ dengan memberikan tegangan LOW (logika 0) pada masukan pengendali maka bisa dikatakan tidak ada arus yang mengalir pada basis transistor. Arus yang mengalir pada kolektor berbanding lurus dengan basis. Kondisi tersebut dinamakan kondisi cut-off transistor. Sebaliknya ketika dari DAQ mengaktifkan solenoid dengan memberikan tegangan HIGH (logika 1) maka akan ada arus yang mengalir pada basis. Arus yang mengalir tersebut haruslah cukup besar untuk membuat transistor berada dalam kondisi saturasi. Arus kolektor dimana kondisi transistor berada dalam keadaan saturasi akan cukup mampu membuat relay aktif sehingga solenoid akan aktif membuka katup. Hasil pengujian pada transistor dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tabel Hasil Pengujian Pengendali Beban Kondisi Uji Tegangan pada VBEQ (volt) Non Aktif Aktif 0,0 4,9 Tegangan pada VECQ (volt) 12 0,8 Dari hasil pengujian LVDT weigh cell yang dilakukan hasilnya cukup bagus, dan untuk kedepannya bisa dijadikan acuan bagi pembuatan alat yang serupa untuk nilai berat benda yang diukur lebih besar dan rancangan konstruksi alat yang lebih baik lagi. IV. KESIMPULAN Dari hasil eksperimen dan pengolahan data, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Hasil dari alat pengukuran berat atau LVDT weigh cell dipengaruhi oleh jumlah lilitan kawat, frekuensi osilator, konstanta pegas. Jumlah lilitan mempengaruhi sensitivitas dari sistem ukur, besar frekuensi mempengaruhi sensitivitas alat dan besarnya tegangan yang dihasilkan LVDT. Defleksi pegas yang kecil dapat mengukur perpindahan inti yang lebih kecil sehingga sensitivitas dan resolusinya lebih kecil. (2) Penggunaan DAQ NI 6024E dan perangkat lunak pengendali yang dibuat dengan program LabVIEW memiliki keuntungan berupa kemudahan dalam pencuplikan data, penampilan dan interaksi oleh pengguna. (3) Eksperimen menghasilkan karakteristik dari sistim yang 196 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 dapat didaftar sebagai berikut: Power Supply yang dipakai adalah ± 15 V, Resolusi LVDT dan pegas adalah 10 gram, Jangkauan Pengukuran adalah 10 gram sampai 1000 gram, dan Tegangan output LVDT adalah sebesar 0,012 V sampai 1,331 V UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Martarizal yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan pengarahan selama penelitian, Bapak Dr. Prawito, Dr. BEF da Silva Msc dan Dr. Sastra Kusuma Wijaya atas saran-saran dan kritikannya, Dodi di workshop instrumentasi. DAFTAR PUSTAKA Hasan, A., Sistim Akuisisi Data Jaringan komputer model Analisys. EL 670 Teknologi Informasi. http://www.bogor.net/idkf/idkf/fisik/ ms-word/sistem-akusisi-data-1999.rtf 23 Desember 2005. Seippel, R.G.,1983, Transducer, Sensor and Detectors, Reston Publishing Company Inc.Reston Virginia. Sularso and Suga, K.,1991, Elemen Mesin, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. Well, L.K., 1995, The LabVIEW Student Edition User’s Guide, Prentice- Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. 197 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 RANCANG BANGUN SISTEM KENDALI ROBOT TANGAN MENGGUNAKAN BLUETOOTH BERBASIS MIKROKONTROLER ATmega8535 Afridanil, Wildian Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas e-mail:[email protected] ABSTRAK Telah dilakukan rancang bangun sistem kendali robot tangan yang dikendalikan dengan menggunakan bluetooth dan pengendali jari. Gerakan robot tangan dapat bergerak berdasarkan data yang dikirim secara serial ke penerima. Sensor sudut yang digunakan adalah sebuah potensiometer yang diletakkan pada ruas jari robot. Pengiriman data mikrokontroler ATmega8535 dilakukan secara serial. Pengiriman data