faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala

advertisement
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA
ISPA PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Disusun oleh:
Tri Astuti Lestari
1110101000029
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H /2014
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Juli 2014
Tri Astuti Lestari, NIM:1110101000029
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA ISPA
PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014
(xi + 102 halaman, 24 tabel, 3 gambar, 8 lampiran)
ABSTRAK
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit infeksi akut
yang menyerang satu atau lebih dari saluran nafas. ISPA sering menyerang balita
karena kekebalan tubuhnya yang masih rendah. ISPA masih menempati urutan teratas
dari data 10 besar penyakit di Wilayah Kerja Puskesmas Citeureup. Di Desa
Citeureup terdapat pabrik semen yang dalam proses produksi dan transportasinya
menghasilkan pencemaran udara. Salah satu zat pencemar tersebut adalah SO2 yang
dapat menyebabkan gejala ISPA.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan sejak
bulan April sampai dengan Mei tahun 2014 di Desa Citeureup. Metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah teknik cluster sampling dengan jumlah sampel 92
balita dan menggunakan analisis univariat and bivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 71 balita (77,2 %) yang
mengalami gejala ISPA dan terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 dengan gejala
ISPA (p value 0,032). Variabel lain yang berhubungan dengan gejala ISPA adalah
anggota keluarga yang mengalami ISPA, ASI Eksklusif, BBLR (Berat Badan Lahir
Rendah), dan status gizi (p value < 0,05).
Untuk menanggulangi masalah ini diharapkan terdapat kerjasama antara
masyarakat dengan pelayanan kesehatan untuk menciptakan lingkungan dan perilaku
hidup sehat untuk mengurangi gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup.
Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan terkait dengan penyakit
ISPA, mengenai tanda dan gejala ISPA dan cara pencegahannya.
Kata kunci: Gejala ISPA, balita, pencemaran udara luar ruangan, pencemaran udara
dalam ruangan, kekebalan balita
Daftar Bacaan: 1999-2014
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Under Graduated Thesis, July 2014
Tri Astuti Lestari, NIM 1110101000029
Factors Associated With Risk Of Ispa For Infants At Citeureup Village 2014
(xi+102 pages, 24 tables, 3 pictures, 8 attachments)
ABSTRACT
ARI (Acute Respiratory Infection ) is an acute infectious disease that affects
one or more of the respiratory tract. Its often strikes infants because their immune is
still low. It is still on top list of 10 major diseases of data in job area of Citeureup
Health Center. There is cement factory which in the process of production and
transportation, that air pollution resulted. One of these pollutants are SO2 which cause
respiratory infection risk.
This research is a quantitative study using descriptive analytical crosssectional study design, conducted since April to May 2014 in the Citeureup village.
The sampling method used was cluster sampling with a sample of 92 infants and
using univariate and bivariate.
The results showed that there were 71 infants (77.2%), which runs the risk of
ARI and there is a relationship between the concentration of SO2 with ARI (p value
0,032). The other variables associated with the risk of ARI is a family member who
suffered ISPA, exclusive breastfeeding, low birth weight and nutritional status (p
value < 0,05 ).
To overcome this problem is expected the cooperation between the
community and health services by creating healthy living environments and behaviors
to reduce the risk of ISPA for infants in Citeureup Village. Countermeasures can be
done by way of extension of ISPA disease, signs and symptoms and its prevention.
Key words: symptomps of ARI, infants, outdoor pollution, indoor pollution,
immunity infant
Refferences: 1999-2003
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
Alamat
TTL
Jenis Kelamin
Agama
Nomor Telepon
E-mail
2010-sekarang
2007-2010
2004-2007
1998-2004
2011-2012
2012-2013
2012-2013
2013-2014
2013-2014
2012
2012-2013
2013
2014
IDENTITAS PERSONAL
: Tri Astuti Lestari
: Jln. Mufakat, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur
: Purworejo, 1 Maret 1992
: Perempuan
: Islam
: 085775424805
: [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
: SMA Negeri 7 Purworejo
: SMP Negeri 31 Purworejo
: SD Negeri 2 Borokulon
PENGALAMAN ORGANISASI
: Sekretaris Departemen Pendidikan Penelitian dan
Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya
: Bendahara Divisi Pengembangan Masyarakat BEM
Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta
: Ketua Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan
Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya
: Menteri Pengelolaan dan Pengembangan Dana Organisasi
Pengurus Nasional PAMI
: Sekretaris Envihsa (Environmental Health Student
Association) UIN Jakarta
PENGALAMAN PRAKTEK KERJA
: Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering
: Pengalaman Belajar Lapangan Wilayah Kerja Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Ciputat, Tangerang
Selatan
: Orientasi Kerja di HSE PT. Mitra Adi Sesama
: Kerja Praktek di bagian IPAL PT. Unitex
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah
memberikan kenikmatan dan kekuatan yang tidak terhitung jumlahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014”. Sholawat serta
salam semoga dilimpah curahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman
terang benderang.
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S1
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penuyusunan skripsi ini penulis mengalami banyak rintangan, oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu, antara lain:
1. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes,
Ph.D selaku pembimbing I dan pembimbing II atas arahan dan bimbingan
dalam penelitian ini, serta menyempatkan waktunya untuk memberikan
saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi.
2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM,
Ph.D, dan Bapak dr. Gatot Sudiro H, Sp.P, selaku penguji sidang skripsi
yang telah banyak mengarahkan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Pihak Puskesmas Citeureup, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan
Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor yang telah
mengizinkan dan membantu penelitian ini.
5. Kepala Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan izin dalam peminjaman alat dan analisis konsentrasi SO2.
6. Saudara seperjuangan peminatan Kesehatan Lingkungan 2010 atas
dukungan dan masukan penelitian: Rizka, Misyka, Fitri, Nida, Annis,
Dillah, Alya, Reka, Ifa, Yuni, Elfira, Ilham, Fuad, Angger, Febri dan
Akbar.
7. Sahabat-sahabatku Rizka, Sabila, Raafika, Bayti, Nina, Wiwid dan Nita
yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Terakhir dan terpenting untuk kedua orang tua dan kakak-kakakku yang
selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa yang selalu dipanjatkan
demi kelancaran penyusunan skripsi.
Semoga bantuan, bimbingan serta masukan yang telah diberikan berbagai
pihak yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.
Ciputat, Juli 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i
ABSTRAK .................................................................................................................. ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ v
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LatarBelakang ............................................................................................. 1
1.2.RumusanMasalah ........................................................................................ 8
1.3.PertanyaanPenelitian ................................................................................... 8
1.4.Tujuan ......................................................................................................... 9
1.4.1. TujuanUmum ............................................................................ 9
1.4.2. TujuanKhusus ........................................................................... 9
1.5.Manfaat ..................................................................................................... 10
1.5.1. BagiPemerintah ....................................................................... 10
ix
1.5.2. BagiMasyarakat....................................................................... 10
1.5.3. BagiPeneliti ............................................................................. 10
1.6.RuangLingkup ........................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.InfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) .......................................................... 12
2.2.Klasifikasi ISPA ........................................................................................ 13
2.2.1. ISPA Ringan ........................................................................... 14
2.2.2. ISPA Sedang ........................................................................... 15
2.2.3. ISPA Berat .............................................................................. 15
2.3.Gejala ISPA ............................................................................................... 16
2.4.Penyebab ISPA .......................................................................................... 17
2.5.Cara Penularan ISPA ........................................................................................ 17
2.6.Diagnosa ISPA .................................................................................................. 18
2.7.Pencegahan ISPA .............................................................................................. 19
2.8.Mekanismeterjadinya ISPA ............................................................................. 19
2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA ..................................................... 20
2.9.1. KarakteristikBalita .................................................................. 20
2.9.2. LingkunganFisikRumah .......................................................... 26
2.9.3. PencemaranUdara ................................................................... 28
2.9.3.1.PencemaranUdaraLuarRuangan .................................. 29
2.9.3.2.PencemaranUdaraDalamRuangan............................... 33
2.10.
KerangkaTeori..................................................................................... 35
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1.
KerangkaKonsep ................................................................................. 38
3.2.
DefinisiOperasional ............................................................................. 41
3.3.
Hipotesis .............................................................................................. 44
x
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
JenisdanRancanganPenelitian.............................................................. 45
4.2.
LokasidanWaktuPenelitian .................................................................. 45
4.2.1. LokasiPenelitian ...................................................................... 45
4.2.2. WaktuPenelitian....................................................................... 46
4.3.
SampelPenelitian ................................................................................. 46
4.4.
TeknikPengambilanSampel ................................................................. 48
4.5.
MetodePenelitianPengukuran .............................................................. 49
4.6.
TeknikPengolahan Data....................................................................... 53
4.7.
Analisis Data ....................................................................................... 55
4.7.1. AnalisisUnivariat ..................................................................... 55
4.7.2. AnalisisBivariat ....................................................................... 56
BAB V HASIL
5.1.HasilAnalisisUnivariat .................................................................................... 57
5.1.1. GambaranInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBalita di DesaCiteureup
57
5.1.2. Gambaran SO2 di DesaCiteureup ........................................................ 57
5.1.3. GambaranAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA .......................... 58
5.1.4. GambaranAnggotaKeluarga yang Merokok ....................................... 59
5.1.5. GambaranTempatuntukMerokokAnggotaKeluargaBalita
di
DesaCiteureup ..................................................................................... 59
5.1.6. GambaranJumlahRokok yang dikonsumsidalamsehari ...................... 60
5.1.7. GambaranBahanBakarMemasak di DesaCiteureup ............................ 60
5.1.8. GambaranPenggunaanObat Anti Nyamuk .......................................... 61
xi
5.1.9. GambaranJenisObat Anti Nyamuk yang Dipakai ............................... 61
5.1.10. Gambaran ASI EksklusifpadaBalita ................................................... 62
5.1.11. AlasanBalita yang TidakMendapatkan ASI Eksklusif ........................ 63
5.1.12. GambaranJenisImunisasiBalita ........................................................... 63
5.1.13. AlasanBalita yang TidakMendapatkanImunisasiLengkap .................. 64
5.1.14. GambaranBeratBadanLahirRendahpadaBalita ................................... 64
5.1.15. Gambaran Status GiziBalita di DesaCiteureup ................................... 65
5.2.HasilAnalisisBivariat ...................................................................................... 65
5.2.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ............... 66
5.2.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Terkena ISPA denganResiko ISPA
padaBalita ............................................................................................ 66
5.2.3. HubunganAnggotaKeluargaMerokokdenganResiko ISPA padaBalita
............................................................................................................. 67
5.2.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ...... 68
5.2.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA
padaBalita ............................................................................................ 69
5.2.6. Hubungan ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita .................. 70
5.2.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita .......................... 71
5.2.8. Hubungan BBLR (BeratBadanLahirRendah) denganResiko ISPA
padaBalita ............................................................................................ 72
5.2.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ....................... 73
xii
BAB VI PEMBAHASAN
6.1.KeterbatasanPenelitian .................................................................................. 75
6.2.Resiko ISPA padaBalita di DesaCiteureup ................................................... 76
6.3.AnalisisBivariat............................................................................................. 77
6.3.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ............... 77
6.3.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA padaBalita ........ 80
6.3.3. HubunganAnggotaKeluarga
yang
MerokokdenganResiko
ISPA
padaBalita ............................................................................................ 82
6.3.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ....... 85
6.3.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA
padaBalita ............................................................................................ 87
6.3.6. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita . 89
6.3.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita .......................... 91
6.3.8. HubunganBeratBadanLahirRendah
(BBLR)
denganResiko
ISPA
padaBalita ............................................................................................ 95
6.3.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ....................... 97
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.Kesimpulan...................................................................................................... 99
7.2.Saran ............................................................................................................. 101
xiii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ..................................................................... 47
Tabel 5.1 Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................ 57
Tabel 5.2 Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014..................... 58
Tabel 5.3 Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup
Tahun 2014 ........................................................................................... 58
Tabel 5.4 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ......................................................................... 59
Tabel 5.5 Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ........................................................................... 59
Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari di Desa
Citeureup Tahun 2014 .......................................................................... 60
Tabel 5.7 Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Tahun 2014 ........ 61
Tabel 5.8 Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada Rumah Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ........................................................................... 61
Tabel 5.9 Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai di Desa Citeureup
Tahun 2014 .......................................................................................... 62
Tabel 5.10 Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 . 62
Tabel 5.11 Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif ...... 63
Tabel 5.12 Distribusi Jenis Imunisasi pada Balita Di Desa Citeureup Tahun 2014 63
xv
Tabel 5.13 Gambaran Balita yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Desa
Citeureup Tahun 2014 .......................................................................... 64
Tabel 5.14 Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014 ........................................................................................... 64
Tabel 5.15 Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ...... 65
Tabel 5.16 Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Resiko ISPA pada Balita
di Desa Citeureup Tahun 2014 ............................................................. 66
Tabel 5.17 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Terhadap
Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................... 67
Tabel 5.18 Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok Terhadap Resiko ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................... 68
Tabel 5.19 Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap Resiko ISPA pada
Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................... 69
Tabel 5.20 Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Terhadap
Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 .................... 70
Tabel 5.21 Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Resiko ISPA pada Balita di
Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 71
Tabel 5.22 Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di
Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 72
Tabel 5.23 Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Resiko ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................... 73
Tabel 5.24 Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di
Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 74
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Kerangka Teori..................................................................................37
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian.............................................................40
Gambar 4.1
Peta Wilayah Desa Citeureup...........................................................53
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Output SPSS
Lampiran 2
Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 3
Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 4
Rekomendasi Penelitian
Lampiran 5
Permohonan Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi
SO2
Lampiran 6
Balasan Izin Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2
Lampiran 7
Izin Pengambilan Data
Lampiran 8
Peta Desa Citeureup
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. ISPA menyebabkan hampir
4 juta orang meninggal setiap tahun (Maramis, 2013). Data WHO 2008 yang di
update Juni 2011 menyebutkan bahwa ISPA menempati peringkat ke 3 dari 10
penyebab kematian terpenting dunia dengan jumlah 3,46 juta orang (6,1%)
(Aditama,T.Y,2011).
Masyarakat yang rentan terhadap ISPA adalah balita karena kekebalan
tubuhnya masih rendah. Balita dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap
tahun terutama mereka yang tinggal di daerah urban. Jumlah penderita ISPA
pada balita antara 25-40% yang dirawat jalan dan 12-35% yang dirawat di
rumah sakit (Lubis,I, 1990). Prevalensi ISPA pada balita yaitu >35% diikuti
dengan usia 5-14 tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).
Balita lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan penyakit lain
seperti AIDS, malaria dan campak. Setiap tahun di dunia diperkirakan lebih dari 2
juta balita meninggal karena pneumonia atau dengan kata lain terdapat 1 balita
1
yang meninggal karena ISPA tiap 15 detik dari 9 juta total kematian balita.
Bahkan karena besarnya kematian ISPA, maka ISPA atau pneumonia disebut
sebagai pandemik yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children
(UNICEF, 2006 dalam Pramayu, 2012).
Pada Konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia, pada
Juli 1997 mengatakan bahwa empat juta balita di negara-negara berkembang
meninggal tiap tahun akibat ISPA. Di Indonesia, kematian balita akibat ISPA
menduduki peringkat terbesar. Pada tahun 2000, diperkirakan kematian akibat
pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia mencapai lima kasus di
antara 1.000 bayi atau balita. Pneumonia menyebabkan 150.000 bayi atau balita
meninggal tiap tahun, atau 12.500 bayi atau balita tiap bulan, atau 416 kasus
sehari, atau 17 bayi atau balita tiap 1 jam, atau seorang bayi atau balita tiap lima
menit (Siswono, 2007 dalam Putri, 2012).
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah
25,5% dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka
nasional. Jawa Barat hampir mendekati angka prevalensi nasional dengan
prevalensi sebesar 24,73%. Oleh sebab itu perlu adanya tindakan preventif atau
perbaikan agar angka kejadian ISPA menjadi menurun.
Profil kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012 menunjukkan bahwa ISPA
menduduki peringkat pertama terbanyak untuk kelompok umur 0-28 hari, 1-4
tahun dan 5-44 tahun. Berdasarkan data penyakit dari Puskesmas Citeureup tahun
2013 menunjukkan bahwa penyakit ISPA menduduki peringkat pertama
2
terbanyak pada kelompok balita. Studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa
banyak balita yang mengalami batuk, pilek, dan sakit tenggorokan yang
merupakan gejala dari ISPA.
Berbagai faktor yang menyebabkan ISPA adalah lingkungan dan host.
Menurut berbagai penelitian sebelumnya faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan ISPA adalah kualitas udara (Layuk, 2012). Kualitas udara
dipengaruhi oleh seberapa besar pencemaran udara. Pencemaran udara adalah
terkontaminasinya udara, baik dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan
(Outdoor), dengan agen kimia, fisik, atau biologi yang telah mengubah
karakteristik alami dari atmosfer. Setiap tahun diperkirakan terdapat 200 ribu
kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan dimana 93%
kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003 dalam Gertrudis, 2010).
Contoh dari pencemaran udara luar (Outdoor) adalah pencemaran yang
ditimbulkan dari proses industri. Salah satu industri yang terletak di Desa
Citeureup, Bogor, Jawa Barat adalah industri semen. Industri semen adalah
industri yang sebagian besar proses produksinya berupa pengecilan ukuran
material dan pembakaran sehingga mempunyai resiko terhadap pencemaran
lingkungan jika tidak ada pengelolaan lingkungan (Gertrudis, 2010).
Industri menghasilkan berbagai pencemar seperti TSP, NOx dan SOx. Zat
pencemar TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88% dalam
pencemaran udara. Konsentrasi terbesar yang dihasilkan oleh industri adalah SOx
3
(Ali, 2007). Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara
kejadian ISPA dengan SO2, (Sakti, 2012).
Zat pencemar SOx menimbulkan dampak terhadap manusia sebesar 0,5
ppm. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem
pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi
pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm (Depkes, 1999).
Pada kondisi temperatur ataupun tekanan tertentu pencemar bahan padat
atau cair dapat berubah menjadi gas. Baik partikel maupun gas membawa akibat
terutama bagi kesehatan manusia seperti debu batubara, asbes, semen, belerang,
asap pembakaran, uap air, gas sulfida, uap amoniak, dan lain-lain. Arah angin
mempengaruhi daerah pencemaran karena sifat gas dan partikel yang ringan dan
mudah terbawa (Arief, L.M, 2010).
Selain pencemaran udara luar ruangan (Outdoor), pencemaran udara dalam
ruangan (Indoor) juga mempunyai peran terhadap terjadinya ISPA pada balita.
Beberapa pencemaran udara dalam ruangan adalah anggota keluarga yang
mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk
bakar, dan penggunaan kayu bakar untuk bahan bakar memasak (Layuk, 2012).
Anggota keluarga yang mengalami ISPA mempunyai peran terhadap
penularan ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan balita masih mempunyai daya
tahan tubuh yang rendah. Cara penularan ISPA melalui udara yaitu jika penderita
4
batuk atau bersin dan tidak ditutup menggunakan tangan atau sapu tangan maka
akan menyebabkan virus menyebar di dalam ruangan (Gertrudis, 2010).
Kebiasaan merokok anggota keluarga menyebabkan balita sebagai perokok
pasif menjadi terpajan asap rokok. Terdapatnya seorang perokok atau lebih akan
meningkatkan resiko anggota keluarga untuk mengalami gangguan pernapasan.
Jumlah perokok di Indonesia semakin banyak sehingga akan menambah jumlah
penderita gangguan kesehatan akibat merokok atau menghirup asap rokok. Dari
hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar penderita ISPA berasal dari
lingkungan yang didalamnya terdapat anggota keluarga merokok (Agussalim,
2012).
Penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan salah satu dari penyebab
pencemaran di dalam rumah. Obat anti nyamuk terdiri atas bermacam-macam
jenis, diantaranya adalah obat anti nyamuk bakar, semprot, oles, Obat anti
nyamuk yang dapat menimbulkan resiko terbesar pada saluran pernapasan adalah
obat anti nyamuk bakar. Berdasarkan penelitian, penggunaan obat anti nyamuk
bakar memiliki resiko 5,89 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan
responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar (Halim, 2012).
Penyebab pencemaran dalam rumah lainnya adalah bahan bakar memasak.
Jenis bahan bakar yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan kayu bakar
karena menghasilkan lebih banyak asap dibandingkan dengan bahan bakar yang
menggunakan gas atau listrik. Kejadian ISPA lebih banyak karena pencemaran
udara oleh asap bahan bakar untuk memasak di dalam rumah yang tidak
5
memenuhi syarat dibandingkan dengan pencemaran udara oleh asap bahan bakar
untuk memasak didalam rumah yang memenuhi syarat (Citra, 2012).
Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan ISPA selain pencemaran
udara adalah faktor kekebalan balita itu sendiri. Kekebalan balita dipengaruhi
oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status
gizi.
Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan salah satu faktor
terjadinya ISPA. Efek protektif dari ASI cenderung menurunkan angka kesakitan
pada balita yang diberi ASI khususnya pada bulan-bulan awal kelahiran.
Berdasarkan penelitian, kejadian ISPA 4 kali lebih besar pada balita yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI
Eksklusif (Widarini, 2009).
Imunisasi merupakan upaya untuk menurunkan mortalitas akibat ISPA
pada balita. Sebagian besar kematian akibat ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak. Pemberian imunisasi campak yang efektif sekitar 11%
pneumonia pada balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) dapat
mencegah kematian akibat pneumonia sekitar 6% (Agussalim, 2012).
Bayi yang lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki daya
tahan tubuh rendah karena sistem pertahanan tubuhnya belum sempurna. Bayi
BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan yang belum sempurna. Penelitian
6
terdahulu mengatakan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian
ISPA (Layuk, 2012).
Faktor kekebalan balita lainnya adalah status gizi. Balita yang mempunyai
gizi kurang akan mudah terkena ISPA daripada balita yang mempunyai gizi baik.
Penelitian terdahulu mengatakan bahwa kejadian ISPA berulang lebih banyak
pada balita dengan status gizi kurang (Sukmawati, 2010).
Berdasarkan uraian diatas, ISPA disebabkan oleh pencemaran udara.
Outdoor pollution merupakan faktor penyebab ISPA di negara berkembang. Salah
satu penyebab adanya pencemaran udara luar ruangan adalah dari aktivitas
industri. Zat pencemar udara yang terbesar akibat industri adalah SO2. Penyebab
terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat
konsentrasi SO2 di masing-masing zona lokasi penelitian yang dinginkan. Namun
juga diperhatikan penyebab dari lingkungan dalam rumah (anggota keluarga yang
mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk
bakar, dan bahan bakar memasak) dan faktor kekebalan balita (ASI Eksklusif,
imunisasi, BBLR dan status gizi) yang berpotensi menyebabkan balita terkena
ISPA.
Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,
anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, bahan bakar
memasak, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA.
7
1.2.Rumusan Masalah
Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa banyak balita yang
mempunyai resiko terhadap ISPA. Faktor penyebab ISPA diantaranya disebabkan
oleh pencemaran udara baik itu pencemaran udara luar (Outdoor) maupun
pencemaran udara dalam (Indoor). Penelitian mengenai pencemaran udara luar
yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara PM10 dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara luar tidak hanya
disebabkan PM10, namun juga disebabkan oleh konsentrasi SO2. Zat pencemar
SO2 diduga berasal dari hasil kegiatan industri dan transportasi yang berada di
Desa Citeureup. Selama ini belum pernah ada penelitian mengenai hubungan
antara konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA di wilayah tersebut. Selain itu
faktor lain penyebab ISPA adalah pencemaran udara dalam ruangan. Pencemaran
udara dalam rumah yang dapat menyebabkan ISPA meliputi anggota keluarga
yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti
nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak. Faktor
kekebalan balita juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Faktor
kekebalan balita dapat ditentukan oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status
gizi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah terdapat
hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,
anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar,
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, ASI Eksklusif, imunisasi,
BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup.
8
1.3.Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA?
2. Apakah ada hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota
keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi,
BBLR dan status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di
Desa Citeureup tahun 2014?
1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA di Desa
Citeureup Tahun 2014.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA.
2. Mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi
SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga
yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti
nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi)
dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di Desa
Citeureup tahun 2014.
9
1.5.Manfaat
1.5.1. Bagi Instansi Pemerintah
Dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan kebijakan perencanaan
dan pembangunan daerah sehingga tidak terjadi dampak negatif yang
merugikan masyarakat.
1.5.2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
mengenai faktor penyebab ISPA pada balita.
1.5.3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman dan wawasan kepada
peneliti mengenai faktor gejala ISPA pada balita. Penelitian ini juga
dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa
ditempat lain, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang
lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau di
wilayah lain.
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota
keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk
bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi)
10
dengan variabel
dependen (gejala ISPA) pada masyarakat yang tinggal di Desa Citeureup.
Penelitian ini dilaksanakan Maret-April 2014. Sasaran penelitian ini adalah
balita.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional. Pengukuran SO2 dalam pengumpulan data primer menggunakan alat
midget impinger. Data-data riwayat ISPA dan karakteristik individu
menggunakan kuesioner.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti
sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan
pleura (Kementerian Kesehatan, 2009).
Pengertian lain dari ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang
menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih
14 hari. ISPA meliputi struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan
penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau
berurutan (Muttaqin, 2008).
Penyakit saluran pernapasan pada umumnya dimulai dengan keluhan dan
gejala ringan. Gejala dan keluhan tersebut dapat menjadi lebih berat dan bila
semakin berat dapat mengalami kegagalan pernapasan dan mungkin dapat
meninggal. Angka mortalitas ISPA masih tinggi, sehingga perlu upaya agar
12
penyakit yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat ditolong
dengan cepat agar tidak mengalami kegagalan pernafasan (Depkes, 2009).
2.2. Klasifikasi ISPA
Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan
untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):
a. Golongan umur kurang 2 bulan:
1) Pneumonia berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah
atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan
yaitu 60 kali per menit atau lebih.
2) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
a) Kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume yang
biasa diminum.
b) Kejang.
c) Kesadaran menurun.
d) Stridor.
e) Wheezing.
f) Demam/dingin.
13
b. Golongan umur 2 bulan-5 tahun
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas.
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan -12 bulan= 50 kali per menit atau lebih.
b) Untuk usia 1-4 tahun= 40 kali per menit atau lebih.
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:
a) Tidak bisa minum.
b) Kejang.
c) Kesadaran menurun.
d) Stridor.
e) Gizi buruk.
Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA dalam 3 kategori, yaitu:
2.2.1. ISPA ringan
Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak
ada nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada
dalam. Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
14
gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan
suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam
(suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke
puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah.
2.2.2. ISPA sedang
Tanda dan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari
39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mendengkur. Seseorang
dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan
disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah,
timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga
sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti
mendengkur.
2.2.3. ISPA berat
Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi
cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari
membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika
ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala
yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada
waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan
berbunyi mendengkur atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga
tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per
menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah.
15
2.3. Gejala ISPA
a. Anak umur 2 bulan sampai umur kurang dari 5 tahun ditandai dengan:

