A. Judul Analisis Yuridis Normatif Atas Ketentuan

advertisement
1
A. Judul
Analisis Yuridis Normatif Atas Ketentuan Jangka Waktu Kewajiban
Mantan Suami Menafkahi Mantan Istri Berkondisi Cacat
B. Latar Belakang Masalah
Dalam bidang hukum keluarga di Indonesia, masih terdapat sejumlah
permasalahan yang belum diselesaikan secara yuridis. Salah satunya adalah
permasalahan mengenai jangka waktu pemberian nafkah bagi istri yang telah
dicerai oleh suaminya. Lebih detilnya, yaitu mengenai perlunya aturan pemberian
nafkah bagi mantan istri berkondisi cacat yang diceraikan oleh suami.
Dalam beberapa peraturan perundang – undangan yang berlaku di
Indonesia terutama yang
di dalamnya membahas mengenai urusan keluarga,
misalnya permasalahan perkawinan, perceraian dan warisan, seperti Undang –
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pelaksana nomor 9
tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Dilihat dari semua instrumen di atas, belum ada satupun
yang mengatur tentang jangka waktu pemberian nafkah bagi mantan istri (dalam
hal ini istri yang dicerai talaq). Hanya saja, dalam Kompilasi Hukum Islam ada
beberapa ketentuan yang telah mengatur mengenai pemberian nafkah bagi mantan
istri yaitu selama masa iddah saja. Namun, timbul persoalan lain yakni apakah
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam itu dapat dijadikan sebagai ketentuan
dasar mengingat bahwa berdasarkan pada ketentuan Undang – Undang No.10
Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang – Undangan, Kompilasi
Hukum Islam bukanlah bagian dari tata peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu sesungguhnya penting sekali membuat suatu regulasi yang
mengatur secara jelas jangka waktu pemberian nafkah kepada mantan istri karena
berimplikasi kepada kesejahteraan kehidupan mantan istri. Salah satu tolak ukur
kesejahteraan manusia dapat dinilai dari aspek ekonomi. Secara ekonomi,
semakin tinggi tingkat perekonomian seseorang maka tingkat kesejahteraan juga
semakin tinggi. Berkaitan dengan hal itu, suatu keluarga yang sebelumnya
memiliki seorang penyangga ekonomi keluarga tentu saja akan kehilangan
penyangga perekonomian keluarga tersebut akibat dari perceraian.
2
Alternatif solusi untuk menyelesaikan persoalan mengenai pemberian
nafkah bagi istri adalah dengan membuat suatu regulasi yang berlaku secara
umum dan universal. Hal tersebut tentu saja merupakan salah satu bentuk
manifestasi hukum progressif yang lebih dekat dengan masyarakat. Keadaan ini
merupakan suatu permasalahan yang begitu dekat, sering terjadi, dan hampir
semua orang memiliki peluang untuk mengalaminya, tetapi belum dijamah oleh
suatu peraturan yang memiliki daya ikat dan memberikan jaminan dan kepastian
hukum untuk melindungi kepentingannya.
Kondisi ini pada dasarnya sangat dilematis, karena tidak hanya dapat
ditumpukan pada posisi mantan istri yang harus diberikan nafkah saja tetapi juga
harus tetap memperhatikan posisi suami demi tercapainya suatu solusi yang
berkeadilan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan solusi yang berkeadilan tersebut,
diperlukan suatu pengecualian terhadap pihak yang dibebankan kewajiban untuk
memberikan nafkah bagi mantan istri. Hal tersebut didasarkan pada aspek
kemampuan ekonomi dan kondisi kelayakan dari mantan istri.
Terlebih, kondisi saat ini, sudah begitu banyak kasus perceraian dari
perkawinan suami istri yang kemudian meninggalkan istri dalam kondisi cacat.
Tercatat, menurut data yang diperoleh dari Mahkamah Agung dan Dirjen Bimas
Islam, dari 10 tahun belakangan pasca reformasi, tiap tahun angka perceraian di
Indonesia mencapai 200.000 kasus. Dengan tiap tahunnya jumlah pasangan yang
menikah berkisar 2 juta orang, maka tingkat perceraian ini mencapai 10 persen.
