analisis terhadap keputusan dispute settlement body world trade

advertisement
ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS US-CLOVE
CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012 DIPANDANG DARI
PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT (PERLAKUAN
NASIONAL)
DIAN ESTERINA TAMBUNAN
ABSTRAK
Pada bulan September 2009, Presiden Obama menandatangani Family Smoking Prevention and
Tobacco Control Act (Bagian 907 (a) (1) (A)) yang berlaku di Amerika Serikat. Undang-undang
tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat AS, dengan
melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma
buah-buahan. Setelah dilakukannya pengesahan terhadap UU tersebut, Indonesia mengalami
dampak kerugian yang sangat besar terhadap bidang perdagangan, karena hampir 99% rokok kretek
yang dijual di AS merupakan produk impor dari Indonesia. Dengan hal ini, Indonesia akhirnya
mengajukan klaim kepada Dispute Settlement Body WTO bahwa Amerika Serikat telah melanggar
ketentuan WTO mengenai prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment). Kemudian, setelah
melalui proses penyelesaian sengketa oleh Dispute Settlement Body WTO, maka Indonesia
dimenangkan dalam kasus ini, dengan memutus bahwa Amerika Serikat telah melanggar prinsip
National Treatment yang terdapat dalam Pasal 2.1 Technical Barrier to Trade Agreement. Prinsip
National Treatment mengatur bahwa setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan
perlakuan yang sama terhadap produk sejenis, baik yang diproduksinya di dalam negeri maupun
yang berasal dari impor negara anggota WTO lainnya. Penelitian ini membahas kesesuaian
interpretasi prinsip National Treatment menurut Pasal 2.1 Technical Barrier to Trade Agreement
dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) 2012 dengan pengaturan prinsip National
Treatment secara umum dalam ketentuan WTO, sehingga penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan menggunakan beberapa perjanjian WTO yang berkaitan dengan prinsip
National Treatment seperti General Agreement on Tariff and Trade1994 dan Technical Barrier to
Trade Agreement.
Kata kunci : Prinsip National Treatment, Prinsip Non-Diskriminasi, World Trade Organization
(WTO), Hukum WTO
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
ABSTRACT
In June 2009, President Obama signed the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act
that applied in United State of America. The Act aiming to reduce the youth smoker in United
States America, by banning production and sale of the flavoured cigarettes, including clove
cigarettes and fruit flavoured cigarettes. After the ratification of that Act, Indonesia suffered for
major losses in the trade area, because almost 99% of the clove cigarettes that sold in United States
America is the import product from Indonesia. Because of this treatment, Indonesia filed claim
against United States of America to the Dispute Settlement Body WTO, that United States of
America has violate the WTO Agreements related to the National Treatment principle.
Furthermore, after held the dispute settlement process by Dispute Settlement Body WTO, therefore
Dispute Settlement Body WTO ruled that United State of America violate the National Treatment
principle in accordance to Article 2.1 Technical Barrier to Trade Agreement. The National
Treatment principle requires the State parties to treat no less favourable to imported products than
like products of national origin. This thesis discusses the compliance of the interpretation of the
National Treatment Principle in WTO case US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) 2012 with
the general regulations on the National Treatment Principle in the WTO, therefore this thesis using
the normative juridical research method by utilizing some WTO agreements related to the National
Treatment Principle, such as General Agreement on Tariff and Trade1994 and Technical Barrier to
Trade Agreement.
Key Words : National Treatment Principle, Non Discrimination Principle, World Trade
Organization (WTO), WTO Law
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
PENDAHULUAN
Pada tanggal 4 April 2012, akhirnya Indonesia memenangkan kasus WTO US-Clove
Cigarettes (Tobacco Control Act) dengan Amerika Serikat (AS). Sengketa ini bermula saat Presiden
Obama menandatangani Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (Bagian 907 (a) (1)
(A)) yang kemudian aktif berlaku pada bulan September 2009. Undang-undang tersebut bertujuan
untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat AS, dengan melarang produksi
dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan.1 Hal
ini didasari bahwa anak-anak dan remaja menjadi suka merokok karena beberapa produk rokok
memakai tambahan rasa (flavour). Dengan demikian, rokok yang menggunakan rasa tambahan ini
dilarang diperdagangkan di AS yang mana rokok kretek asal Indonesia termasuk di dalamnya.
Tetapi, ketentuan tersebut mengecualikan rokok beraroma mentol produksi dalam negeri AS.
