FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA ISPA PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Disusun oleh: Tri Astuti Lestari 1110101000029 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H /2014 i UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Juli 2014 Tri Astuti Lestari, NIM:1110101000029 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA ISPA PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014 (xi + 102 halaman, 24 tabel, 3 gambar, 8 lampiran) ABSTRAK ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang satu atau lebih dari saluran nafas. ISPA sering menyerang balita karena kekebalan tubuhnya yang masih rendah. ISPA masih menempati urutan teratas dari data 10 besar penyakit di Wilayah Kerja Puskesmas Citeureup. Di Desa Citeureup terdapat pabrik semen yang dalam proses produksi dan transportasinya menghasilkan pencemaran udara. Salah satu zat pencemar tersebut adalah SO2 yang dapat menyebabkan gejala ISPA. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan sejak bulan April sampai dengan Mei tahun 2014 di Desa Citeureup. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik cluster sampling dengan jumlah sampel 92 balita dan menggunakan analisis univariat and bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 71 balita (77,2 %) yang mengalami gejala ISPA dan terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 dengan gejala ISPA (p value 0,032). Variabel lain yang berhubungan dengan gejala ISPA adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, ASI Eksklusif, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status gizi (p value < 0,05). Untuk menanggulangi masalah ini diharapkan terdapat kerjasama antara masyarakat dengan pelayanan kesehatan untuk menciptakan lingkungan dan perilaku hidup sehat untuk mengurangi gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup. Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan terkait dengan penyakit ISPA, mengenai tanda dan gejala ISPA dan cara pencegahannya. Kata kunci: Gejala ISPA, balita, pencemaran udara luar ruangan, pencemaran udara dalam ruangan, kekebalan balita Daftar Bacaan: 1999-2014 ii FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Under Graduated Thesis, July 2014 Tri Astuti Lestari, NIM 1110101000029 Factors Associated With Risk Of Ispa For Infants At Citeureup Village 2014 (xi+102 pages, 24 tables, 3 pictures, 8 attachments) ABSTRACT ARI (Acute Respiratory Infection ) is an acute infectious disease that affects one or more of the respiratory tract. Its often strikes infants because their immune is still low. It is still on top list of 10 major diseases of data in job area of Citeureup Health Center. There is cement factory which in the process of production and transportation, that air pollution resulted. One of these pollutants are SO2 which cause respiratory infection risk. This research is a quantitative study using descriptive analytical crosssectional study design, conducted since April to May 2014 in the Citeureup village. The sampling method used was cluster sampling with a sample of 92 infants and using univariate and bivariate. The results showed that there were 71 infants (77.2%), which runs the risk of ARI and there is a relationship between the concentration of SO2 with ARI (p value 0,032). The other variables associated with the risk of ARI is a family member who suffered ISPA, exclusive breastfeeding, low birth weight and nutritional status (p value < 0,05 ). To overcome this problem is expected the cooperation between the community and health services by creating healthy living environments and behaviors to reduce the risk of ISPA for infants in Citeureup Village. Countermeasures can be done by way of extension of ISPA disease, signs and symptoms and its prevention. Key words: symptomps of ARI, infants, outdoor pollution, indoor pollution, immunity infant Refferences: 1999-2003 iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Alamat TTL Jenis Kelamin Agama Nomor Telepon E-mail 2010-sekarang 2007-2010 2004-2007 1998-2004 2011-2012 2012-2013 2012-2013 2013-2014 2013-2014 2012 2012-2013 2013 2014 IDENTITAS PERSONAL : Tri Astuti Lestari : Jln. Mufakat, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur : Purworejo, 1 Maret 1992 : Perempuan : Islam : 085775424805 : [email protected] RIWAYAT PENDIDIKAN : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : SMA Negeri 7 Purworejo : SMP Negeri 31 Purworejo : SD Negeri 2 Borokulon PENGALAMAN ORGANISASI : Sekretaris Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya : Bendahara Divisi Pengembangan Masyarakat BEM Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta : Ketua Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya : Menteri Pengelolaan dan Pengembangan Dana Organisasi Pengurus Nasional PAMI : Sekretaris Envihsa (Environmental Health Student Association) UIN Jakarta PENGALAMAN PRAKTEK KERJA : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering : Pengalaman Belajar Lapangan Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Ciputat, Tangerang Selatan : Orientasi Kerja di HSE PT. Mitra Adi Sesama : Kerja Praktek di bagian IPAL PT. Unitex iv v vi KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah memberikan kenikmatan dan kekuatan yang tidak terhitung jumlahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014”. Sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penuyusunan skripsi ini penulis mengalami banyak rintangan, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, antara lain: 1. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing I dan pembimbing II atas arahan dan bimbingan dalam penelitian ini, serta menyempatkan waktunya untuk memberikan saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi. 2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM, Ph.D, dan Bapak dr. Gatot Sudiro H, Sp.P, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak mengarahkan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ibu Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. vii 4. Pihak Puskesmas Citeureup, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor yang telah mengizinkan dan membantu penelitian ini. 5. Kepala Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin dalam peminjaman alat dan analisis konsentrasi SO2. 6. Saudara seperjuangan peminatan Kesehatan Lingkungan 2010 atas dukungan dan masukan penelitian: Rizka, Misyka, Fitri, Nida, Annis, Dillah, Alya, Reka, Ifa, Yuni, Elfira, Ilham, Fuad, Angger, Febri dan Akbar. 7. Sahabat-sahabatku Rizka, Sabila, Raafika, Bayti, Nina, Wiwid dan Nita yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Terakhir dan terpenting untuk kedua orang tua dan kakak-kakakku yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa yang selalu dipanjatkan demi kelancaran penyusunan skripsi. Semoga bantuan, bimbingan serta masukan yang telah diberikan berbagai pihak yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Ciputat, Juli 2014 Penulis viii DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i ABSTRAK .................................................................................................................. ii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. iv LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... vi KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang ............................................................................................. 1 1.2.RumusanMasalah ........................................................................................ 8 1.3.PertanyaanPenelitian ................................................................................... 8 1.4.Tujuan ......................................................................................................... 9 1.4.1. TujuanUmum ............................................................................ 9 1.4.2. TujuanKhusus ........................................................................... 9 1.5.Manfaat ..................................................................................................... 10 1.5.1. BagiPemerintah ....................................................................... 10 ix 1.5.2. BagiMasyarakat....................................................................... 10 1.5.3. BagiPeneliti ............................................................................. 10 1.6.RuangLingkup ........................................................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.InfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) .......................................................... 12 2.2.Klasifikasi ISPA ........................................................................................ 13 2.2.1. ISPA Ringan ........................................................................... 14 2.2.2. ISPA Sedang ........................................................................... 15 2.2.3. ISPA Berat .............................................................................. 15 2.3.Gejala ISPA ............................................................................................... 16 2.4.Penyebab ISPA .......................................................................................... 17 2.5.Cara Penularan ISPA ........................................................................................ 17 2.6.Diagnosa ISPA .................................................................................................. 18 2.7.Pencegahan ISPA .............................................................................................. 19 2.8.Mekanismeterjadinya ISPA ............................................................................. 19 2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA ..................................................... 20 2.9.1. KarakteristikBalita .................................................................. 20 2.9.2. LingkunganFisikRumah .......................................................... 26 2.9.3. PencemaranUdara ................................................................... 28 2.9.3.1.PencemaranUdaraLuarRuangan .................................. 29 2.9.3.2.PencemaranUdaraDalamRuangan............................... 33 2.10. KerangkaTeori..................................................................................... 35 BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. KerangkaKonsep ................................................................................. 38 3.2. DefinisiOperasional ............................................................................. 41 3.3. Hipotesis .............................................................................................. 44 x BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. JenisdanRancanganPenelitian.............................................................. 45 4.2. LokasidanWaktuPenelitian .................................................................. 45 4.2.1. LokasiPenelitian ...................................................................... 45 4.2.2. WaktuPenelitian....................................................................... 46 4.3. SampelPenelitian ................................................................................. 46 4.4. TeknikPengambilanSampel ................................................................. 48 4.5. MetodePenelitianPengukuran .............................................................. 49 4.6. TeknikPengolahan Data....................................................................... 53 4.7. Analisis Data ....................................................................................... 55 4.7.1. AnalisisUnivariat ..................................................................... 55 4.7.2. AnalisisBivariat ....................................................................... 56 BAB V HASIL 5.1.HasilAnalisisUnivariat .................................................................................... 57 5.1.1. GambaranInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBalita di DesaCiteureup 57 5.1.2. Gambaran SO2 di DesaCiteureup ........................................................ 57 5.1.3. GambaranAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA .......................... 58 5.1.4. GambaranAnggotaKeluarga yang Merokok ....................................... 59 5.1.5. GambaranTempatuntukMerokokAnggotaKeluargaBalita di DesaCiteureup ..................................................................................... 59 5.1.6. GambaranJumlahRokok yang dikonsumsidalamsehari ...................... 60 5.1.7. GambaranBahanBakarMemasak di DesaCiteureup ............................ 60 5.1.8. GambaranPenggunaanObat Anti Nyamuk .......................................... 61 xi 5.1.9. GambaranJenisObat Anti Nyamuk yang Dipakai ............................... 61 5.1.10. Gambaran ASI EksklusifpadaBalita ................................................... 62 5.1.11. AlasanBalita yang TidakMendapatkan ASI Eksklusif ........................ 63 5.1.12. GambaranJenisImunisasiBalita ........................................................... 63 5.1.13. AlasanBalita yang TidakMendapatkanImunisasiLengkap .................. 64 5.1.14. GambaranBeratBadanLahirRendahpadaBalita ................................... 64 5.1.15. Gambaran Status GiziBalita di DesaCiteureup ................................... 65 5.2.HasilAnalisisBivariat ...................................................................................... 65 5.2.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ............... 66 5.2.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Terkena ISPA denganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................ 66 5.2.3. HubunganAnggotaKeluargaMerokokdenganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................................. 67 5.2.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ...... 68 5.2.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................ 69 5.2.6. Hubungan ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita .................. 70 5.2.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita .......................... 71 5.2.8. Hubungan BBLR (BeratBadanLahirRendah) denganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................ 72 5.2.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ....................... 73 xii BAB VI PEMBAHASAN 6.1.KeterbatasanPenelitian .................................................................................. 75 6.2.Resiko ISPA padaBalita di DesaCiteureup ................................................... 76 6.3.AnalisisBivariat............................................................................................. 77 6.3.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ............... 77 6.3.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA padaBalita ........ 80 6.3.3. HubunganAnggotaKeluarga yang MerokokdenganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................ 82 6.3.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ....... 85 6.3.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................ 87 6.3.6. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita . 89 6.3.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita .......................... 91 6.3.8. HubunganBeratBadanLahirRendah (BBLR) denganResiko ISPA padaBalita ............................................................................................ 95 6.3.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ....................... 97 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan...................................................................................................... 99 7.2.Saran ............................................................................................................. 101 xiii DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ..................................................................... 47 Tabel 5.1 Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................ 57 Tabel 5.2 Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014..................... 58 Tabel 5.3 Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................................................................... 58 Tabel 5.4 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ......................................................................... 59 Tabel 5.5 Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................................................... 59 Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari di Desa Citeureup Tahun 2014 .......................................................................... 60 Tabel 5.7 Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Tahun 2014 ........ 61 Tabel 5.8 Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada Rumah Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................................................... 61 Tabel 5.9 Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai di Desa Citeureup Tahun 2014 .......................................................................................... 62 Tabel 5.10 Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 . 62 Tabel 5.11 Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif ...... 63 Tabel 5.12 Distribusi Jenis Imunisasi pada Balita Di Desa Citeureup Tahun 2014 63 xv Tabel 5.13 Gambaran Balita yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Desa Citeureup Tahun 2014 .......................................................................... 64 Tabel 5.14 Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................................................................... 