Kasus perceraian ini banyak melanda pasangan–pasangan muda , yang
usia pernikahannya bahkan belum mencapai lima tahun. Kejadian paling banyak
terjadi di kota-kota besar. Selain itu dari data yang ditemukan, penyebab
perceraian paling banyak disebabkan atas persoalan ekonomi, kesenjangan sosial,
termasuk di dalamnya kecacatan fisik maupun mental. Kondisi cacat yang
dimaksud dapat beraneka ragam, mulai dari cacat fisik biasa sampai cacat berat.
Kondisi inipun dapat disebabkan oleh berbagai hal, dari kesengajaan manusia
(buatan) maupun hal–hal yang sifatnya alami (bawaan). Kecacatan buatan tersebut
meliputi, akibat kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Pada umumnya cacat ini
terlihat secara fisik (luaran) sedangkan hal–hal yang sifatnya bawaan tentu sangat
sulit untuk ditemukan, kecuali melalui pemeriksaan medis. Contoh kasus
3
sederhananya adalah seorang istri yang ternyata diketahui “tidak mampu” hamil
(mandul).
Dalam perkembangan hukum progresif, hukum akan selalu bergerak,
berubah dan terus berubah. Hukum akan terus menyesuaikan diri dengan
perkembangan lingkungan dan perubahan zaman. Tepat sebagaimana yang
dikatakan oleh Mahatma Gandi bahwa hukum untuk manusia dan bukan manusia
untuk hukum sehingga hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang
diperlukan untuk kehidupan masyarakat dan bukan hukum yang memanusiakan
manusia. Progresifisme hukum dalam hal ini berkaitan dengan pemberian nafkah
kepada mantan istri sebagai alat untuk melindungi kepentingannya karena dengan
aturan yang berdasarkan legal formal memiliki daya ikat kepada para pihak agar
melaksanakan kewajibannya sehingga pemenuhan rasa keadilan terhadap mantan
istri dapat terselenggara sebagaimana mestinya.
Tidak hanya bersentuhan dengan rasa keadilan, secara psikologis seorang
wanita yang telah menjadi mantan istri mengalami suatu tekanan mental yang
mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas hidup. Apalagi, seorang istri yang
ditinggal cerai dalam kondisi cacat, baik fisik ataupun mental. Dengan demikian,
secara tidak langsung mantan istri tersebut mengalami suatu kerugian yang
bersifat immateril.
Dalam konsepsi hukum perdata, kerugian immateril pun dapat dijadikan
dasar untuk memperoleh biaya penggantian. Pada konsep itulah nafkah ini
diberikan. Jadi, nafkah bukan dikatakan sebagai biaya hidup semata yang
dikeluarkan suami kepada mantan istri pasca perceraian, akan tetapi pemenuhan
kewajibannya sebagai biaya penggantian atas kerugian immateril yang dialami
oleh mantan istri. Oleh karena itu, hal ini erat kaitannya dengan teori
kesejahteraan sosial yang hidup dalam norma masyarakat.
Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dalam
konstitusi. Implikasinya adalah segala sesuatu harus bersumber dan berdasar pada
hukum yang berlaku. Ada hal yang dapat diselesaikan tanpa melalui proses
pengundangan suatu peraturan yang panjang, tetapi mengingat substansi dari
pemberian nafkah kepada mantan istri, perjalanan panjang untuk menuangkan
perwujudan hukum progresif mengenai jangka waktu dalam memberikan nafkah
4
kepada mantan istri haruslah dalam bentuk yang konkret. Konkretisasi itu bersifat
mutlak agar tiga pilar tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan sosial, dan
kepastian hukum dapat terlaksana. Untuk itu dengan keyakinan dan semangat
hukum progresif, dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai urgensi serta aspek
yang berkaitan dengan jangka waktu pemberian nafkah bagi mantan istri.
C. Perumusan Masalah
Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini antara lain:
1.
Apakah pemberian nafkah kepada mantan istri (di luar masa iddah)
merupakan suatu bentuk keadilan ?
2.
Bagaimanakah upaya pemberikan alternatif solusi berbentuk regulasi
dalam pemberian nafkah kepada mantan istri, khususnya pada istri yang
ditinggal cacat?
D. Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk :
1.
Mengkaji konsep keadilan dalam persoalan hukum dalam keluarga di
Indonesia
2.