secara serial dengan bluetooth menggunakan handphone android dan dikoneksikan ke modul bluetooth HC-06. Jarak maksimum untuk pengiriman data menggunakan bluetooth adalah 76,3 meter dan jarak maksimum pairing bluetooth adalah 14,2 meter. Kata kunci : mikrokontroler ATmega8535, handphone android, bluetooth HC-06 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan robot untuk menggantikan kerja manusia sudah banyak dikembangkan. Umumnya pengembangan bertujuan membantu manusia untuk mengerjakan pekerjaan yang beresiko tinggi atau tidak dapat dilakukan manusia seperti menjinakkan bom, mengawasi benda beradiasi tinggi, meneliti bahan yang beracun atau bisa meledak, mengawasi benda yang berada di angkasa atau ruang kedap udara, serta menggantikan organ tubuh manusia yang putus akibat penyakit, perang, atau cacat sejak lahir. Sebagai contoh, misalkan dalam suatu kasus kita ingin menjinakkan sebuah bom, dengan mengendalikan robot dari jarak jauh, kita dapat meggunakan robot tersebut untuk menyentuh ataupun membawa bom tanpa harus cemas dengan ledakan yang ditimbulkan bom tersebut. Saat ini telah banyak robot yang dibuat untuk dapat mengikuti dan menyerupai bentuk tubuh manusia. Seperti tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya. NASA telah mengembangkan robonaut yang dapat membantu para astronot dalam bekerja. Gerakan tangan Robonaut dibuat agar dapat melakukan pekerjaan manusia seperti menggenggam, memutar, dan menggangkat benda. Tangan robonaut memiliki total 14 derajat kebebasan. Terdiri dari lengan bawah yang memiliki houses motor dan driver elektronik, dua derajat kebebasan di pergelangan tangan, dan 12 derajat kebebasan dengan 5 jari. Lengan bawah, dengan diameter empat inci di bagian dasarnya dan panjang sekitar delapan inchi. Houses yang memiliki 14 motor,12 papan sirkuit yang terpisah, dan kabel untuk tangan (Bibby, 2008). Penelitian telah banyak dilakukan di Indonesia untuk mengembangkan sistem kontrol robotik yang menggunakan organ tubuh manusia sebagai alat kendalinya. Maryanto (2004) telah merancang tangan robot berupa telapak tangan yang terdiri dari lima jari dengan sebelas sendi yang dapat bergerak bebas (11 DOF) yang digerakkan oleh 11 buah RC Servo dan dikendalikan dengan memakai sarung tangan pengendali melalui kabel. Robot ini menggunakan potensiometer sebagai sensor sudut untuk mendeteksi gerakan jari tangan pengontrol yang akan memberikan data bagi ADC 0816 sebagai antar muka sensor dengan mikrokontroler. Veronica dan Utari (2014) telah merancang pengikut pergerakan jari tangan manusia dengan menggunakan 14 buah motor servo pada jari tangan robot dan 5 buah flex sensor pada sarung tangan. Ketika flex sensor pada sarung tangan bergerak, selanjutnya data dikirim ke mikrokontroler untuk diolah datanya yang kemudian akan dikirim ke motor servo. Kemampuan motor servo sangat terbatas pada sudut yang mampu dibuat oleh motor servo tersebut. Motor servo standar hanya dapat bergerak pada sudut-sudut tertentu. Motor servo standar hanya bergerak dengan 3 sudut dan berputar 90o tergantung sinyal yang diberikan. Dalam penelitian ini divariasikan jenis motor dengan menggunakan motor DC dan dirancang agar bergerak berdasarkan posisi yang ditentukan. Flex sensor diganti dengan trimpot yang letaknya disesuaikan dengan sendi pengendali. Penggunaan trimpot untuk menggantikan flex sensor karena flex sensor mengalami perubahan besar resistansi berdasarkan banyaknya lekukan yang terjadi pada flex sensor dan bukan berdasarkan bentuk lekukan jari yang dibuat pengendali. Selain itu, peneliti juga 198 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 menambahkan sistem kendali komunikasi serial agar dapat diapikasikan secara wireless baik menggunakan kabel ataupun gelombang elektromagnetik. 