PENEGAKAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI PERANAN JURU SITA PENGGANTI (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Bandung dan Bale Bandung) Efa Laela Fakhriah1 Abstrak Asas cepat, sederhana dan biaya ringan dalam proses penyelesaian sengketa perdata sebagaimana diamanatkan oleh peraturan Mahkamah Agung yang menentukan bahwa pengelesaian perkara melalui pengadilan diharapkan dapat diselesaikan paling lama dalam waktu 6 bulan untuk setiap tingkat pengadilan, akan dapat dilaksanakan seandainya kehadiran para pihak terkait di persidangan dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Ketidak hadiran para pihak di persidangan yang akan mengakibatkan bertambah panjangnya waktu penyelesaian sengketa, berkaitan erat dengan acara pemanggilan pihak yang berperkara untuk hadir dipersidangan yang dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti. Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian normatif dan penelitian empirik, karena selain meneliti tentang peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum dan kaedah/peraturan hukum; juga dilakukan penelitian terhadap praktik pelaksanaan pemanggilan yang dilaksanakan oleh juru. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normative, dengan spesifikasi penelitian deskriftif analitis. Juru sita sebagai salah satu perangkat pengadilan yang berperan membantu hakim dalam melakukan penegakan hukum melalui pemeriksaan perkara di pengadilan, antara lain mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan para pihak secara patut yaitu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pemanggilan secara patut yang dilakukan oleh juru sita diharapkan para pihak dapat hadir dipersidangan sesuai waktu yang telah ditentukan, karena tidak ada alasan administratif bagi para pihak untuk tidak hadir dipersidangan, sehingga ketidakhadiran pihak di persidangan tidak menghalangi proses pemeriksaan perkara, pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan dengan acara istimewa sehingga proses penegakan hukum dapat tetap berlangsung. Kata kunci: pemanggilan patut, juru sita, penegakan hukum 1 Bandung Dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran A. Latar Belakang Masalah Pembangunan hukum tidak hanya menyangkut mengenai pembentukan atau pembaruan perundang-undangan saja, melainkan juga meliputi penegakan hukum yang antara lain dilakukan oleh hakim melalui penyelesaian sengketa. Penegakan hukum di sini dengan melihat hakim sebagai manusia yang akan memahami nilainilai hukum dalam masyarakat ketika memeriksa dan memutus sengketa yang diajukan kepadanya. Dalam kaitannya dengan penegakkan hukum oleh hakim ini terdapat dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, yaitu Hukum dan Keadilan. Tugas hakim secara konkrit adalah mengadili perkara, yang pada hakikatnya melakukan penafsiran hukum terhadap realitas, yang dinamakan sebagai penemuan hukum melalui penyelesaian sengketa yang diajukan kepadanya. Penemuan hukum merupakan keseluruhan proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, untuk menetapkan benar atau tidak benar menurut hukum terhadap suatu situasi konkrit berfikir seorang hakim yang diujikan pada hati nurani (dalam memeriksa dan memutus suatu perkara - penulis) .2 Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan baik melalui pengadilan (litigasi) maupun diluar pengadilan (non litigasi). Proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan secara sistematis, dimulai dari pengajuan gugatan oleh penggugat, pengajuan jawaban oleh tergugat, replik, duplik, pembuktian dari pihak-pihak yang berperkara, penyampaian kesimpulan oleh para pihak , dan penjatuhan putusan oleh hakim. Dalam tahap-tahap proses berperkara tersebut, kehadiran para pihak maupun kuasa hukum dalam setiap persidangan sangatlah penting demi kelancaran pemeriksaan perkara, sehingga tidak berlarut-larut dan memerlukan waktu penyelesaian perkara yang panjang. 2 Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 58-60. Kehadiran para pihak di muka persidangan sangat penting, hal ini antara lain disebabkan kerana terdapat asas yang menyatakan bahwa hakim wajib mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), karenanya walaupun para prinsipnya dalam menyelesaikan sengketa perdata yang dilakukan oleh hakim secara yuridis formal yang diperiksa adalah berkas perkara, namun kehadiran para pihak atau kuasa hukumnya di persidangan merupakan suatu keharusan. Ketidakhadiran pihak di persidangan dapat menyebabkan diundurkannya persidangan, dengan sendirinya hal ini akan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa tersebut, yang pada gilirannya dapat mengganggu pada proses penegakan hukum. Di samping itu, keharusan