Meninjau ulang praktik pemberian nafkah kepada mantan istri dalam
proses peradilan perdata di Indonesia, terutama pada mantan istri
berkondisi cacat
3.
Memberikan alternatif solusi terhadap penegakan hukum progresif yang
berkeadilan dalam bidang hukum keluarga
E. Luaran yang Dihasilkan
Sesuai dengan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dijabarkan
sebelumnya, luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah disusunnya sebuah
regulasi yang dapat menangani aturan pemberian nafkah kepada mantan istri
dengan baik dengan menunjukkan keadilan kepada kedua belah pihak, yaitu
mantan istri maupun mantan suami. Oleh karena itu, luaran yang diharapkan
adalah adanya Rancangan Undang-undang terkait mengenai pemberian nafkah
5
kepada mantan istri yang dapat menghadirkan suatu bentuk tanggung jawab dari
mantan suami kepada mantan istri yang tentunya hal tersebut berimplikasi kepada
kehidupan anak–anak mereka.
F. Manfaat Penulisan
Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam sisi akademis,
yaitu memberikan khasanah baru dalam pengembangan ilmu hukum khususnya di
bidang hukum perkawinan dan keluarga. Selain dalam bidang akademis,
diharapkan penulisan karya tulis ini juga dapat bermanfaat secara praktis yaitu
dengan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan
mengenai aturan dan perlindungan dalam pemberian nafkah terhadap mantan istri
demi terlaksananya suatu bentuk hukum yang progresif dan tercapainya suatu
keadilan yang seimbang.
G. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam penjelasan latar belakang
penelitian
ini, barangkali isu terkait persoalan rumah tangga banyak
memunculkan berbagai polemik salah satunya mengenai persoalan jangka waktu
nafkah atas seorang suami terhadap mantan istri khususnya yang berkondisi cacat.
Pada dasarnya seorang istri yang telah dicerai oleh suaminya tetap
mendapatkan haknya sebagaimana mestinya, meskipun hubungan hukumnya telah
berakhir (bedakan dengan konsep hubungan hukum pada umumnya). Hal ini
didasarkan pada surah Al-Baqarah ayat 228. "Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Ketentuan ini pula yang kemudian mengenalkan masyarakat dengan istilah
masa „iddah, yaitu masa – masa menunggu. Artinya, dalam masa ini si wanita
6
(mantan istri) tidak boleh berhubungan dengan laki – laki lain (baca : menikah
kembali). Namun, di satu sisi, si wanita berhak mendapatkan nafkah dalam masa
menunggunya ini. Para ahli mencoba menggali lebih jauh mengenai iddah.
Beberapa ulama telah mencoba berijtihad untuk menemukan kaedah iddah itu.
Seorang ulama bernama Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa secara bahasa
Iddah bisa berarti menahan, diambil dari kata “Adad” yang artinya “bilangan”.
Maksudnya, bilangan hari atau bulan. Hal itu diperjelas oleh Ulama Sayyid Sabiq
menjelaskan Iddah dari kata yang sama, yaitu “Adad”, namun berarti menghitung
yang berarti menghitung hari–hari (masa bersih). Atas dasar pendapat para ulama
tersebut pengertian iddah dari segi bahasa berasal dari kata „adda yang dapat
diartikan sebagai bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya perempuan
menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya.
Pentingnya untuk memahami masa iddah ini bertujuan untuk memberikan
keadilan pada masing–masing suami dan istri dalam menyelesaikan persoalan
pasca perceraian. Meskipun terputusnya hubungan hukum perkawinan antara sang
suami dan istri, tidak berarti pula memutuskan hak dan kewajiban antara kedua
belah pihak secara serta-merta.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam latar belakang masalah bahwa
perceraian dapat berdampak kerugian. Artinya, harus ada kompensasi yang
diberikan dalam terjadinya perceraian tersebut. Dalam hal ini, maka kompensasi
yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian nafkah.
Definisi dari pemberian nafkah ini juga menyulut perbedaan pendapat,
khususnya pada masyarakat awam. Menurut pengertian dari Syamsuddin
Muhammad ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, yang dimaksud dengan
nafkah adalah segala sesuatu dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk
sesuatu yang baik.”1 Pengertian ini lebih sempit daripada yang disebutkan dalam
tata bahasa Indonesia yang mengartikan nafkah sebagai “pengeluaran”.2
1Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj (Bairut:
Dar-al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Juz V, h. 151.