Setelah dilakukannya pengesahan terhadap UU tersebut, Indonesia mengalami dampak yang sangat
besar terhadap bidang perdagangan, karena hampir 99% rokok kretek yang dijual di AS merupakan
produk impor dari Indonesia.2 Kerugian yang dialami oleh Indonesia yang diperkirakan timbul dari
larangan ekspor rokok kretek mencapai US$ 200.000.000 per tahun. Selain itu, pelarangan rokok
kretek ini juga sangat dirasakan oleh para petani tembakau.3
Dengan hal ini, Indonesia akhirnya membawa masalah ini ke Badan Penyelesaian Sengketa
WTO (Dispute Settlement Body WTO/DSB WTO). Setelah proses konsultasi yang berlangsung
panjang tanpa mencapai kesepakatan, Indonesia akhirnya mengajukan pembentukan Panel ke DSB
WTO atas dasar AS melanggar ketentuan WTO mengenai prinsip Perlakuan Nasional (National
Treatment). Prinsip ini memiliki ketentuan umum yang diatur dalam Pasal III:2 dan III:4 GATT
1944. Hal ini juga diatur secara khusus dalam Pasal 2.1 Technical Barrier to Trade (TBT)
Agreement. Dalam prinsip National Treatment, setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk
memberikan perlakuan yang sama terhadap produk sejenis, baik yang diproduksinya di dalam
negeri maupun yang berasal dari impor negara anggota WTO lainnya. Berdasarkan prinsip ini,
Panel WTO menemukan bahwa kebijakan AS tidak sesuai dengan ketentuan WTO tersebut, karena
1
“WTO
Kembali
Memenangkan
Kasus
Rokok
Kretek
Indonesia”,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indone
sia, diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.
2
“Diplomasi Perdagangan RI dalam Tatanan Perdagangan Dunia: WTO Setuju Bentuk Panel Sengketa
mengenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat”, Publikasi Siaran Pers Kementrian Perdagangan
Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 21 September 2012.
3
”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun”, di akses dari
http://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-us-200-juta-per-tahun/, akses tanggal 22
September 2012.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
rokok kretek dan rokok mentol adalah produk sejenis (like products), dan keduanya memiliki daya
tarik yang sama bagi kaum muda. Menurut WTO, kebijakan yang membedakan perlakuan terhadap
dua produk sejenis, merupakan tindakan yang tidak adil atau kurang menguntungkan (less
favourable).
Lalu, Pemerintah AS yang tidak puas terhadap keputusan panel yang dikeluarkan pada 2
September 2011, melakukan banding ke WTO melalui Appelate Body (AB) pada 5 Januari 2012.
Hasil banding yang dikeluarkan Appelate Body, menegaskan kembali bahwa keputusan panel
sebelumnya adalah benar, dan pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten
dengan ketentuan WTO. Lebih lanjut, Appellate Body merekomendasikan kepada DSB agar
meminta Pemerintah AS untuk membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan dalam TBT
Agreement.4
Dengan demikian, dari kasus WTO diatas, maka peneliti tertarik untuk membahasnya lebih
lanjut dengan menitikberatkan pada ketentuan WTO mengenai prinsip National Treatment. Namun,
sebelumnya akan diberikan penjelasan singkat mengenai WTO sendiri. Pada tahun 1944,
diadakanlah Konferensi mengenai masalah-masalah ekonomi di Bretton Woods, New Hampshire,
Amerika Serikat, yang mana menghasilkan tiga pilar, yaitu Dana Moneter Internasional atau
International Monetary Fund (IMF), Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan
(International Bank for Reconstruction and Development) atau sekarang lebih dikenal dengan nama
Bank Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Internasional atau International Trade
Organization (ITO).5 Setelah pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations (PBB),
perundingan mengenai perdagangan multilateral diadakan dalam kerangka Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB. Oleh karena itu, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merundingkan ITO, yang termasuk
dalam bidang perdagangan multilateral, dan mengesahkan resolusi pembentukan ITO pada tahun
1946.6
Perundingan-perundingan
mengenai
pembentukan
ITO
dan
sistem
perdagangan
internasional dimulai di London pada tahun 1946 dan berlanjut di New York pada tahun 1947.
Perundingan-perundingan yang diadakan di London dan New York tersebut berujung pada
pertemuan Jenewa pada tahun 1947. Pertemuan Jenewa mempunyai tiga tujuan, yaitu : (i)
menyusun Piagam ITO; (ii) menyiapkan jadwal pengurangan tariff; (iii) menyiapkan perjanjian
4
“WTO
Kembali
Memenangkan
Kasus
Rokok
Kretek
Indonesia”,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indone
sia, diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.
5
Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization (Cambridge : Cambridge
University Press, 2005), hal. 2.
6
Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, The World Trade Organization: Law,
Practice, and Policy (United State: Oxford University Press, 2003), hal. 1-2.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
multilateral yang berisi prinsip-prinsip umum perdagangan yang dinamakan Persetujuan Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947).7
Proses ratifikasi Piagam ITO tidak berjalan lancar dan pada akhirnya Piagam ITO tidak pernah
dapat dilaksanakan. Penyebabnya adalah Amerika Serikat tidak mau meratifikasi piagam tersebut.