adanya upaya damai antara para pihak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg (het Herziene Indonesische Reglement/Reglement Buiten Geweisten), yang kemudian diperkuat dengan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Mediation in Court), yang menetapkan bahwa terhadap semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan wajib dilakukan mediasi terlebih dahulu; maka kehadiran para pihak dan/atau kuasa hukumnya menjadi suatu keharusan dalam proses mediasi di pengadilan. Hal ini karena yang berdamai haruslah para pihak langsung bukan wakil/ kuasa hukumnya, karena para pihaklah yang dapat mengambil keputusan apakah akan berdamai atau tidak. Untuk berperkara ke pengadilan, para pihak dapat maju sendiri atau mewakilkan pada kuasa hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 123 HIR/Pasal 147 RBg yang antara lain menyebutkan bahwa: “jika dikehendaki, maka kedua belah pihak boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa, ……….”. Oleh karena itu menggunakan kuasa hukum tidaklah merupakan kewajiban bagi para pihak yang berperkara ke pengadilan, melainkan merupakan pilihan para pihak. Meskipun demikian, pengadilan dapat memerintahkan pada kedua belah pihak yang berperkara, meskipun telah diwakili, untuk datang menghadap sendiri di persidangan. (Pasal 123 : 3 HIR/147 :3 RBg) Untuk menghadirkan para pihak maupun kuasa hukumnya dalam persidangan, pengadilan melakukan pemanggilan sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan yang berlaku sebagimana termuat dalam Pasal 121 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 122 HIR/ Pasal 145 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 146 RBg. Pemanggilan terhadap para pihak yang berperkara dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti pada Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut, yang terdiri dari 3 bagian yaitu 3 : 1. Pemanggilan yang dilakukan sebelum pemeriksaan perkara (persidangan) di mulai. 2. Pemanggilan yang dilakukan setelah pemeriksaan perkara (pesidangan) berjalan. 3. Pemanggilan yang di lakukan setelah pemeriksaan perkara selesai dengan acara putusan Hakim terakhir. Menurut Pasal 122 HIR/Pasal 146 RBg , jika para pihak dikatakan telah dipanggil secara patut berarti bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan pemanggilan menurut undang-undang, dimana pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah , dengan memperhatikan tenggang waktu (kecuali dalam hal yang sangat perlu) tidak boleh kurang dari tiga hari kerja 4. Bila para pihak atau salah satu pihak tidak dipanggil secara patut pada hari sidang pertama yang telah ditentukan dan para pihak atau salah satu pihak karenanya tidak hadir di muka persidangan, maka akan berakibat gugatan Penggugat menjadi gugur (bila Penggugat/para Penggugat dan/atau kuasa hukum tidak hadir), sedangkan ketidakhadiran Tergugat di persidangan akan menyebabkan gugatan diputus tanpa 3 Subagyo, Peranan Organisasi Dan Managemen Dalam Badan Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Pejabat Kepaniteraan, Jakarta, 7 Agustus 2001, hlm. 7. Lihat juga Jamanat Samosir, Hukum Acara Perdata (Tahap-tahap Penyelesaian Perkara Perdata), Nuansa Aulia, Jakarta, 2011, hlm.147. 4 Op. Cit, hlm 22. kehadiran Tergugat (verstek). Dalam keadaan demikian maka persidangan dilakukan dengan acara pemeriksaan istimewa (tidak secara contradictoir). Pengadilan dalam memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya, untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya sangat tergantung pada aparat pendukung antara lain yang disebut jurusita/jurusita pengganti. Di lingkungan Peradilan Umum, keberadaan jurusita sudah terdapat sejak zaman Belanda saat pengadilan masih bernama Landraad, sedangkan bagi lingkungan Peradilan Agama keberadaan jurusita masih relatif baru. Tugas yang dibebankan pada jurusita/jurusita pengganti merupakan tugas teknis justisial. Tugas pengadilan yang bersifat teknis justisial pada dasarnya dimulai sejak pendaftaran perkara, management (pengelolan) biaya perkara, penyelesaian administrasi perkara, pengelolaan administrasi perkara, pengiriman atau penerimaan berkas ke Pengadilan Tinggi dan atau Mahkamah Agung (manakala ada upaya hukum banding dan atau kasasi), serta pelaksanaan putusan perkara perdata. Semua tugas berat dan kewajiban yang dilakukan oleh jurusita harus dilakukan dengan patut atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan jurusita/jurusita pengganti, sebaliknya jurusita/jurusita pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugas tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, namun saling memerlukan/melengkapi satu sama lain. Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, seorang jurusita/jurusita pengganti harus menguasai tentang permasalahan-permasalahan kejurusitaan sesuai dengan wewenangnya. Penguasaan terhadap masalah-masalah kejurusitaan menjadi sebuah keharusan karena di dalam prakteknya jurusita/jurusita pengganti selalu dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan tugas tersebut, karenanya dapat terjadi kesenjangan antara teori dan praktek di lapangan. Penelitian tentang pemanggilan para pihak secara patut oleh jurusita pengadilan merupakan tema dan objek yang menarik untuk diteliti karena menghadirkan para pihak dalam proses persidangan merupakan tugas dari jurusita sebagai pelaksana Pengadilan Negeri yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan Pengadilan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang pelu untuk diteliti terkait dengan upaya penegakan hukum, antara lain: 1. Bagaimana pelaksanaan pemanggilan secara patut pada perkara perdata dalam praktik di Pengadilan Negeri di Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Negeri Bale Bandung? 2. Apa akibat hukumnya jika terjadi pemanggilan secara tidak patut dalam praktik penyelesaian sengketa perdata dihubungkan dengan upaya penegakan hukum melalui kinerja hakim dan juru sita/juru sita pengganti? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian normatif dengan penelitian empirik, karena selain meneliti tentang peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum dan kaedah/peraturan hukum; juga dilakukan penelitian terhadap praktik pelaksanaan pemanggilan yang dilaksanakan oleh juru sita/juru sita pengganti dalam penyelesaian suatu perkara di pengadilan. Namun demikian, metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengutamakan untuk meneliti bahan hukum primer untuk mendapatkan data sekunder dengan meneliti asas-asas, kaedah dan peraturan yang berlaku, serta buku-buku tentang hukum acara perdata yang terkait dengan pemanggilan secara patut dan akibat hukumnya bila para pihak tidak dipanggil secara patut, serta kaitannya dengan upaya penegakan hukum. Untuk melengkapi data sekunder sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan studi lapangan dengan meneliti praktik penerapannya melalui wawancara dengan hakim dan juru sita/juru sita pengganti di Pengadilan Bandung dan Pengadilan Bale Bandung. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif analitis yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai pelaksanaan pemanggilan para pihak secara patut yang dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti dalam praktik peradian, yang kemudian dianalisis menurut ketentuan hukum acara perdata positif serta peraturan perundangan terkait lainnya, untuk menemukan hubungannya dengan upaya penegakan hukum Tahapan penelitian yang dilakukan adalah terdiri dari penelitian kepustakaan untuk mendapatkan bahan hukum primer berupa hukum acara perdata positif, yaitu HIR/RBg serta peraturan perundangan terkait lainnya; bahan hukum sekunder, yaitu bahan - bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yaitu literatur bidang hukum acara perdata; dan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain artikel di koran, majalah, dan browsing internet yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Untuk melengkapi data sekunder sebagaimana disebutkan di atas, maka dilakukan juga studi lapangan guna memperoleh data primer melalui teknik wawancara dengan nara sumber yang terdiri dari hakim, juru sita/jurusita pengganti dan juga para pihak yang berperkara atau kuasa hukumnya, mengenai praktik pelaksanaan pemanggilan persidangan perdata di pengadilan. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis data secara normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan pengertian hukum. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif kemudian hasil analisisnya dideskrpsikan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban atas masalah yang diteliti. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pelaksanaan Pemanggilan Secara Patut dalam Penyelesaian Perkara Perdata dalam Praktik di PN Bandung dan PN Bale Bandung. Hukum adalah merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, juga mencakup lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidahkaidah itu dalam kenyataan.5 Norma dan kaedah hukum menggambarkan tatanan hukum materiil sedangkan lembaga dan proses lebih menggambarkan tatanan hukum perdata formal sebagai cara untuk mempertahankan atau melaksanakan hukum perdata materiil. Hukum materiil yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum materiil, khususnya hukum perdata materiil, dapat berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi sering terjadi hukum perdata materiil itu dilanggar sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadi gangguan keseimbangan kepentingan dalam masyarakat, maka hukum perdata materiil yang telah dilanggar itu harus ditegakkan kembali. Untuk menegakkan hukum perdata materiil diperlukan hukum perdata formal yaitu hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.6 Asas-asas hukum bersifat abstrak yang umumnya berada dalam tataran filosofis, sedangkan kaedah hukum merupakan peraturan-peraturan yang sifatnya lebih konkrit. Akan tetapi kaedah atau peraturan hukum tersebut tidak dapat langsung diterapkan pada peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat, untuk 5 Lili Rasjidi - I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 182. 6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 2 menerapkannya terhadap peristiwa konkrit diperlukan lembaga (dalam hal ini pengadilan) dan juga proses yaitu prosedur beracara dalam menyelesaikan sengketa perdata melalui pengadilan. Pengadilan sebagai salah satu bentuk lembaga peradilan, merupakan salah satu bagian dari sistem peradilan terdiri dari sub-sub sistem lainnya seperti aparat penegak hukum di pengadilan, perangkat hukum acara, managemen penenganan perkara di penadilan, serta administrasi berperkara. Aparat penegak hukum terkait di pengadilan meliputi Hakim, Panitera/Panitera Pengganti, Juru Sita/Juru sita Pengganti, dan tenaga administratif lainnya. Sebagai salah satu aparat pendukung peradilan, maka Jurusita menjadi ujung tombak dalam pelaksaan putusan pengadilan yang telah berkekuataan hukum tetap apabila tidak dilaksanakan secara sukarela. Dengan kedudukan seperti itu, tugas juru sita bukan sekedar melakukan penyitaan saja, tetapi lebih luas dan lebih penting seperti pembuatan berita acara persidangan, melakukan pemanggilan terhadap para pihak, pemberitahuan, pengumuman dan sebagainya yang semuanya telah diatur dalam undang-undang.7 Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan. Pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/055/SK/X/1996 mengatur bahwa: a. Dalam hal melakukan eksekusi, Jurusita atau Jurusita Pengganti bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan. b. Dalam hal melaksanakan perintah pemanggilan/penyampaian pengumuman, teguran, protes-protes dan pemberitahuan, Jurusita atau Jurusita Pengganti bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan/Ketua Sidang; c. Dalam hal melakukan sita, Jurusita atau Jurusita Pengganti bertanggung jawab pada Ketua Pengadilan/Ketua sidang. 7 Wahyu Muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 61. Pada intinya bahwa tugas dan wewenang Jurusita/Jurusita pengganti berkaitan erat dengan pemanggilan para pihak. Para pihak haruslah dipanggil secara patut. Menurut Pasal 124 HIR/148 RBg dan Pasal 125 HIR/149 RBg maka yang dimaksud dengan “ telah dipanggil secara patut”, yaitu memenuhi beberapa unsur: a. Bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut undang-undang, yaitu pemanggilan dilakukan oleh Jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak. Pemanggilan dikatakan bertemu langsung apabila Jurusita langsung berhadapan dengan pihak yang bersangkutan. b. Pemanggilan dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah. Apabila pihak yang dipanggil sedang tidak ada di tempat, maka relaas panggilan hanya dapat ditipkan ke kantor pemerintaha (kantor desa, kelurahan, dan kecamatan setempat) atau RT, RW. Menurut peneliti, ketentuan di atas sudah tepat bila dihubungkan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dan untuk mencapai tujuan tercapainya panggilan secara sah dan patut, maka panggilan dapata disampaikan melalui ketua RT bagi pihak pihak yang tidak ditemui di tempat. Hal ini merupakan pengembangan dari Pasal 390 HIR/Pasal 718 Rbg. Bila ditinjau dari aspek sosiologis perkembangan penduduk, saat HIR disusun tahun 1848, jumlah penduduk Indonesia masih memungkinkan harus kepala desa, sedang saat ini demi tercapainya asas cepat maka dengan mengingat sistem yurisprudensi tetap ternyata melalui RT, RW lebih mendekati kenyataan apalagi bila pihak-pihak menerima dengan penyampaian cara tersebut. c. Pemanggilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan tenggang waktu (kecuali dalam hal yang sangat perlu tidak boleh kurang dari 3 hari kerja. Pasal 391 HIR/718 RBg merupakan dasar penentuan jangka waktu panggilan (hari dimana waktu hari panggilan dan hari sidang tidak digunakan). Sementara Pasal 122 HIR/146 RBg merupakan dasar hukum jangka waktu yang harus ada diantara pemanggilan pihak-pihak dan hari sidang (ditentukan tidak boleh kurang dari 3 hari kerja) Cara pemanggilan pihak-pihak yang berperkara diatur dalam Pasal 388 sampai dengan 390 HIR. Dalam Pasal 388 HIR dikatakan bahwa melakukan