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang robot tangan yang dikontrol oleh tangan manusia melalui transfer data serial menggunakan kabel ataupun secara nirkabel dengan menggunakan bluetooth. Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Menunjang keberhasilan dalam merealisasikan robot jenis humanoid di masa depan, sehingga dapat membantu kehidupan manusia. 2. Menjadi referensi dalam pembuatan suatu sistem kontrol robot tangan untuk lebih dikembangkan di masa yang akan datang. 1.3 Batasan Masalah Dalam merancang alat kontrol banyak hal yang dapat ditinjau, tetapi pada penelitian ini penulis membatasi pada beberapa hal berikut : 1. Robot tangan dirancang agar dapat bergerak sesuai data yang dikirim melalui data serial dan menggunakan aktuator berupa dinamo standar. 2. Menggunakan potensiometer untuk menentukan sudut yang dibuat ruas jari. 3. Menggunakan Port A mikrokontroler ATMEGA8535 sebagai ADC. 4. Menggunakan Pin TX dan RX mikrokontroler ATMEGA8535 sebagai alat komunikasi serial antar mikrokontroler. 5. Robot tangan dibuat bergerak pada 4 sudut. 6. Robot tangan dikontrol mengunakan sarung kendali yang dikendalikan secara nirkabel menggunakan bluetooth. II. METODE 2.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain mikrokontroler ATmega8535 digunakan sebagai pengontrol seluruh sistem yang akan bekerja (otak robot), bascom AVR berfungsi sebagai bahasa pemrograman untuk mikrokontroler ATMega8535, motor dan river berfungsi sebagai penggerak, PCB digunakan sebagai tempat merangkai komponen, akrilik berfungsi sebagai badan atau body robot, bluetooth HC-06 berfungsi untuk menghubungkan koneksi bluetooth dari HP android, HP Android berfungsi untuk mengendalikan robot menggunakan bluetooth, app inventor berfungsi untuk membuat program HP android dan potensiometer berfungsi untuk membeikan umpan balik ke mikrokontroler 2.2 Perancangan perangkat keras. Perancangan dan pembuatan hardware pada sistem ini difokuskan pada proses pembuatan badan robot atau mekanik serta sistem kendali elektrik robot, sehingga robot dapat bekerja dan melakukan tindakan apa yang diinstruksikan melalui kontrol jari pengendali dan kontrol HP android. Skema kendali robot tangan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Skema kendali robot tangan 199 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 2.3 Perancangan perangkat lunak Pembuatan program menggunakan bahasa BASCOM AVR. Program dirancang agar mikrokontroler dapat mengirim dan menerima data secara serial sehingga robot tangan dapat bergerak sesuai perintah yang diinstruksikan melalui jari pengendali maupun dari HP android. (a) (b) Gambar 2 Skema program robot (a) Skema program pada bagian pengendali (b) Skema program pada bagian penerima III. HASIL DAN DISKUSI Pengujian sistem kendali robot tangan dilakukan secara bertahap, dimulai dari rangkaian catudaya, rangkaian sistem minimum mikrokontroler ATmega8535, rangkaian driver motor dan dinamo DC, pengujian transfer data bluetooth dan pengujian sistem secara keseluruhan. 