Dengan tidak dapat dilaksanakannya piagam tersebut, ITO tidak jadi berdiri sebagai organisasi
internasional. GATT 1947 yang tadinya akan dilaksanakan dalam kerangka ITO tetap berjalan
sebagai persetujuan multilateral yang mengatur perdagangan internasional dan negara-negara di
dunia menyelesaikan masalah-masalah perdagangan melalui serangkaian perundingan multilateral
yang dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (Trade Round).
Tabel 1
Putaran Perdagangan Dunia
Tahun
Nama Putaran
Masalah yang Dibahas
Jumlah
Negara
Peserta
1947
Putaran Jenewa
Tarif
23
1949
Putaran Annecy
Tarif
13
1951
Putaran Torquay
Tarif
38
1956
Putaran Jenewa
Tarif
26
1960-1961
Putaran Dillon
Tarif
26
1964-1967
Putaran Kennedy
Tarif dan Kebijakan Anti- 62
Dumping
1973-1979
Putaran Tokyo
Tarif, Kebijakan Non-Tarif, 102
Kerangka Persetujuan
1986-1994
Putaran Uruguay
Tarif, Kebijakan Non-Tarif, 123
Jasa, Kekayaan Intelektual,
Penyelesaian
Sengketa,
Tekstil,
Pertanian,
Pembentukan WTO, dll
2001-
Putaran Doha
Sekarang
Tarif, Kebijakan Non-Tarif, 145
Jasa, Kekayaan Intelektual,
Penyelesaian
Sengketa,
7
Ibid., hal. 2.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Tekstil, Pertanian, dll
Pada tahun-tahun awal terbentuknya GATT, putaran perdagangan GATT di Jenewa,
Annecy, dan Torquay mengkonsentrasikan perundingan pada upaya penurunan tarif untuk
mendorong perdagangan agar lebih terbuka. Putaran-putaran perdagangan tersebut menghasilkan
penurunan 45.000 tarif yang bernilai USD 10 miliar, yang merupakan seperlima dari perdagang
dunia.8 Putaran Kennedy mulai membahas mengenai masalah dumping dan kebijakan antidumping. Akan tetapi, kerangka tentang persetujuan anti-dumping tersebut memperkenalkan
prosedur dan standar untuk menghitung margin dumping dan menentukan apakah industri domestik
dirugikan atau tidak.9 Putaran Uruguay menghasilkan Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia atau Agreement Establishing the World Trade Organization (Marrakesh
Agreement), yang memuat sejumlah persetujuan sebagai lampiran. Marrakesh Agreement memuat
kerangka umum institusional untuk menyelenggarakan hubungan dagang di antara negara-negara
anggotanya.10 Lalu, putaran ini juga melakukan perbaharuan terhadap GATT 1947 yang mana
menghasilkan GATT 1994.
Lampiran 1, 2, dan 3 Marrakesh Agreement dinamakan Persetujuan Perdagangan
Multilateral (Multilateral Trade Agreement) yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan
dari Persetujuan WTO.11 Lampiran 1 Marrakesh Agreement terdiri dari: (i) Lampiran 1A, yaitu
Persetujuan Multilateral dalam Perdagangan Barang (Multilateral Agreements on Trade in Goods);
(ii) Lampiran 1B, yaitu Persetujuan Umum dalam Perdagangan Barang (General Agreements on
Trade in Services and Annexes); (iii) Lampiran 1C, yaitu Persetujuan dalam Aspek-aspek
Perdagangan terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property).12 Lampiran 2 Marrakesh Agreement adalah Kesepakatan Penyelesaian
Sengketa atau Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes
(DSU). Sementara, Lampiran 3 Marrakesh Agreement memuat Mekanisme Tinjauan Kebijakan
Perdagangan (Trade Policy Review Mechanism).13 Lampiran 1, 2, 3 Marrakesh Agreement bersifat
imperatif untuk ditandatangai oleh setiap negara yang ingin menjadi anggota WTO. Sedangkan
8
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Sekilas WTO (World Trade Organization), Edisi Kelima,
(Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal
Multilateral Departemen Luar Negeri RI, 2008), hal. 6.
9
Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op.cit., hal. 401.
10
World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization (Marrakesh : World
Trade Organization, 1994), Pasal I:1.
11
Ibid., Pasal II:2.
12
Ibid., Daftar Lampiran.