2Departemen Pendidikan Nasinal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. ketiga Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), hal. 770.
7
Berdasarkan beberapa teori diatas, maka pemaknaan atas nafkah dapat
berarti segala sesuatu yang dikeluarkan dalam rangka kebaikan, termasukl di
dalamnya pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan pakaian. Kaitannya dengan
pemberian nafkah kepada istri maka haruslah segala sesuatu yang punya nilai
manfa‟at atau nilai materi yang dapat diberikan dan dapat mencukupi kebutuhan
si istri.
Pentingnya pembahasan ini juga diungkapkan dalam tulisan ini bahwa
kewajiban untuk memberikan nafkah melekat pada status suami sebagai kepala
keluarga. Tuntutan yang harus dipenuhi adalah memberikan pemenuhan
kebutuhan kepada keluarga, pun setelah berakhir nya perkawinan tersebut sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas lahirnya hak dan kewajiban dalam perkawinan.
Pemberian Nafkah dari Sudut Pandang Filosofis
Nafkah merupakan hal yang paling fundamental dalam penyelenggaraan
kehidupan berkeluarga secara layak. Nafkah diberikan oleh tulang punggung
keluarga yang pada umumnya dipegang oleh kekuasaan suami sebagai kepala
keluarga. Pemberian nafkah merupakan kewajiban suami kepada istrinya dalam
suatu ikatan perkawinan. Akan tetapi ikatan perkawinan bisa saja berakhir dan
menimbulkan suatu status baru terhadap pihak yang bersangkutan.
Dalam perkembangan manusia sejak jaman dahulu, setiap pemimpin
keluarga (dalam tulisan ini dimaksudkan suami) memiliki kewajiban untuk
mencari
nafakah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal ini telah
menjadi ikrar bagi para suami ketika mereka mengucapkan sumpah janji (akad)
untuk mengorbankan tenaga dan pikiran mereka bagi keluarga.
Konsep pemberian nafkah ini muncul melalui hubungan hukum yang sah,
yang dikenal dalam istilah perkawinan. Sesuai dengan teori ilmu hukum bahwa
setiap hubungan hukum pasti melahirkan hak dan kewajiban pada setiap pihak.
Hak bagi satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitu pula
sebaliknya. Dalam hal ini yang berhak memperoleh hak adalah istri dan anak-anak
sementara yang dibebankan kewajiban adalah suami sebagai kepala keluarga. Jika
terjadi perceraian antara suami-istri tersebut, maka putuslah hubungan perkawinan
dan tentu saja akan membentuk keadaan baru dimana istri sebagai salah satu
8
pemegang hak atas nafkah tidak dapat memperoleh haknya lagi. Hak anak-anak
atas nafkah dari suami sebagai kepala keluarga tidak perlu dikhawatirkan karena
dalam hal ini anak anak sudah dijamin oleh hukum berdasarkan ketentuan pasal
41 butir b Undang - Undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa seorang
ayah masih dibebankan kewajiban untuk memberikan nafkah terhadap anakanaknya meskipun perkawinannya sudah putus.
Pemberian nafkah kepada istri yang sudah dicerai pada hakekatnya tidak
sama dengan prinsip pemberian nafkah kepada istri sebelum dicerai. Hal tersebut
didasarkan pada hakekat nafkah itu sendiri. Pada ikatan pernikahan pemberian
nafkah pada istri adalah salah satu bentuk kewajiban suami dan salah satu bentuk
kasih sayang suami terhadap istri, tetapi pasca perceraian pemberian nafkah pada
istri bukan lagi bentuk kewajiban suami sebagai bentuk kasih sayang tetapi lebih
kepada penggantian kerugian atas penderitaan psikologis yang bersifat immateril
pasca perceraian. Oleh karena itu, selayaknyalah penggantian kerugian yang
diberikan suami tersebut dipenuhi dalam selama kurun waktu penderitaan yang
ditanggung oleh mantan istri.
Jangka Waktu Pemberian Nafkah Kepada Mantan Istri
Jangka waktu pemberian nafkah merupakan salah satu hal yang perlu
diperhatikan dalam mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan. Jangka
waktu tertentu dalam pemberian nafkah terhadap mantan istri akan memberikan
kewajiban bagi mantan suami untuk melakukan pemenuhan penggantian kerugian
atas penderitaan immateril yang dirasakan oleh mantan istri.