Batuk atau juga disetai dengan kesulitan bernapas.

Napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke
dalam (severe chest indrawing).

Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.
Pada kelompok ini dikenal dengan Pneumonia atau ISPA sangat
berat dengan gejala batuk dan kesulitan bernapas karena tidak
ada ruang tersisa untuk oksigen di paru-paru.
b. Anak dibawah 2 bulan, ditandai dengan:

Frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih

Penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam
Jika bayi bernapas dengan bantuan ventilator maka akan tampak
bahwa jumlah lendir meningkat, kadang-kadang disertai dengan
naik dan turunnya suhu tubuh.
Tanda dan gejala lainnya antara lain:

Batuk

Ingus

Suara napas lemah

Demam

Sakit kepala
16

Sesak napas

Menggigil (Misnadiarly, 2008)
2.4. Penyebab ISPA
Patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus. Menurut
Dirjen P2PL (2009) dan Depkes (2004), dalam Sinaga (2012), penyebab ISPA
terdiri dari 300 jenis bakteri dan virus. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari
genus
Streptococcus,
Staphylococcus,
Pneumococus,
Haemophylus,
Bordetella, dan Corynobacterium. Sedangkan virus penyebab ISPA seperti
pada
golongan
Mycovirus,
Adenovirus,
Coronavirus,
Pikornavirus,
Mycoplasma, dan Herpesvirus dan lain-lain.
Salah satu penyebab ISPA adalah asap pembakaran bahan bakar kayu
yang biasanya digunakan untuk memasak. Timbulnya asap dari bahan bakar
kayu ini menyebabkan batuk, sesak napas dan sulit untuk bernapas. Polusi
dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash,
Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen, dan Oxigen yang sangat berbahaya bagi
kesehatan (Depkes RI, 2002).
2.5.Cara Penularan ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh karena itu
penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease. Penularan melalui udara
yang dimaksud adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan
17
penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan
melalui udara dapat juga menular melalui kontak langsung, namun tidak
jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghirup
udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab
ISPA. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk
mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien
(Alsagaff dan Mukty, 2010).
2.6.Diagnosa ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan atas dapat didiagnosis melalui gejala
seperti batuk yang disertai atau tanpa demam, hidung yang mampet atau
berlendir, sakit tenggorokan, dan/atau gangguan telinga. Sedangkan gejala
klinis dari infeksi saluran pernapasan bawah sama seperti gejala pada saluran
pernapasan atas tetapi ditambah dengan gejala bernapas cepat dan berat
(Ambrose, 2005 dalam Sakti, 2010).
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan
sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).
Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu
frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan
18
penderita pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran
bernafas yang disertai dengan gejala tidak sadar atau tidak dapat minum. Pada
klasifikasi pneumonia maka diagnosisnya batuk pilek biasa (common cold)
pharyngitis, tonsillitis, otitis, atau penyakit non pneumonia lainnya (Halim,
2000).
2.7.Pencegahan ISPA
Upaya pencegahan ISPA tidak mudah namun tetap harus dilakukan.
Beberapa upaya pencegahannya adalah:
 Meningkatkan daya tahan tubuh
 Segera diobati jika terkena ISPA
 Tempat tinggal harus mempunyai ventilasi yang baik (Aditama, 2005
dalam Sukandarrumidi, 2010).
2.8.Mekanisme terjadinya ISPA
Penyebab ISPA terkait dengan tidak berfungsinya silia (rambut-rambut
halus) yang terdapat dalam sistem pernapasan. Jika silia rusak maka kotoran
akan masuk ke dalam sistem pernapasan bersama dengan udara. Kejadian ini
menunjukkan bahwa tidak ada proses penyaringan sehingga berujung pada
infeksi (Media Informasi Kesehatan Indonesia,2013).
Secara umum efek dari pencemaran udara terhadap saluran pernapasan
dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan
dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang
19
menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran
pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda
asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal
ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Media Informasi
Kesehatan Indonesia, 2013).
2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA
2.9.1. Karakteristik Balita
1. Umur
ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah
5 tahun dan 30 persen anak berusia 5 sampai 12 tahun (Rahajoe dkk,
2008). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan
pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun
dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003).
2. Jenis kelamin
Faktor resiko penyebab ISPA adalah jenis kelamin. Balita
yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai resiko lebih besar untuk
mengalami ISPA daripada balita dengan jenis kelamin perempuan
(Irianto, 2006).
20
3. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan menunjukkan adanya hubungan dengan
kejadian dan kematian ISPA. Kurangnya pengetahuan menyebabkan
sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati
(Pramayu, 2012).
4. Status gizi
Penyakit infeksi di berbagai Negara masih merupakan
penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun.
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk mempermudah dan
mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Gizi
adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat
yang
tidak
digunakan
untuk
mempertahankan
kehidupan,
pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan
energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan
terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan
sistem kekebalan tubuh. Balita yang mengalami gizi kurang akan
lebih mudah terkena penyakit ISPA karena daya tahan tubuh akan
berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami gizi kurang,
21
balita cenderung mengalami ISPA berat dan serangannya lebih lama
(Depkes RI, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) dan Gertrudis
(2010) memberikan hasil bahwa status gizi mempunyai hubungan
dengan resiko ISPA.
5. Berat Badan Lahir Rendah
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu
berat lahir <2.500 gram. Rosdy dkk (2005) dalam Pramayu (2012)
menyatakan bahwa di negara berkembang, kematian akibat
pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22 persen
kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.
6. Status ASI Eksklusif
ASI mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia terutama
selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih
rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI
paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17
kali lebih rentan mengalami perawatan di Rumah Sakit akibat
pneumonia dibandingkan dengan bayi
(Webster,M & Fransisca., H, 2010)
22
yang mendapat
ASI
ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi
dari penyakit infeksi, ASI mengandung rangkaian asam lemak tak
jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi.
Pada penelitian Rahayu, (2011) terdapat hubungan antara bayi yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.
Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif
terhadap kejadian ISPA yaitu pada penelitian Sinaga (2012) bahwa
ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur
0-4 bulan.
7. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang
terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari
penyakit infeksi tertentu. Imunisasi pada balita diberikan untuk
menjaga kesehatan balita dimana cenderung mudah terkena berbagai
macam penyakit. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir hingga
umur 5 tahun (Depkes, 2005). Untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA diupayakan imunisasi lengkap. Bayi
dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi
lebih berat. Oleh karena itu beberapa vaksin yang harus dilengkapi
bagi anak untuk menghindari berbagai penyakit yakni :
23
a) Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara
suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG
dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada
tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung
pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan
yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam
akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk
menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C
(Depkes RI, 2005).
b) Vaksinasi DPT
Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah
dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan
toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri
bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml
diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang
berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu.
Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada.
Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat
penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang
24
terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang
berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin
DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).
c) Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio
oral yang mengandung virus polio yang mengandung virus polio
tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut
pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu
pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005).
d) Vaksinasi Campak
Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah
dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang
harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia
sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan
dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Di negara
berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal
dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum
terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi
lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan
25
yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat
menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak,
sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan
kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai
anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005).
1.9.2. Lingkungan Fisik Rumah
1.Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama
adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.
Hal ini berarti O2 yang diperlukan oleh penghuni tersebut tetap terjaga.
Menurut Slamet (2002) dalam Chahaya (2004) ruangan dengan
ventilasi tidak baik jika dihuni seseorang akan mengalami kenaikan
kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit karena
uap pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marvin
(2002) dalam Chahaya (2004) yang menyatakan ada hubungan antara
ventilasi dengan kejadian ISPA.
2. Lantai rumah
Lantai sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga tidak
mudah menimbulkkan debu, mudah dibersihkan dan dikeringkan.
Lantai yang baik adalah lantai yang dibuat kedap air, dapat terbuat dari
26
keramik, ubin, atau semen yang kedap atau kuat. Lantai tanah atau
semen yang rusak dapat menimbulkan debu (Kusnoputranto, 2000).
Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan
menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme di
dalam rumah dan juga dapat mengeluarkan debu. Untuk melindungi
penghuni rumah terutama balita yang mempunyai daya tahan tubuh
rendah dari penyakit berbasis lingkungan maka diperlukan jenis lantai
yang kedap air dan mudah dibersihkan (Depkes RI, 2002)
3. Dinding rumah
Dinding juga harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak
mudah menimbulkan debu. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman
bambu, anyaman daun rumbia, atau kayu masih dapat ditembus udara,
sehingga dapat memperbaiki ventilasi, namun sulit untuk menjaga
kebersihannya dari debu yang menempel dan tumbuh berkembangnya
mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem
pernapasan. Dinding yang paling aman dan mudah dibersihkan adalah
yang terbuat dari tembok plesteran (bersifat kedap air) (Sanropie dkk,
1991 dalam Irianto 2006).
4. Kepadatan hunian
Menurut Sinaga (2011) dalam penelitiannya di Jakarta Utara
menemukan bahwa kepadatan hunian mempunyai hubungan dengan
27
resiko ISPA. Penelitian yang mendukung lainnya adalah berdasarkan
hasil penelitian Chahaya (2004), kepadatan hunian rumah dapat
memberikan resiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
5. Suhu Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan
(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa suhu ruangan
berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
6. Kelembaban
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan
(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban
ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
1.9.3. Pencemaran Udara
Definisi pencemaran udara menurut beberapa sumber yaitu:
a. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi
dari komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara
ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (Peraturan Pemerintah 41
Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran udara).
28
b. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia,
sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia (Kepmenkes
No.1407/MENKES/SK/XI/ 2002 Tentang Pedoman Pengendalian
Dampak Pencemaran Udara).
c. Pencemaran udara adalah kontaminasi pada lingkungan dalam ruangan
(indoor) atau luar ruangan (outdoor) oleh bahan-bahan kimia, fisik,
ataupun biologi yang dapat mengubah karakteristik alamiah dari
atmosfer (WHO, 2012 dalam Halim, 2012).
1.9.3.1. Pencemaran Udara Luar Ruangan
1. Zat Pencemar SO2
Karakteristik SO2
Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok
sulfur oksida atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur
trioksida (SO3). SO2 berpotensi besar untuk berpindah ke
tempat yang lebih jauh (lebih dari 500-1000 km karena waktu
tinggalnya di atmosfer hanya beberapa hari (Wardhana,
2004).
Pencemar SO2 memberikan efek negatif pada sistem
pernapasan
dan
fungsi
29
paru-paru.
Peradangan
yang
disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir
yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis
serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi
pada saluran pernapasan (WHO, 2005).
Rute pajanan SO2 ke tubuh manusia yang utama
adalah melalui inhalasi. Pencemar SO2 mudah larut dalam air
sehingga dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian
besar juga ke saluran pernapasan (Satriyo, 2008).
Baku Mutu SO2
Nilai baku mutu SO2 dalam udara ambien berdasarkan
WHO adalah rata-rata per 24 jam 20 µg /m3 atau 0,008 ppm
dan rata-rata per 10 menit 500 µg /m3 atau 0,2 ppm. Baku
mutu SO2 dalam udara ambien di Indonesia mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara yaitu 900 µg /m3.
2. Zat Pencemar NO2
Karakteristik NO2
Nitrogen dioksida (NO2) adalah salah satu dari
kelompok polutan NOx. Nitrogen dioksida adalah gas toksik,
kelarutannya dalam air rendah, tetapi mudah larut dalam
30
alkali, karbon disulfide dan kloroform. Gas ini berwarna
coklat kemerahan dan pada suhu dibawah 21,2oC akan
berubah menjadi cairan berwarna kuning. Baunya khas dan
mengganggu bahkan dapat mengiritasi saluran napas pada
konsentrasi 1-3 ppm (Handayani dkk, 2003).
Pajanan nitrogen dioksida dapat berpengaruh pada
saluran pernapasan. Bukti ilmiah bahwa pajanan NOx selama
30 menit hingga 24 jam akan memberikan dampak yang
merugikan bagi pernapasan yaitu inflamasi atau peradangan
saluran napas pada orang sehat dan peningkatan gejala pada
penderita asma. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi NO2
dengan peningkatan kunjungan rumah sakit dan UGD yang
berkaitan dengan penyakit pernapasan terutama asma (U.S.
Environmental Protection Agency, 2010).
Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan
saluran pernapasan kemudian dapat masuk ke peredaran darah
dan menimbulkan akibat di organ tubuh lain. Kelarutan NO2
dalam air rendah sehingga dapat mudah melewati trakea,
bronkus, dan mencapai alveoli. Di dalam saluran pernapasan
NO2 akan terhidrolisis membentuk asam nitrit (HNO2) dan
31
asam nitrat (HNO3) yang bersifat korosif terhadap mukosa
permukaan saluran napas (Handayani dkk, 2003).
Baku Mutu NO2
Baku mutu NO2 dalam udara ambient berdasarkan WHO
adalah rata-rata tahunan 40 µg/m3 atau 0,016 ppm dan ratarata per
jam 200 µg/m3 atau 0,08 ppm (WHO,2005). Di
Indonesia baku mutu NO2 dalam udara ambient mengacu
pada peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pencemaran Udara yaitu 400 µg/m3.
3. Zat Pencemar PM10
Karakteristik PM10
PM10 adalah partikulat padat atau cair yang melayang
di udara dengan nilai median ukuran diameter serodinamik
kurang dari 10 mikron. Partikulat ukuran kurang dari 10
mikron mempunyai beberapa nama lain yaitu PM10 sebagai
inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan
inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang
dapat diinhalasikan (inhalable) (Gertrudis, 2010).
32
Baku Mutu PM10
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun
1999 tentang pengendalian pencemaran udara, baku mutu
udara ambient nasional selama 24 jam untuk PM10 adalah
sebesar 150 µg/m3.
1.9.3.2.Pencemaran Udara Dalam Ruangan
1. Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA
Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya
berbentuk aerosol yaitu suspensi yang melayang di udara
(Gertrudis, 2010).
Menurut
Roe (1994) dalam Gertrudis (2010),
keberadaan penderita ISPA serumah menyebutkan bahwa
adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan
merupakan faktor resiko batuk pilek pada balita.
2. Anggota Keluarga yang Merokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga
perokok pasif. Penelitian yang dilakukan oleh Gertrudis
(2010) dan memberikan hasil bahwa asap rokok mempunyai
hubungan dengan resiko ISPA. Anak-anak yang keluarganya
33
terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguang
pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga
perokok.
3. Bahan Bakar Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak seharihari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak.
Menurut Chahaya (2004) bahan bakar memasak dapat
menyebabkan resiko ISPA.
Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk
kegiatan memasak sehari-hari adalah minyak tanah, kayu, gas,
dan listrik. Pada daerah pedesaan masih sering dijumpai
rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai sumber
energi utama karena mudah didapat. Namun, kayu bakar dan
minyak tanah dapat mencemari udara dan mengganggu
kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya mengandung
partikulat (PM10 , PM2,5), sulfur oksida, nitrogen oksida,
karbon
monoksida,
fluorida,
aldehida,
hydrocarbon (Kusnoputranto, 2000).
34
dan
senyawa
4. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar
Penggunaan anti nyamuk bakar sebagai alat untuk
menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan
saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak
sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan
merusak
mekanisme
pertahanan
paru-paru
sehingga
mempermudah timbulnya gangguan pernafasan (Chahaya,
2004).
Menurut penelitian Wattimena (2004), menyatakan
bahwa rumah yang menggunakan obat anti nyamuk bakar
berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,1 kali
dibandingkan dengan rumah balita yang tidak menggunakan
obat anti nyamuk bakar.
2.10. Kerangka Teori
Berdasarkan teori dan tinjauan pustaka, maka didapat suatu kerangka
teori. Kerangka teori ini dimulai dengan adanya pajanan berupa agen-agen di
lingkungan. Udara yang sudah mengandung agen tersebut kemudian masuk ke
dalam tubuh manusia melalui proses inhalasi, dengan dipengaruhi berbagai
faktor seperti faktor lingkungan, dan faktor karakteristik balita yang dapat
menyebabkan ISPA.
35
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA yang menyerang saluran
pernapasan dimulai dari hidung sampai alveoli tidak hanya disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti bakteri tapi juga disebabkan oleh pencemaran udara..
ISPA akibat polusi udara adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor resiko polusi
udara, seperti asap rokok, asap bahan bakar memasak di rumah tangga, asap
transportasi, industri, dan lain-lain (Depkes, 2009).
Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara luar ruangan
dan pencemaran udara dalam ruangan. Faktor penyebab ISPA yang berasal dari
pencemaran udara luar ruangan misalnya pencemaran yang disebabkan oleh
adanya suatu industri. Salah satu industri yang menghasilkan pencematan udara
adalah industri semen. Industri semen dalam proses produksinya menghasilkan
SO2, NO2 dan PM10.
Selain pencemaran udara luar ruangan, pencemaran dalam ruangan juga
mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ISPA. Pencemaran udara dalam
ruangan misalnya adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota
keluarga merokok, bahan bakar merokok, penggunaan anti nyamuk bakar.
Selain pencemaran udara, lingkungan fisik rumah juga mempengaruhi
terjadinya ISPA. Diantaranya adalah ventilasi, lantai rumah, dinding rumah, atap
rumah, dan kepadatan hunian. Faktor penyebab ISPA lainnya adalah
karakteristik balita yang dapat dillihat dari umur, jenis kelamin, pendidikan
orang tua, dan status gizi, BBLR, ASI eksklusif, dan imunisasi.
36
Indoor Air Pollution
 Anggota keluarga yang
mengalami ISPA
 Anggota keluarga merokok
 Bahan bakar memasak
 Penggunaan anti nyamuk
bakar
Outdoor Air Pollution
 SO2
 NO2
 PM10
Lingkungan Fisik Rumah:





Ventilasi
Lantai rumah
Dinding rumah
Atap rumah
Kepadatan hunian
ISPA
Karakteristik balita:







Umur
Jenis kelamin
Pendidikan orang tua
Status gizi
BBLR
ASI Eksklusif
Imunisasi
Gambar 2.1. Kerangka Teori
37
BAB IIII
KERANGKA KONSEP
Pengukuran SO2 dilakukan 1 kali sampling udara pada posyandu di masingmasing RW Desa Citeureup. Desa Citeureup mempunyai 8 RW yang terdapat
posyandu sehingga pengambilan sampel udara dilakukan sebanyak 8 kali.
3.1. Kerangka Konsep
Pencemaran udara yang terus menerus dan terbawa angin ke
permukiman masyarakat dapat mengakibatkan ISPA. Pencemaran udara dibagi
menjadi 2 yaitu pencemaran udara dalam ruangan dan pencemaran udara luar
ruangan.
Sistem
Pemantauan
Lingkungan Global
yang disponsori PBB
memperkirakan bahwa 70% penduduk kota di dunia hidup dengan partikel yang
mengambang di udara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO. Sebagian
benda partikulat keluar dari cerobong asap pabrik yang dapat berpengaruh
terhadap kesehatan. Partikel-partikel halus ini dapat menembus bagian terdalam
paru-paru yang dapat mengganggu sistem pernafasan. Sebagian besar partikel
halus ini terbentuk dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan nitrogen
dioksida (Moore, 2007 dalam Gertrudis, 2010).
Pencemaran udara luar ruangan di Desa Citeureup dapat disebabkan
oleh aktivitas dari industri. Pencemaran udara akibat industri yang terbesar
38
adalah SO2. Dalam penelitian Sakti (2010) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara ISPA dengan udara ambien (SO2, NO2, dan TSP).
Selain pencemaran udara luar, pencemaran udara dalam rumah juga
mempunyai resiko untuk mengakibatkan ISPA. Faktor penyebab pencemaran
udara di dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA, asap
rokok, penggunaan kayu bakar untuk memasak, dan penggunaan obat anti
nyamuk bakar.
Efek dari pencemar udara terhadap saluran pernapasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang
menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran
pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda
asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini
akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan.
Infeksi saluran pernafasan terjadi tidak hanya karena faktor pencemaran
udara, namun faktor kekebalan balita juga mempunyai peran penting dalam
mencegah ISPA. Faktor yang mempengaruhi kekebalan balita diantaranya
adalah ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR, dan status gizi.
Oleh karena itu variabel yang ingin diteliti adalah SO2, anggota keluarga
yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan kayu bakar
sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI
39
Eksklusif, BBLR, imunisasi dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di
Desa Citeureup tahun 2014.









SO2
Anggota keluarga yang
mengalami ISPA
Anggota keluarga merokok
Bahan Bakar Memasak
Penggunaan obat anti nyamuk
bakar
ASI Eksklusif
Imunisasi
BBLR
Status Gizi
Gejala ISPA
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
40
3.2. Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Skala Ukur
Kategori
Variabel Dependen
1.
Gejala
Gejala ISPA yang dilihat dari gejala-
Kuesioner mengenai
ISPA
gejala ispa pada balita yaitu batuk (lebih
riwayat ISPA
dari 5 kali sehari), pilek, sakit
dengan wawancara
Kuesioner
1.ya
Ordinal
2.tidak
tenggorokan, tidak bisa (tidak mau)
minum/menelan, batuk dahak/lendir,
sakit telinga (berair/nanah), demam,
sesak nafas/nafas cepat/nafas terputus
Variabel Independen
2.
Konsentrasi
Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di
Pengukuran
SO2
Desa Citeureup bulan April tahun 2014 menggunakan
midget
µg/m3
Rasio
impinger
midget impinger
3.
Anggota
Anggota keluarga balita yang tinggal
Kuesioner mengenai
keluarga
serumah dengan balita dan menderita
riwayat ISPA pada
yang
gejala ISPA seperti batuk (lebih dari 5
anggota keluarga
mengalami
kali sehari), pilek, sakit tenggorokan,
yang tinggal serumah
ISPA
batuk dahak/lendir, sakit
dengan balita dengan
telinga,demam, sesak nafas
wawancara
41
Kuesioner
1.ya
2.tidak
Ordinal
No
4.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Anggota
Terdapatnya anggota keluarga, baik
Kuesioner mengenai
keluarga
ayah, kakak ataupun yang lainnya
angggota keluarga
merokok
yang merokok.
yang merokok
Alat Ukur
Kuesioner
Skala Ukur
1.ya
Kategori
Ordinal
2.tidak
dengan wawancara
5.
Bahan bakar
Jenis bahan bakar yang digunakan
Kuesioner mengenai
Kuesioner
1. Menyebabkan
memasak
untuk memasak di rumah
penggunaan kayu
pencemaran
bakar dengan
udara
wawancara
bakar)
Ordinal
(kayu
2. Tidak
meyebabkan
pencemaran
udara
(gas,
listrik)
6.
7.
Penggunaan
Menggunakan obat anti nyamuk yang
Kuesioner mengenai
obat anti
dibakar untuk mencegah nyamuk
penggunaan obat anti
nyamuk
nyamuk bakar
bakar
dengan wawancara
ASI
Memberikan ASI saja tanpa makanan
Kuesioner mengenai
Eksklusif
dan minuman lain kepada bayi sejak
ASI dengan
lahir sampai usia 6 bulan
wawancara
42
Kuesioner
1.ya
Ordinal
2.tidak
Kuesioner
1. Tidak
2. Ya
Ordinal
No
8.
9.
Variabel
Imunisasi
Definisi
Memberikan imunisasi (vaksinasi
Kuesioner mengenai
BCG, vaksinasi DPT, vaksinasi polio
imunisasi dengan
dan vaksinasi campak) secara lengkap
wawancara
BBLR (Berat
Berat badan bayi saat lahir kurang dari
Kuesioner mengenai
Badan Lahir
2500 gram
BBLR dengan
Rendah)
10.
Cara Ukur
Status Gizi
Alat Ukur
Kuesioner
Skala Ukur
1.Tidak
Kategori
Ordinal
Lengkap
2. Lengkap
Kuesioner
1. Ya
Ordinal
2. Tidak
wawancara
Keadaan gizi anak balita saat
Kuesioner mengenai
dilakukan penelitian diukur
status gizi dengan
berdasarkan BB/U.
wawancara
Gizi Lebih: Zscore > 2
Gizi Baik: Z score ≥ -2,0 s/d ≤ 2,0
Gizi Kurang: Z score ≥ -3,0 s/d ≤ -2,0
Gizi Buruk: Z score < -3,0
(Depkes RI, 2010)
43
Kuesioner
1. Gizi Kurang
2. Gizi Baik
Ordinal
3.3. Hipotesis
1. Ada hubungan antara variabel dependen (konsentrasi SO2, anggota keluarga
yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu
bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar,
ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan gejala ISPA pada
balita di Desa Citeureup tahun 2014.
44
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan
cross sectional study. Desain ini dianggap sesuai karena tujuan penelitian ini
salah satunya untuk melihat prevalensi (Murti, 2013). Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui hubungan konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok,
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti
nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala
ISPA pada balita di Desa Citeureup. Variabel konsentrasi SO2 diukur pada tiap
cluster yang diwakili oleh posyandu di masing-masing RW di Desa Citeureup,
sedangkan variabel lainnya diamati pada setiap balita dengan bantuan
kuesioner,
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Citeureup. Desa Citeureup termasuk dalam
wilayah kerja Puskesmas Citeureup. Luas wilayah kerja Puskesmas Citeureup
adalah 9,35 km2 dengan jumlah penduduk 204.028 jiwa. Desa Citeureup sendiri
memiliki batas wilayah geografis sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Kecamatan Gunung Putri
45
Sebelah Selatan : Desa Karangasem Timur dan Desa Tarikolot
Sebelah Barat
: Desa Karangasem Barat dan Desa Puspanegara
Sebelah Timur : Desa Gunung Sari dan Desa Tarikolot
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan bulan Maret-April 2014.
4.3. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah balita yang tinggal di Desa Citeureup. Balita
dipilih sebagai sampel karena balita sangat rentan untuk terkena gangguan
pernapasan atau ISPA.
Dalam penelitian ini, jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus
estimasi beda dua proporsi menurut Lemeshow (1997) adalah sebagai berikut:
Keterangan:
n
= Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok
α
= probabilitas menolak Ho, padahal Ho benar
(Dalam penelitian ini α = 5 %; Z 1-α/2 = 1,96)
β
= probabilitas kesalahan menerima Ho, padahal Ho salah
(Dalam penelitian digunakan β = 20 %; Z 1-β = 0,842 )
46
P1 dan P2 = Proporsi penelitian sebelumnya
P
= Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2))
Pada penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji
80%. Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan variabel yang akan diteliti yang
telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Sampel
Variabel
Anggota
P1
Keluarga
P2
N
yang 88,6%=0,886
48,1%=0,481
19 x 2 = 38
76,2%= 0,762
23,8%= 0,238
13 x 2 = 26
Bakar 82,6%= 0,826
17,4%= 0,174
8 x 2 = 16
Penggunaan Anti Nyamuk Bakar 85,7% = 0,857
14,3%= 0,143
6 x 2 = 12
Mengalami ISPA
Anggota Keluarga Merokok
Penggunaan
Bahan
Memasak
Imunisasi
64,9% = 0, 649 35,1% = 0,351
42 x 2 = 84
Status Gizi
74,5% = 0, 745 25,5% = 0, 255 15 x 2 = 30
Berdasarkan perhitungan sampel secara uji beda dua proporsi maka
didapatkan jumlah sampel yang diambil sebanyak 84 balita. Kemudian dari 84 balita
tersebut ditambah dengan 10% dari hasil perhitungan sampel, sehingga didapatkan 84
balita + 8 balita = 92 balita.
47
4.4. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel ditentukan berdasarkan metode cluster 2 tahap. Cluster
sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana pemilihannya mengacu
pada kelompok bukan pada individu. Cara seperti ini baik sekali untuk
dilakukan apabila tidak terdapat atau sulit menemukan kerangka sampel, meski
dapat juga dilakukan pada populasi yang kerangka sampelnya sudah ada
(Notoadmojo, 2010).
Tahap pertama adalah menentukan cluster dari Desa Citeureup. Dari
data sekunder yang diperoleh, terdapat 8 RW di Desa Citeureup yang
mempunyai posyandu. Posyandu ini yang akan dijadikan cluster dalam
penelitian. Sehingga dalam sampel penelitian ini terdapat 8 cluster, yaitu
posyandu Belimbing, posyandu Karya Mulya, posyandu Anggur, posyandu
Delima, posyandu Durian, posyandu Lengkeng, posyandu Karya Sari 2, dan
posyandu Karya Sari 1.