pemanggilan pihak, pemberitahuan dan penyampaian surat-surat lainnya, juga untuk melakukan perintah hakim dan putusan hakim, merupakan tugas juru sita atau juru sita pengganti. Lebih lanjut Pasal 390 HIR menentukan bahwa surat-surat yang disampaikan juru sita/juru sita pengganti haruslah disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya. Jika tidak dapat bertemu dengan orang yang bersangkutan, maka surat harus disampaikan pada kepala desa setempat dengan maksud agar surat dimaksud sampai ke tangan yang bersangkutan.8 Akan tetapi jika kepala desa tersebut lalai maka tidak terdapat sanksi atas kelalaian tersebut, jika seandainya sungguh tidak disampaikan surat panggilan tersebut maka kepala desa tidak dapat dituntut karenanya. Disampaikan atau tidaknya surat, yang bersangkutan dianggap telah dipanggil secara patut. Apabila pihak yang akan dipanggil untuk hadir dalam persidangan yang bersangkutan ternyata telah meninggal dunia, maka surat panggilan disampaikan kepada ahli warisnya, sedangkan apabila yang bersangkutan tidak diketahui tempat tinggalnya maka panggilan tersebut diumumkan dengan cara menempelkannya pada pintu utama dari ruang sidang hakim pada pengadilan negeri yang memeriksa perkara tersebut.9 Dalam praktik, pemanggilan para pihak yang berperkara menurut ketentuan undang-undang ini dikenal dengan pemanggilan “secara sah dan patut”, atau ada 8 Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm.45. Lihat juga Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Madju, Bandung, 2008, hlm. 94 9 Sudigno Mertokusumo, op.cit, hlm 46 pula menggunakan istilah dipanggil “secara resmi dan patut”. Istilah kata “sah” mengandung pengertian formil dan resmi. Formil artinya panggilan dilakukan dengan surat panggilan dan dilakukan di tempat kediaman yang dipanggil dengan cara langsung kepada yang bersangkutan, sedangkan kata “resmi” panggilan disampaikan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti dan ditandatangani oleh Jurusita tersebut. Kata “patut” pengertiannya tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja. Oleh karena itu kata “sah dan patut” tidak dapat dipisahkan. Pemanggilan para pihak dalam wilayah yurisdiksi dilaksanakan secara resmi dan patut. Secara resmi kemudian dikenal istilah tempat tinggal dan tempat kediaman. Pemanggilan secara patut selayaknya dilakukan di tempat tinggal Tergugat dan atau Penggugat berdasarkan Kartu Tanda Penduduk, sedangkan untuk pemanggilan pihak yang berada di luar yurisdiksi dilakukan dengan yurisdiksi yaitu melalui Departemen Luar Negeri Cq. Dirjen Protokol tembusan Duta Besar dimana pihak-pihak berada 10. Surat panggilan para pihak/relaas merupakan akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang, sehingga para pihak terikat pada surat panggilan tersebut termasuk jurusita, sehingga Jurusita harus betul-betul menyampaikan relaas tersebut kepada pihak yang berkepentingan. Apabila Jurusita tidak bertemu langsung dengan pihak yang bersangkutan, maka panggilan tersebut menjadi tidak sah, bahkan dapat disebut sebagai sebuah tindak penipuan (pemalsuan akta otentik) apabila Jurusita melakukan pemanggilan dengan meminta orang lain untuk menggantikan/mewakili dalam melakukan panggilan.11 10 Wildan Suyuthi Musthofa, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2001. 11 Wawancara dengan Singgih, S.H.,M.H., Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, 18 Nopember 2011 Pukul 09.30 WIB. Berdasarkan wawancara dengan wakil panitera Pengadilan Negeri Bandung12, dalam praktik di PN Bandung pemanggilan para pihak yang dilakukan secara sah dan patut dengan menggunakan rumus 2P3T, artinya panggilan terhadap Penggugat dilakukan 2 kali dan kepada Tergugat 3 kali. Sarana yang digunakan dalam pemanggilan yaitu menggunakan surat/berita acara pemanggilan (disebut juga relaas). Panggilan secara sah dan patut hanya dilakukan pada saat persidangan yang pertama dan selanjutnya panggilan dilakukan setelah persidangan ditutup oleh hakim. Data yang peneliti dapatkan dengan metode wawancara di Pengadilan Negeri Bale Bandung13 juga menunjukkan bagaimana prosedur dan media yang digunakan serta pemahaman yang dimaksud dengan panggilan secara sah dan patut adalah sama dengan data yang didapatkan dari Pengadilan Negeri Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa hakim pada umumnya dan jurusita/jurusita pengganti pada khususnya telah memahami perintah undang-undang dengan baik. Jangka waktu yang digunakan oleh Pengadilan Bale Bandung sehubungan dengan pemanggilan para pihak adalah bila berada dalam wilayah hukum maka dilakukan paling sedikit 3 hari, dan di luar wilayah hukum dengan bantuan (delegasi) yaitu paling sedikit 2 minggu dari penetapan hari persidangan