PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN IDA BAGUS ANGGA TRIADI 10.8.03.81.41.1.5.060 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR DENPASAR 2014 i PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Oleh : Ida Bagus Angga Triadi NPM : 10.8.03.81.41.1.5.060 Menyetujui Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Hendri Poernomo, drg., M.Biotech NPK:827 003 222 Setiawan, drg., M.Kes., FISID NPK: 19600507 199203 1 001 ii Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara pembuatan skripsi dengan judul: “PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN” yang telah dipertanggung jawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan pada tanggal 26 Februari 2014. Atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan Denpasar, 26 Februari 2014. Tim Penguji Skripsi FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar Ketua, Hendri Poernomo, drg., M.Biotech NPK: 827 003 222 Anggota : Tanda Tangan 1. Setiawan, drg., M.Kes., FISID NPK: 19600507 199203 1 001 1. ................. 2. Putu Sulistiawati Dewi, drg NPK : 827 408 303 2. ................. Mengesahkan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Putu Ayu Mahendri Kusumawati, drg.,M.Kes,FISID NPK : 19590512 198903 2 001 iii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN” ini tepat pada waktunya. Penulis menyusun skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis sangat berterimakasih atas segala hal yang telah penulis dapatkan selama penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. drg. Hendri Poernomo, M.Biotech, selaku dosen penguji dan pembimbing I yang memberikan bimbingan, pengarahan, semangat dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. drg. Setiawan, M.Kes., FISID, selaku dosen penguji dan pembimbing II atas bimbingannya dan saran-saran yang sangat bermanfaat serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. drg. Putu Sulistiawati Dewi, selaku dosen penguji serta masukannya yang sangat berarti pada skripsi ini 4. drg. Putu Ayu Mahendri Kusumawati, M.Kes., FISID, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. iv 5. Kepala Laboratorium Bedah Mulut yang telah mengizinkan penulis dalam melakukan penelitian di Laboratorium Bedah Mulut untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Seluruh civitas akademik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Staf, Dosen dan Karyawan yang telah memberikan bantuan kepada penulis secara langsung maupun secara tidak langsung Terima Kasih kepada Ayahanda, ibunda, Nenek, kakak serta kekasih tersayang JonaJw yang selalu memberi dukungannya, doa, semangat serta materiil yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman: Bang Ben, Risca, Danan, Yollan, Agek, Gung Surya, Karima, Indah, Nanda, Jayak, Rian, Yoga, Pa, dan teman teman BG, teman-teman COC dan angkatan 2010 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu serta kakak-kakak klinik yang telah membantu banyak dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang memerlukan. Denpasar, 26 Februari 2014 Penulis v Pengaruh Efektifitas Penggunaan Sarung Tangan Steril Terhadap Pencegahan Iritasi Rongga Mulut Pasca Pencabutan Gigi Permanen Abstrak Pemakaian sarung tangan dalam praktek kedokteran gigi menjadi keharusan untuk mencegah terjadinya infeksi dari pasien ke operator ataupun sebaliknya, disamping itu penggunaan sarung tangan digunakan untuk mencegah terjadinya iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui sejauh manakah efektivitas sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen semu dengan pendekatan pre test dan post test dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 40 sampel. Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah uji beda yaitu Independen T-test dan Paired T-test. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan yang mengalami iritasi sebanyak 2 orang dan 28 orang yang tidak mengalami iritasi pasca pencabutan gigi permanen dengan menggunakan sarung tangan steril sedangkan dengan tindakan menggunakan sarung tangan non steril yang mengalami iritasi sebanyak 3 orang dari 10 orang sampel kontrol. Berdasarkan perhitungan T-test ditemukan perbedaan tidak bermakna (p>0,05). Dalam penelitian menunjukkan nilai t-hitung sebesar 3,808 dengan p value sebesar 0,001 artinya bahwa penggunaan sarung tangan steril dapat mencegah terjadinya risiko iritasi pada pasien pencabutan gigi permanen. Kata Kunci : Sarung tangan steril, pencabutan gigi, iritasi vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI DAN PENGESAHAN DEKAN ........ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv ABSTRAKSI ........................................................................................................ vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii BAB I BAB II PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................. 1 B. Rumusan masalah ........................................................................ 3 C. Tujuan penelitian .......................................................................... 4 D. Hipotesis ...................................................................................... 4 E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 4 F. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................... 5 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6 A. Ilmu Bedah Mulut ......................................................................... 6 B. Mukosa Mulut ............................................................................... 6 1. Ulserasi Mukosa Mulut ........................................................... 7 2. Penyembuhan Ulserasi ........................................................... 8 C. Ekstraksi Gigi ............................................................................... 10 vii BAB III BAB IV BAB V D. Teknik Asepsis .............................................................................. 24 E. Infeksi Silang ................................................................................ 26 F. Transmisi Perjalanan Penyakit ...................................................... 27 G. Perlengkapan Perlindungan Diri ................................................... 28 H. Sarung Tangan .............................................................................. 32 METODE PENELITIAN ................................................................... 35 A. Rancangan Penelitian .................................................................. 35 B. Populasi dan Sampel .................................................................... 36 C. Identifikasi Variabel ..................................................................... 36 D. Definisi Operasional..................................................................... 38 E. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 38 F. Alat dan Bahan ............................................................................. 39 G. Instrumen Penelitian .................................................................... 39 H. Jalannya Penelitian ...................................................................... 40 I. Analisis Data ................................................................................ 40 J. Alur Penelitian ............................................................................. 41 HASIL PENELITIAN ....................................................................... 42 A. Karakteristik Sampel .................................................................... 42 B. Analisis Data ................................................................................ 42 PEMBAHASAN ................................................................................ 46 viii BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 51 A. Simpulan ....................................................................................... 51 B. Saran .............................................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53 LAMPIRAN ........................................................................................................ 55 ix DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Tingkat terjadinya risiko iritasi dari hari pertama, hari ketiga dan hari ketujuh .................................................................................. 42 Tabel 4.2 Hasil Crosstabulation Kelompok dan Kategori Hasil Penelitian ...... 43 Tabel 4.3 Hasil Uji Independen Sampel Test ..................................................... 44 Tabel 4.4 Hasil Uji Paired Sample Test ............................................................. 44 x DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Mencuci tangan dengan menggunakan sabun anti septik ................. 37 Gambar 3.2 Menggunakan sarung tangan steril .................................................... 37 Gambar 3.3 Alur penelitian ................................................................................... 41 xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Informed Concent ............................................................................ 55 Lampiran 2. Dokumentasi .................................................................................... 56 Lampiran 3. Hasil Analisis Data ........................................................................... 