13
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, loc. cit.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Lampiran 4 Marrakesh Agreement yang bernama Persetujuan Perdagangan Plurilateral (Plurilateral
Trade Agreement) bersifat fakultatif.14
Persetujuan Perdagangan Plurilateral hanya mengikat negara-negara anggota yang telah
menandatanganinya secara terpisah. Persetujuan Perdagangan Plurilateral tidak memberikan hak
dan kewajiban bagi negara-negara anggota yang tidak menandatangani persetujuan tersebut.15 Agar
Marrakesh Agreement dan lampiran-lampirannya berjalan dengan efektif, maka WTO mempunyai
sistem penyelesaian sengketa yang diatur dalam DSU. DSU berlaku untuk konsultasi dan
penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota mengenai hak dan kewajiban berdasarkan
Persetujuan WTO.16
Berdasarkan Marrakesh Agreement, WTO terbentuk pada tanggal 1 Januari 1995,
merupakan organisasi payung (umbrella) yang bertanggung jawab atas implementasi GATT 1994,
General Agreement in Service, The Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property
Rights (TRIPS), dan aturan WTO lainnya. World Trade Organization (WTO) atau organisasi
perdagangan dunia adalah organisasi beranggotakan sebagian besar negara di dunia, yang berperan
dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan pembangunan
ekonomi dan standar hidup bagi negara-negara anggotanya.17 Maka, WTO bertanggung jawab atas
semua perjanjian multilateral dan plurilateral yang dihasilkan dari putaran Uruguay dan perjanjianperjanjian yang akan dibentuk.18
WTO didirikan oleh negara anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama yaitu:19
(1) Meningkatkan standar hidup.
(2) Memberikan lapangan pekerjaan.
(3) Pertumbuhan pendapatan dan permintaan efektif .
(4) Perkembangan produksi dan perdagangan barang dan jasa
(5) Mengusahakan perlindungan lingkungan hidup
Dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut, ada langkah-langkah positif untuk menjamin agar negara
berkembang, khususnya yang terbelakang, mendapat bagaian dari pertumbuhan perdagangan
internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonomi. Selain itu, WTO juga merupakan
badan internasional yang dibentuk sebagai upaya untuk mendorong terciptanya liberisasi
14
Ibid.
15
World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization, Pasal II:3.
16
World Trade Organization, Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes
(Uruguay: World Trade Organization, 1994), Pasal I:1.
17
Adolf Warouw, “Kata Pengantar”, dalam Pengantar Hukum WTO oleh Peter van den Bossche, Daniar
Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. xi.
18
UNCTAD, Business Guide to the Uruguay Round (Geneva: 1996), hal. 33.
19
World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization, paragraf 1 mukadimah.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
perdagangan dan menghasilkan aturan-aturan perdagangan multilateral yang transparan dan adil
yang salah satunya adalah bidang perdagangan barang.20
Lalu, adapun fungsi dari WTO yang dapat dilihat dalam Pasal III dari Marrakesh
Agreement, yaitu:21
a. Memfasilitasi pelaksanaan, administrasi, dan pengoperasian serta membvantu dalam
pencapaian tujuan dari perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral lainnya dan
memberikan kerangka untuk pelaksanaan, administrasi, dan operasi Plurilateral Trade
Agreement
b. Menyediakan forum untuk negosiasi antara anggota-anggotanya mengenai hubungan
perdagangan serta forum untuk melakukan negosiasi selanjutnya antara negara-negara
anggotanya mengenai hubungan perdagangan multilateral
c. Mengadministrasikan sistem penyelesaian sengketa
d. Mengadministrasikan Mekanisme Pengawasan kebijakan nasional suatu negara di bidang
perdagangan
e. Melakukan kerjasama degan IMF (International Monetary Fund), World Bank, dan badanbadan afiliasinya dengan maksud untuk mencapai suatu hubungan yang lebih erat dalam
pembuatan kebijakan ekonomi global
Kunci utama dalam hukum WTO adalah prinsip Non-diskriminasi. Prinsip Non-diskriminasi
merupakan prinsip yang melarang adanya diskriminasi dari suatu negara. Pengaturan prinsip Nondiskriminasi terbagi dua macam prinsip yaitu prinsip Most Favoured Nations (Perlakuan MFN)
dan prinsip National Treatment.22 Prinsip Non-diskriminasi melalui dua prinsip tersebut berlaku
pada barang dan jasa. Namun pada pembahasan dalam makalah ini akan memfokuskan pada
prinsip National Treatment yang berlaku terhadap barang yang diatur dalam GATT 1994 (General
Agreement on Tariffs and Trade) serta ketentuan WTO lainnya. Menurut Pasal III GATT 1994,
Prinsip National Treatment merupakan larangan terhadap diskriminasi pada barang impor. Secara
umum, prinsip ini merupakan kewajiban yang melarang Negara anggota WTO untuk
memperlakukan produk impor kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik
yang sama, pada saat produk impor memasuki pasar domestik.23 Pada Pasal III:1 GATT 1994
memberikan ruang lingkup pengaplikasian dari Pasal III GATT 1994 tersebut, yaitu24
20
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Direktorat Jenderal Multilateral, Departemen
Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat, hal.1.