posyandu Belimbing = 150 balita

posyandu Karya Mulya = 300 balita

posyandu Anggur = 160 balita

posyandu Delima = 150 balita

posyandu Durian = 90 balita

posyandu Lengkeng = 111 balita

posyandu Karya Sari 2 = 160 balita
48

posyandu Karya Sari 1 = 280 balita
Tahap kedua adalah menentukan balita di masing-masing posyandu yang
akan dijadikan sampel dipilih secara random dengan proporsi balita di masingmasing posyandu sebagai berikut.

posyandu Belimbing = 150/1401 x 92 = 10 balita

posyandu Karya Mulya = 300/1401 x 92= 20 balita

posyandu Anggur = 160/1401 x 92= 10 balita

posyandu Delima = 150/1401 x 92= 10 balita

posyandu Durian = 90/1401 x 92= 6 balita

posyandu Lengkeng = 111/1401 x 92= 7 balita

posyandu Karya Sari 2 = 160/1401 x 92= 18 balita

posyandu Karya Sari 1 = 280/1401 x 92= 11 balita
4.5. Metode Penelitian Pengukuran
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan kuesioner dan
melakukan pengukuran konsentrasi SO2, dengan menggunakan midget
impinger.
Cara Pengukuran menggunakan midget impinger
Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:
 Midget Impinger/tabung penyerap
 Low Volume Air Sampler (LVAS)
 Pompa penghisap udara (Vaccum Pump)
49
Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:
 Absorber SO2
 Aquadest
 Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm
 Botol/wadah sample+penutupnya
 Plastik polietilen/PE
Prosedur:
1. Persiapan
Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2
 Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M
 Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800 mL
air suling ke dalam gelas piala 1000 Ml.
 Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan 0,066
gram EDTA (HOCOCH2)N(CH2COONa)2. 2H2O lalu aduk sampai
homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur, encerkan dengan air
suling sampai batas tera.
b. Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24 jam agar
mendapatkan kondisi stabil.
50
c. Filter kosong pada 1.a ditimbang sampai diperoleh berat konstan,
minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter sebelum
pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan filter sampel
(W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam plastic PE setelah
diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.
d. Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara
1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter harus
dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)
e. Masing-masing absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10
mL dan diberi kode.
2. Pengambilan sampel
1) Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang sudah
ditentukan.
2) Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara dengan
menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang flowmeter pada selang.
Pastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungan selang baik yang
berhubungan dengan LVAS dan midget impinger maupun ke pompa
penghisap udara.
3) LVAS diletakkan pada titik pengukuran.
4) Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan larutan
absorber (SO2) masing-masing 10 mL ke tabung midget impinger sesuai
dengan gas yang akan diuji.
51
5) Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan menggunakan
pinset dan tutup bagian atas holder.
6) Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan
pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow rate
1L/menit)
7) Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat dilakukan
selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan,
tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran).
8) Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).
9) Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke botol
sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat botol sampel dan
masing-masing diberi label (kode sampel, titik sampling, lokasi
sampling, hari, tanggal). Bilas kembali dengan aquades masing-masing
tabung pada midget impinger.
10) Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri label
pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling,
hari, tanggal, dan tenaga sampler).
11) Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar holder
dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.
12) Kemasi peralatan. Selanjutnya bawa sampel gas dan debu ke
laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam desikator
selama 24 jam.
52
Gambar 4.1. Peta Wilayah Desa Citeureup
(Sumber: Profil Desa Citeureup Tahun 2014)
4.6. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan
meliputi:
53
1. Data Editing
Menyunting data dilakukan sebelum proses memasukkan data. Proses
editing dilakukan setelah data terkumpul untuk mengecek jika ada data yang
salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada
responden/informan yang bersangkutan.
2. Data Coding
Coding dilakukan untuk mengklasifikasikan data dan memberikan kode
berupa angka sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Angka yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1 dan 2, angka 1 untuk jawaban yang
sesuai dengan ketentuan (ya) dan angka 2 untuk jawaban yang tidak
memenuhi ketentuan (tidak).
Dalam penelitian ini dinyatakan ISPA positif bila dalam 2 minggu
terakhir balita mengalami salah satu gejala:
1) Batuk, tanpa/disertai demam
2) Pilek, tanpa/disertai demam
3) Sesak napas, tanpa/disertai demam
4) Batuk, pilek, tanpa/disertai demam
5) Batuk, pilek, sesak napas, tanpa/ disertai demam
6) Batuk, sesak napas, tanpa/disertai demam
7) Pilek, sesak napas, tanpa/disertai demam
Dinyatakan ISPA negatif jika dalam 2 minggu terakhir balita tidak
mengalami batuk, pilek, dan sesak napas atau hanya mengalami demam saja.
54
3. Data Structure
Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan
dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat
mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu
ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit.
4. Data Entry
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau
fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah SPSS.
5. Data Cleaning
Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan yaitu
dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai
kelogisannya.
4.7. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data
menggunakan SPSS. Analisis dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat.
4.7.1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi
responden
untuk
setiap
variabel
yang
diteliti
dengan
cara
mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan melihat parameter frekuensi
dan persentase.
55
Analisis univariat dalam penelitian ini untuk semua variabel,
meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi
frekuensi, mean, nilai maksimun dan nilai minimun.
4.7.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Tujuan analisis bivariat dalam
penelitian ini adalah untuk melihat hubungan konsentrasi SO2, anggota
keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif,
imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA. Penelitian ini
menggunakan uji non parametrik Mann Whitney karena data numerik
dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal. Data numerik dalam
penelitian ini adalah konsentrasi SO2 dan data kategoriknya adalah
gejala ISPA.
Hubungan ISPA dengan anggota keluarga yang mengalami ISPA,
anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar untuk
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif,
imunisasi, BBLR, dan status gizi menggunakan uji beda proporsi (Uji
Chi-square) karena variabel dependen dan independennya kategorik.
56
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran frekuensi dari
setiap variabel dependen dan independen pada 92 balita di Desa Citeureup Tahun
2014.
5.1.1. Gambaran Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Desa
Citeureup
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan persentasi ISPA
pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut:
Tabel 5.1. Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA Balita
Mengalami ISPA
Tidak mengalami ISPA
Total
Frekuensi
71
21
92
Persentasi (%)
77,2
22,8
100
Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA
sebesar 71 balita (77,2 %) dan 21 balita (22,8 %) tidak mengalami ISPA.
5.1.2. Gambaran SO2 di Desa Citeureup
Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel SO2 di Desa
Citeureup sebagai berikut:
57
Tabel 5.2. Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Konsentrasi
Median
SO2
Konsentrasi
110
Nilai
Nilai
Min
Max
32
198
SO2 pada udara
ambient
Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan hasil analisis didapatkan
median konsentrasi SO2 di udara adalah 110 µg /m3. Konsentrasi SO2 di
udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.
5.1.3. Gambaran Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada variabel anggota
keluarga yang mengalami ISPA didapat data sebagai berikut :
Tabel 5.3. Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di
Desa Citeureup Tahun 2014
Anggota Keluarga ISPA
Ya
Tidak
Total
Frekuensi
25
67
92
Persentasi (%)
27,2
72,8
100
Tabel 5.3. menunjukkan bahwa sebanyak 25 rumah balita (27,2%)
yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA dan 67 rumah
balita (72,8) yang anggota keluarganya tidak mengalami ISPA.
58
5.1.4. Gambaran Anggota Keluarga yang Merokok
Hasil pengolahan data anggota keluarga yang merokok pada balita
di Desa Citeureup menunjukan presentase sebagai berikut :
Tabel. 5.4. Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita
di Desa Citeureup Tahun 2014
Anggota Keluarga yang
merokok
Merokok
Tidak Merokok
Total
Frekuensi
Persentasi (%)
77
15
92
83,7
16,3
100
Pada tabel 5.4. didapat presentase anggota keluarga balita yang
merokok sebanyak 77 (83,7 %) dan terdapat 15 anggota keluarga balita
(16,3 %) yang tidak merokok.
5.1.5. Gambaran Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa
Citeureup
Hasil perhitungan statistik menunjukkan presentase tempat
merokok anggota keluarga balita di Desa Citeureup sebagai berikut :
Tabel 5.5. Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga
Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Tempat Merokok
Di Dalam Rumah
Di Luar Rumah
Total
Frekuensi
46
31
77
Persentasi (%)
59,7
40,3
100
Pada tabel 5.5. menunjukkan bahwa sebanyak 46 rumah balita
(59,7 %) memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dan
59
31 rumah balita (40,3%) memiliki anggota keluarga yang merokok di
luar rumah.
5.1.6. Gambaran Jumlah Rokok yang Dikonsumsi Dalam Sehari
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, gambaran jumlah
rokok yang dikonsumsi dalam sehari di Desa Citeureup sebagai berikut :
Tabel. 5.6. Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari
di Desa Citeureup Tahun 2014
Jumlah
Mean
Median
SD
Nilai
Nilai
rokok
Jumlah rokok
8
6
5,27
Min
Max
1
32
yang
dikonsumsi
dalam sehari
Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata-rata jumlah rokok yang
dikonsumsi oleh anggota keluarga yang merokok adalah 8 batang, median
6, standar deviasi 5,27. Jumlah konsumsi rokok yang paling sedikit
adalah 1 batang dan terbanyak 32 batang.
5.1.7. Gambaran Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup
Dibawah ini presentase hasil perhitungan variabel bahan bakar
memasak di Desa Citeureup sebagai berikut :
60
Tabel 5.7. Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa
Citeureup Tahun 2014
Bahan Bakar Memasak
Kayu Bakar
Gas
Total
Frekuensi
8
84
92
Persentasi (%)
8,7
91,3
100
Tabel 5.7. menunjukkan bahwa terdapat 8 rumah balita (8,7%)
menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan 84 rumah balita
(91,3%) menggunakan bahan bakar gas.
5.1.8. Gambaran Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel penggunaan obat
anti nyamuk di Desa Citeureup sebagai berikut :
Tabel 5.8. Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada
Rumah Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Obat Anti Nyamuk
Memakai
Tidak Memakai
Total
Frekuensi
51
41
92
Persentasi (%)
55,4
44,6
100
Tabel 5.8. menunjukkan bahwa terdapat 51 rumah balita (55,4 %)
yang menggunakan obat anti nyamuk dan 42 rumah balita (44,6 %) yang
tidak menggunakan obat anti nyamuk.
5.1.9. Gambaran Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai
Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada variabel jenis obat anti
nyamuk yang dipakai di Desa Citeureup sebagai berikut :
61
Tabel 5.9. Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai
Desa Citeureup Tahun 2014
Jenis Obat Anti
Nyamuk
Obat Nyamuk Bakar
Oles / Listrik
Total
Frekuensi
Persentasi (%)
32
19
51
62,7
37,3
100
Tabel 5.9. menunjukkan bahwa dari 51 rumah balita yang
menggunakan obat anti nyamuk, terdapat 32 rumah balita (62,7 %)
menggunakan obat anti nyamuk bakar dan 19 rumah balita (37,3 %)
menggunakan obat anti nyamuk oles atau listrik.
5.1.10. Gambaran ASI Eksklusif pada Balita
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase ASI
Eksklusif pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut :
Tabel 5.10. Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ASI Eksklusif
Tidak
Iya
Total
Frekuensi
89
3
92
Persentasi (%)
96,7
3,3
100
Tabel 5.10. menunjukkan bahwa terdapat 89 balita (96,7 %) yang
tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan 3 balita (3,3 %) mendapatkan ASI
Eksklusif.
62
5.1.11. Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase alasan
balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif di Desa Citeureup sebagai
berikut :
Tabel 5.11. Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI
Eksklusif di Desa Citeurup Tahun 2014
Alasan Tidak Mendapatkan
ASI Eksklusif
ASI tidak mau keluar
Ibu yang bekerja
Bayi yang tidak mau menyusu
Ketidaktahuan ibu
Frekuensi
Persentasi (%)
13
11
15
89
14
12
16
100
Dari Tabel 5.11 dapat dilihat bahwa 100% ibu balita yang menjadi
responden tidak mengetahui pengertian dari ASI Eksklusif.
5.1.12. Gambaran Jenis Imunisasi Balita
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase jenis
imunisasi pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut :
Tabel 5.12. Distribusi Jenis Imunisasi pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
Jenis Imunisasi
Tidak Lengkap
Lengkap
Total
Frekuensi
28
64
92
Persentasi (%)
30,4
69,6
100
Tabel 5.12. menunjukkan bahwa sebanyak 28 balita (30,4 %)
belum mendapatkan imunisasi lengkap dan 64 balita (69,9 %) sudah
mendapatkan imunisasi lengkap.
63
5.1.13. Alasan Balita yang Tidak mendapatkan Imunisasi Lengkap
Tabel 5.13. Gambaran Balita yang Tidak Mendapat Imunisasi
Lengkap di Desa Citeureup Tahun 2014
Alasan Balita yang Tidak
Mendapat Imunisasi Lengkap
Balita sedang sakit saat jadwal
imunisasi
Ibu lupa jadwal imunisasi
Total
Frekuensi
Persentasi (%)
21
75
7
28
25
100
Dari tabel 5.13 dapat dilihat bahwa 75% ibu balita yang tidak
membawa anaknya untuk imunisasi dikarenakan balita sedang sakit saat
jadwal imunisasi.
5.1.14. Gambaran Berat Badan Lahir Rendah pada Balita
Hasil pengolahan data Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada
balita di Desa Citeureup menunjukan presentase sebagai berikut :
Tabel 5.14. Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014
Berat Badan Lahir
Rendah
Ya
Tidak
Total
Frekuensi
Persentasi (%)
21
71
92
22,8
77,2
100
Tabel 5.14. menunjukkan bahwa 21 balita (22,8 %) memiliki berat
badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram dan 71 balita (77,2 %)
lahir dengan berat badan normal atau lebih dari 2500 gram.
64
5.1.15. Gambaran Status Gizi Balita di Desa Citeureup
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase status
gizi pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut :
Tabel 5.15. Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
Status Gizi
Gizi Kurang
Gizi Baik
Total
Frekuensi
20
72
92
Persentasi (%)
21,7
78,3
100
Tabel 5.15. menunjukkan bahwa terdapat 20 balita (21,7%)
memiliki status gizi kurang dan 2 balita (2,2%) memiliki status gizi
baik. Penilaian status gizi didapat dari melihat Kartu Menuju Sehat yang
dimiliki oleh balita.
5.2.Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar
memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, Imunisasi, BBLR,
status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA pada Balita). Uji yang
digunakan adalah uji chi square dan non parametrik. Hasil hubungan variabel
independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat sebagai
berikut:
65
5.2.1. Hubungan Konsentrasi SO2 dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil uji statistik hubungan antara konsentrasi SO2 terhadap gejala
ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :
Tabel 5.16. Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Gejala
ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Konsentrasi SO2
N
Mean
p value
ISPA
71
125
0,032
Tidak ISPA
21
103
Hasil statistik yang didapat dari uji normalitas konsentrasi SO2
adalah tidak normal (p value<0,05) sehingga menggunakan uji Non
Parametrik yaitu uji Mann Whitney. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney,
diketahui rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang mempunyai
gejala ISPA adalah 125 µg/m3, sedangkan rata-rata konsentrasi SO2 pada
udara ambien yang tidak mempunyai gejala ISPA adalah 103 µg/m3. Dari
hasil uji statistik diperoleh p value sebesar 0,032, (p-value<0,05) sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 dengan
gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.
5.2.2. Hubungan Anggota Keluarga yang Terkena ISPA dengan Gejala
ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara anggota keluarga yang terkena