61 xii BAB I PENDAHULUAN G. Latar Belakang Dalam menjalankan tugasnya seorang dokter gigi tidak terlepaskan dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme dalam saliva dan darah pasien. Dalam praktek kedokteran gigi resiko terjadimya infeksi silang yang disebabkan oleh karena bakteri dan virus sangatlah tinggi. Rawannya infeksi silang antara pasien dengan dokter gigi atau pasien dengan pasien, dapat terjadi karena pekerjaan seorang dokter gigi langsung berkontak dengan saliva dan darah pasien (Wibowo dkk, 2009). Penyebaran infeksi memiliki beberapa sumber infeksi yang diantaranya adalah darah, saliva atau jaringan yang merupakan sumber dari infeksi tersebut berasal. Infeksi juga dapat menyebar di tempat praktek melalui kontak langsung, kontak tidak langsung, inhalasi langsung atau tidak langsung, autoinoklasi dan ingesti ( Wibowo dkk, 2009). Ilmu bedah mulut merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan bedah mayor, minor maupun eksodonsia. Hampir semua tindakan bedah mulut melibatkan darah dan saliva sehingga inilah yang menyebabkan dokter gigi harus di perhatikan keselamatan dirinya dengan cara menerapkan proteksi diri sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi silang. 1 2 Perlengkapan perlindungan diri yang biasa digunakan petugas kesehatan gigi harus menutupi bagian tubuh mulai dari kepala hingga telapak kaki. Perlengkapan ini mulai dari tutup kepala, masker, sarung tangan, pelindung mata, gaun dan alas kaki. Perlengkapan ini tidak harus digunakan secara bersamaan, tergantung dari tingkat resiko yang mengerjakan, prosedur dan tindakan medis serta perawatan (Darmadi, 2008). Sarung tangan akan menjadi pelindung bagi semua pekerja kesehatan dan hal yang terpenting pada pemakaian sarung tangan adalah dalam pencegahan infeksi di rongga mulut pada pasien. Infeksi itu bisa disebabkan oleh jenis sarung tangannya yang steril atau yang non-steril dan sampai saat ini diperlukan penggunaan teknik perlindungan selama perawatan pasien. Sarung tangan steril yang pada umumnya tidak digunakan secara rutin ketika prosedur pencabutan gigi dilakukan, sekarang sudah bisa digunakan secara rutin karena diterima sebagai pertahanan yang baik terhadap infeksi silang antara operator dengan pasien selain itu bertujuan untuk menjaga sterilitas selama operasi dan untuk meminimalkan infeksi pascaoperasi (Lata, 2012). Sarung tangan dapat berupa single-use-disposable non sterile exam gloves atau single-use-diposable sterile surgical gloves yang dapat digunakan dalam mulut pasien dan digunakan untuk mencegah kontaminasi tangan petugas kesehatan (Kohli dan Puttaiah, 2007). 3 Material pada sarung tangan umumnya terbuat dari tiga bahan dasar yaitu natural rubber latex (NRL), dan dua bahan sintetis akrilonitril-butadiene (nitril), dan polyninyl chloride (vinyl, PVC) dan sarung tangan lateks merupakan sarung tangan yang paling banyak digunakan, karena harganya yang cukup terjangkau dan mudah dicari sehingga memungkinkan penggantian sarung tangan pada setiap pasien (Smith,2008). Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengatahui tentang pengaruh efektifitas penggunaan sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Dengan diketahui efektifitas sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar diharapkan kedepannya pemilihan sarung tangan yang tepat pada perawatan pencabutan gigi untuk meminimalisir penyebaran mikroorganisme patogen kepada pasien sebagai salah satu cara pencegahan terhadap infeksi silang dan iritasi jaringan lunak dalam rongga mulut. H. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah penelitian yaitu : Apakah terdapat pengaruh pada penggunaan sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi 4 permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar? I. Tujuan penelitian Untuk mengetahui sejauh manakah pengaruh efektifitas sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. J. Hipotesis Dari tujuan diatas, dapat ditulis hipotesis sebagai berikut : 1. Bahwa terdapat adanya pengaruh pada penggunaan sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 2. Bahwa penggunan sarung tangan steril lebih efektif dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 5 K. Manfaat Penelitian 1. Dapat memberikan informasi dan menambahkan pengetahuan tentang penggunaan sarung tangan steril dalam pecegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen pada institusi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 2. Dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat terhadap pentingnya penggunaan sarung tangan dalam pengaplikasian perawatan pencabutan gigi. L. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Peneliti membatasi penelitian ini pada : 1. Sarung tangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarung tangan steril yang berbahan dasar latex. 2. Untuk mengetahui efektifitas sarung tangan steril pasca pencabutan gigi permanen hanya dilihat dengan pengamatan langsung dan tidak melalui uji laboratorium. 3. Penelitian ini hanya dilakukan pada pasien dengan indikasi pencabutan gigi permanen seperti : kelainan periodontal, infeksi odontogen, sisa akar dan pulpitis irreversible. 4. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan sarung tangan steril, pada penelitian ini tidak menghiraukan iritasi yang terjadi pada tangan operator tetapi hanya melihat iritasi yang terjadi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen. BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Ilmu Bedah Mulut Ilmu Bedah Mulut merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan bedah di dalam rongga mulut baik berupa minor, mayor dan tindakan pencabutan gigi atau eksodonsia. Ilmu bedah mulut disebut dengan oral surgery. Menurut American Dental Association (1990) seorang dokter gigi yang ahli dalam bidang Ilmu Bedah Mulut disebut dengan spesialis Ilmu Bedah Mulut dan Maksillofasial (Oral and Maxillofacial Surgery) yakni spesialisasi di bidang kedokteran gigi, yang meliputi diagnosis, perawatan bedah dan ajuan penyakit, cedera dan cacat yang melibatkan aspek fungsional dan estetika dari jaringan keras dan lunak di daerah rongga mulut dan maksilofasial. J. Mukosa Mulut Mukosa adalah lapisan basah yang berkontak dengan lingkungan eksternal, yang terdapat pada saluran pencernaan, rongga hidung, dan rongga tubuh lainnya. Pada rongga mulut, lapisan ini dikenal dengan oral mucous membrane atau oral mucosa. Oral mukosa dapat berfungsi sebagai : proteksi, sensasi dan sekresi. Berdasarkan struktur perbedaan regional, diferensiasi dan kecepatan pergantian sel, maka mukosa mulut diklasifikasikan dalam tiga tipe : mukosa penutup yaitu mukosa yang menutupi sebagian besar rongga mulut 6 7 termasuk bibir, pipi dan basal prosesu alveolaris, forniks vestibulum, dasar mulut, permukaan ventral lidah dan palatum molle. Epitel mukosa ini sebagaian besar adalah epitel gepeng yang berlapis non-keratin. Lamina proprianya adalah jaringan ikat jarang dan sangat kaya dengan pembuluh darah serta mengandung kolagen dan elastin. Mukosa mastikasi, yaitu mukosa yang menutupi palatum dan prosesus alveolaris (gingiva). Epitel mukosa ini biasanya epitel gepeng yang berlapis berkeratin, lamina proprianya adalah jaringan ikat kolagen padat dengan vaskularisasi sedang. Mukosa khusus, yaitu mukosa dorsal lidah yang berfungsi sebagai penegecap (Chrismawaty, 2006). Aliran darah yang melewati mukosa mulut yang terbesar adalah pada gingiva, tetapi semua regiao mukosa mulut, aliran darah lebih besar dari pada kulit. Pada kulit pembuluh darah dan aliran darah berperan dalam regulasi temperature, tetapi tidak pada mukosa rongga mulut manusia. Mukosa rongga mulut tidak memiliki cukup arteriovenous shunts (substitusi system arterivena) tetapi memiliki banyak arteri dan kapiler yang beranastomosis dan berkontribusi terhadap kemampuannya untuk sembuh lebih cepat daripad kulit setelah injury (Chrismawaty, 2006). 3. Ulserasi Mukosa Mulut Ulserasi adalah keadaan jaringan lunak mulut yang kehilangan epitel yang terjadi akibat trauma mekanis atau khemis seperti obat-obatan dan bahan allergen. Ada dua jenis kondisi ulserasi yaitu ulserasi akut reaktif dan ulserasi kronik reaktif. Gambaran klinis menunjukan gejala 8 inflamasi akut termasuk rasa sakit, kemerahan, dan pembengkaan. Area ulserasi ditutupi eksudat fibrin yang berwarna putih kekuningan dan dikelilingi daerah kemerahan. Sedangkan ulserasi kronik, terjadi sedikit atau tanpa rasa sakit. Area ulserasi ditutupi membran kuning dan dengan tepi yang sedikit menonjol yang menandakan adanya hyperkeratosis. Gambaran histopatologik ulserasi akut menunjukan hilangnya permukaan epitel yang diganti oleh jaringan fibrin yang sebagian besar mengandung neotrofil. Bagian dasar menunjukan dilatasi kapiler dan pembentukan jaringan granulasi. Sedangkan pada ulserasi kronik tampak jaringan granulasi dengan jaringan parut di bagian yang lebih dalam (Yusran, 2007). 