dan 1 bulan apabila di luar wilayah hukum tersebut terlalu jauh sehingga memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Sesungguhnya tugas Jurusita/Jurusita Pengganti melakukan pemanggilan secara patut kepada para pihak untuk bersidang, merupakan upaya pelaksanaan tugas dalam rangka penegakan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum tertentu berjalan 12 Wawancara dilakukan juga dengan Panitera Muda Hukum, Panitera Muda Perdata, serta Panitera Muda Pidana pada tanggal 18 Nopember 2011 Pukul 10.00 WIB 13 Wawancara dengan Panitera Muda Hukum dan Panitera Muda Perdata PN Bale Bandung, 22 Nopember 2011. sebagaimana seharusnya 14 . Bila diterjemahkan lebih lanjut, dalam proses penyelesaian suatu perkara, kehadiran para pihak untuk menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan haruslah dilakukan secara patut atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan oleh aparat pengadilan. 2. Akibat Hukum Jika Terjadi Pemanggilan Secara Tidak Patut Dalam Praktik Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan dihubungkan dengan Penegakan Hukum Ketentuan Pasal 126 HIR memberikan kebebasan kepada hakim, apabila menganggap perlu bila pada sidang pertama baik Penggugat atau Tergugat kesemuanya atau salah seorang dari mereka tidak datang, untuk mengundurkan sidang dan memerintahkan memanggil kembali pihak atau pihak-pihak yang tidak datang sekali lagi. Perintah untuk memanggil yang bersangkutan sekali lagi biasanya dilakukan apabila pihak yang tidak datang itu bertempat tinggal jauh dari gedung tempat pengadilan negeri bersidang. Panggilan untuk kedua kalinya dapat dilakukan apabila panggilan yang pertama dikhawatirkan tidak sampai kepada yang bersangkutan pribadi misalnya dalam hal panggilan telah dilakukan melalui Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Kotamadya, dan sebagainya.15 Kebebasan yang diberikan kepada hakim untuk mengundurkan sidang yang termuat dalam Pasal 126 HIR berarti tidak ada keharusaan untuk menjatuhkan suatu putusan perstek atau putusan gugur, meskipun pihak Tergugat tidak datang. Menurut Pasal 127 HIR menegaskan bahwa apabila pada sidang yang pertama, salah seorang Tergugat tidak datang, pula tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakilnya, dan telah dipanggil secara patut, maka pemeriksaan perkara ditangguhkan pada hari persidangan yang lain. 14 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, http:www.docudesk.com, diakses pada 16 Mei 2011, Pukul 15.10 Wib. Ketentuan dalam HIR di atas menunjukkan bahwa hakim tidak serta merta menjatuhkan putusan perstek ataupun gugur ketika pihak Penggugat ataupun Tergugat tidak hadir, melainkan mengecek apakah telah dipanggil para pihak secara patut dan sah sehingga dapat dilakukan panggilan berikutnya. Putusan perstek dan gugur hanya dapat dijatuhkan bila terbukti para pihak memang tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut. Menurut Soepomo, ketentuan ini agak aneh, oleh karena tidak dapat dimengerti, apa sebabnya pengadilan tidak diberi kesempatan untuk mulai dengan menayakan kepada Tergugat atau para Tergugat yang telah hadir, bagaimana jawaban mereka terhadap gugat, sedang pada hari sidang kemudian pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan dengan dihadiri oleh para Tergugat yang pada sidang pertama tidak datang.16 Menyampaikan surat panggilan sidang dan surat-surat lainnya merupakan tugas dari juru sita/juru sita pengganti. Juru sita/juru sita pengganti dalam sidang pengadilan melaksanakan perintah yang diberikan oleh ketua sidang. Di samping itu, tugasnya meliputi juga penyampaian pengumuman-pengumuman, teguranteguran, protes-protes dan pemberitahuan putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang, melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan dan juga membuat berita acara penyitaan.17 Dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan panggilan kepada para pihak, seringkali Jurusita menghadapi beberapa hambatan karena antara teori dan praktik kadang berbeda. Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa kondisi geografis yang dapat berakibat terlambatnya surat pemberitahuan atau panggilan terhadap pihak – pihak yang berperkara. Bahkan tidak jarang ketika Jurusita melakukan tugas eksekusi atau penyitaan mendapat halangan dari pihak-pihak yang berperkara, terutama pihak yang kalah di pengadilan, meskipun putusan itu telah sesuai dengan hukum dan keadilan, sebagai contoh apabila lebih dari 3 hari, maka pemanggilan 16 R Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT. Pranadya Paramita, Jakarta, 2007, hlm 38 17 op.cit. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. tetap sah namun tidak patut, berdasarkan pertimbangan hakim menentukan jangka waktu hari pemanggilan dengan memperhitungkan tempat persidangan dan tempat pihak yang dipanggil (jarak), meskipun harus melanggar ketentuan yang telah ditetapkan misalnya di wilayah Tual Maluku yang sangat terisolir maka jangka waktu pemanggilan para pihak sebelum persidangan sekitar 2 sampai 3 minggu, paling lama 1 bulan. Apabila ada para pihak (Penggugat dan Tergugat) bertempat tinggal yang sulit dijangkau oleh transportasi seperti adanya hambatan ombak dalam perjalanan laut atau faktor kesulitan alam lainnya maka bila kesulitan itu sifatnya sementara, maka Jurusita membuat berita acara bahwa panggilan tidak bisa dilaksanakan, kemudian panggilan selanjutnya menunggu bila hambatan itu sudah tidak ada. Apabila kesulitan itu tetap dan tidak dapat dihindari, maka panggilan bagaimanapun tetap dilaksanakan dengan sarana komunikasi yang ada dengan biaya dari pihak yang berperkara. Wakil Pengadilan Negeri Bandung memberikan contoh lainnya yaitu ketika surat panggilan disampaikan kepada para pihak bukan di tempat tinggalnya tapi bertemu disuatu tempat yang telah dijanjikan sebelumnya, di relaas pihak akan menandatangani bukti penerimaan panggilan maka panggilan tersebut tetap dianggap patut dan layak, kecuali jika para pihak tidak keberatan secara formil maka panggilan tersebut dianggap resmi dan patut. Peneliti tidak sepaham dengan pendapat di atas. Dengan mengacu pada pengertian sah yaitu formil maka selayaknya panggilan secara patut ditujukan dimana pihak bertempat tinggal, sehingga peneliti berargumentasi bahwa ada panggilan yang dilakukan secara patut ( minimal 3 hari sebelum sidang), dilakukan secara resmi dengan relaas namun tidak formil. Pemanggilan secara patut merupakan ketentuan yang sifatnya memaksa bukan mengatur sehingga harus dilaksanakan, dan ketentuan mengenai hukum acara secara formil harus diatur dalam undang-undang, sehingga apabila terbukti Jurusita melakukan pemanggilan yang tidak patut dan mengakibatkan ketidakhadiran Penggugat/Tergugat, maka biaya pemanggilan yang tidak sah tersebut seharusnya menjadi tanggungan dari Jurusita yang telah melakukan pemanggilan secara tidak sah itu, setidak-tidaknya terhadap Jurusita yang lalai dan tersebut haru diberi teguran dan sanksi secara administratif. Pentingnya pemanggilan secara patut adalah berkaitan dengan tujuan hukum. Sudikno Mertokususmo mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi maka hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).18 Dalam menegakkan hukum, pada dasarnya tidak boleh menyimpang dari aturan yang sudah ditetapkan. Itulah yang dituntut oleh kapastian hukum, masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Dengan adanya kepastian hukum maka penegakan hukum dalam proses peradilan, terkait dengan cara pemanggilan para pihak untuk bersidang akan berjalan dengan semestinya sehingga implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya murah dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan dapat terwujud. Hal ini tidak lain disebabkan karena ketidakhadiran para pihak dapat menyebabkan pengunduran sidang sebab hakim tidak boleh memutuskan secara serta merta perkara menjadi gugur/perstek. Menurut Wakil Pengadilan Negeri Bandung, proses penyelesaian perkara yang berlarut-larut karena faktor utamanya disebabkan karena ketidakhadiran para pihak. Berdasarkan penelitian dokumen (relaas) di Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara 18 yang Inkracht selama tahun 2010-2011 terlihat bahwa Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2008. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012. Jurusita/Jurusita Pengganti telah menerapkan ketentuan undang-undang dalam hal pemanggilan para pihak secara patut, bahkan ada panggilan yang dilakukan 13 hari sebelum pelaksanaan sidang digelar. Sementara penelitian dokumen di Pengadilan Negeri Bale Bandung terhadap perkara yang sudah Inkracht selama waktu 20102011, terlihat banyak yang menerima berkas pemanggilan hanya ditandatangani oleh pihak kelurahan saja, bahkan Pengadilan pernah melakukan pemanggilan secara patut sebanyak 4X (no perkara 75/pdt.G/2011/PN BB), sedangkan untuk perkara dengan nomor 125/Pdt.G/2011/PN BB dilakukan panggilan sejak 23 hari sebelum sidang dilaksanakan. Sesungguhnya dengan melihat kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara teori dan praktik yang berkembang dan dijalankan di pengadilan dimana pemanggilan disesuaikan dengan tingkat kesulitan yang berkaitan dengan demografi dan wilayah tempat tinggal, banyaknya jumlah pihak, dan sebagainya. Jumlah perkara perstek dan gugur, baik di Pengadilan Negeri Bale Bandung maupun Pengadilan Negeri Bandung sangat sedikit jumlahnya hanya sekitar 3-5 setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa memang ketidakhadiran salah satu pihak berasal dari hambatan individu yang bersangkutan bukan karena panggilan tidak patut, karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa hakim tidak serta merta melakukan acara istimewa tetap harus memastikan apakah para pihak telah dipanggil secara patut atau tidak. Namun jika telah ada bukti bahwa pemanggilan dilakukan secara patut berulang-ulang, demi keadilan dan kepastian hukum, hakim akan menjatuhkan putusan perstek bila Tergugat yang tidak hadir dan putusan gugur bila Penggugat yang tidak hadir. Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat. Tugas-tugasnya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan 19. Sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparat pendukungnya untuk dapat menegakkan supremasi hukum, maka jurusita dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Permasalahan kejurusitaan sebagai ujung tombak pengadilan sejak awal perkara digelar hingga saat putusan dibacakan merupakan permasalahan hukum karena diperlukan kepastian setiap fase, karena bila tidak berlandaskan hukum akan mempunyai akibat hukum pula yaitu kerugian bagi para pihak. Adanya kesadaran masyarakat dibidang hukum yang semakin tinggi harus diimbangi oleh kemampuan dan profesionalisme aparat pendukung peradilan sehingga jaminan tegakknya hukum yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat dapat terwujud. E. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan serta uraian pada bab-bab sebelumnya maka peneliti menyimpulkan beberapa hal yaitu: 1. Pelaksanaan Pemanggilan Secara Patut dalam Penyelesaian Perkara Perdata dalam Praktik di Pengadilan Negeri Bandung dan Bale Bandung telah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa yaitu mendasarkan pada ketentuan Pasal 122 HIR bahwa panggilan secara patut dilaksanakan 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang yang pertama dan untuk persidangan selanjutnya Jurusita tidak melakukan panggilan secara patut tetapi diumumkan ketika pelaksanaan sidang ditutup. Akan tetapip dalam beberapa hal yang disebabkan karena faktor-faktor tertentu menyebabkan panggilan para pihak dilaksanakan secara patut, resmi tetapi tidak formil. 19 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional-Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm 13 2. Ketidakhadiran para pihak pada hari sidang yang pertama tidak serta merta menyebabkan pemeriksaan tidak dilaksanakan secara contradictoir (pemeriksaan dengan acara biasa), artinya hakim tidak seharusnya melakukan pemeriksaan perkara dengan acara istimewa dan menjatuhkan putusan perstek bila tergugat tidak hadir dipersidangan, atau putusan gugur bila penggugat tidak hadir dipersidangan. Hakim memiliki kewajiban untuk mengecek alat bukti surat pemanggilan para pihak yang berupa akta otentik (relaas) sehingga memperoleh keyakinan apakah jurusita telah melaksanakan panggilan secara patut dan sesuai dengan profesionalitasnya. Berdasarkan penelitian dokumen dan wawancara di Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Negeri Bale Bandung, kuantitas perkara yang diputus secara gugur dan perstek hanya sekitar 3-5 perkara setiap tahunnya, hal ini membuktikan bahwa Jurusita telah menerapkan hukum (terkait dengan cara pemanggilan pihak untuk bersidang) dengan benar. Dengan kata lain penegakan hukum dalam hal pemanggilan para pihak untuk bersidang di Pengadian Nageri Bandung dan Bale Bandung pada umumnya telah dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti. F. Daftar Pustaka Jamanat Samosir, Hukum Acara Perdata (Tahap-tahap Penyelesaian Perkara Perdata), Nuansa Aulia, Jakarta, 2011. Lili Rasjidi - I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003 Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2009. R Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT. Pranadya Paramita, Jakarta, 2008 Retnowulan Sutantio & Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Madju, Bandung, 2008. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum NasionalDinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012 ---------------------, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2008. --------------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2008. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009 Wahyu Muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012 Wildan Suyuthi Musthofa, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2001 Subagyo, Peranan Organisasi Dan Managemen Dalam Badan Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Pejabat Kepaniteraan, Jakarta, 7 Agustus 2001 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, http:www.docudesk.com. .