fakultas kedokteran gigi universitas mahasaraswati denpasar

advertisement
PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN
STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT
PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN
IDA BAGUS ANGGA TRIADI
10.8.03.81.41.1.5.060
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2014
i
PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN
STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI RONGGA MULUT
PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Oleh :
Ida Bagus Angga Triadi
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.060
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Hendri Poernomo, drg., M.Biotech
NPK:827 003 222
Setiawan, drg., M.Kes., FISID
NPK: 19600507 199203 1 001
ii
Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara
pembuatan skripsi dengan judul: “PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN
SARUNG TANGAN STERIL TERHADAP PENCEGAHAN IRITASI
RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN” yang telah
dipertanggung jawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan pada tanggal 26
Februari 2014.
Atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan
Denpasar, 26 Februari 2014.
Tim Penguji Skripsi
FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar
Ketua,
Hendri Poernomo, drg., M.Biotech
NPK: 827 003 222
Anggota :
Tanda Tangan
1. Setiawan, drg., M.Kes., FISID
NPK: 19600507 199203 1 001
1. .................
2. Putu Sulistiawati Dewi, drg
NPK : 827 408 303
2. .................
Mengesahkan
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Putu Ayu Mahendri Kusumawati, drg.,M.Kes,FISID
NPK : 19590512 198903 2 001
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN SARUNG TANGAN STERIL
TERHADAP
PENCEGAHAN
IRITASI
RONGGA
MULUT
PASCA
PENCABUTAN GIGI PERMANEN” ini tepat pada waktunya.
Penulis menyusun skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Dalam
penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
penulis sangat berterimakasih atas segala hal yang telah penulis dapatkan selama
penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada :
1. drg. Hendri Poernomo, M.Biotech, selaku dosen penguji dan pembimbing I
yang memberikan bimbingan, pengarahan, semangat dan masukan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. drg. Setiawan, M.Kes., FISID, selaku dosen penguji dan pembimbing II atas
bimbingannya dan saran-saran yang sangat bermanfaat serta petunjuk dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. drg. Putu Sulistiawati Dewi, selaku dosen penguji serta masukannya yang
sangat berarti pada skripsi ini
4. drg. Putu Ayu Mahendri Kusumawati, M.Kes., FISID, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
iv
5. Kepala Laboratorium Bedah Mulut yang telah mengizinkan penulis dalam
melakukan penelitian di Laboratorium Bedah Mulut untuk menyelesaikan
skripsi ini.
6. Seluruh
civitas
akademik
Fakultas
Kedokteran
Gigi
Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Staf, Dosen dan Karyawan yang telah memberikan
bantuan kepada penulis secara langsung maupun secara tidak langsung
Terima Kasih kepada Ayahanda, ibunda, Nenek, kakak serta kekasih
tersayang JonaJw yang selalu memberi dukungannya, doa, semangat serta materiil
yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada teman-teman: Bang Ben, Risca, Danan, Yollan, Agek, Gung
Surya, Karima, Indah, Nanda, Jayak, Rian, Yoga, Pa, dan teman teman BG,
teman-teman COC dan angkatan 2010 yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu serta kakak-kakak klinik yang telah membantu banyak dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kebaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
dan semua pihak yang memerlukan.
Denpasar, 26 Februari 2014
Penulis
v
Pengaruh Efektifitas Penggunaan Sarung Tangan Steril Terhadap
Pencegahan Iritasi Rongga Mulut Pasca Pencabutan Gigi Permanen
Abstrak
Pemakaian sarung tangan dalam praktek kedokteran gigi menjadi
keharusan untuk mencegah terjadinya infeksi dari pasien ke operator ataupun
sebaliknya, disamping itu penggunaan sarung tangan digunakan untuk mencegah
terjadinya iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen. Tujuan dari
penelitian ini adalah Untuk mengetahui sejauh manakah efektivitas sarung tangan
steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi
permanen. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen semu
dengan pendekatan pre test dan post test dengan menggunakan jumlah sampel
sebanyak 40 sampel. Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah uji
beda yaitu Independen T-test dan Paired T-test. Berdasarkan hasil penelitian ini
didapatkan yang mengalami iritasi sebanyak 2 orang dan 28 orang yang tidak
mengalami iritasi pasca pencabutan gigi permanen dengan menggunakan sarung
tangan steril sedangkan dengan tindakan menggunakan sarung tangan non steril
yang mengalami iritasi sebanyak 3 orang dari 10 orang sampel kontrol.
Berdasarkan perhitungan T-test ditemukan perbedaan tidak bermakna (p>0,05).
Dalam penelitian menunjukkan nilai t-hitung sebesar 3,808 dengan p value
sebesar 0,001 artinya bahwa penggunaan sarung tangan steril dapat mencegah
terjadinya risiko iritasi pada pasien pencabutan gigi permanen.
Kata Kunci : Sarung tangan steril, pencabutan gigi, iritasi
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI DAN PENGESAHAN DEKAN ........
iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
iv
ABSTRAKSI ........................................................................................................
vi
DAFTAR ISI .........................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
A. Latar Belakang .............................................................................
1
B. Rumusan masalah ........................................................................
3
C. Tujuan penelitian ..........................................................................
4
D. Hipotesis ......................................................................................
4
E. Manfaat Penelitian .......................................................................
4
F. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...............................
5
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
6
A. Ilmu Bedah Mulut .........................................................................
6
B. Mukosa Mulut ...............................................................................
6
1. Ulserasi Mukosa Mulut ...........................................................
7
2. Penyembuhan Ulserasi ...........................................................
8
C. Ekstraksi Gigi ...............................................................................
10
vii
BAB III
BAB IV
BAB V
D. Teknik Asepsis ..............................................................................
24
E. Infeksi Silang ................................................................................
26
F. Transmisi Perjalanan Penyakit ......................................................
27
G. Perlengkapan Perlindungan Diri ...................................................
28
H. Sarung Tangan ..............................................................................
32
METODE PENELITIAN ...................................................................
35
A. Rancangan Penelitian ..................................................................
35
B. Populasi dan Sampel ....................................................................
36
C. Identifikasi Variabel .....................................................................
36
D. Definisi Operasional.....................................................................
38
E. Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................
38
F. Alat dan Bahan .............................................................................
39
G. Instrumen Penelitian ....................................................................
39
H. Jalannya Penelitian ......................................................................
40
I. Analisis Data ................................................................................
40
J. Alur Penelitian .............................................................................
41
HASIL PENELITIAN .......................................................................
42
A. Karakteristik Sampel ....................................................................
42
B. Analisis Data ................................................................................
42
PEMBAHASAN ................................................................................
46
viii
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
51
A. Simpulan .......................................................................................
51
B. Saran ..............................................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
53
LAMPIRAN ........................................................................................................
55
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tingkat terjadinya risiko iritasi dari hari pertama, hari ketiga
dan hari ketujuh ..................................................................................
42
Tabel 4.2 Hasil Crosstabulation Kelompok dan Kategori Hasil Penelitian ......
43
Tabel 4.3 Hasil Uji Independen Sampel Test .....................................................
44
Tabel 4.4 Hasil Uji Paired Sample Test .............................................................
44
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Mencuci tangan dengan menggunakan sabun anti septik .................
37
Gambar 3.2 Menggunakan sarung tangan steril ....................................................
37
Gambar 3.3 Alur penelitian ...................................................................................
41
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Informed Concent ............................................................................
55
Lampiran 2. Dokumentasi ....................................................................................
56
Lampiran 3. Hasil Analisis Data ...........................................................................
61
xii
BAB I
PENDAHULUAN
G. Latar Belakang
Dalam menjalankan tugasnya seorang dokter gigi tidak terlepaskan
dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung
dengan mikroorganisme dalam saliva dan darah pasien. Dalam praktek
kedokteran gigi resiko terjadimya infeksi silang yang disebabkan oleh karena
bakteri dan virus sangatlah tinggi. Rawannya infeksi silang antara pasien
dengan dokter gigi atau pasien dengan pasien, dapat terjadi karena pekerjaan
seorang dokter gigi langsung berkontak dengan saliva dan darah pasien
(Wibowo dkk, 2009).
Penyebaran
infeksi
memiliki
beberapa
sumber
infeksi
yang
diantaranya adalah darah, saliva atau jaringan yang merupakan sumber dari
infeksi tersebut berasal. Infeksi juga dapat menyebar di tempat praktek melalui
kontak langsung, kontak tidak langsung, inhalasi langsung atau tidak
langsung, autoinoklasi dan ingesti ( Wibowo dkk, 2009).
Ilmu bedah mulut merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi
yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan bedah
mayor, minor maupun eksodonsia. Hampir semua tindakan bedah mulut
melibatkan darah dan saliva sehingga inilah yang menyebabkan dokter gigi
harus di perhatikan keselamatan dirinya dengan cara menerapkan proteksi diri
sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi silang.
1
2
Perlengkapan perlindungan diri yang biasa digunakan petugas
kesehatan gigi harus menutupi bagian tubuh mulai dari kepala hingga telapak
kaki. Perlengkapan ini mulai dari tutup kepala, masker, sarung tangan,
pelindung mata, gaun dan alas kaki. Perlengkapan ini tidak harus digunakan
secara bersamaan, tergantung dari tingkat resiko yang mengerjakan, prosedur
dan tindakan medis serta perawatan (Darmadi, 2008).
Sarung tangan akan menjadi pelindung bagi semua pekerja kesehatan
dan hal yang terpenting pada pemakaian sarung tangan adalah dalam
pencegahan infeksi di rongga mulut pada pasien. Infeksi itu bisa disebabkan
oleh jenis sarung tangannya yang steril atau yang non-steril dan sampai saat
ini diperlukan penggunaan teknik perlindungan selama perawatan pasien.
Sarung tangan steril yang pada umumnya tidak digunakan secara rutin ketika
prosedur pencabutan gigi dilakukan, sekarang sudah bisa digunakan secara
rutin karena diterima sebagai pertahanan yang baik terhadap infeksi silang
antara operator dengan pasien selain itu bertujuan untuk menjaga sterilitas
selama operasi dan untuk meminimalkan infeksi pascaoperasi (Lata, 2012).
Sarung tangan dapat berupa single-use-disposable non sterile exam
gloves atau single-use-diposable sterile surgical gloves yang dapat digunakan
dalam mulut pasien dan digunakan untuk mencegah kontaminasi tangan
petugas kesehatan (Kohli dan Puttaiah, 2007).