4. Penyembuhan Ulserasi Menurut Yusran (2007) tahap penyembuhan dapat dibagi menjadi tiga yaitu tahap inflamasi, tahap fibroplastik dan tahap remodeling. a. Tahap inflamasi dimulai saat terjadi injuri jaringan dan saat tidak ada faktor lain yang memperpanjang inflamasi yang berlangsung selama 37 hari. Ada dua fase pada tahap inflamasi yaitu fase vaskuler yang dimana fase ini dimulai dengan vasokonstriksi awal pembuluh darah yang terganggu akibat dari normal vascular tone. Vasokonstriksi ini memperlambat aliran darah ke area injury dengan terjadinya koagulasi darah. Dalam beberapa menit, histamin dan prostagladin E1 serta E2 bergabung dengan sel darah putih, menyebbkan vasodilatasi dan membuka ruangan kecil antara sel endotel, sehingga plasma 9 berkumulasi pada area injury yang berfungsi sebagai kontaminan. Pengumpulan cairan ini disebut dengan edema. Tanda utama inflamasi adalah eritema (rubor), edema (tumor), panas (kalor), dan rasa sakit (dolor) serta hilangnya fungsi ( functi laesa). Rasa panas dan eritema disebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Pembengkakan disebabkan oleh transudasi cairan. Rasa sakit dan hilangnya fungsi disebabkan oleh pelepasan histamin, kinin, dan prostagladin yang dibebaskan oleh leukosit, seperti akibat tekanan edema. b. Tahap fibroplastik yaitu serabut serabut fibrin yang berasal dari koagulasi darah, akan tetapi menutup luka dengan membentuk anyaman dimana fibroblas dapat memulai meletakkan substansi dasar dan tropokolagen. Substansi dasar terdiri dari dari bebrapa mukopolisakaridayang bertindak menguatkan kolagen. Fibroblas menyebabkan perubahan bentuk dan sirkulasi sel mesenkim pluropotensial sehingga dimulai produksi tropokolagen pada hari ketiga dan hari keempat setelah injury. Fibroblas juga mensekresikan fibonectin, suatu protein yang memiliki banyak fungsi. c. Tahap remodelling merupakan tahap akhir penyembuhan luka. Pada tahap ini serta kolagen secara acak dihancurkan dan digantikan dengan serat kolagen baru dengan orientasi lebih baik dalam menahan tensile force luka. Wound strength meningkat lambat tapi tidak sebesar peningkatan pada tahap fibroplastik. Kekuatan luka tidak pernah lebih 10 dari 80-85% dari jaringan yang tidak mengalami injury. Karena serat kolagen yang berorientasi baik lebih efisien, maka hanya dibutuhkan sedikit, sehingga kelebihan kolagen dihilangkan, dan luka yang memungkinkan jaringan parut menjadi lebih lunak. Saat metabolism luka menurun, vaskularisasi juga menurun, sehingga eritema hilang. Elastin yang ditemukan pada kulit normal dan ligamen tidak digantikan selama penyembuhan luka, sehingga injury pada jaringan tersebut menyebabkan hilangnya fleksibilitas sepanjang jaringan parut. Kontraksi luka adalah proses akhir yang dimulai pada akhir tahap fibroplastik dan berlangsung selama awal remodeling. Pada beberapa kasus, kontraksi luka berperan pada penyembuhan luka. Walau mekanismenya belum jelas, selama kontraksi luka, bagian tepi luka bermigrasi kearah satu sama lainnya. Pada luka yang tidak atau tidak akan digantikan oleh proses aposisi, kontraksi luka akan mengurangi ukuran luka. K. Ekstraksi Gigi Ekstraksi gigi adalah tindakan yang paling sederhana di bidang bedah mulut dan merupakan tindakan yang sehari-hari dilakukan oleh seorang dokter gigi. Walaupun merupakan tindakan yang biasa dilakukan, tetapi kemungkinan terjadinya komplikasi pasca ekstraksi gigi dapat terjadi setiap saatEkstrasi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang 11 alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik pembedahan (Santoso, 2009). Situasi yang tidak diinginkan sering dihadapi di dalam praktek dokter gigi yang disebabkan kesalahan dokter gigi, kesalahan pasien atau faktorfaktor lain. Pada umumnya ekstraksi gigi selalu berhasil dan tidak menimbulkan komplikasi. Walaupun demikian, tidak selamanya ekstraksi gigi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena kadang-kadang dokter gigi menemukan kesukaran sewaktu ekstraksi gigi sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama (Fragiskos FD, 2007). Respon pasien tertentu dianggap sebagai kelanjutan yang normal dari pembedahan, yaitu perdarahan, rasa sakit dan edema. Tetapi apabila berlebihan, perlu dipikirkan lagi apakah termasuk morbiditas yang biasa ataukah komplikasi. Pencegahannya tergantung pada pemeriksaan riwayat, pemeriksaan menyeluruh, foto rontgen yang memadai, dan formula rencana pembedahan yang memuaskan. Tanpa memandang pengalaman dokter gigi, kesempurnaan persiapan dan keterampilan dokter gigi, komplikasi masih bisa terjadi pada situasi perawatan tertentu. Karena itu komplikasi tertentu kadangkadang tidak terhindarkan (Pedersen, 1996). Trauma pada ekstraksi gigi adalah hal yang mungkin terjadi dan tidak asing lagi. Penting bagi dokter gigi untuk mengontrol tenaga saat ekstraksi gigi agar tidak berlebihan atau kasar sehingga terhindar dari trauma yang besar. Pada ekstraksi gigi yang sulit, kadang-kadang dibutuhkan tenaga yang besar sehingga dapat menimbulkan trauma yang besar pada jaringan di sekitar 12 gigi baik jaringan lunak maupun jaringan keras. Hal ini membuat rasa tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan ketakutan pasien. Jika trauma yang besar pada ekstraksi gigi terjadi, hal yang paling penting bagi dokter gigi adalah dapat menguasai dirinya untuk tetap tenang agar tidak memperparah keadaan. Karena pasien, jika sadar, biasanya cepat untuk memperhatikan kekacauan yang terjadi pada dirinya dan menjadi khawatir (Rounds, 1962). Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari perlekatan jaringan lunak menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar menggunakan tang ekstraksi. Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep, pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke tempat semula dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk ekstraksi gigi erupsi yang merupakan indikasi, misalnya gigi berdesakan. Ekstraksi gigi dengan teknik pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa diekstraksi dengan menggunakan teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis (Sicklick, 2009). 1. Indikasi Ekstraksi Gigi Tujuan dokter gigi adalah menciptakan rongga mulut yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik sampai akhir pertumbuhan gigi. Walaupun demikian, ekstraksi gigi penting dilakukan dengan berbagai alasan. 13 a. Karies Besar Gigi yang mahkotanya sudah sangat rusak dan tidak dapat direstorasi lagi. b. Nekrosis Pulpa Gigi dengan pulpitis irreversible yang perawatan endodonti tidak dapat dilakukan lagi atau merupakan kegagalan setelah dilakukan perawatan endodonti. c. Penyakit Periodontal Periodontitis dewasa yang berat dan luas akan menyebabkan kehilangan tulang berlebihan dan mobiliti gigi yang menetap. d. Gigi Retak Gigi yang retak atau mengalami fraktur akar yang biasanya menyebabkan nyeri hebat dan tidak dapat dikendalikan dengan perawatan endodonti. e. Gigi Malposisi Gigi yang dapat menyebabkan trauma jaringan lunak dan posisinya tidak dapat diperbaiki dengan perawatan orthodonti. f. Gigi Terpendam Apabila gigi terpendam menimbulkan masalah dan menyebabkan gangguan fungsi normal dari pertumbuhan gigi, maka gigi terpendam ini diekstraksi. 14 g. Gigi Berlebih Dapat mengganggu pertumbuhan gigi geligi normal atau menyebabkan gigi berjejal berat dan estetis yang kurang pada gigi anterior. h. Gigi yang berkaitan dengan lesi patologis Ekstraksi dengan lesi patologis harus dengan pembuangan lesinya i. Gigi Persistensi Gigi Desidui yang sudah waktunya tanggal tetapi masih kuat dan gigi penggantinya sudah erupsi. Biasanya gigi desidui mengalami resorbsi sehingga akan goyah, tetapi pada gigi desidui yang gangren tidak mungkin terjadi resorbsi atau karena kondisi kesehatan dari pasien maka gigi desidui itu masih tetap tertanam dalam tulang alveolar. j. Keperluan Orthodonti Ekstraksi gigi premolar dilakukan untuk perawatan orthodonti dengan pertumbuhan gigi yang berjejal. k. Ekstraksi Preprostetis Untuk keperluan pembuatan protesa dilakukan ekstraksi gigi. l. Preradioterapi Pasien yang akan mendapatkan perawatan radioterapi pada rongga mulutnya harus dilakukan ekstraksi gigi terlebih dahulu pada gigigigi yang merupakan indikasi pada daerah yang akan diradioterapi. 15 2. Kontraindikasi Ekstraksi Gigi Walaupun gigi memenuhi persyaratan untuk dilakukan ekstraksi, pada beberapa keadaan tidak boleh dilakukan ekstraksi gigi karena beberapa faktor atau merupakan kontraindikasi ekstraksi gigi seperti : a. Penderita penyakit jantung, hipertensi, arteriosklerosis, dan diabetes mellitus kontraindikasi pada pemberian adrenalin Adrenalin pada ekstraksi gigi merupakan kontraindikasi pada penderita penyakit jantung, hipertensi, arteriosklerosis dan diabetes melitus. b. Penderita Trombositopenia Penderita trombositopenia memiliki jumlah trombosit lebih sedikit dari normal sehingga darah sukar membeku. Seperti yang telah diketahui bahwa trombosit penting artinya dalam pembekuan darah. c. Penderita Leukemia Penderita leukemia memiliki jumlah leukosit yang lebih banyak dari normal dalam darah sehingga mudah mengalami perdarahan. d. Kaheksi Penderita memiliki keadan umum yang sangat buruk karena malnutrisi atau sesudah menderita penyakit yang lama dan berat. Akibatnya semua keadaan menjadi jelek, perdarahan banyak, penyembuhan luka lambat dan dengan suntikan atau sedikit trauma 16 ia dapat kolaps. Ekstraksi gigi ditunda sampai keadaan umum penderita lebih baik. e. Penderita Hemofilia Merupakan penyakit atau kelainan susunan darah yang bersifat herediter dan hanya terdapat pada laki-laki. Apabila penderita mendapatkan luka, maka darahnya tidak dapat membeku. Hal ini disebabkan oleh trombosit tidak dapat pecah kalau berhubungan dengan udara karena kekurangan zat antihemofilia dalam serum, sehingga darah akan terus mengalir. f. Kehamilan Ekstraksi gigi merupakan kontraindikasi pada trimester pertama, karena keadaan umum ibu hamil pada trimester pertama sering sangat lemah dan dalam masa pembentukan janin. g. Peradangan di sekitar Gigi Apabila terdapat peradangan di sekitar gigi, maka ekstraksi gigi adalah kontraindikasi. Ekstraksi gigi dapat dilakukan jika inflamasinya sudah sembuh. 3. Prinsip Ekstraksi Gigi Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-prinsip yang akan memudahkan dalam proses ekstraksi gigi dan memperkecil terjadinya komplikasi ekstraksi gigi (Harper & Row, 1985). 