64 Tabel 5.15 Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ...... 65 Tabel 5.16 Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ............................................................. 66 Tabel 5.17 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................... 67 Tabel 5.18 Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................... 68 Tabel 5.19 Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................... 69 Tabel 5.20 Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 .................... 70 Tabel 5.21 Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 71 Tabel 5.22 Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 72 Tabel 5.23 Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................... 73 Tabel 5.24 Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 74 xvi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Teori..................................................................................37 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.............................................................40 Gambar 4.1 Peta Wilayah Desa Citeureup...........................................................53 xvii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Output SPSS Lampiran 2 Izin Studi Pendahuluan Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian Lampiran 5 Permohonan Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2 Lampiran 6 Balasan Izin Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2 Lampiran 7 Izin Pengambilan Data Lampiran 8 Peta Desa Citeureup xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. ISPA menyebabkan hampir 4 juta orang meninggal setiap tahun (Maramis, 2013). Data WHO 2008 yang di update Juni 2011 menyebutkan bahwa ISPA menempati peringkat ke 3 dari 10 penyebab kematian terpenting dunia dengan jumlah 3,46 juta orang (6,1%) (Aditama,T.Y,2011). Masyarakat yang rentan terhadap ISPA adalah balita karena kekebalan tubuhnya masih rendah. Balita dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap tahun terutama mereka yang tinggal di daerah urban. Jumlah penderita ISPA pada balita antara 25-40% yang dirawat jalan dan 12-35% yang dirawat di rumah sakit (Lubis,I, 1990). Prevalensi ISPA pada balita yaitu >35% diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008). Balita lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria dan campak. Setiap tahun di dunia diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia atau dengan kata lain terdapat 1 balita 1 yang meninggal karena ISPA tiap 15 detik dari 9 juta total kematian balita. Bahkan karena besarnya kematian ISPA, maka ISPA atau pneumonia disebut sebagai pandemik yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children (UNICEF, 2006 dalam Pramayu, 2012). Pada Konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia, pada Juli 1997 mengatakan bahwa empat juta balita di negara-negara berkembang meninggal tiap tahun akibat ISPA. Di Indonesia, kematian balita akibat ISPA menduduki peringkat terbesar. Pada tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia mencapai lima kasus di antara 1.000 bayi atau balita. Pneumonia menyebabkan 150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun, atau 12.500 bayi atau balita tiap bulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 bayi atau balita tiap 1 jam, atau seorang bayi atau balita tiap lima menit (Siswono, 2007 dalam Putri, 2012). Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Jawa Barat hampir mendekati angka prevalensi nasional dengan prevalensi sebesar 24,73%. Oleh sebab itu perlu adanya tindakan preventif atau perbaikan agar angka kejadian ISPA menjadi menurun. Profil kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012 menunjukkan bahwa ISPA menduduki peringkat pertama terbanyak untuk kelompok umur 0-28 hari, 1-4 tahun dan 5-44 tahun. Berdasarkan data penyakit dari Puskesmas Citeureup tahun 2013 menunjukkan bahwa penyakit ISPA menduduki peringkat pertama 2 terbanyak pada kelompok balita. Studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa banyak balita yang mengalami batuk, pilek, dan sakit tenggorokan yang merupakan gejala dari ISPA. Berbagai faktor yang menyebabkan ISPA adalah lingkungan dan host. Menurut berbagai penelitian sebelumnya faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ISPA adalah kualitas udara (Layuk, 2012). Kualitas udara dipengaruhi oleh seberapa besar pencemaran udara. Pencemaran udara adalah terkontaminasinya udara, baik dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (Outdoor), dengan agen kimia, fisik, atau biologi yang telah mengubah karakteristik alami dari atmosfer. Setiap tahun diperkirakan terdapat 200 ribu kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan dimana 93% kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003 dalam Gertrudis, 2010). Contoh dari pencemaran udara luar (Outdoor) adalah pencemaran yang ditimbulkan dari proses industri. Salah satu industri yang terletak di Desa Citeureup, Bogor, Jawa Barat adalah industri semen. Industri semen adalah industri yang sebagian besar proses produksinya berupa pengecilan ukuran material dan pembakaran sehingga mempunyai resiko terhadap pencemaran lingkungan jika tidak ada pengelolaan lingkungan (Gertrudis, 2010). Industri menghasilkan berbagai pencemar seperti TSP, NOx dan SOx. Zat pencemar TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88% dalam pencemaran udara. Konsentrasi terbesar yang dihasilkan oleh industri adalah SOx 3 (Ali, 2007). Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kejadian ISPA dengan SO2, (Sakti, 2012). Zat pencemar SOx menimbulkan dampak terhadap manusia sebesar 0,5 ppm. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm (Depkes, 1999). Pada kondisi temperatur ataupun tekanan tertentu pencemar bahan padat atau cair dapat berubah menjadi gas. Baik partikel maupun gas membawa akibat terutama bagi kesehatan manusia seperti debu batubara, asbes, semen, belerang, asap pembakaran, uap air, gas sulfida, uap amoniak, dan lain-lain. Arah angin mempengaruhi daerah pencemaran karena sifat gas dan partikel yang ringan dan mudah terbawa (Arief, L.M, 2010). Selain pencemaran udara luar ruangan (Outdoor), pencemaran udara dalam ruangan (Indoor) juga mempunyai peran terhadap terjadinya ISPA pada balita. Beberapa pencemaran udara dalam ruangan adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, dan penggunaan kayu bakar untuk bahan bakar memasak (Layuk, 2012). Anggota keluarga yang mengalami ISPA mempunyai peran terhadap penularan ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan balita masih mempunyai daya tahan tubuh yang rendah. Cara penularan ISPA melalui udara yaitu jika penderita 4 batuk atau bersin dan tidak ditutup menggunakan tangan atau sapu tangan maka akan menyebabkan virus menyebar di dalam ruangan (Gertrudis, 2010). Kebiasaan merokok anggota keluarga menyebabkan balita sebagai perokok pasif menjadi terpajan asap rokok. Terdapatnya seorang perokok atau lebih akan meningkatkan resiko anggota keluarga untuk mengalami gangguan pernapasan. Jumlah perokok di Indonesia semakin banyak sehingga akan menambah jumlah penderita gangguan kesehatan akibat merokok atau menghirup asap rokok. Dari hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar penderita ISPA berasal dari lingkungan yang didalamnya terdapat anggota keluarga merokok (Agussalim, 2012). Penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan salah satu dari penyebab pencemaran di dalam rumah. Obat anti nyamuk terdiri atas bermacam-macam jenis, diantaranya adalah obat anti nyamuk bakar, semprot, oles, Obat anti nyamuk yang dapat menimbulkan resiko terbesar pada saluran pernapasan adalah obat anti nyamuk bakar. Berdasarkan penelitian, penggunaan obat anti nyamuk bakar memiliki resiko 5,89 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar (Halim, 2012). Penyebab pencemaran dalam rumah lainnya adalah bahan bakar memasak. Jenis bahan bakar yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan kayu bakar karena menghasilkan lebih banyak asap dibandingkan dengan bahan bakar yang menggunakan gas atau listrik. Kejadian ISPA lebih banyak karena pencemaran udara oleh asap bahan bakar untuk memasak di dalam rumah yang tidak 5 memenuhi syarat dibandingkan dengan pencemaran udara oleh asap bahan bakar untuk memasak didalam rumah yang memenuhi syarat (Citra, 2012). Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan ISPA selain pencemaran udara adalah faktor kekebalan balita itu sendiri. Kekebalan balita dipengaruhi oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status gizi. Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan salah satu faktor terjadinya ISPA. Efek protektif dari ASI cenderung menurunkan angka kesakitan pada balita yang diberi ASI khususnya pada bulan-bulan awal kelahiran. Berdasarkan penelitian, kejadian ISPA 4 kali lebih besar pada balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif (Widarini, 2009). Imunisasi merupakan upaya untuk menurunkan mortalitas akibat ISPA pada balita. Sebagian besar kematian akibat ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Pemberian imunisasi campak yang efektif sekitar 11% pneumonia pada balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) dapat mencegah kematian akibat pneumonia sekitar 6% (Agussalim, 2012). Bayi yang lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki daya tahan tubuh rendah karena sistem pertahanan tubuhnya belum sempurna. Bayi BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan yang belum sempurna. Penelitian 6 terdahulu mengatakan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA (Layuk, 2012). Faktor kekebalan balita lainnya adalah status gizi. Balita yang mempunyai gizi kurang akan mudah terkena ISPA daripada balita yang mempunyai gizi baik. Penelitian terdahulu mengatakan bahwa kejadian ISPA berulang lebih banyak pada balita dengan status gizi kurang (Sukmawati, 2010). Berdasarkan uraian diatas, ISPA disebabkan oleh pencemaran udara. Outdoor pollution merupakan faktor penyebab ISPA di negara berkembang. Salah satu penyebab adanya pencemaran udara luar ruangan adalah dari aktivitas industri. Zat pencemar udara yang terbesar akibat industri adalah SO2. Penyebab terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat konsentrasi SO2 di masing-masing zona lokasi penelitian yang dinginkan. Namun juga diperhatikan penyebab dari lingkungan dalam rumah (anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, dan bahan bakar memasak) dan faktor kekebalan balita (ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) yang berpotensi menyebabkan balita terkena ISPA. Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA. 7 1.2.Rumusan Masalah Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa banyak balita yang mempunyai resiko terhadap ISPA. Faktor penyebab ISPA diantaranya disebabkan oleh pencemaran udara baik itu pencemaran udara luar (Outdoor) maupun pencemaran udara dalam (Indoor). Penelitian mengenai pencemaran udara luar yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara PM10 dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara luar tidak hanya disebabkan PM10, namun juga disebabkan oleh konsentrasi SO2. Zat pencemar SO2 diduga berasal dari hasil kegiatan industri dan transportasi yang berada di Desa Citeureup. Selama ini belum pernah ada penelitian mengenai hubungan antara konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA di wilayah tersebut. Selain itu faktor lain penyebab ISPA adalah pencemaran udara dalam ruangan. Pencemaran udara dalam rumah yang dapat menyebabkan ISPA meliputi anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak. Faktor kekebalan balita juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Faktor kekebalan balita dapat ditentukan oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah terdapat hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup. 8 1.3.Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA? 2. Apakah ada hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di Desa Citeureup tahun 2014? 1.4. Tujuan 1.4.1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA. 2. Mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. 9 1.5.Manfaat 1.5.1. Bagi Instansi Pemerintah Dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan kebijakan perencanaan dan pembangunan daerah sehingga tidak terjadi dampak negatif yang merugikan masyarakat. 1.5.2. Bagi Masyarakat Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai faktor penyebab ISPA pada balita. 1.5.3. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman dan wawasan kepada peneliti mengenai faktor gejala ISPA pada balita. Penelitian ini juga dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa ditempat lain, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau di wilayah lain. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) 10 dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada masyarakat yang tinggal di Desa Citeureup. Penelitian ini dilaksanakan Maret-April 2014. Sasaran penelitian ini adalah balita. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Pengukuran SO2 dalam pengumpulan data primer menggunakan alat midget impinger. Data-data riwayat ISPA dan karakteristik individu menggunakan kuesioner. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura (Kementerian Kesehatan, 2009). Pengertian lain dari ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA meliputi struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Penyakit saluran pernapasan pada umumnya dimulai dengan keluhan dan gejala ringan. Gejala dan keluhan tersebut dapat menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat mengalami kegagalan pernapasan dan mungkin dapat meninggal. Angka mortalitas ISPA masih tinggi, sehingga perlu upaya agar 12 penyakit yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat ditolong dengan cepat agar tidak mengalami kegagalan pernafasan (Depkes, 2009). 2.2. Klasifikasi ISPA Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008): a. Golongan umur kurang 2 bulan: 1) Pneumonia berat Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih. 2) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu: a) Kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum. b) Kejang. c) Kesadaran menurun. d) Stridor. e) Wheezing. f) Demam/dingin. 13 b. Golongan umur 2 bulan-5 tahun 1) Pneumonia Berat Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. 2) Pneumonia Sedang Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah: a) Untuk usia 2 bulan -12 bulan= 50 kali per menit atau lebih. b) Untuk usia 1-4 tahun= 40 kali per menit atau lebih. 3) Bukan Pneumonia Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu: a) Tidak bisa minum. b) Kejang. c) Kesadaran menurun. d) Stridor. e) Gizi buruk. Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA dalam 3 kategori, yaitu: 2.2.1. ISPA ringan Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak ada nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada dalam. Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan 14 gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah. 2.2.2. ISPA sedang Tanda dan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari 39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mendengkur. Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti mendengkur. 2.2.3. ISPA berat Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi mendengkur atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah. 15 2.3. Gejala ISPA a. Anak umur 2 bulan sampai umur kurang dari 5 tahun ditandai dengan: Batuk atau juga disetai dengan kesulitan bernapas. Napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam (severe chest indrawing). Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet. Pada kelompok ini dikenal dengan Pneumonia atau ISPA sangat berat dengan gejala batuk dan kesulitan bernapas karena tidak ada ruang tersisa untuk oksigen di paru-paru. b. Anak dibawah 2 bulan, ditandai dengan: Frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih Penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam Jika bayi bernapas dengan bantuan ventilator maka akan tampak bahwa jumlah lendir meningkat, kadang-kadang disertai dengan naik dan turunnya suhu tubuh. Tanda dan gejala lainnya antara lain: Batuk Ingus Suara napas lemah Demam Sakit kepala 16 Sesak napas Menggigil (Misnadiarly, 2008) 2.4. Penyebab ISPA Patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus. Menurut Dirjen P2PL (2009) dan Depkes (2004), dalam Sinaga (2012), penyebab ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri dan virus. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococus, Haemophylus, Bordetella, dan Corynobacterium. Sedangkan virus penyebab ISPA seperti pada golongan Mycovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus, Mycoplasma, dan Herpesvirus dan lain-lain. Salah satu penyebab ISPA adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Timbulnya asap dari bahan bakar kayu ini menyebabkan batuk, sesak napas dan sulit untuk bernapas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen, dan Oxigen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2002). 2.5.Cara Penularan ISPA Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh karena itu penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease. Penularan melalui udara yang dimaksud adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan 17 penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat juga menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghirup udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab ISPA. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien (Alsagaff dan Mukty, 2010). 