3.1 Pengujian catu daya Pengujian terhadap rangkaian catu daya dilakukan untuk mengetahui dan memastikan tegangan keluaran catu daya yang akan digunakan untuk mencatu sistem sensor, sistem minimum mikrokontroler, driver motor dan motor DC, bluetooth HC-06, dan LCD. Pengujian rangkaian catu daya dilakukan dengan menghubungkan tegangan keluaran IC LM7805 dengan sebuah multimeter. Hasil pengukuran terhadap rangkaian catu daya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Percobaan tegangan keluaran catudaya 5 V Tegangan Catu Sekunder Keluaran Keluaran Sumber Daya travo penyearah IC 7805 (ac) (ac) (dc) (dc) 1 220 6,27 7,99 5,05 V 2 220 9,41 12,38 4,92 V 3 220 12,55 16,76 5,00 V Trafo yang digunakan pada penelitian ini merupakan trafo CT yang memiliki keluaran 6 volt, 9 volt dan 12 volt. Pada tegangan keluaran IC7805 terdapat perbedaan keluaran masing-masing IC. Pada catu daya 1 memiliki tegangan 5,05 Volt, catu daya 2 memiliki tegangan 4,92 Volt dan catu daya 3 memiliki tegangan 5,00 Volt. Hal ini menunjukan bahwa tegangan keluaran masing-masing IC7805 memiliki sedikit perbedaan pada tegangan keluarannya 200 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 3.2 Karakteristik potensiometer sebagai sensor sudut Karakterisasi sistem sensor diperlukan untuk mengetahui karakter dan perilaku dari sistem sensor yang digunakan dalam penelitian. Karakterisasi dilakukan dengan melihat pengaruh perubahan sudut potensiometer terhadap tegangan keluaran yang dihasilkan. Pengujian karakteristik potensiometer dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Grafik karakteristik tegangan keluaran potensiometer Dari Gambar 3 terlihat bahwa tegangan keluaran potensiometer menunjukkan bahwa perubahan sudut potensiometer linear terhadap kenaikan tegangan keluaran potensiometer dengan sensitifitas sebesar 0,0225. 3.3 Karakterisasi ADC mikrokontroler ATmega8535 Karakterisasi mikrokontroler ATmega8535 diperlukan untuk mengetahui perbandingan nilai sudut dan tegangan keluaran yang dihasilkan mikrokontroler. Karakterisasi mikrokontroler ATmega8535 dilakukan dengan cara memberikan tegangan keluaran dari potensiometer sebagai input pada PortA mikrokontroler ATmega8535 yang merupakan pin ADC dari mikrokontroler. Hasil pengujian karakteristik ADC mikrokontroler ATmega8535 dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Karakterisasi ADC ATmega8535 Dari Gambar 4 diperoleh kesimpulan bahwa perubahan nilai ADC sebanding dengan perubahan tegangan masukan melalui port ADC mikrokontroler ATmega8535. 3.4 Pengujian sistem minimum mikrokontroler ATmega8535 Pengujian sistem minimum mikrokontroler ATmega8535 diperlukan untuk mengetahui rangkaian sistem minimum mikrokontroler telah benar dan dapat digunakan dengan baik saat dihubungkan dengan rangkaian lainnya. Proses ini dilakukan dengan cara menanamkan program yang nantinya akan menampilkan karakter data yang dikirim ke mikrokontroler dan kemudian dilakukan penambahan komponen (input/output) pin-pin pada mikrokontroler tersebut. Data yang dikirim ke mikrokontroler akan ditampilkan pada LCD. Pengujian ini dilakukan pada setiap penambahan komponen ke mikrokontroler tersebut. Tampilan data pada LCD dapat dilihat pada Gambar 5. 201 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 5 Pengujian sistem minimum mikrokontroler ATmega8535 pada bagian penerima. Gambar 5 menunjukan tampilan data yang terbaca oleh mikrokonroler pada bagian penerima. Tiap data menunjukkan gerakan yang dilakukan robot tangan. Pada Gambar 5 terlihat data yang terbaca mikrokontroler yaitu 3, 8, dan 11. Angka 3 merupakan data untuk jari 1, angka 8 merupakan data untuk jari 2, dan angka 11 merupakan data untuk jari 3. 