3
Material pada sarung tangan umumnya terbuat dari tiga bahan dasar
yaitu natural rubber latex (NRL), dan dua bahan sintetis akrilonitril-butadiene
(nitril), dan polyninyl chloride (vinyl, PVC) dan sarung tangan lateks
merupakan sarung tangan yang paling banyak digunakan, karena harganya
yang cukup terjangkau dan mudah dicari sehingga memungkinkan
penggantian sarung tangan pada setiap pasien (Smith,2008).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengatahui tentang pengaruh
efektifitas penggunaan sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada
rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Dengan diketahui efektifitas sarung tangan steril dalam pencegahan
iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium
Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
diharapkan kedepannya pemilihan sarung tangan yang tepat pada perawatan
pencabutan gigi untuk meminimalisir penyebaran mikroorganisme patogen
kepada pasien sebagai salah satu cara pencegahan terhadap infeksi silang dan
iritasi jaringan lunak dalam rongga mulut.
H. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah
penelitian yaitu : Apakah terdapat pengaruh pada penggunaan sarung tangan
steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi
4
permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar?
I. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui sejauh manakah pengaruh efektifitas sarung tangan
steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi
permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar.
J. Hipotesis
Dari tujuan diatas, dapat ditulis hipotesis sebagai berikut :
1. Bahwa terdapat adanya pengaruh pada penggunaan sarung tangan steril
dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi
permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar.
2. Bahwa penggunan sarung tangan steril lebih efektif dalam pencegahan
iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di Laboratorium
Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar.
5
K. Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan informasi dan menambahkan pengetahuan tentang
penggunaan sarung tangan steril dalam pecegahan iritasi pada rongga
mulut pasca pencabutan gigi permanen pada institusi Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
2. Dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat terhadap pentingnya
penggunaan sarung tangan dalam pengaplikasian perawatan pencabutan
gigi.
L. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Peneliti membatasi penelitian ini pada :
1. Sarung tangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarung tangan
steril yang berbahan dasar latex.
2. Untuk mengetahui efektifitas sarung tangan steril pasca pencabutan gigi
permanen hanya dilihat dengan pengamatan langsung dan tidak melalui uji
laboratorium.
3. Penelitian ini hanya dilakukan pada pasien dengan indikasi pencabutan
gigi permanen seperti : kelainan periodontal, infeksi odontogen, sisa akar
dan pulpitis irreversible.
4. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan sarung tangan steril, pada
penelitian ini tidak menghiraukan iritasi yang terjadi pada tangan operator
tetapi hanya melihat iritasi yang terjadi pada rongga mulut pasca
pencabutan gigi permanen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Ilmu Bedah Mulut
Ilmu Bedah Mulut merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan bedah di dalam
rongga mulut baik berupa minor, mayor dan tindakan pencabutan gigi atau
eksodonsia.
Ilmu bedah mulut disebut dengan oral surgery. Menurut American
Dental Association (1990) seorang dokter gigi yang ahli dalam bidang Ilmu
Bedah Mulut disebut dengan spesialis Ilmu Bedah Mulut dan Maksillofasial
(Oral and Maxillofacial Surgery) yakni spesialisasi di bidang kedokteran gigi,
yang meliputi diagnosis, perawatan bedah dan ajuan penyakit, cedera dan
cacat yang melibatkan aspek fungsional dan estetika dari jaringan keras dan
lunak di daerah rongga mulut dan maksilofasial.
J. Mukosa Mulut
Mukosa adalah lapisan basah yang berkontak dengan lingkungan
eksternal, yang terdapat pada saluran pencernaan, rongga hidung, dan rongga
tubuh lainnya. Pada rongga mulut, lapisan ini dikenal dengan oral mucous
membrane atau oral mucosa. Oral mukosa dapat berfungsi sebagai : proteksi,
sensasi dan sekresi. Berdasarkan struktur perbedaan regional, diferensiasi dan
kecepatan pergantian sel, maka mukosa mulut diklasifikasikan dalam tiga tipe
: mukosa penutup yaitu mukosa yang menutupi sebagian besar rongga mulut
6
7
termasuk bibir, pipi dan basal prosesu alveolaris, forniks vestibulum, dasar
mulut, permukaan ventral lidah dan palatum molle. Epitel mukosa ini
sebagaian besar adalah epitel gepeng yang berlapis non-keratin. Lamina
proprianya adalah jaringan ikat jarang dan sangat kaya dengan pembuluh
darah serta mengandung kolagen dan elastin. Mukosa mastikasi, yaitu mukosa
yang menutupi palatum dan prosesus alveolaris (gingiva). Epitel mukosa ini
biasanya epitel gepeng yang berlapis berkeratin, lamina proprianya adalah
jaringan ikat kolagen padat dengan vaskularisasi sedang. Mukosa khusus,
yaitu mukosa dorsal lidah yang berfungsi sebagai penegecap (Chrismawaty,
2006).
Aliran darah yang melewati mukosa mulut yang terbesar adalah pada
gingiva, tetapi semua regiao mukosa mulut, aliran darah lebih besar dari pada
kulit. Pada kulit pembuluh darah dan aliran darah berperan dalam regulasi
temperature, tetapi tidak pada mukosa rongga mulut manusia. Mukosa rongga
mulut tidak memiliki cukup arteriovenous shunts (substitusi system arterivena) tetapi memiliki banyak arteri dan kapiler yang beranastomosis dan
berkontribusi terhadap kemampuannya untuk sembuh lebih cepat daripad kulit
setelah injury (Chrismawaty, 2006).
3. Ulserasi Mukosa Mulut
Ulserasi adalah keadaan jaringan lunak mulut yang kehilangan
epitel yang terjadi akibat trauma mekanis atau khemis seperti obat-obatan
dan bahan allergen. Ada dua jenis kondisi ulserasi yaitu ulserasi akut
reaktif dan ulserasi kronik reaktif. Gambaran klinis menunjukan gejala
8
inflamasi akut termasuk rasa sakit, kemerahan, dan pembengkaan. Area
ulserasi ditutupi eksudat fibrin yang berwarna putih kekuningan dan
dikelilingi daerah kemerahan. Sedangkan ulserasi kronik, terjadi sedikit
atau tanpa rasa sakit. Area ulserasi ditutupi membran kuning dan dengan
tepi yang sedikit menonjol yang menandakan adanya hyperkeratosis.
Gambaran histopatologik ulserasi akut menunjukan hilangnya permukaan
epitel yang diganti oleh jaringan fibrin yang sebagian besar mengandung
neotrofil. Bagian dasar menunjukan dilatasi kapiler dan pembentukan
jaringan granulasi. Sedangkan pada ulserasi kronik tampak jaringan
granulasi dengan jaringan parut di bagian yang lebih dalam (Yusran,
2007).
4. Penyembuhan Ulserasi
Menurut Yusran (2007) tahap penyembuhan dapat dibagi menjadi tiga
yaitu tahap inflamasi, tahap fibroplastik dan tahap remodeling.
a. Tahap inflamasi dimulai saat terjadi injuri jaringan dan saat tidak ada
faktor lain yang memperpanjang inflamasi yang berlangsung selama 37 hari. Ada dua fase pada tahap inflamasi yaitu fase vaskuler yang
dimana fase ini dimulai dengan vasokonstriksi awal pembuluh darah
yang terganggu akibat dari normal vascular tone. Vasokonstriksi ini
memperlambat aliran darah ke area injury dengan terjadinya koagulasi
darah. Dalam beberapa menit, histamin dan prostagladin E1 serta E2
bergabung dengan sel darah putih, menyebbkan vasodilatasi dan
membuka ruangan kecil antara sel endotel, sehingga plasma
9
berkumulasi pada area injury yang berfungsi sebagai kontaminan.
Pengumpulan cairan ini disebut dengan edema.
Tanda utama inflamasi adalah eritema (rubor), edema (tumor),
panas (kalor), dan rasa sakit (dolor) serta hilangnya fungsi ( functi
laesa). Rasa panas dan eritema disebabkan vasodilatasi pembuluh
darah. Pembengkakan disebabkan oleh transudasi cairan. Rasa sakit
dan hilangnya fungsi disebabkan oleh pelepasan histamin, kinin, dan
prostagladin yang dibebaskan oleh leukosit, seperti akibat tekanan
edema.
b. Tahap fibroplastik yaitu serabut serabut fibrin yang berasal dari
koagulasi darah, akan tetapi menutup luka dengan membentuk
anyaman dimana fibroblas dapat memulai meletakkan substansi dasar
dan tropokolagen. Substansi dasar terdiri dari dari bebrapa
mukopolisakaridayang bertindak menguatkan kolagen. Fibroblas
menyebabkan
perubahan
bentuk
dan
sirkulasi
sel
mesenkim
pluropotensial sehingga dimulai produksi tropokolagen pada hari
ketiga dan hari keempat setelah injury. Fibroblas juga mensekresikan
fibonectin, suatu protein yang memiliki banyak fungsi.
c. Tahap remodelling merupakan tahap akhir penyembuhan luka. Pada
tahap ini serta kolagen secara acak dihancurkan dan digantikan dengan
serat kolagen baru dengan orientasi lebih baik dalam menahan tensile
force luka. Wound strength meningkat lambat tapi tidak sebesar
peningkatan pada tahap fibroplastik. Kekuatan luka tidak pernah lebih
10
dari 80-85% dari jaringan yang tidak mengalami injury. Karena serat
kolagen yang berorientasi baik lebih efisien, maka hanya dibutuhkan
sedikit, sehingga kelebihan kolagen dihilangkan, dan luka yang
memungkinkan jaringan parut menjadi lebih lunak. Saat metabolism
luka menurun, vaskularisasi juga menurun, sehingga eritema hilang.
Elastin yang ditemukan pada kulit normal dan ligamen tidak
digantikan selama penyembuhan luka, sehingga injury pada jaringan
tersebut menyebabkan hilangnya fleksibilitas sepanjang jaringan parut.
Kontraksi luka adalah proses akhir yang dimulai pada akhir tahap
fibroplastik dan berlangsung selama awal remodeling. Pada beberapa
kasus, kontraksi luka berperan pada penyembuhan luka. Walau
mekanismenya belum jelas, selama kontraksi luka, bagian tepi luka
bermigrasi kearah satu sama lainnya. Pada luka yang tidak atau tidak
akan digantikan oleh proses aposisi, kontraksi luka akan mengurangi
ukuran luka.