17 a. Asepsis Untuk menghindarkan atau memperkecil bahaya inflamasi, seharusnya bekerja secara asepsis, artinya melakukan pekerjaan dengan menjauhkan segala kemungkinan kontaminasi dari kuman atau menghindari organisme patogen. Asepsis secara praktis merupakan suatu teknik yang digunakan untuk memberantas semua jenis organisme. Tindakan sterilisasi dilakukan pada tim operator, alat-alat yang dipergunakan, kamar operasi, pasien terutama pada daerah pembedahan. b. Pembedahan atraumatik Pada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara hati-hati, tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti, sehingga membuat trauma sekecil mungkin. Tindakan yang kasar menyebabkan trauma jaringan lunak, memudahkan terjadinya inflamasi dan memperlambat penyembuhan. Peralatan yang digunakan haruslah tajam karena dengan peralatan yang tumpul akan memperbesar terjadinya trauma. c. Akses dan lapangan pandang baik Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan pandang yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor tersebut adalah posisi kursi, posisi kepala pasien, posisi operator, pencahayaan, retraksi dan penyedotan darah atau saliva. Posisi kursi harus diatur untuk mendapatkan akses terbaik dan 18 kenyamanan bagi operator dan pasien. Pada ekstraksi gigi maksila, posisi pasien lebih tinggi dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi lebih rendah sehingga pasien duduk lebih menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan lantai. Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih rendah dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi tegak dan dataran oklusal terendah sejajar dengan lantai. Pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar daerah operasi dapat terlihat dengan jelas tanpa bayangan hitam yang membuat gelap daerah operasi. Retraksi jaringan juga dibutuhkan untuk mendapatkan lapangan pandang yang jelas. Daerah operasi harus bersih dari saliva dan darah yang dapat mengganggu penglihatan ke daerah tersebut sehingga dibutuhkan penyedotan pada rongga mulut. d. Tata Kerja Teratur Bekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal mungkin dengan mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting untuk mengetahui cara kerja yang berbeda untuk setiap pembedahan, sehingga dapat menggunakan tekanan terkontrol sesuai dengan urutan tindakan. 19 4. Macam-Macam Teknik Ekstraksi Gigi Menurut Bakar (2002), teknik ekstraksi gigi dibagi menjadi yaitu : a. Closed Methods atau simple technique yaitu, teknik pencabutan gigi tanpa pembedahan, hanya mengguanakan prosuder pencabutan dengan menggunakan tang, elevator maupun kombinasi dari keduanya. b. Open Method adalah suatu teknik pencabutan gigi dengan menggunakan prosedur bedah (surgical extraction) yang biasa disebut dengan istilah pencabutan trans-alveolar, yang biasanya didahului dengan pembuatan flap maupun alveolectomi. 5. Komplikasi Pasca Pencabutan Gigi Setelah dilakukan tindakan ekstraksi, biasanya sering diikuti adanya komplikasi. Komplikasi-komplikasi pada pencabutan gigi banyak dan bermacam-macam. Komplikasi pasca esktraksi ini bisa menjadi masalah yang serius dan fatal.Menurut Pedersen (1996), komplikasi adalah suatu respon pasien tertentu yang dianggap sebagai kelanjutan normal dari pembedahan, yaitu perdarahan, rasa sakit, danedema. Tetapi apabila berlebihan maka perlu ditinjau apakah termasuk morbiditas yang biasa terjadi atau termasuk komplikasi. Komplikasi pencabutan gigi menurut Pedersen (1996) dibagi menjadi tiga yaitu komplikasi intraoperatif, komplikasi pasca bedah, dan komplikasi beberapa saat setelahoperasi. Komplikasi intraoperatif berupa perdarahan, fraktur, pergeseran, cederajaringan lunak, dan cedera saraf. Sedangkan komplikasi pasca bedah 20 berupaperdarahan, rasa sakit, edema, dan reaksi terhadap obat. Dan yang termasuk komplikasibeberapa saat setelah operasi adalah alveolitis (dry socket) dan infeksi. Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai sebab dan bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. Komplikasi tersebut kadang-kadang tidak dapat dihindarkan tanpa memandang operator, kesempurnaan persiapan dan keterampilan operator. Pada situasi perawatan tertentu sekalipun persiapan pra operasi telah direncanakan sebaik mungkin untuk mencegah atau mengatasi kemungkinan timbulnya kesulitan melalui hasil diagnosis secara cermat dan operator telah melaksanakan prinsip-prinsip bedah dengan baik selama pencabutan gigi (Karasutisna, 2002). Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya komplikasi diantaranya karena kondisi sistemik dan lokal pasien serta keahlian, keterampilan dan pengalaman operator serta standar prosedur pelaksanaan juga mempengaruhi. Menurut Pedersen (1996) terdapat berbagai macam komplikasi yang dapat terjadi pasca pencabutan gigi, seperti: a. Perdarahan Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling ditakuti oleh dokter maupun pasien karena dianggap dapat mengancam hidup. Pasien dengan gangguan pembekuan darah sangatlah jarang ditemukan, kebanyakan adalah individu dengan penyakit hati, misalnya seorang alkoholik yang menderita sirosis, pasien yang 21 menerima terapi antikoagulan, atau pasien yang mengkonsumsi aspirin dosis tinggi atau agen antiradang nonsteroid. Semua itu mempunyai resiko perdarahan. b. Infeksi Meskipun jarang terjadi tetapi hal ini jangan dianggap sepele. Bila terjadi dokter gigi dapat memberikan resep berupa antibiotik untuk pasien yang beresiko terkena infeksi. c. Pembengkakan Keadaan ini terjadi akibat perdarahan yang hebat saat pencabutan gigi. Ini terjadi karena bermacam hal seperti; kelainan sistemik pada pasien. d. Dry socket Kerusakan bekuan darah ini dapat disebabkan oleh trauma pada saat pencabutan gigi (pencabutan dengan komplikasi), dokter gigi yang kurang berhati-hati penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan kortikosteroid dan suplai darah (suplai darah di rahang bawah lebih sedikit daripada rahang atas). Kurangnya irigasi saat dokter gigi melakukan tindakan juga dapat menyebabkan dry socket. Gerakan menghisap dan menyedot seperti kumur-kumur dan merokok segera setelah pencabutan dapat mengganggu dan merusak bekuan darah. e. Rasa sakit Rasa sakit paska operasi akibat trauma jaringan keras dapat berasal dari cederanya tulang karena terkena instrumen atau bur yang terlalu panas selama pembuangan tulang. Dengan mencegah kesalahan teknis 22 dan memperhatikan penghalusan tepi tulang yang tajam, serta pembersihan soket tulang setelah pencabutan dapat menghilangkan penyebab rasa sakit setelah pencabutan gigi. f. Fraktur 1) Fraktur mahkota gigi Selama pencabutan mungkin tidak dapat dihindari bila gigi sudah mengalami karies atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bila tang di aplikasikan pada mahkota gigi bukan pada akar atau massa akar gigi atau dengan sumbu panjang tang yang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Bila operator memilih tang dengan ujung terlalu lebar dan hanya memberikan kontak 1 titik gigi dapat pecah bila tang ditekan. Bila tangkai tang tidak dipegang dengan kuat, ujung tang mungkin terlepas dari akar dan mematahkan mahkota gigi. Terburu-buru biasanya merupakan penyebab dari semua kesalahan, yang sebenarnya dapat dihindari bila operator bekerja sesuai metode. Pemberian tekanan berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi tidak dianjurkan dan bisa menyebabkan fraktur mahkota gigi. 2) Fraktur tulang alveolar Dapat terjadi pada waktu pencabutan gigi yang sukar. Bila terasa bahwa terjadi fraktur tulang alveolar sebaiknya giginya dipisahkan 23 terlebih dahulu dari tulang yang patah, baru dilanjutkan pencabutan. 3) Fraktur yang bersebelahan atau gigi antagonis Gigi antagonis bisa pecah atau fraktur bila gigi yang akan dicabut tiba-tiba diberikan tekanan yang tidak terkendali dan tang membentur gigi tersebut. Teknik pencabutan yang terkontrol dapat mencegah kejadian ini. 4) Fraktur mandibula atau maxilla Kondisi ini terjadinya fraktur (patah tulang) yang tidak diharapkan dari bagian soket gigi atau bahkan tulang mandibula atau maksila tempat melekatnya tulang alveolar berada. Paling umum terjadi dikarenakan kesalahan teknik operator saat melakukan pencabutan gigi. Oleh karena itu operator diharuskan memiliki teknik yang benar dan bisa memperhitungkan seberapa besar penggunaan tenaga saat mencabut gigi dan cara menggunakan alat dengan tepat. 6. Syok Syok memiliki gejala atau tanda seperti hipotensi, denyut nadi tidak tentu, sianosis pada bibir, laju pernafasan meningkat dan agitasi. Pada gejala ini bisa dilakukan pencegahan dengan tindakan memperbaiki jalan nafas, memriksa fungsi kardiofaskuler, amati perubahan tingkat kesadaran, monitor,catat tekanan darah dan denyut nadi (Bakar, 2002). 24 L. Teknik Asepsis Infeksi nosokomial timbul secara berkelanjutan dalam seluruh bidang pemeliharaan kesehatan. Resiko dari infeksi nosokomial dapat dengan mudah dikurangi dengan memahami dan melakukan teknik aseptic. Manusia merupakan sumber alamiah untuk mikroba, dimana seluruh mikroba dapat menjadi sumber untuk terjadinya suatu infeksi (Samaranayake, 2002). Pengontrolan mikroorganisme pada jaringan hidup dengan agen kimia diperlukan. Antisepsis adalah pencegahan infeksi atau sepsis dan didapatkan dengan antiseptik. Bahan kimia diaplikasikan pada jaringan untuk mencegah infeksi dengan membunuh atau menghambat pertumbuhannya, juga mengurangi jumlah total populasi mikroba. Agar tidak merusak jaringan host terlalu banyak, maka antiseptik umumnya tidak memiliki kemampuan toksik sebesar desinfektan (Samaranayake, 2002). Asepsis merupakan suatu tindakan untuk mengurangi jumlah mikroba semaksimal mungkin. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran mikroba dari orang yang satu terhadap yang lainnya. Usaha dilakukan untuk menjaga agar lingkungan dari pasien dibebaskan dari kontaminasi dan juga pasien dibebaskan dari koloni mikroba dan asepsis merupakan keadaan yang bebas dari infkesi, karena itu teknik aseptik digunakan untuk menggambarkan langkah-langkah yang perlu diambil guna mencegah infeksi yang timbul dari kontaminasi luka selama pembedahan, yang dapat menyebabkan penyembuhan yang terlambat setelah pembedahan (Samaranayake, 2002). 25 1. Prinsip Asepsis Menurut Crow (1990) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam asepsis medis adalah sebagai berikut : a. Mengevaluasi setiap pasien untuk menentukan apakah terjadi proses infeksi, melihat dan menentukan kemungkinan barrier tepat yang terlibat dalam proses infeksi. Isolasi penyakitnya dan bukan pasiennya. b. Ketika terjadi penetrasi pada tubuh, kulit sebagai barrier ditembus, maka kondisi pasien menjadi rentan terhadap mikroba yang masuk ke dalam tubuh. Meskipun kulit yang merupakan barrier yang baik untuk melawan kontaminasi mikroba, tetap saja mikroba dapat berkoloni jika tidak dilakukan tindakan pencegahan secepat mungkin. c. Seluruh cairan tubuh dari pasien dipertimbangkan terkontaminasi. Team pemberi layanan kesehatan dan lingkungan dapat menjadi sumber kontaminasi bagi pasien. d. Agen antiseptik digunakan untuk membunuh atau mencegah mikroba kulit, kulit tidak dapat disterilkan tetapi jumlah mikroba dapat dikurangi, sedangkan agen desinfektan digunakan untuk membunuh atau mencegah mikroba lingkungan. Antiseptik bukan merupakan desinfektan. e. Karakteristik antiseptik meliputi kemampuan yang cepat untuk mengurangi flora, memiliki spektrum yang luas dalam kemampuan 26 membunuh, tidak dapat diabsorbsi melalui kulit dan membran mukosa, dan harus dengan konsentrasi yang tepat. Terdapat aturan yang berlaku dalam teknik aseptik yaitu hanya personel yang steril yang dapat menyentuh benda steril, dan hanya bahan steril yang dapat menyentuh jaringan pasien. Benda atau bahan yang sudah steril hanya boleh berkontak dengan benda atau bahan steril lainnya, jika bahan steril berkontak dengan bahan tidak steril maka menjadi tidak steril, dan jika suatu bahan diragukan kesterilannya, maka dianggap non steril. M. Infeksi Silang Kebanyakan orang mengangap infeksi silang atau croos infection inilah yang dimaksud dengan infeksi nosokomial. infeksi yang ditularkan dari pasien ke operator, operator ke operator atau pasien ke pasien. Transmisi dari infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung dengan pasien atau kontak tidak langsung melalui instrument yang terkontaminasi. Beberapa jenis alat kedokteran gigi terutama Handpiece High Speed dan Ultra Sonic Scaler menghasilkan aerosol yang pasif selama penggunaan. Beberapa mikroorganisme patogen (termasuk dalam saluran nafas) ditransmisikan melalui penyebaran droplet, ini merupakan cara potensial untuk penyebaran infeksi di bidang kedokteran gigi. Sterilisasi yang efektif dari instrument kedokteran gigi merupakan aturan utama untuk semua kontrol infeksi, akan mencegah rute/ jalur transmisi infeksi silang (Samaranayake,2002). 27 N. Transmisi Perjalanan Penyakit Dalam praktek kedokteran gigi, penyakit atau infeksi dapat di tularkan dari pasien ke dokter gigi, dokter gigi ke pasien ataupun pasien ke pasien dapat terjadi apabila tidak melaksanakan tindakan pencegahan yang memadai. Menurut Kohli dan Puttaiah (2007) terdapat beberapa cara penularan penyakit berdasarkan keparahannya antara lain : 1. Perkutaneus (resiko tinggi) Inokulasi mikroorganisme dari darah dan saliva yang di tularkan dari jarum ataupun benda tajam. 2. Kontak Langsung (resiko tinggi) Tersentuh atau terpaparnya kulit yang utuh terhadap lesi oral yang menginfeksi, permukaan jaringan yang terinfeksi, carian yang terinfeksi atau percikan cairan yang terinfeksi. 3. Inhalasi aerosol atau droplet yang mengandung patogen (resiko sedang) Menghirup bioaerosol yang mengandung material infektif saat menggunakan handpiece dan scaler atau droplet nucleii yang berasal dari batuk. 4. Kontak tidak langsung (resiko rendah) Melalui menyentuh permukaan benda mati yang terkontaminasi pada ruang perawatan atau ruang operasi. Resiko transmisi penyakit bervariasi tergantung dari daya tahan tubuh host, virulensi, efektivitas organisme, dosis atau jumlah mikroorganisme, waktu pemaparan dan cara transmisi. Kontrol terhadap virulensi organisme 28 patogen atau mengurangi kerentanan pasien adalah hampir tidak mungkin dilakukan. Petugas klinis harus mengerti dan memahami tentang proses penyakit, rute transmisi, metode mengontrol transmisi, dan mengimplementasikan kontrol infeksi selama praktek untuk memutus rantai infeksi (Kohli dan Puttaiah, 2007). O. Perlengkapan Perlindungan Diri Perlengkapan perlindungan diri yang di pakai oleh petugas kesehatan gigi harus menutupi bagian tubuh mulai dari kepala hingga telapak kaki. Perlengkapan ini mulai dari tutup kepala, masker, pelindung mata dan alas kaki. Perlengkapan ini tidak harus di gunakan secara bersamaan, tergantung dari tingkat resiko yang mengerjakan, prosedur dan tindakan medis serta perawatan (Darmadi, 2008). Menurut Darmadi (2008) terdapat tiga hal penting yang harus di ketahui dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatannya : 1. Petugas diharapkan selalu berada dalam keadaan sehat, dalam arti kata bebas dari kemungkinan menularkan penyakit. 2. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan hygiene lainnya. 29 3. Menggunakan atau memakai perlengkapan perlindungan diri sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat. Personal Protective Equipment (PPE) atau perlengkapan perlindungan diri yang biasa digunakan dalam perawatan gigi adalah sarung tangan sekali pakai (steril atau non-steril), pelindung mata, perisai wajah, masker, gaun dan yang digunakan untuk melindungi tubuh pribadi dari darah dan cairan tubuh dan bahaya kimia. Fungsi utamanya adalah mengontrol kontaminasi silang dan mencegah penyebaran mikroba. 1. Sarung Tangan Sarung tangan dapat berupa single-use-disposable non-sterile exam gloves atau single-use-disposable sterile surgical gloves dapat digunakan di dalam mulut pasien Sarung tangan digunakan untuk mencegah kontaminasi tangan petugas kesehatan (Kohli dan Puttaiah, 2007). Fungi sarung tangan diantaranya adalah : a. Mengantisipasi kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh, selaput lendir, kulit nonintact dan bahan lainnya yang berpotensi menular. b. Mencegah kontak langsung dengan pasien yang terpapar atau terinfeksi dengan patogen ditularkan oleh rute kontak misalnya, VRE, MRSA, RSV c. Digunakan pada saat melakukan penanganan atau menyentuh peralatan perawatan. 30 2. Masker Masker pada kedokteran gigi digunakan untuk mengendalikan paparan terhadap rongga mulut dokter dan mukosa hidung terhadap material infeksius dan darah serta cairan rongga mulut pasien (Kohli dan Puttaiah, 2007). Sebuah masker bedah melindungi terhadap mikroorganisme yang dihasilkan oleh para pemakainya, dengan >95% efisiensi filtrasi bakteri, dan juga melindungi penggunanya dari partikel besar yang mungkin mengandung patogen dari darah atau mikroorganisme infeksius lainnya. Pada saat diperlukan isolasi pencegahan infeksi udara (misalnya, untuk pasien TB), Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (NIOSH) mengeluarkan sertifikat untuk penggunaan particulate-filter respirator (misal: N95, N99, atau N100). N95 memiliki kemampuan untuk menyaring partikel 1-μm dengan filter efisiensi >95% (penyaring kebocoran <5%), memberikan tingkat aliran <50 L / min (yaitu, perkiraan laju aliran udara maksimum pekerja kesehatan saat bernafas). Data menunjukkan ukuran infectious droplet adalah berinti 1-5 μm; oleh karena itu, respirator yang digunakan dalam pengaturan layanan kesehatan harus dapat efisien menyaring partikel terkecil dalam kisaran ini. Mayoritas masker bedah tidak bersertifikasi NIOSH sebagai respirator, dan tidak melindungi penggunanya dari paparan TB (Kohn dkk, 2003). Menurut Kohli dan Puttaiah (2007), masker yang menempel pada garis mata dapat dibuang setiap kali pakai. Setiap kali menggunakan 31 masker, pekerja kesehatan harus membuangnya setelah merawat satu pasien. Jika prosedur melampaui 25-30 menit, mungkin perlu untuk mengganti masker dengan yang baru. Ketika terlihat kontaminasi atau percikan yang berulang-ulang, masker baru harus digunakan setelah mencuci muka dan mata (jika diperlukan). 3. Pelindung Mata Pada dunia kedokteran gigi dapat pelindung mata dapat berupa goggles,glass polikarbonat dengan sisi-perisai, face-shield dan prescription glasses dengan side-shields sekali pakai. Walaupun sudah memakai side-shields, masker harus tetap dipakai untuk mengkontrol paparan percikan dari side. Kebanyakan kacamata setidaknya harus dibersihkan dengan sabun dan air pada akhir setiap sesi atau ketika tampak terkontaminasi. Pada saat trimming model, gigi palsu, memotong kabel dan melakukan pekerjaan laboratorium atau selama pengolahan ulang pada instrumen, penggunaan pelindung mata adalah suatu keharusan untuk mengurangi kemungkinan terpapar bahan berbahaya dan partikel keras yang dapat merusak mata (Kohli dan Puttaiah, 2007). 