ISPA terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014
sebagai berikut :
66
Tabel 5.17. Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami
ISPA Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ISPA
Anggota
Total
Keluarga
ISPA
Tidak ISPA
PR
p value
ISPA
N
%
N
%
N
%
Ya
24 96,0
1
4
25 100
Tidak
47 70,1 20
29,9
67 100 1,369
0,019
Total
71 77,2 21
22,8
92 100
Pada Tabel 5.17 didapat hasil hubungan antara anggota keluarga
yang mengalami ISPA dengan gejala ISPA pada balita, sebanyak 24 dari
25 balita (96,0%) mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA
dan balita mengalami ISPA. Kemudian terdapat 20 dari 67 balita (29,9%)
tidak mempunyai anggota keluarga yang terkena ISPA dan balita tidak
mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value
0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara anggota keluarga yang mengalami ISPA terhadap gejala ISPA
pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Adanya anggota keluarga yang
mengalami ISPA mempunyai resiko untuk terjadinya ISPA 1,369 kali
lebih besar daripada tidak ada anggota keluarga yang mengalami ISPA.
5.2.3. Hubungan Anggota Keluarga Merokok dengan Gejala ISPA pada
Balita
Hasil analisis hubungan antara anggota keluarga yang merokok
terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai
berikut:
67
Tabel 5.18. Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok
Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ISPA
Anggota
Total
Keluarga
Tidak
ISPA
PR
p value
yang
ISPA
Merokok
N
%
N
%
N
%
Ya
61
79,2 16 20,8 77 100
Tidak
10
66,7
5
33,3 15 100 1,188
0,320
Total
71
77,2 21 22,8 92 100
Berdasarkan tabel 5.18. menunjukkan hasil analisis hubungan
antara angggota keluarga yang merokok dengan gejala ISPA pada balita
yaitu sebanyak 61 dari 77 (79,2%) anggota keluarga balita merokok dan
balita mengalami ISPA, serta terdapat 5 dari 15 (33,3%) anggota keluarga
balita tidak merokok dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil
uji chi square diperoleh p value 0,320 (p-value>0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang
merokok terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.
Adanya anggota keluarga yang merokok mempunyai resiko terjadinya
ISPA 1,188 kali daripada tidak ada anggota keluarga balita yang
merokok.
5.2.4. Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara bahan bakar memasak terhadap
gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :
68
Tabel 5.19. Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap
Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Bahan
Total
Tidak
Bakar
ISPA
PR
p value
ISPA
Memasak
N
%
N
%
N
%
Kayu Bakar
8
100
0
0
8
100
Gas
63
75
21
25
84
100 1,333
0,191
Total
71 77,2 21 22,8
92
100
Tabel 5.19 menunjukkan hasil analisis hubungan antara bahan
bakar memasak yang digunakan terhadap gejala ISPA pada balita. Dari
tabel tersebut diperoleh sebanyak 8 dari 8 (100%) rumah balita yang
menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan balita mengalami
ISPA. Sementara itu, sebanyak 21 dari 84 (22,8%) rumah balita yang
menggunakan bahan bakar memasak gas dan balita tidak mengalami
ISPA. Hasil uji chi square diperoleh p value 0,191 (p-value>0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bahan
bakar memasak dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun
2014. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak mempunyai
resiko terjadinya ISPA 1,333 kali daripada penggunaan gas sebagai bahan
bakar memasak.
5.2.5. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Gejala
ISPA pada Balita
Hasil statistik hubungan antara obat anti nyamuk bakar terhadap
gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :
69
Tabel 5.20. Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Bakar Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ISPA
Obat Anti
Total
Tidak
Nyamuk
ISPA
PR
p value
ISPA
Bakar
N
%
N
%
N
%
Ya
24
75
8
25
32 100
Tidak
15 78,9
4
21,1 19 100 0,950
1
Total
39 76,5 12 23,5 51 100
Pada tabel 5.20 menunjukkan hasil analisis hubungan antara
penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita. Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 24 dari 32 rumah balita
(75%) menggunakan obat anti nyamuk bakar dan balita mengalami ISPA.
Sedangkan sebanyak 4 dari 19 rumah balita (21,1 %) menggunakan obat
anti nyamuk selain obat anti nyamuk bakar dan balita tidak mengalami
ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 1 (p-value>0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara obat anti
nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun
2014. Penggunaan obat anti nyamuk bakar mempunyai resiko terjadinya
ISPA 0,950 kali daripada menggunakan obat anti nyamuk selain obat anti
nyamuk bakar.
5.2.6. Hubungan ASI Eksklusif dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif terhadap gejala
ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :
70
Tabel 5.21. Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Gejala ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Total
ASI
Tidak
ISPA
PR
p value
Eksklusif
ISPA
N
%
N %
N
%
Tidak
71 78,9 18 20,2 89
100
Ya
0
0
3 100
3
100
0,202
0,011
Total
71 77,2 21 22,8 92
100
Berdasarkan tabel 5.21 menunjukkan hasil analisis hubungan
antara pemberian ASI Eksklusif terhadap gejala ISPA pada balita. Dari
tabel tersebut sebanyak 71 dari 89 balita (78,9%) yang tidak diberikan asi
ekslusif mengalami ISPA dan sebanyak 3 dari 3 balita (100%) yang
diberikan ASI Eksklusif tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi
square diperoleh p value 0,011 (p-value<0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif
terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. ASI
eksklusif merupakan faktor protektif terjadinya ISPA karena memiliki
prevalence ratio 0,202 (PR>1).
5.2.7. Hubungan Imunisasi dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara imunisasi terhadap gejala ISPA
pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut:
71
Tabel 5.22. Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Gejala ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Total
Tidak
Imunisasi
ISPA
PR
p value
ISPA
N
%
N
%
N
%
Tidak
18 64,3 10 35,7 28 100
lengkap
0,776
0,093
Lengkap
53 82,8 11 17,2 64 100
Total
71 77,2 21 22,8 92 100
Pada tabel 5.22 menunjukkan hubungan antara imunisasi terhadap
gejala ISPA pada balita. Dari tabel tersebut terdapat 18 dari 28 balita
(64,3%) belum mendapatkan imunisasi secara lengkap dan mengalami
ISPA. Sedangkan sebanyak 11 dari 64 (17,2%) balita sudah diberikan
imunisasi secara lengkap dan tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil
uji chi square diperoleh p value 0,093 (p-value>0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara imunisasi terhadap gejala
ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Imunisasi merupakan
faktor protektif terjadinya ISPA karena memiliki prevalence ratio 0,776
(PR>1).
5.2.8. Hubungan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dengan Gejala ISPA
pada Balita
Hasil analisis hubungan antara BBLR terhadap gejala ISPA pada
balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut:
72
Tabel 5.23. Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah
Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ISPA
Total
Tidak
BBLR
ISPA
PR
p value
ISPA
N
%
N
%
N
%
Ya
12 57,1
9
42,9 21 100
Tidak
59 83,1 12 16,9 71 100 0,688
0,019
Total
71 77,2 21 22,8 92 100
Tabel 5.23 menunjukkan hubungan berat badan lahir rendah
terhadap gejala ISPA pada balita yaitu sebanyak 12 dari 21 (57,1%) balita
lahir dengan berat badan lahir rendah atau kurang dari 2500 gram dan
mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 12 dari 71 (16,9%) balita lahir
dengan berat badan normal dan tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi
square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah
terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Bayi
yang memiliki berat badan lahir rendah memiliki resiko terjadinya ISPA
0,688 kali lebih besar daripada bayi yang lahir dengan berat badan lahir
normal.
5.2.9. Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara status gizi terhadap gejala ISPA
pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :
73
Tabel 5.24. Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Gejala ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Total
Tidak
Status Gizi
ISPA
PR
p value
ISPA
N
%
N
%
N
%
Gizi Kurang 20 100
0
0
20 100
Gizi Baik
51 71,4
21
28,6 72 100 1,412
0,005
Total
71 70,8
21
29,2 92 100
Pada Tabel 5.24 didapat hasil hubungan antara status gizi terhadap
ISPA pada balita yaitu sebanyak 20 dari 20 (100%) balita gizi kurang
yang mempunyai gejala ISPA, dan terdapat 21 dari 72 (28,6 %) balita gizi
baik yang tidak mempunyai gejala ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square
diperoleh p value 0,005 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan antara status gizi terhadap gejala ISPA pada balita
di Desa Citeureup tahun 2014. Balita yang memiliki gizi kurang akan
memiliki resiko ISPA 1,412 kali lebih besar daripada balita yang
memiliki gizi baik.
74
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian yaitu:
1. Penentuan resiko ISPA tidak menggunakan tenaga medis sehingga hanya
didasarkan pada informasi dari responden.
2. Pengukuran konsentrasi SO2 pada masing-masing tempat hanya dilakukan
selama 30 menit sehingga tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu udara
ambien. Hal ini dilakukan karena keterbatasan alat yang tidak dapat
dilakukan dalam waktu yang lama.
3. Pada variabel anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk
bakar, dan bahan bakar memasak dapat terjadi bias informasi karena
tergantung pada kejujuran responden.
75
6.2. Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti
sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan
pleura. ISPA merupakan penyakit yang paling sering dialami oleh bakita dan
anak-anak. Dalam setahun, akan terjadi sekitar 3-6 kali (Kementerian
Kesehatan, 2009).
Etiologis
pneumonia
atau
ISPA
sulit
ditegakkan
karena
sulit
mengeluarkan dahak pada balita. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memuaskan untuk menetukan adanya bakteri sebagai penyebab
pneumonia. Hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan
spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis
pneumonia. Pemeriksaan ini efektif untuk mendapatkan jenis bakteri namun
berbahaya dan bertentangan dengan etika (Gertrudis, 2010).
Dalam penelitian ini, balita dikatakan mengalami ISPA dan tidak
mengalami ISPA berdasarkan adanya tanda dan gejala seperti pilek, batukbatuk, demam, dan sukar bernafas yang terjadi dalam kurun waktu 2 minggu
terakhir. Dari hasil penelitian terhadap 92 balita, terdapat 71 balita (77,2 %)
yang mengalami ISPA dan 21 balita (22,8 %) yang tidak mengalami ISPA.
76
ISPA merupakan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme atau
kuman yang menyerang saluran pernapasan, berkembang biak sampai
menimbulkan gejala penyakit dalam waktu yang berlangsung sampai 14 hari
(Afandi, 2012).
Namun, Depkes (2009) menyatakan bahwa ISPA dapat disebabkan oleh
polusi udara seperti asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang
sarana transportasi dan industri, kebakaran hutan, dan lain-lain.
6.3. Analisis Bivariat
6.3.1. Hubungan Konsentrasi SO2 dengan Resiko ISPA pada Balita
Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok sulfur oksida
atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur trioksida (SO3).
Pengukuran konsentrasi SO2 pada udara ambien menggunakan alat midget
impinger, kemudian hasilnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui
konsentrasi zat pencemar.
Zat pencemar SO2 memberikan efek buruk pada sistem pernapasan
dan fungsi paru-paru. Sulfur dioksida adalah senyawa yang mudah
diserap oleh selaput lendir saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih
dari larynx) (Soemirat, 2009).
Rata-rata konsentrasi SO2 di udara adalah 120 µg /m3, dengan
konsentrasi SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.
77
Konsentrasi SO2 tertinggi terdapat pada wilayah yang letaknya dekat
dengan industri. Walaupun konsentrasi SO2 tidak melebihi ambang batas,
namun jika terpapar secara terus menerus maka akan menyebabkan
hiperplasia
dan
metaplasia
sel-sel
epitel
yang
akhirnya
dapat
menyebabkan kanker (Gertrudis, 2010).
Zat pencemar SO2 juga memberikan efek negatif pada sistem
pernapasan dan fungsi paru-paru. Peradangan yang disebabkan SO2 akan
mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan gejala
asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah
mendapatkan infeksi pada saluran pernapasan (WHO, 2005). Salah satu
infeksi saluran pernapasan adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan
Akut.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui rata-rata konsentrasi SO2
pada udara ambien yang mempunyai resiko ISPA adalah 125 µg/m3,
sedangkan rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien
yang tidak
mempunyai resiko ISPA adalah 103 µg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi SO2 maka akan mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadinya ISPA. Semakin tinggi SO2 menyebabkan manusia akan
mengalami gangguan pada sistem pernapasannya. Gangguan sistem
pernapasan terjadi karena SO2 mudah menjadi asam kemudian menyerang
selaput lendir pada hidung, tenggorakan, dan saluran nafas lain
(Wardhana, 2004).
78
Berdasarkan hasil uji mann whitney pada penelitian ini
disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 terhadap resiko
ISPA pada balita dengan p value 0,032 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan
penelitian menurut Putri (2012) mengatakan bahwa ada hubungan antara
konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA.
Konsentrasi SO2 di udara dipengaruhi oleh suhu. Menurut Ditjen
P2MPLP (1994) dalam Budianto (2008), suhu yang tinggi menyebabkan
udara semakin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi semakin
tinggi. Sebaliknya pada suhu dingin keadaan udara makin padat sehingga
konsentrasi pencemar diudara semakin rendah. Oleh sebab itu
pengambilan sampel udara pada siang hari akan menghasilkan
konsentrasi SO2 lebih tinggi daripada pengambilan pada saat pagi hari
atau pada saat hujan. Pengambilan sampel SO2 pada penelitian ini
dilakukan dari pagi hingga sore hari sehingga suhu pada tiap pengambilan
sampel berbeda-beda. Namun, pengambilan sampel ini masih disesuaikan
dengan jam kerja proses produksi industri semen yang berada di wilayah
tersebut.
Sektor industri merupakan sumber utama sulfur dioksida. Dalam
industri, total TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88%
(Ali, 2007). Zat pencemar SO2 cukup berbahaya, sehingga perlu
dilakukan upaya untuk mengatasinya. Puskesmas Citeureup yang
79
bekerjasama dengan industri semen yang berada di Desa Citeureup
sebenarnya sudah sering melakukan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai kesehatan. Namun belum pernah dilakukan penyuluhan
mengenai pencemaran udara yang dapat menyebabkan ISPA. Berdasarkan
informasi dari masyarakat, masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui sumber dan dampak dari pencemaran udara pada kesehatan.
Selain itu, masyarakat dapat menggunakan alat pelindung diri seperti
masker apabila pergi dari rumah untuk melindungi diri dari pencemaran
udara di luar rumah. Dinas Kesehatan diharapkan melakukan pembinaan
terhadap program pengendalian pencemaran udara.
6.3.2. Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA dengan Resiko
ISPA pada Balita
Anggota keluarga yang mengalami ISPA dan tinggal serumah
dengan balita dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita. Menurut
Roe (1994) dalam Gertrudis (2010), menyebutkan bahwa adanya anggota
keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan merupakan faktor resiko
ISPA pada balita.
Balita di Desa Citeureup yang mempunyai anggota keluarga yang
mengalami ISPA hanya 27,2%. Namun jika dilihat dari jumlah balita
yang mengalami ISPA terdapat 96,0% balita yang mempunyai anggota
80
keluarga yang terkena ISPA dan balita mengalami gejala ISPA. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa jika terdapat anggota keluarga yang mengalami
ISPA maka balita mempunyai peluang besar untuk terkena ISPA.
Penyebab terjadinya ISPA adalah virus sehingga jika terdapat
anggota keluarga yang mengalami ISPA maka anggota keluarga yang lain
akan mudah tertular. Hal ini disebabkan karena ISPA dapat ditularkan
melalui air ludah, bersin, dan udara pernapasan. Penularan yang paling
sering adalah melalui udara pernapasan karena virus dapat masuk ke
tubuh orang yang sehat melalui udara pernapasannya (Susilo, 2011).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (pvalue<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
anggota keluarga yang mengalami ISPA terhadap resiko ISPA pada balita
di Desa Citeureup tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Gertrudis (2010) yaitu terdapat hubungan antara anggota
keluarga yang mengalami ISPA dengan kejadian ISPA pada balita. Dari
hasil penelitian Gertrudis (2010) mengatakan bahwa balita yang
mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA akan mendapatkan
resiko ISPA 8,4 kali untuk menderita ISPA daripada balita yang tidak
tinggal dengan anggota keluarga yang tidak mengalami ISPA.
Penularan ISPA dari anggota keluarga yang mengalami ISPA pada
balita sangat mudah. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk memberikan
81
informasi atau pengetahuan kepada masyarakat mengenai cara penularan
dan pencegahan ISPA.
6.3.3. Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Resiko ISPA