K. Ekstraksi Gigi
Ekstraksi gigi adalah tindakan yang paling sederhana di bidang bedah
mulut dan merupakan tindakan yang sehari-hari dilakukan oleh seorang dokter
gigi.
Walaupun
merupakan
tindakan
yang
biasa
dilakukan,
tetapi
kemungkinan terjadinya komplikasi pasca ekstraksi gigi dapat terjadi setiap
saatEkstrasi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang
11
alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik
sederhana dan teknik pembedahan (Santoso, 2009).
Situasi yang tidak diinginkan sering dihadapi di dalam praktek dokter
gigi yang disebabkan kesalahan dokter gigi, kesalahan pasien atau faktorfaktor lain. Pada umumnya ekstraksi gigi selalu berhasil dan tidak
menimbulkan komplikasi. Walaupun demikian, tidak selamanya ekstraksi gigi
dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena kadang-kadang dokter
gigi menemukan kesukaran sewaktu ekstraksi gigi sehingga membutuhkan
waktu yang relatif lama (Fragiskos FD, 2007).
Respon pasien tertentu dianggap sebagai kelanjutan yang normal dari
pembedahan, yaitu perdarahan, rasa sakit dan edema. Tetapi apabila
berlebihan, perlu dipikirkan lagi apakah termasuk morbiditas yang biasa
ataukah komplikasi. Pencegahannya tergantung pada pemeriksaan riwayat,
pemeriksaan menyeluruh, foto rontgen yang memadai, dan formula rencana
pembedahan yang memuaskan. Tanpa memandang pengalaman dokter gigi,
kesempurnaan persiapan dan keterampilan dokter gigi, komplikasi masih bisa
terjadi pada situasi perawatan tertentu. Karena itu komplikasi tertentu kadangkadang tidak terhindarkan (Pedersen, 1996).
Trauma pada ekstraksi gigi adalah hal yang mungkin terjadi dan tidak
asing lagi. Penting bagi dokter gigi untuk mengontrol tenaga saat ekstraksi
gigi agar tidak berlebihan atau kasar sehingga terhindar dari trauma yang
besar. Pada ekstraksi gigi yang sulit, kadang-kadang dibutuhkan tenaga yang
besar sehingga dapat menimbulkan trauma yang besar pada jaringan di sekitar
12
gigi baik jaringan lunak maupun jaringan keras. Hal ini membuat rasa tidak
nyaman pada pasien dan menimbulkan ketakutan pasien. Jika trauma yang
besar pada ekstraksi gigi terjadi, hal yang paling penting bagi dokter gigi
adalah dapat menguasai dirinya untuk tetap tenang agar tidak memperparah
keadaan. Karena pasien, jika sadar, biasanya cepat untuk memperhatikan
kekacauan yang terjadi pada dirinya dan menjadi khawatir (Rounds, 1962).
Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari perlekatan
jaringan lunak menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan
mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar menggunakan tang
ekstraksi.
Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep,
pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan gigi
di dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke tempat
semula dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk ekstraksi gigi
erupsi yang merupakan indikasi, misalnya gigi berdesakan. Ekstraksi gigi
dengan teknik pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa diekstraksi
dengan menggunakan teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis (Sicklick,
2009).
1. Indikasi Ekstraksi Gigi
Tujuan dokter gigi adalah menciptakan rongga mulut yang sehat
dan dapat berfungsi dengan baik sampai akhir pertumbuhan gigi.
Walaupun demikian, ekstraksi gigi penting dilakukan dengan berbagai
alasan.
13
a. Karies Besar
Gigi yang mahkotanya sudah sangat rusak dan tidak dapat
direstorasi lagi.
b. Nekrosis Pulpa
Gigi dengan pulpitis irreversible yang perawatan endodonti tidak
dapat dilakukan lagi atau merupakan kegagalan setelah dilakukan
perawatan endodonti.
c. Penyakit Periodontal
Periodontitis dewasa yang berat dan luas akan menyebabkan
kehilangan tulang berlebihan dan mobiliti gigi yang menetap.
d. Gigi Retak
Gigi yang retak atau mengalami fraktur akar yang biasanya
menyebabkan nyeri hebat dan tidak dapat dikendalikan dengan
perawatan endodonti.
e. Gigi Malposisi
Gigi yang dapat menyebabkan trauma jaringan lunak dan posisinya
tidak dapat diperbaiki dengan perawatan orthodonti.
f. Gigi Terpendam
Apabila gigi terpendam menimbulkan masalah dan menyebabkan
gangguan fungsi normal dari pertumbuhan gigi, maka gigi
terpendam ini diekstraksi.
14
g. Gigi Berlebih
Dapat mengganggu pertumbuhan gigi
geligi normal atau
menyebabkan gigi berjejal berat dan estetis yang kurang pada gigi
anterior.
h. Gigi yang berkaitan dengan lesi patologis
Ekstraksi dengan lesi patologis harus dengan pembuangan lesinya
i. Gigi Persistensi Gigi
Desidui yang sudah waktunya tanggal tetapi masih kuat dan gigi
penggantinya sudah erupsi. Biasanya gigi desidui mengalami
resorbsi sehingga akan goyah, tetapi pada gigi desidui yang
gangren tidak mungkin terjadi resorbsi atau karena kondisi
kesehatan dari pasien maka gigi desidui itu masih tetap tertanam
dalam tulang alveolar.
j. Keperluan Orthodonti
Ekstraksi gigi premolar dilakukan untuk perawatan orthodonti
dengan pertumbuhan gigi yang berjejal.
k. Ekstraksi Preprostetis
Untuk keperluan pembuatan protesa dilakukan ekstraksi gigi.
l. Preradioterapi
Pasien yang akan mendapatkan perawatan radioterapi pada rongga
mulutnya harus dilakukan ekstraksi gigi terlebih dahulu pada gigigigi yang merupakan indikasi pada daerah yang akan diradioterapi.
15
2. Kontraindikasi Ekstraksi Gigi
Walaupun gigi memenuhi persyaratan untuk dilakukan ekstraksi, pada
beberapa keadaan tidak boleh dilakukan ekstraksi gigi karena beberapa
faktor atau merupakan kontraindikasi ekstraksi gigi seperti :
a. Penderita penyakit jantung, hipertensi, arteriosklerosis, dan
diabetes mellitus kontraindikasi pada pemberian adrenalin
Adrenalin pada ekstraksi gigi merupakan kontraindikasi pada
penderita penyakit jantung, hipertensi, arteriosklerosis dan diabetes
melitus.
b. Penderita Trombositopenia
Penderita trombositopenia memiliki jumlah trombosit lebih sedikit
dari normal sehingga darah sukar membeku. Seperti yang telah
diketahui bahwa trombosit penting artinya dalam pembekuan
darah.
c. Penderita Leukemia
Penderita leukemia memiliki jumlah leukosit yang lebih banyak
dari normal dalam darah sehingga mudah mengalami perdarahan.
d. Kaheksi
Penderita memiliki keadan umum yang sangat buruk karena
malnutrisi atau sesudah menderita penyakit yang lama dan berat.
Akibatnya semua keadaan menjadi jelek, perdarahan banyak,
penyembuhan luka lambat dan dengan suntikan atau sedikit trauma
16
ia dapat kolaps. Ekstraksi gigi ditunda sampai keadaan umum
penderita lebih baik.
e. Penderita Hemofilia
Merupakan penyakit atau kelainan susunan darah yang bersifat
herediter dan hanya terdapat pada laki-laki. Apabila penderita
mendapatkan luka, maka darahnya tidak dapat membeku. Hal ini
disebabkan oleh trombosit tidak dapat pecah kalau berhubungan
dengan udara karena kekurangan zat antihemofilia dalam serum,
sehingga darah akan terus mengalir.
f. Kehamilan
Ekstraksi gigi merupakan kontraindikasi pada trimester pertama,
karena keadaan umum ibu hamil pada trimester pertama sering
sangat lemah dan dalam masa pembentukan janin.
g. Peradangan di sekitar Gigi
Apabila terdapat peradangan di sekitar gigi, maka ekstraksi gigi
adalah
kontraindikasi. Ekstraksi gigi dapat dilakukan jika
inflamasinya sudah sembuh.
3. Prinsip Ekstraksi Gigi
Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-prinsip yang
akan memudahkan dalam proses ekstraksi gigi dan memperkecil terjadinya
komplikasi ekstraksi gigi (Harper & Row, 1985).
17
a. Asepsis
Untuk menghindarkan atau memperkecil bahaya inflamasi,
seharusnya bekerja secara asepsis, artinya melakukan pekerjaan
dengan menjauhkan segala kemungkinan kontaminasi dari kuman
atau menghindari organisme patogen. Asepsis secara praktis
merupakan suatu teknik yang digunakan untuk memberantas semua
jenis organisme. Tindakan sterilisasi dilakukan pada tim operator,
alat-alat yang dipergunakan, kamar operasi, pasien terutama pada
daerah pembedahan.
b. Pembedahan atraumatik
Pada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara
hati-hati, tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti,
sehingga membuat trauma sekecil mungkin. Tindakan yang kasar
menyebabkan trauma jaringan lunak, memudahkan terjadinya
inflamasi dan memperlambat penyembuhan. Peralatan yang
digunakan haruslah tajam karena dengan peralatan yang tumpul
akan memperbesar terjadinya trauma.
c. Akses dan lapangan pandang baik
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan
pandang yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor
tersebut adalah posisi kursi, posisi kepala pasien, posisi operator,
pencahayaan, retraksi dan penyedotan darah atau saliva. Posisi
kursi harus diatur untuk mendapatkan akses terbaik dan
18
kenyamanan bagi operator dan pasien. Pada ekstraksi gigi maksila,
posisi pasien lebih tinggi dari dataran siku operator dengan posisi
sandaran kursi lebih rendah sehingga pasien duduk lebih
menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan lantai.
Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih
rendah dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi
tegak dan dataran oklusal terendah sejajar dengan lantai.
Pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar daerah operasi
dapat terlihat dengan jelas tanpa bayangan hitam yang membuat
gelap daerah operasi. Retraksi jaringan juga dibutuhkan untuk
mendapatkan lapangan pandang yang jelas. Daerah operasi harus
bersih dari saliva dan darah yang dapat mengganggu penglihatan
ke daerah tersebut sehingga dibutuhkan penyedotan pada rongga
mulut.
d. Tata Kerja Teratur
Bekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal mungkin
dengan mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting untuk
mengetahui cara kerja yang berbeda untuk setiap pembedahan,
sehingga dapat menggunakan tekanan terkontrol sesuai dengan
urutan tindakan.