4. Pakaian Pelindung Pakaian pelindung dan peralatan (misalnya, gaun, jas laboratorium, sarung tangan, masker, dan pelindung mata atau pelindung wajah) harus dipakai untuk mencegah kontaminasi dari pakaian yang dikenakan dan melindungi kulit pekerja kesehatan dari paparan darah dan zat tubuh lainnya. Lengan baju harus cukup panjang untuk melindungi lengan saat 32 baju dikenakan. Pekerja kesehatan harus mengganti pakaian pelindung ketika menjadi terlihat kotor dan tertembus oleh darah atau cairan lain yang berpotensi infeksius. Semua pakaian pelindung harus dibersihkan sebelum meninggalkan daerah kerja. Pakaian bedah harus terbuat dari bahan yang dapat dicuci dengan mesin dengan deterjen yang pada suhu 65 C untuk membasmi kontaminasi mikroba yang potensial (Kohn dkk, 2003). P. Sarung Tangan Dokter gigi profesional menggunakan sarung tangan medis lebih dari 40 jam per minggunya untuk melindungi tangan mereka dari paparan virus, bakteria, air liur darah pasien dan jamur. Bahan kiama yang terkait dengan kedokteran gigi seperti senyawa, biocides dan agen-agen agen pemebersih dapat memberikan kekuatan pada sarung tangan dan mengurangi atau melemahkan resistensi tusukan yang bisa membahayakan keselamatan pemakai (Smith, 2008). Sarung tangan dapat melindungi baik pasien dan petugas kesehatan dari paparan bahan infeksius yang mungkin ada di tangan. Seberapa jauh sarung tangan dapat melindungi petugas kesehatan dari penularan patogen melalui darah (misalnya, HIV, HBV, HCV) setelah jarum suntik atau pucture lain yang menembus sarung tangan belum dapat ditentukan. Sarung tangan diproduksi untuk tujuan kesehatan tunduk pada evaluasi FDA dan clearance. Sarung tangan Steril medis sekali pakai yang terbuat dari berbagai bahan 33 (misalnya latex, vynil, nitril) yang tersedia untuk perawatan pasien rutin, Pemilihan jenis sarung tangan untuk non-bedah digunakan didasarkan pada sejumlah faktor, termasuk tugas yang harus dilakukan, diantisipasi dengan bahan kimia dan agen kemoterapi, sensitivitas latex, ukuran, dan kebijakan fasilitas untuk menciptakan lingkungan bebas latex. Untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh selama non-bedah perawatan pasien, sepasang sarung tangan tunggal umumnya memberikan perlindungan yang memadai. Namun, ada variabilitas yang cukup besar antara sarung tangan, baik kualitas dari proses manufaktur dan jenis bahan berpengaruh terhadap efektifitas penghalang (Kohli dan Puttaiah, 2007). Dokter gigi diharuskan memakai sarung tangan pada saat merawat pasien sesuai rekomendasi dalam pedoman pengendalian infeksi. Namun, terkadang sangat sulit untuk mengetahui bahan sarung tangan yang tepat, karena masing-masing menawarkan karakteristik yang unik ataupun perbedaan ekonomi, rasa perabaan dan kenyamanan dalam hal memberi perlindungan. Menurut Departemen Kesehatan dan Penuaan, pemerintah Australia (2004) membagi sarung tarung dari jenis bahannya yaitu : 1. Nitrile Nitrile merupakan sarung tangan yang berbasis potrelium. Sarung tangan ini direkomendasikan untuk menjadi alternative produk NRL karena lebih kuat jika diberikan kekuatan tinggi dan tahan pada cairan kimia yang sangat kuat. 34 2. Vinyl Vinyl atau PVC adalah suatu bahan yang berbasis potrelium, tetapi molekul-molekulnya tidak berkaitan. Karena tidak memiliki kaitan maka molekul individu dari vinyl ini akan teruai bila sarung tangan ini digunakan dengan tekanan tinggi ataupun ditekuk dengan keras sehingga bisa menyebabkan sarung tangan ini mengalami sobekan pada saat penggunaan. Sarung tangan vinyl adalah sarung tangan yang paling lemah diantara yang lainnya karena kekuatan dan elastisitasnya sangat terbatas, hal ini sangat mempengaruhi penggunanya karena bisa mengurangi tingkat kenyamanan pada saat memberikan tindakan. 3. Natural Rubber Latex (NRL) NRL merupakan polymeric material memberikan kekuatan yang sangat baik. Kekuatan NRL sangat tinggi, memungkinkan sarung tangan ini bisa selalu kembali ke bentuk aslinya walaupun ditarik berkali-kali tanpa membuat lubang ataupun sobekan. Elastisitas ini menyediakan kenyamanan dan cocok bila dibandingkan dengan bahan lainnya. Sarung tangan yang terbuat dari bahan NRL juga sangat tahan tusukan dan memiliki kecenderungan untuk menutup sendiri jika terjadi sebuah lubang kecil walaupun tertusuk benda tajam sekalipun. Sarung tangan ini juga memiliki beberapa keuntungan seperti lebih kuat, mudah digunakan, tetap nyaman digunakan walaupun basah ataupun dan memiliki daya ketahanan yang luas pada bahan kimia selain itu sarung tangan ini selalu menjadi pilihan pertama bagi setiap petugas kesehatan. BAB III METODE PENELITIAN K. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian eksperimental semu (quasi eksperimental research) dengan pendekatan pre test dan post test. L. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah pasien ekstraksi gigi permanen di bagian Laboraturium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar pada periode Oktober 2013- Februari 2014. 2. Sampel Besarnya sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus Nursalam (2008). n= N.z2.p.q d.(N-1)+z2.p.q n : perkiraan sampel N : perkiraan populasi sampel d : tingkat kesalahn yang dipilih (d = 0,05) p : perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50% q : 1-p(100%-p) z : nilai standar normal = 0,05 (1,96) 35 36 Berdasarkan rumus tersebut didapatkan hasil perhitungan perkiraan jumlah sampel yang diteliti sebanyak 20 orang. Pada penelitian ini digunakan sampel sebanyak 40 orang, dimana sampel yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria Inklusi a. Sampel yang dipilih merupakan pasien perawatan ekstraksi gigi permanen pada regio anterior dan posterior. b. Sampel mendapat indikasi ekstraksi gigi. c. Sampel bersedia mengikuti kegiatan ini. d. Sampel tidak menjalani pengobatan yang memerlukan penggunaan antibiotik, obat kumur dan obat-obatan. Kriteria Eksklusi a. Sampel bukan pasien perawatan ekstraksi gigi permanen pada regio anterior dan posterior. b. Sampel tidak mendapat indikasi ekstraksi gigi. c. Sampel tidak bersedia menjadi responden pada penelitian ini. d. Sampel menjalani pengobatan yang memerlukan penggunaan antibiotik, obat kumur dan obat-obatan. M. Identifikasi Variabel 1. Variabel Pengaruh : efektifitas sarung tangan steril. 2. Variabel Terpengaruh : mukosa di daerah pencabutan. N. Definisi Operasional 1. Sarung tangan steril adalah suatu instrumen dalam meminimalkan penularan penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas bakteri. Sarung tangan steril memiliki kemasan khusus, yaitu 1 kemasan hanya berisi 1 pasang sarung tangan steril. Dengan cara penggunaan sebagai berikut 37 Gambar 3.1 Mencuci tangan dengan menggunakan sabun anti septik (Kohli dan Puttaiah, 2007) Gambar 3.2 Menggunakan sarung tangan steril (Kohli dan Puttaiah, 2007) 38 2. Bagian mukosa yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu pada bagian prosesus alveolaris dan gingiva. O. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada : 1. Waktu : 11-18 Februari 2014 2. Tempat : Ruang Klinik (Laboratorium Bedah Mulut) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. P. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah : 1. Alat : a. Sarung tangan steril (AMS medical product) b. Masker c. Kaca Mulut d. Pinset e. Sonde f. Nerbeken g. Pensil h. Penghapus i. Kapas j. Tang cabut k. Bein 39 2. Bahan : a. Povidone Iodine 10% b. Larutan Anastesi : Pehacain ( Lidocain 2% + Adrenaline) Q. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala pengukuran, yaitu jika terdapat iritasi ditandai dengan tanda positif dan tidak terdapat iritasi ditandai dengan tanda negatif. Tanda iritasi seperti timbulnya kemerahan, bengkak dan rasa sakit pada mukosa daerah pencabutan. R. Jalannya Penelitian 1. Menentukan dan menetapkan obyek penelitian. Sampel diambil sebanyak 40 orang dengan kasus seperti sisa akar, gigi yang mengalami periodontitis kronis dan fraktur gigi pada rahang bawah. Pencabutan gigi permanen dilakukan pada pada Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 2. Sebelum melakukan penelitian, calon sampel diminta untuk mengisi dan menandatangani inform consent untuk kesediaan menjadi sampel. 3. Menyiapkan alat dan bahan. 4. Melihat dan mencatat kondisi rongga mulut pasien sebelum dilakukan tindakan. 40 5. Melakukan asepsis pada daerah kerja dengan menggunakan povidone iodine 10%. 6. Operator menggunakan sarung tangan steril sesuai prosedur penggunaan yang baku. 7. Anastesi lokal menggunakan teknik infiltrasi dengan bahan anastesi yaitu Pehacain ( Lidocain 2% + Adrenaline). 8. Melakukan tindakan pencabutan dengan teknik close method menggunakan bein terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan pencabutan menggunakan tang cabut. 9. Melihat dan mencatat kondisi rongga mulut pasien pada hari pertama, hari ketiga dan hari ketujuh pasca pencabutan dan memberi penilaian dengan memberi tanda negatif untuk yang tidak terdapat iritasi dan memberi tanda positif jika terdapat iritasi. S. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif, data diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 20.0 windows. Uji Normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk. Analisis untuk mengetahui seberapa efektif sarung tangan steril dalam pencegehan iritasi dengan menggunakan Paired T-test dan dilanjutkan dengan Independent TTest. 