21
World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization, Pasal III.
22
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo, 2005), hal. 108
23
Peter van den Bossche, Op. cit., hal 327-328.
24
Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
a. pajak dan biaya internal
b. perundang-undangan, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, transportasi,
distribusi, atau penggunaan barang
c. peraturan internal mengenai kuantitas dalam pencampuran, proses atau penggunaan barang
dalam proporsi tertentu
Tujuan dari Pasal III GATT 1994 ini jelas terungkap dalam putusan-putusan panel yang
memeriksa pelanggaran terhadap pasal tersebut. Misalnya dalam laporan panel mengenai Italian
Discrimination against Imported Agricultural Machinery menyatakan bahwa tujuannya adalah
untuk memperlakukan barang impor dalam cara yang sama seperti barang dalam negeri begitu
barang-barang tersebut telah pabean. Lalu laporan panel tahun 1989 tentang United States Section
337 of the Tariff Act of 1930 dinyatakan bahwa tujuan Pasal III GATT 1994 adalah untuk menjamin
agar tindakan-tindakan dalam negeri tidak dikenakan atas barang-barang impor atau pun barang
domestik, sehingga memberikan proteksi terhadap barang dalam negeri.25 Kewajiban dalam prinsip
National Treatment mencakup internal taxes (pajak internal) dan technical regulations (peraturan
teknis).26
Secara khusus, kewajiban dari prinsip National Treatment melalui technical regulations
diatur dalam salah satu annex dari GATT 1994 yaitu Technical Barrier to Trade Agreement (TBT
Agreement). Kewajiban technical regulations ini diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu
negara anggota harus mengambil ukuran wajar dalam pemberlakuan technical regulations terhadap
produk impor dari negara anggota lainnya melalui perlakuan yang tidak lebih menguntungkan
produk domestik negara tersebut yang merupakan produk yang sama. Namun kewajiban technical
regulations ini dapat dikecualikan jika produk impor tersebut dapat mengancam keselamatan,
kesehatan, dan perlindungan lingkungan atau keamanan nasional suatu negara.27
Dalam pemberlakuan prinsip National Treatment ini masih ada pelanggaran yang dilakukan
oleh negara- negara anggota WTO. Maka, hal ini sering menimbulkan sengketa antara para negara
anggota WTO. Salah satunya kasus WTO US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) antara
Indonesia dan AS yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, dalam skripsi ini akan
dibahas mengenai pengaturan prinsip National Treatment dalam ketentuan WTO serta melakukan
analisis terhadap kasus WTO mengenai WTO US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) yaitu
dengan memperbandingkan interpretasi prinsip National Treatment dalam putusan DSB WTO
25
Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal.
97-98.
26
World Trade Organization, General Agreement on Tariffs and Trade (Uruguay: World Trade Organization,
1994), Pasal 3.
27
World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement (Uruguay: World Trade Organization,
1994), Pasal 3.1.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
dalam kasus WTO tersebut dengan prinsip National Treatment yang diatur secara umum di dalam
ketentuan WTO.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
PEMBAHASAN
Kunci utama dalam hukum WTO adalah prinsip Non-diskriminasi. Prinsip Non-diskriminasi
merupakan prinsip yang melarang adanya diskriminasi dari suatu negara. Pengaturan prinsip Nondiskriminasi terbagi dua macam prinsip yaitu prinsip Most Favoured Nations (Perlakuan MFN)
dan prinsip National Treatment. Prinsip Non-diskriminasi melalui dua prinsip tersebut berlaku
pada barang dan jasa. Pembahasan dalam makalah ini memfokuskan pada prinsip National
Treatment yang berlaku terhadap barang yang diatur dalam GATT 1994 (General Agreement on
Tariffs and Trade) serta ketentuan WTO lainnya. Menurut Pasal III GATT 1994, Prinsip National
Treatment merupakan larangan terhadap diskriminasi pada barang impor. Secara umum, prinsip ini
merupakan kewajiban yang melarang Negara anggota WTO untuk memperlakukan produk impor
kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang sama, pada saat produk impor
memasuki pasar domestik. Pada Pasal III:1 GATT 1994 memberikan ruang lingkup pengaplikasian
dari Pasal III GATT 1994 tersebut, yaitu :
d. pajak dan biaya internal
e. perundang-undangan, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, transportasi,
distribusi, atau penggunaan barang
f. peraturan internal mengenai kuantitas dalam pencampuran, proses atau penggunaan barang
dalam proporsi tertentu
Secara khusus, kewajiban dari prinsip National Treatment melalui technical regulations diatur
dalam salah satu annex dari GATT 1994, yaitu Technical Barrier to Trade Agreement (TBT
Agreement). Kewajiban technical regulations ini diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu
negara anggota harus mengambil ukuran wajar dalam pemberlakuan technical regulations terhadap
produk impor dari negara anggota lainnya melalui perlakuan yang tidak lebih menguntungkan
produk domestik negara tersebut yang merupakan produk yang sama. Namun, kewajiban technical
regulations ini dapat dikecualikan jika produk impor tersebut dapat mengancam keselamatan,
kesehatan, dan perlindungan lingkungan atau keamanan nasional suatu negara.