19
4. Macam-Macam Teknik Ekstraksi Gigi
Menurut Bakar (2002), teknik ekstraksi gigi dibagi menjadi yaitu :
a. Closed Methods atau simple technique yaitu, teknik pencabutan
gigi tanpa pembedahan, hanya mengguanakan prosuder pencabutan
dengan menggunakan tang, elevator maupun kombinasi dari
keduanya.
b. Open Method adalah suatu teknik pencabutan gigi dengan
menggunakan prosedur bedah (surgical extraction) yang biasa
disebut dengan istilah pencabutan trans-alveolar, yang biasanya
didahului dengan pembuatan flap maupun alveolectomi.
5. Komplikasi Pasca Pencabutan Gigi
Setelah dilakukan tindakan ekstraksi, biasanya sering diikuti
adanya komplikasi. Komplikasi-komplikasi pada pencabutan gigi banyak
dan bermacam-macam. Komplikasi pasca esktraksi ini bisa menjadi
masalah yang serius dan fatal.Menurut Pedersen (1996), komplikasi adalah
suatu respon pasien tertentu yang dianggap sebagai kelanjutan normal dari
pembedahan, yaitu perdarahan, rasa sakit, danedema. Tetapi apabila
berlebihan maka perlu ditinjau apakah termasuk morbiditas yang biasa
terjadi atau termasuk komplikasi. Komplikasi pencabutan gigi menurut
Pedersen (1996) dibagi menjadi tiga yaitu komplikasi intraoperatif,
komplikasi pasca bedah, dan komplikasi beberapa saat setelahoperasi.
Komplikasi
intraoperatif
berupa
perdarahan,
fraktur,
pergeseran,
cederajaringan lunak, dan cedera saraf. Sedangkan komplikasi pasca bedah
20
berupaperdarahan, rasa sakit, edema, dan reaksi terhadap obat. Dan yang
termasuk komplikasibeberapa saat setelah operasi adalah alveolitis (dry
socket) dan infeksi.
Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai
sebab dan bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. Komplikasi
tersebut kadang-kadang tidak dapat dihindarkan tanpa memandang
operator, kesempurnaan persiapan dan keterampilan operator. Pada situasi
perawatan tertentu sekalipun persiapan pra operasi telah direncanakan
sebaik mungkin untuk mencegah atau mengatasi kemungkinan timbulnya
kesulitan melalui hasil diagnosis secara cermat dan operator telah
melaksanakan prinsip-prinsip bedah dengan baik selama pencabutan gigi
(Karasutisna, 2002).
Adapun
beberapa
faktor
penyebab
terjadinya
komplikasi
diantaranya karena kondisi sistemik dan lokal pasien serta keahlian,
keterampilan dan pengalaman operator serta standar prosedur pelaksanaan
juga mempengaruhi. Menurut Pedersen (1996) terdapat berbagai macam
komplikasi yang dapat terjadi pasca pencabutan gigi, seperti:
a. Perdarahan
Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling ditakuti oleh
dokter maupun pasien karena dianggap dapat mengancam hidup.
Pasien
dengan
gangguan
pembekuan
darah
sangatlah
jarang
ditemukan, kebanyakan adalah individu dengan penyakit hati,
misalnya seorang alkoholik yang menderita sirosis, pasien yang
21
menerima terapi antikoagulan, atau pasien yang mengkonsumsi aspirin
dosis tinggi atau agen antiradang nonsteroid. Semua itu mempunyai
resiko perdarahan.
b. Infeksi
Meskipun jarang terjadi tetapi hal ini jangan dianggap sepele. Bila
terjadi dokter gigi dapat memberikan resep berupa antibiotik untuk
pasien yang beresiko terkena infeksi.
c. Pembengkakan
Keadaan ini terjadi akibat perdarahan yang hebat saat pencabutan gigi.
Ini terjadi karena bermacam hal seperti; kelainan sistemik pada pasien.
d. Dry socket
Kerusakan bekuan darah ini dapat disebabkan oleh trauma pada saat
pencabutan gigi (pencabutan dengan komplikasi), dokter gigi yang
kurang
berhati-hati
penggunaan
kontrasepsi
oral,
penggunaan
kortikosteroid dan suplai darah (suplai darah di rahang bawah lebih
sedikit daripada rahang atas). Kurangnya irigasi saat dokter gigi
melakukan tindakan juga dapat menyebabkan dry socket. Gerakan
menghisap dan menyedot seperti kumur-kumur dan merokok segera
setelah pencabutan dapat mengganggu dan merusak bekuan darah.
e. Rasa sakit
Rasa sakit paska operasi akibat trauma jaringan keras dapat berasal
dari cederanya tulang karena terkena instrumen atau bur yang terlalu
panas selama pembuangan tulang. Dengan mencegah kesalahan teknis
22
dan memperhatikan penghalusan tepi tulang yang tajam, serta
pembersihan soket tulang setelah pencabutan dapat menghilangkan
penyebab rasa sakit setelah pencabutan gigi.
f. Fraktur
1) Fraktur mahkota gigi
Selama pencabutan mungkin tidak dapat dihindari bila gigi sudah
mengalami karies atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga
disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bila tang di
aplikasikan pada mahkota gigi bukan pada akar atau massa akar
gigi atau dengan sumbu panjang tang yang tidak sejajar dengan
sumbu panjang gigi. Bila operator memilih tang dengan ujung
terlalu lebar dan hanya memberikan kontak 1 titik gigi dapat pecah
bila tang ditekan. Bila tangkai tang tidak dipegang dengan kuat,
ujung tang mungkin terlepas dari akar dan mematahkan mahkota
gigi. Terburu-buru biasanya merupakan penyebab dari semua
kesalahan, yang sebenarnya dapat dihindari bila operator bekerja
sesuai metode. Pemberian tekanan berlebihan dalam upaya
mengatasi perlawanan dari gigi tidak dianjurkan dan bisa
menyebabkan fraktur mahkota gigi.
2) Fraktur tulang alveolar
Dapat terjadi pada waktu pencabutan gigi yang sukar. Bila terasa
bahwa terjadi fraktur tulang alveolar sebaiknya giginya dipisahkan
23
terlebih dahulu dari tulang yang patah, baru dilanjutkan
pencabutan.
3) Fraktur yang bersebelahan atau gigi antagonis
Gigi antagonis bisa pecah atau fraktur bila gigi yang akan dicabut
tiba-tiba diberikan tekanan yang tidak terkendali dan tang
membentur gigi tersebut. Teknik pencabutan yang terkontrol dapat
mencegah kejadian ini.
4) Fraktur mandibula atau maxilla
Kondisi ini terjadinya fraktur (patah tulang) yang tidak diharapkan
dari bagian soket gigi atau bahkan tulang mandibula atau maksila
tempat melekatnya tulang alveolar berada. Paling umum terjadi
dikarenakan kesalahan teknik operator saat melakukan pencabutan
gigi. Oleh karena itu operator diharuskan memiliki teknik yang
benar dan bisa memperhitungkan seberapa besar penggunaan
tenaga saat mencabut gigi dan cara menggunakan alat dengan
tepat.
6. Syok
Syok memiliki gejala atau tanda seperti hipotensi, denyut nadi
tidak tentu, sianosis pada bibir, laju pernafasan meningkat dan agitasi.
Pada gejala ini bisa dilakukan pencegahan dengan tindakan memperbaiki
jalan nafas, memriksa fungsi kardiofaskuler, amati perubahan tingkat
kesadaran, monitor,catat tekanan darah dan denyut nadi (Bakar, 2002).
24
L. Teknik Asepsis
Infeksi nosokomial timbul secara berkelanjutan dalam seluruh bidang
pemeliharaan kesehatan. Resiko dari infeksi nosokomial dapat dengan mudah
dikurangi dengan memahami dan melakukan teknik aseptic. Manusia
merupakan sumber alamiah untuk mikroba, dimana seluruh mikroba dapat
menjadi sumber untuk terjadinya suatu infeksi (Samaranayake, 2002).
Pengontrolan mikroorganisme pada jaringan hidup dengan agen kimia
diperlukan. Antisepsis adalah pencegahan infeksi atau sepsis dan didapatkan
dengan antiseptik. Bahan kimia diaplikasikan pada jaringan untuk mencegah
infeksi dengan membunuh atau menghambat pertumbuhannya, juga
mengurangi jumlah total populasi mikroba. Agar tidak merusak jaringan host
terlalu banyak, maka antiseptik umumnya tidak memiliki kemampuan toksik
sebesar desinfektan (Samaranayake, 2002).
Asepsis merupakan suatu tindakan untuk mengurangi jumlah mikroba
semaksimal mungkin. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran
mikroba dari orang yang satu terhadap yang lainnya. Usaha dilakukan untuk
menjaga agar lingkungan dari pasien dibebaskan dari kontaminasi dan juga
pasien dibebaskan dari koloni mikroba dan asepsis merupakan keadaan yang
bebas dari infkesi, karena itu teknik aseptik digunakan untuk menggambarkan
langkah-langkah yang perlu diambil guna mencegah infeksi yang timbul dari
kontaminasi
luka
selama
pembedahan,
yang
dapat
menyebabkan
penyembuhan yang terlambat setelah pembedahan (Samaranayake, 2002).
25
1. Prinsip Asepsis
Menurut Crow (1990) terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam asepsis medis adalah sebagai berikut :
a. Mengevaluasi setiap pasien untuk menentukan apakah terjadi
proses infeksi, melihat dan menentukan kemungkinan barrier tepat
yang terlibat dalam proses infeksi. Isolasi penyakitnya dan bukan
pasiennya.
b. Ketika terjadi penetrasi pada tubuh, kulit sebagai barrier ditembus,
maka kondisi pasien menjadi rentan terhadap mikroba yang masuk
ke dalam tubuh. Meskipun kulit yang merupakan barrier yang baik
untuk melawan kontaminasi mikroba, tetap saja mikroba dapat
berkoloni jika tidak dilakukan tindakan pencegahan secepat
mungkin.
c. Seluruh cairan tubuh dari pasien dipertimbangkan terkontaminasi.