3.5 Pengujian kendali robot tangan menggunakan jari pengendali Pengujian kendali robot tangan menggunakan jari pengendali dilakukan untuk menguji kesesuaian gerakan gerakan robot terhadap posisi jari tangan dari pengendali. Proses pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui data yang dihasilkan dari trimpot menghasilkan data yang dapat diolah oleh mikrokontroler pengendali untuk mengirimkan data ke mikrokontroler penerima. Perubahan data yang dikirim bergantung program yang ditanamkan pada mikrokontroler pengendali. Data yang dikirim oleh mikrokontroler bergantung pada perubahan tegangan yang dihasilkan dari trimpot. (a) (b) Gambar 6 Pengujian rangkaian sensor pada jari pengendali robot (a) Mikrokontroler mengirim angka 1 dan (b) Mikrokontroler mengirim angka 4 Pada Gambar 6 dapat dilihat pada tampilan LCD perubahan nilai data saat posisi jari 1 ditekuk dan posisi jari lurus. Pada saat posisi jari di tekuk, data yang ditampilkan mikrokontroler adalah angka 1, sedangkan pada saat jari dalam keadaan lurus nilai data yang ditampilkan LCD adalah angka 4. Untuk nilai data yang lainnya seperti angka 5 dan 9 merupakan data untuk jari 2 dan jari 3. Untuk gerakan robot tangan dapat dilihat pada Gambar:7. Pada Gambar 7 dapat dilihat pengujian dilakukan dengan mengendalikan gerakan robot tangan menggunakan jari pengendali. Apabila jari dibengkokkan secara perlahan maka akan terlihat gerakan tangan robot mengikuti gerakan tangan. 202 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 Gambar 7 Pengujian kendali robot mengunakan jari pengendali 3.6 Pengujian software pengendali robot dan bluetooth HC-06 Proses selanjutnya yaitu pengujian untuk mengetahui keberhasilan program pengendali robot yang telah diinstal pada handphone android. program pengendali robot dibuat menggunakan program App Inventor. Tampilan program pengendali robot yang telah terinstal pada HP android dapat dilihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 diketahui bahwa ketika tombol angka 1 ditekan maka akan tampil angka 1 pada LCD. Ketika angka 5 ditekan maka akan tampil angka 5 pada LCD setelah angka yang sebelumnya ditekan. Kemudian bila angka 9 ditekan maka berikutnya akan tampil angka 9 pada LCD. HP android LCD (a) (b) (c) Gambar 8 Pengujian transfer data menggunakan aplikasi pengendali robot. (a) menekan tombol 1, (b) menekan tombol 5,(c) menekan tombol 9 3.7 Pengujian jangkauan koneksi dan pengiriman data menggunakan bluetooth Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui jarak jangkauan modul bluetooth HC-06. Ada dua pengujian yang dilakukan untuk mengetahui jarak koneksi bluetooth yang harus diuji yaitu proses pairing dan jangkauan koneksi bluetooth. Proses pairing memiliki jangkauan lebih dekat dari jangkauan koneksi bluetooth. Hasil pengujian pairing dapat dilihat pada Tabel 2. Dari pengujian proses pairing diperoleh data bahwa jarak maksimal bluetooth melakukan pairing adalah 14,2 meter. Untuk jarak yang lebih jauh, bluetooth tidak dapat melakukan pairing. Proses pairing ini sangat diperlukan untuk menghubungkan koneksi bluetooth. Apabila proses pairing tidak berhasil maka bluetooth tidak akan melakukan pengiriman data. 203 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) 2015 Padang, 08 Oktober 2015 – ISBN 978-979-25-1955-6 No 1 2 3 4 5 6 7 Tabel 2 Hasil pengujian jarak proses pairing bluetooth HC-06 Jarak (m) Proses pairing 3,3 Berhasil 6,2 Berhasil 8,9 Berhasil 12,0 Berhasil 14,2 Berhasil 15,5 Tidak berhasil 16,1 Tidak berhasil Setelah melakukan proses pairing, blutooth dapat melakukan pengiriman data, dan kemudian dapat dilakukan pengujian untuk menentukan jarak maksimal pengiriman data bluetooth. Pengujian jangkauan bluetooth ini dilakukan dengan cara mengirimkan data dari bluetooth handphone ke modul bluetooth HC-06 dan memfariasikan jarak antar modul bluetooth. Hasil pengujian jarak pengiriman data pada bluetooth dapat dilihat pada Tabel 3. Dari pengujian pengiriman data dari bluetooth handphone ke modul bluetooth hc-06 dapat diketahui bahwa koneksi bluetooth mampu mencapai jarak 76 meter. Pengujian ini dilakukan di area terbuka