Dalam pembahasan prinsip National Treatment dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco
Control Act), Panel dan Appellate Body dalam US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)
menyimpulkan bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement harus
pertama-tama menginterpretasikannya berdasarkan konteks dari TBT Agreement, kemudian dapat
menggunakan yurisprudensi dari Pasal III: 4 GATT 1994 sebagai bantuan dalam pertimbangannya.
Pasal 2.1 TBT Agreement ada tiga unsur yang harus diinterpretasikan, yaitu pertama, tindakan yang
diberlakukan merupakan ‘technical regulation’, kedua, barang domestik dan barang impor adalah
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
‘like products’ dan ketiga, ‘technical regulation’ memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap
barang impor dibandingkan dengan barang domestik.
Mengenai unsur pertama, dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), Panel
dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical
regulation’, yang didasarkan pada tiga unsur ‘technical regulation’ yang terpenuhi, yaitu Pertama,
peraturan tersebut berlaku pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi.
Kedua, peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi
yang berkaitan dengan barang tersebut. Ketiga, peraturan tersebut adalah wajib berkaitan dengan
kepatuhan terhadap karakteristik barang.28 Lalu pada unsur kedua, Panel dan Appellate Body
memutuskan bahwa rokok kretek impor dan rokok mentol diproduksi domestik merupakan ‘like
products’, yang didasarkan pada kriteria umum dari ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik barang
(physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a
given market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and habits),
dan faktor klasifikasi tarif internasional dari barang.29
Pada unsur ketiga, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA telah memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan
dengan rokok mentol yang diproduksi domestik. Hal ini didasarkan pada pemberlakuan Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA yang mengakibatkan kondisi dari kompetisi dalam pasar Amerika Serikat
menjadi kurang menguntungkan terhadap barang rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok
mentol diproduksi domestik yang sejenis. Kemudian Appellate Body juga mempertimbangkan
dampak merugikan dari kondisi yang tidak menguntungkan yang diakibatkan oleh Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA yang digolongkan sebagai bentuk diskriminasi terhadap sekelompok barang
impor dan bukan berasal peraturan pembeda yang sah.
28
EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para.176.
29
Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, prinsip National Treatment bersumber pada Pasal III GATT 1994, yang
menyatakan bahwa negara anggota tidak boleh memberikan perlakuan ‘less favourable’
terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis dan yang langsung
bersaing atau bersubstitusi dalam pasar domestik negara tersebut. Dalam Pasal III:1 GATT
1994, dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan dari Pasal III GATT 1994 yang terdiri dari: (1)
pajak dan biaya internal; (2) perundang-undangan, peraturan, dan persyaratan yang
mempengaruhi penjualan, transportasi, distribusi, atau manfaat dari barang; dan (3) peraturan
kuantitatif internal yang mewajibkan campuran, pemprosesan atau penggunaan barang dalam
porsi tertentu. Kewajiban prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994 mencakup
dua hal yaitu pajak internal dan regulasi internal. Dalam hal kewajiban prinsip National
Treatment dalam pajak internal, maka penerapannya tidak hanya pada barang yang sejenis/like
products tetapi juga pada barang yang secara langsung bersaing dalam pasar atau barang
substitusi/directly competitive or substitutable products. Kemudian, hukum WTO juga
memberikan beberapa pengecualian terhadap kewajiban prinsip National Treatment ini yaitu
pembelanjaan pemerintah (Pasal III:8 (a) GATT 1994); subsidi domestik (Pasal III:8 (b) GATT
1994); negara berkembang (Pasal XVIII:C GATT 1994); pengecualian umum (Pasal XX
GATT 1994); dan keamanan nasional (Pasal XXI GATT 1994).