Team pemberi layanan kesehatan dan lingkungan dapat menjadi
sumber kontaminasi bagi pasien.
d. Agen antiseptik digunakan untuk membunuh atau mencegah
mikroba kulit, kulit tidak dapat disterilkan tetapi jumlah mikroba
dapat dikurangi, sedangkan agen desinfektan digunakan untuk
membunuh atau mencegah mikroba lingkungan. Antiseptik bukan
merupakan desinfektan.
e. Karakteristik antiseptik meliputi kemampuan yang cepat untuk
mengurangi flora, memiliki spektrum yang luas dalam kemampuan
26
membunuh, tidak dapat diabsorbsi melalui kulit dan membran
mukosa, dan harus dengan konsentrasi yang tepat.
Terdapat aturan yang berlaku dalam teknik aseptik yaitu hanya
personel yang steril yang dapat menyentuh benda steril, dan hanya bahan
steril yang dapat menyentuh jaringan pasien. Benda atau bahan yang sudah
steril hanya boleh berkontak dengan benda atau bahan steril lainnya, jika
bahan steril berkontak dengan bahan tidak steril maka menjadi tidak steril,
dan jika suatu bahan diragukan kesterilannya, maka dianggap non steril.
M. Infeksi Silang
Kebanyakan orang mengangap infeksi silang atau croos infection
inilah yang dimaksud dengan infeksi nosokomial. infeksi yang ditularkan dari
pasien ke operator, operator ke operator atau pasien ke pasien.
Transmisi dari infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung dengan
pasien atau kontak tidak langsung melalui instrument yang terkontaminasi.
Beberapa jenis alat kedokteran gigi terutama Handpiece High Speed dan Ultra
Sonic Scaler menghasilkan aerosol yang pasif selama penggunaan. Beberapa
mikroorganisme patogen (termasuk dalam saluran nafas) ditransmisikan
melalui penyebaran droplet, ini merupakan cara potensial untuk penyebaran
infeksi di bidang kedokteran gigi. Sterilisasi yang efektif dari instrument
kedokteran gigi merupakan aturan utama untuk semua kontrol infeksi, akan
mencegah rute/ jalur transmisi infeksi silang (Samaranayake,2002).
27
N. Transmisi Perjalanan Penyakit
Dalam praktek kedokteran gigi, penyakit atau infeksi dapat di tularkan
dari pasien ke dokter gigi, dokter gigi ke pasien ataupun pasien ke pasien
dapat terjadi apabila tidak melaksanakan tindakan pencegahan yang memadai.
Menurut
Kohli dan Puttaiah (2007)
terdapat beberapa cara penularan
penyakit berdasarkan keparahannya antara lain :
1. Perkutaneus (resiko tinggi)
Inokulasi mikroorganisme dari darah dan saliva yang di tularkan
dari jarum ataupun benda tajam.
2. Kontak Langsung (resiko tinggi)
Tersentuh atau terpaparnya kulit yang utuh terhadap lesi oral yang
menginfeksi, permukaan jaringan yang terinfeksi, carian yang terinfeksi
atau percikan cairan yang terinfeksi.
3. Inhalasi aerosol atau droplet yang mengandung patogen (resiko sedang)
Menghirup bioaerosol yang mengandung material infektif saat
menggunakan handpiece dan scaler atau droplet nucleii yang berasal dari
batuk.
4. Kontak tidak langsung (resiko rendah)
Melalui menyentuh permukaan benda mati yang terkontaminasi
pada ruang perawatan atau ruang operasi.
Resiko transmisi penyakit bervariasi tergantung dari daya tahan tubuh
host, virulensi, efektivitas organisme, dosis atau jumlah mikroorganisme,
waktu pemaparan dan cara transmisi. Kontrol terhadap virulensi organisme
28
patogen atau mengurangi kerentanan pasien adalah hampir tidak mungkin
dilakukan. Petugas klinis harus mengerti dan memahami tentang proses
penyakit,
rute
transmisi,
metode
mengontrol
transmisi,
dan
mengimplementasikan kontrol infeksi selama praktek untuk memutus rantai
infeksi (Kohli dan Puttaiah, 2007).
O. Perlengkapan Perlindungan Diri
Perlengkapan perlindungan diri yang di pakai oleh petugas kesehatan
gigi harus menutupi bagian tubuh mulai dari kepala hingga telapak kaki.
Perlengkapan ini mulai dari tutup kepala, masker, pelindung mata dan alas
kaki. Perlengkapan ini tidak harus di gunakan secara bersamaan, tergantung
dari tingkat resiko yang mengerjakan, prosedur dan tindakan medis serta
perawatan (Darmadi, 2008).
Menurut Darmadi (2008) terdapat tiga hal penting yang harus di
ketahui dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan agar tidak terjadi transmisi
mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis
serta perawatannya :
1. Petugas diharapkan selalu berada dalam keadaan sehat, dalam arti kata
bebas dari kemungkinan menularkan penyakit.
2. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan,
petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan
hygiene lainnya.
29
3. Menggunakan atau memakai perlengkapan perlindungan diri sesuai
kebutuhan dengan cara yang tepat.
Personal Protective Equipment (PPE) atau perlengkapan perlindungan
diri yang biasa digunakan dalam perawatan gigi adalah sarung tangan sekali
pakai (steril atau non-steril), pelindung mata, perisai wajah, masker, gaun dan
yang digunakan untuk melindungi tubuh pribadi dari darah dan cairan tubuh
dan bahaya kimia. Fungsi utamanya adalah mengontrol kontaminasi silang
dan mencegah penyebaran mikroba.
1. Sarung Tangan
Sarung tangan dapat berupa single-use-disposable non-sterile exam
gloves atau single-use-disposable sterile surgical gloves dapat digunakan
di dalam mulut pasien Sarung tangan digunakan untuk mencegah
kontaminasi tangan petugas kesehatan (Kohli dan Puttaiah, 2007).
Fungi sarung tangan diantaranya adalah :
a. Mengantisipasi kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh,
selaput lendir, kulit nonintact dan bahan lainnya yang berpotensi
menular.
b. Mencegah kontak langsung dengan pasien yang terpapar atau
terinfeksi dengan patogen ditularkan oleh rute kontak misalnya, VRE,
MRSA, RSV
c. Digunakan pada saat melakukan penanganan atau menyentuh
peralatan perawatan.
30
2. Masker
Masker pada kedokteran gigi digunakan untuk mengendalikan
paparan terhadap rongga mulut dokter dan mukosa hidung terhadap
material infeksius dan darah serta cairan rongga mulut pasien (Kohli dan
Puttaiah,
2007).
Sebuah
masker
bedah
melindungi
terhadap
mikroorganisme yang dihasilkan oleh para pemakainya, dengan >95%
efisiensi filtrasi bakteri, dan juga melindungi penggunanya dari partikel
besar yang mungkin mengandung patogen dari darah atau mikroorganisme
infeksius lainnya. Pada saat diperlukan isolasi pencegahan infeksi udara
(misalnya, untuk pasien TB), Institut Nasional untuk Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (NIOSH) mengeluarkan sertifikat untuk penggunaan
particulate-filter respirator (misal: N95, N99, atau N100). N95 memiliki
kemampuan untuk menyaring partikel 1-μm dengan filter efisiensi >95%
(penyaring kebocoran <5%), memberikan tingkat aliran <50 L / min
(yaitu, perkiraan laju aliran udara maksimum pekerja kesehatan saat
bernafas). Data menunjukkan ukuran infectious droplet adalah berinti 1-5
μm; oleh karena itu, respirator yang digunakan dalam pengaturan layanan
kesehatan harus dapat efisien menyaring partikel terkecil dalam kisaran
ini. Mayoritas masker bedah tidak bersertifikasi NIOSH sebagai
respirator, dan tidak melindungi penggunanya dari paparan TB (Kohn
dkk, 2003).
Menurut Kohli dan Puttaiah (2007), masker yang menempel pada
garis mata dapat dibuang setiap kali pakai. Setiap kali menggunakan
31
masker, pekerja kesehatan harus membuangnya setelah merawat satu
pasien. Jika prosedur melampaui 25-30 menit, mungkin perlu untuk
mengganti masker dengan yang baru. Ketika terlihat kontaminasi atau
percikan yang berulang-ulang, masker baru harus digunakan setelah
mencuci muka dan mata (jika diperlukan).
3. Pelindung Mata
Pada dunia kedokteran gigi dapat pelindung mata dapat berupa
goggles,glass
polikarbonat
dengan
sisi-perisai,
face-shield
dan
prescription glasses dengan side-shields sekali pakai. Walaupun sudah
memakai side-shields, masker harus tetap dipakai untuk mengkontrol
paparan percikan dari side. Kebanyakan kacamata setidaknya harus
dibersihkan dengan sabun dan air pada akhir setiap sesi atau ketika tampak
terkontaminasi. Pada saat trimming model, gigi palsu, memotong kabel
dan melakukan pekerjaan laboratorium atau selama pengolahan ulang pada
instrumen, penggunaan pelindung mata adalah suatu keharusan untuk
mengurangi kemungkinan terpapar bahan berbahaya dan partikel keras
yang dapat merusak mata (Kohli dan Puttaiah, 2007).
4. Pakaian Pelindung
Pakaian pelindung dan peralatan (misalnya, gaun, jas laboratorium,
sarung tangan, masker, dan pelindung mata atau pelindung wajah) harus
dipakai untuk mencegah kontaminasi dari pakaian yang dikenakan dan
melindungi kulit pekerja kesehatan dari paparan darah dan zat tubuh
lainnya. Lengan baju harus cukup panjang untuk melindungi lengan saat
32
baju dikenakan. Pekerja kesehatan harus mengganti pakaian pelindung
ketika menjadi terlihat kotor dan tertembus oleh darah atau cairan lain
yang berpotensi infeksius. Semua pakaian pelindung harus dibersihkan
sebelum meninggalkan daerah kerja. Pakaian bedah harus terbuat dari
bahan yang dapat dicuci dengan mesin dengan deterjen yang pada suhu
65 C untuk membasmi kontaminasi mikroba yang potensial (Kohn dkk,
2003).
P.
Sarung Tangan
Dokter gigi profesional menggunakan sarung tangan medis lebih dari
40 jam per minggunya untuk melindungi tangan mereka dari paparan virus,
bakteria, air liur darah pasien dan jamur. Bahan kiama yang terkait dengan
kedokteran gigi seperti senyawa, biocides dan agen-agen agen pemebersih
dapat memberikan kekuatan pada sarung tangan dan mengurangi atau
melemahkan resistensi tusukan yang bisa membahayakan keselamatan
pemakai (Smith, 2008).