41 T. Alur Penelitian Sampel penelitian Data Sebelum tindakan pencabutan Menggunakan Sarung Tangan Steril Tindakan Pencabutan Gambar 3.3 Alur penelitian Data Sesudah dilakukan pencabutan Pengumpulan Data Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN C. Karakteristik Sampel Dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan sebanyak 30 sampel dengan tindakan yang mengunakan sarung tangan steril dan 10 sampel dengan tindakan yang menggunakan sarung tangan non steril dengan mengambil hasil observasi terhadap iritasi rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen pada Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. D. Analisis Data Setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil pengamatan tingkat terjadinya resiko iritasi pada sampel seperti pada Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Tingkat terjadinya risiko iritasi dari hari pertama, hari ketiga dan hari ketujuh Kategori Hari Pertama Steril 30 (100%) Non Steril 10 (100%) Sumber : Lampiran 3 dan 4 Positif Iritasi Hari Ketiga 2 (6,67%) 5 (50%) Hari Ketujuh 2 (6,675) 3 (30%) Berdasarkan Tabel 4.1 pada hari pertama baik kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril dan non steril semua sampel (100%) mengalami risiko iritasi pada rongga mulut. Pada hari ketiga untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril jumlah sampel yang mengalami iritasi sebanyak 2 (6,67%) orang dan kelompok penangan menggunakan sarung 42 43 tangan non steril sebanyak 5 orang (50%). Pada hari ketujuh untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril yang mengalami iritasi tidak mengalami perubahan dari hari ketiga yaitu sebanyak 2 orang (6,67%) sedangkan untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan non steril mengalami penurunan dari hari ketiga yaitu sebanyak 3 orang (30%). Pengelompok kelompok sarung tangan steril dan sarung tangan non steril berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.2 Hasil Crosstabulation Kelompok dan Kategori Hasil Penelitian Kelompok Steril Non Steril Total Kategori Iritasi / Kelainan Negatif Positif Angka % Angka % 28 80 2 40 7 20 3 60 35 100 5 100 Total Angka 30 10 40 % 75 25 100 Berdasarkan Tabel 4.2 pada hari ketujuh menunjukkan kelompok yang menggunakan sarung tangan steril dengan kategori negatif sebanyak 28 orang (80%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 7 orang (20%) sedangan kelompok yang menggunakan sarung tangan steril dengan kategori positif sebanyak 2 orang (4%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 3 orang (60%). Hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Independen Sampel Test untuk mengetahui perbedaan antara kelompok penanganan dengan menggunakan sarung tagan steril dan non steril. 44 Tabel 4.3 Hasil Uji Independen Sampel Test d T f Sig. (2-tailed) Perbedaan -1,978 38 0,055 berdasarkan asumsi Perbedaan tidak -1,462 10,703 0,173 berdasarkan asumsi = Signifikan (probability) = Uji t hitung = Degre of freedom Kategori sig T df Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan nilai T-hitung sebesar 1,978 dengan p value sebesar 0,055 lebih besar dari 0,05, artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok yang menggunakan sarung tangan steril dengan kelompok yang menggunakan sarung tangan non steril pada pencabutan gigi permanen. Angka negatif menunjukkan adanya indikasi penurunan dari positif iritasi menjadi tidak iritasi pada pasien yang mendapatkan penanganan menggunakan sarung tangan steril dan sarung tangan non steril. Setelah data dilakukan uji independen test dilanjutkan dengan uji Paired Sampel Test untuk mengetahui pengaruh penggunaan sarung tangan terhadap terjadinya risiko iritasi rongga mulut. Tabel 4.4 Hasil Uji Paired Sample Test Paired Differences Ratarata Pair 1 hari1 hari7 sig T df 0,23333 Rata-rata Standar standar Kesalahan eror 0,50401 0,09202 = Signifikan (probability) = Uji t hitung = Degree of freedom 95% Perbedaan Tingkat Kepercayaan Terendah 0,04513 Tertinggi 0,42153 t 2,536 df 29 Sig. (2-tailed) 0,017 45 Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan nilai t-hitung sebesar 2,536 dengan p value sebesar 0,017 artinya bahwa penggunaan sarung tangan yang steril lebih baik dalam mencegah terjadinya risiko iritasi pada pasien pencabutan gigi permanen pada Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu (quasi experimental research) dengan pendekatan pre test post test control group design. Subyek penelitian ini adalah dengan pasien pencabutan gigi permanen di Laboraturium Bedah Mulut Universitas Mahasaraswati Denpasar pada periode Oktober 2013-Februari 2014. Sampel yang digunakan sebanyak 30 sampel dengan menggunakan sarung tangan steril dan 10 sampel sebagai sampel kontrol dengan menggunakan sarung tangan non-steril. Sampel penelitian dipilih dengan mengaplikasikan metode simple random sampling, alasan menggunakan metode ini adalah suatu teknik pengambilan sampel sederhana dimana seluruh unsur dalam populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diberi kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Setelah dilakukan tindakan pencabutan sederhana pasien diberikan intruksi agar menggigit tampon dan tidak diberikan obat-obatan, baik antibiotik, analgesik maupun obat kumur, ini dilakukan untuk mendapatakan data yang akurat. Berdasarkan data hasil penelitian pada Tabel 4.1 bahwa kelompok tindakan menggunakan sarung tangan steril pada hari pertama semua mengalami iritasi dikarenakan terjadinya trauma setelah pencabutan, pada hari ketiga mengalami penurunan sebanyak 28 orang tidak mengalami iritasi dan 2 orang masih mengalami kemerahan, pada hari ketujuh tidak terjadi perubahan dari hari ketiga pada pasien yang sama dikarenakan karena trauma yang terlalu lebar. 46 47 Kelompok tindakan menggunakan sarung tangan non steril Tabel 4.1 pada hari pertama semua mengalami iritasi dikarenakan terjadinya trauma setelah pencabutan, pada hari ketiga mengalami penurunan sebanyak 5 orang tidak mengalami iritasi dan 5 orang masih mengalami kemerahan, pada hari ketujuh terjadi penurunan dimana sebanyak 7 orang tidak mengalami iritasi dan sebanyak 3 orang masih mengalami kemerahan dan bengkak pada pasien yang sama, hal ini terjadi karena sarung non steril tidak terjamin kebersihannya disebabkan kemasan yang berbeda dari sarung tangan yang steril. Penggunaan sarung tangan dapat menimbulkan rasa gatal, ruam, berkeringat secara abnormal yang disertai rasa tidak nyaman secara menyeluruh. Gejala ini juga dapat terjadi pada rongga mulut karena gesekan sarung tangan, reaksi dapat bertambah parah apabila powder dari sarung tangan mengenai mukosa rongga mulut yang menyebabkan kemerahan serta reaksi alergi tipe 1 dikarenakan protein yang terdapat pada kandungan sarung tangan. Dari penggunaan sarung tangan pada saat dilakukan pencabutan gigi permanen, permukaan sarung tangan akan menyentuh/berkontak langsung dengan mukosa pada rongga mulut, kontak tersebut dapat memberikan reaksi pada mukosa yang bersifat individual tidak spesifik dan sulit diramalkan. Terdapat dua tipe reaksi yang dapat terjadi, yaitu reaksi iritasi primer dan reaksi sensitifitas/alergi. Reaksi iritasi primer terjadi akibat efek toksik yang langsung dari bahan kimia yang bereaksi pada epitel dan pembuluh darah, sedangkan reaksi 48 sensitifitas/alergi merupakan suatu reaksi yang bersifat lambat dan terjadi saat berkontak dengan bahan kimia secara terus menerus (Sudiono, 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari pertama baik kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril dan non steril semua sampel (100%) mengalami risiko iritasi pada rongga mulut. Pada hari ketiga untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril jumlah sampel yang mengalami iritasi sebanyak 2 (6,67%) orang dan kelompok penangan menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 5 orang (50%). Pada hari ketujuh untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril yang mengalami iritasi tidak mengalami perubahan dari hari ketiga yaitu sebanyak 2 orang (6,67%) sedangkan untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan non steril mengalami penurunan dari hari ketiga yaitu sebanyak 3 orang (30%). Pada hari ketujuh kelompok yang penanganan pencabutan gigi permanen menggunakan sarung tangan steril yang tidak mengalami iritasi sebanyak 28 orang (80%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 7 orang (20%) sedangan yang mengalami iritasi pada penanganan pencabutan gigi permanen menggunakan sarung tangan steril sebanyak 2 orang (40%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 3 orang (60%). Setelah data menggunakan terkumpul selanjutnya dilakukan uji beda dengan paired T-test dan dilanjutkan dengan independent T-test yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas penggunaan sarung tangan 49 steril. Berdasarkan hasil uji Independent T-test menunjukkan nilai T-hitung sebesar 1,978 dengan p value sebesar 0,055 lebih besar dari 0,05, artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok yang menggunakan sarung tangan steril dengan kelompok yang menggunakan sarung tangan non steril dalam pencegahan iritasi pasca pencabutan gigi permanen di Laboraturium Bedah Mulut Universitas Mahasarwati periode Oktober 2013-Februari 2014. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antara tindakan pencabutan gigi permanen yang menggunakan sarung tangan steril dengan sarung tangan non steril dilanjutkan dengan menggunakan paired T-test yang menunjukan bahwa nilai thitung sebesar 2,536 dengan p value sebesar 0,017 artinya bahwa penggunaan sarung tangan yang steril dapat mencegah terjadinya iritasi pada pasien pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa sarung tangan steril lebih efektif mencegah terjadinya iritasi pasca pencabutan gigi permanen. Sarung tangan steril merupakan sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi (Depkes RI,2003). Penggunan sarung tangan dalam praktek kedokteran gigi merupakan seuatu keharusan pada saat merawat pasien sesuai rekomendasi dalam pedoman pengendalian infeksi. Sarung tangan dapat melindungi pasien dan petugas kesehatan dari paparan bahan infeksius yang mungkin ada di tangan dan 50 penularan patogen melalui darah (misalnya, HIV, HBV, HCV) setelah jarum suntik atau pucture lain yang menembus sarung tangan belum dapat ditentukan (Kohli dan Puttaiah, 2007). Dalam penelitian ini digunakan sarung tangan berbahan lateks yang merupakan suatu produk intraseluler yang komplek dari suatu sistem sel yang mensintesa atau polymer (Cis-1,4 polyisoprene) yang merupakan komponen utama dari karet alam (Thurnell, 2011). Adapun komposisi lateks menurut Philips (2002), antara lain partikel karet (30%-40%), protein (2%-3%), air (55%-65%), sterol glykosida (0,1%-0,5%), resin (1,5%-3,5%), abu (0,5%-1,0%) dan gula (1,0%-2,0%). Pada penelitian ini sarung tangan steril lebih efektif karena dapat mencegah terjadinya risiko iritasi pada rongga mulut. Hasil penelitian ini sejalan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh pada penggunaan sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut dan sarung tangan steril lebih efektif mencegah iritasi pasca pencabutan gigi permanen. BAB VI SIMPULAN DAN SARAN C. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan hipotesis bahwa terdapat pengaruh sebesar 13,32% yang artinya penggunaan sarung tangan steril berpengaruh dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut dan sarung tangan steril lebih efektif mencegah iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboraturium Bedah Mulut Universitas Mahasarwati Denpasar periode Oktober 2013-Februari 2014. Dalam penelitian menunjukkan nilai t-hitung sebesar 3,808 dengan p value sebesar 0,001 artinya bahwa penggunaan sarung tangan steril dapat mencegah terjadinya risiko iritasi rongga mulut pada pasien pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. D. Saran Dari hasil penelitian yang diperoleh, penulis dapat memeberikan saran sebagai berikut : 1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan sarung tangan steril pada pencabutan gigi permanen dengan metode yang berbeda dan sampel yang lebih banyak serta diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih akurat. 51 52 2. Disarankan kepada dokter gigi dan mahasiswa/mahasiswi kedokteran gigi untuk menggunakan sarung tangan steril saat melakukan tindakan pencabutan gigi pada pasien karena dapat meminimalisir risiko terjadinya iritasi pasca pencabutan. 53 DAFTAR PUSTAKA Bakar, A. 2008. Kedokteran Gigi Klinis. Edisi 2. Quantum Sinergis Media. Chrismawaty E. (2006) Peran struktur mukosa rongga mulut dalam mekanisme blockade fisik terhadap iritan. MIKGI, 244. Crow, S. Asepsis – The Foundation of Infection Control Practices. Louisiana State University Health Care Centre Darmadi. 2008, Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya, Ed. ke-1, Salemba Medika., Jakarta. Departemen Kesehatan RI 2003, Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal Di Pelayanan Kesehatan, Direktoral Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan., Jakarta. Fragiskos FD. 2007. Oral surgery. Greek : Springer- Verlag Berlin Heidleberg, 181-200. Karasutisna, T. 2002. Bahan Ajar Ilmu Bedah Mulut. Tinjauan Umum Dental Implan dan Pengenalan Sistem Implan ITI. Bagian Bedah Mulut FKG UNPAD. Kohli, A. dan Puttaiah, R. 2007, Infections Control and Occupational Safety Recommendations For Oral Health Professional, Dental Council of India, India. Kohn, W.G., Collins, A.S., Cleveland J.L., Harte J.A., Eklund K.J. dan Malvitz D.M. 2003, „Guidelines for infection control in dental health-care settings‟, MMWR, vol. 23 no.17, hlm. 1-76. Lata dan Choundhary, 2012. Effectivness of Sterile Versus Nonsterile Gloves Following Dental Extraction. Indian Journal of Dental Sciences, September 2012 Issue : 3, Vol : 4. Nursalam, Efendi dan Ferry. 2008, Pendidikan dalam Keperawatan, Salemba Medika., Jakarta. Pedersen, G. W. 1996, Buku ajar praktis bedah mulut (oral surgery), penerjemah: Purwanto dan Basoeseno. EGC Penerbit Buku Kedokteran., Jakarta. Philips P. 2002. the latex glove manufacturing process, director surgical materials testing labolatory bincess of walles hospital, bridgend walles. 54 Santoso TI, Poedjiastoeti W, Ariawan D. 2009. Perdarahan pasca ekstraksi gigi, pencegahan dan penatalaksanaannya. http://www.pdgi-online.com. ( 31 Agustus 2009 ) Samaranayake. 2002, Essentials of Microbiology for Dentistry, Ed. Ke-2, Churchill Livingstone., London. Sicklick AM. 2009. Tooth extraction. http://www.yourtotalhealth.ivillage.com. ( 11 September 2009 ) Smith, Susan M. 2008. The Clinical Issue. Kimberly-Clark Health Care Education. Sudiono J. 1999. Pengaruh Pemakaian Obat Kumur Senyawa Fenol Terhadap Gambaran SEM Epitel Mukosa Bukal Mulut. M I Kedokteran Gigi FKG Usakti; 38:70-5 Rounds CE. 1962. Principle and technique of exodontia. 2nd ed. Saint Louis : The C. V. Mosby Company, 197-238. Thurnell J. R., 2001. latex glove allergy, available at : http;/www.lifeworkpotensial.com/html/latexglove.html. Upton LG., Harper & Row, 1985. Extractions : Indications, principles, and armamentarium. Single simple extractions. In : Clark JW, eds. Clinical Dentistry. Philadelphia : 1-14, 1-16. Wibowo, T., Parisihni,K ., dan Haryanto, D. 2009, „Proteksi diri dokter gigi sebagai pemutus rantai infeksi siang‟, Jurnal PDGI, Vol. 58, no.2, hlm.69. Yusran A, Barunawaty. (2007) Dua metode pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi pada mukosa mulut. Maj.Ked.Gigi. (Dent.J.). 395. 55 Lampiran 1 PERJANJIAN TINDAKAN MEDIS INFORMED CONSENT Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Umur : Jenis Kelamin : L/P Tahun Dengan ini saya menyatakan bersedia untuk diikutsertakan sebagai sampel dalam penelitian yang berjudul “PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN” yang dilakukan oleh : Ida Bagus Angga Triadi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Segala hal menyangkut penelitian ini telah saya pahami dan akan saya ikuti sesuai prosedur yang dijelaskan oleh peneliti Denpasar Yang Membuat Pernyatan (….…………….………) 56 Lampiran 2 Tindakan pencabutan Tindakan anastesi 57 Alat dan Bahan 58 59 Anastesi Alat Diagnosa 60 Tang Pencabutan Gigi permanen 61 Lampiran 3 Uji Normalitas Case Processing Summary Cases Valid Infeksi_Ke lainan Kategori N Missing Percent N Total Percent N Percent Steril 30 100.0% 0 .0% 30 100.0% Non Steril 10 100.0% 0 .0% 10 100.0% Descriptives Infeksi_Kelainan Kategori Steril Statistic Mean 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound .9719 Upper Bound 1.1614 5% Trimmed Mean 1.0185 Median 1.0000 Variance .04632 .064 Std. Deviation .25371 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range .00 Skewness Kurtosis Non Steril Std. Error 1.0667 Mean 95% Confidence Interval for Mean 3.660 .427 12.207 .833 1.3000 .15275 Lower Bound .9544 Upper Bound 1.6456 5% Trimmed Mean 1.2778 Median 1.0000 Variance .233 Std. Deviation .48305 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range 1.00 Skewness Kurtosis 1.035 .687 -1.224 1.334 Tests of Normality Infeksi_Ke lainan Kategori Kolmogorov-Smirnova Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Steril .537 30 .000 .275 30 .000 Non Steril .433 10 .000 .594 10 .000 a. Lilliefors Significance Correction 62 Hasil Uji Statistik Group Statistics Kelompok Kategori N Mean Std. Error Mean Std. Deviation Steril 30 1.0667 .25371 .04632 Non Steril 10 1.3000 .48305 .15275 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference F Kateg ori Equal variances assumed Equal variances not assumed 14.324 Sig. .001 t 1.978 Sig. (2tailed) df Mean Differen Std. Error ce Difference Lower Uppe r 38 .055 -.23333 .11798 -.47216 .00549 - 10.703 1.462 .173 -.23333 .15962 -.58585 .11918 63 Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Kategori * Kelompok Missing Percent 40 100.0% N Total Percent 0 N .0% 40 Infeksi_Kelainan * Kategori Crosstabulation Kategori Infeksi_Kelaina n Steril % within Kategori Non Steril Total Count Count % within Kategori Count % within Kategori Percent Negatif Positif Total 28 2 30 80.0% 40.0% 75.0% 7 3 10 20.0% 60.0% 25.0% 35 5 40 100.0 % 100.0 % 100.0 % 100.0% 64 T-Test Paired Samples Statistics Mean Pair 1 N Std. Error Mean Std. Deviation hari 1 .4000 30 .49827 .09097 hari 7 .1667 30 .37905 .06920 Paired Samples Correlations N Pair 1 hari1 & hari7 Correlation 30 Sig. .365 .047 Paired Samples Test Paired Differences Pair 1 hari1 hari7 - Mea n Std. Deviatio n .23333 .50401 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean Lower Upper .09202 .04513 .42153 t df 2.536 29 Sig. (2tailed) .017 65 Lampiran 3. Data Responden Penelitian untuk Kelompok Tindakan Menggunakan Sarung Tangan Steril NO ELEMEN TINDAKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 32 23 33 34 35 44 37 35 37 13 12 34 22 25 34 37 47 24 12 42 31 21 22 24 22 14 43 33 22 16 Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo DIAGNOSA Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis PRE TEST Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal POST TEST HARI PERTAMA + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + POST TEST HARI KETIGA + + - POST TEST HARI KETUJUH + + - 66 Lampiran 4. Data Responden Penelitian untuk Kelompok Tindakan Menggunakan Sarung Tangan Non Steril NO ELEMEN TINDAKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 46 25 14 42 46 26 33 22 42 34 Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo Pro Exo DIAGNOSA PRE TEST Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Marginalis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Marginalis Periodontitis Marginalis Periodontitis Kronis Periodontitis Kronis Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal POST TEST HARI PERTAMA + + + + + + + + + + POST TEST HARI KETIGA + + + + + POST TEST HARI KETUJUH + + +