pada Balita
Merokok merupakan penyebab pencemaran udara dalam rumah.
Parameter-parameter pencemaran udara yang dihasilkan dari rokok antara
lain nikotin, NOx, partikulat dan residu fenol, aldehid, sulfur dioksida dan
sulfat (Kusnoputranto,2001).
Mayoritas balita di Desa Citeureup memiliki anggota keluarga
yang merokok yaitu sebanyak 83,7 %. Jika dilihat dari tabel 5.18
menunjukkan bahwa balita yang memiliki anggota keluarga yang
merokok maupun yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok
mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Persentase balita yang memiliki
anggota keluarga yang merokok dan mempunyai gejala ISPA adalah
79,2%, sedangkan persentase balita yang tidak memiliki anggota keluarga
yang merokok dan mempunyai gejala ISPA adalah 66,7 %. Sehingga dari
tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa balita yang memiliki anggota
keluarga yang merokok maupun tidak memiliki anggota keluarga yang
merokok tetap mempunyai kejadian ISPA yang tinggi.
82
Namun, paparan asap tembakau tetap mempunyai efek yang
merugikan, terutama efek kepada pernapasan anak-anak karena
ukurannya kecil dan dapat masuk ke dalam paru-paru (Cheragi, 2009
dalam Sinaga 2012). Jika dalam satu rumah mempunyai anggota keluarga
yang merokok maka akan memperbesar terjadinya resiko gangguan
pernapasan. Gas berbahaya dalam asap rokok akan menyebabkan
pembuatan lendir yang akan membuat debu dan bakteri akan tertumpuk
tidak dapat dikeluarkan. Salah satu efek dari asap yang dihasilkan dari
rokok adalah terjadinya resiko ISPA (Agussalim, 2012).
ISPA sangat rentan menyerang balita karena daya tahan tubuhnya
yang masih lemah. Balita sebagai perokok pasif, dimana perokok pasif
mendapatkan resiko lebih berbahaya. Apabila balita menghirup udara
yang berasal dari asap rokok, maka akan mengakibatkan iritasi pada
saluran pernafasannya. Jika sudah teriritasi maka akan mudah terinfeksi.
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,320 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara anggota keluarga yang merokok terhadap resiko ISPA pada balita
di Desa Citeureup tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan Sinaga
(2012) dimana tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang
merokok dengan kejadian ISPA. Tidak terdapat hubungan antara anggota
keluarga yang merokok mungkin disebabkan karena walaupun mayoritas
83
responden memiliki anggota keluarga merokok dan merokok di dalam
rumah, namun rata-rata perokok di desa Citeureup merokok 8 batang per
hari (>10 batang) dan dapat dikategorikan sebagai perokok ringan.
Sehingga pencemaran di dalam rumah akibat rokok tidak terlalu besar
untuk mempengaruhi terjadinya ISPA.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Gertrudis (2010),
Agussalim (2012) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara
anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA. Asap rokok yang
keluar langsung dari pembakaran (sidestream) lebih berbahaya daripada
asap rokok yang keluar dari mulut perokok (mainstream). Sidestream
adalah asap rokok yang terlepas ke udara dan belum mengalami
penyaringan sedangkan mainstream sudah mengalami penyaringan
melalui rokok itu sendiri dan melalui saluran pernapasan perokok
(Gertrudis, 2010). Asap rokok dengan konsentrasi tinggi juga dapat
merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan
timbulnya ISPA (Agussalim, 2012).
Walaupun dalam penelitian ini tidak ada hubungan antara anggota
keluarga yang merokok dengan ISPA, harus tetap diperhatikan bahwa
merokok merupakan sesuatu yang tidak baik untuk kesehatan. Merokok
tidak hanya tidak baik bagi perokok sendiri, namun juga bagi orang-orang
disekitarnya.
84
Balita di Desa Citeureup, mayoritas mempunyai anggota keluarga
yang merokok. Hal ini menunjukkan bahwa kurang kesadaran terhadap
bahaya rokok tersebut, bukan hanya untuk perokok namun juga terhadap
balita. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan
kesadaran kepada masyarakat melalui penyuluhan bahwa merokok tidak
baik untuk kesehatan, tidak hanya untuk perokok saja namun juga
merugikan bagi orang-orang di sekitarnya. Upaya ini dapat dilakukan
dengan bantuan anggota keluarga yang lain di rumah untuk mengingatkan
anggota keluarga yang merokok. Selain itu dapat dengan cara
memberikan gambaran mengenai dampak positif jika meninggalkan
rokok yaitu dapat memperbaiki keuangan keluarga.
6.3.4. Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Resiko ISPA pada Balita
Bahan bakar memasak yang menggunakan kayu bakar dan minyak
tanah dapat mencemari udara karena dampaknya dapat berakibat pada
kesehatan manusia. Zat pencemar yang dihasilkan dari pemakaian kayu
bakar dan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak adalah partikulat,
sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, fluoride, aldehida dan
senyawa hidrokarbon (Kusnoputranto, 2000).
Masyarakat di Desa Citeureup yang menggunakan kayu bakar
untuk memasak hanya 8,7%. Namun jika dilihat dari tabel 5.19, ibu balita
85
yang memasak menggunakan kayu bakar, 100% anak balitanya
mempunyai gejala ISPA. Sebaran asap dalam proses pembakaran dapat
membahayakan kesehatan karena mengandung polutan. Polutan asap di
dalam rumah dapat berpotensi menimbulkan fibrosis atau kekakuan
jaringan paru, ISPA, serta alergi (Depkes 2004).
Dalam jangka pendek SO2 dapat mengiritasi saluran pernapasan,
diikuti dengan infeksi saluran pernapasan sehingga timbul gejala berupa
rasa tidak enak di saluran pernapasan. Gejalanya seperti batuk, sesak
napas, yang dapat berakhir pada kematian. Berdasarkan penelitian di
negara berkembang, dilaporkan bahwa ada hubungan antara keterpaparan
polusi dalam ruang dengan kejadian ISPA (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,191 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA pada balita di Desa
Citeureup tahun 2014. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang
dilakukan Sinaga (2012) yang mengatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA. Tidak
adanya hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA dapat
dikarenakan masyarakat yang menggunakan kayu bakar sedikit sehingga
kurang mewakili penyebab terjadinya resiko ISPA. Selain itu, balita tidak
86
ikut serta saat ibu balita memasak di dapur sehingga tidak terpajan
dengan polusi udara akibat bahan bakar memasak.
Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Halim (2012)
yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara bahan bakar memasak
dengan resiko ISPA. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar
memasak dapat menyebabkan polusi udara dan gangguan pernapasan.
Dalam penelitian ini memang tidak terdapat hubungan, namun
harus tetap diperhatikan mengenai dampak negatif penggunaan kayu
bakar sebagai bahan bakar dalam memasak. Pada umumnya masyarakat
di Desa Citeureup sudah menggunakan gas sebagai bahan bakar
memasak, namun ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan
kayu bakar. Pada masyarakat yang menggunakan kayu bakar sebagai
bahan bakar, perlu dilakukan penyuluhan tentang dampak negatif dari
kayu bakar terutama jika ventilasi dalam rumah kurang memadai.
6.3.5. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Resiko
ISPA pada Balita
Kandungan berbahaya pada obat nyamuk bergantung pada
konsentrasi racun dan jumlah pemakaiaannya. Resiko terbesar yaitu jenis
obat anti nyamuk bakar akibat asap yang dihasilkan jika terhirup.
Sedangkan obat nyamuk cair memiliki konsentrasi yang berbeda karena
cairan yang dikeluarkan akan berubah menjadi gas. Sedangkan obat
87
nyamuk listrik atau elektrik resikonya lebih kecil lagi karena bekerja
dengan cara mengeluarkan asap dengan daya elektrik (Sinaga, 2012).
Masyarakat di Desa Citeureup yang memakai obat anti nyamuk
sebanyak 55,4%. Dan sebanyak 62,7 % rumah balita yang menggunakan
obat anti nyamuk, masih menggunakan obat anti nyamuk bakar. Balita
yang di dalam rumahnya menggunakan obat anti nyamuk bakar dan
mempunyai gejala ISPA sebanyak 75 %. Obat anti nyamuk bakar dapat
menjadi salah satu penyebab pencemaran udara di dalam rumah.
Walaupun konsentrasinya kecil, zat yang terdapat dalam obat anti
nyamuk bakar ini dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan
bengkak, dan perdarahan. Zat berbahaya yang terkandung dalam obat anti
nyamuk bakar ini adalah S2 atau Octaclorophyl eter (BPOM, 2000 dalam
Sinaga 2012).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 1 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara obat anti nyamuk bakar dengan resiko ISPA pada balita di Desa
Citeureup tahun 2014. Tidak adanya hubungan antara penggunaan obat
anti nyamuk bakar dengan resiko ISPA mungkin karena sedikitnya
masyarakat di Desa Citeureup yang menggunakan obat anti nyamuk
bakar sehingga kurang mewakili dampak terjadinya ISPA. Selain itu,
penggunaan obat anti nyamuk bakar pada masing-masing keluarga hanya
88
1 buah dalam semalam sehingga mungkin pencemaran udara akibat obat
anti nyamuk bakar tidak terlalu besar.
Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Mairuhu dkk
(2011) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan
obat anti nyamuk bakar. Menurut Mairuhu dkk (2011), bahan yang
terdapat dalam obat anti nyamuk sangat berbahaya dan mengganggu
kesehatan.
Keterpaparan
obat
anti
nyamuk
bakar
pada
balita
mengakibatkan balita menderita ISPA.
Walaupun dalam penelitian ini tidak ada hubungan mengenai
penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA, penggunaan
obat anti nyamuk bakar masih harus tetap diwaspadai. Hal ini
dikarenakan obat anti nyamuk bakar menghasilkan asap dari proses
pembakarannya.
Obat anti nyamuk jenis oles, semprot, atau listrik ini lebih aman
daripada obat anti nyamuk bakar karena tidak menghasilkan asap yang
menyebabkan pencemaran, namun penggunaan obat anti nyamuk harus
tetap memperhatikan penggunaan obat anti nyamuk secara bijak yaitu
sesuai kebutuhan dan aturan pakainya.
6.3.6. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Resiko ISPA pada Balita
ASI mempunyai nilai proteksi terhadap ISPA terutama pada bulan
pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA
89
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit 1 bulan.
Demikian juga pada bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan
mengalami perawatan di RS akibat ISPA dibandingkan dengan bayi yang
mendapat ASI (Webster, 2010 dalam Pramayu, 2012).
Balita di Desa Citeureup yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif
sebanyak 96,7 %. Alasan ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif
karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai ASI Eksklusif sehingga
sebelum berusia 6 bulan bayi sudah diberi minuman selain ASI,
contohnya adalah air putih. Alasan lainnya adalah ASI yang tidak mau
keluar dan bayi tidak mau minum ASI sehingga ibu memberikan susu
formula sebelum usia bayi 6 bulan. Dari tabel 5.19 menunjukkan hasil
bahwa sebanyak 78,9% balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif
mengalami ISPA. Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan akan
memberikan efek protektif terhadap infeksi. Semakin besar dosis ASI
yang diberikan maka semakin besar juga efek protektif yang dihasilkan.
Efek imun atau kekebalan yang dihasilkan dari ASI Eksklusif adalah
mengurangi terjadinya resiko ISPA (Widarini, 2010).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,011 (pvalue<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
pemberian ASI Eksklusif
terhadap resiko ISPA pada balita di Desa
Citeureup tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian Catiyas (2012)
90
yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan
kejadian ISPA. Menurut Catiyas (2012) balita yang tidak mendapat ASI
Eksklusif memiliki resiko 2 kali lebih besar untuk menderita ISPA
daripada balita yang mendapatkan ASI Eksklusif.
ASI eksklusif penting karena dapat membantu daya tahan tubuh
balita, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan ASI
Eksklusif pada masyarakat. Sebagian besar Ibu yang menjadi responden
mengatakan bahwa tidak memberikan ASI Eksklusif kepada balitanya
dan belum memahami arti dari ASI Eksklusif. Oleh sebab itu diperlukan
upaya untuk menambah cakupan ASI Eksklusif di Desa Citeureup dengan
cara sosialisasi mengenai pengertian, dampak dan manfaat ASI Eksklusif
bagi balita. Kemudian cara lainnya dapat dilakukan dengan membuat
kelompok peduli ASI Eksklusif pada ibu yang mempunyai balita untuk
saling mengingatkan dan diskusi mengenai permasalahan ASI Eksklusif.
Dukungan ayah terhadap ASI Eksklusif juga memberikan peran penting
terhadap bertambahnya cakupan ASI Eksklusif.
6.3.7. Hubungan Imunisasi dengan Resiko ISPA pada Balita
Imunisasi adalah salah satu cara pencegahan atau intervensi
kesehatan yang dapat diterima semua kalangan. Imunisasi dilakukan oleh
pemerintah untuk menurunkan angka kematian balita (Mbonye, 2004
dalam Sinaga 2012).
91
Balita di Desa Citeureup yang belum mendapatkan imunisasi
lengkap adalah sebanyak 30,4 %. Alasan balita yang belum diberikan
imunisasi secara lengkap adalah pada saat akan diimunisasi tubuh balita
sedang tidak sehat. Namun, sebagian besar masyarakat sudah mengetahui
pentingnya imunisasi. Dari tabel 5.20 menunjukkan bahwa balita yang
tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan mempunyai gejala ISPA adalah
64,3% sedangkan balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan
mempunyai gejala ISPA adalah 82,8%. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa balita yang mendapatkan imunisasi secara lengkap maupun tidak
lengkap mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Namun, peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA
karena sebagian besar kematian ISPA, berkembang dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak.
Imunisasi lengkap merupakan cara untuk mengurangi faktor yang dapat
meningkatkan mortalitas ISPA. Bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak menjadi lebih berat (Agussalim, 2012).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p value 0,093 (pvalue>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara imunisasi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup
tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012),
92
dimana tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan resiko ISPA.
Tidak adanya hubungan antara status imunisasi lengkap dengan resiko
ISPA karena imunisasi mempunyai hubungan tidak langsung dengan
ISPA. Imunisasi untuk mencegah penyakit ISPA adalah imunisasi
campak karena balita dapat mengalami ISPA setelah mendapat penyakit
campak. Namun tidak selamanya ISPA didahului oleh penyakit campak.
(Layuk, 2012).
Saat ini sudah tersedia vaksin untuk pneumonia atau ISPA.
Penyebab pneumonia atau ISPA yang utama di negara berkembang
adalah bakteri Haemophilus influenxzae type b (Hib). Vaksin Hib sudah
tersedia lebih dari 10 tahun namun penggunaannya masih terbatas dan
belum merata. Di beberapa negara vaksinasi Hib sudah masuk dalam
program imunisasi nasional, namun di Indonesia belum menjadi program
imunisasi nasional. Hal ini mungkin dikarenakan harganya yang relatif
mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib
diberikan pada semua anak di negara berkembang. Selain vaksinasi Hib,
terdapat juga vaksinasi pneumococcus. Vaksin pneumococcus sudah lama
tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun. Namun, saat ini vaksin
pneumococcus untuk bayi dan anak di bawah 3 tahun sudah tersedia yang
dikenal sebagai pneumococcal conjugate vaccineI (PCV) . Vaksin ini
sudah banyak digunakan di negara maju dan menurut penelitian
93
membuktikan bahwa vaksin ini efektif untuk menurunkan kematian pada
anak karena pneumonia (Kartasasmita, 2010).
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sukmawati
(2010) dan Agussalim (2012) dimana dalam penelitian tersebut terdapat
hubungan antara status imunisasi dengan resiko ISPA. Menurut
Sukmawati (2010) dalam penelitiannya, pemberian imunisasi lengkap
menyebabkan perkembangan penyakit ISPA menjadi tidak semakin berat.
Sedangkan menurut Agussalim (2012) bayi atau balita yang pernah
terkena campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap
pneumonia.
Walaupun penelitan ini tidak terdapat hubungan, namun imunisasi
merupakan hal yang penting untuk menjaga kekebalan tubuh balita. Balita
dapat
mendapatkan
imunisasi
secara
mudah
melalui
posyandu.
Puskesmas Citeureup sudah mempunyai jadwal untuk bidan desa yang
berkunjung
ke
posyandu
sehingga
memudahkan
balita
untuk
mendapatkan imunisasi. Upaya yang dapat dilakukan Puskesmas
Citeureup untuk meningkatkan cakupan imunisasi adalah mengingatkan
kembali atau penyuluhan mengenai waktu yang tepat untuk imunisasi,
sosialisasi mengenai pentingnya imunisasi dan dampaknya jika tidak
mendapatkan imunisasi secara lengkap.
94
6.3.8. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Resiko ISPA
pada Balita
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan
pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan gangguan saluran pernafasan lainnya (Gertrudis, 2010).
Terdapat 22,8 % balita yang menjadi responden di Desa
Citeureup, memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500
gram. Jika dilihat dari tabel 5.23, terdapat 57,1% balita yang memiliki
berat badan lahir rendah dan mempunyai gejala ISPA. Menurut
(Gertrudis, 2010), bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500
gram akan meningkatkan kematian akibat infeksi saluran pernafasan
Resiko kesakitan hingga resiko kematian pada BBLR cukup
tinggi, hal ini disebabkan karena pada bayi yang lahir dengan berat badan