Sarung tangan dapat melindungi baik pasien dan petugas kesehatan
dari paparan bahan infeksius yang mungkin ada di tangan. Seberapa jauh
sarung tangan dapat melindungi petugas kesehatan dari penularan patogen
melalui darah (misalnya, HIV, HBV, HCV) setelah jarum suntik atau pucture
lain yang menembus sarung tangan belum dapat ditentukan. Sarung tangan
diproduksi untuk tujuan kesehatan tunduk pada evaluasi FDA dan clearance.
Sarung tangan Steril medis sekali pakai yang terbuat dari berbagai bahan
33
(misalnya latex, vynil, nitril) yang tersedia untuk perawatan pasien rutin,
Pemilihan jenis sarung tangan untuk non-bedah digunakan didasarkan pada
sejumlah faktor, termasuk tugas yang harus dilakukan, diantisipasi dengan
bahan kimia dan agen kemoterapi, sensitivitas latex, ukuran, dan kebijakan
fasilitas untuk menciptakan lingkungan bebas latex. Untuk kontak dengan
darah dan cairan tubuh selama non-bedah perawatan pasien, sepasang sarung
tangan tunggal umumnya memberikan perlindungan yang memadai. Namun,
ada variabilitas yang cukup besar antara sarung tangan, baik kualitas dari
proses manufaktur dan jenis bahan berpengaruh terhadap efektifitas
penghalang (Kohli dan Puttaiah, 2007).
Dokter gigi diharuskan memakai sarung tangan pada saat merawat
pasien sesuai rekomendasi dalam pedoman pengendalian infeksi. Namun,
terkadang sangat sulit untuk mengetahui bahan sarung tangan yang tepat,
karena masing-masing menawarkan karakteristik yang unik ataupun
perbedaan ekonomi, rasa perabaan dan kenyamanan dalam hal memberi
perlindungan. Menurut
Departemen Kesehatan dan Penuaan, pemerintah
Australia (2004) membagi sarung tarung dari jenis bahannya yaitu :
1. Nitrile
Nitrile merupakan sarung tangan yang berbasis potrelium. Sarung
tangan ini direkomendasikan untuk menjadi alternative produk NRL
karena lebih kuat jika diberikan kekuatan tinggi dan tahan pada cairan
kimia yang sangat kuat.
34
2. Vinyl
Vinyl atau
PVC adalah suatu bahan yang berbasis potrelium,
tetapi molekul-molekulnya tidak berkaitan. Karena tidak memiliki kaitan
maka molekul individu dari vinyl ini akan teruai bila sarung tangan ini
digunakan dengan tekanan tinggi ataupun ditekuk dengan keras sehingga
bisa menyebabkan sarung tangan ini mengalami sobekan pada saat
penggunaan.
Sarung tangan vinyl adalah sarung tangan yang paling lemah
diantara yang lainnya karena kekuatan dan elastisitasnya sangat terbatas,
hal ini sangat mempengaruhi penggunanya karena bisa mengurangi tingkat
kenyamanan pada saat memberikan tindakan.
3. Natural Rubber Latex (NRL)
NRL merupakan polymeric material memberikan kekuatan yang
sangat baik. Kekuatan NRL sangat tinggi, memungkinkan sarung tangan
ini bisa selalu kembali ke bentuk aslinya walaupun ditarik berkali-kali
tanpa membuat lubang ataupun sobekan. Elastisitas ini menyediakan
kenyamanan dan cocok bila dibandingkan dengan bahan lainnya.
Sarung tangan yang terbuat dari bahan NRL juga sangat tahan
tusukan dan memiliki kecenderungan untuk menutup sendiri jika terjadi
sebuah lubang kecil walaupun tertusuk benda tajam sekalipun. Sarung
tangan ini juga memiliki beberapa keuntungan seperti lebih kuat, mudah
digunakan, tetap nyaman digunakan walaupun basah ataupun dan memiliki
daya ketahanan yang luas pada bahan kimia selain itu sarung tangan ini
selalu menjadi pilihan pertama bagi setiap petugas kesehatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
K. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
penelitian eksperimental semu (quasi eksperimental research) dengan
pendekatan pre test dan post test.
L. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien ekstraksi gigi
permanen di bagian Laboraturium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar pada periode Oktober 2013- Februari
2014.
2. Sampel
Besarnya sampel pada penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus Nursalam (2008).
n=
N.z2.p.q
d.(N-1)+z2.p.q
n : perkiraan sampel
N : perkiraan populasi sampel
d : tingkat kesalahn yang dipilih (d = 0,05)
p : perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q : 1-p(100%-p)
z : nilai standar normal = 0,05 (1,96)
35
36
Berdasarkan rumus tersebut didapatkan hasil perhitungan perkiraan
jumlah sampel yang diteliti sebanyak 20 orang. Pada penelitian ini
digunakan sampel sebanyak 40 orang, dimana sampel yang dipilih telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria Inklusi
a. Sampel yang dipilih merupakan pasien perawatan ekstraksi gigi
permanen pada regio anterior dan posterior.
b. Sampel mendapat indikasi ekstraksi gigi.
c. Sampel bersedia mengikuti kegiatan ini.
d. Sampel tidak menjalani pengobatan yang memerlukan penggunaan
antibiotik, obat kumur dan obat-obatan.
Kriteria Eksklusi
a. Sampel bukan pasien perawatan ekstraksi gigi permanen pada regio
anterior dan posterior.
b. Sampel tidak mendapat indikasi ekstraksi gigi.
c. Sampel tidak bersedia menjadi responden pada penelitian ini.
d. Sampel menjalani pengobatan yang memerlukan penggunaan
antibiotik, obat kumur dan obat-obatan.
M. Identifikasi Variabel
1. Variabel Pengaruh : efektifitas sarung tangan steril.
2. Variabel Terpengaruh : mukosa di daerah pencabutan.
N. Definisi Operasional
1. Sarung tangan steril adalah suatu instrumen dalam meminimalkan
penularan penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas bakteri.
Sarung tangan steril memiliki kemasan khusus, yaitu 1 kemasan hanya
berisi 1 pasang sarung tangan steril. Dengan cara penggunaan sebagai
berikut
37
Gambar 3.1 Mencuci tangan dengan menggunakan sabun anti septik (Kohli dan Puttaiah, 2007)
Gambar 3.2 Menggunakan sarung tangan steril (Kohli dan Puttaiah, 2007)
38
2.
Bagian mukosa yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu pada bagian
prosesus alveolaris dan gingiva.
O. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada :
1. Waktu : 11-18 Februari 2014
2. Tempat : Ruang Klinik (Laboratorium Bedah Mulut) Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
P. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah :
1. Alat :
a. Sarung tangan steril (AMS medical product)
b. Masker
c. Kaca Mulut
d. Pinset
e. Sonde
f. Nerbeken
g. Pensil
h. Penghapus
i. Kapas
j. Tang cabut
k. Bein
39
2. Bahan :
a. Povidone Iodine 10%
b. Larutan Anastesi : Pehacain ( Lidocain 2% + Adrenaline)
Q. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan skala pengukuran, yaitu jika terdapat iritasi ditandai dengan
tanda positif dan tidak terdapat iritasi ditandai dengan tanda negatif. Tanda
iritasi seperti timbulnya kemerahan, bengkak dan rasa sakit pada mukosa
daerah pencabutan.
R. Jalannya Penelitian
1. Menentukan dan menetapkan obyek penelitian. Sampel diambil sebanyak
40 orang dengan kasus seperti sisa akar, gigi yang mengalami periodontitis
kronis dan fraktur gigi pada rahang bawah. Pencabutan gigi permanen
dilakukan pada pada Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar.
2. Sebelum melakukan penelitian, calon sampel diminta untuk mengisi dan
menandatangani inform consent untuk kesediaan menjadi sampel.
3. Menyiapkan alat dan bahan.
4. Melihat dan mencatat kondisi rongga mulut pasien sebelum dilakukan
tindakan.
40
5. Melakukan asepsis pada daerah kerja dengan menggunakan povidone
iodine 10%.
6. Operator menggunakan sarung tangan steril sesuai prosedur penggunaan
yang baku.
7. Anastesi lokal menggunakan teknik infiltrasi dengan bahan anastesi yaitu
Pehacain ( Lidocain 2% + Adrenaline).
8. Melakukan
tindakan
pencabutan
dengan
teknik
close
method
menggunakan bein terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan pencabutan
menggunakan tang cabut.
9. Melihat dan mencatat kondisi rongga mulut pasien pada hari pertama, hari
ketiga dan hari ketujuh pasca pencabutan dan memberi penilaian dengan
memberi tanda negatif untuk yang tidak terdapat iritasi dan memberi
tanda positif jika terdapat iritasi.
S. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif,
data diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 20.0
windows. Uji Normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk. Analisis untuk
mengetahui seberapa efektif sarung tangan steril dalam pencegehan iritasi
dengan menggunakan Paired T-test dan dilanjutkan dengan Independent TTest.
41
T. Alur Penelitian
Sampel penelitian
Data Sebelum tindakan
pencabutan
Menggunakan Sarung Tangan
Steril
Tindakan Pencabutan
Gambar 3.3 Alur penelitian
Data Sesudah dilakukan
pencabutan
Pengumpulan Data
Analisis Data
BAB IV
HASIL PENELITIAN
C. Karakteristik Sampel
Dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan sebanyak 30 sampel
dengan tindakan yang mengunakan sarung tangan steril dan 10 sampel dengan
tindakan yang menggunakan sarung tangan non steril dengan mengambil hasil
observasi terhadap iritasi rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen pada
Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar.
D. Analisis Data
Setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil pengamatan tingkat terjadinya
resiko iritasi pada sampel seperti pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Tingkat terjadinya risiko iritasi dari hari pertama, hari ketiga dan
hari ketujuh
Kategori
Hari Pertama
Steril
30 (100%)
Non Steril
10 (100%)
Sumber : Lampiran 3 dan 4
Positif Iritasi
Hari Ketiga
2 (6,67%)
5 (50%)
Hari Ketujuh
2 (6,675)
3 (30%)
Berdasarkan Tabel 4.1 pada hari pertama baik kelompok penanganan
menggunakan sarung tangan steril dan non steril semua sampel (100%)
mengalami risiko iritasi pada rongga mulut. Pada hari ketiga untuk kelompok
penanganan menggunakan sarung tangan steril jumlah sampel yang mengalami
iritasi sebanyak 2 (6,67%) orang dan kelompok penangan menggunakan sarung
42
43
tangan non steril sebanyak 5 orang (50%). Pada hari ketujuh untuk kelompok
penanganan menggunakan sarung tangan steril yang mengalami iritasi tidak
mengalami perubahan dari hari ketiga yaitu sebanyak 2 orang (6,67%) sedangkan
untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan non steril mengalami
penurunan dari hari ketiga yaitu sebanyak 3 orang (30%).