Persoalan jangka waktu akan mencuat ketika timbul pertanyaan mengenai
seberapa lama seorang suami harus memberikan nafkah kepada mantan istri pasca
perceraian. Terlebih, jika ternyata sang mantan istri diceraikan dalam kondisi
cacat fisik yang dapat menghambat kemandirian dirinya dalam beaktifitas sehari–
harinya. Misalkan saja, si istri mengidap penyakit stroke sehingga dirinya lumpuh.
Pada dasarnya, memang penentuan jangka waktu pembayaran nafkah
selama masa iddah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab sang
mantan suami terhadap mantan istrinya hingga hingga istri tersebut memiliki
pengganti suami yang menjadi tulang punggung keluarganya. Jika ia tidak mampu
9
menemukan pengganti suami untuk menjadi tulang punggung keluarganya berarti
suami terdahulu berkewajiban untuk memberikan nafkah seumur hidup bagi
mantan istrinya tersebut. Hal itu tidaklah berlebihan, atas dasar moralitas yang
berperikemanusiaan itu pemberian nafkah merupakan bentuk pertanggungjawaban
suami pada mantan istri yang mengalami kerugian immateril. Selain itu,
pemberian nafkah oleh suami kepada mantan istri pada dasarnya adalah dalam
rangka pemeliharaan terhadap anak-anaknya.
Pemberian nafkah bagi mantan istri sebenarnya ditujukan dalam rangka
pemeliharaan
terhadap
anak-anak
yang
dilahirkan
selama
perkawinan
berlangsung. Hal ini didasari pada teori efek domino yang diakibatkan oleh
konsep nafkah itu sendiri. Hakekatnya anak merupakan potensi yang harus terus
dipelihara kesejahteraannya sehingga istri sebagai seorang ibu diharuskan untuk
membina dan mendidik anak secara optimal.
Jika mantan istri tidak diberi nafkah maka ia akan mencoba memenuhi
kebutuhannya dengan melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang diluar
rumah sehingga akan berakibat pada perpindahan konsentrasi dan alokasi waktu
yang seharusnya diberikan pada anak, menjadi beralih pada pekerjaan yang
dilakukannya. Hal ini tentu akan berakibat buruk pada perkembangan anak dan
kehidupan anak selanjutnya. Padahal berdasarkan Undang -Undang No.4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak berhak atas kehidupan dan penghidupan
yang layak untuk tumbuh kembangnya dan demi terwujudnya kesejahteraan bagi
anak. Berdasarkan pertimbangan untuk memperkecil resiko penelantaran anak dan
juga untuk meringankan beban mantan istri secara psikologis maka suami sudah
seharusnya berkewajiban untuk tetap menafkahi istri selama mantan istrinya
belum memiliki pengganti suami yang dapat memberikan nafkah kepadanya.
Menurut Asghar Ali Engineer seorang tokoh feminis muslim asal India
mengemukakan bahwa terdapat kriteria yang harus diperhatikan dalam pemberian
nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan yaitu pemberian nafkah tersebut dapat
diberikan melebihi masa „iddah, dengan catatan melihat kondisi keadaan mantan
istri seperti:
1. Bagaimanakah status ekonominya, dengan ini dapat diketahui bagaimana
10
status ekonomi seorang mantan isteri tersebut;
2. Bagaimana pula kondisi atau keadaan si istri
3. Apakah mempunyai anak-anak dalam tanggungannya;
4. Bagaimanakah status ekonomi suaminya.
5. Akhirnya seorang hakimlah yang berhak untuk memutuskannya.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian nafkah bagi mantan isteri
dilaksanakan untuk kemaslahatan atau kesejahteraan mantan isteri setelah
perceraian. Pendapat Asghar tersebut dapat dikaitkan dengan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dalam pasal 41 c dijelaskan
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isterinya”.
