BAB V KESIMPULAN Pada pemaparan yang telah saya uraikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat tiga pertanyaan besar yang berusaha dirangkai dalam setiap bab, yakni: (1) mengapa orang bervegan, (2) bagaimana pengalaman mereka menjalankan vegan, (3) perubahan apa yang dirasakan sebelum dan setelah menjadi vegan. Bab ini akan mencoba mengurai benang merah dari penelitian dan analisis yang telah dilakukan. Keenam pelaku vegan yang berada di Yogyakarta menerapkan vegan sejak 5-16 tahun lamanya. Dalam kurun waktu tersebut banyak pengalaman menarik yang kemudian membawa perubahan sosial bagi pelaku vegan. Di kesimpulan dijelaskan kalo di Indonesia atau di jogja vegan menjadi kutur yang baru yang muncul dari perkembangan pola makan. Penganut vegan dapat dikatakan dengan jelas bahwa makanan bagi mereka bukanlah pilihan yang bebas. Terdapat latar belakang yang mendorong mereka memilih secara sadar untuk tidak mengonsumsi jenis makanan yang bersumber dari hewan. Pilihan makanan dalam perjalanannya tidak dapat serta merta sebagai upaya pemenuhan selera. Ada kepentingan-kepentingan yang membuat makanan tidak dapat begitu saja dipilih. Kepentingan-kepentingan tersebut diantaranya berhubungan dengan isu energi, animal rights, dan kebutuhan spiritual. Pada umumnya informan menjalankan vegetarian terlebih dahulu sebelum beralih ke vegan. Kurun waktu mereka menjalankan vegetarian sekitar satu sampai delapan tahun sebelum mereka memutuskan untuk menjadi vegan. 74 Sebagian besar informan menjadi vegan ketika mereka berada di Yogyakarta. Hal ini beralasan karena lingkungan sosial di wilayah ini kondusif untuk menerapkan vegan. Selain itu didukung dengan pilihan kuliner yang variatif dan dapat disesuaikan dengan jenis makanan vegan. Pada saat awal memutuskan untuk menjadi vegan pada umumnya pelaku mendapatkan gesekan dari lingkungan sekitar. Gesekan-gesekan tersebut berupa penolakan dengan berbagai alasan. Diantaranya kekhawatiran mengenai gizi hingga anggapan terlibat dalam aliran keprcayaan tertentu. Anggapan-anggapan berupa dukungan dan kekhawatiran yang melatarbelakangi pada umumnya berasal dari bentukan lingkungan. Pada dasarnya vegan tidaklah semiris oleh apa yang dikhawatirkan ataupun digambarkan oleh lingkungan. Era-era 90-an wajar jika vegan dilihat sebagai sesuatu yang aneh, karena keterbatasan akses informasi pada saat itu. Meskipun demikian tidak jarang yang memberikan apresiasi terhadap keputusan yang diambil. Diantaranya dengan ikut mengecap bagaimana rasanya tidak mengonsumsi daging. Masyarakat yang memiliki anggapan miring mengenai vegan memang beralasan. Jika dilihat secara sosio-kultural, vegan belum sesuai untuk masyarakat di Indonesia. Mengingat banyak perayaan yang melibatkan konsumsi daging. Tidak seperti di Inggris –sekaligus sebagai negara maju– yang merupakan negara pemrakarsa munculnya tren vegan. Meskipun demikian, indikasi kemunculan pengklasifikasian jenis makanan di Yogyakarta sedikit demi sedikit mulai ditandai dengan ragam kuliner berdasarkan jenis makanan. 75 Alasan-alasan yang kini mereka yakini untuk menjadi seorang vegan lebih kepada upaya untuk mensosialisasikan pola makan tersebut kepada lingkungan yang baru, bukan lagi menyoal concern pada hal-hal saat awal memutuskan bervegan. Lambat laun dasar awal yang mendorong mereka untuk bervegan berubah dari waktu ke waktu. Landasan yang dipakai kemudian bergeser ke permasalahan lain. Keenam informan memiliki motivasi yang mengerucut kepada isu moral dan etika. Vegan dapat dilihat sebagai bentuk spiritual alternatif bagi mereka yang memiliki alasan pemenuhan kebutuhan spiritual atau menopang jalannya spiritualitas. Disisi lain, vegan menjadi alat kontrol untuk mengendalikan diri. Mereka merasakan adanya perubahan sifat semenjak merubah pola makan. Dari kedisiplinan dalam menjaga vegan kemudian terbentuk menjadi perilaku yang ajeg. Perubahan sifat setelah bersih dari pola makan hewani yang dirasakan berupa ketenangan, rasa sabar yang meningkat, dan kepekaan terhadap makhluk lain selain manusia. Setelah menjadi vegan, pandangan terhadap beberapa aspek memiliki penafsiran yang berbeda. Dari berbagai pengalaman yang berkaitan dengan lingkungan sosial, mereka kemudian mengkondisikan lingkungan yang sejalan dengan pola hidup vegan. Diantaranya dengan terlibat berbagai kegiatan mengenai vegan, membuat kelompok kecil seperti divisi vegan dalam lembaga kampus, mewajibkan konsumsi di komunitasnya dengan makanan vegetarian, hingga mendirikan rumah makan. Melihat fenomena tersebut, upaya pembentukan “lingkungan baru” dapat dikaitkan atas dampak dari pengalaman mereka tentang prasangka dari 76 lingkungan sekitarnya terhadap vegan. Upaya pembeda (distinction) yang dilakukan oleh vegan dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif untuk vegan sekaligus menunjukkan eksistensinya di dalam masyarakat. Jika pada awalnya “pembeda” itu datang dari lingkungan sekitarnya, namun dalam perjalanannya pelaku vegan turut andil dalam membentuk perbedaan selera yang mereka pilih, kemudian vegan muncul sebagai identitas mereka yang membedakan dengan yang lainnya. 77