Pengelompok kelompok sarung tangan steril dan sarung tangan non steril
berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2 Hasil Crosstabulation Kelompok dan Kategori Hasil Penelitian
Kelompok
Steril
Non Steril
Total
Kategori Iritasi / Kelainan
Negatif
Positif
Angka
%
Angka
%
28
80
2
40
7
20
3
60
35
100
5
100
Total
Angka
30
10
40
%
75
25
100
Berdasarkan Tabel 4.2 pada hari ketujuh menunjukkan kelompok yang
menggunakan sarung tangan steril dengan kategori negatif sebanyak 28 orang
(80%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 7 orang (20%)
sedangan kelompok yang menggunakan sarung tangan steril dengan kategori
positif sebanyak 2 orang (4%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril
sebanyak 3 orang (60%).
Hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
Independen Sampel Test untuk mengetahui perbedaan
antara kelompok
penanganan dengan menggunakan sarung tagan steril dan non steril.
44
Tabel 4.3 Hasil Uji Independen Sampel Test
d
T
f Sig. (2-tailed)
Perbedaan
-1,978
38
0,055
berdasarkan asumsi
Perbedaan tidak
-1,462 10,703
0,173
berdasarkan asumsi
= Signifikan (probability)
= Uji t hitung
= Degre of freedom
Kategori
sig
T
df
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan nilai T-hitung sebesar 1,978 dengan p
value sebesar 0,055 lebih besar dari 0,05, artinya tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara kelompok yang menggunakan sarung tangan steril dengan
kelompok yang menggunakan sarung tangan non steril pada pencabutan gigi
permanen. Angka negatif menunjukkan adanya indikasi penurunan dari positif
iritasi menjadi tidak iritasi pada pasien yang mendapatkan penanganan
menggunakan sarung tangan steril dan sarung tangan non steril.
Setelah data dilakukan uji independen test dilanjutkan dengan uji Paired
Sampel Test untuk mengetahui pengaruh penggunaan sarung tangan terhadap
terjadinya risiko iritasi rongga mulut.
Tabel 4.4 Hasil Uji Paired Sample Test
Paired Differences
Ratarata
Pair 1 hari1 hari7
sig
T
df
0,23333
Rata-rata
Standar
standar
Kesalahan
eror
0,50401
0,09202
= Signifikan (probability)
= Uji t hitung
= Degree of freedom
95% Perbedaan Tingkat
Kepercayaan
Terendah
0,04513
Tertinggi
0,42153
t
2,536
df
29
Sig.
(2-tailed)
0,017
45
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan nilai t-hitung sebesar 2,536 dengan p
value sebesar 0,017 artinya bahwa penggunaan sarung tangan yang steril lebih
baik dalam mencegah terjadinya risiko iritasi pada pasien pencabutan gigi
permanen pada Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar.
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksperimental
semu
(quasi
experimental research) dengan pendekatan pre test post test control group design.
Subyek penelitian ini adalah dengan pasien pencabutan gigi permanen di
Laboraturium Bedah Mulut Universitas Mahasaraswati Denpasar pada periode
Oktober 2013-Februari 2014. Sampel yang digunakan sebanyak 30 sampel dengan
menggunakan sarung tangan steril dan 10 sampel sebagai sampel kontrol dengan
menggunakan sarung tangan non-steril. Sampel penelitian dipilih dengan
mengaplikasikan metode simple random sampling, alasan menggunakan metode
ini adalah suatu teknik pengambilan sampel sederhana dimana seluruh unsur
dalam populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diberi kesempatan
yang sama untuk menjadi sampel. Setelah dilakukan tindakan pencabutan
sederhana pasien diberikan intruksi agar menggigit tampon dan tidak diberikan
obat-obatan, baik antibiotik, analgesik maupun obat kumur, ini dilakukan untuk
mendapatakan data yang akurat.
Berdasarkan data hasil penelitian pada Tabel 4.1 bahwa kelompok
tindakan menggunakan sarung tangan steril pada hari pertama semua mengalami
iritasi dikarenakan terjadinya trauma setelah pencabutan, pada hari ketiga
mengalami penurunan sebanyak 28 orang tidak mengalami iritasi dan 2 orang
masih mengalami kemerahan, pada hari ketujuh tidak terjadi perubahan dari hari
ketiga pada pasien yang sama dikarenakan karena trauma yang terlalu lebar.
46
47
Kelompok tindakan menggunakan sarung tangan non steril Tabel 4.1
pada hari
pertama semua mengalami iritasi dikarenakan terjadinya trauma setelah
pencabutan, pada hari ketiga mengalami penurunan sebanyak 5 orang tidak
mengalami iritasi dan 5 orang masih mengalami kemerahan, pada hari ketujuh
terjadi penurunan dimana sebanyak 7 orang tidak mengalami iritasi dan sebanyak
3 orang masih mengalami kemerahan dan bengkak pada pasien yang sama, hal ini
terjadi karena sarung non steril tidak terjamin kebersihannya disebabkan kemasan
yang berbeda dari sarung tangan yang steril.
Penggunaan sarung tangan dapat menimbulkan rasa gatal, ruam,
berkeringat secara abnormal yang disertai rasa tidak nyaman secara menyeluruh.
Gejala ini juga dapat terjadi pada rongga mulut karena gesekan sarung tangan,
reaksi dapat bertambah parah apabila powder dari sarung tangan mengenai
mukosa rongga mulut yang menyebabkan kemerahan serta reaksi alergi tipe 1
dikarenakan protein yang terdapat pada kandungan sarung tangan.
Dari penggunaan sarung tangan pada saat dilakukan pencabutan gigi
permanen, permukaan sarung tangan akan menyentuh/berkontak langsung dengan
mukosa pada rongga mulut, kontak tersebut dapat memberikan reaksi pada
mukosa yang bersifat individual tidak spesifik dan sulit diramalkan. Terdapat dua
tipe reaksi yang dapat terjadi, yaitu reaksi iritasi primer dan reaksi
sensitifitas/alergi. Reaksi iritasi primer terjadi akibat efek toksik yang langsung
dari bahan kimia yang bereaksi pada epitel dan pembuluh darah, sedangkan reaksi
48
sensitifitas/alergi merupakan suatu reaksi yang bersifat lambat dan terjadi saat
berkontak dengan bahan kimia secara terus menerus (Sudiono, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari pertama baik kelompok
penanganan menggunakan sarung tangan steril dan non steril semua sampel
(100%) mengalami risiko iritasi pada rongga mulut. Pada hari ketiga
untuk
kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril jumlah sampel yang
mengalami iritasi sebanyak 2 (6,67%) orang dan kelompok penangan
menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 5 orang (50%).
Pada hari
ketujuh untuk kelompok penanganan menggunakan sarung tangan steril yang
mengalami iritasi tidak mengalami perubahan dari hari ketiga yaitu sebanyak 2
orang (6,67%) sedangkan untuk kelompok penanganan menggunakan sarung
tangan non steril mengalami penurunan dari hari ketiga yaitu sebanyak 3 orang
(30%).
Pada hari ketujuh kelompok yang penanganan pencabutan gigi permanen
menggunakan sarung tangan steril yang tidak mengalami iritasi sebanyak 28
orang (80%) dan yang menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 7 orang
(20%) sedangan yang mengalami iritasi pada penanganan pencabutan gigi
permanen menggunakan sarung tangan steril sebanyak 2 orang (40%) dan yang
menggunakan sarung tangan non steril sebanyak 3 orang (60%).
Setelah data
menggunakan
terkumpul
selanjutnya
dilakukan uji
beda dengan
paired T-test dan dilanjutkan dengan independent T-test yang
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas penggunaan sarung tangan
49
steril. Berdasarkan hasil uji Independent T-test menunjukkan nilai T-hitung
sebesar 1,978 dengan p value sebesar 0,055 lebih besar dari 0,05, artinya tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok yang menggunakan sarung
tangan steril dengan kelompok yang menggunakan sarung tangan non steril dalam
pencegahan iritasi pasca pencabutan gigi permanen di Laboraturium Bedah Mulut
Universitas Mahasarwati periode Oktober 2013-Februari 2014.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antara tindakan pencabutan gigi
permanen yang menggunakan sarung tangan steril dengan sarung tangan non steril
dilanjutkan dengan menggunakan paired T-test yang menunjukan bahwa nilai thitung sebesar 2,536 dengan p value sebesar 0,017 artinya bahwa penggunaan
sarung tangan yang steril dapat mencegah terjadinya iritasi pada pasien
pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa sarung tangan
steril lebih efektif mencegah terjadinya iritasi pasca pencabutan gigi permanen.
Sarung tangan steril merupakan sarung tangan yang disterilkan dan harus
digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat
digunakan sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi (Depkes RI,2003).
Penggunan sarung tangan dalam praktek kedokteran gigi merupakan seuatu
keharusan pada saat merawat pasien sesuai rekomendasi dalam pedoman
pengendalian infeksi. Sarung tangan dapat melindungi pasien dan petugas
kesehatan dari paparan bahan infeksius yang mungkin ada di tangan dan
50
penularan patogen melalui darah (misalnya, HIV, HBV, HCV) setelah jarum
suntik atau pucture lain yang menembus sarung tangan belum dapat ditentukan
(Kohli dan Puttaiah, 2007).
Dalam penelitian ini digunakan sarung tangan berbahan lateks yang
merupakan suatu produk intraseluler yang komplek dari suatu sistem sel yang
mensintesa atau polymer (Cis-1,4 polyisoprene) yang merupakan komponen
utama dari karet alam (Thurnell, 2011). Adapun komposisi lateks menurut Philips
(2002), antara lain partikel karet (30%-40%), protein (2%-3%), air (55%-65%),
sterol glykosida (0,1%-0,5%), resin (1,5%-3,5%), abu (0,5%-1,0%) dan gula
(1,0%-2,0%).