Menurut pasal tersebut suatu pengadilan dapat menentukan kewajiban
kepada mantan suami untuk memberikan nafkah kepada mantan isterinya akan
tetapi dengan syarat-syarat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,
tertulis bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan
dan keadaan, baik untuk dirinya maupun keluarganya, termasuk makanan,
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya serta usaha-usaha sosial yang
diperlukan, dan berhak atas jaminan pada waktu mengalami pengangguran,
menderita sakit, menjadi cacat, janda, mencapai usia lanjut atau mengalami
kekurangan nafkah dan lain-lain, dikarenakan keadaan yang berada di luar
dirinya”.
Disini Deklarasi PBB tidak hanya menganggap keadaan kehilangan suami
sebagai suatu kehilangan sumber kehidupan bagi seorang wanita, tetapi juga
menyertakan janda dalam jajaran yang sama dengan orang yang memiliki
ketiadaan pekerjaan, orang yang sakit serta yang cacat fisik.
Kondisi cacat yang sifatnya akan memberikan banyak kerugian pada si
istri, dalam hal dapat menghalangi si istri untuk mengidupi dirinya sendiri, dan
tanggungan (jika ada). Misal, istri lumpuh atau mengidap penyakit kronis ataupun
menahun. Tentu saja, si istri sangat terganggu untuk bisa bekerja. Oleh karena itu,
jika pemberian nafkah dicukupkan sampai habis masa iddah maka dengan kondisi
istri seperti ini tentu saja si istri tidak mendapatkan jaminan dalam kehidupannya.
11
Benar bahwa di dalam konsepsi hukum Islam sebagaimana yang
diterangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai pemberian nafkah kepada
mantan istri hanya berlangsung selama masa iddah. Mengenai masa sesudah itu,
para ulama belum mengeluarkan ijtihad ataupun fatwa.
Dengan mengikuti kaedah dan pembentuka hukum, baik para ahli hukum
maupun ulama (terutama fiqh) sangat perlu untuk mengkaji kembali permasalahan
ini. Berbagai kasus–kasus yang terjadi mengenai permasalahan nafkah atas suami
istri terus terjadi, bahkan diperkiraka akan terus berkembang. Perkembangan
zaman yang serba berubah dengan begitu banyak kompleksitas masing–
masingnya memberikan tuntutan yang lebih banyak pula, salah satunya persoalan
pemberian kewajiban nafkah ini.
Pemberian Nafkah bagi Mantan Istri dalam Bingkai Hukum Progresif.
Hukum progresif merupakan hukum yang berusaha menyesuaikan diri
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Hukum progresif bukanlah
hukum yang berpatokan secara mentah hanya pada positivisme hukum, tetapi
merupakan hukum yang keluar dari positivisme hukum dan membuat tatanan
norma yang lebih berkedilan dan bermanfaat secara sosial. Hukum progresif
merupakan refleksi dari keadaan status quo yang terjadi dalam realita yang ada
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Diyakini bahwa hukum selalu berhadapan dengan realitas tuntutan
masyarakat sebagai subjek hukum sekaligus objek hukum. Hukum dituntut
mampu merespon kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Dengan
demikian, ketentuan pemberian nafkah sampai menikah lagi atau mati, dapat
dijadikan tawaran pemikiran alternatif dan sebagai bahan masukan yang bernilai
positif dalam menyempurnakan peraturan dalam bidang hukum keluarga yang
lebih berkeadilan sebagai manifestasi formal dari hukum progresif.
H. Metode Penulisan
Penulisan karya tulis ini merupakan penulisan yuridis normatif dengan tipe
penulisan deskriptif. Dalam penulisan ini, data yang digunakan adalah data
sekunder. Karena menggunakan data sekunder maka bahan hukum yang
12
digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Bahan hukum primer yang digunakan adalah beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan perkawinan. Bahan hukum sekunder
yang digunakan adalah beberapa buku, artikel dan jurnal internasional yang
berkaitan dengan perkawinan dan pelaksanaan putusan pengadilan terkait masalah
perkawinan. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.
Selain itu karena data yang dibutuhkan adalah data sekunder maka
dilakukanlah studi literatur untuk mendapatkan data sekunder dan juga dengan
melakukan wawancara narasumber guna mendapatkan data pendukung data
sekunder. Setelah mendapatkan data sekunder, data tersebut diolah dengan metode
kualitatif. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh penelitian deskriptif perskriptif
analitis.