2. Ketentuan substansi dasar dari TBT Agreement terdiri dari beberapa prinsip yang mana juga
ditemukan dalam GATT 1994, seperti kewajiban perlakuan Most Favored Nations, kewajiban
National Treatment, dan kewajiban untuk tidak memberlakukan hambatan yang tidak perlu
dalam perdagangan internasional. Pengaturan mengenai prinsip National Treatment dalam TBT
Agreement diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. Pasal 2.1 TBT Agreement mengatur bahwa
setiap negara anggota harus menjamin peraturan teknis terhadap barang impor dari wilayah
setiap negara anggota yang lainnya diperlakukan dengan tidak kurang menguntungkan
dibandingkan dengan barang sejenis yang berasal dari domestik dan pada barang sejenis yang
berasal dari negara anggota yang lainnya. Pasal 2.1 TBT Agreement terdiri dari tiga unsur yang
harus dibuktikan dalam rangka menentukan ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i)
bahwa tindakan dalam masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan
Lampiran 1.1 TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor dan barang domestik merupakan ‘like
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
products’, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap barang impor harus kurang menguntungkan
daripada perlakuan yang diberikan kepada barang domestik dan barang sejenis yang berasal
dari negara lain. Berdasarkan kalimat pembukaan kedua dari TBT Agreement, TBT Agreement
dibentuk untuk melanjutkan tujuan-tujuan dari GATT 1994. Jadi, mengenai dua perjanjian
yang bersifat kumulatif ini, suatu peraturan teknis diskriminasi diatur dalam lingkup Pasal III:4
GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT Agreement serta Pasal 2.2 TBT Agreement. Maka, Pasal
2.1 TBT Agreement, melanjutkan tujuan dari Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan
‘perlakuan yang tidak kurang menguntungkan terhadap barang yang sejenis yang berasal dari
negara lain dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam negeri’. Kemudian, mengenai
pengecualian umum terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement dengan mempertimbangkan karakter
lex specialis dari TBT Agreement, serta dengan tidak adanya klausula pengecualian umum
dalam rezim yang lebih khusus, maka Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang lebih umum
menjadi berlaku. Dengan demikian, solusi pada pengecualian dari Pasal 2.1 TBT Agreement
adalah Pasal XX GATT 1994 mengandung daftar lengkap dari tujuan yang sah, sedangkan
daftar dalam Pasal 2.2 TBT Agreement lebih memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
membenarkan tindakan yang membatasi dalam perdagangan.
3. Dalam Interpretasi prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel dan
Appellate Body dalam US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menyimpulkan bahwa
dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement harus pertama-tama
menginterpretasikannya berdasarkan konteks dari TBT Agreement, kemudian dapat
menggunakan yurisprudensi dari Pasal III: 4 GATT 1994 sebagai bantuan dalam
pertimbangannya. Pasal 2.1 TBT Agreement ada tiga unsur yang harus diinterpretasikan, yaitu
(a) tindakan yang diberlakukan merupakan ‘technical regulation’; (b) barang domestik dan
barang impor adalah ‘like products’, dan (c) ‘technical regulation’ memberikan ‘less
favourable treatment’ terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik.Mengenai
unsur pertama dari Pasal 2.1 TBT Agreement, dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco
Control Act), Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA
merupakan ‘technical regulation’, yang didasarkan pada tiga unsur ‘technical regulation’ yang
terpenuhi, yaitu (a) peraturan tersebut berlaku pada suatu barang atau sekelompok barang yang
bisa diidentifikasi; (b) peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau
proses atau cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut; dan (c) peraturan tersebut
adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang. Lalu pada unsur kedua
dari Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa rokok kretek
impor dan rokok mentol diproduksi domestik merupakan ‘like products’, yang didasarkan pada
kriteria umum dari ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
quality), kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan
pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif
internasional dari barang. Pada unsur ketiga Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel dan Appellate
Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA telah memberikan ‘less favourable
treatment’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi
domestik. Hal ini didasarkan pada pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang
mengakibatkan kondisi dari kompetisi dalam pasar Amerika Serikat menjadi kurang
menguntungkan terhadap barang rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok mentol
diproduksi domestik yang sejenis. Kemudian Appellate Body juga mempertimbangkan dampak
merugikan dari kondisi yang tidak menguntungkan yang diakibatkan oleh Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA yang digolongkan sebagai bentuk diskriminasi terhadap sekelompok barang impor
dan bukan merupakan ‘technical regulation’ yang memiliki peraturan pembedaan yang sah.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Raja Grafindo, 2005.
Bermann, George A. dan Petros C. Mavroidis. Trade and Human Health and Safety. New York:
Cambridge University press, 2006.
Bhala, Raj. The GATT : Law and International Economic Organization. Chicago: University of
Chicago Press, 1970.
Dam, Kenneth W. The GATT : Law and International Economic Organization. Chicago: University
of Chicago Press, 1970.
Diebold, Nicholas F. Non Discrimination in Internatinal Trade in Services (‘Likeness in
WTO/GATS’). New York: Cambridge University Press, 2010.
Hata. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO. Bandung: PT Refika Aditama,
2006.
Jackson, John H. World Trade and the Law of GATT. Indianapolis: Bobbs-Merrill Company, 1969.
Jackson, John H, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr. Legal Problems of International
Economic Relations, Fourth Edition. St. Paul : West Publishing Co, 2002.