2.6.Diagnosa ISPA Infeksi Saluran Pernapasan atas dapat didiagnosis melalui gejala seperti batuk yang disertai atau tanpa demam, hidung yang mampet atau berlendir, sakit tenggorokan, dan/atau gangguan telinga. Sedangkan gejala klinis dari infeksi saluran pernapasan bawah sama seperti gejala pada saluran pernapasan atas tetapi ditambah dengan gejala bernapas cepat dan berat (Ambrose, 2005 dalam Sakti, 2010). Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000). Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan 18 penderita pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai dengan gejala tidak sadar atau tidak dapat minum. Pada klasifikasi pneumonia maka diagnosisnya batuk pilek biasa (common cold) pharyngitis, tonsillitis, otitis, atau penyakit non pneumonia lainnya (Halim, 2000). 2.7.Pencegahan ISPA Upaya pencegahan ISPA tidak mudah namun tetap harus dilakukan. Beberapa upaya pencegahannya adalah: Meningkatkan daya tahan tubuh Segera diobati jika terkena ISPA Tempat tinggal harus mempunyai ventilasi yang baik (Aditama, 2005 dalam Sukandarrumidi, 2010). 2.8.Mekanisme terjadinya ISPA Penyebab ISPA terkait dengan tidak berfungsinya silia (rambut-rambut halus) yang terdapat dalam sistem pernapasan. Jika silia rusak maka kotoran akan masuk ke dalam sistem pernapasan bersama dengan udara. Kejadian ini menunjukkan bahwa tidak ada proses penyaringan sehingga berujung pada infeksi (Media Informasi Kesehatan Indonesia,2013). Secara umum efek dari pencemaran udara terhadap saluran pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang 19 menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Media Informasi Kesehatan Indonesia, 2013). 2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA 2.9.1. Karakteristik Balita 1. Umur ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah 5 tahun dan 30 persen anak berusia 5 sampai 12 tahun (Rahajoe dkk, 2008). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003). 2. Jenis kelamin Faktor resiko penyebab ISPA adalah jenis kelamin. Balita yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami ISPA daripada balita dengan jenis kelamin perempuan (Irianto, 2006). 20 3. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian dan kematian ISPA. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati (Pramayu, 2012). 4. Status gizi Penyakit infeksi di berbagai Negara masih merupakan penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk mempermudah dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Balita yang mengalami gizi kurang akan lebih mudah terkena penyakit ISPA karena daya tahan tubuh akan berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami gizi kurang, 21 balita cenderung mengalami ISPA berat dan serangannya lebih lama (Depkes RI, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) dan Gertrudis (2010) memberikan hasil bahwa status gizi mempunyai hubungan dengan resiko ISPA. 5. Berat Badan Lahir Rendah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram. Rosdy dkk (2005) dalam Pramayu (2012) menyatakan bahwa di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22 persen kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR. 6. Status ASI Eksklusif ASI mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia terutama selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di Rumah Sakit akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi (Webster,M & Fransisca., H, 2010) 22 yang mendapat ASI ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi dari penyakit infeksi, ASI mengandung rangkaian asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi. Pada penelitian Rahayu, (2011) terdapat hubungan antara bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA yaitu pada penelitian Sinaga (2012) bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur 0-4 bulan. 7. Status Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Imunisasi pada balita diberikan untuk menjaga kesehatan balita dimana cenderung mudah terkena berbagai macam penyakit. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir hingga umur 5 tahun (Depkes, 2005). Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Oleh karena itu beberapa vaksin yang harus dilengkapi bagi anak untuk menghindari berbagai penyakit yakni : 23 a) Vaksinasi BCG Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C (Depkes RI, 2005). b) Vaksinasi DPT Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang 24 terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005). c) Vaksinasi Polio Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung virus polio yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005). d) Vaksinasi Campak Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Di negara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan 25 yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005). 1.9.2. Lingkungan Fisik Rumah 1.Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti O2 yang diperlukan oleh penghuni tersebut tetap terjaga. Menurut Slamet (2002) dalam Chahaya (2004) ruangan dengan ventilasi tidak baik jika dihuni seseorang akan mengalami kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit karena uap pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marvin (2002) dalam Chahaya (2004) yang menyatakan ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA. 2. Lantai rumah Lantai sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah menimbulkkan debu, mudah dibersihkan dan dikeringkan. Lantai yang baik adalah lantai yang dibuat kedap air, dapat terbuat dari 26 keramik, ubin, atau semen yang kedap atau kuat. Lantai tanah atau semen yang rusak dapat menimbulkan debu (Kusnoputranto, 2000). Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme di dalam rumah dan juga dapat mengeluarkan debu. Untuk melindungi penghuni rumah terutama balita yang mempunyai daya tahan tubuh rendah dari penyakit berbasis lingkungan maka diperlukan jenis lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan (Depkes RI, 2002) 3. Dinding rumah Dinding juga harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah menimbulkan debu. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, anyaman daun rumbia, atau kayu masih dapat ditembus udara, sehingga dapat memperbaiki ventilasi, namun sulit untuk menjaga kebersihannya dari debu yang menempel dan tumbuh berkembangnya mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan. Dinding yang paling aman dan mudah dibersihkan adalah yang terbuat dari tembok plesteran (bersifat kedap air) (Sanropie dkk, 1991 dalam Irianto 2006). 4. Kepadatan hunian Menurut Sinaga (2011) dalam penelitiannya di Jakarta Utara menemukan bahwa kepadatan hunian mempunyai hubungan dengan 27 resiko ISPA. Penelitian yang mendukung lainnya adalah berdasarkan hasil penelitian Chahaya (2004), kepadatan hunian rumah dapat memberikan resiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali. 5. Suhu Ruangan Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa suhu ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. 6. Kelembaban Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. 1.9.3. Pencemaran Udara Definisi pencemaran udara menurut beberapa sumber yaitu: a. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi dari komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (Peraturan Pemerintah 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran udara). 28 b. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia (Kepmenkes No.1407/MENKES/SK/XI/ 2002 Tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara). c. Pencemaran udara adalah kontaminasi pada lingkungan dalam ruangan (indoor) atau luar ruangan (outdoor) oleh bahan-bahan kimia, fisik, ataupun biologi yang dapat mengubah karakteristik alamiah dari atmosfer (WHO, 2012 dalam Halim, 2012). 1.9.3.1. Pencemaran Udara Luar Ruangan 1. Zat Pencemar SO2 Karakteristik SO2 Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok sulfur oksida atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur trioksida (SO3). SO2 berpotensi besar untuk berpindah ke tempat yang lebih jauh (lebih dari 500-1000 km karena waktu tinggalnya di atmosfer hanya beberapa hari (Wardhana, 2004). Pencemar SO2 memberikan efek negatif pada sistem pernapasan dan fungsi 29 paru-paru. Peradangan yang disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi pada saluran pernapasan (WHO, 2005). Rute pajanan SO2 ke tubuh manusia yang utama adalah melalui inhalasi. Pencemar SO2 mudah larut dalam air sehingga dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian besar juga ke saluran pernapasan (Satriyo, 2008). Baku Mutu SO2 Nilai baku mutu SO2 dalam udara ambien berdasarkan WHO adalah rata-rata per 24 jam 20 µg /m3 atau 0,008 ppm dan rata-rata per 10 menit 500 µg /m3 atau 0,2 ppm. Baku mutu SO2 dalam udara ambien di Indonesia mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu 900 µg /m3. 2. Zat Pencemar NO2 Karakteristik NO2 Nitrogen dioksida (NO2) adalah salah satu dari kelompok polutan NOx. Nitrogen dioksida adalah gas toksik, kelarutannya dalam air rendah, tetapi mudah larut dalam 30 alkali, karbon disulfide dan kloroform. Gas ini berwarna coklat kemerahan dan pada suhu dibawah 21,2oC akan berubah menjadi cairan berwarna kuning. Baunya khas dan mengganggu bahkan dapat mengiritasi saluran napas pada konsentrasi 1-3 ppm (Handayani dkk, 2003). Pajanan nitrogen dioksida dapat berpengaruh pada saluran pernapasan. Bukti ilmiah bahwa pajanan NOx selama 30 menit hingga 24 jam akan memberikan dampak yang merugikan bagi pernapasan yaitu inflamasi atau peradangan saluran napas pada orang sehat dan peningkatan gejala pada penderita asma. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi NO2 dengan peningkatan kunjungan rumah sakit dan UGD yang berkaitan dengan penyakit pernapasan terutama asma (U.S. Environmental Protection Agency, 2010). Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan saluran pernapasan kemudian dapat masuk ke peredaran darah dan menimbulkan akibat di organ tubuh lain. Kelarutan NO2 dalam air rendah sehingga dapat mudah melewati trakea, bronkus, dan mencapai alveoli. Di dalam saluran pernapasan NO2 akan terhidrolisis membentuk asam nitrit (HNO2) dan 31 asam nitrat (HNO3) yang bersifat korosif terhadap mukosa permukaan saluran napas (Handayani dkk, 2003). Baku Mutu NO2 Baku mutu NO2 dalam udara ambient berdasarkan WHO adalah rata-rata tahunan 40 µg/m3 atau 0,016 ppm dan ratarata per jam 200 µg/m3 atau 0,08 ppm (WHO,2005). Di Indonesia baku mutu NO2 dalam udara ambient mengacu pada peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pencemaran Udara yaitu 400 µg/m3. 3. Zat Pencemar PM10 Karakteristik PM10 PM10 adalah partikulat padat atau cair yang melayang di udara dengan nilai median ukuran diameter serodinamik kurang dari 10 mikron. Partikulat ukuran kurang dari 10 mikron mempunyai beberapa nama lain yaitu PM10 sebagai inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang dapat diinhalasikan (inhalable) (Gertrudis, 2010). 32 Baku Mutu PM10 Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, baku mutu udara ambient nasional selama 24 jam untuk PM10 adalah sebesar 150 µg/m3. 1.9.3.2.Pencemaran Udara Dalam Ruangan 1. Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yaitu suspensi yang melayang di udara (Gertrudis, 2010). Menurut Roe (1994) dalam Gertrudis (2010), keberadaan penderita ISPA serumah menyebutkan bahwa adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan merupakan faktor resiko batuk pilek pada balita. 2. Anggota Keluarga yang Merokok Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Penelitian yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) dan memberikan hasil bahwa asap rokok mempunyai hubungan dengan resiko ISPA. Anak-anak yang keluarganya 33 terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguang pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok. 3. Bahan Bakar Memasak Bahan bakar yang digunakan untuk memasak seharihari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Menurut Chahaya (2004) bahan bakar memasak dapat menyebabkan resiko ISPA. Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk kegiatan memasak sehari-hari adalah minyak tanah, kayu, gas, dan listrik. Pada daerah pedesaan masih sering dijumpai rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi utama karena mudah didapat. Namun, kayu bakar dan minyak tanah dapat mencemari udara dan mengganggu kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya mengandung partikulat (PM10 , PM2,5), sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, fluorida, aldehida, hydrocarbon (Kusnoputranto, 2000). 34 dan senyawa 4. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Penggunaan anti nyamuk bakar sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan (Chahaya, 2004). Menurut penelitian Wattimena (2004), menyatakan bahwa rumah yang menggunakan obat anti nyamuk bakar berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,1 kali dibandingkan dengan rumah balita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar. 2.10. Kerangka Teori Berdasarkan teori dan tinjauan pustaka, maka didapat suatu kerangka teori. Kerangka teori ini dimulai dengan adanya pajanan berupa agen-agen di lingkungan. Udara yang sudah mengandung agen tersebut kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui proses inhalasi, dengan dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor lingkungan, dan faktor karakteristik balita yang dapat menyebabkan ISPA. 35 Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA yang menyerang saluran pernapasan dimulai dari hidung sampai alveoli tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri tapi juga disebabkan oleh pencemaran udara.. ISPA akibat polusi udara adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor resiko polusi udara, seperti asap rokok, asap bahan bakar memasak di rumah tangga, asap transportasi, industri, dan lain-lain (Depkes, 2009). Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara luar ruangan dan pencemaran udara dalam ruangan. Faktor penyebab ISPA yang berasal dari pencemaran udara luar ruangan misalnya pencemaran yang disebabkan oleh adanya suatu industri. Salah satu industri yang menghasilkan pencematan udara adalah industri semen. Industri semen dalam proses produksinya menghasilkan SO2, NO2 dan PM10. Selain pencemaran udara luar ruangan, pencemaran dalam ruangan juga mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ISPA. Pencemaran udara dalam ruangan misalnya adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, bahan bakar merokok, penggunaan anti nyamuk bakar. Selain pencemaran udara, lingkungan fisik rumah juga mempengaruhi terjadinya ISPA. Diantaranya adalah ventilasi, lantai rumah, dinding rumah, atap rumah, dan kepadatan hunian. Faktor penyebab ISPA lainnya adalah karakteristik balita yang dapat dillihat dari umur, jenis kelamin, pendidikan orang tua, dan status gizi, BBLR, ASI eksklusif, dan imunisasi. 36 Indoor Air Pollution Anggota keluarga yang mengalami ISPA Anggota keluarga merokok Bahan bakar memasak Penggunaan anti nyamuk bakar Outdoor Air Pollution SO2 NO2 PM10 Lingkungan Fisik Rumah: Ventilasi Lantai rumah Dinding rumah Atap rumah Kepadatan hunian ISPA Karakteristik balita: Umur Jenis kelamin Pendidikan orang tua Status gizi BBLR ASI Eksklusif Imunisasi Gambar 2.1. Kerangka Teori 37 BAB IIII KERANGKA KONSEP Pengukuran SO2 dilakukan 1 kali sampling udara pada posyandu di masingmasing RW Desa Citeureup. Desa Citeureup mempunyai 8 RW yang terdapat posyandu sehingga pengambilan sampel udara dilakukan sebanyak 8 kali. 3.1. Kerangka Konsep Pencemaran udara yang terus menerus dan terbawa angin ke permukiman masyarakat dapat mengakibatkan ISPA. Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara dalam ruangan dan pencemaran udara luar ruangan. Sistem Pemantauan Lingkungan Global yang disponsori PBB memperkirakan bahwa 70% penduduk kota di dunia hidup dengan partikel yang mengambang di udara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong asap pabrik yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Partikel-partikel halus ini dapat menembus bagian terdalam paru-paru yang dapat mengganggu sistem pernafasan. Sebagian besar partikel halus ini terbentuk dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan nitrogen dioksida (Moore, 2007 dalam Gertrudis, 2010). Pencemaran udara luar ruangan di Desa Citeureup dapat disebabkan oleh aktivitas dari industri. Pencemaran udara akibat industri yang terbesar 38 adalah SO2. Dalam penelitian Sakti (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara ISPA dengan udara ambien (SO2, NO2, dan TSP). Selain pencemaran udara luar, pencemaran udara dalam rumah juga mempunyai resiko untuk mengakibatkan ISPA. Faktor penyebab pencemaran udara di dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA, asap rokok, penggunaan kayu bakar untuk memasak, dan penggunaan obat anti nyamuk bakar. Efek dari pencemar udara terhadap saluran pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan. Infeksi saluran pernafasan terjadi tidak hanya karena faktor pencemaran udara, namun faktor kekebalan balita juga mempunyai peran penting dalam mencegah ISPA. Faktor yang mempengaruhi kekebalan balita diantaranya adalah ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR, dan status gizi. Oleh karena itu variabel yang ingin diteliti adalah SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI 39 Eksklusif, BBLR, imunisasi dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. SO2 Anggota keluarga yang mengalami ISPA Anggota keluarga merokok Bahan Bakar Memasak Penggunaan obat anti nyamuk bakar ASI Eksklusif Imunisasi BBLR Status Gizi Gejala ISPA Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 40 3.2. Definisi Operasional No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori Variabel Dependen 1. Gejala Gejala ISPA yang dilihat dari gejala- Kuesioner mengenai ISPA gejala ispa pada balita yaitu batuk (lebih riwayat ISPA dari 5 kali sehari), pilek, sakit dengan wawancara Kuesioner 1.ya Ordinal 2.tidak tenggorokan, tidak bisa (tidak mau) minum/menelan, batuk dahak/lendir, sakit telinga (berair/nanah), demam, sesak nafas/nafas cepat/nafas terputus Variabel Independen 2. Konsentrasi Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di Pengukuran SO2 Desa Citeureup bulan April tahun 2014 menggunakan midget µg/m3 Rasio impinger midget impinger 3. Anggota Anggota keluarga balita yang tinggal Kuesioner mengenai keluarga serumah dengan balita dan menderita riwayat ISPA pada yang gejala ISPA seperti batuk (lebih dari 5 anggota keluarga mengalami kali sehari), pilek, sakit tenggorokan, yang tinggal serumah ISPA batuk dahak/lendir, sakit dengan balita dengan telinga,demam, sesak nafas wawancara 41 Kuesioner 1.ya 2.tidak Ordinal No 4. Variabel Definisi Cara Ukur Anggota Terdapatnya anggota keluarga, baik Kuesioner mengenai keluarga ayah, kakak ataupun yang lainnya angggota keluarga merokok yang merokok. yang merokok Alat Ukur Kuesioner Skala Ukur 1.ya Kategori Ordinal 2.tidak dengan wawancara 5. Bahan bakar Jenis bahan bakar yang digunakan Kuesioner mengenai Kuesioner 1. Menyebabkan memasak untuk memasak di rumah penggunaan kayu pencemaran bakar dengan udara wawancara bakar) Ordinal (kayu 2. Tidak meyebabkan pencemaran udara (gas, listrik) 6. 