Pada penelitian ini sarung tangan steril lebih efektif karena dapat
mencegah terjadinya risiko iritasi pada rongga mulut. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh pada penggunaan
sarung tangan steril dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut dan sarung
tangan steril lebih efektif mencegah iritasi pasca pencabutan gigi permanen.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
C. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat ditarik kesimpulan
bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan hipotesis bahwa terdapat pengaruh
sebesar 13,32% yang artinya penggunaan sarung tangan steril berpengaruh
dalam pencegahan iritasi pada rongga mulut dan sarung tangan steril lebih
efektif mencegah iritasi pada rongga mulut pasca pencabutan gigi permanen di
Laboraturium Bedah Mulut Universitas Mahasarwati Denpasar periode
Oktober 2013-Februari 2014. Dalam penelitian menunjukkan nilai t-hitung
sebesar 3,808 dengan p value sebesar 0,001 artinya bahwa penggunaan sarung
tangan steril dapat mencegah terjadinya risiko iritasi rongga mulut pada pasien
pencabutan gigi permanen di Laboratorium Bedah Mulut Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
D. Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, penulis dapat memeberikan saran sebagai
berikut :
1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan sarung
tangan steril pada pencabutan gigi permanen dengan metode yang berbeda
dan sampel yang lebih banyak serta diharapkan dapat memperoleh hasil
yang lebih akurat.
51
52
2. Disarankan kepada dokter gigi dan mahasiswa/mahasiswi kedokteran gigi
untuk menggunakan sarung tangan steril saat melakukan tindakan
pencabutan gigi pada pasien karena dapat meminimalisir risiko terjadinya
iritasi pasca pencabutan.
53
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, A. 2008. Kedokteran Gigi Klinis. Edisi 2. Quantum Sinergis Media.
Chrismawaty E. (2006) Peran struktur mukosa rongga mulut dalam mekanisme
blockade fisik terhadap iritan. MIKGI, 244.
Crow, S. Asepsis – The Foundation of Infection Control Practices. Louisiana State
University Health Care Centre
Darmadi. 2008, Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya, Ed. ke-1,
Salemba Medika., Jakarta.
Departemen Kesehatan RI 2003, Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal
Di Pelayanan Kesehatan, Direktoral Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan., Jakarta.
Fragiskos FD. 2007. Oral surgery. Greek : Springer- Verlag Berlin Heidleberg,
181-200.
Karasutisna, T. 2002. Bahan Ajar Ilmu Bedah Mulut. Tinjauan Umum Dental
Implan dan Pengenalan Sistem Implan ITI. Bagian Bedah Mulut FKG
UNPAD.
Kohli, A. dan Puttaiah, R. 2007, Infections Control and Occupational Safety
Recommendations For Oral Health Professional, Dental Council of India,
India.
Kohn, W.G., Collins, A.S., Cleveland J.L., Harte J.A., Eklund K.J. dan Malvitz
D.M. 2003, „Guidelines for infection control in dental health-care
settings‟, MMWR, vol. 23 no.17, hlm. 1-76.
Lata dan Choundhary, 2012. Effectivness of Sterile Versus Nonsterile Gloves
Following Dental Extraction.
Indian Journal of Dental Sciences,
September 2012 Issue : 3, Vol : 4.
Nursalam, Efendi dan Ferry. 2008, Pendidikan dalam Keperawatan, Salemba
Medika., Jakarta.
Pedersen, G. W. 1996, Buku ajar praktis bedah mulut (oral surgery), penerjemah:
Purwanto dan Basoeseno. EGC Penerbit Buku Kedokteran., Jakarta.
Philips P. 2002. the latex glove manufacturing process, director surgical materials
testing labolatory bincess of walles hospital, bridgend walles.
54
Santoso TI, Poedjiastoeti W, Ariawan D. 2009. Perdarahan pasca ekstraksi gigi,
pencegahan dan penatalaksanaannya. http://www.pdgi-online.com. ( 31
Agustus 2009 )
Samaranayake. 2002, Essentials of Microbiology for Dentistry, Ed. Ke-2,
Churchill Livingstone., London.
Sicklick AM. 2009. Tooth extraction. http://www.yourtotalhealth.ivillage.com. ( 11
September 2009 )
Smith, Susan M. 2008. The Clinical Issue. Kimberly-Clark Health Care Education.
Sudiono J. 1999. Pengaruh Pemakaian Obat Kumur Senyawa Fenol Terhadap
Gambaran SEM Epitel Mukosa Bukal Mulut. M I Kedokteran Gigi FKG
Usakti; 38:70-5
Rounds CE. 1962. Principle and technique of exodontia. 2nd ed. Saint Louis : The C.
V. Mosby Company, 197-238.
Thurnell J. R., 2001. latex glove allergy, available at :
http;/www.lifeworkpotensial.com/html/latexglove.html.
Upton LG., Harper & Row, 1985. Extractions : Indications, principles, and
armamentarium. Single simple extractions. In : Clark JW, eds. Clinical
Dentistry. Philadelphia : 1-14, 1-16.
Wibowo, T., Parisihni,K ., dan Haryanto, D. 2009, „Proteksi diri dokter gigi
sebagai pemutus rantai infeksi siang‟, Jurnal PDGI, Vol. 58, no.2, hlm.69.
Yusran A, Barunawaty. (2007) Dua metode pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi
pada mukosa mulut. Maj.Ked.Gigi. (Dent.J.). 395.
55
Lampiran 1
PERJANJIAN TINDAKAN MEDIS
INFORMED CONSENT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
: L/P
Tahun
Dengan ini saya menyatakan bersedia untuk diikutsertakan sebagai sampel
dalam penelitian yang berjudul “PENGARUH EFEKTIFITAS PENGGUNAAN
SARUNG
TANGAN
STERIL
TERHADAP
PENCEGAHAN
IRITASI
RONGGA MULUT PASCA PENCABUTAN GIGI PERMANEN” yang
dilakukan oleh : Ida Bagus Angga Triadi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Segala hal menyangkut penelitian ini telah saya pahami dan akan saya
ikuti sesuai prosedur yang dijelaskan oleh peneliti
Denpasar
Yang Membuat Pernyatan
(….…………….………)
56
Lampiran 2
Tindakan pencabutan
Tindakan anastesi
57
Alat dan Bahan
58
59
Anastesi
Alat Diagnosa
60
Tang Pencabutan Gigi permanen
61
Lampiran 3
Uji Normalitas
Case Processing Summary
Cases
Valid
Infeksi_Ke
lainan
Kategori
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Steril
30
100.0%
0
.0%
30
100.0%
Non Steril
10
100.0%
0
.0%
10
100.0%
Descriptives
Infeksi_Kelainan
Kategori
Steril
Statistic
Mean
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound
.9719
Upper Bound
1.1614
5% Trimmed Mean
1.0185
Median
1.0000
Variance
.04632
.064
Std. Deviation
.25371
Minimum
1.00
Maximum
2.00
Range
1.00
Interquartile Range
.00
Skewness
Kurtosis
Non Steril
Std. Error
1.0667
Mean
95% Confidence Interval for
Mean
3.660
.427
12.207
.833
1.3000
.15275
Lower Bound
.9544
Upper Bound
1.6456
5% Trimmed Mean
1.2778
Median
1.0000
Variance
.233
Std. Deviation
.48305
Minimum
1.00
Maximum
2.00
Range
1.00
Interquartile Range
1.00
Skewness
Kurtosis
1.035
.687
-1.224
1.334
Tests of Normality
Infeksi_Ke
lainan
Kategori
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Steril
.537
30
.000
.275
30
.000
Non Steril
.433
10
.000
.594
10
.000
a. Lilliefors Significance Correction
62
Hasil Uji Statistik
Group Statistics
Kelompok
Kategori
N
Mean
Std. Error
Mean
Std. Deviation
Steril
30
1.0667
.25371
.04632
Non Steril
10
1.3000
.48305
.15275
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
F
Kateg
ori
Equal
variances
assumed
Equal
variances not
assumed
14.324
Sig.
.001
t
1.978
Sig. (2tailed)
df
Mean
Differen Std. Error
ce
Difference
Lower
Uppe
r
38
.055
-.23333
.11798
-.47216
.00549
- 10.703
1.462
.173
-.23333
.15962
-.58585
.11918
63
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Kategori * Kelompok
Missing
Percent
40
100.0%
N
Total
Percent
0
N
.0%
40
Infeksi_Kelainan * Kategori Crosstabulation
Kategori
Infeksi_Kelaina
n
Steril
%
within
Kategori
Non
Steril
Total
Count
Count
%
within
Kategori
Count
%
within
Kategori
Percent
Negatif
Positif
Total
28
2
30
80.0%
40.0%
75.0%
7
3
10
20.0%
60.0%
25.0%
35
5
40
100.0
%
100.0
%
100.0
%
100.0%
64
T-Test
Paired Samples Statistics
Mean
Pair
1
N
Std. Error
Mean
Std. Deviation
hari
1
.4000
30
.49827
.09097
hari
7
.1667
30
.37905
.06920
Paired Samples Correlations
N
Pair 1
hari1 & hari7
Correlation
30
Sig.
.365
.047
Paired Samples Test
Paired Differences
Pair 1
hari1
hari7
-
Mea
n
Std.
Deviatio
n
.23333
.50401
95% Confidence
Interval of the
Difference
Std.
Error
Mean
Lower
Upper
.09202
.04513
.42153
t
df
2.536
29
Sig. (2tailed)
.017
65
Lampiran 3. Data Responden Penelitian untuk Kelompok Tindakan Menggunakan Sarung Tangan Steril
NO
ELEMEN
TINDAKAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
32
23
33
34
35
44
37
35
37
13
12
34
22
25
34
37
47
24
12
42
31
21
22
24
22
14
43
33
22
16
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
DIAGNOSA
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
PRE TEST
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
POST TEST HARI
PERTAMA
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
POST TEST HARI
KETIGA
+
+
-
POST TEST HARI
KETUJUH
+
+
-
66
Lampiran 4. Data Responden Penelitian untuk Kelompok Tindakan Menggunakan Sarung Tangan Non Steril
NO ELEMEN TINDAKAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
46
25
14
42
46
26
33
22
42
34
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
Pro Exo
DIAGNOSA
PRE
TEST
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Marginalis
Periodontitis Kronis
Periodontitis Kronis
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
POST TEST
HARI
PERTAMA
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
POST TEST
HARI
KETIGA
+
+
+
+
+
POST TEST
HARI
KETUJUH
+
+
+
Download