Koul, Autar Krishen. Guide to WTO and GATT: Economics, Law, and Politics. Den Haag :Kluwer
Law International, 2005.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Matsushita, Mitsuo, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis. The World Trade
Organization: Law, Practice, and Policy. United State: Oxford University Press, 2003.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Ortino, Federico. Basic Legal Instruments for the Liberalisation of Trade – A Comparative Analysis
of EC and WTO Law. Oxford: Hart Publishing, 2004.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Business Guide to the
Uruguay Round. Geneva: 1996.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Dispute Settlement (WTO
technical barrier to trade). NewYork dan Geneva: United Nations, 2003.
Van den Bossche, Peter. The Law and Policy of the World Trade Organization . Cambridge :
Cambridge University Press, 2005.
Van den Bossche, Peter, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi. Pengantar Hukum
WTO. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010.
Vranes, Erich. Trade and the Environment: Fundamental Issues in International Law, WTO Law,
and Legal Theory. Oxford: Oxford University Press, 2009.
PERJANJIAN INTERNASIONAL
World Trade Organization. Agreement Establishing the World Trade Organization. Marrakesh : World
Trade Organization, 1994.
_________________________. General Agreement on Tariffs and Trade. Uruguay:
World Trade
Organization, 1994.
_________________________. Technical Barrier to Trade Agreement. Uruguay:
World Trade
Organization, 1994.
_________________________. Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of
Disputes. Uruguay: World Trade Organization, 1994.
KASUS-KASUS
Canada – Autos. (WTO Panel, 2000).
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes. (WTO Appellate Body, 2005).
EC–Asbestos. (WTO Panel, 2000).
EC–Asbestos. (WTO Appellate Body, 2001).
EC – Sardines. (WTO Panel, 2002).
EC – Sardines. (WTO Appellate Body, 2002).
EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia). (WTO Panel, 2005).
Italian Discrimination Against Imported Agricultural Machinery. (GATT Panel, 1959).
Japan – Alcoholic Beverages II. (WTO Appellate Body, 1996).
Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and Alcoholic Beverages.
(GATT Panel, 1987).
Korea–Various Measures on Beef. (WTO Appellate Body, 2001).
Philippines – Distilled Spirits. (WTO Appellate Body, 2012).
US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). (WTO Panel, 2012).
US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). (WTO Appellate Body, 2012).
US – Gasoline. (WTO Appellate Body, 1996).
US – Section 337 Tariff Act. (GATT Panel, 1989).
ARTIKEL JURNAL
Appleton, Arthur E. “The Agreement on Technical Barriers to Trade.” dalam The World Trade
Organization: Legal, Economic and Political Analysis, vol. I, (2005).
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Shadikhodjaev, Sherzod. “National Treatment under GATT Article III:2 and its Applicability in the Context
of Korea’’s FTAs*.” dalam Journal of International Economic Studies Vol. 12, No. 1 (Juni 2008).
Tamiotti, Ludivine. “Commentary to Article 2 TBT (preparation, adoption and application of technical
regulations).” dalam WTO – Technical Barriers and SPS Measures: Max Planck Commentaries on
World Trade Law, vol. 3, (2007).
MAJALAH
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Sekilas WTO (World Trade Organization), Edisi
Kelima. (2008).
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Direktorat Jenderal Multilateral,
Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat.
INTERNET
”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun” di akses dari
http://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-us-200-juta-pertahun/. Diakses tanggal 22 September 2012.
“National
Treatment
Principle”
www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf.
Diakses tanggal 20 Februari 2013.
“Non
Discrimination
Principles
and
Specific
Exceptions”
https://etraining.wto.org/admin/files/Course.../INTRO-M7-R3-E.doc. Diunduh 31 Maret
2013.
“Persetujuan tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Agreement on Technical Barriers to
Trade)” www.ditjenkpi.kemendag.org. Diunduh pada tanggal 6 Maret 2013.
“WTO Analytical Index : Technical Barriers, Agreement on Technical Barrier to Trade”
worldtradelaw.typepad.com/…/the-relationship-of-gatt-article-iii4-and-tbt-a…
tanggal 20 Maret 2013.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Diakses
“WTO
Kembali
Memenangkan
Kasus
Rokok
Kretek
Indonesia”
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.
Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia. Diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.
SUMBER LAIN
“Diplomasi Perdagangan RI dalam Tatanan Perdagangan Dunia: WTO Setuju Bentuk Panel
Sengketa mengenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat” Publikasi
Siaran Pers Kementrian Perdagangan Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 21
September 2012.
GATT Council. Report of the Working Party on Border Tax Adjustments. 2 Desember 1970.
Analisis Terhadap ..., Dian Esterina Tambunan, FH UI, 2013
Download