7. Penggunaan Menggunakan obat anti nyamuk yang Kuesioner mengenai obat anti dibakar untuk mencegah nyamuk penggunaan obat anti nyamuk nyamuk bakar bakar dengan wawancara ASI Memberikan ASI saja tanpa makanan Kuesioner mengenai Eksklusif dan minuman lain kepada bayi sejak ASI dengan lahir sampai usia 6 bulan wawancara 42 Kuesioner 1.ya Ordinal 2.tidak Kuesioner 1. Tidak 2. Ya Ordinal No 8. 9. Variabel Imunisasi Definisi Memberikan imunisasi (vaksinasi Kuesioner mengenai BCG, vaksinasi DPT, vaksinasi polio imunisasi dengan dan vaksinasi campak) secara lengkap wawancara BBLR (Berat Berat badan bayi saat lahir kurang dari Kuesioner mengenai Badan Lahir 2500 gram BBLR dengan Rendah) 10. Cara Ukur Status Gizi Alat Ukur Kuesioner Skala Ukur 1.Tidak Kategori Ordinal Lengkap 2. Lengkap Kuesioner 1. Ya Ordinal 2. Tidak wawancara Keadaan gizi anak balita saat Kuesioner mengenai dilakukan penelitian diukur status gizi dengan berdasarkan BB/U. wawancara Gizi Lebih: Zscore > 2 Gizi Baik: Z score ≥ -2,0 s/d ≤ 2,0 Gizi Kurang: Z score ≥ -3,0 s/d ≤ -2,0 Gizi Buruk: Z score < -3,0 (Depkes RI, 2010) 43 Kuesioner 1. Gizi Kurang 2. Gizi Baik Ordinal 3.3. Hipotesis 1. Ada hubungan antara variabel dependen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. 44 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan cross sectional study. Desain ini dianggap sesuai karena tujuan penelitian ini salah satunya untuk melihat prevalensi (Murti, 2013). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup. Variabel konsentrasi SO2 diukur pada tiap cluster yang diwakili oleh posyandu di masing-masing RW di Desa Citeureup, sedangkan variabel lainnya diamati pada setiap balita dengan bantuan kuesioner, 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Desa Citeureup. Desa Citeureup termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Citeureup. Luas wilayah kerja Puskesmas Citeureup adalah 9,35 km2 dengan jumlah penduduk 204.028 jiwa. Desa Citeureup sendiri memiliki batas wilayah geografis sebagai berikut: Sebelah Utara : Kecamatan Gunung Putri 45 Sebelah Selatan : Desa Karangasem Timur dan Desa Tarikolot Sebelah Barat : Desa Karangasem Barat dan Desa Puspanegara Sebelah Timur : Desa Gunung Sari dan Desa Tarikolot 4.2.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan bulan Maret-April 2014. 4.3. Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah balita yang tinggal di Desa Citeureup. Balita dipilih sebagai sampel karena balita sangat rentan untuk terkena gangguan pernapasan atau ISPA. Dalam penelitian ini, jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus estimasi beda dua proporsi menurut Lemeshow (1997) adalah sebagai berikut: Keterangan: n = Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok α = probabilitas menolak Ho, padahal Ho benar (Dalam penelitian ini α = 5 %; Z 1-α/2 = 1,96) β = probabilitas kesalahan menerima Ho, padahal Ho salah (Dalam penelitian digunakan β = 20 %; Z 1-β = 0,842 ) 46 P1 dan P2 = Proporsi penelitian sebelumnya P = Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2)) Pada penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan variabel yang akan diteliti yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Sampel Variabel Anggota P1 Keluarga P2 N yang 88,6%=0,886 48,1%=0,481 19 x 2 = 38 76,2%= 0,762 23,8%= 0,238 13 x 2 = 26 Bakar 82,6%= 0,826 17,4%= 0,174 8 x 2 = 16 Penggunaan Anti Nyamuk Bakar 85,7% = 0,857 14,3%= 0,143 6 x 2 = 12 Mengalami ISPA Anggota Keluarga Merokok Penggunaan Bahan Memasak Imunisasi 64,9% = 0, 649 35,1% = 0,351 42 x 2 = 84 Status Gizi 74,5% = 0, 745 25,5% = 0, 255 15 x 2 = 30 Berdasarkan perhitungan sampel secara uji beda dua proporsi maka didapatkan jumlah sampel yang diambil sebanyak 84 balita. Kemudian dari 84 balita tersebut ditambah dengan 10% dari hasil perhitungan sampel, sehingga didapatkan 84 balita + 8 balita = 92 balita. 47 4.4. Teknik Pengambilan Sampel Sampel ditentukan berdasarkan metode cluster 2 tahap. Cluster sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana pemilihannya mengacu pada kelompok bukan pada individu. Cara seperti ini baik sekali untuk dilakukan apabila tidak terdapat atau sulit menemukan kerangka sampel, meski dapat juga dilakukan pada populasi yang kerangka sampelnya sudah ada (Notoadmojo, 2010). Tahap pertama adalah menentukan cluster dari Desa Citeureup. Dari data sekunder yang diperoleh, terdapat 8 RW di Desa Citeureup yang mempunyai posyandu. Posyandu ini yang akan dijadikan cluster dalam penelitian. Sehingga dalam sampel penelitian ini terdapat 8 cluster, yaitu posyandu Belimbing, posyandu Karya Mulya, posyandu Anggur, posyandu Delima, posyandu Durian, posyandu Lengkeng, posyandu Karya Sari 2, dan posyandu Karya Sari 1. posyandu Belimbing = 150 balita posyandu Karya Mulya = 300 balita posyandu Anggur = 160 balita posyandu Delima = 150 balita posyandu Durian = 90 balita posyandu Lengkeng = 111 balita posyandu Karya Sari 2 = 160 balita 48 posyandu Karya Sari 1 = 280 balita Tahap kedua adalah menentukan balita di masing-masing posyandu yang akan dijadikan sampel dipilih secara random dengan proporsi balita di masingmasing posyandu sebagai berikut. posyandu Belimbing = 150/1401 x 92 = 10 balita posyandu Karya Mulya = 300/1401 x 92= 20 balita posyandu Anggur = 160/1401 x 92= 10 balita posyandu Delima = 150/1401 x 92= 10 balita posyandu Durian = 90/1401 x 92= 6 balita posyandu Lengkeng = 111/1401 x 92= 7 balita posyandu Karya Sari 2 = 160/1401 x 92= 18 balita posyandu Karya Sari 1 = 280/1401 x 92= 11 balita 4.5. Metode Penelitian Pengukuran Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan kuesioner dan melakukan pengukuran konsentrasi SO2, dengan menggunakan midget impinger. Cara Pengukuran menggunakan midget impinger Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah: Midget Impinger/tabung penyerap Low Volume Air Sampler (LVAS) Pompa penghisap udara (Vaccum Pump) 49 Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah: Absorber SO2 Aquadest Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm Botol/wadah sample+penutupnya Plastik polietilen/PE Prosedur: 1. Persiapan Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2 Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800 mL air suling ke dalam gelas piala 1000 Ml. Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan 0,066 gram EDTA (HOCOCH2)N(CH2COONa)2. 2H2O lalu aduk sampai homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur, encerkan dengan air suling sampai batas tera. b. Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24 jam agar mendapatkan kondisi stabil. 50 c. Filter kosong pada 1.a ditimbang sampai diperoleh berat konstan, minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter sebelum pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan filter sampel (W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam plastic PE setelah diberi kode sebelum dibawa ke lapangan. d. Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara 1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter harus dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi) e. Masing-masing absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10 mL dan diberi kode. 2. Pengambilan sampel 1) Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang sudah ditentukan. 2) Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara dengan menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang flowmeter pada selang. Pastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungan selang baik yang berhubungan dengan LVAS dan midget impinger maupun ke pompa penghisap udara. 3) LVAS diletakkan pada titik pengukuran. 4) Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan larutan absorber (SO2) masing-masing 10 mL ke tabung midget impinger sesuai dengan gas yang akan diuji. 51 5) Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder. 6) Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow rate 1L/menit) 7) Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan, tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran). 8) Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off). 9) Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke botol sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat botol sampel dan masing-masing diberi label (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal). Bilas kembali dengan aquades masing-masing tabung pada midget impinger. 10) Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri label pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal, dan tenaga sampler). 11) Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi. 12) Kemasi peralatan. Selanjutnya bawa sampel gas dan debu ke laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam. 52 Gambar 4.1. Peta Wilayah Desa Citeureup (Sumber: Profil Desa Citeureup Tahun 2014) 4.6. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan meliputi: 53 1. Data Editing Menyunting data dilakukan sebelum proses memasukkan data. Proses editing dilakukan setelah data terkumpul untuk mengecek jika ada data yang salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada responden/informan yang bersangkutan. 2. Data Coding Coding dilakukan untuk mengklasifikasikan data dan memberikan kode berupa angka sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Angka yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 dan 2, angka 1 untuk jawaban yang sesuai dengan ketentuan (ya) dan angka 2 untuk jawaban yang tidak memenuhi ketentuan (tidak). Dalam penelitian ini dinyatakan ISPA positif bila dalam 2 minggu terakhir balita mengalami salah satu gejala: 1) Batuk, tanpa/disertai demam 2) Pilek, tanpa/disertai demam 3) Sesak napas, tanpa/disertai demam 4) Batuk, pilek, tanpa/disertai demam 5) Batuk, pilek, sesak napas, tanpa/ disertai demam 6) Batuk, sesak napas, tanpa/disertai demam 7) Pilek, sesak napas, tanpa/disertai demam Dinyatakan ISPA negatif jika dalam 2 minggu terakhir balita tidak mengalami batuk, pilek, dan sesak napas atau hanya mengalami demam saja. 54 3. Data Structure Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit. 4. Data Entry Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS. 5. Data Cleaning Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. 4.7. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data menggunakan SPSS. Analisis dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat. 4.7.1. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi responden untuk setiap variabel yang diteliti dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan melihat parameter frekuensi dan persentase. 55 Analisis univariat dalam penelitian ini untuk semua variabel, meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, mean, nilai maksimun dan nilai minimun. 4.7.2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA. Penelitian ini menggunakan uji non parametrik Mann Whitney karena data numerik dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal. Data numerik dalam penelitian ini adalah konsentrasi SO2 dan data kategoriknya adalah gejala ISPA. Hubungan ISPA dengan anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar untuk memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR, dan status gizi menggunakan uji beda proporsi (Uji Chi-square) karena variabel dependen dan independennya kategorik. 56 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1.Hasil Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran frekuensi dari setiap variabel dependen dan independen pada 92 balita di Desa Citeureup Tahun 2014. 5.1.1. Gambaran Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Desa Citeureup Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan persentasi ISPA pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut: Tabel 5.1. Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Balita Mengalami ISPA Tidak mengalami ISPA Total Frekuensi 71 21 92 Persentasi (%) 77,2 22,8 100 Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA sebesar 71 balita (77,2 %) dan 21 balita (22,8 %) tidak mengalami ISPA. 5.1.2. Gambaran SO2 di Desa Citeureup Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel SO2 di Desa Citeureup sebagai berikut: 57 Tabel 5.2. Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Konsentrasi Median SO2 Konsentrasi 110 Nilai Nilai Min Max 32 198 SO2 pada udara ambient Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan hasil analisis didapatkan median konsentrasi SO2 di udara adalah 110 µg /m3. Konsentrasi SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3. 5.1.3. Gambaran Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada variabel anggota keluarga yang mengalami ISPA didapat data sebagai berikut : Tabel 5.3. Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014 Anggota Keluarga ISPA Ya Tidak Total Frekuensi 25 67 92 Persentasi (%) 27,2 72,8 100 Tabel 5.3. menunjukkan bahwa sebanyak 25 rumah balita (27,2%) yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA dan 67 rumah balita (72,8) yang anggota keluarganya tidak mengalami ISPA. 58 5.1.4. Gambaran Anggota Keluarga yang Merokok Hasil pengolahan data anggota keluarga yang merokok pada balita di Desa Citeureup menunjukan presentase sebagai berikut : Tabel. 5.4. Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Anggota Keluarga yang merokok Merokok Tidak Merokok Total Frekuensi Persentasi (%) 77 15 92 83,7 16,3 100 Pada tabel 5.4. didapat presentase anggota keluarga balita yang merokok sebanyak 77 (83,7 %) dan terdapat 15 anggota keluarga balita (16,3 %) yang tidak merokok. 5.1.5. Gambaran Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa Citeureup Hasil perhitungan statistik menunjukkan presentase tempat merokok anggota keluarga balita di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel 5.5. Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Tempat Merokok Di Dalam Rumah Di Luar Rumah Total Frekuensi 46 31 77 Persentasi (%) 59,7 40,3 100 Pada tabel 5.5. menunjukkan bahwa sebanyak 46 rumah balita (59,7 %) memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dan 59 31 rumah balita (40,3%) memiliki anggota keluarga yang merokok di luar rumah. 5.1.6. Gambaran Jumlah Rokok yang Dikonsumsi Dalam Sehari Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, gambaran jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel. 5.6. Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari di Desa Citeureup Tahun 2014 Jumlah Mean Median SD Nilai Nilai rokok Jumlah rokok 8 6 5,27 Min Max 1 32 yang dikonsumsi dalam sehari Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi oleh anggota keluarga yang merokok adalah 8 batang, median 6, standar deviasi 5,27. Jumlah konsumsi rokok yang paling sedikit adalah 1 batang dan terbanyak 32 batang. 5.1.7. Gambaran Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Dibawah ini presentase hasil perhitungan variabel bahan bakar memasak di Desa Citeureup sebagai berikut : 60 Tabel 5.7. Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Tahun 2014 Bahan Bakar Memasak Kayu Bakar Gas Total Frekuensi 8 84 92 Persentasi (%) 8,7 91,3 100 Tabel 5.7. menunjukkan bahwa terdapat 8 rumah balita (8,7%) menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan 84 rumah balita (91,3%) menggunakan bahan bakar gas. 5.1.8. Gambaran Penggunaan Obat Anti Nyamuk Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel penggunaan obat anti nyamuk di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel 5.8. Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada Rumah Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Obat Anti Nyamuk Memakai Tidak Memakai Total Frekuensi 51 41 92 Persentasi (%) 55,4 44,6 100 Tabel 5.8. menunjukkan bahwa terdapat 51 rumah balita (55,4 %) yang menggunakan obat anti nyamuk dan 42 rumah balita (44,6 %) yang tidak menggunakan obat anti nyamuk. 5.1.9. Gambaran Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada variabel jenis obat anti nyamuk yang dipakai di Desa Citeureup sebagai berikut : 61 Tabel 5.9. Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai Desa Citeureup Tahun 2014 Jenis Obat Anti Nyamuk Obat Nyamuk Bakar Oles / Listrik Total Frekuensi Persentasi (%) 32 19 51 62,7 37,3 100 Tabel 5.9. menunjukkan bahwa dari 51 rumah balita yang menggunakan obat anti nyamuk, terdapat 32 rumah balita (62,7 %) menggunakan obat anti nyamuk bakar dan 19 rumah balita (37,3 %) menggunakan obat anti nyamuk oles atau listrik. 