rendah akan menyebabkan adanya gangguan terhadap pertumbuhan dan
imaturitas organ. Pada bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah,
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih sering
95
terkena
penyakit
infeksi
maupun
penyakit
saluran
pernapasan
(Sukmawati, 2010).
Hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir
rendah terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwoho (2005) yang
mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah
dengan kejadian ISPA. Menurut Wiwoho (2005) bayi yang lahir dengan
berat badan lahir rendah memiliki resiko ISPA 3 kali lebih besar daripada
bayi yang lahir dengan berat badan normal.
Untuk mengantisipasi bayi dengan berat badan lahir rendah
diperlukan berbagai upaya. Setiap bulannya di lokasi tersebut terdapat
kegiatan posyandu yang dihadiri oleh bidan desa dari Puskesmas
Citeureup. Kegiatan seperti ini dapat dimanfaatkan Ibu hamil untuk
berkonsultasi dengan bidan desa yang berkunjung ke Posyandu. Namun,
jarang sekali ibu hamil yang datang ke Posyandu jika merasa tidak
mengalami masalah dalam kehamilannya. Oleh karena itu perlu dilakukan
penyuluhan kepada Ibu hamil mengenai pentingnya mengkonsumsi
makanan yang bergizi dan seimbang sehingga bayi dapat lahir dengan
berat badan normal. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan secara rutin
kepada ibu hamil baik mengenai kesehatan ibu dan kesehatan bayi.
96
6.3.9. Hubungan Status Gizi dengan Resiko ISPA pada Balita
Status gizi merupakan keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi. Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah status sosial ekonomi, pendidikan ibu, sanitasi dan
pelayanan kesehatan dasar. Balita dengan gizi buruk atau gizi kurang
akan mempermudah terkena penyakit infeksi dibandingkan dengan balita
gizi baik. Hal ini karena status gizi berkaitan dengan daya tahan tubuh
(Arisman, 2004).
Dalam penelitian ini, menggunakan kategori gizi baik dan gizi
kurang karena tidak ditemukan anak dengan gizi buruk. Balita yang
memiliki status gizi kurang sebanyak 21,7%. Status gizi menggambarkan
baik atau buruknya konsumsi zat gizi seseorang. Zat gizi ini berfungsi
untuk membentuk zat-zat kekebalan tubuh seperti antibodi. Semakin baik
konsumsi zat gizi seseorang maka akan menyebabkan semakin baik pula
kekebalan tubuhnya (Elyana, 2009).
Pada Tabel 5.22 menunjukkan bahwa balita yang memiliki gizi
kurang dan mempunyai gejala ISPA adalah sebanyak 100%. Keadaan gizi
yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya
ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang
97
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak
mempunyai
nafsu
makan
dan
mengakibatkan
kekurangan
gizi
(Sukmawati, 2010).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,005 (pvalue<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
status gizi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun
2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sukmawati (2010) dan
Setiawan (2010). Hasil penelitian Sukmawati (2010) memberikan hasil
bahwa 40% balita yang mempunyai gizi kurang akan mengalami
serangan ISPA secara berulang bahkan serangannya lebih berat.
Penelitian lain yang dilakukan Setawan (2010) memberikan hasil bahwa
status gizi kurang mempunyai resiko terjadinya pneumonia 27 kali lebih
tinggi daripada balita yang mempunyai status gizi baik.
Sebagian besar masyarakat di Desa Citeureup mempunyai status
gizi baik, namun masih terdapat beberapa masyarakat yang mempunyai
status gizi kurang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
gizi kurang pada masyarakat yaitu perlu diberikan penyuluhan mengenai
pengaturan gizi yang baik. Kemudian dari pihak Puskesmas Citeureup
dapat melakukan pembinaan mengenai pentingnya perbaikan gizi.
98
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan
penelitian sebagai berikut:
1. Gambaran balita yang mengalami gejala ISPA pada 92 balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 yaitu sebanyak 71 balita (77,2 %) dan 21 balita
(22,8%) tidak mengalami gejala ISPA.
2. Gambaran konsentrasi SO2 di Desa Citeureup pada bulan April tahun 2014
yaitu rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien adalah 120 µg /m3 dengan
kandungan SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.
3. Gambaran pencemaran udara dalam rumah meliputi:
3.1. Balita yang memilliki anggota keluarga yang mengalami ISPA ada
sebanyak 25 rumah balita (27,2%) dan balita yang tidak memiliki anggota
keluarga tidak mengalami ISPA yaitu sebanyak 67 rumah balita (72,8%).
3.2.Balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok sebanyak 77
(83,7%)
dan
balita yang memiliki anggota keluarga tidak merokok
sebanyak 15 (16,3%).
99
3.3. Bahan Bakar Memasak yaitu sebanyak 8 rumah balita (8,7%) yang
menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan 84 rumah balita
(91,3%) yang menggunakan bahan bakar gas.
3.4.Responden yang menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 51 rumah.
Dari jumlah balita yang menggunakan obat anti nyamuk, terdapat 32
rumah balita (62,7 %) yang menggunakan obat anti nyamuk bakar dan 19
rumah balita (37,3 %) yang menggunakan obat anti nyamuk oles atau
listrik.
4. Gambaran faktor yang mempengaruhi kekebalan balita meliputi:
4.1 ASI Eksklusif pada 92 responden yaitu sebanyak 89 balita (96,7%) yang
tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan 3 balita (3,3%) mendapatkan ASI
Eksklusif.
4.2 Imunisasi pada 92 responden yaitu sebanyak 28 balita (30,4%) belum
mendapatkan
imunisasi
lengkap
dan
64
balita
(69,9%)
sudah
mendapatkan imunisasi lengkap.
4.3 Berat Badan Lahir Rendah pada 92 responden yaitu sebanyak 21 balita
(22,8%) memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram
dan 71 balita (77,2%) lahir dengan berat badan normal atau lebih dari
2500 gram.
4.4 Status gizi pada 92 responden yaitu sebanyak terdapat 20 balita (21,7%)
memiliki status gizi kurang dan 72 balita (78,3%) memiliki status gizi
normal.
100
5. Terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 pada bulan April dengan gejala
ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014.
6. Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA dengan
gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014.
7. Tidak terdapat hubungan antara faktor pencemaran dalam rumah yaitu:
anggota keluarga yang merokok, jenis obat anti nyamuk, dan bahan bakar
memasak dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun
2014.
8. Terdapat hubungan antara faktor kekebalan balita: ASI Eksklusif, Berat
Badan Lahir Rendah, dan status gizi dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita
di Desa Citeureup Tahun 2014.
9. Tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan gejala ISPA (p<0,05) pada
balita di Desa Citeureup Tahun 2014.
7.2. Saran
7.2.1. Saran Bagi Masyarakat
1. Masyarakat yang akan bepergian jauh sebaiknya menggunakan alat
pelindung diri seperti masker agar terhindar dari pencemaran udara
yang beresiko untuk terjadinya ISPA.
101
2.
Masyarakat yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar
memasak dan obat anti nyamuk bakar sebaiknya agar memperhatikan
persyaratan ventilasi yang baik.
3. Masyarakat yang memiliki balita sebaiknya memperhatikan ASI
Eksklusif, memberikan imunisasi lengkap, dan status gizi balita.
7.2.2. Saran Bagi Instansi
1. Pemerintah Kabupaten Bogor khususnya Bapedalda sebaiknya
melakukan pemantauan kualitas udara di area pemukiman.
2. Sebaiknya dilakukan penyuluhan terkait ISPA, mengenai tanda dan
gejala ISPA serta cara pencegahannya.
7.2.3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Dalam penelitian ini pengukuran SO2 tidak bisa dilakukan selama 1
jam sehingga hasil pengukuran konsentrasi SO2 tidak dapat
dibandingkan dengan baku mutu udara ambien. Untuk penelitian
selanjutnya, pengukuran konsentrasi SO2 sebaiknya dilakukan selama
1 jam agar dapat dibandingkan dengan baku mutu udara ambien.
2. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan bantuan tenaga medis
untuk menentukan penyakit ISPA.
102
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga. 4 Dari 10 PenyakitPenyebabKematian di
DuniaAdalahPenyakitBidangParu Dan Pernapasan.http://sehatnegeriku.com/4dari-10-penyakit-penyebab-kematian-di-dunia-adalah-penyakit-bidang-paru-danpernapasan/Unduhpadatanggal 24 November 2013.
Afandi,
Ade
Irwan.
2012.
HubunganLingkunganFisikRumahdenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAku
tpadaAnakBalita di KabupatenWonosoboProvinsiJawa Tengah Tahun
2012.Tesis.UI.Depok
Agussalim.2012.HubunganPengetahuan,
Status
Imunisasi,
danKebereadaanPerokokdalamRumahdenganPenyakitInfeksiSaluranPernapasan
AkutpadaBalita di PuskesmasPeukanBadaKabupaten Aceh Besar. JurnalIlmiah
STIKES U’Budiyah No.2 Maret 2012.Vol: 1
Ali, Arsad Rahim. 2007. KajianPustakaKebijakanPencemaranUdara di Indonesia.
http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/kebijakan-pencemaran-udara1.pdf.
Unduhpadatanggal 2 Januari 2014
Alsagaff, H,Mukty, H.A. 2010.Dasar-dasarIlmuPenyakitParu.Cetakankeempat.
Surabaya: Erlangga University Press.
Arief,
Latar
Muhammad.
PengolahanLimbah
Gas.http://ikk357.esaunggul.ac.id/files/2012/12/LIMBAH-GAS.pdf?846aad.
Unduhpada 2 Januari 2014.
Arisman. 2004. GizidalamDaurKehidupan. BukuKedokteran EGC: Jakarta.
Atmaja, Aditya
Surya, dkk. 2007.
Identifikasi
Kadar
Debu di
LingkunganKerjadanKeluhanSubyektifPernapasan.JurnalKesehatanLingkungan,
Vol 3, No.2, Januari 2007: 161-172.
103
BalitbangkesDepkes RI. 2008. LaporanHasilRisetKesehatanDasar
Indonesia Tahun 2007. Jakarta
(Riskesdas)
Basir,
Elisa.
2007.
Hubunganantara
Nitrogen
Oksidadan
Sulfur
DioksidadalamRumahdenganGangguanSaluranPernafasanAnakBalita
di
KecamatanTeluk Naga KabupatenTangerangTahun 2006. Tesis.UI.Depok.
Catiyas, Embriyowati. 2012. Faktor-faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA
padaBalita di Wilayah KecamatanGombongKabupatenKebumenJawa Tengah
Tahun 2012. Skripsi.UI.Depok
Chahaya,
Indra.
Faktor-FaktorKesehatanLingkunganPerumahan
yang
MempengaruhiKejadian ISPA padaBalita di PerumahanNasional (Perumnas)
Mandala,
KecamatanPercutSei
Tuan,
Kabupaten
Deli
Serdang.MajalahKedokteran
Nusantara
Vol.
38
No.
3.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15574/1/mkn-sep2005%20%284%29.pdf. Unduhpadatanggal 24 November 2013.
Citra,Putri, 2012.Hubungan LingkunganDalamRumahDenganKejadian ISPA
PadaBalita Di Wilayah KerjaPuskesmasAtangJungketKecamatanBiesKabupaten
Aceh Tengah Tahun 2012.Skripsi.FKM UI.Depok.
Depkes RI, 2005. PedomanPenyelenggaraanPemberianImunisasi.Jakarta
Depkes RI. 2002. PedomanPemberantasanPenyakitSaluranPernapasanAkut. Jakarta:
DepartemenKesehatan RI.
Depkes
RI.
2004.
PedomanPemberantasanPenyakitInfeksiSaluranPernapasanAkutuntukPenanggul
angan Pneumonia padaBalita. Jakarta
Depkes
RI.
2006.
PedomanPengendalianPenyakitInfeksiSaluranPernafasanAkutUntukPenanggulan
gan Pneumonia padaBalita. Jakarta.
Depkes. 2009. ProfilKesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes.go.id.
Unduhpadatanggal 24 November 2013
Depkes.Parameter
PencemarUdaradanDampaknyaTerhadapKesehatan.http://www.depkes.go.id/do
wnloads/Udara.PDF .Unduhpadatanggal 7 Januari 2014.
DinkesKabupaten Bogor.2012. ProfilKesehatanKabupaten Bogor. Bogor
104
Elyana,
Mei.
HubunganFrekuensi
ISPA
dengan
Status
GiziBalita.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=72033&val=124
8&title=HUBUNGAN%20FREKUENSI%20ISPA%20DENGAN%20STATUS
%20GIZI%20BALITA. Diaksespadatanggal 12 Mei 2014 dari
Gertrudis.
2010.
HubunganAntara
Kadar
Partikulat
(PM10)
UdaraRumahTinggaldenganKejadian ISPA padaBalita di SekitarPabrik Semen
PT. IndocementCiteureupTahun 2010. Tesis.UI. Depok
Gozali, Achmad. 2010.HubunganAntara Status GizidenganKlasifikasi Pneumonia
padaBalita di PuskesmasGilinganKecamatanBanjarsari Surakarta. UNS. Skripsi.
Halim,D. 2000. IlmuPenyakitParu Jakarta: Hipokrates
105
Handayani.
2003.
PengaruhInhalasi
CerminDuniaKedokteran No. 138, 2003.
NO2
terhadapKesehatanParu.
Irianto,
Bambang.
2006.
HubunganFaktorLingkunganRumahdanKarakteristikBalitadenganKejadianPenya
kit ISPA padaBalita di Wilayah KecamatanLemahwungkuk Kota Cirebon Tahun
2006.Tesis.UI.Depok
Kartasasmita, Cissy. 2010. Pneumonia Balita. BuletinJendelaEpidemiologi. ISSN
2087-1546.Vol: 3. 2010
KementerianKesehatan
RI.
2009.
Parameter
PencemarUdaradanDampaknyaTerhadapKesehatan.
www.depkes.go.id/downloads/Udara.PDF . Unduhpadatanggal 24 November
2013.
Kepmenkes
No.1407/MENKES/SK/XI/
2002.PedomanPengendalianDampakPencemaranUdara.
http://hukum.unsrat.ac.id/men/menkes_1407_2002.pdf. Unduhpadatanggal 7
Januari 2014.
Kusnoputranto, Haryoto& Susanna, Dewi. 2000.
FakultasKesehatanMasyarakatUniversitas Indonesia.
KesehatanLingkungan.
Layuk, RibkaRerungdkk.Faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA Balita di
LembangBatuSura.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/427
9/RIBKA%20RERUNG%20LAYUK%20%28K11109326%29.pdf?sequence=1.
Unduhpadatanggal 24 November 2013.
Lubis,
Imran.
EtiologiInfeksiSaluranPernafasanAkut
(ISPA)
danFaktorLingkungan.BuletinPenelitianKesehatan.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=r
ja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Fstatic.ow.ly%2Fdocs%2FBAB%2
520I%2520METLIT%2520revisi_1e5r.doc&ei=nouSUu6nK4qJrAfY4D4Dg&usg=AFQjCNHfc1aOui90snrf1iav9tddhcfLg&sig2=zaBDFjFeYv3LeihFp-lCbQ&bvm=bv.56988011,d.bmk .
Unduhpadatanggal 25 November 2013.
106
Mairuhudkk. 2011. Faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA padaBalita di
PulauBarangLompoKecamatan
Ujung
Tanah
Kota
Makassar.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4326. Unduhpadatanggal 24
November 2013.
Maramis,
ParamithaAnjanatha.
2013.
Hubungan
Tingkat
PendidikandanPengetahuanIbuTentang
ISPA
denganKemampuanIbuMerawatBalita ISPA padaBalita di PuskesmasBahu Kota
Manado.EjournalKeperawatan Vol:1. Nomor 1.Agustus 2013.
Media
InformasiKesehatan
Indonesia.Penyebab
ISPA.
http://www.kesehatan123.com/1679/penyebab-ispa/. Unduhpadatanggal 25
November 2013.
Mengkidi,
Dorce.
2006.
GangguanFungsiParudanFaktor-Faktor
yang
MempengaruhinyapadaKaryawan
PT.
TonasaPangkep
Sulawesi
Selatan.Tesis.Undip. Semarang.
Misnadiarly. 2008. PenyakitInfeksiSaluranNapas Pneumonia padaAnak, Orang
Dewasa, UsiaLanjut, Pneumonia Atipik, dan Pneumonia Atypik Mycobacterium.
Jakarta: PustakaOborPopuler.
www.Fk.uns.ac.id/index.php/download/file/59.
Murti,
Basir.
DesainStudi.
Unduhpadatanggal 16 Juli 2013
Muttaqin,
Arif.
2008.
Buku
AsuhanKeperawatanKliendenganGangguanSistemPernafasan.
SalembaMedika.
107
Ajar:
Jakarta:
Muttaqin. 2008. AsuhanKeperawatanKlienGangguanSistemMuskuloskeletal. Jakarta:
EGC.
Nasutiondkk.2009. InfeksiSaluranNapasAkutpadaBalita di Daerah Urban Jakarta.
Sari Pediatri No. 4 Desember 2009.Vol: 11..
Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Digitized by USU Digital Library.FKM
USU. Medan.
Notoatmodjo, S. 2003. MetodePenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta.
PeraturanPemerintah
41
Tahun
1999.PengendalianPencemaranudara.http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=
&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%
2Fjdih.den.go.id%2Fdownload%2F19%2Fperaturan-pemerintah-no-41-tahun1999&ei=HxnTUt2EMcuArgem8oGwDg&usg=AFQjCNFDc4UUAYdvHUtbgs
49iis--oCm2A&sig2=L6_WIRfyNnwFEfQ_aucGyw&bvm=bv.59026428,d.bmk.
Unduhpadatanggal 7 Januari 2014.
Pramayu,
AjengPuspitaning.
HubunganKonsentrasi
PM10
dalamRuangKelasdenganGangguan ISPA Siswa SD KecamatanCipayung Kota
DepokTahun 2012.Tesis.UI.Depok
Putri, Minerva Nadia. 2012. HubunganKonsentrasi SO2danSuspended Particulate
Matter
(SPM)
denganJumlahKejadian
ISPA
PendudukKecamatanPademanganTahun 2006-2010. Skripsi. UI
Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., &Setyanto, D.B. 2008.Buku Ajar RespirologiAnak.
Jakarta: IDAL.
Rahayu,dkk.
2011.Kejadian
ISPA
PadaBalitaDitinjau
Dari
PengetahuanIbu,KarakteristikBalita,SumberPencemarDalamRuangdanLingkunga
nFisikRumah
Di
Wilayah
KerjaPuskesmas
DTP
CibeberKabupatenLebakPropinsiBantenTahun 2011.Skripsi.FKM UI.Depok
108
Sakti, EkaSatriani. 2012. TinjauanTentangKualitasUdara Ambien (NO2, SO2, Total
Suspended Particulate) TerhadapKejadian ISPA di Kota BekasiTahun 20042011.Skripsi.UI.Depok.
Satriyo, Saputro. 2008. StudiKondisiKimiawiPenyebaranPb, Debu, danKebisingan di
Kota Jakarta. JurnalKajianIlmiahLembagaPenelitianUbhara Jaya Vol. 9 No.
2.http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Unduhpadatanggal 24 November 2013.
Septian.ISPA
padaBayidanAnak.http://www.slideshare.net/septianraha/ispa-padabayi-dan-aqnak. Unduhpadatanggal 29 November 2013.
Setiawan, dkk.Hubungan Status Gizidengan Pneumonia padaBalita di Wilayah
KerjaPuskesmasPalasariKecamatanCiaterKabupatenSubangTahun
2010.Diaksespadatanggal 12 Mei 2014 darihttp://stikesayani.ac.id/publikasi/ejournal/files/2010/201008/201008-008.pdf
Sinaga,
EpiRia
Kristina.
2012.
KualitasLingkunganFisikRumahdenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAkut
(ISPA)
padaBalita
di
Wilayah
KerjaPuskesmasKelurahanWarakasKecamatanTanjungPriuk
Jakarta
Utara
Tahun 2012.Skripsi.UI.Depok.
Soemirat, J. 2009. KesehatanLingkungan ,GadjahMada University Press, Yogyakarta.
Sukandarrumidi.
2010.
Bencanaalamdanbencanaanthropogene
:petunjukpraktisuntukmenyelamatkandiridanlingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
Sukmawati.Hubungan
Status
Gizi,
BeratBadanLahir,
Imunisasi,
dengankejadianInfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) padaBalita di Wilayah
KerjaPuskesmasTunikamaseangKabupatenMaros.Media GiziPanganEdisi 2 JuliDesember 2010.Vol:X. 2010.
Sumardjo,