I. Jadwal Kegiatan
Bulan
No
Jadwal Kegiatan
Ke-1
1
Pengumpulan data studi pustaka
2
Observasi data lapangan (survey x
Ke2
Ke-3
Ke-4
x
x
daerah prov. Jakarta dan Jawa
Barat)
dengan
metode
pengambilan secara deduktif
4
Penyusunan dan penyesuaian
x
hasil kaji lapangan dan studi
pustaka
(bersama
tim
pembimbing)
Penyusunan
5
draft
rancangan
peraturan perundang – undangan
(tentang
pengaturan
jangka
waktu nafkah dan yang terkait)
x
x
Ke-5
13
6
Hasil
laporan
berupa
draft
x
rancangan peraturan perundang
– undangan
J. Rancangan Biaya
A. Gaji dan Upah tim Peneliti
3 orang x Rp.150.000 x 3 bulan = Rp.1.350.000
B. Biaya Perjalanan :
1. Untuk wilayah DKI Jakarta, akan dibagi menjadi 5 wilayah berdasarkan
kewenangan administratif :
- Jakarta Selatan
- Jakarta Timur
- Jakarta Barat
- Jakarta Utara
- Jakarta Pusat
2. Sedangkan untuk wilayah Provinsi Jawa Barat, akan dibagi menjadi 5
wilayah :
- Tangerang
- Bekasi
- Depok
- Bandung (Kab. dan Kota)
Dengan perincian di atas, untuk wilayah prov. DKI Jakarta telah
diperhitungkan untuk tidak perlu bantuan biaya.Maka, biaya perjalanan yang
dimohonkan adalah perjalanan ke Bandung (Pulang – Pergi : Rp90.000 per orang)
C. Lain – lain :
1. Fotokopi : Rp300.000
2. Dokumentasi : Rp150.000
14
3. Penulisan Laporan ( Draft Rancangan Undang – Undang) : Rp250.000
Bagan:
No Pengeluaran
Biaya
Keterangan
1
Rp1.350.000
Penelitian
Honorarium
studi
pustaka selama 2
bulan,
biaya
termasuk
untuk
tim
pembimbing
2
Perjalanan
Rp270.000
Studi
data
lapangan
daerah
Bandung
(Kabupaten
dan
Kota)
3
Lain - lain
Rp700.000
Biaya administrasi,
pengadaan bahan –
bahan,
fotokopi,
dokumentasi
penulisan
dan
laporan
akhir
Total Pengeluaran
Rp2.320.000,00
K. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Departemen Agama RI. 1984. Al-Qur 'an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an.
Hamid, Zuhri. 1978. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan UndangUndang Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta.
Harahap, M. Yahya. 1988. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata. Jakarta: PT. Gramedia.
15
Hasan, KN. Sofyan. 1994. Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia.
Surabaya: Usaha Nasional.
Mertokusumo, Sudikno. 1995. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
Rahman, Abdur. 2003, Kompilasi Hukum Indonesia di Indonesia. Jakarta:
Akademika Pressindo.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
________________. dan Sri Mamuji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada.
Soemijati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty.
Syamsuddin Muhammad Syarbini bin Muhammad al-Khatib. Mughni al-Muhtaj
ilaMakrifah Ma’ani alfadz al-manhaj. Beirut-Libanon: Dar al-kutub al-ilmiah.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan, UU No. 1
Tahun 1974.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Nomor
M.A./Pemb./0807/1975.
L. Lampiran
Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
Ketua Pelaksana Kegiatan
Nama
: Irma Gusmayanti
NPM
: 0906519785
Fakultas/Jurusan
: Hukum/Ilmu Hukum
Instansi
: Universitas Indonesia
16
Karya ilmiah yang pernah dibuat
:
1. National Research Competition dalam NARRATION 2011 KSM EKA
PRASETYA Universitas Indonesia dengan judul “Siapa yang Bersedia
Melestarikan Bumi, Mengurangi Kantong Plastik ?”
2. Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2011 Bidang Lingkungan
dengan Pemantapan Strategi dan Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam
Adaptasi dan Mitigasi Guna Meningkatkan Perekonomian dengan Tetap
Berwawasan Lingkungan
3. Paper Ilmiah Challange Public Health Expo 2011 Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia dengan judul Rancangan UndangUndang tentang Jaminan Penyelenggaraan Kesehatan bagi Masyarakat
Sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Sebagai Solusi Perlindungan
dan Pengendalian Kesehatan atas Pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir; Pengenaan Harga Kantong Plastik Sebagai Upaya
Mereduksi Penggunaan Kantong Plastik di Depok, Jawa Barat
4. PKM–Penelitian: Analisis Yuridis Normatif atas Ketentuan Jangka Waktu
Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Mantan Istri Berkondisi Cacat
5. PKM–Artikel Ilmiah: Pengenaan Harga Kantong Plastik sebagai Upaya
Mereduksi Penggunaan Kantong Plastik di Depok, Jawa Barat
6. PKM–Pengabdian Masyarakat: Work Camp: Proyek Sosial untuk
Melawan Diskriminasi terhadap Penderita Kusta
7. International Essay Competition 2010 dengan tema “My Roles in Creating
The Peaceful World” yang diselenggarakan oleh The Goi Foundation –
Japan dan UNESCO
8. International Essay Competition 2011 dengan tema “My Roles Against
Leprosy Discrimination” yang diselenggarakan oleh The Goi Foundation–
Japan dan UNESCO
Peghargaan ilmiah yang pernah diraih :
1. Medali emas dalam olimpiade ilmiah mahasiswa Universitas Indonesia
2010 cabang kuis
2. Finalis (6 besar) National Research Competition (NARRATION) 2011
KSM EKA PRASETYA Universitas Indonesia dengan judul “Siapa yang
17
Bersedia Melestarikan Bumi, Mengurangi Kantong Plastik ?”
3. Perhargaan dari
The Goi Foundation–Japan dan
UNESCO dalam
International Essay Competition 2010 dengan tema “My Roles in Creating
The Peaceful World”
Waktu untuk Kegiatan
: 20 jam/minggu
Anggota Pelaksana Kegiatan
1. Nama
: Selvy Anissa Ramadhani
NPM
: 0906519785
Fakultas/Jurusan
: Hukum/Ilmu Hukum
Instansi
: Universitas Indonesia
Karya ilmiah yang pernah dibuat :
1. Paper Ilmiah Challange Public Health Expo 2011 Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia: Rancangan Undang-Undang tentang
Jaminan Penyelenggaraan Kesehatan bagi Masyarakat Sekitar Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir Sebagai Solusi Perlindungan dan Pengendalian
Kesehatan atas Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir;
Pengenaan Harga Kantong Plastik Sebagai Upaya Mereduksi Penggunaan
Kantong Plastik di Depok, Jawa Barat
2. PKM–Penelitian: Analisis Yuridis Normatif atas Ketentuan Jangka
Waktu Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Mantan Istri Berkondisi
Cacat
3. PKM–Artikel Ilmiah: Pengenaan Harga Kantong Plastik sebagai Upaya
Mereduksi Penggunaan Kantong Plastik di Depok, Jawa Barat
4. PKM–Pengabdian Masyarakat: Work Camp: Proyek Sosial untuk
Melawan Diskriminasi terhadap Penderita Kusta
Penghargaan yang pernah diraih : Waktu untuk Kegiatan
2. Nama
NPM
: 20 jam/minggu
: Muhammad Iqbal
: 0906558275
18
Fakultas/Jurusan
: Hukum/Ilmu Hukum
Instansi
: Universitas Indonesia
Karya ilmiah yang pernah dibuat :
1. PKM–Artikel Ilmiah: Pengenaan Harga Kantong Plastik sebagai Upaya
Mereduksi Penggunaan Kantong Plastik di Depok, Jawa Barat
2. PKM–Pengabdian Masyarakat: Work Camp: Proyek Sosial untuk
Melawan Diskriminasi terhadap Penderita Kusta
Penghargaan yang pernah diraih : Waktu untuk Kegiatan
: 20 jam/minggu
Biodata Dosen Pembimbing
Nama
: Meliyana Yustikarini, S.H., M.H.
NIP
: 050850314
Fakultas/Jurusan
: Hukum/Ilmu Hukum
Perguruan Tinggi
: Universitas Indonesia
Alamat
: JL. Mangga Ujung Kompleks Imigrasi
No.13A Tj.Priok, Jakarta Utara
No. HP
: 081586465966
Waktu untuk Kegiatan
: 3 jam/minggu
Download