5.1.10. Gambaran ASI Eksklusif pada Balita Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase ASI Eksklusif pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel 5.10. Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ASI Eksklusif Tidak Iya Total Frekuensi 89 3 92 Persentasi (%) 96,7 3,3 100 Tabel 5.10. menunjukkan bahwa terdapat 89 balita (96,7 %) yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan 3 balita (3,3 %) mendapatkan ASI Eksklusif. 62 5.1.11. Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase alasan balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel 5.11. Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif di Desa Citeurup Tahun 2014 Alasan Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif ASI tidak mau keluar Ibu yang bekerja Bayi yang tidak mau menyusu Ketidaktahuan ibu Frekuensi Persentasi (%) 13 11 15 89 14 12 16 100 Dari Tabel 5.11 dapat dilihat bahwa 100% ibu balita yang menjadi responden tidak mengetahui pengertian dari ASI Eksklusif. 5.1.12. Gambaran Jenis Imunisasi Balita Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase jenis imunisasi pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel 5.12. Distribusi Jenis Imunisasi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Jenis Imunisasi Tidak Lengkap Lengkap Total Frekuensi 28 64 92 Persentasi (%) 30,4 69,6 100 Tabel 5.12. menunjukkan bahwa sebanyak 28 balita (30,4 %) belum mendapatkan imunisasi lengkap dan 64 balita (69,9 %) sudah mendapatkan imunisasi lengkap. 63 5.1.13. Alasan Balita yang Tidak mendapatkan Imunisasi Lengkap Tabel 5.13. Gambaran Balita yang Tidak Mendapat Imunisasi Lengkap di Desa Citeureup Tahun 2014 Alasan Balita yang Tidak Mendapat Imunisasi Lengkap Balita sedang sakit saat jadwal imunisasi Ibu lupa jadwal imunisasi Total Frekuensi Persentasi (%) 21 75 7 28 25 100 Dari tabel 5.13 dapat dilihat bahwa 75% ibu balita yang tidak membawa anaknya untuk imunisasi dikarenakan balita sedang sakit saat jadwal imunisasi. 5.1.14. Gambaran Berat Badan Lahir Rendah pada Balita Hasil pengolahan data Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada balita di Desa Citeureup menunjukan presentase sebagai berikut : Tabel 5.14. Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Berat Badan Lahir Rendah Ya Tidak Total Frekuensi Persentasi (%) 21 71 92 22,8 77,2 100 Tabel 5.14. menunjukkan bahwa 21 balita (22,8 %) memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram dan 71 balita (77,2 %) lahir dengan berat badan normal atau lebih dari 2500 gram. 64 5.1.15. Gambaran Status Gizi Balita di Desa Citeureup Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase status gizi pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut : Tabel 5.15. Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Status Gizi Gizi Kurang Gizi Baik Total Frekuensi 20 72 92 Persentasi (%) 21,7 78,3 100 Tabel 5.15. menunjukkan bahwa terdapat 20 balita (21,7%) memiliki status gizi kurang dan 2 balita (2,2%) memiliki status gizi baik. Penilaian status gizi didapat dari melihat Kartu Menuju Sehat yang dimiliki oleh balita. 5.2.Hasil Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, Imunisasi, BBLR, status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA pada Balita). Uji yang digunakan adalah uji chi square dan non parametrik. Hasil hubungan variabel independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut: 65 5.2.1. Hubungan Konsentrasi SO2 dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil uji statistik hubungan antara konsentrasi SO2 terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut : Tabel 5.16. Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 Konsentrasi SO2 N Mean p value ISPA 71 125 0,032 Tidak ISPA 21 103 Hasil statistik yang didapat dari uji normalitas konsentrasi SO2 adalah tidak normal (p value<0,05) sehingga menggunakan uji Non Parametrik yaitu uji Mann Whitney. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney, diketahui rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang mempunyai gejala ISPA adalah 125 µg/m3, sedangkan rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang tidak mempunyai gejala ISPA adalah 103 µg/m3. Dari hasil uji statistik diperoleh p value sebesar 0,032, (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. 5.2.2. Hubungan Anggota Keluarga yang Terkena ISPA dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara anggota keluarga yang terkena ISPA terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut : 66 Tabel 5.17. Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Anggota Total Keluarga ISPA Tidak ISPA PR p value ISPA N % N % N % Ya 24 96,0 1 4 25 100 Tidak 47 70,1 20 29,9 67 100 1,369 0,019 Total 71 77,2 21 22,8 92 100 Pada Tabel 5.17 didapat hasil hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA dengan gejala ISPA pada balita, sebanyak 24 dari 25 balita (96,0%) mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA dan balita mengalami ISPA. Kemudian terdapat 20 dari 67 balita (29,9%) tidak mempunyai anggota keluarga yang terkena ISPA dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Adanya anggota keluarga yang mengalami ISPA mempunyai resiko untuk terjadinya ISPA 1,369 kali lebih besar daripada tidak ada anggota keluarga yang mengalami ISPA. 5.2.3. Hubungan Anggota Keluarga Merokok dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara anggota keluarga yang merokok terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut: 67 Tabel 5.18. Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Anggota Total Keluarga Tidak ISPA PR p value yang ISPA Merokok N % N % N % Ya 61 79,2 16 20,8 77 100 Tidak 10 66,7 5 33,3 15 100 1,188 0,320 Total 71 77,2 21 22,8 92 100 Berdasarkan tabel 5.18. menunjukkan hasil analisis hubungan antara angggota keluarga yang merokok dengan gejala ISPA pada balita yaitu sebanyak 61 dari 77 (79,2%) anggota keluarga balita merokok dan balita mengalami ISPA, serta terdapat 5 dari 15 (33,3%) anggota keluarga balita tidak merokok dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,320 (p-value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang merokok terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Adanya anggota keluarga yang merokok mempunyai resiko terjadinya ISPA 1,188 kali daripada tidak ada anggota keluarga balita yang merokok. 5.2.4. Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara bahan bakar memasak terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut : 68 Tabel 5.19. Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Bahan Total Tidak Bakar ISPA PR p value ISPA Memasak N % N % N % Kayu Bakar 8 100 0 0 8 100 Gas 63 75 21 25 84 100 1,333 0,191 Total 71 77,2 21 22,8 92 100 Tabel 5.19 menunjukkan hasil analisis hubungan antara bahan bakar memasak yang digunakan terhadap gejala ISPA pada balita. Dari tabel tersebut diperoleh sebanyak 8 dari 8 (100%) rumah balita yang menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan balita mengalami ISPA. Sementara itu, sebanyak 21 dari 84 (22,8%) rumah balita yang menggunakan bahan bakar memasak gas dan balita tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh p value 0,191 (p-value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bahan bakar memasak dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak mempunyai resiko terjadinya ISPA 1,333 kali daripada penggunaan gas sebagai bahan bakar memasak. 5.2.5. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil statistik hubungan antara obat anti nyamuk bakar terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut : 69 Tabel 5.20. Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Obat Anti Total Tidak Nyamuk ISPA PR p value ISPA Bakar N % N % N % Ya 24 75 8 25 32 100 Tidak 15 78,9 4 21,1 19 100 0,950 1 Total 39 76,5 12 23,5 51 100 Pada tabel 5.20 menunjukkan hasil analisis hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 24 dari 32 rumah balita (75%) menggunakan obat anti nyamuk bakar dan balita mengalami ISPA. Sedangkan sebanyak 4 dari 19 rumah balita (21,1 %) menggunakan obat anti nyamuk selain obat anti nyamuk bakar dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 1 (p-value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara obat anti nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Penggunaan obat anti nyamuk bakar mempunyai resiko terjadinya ISPA 0,950 kali daripada menggunakan obat anti nyamuk selain obat anti nyamuk bakar. 5.2.6. Hubungan ASI Eksklusif dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut : 70 Tabel 5.21. Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Total ASI Tidak ISPA PR p value Eksklusif ISPA N % N % N % Tidak 71 78,9 18 20,2 89 100 Ya 0 0 3 100 3 100 0,202 0,011 Total 71 77,2 21 22,8 92 100 Berdasarkan tabel 5.21 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap gejala ISPA pada balita. Dari tabel tersebut sebanyak 71 dari 89 balita (78,9%) yang tidak diberikan asi ekslusif mengalami ISPA dan sebanyak 3 dari 3 balita (100%) yang diberikan ASI Eksklusif tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,011 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. ASI eksklusif merupakan faktor protektif terjadinya ISPA karena memiliki prevalence ratio 0,202 (PR>1). 5.2.7. Hubungan Imunisasi dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara imunisasi terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut: 71 Tabel 5.22. Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Total Tidak Imunisasi ISPA PR p value ISPA N % N % N % Tidak 18 64,3 10 35,7 28 100 lengkap 0,776 0,093 Lengkap 53 82,8 11 17,2 64 100 Total 71 77,2 21 22,8 92 100 Pada tabel 5.22 menunjukkan hubungan antara imunisasi terhadap gejala ISPA pada balita. Dari tabel tersebut terdapat 18 dari 28 balita (64,3%) belum mendapatkan imunisasi secara lengkap dan mengalami ISPA. Sedangkan sebanyak 11 dari 64 (17,2%) balita sudah diberikan imunisasi secara lengkap dan tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,093 (p-value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara imunisasi terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Imunisasi merupakan faktor protektif terjadinya ISPA karena memiliki prevalence ratio 0,776 (PR>1). 5.2.8. Hubungan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara BBLR terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut: 72 Tabel 5.23. Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Total Tidak BBLR ISPA PR p value ISPA N % N % N % Ya 12 57,1 9 42,9 21 100 Tidak 59 83,1 12 16,9 71 100 0,688 0,019 Total 71 77,2 21 22,8 92 100 Tabel 5.23 menunjukkan hubungan berat badan lahir rendah terhadap gejala ISPA pada balita yaitu sebanyak 12 dari 21 (57,1%) balita lahir dengan berat badan lahir rendah atau kurang dari 2500 gram dan mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 12 dari 71 (16,9%) balita lahir dengan berat badan normal dan tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Bayi yang memiliki berat badan lahir rendah memiliki resiko terjadinya ISPA 0,688 kali lebih besar daripada bayi yang lahir dengan berat badan lahir normal. 5.2.9. Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara status gizi terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut : 73 Tabel 5.24. Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ISPA Total Tidak Status Gizi ISPA PR p value ISPA N % N % N % Gizi Kurang 20 100 0 0 20 100 Gizi Baik 51 71,4 21 28,6 72 100 1,412 0,005 Total 71 70,8 21 29,2 92 100 Pada Tabel 5.24 didapat hasil hubungan antara status gizi terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 20 dari 20 (100%) balita gizi kurang yang mempunyai gejala ISPA, dan terdapat 21 dari 72 (28,6 %) balita gizi baik yang tidak mempunyai gejala ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,005 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status gizi terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Balita yang memiliki gizi kurang akan memiliki resiko ISPA 1,412 kali lebih besar daripada balita yang memiliki gizi baik. 74 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian yaitu: 1. Penentuan resiko ISPA tidak menggunakan tenaga medis sehingga hanya didasarkan pada informasi dari responden. 2. Pengukuran konsentrasi SO2 pada masing-masing tempat hanya dilakukan selama 30 menit sehingga tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu udara ambien. Hal ini dilakukan karena keterbatasan alat yang tidak dapat dilakukan dalam waktu yang lama. 3. Pada variabel anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, dan bahan bakar memasak dapat terjadi bias informasi karena tergantung pada kejujuran responden. 75 6.2. Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura. ISPA merupakan penyakit yang paling sering dialami oleh bakita dan anak-anak. Dalam setahun, akan terjadi sekitar 3-6 kali (Kementerian Kesehatan, 2009). Etiologis pneumonia atau ISPA sulit ditegakkan karena sulit mengeluarkan dahak pada balita. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memuaskan untuk menetukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis pneumonia. Pemeriksaan ini efektif untuk mendapatkan jenis bakteri namun berbahaya dan bertentangan dengan etika (Gertrudis, 2010). Dalam penelitian ini, balita dikatakan mengalami ISPA dan tidak mengalami ISPA berdasarkan adanya tanda dan gejala seperti pilek, batukbatuk, demam, dan sukar bernafas yang terjadi dalam kurun waktu 2 minggu terakhir. Dari hasil penelitian terhadap 92 balita, terdapat 71 balita (77,2 %) yang mengalami ISPA dan 21 balita (22,8 %) yang tidak mengalami ISPA. 76 ISPA merupakan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme atau kuman yang menyerang saluran pernapasan, berkembang biak sampai menimbulkan gejala penyakit dalam waktu yang berlangsung sampai 14 hari (Afandi, 2012). Namun, Depkes (2009) menyatakan bahwa ISPA dapat disebabkan oleh polusi udara seperti asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang sarana transportasi dan industri, kebakaran hutan, dan lain-lain. 6.3. Analisis Bivariat 6.3.1. Hubungan Konsentrasi SO2 dengan Resiko ISPA pada Balita Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok sulfur oksida atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur trioksida (SO3). Pengukuran konsentrasi SO2 pada udara ambien menggunakan alat midget impinger, kemudian hasilnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui konsentrasi zat pencemar. Zat pencemar SO2 memberikan efek buruk pada sistem pernapasan dan fungsi paru-paru. Sulfur dioksida adalah senyawa yang mudah diserap oleh selaput lendir saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih dari larynx) (Soemirat, 2009). Rata-rata konsentrasi SO2 di udara adalah 120 µg /m3, dengan konsentrasi SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3. 77 Konsentrasi SO2 tertinggi terdapat pada wilayah yang letaknya dekat dengan industri. Walaupun konsentrasi SO2 tidak melebihi ambang batas, namun jika terpapar secara terus menerus maka akan menyebabkan hiperplasia dan metaplasia sel-sel epitel yang akhirnya dapat menyebabkan kanker (Gertrudis, 2010). Zat pencemar SO2 juga memberikan efek negatif pada sistem pernapasan dan fungsi paru-paru. Peradangan yang disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi pada saluran pernapasan (WHO, 2005). Salah satu infeksi saluran pernapasan adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Berdasarkan hasil analisis, diketahui rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang mempunyai resiko ISPA adalah 125 µg/m3, sedangkan rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang tidak mempunyai resiko ISPA adalah 103 µg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi SO2 maka akan mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya ISPA. Semakin tinggi SO2 menyebabkan manusia akan mengalami gangguan pada sistem pernapasannya. Gangguan sistem pernapasan terjadi karena SO2 mudah menjadi asam kemudian menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorakan, dan saluran nafas lain (Wardhana, 2004). 78 Berdasarkan hasil uji mann whitney pada penelitian ini disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 terhadap resiko ISPA pada balita dengan p value 0,032 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian menurut Putri (2012) mengatakan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA. Konsentrasi SO2 di udara dipengaruhi oleh suhu. Menurut Ditjen P2MPLP (1994) dalam Budianto (2008), suhu yang tinggi menyebabkan udara semakin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi semakin tinggi. Sebaliknya pada suhu dingin keadaan udara makin padat sehingga konsentrasi pencemar diudara semakin rendah. Oleh sebab itu pengambilan sampel udara pada siang hari akan menghasilkan konsentrasi SO2 lebih tinggi daripada pengambilan pada saat pagi hari atau pada saat hujan. Pengambilan sampel SO2 pada penelitian ini dilakukan dari pagi hingga sore hari sehingga suhu pada tiap pengambilan sampel berbeda-beda. Namun, pengambilan sampel ini masih disesuaikan dengan jam kerja proses produksi industri semen yang berada di wilayah tersebut. Sektor industri merupakan sumber utama sulfur dioksida. Dalam industri, total TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88% (Ali, 2007). Zat pencemar SO2 cukup berbahaya, sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengatasinya. Puskesmas Citeureup yang 79 bekerjasama dengan industri semen yang berada di Desa Citeureup sebenarnya sudah sering melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai kesehatan. Namun belum pernah dilakukan penyuluhan mengenai pencemaran udara yang dapat menyebabkan ISPA. Berdasarkan informasi dari masyarakat, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui sumber dan dampak dari pencemaran udara pada kesehatan. Selain itu, masyarakat dapat menggunakan alat pelindung diri seperti masker apabila pergi dari rumah untuk melindungi diri dari pencemaran udara di luar rumah. Dinas Kesehatan diharapkan melakukan pembinaan terhadap program pengendalian pencemaran udara. 