Damin.
2009.
BukuPanduanKuliahMahasiswaKedokterandan
FakultsBioeksakta. Jakarta: EGC.
109
Pengantar
Program
Kimia:
Strata
1
Susilo,
dkk.
2011.
Faktor-faktor
yang
BerhubungandenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAtas
(ISPA)
BagianAtaspadaBalita di DesaNgrundulKecamatanKebonarumKabupatenKlaten.
JurnalKesehatan, ISSN, Vol 4, No. 1, Juni 2011: 101-110
T,
Gestrudis.
HubunganAntara
Kadar
Partikulat
PM10
UdaraRumahTinggaldenganKejadian ISPA padaBalita di SekitarPabrik Semen
PT.
IndocementCiteureupTahun
2010.http://www.academia.edu/3637211/PM10_UI. Unduhpadatanggal 24 N
ovember 2013.
Tjasyono.KlimatologiUmum. Penerbit ITB. Bandung
U.S. Environmental Protection Agency. 2010. Nitrogen Dioxide. http://www.epa.gov.
Unduhpadatanggal 24 November 2013.
Wardani,
EkaDkk.
JurnalHubunganFaktorLingkungan,
Sosial-Ekonomi,
danPengetahuanIbudenganKejadianInsfeksiSaluranPernapasanAkut
(Ispa)
PadaBalita Di Kelurahan Cicadas Kota Bandung.http://lib.itenas.ac.id/kti/wpcontent/uploads/2012/06/Hubungan-Faktor-Lingkungan.pdf. Unduhpada 24
November 2013.
Wardhana, WisnuArya. 2004. DampakPencemaranLingkungan (EdisiRevisi).
Yogyakarta: PenerbitAndi.
Wattimena,C.S, 2004. FaktorLingkunganRumah yang MempengaruhiHubungan
Kadar
PM10
dengankejadian
ISPA
padaBalita
di
wilayahPuskesmasCurugKabupatenTangerangtahun 2004. Tesis.FKM UI.
Depok.
110
Webster,M&Fransisca.,
H,
2010.
Aksi
global
padaanak.BuletinJendelaEpidemiologi, Vol:3. 2010
melawan
pneumonia
Widarini. 2009. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganKejadian ISPA padaBayi.
UniversitasUdayana.http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JIG/V1N1/widarini.pdf.
Unduhpadatanggal 3 Juni 2014
Wiwoho,
Sadono.
2005.BayiBeratLahirRendahSebagai
Salah
SatuFaktorResikoInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBayi.
Tesis.Undip.
Semarang
World Health Organization. 2005. Air Quality Guidelines for Particulate Matter,
Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide. Geneva: WHO
press.www.who.int. Unduhpadatanggal 24 November 2013.
111
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN KONSENTRASI SO2 DENGAN RESIKO ISPA
PADA BALITA DI DESA CITEUREUP BULAN APRIL TAHUN
2014
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya Tri Astuti Lestari, Mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini saya
sedang melakukan pengumpulan data mengenai konsentrasi SO2 dengan resiko ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada balita. Pengumpulan data ini digunakan
sebagai salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi).
Saya berharap ibu bersedia menjadi responden penelitian ini dengan
menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner ini. Informasi yang anda berikan akan
saya jaga kerahasiaannya. Jika anda bersedia dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan yang telah disediakan.
Data Responden
1. Nomor responden
2. Nama responden
3. Posyandu
: ____________________________
: ____________________________
: ____________________________
Dengan ini bersedia menjadi responden pada penelitian ini.
Citeureup,
Responden
(
112
2014
)
Identitas Responden
A1.
Nama Ibu
A2.
Alamat
Kode
Identitas Anak
B1.
Nama balita
B2.
Usia balita
B3
Berat Badan
B4.
Jenis kelamin
Kode
…………….bulan
……………..kg
a. Laki-laki
b. Perempuan
(
)
Riwayat Gangguan Saluran Pernafasan
Apakah anak balita anda menderita gangguan pernafasan seperti di bawah
ini selama 2 minggu terakhir?
C1.
Batuk (lebih dari 5 kali sehari)
a. Ya
(
b. Tidak
C2.
Pilek
a. Ya
(
b. Tidak
C3.
Sakit tenggorokan
a. Ya
(
b. Tidak
C4.
Tidak
bisa
(tidak
mau)
a. Ya
(
minum/menelan
b. Tidak
C5.
Batuk dahak/lendir
a. Ya
(
b. Tidak
C6.
Sakit telinga (berair/nanah)
a. Ya
(
b. Tidak
C7.
Demam
a. Ya
(
b. Tidak
C8.
Sesak nafas/nafas cepat/nafas
a. Ya
(
terputus
b. Tidak
Pencemaran dalam rumah
D1.
Apakah ada anggota keluarga/
penghuni
rumah
ini
yang
merokok?
D2.
Jika
ya,
dimana
biasanya
merokok?
113
)
)
)
)
)
)
)
)
Kode
a. Ya
b. Tidak  lanjut
pertanyaan D4
a. Dalam rumah
b. Luar rumah
(
)
(
)
ke
D3.
D4.
Berapa batang rokok dalam
sehari?
Bahan bakar jenis apakah yang
digunakan ibu untuk memasak
setiap hari?
(boleh pilih lebih dari 1)
c. Di dalam dan di luar
rumah
……. Batang
(
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
Kayu bakar/ arang
Batu bara
Minyak tanah
Gas
Listrik
Lainnya….
Ya
Tidak
)
(
)
D5.
Apakah ibu selalu membawa anak
balita ketika sedang memasak?
(
)
D6.
Apakah
anak
balita
ibu
a. Ya
(
mempunyai kebiasaan bermain di
b. Tidak  lanjut ke
luar rumah?
pertanyaan D8
Jika ya, berapa jam sehari balita
berada di luar rumah?
………jam
)
Apakah di rumah menggunakan
obat anti nyamuk?
Jenis obat anti nyamuk apa yang
dipergunakan?
(boleh pilih lebih dari 1)
(
)
nyamuk (
)
(
)
D7.
D8.
D9.
Jika menggunakan obat anti
nyamuk bakar, berapa jumlah
yang digunakan dalam 1 malam?
D11. Apakah dirumah anda (selain
anak balita) terdapat seseorang
atau lebih yang menderita
penyakit saluran pernapasan?
Kekebalan balita
E1
Apakah
anak
ibu
pernah
a. Ya
b. Tidak
a. Obat anti
bakar
b. Listrik
c. Oles
d. Semprot
e. Lainnya…..
D10.
114
…..buah
a. Ya
b. Tidak
a. Ya
mendapatkan imunisasi?
E2
Jika ya, imunisasi apa yang
pernah didapat?
(boleh lebih dari 1)
E3
Jika tidak apa alasannya?
E4
b. Tidak  lanjut
pertanyaan E4
a. BCG
b. DPT
c. Polio
d. Campak
e. Lain- lain
Berapa
lama
anak
ibu
mendapatkan ASI tanpa tambahan
………………bulan
makanan apapun?
E5
Berapa berat badan anak anda ………….... gram
saat lahir?
Kualitas udara (diisi oleh peneliti)
F1.
SO2
115
ke
(
)
OUTPUT SPSS
Univariat
1. Resiko ISPA
Statistics
ISPA
N
Valid
92
Missing
0
ISPA
Valid
Percent
Frequency Percent
Cumulative
Percent
Valid ISPA
71
77.2
77.2
77.2
Tidak
ISPA
21
22.8
22.8
100.0
Total
92
100.0
100.0
2. Konsentrasi SO2
Statistics
SO2
N
Valid
Missing
92
0
Mean
1.206330
E2
Median
1.108800
E2
Mode
1.1088E2
Std. Deviation
4.865407
8E1
Minimum
32.7028
116
Statistics
SO2
N
Valid
92
Missing
0
Mean
1.206330
E2
Median
1.108800
E2
Mode
1.1088E2
Std. Deviation
4.865407
8E1
Minimum
32.7028
Maximum
1.9873E2
SO2
Frequency Percent
Valid 32.7028
Valid
Percent
Cumulative
Percent
10
10.9
10.9
10.9
87.812
10
10.9
10.9
21.7
97.6449
10
10.9
10.9
32.6
100.6036
6
6.5
6.5
39.1
20
21.7
21.7
60.9
129.3968
7
7.6
7.6
68.5
146.5911
11
12.0
12.0
80.4
198.7296
3
3.3
3.3
83.7
198.7298
15
16.3
16.3
100.0
Total
92
100.0
100.0
110.88
117
3. Anggota keluarga mengalami ISPA
Statistics
ang_ISPA
N
Valid
92
Missing
0
ang_ISPA
Frequency Percent
Valid ya
Valid
Percent
Cumulative
Percent
25
27.2
27.2
27.2
tidak
67
72.8
72.8
100.0
Total
92
100.0
100.0
118
4. Anggota keluarga yang merokok
Statistics
Rokok
N
Valid
92
Missing
0
Rokok
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid Merokok
77
83.7
83.7
83.7
Tidak
Merokok
15
16.3
16.3
100.0
Total
92
100.0
100.0
5. Tempat merokok
Statistics
tmp_rkok
N
Valid
Missing
77
0
119
tmp_rkok
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid menyebabkan
pencemaran (dalam
rumah)
46
59.7
59.7
59.7
tidak menyebabkan
pencemaran (luar
rumah)
31
40.3
40.3
100.0
Total
77
100.0
100.0
6. Jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari
Statistics
jumrokok
N
Valid
Missing
76
1
Mean
8.1842
Median
6.0000
Mode
Std. Deviation
6.00
5.27057
Minimum
1.00
Maximum
32.00
Sum
622.00
120
Jumrokok
Frequency Percent
Valid
Valid
Percent
1
1
1.3
1.3
1.3
2
6
7.8
7.9
9.2
3
7
9.1
9.2
18.4
4
2
2.6
2.6
21.1
5
2
2.6
2.6
23.7
6
27
35.1
35.5
59.2
10
4
5.2
5.3
64.5
12
24
31.2
31.6
96.1
24
2
2.6
2.6
98.7
32
1
1.3
1.3
100.0
76
98.7
100.0
1
1.3
77
100.0
Total
Missing System
Total
7. Bahan bakar memasak
Statistics
BBM
N
Cumulative
Percent
Valid
Missing
92
0
121
BBM
Frequency Percent
Valid menyebabkan
pencemaran
Valid
Percent
8
8.7
8.7
8.7
tidak menyebabkan
pencemaran
84
91.3
91.3
100.0
Total
92
100.0
100.0
8. Pemakaian obat anti nyamuk
Statistics
obatnymk
N
Valid
92
Missing
0
Obatnymk
Frequency Percent
Valid ya
Valid
Percent
Cumulative
Percent
51
55.4
55.4
55.4
tidak
41
44.6
44.6
100.0
Total
92
100.0
100.0
9. Jenis obat anti nyamuk
Statistics
nymkbaru
N
Cumulative
Percent
Valid
Missing
51
0
122
nymkbaru
Frequency Percent
Valid tidak memenuhi
syarat
Valid
Percent
32
62.7
62.7
62.7
memenuhi syarat
19
37.3
37.3
100.0
Total
51
100.0
100.0
10. ASI eksklusif
Statistics
ASIbaru
N
Valid
92
Missing
0
ASIbaru
Frequency Percent
Valid tidak
ya
Total
Valid
Percent
96.7
96.7
96.7
3
3.3
3.3
100.0
92
100.0
100.0
Statistics
IMUNbaru
Valid
Missing
Cumulative
Percent
89
11. Imunisasi
N
Cumulative
Percent
92
0
123
IMUNbaru
Frequency Percent
Valid tidak lengkap
Valid
Percent
Cumulative
Percent
28
30.4
30.4
30.4
Lengkap
64
69.6
69.6
100.0
Total
92
100.0
100.0
12. BBLR
Statistics
BBLRbaru
N
Valid
92
Missing
0
BBLRbaru
Frequency Percent
Valid ya
Valid
Percent
21
22.8
22.8
22.8
tidak
71
77.2
77.2
100.0
Total
92
100.0
100.0
13. Status gizi
Statistics
gizi2
N
Cumulative
Percent
Valid
Missing
92
0
124
gizi2
Valid
Percent
Frequency Percent
Valid gizi buruk
Cumulative
Percent
20
21.7
21.7
21.7
gizi baik
72
78.3
78.3
100.0
Total
92
100.0
100.0
Analisis Bivariat
1. SO2 dengan ISPA
Uji normalitas  tidak normal
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
SO2
.188
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
92
Statistic
.000
.896
df
Sig.
92
a. Lilliefors Significance Correction
Uji non parametrik
Ranks
ISPA
SO2
N
Mean Rank Sum of Ranks
ISPA
71
49.70
3529.00
Tidak
ISPA
21
35.67
749.00
Total
92
125
.000
Test Statisticsa
SO2
Mann-Whitney U
518.000
Wilcoxon W
749.000
Z
-2.139
Asymp. Sig. (2tailed)
.032
a. Grouping Variable: ISPA
2. Anggota keluarga mengalami ISPA dengan resiko ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
ang_ISPA *
ISPA
Percent
92
Missing
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent
92
ang_ISPA * ISPA Crosstabulation
ISPA
ISPA
ang_ISPA Ya
Count
% within
ang_ISPA
Total
1
25
96.0%
4.0%
100.0%
47
20
67
70.1%
29.9%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
Count
% within
ang_ISPA
Total
24
Tidak Count
% within
ang_ISPA
Tidak
ISPA
126
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
6.907a
1
.009
Continuity Correctionb
5.517
1
.019
Likelihood Ratio
8.756
1
.003
Fisher's Exact Test
.010
Linear-by-Linear
Association
6.832
N of Valid Casesb
1
.006
.009
92
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.71.
b. Computed only for a 2x2 table
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
ang_ISPA *
ISPA
Percent
92
Missing
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent
92
ang_ISPA * ISPA Crosstabulation
ISPA
ISPA
ang_ISPA ya
Count
% within
ang_ISPA
tidak
Tidak
ISPA
Total
24
1
25
96.0%
4.0%
100.0%
47
20
67
Count
127
100.0%
% within
ang_ISPA
Total
70.1%
29.9%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
Count
% within
ang_ISPA
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
6.907a
1
.009
Continuity Correctionb
5.517
1
.019
Likelihood Ratio
8.756
1
.003
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
.010
6.832
1
.006
.009
92
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.71.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
Odds Ratio for
ang_ISPA (ya / tidak)
Lower
Upper
10.213
1.292
80.747
For cohort ISPA =
ISPA
1.369
1.148
1.631
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
.134
.019
.947
128
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
Odds Ratio for
ang_ISPA (ya / tidak)
Lower
Upper
10.213
1.292
80.747
For cohort ISPA =
ISPA
1.369
1.148
1.631
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
.134
.019
.947
N of Valid Cases
92
3. Anggota keluarga merokok dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
rokok *
ISPA
Percent
92
100.0%
Missing
N
Total
Percent
0
129
.0%
N
Percent
92
100.0%
rokok * ISPA Crosstabulation
ISPA
Tidak
ISPA
ISPA
rokok Merokok
Count
% within
rokok
Tidak
Merokok
Total
61
16
77
79.2%
20.8%
100.0%
10
5
15
66.7%
33.3%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
Count
% within
rokok
Count
% within
rokok
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correctionb
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
1.123a
1
.289
.524
1
.469
1.047
1
.306
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
.320
1.111
1
.229
.292
92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.42.
b. Computed only for a 2x2 table
130
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for rokok
(Merokok / Tidak
Merokok)
1.906
.570
6.370
For cohort ISPA =
ISPA
1.188
.816
1.730
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
.623
.270
1.441
N of Valid Cases
92
4. BBM dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
BBM *
ISPA
Percent
92
100.0%
Missing
N
Total
Percent
0
131
.0%
N
Percent
92
100.0%
BBM * ISPA Crosstabulation
ISPA
Tidak
ISPA
ISPA
BBM menyebabkan
pencemaran
Count
% within
BBM
tidak menyebabkan
pencemaran
Total
Count
% within
BBM
Count
% within
BBM
Total
8
0
8
100.0%
.0%
100.0%
63
21
84
75.0%
25.0%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
2.592a
1
.107
Continuity Correctionb
1.367
1
.242
Likelihood Ratio
4.366
1
.037
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
.191
2.563
1
.114
.109
92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83.
b. Computed only for a 2x2 table
132
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
For cohort ISPA =
ISPA
Lower
1.333
N of Valid Cases
Upper
1.178
1.509
92
5. Obat anti nyamuk bakar dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
jns_nymk *
ISPA
Missing
Percent
51
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
Percent
51
100.0%
jns_nymk * ISPA Crosstabulation
ISPA
ISPA
jns_nymk menyebabkan
pencemaran
tidak menyebabkan
pencemaran
Total
Count
% within
jns_nymk
Count
% within
jns_nymk
Count
% within
jns_nymk
133
Tidak
ISPA
Total
24
8
32
75.0%
25.0%
100.0%
15
4
19
78.9%
21.1%
100.0%
39
12
51
76.5%
23.5%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
.103a
1
.748
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.104
1
.747
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
1.000
.101
1
.514
.750
51
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.47.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for
jns_nymk
(menyebabkan
pencemaran / tidak
menyebabkan
pencemaran)
.800
.205
3.125
For cohort ISPA =
ISPA
.950
.699
1.291
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
1.188
.412
3.419
N of Valid Cases
51
134
6. ASI Eksklusif dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
ASIbaru *
ISPA
Percent
92
Missing
N
Total
Percent
100.0%
0
.0%
N
Percent
92
ASIbaru * ISPA Crosstabulation
ISPA
Tidak
ISPA
ISPA
ASIbaru tidak
Count
% within
ASIbaru
ya
Count
% within
ASIbaru
Total
Count
% within
ASIbaru
Total
71
18
89
79.8%
20.2%
100.0%
0
3
3
.0%
100.0%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
135
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
Df
10.485a
1
.001
6.445
1
.011
9.215
1
.002
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
.011
10.371
1
.011
.001
92
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .68.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
N of Valid Cases
.202
Lower
.134
92
136
Upper
.306
7. Imunisasi dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
IMUNbaru *
ISPA
Percent
92
Missing
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
Percent
92
100.0%
IMUNbaru * ISPA Crosstabulation
ISPA
ISPA
IMUNbar tidak lengkap Count
u
% within
IMUNbaru
lengkap
Count
% within
IMUNbaru
Total
Count
% within
IMUNbaru
137
Tidak
ISPA
Total
18
10
28
64.3%
35.7%
100.0%
53
11
64
82.8%
17.2%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
3.795a
1
.051
2.816
1
.093
3.608
1
.058
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
.063
3.754
1
.049
.053
92
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.39.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for
IMUNbaru (tidak
lengkap / lengkap)
.374
.136
1.025
For cohort ISPA =
ISPA
.776
.576
1.046
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
2.078
.999
4.321
N of Valid Cases
92
138
8. BBLR dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
BBLRbaru *
ISPA
Percent
92
Missing
N
Total
Percent
100.0%
0
N
Percent
.0%
92
Tidak
ISPA
Total
BBLRbaru * ISPA Crosstabulation
ISPA
ISPA
BBLRbaru ya
Count
% within
BBLRbaru
tidak
9
21
57.1%
42.9%
100.0%
59
12
71
83.1%
16.9%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
Count
% within
BBLRbaru
Total
12
Count
% within
BBLRbaru
139
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
6.198a
1
.013
4.812
1
.028
5.643
1
.018
Fisher's Exact Test
.019
Linear-by-Linear
Association
6.131
N of Valid Casesb
1
.017
.013
92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.79.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for
BBLRbaru (ya / tidak)
.271
.094
.786
For cohort ISPA =
ISPA
.688
.468
1.011
For cohort ISPA =
Tidak ISPA
2.536
1.242
5.179
N of Valid Cases
92
140
9. Status Gizi dengan ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
gizi2 *
ISPA
Percent
92
Missing
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent
92
gizi2 * ISPA Crosstabulation
ISPA
Tidak
ISPA
ISPA
gizi2
gizi buruk Count
% within
gizi2
gizi baik Count
% within
gizi2
Total
Count
% within
gizi2
Total
20
0
20
100.0%
.0%
100.0%
51
21
72
70.8%
29.2%
100.0%
71
21
92
77.2%
22.8%
100.0%
141
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1(2-sided)
sided)
sided)
df
7.559a
1
.006
5.994
1
.014
11.915
1
.001
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
.005
7.477
N of Valid Casesb
1
.003
.006
92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.57.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value
For cohort ISPA =
ISPA
N of Valid Cases
1.412
Lower
1.217
92
142
Upper
1.637
143
144
145
Download