tanpa adanya penghalang. No 1 2 3 4 5 6 7 Tabel 3 Hasil pengujian jarak koneksi dan pengiriman data bluetooth HC-06 Jarak (m) Pengiriman data 10,0 Berhasil 50,0 Berhasil 56,4 Berhasil 60,3 Berhasil 70,0 Berhasil 76,3 Berhasil 80,0 Tidak berhasil 3.8 Pengujian daya tembus bluetooth terhadap penghalang Pengujian daya tembus bluetooth terhadap penghalang dilakukan dengan cara meletakkan modul bluetooth di dalam ruangan kemudian melakukan pairing menggunakan handphone yang terletak di luar ruangan. Pengujian dilakukan terhadap 3 jenis ruangan yang yang terdiri dari bahan yang berbeda yaitu ruangan beton, triplek dan kaca. Pengujian dilakukan dengan cara melakukan koneksi dari bluetooth handphone ke modul bluetooth HC-06 yang berada di balik dinding. Hasil pengujian ini diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian daya tembus gelombang elektromagnet yang dipancarkan bluetooth terhadap penghalang No Jenis bahan penghalang Proses koneksi 1 2 3 3.9 Dinding beton Dinding triplek Kaca Tidak tembus Tembus Tembus Pengujian gerakan robot tangan menggunakan HP android Pengujian gerakan robot tangan dapat dilihat pada Gambar 9. Pengujian dilakukan untuk menguji gerakan robot yang dikendalikan menggunakan HP android. Pengujian gerakan robot tangan menggunakan bluetooth hanya dapat dilakukan untuk gerak menutup dan membuka karena program yang ditanamkan pada modul pengendali robot bukan proses pengulangan. Selain itu, pada saat gerakan tangan robot menutup dan membuka, aliran listrik ke motor DC tidak terhenti walaupun gerakannya tertahan. Hal ini dapat mengakibatkan driver motor yang digunakan menjadi panas sehingga driver motor menjadi rusak dan robot tangan tidak dapat bergerak lagi. 204 Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA) Padang, 08 Oktober 2015 - ISBN 978-979-25-1955-6 (a) (b) Gambar 9 Gerakan tangan robot yang dikendalikan dengan bluetooth android (a) membuka dan (b) menutup Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya,seperti pada Maryanto (2004), jari-jari robot digerakkan dengan motor servo. Perubahan gerakan motor servo terbatas yaitu sebesar 90o berdasarkan sinyal masukan motor servo. ADC yang digunakan maryanto berupa IC 0804 merupakan ADC yang terpisah dari mikrokontroler. Pada penelitian Veronica dan Utari (2014) juga mengunakan motor servo untuk menggerakkan jari robot. Untuk sensor pada jari digunakan flek sensor. Perbedaan lain dari penelitian sebelumnya yaitu penggunaan HP android dengan koneksi bluetooth untuk menggerakkan robot tangan. Pada penelitian selanjutnya diharapkan robot tangan dapat digerakan dari jarak jauh dengan menggunakan sarung tangan. IV. KESIMPULAN Pada pengujian gerakan robot menggunakan jari pengendali, robot dapat bergerak sesuai bentuk jari tangan. Pengujian menggunakan program pengendali robot, robot tangan dapat bergerak saat tombol pada aplikasi pengendali robot ditekan dan gerakan robot tangan dapat menutup dan membuka. Pembuatan program pengendali robot berhasil dilakukan sehingga robot tangan dapat digerakkan dengan menekan tombol pada program tersebut. Pengiriman data serial mikronkontroler dapat berjalan dengan baik. Jangkauan maksimum pairing bluetooth HC-06 adalah 14,2 meter dan jarak maksimum pengiriman data mencapai 76,3 meter. DAFTAR PUSTAKA Maryanto., 2004,Tangan Robot Lima Jari Yang Dikendalikan Dari Tangan Manusia, Skripsi, Universitas Surabaya. Veronica, M dan Utari., D. W. 2014, Rancang Bangun Jari Tangan Robot Pengikut Pergerakan Jari Tangan Manusia, skripsi, STMIK GI MDP. Bibby, J dan Necessary, R., 2008, Hands, http:// robonaut.jsc.nasa.gov/R1/sub/hands.asp, diakses pada 10 Februari 2015. 205