6.3.2. Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA dengan Resiko ISPA pada Balita Anggota keluarga yang mengalami ISPA dan tinggal serumah dengan balita dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita. Menurut Roe (1994) dalam Gertrudis (2010), menyebutkan bahwa adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan merupakan faktor resiko ISPA pada balita. Balita di Desa Citeureup yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA hanya 27,2%. Namun jika dilihat dari jumlah balita yang mengalami ISPA terdapat 96,0% balita yang mempunyai anggota 80 keluarga yang terkena ISPA dan balita mengalami gejala ISPA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika terdapat anggota keluarga yang mengalami ISPA maka balita mempunyai peluang besar untuk terkena ISPA. Penyebab terjadinya ISPA adalah virus sehingga jika terdapat anggota keluarga yang mengalami ISPA maka anggota keluarga yang lain akan mudah tertular. Hal ini disebabkan karena ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, dan udara pernapasan. Penularan yang paling sering adalah melalui udara pernapasan karena virus dapat masuk ke tubuh orang yang sehat melalui udara pernapasannya (Susilo, 2011). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (pvalue<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) yaitu terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA dengan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil penelitian Gertrudis (2010) mengatakan bahwa balita yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA akan mendapatkan resiko ISPA 8,4 kali untuk menderita ISPA daripada balita yang tidak tinggal dengan anggota keluarga yang tidak mengalami ISPA. Penularan ISPA dari anggota keluarga yang mengalami ISPA pada balita sangat mudah. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk memberikan 81 informasi atau pengetahuan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan pencegahan ISPA. 6.3.3. Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Resiko ISPA pada Balita Merokok merupakan penyebab pencemaran udara dalam rumah. Parameter-parameter pencemaran udara yang dihasilkan dari rokok antara lain nikotin, NOx, partikulat dan residu fenol, aldehid, sulfur dioksida dan sulfat (Kusnoputranto,2001). Mayoritas balita di Desa Citeureup memiliki anggota keluarga yang merokok yaitu sebanyak 83,7 %. Jika dilihat dari tabel 5.18 menunjukkan bahwa balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok maupun yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Persentase balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok dan mempunyai gejala ISPA adalah 79,2%, sedangkan persentase balita yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok dan mempunyai gejala ISPA adalah 66,7 %. Sehingga dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok maupun tidak memiliki anggota keluarga yang merokok tetap mempunyai kejadian ISPA yang tinggi. 82 Namun, paparan asap tembakau tetap mempunyai efek yang merugikan, terutama efek kepada pernapasan anak-anak karena ukurannya kecil dan dapat masuk ke dalam paru-paru (Cheragi, 2009 dalam Sinaga 2012). Jika dalam satu rumah mempunyai anggota keluarga yang merokok maka akan memperbesar terjadinya resiko gangguan pernapasan. Gas berbahaya dalam asap rokok akan menyebabkan pembuatan lendir yang akan membuat debu dan bakteri akan tertumpuk tidak dapat dikeluarkan. Salah satu efek dari asap yang dihasilkan dari rokok adalah terjadinya resiko ISPA (Agussalim, 2012). ISPA sangat rentan menyerang balita karena daya tahan tubuhnya yang masih lemah. Balita sebagai perokok pasif, dimana perokok pasif mendapatkan resiko lebih berbahaya. Apabila balita menghirup udara yang berasal dari asap rokok, maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasannya. Jika sudah teriritasi maka akan mudah terinfeksi. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,320 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang merokok terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan Sinaga (2012) dimana tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA. Tidak terdapat hubungan antara anggota keluarga yang merokok mungkin disebabkan karena walaupun mayoritas 83 responden memiliki anggota keluarga merokok dan merokok di dalam rumah, namun rata-rata perokok di desa Citeureup merokok 8 batang per hari (>10 batang) dan dapat dikategorikan sebagai perokok ringan. Sehingga pencemaran di dalam rumah akibat rokok tidak terlalu besar untuk mempengaruhi terjadinya ISPA. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Gertrudis (2010), Agussalim (2012) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA. Asap rokok yang keluar langsung dari pembakaran (sidestream) lebih berbahaya daripada asap rokok yang keluar dari mulut perokok (mainstream). Sidestream adalah asap rokok yang terlepas ke udara dan belum mengalami penyaringan sedangkan mainstream sudah mengalami penyaringan melalui rokok itu sendiri dan melalui saluran pernapasan perokok (Gertrudis, 2010). Asap rokok dengan konsentrasi tinggi juga dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA (Agussalim, 2012). Walaupun dalam penelitian ini tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang merokok dengan ISPA, harus tetap diperhatikan bahwa merokok merupakan sesuatu yang tidak baik untuk kesehatan. Merokok tidak hanya tidak baik bagi perokok sendiri, namun juga bagi orang-orang disekitarnya. 84 Balita di Desa Citeureup, mayoritas mempunyai anggota keluarga yang merokok. Hal ini menunjukkan bahwa kurang kesadaran terhadap bahaya rokok tersebut, bukan hanya untuk perokok namun juga terhadap balita. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat melalui penyuluhan bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan, tidak hanya untuk perokok saja namun juga merugikan bagi orang-orang di sekitarnya. Upaya ini dapat dilakukan dengan bantuan anggota keluarga yang lain di rumah untuk mengingatkan anggota keluarga yang merokok. Selain itu dapat dengan cara memberikan gambaran mengenai dampak positif jika meninggalkan rokok yaitu dapat memperbaiki keuangan keluarga. 6.3.4. Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Resiko ISPA pada Balita Bahan bakar memasak yang menggunakan kayu bakar dan minyak tanah dapat mencemari udara karena dampaknya dapat berakibat pada kesehatan manusia. Zat pencemar yang dihasilkan dari pemakaian kayu bakar dan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak adalah partikulat, sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, fluoride, aldehida dan senyawa hidrokarbon (Kusnoputranto, 2000). Masyarakat di Desa Citeureup yang menggunakan kayu bakar untuk memasak hanya 8,7%. Namun jika dilihat dari tabel 5.19, ibu balita 85 yang memasak menggunakan kayu bakar, 100% anak balitanya mempunyai gejala ISPA. Sebaran asap dalam proses pembakaran dapat membahayakan kesehatan karena mengandung polutan. Polutan asap di dalam rumah dapat berpotensi menimbulkan fibrosis atau kekakuan jaringan paru, ISPA, serta alergi (Depkes 2004). Dalam jangka pendek SO2 dapat mengiritasi saluran pernapasan, diikuti dengan infeksi saluran pernapasan sehingga timbul gejala berupa rasa tidak enak di saluran pernapasan. Gejalanya seperti batuk, sesak napas, yang dapat berakhir pada kematian. Berdasarkan penelitian di negara berkembang, dilaporkan bahwa ada hubungan antara keterpaparan polusi dalam ruang dengan kejadian ISPA (Depkes RI, 2009). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,191 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Sinaga (2012) yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA. Tidak adanya hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA dapat dikarenakan masyarakat yang menggunakan kayu bakar sedikit sehingga kurang mewakili penyebab terjadinya resiko ISPA. Selain itu, balita tidak 86 ikut serta saat ibu balita memasak di dapur sehingga tidak terpajan dengan polusi udara akibat bahan bakar memasak. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Halim (2012) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak dapat menyebabkan polusi udara dan gangguan pernapasan. Dalam penelitian ini memang tidak terdapat hubungan, namun harus tetap diperhatikan mengenai dampak negatif penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam memasak. Pada umumnya masyarakat di Desa Citeureup sudah menggunakan gas sebagai bahan bakar memasak, namun ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan kayu bakar. Pada masyarakat yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar, perlu dilakukan penyuluhan tentang dampak negatif dari kayu bakar terutama jika ventilasi dalam rumah kurang memadai. 6.3.5. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Resiko ISPA pada Balita Kandungan berbahaya pada obat nyamuk bergantung pada konsentrasi racun dan jumlah pemakaiaannya. Resiko terbesar yaitu jenis obat anti nyamuk bakar akibat asap yang dihasilkan jika terhirup. Sedangkan obat nyamuk cair memiliki konsentrasi yang berbeda karena cairan yang dikeluarkan akan berubah menjadi gas. Sedangkan obat 87 nyamuk listrik atau elektrik resikonya lebih kecil lagi karena bekerja dengan cara mengeluarkan asap dengan daya elektrik (Sinaga, 2012). Masyarakat di Desa Citeureup yang memakai obat anti nyamuk sebanyak 55,4%. Dan sebanyak 62,7 % rumah balita yang menggunakan obat anti nyamuk, masih menggunakan obat anti nyamuk bakar. Balita yang di dalam rumahnya menggunakan obat anti nyamuk bakar dan mempunyai gejala ISPA sebanyak 75 %. Obat anti nyamuk bakar dapat menjadi salah satu penyebab pencemaran udara di dalam rumah. Walaupun konsentrasinya kecil, zat yang terdapat dalam obat anti nyamuk bakar ini dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan bengkak, dan perdarahan. Zat berbahaya yang terkandung dalam obat anti nyamuk bakar ini adalah S2 atau Octaclorophyl eter (BPOM, 2000 dalam Sinaga 2012). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 1 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara obat anti nyamuk bakar dengan resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Tidak adanya hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan resiko ISPA mungkin karena sedikitnya masyarakat di Desa Citeureup yang menggunakan obat anti nyamuk bakar sehingga kurang mewakili dampak terjadinya ISPA. Selain itu, penggunaan obat anti nyamuk bakar pada masing-masing keluarga hanya 88 1 buah dalam semalam sehingga mungkin pencemaran udara akibat obat anti nyamuk bakar tidak terlalu besar. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Mairuhu dkk (2011) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk bakar. Menurut Mairuhu dkk (2011), bahan yang terdapat dalam obat anti nyamuk sangat berbahaya dan mengganggu kesehatan. Keterpaparan obat anti nyamuk bakar pada balita mengakibatkan balita menderita ISPA. Walaupun dalam penelitian ini tidak ada hubungan mengenai penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA, penggunaan obat anti nyamuk bakar masih harus tetap diwaspadai. Hal ini dikarenakan obat anti nyamuk bakar menghasilkan asap dari proses pembakarannya. Obat anti nyamuk jenis oles, semprot, atau listrik ini lebih aman daripada obat anti nyamuk bakar karena tidak menghasilkan asap yang menyebabkan pencemaran, namun penggunaan obat anti nyamuk harus tetap memperhatikan penggunaan obat anti nyamuk secara bijak yaitu sesuai kebutuhan dan aturan pakainya. 6.3.6. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Resiko ISPA pada Balita ASI mempunyai nilai proteksi terhadap ISPA terutama pada bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA 89 dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit 1 bulan. Demikian juga pada bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di RS akibat ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI (Webster, 2010 dalam Pramayu, 2012). Balita di Desa Citeureup yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 96,7 %. Alasan ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai ASI Eksklusif sehingga sebelum berusia 6 bulan bayi sudah diberi minuman selain ASI, contohnya adalah air putih. Alasan lainnya adalah ASI yang tidak mau keluar dan bayi tidak mau minum ASI sehingga ibu memberikan susu formula sebelum usia bayi 6 bulan. Dari tabel 5.19 menunjukkan hasil bahwa sebanyak 78,9% balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif mengalami ISPA. Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan akan memberikan efek protektif terhadap infeksi. Semakin besar dosis ASI yang diberikan maka semakin besar juga efek protektif yang dihasilkan. Efek imun atau kekebalan yang dihasilkan dari ASI Eksklusif adalah mengurangi terjadinya resiko ISPA (Widarini, 2010). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,011 (pvalue<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian Catiyas (2012) 90 yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA. Menurut Catiyas (2012) balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif memiliki resiko 2 kali lebih besar untuk menderita ISPA daripada balita yang mendapatkan ASI Eksklusif. ASI eksklusif penting karena dapat membantu daya tahan tubuh balita, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan ASI Eksklusif pada masyarakat. Sebagian besar Ibu yang menjadi responden mengatakan bahwa tidak memberikan ASI Eksklusif kepada balitanya dan belum memahami arti dari ASI Eksklusif. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menambah cakupan ASI Eksklusif di Desa Citeureup dengan cara sosialisasi mengenai pengertian, dampak dan manfaat ASI Eksklusif bagi balita. Kemudian cara lainnya dapat dilakukan dengan membuat kelompok peduli ASI Eksklusif pada ibu yang mempunyai balita untuk saling mengingatkan dan diskusi mengenai permasalahan ASI Eksklusif. Dukungan ayah terhadap ASI Eksklusif juga memberikan peran penting terhadap bertambahnya cakupan ASI Eksklusif. 6.3.7. Hubungan Imunisasi dengan Resiko ISPA pada Balita Imunisasi adalah salah satu cara pencegahan atau intervensi kesehatan yang dapat diterima semua kalangan. Imunisasi dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka kematian balita (Mbonye, 2004 dalam Sinaga 2012). 91 Balita di Desa Citeureup yang belum mendapatkan imunisasi lengkap adalah sebanyak 30,4 %. Alasan balita yang belum diberikan imunisasi secara lengkap adalah pada saat akan diimunisasi tubuh balita sedang tidak sehat. Namun, sebagian besar masyarakat sudah mengetahui pentingnya imunisasi. Dari tabel 5.20 menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan mempunyai gejala ISPA adalah 64,3% sedangkan balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan mempunyai gejala ISPA adalah 82,8%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa balita yang mendapatkan imunisasi secara lengkap maupun tidak lengkap mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Namun, peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA karena sebagian besar kematian ISPA, berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Imunisasi lengkap merupakan cara untuk mengurangi faktor yang dapat meningkatkan mortalitas ISPA. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak menjadi lebih berat (Agussalim, 2012). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p value 0,093 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara imunisasi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012), 92 dimana tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan resiko ISPA. Tidak adanya hubungan antara status imunisasi lengkap dengan resiko ISPA karena imunisasi mempunyai hubungan tidak langsung dengan ISPA. Imunisasi untuk mencegah penyakit ISPA adalah imunisasi campak karena balita dapat mengalami ISPA setelah mendapat penyakit campak. Namun tidak selamanya ISPA didahului oleh penyakit campak. (Layuk, 2012). Saat ini sudah tersedia vaksin untuk pneumonia atau ISPA. Penyebab pneumonia atau ISPA yang utama di negara berkembang adalah bakteri Haemophilus influenxzae type b (Hib). Vaksin Hib sudah tersedia lebih dari 10 tahun namun penggunaannya masih terbatas dan belum merata. Di beberapa negara vaksinasi Hib sudah masuk dalam program imunisasi nasional, namun di Indonesia belum menjadi program imunisasi nasional. Hal ini mungkin dikarenakan harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib diberikan pada semua anak di negara berkembang. Selain vaksinasi Hib, terdapat juga vaksinasi pneumococcus. Vaksin pneumococcus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun. Namun, saat ini vaksin pneumococcus untuk bayi dan anak di bawah 3 tahun sudah tersedia yang dikenal sebagai pneumococcal conjugate vaccineI (PCV) . Vaksin ini sudah banyak digunakan di negara maju dan menurut penelitian 93 membuktikan bahwa vaksin ini efektif untuk menurunkan kematian pada anak karena pneumonia (Kartasasmita, 2010). Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sukmawati (2010) dan Agussalim (2012) dimana dalam penelitian tersebut terdapat hubungan antara status imunisasi dengan resiko ISPA. Menurut Sukmawati (2010) dalam penelitiannya, pemberian imunisasi lengkap menyebabkan perkembangan penyakit ISPA menjadi tidak semakin berat. Sedangkan menurut Agussalim (2012) bayi atau balita yang pernah terkena campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia. Walaupun penelitan ini tidak terdapat hubungan, namun imunisasi merupakan hal yang penting untuk menjaga kekebalan tubuh balita. Balita dapat mendapatkan imunisasi secara mudah melalui posyandu. Puskesmas Citeureup sudah mempunyai jadwal untuk bidan desa yang berkunjung ke posyandu sehingga memudahkan balita untuk mendapatkan imunisasi. Upaya yang dapat dilakukan Puskesmas Citeureup untuk meningkatkan cakupan imunisasi adalah mengingatkan kembali atau penyuluhan mengenai waktu yang tepat untuk imunisasi, sosialisasi mengenai pentingnya imunisasi dan dampaknya jika tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap. 94 6.3.8. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Resiko ISPA pada Balita Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan gangguan saluran pernafasan lainnya (Gertrudis, 2010). Terdapat 22,8 % balita yang menjadi responden di Desa Citeureup, memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram. Jika dilihat dari tabel 5.23, terdapat 57,1% balita yang memiliki berat badan lahir rendah dan mempunyai gejala ISPA. Menurut (Gertrudis, 2010), bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram akan meningkatkan kematian akibat infeksi saluran pernafasan Resiko kesakitan hingga resiko kematian pada BBLR cukup tinggi, hal ini disebabkan karena pada bayi yang lahir dengan berat badan rendah akan menyebabkan adanya gangguan terhadap pertumbuhan dan imaturitas organ. Pada bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah, pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih sering 95 terkena penyakit infeksi maupun penyakit saluran pernapasan (Sukmawati, 2010). Hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwoho (2005) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian ISPA. Menurut Wiwoho (2005) bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko ISPA 3 kali lebih besar daripada bayi yang lahir dengan berat badan normal. Untuk mengantisipasi bayi dengan berat badan lahir rendah diperlukan berbagai upaya. Setiap bulannya di lokasi tersebut terdapat kegiatan posyandu yang dihadiri oleh bidan desa dari Puskesmas Citeureup. Kegiatan seperti ini dapat dimanfaatkan Ibu hamil untuk berkonsultasi dengan bidan desa yang berkunjung ke Posyandu. Namun, jarang sekali ibu hamil yang datang ke Posyandu jika merasa tidak mengalami masalah dalam kehamilannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan kepada Ibu hamil mengenai pentingnya mengkonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang sehingga bayi dapat lahir dengan berat badan normal. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan secara rutin kepada ibu hamil baik mengenai kesehatan ibu dan kesehatan bayi. 96 6.3.9. Hubungan Status Gizi dengan Resiko ISPA pada Balita Status gizi merupakan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi. Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah status sosial ekonomi, pendidikan ibu, sanitasi dan pelayanan kesehatan dasar. Balita dengan gizi buruk atau gizi kurang akan mempermudah terkena penyakit infeksi dibandingkan dengan balita gizi baik. Hal ini karena status gizi berkaitan dengan daya tahan tubuh (Arisman, 2004). Dalam penelitian ini, menggunakan kategori gizi baik dan gizi kurang karena tidak ditemukan anak dengan gizi buruk. Balita yang memiliki status gizi kurang sebanyak 21,7%. Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat gizi seseorang. Zat gizi ini berfungsi untuk membentuk zat-zat kekebalan tubuh seperti antibodi. Semakin baik konsumsi zat gizi seseorang maka akan menyebabkan semakin baik pula kekebalan tubuhnya (Elyana, 2009). Pada Tabel 5.22 menunjukkan bahwa balita yang memiliki gizi kurang dan mempunyai gejala ISPA adalah sebanyak 100%. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang 97 kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi (Sukmawati, 2010). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,005 (pvalue<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status gizi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sukmawati (2010) dan Setiawan (2010). Hasil penelitian Sukmawati (2010) memberikan hasil bahwa 40% balita yang mempunyai gizi kurang akan mengalami serangan ISPA secara berulang bahkan serangannya lebih berat. Penelitian lain yang dilakukan Setawan (2010) memberikan hasil bahwa status gizi kurang mempunyai resiko terjadinya pneumonia 27 kali lebih tinggi daripada balita yang mempunyai status gizi baik. Sebagian besar masyarakat di Desa Citeureup mempunyai status gizi baik, namun masih terdapat beberapa masyarakat yang mempunyai status gizi kurang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah gizi kurang pada masyarakat yaitu perlu diberikan penyuluhan mengenai pengaturan gizi yang baik. Kemudian dari pihak Puskesmas Citeureup dapat melakukan pembinaan mengenai pentingnya perbaikan gizi. 98 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Gambaran balita yang mengalami gejala ISPA pada 92 balita di Desa Citeureup Tahun 2014 yaitu sebanyak 71 balita (77,2 %) dan 21 balita (22,8%) tidak mengalami gejala ISPA. 2. Gambaran konsentrasi SO2 di Desa Citeureup pada bulan April tahun 2014 yaitu rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien adalah 120 µg /m3 dengan kandungan SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3. 3. Gambaran pencemaran udara dalam rumah meliputi: 3.1. Balita yang memilliki anggota keluarga yang mengalami ISPA ada sebanyak 25 rumah balita (27,2%) dan balita yang tidak memiliki anggota keluarga tidak mengalami ISPA yaitu sebanyak 67 rumah balita (72,8%). 3.2.Balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok sebanyak 77 (83,7%) dan balita yang memiliki anggota keluarga tidak merokok sebanyak 15 (16,3%). 99 3.3. Bahan Bakar Memasak yaitu sebanyak 8 rumah balita (8,7%) yang menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan 84 rumah balita (91,3%) yang menggunakan bahan bakar gas. 3.4.Responden yang menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 51 rumah. Dari jumlah balita yang menggunakan obat anti nyamuk, terdapat 32 rumah balita (62,7 %) yang menggunakan obat anti nyamuk bakar dan 19 rumah balita (37,3 %) yang menggunakan obat anti nyamuk oles atau listrik. 4. Gambaran faktor yang mempengaruhi kekebalan balita meliputi: 4.1 ASI Eksklusif pada 92 responden yaitu sebanyak 89 balita (96,7%) yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan 3 balita (3,3%) mendapatkan ASI Eksklusif. 4.2 Imunisasi pada 92 responden yaitu sebanyak 28 balita (30,4%) belum mendapatkan imunisasi lengkap dan 64 balita (69,9%) sudah mendapatkan imunisasi lengkap. 4.3 Berat Badan Lahir Rendah pada 92 responden yaitu sebanyak 21 balita (22,8%) memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram dan 71 balita (77,2%) lahir dengan berat badan normal atau lebih dari 2500 gram. 4.4 Status gizi pada 92 responden yaitu sebanyak terdapat 20 balita (21,7%) memiliki status gizi kurang dan 72 balita (78,3%) memiliki status gizi normal. 100 5. Terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 pada bulan April dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014. 6. Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014. 7. Tidak terdapat hubungan antara faktor pencemaran dalam rumah yaitu: anggota keluarga yang merokok, jenis obat anti nyamuk, dan bahan bakar memasak dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014. 8. Terdapat hubungan antara faktor kekebalan balita: ASI Eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah, dan status gizi dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014. 9. Tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014. 7.2. Saran 7.2.1. Saran Bagi Masyarakat 1. Masyarakat yang akan bepergian jauh sebaiknya menggunakan alat pelindung diri seperti masker agar terhindar dari pencemaran udara yang beresiko untuk terjadinya ISPA. 101 2. Masyarakat yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak dan obat anti nyamuk bakar sebaiknya agar memperhatikan persyaratan ventilasi yang baik. 3. Masyarakat yang memiliki balita sebaiknya memperhatikan ASI Eksklusif, memberikan imunisasi lengkap, dan status gizi balita. 7.2.2. Saran Bagi Instansi 1. Pemerintah Kabupaten Bogor khususnya Bapedalda sebaiknya melakukan pemantauan kualitas udara di area pemukiman. 2. Sebaiknya dilakukan penyuluhan terkait ISPA, mengenai tanda dan gejala ISPA serta cara pencegahannya. 7.2.3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya 1. Dalam penelitian ini pengukuran SO2 tidak bisa dilakukan selama 1 jam sehingga hasil pengukuran konsentrasi SO2 tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu udara ambien. Untuk penelitian selanjutnya, pengukuran konsentrasi SO2 sebaiknya dilakukan selama 1 jam agar dapat dibandingkan dengan baku mutu udara ambien. 2. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan bantuan tenaga medis untuk menentukan penyakit ISPA. 102 DAFTAR PUSTAKA Aditama, Tjandra Yoga. 4 Dari 10 PenyakitPenyebabKematian di DuniaAdalahPenyakitBidangParu Dan Pernapasan.http://sehatnegeriku.com/4dari-10-penyakit-penyebab-kematian-di-dunia-adalah-penyakit-bidang-paru-danpernapasan/Unduhpadatanggal 24 November 2013. Afandi, Ade Irwan. 2012. HubunganLingkunganFisikRumahdenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAku tpadaAnakBalita di KabupatenWonosoboProvinsiJawa Tengah Tahun 2012.Tesis.UI.Depok Agussalim.2012.HubunganPengetahuan, Status Imunisasi, danKebereadaanPerokokdalamRumahdenganPenyakitInfeksiSaluranPernapasan AkutpadaBalita di PuskesmasPeukanBadaKabupaten Aceh Besar. JurnalIlmiah STIKES U’Budiyah No.2 Maret 2012.Vol: 1 Ali, Arsad Rahim. 2007. KajianPustakaKebijakanPencemaranUdara di Indonesia. http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/kebijakan-pencemaran-udara1.pdf. Unduhpadatanggal 2 Januari 2014 Alsagaff, H,Mukty, H.A. 2010.Dasar-dasarIlmuPenyakitParu.Cetakankeempat. Surabaya: Erlangga University Press. Arief, Latar Muhammad. PengolahanLimbah Gas.http://ikk357.esaunggul.ac.id/files/2012/12/LIMBAH-GAS.pdf?846aad. Unduhpada 2 Januari 2014. Arisman. 2004. GizidalamDaurKehidupan. BukuKedokteran EGC: Jakarta. Atmaja, Aditya Surya, dkk. 2007. Identifikasi Kadar Debu di LingkunganKerjadanKeluhanSubyektifPernapasan.JurnalKesehatanLingkungan, Vol 3, No.2, Januari 2007: 161-172. 103 BalitbangkesDepkes RI. 2008. LaporanHasilRisetKesehatanDasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta (Riskesdas) Basir, Elisa. 2007. Hubunganantara Nitrogen Oksidadan Sulfur DioksidadalamRumahdenganGangguanSaluranPernafasanAnakBalita di KecamatanTeluk Naga KabupatenTangerangTahun 2006. Tesis.UI.Depok. Catiyas, Embriyowati. 2012. Faktor-faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA padaBalita di Wilayah KecamatanGombongKabupatenKebumenJawa Tengah Tahun 2012. Skripsi.UI.Depok Chahaya, Indra. Faktor-FaktorKesehatanLingkunganPerumahan yang MempengaruhiKejadian ISPA padaBalita di PerumahanNasional (Perumnas) Mandala, KecamatanPercutSei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.MajalahKedokteran Nusantara Vol. 38 No. 3.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15574/1/mkn-sep2005%20%284%29.pdf. Unduhpadatanggal 24 November 2013. Citra,Putri, 2012.Hubungan LingkunganDalamRumahDenganKejadian ISPA PadaBalita Di Wilayah KerjaPuskesmasAtangJungketKecamatanBiesKabupaten Aceh Tengah Tahun 2012.Skripsi.FKM UI.Depok. Depkes RI, 2005. PedomanPenyelenggaraanPemberianImunisasi.Jakarta Depkes RI. 2002. PedomanPemberantasanPenyakitSaluranPernapasanAkut. Jakarta: DepartemenKesehatan RI. Depkes RI. 2004. PedomanPemberantasanPenyakitInfeksiSaluranPernapasanAkutuntukPenanggul angan Pneumonia padaBalita. Jakarta Depkes RI. 2006. PedomanPengendalianPenyakitInfeksiSaluranPernafasanAkutUntukPenanggulan gan Pneumonia padaBalita. Jakarta. Depkes. 2009. ProfilKesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes.go.id. Unduhpadatanggal 24 November 2013 Depkes.Parameter PencemarUdaradanDampaknyaTerhadapKesehatan.http://www.depkes.go.id/do wnloads/Udara.PDF .Unduhpadatanggal 7 Januari 2014. DinkesKabupaten Bogor.2012. ProfilKesehatanKabupaten Bogor. Bogor 104 Elyana, Mei. HubunganFrekuensi ISPA dengan Status GiziBalita.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=72033&val=124 8&title=HUBUNGAN%20FREKUENSI%20ISPA%20DENGAN%20STATUS %20GIZI%20BALITA. Diaksespadatanggal 12 Mei 2014 dari Gertrudis. 2010. HubunganAntara Kadar Partikulat (PM10) UdaraRumahTinggaldenganKejadian ISPA padaBalita di SekitarPabrik Semen PT. IndocementCiteureupTahun 2010. Tesis.UI. Depok Gozali, Achmad. 2010.HubunganAntara Status GizidenganKlasifikasi Pneumonia padaBalita di PuskesmasGilinganKecamatanBanjarsari Surakarta. UNS. Skripsi. Halim,D. 2000. IlmuPenyakitParu Jakarta: Hipokrates 105 Handayani. 2003. PengaruhInhalasi CerminDuniaKedokteran No. 138, 2003. NO2 terhadapKesehatanParu. Irianto, Bambang. 2006. HubunganFaktorLingkunganRumahdanKarakteristikBalitadenganKejadianPenya kit ISPA padaBalita di Wilayah KecamatanLemahwungkuk Kota Cirebon Tahun 2006.Tesis.UI.Depok Kartasasmita, Cissy. 2010. Pneumonia Balita. BuletinJendelaEpidemiologi. ISSN 2087-1546.Vol: 3. 2010 KementerianKesehatan RI. 2009. Parameter PencemarUdaradanDampaknyaTerhadapKesehatan. www.depkes.go.id/downloads/Udara.PDF . Unduhpadatanggal 24 November 2013. Kepmenkes No.1407/MENKES/SK/XI/ 2002.PedomanPengendalianDampakPencemaranUdara. http://hukum.unsrat.ac.id/men/menkes_1407_2002.pdf. Unduhpadatanggal 7 Januari 2014. Kusnoputranto, Haryoto& Susanna, Dewi. 2000. FakultasKesehatanMasyarakatUniversitas Indonesia. KesehatanLingkungan. Layuk, RibkaRerungdkk.Faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA Balita di LembangBatuSura.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/427 9/RIBKA%20RERUNG%20LAYUK%20%28K11109326%29.pdf?sequence=1. Unduhpadatanggal 24 November 2013. Lubis, Imran. EtiologiInfeksiSaluranPernafasanAkut (ISPA) danFaktorLingkungan.BuletinPenelitianKesehatan. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=r ja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Fstatic.ow.ly%2Fdocs%2FBAB%2 520I%2520METLIT%2520revisi_1e5r.doc&ei=nouSUu6nK4qJrAfY4D4Dg&usg=AFQjCNHfc1aOui90snrf1iav9tddhcfLg&sig2=zaBDFjFeYv3LeihFp-lCbQ&bvm=bv.56988011,d.bmk . Unduhpadatanggal 25 November 2013. 106 Mairuhudkk. 2011. Faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA padaBalita di PulauBarangLompoKecamatan Ujung Tanah Kota Makassar. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4326. Unduhpadatanggal 24 November 2013. Maramis, ParamithaAnjanatha. 2013. Hubungan Tingkat PendidikandanPengetahuanIbuTentang ISPA denganKemampuanIbuMerawatBalita ISPA padaBalita di PuskesmasBahu Kota Manado.EjournalKeperawatan Vol:1. Nomor 1.Agustus 2013. Media InformasiKesehatan Indonesia.Penyebab ISPA. http://www.kesehatan123.com/1679/penyebab-ispa/. Unduhpadatanggal 25 November 2013. Mengkidi, Dorce. 2006. GangguanFungsiParudanFaktor-Faktor yang MempengaruhinyapadaKaryawan PT. TonasaPangkep Sulawesi Selatan.Tesis.Undip. Semarang. Misnadiarly. 2008. PenyakitInfeksiSaluranNapas Pneumonia padaAnak, Orang Dewasa, UsiaLanjut, Pneumonia Atipik, dan Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: PustakaOborPopuler. www.Fk.uns.ac.id/index.php/download/file/59. Murti, Basir. DesainStudi. Unduhpadatanggal 16 Juli 2013 Muttaqin, Arif. 2008. Buku AsuhanKeperawatanKliendenganGangguanSistemPernafasan. SalembaMedika. 107 Ajar: Jakarta: Muttaqin. 2008. AsuhanKeperawatanKlienGangguanSistemMuskuloskeletal. Jakarta: EGC. Nasutiondkk.2009. InfeksiSaluranNapasAkutpadaBalita di Daerah Urban Jakarta. Sari Pediatri No. 4 Desember 2009.Vol: 11.. Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Digitized by USU Digital Library.FKM USU. Medan. Notoatmodjo, S. 2003. MetodePenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta. PeraturanPemerintah 41 Tahun 1999.PengendalianPencemaranudara.http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q= &esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F% 2Fjdih.den.go.id%2Fdownload%2F19%2Fperaturan-pemerintah-no-41-tahun1999&ei=HxnTUt2EMcuArgem8oGwDg&usg=AFQjCNFDc4UUAYdvHUtbgs 49iis--oCm2A&sig2=L6_WIRfyNnwFEfQ_aucGyw&bvm=bv.59026428,d.bmk. Unduhpadatanggal 7 Januari 2014. Pramayu, AjengPuspitaning. HubunganKonsentrasi PM10 dalamRuangKelasdenganGangguan ISPA Siswa SD KecamatanCipayung Kota DepokTahun 2012.Tesis.UI.Depok Putri, Minerva Nadia. 2012. HubunganKonsentrasi SO2danSuspended Particulate Matter (SPM) denganJumlahKejadian ISPA PendudukKecamatanPademanganTahun 2006-2010. Skripsi. UI Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., &Setyanto, D.B. 2008.Buku Ajar RespirologiAnak. Jakarta: IDAL. Rahayu,dkk. 2011.Kejadian ISPA PadaBalitaDitinjau Dari PengetahuanIbu,KarakteristikBalita,SumberPencemarDalamRuangdanLingkunga nFisikRumah Di Wilayah KerjaPuskesmas DTP CibeberKabupatenLebakPropinsiBantenTahun 2011.Skripsi.FKM UI.Depok 108 Sakti, EkaSatriani. 2012. TinjauanTentangKualitasUdara Ambien (NO2, SO2, Total Suspended Particulate) TerhadapKejadian ISPA di Kota BekasiTahun 20042011.Skripsi.UI.Depok. Satriyo, Saputro. 2008. StudiKondisiKimiawiPenyebaranPb, Debu, danKebisingan di Kota Jakarta. JurnalKajianIlmiahLembagaPenelitianUbhara Jaya Vol. 9 No. 2.http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Unduhpadatanggal 24 November 2013. Septian.ISPA padaBayidanAnak.http://www.slideshare.net/septianraha/ispa-padabayi-dan-aqnak. Unduhpadatanggal 29 November 2013. Setiawan, dkk.Hubungan Status Gizidengan Pneumonia padaBalita di Wilayah KerjaPuskesmasPalasariKecamatanCiaterKabupatenSubangTahun 2010.Diaksespadatanggal 12 Mei 2014 darihttp://stikesayani.ac.id/publikasi/ejournal/files/2010/201008/201008-008.pdf Sinaga, EpiRia Kristina. 2012. KualitasLingkunganFisikRumahdenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) padaBalita di Wilayah KerjaPuskesmasKelurahanWarakasKecamatanTanjungPriuk Jakarta Utara Tahun 2012.Skripsi.UI.Depok. Soemirat, J. 2009. KesehatanLingkungan ,GadjahMada University Press, Yogyakarta. Sukandarrumidi. 2010. Bencanaalamdanbencanaanthropogene :petunjukpraktisuntukmenyelamatkandiridanlingkungan. Yogyakarta: Kanisius. Sukmawati.Hubungan Status Gizi, BeratBadanLahir, Imunisasi, dengankejadianInfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) padaBalita di Wilayah KerjaPuskesmasTunikamaseangKabupatenMaros.Media GiziPanganEdisi 2 JuliDesember 2010.Vol:X. 2010. Sumardjo, Damin. 2009. BukuPanduanKuliahMahasiswaKedokterandan FakultsBioeksakta. Jakarta: EGC. 109 Pengantar Program Kimia: Strata 1 Susilo, dkk. 2011. Faktor-faktor yang BerhubungandenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAtas (ISPA) BagianAtaspadaBalita di DesaNgrundulKecamatanKebonarumKabupatenKlaten. JurnalKesehatan, ISSN, Vol 4, No. 1, Juni 2011: 101-110 T, Gestrudis. HubunganAntara Kadar Partikulat PM10 UdaraRumahTinggaldenganKejadian ISPA padaBalita di SekitarPabrik Semen PT. IndocementCiteureupTahun 2010.http://www.academia.edu/3637211/PM10_UI. Unduhpadatanggal 24 N ovember 2013. Tjasyono.KlimatologiUmum. Penerbit ITB. Bandung U.S. Environmental Protection Agency. 2010. Nitrogen Dioxide. http://www.epa.gov. Unduhpadatanggal 24 November 2013. Wardani, EkaDkk. JurnalHubunganFaktorLingkungan, Sosial-Ekonomi, danPengetahuanIbudenganKejadianInsfeksiSaluranPernapasanAkut (Ispa) PadaBalita Di Kelurahan Cicadas Kota Bandung.http://lib.itenas.ac.id/kti/wpcontent/uploads/2012/06/Hubungan-Faktor-Lingkungan.pdf. Unduhpada 24 November 2013. Wardhana, WisnuArya. 2004. DampakPencemaranLingkungan (EdisiRevisi). Yogyakarta: PenerbitAndi. Wattimena,C.S, 2004. FaktorLingkunganRumah yang MempengaruhiHubungan Kadar PM10 dengankejadian ISPA padaBalita di wilayahPuskesmasCurugKabupatenTangerangtahun 2004. Tesis.FKM UI. Depok. 110 Webster,M&Fransisca., H, 2010. Aksi global padaanak.BuletinJendelaEpidemiologi, Vol:3. 2010 melawan pneumonia Widarini. 2009. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganKejadian ISPA padaBayi. UniversitasUdayana.http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JIG/V1N1/widarini.pdf. Unduhpadatanggal 3 Juni 2014 Wiwoho, Sadono. 2005.BayiBeratLahirRendahSebagai Salah SatuFaktorResikoInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBayi. Tesis.Undip. Semarang World Health Organization. 2005. Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide. Geneva: WHO press.www.who.int. Unduhpadatanggal 24 November 2013. 111 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KONSENTRASI SO2 DENGAN RESIKO ISPA PADA BALITA DI DESA CITEUREUP BULAN APRIL TAHUN 2014 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Saya Tri Astuti Lestari, Mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan pengumpulan data mengenai konsentrasi SO2 dengan resiko ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada balita. Pengumpulan data ini digunakan sebagai salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi). Saya berharap ibu bersedia menjadi responden penelitian ini dengan menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner ini. Informasi yang anda berikan akan saya jaga kerahasiaannya. Jika anda bersedia dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan. Data Responden 1. Nomor responden 2. Nama responden 3. Posyandu : ____________________________ : ____________________________ : ____________________________ Dengan ini bersedia menjadi responden pada penelitian ini. Citeureup, Responden ( 112 2014 ) Identitas Responden A1. Nama Ibu A2. Alamat Kode Identitas Anak B1. Nama balita B2. Usia balita B3 Berat Badan B4. Jenis kelamin Kode …………….bulan ……………..kg a. Laki-laki b. Perempuan ( ) Riwayat Gangguan Saluran Pernafasan Apakah anak balita anda menderita gangguan pernafasan seperti di bawah ini selama 2 minggu terakhir? C1. Batuk (lebih dari 5 kali sehari) a. Ya ( b. Tidak C2. Pilek a. Ya ( b. Tidak C3. Sakit tenggorokan a. Ya ( b. Tidak C4. Tidak bisa (tidak mau) a. Ya ( minum/menelan b. Tidak C5. Batuk dahak/lendir a. Ya ( b. Tidak C6. Sakit telinga (berair/nanah) a. Ya ( b. Tidak C7. Demam a. Ya ( b. Tidak C8. Sesak nafas/nafas cepat/nafas a. Ya ( terputus b. Tidak Pencemaran dalam rumah D1. Apakah ada anggota keluarga/ penghuni rumah ini yang merokok? D2. Jika ya, dimana biasanya merokok? 113 ) ) ) ) ) ) ) ) Kode a. Ya b. Tidak lanjut pertanyaan D4 a. Dalam rumah b. Luar rumah ( ) ( ) ke D3. D4. Berapa batang rokok dalam sehari? Bahan bakar jenis apakah yang digunakan ibu untuk memasak setiap hari? (boleh pilih lebih dari 1) c. Di dalam dan di luar rumah ……. Batang ( a. b. c. d. e. f. a. b. Kayu bakar/ arang Batu bara Minyak tanah Gas Listrik Lainnya…. Ya Tidak ) ( ) D5. Apakah ibu selalu membawa anak balita ketika sedang memasak? ( ) D6. Apakah anak balita ibu a. Ya ( mempunyai kebiasaan bermain di b. Tidak lanjut ke luar rumah? pertanyaan D8 Jika ya, berapa jam sehari balita berada di luar rumah? ………jam ) Apakah di rumah menggunakan obat anti nyamuk? Jenis obat anti nyamuk apa yang dipergunakan? (boleh pilih lebih dari 1) ( ) nyamuk ( ) ( ) D7. D8. D9. Jika menggunakan obat anti nyamuk bakar, berapa jumlah yang digunakan dalam 1 malam? D11. Apakah dirumah anda (selain anak balita) terdapat seseorang atau lebih yang menderita penyakit saluran pernapasan? Kekebalan balita E1 Apakah anak ibu pernah a. Ya b. Tidak a. Obat anti bakar b. Listrik c. Oles d. Semprot e. Lainnya….. D10. 114 …..buah a. Ya b. Tidak a. Ya mendapatkan imunisasi? E2 Jika ya, imunisasi apa yang pernah didapat? (boleh lebih dari 1) E3 Jika tidak apa alasannya? E4 b. Tidak lanjut pertanyaan E4 a. BCG b. DPT c. Polio d. Campak e. Lain- lain Berapa lama anak ibu mendapatkan ASI tanpa tambahan ………………bulan makanan apapun? E5 Berapa berat badan anak anda ………….... gram saat lahir? Kualitas udara (diisi oleh peneliti) F1. SO2 115 ke ( ) OUTPUT SPSS Univariat 1. Resiko ISPA Statistics ISPA N Valid 92 Missing 0 ISPA Valid Percent Frequency Percent Cumulative Percent Valid ISPA 71 77.2 77.2 77.2 Tidak ISPA 21 22.8 22.8 100.0 Total 92 100.0 100.0 2. Konsentrasi SO2 Statistics SO2 N Valid Missing 92 0 Mean 1.206330 E2 Median 1.108800 E2 Mode 1.1088E2 Std. Deviation 4.865407 8E1 Minimum 32.7028 116 Statistics SO2 N Valid 92 Missing 0 Mean 1.206330 E2 Median 1.108800 E2 Mode 1.1088E2 Std. Deviation 4.865407 8E1 Minimum 32.7028 Maximum 1.9873E2 SO2 Frequency Percent Valid 32.7028 Valid Percent Cumulative Percent 10 10.9 10.9 10.9 87.812 10 10.9 10.9 21.7 97.6449 10 10.9 10.9 32.6 100.6036 6 6.5 6.5 39.1 20 21.7 21.7 60.9 129.3968 7 7.6 7.6 68.5 146.5911 11 12.0 12.0 80.4 198.7296 3 3.3 3.3 83.7 198.7298 15 16.3 16.3 100.0 Total 92 100.0 100.0 110.88 117 3. Anggota keluarga mengalami ISPA Statistics ang_ISPA N Valid 92 Missing 0 ang_ISPA Frequency Percent Valid ya Valid Percent Cumulative Percent 25 27.2 27.2 27.2 tidak 67 72.8 72.8 100.0 Total 92 100.0 100.0 118 4. Anggota keluarga yang merokok Statistics Rokok N Valid 92 Missing 0 Rokok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Merokok 77 83.7 83.7 83.7 Tidak Merokok 15 16.3 16.3 100.0 Total 92 100.0 100.0 5. Tempat merokok Statistics tmp_rkok N Valid Missing 77 0 119 tmp_rkok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid menyebabkan pencemaran (dalam rumah) 46 59.7 59.7 59.7 tidak menyebabkan pencemaran (luar rumah) 31 40.3 40.3 100.0 Total 77 100.0 100.0 6. Jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari Statistics jumrokok N Valid Missing 76 1 Mean 8.1842 Median 6.0000 Mode Std. Deviation 6.00 5.27057 Minimum 1.00 Maximum 32.00 Sum 622.00 120 Jumrokok Frequency Percent Valid Valid Percent 1 1 1.3 1.3 1.3 2 6 7.8 7.9 9.2 3 7 9.1 9.2 18.4 4 2 2.6 2.6 21.1 5 2 2.6 2.6 23.7 6 27 35.1 35.5 59.2 10 4 5.2 5.3 64.5 12 24 31.2 31.6 96.1 24 2 2.6 2.6 98.7 32 1 1.3 1.3 100.0 76 98.7 100.0 1 1.3 77 100.0 Total Missing System Total 7. Bahan bakar memasak Statistics BBM N Cumulative Percent Valid Missing 92 0 121 BBM Frequency Percent Valid menyebabkan pencemaran Valid Percent 8 8.7 8.7 8.7 tidak menyebabkan pencemaran 84 91.3 91.3 100.0 Total 92 100.0 100.0 8. Pemakaian obat anti nyamuk Statistics obatnymk N Valid 92 Missing 0 Obatnymk Frequency Percent Valid ya Valid Percent Cumulative Percent 51 55.4 55.4 55.4 tidak 41 44.6 44.6 100.0 Total 92 100.0 100.0 9. Jenis obat anti nyamuk Statistics nymkbaru N Cumulative Percent Valid Missing 51 0 122 nymkbaru Frequency Percent Valid tidak memenuhi syarat Valid Percent 32 62.7 62.7 62.7 memenuhi syarat 19 37.3 37.3 100.0 Total 51 100.0 100.0 10. ASI eksklusif Statistics ASIbaru N Valid 92 Missing 0 ASIbaru Frequency Percent Valid tidak ya Total Valid Percent 96.7 96.7 96.7 3 3.3 3.3 100.0 92 100.0 100.0 Statistics IMUNbaru Valid Missing Cumulative Percent 89 11. Imunisasi N Cumulative Percent 92 0 123 IMUNbaru Frequency Percent Valid tidak lengkap Valid Percent Cumulative Percent 28 30.4 30.4 30.4 Lengkap 64 69.6 69.6 100.0 Total 92 100.0 100.0 12. BBLR Statistics BBLRbaru N Valid 92 Missing 0 BBLRbaru Frequency Percent Valid ya Valid Percent 21 22.8 22.8 22.8 tidak 71 77.2 77.2 100.0 Total 92 100.0 100.0 13. Status gizi Statistics gizi2 N Cumulative Percent Valid Missing 92 0 124 gizi2 Valid Percent Frequency Percent Valid gizi buruk Cumulative Percent 20 21.7 21.7 21.7 gizi baik 72 78.3 78.3 100.0 Total 92 100.0 100.0 Analisis Bivariat 1. SO2 dengan ISPA Uji normalitas tidak normal Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic SO2 .188 Df Shapiro-Wilk Sig. 92 Statistic .000 .896 df Sig. 92 a. Lilliefors Significance Correction Uji non parametrik Ranks ISPA SO2 N Mean Rank Sum of Ranks ISPA 71 49.70 3529.00 Tidak ISPA 21 35.67 749.00 Total 92 125 .000 Test Statisticsa SO2 Mann-Whitney U 518.000 Wilcoxon W 749.000 Z -2.139 Asymp. Sig. (2tailed) .032 a. Grouping Variable: ISPA 2. Anggota keluarga mengalami ISPA dengan resiko ISPA Case Processing Summary Cases Valid N ang_ISPA * ISPA Percent 92 Missing N Total Percent 100.0% 0 N .0% Percent 92 ang_ISPA * ISPA Crosstabulation ISPA ISPA ang_ISPA Ya Count % within ang_ISPA Total 1 25 96.0% 4.0% 100.0% 47 20 67 70.1% 29.9% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% Count % within ang_ISPA Total 24 Tidak Count % within ang_ISPA Tidak ISPA 126 100.0% Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df Pearson Chi-Square 6.907a 1 .009 Continuity Correctionb 5.517 1 .019 Likelihood Ratio 8.756 1 .003 Fisher's Exact Test .010 Linear-by-Linear Association 6.832 N of Valid Casesb 1 .006 .009 92 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.71. b. Computed only for a 2x2 table Case Processing Summary Cases Valid N ang_ISPA * ISPA Percent 92 Missing N Total Percent 100.0% 0 N .0% Percent 92 ang_ISPA * ISPA Crosstabulation ISPA ISPA ang_ISPA ya Count % within ang_ISPA tidak Tidak ISPA Total 24 1 25 96.0% 4.0% 100.0% 47 20 67 Count 127 100.0% % within ang_ISPA Total 70.1% 29.9% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% Count % within ang_ISPA Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df Pearson Chi-Square 6.907a 1 .009 Continuity Correctionb 5.517 1 .019 Likelihood Ratio 8.756 1 .003 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb .010 6.832 1 .006 .009 92 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.71. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for ang_ISPA (ya / tidak) Lower Upper 10.213 1.292 80.747 For cohort ISPA = ISPA 1.369 1.148 1.631 For cohort ISPA = Tidak ISPA .134 .019 .947 128 Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for ang_ISPA (ya / tidak) Lower Upper 10.213 1.292 80.747 For cohort ISPA = ISPA 1.369 1.148 1.631 For cohort ISPA = Tidak ISPA .134 .019 .947 N of Valid Cases 92 3. Anggota keluarga merokok dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N rokok * ISPA Percent 92 100.0% Missing N Total Percent 0 129 .0% N Percent 92 100.0% rokok * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak ISPA ISPA rokok Merokok Count % within rokok Tidak Merokok Total 61 16 77 79.2% 20.8% 100.0% 10 5 15 66.7% 33.3% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% Count % within rokok Count % within rokok Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df 1.123a 1 .289 .524 1 .469 1.047 1 .306 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb .320 1.111 1 .229 .292 92 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.42. b. Computed only for a 2x2 table 130 Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for rokok (Merokok / Tidak Merokok) 1.906 .570 6.370 For cohort ISPA = ISPA 1.188 .816 1.730 For cohort ISPA = Tidak ISPA .623 .270 1.441 N of Valid Cases 92 4. BBM dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N BBM * ISPA Percent 92 100.0% Missing N Total Percent 0 131 .0% N Percent 92 100.0% BBM * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak ISPA ISPA BBM menyebabkan pencemaran Count % within BBM tidak menyebabkan pencemaran Total Count % within BBM Count % within BBM Total 8 0 8 100.0% .0% 100.0% 63 21 84 75.0% 25.0% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df Pearson Chi-Square 2.592a 1 .107 Continuity Correctionb 1.367 1 .242 Likelihood Ratio 4.366 1 .037 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb .191 2.563 1 .114 .109 92 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83. b. Computed only for a 2x2 table 132 Risk Estimate 95% Confidence Interval Value For cohort ISPA = ISPA Lower 1.333 N of Valid Cases Upper 1.178 1.509 92 5. Obat anti nyamuk bakar dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N jns_nymk * ISPA Missing Percent 51 N 100.0% Total Percent 0 N .0% Percent 51 100.0% jns_nymk * ISPA Crosstabulation ISPA ISPA jns_nymk menyebabkan pencemaran tidak menyebabkan pencemaran Total Count % within jns_nymk Count % within jns_nymk Count % within jns_nymk 133 Tidak ISPA Total 24 8 32 75.0% 25.0% 100.0% 15 4 19 78.9% 21.1% 100.0% 39 12 51 76.5% 23.5% 100.0% Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df .103a 1 .748 Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .104 1 .747 Pearson Chi-Square Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb 1.000 .101 1 .514 .750 51 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.47. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for jns_nymk (menyebabkan pencemaran / tidak menyebabkan pencemaran) .800 .205 3.125 For cohort ISPA = ISPA .950 .699 1.291 For cohort ISPA = Tidak ISPA 1.188 .412 3.419 N of Valid Cases 51 134 6. ASI Eksklusif dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N ASIbaru * ISPA Percent 92 Missing N Total Percent 100.0% 0 .0% N Percent 92 ASIbaru * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak ISPA ISPA ASIbaru tidak Count % within ASIbaru ya Count % within ASIbaru Total Count % within ASIbaru Total 71 18 89 79.8% 20.2% 100.0% 0 3 3 .0% 100.0% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% 135 100.0% Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio b Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) Df 10.485a 1 .001 6.445 1 .011 9.215 1 .002 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb .011 10.371 1 .011 .001 92 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .68. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value For cohort ISPA = Tidak ISPA N of Valid Cases .202 Lower .134 92 136 Upper .306 7. Imunisasi dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N IMUNbaru * ISPA Percent 92 Missing N 100.0% Total Percent 0 N .0% Percent 92 100.0% IMUNbaru * ISPA Crosstabulation ISPA ISPA IMUNbar tidak lengkap Count u % within IMUNbaru lengkap Count % within IMUNbaru Total Count % within IMUNbaru 137 Tidak ISPA Total 18 10 28 64.3% 35.7% 100.0% 53 11 64 82.8% 17.2% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio b Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df 3.795a 1 .051 2.816 1 .093 3.608 1 .058 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb .063 3.754 1 .049 .053 92 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.39. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for IMUNbaru (tidak lengkap / lengkap) .374 .136 1.025 For cohort ISPA = ISPA .776 .576 1.046 For cohort ISPA = Tidak ISPA 2.078 .999 4.321 N of Valid Cases 92 138 8. BBLR dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N BBLRbaru * ISPA Percent 92 Missing N Total Percent 100.0% 0 N Percent .0% 92 Tidak ISPA Total BBLRbaru * ISPA Crosstabulation ISPA ISPA BBLRbaru ya Count % within BBLRbaru tidak 9 21 57.1% 42.9% 100.0% 59 12 71 83.1% 16.9% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% Count % within BBLRbaru Total 12 Count % within BBLRbaru 139 100.0% Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction b Likelihood Ratio Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df 6.198a 1 .013 4.812 1 .028 5.643 1 .018 Fisher's Exact Test .019 Linear-by-Linear Association 6.131 N of Valid Casesb 1 .017 .013 92 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.79. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for BBLRbaru (ya / tidak) .271 .094 .786 For cohort ISPA = ISPA .688 .468 1.011 For cohort ISPA = Tidak ISPA 2.536 1.242 5.179 N of Valid Cases 92 140 9. Status Gizi dengan ISPA Case Processing Summary Cases Valid N gizi2 * ISPA Percent 92 Missing N Total Percent 100.0% 0 N .0% Percent 92 gizi2 * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak ISPA ISPA gizi2 gizi buruk Count % within gizi2 gizi baik Count % within gizi2 Total Count % within gizi2 Total 20 0 20 100.0% .0% 100.0% 51 21 72 70.8% 29.2% 100.0% 71 21 92 77.2% 22.8% 100.0% 141 100.0% Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio b Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided) sided) sided) df 7.559a 1 .006 5.994 1 .014 11.915 1 .001 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association .005 7.477 N of Valid Casesb 1 .003 .006 92 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.57. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value For cohort ISPA = ISPA N of Valid Cases 1.412 Lower 1.217 92 142 Upper 1.637 143 144 145